Anda di halaman 1dari 3

“PENGGUNAAN OBAT SIRUP PICU GAGAL GINJAL AKUT

PADA ANAK”

Nama : Denissa Zafira Naura Haliza


Kelompok : 25

Kasus gagal ginjal akut menimpa ratusan anak di Indonesia dalam beberapa
waktu terakhir. Kementerian Kesehatan RI pun mengimbau penyetopan segala
obat berbentuk cair atau sirup dikarenakan adanya laporan pasien anak dengan
gangguan gagal ginjal akut terdeteksi terpapar tiga zat kimia berbahaya yakni
ethylene glycol (EG), diethylene glycol (DEG), dan ethylene glycol butyl ether
(EGBE). BPOM mengungkapkan ada 5 obat sirup yang dinyatakan mengandung
cemaran EG dan DEG diatas batas aman. EG dan DEG merupakan satu cemaran
yang bisa dijumpai pada bahan baku pelarut pada obat sirup. Pada obat
parasetamol dan banyak obat lainnya yang sukar larut air diperlukan bahan
tambahan untuk kelarutan, biasanya di Indonesia digunakan propilen glikol atau
gliserin. Bahan baku propilen glikol atau gliserin ini dimungkinan mengandung
cemaran zat tersebut. Ada berbagai faktor penyebab gagal ginjal akut, seperti
adanya infeksi tertentu seperti leptospirosis yang salah satunya bisa menyerang
ginjal. Selain itu, infeksi bakteri E.coli juga dapat menyebabkan gagal ginjal akut.
Kemenkes juga telah melakukan skrining terhadap virus dan bakteri dalam obat
tersebut, namun belum terbukti kuat sebagai penyebab gagal ginjal akut.
Hasil obat sirup yang diuji oleh lembaga resmi pemerintah menetapkan
empat perusahaan sebagai tersangka. Keempat perusahaan itu diduga
memproduksi atau mengedarkan obat yang tidak memenuhi standar keamanan,
perusahaan tersebut yakni PT Afi Farma Pharmaceutical Industries, CV Samudera
Chemical, PT Yarindo Farmatama, dan PT Universal Pharmaceutical Industries.
Dua dari empat perusahaan yakni PT Afi Farma dan CV Samudera Chemical
ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian, sementara PT Yarindo
Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical Industries ditetapkan sebagai
tersangka oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). PT Afi Farma lalai
karena tak melakukan quality control dan tidak melakukan pengujian terhadap
bahan baku pelarut obat yang digunakan untuk memproduksi obat sirup. Bahan
baku tambahan pelarut obat yang dimaksud yakni propilen glikol (PG). Bahan
yang digunakan PT Afi Farma ternyata mengandung cemaran etilen glikol (EG)
dan dietilen glikol (DEG) yang melebihi ambang batas aman. Adapun PT Afi
Farma diduga mendapatkan pasokan propilen glikol dari CV Samudera Chemical.
CV Samudera Chemical diduga mengoplos etilen glikol dan dietilen glikol
menggunakan air. Oplosan itu lantas diganti namanya menjadi propilen glikol
yang digunakan sebagai zat pelarut tambahan dalam obat sirup.
Ketiga perusahaan tersebut terancam pidana selama maksimal 10 tahun
penjara dan/atau denda maksimal Rp1 miliar. Ancaman pidana ini karena ketiga
perusahaan diduga melanggar pasal 196 Undang-undang (UU) nomor 36 tahun
2009 tentang kesehatan. Pasal tersebut mengancam pidana pihak yang
memproduksi, mengedarkan, serta memperdagangkan obat yang “tidak memenuhi
standar atau persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu”. BPOM tidak mengawasi
impor kedua pelarut tersebut karena bahan pelarut ini juga digunakan oleh industri
lainnya seperti pelarut cat dan bahan kimia. Industri farmasi seharusnya bisa
mengimpor bahan baku obat jika sudah mendapatkan Surat Keterangan Impor
atau SKI dari BPOM. Namun, bahan pelarut seperti PG dan PEG selama ini
diimpor tidak memerlukan SKI. PT Afi Farma dijerat dengan Pasal 196 Jo Pasal
98 ayat (2) dan ayat (3) Jo Pasal 201 ayat (1) dan/atau ayat (2) Undang-Undang
RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Pasal 62 ayat (1) Jo Pasal 8 ayat
(3) Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara dan denda paling banyak Rp2 miliar.
Sementara untuk CV SC dikenakan Pasal 196 Jo Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3)
dan/atau Pasal 60 angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja Perubahan Atas Pasal 197 Jo Pasal 106 Jo Pasal 201 ayat (1) dan/atau ayat
(2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Pasal 62 Jo
Pasal 8 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen Jo pasal 55 dan/atau pasal 56 KUHP dengan ancaman 15 tahun penjara
dan denda maksimal Rp2 miliar.
Kemenkes menghimbau masyarakat untuk tetap tenang dan tidak panik, dan
untuk saat ini masyarakat disarankan sementara waktu mengikuti saran dari
lembaga resmi pemerintah seperti Kemenkes, BPOM, asosiasi dokter dan lainnya
untuk menghindari konsumsi obat bentuk sirup hingga diperoleh hasil yang lebih
pasti. Apabila anak-anak mengalami sakit demam, batuk, maupun pilek sebaiknya
mengkonsumsi obat parasetamol dalam bentuk puyer, kapsul, tablet, suppositoria
atau bentuk lainnya. Untuk mengurangi rasa pahit bisa ditambahkan pemanis yang
aman bagi anak dan juga mengkonsultasikan efek penggunaan obat sirup dengan
dokter maupun apoteker. Penghentian penggunaan obat sirup ini sebenarnya akan
berdampak bagi anak-anak penderita penyakit kronis yang harus minum obat rutin
berbentuk sirup dimana dalam penggunaannya selama ini tidak menimbulkan efek
samping membahayakan. Misalnya, anak dengan epilepsi yang harus minum obat
rutin, maka ketika obatnya dihentikan atau diubah bentuknya bisa saja menjadikan
kejangnya tidak terkontrol. Oleh karena itu, penggunaan obat sirup ini diatur
dengan bijaksana dengan tetap mempertimbangkan risiko dan manfaatnya. Saat
ini memang risiko terjadinya gagal ginjal akut sepertinya dianggap lebih besar
dengan penggunaan sirup sehingga disarankan penghentiannya, tetapi seharusnya
tidak disamaratakan untuk semua anak.
Jika saya sebagai farmasis nanti, saya tentunya akan menjaga kualitas obat
yang saya produksi, dan tidak akan mencemari bahan obat yang saya buat, karena
akan membahayakan nyawa masyarakat yang menggunakannya. Tujuan awal dari
menjadi farmasis adalah untuk membantu masyarakat mendapatkan kesehatan
melalui obat-obatan yang tepat. Oleh karena itu, kemajuan Ilmu Farmasi semakin
dibutuhkan dan dinilai sebagai hal yang sangat penting untuk Kesehatan
masyarakat di masa depan yang lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai