Anda di halaman 1dari 42

Id Kaskus : novelajualkomik

Tanggal Thread : 16-04-2015 21:35

KISAH HORROR - Mereka Ada di Setiap Rumah! (TRUE STORY)


PROLOG

Gan, perkenalkan. Namaku Ella. Sekarang aku sudah berusia 27 tahun. Aku lima
bersaudara, kakak dan adik pertamaku adalah perempuan, sedangkan adik kedua dan
ketigaku adalah laki-laki. Di sini, aku hendak menceritakan berbagai kisah mistis yang
pernah aku alami pada saat usiaku masih lebih belia dari saat ini. Kejadiannya di
beberapa rumah yang sempat aku tinggali sebelumnya. Sekarang aku sudah pindah ke
rumah baru dan sekarang syukurnya sudah tidak banyak terjadi kejadian mistis, ya
paling hanya beberapa saja yang tidak jadi masalah sama sekali buatku.

Sebelumnya, bagi siapapun yang menganggap bahwa cerita-ceritaku ini hanyalah hoax /
karangan fiksi, keputusan aku kembalikan pada kalian masing-masing. Di sini aku
hanya mau sharing pengalaman ghaib-ku, bukan memaksa orang untuk percaya. Hanya
satu hal yang aku minta, jangan kasih aku bata jika telat update ceritanya, ya. Karena di
Kaskus, aku lebih aktif sebagai seller di FJB yang masih merintis. Sebaliknya, cendol
atau rate bintang 5 sangat diharapkan. Terimakasih.

Mohon maaf juga jika aku lambat dalam meng-update thread ini karena aku cukup
sibuk di dunia nyata dan kejadian-kejadian yang harus aku ceritakan sudah cukup lama
sehingga aku perlu waktu untuk mengingat dan menuliskannya dengan tepat tanpa ada
satu hal-pun yang ditambah-tambahkan. Syukuri apa yang ada dulu ya, gan. Mudah-
mudahan aku dapat menyelesaikan thread ini dengan bertahap walau membutuhkan
waktu yang lama. Terimakasih.

*Buat yang nanya nama-nama kompleks dalam ceritaku, mohon maaf karena aku tidak
akan memberitahukannya baik di thread ini ataupun melalui PM (PM cuma buat yang
mau nanya atau beli daganganku di lapak ). Semua pertanyaan yang berkaitan
dengan hal tersebut tidak akan aku respon. Aku tidak mau dianggap menjelek-jelekan
suatu kompleks perumahan dan merugikan pihak-pihak tertentu. Niatku hanya sekedar
share pengalaman mistis saja, tidak perlu diusut lebih mendalam ya, gan. Yang jelas,
semua kompleks yang aku sebutkan di dalam cerita ini letaknya di Bekasi Utara. Jadi
terka-terka sendiri aja dari berbagai petunjuk yang aku beri, ya. Mohon maaf juga jika
ada komentar ataupun pertanyaan lainnya yang tidak sempat aku balas / terlewat, ya.
Yang jelas, semua komentar agan pasti akan aku baca semuanya, kok
INDEX

CERITA 1 – OPENING

CERITA 2 - RUMAH BARU

CERITA 3 - SATU MISTERI TERPECAHKAN (?)

CERITA 4 - MEREKA MAKIN USIL

CERITA 5 - KEPUTUSAN YANG NEKAT

CERITA 6.1 - ENDING (PART 1)

CERITA 6.2 - ENDING (PART 2)

EPILOGUE - EXTRA + SALAM PENUTUP

CERITA I – OPENING

Ini adalah rumah pertamaku di Bekasi setelah pindah dari Jakarta. Lokasinya
menurutku cukup strategis, di tengah kompleks, dekat dengan danau yang
selalu ramai tiap sorenya. Saat itu aku masih duduk di kelas VI SD. Tidak
banyak keanehan yang terjadi di sana karena fokus ceritaku sebenarnya adalah
pada rumahku berikutnya yang sangat angker. Tapi aku mau share sedikit kisah
mistis di rumahku yang satu ini sebagai pembukaan.

Aku mungkin dapat dikatakan sebagai orang yang paling sensitif dan berani di
keluargaku. Hawa ataupun wewangian aneh yang tidak dirasakan oleh orang
lain, aku dapat merasakannya dengan amat jelas. Tapi hal ghaib yang terjadi di
rumah ini ternyata dapat dirasakan oleh semua orang di rumah, kecuali orang
tuaku, karena mereka baru akan berada di rumah ketika malam sudah tiba
karena pekerjaannya.

Lokasi rumahku di dalam suatu kompleks perumahan di Bekasi Utara, letak


rumahku di paling pojok (hook) yang sebelah kirinya adalah tanah kosong, dan
di sebelah kirinya lagi adalah tembok tinggi pembatas kompleks perumahanku
dengan perumahan yang lain
.
Singkat cerita, bertahun-tahun aku tinggal di sana, nyaman dan aman saja
tanpa ada masalah ataupun kejadian aneh yang berarti. Hingga saat aku sudah
duduk di kelas 1 SMU, nampaknya penghuni di sana baru mulai berniat untuk
iseng. Konon kudengar, kompleks perumahanku dibangun di atas lahan
pembuangan mayat pada zaman penjajahan Belanda dulu. Dari desas-desus
yang kudengar dari banyak tetangga, sudah banyak kisah penampakan tentara
Belanda ataupun wanita Belanda dengan gaunnya yang mengembang itu.
Cukup dengan rumor, kini fokus kembali ke rumahku. Pada saat itu, rumahku
memiliki 2 lantai. Sedangkan rumah di sekelilingku sama sekali tidak ada yang
bertingkat 2. Aku tidak bermaksud sombong, karena kisah mistis yang akan
kuceritakan akan berhubungan dengan lantai atas rumahku.

Jadi sebenarnya, selama bertahun-tahun itu kamar-kamar di lantai 2 rumahku


tidak ada yang menempati. Di sana hanya terdapat balkon, ruang keluarga yang
sangat luas, 2 buah kamar, satu adalah kamar tidur utama orang tuaku yang
cukup luas, dan satu lagi adalah kamar pembantu yang lebih kecil. Kamar
pembantu ini akhirnya dijadikan gudang karena ibuku tidak pernah betah jika
memiliki pembantu Rumah Tangga (PRT), terutama karena kasus yang terjadi
pada PRT terakhir kami yang ternyata menyukai ayahku sehingga membuat
ibuku sangat berang dan tak mau lagi memiliki PRT sejak saat itu.

Kamar orang tuaku juga dibiarkan kosong karena mereka berdua ternyata tidak
cukup berani untuk menempati kamar tersebut. Akhirnya mereka tinggal dalam
satu kamar di lantai 1 bersama adik laki-laki pertamaku yang paling kecil, saat
itu ia masih balita. Jadilah lantai 2 rumahku selalu dan selalu kosong setiap
harinya selama bertahun-tahun walau masih sering dijaga juga kebersihannya.
Lampu juga terkadang tidak dinyalakan sama sekali ketika malam tiba. Lantai
tersebut paling hanya digunakan ketika sedang banyak saudara yang datang
berkunjung.

Nah, yang aneh adalah karena tiap malam, dari lantai 2 selalu terdengar bunyi
yang sangat aneh. Bunyi aneh ini dapat didengar baik olehku, kakak-ku maupun
adik-ku dari lantai 1. Bunyinya terdengar seperti sofa yang sedang digeser. Sofa-
sofa di lantai 2 sangatlah besar dan berat, aku jamin, satu orang takkan kuat
untuk mengangkatnya. Paling hanya dapat memindahkannya dengan cara
menarik ataupun mendorong. Geseran tersebut akan menimbulkan getaran ke
lantai bawah dan bunyi yang cukup terdengar jelas seperti “KRIEEETTT...”
karena gesekan antara kayu pada sofa dengan lantai keramik.

Masalahnya, bunyi tersebut hanya muncul ketika malam sudah tiba (terutama
ketika lampu sedang tidak dinyalakan) dan tidak ada seorang pun di atas sana.
Aku pernah mencoba untuk memastikannya pada suatu siang. Kakak dan adik
kusuruh untuk menggeser salah satu sofa di lantai atas, sementara aku mencoba
untuk mendengarkan bunyi yang dihasilkannya dari lantai bawah. Dan, bunyi
itu benar-benar persis sama seperti yang selalu kami dengar tiap malam. Berapa
kali kami memberitahukan hal ini pada orang tua pun, mereka tidak pernah
percaya.

Akhirnya bunyi itu sudah menjadi hal biasa yang sudah tidak pernah kami
hiraukan lagi. Namun ternyata tak lama setelah dimulainya bunyi aneh itu, kini
tiap malam juga terdengar bunyi aneh yang lain lagi. Kali ini bunyinya adalah
seperti banyak orang yang sedang berlarian di lantai 2. Sangat jelas. “DUK!
DUK! DUK! DUK!” Suara langkah kaki beberapa orang yang sedang berlari
dengan kencang, sehingga dentumannya amat terasa hingga ke lantai bawah.
Terkadang ketika bunyi itu muncul, kami semua hanya bisa menatap langit-
langit lantai 1 sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Sempat aku berpikir, apa mungkin bunyi-bunyi tersebut berasal dari rumah
tetanggaku yang merambat hingga ke rumahku? Tapi anggapan ini begitu dapat
dengan mudah ditepis. Bunyi tersebut jelas berasal dari lantai atas sedangkan
tetangga di sekelilingku tidak ada yang rumahnya bertingkat. Lagipula,
getarannya sangat dapat dirasakan dari lantai bawah. Terlebih lagi setelah
kejadian selanjutnya.

OK, aku pikir misteri ini harus dipecahkan. Suatu malam, ketika kedua bunyi
tersebut sedang terdengar dengan jelas. Bermodalkan nekat, kami bertiga
memutuskan untuk mengecek ke lantai atas pada saat itu juga. Kami berjalan
mengendap-endap menyusuri tangga, berharap ketika sampai di lantai atas,
kami akan menangkap basah orang ataupun makhluk yang menimbulkan bunyi
aneh itu tiap malamnya. Setiap anak tangga yang kami naiki akan menambah
jelas bunyi-bunyian tersebut di telinga kami.

Hampir sampai ke lantai atas, baru kami sadari kalau ternyata lampu sedang
tidak dinyalakan. Suasana di sana sangat gelap (pitch black), tak nampak
apapun yang dapat kami lihat saking gelapnya. Untungnya, tombol untuk
menyalakan lampu ada di dekat situ. Bunyi tersebut kini terdengar sangat jelas
di depan kami. Bunyi sofa yang sedang diseret-seret sehingga lantainya
bergetar, juga bunyi orang yang sesekali terdengar sedang berlari menjauh
ataupun mendekati kami lalu menghilang begitu saja. Peluhku mulai menetes
dan degup jantungku sudah tidak dapat diatur. Apapun yang akan kami lihat
malam itu, maling ataupun hantu, aku sudah siap mental.

“BLAR!” Aku berhasil menyalakan lampu dan saat itu juga bunyi-bunyian
tersebut lenyap. Dari apa yang aku lihat, semua posisi sofa masih pada
tempatnya semula. Bukan hanya itu, semua posisi benda lainnya pun tidak ada
yang berubah. Aku bingung, lantas bunyi seretan tersebut berasal dari mana?
Dan ke mana bunyi orang-orang yang berlarian tadi? Belum habis rasa
bingungku, tiba-tiba kami dikejutkan oleh bunyi gayung jatuh dari dalam kamar
mandi di dalam ruang tidur orang tuaku yang berada di lantai tersebut. Kamar
tersebut sudah bertahun-tahun tidak ditempati walaupun di dalamnya sudah
dilengkapi berbagai perabot.

Kepalang tanggung, kami memutuskan untuk mengeceknya juga untuk


menuntaskan rasa penasaran kami. Saat itu pintu kamar masih tertutup walau
tidak dikunci. Setelah kami buka dan lampu dinyalakan, tidak ada hal aneh
yang kami lihat. Perhatian kami kembali tertuju pada kamar mandi asal bunyi
yang sempat mengagetkan kami tadi. Perlahan kami mendekati kamar mandi
yang masih gelap itu. Maling? “Tidak mungkin ada manusia yang dapat
menembus pintu ataupun tembok kamar tidur lalu bersembunyi di dalam
kamar mandi,” pikirku saat itu.

Dan benar saja, ketika lampu dinyalakan, kami hanya mendapati gayung yang
tergeletak di lantai kamar mandi tanpa ada seorang atau apapun di sana.
Karena misteri belum dapat dipecahkan, kami memutuskan untuk kembali
turun ke lantai bawah dengan membiarkan semua lampu menyala di lantai atas.
Dan begitu kami kembali ke ruang tamu di bawah, bunyi-bunyian aneh di lantai
atas tersebut kembali terdengar seperti biasa. Pikirku, mungkin itu hantu anak-
anak yang sedang bermain bersama teman-temannya karena ruang keluarga di
atas sangat lapang sehingga bisa dijadikan tempat bermain kejar-kejaran untuk
anak-anak.

Berulang kali kami berusaha untuk menangkap basah, hal nihil-lah yang selalu
kami dapatkan hingga terkadang kami bosan dan berusaha untuk tidak
menghiraukannya walau bunyi-bunyian tersebut sebenarnya cukup
mengganggu, apalagi ketika aku sedang belajar di dalam kamar. Dan berkali-
kali kami mengadukannya ke orang tua pun, mereka tidak pernah percaya.

Hingga akhirnya, pada suatu malam, ketika aku pulang ke rumah bersama ibu,
kakak dan adikku dari rumah saudara, kami mendapati ayah yang sedang
duduk tertegun sendirian di ruang tamu dengan tatapan kosong. Begitu ditanya,
ia tidak mau menjawab dan megajak ibu untuk masuk ke kamar serta menyuruh
kami, para anak-anak, untuk segera tidur karena hari sudah mulai larut malam.
Esok harinya pun kami masih belum tahu mengapa ayah berperilaku aneh
kemarin malam. Beberapa hari kemudian, ibu kami baru memberitahukan
kejadian sebenarnya yang dialami ayah pada malam itu.

Katanya, pada malam itu, saat ayah sedang menonton TV sendirian di ruang
tamu, ia mendengar bunyi-bunyian yang selama ini kami dengar. Ayahku ini
sebenarnya penakut, namun ia ingin membuktikan perkataan anak-anaknya
selama ini yang tidak pernah ia percaya. Akhirnya ia pun menyusuri tangga,
naik perlahan menuju lantai 2. Saat itu juga katanya lampu sedang tidak
dinyalakan. Ayahku terus mendengar bunyi sofa yang diseret-seret dan orang-
orang berlarian ke sana-kemari. Tiba-tiba ayahku berteriak ketika ada
seseorang yang berteriak sangat keras tepat di depan kupingnya, “HAAAAGG!”
begitu kira-kira suara yang ia dengar saat itu.

Panik, ayahku langsung segera menyalakan lampu dan sama seperti kami, ia
pun tidak mendapati apapun di sana saat itu. Bunyi-bunyian tadi juga seketika
itu menghilang. Karena ketakutan, ayahku segera turun ke lantai bawah.
Setelah berada di lantai 1, ayahku merasa seperti ada orang yang mengikutinya.
Karenanya, ketika sudah berada di samping tangga, ayahku menoleh ke arah
tangga dan memastikan bahwa tidak ada apapun di sana. Namun akhirnya
pandangan matanya tertahan pada anak tangga paling atas menuju lantai 2.
Cukup lama ia pandangi anak tangga itu dari samping seolah akan ada
seseorang yang akan turun dari sana.

Dan benar saja, kata ayahku, saat cukup lama memperhatikan dan berniat
untuk meninggalkan tempat itu, tiba-tiba muncul sebuah kaki berwarna pucat
dari lantai atas dan berhenti menapak di anak tangga paling atas. Dalam
keterkejutannya, ayahku hendak memeriksa siapa pemilik kaki itu. Dan ketika
ia baru melangkahkan kakinya satu langkah kembali menuju tangga, nyalinya
kembali diciutkan dengan munculnya kaki-kaki lain yang juga turun dari lantai
atas dan berhenti menapak di anak tangga paling atas. Semuanya berwarna
pucat. Dan akhirnya ayahku mengurungkan niatnya, ia segera meninggalkan
dapur tempat tangga itu berada. Sesaat sebelum meninggalkan area dapur,
ayahku kembali menoleh ke anak tangga paling atas dan dilihatnya semua kaki
tersebut kembali ditarik naik ke lantai atas dengan serentak.

Nah, „berkat‟ kejadian tersebut, akhirnya orang tua kami (paling tidak, ayah
kami), akhirnya bisa percaya pada perkataan kami selama ini. Selang beberapa
bulan setelah kejadian tersebut, keluargaku bertengkar hebat dengan keluarga
saudaraku yang juga menetap di kompleks itu dan ditonton banyak tetangga.
Kejadian yang memalukan tersebut, ditambah dengan suasana rumah yang
memang mulai tidak nyaman, akhirnya membuat kami semua memutuskan
untuk pindah rumah untuk mencari suasana dan lingkungan baru yang lebih
menenangkan. Dan ternyata, rumah baru kami jauh lebih angker dari rumah
sebelumnya. Di sanalah kesensitifan dan keberanianku benar-benar akan diuji,
puluhan kejadian mistis tak masuk diakal terus menghantui keluarga kami
selama tinggal di sana. Rumah tersebutlah fokus cerita yang sebenarnya ingin
aku share kepada kalian semua.

N.B
(Oh iya, setelah pindah rumah bertahun-tahun, tak pernah sekalipun aku
kembali ke kompleks itu untuk sekedar melihat rumah lamaku itu. Tapi
beberapa bulan yang lalu, aku sempat kembali mengunjungi dan melihat rumah
itu lagi bersama temanku. Kompleks perumahannya kini jauh lebih
memprihatinkan, lampu-lampu jalan banyak yang tidak berfungsi sehingga
pada malam itu, mobil kami bagai menyusuri kuburan. Tidak ada aktifitas
apapun dari para penghuninya di luar rumah. Semua bagian jalan terlihat sepi.
Dan kabarnya, kudengar belakangan ini kompleks tersebut sedang digemparkan
dengan seringnya kemunculan Kuntilanak yang iseng hinggap dari satu pohon
ke pohon lainnya dan mengerjai orang yang lewat pada malam hari. Kalau lagi
pindah pohon dengan terbang, katanya suara ketawa Miss K ini kencang banget
sehingga bisa didengar cukup banyak orang. Sudah banyak pengaduan petugas
ronda yang dikerjai ataupun sekedar ditertawakan Miss K ini dari atas pohon
yang tentunya langsung membuat mereka lari terbirit-birit. Kabar ini kudapat
dari saudaraku yang masih tinggal di kompleks itu, tapi bukan dari keluarga
saudara yang bertengkar hebat dengan keluarga itu, ya. Dulu waktu keluargaku
masih tinggal di kompleks itu, di sana ada 5 keluarga lainnya dari saudaraku
yang menetap berdekatan juga di sana. Tapi sekarang tinggal 2 keluarga saja.)
CERITA II – RUMAH BARU

Pendek cerita, keluarga kami akhirnya pindah rumah. Lokasinya tidak terlalu
jauh, mungkin 20 menit dari kompleks tempat tinggal kami sebelumnya jika
naik mobil dan hanya 10 hingga 15 menit jika naik motor. Dari pengakuan para
tetangga baru di kemudian hari, katanya rumah baru kami itu sempat kosong
selama 2 tahun sebelum kami pindah ke sana. Keadaannya saat kami baru
pindah pun sangatlah kotor dan tidak terurus.

Namun aku justru senang dengan kompleks tempat tinggal baru ini, pasalnya
sekolahku saat itu juga berada di sana. Cukup dengan berjalan kaki 10 menit
pun, aku sudah sampai tanpa perlu menghabiskan bensin setetespun. Dan lagi,
rumah temanku jauh lebih banyak di sini dibandingkan dengan kompleks
sebelumnya. Selama di rumah ini pula nantinya aku akan berubah status dari
seorang pelajar sekolah menjadi seorang mahasiswi.

Kali ini, keluarga kami kontrak rumah. Karena sebenarnya niat kami memang
setelah para anak-anak lulus sekolah, mungkin kami akan kembali pindah dan
membeli rumah baru yang letaknya agak jauh dan menetap untuk seterusnya di
sana. Jadilah kami tinggal di rumah lebar bercat merah jambu tersebut. Ya,
rumah kami saat itu bentuknya memang memanjang ke samping karena
dibangun di atas tanah yang sebenarnya lahan untuk dua buah rumah.

(Untuk memudahkan memahami kondisi rumah kami saat itu, silakan lihat
denah di bawah ini sehingga agan akan mendapatkan gambaran yang lebih
pasti ketika membaca kisah tiap kisah yang aku share. Oh iya, denah yang aku
buat cuma lantai 1, ya. Untuk lantai 2, tidak banyak yang perlu digambarkan
karena begitu naik tangga hanya ada dua kamar di sebelah kiri dan kanan
tangga yang bersebelahan. Itu saja)
Pada awalnya, suasana di rumah baru tersebut sangatlah nyaman. Anggota
keluargaku juga menyukai lingkungan baru yang lebih hidup itu dengan akses
ke mana-mana yang jauh lebih mudah dan dekat. Aku dapat kamar di bagian
paling depan rumah dengan dua pintu. Satu pintu mengarah ke bagian teras
depan rumah, satu lagi mengarah ke bagian ruang makan. Orang tuaku dan
adik laki-lakiku yang pertama menempati kamar di bagian tengah rumah
dengan kamar mandi dalam, pintu kamarnya juga ada 2. Satu menuju ke ruang
tamu dan yang lainnya menuju ke ruang makan. Sedangkan kakak dan adik
perempuanku menempati kedua kamar yang berada di lantai 2. Tangga menuju
ke lantai atas berada di ruang makan. Kamar mandi luar berada di bagian
belakang ruang tamu. Ada satu lagi tangga di samping rumah yang letaknya di
luar dan menuju ke area jemuran. Kira-kira seperti itulah gambaran singkat
rumah baruku saat itu.

Hari demi hari kami lewati seperti biasa di rumah tersebut. Tidak ada
keganjilan sama sekali. Sampai suatu ketika, pada siang hari ketika ibuku
pulang ke rumah, beliau memanggilku keluar dari dalam kamar. Begitu sampai
di teras, ibuku menggerutu tak henti-henti ketika didapatinya beberapa butir
telur bebek busuk yang sudah pecah dan mengotori pintu depan serta lantai
teras. Ia menanyakan bagaimana bisa ada telur busuk di situ, seolah ada yang
sengaja melemparkannya. Tapi apa tujuannya? Sekedar iseng untuk mengotori
rumah orang lain? Tapi kenapa harus rumah keluarga kami sebagai penghuni
baru? Entahlah, pertanyaan tersebut dan berbagai pertanyaan lainnya
mengendap begitu saja. Aku pun tak bisa menjawab pertanyaan ibuku saat itu.

Baunya sungguh menyengat, aku pun tidak kuat menciumnya. Kakakku ikut
membantu membersihkan pecahan telur bebek busuk tersebut sementara ibuku
tak hentinya mengomel. Aku pun kembali ke kamar untuk kembali
menyelesaikan PR. Walau sudah dibersihkan, bau busuknya masih dapat
tercium dengan jelas sampai ke dalam ruang tamu hingga keesokan harinya.
Benar-benar mengesalkan siapapun pelaku iseng yang melemparkan telur
busuk itu ke rumahku.

Perlahan-lahan setelah kejadian itu, suasana di dalam rumah yang tadinya sejuk
dan nyaman berubah menjadi panas dan pengap. Bukan karena saat itu sedang
musim panas, tapi ketika malam menjelang pun tetap saja panas dan pengap.
Bahkan saat hujan sedang turun dengan lebatnya pun, hawa dingin yang
umumnya dirasakan orang pun tak lagi kami rasakan. Keadaan tersebut
membuat suasana di dalam keluarga kami juga menjadi semakin memanas tiap
harinya. Dalam artian yang sebenarnya.

Orang-orang di rumah menjadi lebih mudah emosi dan sering bertengkar satu
sama lain. Mungkin tak ada hubungannya, tapi bagiku tetap saja, keadaan di
dalam rumahku yang tiba-tiba begitu panas dan pengap sepanjang hari ini tentu
mempengaruhi keadaan jiwa para penghuni di dalamnya. Kipas angin takkan
mampu melenyapkan kepengapan di dalam rumah. Sampai pada akhirnya,
kami semua pada akhirnya sudah menjadi terbiasa dengan keadaan itu.

Pada suatu siang ketika aku sedang menonton TV di ruang tamu sendirian, tiba-
tiba aku merasa seperti ada sesuatu yang lain di sana. Ya, aku merasa tidak
sedang sendirian. Entah perasaanku saja atau tidak, dari tadi aku merasa kalau
melihat sekelebatan bayangan yang melintas ke sana – ke mari di dalam
ruangan itu. Gerakannya sangat cepat, seperti melesat lalu kembali menghilang.
Namun yang lebih membuatku merinding, gerakannya itu tidaklah seperti
manusia, melainkan seperti gerakan seekor monyet yang sedang meloncat ke
sana – ke mari. Gerakannya sangat acak, terkadang seperti meloncat ke atas TV,
melompati meja ataupun loncat turun dari kursi. Berkali-kali aku merasakan
adanya kelebatan bayangan tersebut sampai akhirnya aku memutuskan untuk
kembali ke dalam kamar saja. Sore harinya, ketika aku mengadukan hal
tersebut pada ibu, ia tidak percaya seperti biasanya.

Hari lepas hari, aku semakin sering merasakan bayangan itu. Tidak pagi, tidak
siang ataupun malam, bayangan tersebut dapat muncul kapan saja. Bahkan
ketika aku sedang tidak sendirian pun, bayangan tersebut masih dapat aku
saksikan berseliweran di ruang tamu. Pernah waktu itu aku sedang menonton
TV bersama ibuku saat bayangan tersebut muncul. “Bu, lihat barusan seperti
ada yang loncat?” tanyaku saat itu. Namun ibuku malah menjawab, “Tidak, tuh.
Sudah, jangan berhalusinasi terus.” Daripada dianggap tidak waras oleh
anggota keluargaku, akhirnya aku lebih memilih untuk diam saja tiap kali
melihat munculnya kelebatan bayangan itu. Namun ternyata keputusanku itu
salah.

Frekuensinya kemunculannya malah menjadi semakin sering. Seolah tidak


peduli dengan kehadiranku di sana, terkadang bayangan tersebut berlompatan
di dekatku yang sedang menonton TV. Sebenarnya aku tidak
mempermasalahkan, asal tidak iseng mengganggu saja, pikirku. Walau orang
seisi rumah tidak percaya, aku tetap yakin bahwa tidak ada yang salah dengan
penglihatanku. Bagaimana mungkin salah lihat jika ketika sedang asyik
menonton TV, terkadang layarnya dilewati oleh bayangan hitam tersebut dan
aku menjadi tidak jelas menyaksikan apa yang ada di layar TV pada saat itu.
Dari yang awalnya merinding, kini aku sudah terbiasa ketika kelebatan
bayangan tersebut muncul dan “bermain” di dekatku.

Pada suatu sore, seisi rumah dihebohkan oleh suara ibuku yang memanggil
anak-anaknya dari ruang tamu. Pasalnya, uang yang terdapat di dalam
dompetnya hilang beberapa ratus ribu ketika ditinggal memasak di dapur
sedangkan dompet digeletakan begitu saja di atas meja di ruang tamu. Saat
beliau menanyakan anaknya satu per satu, tak satu pun dari kami yang
mengaku telah mengambilnya. Aku pun tidak, karena aku memang tidak
pernah mengambilnya, apalagi itu adalah uang milik orang tuaku sendiri yang
akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Karena tidak ada yang tahu, akhirnya disimpulkan kalau mungkin saja uang itu
dicuri oleh orang dari luar rumah yang tiba-tiba masuk ke dalam ruang tamu
saat keadaan di rumah bagian depan sedang kosong. Aku tidak dapat menerima
begitu saja kesimpulan tersebut. Jika memang diambil orang luar, kenapa tidak
sekalian sama dompetnya juga dibawa pergi? Bukannya akan lebih riskan dan
memakan waktu bagi seorang pencuri jika harus membuka dompet dan
mengambil sebagian isinya terlebih dahulu?

Rupanya kami harus terbiasa dengan hal baru tersebut. Tiap beberapa hari,
ibuku pasti marah-marah karena uang demi uangnya terus hilang lembar per
lembar. Dan selalu dengan pola yang sama, lembaran uang yang hilang selalu
hanya pecahan seratus atau lima puluh ribu Rupiah. Awalnya mungkin percaya,
namun lama kelamaan ibuku malah bergantian menuduh salah satu dari kami
sebagai anak-anaknya sebagai pelaku yang mengambil uangnya selama itu.
Dituduh oleh orang tua sendiri atas perbuatan yang tidak pernah dilakukan,
keadaan di rumah kami pun kerap kali sengit.

Sampai pada akhirnya kakakku pun mengalami hal yang sama tersebut.
Uangnya hilang beberapa ratus ribu dari dalam dompetnya yang diletakkan di
atas almari di ruang tamu. Ia menuduhku, tentu aku tidak terima, dan keadaan
pun memanas. Seringkali seperti itu, tiap ada uang yang hilang, kami jadi saling
menuduh dan keadaan rumah yang panas pun kian jadi semakin panas. Kecuali
ayahku yang hanya bisa pasrah tiap kali uangnya hilang seratus atau beberapa
ratus ribu tiap beberapa malam. Adikku pun uang simpanannya hilang
setengahnya dan menuduh kakak-ku yang tinggal selantai dengannya di lantai
atas, mereka pun ribut. Sudah tak terhitung berapa banyak uang yang terus
menghilang di dalam rumah itu dan masing-masing di antara kami tidak lagi
dapat mempercayai siapapun.

Keadaan menjadi semakin pelik tatkala saat itu ternyata tidak hanya uang saja
yang dapat tiba-tiba menghilang. HP ibuku tiba-tiba hilang pada suatu siang
ketika diletakan di atas meja di ruang tamu sambil di-charge. Orang rumah
menganggap kalau mungkin ibuku lupa menaruh HPnya. Namun ketika
dihubungi, HP tersebut tidak pernah aktif. Lagi-lagi, kami menganggapnya
diambil oleh orang dari luar rumah saat ruang tamu sedang kosong. Tapi
dengan singkatnya jeda waktu ketika HP tersebut ditinggalkan ibuku hanya
untuk mengambil minum di dapur, rasanya pencuri pun tidak punya cukup
waktu untuk melakukannya tanpa ketahuan.

Sejak saat itu, keluarga kami tidak lagi percaya baik orang dari dalam maupun
luar rumah. Semua pintu depan rumah kami terkunci dan pintu pagar pun
tergembok sepanjang hari. Tetangga dekat pun mulai menganggap keluarga
kami tidak ingin bermasyarakat dengan baik saking tertutupnya. Ke depannya,
keadaan mulai membaik. Ternyata kejadian hilangnya uang atau barang tidak
lagi terjadi. Kami menjadi semakin yakin kalau selama ini pelakunya adalah
orang dari luar rumah. Tidak peduli dengan anggapan tetangga terhadap
keluarga kami yang semakin tidak enak didengar, hal tersebut harus terus kami
lakukan demi keamanan finansial keluarga kami. Kelebatan bayangan tersebut
juga sudah mulai jarang muncul.

Hingga pada suatu sore menjelang malam, kakak-ku panik dan mengomel
ketika mengetahui bahwa kali ini HP miliknya yang hilang. Keadaan rumah saat
itu sedang terkunci sehingga tidak mungkin ada orang luar yang masuk. Jadilah
tuduhan ditujukan kembali pada orang-orang di dalam rumah. Tak peduli
bagaimana kami saling bertengkar dengan hebat, HP tersebut tetap tidak dapat
ditemukan. Berulang kali dihubungi pun tetap tidak aktif. Kakak-ku pun
akhirnya menyerah dan mengikhlaskan kenyataan bahwa HP barunya kini telah
lenyap entah ke mana.

Siang hari saat sedang asyik mengerjakan tugas kuliah, aku kembali dikagetkan
dengan kemunculan bayangan itu. Ya, sekelebatan bayangan yang sudah agak
lama tak pernah kulihat, kini terlihat kembali. Aku berusaha kembali tenang
dan tidak menghiraukannya. Karena tidak nyaman, aku kembali masuk ke
kamar dan melanjutkan tugasku.

Malam hari tiba, tugasku masih belum selesai sementara besok sudah harus
dikumpulkan. Aku terpaksa bergadang. Karena di kamar tidak ada TV, aku
menyalakan musik dari HP dengan volume kecil agar suasana tidak terlalu
hening. Sekitar jam 01:00 pagi, tugasku sudah hampir selesai tatkala pintu
kamarku yang menuju ke ruang makan diketuk-ketuk. “Siapa larut-larut
begini?” gumamku. Ah, mungkin salah satu orang tuaku yang ingin
menanyakan kenapa aku masih belum tidur tengah malam itu.

Pintu langsung kubuka. Lucunya, tidak kudapati siapapun di sana. Pintu ke


arah kamar orang tuaku pun tertutup. Aku pikir mungkin kakak atau adikku
yang iseng menakutiku, tapi mereka lebih penakut dariku, mana mungkin.
Pintu kembali kukunci dan mp3 dari HP aku matikan. Tugasku belum selesai
namun aku berencana untuk menyelesaikannya nanti pagi saja sebelum
berangkat kuliah. Karena jujur, bulu kuduk-ku berdiri pada saat itu. Setelah
membereskan buku, aku berdoa menjelang tidur. Ketika sedang berdoa, samar-
samar aku mendengar ada suara seperti perempuan yang sedang bernyanyi dari
arah teras depan. Hendak kuintip dari jendela kamar, namun nyaliku tidak ada
saat itu. Aku lebih memilih untuk segera tidur namun senandung suaranya
terdengar makin jelas. Siapapun itu, aku yakin bukan manusia. Dan tak lama
setelah aku berpikir demikian, senandungnya berubah menjadi suara lirih
seperti orang yang sedang menangis. Aku terus berdoa dalam hati, berupaya
keras untuk dapat sesegera mungkin tertidur walau keringat dingin mulai
bercucuran. Dan aku berhasil.

Paginya, aku menanyakan pada ibuku perihal ketukan pintu semalam, ia bilang
tidak tahu. Aku juga menceritakan suara perempuan yang kudengar tersebut,
namun respon ibuku tentunya sudah dapat kalian tebak. Ya, ia hanya bilang
kalau aku mungkin salah dengar atau mungkin ada tetangga yang sedang
menyanyi tengah malam tadi. Jujur, aku agak kecewa dengan responnya.

Selang beberapa hari kemudian, adikku meminjam kamera digital untuk acara
Study Tour sekolahnya. Aku meminjamkannya dengan berpesan agar
menyimpannya dengan baik karena kamera tersebut merupakan benda
kesayangan yang aku peroleh dengan susah payah. Ia pun berjanji untuk
melakukan hal tersebut dan berangkat pada keesokan paginya. Sore itu di hari
yang sama, aku mendapat kabar yang tidak mengenakkan. Sepupu yang sangat
dekat denganku mengalami kecelakaan motor ketika pulang sekolah dan
sekarang sedang koma di Rumah Sakit Pluit karena gegar otak.

Sore itu juga aku berangkat ke rumah sakit dan menginap di sana. Semalaman,
sepupuku tidak sadarkan diri. Sebenarnya ia tidak sadarkan diri hingga
seminggu dan mengalami lupa ingatan sebagian (partial amnesia) tapi itu
bukan hal yang akan aku bahas di thread ini. Hari kedua aku di RS, aku
mendapat panggilan telepon dari rumah dari nomor HP adikku. Setelah
kuangkat, aku mendengar suaranya yang terdengar seperti antara sedang
ketakutan dan setengah menangis. Dengan terbata-bata, ia memberitahukan
jika kamera digital milikku yang dipinjamnya telah hilang. Bagai disambar petir
di siang bolong, hatiku bertambah sedih saat itu.

Sore harinya aku kembali pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan, aku terus
mengumpat. Aku sama sekali tak dapat menerima kenyataan tersebut.
Sesampainya di rumah, aku langsung menemui adikku dan memarahinya. Saat
itu aku baru tahu kalau kameranya hilang bukan pada saat Study Tour,
melainkan pada saat adikku sudah pulang ke rumah dan menyimpannya di
dalam lemari baju di kamar orang tuaku. Bahkan ia memasukannya dengan
disaksikan oleh ibu.

Namun pembelaannya tidak begitu saja dapat aku terima. Lantas aku malah
menuduhnya telah mengambil kamera itu kembali diam-diam dan menjualnya
untuk mendapatkan kembali sebagian uang simpanannya yang telah hilang
entah ke mana di dalam rumah itu. Mendengar hal itu, ia menangis dan
bersumpah bahwa tidak pernah sama sekali terbesit di pikirannya untuk
melakukan hal sepicik tersebut. Bahkan ia berjanji untuk menyicil padaku uang
sejumlah harga kamera yang hilang di luar kuasa walau sudah disimpannya
dengan baik-baik itu. Malam itu, aku kembali melihat kelebatan bayangan
hitam itu melompat ke sana – ke mari di ruang tamu beberapa kali.

Esok harinya, aku libur kuliah. Niat hati ingin sedikit beristirahat hari itu
namun keadaan tidak mengizinkan. Pada pagi hari, adikku panik karena kali ini
giliran HPnya yang hilang saat ditinggalkan di ruang tamu ketika ia sedang
pergi mandi. Tuduhan lantas langsung ia tujukan kepadaku karena insiden pada
hari sebelumnya. Namun hal berikutnya yang kami temukan membuktikan
bahwa selama ini kami semua salah. Tidak pernah ada orang luar maupun
orang dalam yang pernah mencuri uang ataupun barang di dalam rumah. Salah
satu keanehan di rumah kami tersebut pada akhirnya terjawab.
CERITA III – SATU MISTERI TERPECAHKAN (?)

Karena bingung tak tahu harus bagaimana lagi, akhirnya ibuku berusaha
mencari sedikit informasi dari tetangga sekitar. Ditanyanya perihal apakah
mereka juga sering mengalami kehilangan uang atau barang di dalam rumah.
Asumsi keluargaku, mungkin saja ada yang melakukan pesugihan babi ngepet
di sekitaran tempat tinggalku. Namun tak ada satupun dari mereka yang
mengaku pernah mengalami hal tersebut dan malah menganggap keluarga aneh
dan mengada-ada.

Hmm, abaikan anggapan negatif orang-orang. Berarti tuduhan adanya babi


ngepet dapat dibuang jauh-jauh karena ternyata hanya keluarga kamilah yang
mengalami hal-hal tidak mengenakan tersebut. Tuduhan kedua adalah adanya
tuyul. Namun hampir sama dengan kemungkinan pertama, kalau memang ada
tuyul, mengapa hanya keluarga kami saja yang didatangi dan dicuri terus
menerus? Walaupun begitu, ayahku memutuskan untuk memelihara keong laut
(umang-umang) dan kepiting sawah (yuyu) yang konon katanya merupakan
hewan kesukaan para tuyul yang dapat mengalihkan perhatian mereka ketika
sedang beraksi hingga akhirnya lupa untuk mencuri karena asyik bermain
dengan hewan-hewan kecil itu.

Nyatanya, tiap hari tetap saja ada lembaran uang di rumah kami yang hilang.
Ternyata tuyul bukanlah pelakunya. Atau mungkin mitos tentang para hewan
kecil tersebut ternyata tidaklah benar adanya? Kami kembali bertanya-tanya
tanpa pernah mendapatkan jawaban yang pasti. Hingga akhirnya ibuku
memiliki inisiatif untuk meminta bantuan pada “orang pintar” kenalan
temannya.

Empat hari setelah peristiwa hilangnya HP milik adikku tersebut, ia sudah tidak
lagi mengharapkan benda miliknya tersebut kembali. Keadaan di rumah kian
memanas dan di antara kami sulit sekali untuk akur. Terkadang kini aku
menyesali perbuatanku yang menuduh adik telah mengambil dan menjual
kamera milikku yang dipinjamnya. Namun di saat hari kejadian, sungguh aku
tak dapat mengontrol diri dan emosi. Hawa aneh di rumah itu memang seolah
membuat kami mudah untuk bertengkar dan tidak pernah percaya satu sama
lain.

Ketika pulang dari rumah orang pintar dan kembali ke rumah, ibuku langsung
memanggil anak-anaknya. Saat itu, beliau berkata, “Ayo semuanya, cari HP Ika
(nama adik perempuanku yang telah disamarkan) di seluruh bagian rumah
sampai ketemu.” Kontan kami semua bingung dan menganggap ibu sedang
berdelusi. “Harusnya masih ada, kok. Cari saja di manapun kalian pikir itu
mungkin,” tambahnya.

Walau dengan sedikit bersungut-sungut, kami semua berusaha mencari benda


yang tidak pasti keberadaannya tersebut. Aku mencari di tumpukan barang-
barang di depan kamar mandi luar. Ibuku juga mencari di dalam kamar
tidurnya sambil sesekali berusaha menghubungi nomor HP adikku yang juga
tidak kunjung aktif itu. Sementara itu, kakak dan adikku mencari di lantai atas,
di masing-masing kamar mereka. Jujur, aku merasa seperti orang bodoh saat
itu. Kalau memang HP itu masih ada, lantas di mana?

Berkali-kali mencoba menghubungi HP adikku yang telah hilang itu, tiba-tiba


ibu berteriak dengan penuh semangat, “Ah, nyambung! Nyambung!”
Maksudnya, ia berhasil terhubung ke nomor yang ditujunya tersebut. KREK,
panggilan ibuku diterima si pemegang HP. “Halo! Halo! Ini siapa, ya?” ibu
berusaha mencari tahu siapa lawan bicaranya saat itu. Namun berulang kali ibu
menanyakan hal yang sama, ia tidak pernah mendengar jawaban apapun dari
ujung sana. Tiba-tiba panggilan tersebut ditutup oleh lawan bicara misteriusnya
itu.

Ibu menggerutu sambil berusaha kembali menghubungi lagi. Aku hanya


memperhatikan tingkahnya dari luar pintu kamar. HP yang dihubungi kembali
tidak aktif, namun ibuku tidak mau menyerah. Pada usaha panggilan ulangnya
yang kesekian, panggilannya kembali terhubung dan diterima. “Halo! Maaf, ini
siapa, ya? Tolong dijawab, dong! Mas? Mbak?”

Sama seperti sebelumnya, tak ada respon apapun dari orang yang dihubunginya
itu. Namun samar-samar, ibuku mendengar suatu suara yang lain. “Ada yang
lagi ngomong,” ujarnya kepadaku. Raut wajahnya berubah serius ketika sedang
berusaha mendengarkan suara itu dengan lebih jelas. “Ika?”

Aku ikut bingung waktu beliau menyebutkan nama adikku. “Halo, mbak. HPnya
sudah ketemu, ya?” tanya ibuku pada lawan bicara yang dipanggilnya „Ika‟
tersebut. “Mbak, jawab dong, mbak! Sudah ketemu, ya?” Namun nampaknya
ibu tak mendapatkan respon apapun dari orang yang sedang dihubunginya
tersebut. “Kenapa, bu?” tanyaku penasaran. “Ini, pas diangkat, ibu dengar suara
Ika sama kakakmu lagi ngobrol. Tapi suaranya kecil banget,” jawabnya.

“Terus, HPnya?” tanyaku lagi. “ Pas ibu panggil-panggil, si Ika malah terus asyik
ngobrol aja. Ibu dicuekin sama dia” tukasnya sambil sedikit mengomel. “Ya
udah, ayo kita langsung samperin aja, bu,” ajakku. Akhirnya kami berdua naik
ke lantai 2 dan sesampainya di kamar adikku, ibu kembali bertanya, “Kamu ini,
ditanya malah diam saja! HPnya sudah ketemu?”

Adikku menjawab sambil kebingungan. “Maksud ibu? Lah, belum, bu. Ini aku
juga dari tadi masih nyari, bu.” Ibuku jadi ikut bingung. “Terus tadi yang angkat
HPnya siapa? Lah, ibu tadi dengar suara kamu sama mbak Santi (nama kakak
perempuanku yang telah disamarkan) lagi ngobrol pas ibu hubungi HP-mu
barusan, kok.”

“Lah, kok aneh. Memangnya HPnya tadi aktif?” tanya adikku. Ibu tidak
menjawab, ia kembali mencoba menghubungi HP adikku tersebut. Terhubung,
namun tidak diangkat. Beberapa kali dicoba, namun tidak juga diangkat.
Adikku duduk di atas kasur sambil menunggu kelanjutannya dengan cemas.
“Sebentar, kayaknya kasur ini bergetar,” ujar adikku tiba-tiba. Kakak-ku
langsung ikut menyentuh kasur tersebut, “Eh, iya, benar!”

Ibu langsung memutuskan sambungan panggilan HP dan mencoba menyentuh


kasur itu juga. Tak sampai 5 detik tangannya mendarat di atas kasur, beliau
berkata, “Ah, kalian ngarang saja. Mana? Tidak ada getaran sama sekali.” Adik
dan kakak-ku saling berpandangan penuh tanya. “Tapi tadi...”

“Sudah, coba kalian cari terus HPnya,” suruh ibu sambil kembali mencoba
menghubungi HP adikku. Tiba-tiba adikku berteriak, “Eh, ini kasurnya bergetar
lagi, bu!” Refleks, tangan ibu langsung terulur ke arah kasur dengan cepat. Air
muka ibu seketika berubah. “Iya, kayak ada getaran.” Tangannya yang lain
masih memegang HP yang terhubung ke HP adik-ku.

Dengan sigap, adikku meraba-raba badan kasur hingga ke bagian bawah. Oh


iya, kasur adik-ku adalah Spring Bed dengan ukuran single. Sambungan telepon
ibu di HPnya terputus dan bersamaan dengan itu getarannya pun lenyap. “Coba
telepon lagi, bu!” pinta adikku. Dan benar saja, ketika ibu kembali
menghubungi HP adik, getaran itu kembali muncul. “Ada di dalam sini!” pekik
adikku tiba-tiba.

Aku yang dari tadi hanya termangu melihat tingkah mereka langsung bertukas,
“Di dalam kasur, mana mungkin!” Namun ketika aku disuruh untuk meletakkan
telapak tanganku pada bagian bawah kasur, aku menjadi sedikit percaya pada
keganjilan tersebut. Bagaimana mungkin HP bisa masuk ke dalam bagian
dalam Spring Bed di saat tak ada satupun lubang yang menganga pada kasur?
Dan lagi, kasur itu 2 lapis, sedangkan HPnya berada di dalam lapis kasur yang
kedua. Benar-benar tidak masuk diakal.

Namun untuk membuktikan itu semua, kami harus melakukan sesuatu. Ibu
menyuruhku untuk mengambil pisau di dapur. Aku pun turun dan hampir
terjatuh pada salah satu anak tangga ketika kulihat kelebatan bayangan hitam
yang biasa kulihat di ruang tamu, kini sedang melompat dari atas meja makan
ke arah dapur lalu menghilang. Buru-buru langsung kuambil sebilah pisau dan
kembali ke lantai atas. Saat itu aku melihat ibu, kakak dan adik tengah
mengangkat lapis pertama kasur Spring Bed dan menyingkirkannya pada salah
satu sudut ruangan. Lapis kedua kasur itu kemudian setengah dibalik sehingga
bagian bawah kasurnya kini berada di samping. Ibu meminta pisau yang
kubawa lalu mulai menyayat kain penutup bagian bawah kasur tersebut pada
bagian tepinya hingga cukup lebar untuk memasukkan tangan ke dalamnya.
Ketika sudah cukup, tangan ibu masuk ke dalamnya dan merogoh sesuatu.
Ketika tangan kembali dikeluarkan, kami semua terkejut sewaktu melihat HP
adikku yang telah hilang berhari-hari kini tengah berada dalam genggaman
tangan ibuku, dalam keadaan mati. Adikku langsung mengambil kembali
HPnya sambil terus bersyukur pada Tuhan. Sementara aku dan kakakku, masih
termangu tak percaya.

“Benar apa yang dibilang „orang pintar‟ itu,” ujar ibuku. Kami semua tak paham
dengan maksud perkataan beliau barusan. Ibu menyuruh kami semua untuk
turun dan berjanji akan menjelaskan lebih lanjut di ruang tamu. “Jadi begini,
kalian masih ingat dengan telur bebek busuk yang pecah di depan pintu rumah
waktu itu?” Kami semua mengangguk. “Itu kiriman. Katanya, memang sengaja
dilempar ke rumah kita. Bukan telur bebek biasa, ternyata di dalamnya ada
semacam paku ghaib yang tidak terlihat.” Kami semua masih terus terdiam
mendengarkan penuturan ibu.

“Begitu telur pecah dan paku ghaib jatuh di teras rumah kita, semua jin yang
berada di dalamnya masuk ke dalam rumah ini karena telah ditugaskan untuk
sengaja mengganggu.” Adikku yang penasaran langsung memotong, “Siapa yang
melempar telur?” “Katanya masih kerabat yang tidak suka sama keluarga kita.
Siapa pastinya, „orang pintar‟ itu tidak mau memberitahu,” jawab ibuku. Walau
tidak diberitahu dengan pasti, kami semua, para anak-anak, langsung
menganggukan kepala tanda sudah paham. Ya, hampir tidak mungkin salah
kalau yang dimaksud pasti adalah keluarga saudaraku yang bertengkar hebat
dengan keluargaku sewaktu kami masih tinggal di kompleks sebelumnya.
Keluarga mereka saat itu memang banyak dicurigai para tetangga sedang
mempraktekkan ilmu ghaib. Bagaimana tidak, kehidupan keluarga mereka yang
sebelumnya biasa-biasa saja, seketika bisa menjadi kaya raya. Suaminya tidak
bekerja namun sang isteri bagai toko emas berjalan yang selalu memakai
berlapis-lapis perhiasan emas ketika sedang keluar rumah. Bahkan belakangan,
pasangan tersebut dikenal sebagai renternir kejam dengan suku bunga tinggi
yang tidak segan-segan untuk menyita harta para peminjam uang yang tak
mampu melunasi ataupun membayar cicilan pinjaman mereka. Para tetangga
juga terkadang melihat sang isteri sedang menggandeng ataupun menggendong
seekor tuyul di pundaknya ketika sedang berjalan-jalan keluar rumah. Tentu
saja, tidak semua orang dapat melihat makhluk yang kasat mata itu.

“Wah, ternyata mereka masih begitu dendamnya dengan keluarga kami”,


pikirku. Apakah tuduhan kami salah atau benar, kami tetap yakin kalau
keluarga merekalah pelakunya. Masalah mereka tahu alamat baru kami dari
mana, aku pun tidak tahu. Tapi dengan „kelebihan‟ yang mereka miliki, rasanya
itu bukanlah perkara yang sulit.

Ibu melanjutkan ceritanya, “Setiap uang ataupun barang yang hilang,


sebenarnya tidak benar-benar langsung hilang. Hanya akan diumpetkan, dan
jika kita mencarinya di seluruh bagian rumah pasti masih ada. Seperti HP-mu
tadi, Ika.” Mendengar penjelasan ibu, aku langsung bertanya dengan penuh
semangat, “Kalau begitu, kamera digitalku juga masih bisa dicari sampai
ketemu?” Namun ibu menggeleng, memadamkan harapanku yang sedang
berkobar saat itu. “Sudah terlambat. Kata „orang pintar‟ tadi, sekarang yang
masih bisa ditemukan hanyalah HP adikmu tadi. Karena walau memang hanya
diumpatkan, kalau uang ataupun barang yang hilang itu tidak segera dicari,
maka beberapa hari kemudian mereka akan benar-benar lenyap.”

“Seharusnya, waktu tahu ada telur pecah itu harus langsung disiram pakai air
kencing (air seni) untuk membatalkan sihirnya. Tapi sudah telat, yang sudah
„masuk‟ ke dalam rumah ini kuat-kuat. „Orang pintar‟ tadi tidak bisa
mengusirnya,” lanjut ibu. Aneh. Namun tak begitu aneh, karena memang sejak
awal semuanya sudah aneh.

Setelahnya, ibu menyuruh kami untuk mengambil garam yang diperolehnya


dari „orang pintar‟ dan menaburkannya pada setiap bagian depan pintu di
rumah kami. Katanya untuk menangkal masuknya makhluk ghaib lain yang
kemungkinan akan menyusul dikirimkan lagi. Juga untuk mengurangi
kemungkinan adanya kejadian yang akan membahayakan keluarga kami oleh
makhluk-makhluk yang sudah berada di dalam rumah. „Makhluk-makhluk‟, ya
karena memang jumlahnya lebih dari satu dan bervariasi. Ke depannya akan
aku ceritakan satu persatu makhluk apa saja yang ada di dalam rumah kami.
Ibu juga berpesan agar menjaga baik-baik tiap barang berharga yang kami
miliki serta tidak saling menuduh lagi jika ada uang ataupun barang yang
hilang. Karena yang mengambil memang bukan di antara kami, melainkan
makhluk ghaib kiriman yang kini tinggal bersama-sama dengan kami di dalam
rumah.

Sejak saat itu, aku selalu menggenggam HPku sepanjang hari ketika berada di
dalam rumah. Ke dalam kamar mandi sekalipun, HP pasti kubawa. Bahkan
ketika aku sedang tidur pada malam hari, HP selalu kugenggam erat-erat dan
kutempelkan pada dada, kemudian aku tidur dengan posisi telungkup, yang
berarti aku tidur sambil menindih HP. Sebegitu takutnya aku untuk kehilangan
barang milikku lagi. Sejak saat itu juga, aku menjadi lebih dekat dengan Tuhan.
Seperti tiap malam sebelum tidur, aku pasti berdoa selama lebih dari satu jam
tanpa henti, meminta kemurahan hati Tuhan untuk senantiasa melindungi dan
menjaga aku beserta keluarga selama tinggal di dalam rumah itu. Paling tidak,
supaya kami dapat melewati malam itu tanpa adanya gangguan yang berarti
dari para makhluk ghaib. Sepertinya, anggota keluargaku yang lain juga
melakukan hal yang sama.

Selama beberapa hari ke depan setelah kejadian itu, tak ada lagi kejadian
kehilangan uang atau barang. Keluarga kami begitu senang karena nampaknya
keanehan itu telah berakhir. Namun yang paling membuatku kesal adalah kini
tiap sore hingga tengah malam, pintu kamarku yang menuju ke ruang makan
jadi sering sekali diketuk-ketuk yang ketika pintu kubuka, tidak seorangpun
kudapati di sana. Suatu malam sekitar pukul 21:00 WIB, bunyi itu kembali
terdengar. “TOK! TOK! TOK!” Bunyinya begitu jelas. Tapi percuma saja kubuka,
toh takkan ada orang di luar sana.

Di rumah hanya ada kakak-ku dan aku saat itu. Yang lainnya sedang pergi ke
rumah saudara sementara ayah belum pulang kerja. “TOK! TOK! TOK!”
Bunyinya kembali terdengar. Karena merasa terganggu, aku pun berjalan
perlahan mendekati pintu. Dengan mengendap-endap, aku berniat untuk
mencari tahu siapa yang melakukan hal iseng tersebut. Mungkin saja itu kakak-
ku yang sedang berusaha menakuti. Walaupun aku sadar benar kalau bunyi
ketukan itu pun tetap muncul saat aku sedang seorang diri di rumah.

Aku tak dapat mengintip dari lubang kunci karena saat itu kunci sedang
terpasang. Jika aku mencabutnya maka pasti akan menimbulkan bunyi dan
pelakunya bisa keburu kabur karena mendengar bunyinya. Telinga
kutempelkan pada badan pintu, ingin memastikan bahwa bunyi ketukan yang
aku dengar selama ini memanglah berasal dari depan pintu kamar. “TOK! TOK!
TOK!” Nyaringnya bunyi ketukan sempat membuatku kaget, getaran yang
berasal dari ketukan sebuah tangan ke pintu kayu kamarku dapat begitu
kurasakan karena kedua tanganku menempel pada badan pintu. Aku terdiam
cukup lama. Bunyi itu tidak muncul lagi. Saat aku hendak kembali ke kasur,
tiba-tiba bunyi itu kembali terdengar dan tanpa menunggu ketukan tersebut
selesai hingga tiga kali, aku langsung membuka pintu dengan begitu cepat. Dan
seperti biasa, kosong.

Aku langsung mencari kakak-ku dan ternyata ia sedang menonton TV di ruang


tamu. Di belakangnya, kelebatan bayangan hitam yang biasa kulihat, sedang
melompat-lompat di atas kursi dan kembali menghilang kemudian. Tanpa
berkata apa-apa, aku kembali ke kamar. Dan begitu aku menutup pintu,
ketukan itu kembali muncul. Karena kesal, aku langsung berkata, “Kalau mau
masuk, langsung masuk aja! Jangan ketuk-ketuk terus, berisik!!” Dan
setelahnya, bunyi ketukan berhenti terdengar. Paling tidak, untuk malam itu.

Sore hari pada keesokan harinya, ibuku kembali menimbulkan suara gaduh.
Aku keluar dari kamar dan menanyakan ada apa. Beliau berkata bahwa setelah
pulang dari warung membeli mie instan dan telur, beliau duduk di ruang tamu
untuk menonton TV. Uang kembalian sebesar Rp62.000 diletakannya di atas
meja. Pecahan uang kertas Rp50.000 sebanyak satu lembar, uang kertas
Rp10.000 sebanyak satu lembar dan uang logam Rp1.000 sebanyak dua keping.
Sesaat setelah acara yang ditontonnya selesai, ibuku beranjak dari kursi, hendak
memasak mie instan karena lapar. Begitu uang kembalian yang diletakannya
hendak ia ambil kembali, tepat di depan kedua matanya sendiri, ia melihat tiba-
tiba pecahan uang kertas Rp50.000-nya lenyap seketika dan menyisakan
Rp12.000 saja. Ia segera mengambil uang kembalian yang tersisa dan tak henti-
hentinya mengomentari serta mengutuk kejadian aneh yang baru saja
dialaminya tersebut. OK, here we go again...
CERITA IV – MEREKA MAKIN USIL

Aku berusaha menenangkan ibuku yang terus mengomel tanpa henti. “Mungkin
jatuh ke bawah,” kataku sambil mengecek bagian bawah meja. “Jatuh apanya?!
Barusan mau diambil, uangnya hilang begitu saja di depan mata!” bantah ibuku.
“Ya sudah, kita cari aja bareng-bareng. Paling juga diumpetin lagi,” ujarku pura-
pura santai. Ibuku masuk kamar dan menangis. Mungkin ia sudah tidak tahan
dengan semuanya. Ayahku banting tulang setiap hari dari pagi sampai malam di
Jakarta sebagai seorang wirausahawan, tapi penghasilannya di rumah malah
selalu hilang begitu saja. Aku pun sebenarnya sedih, namun tak tahu kenapa,
aku tak pernah bisa menangis.

Karena tahu ibuku sedang lapar, aku memasakan mie instan untuknya. Di
dapur, aku juga sesekali mengecek beberapa spot, mungkin saja uang yang
hilang tadi diumpetkan di sana. Setelah mie instan matang, aku
memberikannya pada ibu namun makanan itu tak pernah disentuhnya.
Sepanjang sore, ia hanya sibuk menghitung uang yang ada di dalam dompetnya
berulang kali, jadi agak seperti orang aneh menurutku. Berulang kali aku
memintanya untuk makan, ibu tak memberikan respon apapun. Kakak dan adik
yang telah mencoba untuk mencari keberadaan uang yang hilang namun tak
menemukannya pun juga berusaha menasehati ibu untuk makan, tapi tak satu
pun dari mereka yang berhasil membujuk. Bahkan ketika ayah pulang dan
membawa makanan dari luar, ibu tetap tak mau makan. “Mungkin belum rezeki
kita. Ikhlaskan saja,” kata ayah. “Kebutuhan keluarga kita banyak. Tiap hari
kerja pun percuma kalau apapun yang didapat tetap tidak akan pernah menjadi
rezeki kita.” Itu kalimat yang ibu ucapkan sebelum ia pergi tidur malam itu.
Sedih juga mendengarnya. Di keluargaku, semua anaknya masih mengenyam
bangku pendidikan sementara hanya ayahku seorang diri yang mencari uang.
Malam itu aku benar-benar berdoa pada Tuhan agar segala cobaan segera
berakhir dan keluarga kami dapat bahagia seperti dulu. Sesaat sebelum tidur,
air mataku tak terasa menetes.

Keesokan harinya, aku kembali pulang ke rumah pada sore hari sehabis kuliah.
Di ruang tamu, ibu, kakak dan adikku sedang duduk terdiam. Ada apa lagi ini,
batinku. “Mbak, uangku hilang lagi 200 ribu,” kata adik kepadaku. Lututku
langsung lemas. “Semalam pas tidur, aku simpan di bawah bantal untuk beli
buku pelajaran di sekolah, paginya sudah tidak ada.”

“Sudah dicari?” tanyaku. “Sudah. Masih belum ketemu dari tadi.” Ya, hari-hari
keluarga kami kehilangan uang ataupun barang kembali dimulai. Terkadang
kami dapat menemukannya di tempat yang tidak lazim, seperti laptop kakak-ku
yang hilang di kamarnya dan ditemukan kembali pada hari yang sama di sela-
sela tumpukan kardus barang di depan kamar tidurku. Namun kami lebih
sering tidak pernah lagi menemukan apa yang telah hilang. Beruntungnya, di
keluarga kami, hanya akulah satu-satunya orang yang tidak pernah mengalami
kehilangan uang ataupun barang selama tinggal di rumah tersebut. Masalah
kamera digital milikku waktu itu, aku menganggapnya hilang ketika dipinjam
adik, jadi tidak hilang ketika aku yang menyimpannya. Ke depannya, aku akan
sangat mengurangi porsi bahasan tentang uang ataupun barang yang hilang.
Karena fenomena tersebut akan terus ada di rumah itu hingga ke depannya,
sedangkan masih banyak hal ghaib lain yang juga ingin aku share pada kalian.

Beberapa hari kemudian di suatu sore, ibu sudah dapat kembali lebih ceria. Ia
sedang mencuci pakaian secara manual di teras rumah di depan kamarku. Di
sana ada sebuah kran air dan tempatnya yang lebih luas dibanding kamar
mandi di dalam kamarnya yang membuat ibuku jauh lebih sering untuk
mencuci pakaian di sana. Walau di rumah ada mesin cuci, ibu selalu memilih
untuk mencucinya dengan papan penggilas karena katanya jauh lebih bersih.
Siang tadi turun hujan, jalanan pun masih basah oleh sisa genangan air.
Matahari masih belum kembali menampakan wajahnya di petang itu,
sementara bulan sebentar lagi akan menggantikan posisinya. Ibu masih terus
mencuci, tumpukan pakaian kotornya menggunung karena sudah 3 hari tidak
mencuci. Tidak biasanya ibu mencuci pakaian sampai semalam ini. “Ellaaaa!”
Aku dipanggil dan segera kuhampiri beliau. Ternyata seluruh pakaian sudah
selesai dicuci dan ibu menyuruhku untuk menemaninya ke lantai atas area
jemuran. Untuk mengakses area tersebut, kami harus menaiki tangga tanpa
pegangan yang berada di luar samping rumah. Di atas sana, tidak ada
penerangan sama sekali. Lantainya hanyalah semen yang di-cor, tidak dilapisi
lantai keramik, juga tak beratap sama sekali. Jadi bisa dikatakan, sinar bulan
adalah lampunya dan langit adalah atapnya. Begitu kami hampir sampai, hanya
gelap mencekam yang dapat kami rasakan. Samar-samar, aku melihat ada
sebuah tiang jemuran besar yang terbuat dari aluminium di pojok area tersebut.
Di sanalah ibu akan menggantungkan hasil cuciannya. Dingin, gelap dan
lembab. Pantas saja ibu memintaku untuk menemaninya. Karena aku sendiri
pun takkan berani untuk ke atas sana seorang diri.

Aku duduk dekat tangga sambil menatap bintang-bintang di langit. Semilir


angin malam menerpa wajahku. Ah, sudah lama aku tidak merasakan hawa
senyaman ini di dalam rumah. Indah juga pemandangan langit dari atas sana.
Sementara itu, ibu menyanyikan sebuah lagu cinta lawas sambil terus
menjemur. Mungkin ia melakukannya untuk mengusir keheningan agar
suasana tidak terlalu sepi dan menakutkan. Akhirnya ibu selesai menggantung
seluruh cuciannya dan mengajakku turun. Baru kujejakkan beberapa langkah
kaki pada anak tangga tiba-tiba terdengar bunyi yang mengagetkan kami.
“BRAKK!” Kami kembali naik ke atas dan mendapati tiang jemuran itu telah
rubuh ke samping. Beberapa cucian tercecer jatuh ke lantai semen yang penuh
debu dan kotoran. Ibu mengomel ketika mengetahui beberapa cucian yang baru
dibersihkannya tersebut harus dicuci kembali karena terjatuh. Dipungutinya
ceceran pakaian basah dan dimintanya aku untuk membantu mendirikan
kembali tiang jemuran yang rubuh itu. Berat, kami sangat kewalahan saat itu.
Ketika kami berhasil, ibu kembali mengomel. Dan saat itu juga terdengar bunyi
yang lain sehingga omelan ibu berhenti.

“NGROOK! GROOK!” Bunyi itu cukup kencang dan jelas, hampir seperti bunyi
orang yang sedang mengorok tapi temponya cepat seperti orang yang sedang
tersedak atau tercekik. Juga mirip suara babi hutan, menurutku. Tak lama
kemudian, tercium bau pesing menyengat yang dirasakan oleh kami berdua
sehingga ibu memutuskan untuk mengajakku kembali turun. Belum sempat
menapakkan selangkah kaki pun, entah dari mana, sejumlah batu kecil
ditimpukan ke arah kami dan bunyi aneh itu kembali terdengar. Kontan, kami
pun langsung ambil langkah seribu dari tempat itu. Setelah kejadian tersebut,
ibu tidak pernah lagi berani menjemur cucian pada malam hari. Bahkan
terkadang tiang jemuran sudah diturunkan pada sore hari dari lantai atas ke
teras rumah jika memang berencana untuk menjemur pakaian pada malam
harinya.

Ada kejadian aneh yang juga berhubungan dengan ibuku yang sedang mencuci
pakaian. Pada suatu hari, adik perempuanku tidak masuk sekolah karena
sedang sakit. Siang itu, adikku masuk ke dalam kamar orang tua dan melihat
ibuku sedang mencuci pakaian di dalam kamar mandi di dalam kamar itu.
Posisi tubuhnya membelakangi adikku. Ketika dipanggil, ibu hanya menyahut
tanpa menoleh, tangannya terus asyik mencuci. Adikku pun kembali berlalu
setelah sebelumnya hampir tersandung tumpukan pakaian kotor yang berada di
lantai. Kamar orang tuaku ini memang dijadikan jalan pintas bagi kami semua
karena letaknya yang berada di tengah rumah. Sebagai contoh, dari kamarku
menuju ruang tamu, tentu harus jalan memutar dulu melewati ruang makan
dan dapur di bagian belakang rumah. Rute ini tentu jauh lebih efisien jika aku
memotongnya dengan masuk ke dalam kamar orang tua lalu keluar melalui
pintu yang satu lagi. Jika masih bingung, kalian bisa lihat denah rumah yang
aku post di Cerita II. Jadi sebenarnya adikku lewat kamar itu karena hendak
keluar rumah membeli obat. Begitu sampai di teras, ia keheranan karena lagi-
lagi melihat ibuku sedang mencuci pakaian di pojok teras, spot yang sama
dengan ceritaku yang sebelumnya. Dihampirinya ibuku dan disinggungnya
kejadian aneh yang baru ia alami tersebut. Ibuku berkata kalau ia dari tadi
mencuci di teras dan belum kembali masuk ke dalam rumah sejak ia mulai
mencuci.

Adikku langsung kembali masuk ke dalam kamar orang tua dan didapatinya
ruangan tersebut tanpa seorang pun. Bahkan tumpukan pakaian kotor yang tadi
hampir membuatnya tersandung pun kini sudah tidak ada lagi. Satu hal janggal
lagi yang ia sadari ketika itu, pintu kamar yang menuju ke ruang makan kini
tertutup. Padahal ketika ia masuk ke dalam kamar, pintu itu sudah dalam
keadaan terbuka dan ia juga tidak pernah menutupnya setelah itu. Beberapa
saat kemudian, terdengar bunyi ketukan di pintu yang tiba-tiba dalam keadaan
tertutup itu. Ketika ia buka, kalian sudah bisa tebak kelanjutannya. Itulah
pertama kalinya, ada orang di rumah selain diriku yang mendengar bunyi
ketukan misterius di pintu. Saat itu, hanya adik dan ibuku yang berada di dalam
rumah. Kakakku sedang bekerja karena sudah dapat pekerjaan, aku masih
belum pulang kuliah, adik laki-lakiku yang kecil sedang pergi les dan ayahku
masih di tempat kerjanya.

Ini kisah mistisku yang lain lagi. Sore itu aku baru selesai mandi di kamar
mandi luar di dekat ruang tamu. Di depan kamar mandi itu ada tumpukan
barang-barang yang disimpan dalam kardus. Jumlahnya sangat banyak dan
tersebar di beberapa bagian rumah karena sebenarnya itu merupakan kemasan
barang dari rumah kami sebelumnya waktu pindahan dulu dan memang
sengaja untuk tidak dibongkar lagi supaya memudahkan kami jika akan pindah
rumah lagi nantinya. Tumpukan kardusnya sendiri bervariasi, ada yang
mencapai setinggi pinggang, bahkan ada juga yang melewati tinggi tubuhku.
Waktu itu di salah satu tumpukan kardus yang setinggi dadaku, kulihat ada
sebuah kipas sate yang tergeletak di atasnya. Kipas sate ini merupakan kipas
persegi dari anyaman bambu yang biasa digunakan oleh para penjaja sate ketika
memasak dagangannya. Kipas ini pula yang sering keluarga kami gunakan
ketika membakar daging kambing, ikan, cumi ataupun udang pada malam
perayaan Tahun Baru dan Idul Adha.

Tak ada yang aneh dengan bentuk kipas yang kulihat waktu itu selain kenyataan
bahwa benda itu sedang bergerak-gerak sendiri tanpa ada seorang pun yang
menyentuhnya. Aku pun lantas berteriak memanggil kakak agar ia juga
melihatnya. Saat itu di rumah memang hanya ada aku dan kakak-ku. Ia berlari
ke arahku dan seketika itu juga kipas tadi berhenti bergerak. Ketika dilihatnya
kipas sate itu tidak seperti keadaan yang aku teriakan sebelumnya, ia
menganggapku hanya mengarang saja. Lumrah, orang terkadang harus melihat
atau merasakan sendiri baru ia akan percaya. Dan nampaknya, saat itu juga
adalah waktu bagi kakak-ku untuk percaya.

Ketika ia hendak beranjak pergi dari tempat itu setelah sedikit berdebat
denganku, kami berdua dibuat tertegun tatkala melihat kipas sate itu kini
sedang beranjak melayang. Tak seberapa tinggi, namun kami dapat melihat
dengan jelas bahwa kipas itu memang tengah melayang. Mungkin sekitar 10 cm
di atas tempatnya semula. Benda itu melayang dengan begitu tenang dan
kemudian terdiam untuk beberapa saat di udara. Kami masih tidak bergeming.
Kemudian, PLAK! Kipas itu melesat berputar-putar dan terjatuh di lantai dekat
dengan posisi kakak-ku sedang berdiri saat itu. Seperti ada yang melemparkan
benda itu ke arah kakak-ku. Otomatis ia pun langsung lari ketakutan keluar
rumah sambil berteriak. Aku yang panik pun ikut meninggalkan tempat itu dan
menyusul kepergian kakak-ku. Para tetangga yang kebetulan sedang berada di
depan rumah mereka masing-masing langsung berkumpul di depan pintu pagar
rumahku karena mendengar teriakan kakak tadi. Banyak dari mereka yang
tidak percaya penuturan kami dan kembali meninggalkan rumah dengan sikap
apatis. Namun ada sepasang tetangga yang nampaknya percaya, mereka
mengajak kami untuk kembali masuk ke dalam rumah dan menunjukkan spot
terjadinya hal mistis tadi.

Sekembalinya kami ke tempat tumpukan kardus tadi, kipas itu sudah tidak lagi
berada di lantai. Benda itu telah kembali ke tempatnya semula. Aku kembali
berusaha meyakinkan bapak dan ibu tua itu kalau tadi kipas tersebut masih
berada di lantai ketika kami pergi lari ke luar rumah. “Sudah, tidak apa-apa.
Cuma mau kasih tahu kalau dia ada di situ,” ujar bapak itu kemudian. Kami
yang masih kebingungan seperti orang bodoh menanyakan siapa “dia” yang
sebenarnya dimaksud tadi. Bapak tadi tidak menjawab. Isterinya menawarkan
kami untuk bertandang ke rumah mereka dulu sementara menunggu orang
rumah kami pulang jika kami terlalu takut untuk berada di dalam rumah saat
itu. Namun kami menolak dengan halus. Kami lebih memilih untuk menunggu
orang rumah pulang dengan duduk di teras depan saja. Tiba-tiba sang bapak
berkata lagi, “Wah, ramai juga ya rumahnya.” Kepalanya menoleh ke kanan dan
ke kiri, serta sesekali ke atas juga ke bawah. Bulu kuduk-ku langsung berdiri
karena aku tahu apa yang sebenarnya ia maksud. Rupanya pasangan itu bukan
tetangga dekat kami. Rumah mereka di gang belakang blok rumahku. Kebetulan
mereka sedang melintas untuk pulang ke rumahnya saat para tetangga
berkumpul di depan rumah kami tadi. Setelah memberitahukan nama dan
posisi rumahnya, bapak dan ibu tua itu pun pamit pulang. “Jangan ragu-ragu
kalau nanti mau mampir,” kata sang isteri. Kami pun mengangguk dan
mengucapkan terimakasih.

Sore itu hingga malam, kami berdua duduk di kursi yang berada di teras rumah.
Tak satu pun dari kami yang berani kembali masuk ke dalam dan berharap agar
ada orang rumah lainnya yang segera pulang. Hati kami sedikit lega ketika
melihat adik pulang. Namun setelah mendengar cerita itu, ia pun takut untuk
masuk dan menemani kami berdua untuk duduk-duduk di teras pada akhirnya.
Kemudian ibuku pulang bersama adik laki-lakiku yang masih SD. Walaupun
nampaknya beliau juga takut, akhirnya kami semua berhasil diyakinkan untuk
kembali masuk ke dalam rumah. Malam itu, aku langsung masuk ke dalam
kamar dan bunyi ketukan pintu langsung menyambut. Aku tak lagi takut, aku
sudah hampir terbiasa. Esok harinya, kipas itu hilang tak berbekas. Dan ke
depannya kami pun membeli kipas yang baru.

Ini kisah yang lain lagi, terjadi beberapa minggu setelah kejadian pada cerita di
atas. Tengah malam itu aku masih belajar menghapal untuk Test salah satu
mata kuliah nanti siang. Tiba-tiba aku merasa ingin buang air kecil. Aku pun
keluar kamar dan berencana untuk menumpang di kamar mandi di dalam
kamar mandi orang tuaku. Itu adalah kamar mandi yang terdekat dari kamar
tidurku. Ketika pintu coba kubuka, ternyata dikunci. Ya, memang harus untung-
untungan. Terkadang memang orang tuaku mengunci pintu kamar ketika tidur,
namun ada kalanya juga tidak ketika mereka lupa. Terpaksa aku pun harus
menggunakan kamar mandi luar yang berada di dekat ruang tamu. Sebenarnya
aku paling malas kalau harus ke kamar mandi selarut itu, apalagi jika harus ke
kamar mandi luar. Biasanya aku sudah sibuk bolak-balik ke kamar mandi
menjelang tidur supaya tidak tiba-tiba ingin buang air kecil pada saat tengah
malam seperti saat itu. Mau tidak mau, aku pun harus menyusuri ruang makan
dan dapur. Entah kenapa, bulu kudukku berdiri ketika melintasi area dapur
pada saat itu. Aku pun terus berjalan perlahan-lahan karena ruangan yang
sedikit remang akibat ada beberapa lampu yang memang sengaja dimatikan
tiap malam sebelum keluarga tidur guna menghemat listrik. Terutama di ruang
tamu, terkadang kedua lampu di sana malah tidak dinyalakan sama sekali,
namun biasanya lampu kamar mandi di dekat sana selalu dinyalakan sepanjang
hari. Malam itu, hanya satu lampu yang dinyalakan di ruang tamu. Walau agak
gelap, aku masih dapat melihat dengan jelas segala sesuatunya. Sesaat ketika
mendekati area parkir motor di dalam rumah yang harus aku lewati untuk
dapat sampai ke kamar mandi, aku berhenti mematung.

Keluargaku memang terbiasa memarkir motor di dalam rumah. Ayahku suka


was-was tiap kali mendengar di kompleks itu ada berita tetangga yang
kehilangan motor yang sedang diparkir di luar. Saat itu, kami memiliki 3 buah
motor yang selalu diparkir di dalam rumah pada tiap malamnya. Namun bukan
motor yang sedang di parkir itu yang membuatku berhenti mematung.
Melainkan sesosok makhluk ghaib berwujud bayi yang sedang tertelungkup di
atas salah satu jok motor kami. Bayi itu sedang menatap ke arahku. Kepalanya
botak, matanya bulat, tak berpakaian, persis seperti bayi manusia normal pada
umumnya. Yang membuatnya tidak normal adalah ketika ia sedang terus
melihat ke arahku, senyum lebarnya tak pernah lepas dari wajahnya. Aku yang
masih bingung dengan penglihatanku saat itu tetap terdiam saja di tempat,
masih belum yakin benar apakah itu bayi sungguhan atau bayi jadi-jadian. Aku
baru yakin ketika bayi tersebut tertawa, “HE! HE! HE!” Suaranya bukan suara
seorang bayi melainkan suara laki-laki dewasa. Ia menggoyangkan kepalanya ke
kanan dan ke kiri secara berirama sambil terus tertawa pelan. Aku yang sudah
benar-benar ketakutan langsung kembali ke dalam kamar. Niatku untuk buang
air kecil tak dapat kusalurkan. Karena rasa sakit ingin buang air kecil yang
harus aku tahan hingga pagi itu dan juga pikiranku yang sudah tidak bisa
konsentrasi gara-gara penampakan tadi, aku memutuskan untuk menyudahi
belajar dan pergi tidur dengan tanggungan rasa yang sangat tidak nyaman
harus kurasakan.

Paginya, aku menceritakan hal tersebut pada orang tua dan mereka hanya
merespon sekenanya. Entah mereka percaya atau tidak. Namun yang pasti,
mereka sudah percaya bahwa rumahku saat itu memang tidaklah beres. Sekitar
dua bulan setelah kejadian itu merupakan masa Lebaran. Keluargaku berencana
untuk mudik selama sepekan di Purwokerto. Sebuah rutinitas yang keluarga
kami lakukan tiap tahunnya. Namun tahun itu berbeda. Karena ketika
keluargaku mudik akan ada dua acara yang diadakan oleh teman dekatku dan
kehadiranku sangat diharapkan di sana, akhirnya aku memilih untuk tidak ikut
mudik. Ya, aku lebih memilih untuk menunggu rumah yang sudah banyak
„penunggu‟-nya itu seorang diri selama keluargaku pergi ke kampung halaman.
Aku mungkin tergolong nekat namun saat itu aku juga memang sedang malas
bepergian jauh. Keluargaku yang khawatir sempat tak mengizinkan. Namun
karena aku bersikeras, akhirnya mereka memenuhi keinginanku setelah
berpesan agar aku harus dapat menjaga diri dan seisi rumah dengan sebaik-
baiknya. Namun keputusanku di kala itu ternyata harus dibayar cukup mahal
dengan sejumlah pengalaman mistis yang tak pernah terlupakan.
CERITA V – KEPUTUSAN YANG NEKAT

Siapapun yang tahu bahwa rumahku angker dan mendengar keputusanku


untuk menjaga rumah selama 1 minggu seorang diri mungkin akan
menganggapku gila. Namun itulah kenyataannya yang terjadi saat itu. Sudah
kubilang sejak awal, kalau aku ini mungkin tergolong anak yang paling
pemberani di keluargaku. Sesungguhnya, tidak seberani yang kalian pikirkan.

Ayah memberiku Rp250.000 untuk uang pegangan selama ditinggal seminggu


di rumah. Sekardus mie instan dan 1 kilo telur ayam juga sudah tersedia di
dapur untuk bahan persediaan makanan jika aku sedang malas membeli
makanan di luar. Karena di kamarku hanya terdapat kipas angin (ceiling fan),
ayah menyarankan agar aku tidur di kamarnya saja selama keluarga pergi
mudik. Kamar tidurku adalah satu-satunya kamar yang tidak menggunakan
pendingin ruangan (AC) di rumah itu. Boleh juga, pikirku.

Mereka berangkat pagi-pagi buta. Setelah berpamitan, aku pun kembali masuk
ke dalam rumah. Kupindahkan semua buku pelajaran dan perlengkapan lainnya
yang biasa kugunakan sehari-hari dari kamarku ke kamar orang tuaku. Subuh
itu tak nampak ada yang aneh. Mungkin karena sebenarnya mataku juga masih
setengah mengantuk saat itu. Sesudahnya, aku kembali melanjutkan tidur di
kamar orang tua. Hari itu, aku bangun siang. Belum ada kabar bahwa
keluargaku telah sampai di tujuannya. Aku membuka pintu depan agar bagian
dalam rumah mendapat penerangan tambahan dari sinar matahari lalu pergi
mandi di kamar mandi di dalam kamar tidur orang tuaku.
Setelahnya, aku pun pergi ke dapur untuk memasak mie instan karena perut
mulai merasa lapar. Masih belum ada yang aneh. Walau dalam hati sebenarnya
ada perasaan takut, aku bertingkah pura-pura santai dan berani agar „mereka‟
tidak berniat mengusiliku. Oh iya, di dapur ini ada sebuah lorong yang
ujungnya berbatasan dengan tembok kamar tidur orang tuaku. Lorong itu
cukup panjang dan begitu gelap karena tidak ada penerangan di sana. Di bagian
tengah lorong ada tempat mencuci piring yang dilengkapi kran (kitchen sink)
tapi karena rusak jadi tidak pernah digunakan. Sedangkan di ujung lorong tidak
ada apapun.

Aku kembali ke kamar orang tuaku untuk menikmati mie instan sambil
menonton TV. Saat itu, aku juga sedang libur kuliah panjang sehingga bisa
sepanjang hari di dalam rumah setiap harinya. Dari siang hingga malam, aku
hanya berbaring di atas kasur sambil nonton TV dan sesekali berselancar ke
dunia maya dengan HP-ku. Tentu aku juga tak melupakan mandi di sore hari.
Ketika ada tukang mie tek-tek yang melintas di depan rumah, aku langsung
keluar untuk membelinya sebagai lauk makan malam. Sama sekali tidak ada
yang aneh di rumah sepanjang hari itu. Dan aku berharap semoga keadaan
seperti itu terus berlangsung hingga keluargaku kembali ke rumah lagi pada
minggu depan. Sesaat sebelum tidur, aku berdoa selama 1 jam seperti biasa.
Malam itu, aku dapat tidur dengan cepat dan nyenyak.

Hari kedua menjaga rumah seorang diri. Aku bangun lebih pagi dan segera
mandi karena hari ini aku dan teman-teman dekatku berencana untuk pergi
berwisata ke Taman Buah Mekarsari. Jam 9 pagi kami sudah harus berkumpul
di rumah seorang teman untuk berangkat beriringan dari sana. Setelah
kupastikan seluruh keadaan rumah dalam keadaan aman, aku pun mengunci
pintu dan pergi ke rumah temanku pada pukul setengah 9 pagi. Kami berangkat
bersama dalam rombongan beberapa buah motor dan menghabiskan waktu
hingga sore di tempat wisata itu. Sekembalinya aku ke rumah, hari mulai
menjelang malam. Bodohnya, pagi tadi sebelum berangkat, aku lupa
membiarkan seluruh lampu-lampu di rumahku menyala. Jadilah aku harus
masuk ke dalam rumah yang gelap gulita tersebut untuk menyalakan lampu di
seluruh bagian rumah.

Lampu pertama yang harus aku nyalakan adalah lampu teras. Ini tak sulit
karena letak tombolnya tepat di bagian tembok sebelah kanan begitu aku mulai
membuka pintu depan dan masuk ke dalamnya. Berbekal sedikit penerangan
dari teras, aku juga berhasil menyalakan lampu ruang tamu yang tombolnya
berada di dekat TV dan juga lampu kamar mandi di dekat ruang tamu tersebut.
Aku kembali ke depan ruang tamu dan masuk ke dalam kamar tidur orang
tuaku. Belum sempat lampu kunyalakan, tiba-tiba TV yang berada di atas
lemari itu menyala sendiri. Anehnya, ia menyala dengan volume yang amat
keras dan tampilan layarnya hanya berupa bintik hitam dan putih (gambar
„semut‟). “BZZZZZT!” Kira-kira seperti itulah bunyi yang sangat mengagetkan
itu kudengar. Aku langsung buru-buru menyalakan lampu kamar dan
bersamaan dengan itu, TVpun kembali mati dengan sendirinya. Saat itu aku
menganggap kalau itu hanyalah gangguan arus listrik yang menyebabkan TVku
menyala sendiri.

Kemudian kunyalakan lampu kamar mandi di dalam kamar tidur orang tuaku
lalu juga lampu kamar tidurku yang tombolnya berada di tembok luar kamar.
Setelahnya, aku kembali berjalan menuju ruang makan dan dapur untuk
menyalakan lampu di sana. Tidak ada lampu dari ruang lainnya manapun yang
membantu memberikan penerangan ke area di bagian belakang rumah ini.
Gelap, benar-benar gelap. Tombol lampu ada di tembok bagian tengah di antara
ruang makan dan dapur. Pelan-pelan aku menyusuri ruangan itu sambil
tanganku meraba ke sana-ke mari agar tidak menubruk apapun. Di saat
jantungku juga sedang berdesir karena takut, tiba-tiba kurasakan ada sebuah
tangan yang menepuk punggungku. Begitu nyata hingga dapat kurasakan
beberapa jarinya. Tubuhku langsung kaku ketakutan. Ingin kutolehkan kepala
pun saat itu sedang gelap gulita. Ingin kutanya “Siapa?” pun, sebenarnya aku
tak mau mendengar jawaban apapun di saat aku merasa memang sedang
sendirian di dalam rumah itu.

Akhirnya kuputuskan untuk kembali melangkah walaupun saat itu kaki terasa
amat berat. Lampu ruang makan pun berhasil kunyalakan dan aku segera
menoleh ke tempat di mana aku merasakan tepukan tadi. Namun tidak ada
seorang pun di atas sana. Karena nyaliku sudah terlanjur ciut, aku memutuskan
untuk tidak menyalakan lampu-lampu di lantai atas. Aku kembali ke kamar
tidur orang tuaku dengan melewati ruang tamu setelah sebelumnya
menggembok pintu pagar dan mengunci pintu depan rumah. Aku mengunci
kedua pintu di dalam kamar tidur itu karena ketakutan. Kuputuskan untuk
segera tidur tanpa mandi, namun kusempatkan untuk mengganti pakaian. Di
saat aku berdoa menjelang tidur, samar-samar aku mendengar suara tangisan
perempuan dari jendela di kamar itu. Sama seperti suara tangisan yang biasa
kudengar dari jendela di kamarku yang mengarah ke teras. Saat itu padahal jam
masih menunjukkan pukul 10 kurang. Namun karena sudah terlalu letih, aku
mengabaikannya dan memaksakan tubuhku untuk segera beristirahat.

Hari ketiga, aku kembali bangun siang karena tubuhku sangat lemas pada hari
sebelumnya. Pegal-pegal kurasakan ketika berusaha beranjak dari tempat tidur
untuk mandi. Namun setelah mandi, pegalnya sedikit berkurang. Aku ke dapur
untuk memasak mie instan. Kulihat beberapa buah telur telah jatuh dan pecah
di lantai. Telur lainnya masih utuh di dalam kantong plastik yang tergeletak
aman di atas meja makan. Mungkin ulah tikus, pikirku positif. Walau aku tahu
kalau tidak mungkin itu ulah tikus. Kantong plastiknya masih tergeletak dengan
rapi, kalau memang tikus yang menjatuhkan telur-telur tersebut, tentunya
kantong plastiknya sudah berantakan. Tak apalah, aku tak mau ambil pusing
saat itu. Setelah kubersihkan, aku pun menggoreng telur dan membuat mie
instan untuk makan siang.

Siang hingga sore, aku hanya bermalas-malasan di atas kasur sambil membaca
buku pelajaran karena akan ada serangkaian Test ketika aku kembali masuk
kuliah nanti. Ketika hari makin gelap, aku menyalakan semua lampu di rumah
seperti biasa. Tidak ada gangguan saat itu. Aku kembali ke kamar dan pergi
mandi. Setelahnya, aku kembali melanjutkan bacaan. Saking seriusnya belajar,
aku tak menyadari kalau malam semakin larut. “CTAK!” Jendela kamar orang
tuaku ditimpuk kerikil. Kusibakan gorden untuk mengintip, namun kosong di
luar sana. Aku kembali belajar walau konsentrasiku terganggu dengan kejadian
barusan. Di saat aku sedang kembali fokus, tiba-tiba TV kembali menyala
sendiri dengan volume yang sangat keras dan gambar „semut‟. Jika volume 10-
12 adalah standar normal untuk volume TV di ruangan itu, mungkin yang
kudengar saat itu adalah volume 20-30. Sangat keras hingga aku pun langsung
terperanjat dan refleks melempar buku yang sedang kubaca. Tak sampai 5 detik,
TV itu kembali mati dengan sendirinya. Aku mencoba untuk mengecek TV
dengan kembali menyalakannya. Karena remote tidak kunjung kutemukan,
kunyalakan TV dengan menekan tombol yang ada pada bagian bawahnya
dengan agak ketakutan. TV menyala dengan volume normal dan gambar siaran
TV yang juga tidak ada masalah. Aku coba untuk mengganti siaran dari satu
saluran ke saluran lainnya, juga tidak ada masalah. Akhirnya TV kembali
kumatikan dan aku mengirim SMS pada ibuku untuk menanyakan perihal TV
tersebut. Ibu memberitahu kalau ia tidak pernah mengalami kejadian seperti
itu.

Tiba-tiba lagi, aku mendengar ada seseorang yang sedang mandi di dalam
kamar mandi di dalam kamar itu yang pintunya tengah tertutup. Suara gayung
yang beradu dengan keramik, juga suara siraman air langsung memompa
jantungku. Aku langsung mengadukan hal itu pada ibuku lagi, dan beliau
menyuruhku untuk mengecek ke dalam kamar mandi. Aku tak punya cukup
nyali untuk melakukannya. Setelah saling terus mengirimkan SMS, ibu bilang
bahwa mereka akan kembali ke rumah lebih cepat dari jadwal semula. Aku pun
berusaha sekuat tenaga untuk dapat tidur malam itu namun amat sulit. Ketika
kudengar jendela kamar kembali ditimpuk dengan kerikil, entah oleh siapa,
akhirnya aku memutuskan untuk kembali tidur di kamar tidurku sendiri saja.
Setelah menelungkupkan badan dan menutup kepalaku rapat-rapat dengan
bantal di atas kasurku seperti biasanya, aku pun akhirnya tertidur. Selama di
rumah itu, aku memang tidak pernah menggunakan bantal sebagai alas ketika
tidur, melainkan kujadikan sebagai penutup kepala untuk menutupi
penglihatanku bilamana terbangun di tengah malam.

Hari keempat, aku bangun siang seperti biasanya. Sore nanti akan ada acara
yang hendak diadakan oleh seorang teman dekatku. Acara tersebut juga
merupakan acara perpisahan sebelum keluarganya pindah ke Palembang. Itulah
sebabnya aku memilih untuk tidak ikut keluarga mudik daripada harus
melewatkan acara penting tersebut. Siang sampai sore, aku hanya
membersihkan rumah. Merapikan segala sesuatunya agar ibu tidak mengomel
ketika pulang nanti karena melihat rumah berantakan. „Mereka‟ tidak berulah
saat itu dan aku bersyukur karenanya. Pukul 4 sore, aku menyalakan seluruh
lampu di rumah dan berangkat menuju rumah temanku dengan berjalan kaki.
Letaknya tidak terlalu jauh, cukup 10-15 menit dengan berjalan kaki. Di sana
sudah berkumpul teman-teman dekatku yang lain dan kami berpesta kecil-
kecilan sampai malam.

Usai acara, aku kembali pulang ke rumah dan langsung masuk kamar untuk
tidur. Keluargaku akan pulang esok hari. Berangkat sore dari Purwokerto dan
akan sampai Bekasi sekitar subuh lusa harinya. Aku sangat lega karena akan
segera kembali berkumpul dengan keluarga. Mungkin karena terlalu banyak
minuman bersoda, kini aku merasakan ingin buang air kecil. Sudah malam,
sendirian pula. Hatiku agak galau antara ingin buang air kecil atau menahannya
saja hingga pagi. Kalau menumpang buang air kecil di kamar orang tuaku, aku
takut karena teringat ada yang „mandi‟ di sana pada malam sebelumnya. Kalau
kamar mandi luar di dekat ruang tamu, aku takut kalau bertemu dengan bayi
jadi-jadian waktu itu lagi. Tapi karena sudah benar-benar tak dapat aku tahan
lagi, aku pun memberanikan diri untuk menumpang buang air kecil di kamar
orang tuaku. Baru kubuka pintu kamarku dan berjalan sedikit, sebuah
penampakan menyambut.

Sekelebatan bayangan yang biasa kulihat berlompatan mirip monyet itu


nampaknya memang benar berwujud monyet. Jauh di ujung sana, di bawah
meja makan, ada seekor makhluk mirip monyet kecil berwarna hitam sedang
duduk di lantai sambil tubuhnya mengarah kepadaku. Bagian wajahnya sangat
hitam dan nyaris tak dapat kulihat dengan jelas mukanya. Tak lama kemudian,
ia melompat ke atas meja dan menghilang. Niatku untuk ingin buang air kecil
pun langsung hilang seketika. Dengan cepat, aku kembali masuk ke kamar dan
mengunci pintunya, berusaha tidur sambil tak henti-hentinya berdoa dalam
hati.

Tak satu pun teman perempuanku yang bersedia menginap di rumahku ketika
kuajak ketika sedang berkumpul tadi. Mereka semua sudah tahu kalau rumahku
angker dan tak satupun dari mereka yang berani ambil resiko. Namun ketika
mereka menawarkanku untuk menginap di rumahnya, gantian aku yang
menolak. Aku tak mau merepotkan keluarga orang lain. Dan juga ada amanat
yang harus aku jalani yaitu menjaga rumah dengan baik. Namun saat itu, aku
menyesal telah menolak tawaran temanku tadi.

Hari ini adalah hari terakhir bagiku menjaga rumah seorang diri karena esok
subuh keluargaku akan kembali sampai di rumah jika tidak ada halangan
berarti. Aku begitu bersemangat dan hampir melupakan semua perjuanganku
menjaga rumah seorang diri selama sepekan itu. Pagi itu aku beli makan di luar,
membersihkan rumah, kembali belajar hingga sore, makan malam dengan mie
instan dan semuanya berlangsung tanpa ada keanehan apapun. Ketika malam
menjelang, aku menyalakan seluruh lampu di rumah dan berencana untuk tidur
lebih awal supaya dapat terbangun untuk membukakan pintu bagi keluargaku
esok subuh. Tengah malam menjelang subuh, aku terbangun karena di teras ada
suara yang cukup gaduh. “Ah, keluargaku sudah pulang!” pikirku girang dalam
hati. Untuk memastikannya, aku membuka gorden jendela kamar dan berniat
untuk mengintip ke arah teras. Namun aku kaget sewaktu jendela bagian luar
ternyata ditutupi oleh kain panjang berwarna putih. Aku tidak pernah ingat
kalau ada kain apapun yang dipakai untuk menutupi jendela kamarku. Ingin
kubuka jendela kamar saat itu untuk memeriksanya, tapi aku takut. Akhirnya
aku langsung beranjak ke kamar orang tuaku. Dari sana, aku berusaha
mengintip dari jendela kamar orang tuaku ke jendela kamar tidurku yang
letaknya di sebelah barat laut dari pandangan saat itu. Tidak ada kain apapun
yang menutupi jendela kamar tidurku saat kali ini kulihat. Aku jadi mungkin
bingung. Mungkin salah lihat karena mata masih mengantuk, pikirku untuk
menenangkan diri.

Aku bergegas ke ruang tamu. Sesampainya di sana, aku langsung menyibakkan


gorden untuk mengintip ada siapa di luar. Kosong. Keluargaku ternyata belum
pulang. Kutengok jam dinding saat itu ternyata baru menunjukkan pukul 2
pagi. Karena merasa haus dan botol air minum yang kusimpan di dalam kamar
pun sudah habis airnya, aku pun pergi menuju kulkas yang ada di dapur. Letak
kulkas ini tepat di depan lorong kosong. Aku mengambil gelas dari rak piring
lalu membuka kulkas untuk menuangkan air minum ke dalam gelas kosong
tadi. Sewaktu aku sedang menuangkan air, tiba-tiba tengkuk-ku merasa
merinding. Aku merasa seperti ada yang sedang mengawasiku dari belakang.
Aku menoleh ke ujung lorong yang gelap di belakangku namun tidak melihat
apapun di sana. Aku meneguk air minum dan meletakan kembali botol ke
dalam kulkas lalu menutupnya. Tetap saja aku merasa seperti sedang
diperhatikan.

Setelah puas minum, aku membalikkan sedikit tubuhku dan berniat untuk
kembali ke kamar. Sesaat sebelum melangkahkan kaki, aku kembali menoleh ke
ujung lorong itu dan melihat penampakan paling mengerikan yang pernah aku
lihat selama ini. Sebuah sosok hitam mirip bayangan setinggi orang dewasa
namun sedikit lebih tinggi lagi, sedang berdiri di pojok lorong yang gelap itu.
Yang membuatku sangat ketakutan adalah karena makhluk itu sedang
melambai-lambaikan tangannya ke arahku, seakan ingin menyapa.
Gelas terjatuh dari genggamanku dan menggelinding ke lantai. Tidak pecah
karena yang aku ambil saat itu adalah gelas plastik. Aku berlari sekencang
mungkin ke dalam kamar. Kaki kananku sempat terantuk anak tangga dan
berdarah karena tepian kuku jempolnya menancap ke dalam daging. Di dalam
kamar, aku terus berdoa sambil meringis kesakitan. Tak henti-hentinya aku
berdoa sampai akhirnya keluargaku benar-benar pulang. Aku hampir menangis
ketika menyambut kedatangan mereka karena begitu senangnya. Saat itu
sekitar jam 4 kurang. Tanpa peduli mereka masih lelah karena perjalanan jauh
atau tidak, aku menceritakan semua pengalaman aneh yang kualami selama
menunggu rumah, terutama kejadian mistis terakhir yang aku alami tadi. Aku
menceritakan sosok makhluk yang kulihat tadi dan mati-matian berusaha
membuat mereka percaya. Ibu percaya dan berkata kalau nanti sore akan
mencari „orang pintar‟ lainnya untuk menyudahi semua keanehan ini sementara
komentar ayah hanya singkat, “Jadi makhluk di lorong itu masih berani muncul
lagi, ya.” “Lagi?” aku kebingungan.

CERITA VI – ENDING (PART 1)

Karena lelah sedari perjalanan jauh, keluarga kami pun langsung tidur di kamar
masing-masing dengan begitu nyenyaknya. Di dalam kamar, aku masih bingung
dengan perkataan ayah tadi. Meskipun begitu, aku juga harus segera ikut tidur
karena waktu istirahatku masih sangat kurang. Kini keluargaku sudah kembali
berada di rumah, aku berharap dapat tidur dengan lebih tenang saat itu. Dari
luar teras, terdengar suara cekikikan perempuan, lalu berganti dengan
senandung seperti yang terkadang kudengar. Karena sudah cukup terbiasa
mendengar suara tersebut, aku pun mengabaikannya dan tertidur nyenyak
subuh itu.

Aku bangun menjelang siang. Ibu dan kakak sudah tidak ada di rumah karena
sedang mencari rumah bapak Adi (nama telah disamarkan), bapak tua yang
menemani aku dan kakakku bersama isterinya dulu ketika ada insiden kipas
sate terbang di rumah. Aku mencari ayah yang masih libur kerja hari itu.
Kutemuinya di ruang tamu, ia sedang menonton TV. “Yah, aku mau tanya,”
ujarku membuka percakapan. Kusinggung lagi makhluk mistis yang kulihat di
lorong tengah malam tadi, juga maksud dari komentarnya yang membuatku
bingung.

“Bagaimana sosok yang kamu lihat waktu itu?” tanya ayah. Aku menjelaskannya
sesuai dengan apa yang aku lihat waktu itu. “Ayah pernah melihatnya juga?”
tanyaku. Beliau mengangguk. Ayah bercerita bahwa pada suatu tengah malam
di bulan lalu, ia belum juga bisa tidur sementara ibu dan adik laki-lakiku sudah
lama terlelap. Karena acara TV sudah tidak ada yang menarik, ia pun
mematikannya lalu rebahan sambil menatap langit-langit kamar dengan pikiran
kosong. Dialihkannya pandangan ke dalam kamar mandi yang pintunya sedang
terbuka saat itu. Tidak ada yang menarik sampai pandangan matanya tertahan
pada lubang ventilasi di dalam kamar mandi tersebut.

Bagian belakang dari kamar mandi adalah ruang makan. Dari lubang ventilasi
tersebut, dapat diketahui bahwa lampu di ruang makan sedang menyala.
Sebenarnya tidak ada yang aneh, bila saja cahaya lampu yang sedang dilihatnya
dari lubang ventilasi itu tidak tiba-tiba padam. Ayah pikir, mungkin lampunya
rusak dan memang sudah harus diganti karena cahayanya pun kini sudah tak
seterang waktu ia pertama kali memasangnya. Namun tiba-tiba, cahaya lampu
kembali terlihat dari lubang ventilasi di dalam kamar mandi dan kembali
padam tak lama kemudian. Ayah yang kebingungan, terus memperhatikan
lubang itu. Lubang-lubang itu cukup besar dengan kawat nyamuk tipis yang
melapisinya. Ketika lampu di ruang makan kembali menyala, ayah yang sedang
memperhatikan lubang itu pun terperanjat karena pasalnya saat itu terlihat
sosok bayangan hitam berupa kepala yang sedang mengintip ke dalam kamar
lalu pergi dari balik lubang ventilasi tersebut.

Ayah yang sebenarnya sangat penakut ini memutuskan untuk mengecek ke


dapur sambil membawa sapu ijuk dari dalam kamar. Dibukanya perlahan pintu
kamar dan didapatinya lampu ruang makan masih dalam keadaan menyala.
Dengan mengendap-endap, ayah berjalan menuju tembok dengan lubang
ventilasi kamar mandi yang berada di ruang makan. Ditengokkan kepalanya ke
segala penjuru, namun ayah tidak menemukan sosok yang ia lihat dari dalam
kamarnya tadi. Ia terus berjalan ke arah dapur, menuju ke area tempat parkir
motor. Namun begitu tepat melintas di depan lorong yang terdapat di area
dapur, ayah mendengar suara seperti orang yang sedang memanggilnya dengan
bisikan.

“PSSST!” Ia berhenti seketika. Ketika ia menoleh ke arah sumber suara di pojok


lorong, ayah melihat juga sosok bayangan hitam sama seperti yang aku lihat
tengah malam itu, sedang melambai-lambaikan tangannya ke arah ayah. Ia
yang ketakutan langsung melemparkan sapu yang dipegangnya ke arah
makhluk itu dan sosok misterius itu pun menghilang. Ayah mengancam, jika
makhluk ghaib itu masih berani mengganggu ia dan keluarganya, ayah takkan
segan-segan untuk meminta bantuan „orang pintar‟ untuk membinasakannya.
Ancaman ayah tengah malam itu hanya dibalas dengan bunyi gayung yang jatuh
di dalam kamar mandi. Sekembalinya ayah ke dalam kamar tidur, ia masuk ke
dalam kamar mandi untuk mengembalikan gayung ke tempatnya semula lalu
menutup pintu kamar mandi tersebut dan berusaha keras untuk dapat segera
tertidur. Paginya, ayah memberitahukan hal ini pada ibu dan mereka setuju
untuk merahasiakan hal tersebut dari anak-anaknya agar kami tidak ketakutan.

Sore itu, akhirnya ibu pulang bersama kakak. “Tidak bisa hari ini,” kata ibu
kepada ayah. Rupanya ibu telah menceritakan semua fenomena ghaib yang
terjadi di keluarga kami pada pak Adi. Beliau berjanji akan membantu keluarga
kami namun meminta waktu paling tidak 2 atau 3 hari untuk mengumpulkan
beberapa personil yang akan membantunya di ritual pengusiran makhluk ghaib
nantinya. Esok malamnya, seorang teman datang ke rumah untuk meminta
copy mp3 dari komputerku. Kupersilahkan ia masuk dan menuju kamarku
melalui ruang makan.

Oh iya, walau ada 3 pintu depan di rumahku yang mengarah ke teras, salah
satunya termasuk pintu di kamarku, namun hanya 1 saja yang sebenarnya
difungsikan, yaitu pintu di tengah rumah yang menuju ke ruang tamu. Pintu
depan di bagian paling kiri rumahku yang bersebelahan dengan tangga luar
yang menuju ke area jemuran tidak pernah dibuka sejak awal kami pindah
karena lubang kuncinya rusak sehingga pintu amat susah dibuka. Begitu pula
pintu di kamarku yang menuju teras hanya pernah dibuka 2 atau 3 kali sebelum
akhirnya kunci tersangkut di dalam lubang kunci dan tidak bisa digerakkan
sama sekali.

Temanku berjalan di depan, sementara aku mengikutinya dari belakang. Begitu


memasuki area ruang makan, “DUGG!” Tiba-tiba aku terjatuh karena
tersandung sesuatu. Kuperhatikan lantai dan sekitarnya, tak kulihat ada benda
apapun di sana. Aku bingung karena tadi jelas-jelas kakiku merasa menubruk
sesuatu hingga terjatuh. “Lah, kenapa jatuh?” tanya temanku keheranan. Ingin
jawab “tersandung” tapi takut dikira mengada-ada karena aku berjalan
melewati rute yang sama dengannya, akhirnya aku bilang kalau tadi kakiku
terkilir.

Sesampainya di kamar, aku kembali dibingungkan sewaktu melihat pintu


kamarku yang menuju teras rumah kini sudah dalam keadaan terbuka, walau
tidak begitu lebar. Kunci masih menggantung di lubangnya. “Ini bisa masuk
dari sini, kenapa tadi muter lewat belakang?” tanya temanku saat itu. Karena
enggan membuatnya takut dan aku juga bingung menjawabnya saat itu, aku
hanya berkata, “Oh iya, maaf. Aku lupa.” Padahal, pintu itu sudah tidak pernah
aku buka selama berminggu-minggu karena kuncinya tersangkut di dalam
lubang. Selesai mendapatkan apa yang diinginkannya, temanku pulang dengan
keluar melalui pintu yang langsung menuju teras rumah. Aku mengantarkannya
sampai pintu pagar lalu kembali masuk ke dalam kamar melalui pintu yang
sama. Ketika kembali berada di dalam kamar, kemudian aku menutup pintu
dan menguncinya dengan begitu mudah. Ketika aku mencoba untuk kembali
membukanya, kunci pintu kamar itu tidak mau bergerak sedikit pun seperti
biasanya. Aku merinding. Orang rumah pun kebingungan sewaktu aku
menceritakan hal ini.

Esok sore harinya selepas Maghrib, pak Adi bersama 2 orang rekannya yang
terlihat lebih muda, datang ke rumah kami. Ketiganya hanya mengenakan
pakaian biasa, kemeja putih dengan celana panjang hitam, di tangan salah
seorang di antaranya membawa botol mineral berisi air putih setengah penuh.
Hari itu mereka berniat untuk melakukan pengusiran makhluk halus yang
mengganggu di rumah kami. Aku mempersilakannya untuk masuk dan duduk
di kursi, namun mereka semua lebih memilih untuk duduk bersila di lantai.
Kusuguhkan makanan kecil dan air putih. Sedangkan anggota keluargaku
terlihat sedang duduk di atas kursi yang menghadap ke arah pak Adi dan
kawanannya dengan perasaan cemas.

Malam itu, ayah belum pulang dari tempat kerjanya. Di rumah hanya ada ibu
dan para anaknya. Pak Adi meminta agar pintu depan ditutup, kakak-ku pun
segera menutupnya. “Selama saya di sini, harap semuanya terus membaca doa
di dalam hati dan jangan pernah mengosongkan pikiran. Jangan bengong!”
suruh bapak tua itu pada keluarga kami. Degup jantungku pun memacu lebih
cepat mendengar perkataannya itu. Sebelum ritual dimulai, pak Adi meminta
kami untuk menunjukkan di lokasi mana saja kejadian mistis pernah muncul.
Kami mengantarnya ke beberapa bagian rumah sambil menjelaskan dalam
kengerian. Sepanjang melihat isi rumah, bapak itu hanya terus mengangguk-
anggukan kepalanya sambil pandangan matanya merayap ke berbagai sudut
lain yang tidak sedang kami jelaskan. Sesekali, ia memberi salam dan
mencipratkan air yang telah didoakan dari botol mineral yang dibawanya ke
berbagai sudut ruangan. Di ruang makan dekat tangga, sesuatu di lantai
menarik perhatian pak Adi. Ia membungkukkan badan, membaca doa,
memunguti sesuatu lalu memasukannya ke dalam kantong celana. Sesuatu itu
tak dapat kami lihat dengan mata telanjang.

Usai hal tersebut, kami semua kembali ke ruang tamu dan duduk di tempat
semula. Sebenarnya aku khawatir pada adik laki-lakiku yang masih SD saat itu.
Ia duduk tepat di antara ibu dan kakak-ku sambil terlihat begitu ketakutan. Pak
Adi melafalkan doa-doa. Kedua rekannya juga melakukan hal yang sama.
Setelah mereka selesai, pak Adi bertanya kepada kami semua, “Ada yang berani
mencoba agar mata bathinnya dibuka?”

Kami semua langsung menolak, kecuali adik laki-lakiku. Kelihatannya ia masih


terlalu kecil untuk tahu apa itu mata bathin. Ketika mata bathin dibuka berarti
seseorang tersebut akan memiliki mata ketiga. Ini bukan arti mata secara
harafiah. Dengan mata ketiga, orang akan mampu melihat berbagai sosok
makhluk halus di sekitarnya yang tidak dapat dilihat menggunakan mata biasa.
Jika tidak memiliki keberanian yang cukup tinggi, maka orang itu dapat histeris
dan jatuh pingsan. Bukan tidak mungkin akan meninggalkan trauma dan teror
walau mata bathin sudah kembali ditutup sekalipun. Tiba-tiba ibuku berkata,
“Boleh deh, pak.” Namun setelah diyakinkan kembali oleh pak Adi bahwa
pembukaan mata bathin ini bukanlah hanya untuk sekedar iseng-iseng, ibu
kembali mengurungkan niatnya.

Ritual pun dimulai, pak Adi kembali melafalkan doa dan memberi salam pada
para makhluk halus di rumah itu. Ia terlibat pembicaraan yang terlihat seperti
percakapan satu arah oleh kami. Tiba-tiba, salah seorang rekannya kesurupan.
Ia menggelepar di lantai, rekan lainnya memegangi tubuh pemuda itu. Kami
semua ketakutan, terutama adikku yang nampaknya sudah mulai ingin
menangis. Pemuda yang kesurupan itu diposisikan untuk kembali duduk,
kepalanya menunduk lesu. Badannya bergerak pelan ke depan dan belakang.
Sesaat kemudian, ia menengadahkan kepalanya untuk menatap kami secara
acak sambil meringis. “Siapa yang suruh kamu masuk?! Panggil raja kalian!”
hardik pak Adi pada pemuda yang tengah kesurupan itu. “Keluar kamu!”
katanya lagi sambil menekan bahu pemuda itu dan membacakan doa
terhadapnya. Pemuda tadi langsung terkulai lemas dan kembali sadar perlahan-
lahan setelah didoakan. “Yang tadi itu siluman monyet yang suka ambil barang
di rumah ini, saya akan panggil pemimpinnya.”

Aku menelan ludah. Nampaknya anggota keluargaku yang lain juga melakukan
hal yang sama. Tiba-tiba pemuda yang sama tadi kembali kesurupan. Sewaktu
pemuda yang lain memegangi tubuhnya, ia memberontak sehingga susah untuk
dikontrol. “Biarkan saja,” suruh pak Adi. Pemuda kesurupan itu pun duduk
tanpa ada seorang pun yang memeganginya, kepalanya mendongak ke arah
langit-langit. “Siapa nama kamu?” Makhluk ghaib di dalam tubuh pemuda itu
tak menjawab. “Siapa yang kirim kamu ke sini?” tanya pak Adi lagi dengan nada
tegas. Badan pemuda itu bergerak ke depan dan ke belakang, sementara tangan
kanannya mengepal dan dipukul-pukulkannya perlahan ke bagian paha. “Kamu
dengar pertanyaan saya?! Sekarang jawab!” Pemuda itu hanya menggeram
dalam posisi tubuh yang sama. “Kamu mau main-main sama saya?!” Pak Adi
membacakan doa dan pemuda tadi menggeram lebih keras, namun kali ini
kepalanya perlahan menunduk.

Ketika doa terus dibacakan, akhirnya makhluk tersebut bersuara. Suaranya


besar dan terdengar serak, ia menyebutkan nama sang pengirim juga meminta
pak Adi untuk segera menghentikan doanya. Keluarga kami kebingungan
karena nama tersebut terdengar begitu asing di telinga. “Bawa semua anak
buahmu dan pergi dari rumah ini! Kalau tidak, saya tidak segan-segan untuk
membinasakan kamu!” ancamnya. “Tidak, saya cuma kiriman,” jawab sang
pemuda yang kerasukan sambil bertingkah setengah kebingungan. Karena
makhluk ghaib itu keras kepala, pak Adi kembali membacakan doa. “Panas!
Panasss! Hentikan atau orang ini mati!” Tanpa mempedulikan ancaman
makhluk ghaib tersebut, pak Adi terus melanjutkan bacaan doanya. Pemuda itu
terus mengerang kesakitan sambil menggelepar-gelepar hebat, rekannya yang
lain langsung memegangi tubuhnya. Tak lama kemudian, pemuda tersebut
kembali terkulai lemas. Adik laki-lakiku langsung menangis menyaksikan
peristiwa yang menakutkan baginya itu.

Namun ternyata, tak butuh waktu lama untuk menghentikan tangisannya.


Seketika itu juga, makhluk ghaib yang lain kembali merasuki tubuh pemuda itu.
Ia kembali bangkit duduk dan tertawa cekikikan dengan suara mirip
perempuan. Walau rambut pemuda itu pendek, namun gerakan tangannya
seperti sedang menyisir rambut panjang yang lurus terjuntai hingga ke
dadanya. Tangan kanannya seolah tengah memegang sebuah sisir yang terus
disapukan ke rambut panjangnya yang tak terlihat. Sementara tangan kirinya
sibuk mengelus rambut tiap kali baru disisir. Kepalanya sedikit miring ke kanan
namun terus menunduk sambil tak hentinya menyisir rambut. Makhluk ghaib
itu menggoyang-goyangkan tubuh pemuda tersebut ke kiri dan ke kanan penuh
manja, dan saat itu aku melihat kalau tingkahnya benar-benar gemulai bak
perempuan sejati. Pak Adi memberi salam dan menanyakan nama makhluk
tersebut. Ia memberitahukan namanya, “Ayu.”

“Kuntilanak ini sedang malu-malu. Ada yang dia suka dari antara kalian,” pak
Adi memberitahu kami, yang tentunya hal itu langsung membuat kami semua
bergidik. “Silakan tunjuk siapa yang sebenarnya kamu suka di rumah ini,” suruh
pak Adi. Makhluk ghaib bisa menyukai manusia? Aku baru tahu saat itu.
Dengan penuh harap bercampur cemas, aku berdoa supaya ia tidak
menunjukku. Perlahan namun pasti, tangan kanan pemuda itu terangkat dan
jari telunjuknya mengarah tepat ke arah adik laki-lakiku. Hal itulah yang
membuat adikku langsung berhenti menangis dan diam seribu bahasa. Padahal
kukira hal tersebut justru akan membuat tangisannya bertambah besar.

“Aku cantik, tidak?” tanya Kuntilanak tersebut dengan genit sambil tetap
menunduk dan kembali menyisir rambutnya yang sepertinya sangat panjang.
Tiba-tiba kepala pemuda itu terangkat dan melotot ke arahku, “Tapi aku tidak
suka dia!” Jantungku terasa langsung ingin copot saat itu. Di dalam hati aku
terus berdoa dengan perasaan yang campur aduk. “Kenapa kamu
membencinya?” tanya pak Adi. “Pokoknya tidak suka! Suatu saat akan aku
celakai dia!” ancam makhluk itu terhadapku. “Kalau kamu berani, berarti kamu
mencari masalah dengan saya,” pak Adi mengancam balik. Dengan sigap, ia
langsung melafalkan bacaan doa untuk menghukum makhluk ghaib tersebut.
Namun bukannya ketakutan, pemuda yang sedang dirasuki Kuntilanak tersebut
malah melafalkan balik bacaan doa pak Adi lalu tertawa cekikikan. Kami jadi
makin ketakutan. Aku sudah terlanjur menaruh banyak harapan pada bapak tua
yang sedang ditertawakan oleh makhluk ghaib tersebut. Dicipratkannya air
yang telah didoakan ke muka pemuda tersebut lalu pak Adi berdiri dan
memegangi kening sang pemuda. Sementara rekannya yang lain memegangi
tubuh pemuda kerasukan yang mulai memberontak ke sana – ke mari.
Dibacakannya doa yang lain dan pemuda itu kini mulai meronta-ronta.
“Ampuun, ampuuun. Aku akan pergii.., ampuuun..” makhluk ghaib tersebut
memelas.

BERSAMBUNG

CERITA VI – ENDING (PART 2)

Pak Adi tidak percaya begitu saja. Ia meminta Kuntilanak itu untuk bersumpah
dan mengancam akan membinasakannya jika makhluk tersebut ingkar.
Sesudahnya, pemuda itu terkulai lemas dan doa dilafalkan untuk membuatnya
kembali tersadar. Pemuda tersebut disuruh minum banyak air putih untuk
mengembalikan kondisi tubuhnya yang sudah cukup lemah saat itu. “Sudah
aman,” kata pak Adi kepada kami sambil membenahi diri. Sepertinya prosesi
telah selesai.

Anggota keluarga kami saling berpandangan satu sama lain, antara percaya atau
tidak dengan perkataan bapak tua itu barusan. “Hanya dua makhluk tadi?”
tanyaku dalam hati. Namun sepertinya pak Adi dapat membaca kegelisahan
hati kami kala itu. “Sebenarnya masih ada beberapa makhluk ghaib lagi di
rumah ini. Tapi sebaiknya mereka tidak diusir karena mereka juga sebenarnya
tidak mengganggu,” pak Adi memberitahu kami. “Di dekat pojokan sana, ada 1.
Wujudnya kakek-kakek, tapi „dia‟ tidak pernah mengganggu. Malah suka
menasehati makhluk ghaib lainnya agar tidak mengganggu keluarga kalian.
„Dia‟ memang sengaja ditempatkan di sana oleh penghuni rumah terdahulu
untuk menjaga rumah”, jelas pak Adi sambil menunjuk ke arah tumpukan
kardus di depan kamar mandi luar. “Dia kagum sama keberanian mbak ini dan
suka menyapanya,” tambahnya sambil mengarahkan tangannya ke arahku.
DEG!! Entah kenapa, aku langsung teringat insiden kipas sate terbang dan
hantu bayi di atas jok motor yang lokasi kejadiannya persis di dekat spot yang
ditunjuk oleh pak Adi itu. Atau mungkin ketukan di pintu selama ini juga
merupakan salah satu bentuk sapaan-„nya‟ kepadaku? Oh, sosok yang kujumpai
di lorong dapur, kemungkinan besar juga makhluk ghaib yang dimaksud.
Namun bisa saja semua perkiraanku itu salah. Ingin bertanya, tapi aku terlalu
takut saat itu.

“Ada lagi, di dekat tempat jemuran di lantai atas. Genderuwo. Tapi tidak
mengganggu kalau tidak diganggu.” Aku dan ibu langsung saling berpandangan.
Nampaknya beliau juga masih ingat kejadian aneh sewaktu aku menemaninya
menjemur pakaian pada malam hari. “Kuntilanak yang tadi saya usir, sukanya
menyisir rambut sambil menyanyi di depan teras tiap malam untuk membuat
adik kecil ini tertarik sama „dia‟. Tapi karena kayaknya mbak ini suka berdoa
tiap malam, Kuntilanak tadi merasa terganggu” Aku mulai bisa mengambil
benang merah dari perkataan Kuntilanak tadi yang tidak menyukaiku.

“Yang siluman monyet tadi?” tanya ibuku. “Rajanya sudah saya bakar,
pasukannya juga sudah kembali pada pengirimnya. Ada saudara yang benci
sama keluarga kalian, itu mereka yang kirim pakai jasa dukun,” jawab pak Adi.
“Kalau sering ada barang yang hilang, ya itu ulah para siluman monyet itu,”
tambahnya lagi. Kami berbincang-bincang perihal berbagai kejadian mistis di
rumah itu dan bagaimana seharusnya kami bertindak agar dijauhkan dari
gangguan ghaib. Pak Adi menyarankan agar lampu di setiap kamar mandi dan
dapur jangan dimatikan sepanjang malam karena biasanya di sanalah tempat
favorit para makhluk ghaib berkumpul tiap malam. Juga jangan sampai
terbujuk tipu muslihat karena „mereka‟ sangat licik.

Akhirnya setelah bercakap-cakap cukup lama, pak Adi dan kawanannya pamit
pulang. Ibu menyelipkan sejumlah uang ke genggaman tangan bapak tua itu
ketika bersalaman sebagai bentuk rasa terimakasih. Pak Adi juga berpesan agar
kami jangan pernah sungkan jika sewaktu-waktu membutuhkan bantuannya
lagi. Kami pun mengantar mereka hingga pintu pagar sambil tak henti-hentinya
berterimakasih. Sesaat sebelum mereka beranjak pergi, pak Adi berkata pelan
kepada ibu, “Oh iya, bu. Di dalam sana masih ada 1 makhluk lagi yang tidak
saya sebut dan tidak akan saya bahas. „Dia‟ tidak membahayakan, tapi saya
sarankan keluarga ibu untuk mencari tempat tinggal lain yang lebih baik dari
rumah ini.”

Mendengar pernyataannya itu, aku kembali bertanya-tanya. Tapi berulang kali


pak Adi meyakinkan kami bahwa rumah itu sudah aman. Sepulangnya mereka,
kami semua kembali masuk ke dalam rumah dan duduk bersama di ruang
tamu. Semua wajah nampak begitu lega, berharap bahwa semua cobaan
keluarga kami kini sudah benar-benar berakhir. Beberapa lama kemudian, ayah
pulang. Kami menceritakan semuanya dan ayah nampak begitu puas dengan
berita yang baru saja ia dengar tersebut. Malam itu, aku tertidur dengan sangat
pulas.

Selama beberapa hari ke depan setelah ritual tersebut, tidak ada lagi hal aneh
yang kujumpai di rumah. Semua tampak begitu normal dan wajar. Bahkan
sampai aku pun merasa aneh dengan segala kewajaran tersebut. Tak pernah lagi
kudengar senandung suara perempuan pada malam hari yang tiba-tiba berubah
menjadi tangisan di depan teras ataupun munculnya kelebatan bayangan hitam
yang mengganggu pandangan. Sepertinya perkataan pak Adi benar, rumahku
kini sudah „bersih‟. Paling tidak kepercayaanku tersebut bertahan hingga malam
itu, tatkala ketukan di pintu kini mulai kembali terdengar. Tak hanya di pintu
kamar tidurku, melainkan kini juga pintu kamar tidur orang tuaku menjadi
lebih sering diketuk dari sebelumnya. Memang tidak membahayakan, namun
cukup mengganggu, paling tidak menurutku. Mungkin makhluk ghaib inilah
yang dimaksud oleh pak Adi sesaat sebelum ia pulang ke rumahnya malam itu.
Aku juga sebenarnya tidak yakin, hanya menduga-duga. Namun secara
keseluruhan, para makhluk ghaib penunggu asli di rumah itu sudah tidak lagi
terlalu berusaha untuk menunjukkan eksistensinya.

Beberapa bulan kemudian, adikku lulus SMU dari sekolahnya. Mengingat kini
ibuku pun tengah hamil muda, akhirnya keluargaku memutuskan untuk pindah
dari rumah yang kami kontrak tersebut dan meninggalkan segala pengalaman
pahit di dalamnya. Adikku yang masih SD pun terpaksa harus pindah sekolah
karenanya. Kami pindah lumayan jauh dari kompleks sebelumnya untuk
mencoba menikmati hidup baru nan tentram seperti yang selama ini kami
idam-idamkan walau baru saat itu dapat segera diwujudkan. Ya, kami juga
berhak hidup nyaman seperti orang-orang lain. Segala kejadian mistis yang
pernah kami alami di rumah tersebut, memberikan pengalaman menarik untuk
diceritakan ke banyak orang. Walau memang ada harga yang harus dibayar
untuk itu semua.

SELESAI
EXTRA

Pindah dari rumah angker sebelumnya, kami menempati sebuah rumah baru milik
seorang dokter. Awalnya kami berniat untuk membeli rumah ini namun setelah tahu
bahwa rumah tersebut adalah bekas rumah praktek bidan yang telah digunakan selama
bertahun-tahun lalu dibiarkan kosong selama beberapa saat, kami memutuskan untuk
kontrak selama 1 tahun terlebih dahulu.

Memasuki ruang tamu, nuansa bekas tempat praktek rumah bersalin jelas terlihat.
Ruang tamu di rumahku dulunya adalah ruang tunggu pasien sedangkan kamar tidur
orang tuaku yang cukup luas itu dulunya adalah ruang praktek bersalin dengan sebuah
wastafel pada salah satu sudut ruangannya. Pemandangan yang cukup aneh untuk
sebuah kamar tidur. Jika dilihat lebih seksama, bagian rumah lainnya juga tidak seperti
bagian rumah pada umumnya. Misalnya saja, 2 buah kamar mandi yang saling
membelakangi namun dengan 1 bak air berbagi. Tapi itu semua tidaklah terlalu menjadi
masalah bagi kami. Di luar kenyataan, bahwa kami sesungguhnya menyadari jika tidak
setiap proses persalinan itu akan melahirkan manusia baru, mungkin saja sebaliknya.

Aku mendapatkan sebuah kamar di dekat dapur, berseberangan dengan kamar tidur
orang tuaku yang baru. Sementara kakak dan adik perempuanku menempati kedua
kamar di lantai 2, sama seperti ketika masih di rumah kami yang sebelumnya. Adik laki-
lakiku kembali tidur bersama kedua orang tuaku. Kamar orang tuaku adalah ruangan
terluas di dalam rumah itu.

Bulan pertama kami menempati rumah ini, tak pernah ada satu pun keganjilan yang
terjadi. Kecuali ketika aku mengajak seorang teman perempuanku untuk menginap di
rumah. Menjelang tidur, aku memadamkan lampu agar kami dapat tertidur dengan lebih
lelap. Beberapa saat ketika aku hampir tertidur, tiba-tiba temanku melompat bangun
dari tidurnya kemudian duduk terdiam dengan nafas tersengal-sengal. Aku yang ikut
kaget pun langsung terperanjat bangun. Kutanyai ada apa, katanya dia mendengar ada
sebuah teriakan sangat kencang tepat di samping telinganya. Jika memang teriakan itu
kencang, tentu aku juga mendengarnya saat itu. Aku berusaha menenangkannya dan
meyakinkan kalau itu hanyalah perasaan dia saja. Akhirnya ia pun mau kembali
mencoba tidur.

Dan ketika aku hendak kembali tertidur untuk kedua kalinya, tiba-tiba kini gantian aku
yang melompat bangun dari tidur. Sungguh, ada suara teriakan seorang laki-laki dewasa
yang begitu kencang tepat di samping telinga, seolah sedang meneriaki-ku untuk
bangun. “HOOII!!” Kira-kira begitu suaranya. Keringat dingin langsung mengucur dari
seluruh tubuhku. Aku kembali menyalakan lampu dan melihat temanku ternyata juga
masih belum tidur, ia menatapku dan berkata, “Kenapa? Dengar juga?” Aku
mengangguk. “Mungkin salam perkenalan dari „mereka‟ untuk kamu,” katanya lagi
dengan nada mengejek. Akhirnya malam itu kami tertidur dengan lampu yang dibiarkan
terus menyala hingga pagi. Itulah pengalaman mistis pertamaku di rumah ini.

Kisah berikutnya bukan aku yang mengalami. Pada suatu hari menjelang subuh, adik
laki-lakiku pergi ke kamar mandi karena ingin buang air kecil. Ketika hendak masuk ke
dalam salah satu kamar mandinya yang berada di depan, ia melihat ada sebuah kepala
seorang perempuan sedang menunduk yang muncul dari kamar mandi bagian belakang.
Dilihatnya, rambut hitam perempuan itu panjang terurai ke bawah dan menutupi
wajahnya yang terus tertunduk. Lalu kepala tersebut kembali ditarik ke dalam kamar
mandi. Adikku mengira kalau itu adalah ibu yang sedang keramas di kamar mandi
bagian belakang karena tercium juga aroma harum yang katanya mirip shampoo. Ketika
sedang buang air kecil, dipanggil-panggilnyalah sosok perempuan tadi yang dikiranya
sebagai ibu namun tidak pernah ada balasan dari kamar mandi bagian belakang. Selesai
buang air kecil, ia segera mengecek kamar mandi bagian belakang namun tidak ada
seorang pun di sana. Sesaat kemudian, ia mendengar ada suara tepuk tangan dan suara
tawa terkikih-kikih. Karena ketakutan, ia pun langsung berlari ke dalam kamar dan
ternyata ibuku sedang tertidur lelap. Sampai saat ini, adik laki-lakiku tersebut menjadi
orang yang sangat penakut di rumah karena kejadian tersebut. Bahkan ia akan langsung
lari ketakutan jika aku mengerjainya dengan menepuk tangan secara sembunyi-
sembunyi.

Di rumah ini pula, ibu melahirkan adik laki-laki keduaku. Sewaktu ia masih batita (bayi
di bawah tiga tahun) dulu, pernah pada suatu malam, suhu tubuhnya tiba-tiba memanas
tinggi dan ia menjadi sangat rewel karenanya. Diberi susu, ia menolak. Diberi mainan,
dijatuhkannya. Yang terus dilakukannya hanyalah menangis berjam-jam sambil berkata,
“Ne.. nee.. nee” Digendong di dalam kamar, ia terus saja menangis keras dan membuat
frustasi kedua orang tuaku. Akhirnya ibu dan ayah hendak membawa adikku ke klinik
24 jam pada malam itu. Begitu baru sampai teras depan rumah, adik kecilku itu berhenti
menangis. Raut wajahnya kini malah berubah ceria sambil terus menyimpulkan senyum
bahagia.

Orang tuaku mengira bahwa keadaan telah membaik dan memutuskan untuk membawa
masuk adik kembali ke dalam rumah. Namun sekembalinya di dalam rumah, ia kembali
rewel dan menangis keras tanpa henti. Bingung, orang tuaku pun kembali membawa
adikku keluar untuk mengantarkannya ke klinik. Namun lagi-lagi begitu sampai teras,
tangisannya berhenti. Ia terus menggeliat di dalam gendongan dan berusaha untuk
turun. Ibu yang kebingungan pun menurunkannya ke lantai dan ia terlihat begitu
bahagia. Walau jalannya masih belum lancar, kaki kecilnya melangkah dengan begitu
riang sambil tangannya terus dituntun oleh ibuku hingga mendekat ke sebuah pohon
jambu yang tinggi besar di dalam teras rumahku. “Ne.. nee.. neee..” ucapnya riang
sambil menengadahkan kepalanya ke atas pohon dengan penuh senyum. Kami semua
yang berada di teras saat itu pun ikut menengadahkan kepala ke atas pohon dan
alangkah terkejutnya kami malam itu.

“Bawa masuk! Cepat, bawa Rian (nama telah disamarkan) masuk ke dalam!” suruh
ayah cepat sambil sibuk mencari sesuatu. Ibu langsung menarik tubuh adikku dan
membawanya ke dalam rumah, mungkin karena kaget, ia kembali menangis ketika
digendong secara paksa saat itu. Kakakku berteriak sewaktu melihat apa yang sedang
berada di atas pohon jambu malam itu sehingga beberapa petugas ronda yang sedang
berkumpul di warung depan mulai berdatangan. Ayahku menyambitkan sendal berulang
kali ke atas pohon ketika dilihatnya sosok nenek-nenek sedang tersenyum lebar dan
bersandar pada salah satu dahan. Aku juga melihat penampakan itu, sesaat sebelum „ia‟
menghilang pada sambitan sendal yang kesekian kalinya. Pakaian yang dikenakan
adalah baju tradisional seperti seorang mbok Jamu, lengkap dengan sanggulnya. Sesaat
setelah sosok itu menghilang, seorang petugas ronda di depan rumah berteriak, “Oi,
kuntilanak, tuh!” Makhluk itu terbang dari satu pohon ke pohon lainnya. Meski sudah
dikejar, namun makhluk itu berhasil lenyap bersama gelapnya malam. Di dalam rumah,
adikku juga sudah berhenti menangis dan suhu tubuhnya kembali normal. Keesokan
paginya, pohon jambu itu dipangkas habis-habisan karena takut dijadikan tempat
„bertengger‟ makhluk ghaib itu lagi. Namun kini, pohon tersebut sudah kembali tumbuh
tinggi lebat di dalam teras rumahku.

Demikianlah beberapa kisah mistis yang pernah kualami di rumah yang saat ini masih
kutinggali. Sebenarnya masih ada beberapa kejadian mistis lagi yang ingin kuceritakan
namun sepertinya tidak akan pernah ada habisnya jika semuanya harus kutulis di sini.
Walaupun pernah terjadi beberapa kejadian mistis, nyatanya aku beserta keluarga masih
tinggal di rumah ini selama bertahun-tahun dengan cukup nyaman dan status rumah pun
kini sudah menjadi milik keluarga kami.

Intinya, di rumah manapun itu pasti ada „penunggu‟-nya, entah itu di kamar tidur kalian,
di dapur kalian, ataupun di gudang rumah kalian. Terlepas dari „mereka‟ usil atau tidak,
sebaiknya kita tidak perlu takut atau mereka justru akan semakin berani pada kita. Dan
jika mereka tidak usil, janganlah pula kita mencari masalah dengan mereka. Kita dan
mereka hidup dalam dunia yang berbeda namun berdampingan. Walau tak dapat dilihat,
mereka sebenarnya tetap ada di sekitar kita. Keselarasan itulah yang harus kita jaga.
Perkuat iman, niscaya mereka takkan pernah mengganggu kita. Amin.

SALAM PENUTUP

Terimakasih kepada seluruh agan dan sista yang selama ini telah begitu setia membaca
dan menunggu update dari tiap cerita yang aku share ini.

Terimakasih juga kepada seluruh agan dan sista yang telah memberikan apresiasi, baik
berupa komentar positif, cendol ataupun abu gosok. Juga terimakasih untuk para haters
yang ternyata tetap setia membaca kisahku hingga selesai.

Berkat dukungan kalian, akhirnya aku berhasil menyelesaikan thread ini walau harus
lebih cepat dari rencana semula. Semoga kisah yang aku share dapat bermanfaat agar
kita senantiasa mawas diri, semakin mempertebal iman kepada Tuhan Yang Maha Esa
serta selalu menghargai apa yang ada, termasuk „mereka‟. Sesungguhnya derajat kita
jauh di atas „mereka‟.

Di dunia ini, banyak hal-hal luar biasa yang sangat jauh dari nalar. Terkadang orang
yang hanya mendengar ataupun membaca kisahnya tidak akan percaya begitu saja.
Namun bagi mereka yang mengalaminya, anggaplah hal tersebut sebagai kejadian
istimewa yang tidak semua orang diberi kesempatan untuk merasakannya.

Akhir kata, semoga kita semua selalu dijauhkan dari hal malang dan senantiasa dalam
lindungan Tuhan Yang Maha Esa. Amin. God bless.

N.B
Untuk momod, thread ini boleh di-Close, kok. Sekali lagi, aku mohon maaf karena
thread pertamaku ini ternyata salah kamar. Mudah-mudahan menjadi pelajaran bagiku
untuk lebih berhati-hati ke depannya. Terimakasih.

Anda mungkin juga menyukai