Anda di halaman 1dari 13

INTEGRASI MODERASI BERAGAMA DALAM MENGHADAPI ISU-ISU

KONTEMPORER: FENOMENA HIJRAH, JIHAD, RADIKALISME


BERAGAMA, MODERASI ISLAM, LITERASI INFORMASI DAN
PENGEMBANGAN BUDAYA ANTI KORUPSI

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas UAS mata kuliah Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampu :

Mushlihin, S.Pd.I, MA

Disusun Oleh :

Kelompok 12

Dina Awaliyah Nurrohmah [1404623001]


Annisa Nurfajrina [1404623026]
Muhibatul Muyasyaroh [1404623059]

Program Studi Pendidikan Agama Islam

Universitas Negeri Jakarta

2023
A. Hijrah
Hijrah saat ini sering diartikan sebagai proses berpindah dari perilaku yang belum
sesuai dengan syariat Islam ke perilaku yang sesuai dengan syariat Islam yang bertujuan
untuk memperbaiki diri ke arah yang lebih baik. Hijrah juga diartikan sebagai sebuah
perjalanan Nabi Muhammad dan pengikutnya dari Mekkah ke Madinah untuk
menyelamatkan mereka dari ancaman dan tekanan kaum Quraisy.

Hijrah pada zaman Rasulullah SAW, peristiwa hijrah terjadi ketika Rasulullah ingin
pindah dari Mekkah ke Madinah untuk menyebarluaskan agama Islam. Karena ketika
Rasulullah di Mekkah dalam menyebarluaskan agama secara terang-terangan
mendapatkan perlawanan keras dari kaum Quraisy. Dari sini dapat dilihat bahwa hijrah
yang dilakukan Rasulullah adalah untuk melakukan perpindahan dari suatu negara yang
tidak aman menjadi negara yang aman. Dapat diartikan bahwa jika kita sudah merasa
tidak aman, maka kita harus segera melakukan hijrah untuk menyelamatkan diri kita dari
berbagai tekanan yang ada.

Zaman sekarang sering dihadapkan dengan banyak public figure yang menyatakan
berhijrah dari dunia masa lalu yang kelam menjadi dunia yang sekarang lebih baik. Potret
hijrah yang dilakukan biasanya secara berbondongbondong atau bersama-sama untuk
merubah dirinya menjadi lebih baik. Cara public figure untuk berhijrah, biasanya
ditunjukkan dengan seringnya mengikuti kajian keagamaan agar lebih dekat dengan
agamanya dan membentuk suatu organisasi pertemanan untuk meningkatkan ukhuwah
islamiyah sesama teman dalam hal kebaikan.

Trend hijrah ini hadir sebagai imbas dari adanya modernitas, dimana sebagian
perilaku keagamaan masyarakat yang berada di kota berubah seiring dengan
perkembangan globalisasi dan modernisasi. Dengan adanya perkembangan globalisasi
ini, tren hijrah semakin marak ditandai dengan adanya sosial media yang lebih
memudahkan dalam melakukan hijrah. Indikasi tren hijrah ini yaitu meluasnya
pemakaian hijab, maraknya produk syariah di pasaran. Adanya pengemasan konsep
dakwah yang lebih praktis, instan, dan dekat dengan kaum milenial. Dengan adanya tren
hijrah ini, maka diperlukan adanya figure sebagai sentral pengetahuan. Oleh karena itu,
diperlukan seorang ustadz yang muda, energik, dan gaul untuk menjadi sentral
pengetahuan. Karena dengan ciri tersebut tentunya pengetahuan agama akan lebih mudah
dipahami dengan menggunakan bahasa milenial yang ada pada zaman sekarang.

B. Nilai-Nilai Moderasi Beragama dalam Hijrah


Hijrahnya Rasulullah Saw dan para sahabatnya ke kota Madinah membawa
perubahan besar. Perubahan drastis terjadi; arus perubahan itu pada utamanya terletak
dalam semangat saling tolong menolong, meniupkan angin persatuan, keadilan,
membungkam suara perpecahan, fanatisme etnis, suku, dan ras, semuanya bersatu di
bawah bendera Laa Ilaaha Illallah Muhammad Rasulullah.

Saat Nabi Saw hijrah dan tiba di kota Madinah, beliau meletakkan nilai moderasi
beragama untuk menopang kekuatan umat Islam dengan sokongan kaum Muhajirin dan
Anshar. Nilai moderasi yang dibangun oleh beliau adalah:

 Tasamuh (Toleransi)
Ketika menetap di Madinah pasca-hijrah, Rasulullah SAW mendapati kenyataan
bahwa Madinah merupakan kota yang majemuk, baik agama maupun suku-suku yang
tinggal di dalamnya. Kemajemukan itu dapat menjadi sumber persoalan dan rentan
konflik.

Oleh karenanya, Rasulullah SAW menginisiasi suatu perjanjian yang dapat


mendamaikan dan menyatukan berbagai perbedaan itu. Perjanjian itu dikenal sebagai
Piagam Madinah (mitsaq al-madinah) dan diyakini merupakan embrio perjanjian antar
bangsa, seperti Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Magna Charta. Oleh karena
itulah, Islam mengajarkan umatnya bersikap toleran terhadap berbagai perbedaan.

Di dalam naskah perjanjian itu, disebutkan berbagai ketentuan yang menunjukkan


adanya keterbukaan, saling menghormati, dan toleransi di antara mereka. Hal itu antara
lain tergambar dalam soal kebebasan beragama bagi pemeluk agama, pembelaan bagi
kaum yang lemah, serta kewajiban bela negara.

Nabi Muhammad SAW juga memberikan jaminan perlindungan kepada umat


Kristiani untuk melaksanakan ibadah sesuai agama mereka. Bahkan, Nabi Muhammad
SAW mengizinkan mereka untuk membangun rumah tangga beda agama di antara
mereka, tanpa mengganggu kepercayaannya.

Peristiwa penaklukan Makkah (fathu Makkah) yang terjadi pada tahun 8 H/ 630 M,
merupakan peristiwa toleransi paling agung dalam sejarah Islam.

Nabi Muhammad SAW pernah dikuya-kuya, disakiti, bahkan diusir dari tanah airnya
oleh penduduk Makkah. Akan tetapi, pada saat Makkah diambil alih oleh Nabi
Muhammad SAW, tidak ada sedikit pun pertumpahan darah atau balas dendam kepada
kafir Quraisy. Mereka dilindungi, diperlakukan dengan sangat baik dan dijamin
keamanannya. Jika bukan karena sikap lapang dada, pihak yang menang pasti bersikap
jumawa dihadapan yang kalah.

Toleransi bukan soal mayoritas hingga minoritas. Toleransi tidak boleh mencampur
adukkan aqidah. Toleransi juga bukan soal membenarkan keyakinan yang berbeda-beda.
Toleransi merupakan keberanian untuk menghormati dan menghargai perbedaan di
antara kita, agar hidup tetap rukun dan damai.

Supaya penghambaan kepada Tuhan Yang Maha Esa tetap dapat dilaksanakan,
kita membutuhkan sikap toleran. Nabi Muhammad SAW telah memberikan contoh
toleransi yang paripurna.

Masyarakat Islam ditegakkan atas dasar toleransi dalam makna dan cakupan yang
luas. Islam menetapkan toleransi dan penghormatan terhadap keyakinan dan kepercayaan
umat lain, serta tidak seorang pun yang dapat memaksakan kepercayaan dan agama Islam
pada orang lain selaras dengan firman Allah yang terdapat pada QS.Al-Baqarah:256;

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); telah jelas jalan yang benar
dari jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman
kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang
tidak akan putus. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Salah satu fenomena yang cukup menghebohkan dunia Islam saat ini adalah
adanya sekelompok umat yang aktif mengkafirkan kelompok lainnya. Mereka
memandang bahwa orang-orang yang ada di luar kelompoknya, sebagai kafir, murtad,
dan keluar dari Islam.

Setiap kali berbeda pendapat dengan orang lain, mereka dengan mudah
menyerang lawan bicaranya itu dengan julukan kafir. Seolah-olah di dunia ini hanya
dirinya saja yang berhak menganut agama Islam, sedangkan orang lain sangat rentan
untuk menjadi kafir.

Maka dengan semangat hijrah, kita dididik untuk menjadi umat yang toleran
dalam perbedaan pendapat dan pandangan, tidak mudah menjatuhkan vonis kafir, bid`ah,
dan syirik kepada pihak lain sesama umat Islam.

 I’tidal (Keadilan)
Hijrah bukanlah untuk ikut berperang di negara lain yang dilanda konflik
sebagaimana yang dipropagandakan kelompok teroris. Karena pada hakikatnya hijrah
adalah sebuah semangat untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dan
bermakna.

Hijrah itu bukan untuk melakukan kekerasan, apalagi pembunuhan. Karena itu, hijrah
sebaiknya dilakukan dengan niat yang tulus dengan cara melepaskan diri dari belenggu
ambisi pribadi, kepicikan, dan kepentingan sesaat.

Manusia yang hijrah harus selalu memiliki optimisme dalam menyongsong masa
depan yang semakin baik. Rasulullah SAW berhijrah dari Mekkah ke Madinah karena
tekanan yang luar biasa dari kafir Quraisy yang sangat membahayakan dan mengancam
keselamatan jiwa Rasulullah dan para pengikutnya. Di tempat baru, Rasulullah
mengembangkan Islam dan membangun tatanan kehidupan, kebudayaan, dan peradaban
yang sehat, adil, baik, sejahtera, dan manusiawi.
Untuk mewarisi semangat hijrah, harus mempunyai gairah untuk terus mencari hal-
hal yang baru, baik, dinamis, dan progresif dalam kehidupan yang kaya warna dan nuansa.
Dalam konteks Indonesia saat ini, hijrah bisa dimaknai sebagai perjuangan melawan
segala bentuk ketidakadilan, kekerasan, penindasan, narkoba, korupsi, serta upaya-upaya
disintegrasi yang mengancam keutuhan NKRI. Sementara, dalam konteks dunia dan
global, semangat hijrah bisa diisi dan diwarnai dengan perjuangan yang tak kunjung usai
untuk menegakkan keadilan dan perdamaian.

Rasulullah saw menegakkan masyarakat Islami atas dasar keadilan yang luas, baik
terhadap kawan maupun lawan, keadilan yang tidak pandang bulu, pangkat dan
kedudukan.

Keadilan yang dibangun oleh Rasul adalah keadilan yang memberikan hak sesuai
porsinya; keadilan yang memandang kaum lemah itu kuat karena ada hak yang harus
diterimanya dan memandang orang-orang kuat yang merampas dan menginjak-injak
haknya orang lain itu lemah. Suara keadilan telah digemakan oleh Allah:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (Qs. An-
Nahl: 90)

Allah telah menyuruh kita berbuat adil, tidak cukup dengan adil saja, namun dengan
keadilan itu, kita harus berbuat kebajikan. Keadilan yang menjadi asas pembangunan dan
penyemaian nilai-nilai spiritual, moral, dan sosial dari peristiwa hijrah meniscayakan
kesejajaran seseorang di hadapan Allah sehingga kehidupan umat Islam menjadi sentosa
karenanya.

Dengan kekuatan nilai moderasi yang dipancangkan oleh Rasulullah, lengkaplah


unsur-unsur yang diperlukan bagi terbentuknya masyarakat yang beriman, bertakwa,
bertauhid, yang berdiri gagah di atas puing-puing reruntuhan Jahiliyah. Masyarakat yang
sanggup menghadapi gelombang-gelombang zaman dalam sejarah umat manusia.
Masyarakat itu telah tiada, namun misi kebenaran Allah, Islam, dan tugas sejarah yang
pernah diembannya tak pernah hilang.

Yang pasti adalah masa kehidupan umat manusia akan cerah ceria bila kemungkaran
dan kebatilan telah sirna. “Dan katakanlah bila kebenaran telah datang dan yang batil
telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (QS. Al-
Isra: 81)

Pentingnya Moderasi Beragama Dalam Upaya Pencegahan Terjadinya Radikalisme

Radikalisme merupakan paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau


pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Konsep radikalisme
sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Selain itu,
mengarah ke perjuangan yang melibatkan penyalahatan dan pengusiran masyarakat.

Dari sudut pandang keagamaan, radikalisme dapat diartikan sebagai paham


keagamaan yang mengacu pada fondasi agama dengan fanatic keagamaan yang sangat
tinggi, sehingga penganut dari paham tersebut menggunakan kekerasan kepada orang
yang berbeda dengan paham mereka untuk mengaktualisasikan paham keagamaan yang
dipercayai agar diterima secara paksa.

Beberapa bentuk radikalisme menurut Haidar Alwi:

1. Radikalisme keyakinan muncul karena banyak orang yang senang mengkafirkan


orang lain dan menilai orang lain di luar kelompoknya akan masuk neraka.
2. Radikalisme tindakan cenderung menghalalkan segala cara bahkan pembunuhan
atas nama agama untuk mendukung pemikirannya.
3. Radikalisme politik merupakan kelompok yang ingin menggantikan ideologi
Pancasila dengan ideologi khilafah.
4. Radikalisme perilaku. Seseorang yang paham radikalnya masih bertumpu pada
pemikiran akan menyasar pada perilakunya.
Contoh Radikalisme:

 Gerakan Reformasi 1998 yang menentang dan menggulingkan rezim Orde Baru
 Kelompok Kristen Anabaptis yang pro perdamaian serta menolak segala bentuk
tindakan kekerasan
 Pasangan LGBT

Upaya dalam mencegah radikalisme:

1. Mempelajari agama secara benar sesuai metode yang sudah ditentukan para ulama
Islam
2. Mendalami, memahami dan mengamalkan isi kandungan Al-Qur'an
3. Tingkatkan moderasi beragama dan toleransi
4. Menanamkan jiwa nasionalisme
5. Patuhi peraturan yang ditetapkan pada UUD 1945
6. Waspada terhadap provokasi serta bijak dalam penggunaan sosial media

Menurut Arif, N.D., moderasi hadir sebagai bentuk preventif dan kuratif munculnya
gerakan radikalisme dalam beragama, serta berperan untuk memberikan pencerahan
terhadap seluruh umat Islam agar dapat berbuat adil (i’tidal), seimbang (tawassuth),
proporsional (tawazun), anti kekerasan (al-la 'unf) dan maslahat dalam berbagai dimensi
kehidupan.

Di zaman yang modern ini, peran moderasi beragama sangatlah penting untuk
mencegah terjadinya paham-paham radikalisme yang muncul dalam masyarakat, terlebih
di Indonesia memiliki beragam keyakinan dan agama yang mana masih ada beberapa
masyarakat Indonesia masih memiliki sikap intoleran. Selain itu, moderasi beragama
merupakan salah satu kunci untuk meningkatkan kesadaran hukum terhadap radikalisme.

Nilai-Nilai Moderasi Beragama Dalam Mencegah Terjadinya Radikalisme


1. Adil (i’tidal)
I'tidal adalah pandangan yang menempatkan segala sesuatu pada tempatnya,
membagi menurut bagiannya, mewujudkan hak dan menunaikan kewajiban.
(Hasan, 2021). Tidak bersikap memihak atau berat sebelah, selalu bersikap adil
antar sesama.
2. Seimbang (tawazun)
Tawazun adalah sikap menyeimbangkan segala aspek dalam kehidupan, tidak
condong kepada salah satu perkara saja.
3. Proporsional (tawassuth)
Tawassuth menekankan pentingnya moderasi dan keseimbangan dalam beragama,
sebagai lawan dari sikap ekstrem dan radikal. Tawassuth berperan peenting dalam
mencegah radikalisme dengan sikap tengah, adil, dan seimbang dalam beragama.
4. Anti kekerasan (al- 'unf)
Al-'unf dalam konsep radikalisme merujuk pada penggunaan kekuatan secara
ilegal atau main hakim sendiri untuk memaksakan kehendak dan pendapat.
5. Toleransi (tasamuh)
Tasamuh salah satu bentuk upaya pencegahan raadikalisme dalam beragama.
Tasamuh perlu diterapkan untuk mencegah konflik yang timbul dari perbedaan
agama. Salah satu contohnya adalah dengan saling menghargai dan tidak
memaksakan kehendak orang lain dengan melarang atau menyuruh masuk ke
agama yang seesuai dengan kita. Meskipun berbeda agama, kita sebagai
masyarakat Indonesia harus saling tolong menolong serta berinteraksi dalam
likungan sosial.

Nilai-Nilai Islam Anti Korupsi


Menurut KBBI, korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara
(perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang
lain.
Penyebab terjadinya korupsi antara lain adanya penyalahgunaan wewenang
pejabat, rendahnya moral dan tingkat kejujuran, adanya kesempatan dan salah satu faktor
penyebab terjadinya korupsi untuk memperkaya diri serta adanya dorongan yang
mendesak diri dari keluarga untuk korupsi.

Dalam khazanah fiqh, terdapat 6 jenis tindakan yang serupa dengan korupsi, yaitu:

1) Ghulul (Pencurian)
2) Risywah (Gratifikasi/Penyuapan)
3) Ghasab (Mengambil Paksa Hak/Harta Orang Lain)
4) Sariqah (Mencuri)
5) Khiyanat (Penghianatan)
6) Hiraabah (Perampokan)

Faktor Pendorong Terjadinya Korupsi

1. Faktor internal

Datang dari diri sendiri, seperti: lemahnya iman dan ketidakjujuran, pola hidup yang
konsumtif.

2. Faktor eksternal

Berasal dari kehidupan luar seseorang, pemahaman masyarakat yang kurang terhadap
korupsi.

Upaya Pencegahan Korupsi:


 Jujur
 Adil (i’tidal)
 Nasionalisme atau cinta tanah air (muwathanah)
 Integritas
 Hidup Sesuai Kemampuan
 Mengatur Manajemen Waktu
 Fokus kepada Kinerja dan Tanggung Jawab Pribadi
 Mengatur Pengeluaran
 Selalu Bersyukur
Nilai-Nilai Moderasi Beragama Dalam Tindakan Anti Korupsi

1) Adil (i’tidal)
Adil berarti disiplin menempatkan segalanya di tempat semestinya.
2) Nasionalisme (muwathanah)

Urgensi Literasi Informasi Dalam Moderasi Beragama


Pada mulanya perkembangan media sosial tidak terlepas dari meningkatnya
penggunaan internet. Dari data laporan We Are Social menunjukkan bahwa media sosial
sudah menjadi kebutuhan dasar dalam kehidupan sehari-hari bagi keseluruhan
masyarakat di Indonesia. Tentu saja banyaknya angka pengguna media sosial
menimbulkan risiko yang besar. Media sosial diibaratkan sebagai mata pisau. Mata pisau
itulah yang nantinya menentukan penggunanya, apakah media sosial itu digunakan ke
arah yang positif atau negatif. Banyak sekali konten negatif yang masih terjadi contohnya
seperti gerakan sholat yang dipermainkan atau diparodikan, bullying, penistaan agama,
pencemaran nama baik, dan berbagai kasus lainnya.
Pemilahan informasi berlandaskan nilai-nilai ajaran agama Islam bisa kita lihat dari
tata cara pemilihan informasi sebagai berikut :
• Klarifikasi terhadap pakar : Dalam menerima suatu informasi, kita harus
mengetahui terlebih dahulu sumbernya. Kehati-hatian harus diberikan dalam
menyampaikan informasi. Sebelum menyampaikan informasi, kita juga harus
berkonsultasi dengan mereka yang memiliki pengetahuan lebih luas dari kita dan bertanya
pada diri sendiri apakah informasi tersebut akurat atau tidak.
• Mengetahui alur informasi : kita perlu mengetahui arus informasi. Anda dapat
memulai dengan memeriksa apakah sumber informasi dapat dipercaya dan menganalisis
kontennya untuk mengetahui apakah relevan dengan informasi tersebut. Apabila sumber
dan informasi tidak berkaitan, sebaiknya kita tidak mengungkapkan informasi tersebut
karena akan menimbulkan sudut pandang yang berbeda.
• Saring terlebih dahulu sebelum sharing : Saat menerima informasi, pertama-tama
kita harus menyaring informasi tersebut dengan hati-hati untuk menghindari kesalahan.
Ketika semuanya dapat dipercaya, kami dapat berbagi informasi.
• Menyampaikan informasi secara benar : Kita harus membaca segala informasi,
mencari informasi yang asli, dapat dipercaya, berdasarkan fakta dan bermanfaat. Jadi,
jika informasi ini disampaikan, tidak akan ada hoaks atau kebohongan di dalamnya.
Maka dari itu kita perlu menyaring informasi dalam bermedia sosial untuk mengatasi
permasalahan dampak negatif dalam bermedia sosial. Ironisnya, pengguna media sosial
tidak menyaring terlebih dahulu konten yang dinikmati. Tidak jarang konten yang viral
tersebut mengarah pada bentuk provokasi untuk bersikap diskriminasi, intoleran, bahkan
eksplosif dalam beragama. Persoalan yang rumit dan kompleks di media sosial perlu
diatasi. Paradigma untuk berfikir dengan mengacu pada nilai moderasi beragama perlu
dimaksimalkan untuk mengatasi moralitas pengguna media sosial. Doktrin moderasi
beragama mengajarkan kepada masyarakat untuk selalu bersikap moderat dalam
menyikapi berbagai persoalan.
Konsep wasathiyah dalam Islam mengajarkan kepada kita untuk tidak berpihak baik
ekstrem ke kiri ataupun ke kanan. Penerapan prinsip yang adil dan berimbang dalam
bermodulasi di media sosial mampu menghilangkan ketidakadilan di kalangan pengguna
media sosial. Sikap saling menghakimi di media sosial dapat dihapuskan jika pengguna
media sosial bijak dalam bermedia sosial. Belajar dari doktrin wasathiyah yang
mengajarkan kepada manusia untuk kembali pada fitrahnya.
Prinsip nilai wasathiyah terdapat pada QS Al Baqarah ayat 143 yang berbunyi :
َ‫سطا ا ُ َّمة َج َع ْل ٰن ُك ْم َوك َٰذلِك‬ َ ‫ش َهدَ ۤا َء ِلتَ ُك ْونُ ْوا َّو‬
ُ ‫اس َع َلى‬
ِ َّ‫س ْو ُل َو َي ُك ْونَ الن‬ َ ‫َعلَ ْي َها ُك ْنتَ الَّ ِت ْي ْال ِق ْبلَةَ َج َع ْلنَا َو َما‬
َّ ‫ش ِهيْدا َعلَ ْي ُك ْم‬
ُ ‫الر‬
‫س ْو َل َّيت َّ ِب ُع َم ْن ِلنَ ْعلَ َم ا َِّّل‬
ُ ‫الر‬ ٰ
َّ ‫َت َوا ِْن َع ِقبَ ْي ِه َعلى يَّ ْنقَلِبُ ِم َّم ْن‬ ْ ‫للاُ َهدَى الَّ ِذيْنَ َعلَى ا َِّّل َل َك ِبي َْرة كَان‬ ّ ‫للاُ َكانَ َو َما‬ ّ ‫ُض ْي َع‬ِ ‫ِلي‬
‫للاَ ا َِّن اِ ْي َمانَ ُك ْم‬
ّ ‫اس‬ َ
ِ َّ‫َّر ِحيْم ل َر ُء ْوف بِالن‬
Artinya : Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan
agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad)
menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menetapkan kiblat (Baitulmaqdis) yang
(dahulu) kamu berkiblat kepadanya, kecuali agar Kami mengetahui (dalam kenyataan)
siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sesungguhnya
(pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh
Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
Refleksi prinsip wasathiyah dalam QS Al Baqarah ayat 143 tersebut dapat dicerminkan
oleh pengguna media sosial dengan mengacu pada prinsip yang adil dan seimbang. Adil
yang dimaksud adalah bersikap adil dalam memilah informasi yang benar dan
melaporkan setiap kejadian kejahatan kepada pihak yang berwajib, bukan malah
memviralkannya. Selanjutnya adalah berbuat seimbang dengan cara menanggapi
pemberitaan yang viral dari seluruh arah (tidak hanya dari satu pihak). Tidak mudah
percaya terhadap berita yang viral dan berusaha mengetahui validitas kebenarannya.
Dalam Islam, literasi informasi dengan nilai moderasi sangat ditekankan. Islam
mendorong umatnya untuk mencari pengetahuan dan informasi, tetapi dengan
mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan, toleransi, dan kesederhanaan. Moderasi
dalam mengakses, menyebarkan, dan menggunakan informasi adalah bagian dari nilai-
nilai Islam yang menekankan keseimbangan dan keadilan dalam segala hal.

Daftar Pustaka

https://kemenag.go.id/opini/belajar-toleransi-ala-rasulullah-saw-Cc7Q7
https://infopublik.id/kategori/sorot-politik-hukum/434798/hijrah-bukan-untuk-
berperang-tapi-menegakkan-keadilan-dan-perdamaian?show=
https://alhikmah.ac.id/lima-asas-dalam-hijrah/
Umam, M. H. (2013). Pandangan Islam tentang Korupsi. Teosofi: Jurnal Tasawuf Dan
Pemikiran Islam, 3(2), 462-482.
Mumtazah, H., Rahman, A. A., & Sarbini, S. (2020). Religiusitas dan Intensi Anti
Korupsi: Peran Moderasi Kebersyukuran. Journal An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi,
5(1), 101-113.
Fajriati, S. N. (2023). Moderasi Beragama Untuk Mencegah Radikalisme.
Wahyudi, D., & Kurniasih, N. (2021). Literasi Moderasi Beragama Sebagai
Reaktualisasi “Jihad Milenial” ERA 4.0. Moderatio: Jurnal Moderasi Beragama, 1(1), 1-
20.
Fitriani, F. (2022). Integrasi Nilai-Nilai Moderasi Beragama Persektif Al-Quran Melalui
Penguatan Literasi Media. Al-Fikri: Jurnal Studi dan Penelitian Pendidikan Islam, 4(2).
Kosasih, E. (2019). Literasi Media sosial dalam pemasyarakatan sikap moderasi
beragama. Jurnal Bimas Islam Vol, 12(2), 264.

Anda mungkin juga menyukai