Anda di halaman 1dari 13

BANTUAN LANGSUNG TUNAI: SOLUSI SYMPTOMATIC BAGI

MASALAH KEMISKINAN
Oleh: Prasetijono Widjojo MJ1

Pengantar

Akibat kenaikan harga BBM sudah dipastikan akan terjadi kenaikan harga-
harga barang dan jasa karena dipicu oleh meningkatnya biaya transportasi maupun
biaya lainnya. Kenaikan harga barang-barang dan jasa ataupun harga-harga umum
ini harus dibedakan antara yang sifatnya “kenaikan yang hanya sekali” (one time
increase) atau kenaikan yang terus menerus (continuous increase). Kenaikan harga
umum yang terus berlanjut untuk satu periode tertentu disebut dengan inflasi.
Kenaikan harga BBM apabila bersifat inflatoir dapat merambat melalui sisi produksi
maupun sisi konsumsi. Kenaikan harga BBM berpengaruh kepada biaya transportasi
maupun biaya produksi dimana BBM tersebut digunakan sebagai input dalam
proses produksi. Inflasi yang didorong oleh kenaikan biaya produksi barang dan jasa
biasa disebut dengan cost push inflation. Inflasi ini cenderung akan memperlemah
daya beli masyarakat (purchasing power) terutama untuk kelompok masyarakat
berpendapatan tetap (fixed income people). Bagi pedagang (penjual barang dan
jasa) kenaikan harga ini akan dialihkan kepada konsumen agar dapat memperoleh
keuntungan, walaupun masih akan ada risiko penurunan jumlah penjualan karena
menurunnya daya beli konsumen. BBM dikonsumsi tidak hanya untuk transportasi
tetapi juga untuk kebutuhan industri. Sehingga harga barang produksi juga terdorong
naik. Singkatnya dampak akhir penyesuaian harga BBM dapat bersifat inflatoir dan
akan dialihkan kepada dan dirasakan oleh konsumen. Bagi mereka yang
berpendapatan menengah keatas akan masih bisa bertahan selama periode
tertentu, namun bagi kelompok miskin dan rentan dampak tersebut akan terasa lebih
berat karena lemahnya daya beli mereka. Pemberian Bantuan Langsung Tunai
(BLT) dimaksudkan untuk memberikan bantalan kepada kelompok miskin agar
tekanan inflasi dapat dikurangi dan mereka tidak semakin terperosok dalam
kemiskinan. Subsidi BBM dikurangi dan dialihkan kepada BLT BBM dan akan

1
Ketua Pusat Studi Kebijakan Nasional Indonesia, Anggota Tim Ahli Gugus Tugas Nasional Gerakan Nasional
Revolusi Mental (GNRM), Anggota Dewan Pengawas Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI Pusat) Anggota
Dewan Pakar PA-GMNI, Anggota Dewan Pakar FKPPI, Ekonom Senior Aliansi Kebangsaan.
diberikan untuk 4 (empat) bulan mulai bulan September 2022 sampai dengan
Desember 2022. Inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga BBM ini cenderung
bersifat cost push dari pada demand pull inflation. Daya beli masyarakat yang
menurun cenderung akan mengurangi permintaan akan barang dan jasa. Apabila
penurunan permintaan bersifat massif dan luas dapat mengakibatkan penurunan
permintaan agregat dalam ekonomi nasional. Dampak yang paling parah adalah
terjadinya stagflasi, dimana perekonomian mengalami stagnasi namun pada saat
yang sama terjadi inflasi. Beberapa negara di dunia saat ini mengalami stagflasi
sebagai akibat pandemic Covid-19 dan adanya perang Russia-Ukraina yang
menyebabkan krisis energi dan pangan di berbagai negara.

Pengalihan Subsidi BBM kepada Bantuan Sosial

Terhitung mulai Sabtu, 3 September 2022, pukul 14:30 pemerintah telah


memutuskan untuk menyesuaikan harga BBM untuk merespon gejolak harga BBM
di pasar dunia dan agar subsidi BBM tersebut lebih tepat sasaran. Gejolak dan
ketidakpastian harga energi di pasar dunia telah mengakibatkan beban yang berat
bagi APBN, padahal Sebagian besar subsidi BBM tersebut lebih banyak dinikmati
oleh kelompok mampu. Lebih dari 70% subsidi dinikmati oleh kelompok masyarakat
yang mampu yaitu pemilik mobil-mobil pribadi. Dengan adanya penyesuaian harga
BBM tersebut maka ada total pengalihan subsidi sebesar Rp. 24,17 triliun untuk 3
jenis Bansos, yaitu: BLT sebesar Rp.12,4 triliun, Bantuan Subsidi Upah (BSU)
sebesar Rp.9,6 triliun, dan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH)
sebesar Rp.2,17 triliun. BLT disalurkan kepada 20,65 juta keluarga pra sejahtera
sebesar Rp.300.000 sebanyak dua (2) kali. BSU diberikan kepada 16 Juta pekerja
dengan gaji maksimal Rp.3,5 juta per bulan dengan besaran Rp.600.000 sebanyak
satu kali. Tujuan pengalihan subsidi tersebut antara lain adalah untuk: (1)
Meningkatkan Daya Beli Masyarakat; (2) Mengurangi Angka Kemiskinan; dan (3)
Mengurangi Tekanan Kenaikan Harga. Itulah secara garis besar kerangka pikir
pengalihan subsidi BBM 2022.

Pemberian BLT BBM untuk selama empat bulan tersebut memang akan
sangat membantu kelompok miskin karena ada bantalan untuk menahan tekanan
inflasi, walaupun sifatnya hanya sementara (temporary relief). Ibaratnya BLT hanya
akan mengobati rasa demam, tetapi tidak mengobati penyakit yang sebenarnya
diderita. BLT hanya mengobati symptom penyakit kemiskinan sebagai akibat adanya
goncangan ekonomi, yang dalam hal ini tekanan harga-harga ataupun inflasi. Dilihat
dari peruntukannya, BLT juga cenderung bersifat konsumtif dari pada produktif,
sehingga pengalihan subsidi BBM sudah dapat diperkirakan lebih untuk membantu
consumption driven economic growth, yaitu pertumbuhan ekonomi yang didorong
oleh pengeluaran untuk konsumsi, utamanya RT. Dalam jangka pendek memang
akan membantu penguatan daya beli masyarakat miskin, namun dalam jangka
panjang akan masih menjadi pertanyaan apakah pertumbuhan ekonomi yang
dicapai akan mampu berkelanjutan (sustainable) sehingga masyarakat miskin benar-
benar akan terentaskan dari kemiskinan. Dibalik kebijakan pengalihan subsidi BBM
pasti ada landasan asumsinya, paling tidak dengan harapan setelah 4-6 bulan
kondisi ekonomi sudah lebih membaik. Namun apabila setelah 4-6 bulan terjadi
goncangan ekonomi (economic shocks) lagi, maka dapat diduga jurus BLT akan
terulang lagi sebagai solusi masalah pengurangan kemiskinan dan bantalan daya
beli masyarakat miskin. Sementara itu kondisi pemburukan ekonomi global masih
berlangsung dan perang Russia-Ukraina belum bisa dipastikan kapan akan berakhir.
Kebijakan bansos saat ini akan sangat tergantung kemampuan “cash flow” APBN.
Oleh karena itu harus dicari cara selain kebijakan bansos bersifat konsumtif agar
solusi terhadap persoalan kemiskinan tidak bersifat temporer (sesaat). Sudah
saatnya dirancang “exit strategy” agar masyarakat miskin dan rentan dapat
terentaskan keluar dari kemiskinan secara berkelanjutan. Daya beli dan daya juang
masyarakat miskin harus dibangun agar tidak tergantung kepada bansos, khususnya
BLT.

Dalam RAPBN 2023, ada Tujuh Prioritas Nasional sejalan dengan Tema RKP
2023: “Peningkatan Produktivitas Untuk Transformasi Ekonomi yang Inklusif dan
Berkelanjutan”. Kebijakan Perlindungan Sosial (Perlinsos) masuk dalam prioritas
ketiga “Meningkatkan Sumber Daya Manusia Berkualitas dan Berdaya Saing”. Salah
Perlinsos merupakan salah satu sasaran yang disebutkan dalam butir kedua, yaitu
“Meningkatnya perlindungan sosial bagi seluruh pendidikan dengan mendorong
peningkatan: (a) proporsi penduduk yang tercakup dalam program jaminan sosial,
dan (b) proporsi rumah tangga (RT) miskin dan rentan yang memperkokoh bantuan
sosial pemerintah. Rencana belanja dituangkan dalam Belanja Bantuan Sosial
melalui berbagai program, seperti: Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan
Pangan Non Tunai (BNPT)/Kartu Sembako, Program Indonesia Pintar (PIP),
Bantuan Pendidikan Mahasiswa Miskin Berorestasi (Bidikmisi)/KIP Kuliah, dan
Bantuan Iuran PBI Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Total anggaran Belanja
Bantuan Sosial di 2023 direncanakan sebesar Rp. 143.565,2miliar. Program bansos
tersebut terus dilanjutkan dan dengan mendorong percepatan reformasi Sistem
Perlindungan Sosial melalui perbaikan data sasaran menuju registrasi sosial
ekonomi (regsosek), integrarsi program Bantuan Sosial, digitalisasi Bantuan Sosial,
graduasi Bantuan Sosial, dan perlindungan sosial adaptif, termasuk bagi lanjut usia
dan disabilitas.i

Program Bantuan Sosial sering digunakan di Indonesia sejak terjadinya krisis


keuangan dan moneter internasional tahun 1997 yang dipicu dengan anjloknya mata
uang Tahiland (Baht) terhadap dollar Amerika pada awal bulan Juli 1997. Krisis
ekonomi dan keuangan yang meluas di Kawasan Asia ini selanjutnya telah
mengakibatkan melonjaknya tingkat kemiskinan dan pengangguran. Ketika itu
perekonomian nasional sempat tumbuh negatif -12,3%, begitu pula tingkat
kemiskinan dan pengangguran melonjak melonjak dengan tajam. Mata uang rupiah
mengalami pelemahan terhadap dollar Amerika dan sempat menembus Rp.15.000
per USD yang mengakibatkan beban utang luar negeri melonjak. Adanya krisis
keuangan dan moneter 1997/1998 telah merambah ke krisis yang lebih luas dan
bersifat multidimensi dan menyebabkan terjadinya krisis kepercayaan (confidence
crisis) dan mengakibatkan terjadinya krisis politik dengan mundurnya Presiden
Suharto yang telah memegang tampuk kekuasaan selama lebih dari 32 tahun.

Pengalihan subsidi BBM sebesar Rp.24,17 triliun (BLT, BSU, dan DAU&DBH)
yg disalurkan selama 4 bulan sampai Desember 2022, akan berlanjut dengan
program tahunan melalui Bansos kepada K/L sebesar Rp. 143.565,3 miliar (Rp.
143,6 triliun). Temporary remedial terhadap kemiskinan akibat kenaikan BBM
(realokasi subsidi BBM kepada bansos) akan tidak berulang-ulang dilakukan kalau
program tahunan dan jangka menengahnya betul-betul sesuai Temanya
“Peningkatan Produktivitas Untuk Transformasi Ekonomi yang Inklusif dan
Berkelanjutan”. Persoalannya adalah apakah program-program prioritas lainnya
seperti tertuang dalam enam (6) prioritas lainnya terkoneksi dengan baik dengan
program bansos, dan bagaimana mengawalnya agar program tersebut efektif dalam
pencapaian target-targetnya? Kita semua juga faham evaluasi tidak bisa dilakukan
secara sepotong-sepotong dengan hanya melihat program bansos secara khusus.
Walaupun kita bisa secara umum mengkritisi apakah model yang digunakan dalam
program bansos tersebut memang sudah “well design” dan terintegrasi dalam
mendukung tema pokok: peningkatan produkrivitas, mendorong transformasi
ekonomi, bersifat inklusif dan berkelanjutan.

Program Keluarga Harapan (PKH) diberikan kepada RT sangat miskin


dengan anak balita dan ibu menyusui dengan harapan dapat membangun dan
membentuk pola pikir masyarakat bahwa kesehatan balita itu sangat penting,
sehingga periksa rutin kesehatan bagi anak-anaknya merupakan hal yang harus
dibangun sejak aaal. Program ini diharapkan dapat membentuk perilaku masyarakat
sangat miskin yang jumlahnya ditargetken sebanyak 10 juta KPM (Keluarga
Penerima Manfaat di tahun 2022. Kartu Sembako (Bantuan Pangan Non Tunai /
BPNT) diberikan kepada 18,8 juta KPM. BLT Desa diberikan kepada 7,5 juta KPM.
Pada garis bansos yang diberikan adalah untuk pengurangan kemiskinan ekstrim
dan memberikan “penebalan” perlinsos agar mampu bertahan terhadap krisis di
masa mendatang.

Dengan mencermati program-program yang ada, tidak semuanya akan


berpengaruh langsung kepada peningkatan produktivitas KPM (Keluarga Penerima
Manfaat). PKH lebih kepada membangun perilaku masyarakat sangat miskin (mental
kultural) yang sifatnya lebih jangka panjang karena tidak serta merta dalam jangka
pendek akan menghasilkan output/dampak. Kartu sembako lebih bersifat konsumtif,
untuk membantu sebagai bantalan saja, begitu pula BLT. Bantuan Iuran PBI JKN
sasarannya untuk memperbaiki kesehatan masyarakat miskin, hal ini pengaruhnya
kepada ketahanan kesehatan masyarakat miskin yang sifat pengaruhnya tidak
langsung kepada peningkatan produktivitas mereka. Hanya program Bidikmisi/KIP
Kuliah yang akan berpengaruh langsung kepada kemampuan (pengetahuan dan
ketrampilan), walaupun dampaknya bersifat jangka menengah keatas bagi penerima
manfaat secara langsung maupun masyarakat secara luas, yaitu dalam bentuk
human capital investment. Dari pengamatan umum ini dapat dilihat bahwa program
bansos, khususnya BLT sifatnya adalah sebagai bantalan sementara, cenderung
konsumtif, dan tidak sustainable. Program BLT mungkin memang tepat untuk jangka
pendek dan bersifat sementara saja, namun BLT tidak tepat kalau menjadi jurus
yang terus menerus dalam menghadapi krisis karena memungkinkan terjadinya
moral hazard ataupun adverse selection dalam pengelolaan sasarannya. Moral
hazard terjadi ketika masyarakat miskin menjadi tergantung kepada BLT dan mereka
menjadi terbiasa dengan tangan dibawah sehingga mengakibatkan sifat malas dan
justru memperlemah etos kerja serta menjadi konsumtif. Sementara itu, adverse
selection nampak dari adanya kesalahan target, bahwa yang seharusnya layak
menerima BLT justru tidak menerima, dan yang seharusnya menerima BLT bahkan
tidak menerimanya. Kesalahan target dalam BLT ini dapat disebabkan karena
berbagai faktor, seperti: data belum dimutakhirkan (updated), kesalahan pada saat
pencatatan, penduduk meninggal dunia, pindah alamat, dan faktor-faktor lainnya.
Sebagai akibatnya terjadilah BLT yang tidak tepat sasaran. Selain itu program
bansos dapat menghadapi persoalan tidak tepat waktu karena berbagai kendala
dalam administrasi ataupun pelaksanaan distribusi bantuan. Dengan demikian
bantuan sosial termasuk BLT di satu sisi bermanfaat sebagai bantalan krisis, namun
di sisi lain dihadapkan pada masalah mistargeting dan moral hazard, serta lambat
laun dapat membentuk budaya “tangan dibawah lebih baik dari pada tangan di atas”.
Hal seperti ini haruslah dihindari dan dicari jalan keluarnya agar masyarakat miskin
dan rentan mampu membantu dirinya sendiri (prinsip self-help) dan terbangunnya
sikap gotong-royong baik antar masyarakat mkiskin maupun antara yang miskin dan
yang kaya. Masyarakat miskin harus diberdayakan dan diperkuat martabatnya
dengan memberikan kail dan bukan memberikan ikan terus menerus.

Tujuan reformasi Perlinsos memang sudah diuraikan dalam langkah-langkah


akselerasi reformasi Perlinsos, yaitu: (1). Perbaikan basis data dan target penerima
program perlinsos melalui pembangunan data Registrasi Sosial Ekonomi
(Regsosek); (2) penyempurnaan Perlinsos sepanjang hayat khususnya perluasan
cakupan manfaat bansos bagi Lansia dan disabilitas; (3) penguatan program
perlinsos yang adaptif sebagai respon atas kondisi luar biasa akibat peningkatan
risiko global; dan (4) percepatan graduasi kemiskinan melalui program perlinsos
berbasis pemberdayaan.ii Upaya yang dilakukan pemerintah ini diaharapkan dapat
semakin memperkokoh daya tahan masyarakat terhadap goncangan-goncangan
ekonomi di masa mendatang.

Mengingat masih banyaknya persoalan yang dihadapi dalam program


perlinsos dan sifat permasalahannya yang lintas sektor, lintas wilayah, dan multi
dimensi, maka keberhasilan kebijakan perlinsos atau katakanlah bansos secara
umum akan sangat tergantung kepada bagaimana keberhasilan kebijakan dan
program-program sektor di luar perlinsos seperti: pendidikan, kesehatan,
pembangunan infrastruktur, juga Revolusi Mental dan pembangunan kebudayaan,
serta program-program lainnya. Pembangunan Pendidikan dan Kesehatan berlaku
secara umum untuk setiap warga negara. Pembangunan Pendidikan harus mampu
menjadikan penduduk Indonesia menjadi warga negara yang unggul, warga negara
yang cerdas, menjadi warga negara mampu berdiri sama tinggi, berdiri sejajar
dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Pendidikan harus mampu merubah “penduduk”
menjadi “warga negara” yaitu warga negara yang faham akan hak dan kewajibannya
sebagai warga negara. Pembangunan Kesehatan harus mampu memperkokoh
ketahanan kesehatan bagi seluruh rakyat, bagi bangsa Indonesia. Pembangunan
infrastruktur harus mampu menjadi konektivitas persatuan dan kesatuan nasional di
segala bidang, tidak hanya sekedar pembangunan fisik yang menguntungkan para
pemilik modal. Pembangunan infrastruktur harus semakin memperkokoh Indonesia
sebagai satu bangsa dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote, dan
menjahit dalam satu harmoni budaya berbasis keberagaman dan kebhinnekaan
Indonesia. Pembangunan mental-kultural melalui revolusi mental dan pembangunan
kebudayaan harus benar-benar dijaga sebagai prioritas nasional dalam memperkuat
karakter bangsa berlandaskan nilai-nilai Pancasila dan untuk membentuk manusia
Indonesia yang berkualitas, manusia Pancasilais yang unggul, sehingga bangsa
Indonesia mampu meraih cita-cita nasional sebagai negara bangsa yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Ringkasnya, reformasi sistem perlindungan sosial hatus menjadi bagian dari


pembangunan nasional secara keseluruhan sehingga semakin memperkokoh
Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi,
dan berkepribadian dalam kebudayaan. Untuk itu, dalam pelaksanaannya, kebijakan
dan program perlindungan sosial harus mampu bersinergi dengan kebijakan dan
program sektoral, dan senantiasa dijaga keberlanjutannya melalui “political will”
sehingga graduasi masyarakat miskin dan rentan akan terwujud. Kebijakan dan
program perlinsos khususnya penanggulangan kemiskinan juga harus dievaluasi
secara reguler untuk menjaga agar tetap inklusif dan melibatkan partisipasi rakyat
demi terwujudnya kesejahteraan yang berkeadilan dan justru tidak semakin
memperkuat dominasi oligarkhi (para pemilik modal) di Indonesia.

Reformasi Sistem Perlindungan Sosial selain ditujukan untuk memperkuat


bantalan ekonomi bila terjadi krisis (sebagai shocks absorber), juga sebagai
akselerator (percepatan) Penghapusan Kemiskinan Ekstreem. Bank Dunia
mendefinisikan kondisi kemiskinan ekstreem sebagai kondisi dimana seseorang
hidup di bawah garis kemiskinan ekstreem setara USD1,9 per hari atau di bawah
sekitar Rp.345.000/kapita/hari. Berdasarkan data BPS tingkat kemiskinan ekstreem
Maret 2021 adalah sebesar 4% atau 10,86 juta jiwa. Inpres No.4 Tahun 2022
mentargetkan nol persen kemiskinan ekstreem di tahun 2024. Tahun 2021
dijalankan pilot project dengan menambahkan Kartu Sembako dan BLT Desa di 35
daerah Kab/Kota di 7 Provinsi dengan kantong kemiskinan tertinggi. Tahun 2022
diperluas menjadi 212 wilayah dan akan mencakup 514 Kabupaten/Kota di tahun
2023. Program terdiri atas program bansos dan pemberdayaan. Dalam Nota
Keuangan dan RAPBN 2023 disebutkan bahwa exit strategy (mekanisme graduasi
pengentasan kemiskinan) disinergikan dengan program pemberdayaan (target
masyarakat miskin dan rentan) yang antara lain meliputi: akses terhadap
permodalan, akses pasar tenaga kerja. Diharapkan ada sinergi antara Pemerintah
Pusat, Pemda, swasta, ataupun filantropi lainnya.

Menurut data BPS yang diambil dari Susenas, rata-rata penurunan tingkat
kemiskinan sejak 2014-2017 dibawah 1% atau bahkan di bawah 0,5%. Sedangkan
tingkat kemiskinan sejak Maret 2017 (10,64%) sampai Maret 2021 (10,14%) dan
September 2021 (9,71%) telah menurun di bawah 1%, sehingga selama 4 tahun
hanya terjadi penurunan rata-rata dibawah 0,25%iii. Dengan catatan sempat
mengalami kenaikan di tahun 2020 akibat terjadinya pandemi COVID-19.

Inpres No.4 tahun 2022 mentargetkan zero percent extreme poverty di 2024,
sementara sasaran tingkat kemiskinan di 2022 dan 2023 adalah masing-masing 8,5-
9,0% dan 7,5-8,5%. Kalau extreme poverty di Maret 2021 sebesar 4% dan di 2024
ditargetkan menjadi nol% maka dalam waktu 3 tahun sejak 2021 tingkat kemiskinan
ekstreem harus bisa diturunkan dengan rata-rata di atas 1% per tahun. Dari
pengalaman terlihat bahwa penurunan tingkat kemiskinan belum pernah mencapai
1% per tahun (bahkan rata-rata penurunannya di bawah 0,5%). Catatan angka ini
menuntut adanya kerja “superkeras” para penyelenggara negara dan tidak bekerja
secara “business as usual” agar target Inpres No.4 tahun 2022 dapat tercapai.
Kondisi ini menuntut nilai-nilai strategis instrumental revolusi mental (NSIRM)iv, yaitu
integritas, etos kerja, dan gotong-royong, benar-benar sudah menyatu dan menjiwai
para penyelenggara negara, terutama birokrasi baik di pusat maupun di daerah.
Apalagi tahun 2021 program akselerasi pengurangan kemiskinan baru bersifat “pilot
project” dan diperlukan di 514 Kabupaten/Kota di 2023. Sementara kita tahu bahwa
pengelolaan program/proyek yang bersifat uji coba (piloting) dengan proyek yang
diperluas dalam skala yang massif adalah hal yang jauh berbeda. It is entirely a
different ball game. Apalagi kalau disadari bahwa Bansos (khususnya model BLT)
hanya bersifat shock absorber dan temporary, sehingga cenderung akan diulang
kembali sebagai jurus yang digunakan dalam merespon krisis ekonomi, jurus yang
sifatnya cenderung tidak sustainable.

Rekomendasi Kebijakan

Dalam rangka semakin memperbaiki dan menyempurnakan Langkah-langkah


penanggulangan kemiskinan, termasuk kemiskinan ekstreem, perlu
direkomendasikan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, system perlindungan sosial termasuk program penanggulangan


kemiskinan yang lebih sustainable harus dibangun dengan melibatkan seluruh
pemangku kepentingan (penta helix plus), serta mensinergikan kebijakan dan
program perlinsos dengan kebijakan dan program sector. Gotong-royong dilakukan
dengan melibatkan birokrasi (pusat dan daerah), dunia pendidikan, komunitas
agama, organisasi sosial kemasyarakatan, para filantrofi, masyarakat adat, dunia
usaha, dan masyarakat luas. Harus ada political will dari lembaga-lembaga
legislative, eksekutif, dan yudikatif untuk menjaga agar: tidak terjadi kebocoran-
kebocoran ataupun aktivitas pemburu rente ataupun malpraktek pembangunan; ada
pengawalan mulai perencanaan dan penganggaran sampai pelaksanaan kebijakan
dan program; serta adanya law and order (penegakan hukum)

Kedua, penyempurnaan system perlindungan sosial dapat dilakukan sesuai


dengan tiga ranah pembangunan dengan paradigma Pancasila, yaitu Tata-Nilai,
Tata-Kelola, dan Tata-Sejahterav. Tata Nilai menekankan pentingnya penguatan
mental-kultural bangsa, mental kultural seluruh rakyat, terutama para penyelenggara
negara dengan terus memperkuat pembangunan bangsa dan karakter. Dalam ranah
ini upaya harus terus dilakukan agar nilai-nilai Pancasila benar-benar dijiwai oleh
seluruh komponen bangsa melalui pembangunan manusia dan kebudayaan. Tata
Kelola memfokuskan kepada perbaikan-perbaikan di bidang perencanaan dan
penganggaran, perbaikan data, kerjasama (koordinasi) kelembagaan, serta
pelaksanaan/pengelolaan program yang akuntabel dan berkelanjutan, termasuk
pemantauan dan evaluasinya. Sistem basis data terpadu dan koordinasi melalui
lembaga-lembaga yang sudah ada perlu dioptimalkan. Sementara itu, Tata
Sejahtera lebih difokuskan untuk mendorong pemanfaatan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang tepat guna bagi masyarakat miskin dan rentan serta untuk
menambah nilai tambah yang mereka nikmati sehingga daya beli, produktivitas, dan
daya juang mereka dapat terus ditingkatkan dan dijaga keberlanjutannya.
Pembenahan di ranah Tata Sejahtera pada akhirnya akan mewujudkan kehidupan
yang lebih baik secara individu maupun kelompok masyarakat. Pembangunan Tata
Nilai, Tata Kelola, dan Tata Sejahtera dalam penyempurnaan system perlindungan
sosial ini tentunya akan saling berinter-relasi dan bersinergi dengan didukung oleh
political will melalui kepemimpinan yang kuat dan baik, yaitu adanya strong
leadership dan good governance.

Ketiga, pendekatan kebijakan dan program yang cenderung bersifat


konsumtif harus dilakukan seminimal mungkin, dan betul-betul dirancang
graduasinya secara baik. Pendekatan yang lebih menekankan peningkatan
produktivitas masyarakat miskin harus lebih diutamakan agar masyarakat miskin
mampu menolong dirinya sendiri (prinsip self-help) dan tidak menjadi bergantung
kepada adanya bansos. Kebijakan dan program seyogyanya didesain untuk
memberikan “kail” dan bukan memberikan “ikannya”.

Keempat, libatkan partisipasi rakyat seluas-luasnya dalam pengawasan


pelaksanaan kebijakan dan program perlinsos untuk meminimumkan kesempatan
terjadinya korupsi ataupun kebocoran-kebocoran mulai perencanaan dan
poenganggaran sampai pelaksanaan. Dengan demikian perlu dibangun system
perlinsos yang transparan dan akuntabel, serta senantiasa menjaga good
governance.
Kelima, semaksimal mungkin harus dipersiapkan pendamping dengan jumlah
dan kualitas yang memadai, sehingga mempunyai kompetensi dan kapasitas yang
memadai baik secara ideologis (mental-kultural) maupun mampu secara teknis
manajerial ataupun kompetensi teknis di sector atau bidang terkait. Penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi harus terus didorong agar terjadi inovasi-inovasi
produk, percepatan literasi keuangan dan digital, serta dengan tetap menjaga kohesi
sosial (persatuan dan kesatuan). Para pendamping perlu terus dibina sehingga
mampu menjadi agent of change (agen perubahan) dalam pelaksanaan kebijakan
dan program perlindungan sosial melalui “training of trainer” agar akselerasi
penurunan tingkat kemiskinan, termasuk kemiskinan ekstreem dapat dicapai sesuai
rencana, yaitu target nol% extreme poverty pada tahun 2024.

Keenam, lingkungan yang kondusif harus terus diperkuat (ada affirmative


policy) melalui pemberian kesempatan atau akses yang adil (equal opportunity and
equal access) kepada masyarakat miskin dan rentan terhadap ketersediaan modal,
akses pasar, maupun akses terhadap informasi dengan dukungan program literasi
digital. Hal ini penting untuk memperkuat jaringan informasi maupun perdagangan
antar wilayah, serta memberikan gambaran potensi masing-masing daerah di
seluruh wilayah Indonesia.

Ketujuh, penyempurnaan system perlindungan sosial utamanya ditujukan


untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin dan rentan melalui
pemberdayaan ekonomi rakyat. Pendekatan produktivitas yang dilakukan harus
menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan (people centered) serta
semaksimal mungkin memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledge-
based community driven development) agar graduasi masyarakat miskin dan rentan
dapat terealisir dengan baik dan sekaligus semakin memperkuatr persatuan dan
kesatuan. Oleh karena itu pemberdayaan ekonomi rakyat dilakukan dalam satu
kerangka yang utuh dan terintegrasi dengan pembangunan manusia dan
kebudayaan. Dengan demikian pemberdayaan ekonomi rakyat sekaligus akan
membangun kesadaran kewargaan akan hak dan kewajiban sebagai warga negara
yang Pancasilais, warga yang sadar akan kelestarian lingkungannya, serta warga
yang mempunyai kemampuan kewirausahaan. Pada akhirnya penyempurnaan
sistem perlindungan sosial juga semakin memperkokoh pembangunan bangsa dan
karakter (nation and character building) serta ketahanan ekonomi rakyat.
Pendekatan produktivitas dan people centered dalam pemberdayaan
ekonomi rakyat, penguatan sinergi lintas sektor dan wilayah dalam penyempurnaan
sistem perlindungan sosial berbasis Pancasila ini harus selalu dijaga dan terus
dikembangkan dengan payung besar pembangunan nasional untuk mewujudkan
kesejahteraan yang berkeadilan. Jangan sampai jurus BLT terus digunakan
berulang-ulang untuk menghadapi krisis di masa depan, padahal hanya mengobati
symptom penyakit kemiskinan. Kebijakan dan program BLT sebagai solusi
penanggulangan kemiskinan harus secara bertahap dikurangi sejalan strategi
graduasi (exit strategy) bagi masyarakat miskin dan rentan.

Jakarta, 11 September 2022.


End Notes

i
Buku II Nota Keuangan beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2023,
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2022, halaman 272-277.
ii
Buku II NK dan RAPBN Tahun 2023, halaman 272-275.
iii
Badan Pusat Statistik.
iv
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 2021 Tentang Pedoman Umum Gerakan Nasional Revolusi Mental, 2021.
v
Mempoeradabkan Bangsa: Paradigma Pancasila untuk Membangun Indonesia, Aliansi Kebangsaan, Penerbit
Kompas, Jakarta, 2022.

Anda mungkin juga menyukai