Anda di halaman 1dari 57

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita rahmat kesehatan
dan kesempatan, sehingga bisa menyusun atau menyelesaikan penyusunan Buku ini.

Penyusun menyadari bahwa isi buku ini masih jauh dari kesempurnaan, mengingat waktu dan
kemampuan yang penyusun miliki. Karena itu kepada para pembaca, penyusun harapkan kritik
dan sarannya demi sempurnanya buku ini dimasa yang akan datang. Untuk itu penyusun
ucapkan terimakasih.

Semoga amal baik yang telah diberikan kepada penyusun, mendapat imbalan dari Allah swt.
Dan semoga buku ini dapat bermanfaat khususnya bagi peyusun dan umumnya bagi para
pembaca. Jika ternyata ada yang benar dalam buku ini maka itu semata-mata karunia dari Allah,
dan jika ada kesalahan maka itu tidak lain dari diri penyusun sendiri. Penyusun berharap kepada
para pembaca agar bersedia memberikan masukan atas apa yang dibacanya.

Medan, mei 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................i

DAFTAR ISI................................................................................................................................ii

BAB I KONSEP DAN JENIS KEMISKINAN.........................................................................1

BAB II GARIS KEMISKINAN.................................................................................................3

BAB III PENYEBAB DAN DAMPAK KEMISKINAN..........................................................3

BAB IV PERANGKAP DAN LINGKARAN KEMISKINAN...............................................4

BAB V KEMISKINAN DI INDONESIA DAN BELAHAN DUNIA.....................................6


BAB VI MENGUKUR KEMISKINAN....................................................................................6

BAB VII DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN UKURAN ......................................................7

BAB VIII KEBIJAKAN MENGURANGI KEMISKINAN....................................................

BAB IX KEBIJAKAN FISKAL: Dampaknya terhadap kemiskinan dan distribusi


pendapatan .................................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................
BAB I

JENIS KEMISKINAN

BAB II

GARIS KEMISKINAN

Pembahasan mengenai garis kemiskinan tetap saja seru untuk diperdebatkan,demikian juga
dengan studinya. Mulai dari perdebatan mengenai cara menentukannya atau menghitungnya
hingga besarannya. Sebagian orang berpendapat bahwa komponen yang menentukan garis
kemiskinan itu adalah tetap dari masa ke masa, yang berubah hanyalah besarannya bila diukur
dalam mata uang, itupun disebabkan karena penyesuaian terhadap inflasi. Sebagian lagi
berpendapat bahwa komponennya juga harus berubah seiring dengan meningkatnya kebutuhan
hidup di masa yang semakin maju.

Kemiskinan merupakan persoalan yang kompleks. Kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan
masalah rendahnya tingkat pendapatan dan konsumsi,tetapi berkaitan juga dengan rendahnya
tingkat pendidikan, kesehatan, ketidakberdayaannya untuk berpartisipasi dalam pembangunan
serta berbagai masalah yang berkenaan dengan pembangunan manusia. Dimensi kemiskinan
tersebut termanifestasikan dalam bentuk kekurangan gizi, air, perumahan yang sehat,perawatan
kesehatan yang kurang baik, dan tingkat pendidikan yang rendah.Komponen penyusun garis
kemiskinan tidak cukup hanya mengandalkan kebutuhan dasar berupa sandang, pangan, dan
papan, kebutuhan dasar itu sendiri telah meluas hingga ke aspek kesehatan, pendidikan,
keamanan, kualitas lingkungan, harapan hidup, dan lainnya.Berdasarkan latar belakang
tersebut, maka dalam makalah ini kami akan membahas lebih lagi bagaimana garis kemiskinan
yang terjadi saat ini.

A. Pengertian Garis Kemiskinan

Garis kemiskinan dapat juga diartikan sebagai tingkat pendapatan atau pengeluaran yang
ditetapkan, dimana bila pendapatan seseorang berada diwah tingkatan tersebut, maka ia
dikatakan miskin (Melbourne Institute 2012). Oleh karena itu, garis kemiskinan sangat
berpengaruh terhadap besar kecilnya angka kemiskinan.Berbagai hal akan mempengaruhi garis
kemiskinan seperti, konsep kebutuhan dasar,konsep kesejahteraan, lokasi (letak geografis), dan
tingkat harga. Andaikan yang pertama dan kedua dapat dirangkum dalam konsep utilitas. Maka
garis kemiskinan itu merupakan utilitas minimum yang harus dipenuhi oleh setiap individu agar
ia tidak termasuk dalam kategori miskin.

Demikian juga dengan jenis barang dan jasa yang dikonsumsi antar daerah akan berbeda.
Konsumsi orang Amerika dan Eropa akan berbeda dengan konsumsi orang Indonesia pada
umumnya, bahkan preferensi masyarakat Aceh tentang makanan akan berbeda dengan
preferensi masyarakat Papua.Karena perbedaan preferensi dan tingkat harga tersebut (juga
berbagai alasan lainnya, seperti konsep kebutuhan yang memasukkan pendidikan, harapan
hidup,akses informasi, dan lainnya), maka besarnya garis kemiskinan antar negara dan antar
daerah juga dapat berbeda. Demikian halnya dalam satu daerah atau negara dalam kurun waktu
yang berbeda. Seperti dikatakan Atkinson (1975), bahwa:

"it's misleading to suggest that poverty may be seen in terms on an absolute standard which may
be applied to all countries and all times, independent of the social structure and the level of
development. A poverty line as necessarily defined in relation social conventions and the
contemporary living standards of a particular society". Adalah sesuatu yang tidak mungkin
(menyesatkan) bila melihat kemiskinan itu dengan standar yang mutlak yang dapat diterapkan
untuk semua negara dan sepanjang masa, sebuah garis kemiskinan harus didefinisikan dalam
suatu hubungan sosial dan standar hidup kontemporer masyarakat tertentu.

B. Garis Kemiskinan Absolut vs Relatif


Garis kemiskinan di Indonesia sesungguhnya hampir tidak pernah berubah sejak puluhan tahun
yang lalu (garis kemiskinan menurut konsep BPS dan yang resmi dipakai di Indonesia). Karena
konsep dan definisi miskin di Indonesia tidak pernah berganti, yaitu pemenuhan kebutuhan
dasar makanan dan nonmakanan yang ukurannya selalu tetap. Yang membuat nominal garis
kemiskinan itu berubah hanyalah karena penyesuaian harga akibat adanya inflasi.

Berbeda halnya dengan beberapa negara yang tidak menganut basic needs approachs
(pendekatan kebutuhan dasar) seperti Uni Eropa, biasanya mendefinisikan masyarakat miskin
sebagai masyarakat yang memiliki pendapatan per kapita di bawah 50 persen dari angka rata-
rata (Haughton & Shahidur, 2010). Saat negara atau masyarakat semakin kaya, maka garis
kemiskinan juga akan cenderung meningkat, atau apabila pendapatan rata-rata masyarakat naik,
maka garis kemiskinan juga akan turut naik.
Bila menggunakan konsep ini, maka kemiskinan sesungguhnya tidak pernah punah dan selalu
saja ada masyarakat yang miskin. Namun bila dibandingkan dengan konsep basic needs
approach, tentu tingkat kemiskinannya akan berbeda.Penetapan garis kemiskinan $1 per hari
misalnya, akan sangat berarti bagi Indonesia dan akan menghasilkan angka kemiskinan yang
lebih tinggi dibanding yang ada saat ini, namun nilai $1 per hari untuk beberapa negara Uni
Eropa dan Amerika mungkin tidak berarti karena hampir tidak ada masyarakatnya yang
memiliki pengeluaran kurang dari $1 per hari. Pengukuran kemiskinan yang paling terkenal di
negaranegara terbelakang adalah standar hidup $ 1 sehari (mengacu pada nilai dolar di tahun
1980- an), awalnya diusulkan dengan alasan bahwa hal ini secara umum sesuai dengan jumlah
minimum dari kebutuhan akan barang-barang tersebut (Niemietz, 2011), meskipun dari sisi lain
banyak mendapat kritikan.
Garis kemiskinan merupakan cut-of point yang memisahkan antara golongan miskin dengan
tidak miskin. Terdiri dari unsur moneter seperti tingkat konsumsi tertentu dan nonomoneter
seperti tingkat melek huruf. Secara umum ada dua jenis garis kemiskinan, yaitu garis
kemiskinan relatif dan garis kemiskinan absolut.

Garis kemiskinan relatif didefinisikan dalam kaitannya dengan distribusi pendapatan atau
konsumsi dalam suatu wilayah atau negara secara keseluruhan. Misalnya garis kemiskinan
dapat ditetapkan pada 30 persen dari rata-rata pendapatan atu tingkat konsumsi suatu negara.
Katakan rata- rata pendapatan per kapita suatu negara adalah Rp 30 juta per tahun, maka semua
penduduk yang pendapatannya kurang dari 30 persen dari Rp 30 juta termasuk dalam kategori
miskin. Garis kemiskinan seperti ini akan bergeser seiring dengan berubahnya rata-rata tingkat
pendapatan masyarakatnya.

Garis kemiskinan absolut didefinisikan dalam kaitannya dengan kebutuhan dasar hidup, baik
makanan maupun nonmakanan. Kemiskinan, menurut pendekatan kemiskinan absolut, akan
turun ketika seluruh penduduk dalam satu daerah mengalami peningkatan pendapatan pada
tingkat yang sama.Penetapan besarnya garis kemiskinan sangat dipengaruhi oleh tingkat harga,
dan porsi pengeluaran masyarakat terhadap komoditas tersebut. Artinya, bila terjadi perubahan
harga dan porsi pengeluaran masyarakat terhadap komoditas tersebut,maka garis kemiskinan
akan berubah. Sebagai contoh, komoditas yang paling berpengaruh terhadap perubahan garis
kemiskinan Indonesia September 2012 dan Maret 2013 diperlihatkan pada gambar dibawah
Hal yang menarik dari Tabel 3.3 bahwa rokok kretek filter memiliki pengaruh terbesar kedua
setelah beras terhadap garis kemiskinan, baik di desa maupun di kota, baik garis kemiskinan
September 2012, maupun Maret 2013. Dari sisi lain, ini menandakan bawah masih banyaknya
penduduk Indonesia (terutama kalangan ekonomi lemah) yang mengkonsumsi rokok kretek
filter, sehingga kenaikan harga komoditi tersebut sangat berpengaruh terhadap besarnya
pengeluaran individu atau rumah tangga.

C. Bagaimana BPS Menetepkan Garis Kemiskinan di Indonesia


Garis kemiskinan makanan merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang
disetarakan dengan 2.100 kilo kalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar
makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi. Sedangkan garis kemiskinan nonmakanan merupakan
nilai kebutuhan minimum untuk perumahan,sandang, pendidikan dan, kesehatan. Paket
komoditi kebutuhan dasar nonmakanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47
jenis komoditi di pedesaan.
Dengan demikian, garis kemiskinan merupakan penjumlahan dari garis kemiskinan makanan
dan garis kemiskinan nonmakanan, atau secara matematis dituliskan:

GK= GKM+GKMN

GK adalah garis kemiskinan, GKM adalah garis kemiskinan makanan dan GKNM adalah garis
kemiskinan nonmakanan.

Data GKM dan GKNM diperoleh dari hasil survei. Secara berkala, BPS melakukan survei yang
disebut dengan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Survei dilakukan terhadap
sejumlah sampel yang dianggap dapat mewakili seluruh populasi yaitu seluruh rakyat
Indonesia.

D. Interpretasi Garis Kemiskinan


Setelah garis kemiskinan ditetapkan, terlepas dari apakah secara relatif atau absolut,maka yang
perlu dibahas selanjutnya adalah makna yang lebih luas dari garis kemiskinan tersebut. BPS
mengklasifikasikan empat kelompok masyarakat berdasarkan garis kemiskinan, yaitu kelompok
masyarakat miskin, hampir miskin,hampir tidak miskin, dan tidak miskin. Lebih jelasnya
diperlihatkan pada Gambar 3.3.

Bila pengeluaran per kapita per bulan dari seorang individu berada di bawah garis kemiskinan,
maka ia dikatakan miskin. Bila pengeluarannya berada pada kisaran 1 hingga 1,2 kali garis
kemiskinan, ia dikatakan hampir miskin. Merujuk pada konsep ini, maka penduduk yang berada
tepat pada garis kemiskinan termasuk pada kategori hampir miskin. Karena posisi dari
kelompok hampir miskin hanya sedikit di atas garis kemiskinan, maka mereka yang berada
pada kelompok ini sangat rentan terhadap kemiskinan.Penduduk yang memiliki pengeluaran
antara 1,2 hingga 1,5 kali garis kemiskinan dikelompokkan pada kategori hampir tidak miskin,
sedangkan penduduk dengan tingkat pengeluaran rata-rata per bulan per kapita di atas 1,5 kali
garis kemiskinan dianggap sebagai penduduk tidak miskin.

E. Perdebatan Garis Kemiskinan

Penetapan angka kemiskinan seringkali menjadi perdebatan. Bila ditelusuri,perdebatan tersebut


berawal dari konsep yang dianut dalam menentukan kemiskinan itu sendiri. Konsep tersebut
akhirnya menurunkan garis kemiskinan,yaitu suatu ambang batas yang menentukan apakah
seseorang dapat dikatakan miskin atau tidak. Indonesia, melalui BPS mengukur kemiskinan
menggunakan pendekatan basic needs approach, yaitu kemampuan memenuhi kebutuhan
dasar.Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelum ini bahwa penetapan garis kemiskinan oleh
BPS didasarkan pada kebutuhan makanan dan nonmakanan. Kebutuhan minimum makanan
(yaitu 2100 kilo kalori per kapita per hari) diwakili oleh 52 jenis komoditi, sedangkan
kebutuhan dasar nonmakanan diwakili oleh 51 jenis komoditi untuk perkotaan dan 47 jenis
komoditi untuk pedesaan. Harga-harga komoditi tersebut selanjutnya dikonversi menjadi garis
kemiskinan yang dinyatakan dalam rupiah. Secara berkala BPS melakukan pemantauan
terhadap harga-harga tadi untuk melakukan penyesuaian besarnya garis kemiskinan.

Di sinilah letak perdebatannya, sehingga memunculkan beberapa kritik dan pertanyaan dari
berbagai kalangan, antara lain: (1) sebagian menyatakan bahwa garis kemiskinan yang
ditetapkan terlalu rendah, sehingga jumlah orang miskin diIndonesia menjadi kecil, apalagi bila
dibandingkan dengan garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Bank Dunia, (2) sebagian lagi
mengkritik pendekatan yang digunakan untuk menetapkan garis kemiskinan tersebut, yang
didasarkan pada basic needs approach, (3) lainnya justru mengkritik cara pengambilan sampel
yang digunakan dalam menentukan angka kemiskinan di Indonesia, dan banyak lagi yang
lainnya.
Berkenaan dengan ukuran kemiskinan yang ditetapkan dan dilakukan oleh BPS menggunakan
pendekatan kebutuhan dasar. Pertanyaannya, bagaimana dengan masyarakat di desa atau yang
berada di pedalaman. Dari si pemenuhan kebutuhan gizi, bisa saja mereka memenuhi kebutuhan
minimal 2100 kilo kalori per kapita perhari, dapat hidup damai, menjalankan aktivitas
kemasyarakatan sesuai dengan lingkungannya. Dari pemenuhan kebutuhan dasar mereka tidak
miskin, tetapi miskin dari sisi yang lain karena terisolir, terbelakang dari berbagai hal. Apakah
mereka ini diukur sebagai orang miskin atau tidak? Memandang permasalahan yang diutarakan
tadi, maka pendekatan yang dilakukan oleh BKKBN dalam menentukan masyarakat miskin
mungkin lebih realistik karena dapat berlaku secara umum. Misalnya, keluarga prasejahtera
atau sangat miskin, yaitu keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya (basic-
needs) secara minimal, seperti kebutuhan spiritual, pangan, dan kesehatan, tak perduli darimana
dan bagaimana cara memenuhi kebutuhan tersebut, apakah dibeli atau dari milik sendiri.
Walaupun beberapa indikator yang digunakan sulit untuk dikuantifikasi dan mengandung unsur
subjektif, namun cara pendekatan yang demikian lebih bermakna dan lebih realistik. Selain itu,
dengan karakteristik wilayah dan masyarakat Indonesia yang sangat majemuk, akan sangat sulit
menentukan sampel yang tepat untuk mewakili seluruh populasi yang ada. Mengambil dua
kecamatan dari 33 kabupatan/kota di provinsi Sumatera Utara misalnya akan mengalami
kesulitan, karena Sumatera Utara memiliki masyarakat dan budaya yang sangat heterogen,
sedangkan masalah kebutuhan dasar seperti makanan dan pola konsumsi sangat dipengaruhi
oleh kebiasaan dan budaya.

Namun, penggunaan garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan dasar memang relatif mudah
diterapkan dibanding dengan pendekatan seperti yang digunakan oleh BKKBN, terlebih untuk
Indonesia dengan wilayah yang sangat luas. Selain itu, survei yang dilakukan oleh BPS untuk
mendapatkan data kemiskinan juga perlu diperketat,artinya benar-benar disurvei dengan baik
sehingga data yang diperoleh relatif lebih valid.

F. Model Pengukuran Kemiskinan Lainnya

Selain konsep pemenuhan kebutuhan dasar seperti yang digunakan oleh BPS, terdapat beberapa
model pengukuran kemiskinan lainnya yang pernah digunakan di Indonesia, seperti model
konsumsi pangan setara beras oleh Sayogyo, dan model kesejahteraan keluarga yang dipelopori
oleh BKKBN.
Pada tahun 1970-an, Prof. Sayogyo mencoba mengukur tingkat kemiskinan di Indonesia. Garis
kemiskinan ditetapkan menggunakan metode ekuivalensi daya beli beras berdasarkan dugaan
pengukuran pendapatan.
Menurut BKKBN, yang tergolong ke dalam keluarga miskin adalah keluarga prasejahtera dan
prasejahtera I. Keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan
yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan materiil yang layak, bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antara
anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungan. Ketika pemerintah melakukan
kebijakan kontraktif pasca Orde Baru, misalnya kebijakan mengurangi subsidi BBM dengan
cara menaikkan harga jualnya, maka akan berdampak terhadap penambahan jumlah masyarakat
miskin. Untuk mengurangi dampak tersebut, pemerintah mengambil kebijakan tambahan yang
bersifat ekspansif dan hanya ditujukan bagi masyarakat miskin atau masyarakat yang akan
dapat jatuh miskin bila terkena dampak tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya kriteria untuk
menentukan dan memilih siapa yang berhak (terkadang pemerintah juga menyebutnya dengan
keluarga miskin, meskipun kriterianya berbeda dengan miskin yang diartikan pemerintah di luar
kegiatan ini) mendapatkan bantuan tersebut. Untuk keperluan ini. BPS menyusun beberapa
indikator dan kriteria sebagai berikut:

1. Luas lantai rumah kurang dari 8 meter persegi


2. Jenis lantai terluas terbuat dari kayu murahan, tanah, bambu.
3. Jenis dinding bangunan (tembok tanpa pelester, bambu, rumbia).
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar.
5. Tidak memiliki akses pada sumber air minum yang layak.
6. Sumber penerangan utama bukan listrik.
7. Bahan bakar untuk masak bersumber pada kayu dan arang.
8. Tidak mampu membeli daging, susu, telur, dan ikan minimal dalam 1minggu sekali.
9. Makan kurang dari 2 kali sehari.
10. Tidak mampu membeli pakaian baru minimal 1 stel per tahun.
11. Tidak mampu membayar untuk berobat ke sarana kesehatan modern.
12. Pendapatan kurang dari Rp.600.000,- per rumah tangga per bulan.
13. Pendidikan tinggi yang ditamatkan kepala rumah tangga SD ke bawah.
14. Kepemilikan tabungan/aset kurang dari Rp.500.000,-

Dalam hal ini, yang disebut keluarga miskin adalah keluarga atau masyarakat yang memiliki
minimal 9 dari 14 indikator di atas.

G. Pengukuran Kemiskinan Lembaga Internasional


Seperti yang telah kita bahas pada Bab 2 ini, bahwa pengertian kemiskinan itu sangat beragam,
demikian juga dengan model pengukurannya. Lembaga- lembaga internasional turut
mengembangkan berbagai ukuran yang dapat mencerminkan kemiskinan yang terjadi. Ukuran-
ukuran tersebut seperti, indeks harapan hidup,indeks melek huruf, indeks kematian ibu dan
bayi, indeks pembangunan manusia,
indeks kemiskinan dan lainnya. Ukuran-ukuran tersebut mencoba melihat kemiskinan dari sisi
yang lebih luas seperti kualitas hidup dan bukan hanya dari sisi pemenuhan kebutuhan dasar.
Sejak tahun 2010, UNDP tidak lagi mengeluarkan ukuran tersebut. Sebagai gantinya UNDP
mengeluarkan empat indeks yang berhubungan dengan kemiskinan. Keempat indeks tersebut
adalah: (1) Human Development Index (HDI), (2) Inequality-adjusted Human Development
Index (HDI), (3) Gender Inequality Index (GII), dan (4) Multy Dimensional Poverty Index
(MPI). Sejak tahun 2010, HDI dikur dengan cara yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.
Meskipun dengan dimensi yang tetap sama, yaitu hidup yang panjang dan sehat,akses terhadap
pengetahuan, dan standar hidup layak, namun ukurannya menggunakan indeks rata-rata
geometri yang dinormalisasi untuk setiap dimensi.
Dengan demikian, kita tidak dapat membandingkan capaian HDI sebelum tahun

2010 dan sesudahnya. IHDI mengukur ketidakmerataan distribusi masing-masing dimensi dari
HDI. Menurut Technical Notes yang dikeluarkan oleh UNDP (2010, 2013), IHDI didasarkan
pada distribusi kelas sensitif dari indeks komposit yang diusulkan oleh Foster, Lopez-Calva dan
Szekely, dan mengacu pada Atkinson. Ini dihitung menggunakan rata-rata geometri untuk
setiap dimensi. Dalam hal ini, IHDI merupakan tingkat aktual dari pembangunan manusia
(dengan memperhitungkan ketimpangan distribusi),sedangkan HDI dapat dipandang sebagai
indeks potensial pembangunan manusia yang dapat dicapai jika tidak ada ketimpangan.GII
mencerminkan kekurangan (disadvantages) dalam tiga dimensi, yaitu kesehatan reproduksi,
pemberdayaan, dan pasar tenaga kerja. GII menunjukkan kekurangan atau kerugian dalam
pembangunan manusia akibat ketimpangan gender. Indeks ini diukur menggunakan asosiatif
sensitif. MPI mengukur beberapa kerugian atau kehilangan (deprivations) individu atau
rumahtangga terhadap ketiga dimensi. MPI mencerminkan kekurangan mutidimensi dan
merupakan gambaran komprehensif tentang orang miskin. MPI adalah ukuran menggantikan
HPI (human poverty index) yang telah dirilis sejak tahun 1997 hingga tahun 2009. HPI
menggunakan data kekurangan agregat suatu negara terhadap ketiga dimensi, sehingga HPI
tidak dapat mengidentifikasi individu dan rumahtangga. Kategori miskin dalam MP'I adalah
mereka yang mengalami kekurangan minimal 33,3 persen dari indikator tertimbang.
BAB III

PENYEBAB DAN DAMPAK KEMISKINAN

Kemiskinan merupakan masalah utama yang ingin dituntaskan oleh berbagai negara di seluruh
dunia. Negara Indonesia yang merupakan negara berkembang berusaha untuk menurunkan
kemiskinan.Oleh karena itu, upaya penanggulangan kemiskinan harus dilakukansecara
komprehensif, meliputi berbagai aspek kehidupan masyarakat dan dilaksanakan secaraterpadu.
Pengentasan kemiskinan akan menjadi salah satu indikator penting dari keberhasilan
pembangunan.

Kemiskinan juga membuat jutaan anak- anak bangsa tidak bisa melanjutkan pendidikan yang
berkualitas, kurangnya kesempatan menatap dan berinvestasi, kesulitan membiayai kehidupan
sehari -hari, kesulitan dalam membiayai kesehatan, kurangnya lapangan
pekerjaan,ketidakmampuan dalam membeli pangan dan sandang, dan kurangnya akses layanan
publik.Kemiskinan juga menyebabkan masyarakat mengorbankan apa saja demi sebuah
kebutuhanhidup sehingga masyarakat rela dibayar tidak sepadan demi mendapatkan pendapatan
untukkebutuhan hidup. Pemerintah Indonesia menyadari bahwa pembangunan nasional adalah
salahsatu upaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Sejalan dengan tujuan
tersebut,berbagai kegiatan pembangunan telah diarahkan kepada pembangunan daerah
khususnya daerahyang relatif miskin terus dari tahun ke tahun. Pembangunan daerah dilakukan
secara terpadudan berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing masing daerah
dengan dasar dan sasaran pembangunan nasional yang telah ditetapkan melalui pembangunan
jangka panjang dan jangka pendek.
A. PENYEBAB KEMISKINAN
Seperti diutarakan pada beberapa bagian terdahulu, bahwa kemiskin merupakan suatu
kajian yang menarik minat banyak orang. Oleh karena pengertian, definisi, penyebab,
dampak, metode pengukuran dan can mengatasinyapun berbeda-beda sesuai dengan
pendapat dan sudu pandangnya. Spicker (2002), berpendapat bahwa penyebab
kemiskina dapat dibagi dalam empat mazhab, yaitu:
1. Individual explanation, mazhab ini berpendapat bahwa kemiskinan cenderung
diakibatkan oleh karakteristik orang miskin itu sendin Karakteristik yang dimaksud
seperti malas dan kurang sungguh- sungguh dalam segala hal, termasuk dalam
bekerja. Mereka juga sering salah dalam memilih, termasuk memilih pekerjaan,
memilih jalan hidup, memilih tempat tinggal, memilih sekolah, dan lainnya.
2. Familial explanation, mazhab ini berpendapat bahwa kemiskinan 1 disebabkan oleh
faktor keturunan. Tingkat pendidikan orang tua yang rendah telah membawa dia ke
dalam kemiskinan. Akibatnya ia juga tidak mampu memberikan pendidikan yang
layak kepada anaknya sehingga anaknya juga akan jatuh pada kemiskinan, Demikian
secara terus menerus dan turun temurun.
3. Subcultural explanation, menurut mazhab ini bahwa kemiskinan dapat disebabkan
oleh kultur, kebiasaan, adat-istiadat, atau akibat karakteristik perilaku lingkungan.
Misalnya, kebiasaan yang bekerja adalah kaum perempuan, kebiasaan yang enggan
untuk bekerja keras dan menerima apa adanya, keyakinan bahwa mengabdi kepada
para raja atau orang terhormat meski tidak diberi bayaran dan lainnya yang berakibat
pada kemiskinan. Terkadang orang seperti ini justru tidak merasa miskin karena
sudah terbiasa dan memang kulturnya yang membuat demikian.
4. Structural explanations, mazhab ini menganggap bahwa kemiskinan timbul akibat
dari ketidakseimbangan, perbedaan status yang dibuat oleh adat istiadat, kebijakan,
dan aturan lain menimbulkan perbedaan hak untuk bekerja, sekolah dan lainnya
hingga menimbulkan kemiskinan di antara mereka yang statusnya rendah dan
haknya terbatas.

Isdjoyo (2010), membedakan penyebab kemiskinan di desa dan di kota Kemiskinan di


desa terutama disebabkan oleh faktor-faktor antara lain :

1. Ketidakberdayaan. Kondisi ini muncul karena kurangnya lapangan kerja,rendahnya


harga produk yang dihasilkan mereka, dan tingginya biayapendidikan.
2. Keterkucilan, rendahnya tingkat pendidikan, kurangnya keahlian, sulitnya
transportasi, serta ketiadaan akses terhadap kredit menyebabkan mereka terkucil dan
menjadi miskin.
3. Kemiskinan materi, kondisi ini diakibatkan kurangnya modal, dan minimnya lahan
pertanian yang dimiliki menyebabkan penghasilan mereka relatif rendah.
4. Kerentanan, sulitnya mendapatkan pekerjaan, pekerjaan musiman, dan bencana
alam, membuat mereka menjadi rentan dan miskin.
5. Sikap, sikap yang menerima apa adanya dan kurang termotivasi untuk bekerja keras
membuat mereka menjadi miskin.

Kemiskinan di kota pada dasarnya disebabkan oleh faktor-faktor yang sama dengan di
desa, yang berbeda adalah penyebab dari faktor-faktor tersebut misalnya faktor
ketidakberdayaan di kota cenderung disebabkan oleh kurangnya lapangan kerja, dan
tingginya biaya hidup.

B. PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN


Benarkah pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan positif dengan pengurangan angka
kemiskinan? Pertanyaan ini telah mengalami pengujian yang panjang, Hasil dari
berbagai penelitian menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan
pendapatan per kapita dan akhirnya mengarah pada penurunan angka kemiskinan
(Dollar and Kraay, 2001; Field, 1989).
Penelitian kebijakan menunjukkan bahwa laju pengurangan kemiskinan sangat
bergantung pada tingkat pertumbuhan pendapatan rata-rata, kondisi awal dari
ketimpangan, dan tingkat perubahan dari ketimpangan tersebut (Klassen, 2005)
Pengurangan kemiskinan akan semakin cepat terjadi di negara-negara dengan tingkat
pertumbuhan pendapatan rata-rata yang lebih tinggi (Dollar and Kra 2002), dan tingkat
kesenjangan yang rendah.
Pandangan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi kemiskinan awalnya
didasari pada teori trikle down effect yang menyebutkan adanya bagian yang menetes ke
bawah dari kelompok kaya ke kelompok miskin. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi
akan meningkatkan kapasitas perekonomian, menciptakan lapangan kerja baru,
meningkatkan pendapatan per kapita (berarti mengurang kemiskinan), menaikkan
permintaan dan penawaran, dan seterusnya berputar mengikuti mekanisme
perekonomian. Berdasarkan konsep ini, tujuan pembangunan di era tahun 1950-an dan
1960-an adalah menciptakan pertumbuhan yang tinggi. Konsep ini juga dianut oleh
Indonesia di era pemerintahan Presiden Suharto.
Menggunakan model CGE, studi yang dilakukan Fare dan War (20) mengkaji
bagaimana pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi kemiskinan di Indonesia. Studi ini
menyimpulkan bahwa jika semakin besar pertumbuhan yang dapat meningkatkan return
terhadap faktor yang merupakan sumber pendapatan bagi kaum miskin, maka semakin
besar pula kemungkinan untuk menurunkan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan.
Perbedaan sumber pertumbuhan akan mempengaruhi kemiskinan dan distribusi
pendapatan secara berbeda, sebab mereka akan mempengaruhi pendapatan faktor secara
berbeda dan karena yang miskin dan yang tidak miskin juga memiliki proporsi yang
berbeda.
Simatupang dan Dermoredjo (2003) dalam studinya menemukan bahwa (1) dampak
produk domestik bruto (PDB) terhadap insiden kemiskinan bervariasi menurut sektor;
(2) PDB sektor pertanian memiliki dampak lebih besar terhadap kemiskinan di
pedesaan, sedangkan kemiskinan di perkotaan dominan dipengaruhi oleh PDB sektor
industri; (3) PDB sektor lain (nonpertanian dan industri) juga berpengaruh terhadap
kemiskinan di pedesaan; (4) insiders kemiskinan juga dipengaruhi oleh harga beras; (5)
strategi pembangunan yang menitikberatkan pada pembangunan di sektor pertanian
(agricultural sector led- development) khususnya sektor tanaman pangan akan lebih
efektif untuk pengentasan kemiskinan.
disimpulkan bahwa pembangunan industri yang berorientasi pada komoditas pertanian
lebih tinggi dan signifikan pengaruhnya terhadap kenaikan GDP riil Indonesia
dibandingkan dengan pembangunan industri yang berorientasi pada pengolahan
makanan dan industri ringan. Dani aspek distribusi pendapatan, pengaruh kenaikan GDP
lebih besar dampaknya terhadap perubahan pendapatan kelompok rumahtangga yang
berpendapatan rendah, baik di sektor pertanian maupun di sektor non pertanian.

C. PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KESEJAHTRAAN


Komlos dan Salomon (2005) menjelaskan implikasi dari pertumbuhan ekonomi
terhadap kesejahteraan, menggunakan fungsi utilitas yang saling berhubungan dengan
eksternalitas negatif dalam konsumsi yaitu "kecemburuan". Dalam teori ekonomi
konvensional, fungsi utilitas dari para pelaku ekonomi umumnya diasumsikan bebas
dari konsumsi orang lain, artinya tingkat utilitas atau kepuasan seseorang dalam
mengkonsumsi suatu barang dan jasa tidak bergantung pada tingkat kepuasan orang
lain. Oleh karena itu semakin banyak konsumsi biasanya mengarah kepada tingkat
kebahagiaan yang semakin tinggi pula.
Sekarang, kita asumsikan bahwa individu tidak berfikir dan bertindak dengan cara yang
sama dengan individu lain, baik dalam satu kelompok maupun tidak. Kemudian, standar
kekayaan ditentukan dari perbandingan dengan orang lain, seperti kerabat, teman,
tetangga, dan lainnya. Bila terjadi kenaikan konsumsi yang menyebabkan perbedaan
relatif di antara mereka menjadi mengecil bahkan hilang, maka terkadang seseorang
atau orang kaya tidak lagi menjadi senang. Inilah yang dimaksud dengan eksternalitas.
Negatif dari konsumsi. Artinya ketika seseorang merasa puas, orang lan justru dapat
saja menjadi cemburu dan ini. Utilitas juga memik eksternalitas yang positif, misalnya
ketika seorang ayah melihat anakny merasa puas dan senang, maka ia juga turut merasa
puas dan senang.
Komlos dan Salomon (2005), dalam kajiannya mengasumsikan bah andaikan
masyarakat terdiri dari dua individu, yaitu A dan Menggunakan fungsi Cobb-Douglas,
andaikan fungsi utilitas ked individu saling tergantung (interdependent) satu sama lain
dalin mengkonsumsi barang X, sehingga fungsi utilitas kedua individu dituliskan seperti
pada persamaan.

D. ELASTISITAS KEMISKINAN, KETIMPANGAN SERTA PERTUMBUHAN


YANG PRO-POOR
Tanggapan kemiskinan terhadap perubahan pertumbuhan ekonomi, sering disebut
dengan elastisitas kemiskinan. Elastisitas ini memperkirakan perserie perubahan
kemiskinan yang disebabkan perubahan sebesar satu persen dalan pendapatan per
kapita.
Squire (1993), dalam kajiannya menemukan bahwa kenaikan pertumbuha ekonomi
sebesar 10 persen dapat mengurangi kemiskinan sebesar 24 persen Penelitian yang sama
dilakukan oleh Bruno et al (1998), dengan sampe sebanyak 20 negara, menggunakan
data tahun 1984-1993. Mereka menemukan bahwa peningkatan 10 persen pertumbuhan
ekonomi dapat dikaitkan dengan penurunan tingkat kemiskinan sebesar 21,2 persen.
Ravallion dan Chen (1997) melakukan penelitian menggunakan regresi data lintas
negara dari 62 negan berkembang. Mereka menemukan bahwa rata-rata kenaikan 1
persen dalam pendapatan per kapita menyebabkan turunnya 3,1 persen penduduk miski
(yang hidup di bawah $1 per hari).
Tentu saja hasil tersebut tidak sama untuk setiap negara dan setiap saat, karen sangat
bergantung pada berbagai hal, seperti kondisi awal pembangunan ekonomi dan
ketimpangan suatu negara (Klassen, 2005).
Tumbuhan ekonomi yang cepat, dapat menyebabkan penurunan kemiskinan yang lebih
lambat atau bahkan menambah angka kemiskinan. Hal ini sangat gantung pada seberapa
besar dampak pertumbuhan terhadap pembentukan ketimpangan. Bila pertumbuhan
yang terjadi diiringi dengan meningkatnya pangan, maka kemiskinan akan bertambah,
dan sebaliknya.
Suatu pertumbuhan dikatakan pro-poor bila pertumbuhan tersebut dapat gurangi
ketimpangan yang ada. Ini berarti bahwa, manfaat pertumbuhan sebut dapat dinikmati
lebih proporsional oleh masyarakat miskin dari pada yang tidak miskin. Bila yang
terjadi adalah pertumbuhan yang pro-poor, maka pengurangan kemiskinan akan dapat
dilakukan lebih cepat.

E. PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN DI INDONESIA


Pembangunan ekonomi dalam tatanan kebijakan pada umumnya diartikan sebagai
pencapaian pertumbuhan yang tinggi dan pemerata Pertumbuhan ekonomi saja
kemungkinan hanya akan menguntung sebagian kecil masyarakat dan meninggalkan
sebagian besar masyarakat miskin. Sedangkan mengutamakan pemerataan saja tanpa
pertumbuh ekonomi yang tinggi, tidak akan dapat meningkatkan kesejahteraan atau
hanya berputar pada pemerataan kemiskinan. Oleh kerana itu kebijak ekonomi suatu
negara harus disusun untuk lebih pro-growth (mem pertumbuhan ekonomi), pro-job
(memperluas lapangan kerja) dan prepr (mengurangkan kemiskinan) (Maipita et al.
2010).
Jika dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi, kondisi perkembang perekonomian
Indonesia sejak Pembangunan Lima Tahun I (Pelita 1) hing Pelita IV sangat
mengagumkan, sehingga Indonesia disebut satu di antara “Asian Miracle” stabilitas
ekonomi makro yang terjamin pada masa tersebut telah mencungkil pertumbuhan
ekonomi yang signifikan yang juga di ikuti oleh pertumbuhan pendapatan perkapita dari
US $ 56.68 tahun 1968 menjadi lebih dari US $ 1,000 pada tahun 1997. Tetapi akibat
krisis moneter pendapatan perkapita turun menjadi US $ 640 tahun 1998 dan US $ 580
pada tahun 1999.
Perkembangan struktur ekonomi Indonesia selama tiga dekade sebelum krisis tahun
1997 tersebut didorong oleh beberapa kebijakan pokok yang ditempuh pemerintah
dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi seperti: reformasi stabilitas, reformasi
perpajakan, reformasi perdagangan, reformasi tersebut telah menghasilkan pertumbuhan
GDP (Gross Domestic Product) modal luar negeri, dan reformasi sektor keuangan.
Pelaksanaan reformasi yang signifikan hingga masa krisis ekonomi tahun 1997.
BAB IV
PERANGKAP DAN LINGKARAN KEMISKINAN

Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang bersifat multidimensi.


Kemiskinan merupakan persoalan kompleks yang terkait dengan berbagai dimensi yakni
sosial, ekonomi, budaya, politik serta dimensi ruang dan waktu. Kemiskinan didefinisikan
sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak
terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang
layak. Hak- hak dasar terdiri dari hak-hak yang dipahami masyarakat miskin sebagai hak
mereka untuk dapat menikmati kehidupan yang layak dan hak yang diakui dalam peraturan
perundang- undangan. Hak-hak dasar yang diakui secara umum tersebut antara lain meliputi
terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih,
pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau
ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik
bagi perempuan maupun laki-laki (Bappenas,2004).

Untuk saat ini konsep kemiskinan yang digunakan oleh BPS adalah konsep ekonomi,
dimana kemiskinan merupakan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar. Pendekatan
pemenuhan kebutuhan dasar versi BPS ini sejalan dalam buku “The End of Poverty” (Sachs,
2005) yang menjelaskan bentuk kemiskinan ini sebagai “the extreme poverty”. Menurutnya,
bentuk kemiskinan dalam konteks ini merupakan ketidakmampuan seseorang, suatu keluarga,
atau sekelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya baik itu dalam soal
pangan maupun non pangan.Dalam soal non pangan,menyangkut pula di
dalamnyaadalahpendidikan dasar, kesehatan, perumahan, serta kebutuhan transportasi
(Pratomo,2008).

A. Perangkap & Lingkaran Kemiskinan

Lingkaran kemiskinan (vicious cycles of poverty) atau perangkap kemiskinan (poverty


trap) telah lama menjadi perhatian para ekonom dan pembuat kebijakan (Kraay & Claudio,
2007). Berbagai penelitian dilakukan untuk menjawab berbagai pertanyaan, seperti: apa
sesungguhnya yang dimaksud dengan perangkap kemiskinan?Kapan terjadi,apa
penyebabnya, serta bagaimana mengatasinya?

Konsep perangkap kemiskinan merupakan suatu jawaban dari pertanyaan "mengapa


sebagian negara mengalami peningkatan kesejahteraan yang cepat sedangkan sebagian lagi
justru masih berkutat dan berputar di sekitar kemiskinan?"

PerangkapKemiskinan
Perangkap kemiskinan adalah suatu mekanisme yang membuat orang miskin tetap
miskin atau bahkan lebih miskin. Semakin lama, mekanisme ini akan semakin kuat dan sulit
bagi si miskin untuk keluar dari kondisinya bila mata rantai dari mekanisme tersebut tidak
diputuskan. Perangkap kemiskinan merupakan hal yang sering menjadi masalah di berbagai
negara (Nurske, 1952). Kapasitas yang kecil dalam tabungan mengakibatkan pendapatan riil
yang rendah. Pendapatan riil berkaitan dengan produktivitas yang rendah pula. Bila keadaan
ini berjalan yang rendah. Semakin lama, maka kondisi ini dapat mengakibatkan kekurangan
kapital(modal).Kekuranganmodalselanjutnyamengakibatkaninvestasiyangrendahproduksi
yang rendah dan tingkat kapasitas tabungan yang rendah pula. Mekanisme ini akan terus
berputar dan sulit untuk keluar darinya, bila mata rantainya tidakdiputuskan.
Konsep lain, diajukan oleh Chambers (1983). Menurutnya, terdapat 5 (lima) keadaan
kurang menguntungkan yang saling terkait, sehingga individu, keluarga atau masyarakat sulit
untuk keluar dari perangkap kemiskinan. Kelima keadaan yang tidak menguntungkan tersebut
adalah: (1) kelemahan dalam hal fisik (physical weaknesses), (2) rentan terhadap suatu
guncangan(vulnerability),(3)terisolasi(isolation),(4)ketidakberdayaan(powerlessness),dan

(5) kemiskinan itu sendiri (poverty). Kelima komponen tersebut saling terkait antara satu
dengan yang lainnya.

Kemiskinan dapat menyebabkan kurangnya asupan gizi dan perawatan kesehatan


sehingga berdampak pada fisik yang lemah. Ora ng-orang miskin apalagi lemah dalam fisik
akan rentan terhadap perubahan situasi. Sedikit gejolak perekonomian akan membawa
mereka jauh dari keadaan semula. Guncangan kebijakan kenaikan harga energi misalnya,
langsung menempatkan mereka menjadi lebih miskin.Bila sakit dan tidak bekerja hanya
dalam satu atau beberapa hari, ekonomi rumah tangga langsung mengalami situasi yang
sangat sulit. Kemiskinan juga dapat membuat keputusasaan, pasrah menerima apa adanya dan
tidak tahu harus berbuat apa untuk keluar dari kondisi tersebut.

Isolasi yang dimaksud di sini bukan hanya secara fisik tetapi juga secara psikis.
Masyarakat miskin sering tinggal di daerah yang terisolasi secara fisik, tempat- tempat yang
sulit dijangkau,misalnya didesa,daerah terpencil,kalau pun dikota namun berada dipinggiran
sungai, kawasan padat dan kumuh yang aksesnya sulit dan tidak memadai.

Masyarakat miskin biasanya terisolasi dari berbagai informasi dan akses seperti akses
terhadap perbankan, akses terhadap layanan kesehatan yang memadai pendidikan yang
berkualitas, kemajuan teknologi, dan banyak hal lain yang berhubungan dengan fasilitas
kesejahteraan.

Para balita sering tidak mendapatkan imunisasi yang lengkap dan berkualitas. Anak-
anakusiasekolahtidakmendapatkanlayanansekolahyangmemadai,merekapuntidakberdaya
untuk menghindar dari kesulitan yang mereka hadapi serta eksploitasi yang mereka rasakan
dan tidak berdaya menentukan nasib merekasendiri.

Ide dasar dari perangkap kemiskinan didasarkan pada teori multi keseimbangan
dinamis (theory of multiple dynamic equilibria), terutama pada keseimbangan tingkat rendah,
sehingga hipotesis perangkap kemiskinan dapat dipelajari dan dianalisa pada skala mikro,
sepertiindividudanrumahtangga,danpadaskalamakrosepertidaerahdanbangsa.Perangkap
kemiskinan juga dapat ditelusuri melalui kelompok etnis, daerah geografi, dan lainnya (Hien,
2011).
Dalam konteks increasing return, dapat menimbulkan kemungkinan terjadinya
beberapa keseimbangan (multiple equilibria). Dalam kondisi ini, suatu negara miskin akan
mencapai tingkat keseimbangan yang rendah dan terperangkap pada kemiskinan. Intervensi
pemerintah berpotensi dapat memecahkan masalah tersebut dan mendorong ekonomi menuju
keseimbangan yang lebih baik serta memungkinkan tinggal landas menuju pertumbuhan yang
berkelanjutan.

Dengan berbagai model, pertanyaan "mengapa sebagian negara mengalami


pertumbuhan yang stagnan sementara sebagian negara lagi justru sebaliknya? telah banyak
dijawabolehparapenelitiperangkapkemiskinan,seperti:Easterly(2006),menjelaskanbahwa
terdapat tiga sumber perangkap kemiskinan, yaitu: (1) tabungan yang rendah saat tingkat
pendapatan rendah, (2) fungsi produksi yang tidak konveks (non-convexities in theproduction

function), dan (3) perangkap Malthus. Romer (1986), Lucas (1988) dan Azariadis & Drazen
(1990), menemukan adanya perangkap kemiskinan bila tenaga kerja, kapital, dan teknologi
kurang dari ambang batas tertentu. Becker, et al (1990), Basu (1999) menemukan bukti
demografis dan perangkap angkatan kerja dapat menyebabkan perangkap kemiskinan
Barientos (2007) meneliti hubungan kerentanan dengan perangkap kemiskinan. Hien (2011),
menyimpulkan terdapat empat kemungkinan penyebab utama perangkap kemiskinan, yaitu
kegagalan pasar, eksternalitas, risiko atau guncangan, dan kondisi awal.

Tingkat pendapatan awal dan distribusi pendapatan, juga dapat mempengaruhi


perangkap kemiskinan. Gambar 1.1 memperlihatkan beberapa dinamika distribusi pendapatan
dan kaitannya dengan perangkap kemiskinan.

Gambar 1.1 Dinamika Distribusi Pendapatan dan Perangkap Kemiskinan

Kurva A menunjukkan pola distribusi pendapatan yang tidak linear tetapi tidak
mengalami perangkap kemiskinan karena kurva tersebut terletak diatas garis 45 derajat.Kurva
B mengalami perangkap kemiskinan ketika pendapatan kurang dari ambang Y. Namun,ketika
pendapatan lebih besar dari ambang batas Y,maka ia akan terlepas dari perangkap kemiskinan
dan akan bergerak menuju titik keseimbangan yang lebih tinggi. Kurva C memperlihatkan
kondisi dalam perangkap kemiskinan dan akan tetap konvergen menuju titik keseimbangan
yang lebih rendah. Sedangkan kurva D merupakan kasus perangkap kemiskinan yangekstrim,
dan konvergen menuju pendapatan yang sangat rendah (menuju nol).

Perangkap Kemiskinan dengan Model NeoKlasik


Misalkan pada model pertumbuhan Neo Klasik bahwa output per kapita adalah q,
dengan fungsi produksi q=Af(k). A merupakan total faktor produktivitas, dan k adalah rasio
antara modal (kapital) dengan tenaga kerja, maka tingkat akumulasi kapital dapat dituliskan
sebagai berikut.
𝑑𝑘
=sAf(k) - (n+б)k
𝑑𝑡

smerupakan tabungan,бtingkat depresiasi dari kapital,dan n merupakan tingkat pertumbuhan


populasi.

(n+б)k merupakan rasio antara modal dengan tenaga kerja, disebut dengan capital
deepening, sama dengan jumlah tabungan per kapita yang diperlukan untuk menjamin agar
rasio antara modal dengan tenaga kerja tetap konstan seiring dengan terjadinya pertumbuhan
populasi dan depresiasi kapital.

Perekonomian akan tumbuh sepanjang tabungan per kapita melebihi capital


deepening sAf(k)-(n+б)k.Jika terjadi sebaliknya, yaitu tabungan perkapita kurang dari capital
deepening maka output per kapita akan turun, dan pertumbuhan ekonomi akan menurun.
Dalam model neo klasik standar, kondisi ini diperlihatkan pada Gambar 1.2.

Gambar 1.2: Model Pertumbuhan Neo Klasik Standar

Gambar ini memperlihatkan bahwa ekonomi akan selalu tumbuh hingga mencapai
titik keseimbangan saat kapital sebesar ka, output sebesar qa dan saat tabungan sebesar sa.
Titik keseimbangan ini disebut juga dengan titik keseimbangan mapan (steady state).

Ketika keseimbangan mapan terjadi, tabungan per kapita akan sama dengan capital
deepening sAf(k) - (n+б)k. Perhatikan bahwa pada model neo klasik standar, pertumbuhan

ekonomi seolah-olah selalu terjadi. Hal ini ditandai dengan nilai 𝑑𝑘yang selalu positif.
𝑑𝑡
Model ini juga memperlihatkan bahwa perekonomian akan selalu konvergen menuju
titik keseimbangan mapan. Artinya, Gambar 1.2. memperlihatkan bahwa perangkap
kemiskinan tidak pernah terjadi.

Menurut Sachset.al,(2004),kondisi pada Gambar1.2, adalah kasus khusus yang tidak


mungkin terjadi. Dalam kondisi perekonomian yang sangat rendah, outputper pekerja sangat
berbeda dengan apa yang digambarkan oleh model neo klasik standar dalam tiga hal. Ketiga
hal ini sekaligus memberikan penjelasan adanya perangkap kemiskinan.

Pertama,ketika k sangat rendah, produktivitas kapital(marginalproductivityofcapital,


MPK) juga cenderung rendah dan bukan hampir tidak terbatas seperti asumsi pada model neo
klasik standar (model Solow konvensional – Gambar 1.2). ada batas minimum atau ambang
batas dari modal untuk berbagi keperluan awal sebelum melakukan produksi
seperti,bangunan,

mesin,tenaga kerja terampil,serta infrastruktur dasar lainnya.𝑑𝑘hanya akan positif ketika


𝑑𝑡

kapital (k) melebihi ambang batas ka (k>ka). artinya, ketika batas minimum modal tidak
terpenuhi, peningkatan dari modal akan memiliki dampak yang kecil.

Gambar 1.3 Model Pertumbuhan Solow dengan Ambang Batas Kapital (Sumber:
dikembangkan dari Sachs et. Al,

Ketika ambang batas kapital telah terpenuhi, MPK dapat menjadi sangat tinggi untuk
negara berpenghasilan rendah. Secara perlahan peningkatan dari k akan menaikkan tingkat
produksi. Oleh karenanya, kurva sAf(k) pada awalnya relatif datar, kemudian menjadi curam
dikisarantengahdankembalicuramsaatksangattinggi(lihatGambar1.3).Singkatnya,terjadi
increasing return to scale pada kapital, sebelum kemudian menjadi constan atau decreasing
return toscale.

Kedua, seperti diperlihatkan Gambar 1.4, ketika k sangat rendah, kemungkinan besar
tingkat tabungan juga rendah atau bahkan negatif. Masyarakat miskin cenderung
mengkonsumsi sebagian besaratau semua pendapatannya untuk tetapdapat bertahan hidup.
Namun, tabungan akan meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan per kapita.Fungi

sAf(k)kurang curam ketika k sangat rendah,oleh karena itu𝑑𝑘negatif lagi ketika k lebih kecil
𝑑𝑡

dari ambang batas k (kondisi ini dikenal dengan perangkap tabungan atau saving trap).

Gambar 1.4 Model Pertumbuhan Solow dengan Perangkap Kemiskinan (Sumber:


dikembangkan dari Sachs et.al, 2004; Snowdon, 2009)

Ketiga, selain dua faktor di atas, faktor ketiga yang mungkin dapat menciptakan
perangkap kemiskinan adalah pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi pada tingkat
pendapatan,tabungan,dan kapital rendah.Masyarakat miskin tidak memiliki tabungan, juga
tidak memiliki modal untuk melakukan produksi. Memiliki anak yang banyak merupakan
pilihan dan usaha bagi mereka untuk berusaha tetap eksis. Mereka beranggapan bahwa anak
merupakan aset ekonomi,merupakan investasi masa depan(karena tidak punya tabungan),dan
semakin banyak jumlah keluarga, semakin banyak pula tenaga kerja atau faktor produksi
yang dimiliki (karena tidak punya kapital atau modal).

Selain itu, masyarakat miskin juga kurang mendapatkan akses pendidikan, dan
kesehatan, bahkan menurut berbagai pengamatan didapati bahwa linkar kesuburan tertinggi
di dunia berada di negara-negara miskin. Kondisi ini memang merupakan sebuah fenomena
khusus.

Di sisi lain, anggota keluarga yang banyak justru dapat menambah beban keluarga itu
sendiri. Kurangnya modal, keterbatasan sumberdaya, rendahnya tingkat pendidikan dan
keahlian membuat tingkat pendapatan menjadi rendah, schingga tingkat pendapatan per
kapita juga rendah dan akhirnya tetap jatuh dalam kemiskinan.Semua penghasilan hampir
habis,atau habis atau bahkan kurang untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, dan tidak
ada yang ditabung, akibatnya tabungan menjadirendah.

Permasalahan ini akan terus berlanjut seolah membentuk suatu siklus. Kondisi ini
disebut dengan perangkap demografi (demographic trap) seperti diperlihatkan pada Gambar

1.5 yang turut menyumbang terjadinya perangkap kemiskinan.

Gambar 1.5 Model Pertumbuhan Solow dengan Perangkap Demografi

Ketiga hal ini (ambang batas kapita, perangkap tabungan, dan perangkap demografi),
secara bersama-sama berinteraksi menciptakan terjadiny? perangkap kemiskinan.
Perangkap tahun Maltus 1766, (Maltuhisn trap) dimotori oleh Thomas yang berjudul
Robert The MalthusEssay yang the lahir Principle of Population, dipublikasikan pada tahun
1798. Secara singkat, on

teori Malthus mengatakan bahwa manusia akan terjebak secara permanen pada bagian
dua hukum, yaitu: Pertama, menyangkut tingkat populasi manusia. Dia mengatakan bahwa
pertumbuhan manusia sangat cepat, dapat dikatakan mengikuti deretgeometri,misalnya
1,2,4,8,16,...(ataubahkan eksponensial).

Kedua,makanan dan sumberdaya alam lainnya akan tumbuh jauh lebih lambat,bahkan
dalam jangka panjang akan tumbuh menurut barisan aritmetika (1,2,3 ,... ) atau tumbuhsecara
linier. Dengan demikian pada suatu tingkat populasi tertentu manusia akan terperangkap
dimana sumberdaya yang ada tidak akan mampu lagi mendukung pertumbuhan penduduk.
Oleh karena itu, pertumbuhan penduduk harus dibatasi.

Menurut aliran ini, ada ukuran populasi optimum, dan jika populasi tumbuh
melampaui batas optimum tersebut, maka pendapatan per kapita akan berkurang,
kesejahteraan menurun, kemiskinan pun terjadi. Kekurangan pangan, kesehatan yang buruk
serta kerja keras untuk bertahan hidup akan membuat sebagian tidak mampu bertahan dan
berakhir pada kematian. Jumlah penduduk yang berkurang, secara relatif mengurangi beban
keluarga dan meningkatkan pendapatan per kapita. Kesejahteraanpun kembali meningkat
yang akhirnya memicu pertumbuhan penduduk. Kondisi ini terus berputar menjadi suatu
siklus yang disebut dengan Malthusian trap seperti diperlihatkan pada Gambar 1.6.

Berbagai kritik muncul terhadap aliran Malthus,terutama karena sifatnya yang pesimis
dan oleh karena itu disebut juga dengan aliran pesimis. Aliran ini tidak atau kurang
mempertimbangkankemajuanteknologidankreativitasmanusia.Menurutpendapatyanglebih
optimis, bahwa ketika manusia mengalami permasalahan, maka manusia akan berfikir untuk
mencari solusinya seperti berinovasi dan menciptakan teknologi sehingga manusia itu d=tetap
dapat Survive. Kemajuan teknologi akan mampu mempercepat sebagian pertumbuhan
sumberdaya serta meningkatkan efisiensi untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Gambar 1.6 Perangkap Malthus (Malthusin Trap)

Pendapat yang lain memandang justru manusia merupakan faktor produksi. Bila
dimanfaatkan dengan baik akan dapat meningkatkan hasil produksi, meningkatkan
pertumbuhan dan akhirnya dapat bermuara pada peningkatan kesejahteraan. Oleh karena itu,
permasalahan utamanya adalah bagaimana memanfaatkan sumberdaya manusia yang ada
sehingga berkontribusi maksimal terhadap pembangunan.

1.3 Big Push, dan Perangkap Kemiskinan dengan Kendala Subsisten


Ide big push (dorongan besar) ditemukan oleh Rosentein-Rodan dalam konteks klasik
mengenai masalah industrialisasi di Eropa Timur. Inti dari argumen ini dalam konteks
increasing return, bagaimana menciptakan kemungkinan terjadinya multi keseimbangan
(multipleequilibria).Dengan kata lain,untuk bisa keluar dari perangkap kemiskinan
diperlukan suatu dorongan yang kuat (bigpush).

Ketika pendapatan masyarakat rendah (dalam kondisi miskin), sebagian


besarataubahkan semua pendapatannya habis digunakan untuk konsumsi guna memenuhi
kebutuhan dasar (kondisi subsisten). Mungkin tidak banyak yang tersisa untuk ditabung,
sehingga tingkat tabungan secard keseluruhan menjadi rendah, seperti dijelaskan sebelumnya,
Kondisi ini lebih khusus diperlihatkan pada Gambar 1.7.

Sumbu vertikal menggambarkan output dan tabungan, sedangkan sumbu horizontal


menggambarkan tingkat kapital. (n+б)k merupakan garis perluasan modal (capital widening),
menggambarkanjumlahtabunganperkapitayangdiperlukanuntukmenjagaagarrasiomodal-
tenaga kerja tetap konstan dalam menghadapi pertumbuhan populasi dan penyusutan kapital.
Fungsi tabungan adalah f(S),dan fungsi produksi adalahf(K).

Gambar 1.7 Perangkap Kemiskinan dengan Kendala Subsisten

Dalam kondisi subsisten (subsistence),dimana sebagian besar atauseluruh pendapatan


habis digunakan untuk bertahan hidup, maka tingkat konsumsi adalah sebesar Cmin, dan
tabungan sebesar Ssub, sehingga fungsi produksi dan output dimulai dari f(Ksub) dengan
tingkat input kapital sebesar Ksub. Tentu saja output tidak mungkin berada di bawah titik ini
karena produksi tidak akan berjalan tanpa adanya input (K). Tidak ada kapital di bawah titik
Ksub, karena semua pendapatan habis digunakan untuk konsumsi, sehingga tidak ada yang
ditabung dan akibatnya tidak ada kapital yang dapat digunakan sebagai input dalam produksi.

Analisisini di dasari padateori pertumbuhan Solow,di mana tabungan merupakan


bagian tetap yang (constant tetap dari share)output. Oleh Dengan tingkat tabungan.kata lain,
tingkat outpur ditentukan secara tetap (constant share) oleh tingkat tabungan.

Gambar 1.7 memperlihatkan terjadinya multiple equilibria. Terdapat tiga titik


keseimbangan, yaitu pada titikA,B, dan Catausaat kapital sebesar K’A, K's, dan Kc. Titiak B
atau titik saat kapital sebesar K's, merupakan titik ambang batas. Artinya sepanjang tingkat
tabungan lebih kecil atau sama dengan B, atau sepanjang kapital masih lebih kecil atau sama
dengan K's, maka tingkat keseimbangan akan bergerak menuju titik A. Bila tingkat tabungan
lebih besardari B, atau bila tingkat kapital lebih besar dari K's, maka tingkat keseimbangan
akan bergerak menuju titik C.

Ini berarti bahwa masyarakat atau negara tersebut akan selalu terjebak dalam
perangkap kemiskinan bila tingkat tabungan kurang dari B atau tingkat kapital masih berada di
bawah ambang batas K's.Hal ini disebabkan karena tabungan atau kapital yang ada tidak
cukup untuk menggerakkan produksi.

Agar dapat keluardari perangkap kemiskinan, diperlukan tambahan persediaan modal


atau kapital yang dapat menggerakkan produksi hingga perekonomian melewati ambangbatas
K's. Tambahan persediaan kapital dapat diperoleh dengan berbagai cara, misalnya melalui
pinjaman atau bantuan.

Dalam pembahasan ini, andaikan diperoleh sejumlah pinjaman atau bantuan tambahan
modal sehingga kurva tabungan yang semula adalah f(S) bergeser ke atas menjadi f'(S), yaitu
kurva tabungan sebelumnya ditambah dengan bantuan. Kondisi ini memberikan tambahan
input untuk berproduksi, sehingga output dapat ditingkatkan.

Bergesernya kurva tabungan ke atas garis penyusutan yaitu (n+б)k, berdampak pada
cukupnya kapital sebagi input produksi, sehingga tingkat keseimbangan saat ini akan akan
bergerakmenujutitikC.Inimerupakansuatucaramemutusmatarantaiperangkapkemiskinan bila
perangkap kemiskinan tersebut disebabkan oleh rendahnya tabungan akibat rendahnya
pendapatan masyarakat.Dalam konteks ini,hal yang mendorong kurva tabungan hingga keluar
dari perangkap kemiskinan itulah yang disebut dengan big push. Denan demikian, ketika
kondisi suatu negara berada dalam perangkap kemiskinan, maka untuk mengatasinya
melampaui diperlukan ambang batas big push tertentuyang membawa negara tersebut dapat
sehingga roda perekonomian dapat bergerak.

BAB V
BAB VI
MENGUKUR KEMISKINAN

Kemiskinan adalah kondisi ketidakmampuan sosial dan ekonomi seseorang atau sekelompok
orang untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Kemiskinan juga dipahami sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar dan perbedaan
perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.
Disamping kebutuhan-kebutuhan dasar yang belum terpenuhi, kondisi kemiskinan juga didukung
oleh ketidak mampuan untuk memperoleh kebebasan dalam memilih dan berpartisipasi.

Kemiskinan merupakan masalah multidimensi yang tidak hanya menyangkut masalah


pendapatan. Masalah lain, seperti kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi,
kondisi geografis, gender, dan kondisi lingkungan merupakan dimensi-dimensi kemiskinan yang
juga memengaruhi kondisi seseorang atau rumah tangga dalam status kemiskinan.Salah satu
dimensi penting yang menjadi perhatian banyak pihak adalah dimensi pengeluaran atau
konsumsi. Pendekatan tersebut sering juga disebut dengan kemiskinan absolut, dimana seseorang
atau satu rumah tangga dikatakan miskin jika ia tidak mampu memenuhi satu tingkat konsumsi
yang terdiri dari konsumsi makanan dan non makanan yang dianggap esensial dan diperlukan
selama jangka waktu tertentu. Tingkat konsumsi minimum menjadbatas (tresshold) yang
menentukan seseorang tergolong miskin atau tidak, atau yang sering disebut dengan garis
kemiskinan.

Dalam dimensi yang lain dapat dikemukakan bahwa seseorang yang tergolong miskin juga tidak
memiliki kapabilitas untuk hidup dengan kondisi kesehatan dan pendidikan yang layak serta
menjalankan fungsinya dengan baik.Perubahan paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerahmembawa implikasi terhadap semakin mendesaknya upaya-upaya untuk mengatasi
kemiskinan.

Selain itu, peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat miskin menjadi tanggung jawab
yang lebih besar bagi pemerintah daerah. Sehingga pada akhirnya permasalahan-permasalahan
kemiskinan yang muncul akan banyak direspon, diputuskan, dan dilaksanakan secara cepat
danefektif oleh pemerintah daerah tanpa harus menunggu dan banyak tergantung pada instruksi
dari pemerintah pusat. Dengan kewenangan daerah yang semakin besar tersebut, Pemerintah
daerah dan DPRD memiliki tanggung jawab yang cukup besar untuk mengambil keputusan-
keputusan penting dan strategis bagi upaya menanggulangi kemiskinan dan peningkatan kualitas
pelayanan kepada masyarakat.

1. Pendekatan Aksiomatik Dalam Mengukur Kemiskinan


Sen (1976) mengusulkan pendekatan aksiomatik (yang terdiri dari tiga aksioma) dalam
pengukuran kemiskinan.Melalui aksioma ini,Sen berpendapat bahwa ukuran kemiskinan
harus peka terhadap tingkat ketimpangan pendapat di antara orang miskin.Ukuran
kemiskinan harus berbanding lurus dengan tingkat ketimpangan di kalangan orang miskin itu
sendiri.Artinya ukuran kemiskinan harus menigkat ketika ketimpangan di antara mereka
yang miskin meningkat dan menurun ketika ketimpangannya menurun.Aksioma tersebut
adalah:

1. Fokus,menurut aksioma ini bahwa ukuran kemiskinan harus sepenuhnya focus pada
tingkat pendapatan orang miskin.

2. Monoton (monotonicity),bahwa ketika terjadi penurunan tingkat pendapatan pada


keluarga miskin,maka indeks kemiskinan harus mengalami peningkatan.

3. Transfer,bahwa kemiskinan harus meningkat bila ada transfer pendapatan yang


regresif,dan menurun bila ada transfer pendapatan yang progresif.

2. Berbagai Ukuran Kemiskinan

Terdapat berbagai ukuran dan indeks kemiskinan yang sering digunakan oleh para
peneliti,dan pengambil kebijakan.Beberapa di antaranya akan diuraikan berikut ini:

 Poverty Headcount atau Headcount Index

Poverty Headcount dihitung dengan cara membandingkan tingkat pendapatan setiap rumah
tangga dalam suatu populasi terhadap garis kemiskinan.Misalnya,rumah tangga dengan
tingkat pendapatan kurang dari garis kemiskinan,diberi nilai 1 (berarti miskin),sedangkan
rumah tangga dengan tingkat pendapatan di atas garis kemiskinan diberi nilai 0.
Bila y merupakan tingkat pendapatan rumah tangga,z adalah garis kemiskinan,indeks
i=1,2,3…j,dengan j adalah jumlah rumah tangga yang digunakan dalam sampel,maka secara
matematik kondisi diatas dapat dituliskan menjadi:

Headcount Index merupakan rata-rata sampel dari variabel 1(y,z),yang ditimbang dengan
jumlah individu dalam setiap rumah tangga (m).Untuk mengukur ini terlebih dahulu dihitung
jumlah individu miskin q,dengan menggunakan persamaan (7.3)

Total individu (populasi n)dari sampel dapat dihitung dengan menjumlahkan semua individu
dari setiap rumah tangga,secara matematis dituliskan pada persamaa (7.4)

Selanjutnya,headcount index dihitung dengan cara membagi jumlah individu miskin dengan
total penduduk.Dengan demikian headcount index merupakan rasio jumlah orang miskin
terhadap total penduduk.Dalam bentuk formula matematis dinyatakan pada persamaan (7.5)
(7.5)

Poverty Headcount (sering juga disebut dengan headcount index) merupakan ukuran
kemiskinan yang sangat sederhana,namun sangat sering digunakan (Morduch,2005).Poverty
headcount menganggap bahwa distribusi pendapatan antara penduduk miskin bersifat
homogen sehingga ukuran ini tidak dapat menunjukkan tingkat keparahan,serta tingkat
pemerataan dari penduduk miskin itu sendiri hanya dapat menunjukkan miskin tidak
miskin.Inilah kelemahan dari poverty headcount yang paling banyak di soroti oleh para ahli
dan pengamat social.

Alasan lain mengapa banyak diperdebatkan dapat dijelaskan sebagai berikut.Poverty


Headcount hanya mampu menggambarkan jumlah kemiskinan,dan dapat membandingkan
rasio jumlah orang miskin antar waktu guna menilai keberhasilan program pengentasan
kemiskinan atau pembangunan ekonomi.Misalnya,bila tahun yang lalu poverty headcount
sebesar 20 persen (artinya jumlah penduduk miskin sebesar 20 persen dari total
penduduk),dan tahun ini menjadi 15 persen,tentu dapat dikatakan bahwa pemerintah telah
berhasil mengurangi angka kemiskinan sebanyak 5 persen (dari 20 menjadi 15) dalam kurun
waktu satu tahun belakangan,dan ini merupakan suatu prestasi. Dalam konsep pengurangan
kemiskinan dan kemiskinan itu diukur dengan poverty headcount,maka pada contoh di
atas,pemerintah bisa saja hanya memperhatikan masyarakat yang sedikit berada dibawah
garis kemiskinan,karena mengangkat mereka ke atas garis kemiskinan (menjadi tidak miskin)
akan lebih mudah dan memerlukan sumberdaya yang lebih sedikit dibandngkan dengan
masyarakat yang berada jauh dibawah garis kemiskinan.

 Poverty Gap atau Income Shortfall

Poverty gap mengukur jumlah uang atau pendapatan yang diperlukan untuk meningkat
penduduk miskin (yang berada di bawah garis kemiskinan) keluar dari kemiskinan (ke atas
garis kemiskinan).Dengan kata lain, poverty gap mengukur jumlah kekurangan pendapatan
(income shortfall) individu dari garis kemiskinan.Shortfall adalah kekurangan pendapatan
rata-rata (average income shortfall). Perhitungan poverty gap (income shortfall) berarti
menghitung kekurangan pendapatan dari masyarakat miskin yang ada dalam suatu populasi
menggunakan persamaan.

 Watts Index

Watts (1968),merumuskan suatu ukuran kemiskinan yang sederhana namun relatif lebih
bersidat adil.Ia berpendapat bahwa memberikan sejumlah uang kepada orang yang jauh
dibawah garis kemiskinan (lebih miskin) akan lebih berarti daripada memberikan uang
tersebut kepada orang yang sedikit di bawah garis kemiskinan.

Indeks Watts dihitung menggunakan logaritma,sehingga lenih sensitif terhadap perubahan


pendapatan,utamanya perubahan pendapatan pada kelompok terendah atau yang sangat
miskin (Morduch,2005).

Indeks Watts dirumuskan seperti pada persamaan (7.11)

Dengan kata I watts adalah Indeks Watts,dan n adalah jumlah populasi.

 Sen Index
Ukuran ini dikemukakan oleh Sen tahun 1976.Selain menggambarkan peresentase penduduk
miskin penduduk miskin,Indeks Sen juga menggambarkan luasnya kemiskinan (the extent of
immiseration) serta distribusi pendapatan di antara penduduk miskin.

Misalkan yp adalah kesamaan distribusi setara pendapatan diantara orang miskin (equally
distributed equivalent) yang menggambarkan bahwa bila suatu pendapatan didistribusikan
kepada masyarakat miskin,akan meghasilkan tingkat kesejahteraan yang sama di antara
mereka.Secara matematis,dituliskan pada persamaan (7.12)

Dan secara umum ukuran ketidakmerataan yang diukur dari pendapatan orang miskin,dapat
didefinisikan sebagai:

Bila indeks ketidaksetaraan pada persamaan (7.13) dinyatakan sebagai koefisien Gini,maka
indeks sen dapat ditulis ulang menjadi:

Indeks Sen (1976),akhirnya dapat digeneralisasi menjadi persamaan (7.16)

Dari ke dua persamaan diatas terlihat bahwa Indeks Sen memuat headcount,poverty gap dan Gini
Coefficient.S merupakan indeks sen (sen poverty index),H adalah hedcount index,I kekurangan
pendapatan rata-rata (avarange income shortfall) merupakan persentase dari garis kemiskinan,yi
pendapatan dari rumah tangga miskin ke-I,z garis kemiskinan,qz jumlah rumah tangga dengan
pendapatan lebih kecil dari z,H=q/n merupakan poverty headcount,n jumlah total rumah tangga
atau penduduk,dang p adalah indeks gini di antara penduduk miskin.

 Foster-Greer-Thorbecke (FGT)

Foster,Greer dan Thorbecke mencoba memasukkan unsur derajat kemiskinan dari orang yang
termiskin melaui parameter α.Indeks ini banyak digunakan dalam berbagai penelitian empiris
tentang kemiskinan karena sensitivitasnya terhadap kedalaman kemiskinan (depth of poverty)
dan keparahan kemiskinan (security of poverty).Formula matematisnya dituliskan pada
persamaan (7.18) (Cockburn,2001)
Dari gambar 7.1 terlihat bahwa kurva poverty gap bersifat datar sempurna.Artinya,ukuran ini
sama sekali tidak senstiv terhadap penambahan tingkat pendapatan.Kurva poverty severity
index atau disebut juga dengan squared povery gap (FGT-α=2),berbentuk lurus seolah
menjadi diagonal menjadi gambar tersebut.Ini menandakan bahwa dampak yang ditimbulkan
proposional terhadap ndapatan.

f. Ukuran Dari UNDP

United nation development programme (UNDP),sejak tahun 1997 hingga tahun 2009
meluncurkan beberapa indeks yang semuanya berhubungan dengan kemiskinan.Indeks-
indeks tersebut antara lain The human development index (HDI),atau indeks pembangunan
manusia,The human poverty index (HPI),indeks kemiskinan manusia.Indeks ini terbagi 2
yaitu,human poverty index for developing countries (HPI-1),dan human poverty index for
selected OECD countries (HPI-2),The gender related development index (GDI) atau indeks
pembangunan gender,the gender empowerment measure (GEM) atau tingkat upaya
pemberdayaan gender.Berikut ini kita akan bahas satu persatu.
 The Human Development Index (HDI)

HDI atau IPM (Indeks pembangunan manusia) merupakan suatu ringkasan ukuran
pembangunan manusia dari sisi yang lebih luas.HDI mengukur pencapaian rata-rata
diberbagai negara dalam tiga dimensi dasar pembangunan manusia:

1. Hidup yang panjang dan sehat,diukur dengan harapan hidup sejak lahir

2. Pengetahuan,diukur dari tingkat melek huruf orang dewasa (dengan bobot 2/3) dan
kombinasi rasio angka partisipasi kasar (APK) untuk jenjang sekolah dasar,menengah
dan atas (dengan bobot 1/3)

3. Standar hidup yang layak,diukur dengan GDP perkapita dalam paritas daya beli (PPP).

Sebelum HDI dihitung,terlebih dahulu dilakukan terhadap indeks masing-masing


dimensi,yaitu dimensi harapan hidup,pendidikan,dan hidup layak.Untuk menghitung indeks
ini perlu ditetapkan nilai minimum dan maksimum sebagai ambang batas yang dipilih untuk
masing-masing indicator yang mendasarinya. Nilai actual adalah nilai yang diperoleh dari
setiap negara untuk setiap dimensi,sedangkan nilai maksimum dan minimum diperoleh dari
nilai ambang batas yang telah ditetapkan.

 The Human Poverty Index (HPI)

HPI merupakan suatu indeks untuk mengukur kekurangan yang ada pada HDI.Oleh karena
itu,dimensi yang ada di HDI juga ada pada HPI,namun diukur dengan cara yang berbeda dan
lebih khusus.

Dimensi hidup yang panjang,atau panjang umur dan sehat diartikan sebagai kerentanan
terhadap kematian diusia yang relative dini.Hal ini diukur melalui besarnya probabilitas tidak
survive hingga usia 40 tahun.
Dimensi pengetahuan diartikan sebagai eklusi atau keterasingan dari dunia membaca dan
komunikasi yang diukur dengan angka melek huruf orang dewasa.Sedangkan dimensi
standar hidup layak diartikan sebagai kurangnya akses terhadap sumber-sumber
perekonomian secara keseluruhan.Ini diukur dengan rata-rata tertimbang dari dua
indicator,yaitu peresentase penduduk yang tidak dapat menggunakan air bersih dan
persentase anak-anak yang berat badannya dibawah standar usianya.

Indikator yang digunakan untuk mengukur kekurangan yang ada pada HPI sudah di
normalisasi antara 0 dan 100.Hal ini disebabkan HPI dinyatakan dalam bentuk
persentase,sehingga tidak perlu membuat indeks dimensi seperti untuk HDI.

Seperti diuraikan sebelumnya bahwa HPI terdiri dari 2 jenis,yaitu HPI untuk negara
berkembang (human poverty index for developing countries),dilambangan dengan (HPI-
1),dan HPI untuk negara yang termasuk dalam organisasi untuk kerja sama dan
pembangunan ekonomi (human poverty index for OECD countries) dilambangkan (HPI-2)

 The Gender Related Development Index (GDI)

The Gender Related Development Index (GDI) atau Indeks Pembangunan Gender, adalah
indikator standard hidup pada suatu negara yang dikembangkan oleh PBB dan merupakan
salah satu dari lima indikator yang digunakan oleh UNDP (United Nations Development
Programme ) dalam Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang
dibuat setiap tahun. GDI adalah indeks yang menunjukkan kapabilitas dasar manusia yang
sama dengan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) tetapi secara
khusus memberi tekanan pada pencapaian yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan
dengan melihat beberapa indikator yaitu hidup yang lama dan sehat, pengetahuan dan
standard hidup yang layak. Elemen-elemen yang masuk dalam penghitungan Indeks
Pembangunan gender adalah angka harapan hidup, pendidikan dan pendapatan. Laporan
Pembangunan Manusia yang dibuat oleh UNDP tahun 2009 menunjukkan Indonesia
menduduki rangking ke 95 dari 155 negara.

 The Gender Empowerment Measeure (GEM)


The Gender Empowerment Measeure atau Indikator Pemberdayaan Perempuan, adalah
sebuah indikator untuk agensi yang dibuat oleh UNDP. Tujuannya adalah untuk
mengevaluasi kemajuan perempuan terutama dalam keterlibatannya dalam forum-forum
politik dan ekonomi. GEM menganalisis sejauhmana perempuan dan laki-laki dapat
berpartisipasi secara aktif dalam dunia ekonomi dan politik dan mengambil bagian dalam
pengambilan keputusan. Kalau Indeks Pembangunan Gender secara khusus menaruh
perhatian pada pengembangan kapabilitas.

Semenjak 2009, metodologi yang digunakan dalam GDI dan GEM diaplikasikan pada tingkat
global untuk membuat rangking 155 negara untuk GDi dan 109 negara untuk GEM.
Metodologi yang sama juga diaplikasikan pada tingkat nasional dan daerah-daerah dengan
memilah GI dan GEM sehingga bisa memperbandingkan perbedaan-perbedaan antara
wilayah, kelompok ethnis, kelompok umur, dst. Metodologi untuk GDI dan GEM juga bisa
dipakai utuk menganalisis ketidaksetaran bukan hanya antara laki-laki dan perempuan, tetapi
juga kelompok-kelompok lain seperti kelompok kaya dan miskin, kelompok tua dan muda,
dst.

h. Ukuran Lain dari UNDP (yang diperbaharui)

 Human Development Index (HDI)

1. HDI diukur berdasarkan angka harapan hidup, angka buta huruf, dan standar harapan
hidup yang berlaku. Standar tersebut mengacu pada tingkat kesejahteraan hidup yang
digunakan untuk mengkategorikan negara miskin (less developed country), negara
berkembang (developing country), dan negara maju (developed country). Selain itu, HDI
juga digunakan untuk mengukur dampak kebijakan ekonomi pada kualitas hidup dalam
suatu negara. HDI dikembangkan oleh Mahbub ul Haq pada 1990. Kemudian, pada 1993,
PBB menggunakan indikator tersebut dalam laporan tahunan PBB.
2. HDI menggunakan pendekatan tiga dimensi dasar perkembangan untuk menghitung rata-
rata kemajuan suatu negara: 1. Hidup yang sehat dan umur panjang yang diukur melalui
angka harapan hidup (life expectancy). 2. Pengetahuan yang diukur melalui angka buta
huruf (literacy). 3. Standar kehidupan yang diukur melalui GDP (Gross Domestic Bruto)
per kapita, yaitu daya beli masyarakat dalam dolar Amerika Serikat.

 Inequality-adjusted Human Development Index (IHDI)


Selain IPM standar, ada juga IPM yang disesuaikan dengan ukuran ketimpangan. Kita
menyebutnya sebagai Inequality-adjusted Human Development Index (IHDI), yang mana
merupakan pengembangan lebih lanjut dari IPM. Para pakar memandang IHDI adalah ukuran
ideal dari pembangunan manusia. IHDI lebih aktual karena itu menunjukkan ke anda
bagaimana pencapaian pembangunan manusia menyebar di antara penduduk. Sebaliknya,
IPM standar hanyalah ukuran teoritis dan mengasumsikan tidak ada ketimpangan di suatu
negara.

 Gender Inequality Index (GII)


Indeks Ketimpangan Gender ( GII ) adalah indeks pengukuran kesenjangan gender yang
diperkenalkan dalam Laporan Pembangunan Manusia 2010 edisi ulang tahun ke-20 oleh
United Nations Development Programme (UNDP). Menurut UNDP, indeks ini merupakan
ukuran gabungan untuk mengukur hilangnya pencapaian suatu negara karena ketidaksetaraan
gender . Ini menggunakan tiga dimensi untuk mengukur biaya peluang: kesehatan reproduksi
, pemberdayaan , dan partisipasi pasar tenaga kerja.

 Multidimensional Poverty Index (MPI)


Indeks Kemiskinan Multidimensi atau disebut juga Multidimensional Poverty Index (MPI)
merupakan salah satu pendekatan baru dalam mengukur kemiskinan. Berbeda dengan
pendekatan pengukuran kemiskinan lainnya, MPI melihat potret kemiskinan dari banyak
dimensi (multi dimensi). Pengukuran ini mampu memotret kemiskinan yang terjadi di suatu
daerah secara lebih luas jika dibandingkan pendekatan satu dimensi seperti yang selama ini
digunakan seperti pendekatan konsumsi (basic need approach). Indeks Kemiskinan
Multidimensi menggunakan serangkaian indikator untuk menghitung ringkasan angka
kemiskinan untuk populasi tertentu, di mana angka yang lebih besar menunjukkan tingkat
kemiskinan yang lebih tinggi.

BAB VII
DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN UKURAN

Distribusi pendapatan merupakan unsur penting untuk mengetahui tinggi atau rendahnya kesejahteraan
maupun kemakmuran suatu negara. Distribusi pendapatan yang merata kepada masyarakat akan
menciptakan perubahan dan perbaikan suatu negara seperti peningkatan pertumbuhan ekonomi,
pengentasan kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan sebagainya. Sebaliknya, jika distribusi
pendapatan tidak merata maka perubahan suatu negara akan menunjukan adanya ketimpangan distribusi
pendapatan. Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara memang sangat penting khususnya di
Negaranegara berkembang salah satunya adalah Indonesia. Tujuan awal pembangunan pada dasarnya
lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi, maka aspek prioritas dengan kriteria efisiensi
yang tinggi menyebabkan sektor - sektor ekonomi tumbuh tidak merata. Dengan mengutamakan tujuan
pembangunan yaitu meningkatkan pertumbuhan yang tinggi maka aspek tujuan pemerataan akan
tersingkir. Sebaliknya jika tujuan pembangunan yang adalah pemerataan seperti dalam hal pemerataan
pendapatan, maka tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak dapat tercapai (Hasibuan, 1993).

Ketimpangan merupakan masalah yang sering dihadapi oleh negara berkembang khususnya Indonesia.
Ketimpangan dapat berupa ketimpangan pendidikan, ketimpangan ekonomi, ketimpagan pendapatan,
ketimpangan kesehatan dan ketimpangan industri (Agusta, 2014). Pada negara berkembang ketimpangan
pendapatan menjadi fokus penting, Professor Kuznet mengemukakan bahwa tahap awal pertumbuhan
ekonomi yaitu kondisi distribusi pendapatan cenderung memburuk atau mengalami kondisi dimana
ketimpangan pendapatan sangat tinggi. Ketimpangan yang semakin besar menyebabkan berbagai masalah
diantaranya adalah meningkatnya angka kriminalitas, meningkatnya imigrasi yang nantinya akan
berpengaruh pada ketidakstabilan dalam perekonomian. Akan tetapi pada tahap berikutnya akan semakin
membaik.
A. Konsep Distribusi Pendapatan Dan Ukuran

Distribusi pendapatan dan ukuran dalam ekonomi kemiskinan merupakan dua konsep yang saling terkait
dalam memahami masalah kemiskinan di suatu negara atau wilayah. Distribusi pendapatan mengacu pada
cara pendapatan dibagi di antara penduduk suatu negara atau wilayah, sedangkan ukuran kemiskinan
mengukur seberapa banyak orang yang hidup di bawah garis kemiskinan.Dalam suatu negara atau
wilayah yang memiliki distribusi pendapatan yang tidak merata, maka kemungkinan besar juga terdapat
tingkat kemiskinan yang tinggi. Hal ini karena sebagian besar pendapatan hanya dikuasai oleh segelintir
orang atau kelompok tertentu, sehingga menyisakan sedikit atau bahkan tidak ada pendapatan untuk
sebagian besar penduduk. Dalam situasi ini, orangorang yang hidup di bawah garis kemiskinan akan sulit
untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, perumahan, dan kesehatan.Ukuran kemiskinan juga
dapat memberikan gambaran tentang distribusi pendapatan di suatu negara atau wilayah. Jika tingkat
kemiskinan tinggi, maka hal itu menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk hanya mampu memenuhi
kebutuhan dasar mereka dan tidak memiliki akses yang memadai untuk pendidikan, kesehatan, dan
lapangan pekerjaan yang baik. Hal ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan menyebabkan
ketidakstabilan sosial di dalam masyarakat. Kemiskinan telah merusak kesejahteraan masyarakat selama
beberapa generasi. Kemiskinan merupakan sebuah situasi kehidupan saat adanya individu maupun
beebrapa kelompok masyarakat tidak sanggup menjangkau sumber daya yang dapat mencakup kebutuhan
minimum, kemudian masyarakat tersebut hidup berada pada tingkat kebutuhan minimum itu.
Ketimpangan distribusi pendapatan mengakibatkan adanya masalah kemiskinan. Selain itu, perbedaan
kemampuan masyarakatnya yang mengakibatkan adanya selisih jumlah upah, dan adanya selisih dalam
pemenuhan modal, maka dari itu kemiskinan biasa ditunjukkan dengan pola lingkaran kemiskinan.

Ketimpangan merupakan efek samping yang ditimbulkan apabila terjadinya ketidakmerataan dalam
proses pembangunan ekonomi (Prawidya Hariani RS and Syahputri, 2016). Ketika suatu wilayah hanya
berfokus pada peningkatan pertumbuhan ekonomi saja, maka hal tersebut belum tentu menjamin
pemerataan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Dimana laju pertumbuhan ekonomi akan selalu
berkaitan dengan ketimpangan sehingga berpengaruh terhadap angka kemiskinan.

B. Distribusi pendapatan mempengaruhi tingkat kemiskinan di suatu negara

Distribusi pendapatan yang tidak merata dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan di suatu negara. Jika
pendapatan hanya dikonsentrasikan pada sebagian kecil penduduk atau kelompok tertentu saja, maka
akan meningkatkan kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Sementara itu, penduduk yang berada di
bawah garis kemiskinan akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan,
perumahan, kesehatan, dan pendidikan.Penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan seringkali hanya
memiliki akses terbatas terhadap peluang kerja dan pendidikan yang memadai, sehingga sulit untuk
meningkatkan pendapatan mereka. Sementara itu, kelompokkelompok yang memiliki pendapatan yang
tinggi, cenderung memiliki akses yang lebih baik ke peluang kerja dan pendidikan, sehingga dapat
meningkatkan kemampuan mereka untuk menghasilkan pendapatan yang lebih besar. Dengan demikian,
distribusi pendapatan yang tidak merata dapat memperburuk tingkat kemiskinan di suatu negara. Oleh
karena itu, penting untuk mendorong distribusi pendapatan yang lebih merata, sehingga setiap penduduk
memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses peluang kerja dan pendidikan, serta memperbaiki
kondisi kehidupan mereka.Salah satu cara untuk mencapai distribusi pendapatan yang lebih merata adalah
dengan mengadopsi kebijakan ekonomi yang inklusif, seperti pemberian insentif pajak bagi perusahaan
yang memberikan peluang kerja yang adil, dan membangun program pemerintah yang memfasilitasi
pendistribusian pendapatan secara merata. Selain itu, upaya pengembangan ekonomi daerah juga dapat
memperbaiki distribusi pendapatan, dengan memperkuat kegiatan ekonomi di wilayah yang kurang
berkembang.

C. faktor yang mempengaruhi ketidakmerataan distribusi pendapatan

beberapa faktor yang dapat mempengaruhi ketidakmerataan distribusi pendapatan, di

antaranya:

1. Pendidikan dan Keterampilan: Pendidikan dan keterampilan yang rendah dapat membatasi akses
seseorang ke pekerjaan yang membayar lebih baik. Karena itu, mereka cenderung menerima upah yang
lebih rendah dan berkontribusi terhadap ketidakmerataan pendapatan.

2. Kondisi Pasar Tenaga Kerja: Ketidakmerataan dapat terjadi ketika permintaan dan penawaran tenaga
kerja tidak seimbang. Jika jumlah pekerja yang tersedia melebihi jumlah pekerjaan yang tersedia, maka
akan terjadi persaingan dan mempengaruhi upah yang diterima pekerja.

3. Ketimpangan Regional: Ketimpangan regional dapat menyebabkan ketidakmerataan pendapatan.


Wilayah yang lebih berkembang biasanya memiliki lapangan kerja yang lebih banyak, sementara wilayah
yang kurang berkembang cenderung memiliki lapangan kerja yang sedikit dan upah yang rendah.

4. Kebijakan Pemerintah: Kebijakan pemerintah seperti pajak, subsidi, dan kebijakan fiskal dapat
mempengaruhi distribusi pendapatan. Jika kebijakan pemerintah mendukung kelompok-kelompok
tertentu, maka dapat meningkatkan ketidakmerataan pendapatan.

5. Kepemilikan Aset: Pemilik aset seperti tanah, perusahaan, dan modal, dapat mempengaruhi distribusi
pendapatan. Jika sebagian besar aset dikuasai oleh kelompok yang kecil, maka mereka dapat
mengendalikan distribusi pendapatan.

6. Gender: Ketidakmerataan pendapatan dapat terjadi juga karena perbedaan gender. Di beberapa negara,
upah untuk pekerja wanita cenderung lebih rendah dibandingkan dengan pekerja pria, sehingga
menyebabkan ketidakmerataan pendapatan antara lakilaki dan perempuan.

D. Ukuran ekonomi mempengaruhi tingkat kemiskinan di suatu negara

Ukuran ekonomi suatu negara dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan di negara tersebut. Semakin besar
ukuran ekonomi suatu negara, semakin besar pula kemungkinan adanya peluang kerja dan meningkatnya
pendapatan. Dengan demikian, kemungkinan terjadi penurunan tingkat kemiskinan juga semakin
besar.Jika perekonomian suatu negara tumbuh dengan cepat, maka lapangan kerja akan meningkat,
sehingga kesempatan untuk menghasilkan pendapatan yang lebih baik akan meningkat. Selain itu,
pertumbuhan ekonomi juga dapat memperbaiki akses pendidikan, kesehatan, dan fasilitas infrastruktur di
suatu negara, yang dapat memperbaiki kondisi kehidupan penduduk. Ini semua dapat mengurangi tingkat
kemiskinan di negara tersebut.

Namun, pertumbuhan ekonomi yang terlalu cepat tidak selalu dapat menyelesaikan masalah kemiskinan.
Jika pertumbuhan ekonomi tidak merata, dan hanya didominasi oleh sektor tertentu atau kelompok
tertentu saja, maka hal ini dapat memperburuk ketidakmerataan pendapatan dan meningkatkan
kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Kondisi ini juga dapat memperburuk tingkat kemiskinan di
negara tersebut.Oleh karena itu, penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan
inklusif, dengan memperhatikan keterlibatan seluruh sektor dan kelompok masyarakat dalam kegiatan
ekonomi. Diperlukan juga upaya untuk mengurangi kesenjangan ekonomi dan memperkuat kebijakan
yang menjamin hak-hak sosial dan ekonomi untuk semua penduduk, terutama mereka yang hidup di
bawah garis kemiskinan.

E. Kebijakan atau solusi yang dapat diterapkan untuk mengurangi ketidakmerataan distribusi
pendapatan dan mengatasi kemiskinan

Berikut adalah beberapa kebijakan atau solusi yang dapat diterapkan untuk mengurangi ketidakmerataan
distribusi pendapatan dan mengatasi kemiskinan:

1. Kebijakan Pendidikan: Meningkatkan akses pendidikan untuk semua penduduk dapat meningkatkan
keterampilan dan kualifikasi pekerjaan, sehingga membuka peluang kerja yang lebih baik dan
meningkatkan pendapatan. Pendidikan juga dapat meningkatkan kesadaran akan masalah kemiskinan dan
ketidakmerataan pendapatan, dan dapat memperkuat partisipasi masyarakat dalam mengatasi masalah
tersebut.

2. Kebijakan Fiskal: Kebijakan fiskal dapat digunakan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang
lebih rendah melalui pengurangan pajak atau pemberian subsidi yang lebih tepat sasaran. Selain itu,
kebijakan fiskal juga dapat digunakan untuk mengatasi ketidakmerataan pendapatan dengan mengenakan
pajak yang lebih tinggi pada kelompok masyarakat yang lebih kaya.

3. Kebijakan Kesejahteraan Sosial: Kebijakan kesejahteraan sosial dapat membantu mengurangi


kemiskinan dengan memberikan bantuan finansial atau bantuan sosial kepada kelompok masyarakat yang
lebih rentan seperti anak-anak, lansia, orang miskin, dan orang dengan cacat.
4. Kebijakan Pembangunan Infrastruktur: Kebijakan pembangunan infrastruktur seperti jalan raya,
jaringan listrik, dan akses air bersih dapat meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam aktivitas ekonomi
dan meningkatkan kualitas hidup mereka, sehingga dapat membantu mengurangi kemiskinan.

5. Kebijakan Pemberdayaan Ekonomi: Kebijakan pemberdayaan ekonomi seperti pengembangan usaha


mikro dan kecil, pelatihan keterampilan, dan program bantuan teknis dapat meningkatkan keterlibatan
masyarakat dalam kegiatan ekonomi dan meningkatkan pendapatan mereka.6. Kebijakan Perlindungan
Tenaga Kerja: Kebijakan perlindungan tenaga kerja seperti upah minimum, jam kerja yang wajar, dan
hak-hak tenaga kerja yang adil dapat membantu mengatasi ketidakmerataan pendapatan dan memperkuat
perlindungan bagi kelompok masyarakat yang lebih rentan.

7. Perlu adanya pola pertumbuhan mendorong lebih banyak dan lebih baik kualitaspekerjaan, pendapatan
yang lebih tinggi dan kesempatan ekonomi bagi semua lapisan penduduk.

BAB VIII

BAB IX
Kebijakan Fiskal : Dampaknya Terhadap Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan

Kemiskinan masih merupakan masalah yang serius dan memiliki keterkaitan yang erat dengan
pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah
untuk me ngatasi masalah kemiskinan tersebut. Kebijakan fiskal yang dilakukan merupakan
salah satu kebijakan pemerintah, yang langsung ataupun tidak langsung dapat memberi dampak
terhadap kemiskinan di Indonesia.

Pada bab ini, adalah sebuah ulasan kajian yang dibuat untuk memperlihatkan contoh penggunaan
teori dan berbagai formula yang sudah ada pada materi-materi sebelumnya. Oleh karena itu, pada
pembahasan materi, akan dipaparkan mengenai hasil penelitian mengenai dampak kebijakan
pengurangan subsidi BBM, diikuti dengan pemberian kompensasi kepada masyarakat miskin
berupa BLT terhadap tingkat kemiskinan dan distribusi pendapatan.
A. Metodologi dan spesifikasi umum kajian

Fokus utama pembahasan ini yaitu untuk melihat dampak kebijakan fiskal terhadapat
distribusi pendapatan dan kemiskinan di indonesia. Kebijakan fiskal yang dimana mencakup

kebijakan pengurangan subsidi BBM;

1. Kebijakan pemberian transfer pendapatan langsung yang dilakukan pemerintah


terhadap rumah tangga dalam bentuk bantuan langsung tunai ( BLT)
2. Kebijakan pengalihan subsidi dari sektor BBM ke sektor pertanian tanaman pangan
dan lainnya.

Data yang digunakan dalam penelitian tersebut sebagian besar merupakan data sekunder,
Yang dimana menggunakan neraca sosial ekonomi (SNSE) atau social accounting matrik(SAM)
indonesia 2005, data SUSENAS indonesia 2005 serta data lain yang bersumber dari badan pusat
statistik indonesia, Bank indonesia dan sumber lain yang relevan. Selain itu, diperlukan data-data
yang makroekonomi dan sektoral parameter dugaan dari berbagai sistem persamaan yang didapat
dari hasil penelitian yang bersumber dari orang lain. Model yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu CGE yang dikembangkan dari model AGFIS (Applied General Equilibrium For Fiscal
Policy) yang dimana dikembangkan oleh CEDS(Center For Economics And Development
Studies) Universitas padjajaran dan juga bekerjasama dengan kebijakan fiskal Republik
indonesia.

Dari penelitian yang dilakukan tersebut terdapat keterbatasan yang dimana yaitu sebagai
berikut:

1. Belum adanya link teoritis yang menghubungkan antara penerimaan dan pengeluaran
pemerintah untuk investasi (Capital Expenditure )
2. Keterbatasan parameter yang ada untuk indonesia sehingga banyaknya adopsi dari
hasil penelitian negara lain
3. Keterbatasan model yang dimana tidak semua sektor yang ada dalam SNSE(SAM)
dimasukkan dalam model
4. Keterbatasan rumah tangga yang dimana rumah tangga hanya dibagi kedalam 4
golongan dari 10 golongan pada SAM indonesia.

B. Simulasi Kebijakan

Sejak tahun 2000 sejarah pemerintah berusaha mengurangi berbagai subsidi terutama
BBM. Pemerintah beralasan jika sebagai besar subsidi di nikmati oleh orang yang bukan
golongan miskin. BBM yang disubsidi lebih banyak digunakan oleh industri dan kendaraan yang
semuanya yang bukan dimiliki oleh orang miskin. Meskipun demikian,jika subsidi tersebut
dihapuskan akan terjadi kenaikan BBM. Kenaikan harga ini sangat memicu terjadinya kenaikan
harga barang lainnya. Sebagian masyarakat berpendapat jika hal ini tidak menjadi masalah
mereka hanya perlu melakukan penyesuaian pengeluaran dan Saving.

C. Analisis Tingkat Pendapatan dan Kemiskinan

Besarnya dampak simulasi kebijakan terhadap tingkat pendapatan rumahtangga diperoleh


dari hasil simulasi model CGE. Sedangkan untuk mengetahui dampak simulasi kebijakan
terhadap tingkat kemiskinan digunakan metode pengukuran Foster-Greer-Thorbecke (IGT inde)
jika rata-rata pendapatan meningkat sebesar y, maka pendapatan setiap Rumah tangga dalam
kelompok juga meningkat sebesar y. Dengan aturan ini, distribusi pendapatan secara
proporsional akan bergeser secara horizontal di dalam pendapatan. Aturan ini mengizinkan untuk
membandingkan tingkat kemiskinan yang dihasilkan pada kasus sebelum dengan sesudah
simulasi. Bentuk persamaan dari FGT ini dapat dilihat pada persamaan (2.2.8), dengan a adalah
derajat kemiskinan yang bersifat arbiter dan P. adalah indeks kemiskinan menurut FGT. Bila a-0,
maka Pa disebut juga dengan head count index, menunjukkan proporsi penduduk yang berada di
bawah garis kemiskinan. Didefinisikan sebagai persentase jumlah
penduduk miskin terhadap total penduduk. Bila a -1, maka diperoleh indeks P1. Indeks ini
digunakan untuk mengukur kedalaman kemiskinan atau kurang kemiskinan (depth of poverty
index) atau tingkat kesenjangan kemiskinan (poverty gap index). Indeks ini menggambarkan
ukuran rata-rata ketimpangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis
kemiskinan atau total kesenjangan dari seluruh rumahtangga dalam kelompok terhadap garis
kemiskinan, Bila a-2, maka diperoleh indeks Ps Indeks ini digunakan untuk mengukur tingkat
keparahan kemiskinan (poverty severily index)

A. Dampak Simulasi Kebiiakan Terhadap Kinerja Ekonomi Makro

Dampak simulasi kebijakan untuk ketiga skenario (penguran subsidi BBM secara
bertahap hingga mencapai nol diikuli deng pemberian BLT, kebijakan pengalihan subsidi BBM
ke sektor Pertanian Tanaman pangan serla kebijakan pengalihan subsidi BBM ke sektor
Pertanian Tanaman Lainnya) terhadap kinerja ckonomi makro di perlihatkan pada Tabel 10.2
Tabel 10.2 memperlihatkan bahwa kebijakan pengurangan subsidi BBM dilanjutkan dengan
pemberian BIT (Sim 1_a, 1_b dan 1_c) secara umum memberikan dampak negatif terhadap
kinerja ekonomi makro Semua variabel makro mengalami penurunan kecuali government saeing
(delSC) dan nominal export (wexp_c). Kenaikan government savins ini terutama disebabkan
surplus antara pengurangan subsidi yang dilakukan dengan BLT yang diberikan. Kenaikan
nominal export adanya suatu proses pada saat terjadinya Pengurangan subsidi mengakibatkan
daya beli masyarakat mengalami Penurunan karena harga-harga naik akibatnya barang barang
domestik yang direncanakan untuk dikonsumsi domestik dialihkan menjadi

Barang- barang ekspor sehingga nominal ekspor mengalami peningkatan.

B. Dampak Kebijakan Pengurangan Subsidi BBM dikuti Pemberian Kompensasi Terhadap


Tingkat Pendapatan dan Kemiskinan
Ketimpangan dalam distribusi pendapatan, kesenjangan kesejahtera dan kemiskinan
selalu menjadi perhatian berbagai pihak, baik perencana pembangunan, peneliti sosial, politisi
maupun masyarakat Pada tingkat nasional dinamika tingkat kemiskinan di Indonesia seringkali
tidak sejalan dengan tingkat pertumbuhan eckonomi Terdapat beberapa periode di mana
pertumbuhan ekonomi diwarnai dengan peningkatan kemiskinan. Walaupun pertumbuhan
ekonomi cukup tinggi, namun tetap saja tingkat kemiskinan juga tinggi (Suselo & Tarsidin,
2008). Biro Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah penduduk miskin di tahun 2009 hampir
mencapai 35,10 juta (14,14 persen), hampir sama dengan posisi pada tahun 1990 (15,10 persen)
bahkan lebih rendah dari kondisi tahun 1993 (13,70 persen). Kurun waktu 1976-1996 tingkat
kemiskinan menurun secara signifikan dari 40 persen menjadi sekitar 17,7 persen. Seiring
dengan perbaikan perekonomian pasca krisis, tingkat kemiskinan juga menurun dari 15,12
persen di tahun 2008 menjadi 14,14 persen di tahun 2009. Meski telah terjadi penurunan yang

signilfikan, tetap saja kemiskinan menjadi dilema dan masalah yang harus dipecahkan, Untuk
mengatasi kemiskinan, berbagai kebijakan telah dilakukan pemerintah mulai dari jaring
pengaman sosial, program padat karya, subsidi harga pangan dengan bantuan langsung berupa
beras untuk keluarga miskin serta bantuan tunai langsung. Dalam RPJM 2004-2009 secara
spesifik telah disebutkan bahwva target yang ingin dicapai adalah menurunkan penduduk miskin
dari 16,7 persen tahun 2004 menjadi 8,2 persen tahun 2009. Untuk nAingentaskan kemiskinan
tersebut pemerintah telah mengeluarkan dana yang cukup besar. Pada tahun 2004 telah
dikucurkan dana mencapai Rp 18 triliun, dan kemudian meningkat menjadi Rp 23 triliun pada
tahun 2005. Sementara selama periode 2006 naik hampir dua kali lipat menjadi Rp 42 triliun dan
bertambah menjadi Rp 51 triliun pada tahun 2007 (Bappenas, 2007) Pada akhir Maret tahun
2009 anggaran kemiskinan sudah bertambah menjadi Rp 66,2 triliun dengan penurunan angka
kemiskinan hanya sebesar 1,27 persen dari tahun 2008 (BPS, 2009). Berbagai subsidi
diluncurkan pemerintah untuk meningkatkan daya beli masyarakat termasuk subsidi Bahan
Bakar Minyak (BBM). Tingginya biaya pengurangan kemiskinan ini juga telah memposisikan
pemerintah pada permasalahan defisit anggaran yang terus meningkat dari tahun ke tahun,
Kondisi ini akan memberi tekanan terhadap APBN terutama dani sisi pengeluaran, karena
pemerintah juga harus membayar cicilan pokok dari hutang ditambah suku bunga yang berlaku.
D. Analisis Distribusi Pendapatan

Untuk mengetahui dampak dari berbagai skenario dan simulasi terhadap distribusi
pendapatan digunakan metode beta density distribution function atau disebut juga dengan beta
distribution function. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti apa yang
diusulkan oleh Decaluwe, (1999), dan Agenor, et al (2003). Distribusi pendapatan diperoleh
dengan membandingkan pendapatan rumah tangga hasil simulasi dengan Tabel SUSENAS
Indonesia. Untuk menganalisis distribusi pendapatan berdasarkan kelompok rumah tangga
diusulkan suatu rumusan distribusi pendapatan sesuai dengan karakteristik dari kelompok rumah
tangga. Distribusi ini tergantung pada pendapatan maksimum dan minimum serta pada
kecondongan (skewness) distribusi pendapatan.

Untuk melihat distribusi pendapatan sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka rumah
tangga diklasifikasikan menjadi empat kelompok, yang terdiri dari: (1) RTNMISKOT, yaitu
rumah tangga tidak miskin di kota, (2) RTMISKOT, yaitu tumahtangga miskin di kota, (3)
RTNMISDES, yaitu rumah tangga tidak miskin di desa dan, (4) RTMISDES, yaitu rumah tangga
miskin di desa. Variasi pendapatan maksimum untuk semua rumah tangga berkisar antara
Rp117,258.80 hingga Rp38,213,000.00 per bulan, sedangkan variasi pendapatan minimum
berkisar antara Rp27,261.90 hingga Rp151,345.30 per bulan Rata-rata pendapatan terendah
berada pada kelompok rumah tangga miskin di desa (RTMISDES) yaitu sebesar Rp94,673.15
per bulan. Populasi terbesar berada pada kelompok rumah tangga tidak miskin di desa
(RTNMISDES) sebesar 50.80 persen diikuti oleh kelompok rumah tangga tidak miskin di kota
(RTMISKOT) sebesar 32.73 persen.

Analisis distribusi pendapatan dalam kajian ini ditinjau dari dua hal Pertama analisis
distribusi pendapan antar kelompok rumah tangga dan yang kedua analisis distribusi pendapatan
antar rumah tangga dalam kelompok. Analisis distribusi pendapatan antar kelompok dilakukan
dengan membandingkan persentase jumlah penduduk dengan persentase jumlah pendapatan
untuk setiap kelompok menggunakan karakteristik pendapatan rumah tangga yang diperoleh dari
Data Susenas 2005. Hal ini sesuai dengan teori yang mendasari kurva Lorenz, dimana
pemerataan sempurna terjadi apabila X persen dari jumlah penduduk menerima X persen dari
total pendapatan.
Berdasarkan Tabel 10.15, terlihat bahwa terjadi ketimpangan distribusi pendapatan antar
kelompok rumah tangga, baik antar kelompok rumah tangga yang berada di kota, antar
kelompok rumah tangga yang berada di desa maupun antar kelompok rumah tangga tidak miskin
dengan kelompok rumah tangga miskin

Dari total pendapatan yang ada, lebih dari setengahnya atau 54.62 persen di antaranya
dinikmati oleh rumah tangga tidak miskin di kota yang berjumlah 32.73 persen. Artinya
kelompok rumah tangga tidak miskin di kota yang berjumlah 32.73 persen dari total penduduk
ternyata menguasai 54.62 persen dari total pendapatan yang ada. Sedangkan kelompok rumah
tangga miskin di kota yang berjumlah 47 persen hanya memperoleh 0.86 persen dari total
pendapatan.

Rumah tangga tidak miskin di desa yang berjumlah 50.80 persen menguasai 1281 persen
dari total pendapatan sedangkan sisanya sebesar 168 persen dar total pendapatan dinikmati oleh
rumah tangga miskin di desa yang berjumlah 1177 persen dan total rumah tangga. Jika
dibandingkan perolehan pendapatan antara rumah tangga yang berada du kota dengar di desa,
maka rumah tangga yang berada di kota dengan jumlah 37.4 persen dari total rumah tangga
temnyata menguasai lebih setengah (55.48 persen) dari total pendapatar. Sisanya sebesar 44.52
persen bagi dikuasai olely rumah tangga di desa yang berjumlah 65.57 persen dari Total
rumahtangg

Bila perbandinganrıya antara rumah tangga tidak miskin dengan rumah tangga miskin, ternyata
97,46 persen dari tatal pendapatan dimiliki oleh rumah tangga tidak miskin yang berjumlah
83.53 persen dari total rumah tangga. Dengan kata lain, rumah tangga mi kun yang berjumlah
16.47 persen die total rumah tangga harga maxima 2.54 persen dari total pendapatan. Bila rumah
tangga dibagi kedalam tiga kelompok berdasarkan tingkat pendapatannya, maka akan terbagi
kedalam kelompok rendah, menengah, dan tinggi. Sesuai dengan kriteria Bank Dunia dalam
menentukan tingkat pemerataan pendapatan, yaitu 40 persen penduduk berpendapatan rendah, 40
persen penduduk berpendapatan menengah, dan sisanya 20 persen penduduk berpendapatan
tinggi (Nanga, 2006).

Selanjutnya Bank Dunia, menentukan kriteria bahwa ukuran pemerataan atau


ketimpangan pendapatan dihitung dengan pertimbangan

1. Apabila 40 persen penduduk pada lapisan berpendapatan rendah mempunyai pangsa


pendapatan kurang dari 12 persen dan pendapatan total, maka keadaan ini dinyatakan
dengan ketimpangan atau ketidakmerataan "tinggi".
2. Apabila 40 persen penduduk pada lapisan berpendapatan rendah mempunyai pangsa
pendapatan antara 12-17 persen dari pendapatan total, maka keadaan ini dinyatakan
dengan ketimpangan atau ketidakmerataan "sedang".
3. Apabila 40 persen penduduk pada lapisan berpendapatan rendah mempunyai pangsa
pendapatan diatas 17 persen dari pendapatan tatal, maka keadaan ini dinyatakan dengan
ketimpangan atau ketidakmerataan "rendah"

Analisis distribusi pendapatan rumah tangga dalam kelompok pada penelitian ini
menggunakan distribution fuction. Parameter mx dan mn berturut-turut merupakan pendapatan
maksimum dan minimum dalam kelompok rumah tangga. Sedangkan paramater p dan q akan
mempengaruhi bentuk ketimpangan distribusi pendapatan untuk masing- masing kelompok
rumah tangga. Jika pɔg maka distribusi pendapatan relatif condong ke kiri. Hal ini
mengindikasikan bahwa ketimpangan dalam distribusi pendapatan semakin meningkat.
Sebaliknya, jika q>p maka distribusi pendapatan menjadi lebih condong ke kanan. Hal ini jug
mengindikasikan terjadi ketimpangan dalam distribusi pendapatan k p=q, fungsi menjadi
simetris, dengan kata lain tidak terdapat ketimpangan distribusi pendapatan.

Dampak Simulasi Kebijakan Terhadap Distribusi Pendapatan Rumah tangga Tidak Miskin
di Kota Dibuat sebuah skenario kebijakan yaitu pengurangan subsidi BBM secara bertahap
hingga mencapai nol, kemudian skenario kedua pemberian BLT, dan ketiga adalah
pengalihan subsidi BBM ke sektor pertanian tanaman pangan. Setelah dilakukan, skenario
kebijakan 1 (pengurangan subsidi BBM secara bertahap hingga mencapai nol, diikuti dengan
pemberian kompensasi ke rumah tangga miskin berupa BLT sebesar Rp100.000,- per bulan
per rumah tangga miskin) untuk semua besaran simulasi tidak berdampak signifikan
terhadap perubahan distribusi pendapatan. Hal ini ditandai dengan tidak bergesernya kurva
hasil simulasi dari baseline-nya.

Demikian halnya dengan skenario kebijakan II (pengalihan subsidi BBM sebesar


pengurangan subsidi yang dilakukan pada skenario I ke sektor pertanian tanaman pangan)
Berbeda dengan skenario kebijakan I dan II. skenario kebijakan II: (pengalihan subsidi BBM
sebesar pengurangan subsidi yang dilakukan pada skenario I ke sektor pertanian tanaman
lainnya) berdampak pada penurunan ketimpangan distribusi pendapatan.

Dengan demikian, untuk kelompok rumah tangga tidak miskin di kota, di antara heliga skenario,
hanya skenario kebijakan III (Simulasi 3 c) yang memberikan dampak terhadap pemerataan
distribusi pendapatan. Tidak adanya dampak skenario I terhadap kelompok rumah tangga tidak
miskin di kota disebabkan karena BLT hanya diberikan kepada rumah tangga miskin oleh sebab
itu kelompok rumah tangga ini memang tidak mendapatkan BLT dari pemerintah karena tidak.
termasuk kelompok rumah tangga miskin.

Skenario 1 hanya berdampak terhadap penurunan tingkat pendapatan rumah tangga,


namun penurunan tingkat pendapatan ini secara visual tidak berpengaruh terhadap distribsui
pendapatan rumah tangga. Untuk skenario II, meskipun simulasi pengalihan subsidi BBM ke
sektor pertanian tanaman pangan sebesar 43.2 persen (simulasi 2_b) dan sebesar 100 persen
(simulasi 2_c) mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga seperti diperlihatkan pada Tabel
10.7, namun tidak cukup kuat untuk mempengaruhi distribusi pendapatan secara visual.

Dampak Simulasi Kebijakan Terhadap Distribusi Pendapatan Rumah tangga Miskin di Kota

Kebijakan mengurangi subsidi BBM diikuti dengan pemberian BLT kepada masyarakat
miskin di satu sisi mengurangi tingkat pendapatan dan memperparah tingkat kemiskinan, namun
di sisi lain kebijakan ini dapat menurunkan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan dalam
kelompok. Jika dianalisis lebih lanjut diketahui bahwa dalam kelompok yang sama, rumah
tangga dengan tingkat kapatan mendekati garis kemiskinan akan semakin miskin menjauhi garis
kemiskinan sehingga tingkat pendapatannya relatif mendekati rumah tangga yang sebelumnya
berada jauh dari garis kemiskinan Inilah yang menyebabkan distribusi pendapatan semakin
merata dengan tingkat kemiskinan yang semakin parah. Semakin tinggi tingkat pendapatan
rumah tangga di kota, sernakin besar pula aksesnya terhadap dampak yang diakibatkan oleh
penurunan subsidi BBM.

Dengan kata lain, rumah tangga dengan tingkat pendapatan lebih rendah akan lebih
sedikit menggunakan barang-barang yang berhubungan dengan BBM seperti transportasi, dan
lainnya. Sehingga kurva relatif bergeser ke kiri dengan tingkat distribusi yang lebih baik.
Simulasi 1 c memberikan dampak paling besar diikuti oleh simulasi 1 b dan simulasi 1_a.
Demikian halnya dengan skenario II walaupun dengan besaran dampak yang lebih kecil.
Kecilnya dampak skenario Il ini disebabkan relatif sedikitnya masyarakat miskin di kota yang
memiliki akses atau berkecimpung di sektor pertanian tanaman pangan. Sehingga, ketika
pemerintah mengambil kebijakan memberikan subsidi ke sektor pertanian tanaman pangan
(pengalihan dari subsidi BBM), hanya berdampak sangat kecil terhadap kelompok rumah tangga
ini. Sebaliknya dengan skenario kebijakan III. Skenario ini justru memper parah ketimpangan
distribusi pendapatan di dalam kelompok rumah tangga miskin di kota Dari simulasi 3 a hingga
simulasi 3_c terlihat bahwa semakin besar tingkat subsidi BBM yang dialihkan ke sektor
pertanian tanaman lainnya akan semakin besar pulla dampaknya terhadap kenaikan tingkat
pendapatan dan ketimpangan distribusinya.

Kebijakan yang dilakukan di satu sisi dapat menambah tingkat pendapatan rumah tangga
sehingga menurunkan tingkat kemiskinan (bertambahnya tingkat) namun di sisi lain kebijakan
ini juga mengakibatkan disparitas tingkat pendapatan yang semakin tinggi. Hal ini dapat
dijelaskan bahwa dengan adanya kebijakan pemerintah mengalihkan subsidi BBM ke sektor
Pertanian Tanaman Lainnya (seperti perkeliarangalakalan meningkatnya produksi sektor ini
Peningkatan produksi akan dikuti dengan meningkatnya kegiatan industri tuturonnya seperti
industri mebel, turunan minyak sawit dan Lainnya. Hal ini akan menciptakan lapangan kerja
baru dan menambah penghasilan pag ut tinggal di kota, namun karena kesempatan kerja yang
terbatas murskabatkan ketimpangan distribut pendapatan semakin meningkat

Dampak Simulasi Kebijakan Terhadap Distribusi Pendapatan Rumah tangga Tidak Miskin
di Desa
Untuk kelompok rumah tangga tidak miskin di desa, skenario kebijakan I dan II untuk
semua simulasi tidak berdampak signifikan terhadap perubahan distribusi pendapatan. Skenario
kebijakan 1 hanya memberikan dampak terhadap penurunan tingkat pendapatan sesuai dengan
hasil simulasi. Skenario kebijakan II, meskipun memberikan dampak perbaikan terhadap tingkat
pendapatan rumah tangga, namun tidak cukup mempengaruhi distribusi pendapatan secara
visual, namun skenario kebijakan III memberikan dampak terhadap perbaikan sitribusi
pendapatan kelompok rumah tangga miskin di desa.

Dampak Simulasi Kebijakan Terhadap Distribusi Pendapatan Rumah tangga Miskin di Desa

Skenario kebijakan skenario kebijakan I memberikan dampak positif terhadap perbaikan


distribusi pendapatan dalam kelompok. Namun disisi lain, kebijakan pemerintah mengurangu
subsidi BBM diikuti dengan pemberian BLT kepada rumah tangga miskin berdampak pada
pengurangan tingkat pendaparan rumah tangga dan menambah tingkat kemiskinan. Tapi disisi
yang lain, kebijakan ini memiliki dampak terhadap pengurangan kesenjangan distribusi
pendapatan pada kelompok rumah tangga miskin di desa.

Berbeda dengan skenario I, skenario II justri memberikan dampak sebaliknya terhadap


distribusi pendapatan pada kelompok rumah tangga miskin di desa. Sama halnya dengan
skenario II, skenario III juga memberikan dampak yang sama, karena setelah dilakukan simulasi
ketimpangan pendapatan semakin tajam. Ketimpangan ini terjadi karena peningkatan pendapatan
rumah tangga yang tinggi akibat skenario kebijakan III.

Anda mungkin juga menyukai