MASALAH KEMISKINAN
Oleh: Prasetijono Widjojo MJ1
Pengantar
Akibat kenaikan harga BBM sudah dipastikan akan terjadi kenaikan harga-
harga barang dan jasa karena dipicu oleh meningkatnya biaya transportasi maupun
biaya lainnya. Kenaikan harga barang-barang dan jasa ataupun harga-harga umum
ini harus dibedakan antara yang sifatnya “kenaikan yang hanya sekali” (one time
increase) atau kenaikan yang terus menerus (continuous increase). Kenaikan harga
umum yang terus berlanjut untuk satu periode tertentu disebut dengan inflasi.
Kenaikan harga BBM apabila bersifat inflatoir dapat merambat melalui sisi produksi
maupun sisi konsumsi. Kenaikan harga BBM berpengaruh kepada biaya transportasi
maupun biaya produksi dimana BBM tersebut digunakan sebagai input dalam
proses produksi. Inflasi yang didorong oleh kenaikan biaya produksi barang dan jasa
biasa disebut dengan cost push inflation. Inflasi ini cenderung akan memperlemah
daya beli masyarakat (purchasing power) terutama untuk kelompok masyarakat
berpendapatan tetap (fixed income people). Bagi pedagang (penjual barang dan
jasa) kenaikan harga ini akan dialihkan kepada konsumen agar dapat memperoleh
keuntungan, walaupun masih akan ada risiko penurunan jumlah penjualan karena
menurunnya daya beli konsumen. BBM dikonsumsi tidak hanya untuk transportasi
tetapi juga untuk kebutuhan industri. Sehingga harga barang produksi juga terdorong
naik. Singkatnya dampak akhir penyesuaian harga BBM dapat bersifat inflatoir dan
akan dialihkan kepada dan dirasakan oleh konsumen. Bagi mereka yang
berpendapatan menengah keatas akan masih bisa bertahan selama periode
tertentu, namun bagi kelompok miskin dan rentan dampak tersebut akan terasa lebih
berat karena lemahnya daya beli mereka. Pemberian Bantuan Langsung Tunai
(BLT) dimaksudkan untuk memberikan bantalan kepada kelompok miskin agar
tekanan inflasi dapat dikurangi dan mereka tidak semakin terperosok dalam
kemiskinan. Subsidi BBM dikurangi dan dialihkan kepada BLT BBM dan akan
1
Ketua Pusat Studi Kebijakan Nasional Indonesia, Anggota Tim Ahli Gugus Tugas Nasional Gerakan Nasional
Revolusi Mental (GNRM), Anggota Dewan Pengawas Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI Pusat) Anggota
Dewan Pakar PA-GMNI, Anggota Dewan Pakar FKPPI, Ekonom Senior Aliansi Kebangsaan.
diberikan untuk 4 (empat) bulan mulai bulan September 2022 sampai dengan
Desember 2022. Inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga BBM ini cenderung
bersifat cost push dari pada demand pull inflation. Daya beli masyarakat yang
menurun cenderung akan mengurangi permintaan akan barang dan jasa. Apabila
penurunan permintaan bersifat massif dan luas dapat mengakibatkan penurunan
permintaan agregat dalam ekonomi nasional. Dampak yang paling parah adalah
terjadinya stagflasi, dimana perekonomian mengalami stagnasi namun pada saat
yang sama terjadi inflasi. Beberapa negara di dunia saat ini mengalami stagflasi
sebagai akibat pandemic Covid-19 dan adanya perang Russia-Ukraina yang
menyebabkan krisis energi dan pangan di berbagai negara.
Pemberian BLT BBM untuk selama empat bulan tersebut memang akan
sangat membantu kelompok miskin karena ada bantalan untuk menahan tekanan
inflasi, walaupun sifatnya hanya sementara (temporary relief). Ibaratnya BLT hanya
akan mengobati rasa demam, tetapi tidak mengobati penyakit yang sebenarnya
diderita. BLT hanya mengobati symptom penyakit kemiskinan sebagai akibat adanya
goncangan ekonomi, yang dalam hal ini tekanan harga-harga ataupun inflasi. Dilihat
dari peruntukannya, BLT juga cenderung bersifat konsumtif dari pada produktif,
sehingga pengalihan subsidi BBM sudah dapat diperkirakan lebih untuk membantu
consumption driven economic growth, yaitu pertumbuhan ekonomi yang didorong
oleh pengeluaran untuk konsumsi, utamanya RT. Dalam jangka pendek memang
akan membantu penguatan daya beli masyarakat miskin, namun dalam jangka
panjang akan masih menjadi pertanyaan apakah pertumbuhan ekonomi yang
dicapai akan mampu berkelanjutan (sustainable) sehingga masyarakat miskin benar-
benar akan terentaskan dari kemiskinan. Dibalik kebijakan pengalihan subsidi BBM
pasti ada landasan asumsinya, paling tidak dengan harapan setelah 4-6 bulan
kondisi ekonomi sudah lebih membaik. Namun apabila setelah 4-6 bulan terjadi
goncangan ekonomi (economic shocks) lagi, maka dapat diduga jurus BLT akan
terulang lagi sebagai solusi masalah pengurangan kemiskinan dan bantalan daya
beli masyarakat miskin. Sementara itu kondisi pemburukan ekonomi global masih
berlangsung dan perang Russia-Ukraina belum bisa dipastikan kapan akan berakhir.
Kebijakan bansos saat ini akan sangat tergantung kemampuan “cash flow” APBN.
Oleh karena itu harus dicari cara selain kebijakan bansos bersifat konsumtif agar
solusi terhadap persoalan kemiskinan tidak bersifat temporer (sesaat). Sudah
saatnya dirancang “exit strategy” agar masyarakat miskin dan rentan dapat
terentaskan keluar dari kemiskinan secara berkelanjutan. Daya beli dan daya juang
masyarakat miskin harus dibangun agar tidak tergantung kepada bansos, khususnya
BLT.
Dalam RAPBN 2023, ada Tujuh Prioritas Nasional sejalan dengan Tema RKP
2023: “Peningkatan Produktivitas Untuk Transformasi Ekonomi yang Inklusif dan
Berkelanjutan”. Kebijakan Perlindungan Sosial (Perlinsos) masuk dalam prioritas
ketiga “Meningkatkan Sumber Daya Manusia Berkualitas dan Berdaya Saing”. Salah
Perlinsos merupakan salah satu sasaran yang disebutkan dalam butir kedua, yaitu
“Meningkatnya perlindungan sosial bagi seluruh pendidikan dengan mendorong
peningkatan: (a) proporsi penduduk yang tercakup dalam program jaminan sosial,
dan (b) proporsi rumah tangga (RT) miskin dan rentan yang memperkokoh bantuan
sosial pemerintah. Rencana belanja dituangkan dalam Belanja Bantuan Sosial
melalui berbagai program, seperti: Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan
Pangan Non Tunai (BNPT)/Kartu Sembako, Program Indonesia Pintar (PIP),
Bantuan Pendidikan Mahasiswa Miskin Berorestasi (Bidikmisi)/KIP Kuliah, dan
Bantuan Iuran PBI Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Total anggaran Belanja
Bantuan Sosial di 2023 direncanakan sebesar Rp. 143.565,2miliar. Program bansos
tersebut terus dilanjutkan dan dengan mendorong percepatan reformasi Sistem
Perlindungan Sosial melalui perbaikan data sasaran menuju registrasi sosial
ekonomi (regsosek), integrarsi program Bantuan Sosial, digitalisasi Bantuan Sosial,
graduasi Bantuan Sosial, dan perlindungan sosial adaptif, termasuk bagi lanjut usia
dan disabilitas.i
Pengalihan subsidi BBM sebesar Rp.24,17 triliun (BLT, BSU, dan DAU&DBH)
yg disalurkan selama 4 bulan sampai Desember 2022, akan berlanjut dengan
program tahunan melalui Bansos kepada K/L sebesar Rp. 143.565,3 miliar (Rp.
143,6 triliun). Temporary remedial terhadap kemiskinan akibat kenaikan BBM
(realokasi subsidi BBM kepada bansos) akan tidak berulang-ulang dilakukan kalau
program tahunan dan jangka menengahnya betul-betul sesuai Temanya
“Peningkatan Produktivitas Untuk Transformasi Ekonomi yang Inklusif dan
Berkelanjutan”. Persoalannya adalah apakah program-program prioritas lainnya
seperti tertuang dalam enam (6) prioritas lainnya terkoneksi dengan baik dengan
program bansos, dan bagaimana mengawalnya agar program tersebut efektif dalam
pencapaian target-targetnya? Kita semua juga faham evaluasi tidak bisa dilakukan
secara sepotong-sepotong dengan hanya melihat program bansos secara khusus.
Walaupun kita bisa secara umum mengkritisi apakah model yang digunakan dalam
program bansos tersebut memang sudah “well design” dan terintegrasi dalam
mendukung tema pokok: peningkatan produkrivitas, mendorong transformasi
ekonomi, bersifat inklusif dan berkelanjutan.
Menurut data BPS yang diambil dari Susenas, rata-rata penurunan tingkat
kemiskinan sejak 2014-2017 dibawah 1% atau bahkan di bawah 0,5%. Sedangkan
tingkat kemiskinan sejak Maret 2017 (10,64%) sampai Maret 2021 (10,14%) dan
September 2021 (9,71%) telah menurun di bawah 1%, sehingga selama 4 tahun
hanya terjadi penurunan rata-rata dibawah 0,25%iii. Dengan catatan sempat
mengalami kenaikan di tahun 2020 akibat terjadinya pandemi COVID-19.
Inpres No.4 tahun 2022 mentargetkan zero percent extreme poverty di 2024,
sementara sasaran tingkat kemiskinan di 2022 dan 2023 adalah masing-masing 8,5-
9,0% dan 7,5-8,5%. Kalau extreme poverty di Maret 2021 sebesar 4% dan di 2024
ditargetkan menjadi nol% maka dalam waktu 3 tahun sejak 2021 tingkat kemiskinan
ekstreem harus bisa diturunkan dengan rata-rata di atas 1% per tahun. Dari
pengalaman terlihat bahwa penurunan tingkat kemiskinan belum pernah mencapai
1% per tahun (bahkan rata-rata penurunannya di bawah 0,5%). Catatan angka ini
menuntut adanya kerja “superkeras” para penyelenggara negara dan tidak bekerja
secara “business as usual” agar target Inpres No.4 tahun 2022 dapat tercapai.
Kondisi ini menuntut nilai-nilai strategis instrumental revolusi mental (NSIRM)iv, yaitu
integritas, etos kerja, dan gotong-royong, benar-benar sudah menyatu dan menjiwai
para penyelenggara negara, terutama birokrasi baik di pusat maupun di daerah.
Apalagi tahun 2021 program akselerasi pengurangan kemiskinan baru bersifat “pilot
project” dan diperlukan di 514 Kabupaten/Kota di 2023. Sementara kita tahu bahwa
pengelolaan program/proyek yang bersifat uji coba (piloting) dengan proyek yang
diperluas dalam skala yang massif adalah hal yang jauh berbeda. It is entirely a
different ball game. Apalagi kalau disadari bahwa Bansos (khususnya model BLT)
hanya bersifat shock absorber dan temporary, sehingga cenderung akan diulang
kembali sebagai jurus yang digunakan dalam merespon krisis ekonomi, jurus yang
sifatnya cenderung tidak sustainable.
Rekomendasi Kebijakan
i
Buku II Nota Keuangan beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2023,
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2022, halaman 272-277.
ii
Buku II NK dan RAPBN Tahun 2023, halaman 272-275.
iii
Badan Pusat Statistik.
iv
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 2021 Tentang Pedoman Umum Gerakan Nasional Revolusi Mental, 2021.
v
Mempoeradabkan Bangsa: Paradigma Pancasila untuk Membangun Indonesia, Aliansi Kebangsaan, Penerbit
Kompas, Jakarta, 2022.