Besarnya dampak simulasi kebijakan terhadap tingkat pendapatan rumahtangga diperoleh dari hasil simulasi model CGE. Sedangkan untuk mengetahui dampak simulasi kebijakan terhadap tingkat kemiskinan digunakan metode pengukuran Foster-Greer-Thorbecke (IGT inde) jika rata-rata pendapatan meningkat sebesar y, maka pendapatan setiap Rumah tangga dalam kelompok juga meningkat sebesar y. Dengan aturan ini, distribusi pendapatan secara proporsional akan bergeser secara horizontal di dalam pendapatan. Aturan ini mengizinkan untuk membandingkan tingkat kemiskinan yang dihasilkan pada kasus sebelum dengan sesudah simulasi. Bentuk persamaan dari FGT ini dapat dilihat pada persamaan (2.2.8), dengan a adalah derajat kemiskinan yang bersifat arbiter dan P. adalah indeks kemiskinan menurut FGT. Bila a-0, maka Pa disebut juga dengan head count index, menunjukkan proporsi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Didefinisikan sebagai persentase jumlah penduduk miskin terhadap total penduduk. Bila a -1, maka diperoleh indeks P1. Indeks ini digunakan untuk mengukur kedalaman kemiskinan atau kurang kemiskinan (depth of poverty index) atau tingkat kesenjangan kemiskinan (poverty gap index). Indeks ini menggambarkan ukuran rata-rata ketimpangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan atau total kesenjangan dari seluruh rumahtangga dalam kelompok terhadap garis kemiskinan, Bila a-2, maka diperoleh indeks Ps Indeks ini digunakan untuk mengukur tingkat keparahan kemiskinan (poverty severily index)
A. Dampak Simulasi Kebiiakan Terhadap Kinerja Ekonomi Makro
Dampak simulasi kebijakan untuk ketiga skenario (penguran subsidi BBM secara bertahap hingga mencapai nol diikuli deng pemberian BLT, kebijakan pengalihan subsidi BBM ke sektor Pertanian Tanaman pangan serla kebijakan pengalihan subsidi BBM ke sektor Pertanian Tanaman Lainnya) terhadap kinerja ckonomi makro di perlihatkan pada Tabel 10.2 Tabel 10.2 memperlihatkan bahwa kebijakan pengurangan subsidi BBM dilanjutkan dengan pemberian BIT (Sim 1_a, 1_b dan 1_c) secara umum memberikan dampak negatif terhadap kinerja ekonomi makro Semua variabel makro mengalami penurunan kecuali government saeing (delSC) dan nominal export (wexp_c). Kenaikan government savins ini terutama disebabkan surplus antara pengurangan subsidi yang dilakukan dengan BLT yang diberikan. Kenaikan nominal export adanya suatu proses pada saat terjadinya Pengurangan subsidi mengakibatkan daya beli masyarakat mengalami Penurunan karena harga-harga naik akibatnya barang barang domestik yang direncanakan untuk dikonsumsi domestik dialihkan menjadi Barang- barang ekspor sehingga nominal ekspor mengalami peningkatan. B. Dampak Kebijakan Pengurangan Subsidi BBM dikuti Pemberian Kompensasi Terhadap Tingkat Pendapatan dan Kemiskinan Ketimpangan dalam distribusi pendapatan, kesenjangan kesejahtera dan kemiskinan selalu menjadi perhatian berbagai pihak, baik perencana pembangunan, peneliti sosial, politisi maupun masyarakat Pada tingkat nasional dinamika tingkat kemiskinan di Indonesia seringkali tidak sejalan dengan tingkat pertumbuhan eckonomi Terdapat beberapa periode di mana pertumbuhan ekonomi diwarnai dengan peningkatan kemiskinan. Walaupun pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, namun tetap saja tingkat kemiskinan juga tinggi (Suselo & Tarsidin, 2008). Biro Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah penduduk miskin di tahun 2009 hampir mencapai 35,10 juta (14,14 persen), hampir sama dengan posisi pada tahun 1990 (15,10 persen) bahkan lebih rendah dari kondisi tahun 1993 (13,70 persen). Kurun waktu 1976-1996 tingkat kemiskinan menurun secara signifikan dari 40 persen menjadi sekitar 17,7 persen. Seiring dengan perbaikan perekonomian pasca krisis, tingkat kemiskinan juga menurun dari 15,12 persen di tahun 2008 menjadi 14,14 persen di tahun 2009. Meski telah terjadi penurunan yang signilfikan, tetap saja kemiskinan menjadi dilema dan masalah yang harus dipecahkan, Untuk mengatasi kemiskinan, berbagai kebijakan telah dilakukan pemerintah mulai dari jaring pengaman sosial, program padat karya, subsidi harga pangan dengan bantuan langsung berupa beras untuk keluarga miskin serta bantuan tunai langsung. Dalam RPJM 2004-2009 secara spesifik telah disebutkan bahwva target yang ingin dicapai adalah menurunkan penduduk miskin dari 16,7 persen tahun 2004 menjadi 8,2 persen tahun 2009. Untuk nAingentaskan kemiskinan tersebut pemerintah telah mengeluarkan dana yang cukup besar. Pada tahun 2004 telah dikucurkan dana mencapai Rp 18 triliun, dan kemudian meningkat menjadi Rp 23 triliun pada tahun 2005. Sementara selama periode 2006 naik hampir dua kali lipat menjadi Rp 42 triliun dan bertambah menjadi Rp 51 triliun pada tahun 2007 (Bappenas, 2007) Pada akhir Maret tahun 2009 anggaran kemiskinan sudah bertambah menjadi Rp 66,2 triliun dengan penurunan angka kemiskinan hanya sebesar 1,27 persen dari tahun 2008 (BPS, 2009). Berbagai subsidi diluncurkan pemerintah untuk meningkatkan daya beli masyarakat termasuk subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Tingginya biaya pengurangan kemiskinan ini juga telah memposisikan pemerintah pada permasalahan defisit anggaran yang terus meningkat dari tahun ke tahun, Kondisi ini akan memberi tekanan terhadap APBN terutama dani sisi pengeluaran, karena pemerintah juga harus membayar cicilan pokok dari hutang ditambah suku bunga yang berlaku.