Anda di halaman 1dari 4

Nama : Via Pujiah

NPM : 10060316099

Kelas : Farmasi C

Tugas Farmakologi I

BPOM telah menarik suplemen makanan Viostin DS dan Enzyplex dari peredaran
dan meminta produksinya dihentikan.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mengambil tindakan tegas
soal beredarnya surat hasil pengujian sampel uji rujuk suplemen makanan Viostin
DS dan Enzyplex. Diputuskan, kedua jenis suplemen makanan untuk ditarik dari
peredaran dan dihentikan produksinya.
BPOM membenarkan, produk yang diuji adalah Viostin DS produksi PT
Pharos Indonesia dengan nomor izin edar SD051523771. Sementara untuk
Enzyplex diproduksi oleh Medifarma Laboratories dengan nomor
DBL7214704016A1. Izin kedua produk sejak 2016 itu akhirnya dicabut.
"Badan POM RI telah menginstruksikan PT Pharos Indonesia dan PT
Medifarma Laboratories untuk menghentikan produksi dan/atau distribusi produk
dengan nomor bets tersebut," terang Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito,
Rabu (31/1/2018).
BPOM menyatakan, berdasarkan hasil pengawasan terhadap produk yang
beredar di pasaran dan pengujian terhadap sampel obat, ditemukan bahwa kedua
produk terbukti positif mengandung DNA babi.
Menurut aturan Undang-undang RI Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal seharusnya pelaku usaha wajib mencantumkan keterangan tidak halal
pada produk yang mengandung unsur haram menurut syariat.
Aturan ini juga yang ditegaskan oleh BPOM dalam penarikan produk
Viostin DS dan Enzyplex.
"Sebagai langkah antisipasi dan perlindungan konsumen, Badan POM RI
menginstruksikan Balai Besar/Balai POM di seluruh Indonesia untuk terus
memantau dan melakukan penarikan produk yang tidak memenuhi ketentuan,
termasuk yang terdeteksi positif mengandung DNA babi, namun tidak
mencantumkan peringatan “MENGANDUNG BABI," jelas Penny.
BPOM lantas berharap masyarakat tidak resah dengan beredarnya
penarikan produk Viostin DS dan Enzyplex. BPOM mengklaim sudah melakukan
pengawasan keamanan, khasiat, manfaat, dan mutu produk dengan pengujian di
laboratorium sebelum membuat keputusan ini.
PT Pharos Indonesia sampai sekarang belum memberikan jawaban resmi.
Nomor telefon pemasaran produk PT Pharos Indonesia di Jakarta. Bagian
pelayanan konsumen, Lucky mengaku tidak tahu kebenaran soal kandungan babi
yang ada di Viostin DS. Sepengetahuannya obat itu masih dipasarkan hingga
sekarang. Ia tak mendapat pemberitahuan apapun.
BPOM membekukan izin edar Albothyl dan tiga merek obat lain yang juga
mengandung policresulen dalam bentuk sediaan cairan obat luar konsentrat.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI merilis penjelasan resmi


mengenai perintah penarikan obat Albothyl dari peredarannya. Penjelasan itu dirilis
usai beredar surat berlogo BPOM kepada PT. Pharos Indonesia, produsen Albothyl,
di media sosial. Surat itu berisi rekomendasi kajian aspek keamanan pasca-
pemasaran policresulen dalam bentuk sediaan cairan obat luar konsentrat 36 persen.
Sementara di penjelasan resmi BPOM mengenai keamanan obat
pengandung policresulen dalam bentuk sediaan cairan obat luar konsentrat,
lembaga itu mengonfirmasi risiko penggunaan Albothyl.
Berikut ini sejumlah poin pernyataan resmi BPOM mengenai pembekuan
izin edar albothyl dan obat sejenis nya.
Pertama, BPOM menjelaskan Albothyl merupakan obat bebas terbatas
berupa cairan obat luar yang mengandung policresulen konsentrat dan digunakan
untuk hemostatik dan antiseptik. Pemakaian obat ini biasanya pada saat
pembedahan serta digunakan pada kulit, telinga, hidung, tenggorokan (THT),
sariawan, gigi dan vaginal (ginekologi).
Kedua, BPOM juga menjelaskan hasil pengawasan lembaga ini terhadap
peredaran Albothyl. BPOM mencatat, dalam 2 tahun terakhir, ada 38 laporan dari
profesional kesehatan yang menerima pasien dengan keluhan efek samping obat
Albothyl saat dipakai untuk pengobatan sariawan. Salah satu efek samping serius
ialah sariawan yang membesar dan berlubang hingga menyebabkan infeksi.
Ketiga, BPOM bersama ahli farmakologi dari universitas dan klinisi
asosiasi profesi terkait telah melakukan pengkajian aspek keamanan obat yang
mengandung policresulen dalam bentuk sediaan cairan obat luar konsentrat.
Penjelasan BPOM menyatakan hasil kajian itu memutuskan obat yang
mengandung policresulen, semacam Albothyl, tidak boleh digunakan sebagai
hemostatik dan antiseptik pada saat pembedahan serta penggunaan pada kulit
(dermatologi), telinga, hidung dan tenggorokan (THT), sariawan (stomatitis aftosa)
dan gigi (odontologi).
Keempat, BPOM telah membekukan izin edar Albothyl dalam bentuk
cairan obat luar konsentrat hingga perbaikan indikasi yang diajukan disetujui.
Untuk produk sejenisnya juga diberlakukan hal yang sama.
BPOM mencatat ada empat merek obat yang mengandung policresulen
dalam bentuk sediaan cairan obat luar konsentrat.
Merek obat pertama ialah Albothyl dengan Nomor Izin Edar
DTL8821600341A2 yang didaftarkan dan diproduksi oleh PT. Pharos Indonesia.
Lalu, Medisio dengan Nomor Izin Edar DTL1221102041A1 yang didaftarkan PT.
Faratu Indonesia dan diproduksi oleh PT. Pharos Indonesia.
Kemudian, Prescotide dengan Nomor Izin Edar DTL1233526741A1 yang
didaftarkan dan diproduksi oleh PT. Novel Pharmaceutical Laboratories. Terakhir,
Aptil dengan Nomor Izin Edar DTL0731527941A1 yang didaftarkan dan
diproduksi oleh PT. Pratapa Nirmala.
BPOM juga menyatakan memerintahkan PT. Pharos Indonesia (produsen
Albothyl) dan pemegang izin edar obat sejenis Albothyl lainnya segera menarik
produk-produknya dari peredaran di pasaran. BPOM menyatakan penarikan itu
selambat-lambatnya satu bulan sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Pembekuan
Izin Edar.
Kelima, BPOM mengimbau profesional kesehatan dan masyarakat
menghentikan penggunaan obat-obat yang dibekukan izin edarnya tersebut. Untuk
alternatif penyembuh sariawan, BPOM menyarankan penggunaan obat lain yang
mengandung benzydamine HCl, povidone iodine 1 persen, atau kombinasi
dequalinium chloride dan vitamin C. Jika sakit berlanjut, masyarakat diminta
berkonsultasi dengan dokter dan apoteker.

Anda mungkin juga menyukai