Anda di halaman 1dari 9

Nama : Aloisia Felnditi

NPM : 2343700225
Asal : Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
Kelompok : 1

Kasus I. Penarikan Produk dengan Kandungan Etilen Glikol dan Dietilen Glikol
Di Indonesia dihadapkan dengan maraknya kasus dari penyakit gagal ginjal akut yang
dimana terjadi di kalangan anak-anak. Penyakit yang dimaksud diduga karena disebabkan oleh
kandungan Dietilen Glikol (Deg) serta Etilen Glikol (Eg) yang terkandung dalam obat-obatan
anak. Kasus itu berawal dari kematian anak-anak di Gambia Afrika. Hal tersebut dikarenakan
terdapat empat (4) jenis obat batuk sirup India yang diindikasi menjadi penyebab dari tewasnya
puluhan anak-anak di daerah Gambia, Afrika Barat, tetapi BPOM telah memastikan keempat
produk tersebut tidak terdaftar di Indonesia.
Pada tanggal 12 Oktober 2022, BPOM menyampaikan penjelasan mengenai sirup obat
untuk anak yang terkontaminasi DEG dan EG di Gambia, Afrika. Kasus tersebut diduga
disebabkan oleh 4 sirup obat anak yaitu : Promethazine Oral Solution, Kofexmalin Baby Cough
Syrup, Makoff Baby Cough Syrup, dan Magrip N Cold Syrup yang diproduksi oleh PT Maiden
Pharmaceuticals Limited, India. Dimana ke 4 sirup tersebut telah diuji dan mendapatkan hasil
bahwa tidak memenuhi persyaratan kualitas maupun spesifikasi karena mengandung Etilen
Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) yang melebihi ambang batas. Dengan adanya informasi
tersebut, BPOM mengambil Langkah cepat untuk melakukan pengawasan komprehensif pre –
dan post-market terhadap semua produk sirup obat yang beredar di Indonesia. Sesuai dengan
peraturan dan persyaratan registrasi produk obat, BPOM telah menetapkan bahwa semua produk
obat sirup untuk anak maupun dewasa tidak diperbolehkan menggunakan EG dan DEG, namun
dengan demikian EG dan DEG dapat ditemukan sebagai cemaran pada gliserin atau propilen
glikol yang digunakan sebagai zat pelarut tambahan. Oleh sebab itu, BPOM telag menetapkan
batas maksimal EG dan DEG sesuai standar internasional yang berlaku.
Kementrian Kesehatan telah menjelaskan bahwa penyebab terjadinya gagal ginjal akut atau
Acute Kidney Injury (AKI) belum diketahui dan masih memerlukan investigasi lebih lanjut
Bersama BPOM, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan pihak yang terkait lainnya. Oleh
sebab itu, BPOM mendorong tenaga kesehatan dan industry farmasi untuk melaporkan efek
samping obat atau kejadian tidak diinginkan setelah penggunakan karena merupakan sebagian
pencegahan kejadian yang tidak diinginkan yang lebih besar. Selain itu, BPOM juga
berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan, sarana pelayanan kesehatan dalam rangka
pengawasan keamanan obat yang beredar dan digunakan dalam pengobatan di Indonesia.
BPOM melakukan penelusuran berbasis resiko, sampling dan pengujian sampel
secara bertahap terhadap produk sirup yang berpotensi mengandung cemaran EG dan DEG.
Hasil pengujian produk yang mengandung cemaran EG dan DEG masih memerlukan pengkajian
lebih lanjut untuk memastrikan pemenuhan ambang batas aman berdasarkan referensi. Produk
yang melebihi batas aman, diberikan sanksi administrative berupa peringatan, peringatan keras,
penghentian sementara kegiatan pembuatan obat, pembekuan sertifikat Cara Pembuatan Obat
yang Baik (CPOB), pencabutan sertifikat CPOB dan Penghentian sementara kegiatan iklan serta
pembekuan Izin Edar atau pencabutan Izin Edar. Kegiatan verifikasi pemastian mutu tersebut
dilakukan dalam rangka mendukung ketersediaan sirop obat yang bermutu dan aman di
masyarakat. Upaya-upaya penindakan juga terus dilakukan terhadap sarana produksi dan
distribusi jika terdapat unsur pidana bidang kesehatan. BPOM melakukan komunikasi publik
yang efektif dengan melakukan kolaborasi dalam kerangka pentahelix (Pemerintah, pelaku
usaha, akademisi, komunitas masyarakat, dan media) serta memberikan informasi yang akurat,
benar, dan valid untuk membangun konsumen cerdas dan berdaya untuk melindungi diri dari
obat yang berisiko terhadap kesehatan.
Berdasarkan surat WHO perihal sirop obat batuk yang tercemar etilen glikol dan
dietilen glikol di Gambia, Badan POM melakukan tindak lanjut sebagai berikut:
1. Investigasi dan penelusuran obat yang digunakan pasien (dari database registrasi pada pre
market serta data pengawasan post market) sejak tanggal 6 Oktober 2022. Dari hasil
penelusuran, keempat produk sirop tersebut tidak terdaftar di Indonesia dan hingga saat ini
produk dari produsen Maiden Pharmaceutical Ltd, India tidak ada yang terdaftar di BPOM.
BPOM juga melakukan sampling dan pengujian dalam rangka intensifikasi surveilans mutu
berdasarkan hasil penelusuran maupun sebagai tindak lanjut laporan Kejadian Tidak
Diinginkan (KTD), untuk memastikan seluruh sirop obat yang beredar tidak mengandung
cemaran EG dan DEG melebihi ambang batas aman berdasarkan kriteria antara lain:
 diduga digunakan pasien gagal ginjal akut sebelum dan selama berada/masuk rumah sakit
 diproduksi oleh produsen yang menggunakan 4 (empat) bahan baku pelarut propilen
glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol dengan jumlah volume yang besar.
 diproduksi oleh produsen yang memiliki rekam jejak kepatuhan minimal dalam
pemenuhan aspek mutu.
 diperoleh dari rantai pasok yang diduga berasal dari sumber yang berisiko terkait mutu.
2. Penjelasan publik bertahap: sejak 12 Oktober hingga 29 Desember 2022 BPOM telah
menyampaikan 14 penjelasan publik/siaran pers terkait tindak lanjut BPOM dalam kasus
sirop obat mengandung cemaran EG/DEG.
3. Pendalaman hasil pengawasan melalui penelusuran jalur distribusi bahan baku pelarut yang
ditemukan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) mengandung EG/DEG diatas ambang batas aman
sehingga ditemukan oknum yang 4 melakukan pengoplosan EG/DEG pada bahan baku
pelarut yang digunakan pada pembuatan obat.
4. Analisis kausalitas bersama pakar pada laporan kasus, dalam hal ini perlu melihat kajian
epidemiologi yang lebih komprehensif untuk menyatakan penyebab GGA pada anak hanya
obat.
5. Pemberian sanksi administratif kepada industri farmasi atas ketidaksesuaian/ pelanggaran
terhadap standar dan peraturan yaitu pelarangan produksi, distribusi, product recall dan
pemusnahan, pencabutan sertifikat CPOB (untuk sediaan cairan oral nonbetalaktam) hingga
pencabutan izin edar produk obat pada pada industri farmasi PT. Yarindo Farmatama, PT.
Universal Pharmaceutical Industries, PT. Afi Farma, PT. Samco Farma, PT. Ciubros Farma
dan PT. Rama Emerald.
Kasus II. Penarikan Produk PT. Kalbe Farma

Sabtu, 14 Februari 2015, BPOM menerima informasi dari Sekertaris Jenderal


Kementerian Kesehatan tentang kejadian yang tidak diinginkan dan mengakibatkan
meninggalnya pasien karena penggunaan obat injeksi Buvanest Spinal 0,5% Heavy
(Bupuvacaine HCL) produksi Industri Farmasi PT Kalbe Farma,Tbk. Di Siloam Hospital Lippo
Village Karawaci untuk kebutuhan operasi yang diberikan melalui punggung sebelum operasi,
setelah operasi, pasien mengalami kejang secara mendadak dan merasakan gatal-gatal.
Obat yang digunakan diduga bukan berisi bupivacaine atau untuk pembiusan,
melainkan asam traneksamat yang bekerja untuk mengurangi pendarahan. Beberapa pihak
menduga etiketnya atau bungkusannya tertukar. Saat dua orang pasien tersubut menjalani
tindakan operasi pada 12 Februari 2015, seperti SOP yang ada, dua pasien itu harus mendapat
injeksi lebih dulu. Dalam proses injeksi yang dilakukan dokter anastesi, rupanya isi dan label
anastesi Buvanest Spinal terjadi ketidakcocokan. Diduga kandungan obat tersebut megnandung
obat lain yang tidak sesuai labelnya tetapi mengandung Asam Tranexamat.
Bila diamati, ampul Buvanest dan Asam Traneksamat sama. Keduanya merupakan botol
bening dan isinya bisa terlihat jelas. Tetapi pada label kedua obat, baru tertera lengkap infomasi
minimal termasuk komposisi, nomor registrasi, tanggal produksi, dan nama produsen. Sementara
itu tidak ditemui keterangan apapun dari catch cover Buvanest dan Asam Traneksamat. Atas
kasus ini, BPOM mengeluarkan surat pembatalan izin edar obat anestesi pada 2 Maret 2015 dan
sudah dikirimkan ke pihak Kalbe Farma. PT Kalbe Farma sendiri sudah menghentikan proses
produksi dan peredaran Buvanest Spinal sejak kasus dua pasien meninggal di RS Siloam Lippo
Village. Marius mempertanyakan mengapa obat tersebut masih bisa mendapat nomor registrasi,
padahal pada catch cover tidak tertera dengan lengkap mengenai informasi minimal obat. Ia pun
merekomendasikan BPOM agar Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) segera dicabut.
"Harusnya secara Peraturan Perundang-Undangan, tidak hanya izin peredaran Buvanest yang
ditarik, tetapi juga dicabut CPOB-nya baik untuk produksi obat ampul di PT Kalbe Farma. Lalu
setelah mereka mengajukan lagi (CPOB), dibuat lagi seperti aturan yang ditetapkan pemerintah
demi keselamatan rakyat Indonesia,"
Hasil verifikasi dan monitoring pelaksanaan penarikan injeksi Buvanest Spinal 0,5%
Heavy dan injeksi Asam Traneksamat nomor bets 629668 dan 630025. BPOM telah melakukan
penarikan sejumlah 8.219 (delapan ribu dua ratus Sembilan belas) box @ 5 ampul dan 5.450
(lima ribu empat ratus lima puluh) ampul injeksi Buvanest Spinal 0,5% Heavy dan dilakukan
penarikan sejumlah 1.564 (seribu lima ratus enam puluh empat) box @ 10 ampul dan 10.518
(sepuluh ribu lima ratus delapan belas) ampul Asam Traneksamat.
DAFTAR PUSTAKA

BPOM 2015. Penjelasan Badan POM Tentang Kejadian Tidak Diinginkan Yang Serius Terkait
Injeksi Buvanest Spinal

BPOM (2023). Seri Buku Saku Penanganan Kasus Cemaran Etilen Glikol Dan Dietilen Glikol
(Eg/Deg) Dalam Sirop Obat Jilid Ii: Tindak Lanjut Badan Pom Dan Edukasi Dampak
Risiko Etilen Glikol Dan Dietilen Glikol (Eg/Deg) Dalam Sirop Obat Yang Tidak
Memenuhi Syarat. Jakarta.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Penarikan dari BPOM (Etilen Glikol dan Detilen Glikol)
Lampiran 2. Penarikan Produk Dengan Kandugan Etilen Glikol dan Detilen Glikol
Lampiran 3. Penarikan Produk PT. Kalbe Farma

Anda mungkin juga menyukai