Anda di halaman 1dari 7

TUGAS RANCANGAN PRODUK INDUSTRI

“KASUS KESALAHAN DALAM PELAKSANAAN CPOB : KEJADIAN


TIDAK DIINGINKAN YANG SERIUS TERKAIT INJEKSI BUVANEST
SPINAL ”

“Diajukan untuk Memenuhi Tugas pada Mata Kuliah Rancangan Produk Industri
Kelas C”

Dosen Pengampu :
Apt. Dwi Nurrahmanto S.Farm., M.Sc.

Disusun oleh :
Kelas C - Kelompok 1

Retno Dwi Mayangsari 172210101051


Novia Paramitha 172210101105
Inas Yumna Mahirah 172210101114
Nimas Putri Ariyanti Boewana 172210101119

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Obat merupakan salah satu unsur penting dalam pelayanan kesehatan.


Berdasarkan Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 34 Tahun 2018,
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi, yang digunakan
untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam
rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan
kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia. Sedangkan Bahan Obat adalah bahan
baik yang berkhasiat maupun tidak berkhasiat yang digunakan dalam pengolahan
obat dengan standar dan mutu sebagai bahan baku farmasi. Obat memiliki peran
dalam menyelamatkan jiwa, memulihkan, dan memelihara kesehatan sehingga
dalam pembuatannya harus dilakukan dengan benar dan tidak sembarangan. Salah
satu upaya pemerintah untuk menjamin tersedianya obat yang bermutu, aman, dan
berkhasiat yaitu dengan mengharuskan setiap industri farmasi menerapkan
pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).
Cara Pembuatan Obat yang Baik atau yang disingkat dengan CPOB
merupakan pedoman tentang cara pembuatan obat dan/atau bahan obat bagi industri
farmasi atau sarana lainnya. CPOB sangat penting bagi industri farmasi karena
bertujuan untuk memastikan dan menjamin obat dibuat secara konsisten, memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. CPOB
dimaksudkan sebagai dasar pengembangan aturan internal sesuai kebutuhan di
industri farmasi. Pada pedoman CPOB ini, istilah “pembuatan” mencakup seluruh
kegiatan penerimaan bahan, produksi, pengemasan ulang, pelabelan, pelabelan
ulang, pengawasan mutu, pelulusan, penyimpanan dan distribusi dari obat serta
pengawasan terkait (Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, 2018).
Pada pembuatan obat, pengendalian secara menyeluruh sangat penting
untuk menjamin bahwa konsumen menerima obat yang bermutu tinggi. CPOB
berperan untuk memastikan agar mutu obat yang dihasilkan mencapai standar mutu
yang sesuai dengan tujuan penggunaan dan persyaratan izin edar, persetujuan uji
klinik atau spesifikasi produk. Selain harus lulus dari serangkaian pengujian, suatu
produk obat harus memiliki mutu. Mutu obat tergantung pada bahan awal, bahan
pengemas, proses produksi dan pengendalian mutu, bangunan, peralatan yang
dipakai dan personel yang terlibat. CPOB mencakup seluruh aspek produksi dan
pengendalian mutu.
Penerapan pedoman CPOB oleh industri farmasi dibuktikan dengan adanya
Sertifikat CPOB. Apabila suatu industri farmasi tidak mengikuti acuan pada CPOB
maka akan dikenai sanksi administratif berupa peringatan; peringatan keras;
penghentian sementara kegiatan; pembekuan Sertifikat CPOB; pencabutan
Sertifikat CPOB; dan/atau rekomendasi pencabutan izin industri farmasi (Badan
Pengawas Obat dan Makanan RI, 2018).
BAB II

PEMBAHASAN

Isi Berita
Di Indonesia, terdapat kasus terkait pemenuhan Cara Pembuatan Obat yang
Baik (CPOB) dan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) pada Februari tahun
2015. Kasus ini terjadi pada obat dengan kemasan Buvanest Spinal berisi
Bupivacaine HCl sebagai obat anestesi tetapi berisi obat antipendarahan yaitu Asam
Traneksamat. Kasus dua obat yang tertukar tersebut juga disebut dengan mixing-
up. Kasus yang diinvestigasi oleh BPOM dilakukan di pabrik Industri Farmasi PT
Kalbe Farma, Tbk ini merupakan sisa dari hasil injeksi kepada 2 pasien RS Siloam
Lippo Village, Tangerang yang mengakibatkan pasien tersebut meninggal dunia.
Hasil investigasi yang dilakukan oleh BPOM adalah kesalahan penempatan label
antara obat Buvanest Spinal dan Asam Traneksamat. Tindakan yang diambil oleh
BPOM terkait kasus mixing-up yang terjadi antara Buvanest Spinal dan Asam
Traneksamat ini adalah dengan membekukan nomor izin edar produk obat Kalbe
Farma tersebut pada produksi di line 6. Produksi line 6 yang dilakukan Kalbe Farma
telah memproduksi kurang lebih 26 ribu botol Buvanest Spinal. Seluruh batch
produksi produk Buvanest Spinal juga disegel untuk memudahkan investigasi
BPOM sehingga di tempat pendistribusian tidak ada yang beredar. Kalbe Farma
juga telah melakukan penarikan secara sukarela (penarikan mandiri) produk
Buvanest Spinal 0,5% Heavy 4 mililiter dan Asam Traneksamat Generik
500mg/Amp 5 ml dengan nomor batch 629688 dan 630025 pada tanggal 12
Februari 2015 (Badan POM RI, 2015).

Akibat dari pelanggaran

Kepala BPOM Roy Sparringa di Jakarta, memaparkan, investigasi yang


BPOM lakukan di pabrik Kalbe Farma memang menunjukan adanya mixing-up.
Dari sampel yang mereka teliti, kemasan Buvanest Spinal memang berisi Asam
Tranexamat. Sampel yang diteliti BPOM merupakan sisa hasil injeksi kepada
pasien RS Siloam Lippo Village yang kemudian meregang nyawa. Kemasan
Buvanest Spinal tersebut bervolume 4 mililiter. Buvanest Spinal menyebabkan dua
pasien Rumah Sakit Siloam Lippo Village meninggal dunia diproduksi Kalbe di
line enam pada tanggal 3 November 2014. Menurut informasi yang diterima CNN
Indonesia, pada tanggal tersebut Kalbe Farma memproduksi setidaknya 26 ribu
botol Buvanest Spinal.

Roy menjelaskan, tindakan tersebut diambil untuk memudahkan investigasi


yang dilakukan BPOM. Sarana distribusi Buvanest Spinal dari seluruh batch pun
sudah disegel. Deputi Satu BPOM, Tengku Bahdar Johan mengatakan, hasil
penelitian tersebut sebenarnya serupa dengan pengujian yang dilakukan Kalbe
Farma sebelumnya. Labelnya Buvanest Spinal, tetapi isinya menurut pengujian
Kalbe sendiri adalah Asam Tranexamat.

Kalbe Farma, pada 12 Februari 2015 lalu telah melakukan penarikan secara
sukarela terhadap Buvanest Spinal 0,5 persen Heavy 4 mililiter dan Asam
Tranexamat Generik 500 mg/Amp 5 ml bernomor batch 629668 dan 630025. Tak
lama pada tanggal 4 maret 2015, Biro Hukum dan Humas Badan POM RI
mengeluarkan edaran siaran pers mengenai penjelasan badan pom tentang kejadian
tidak diinginkan yang serius terkait injeksi buvanest spinal. Point-point penting
yang disampaikan yaitu :

1. Bahwa industri farmasi PT Kalbe Farma, Tbk., melalui surat nomor


010/QO/KF/II/2015 tanggal 25 Februari 2015 perihal Tanggapan terhadap
Surat Penghentian Sementara Kegiatan Fasilitas Produksi Larutan Injeksi
Volume Kecil Nonbetalaktam, telah menyampaikan hasil investigasi
terhadap dugaan terjadinya mix-up produk Buvanest Spinal 0,5% Heavy
Injeksi dan Asam Traneksamat Injeksi yang kemungkinan terjadi pada
kegiatan pembuatan obat dan hasil kajian manajemen risiko;
2. Bahwa Badan POM telah melakukan evaluasi atas hasil investigasi terhadap
dugaan terjadinya mix-up produk Buvanest Spinal 0,5% Heavy Injeksi dan
Asam Traneksamat Injeksi yang kemungkinan terjadi pada kegiatan
pembuatan obat dan hasil kajian manajemen risiko PT Kalbe Farma, Tbk.,
sebagaimana dimaksud pada angka 1, dengan kesimpulan bahwa hasil
investigasi dan kajian manajemen risiko tersebut belum menggambarkan
akar masalah terjadinya dugaan mix-up produk Injeksi Buvanest Spinal
0,5% Heavy, sehingga PT Kalbe Farma tidak dapat memberikan Corrective
Action and Preventive Action (CAPA) yang tepat;
3. Bahwa berdasarkan hal sebagaimana dimaksud dalam angka 2, pada tanggal
2 Maret 2015 Badan POM telah menerbitkan Surat Keputusan Kepala
Badan POM tentang pembatalan izin edar Injeksi Buvanest Spinal 0,5%
Heavy produksi Industri Farmasi PT Kalbe Farma, Tbk.;
4. Bahwa selanjutnya Badan POM akan melakukan inspeksi sistemik ke
Industri Farmasi PT Kalbe Farma, Tbk. untuk menilai penerapan sistem
mutu secara menyeluruh.
5. Bahwa terkait dengan hasil verifikasi dan monitoring pelaksanaan
penarikan injeksi Buvanest Spinal 0,5% Heavy dan injeksi Asam
Traneksamat nomor bets 629668 dan 630025, sebagaimana dimaksud
(Kepala Balai Besar/Balai POM di seluruh Indonesia untuk melakukan
verifikasi dan monitoring pelaksanaan penarikan injeksi Buvanest Spinal
0,5% Heavy produksi Industri Farmasi PT Kalbe Farma, Tbk dan injeksi
Asam Traneksamat produk Industri Farmasi PT Hexpharm Jaya
Laboratories, kemasan Dus 10 ampul @ 5 ml, Nomor bets 629668 dan
630025.), sampai dengan 26 Februari 2015, hasilnya sebagai berikut:
a. Telah dilakukan penarikan sejumlah 8.219 (delapan ribu dua ratus
Sembilan belas) box @ 5 ampul dan 5.450 (lima ribu empat ratus
lima puluh) ampul injeksi Buvanest Spinal 0,5% Heavy;
b. Telah dilakukan penarikan sejumlah 1.564 (seribu lima ratus enam
puluh empat) box @ 10 ampul dan 10.518 (sepuluh ribu lima ratus
delapan belas) ampul Asam Traneksamat.
DAFTAR PUSTAKA

Badan POM RI. Badan POM RI Siaran PERS DAN POM TENTANG KEJADIAN
TIDAK DIINGINKAN YANG SERIUS TERKAIT INJEKSI BUVANEST
SPINAL (2015).
Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2018. Peraturan Badan Pengawas Obat dan
Makanan Nomor 34 Tahun 2018 Tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat
yang Baik. Jakarta: BPOM RI
https://www.pom.go.id/new/view/more/pers/253/Siaran-Pers-Penjelasan-Badan-
POM-Tentang-Kejadian-Tidak-Diinginkan-Yang-Serius-Terkait-Injeksi-
Buvanest-Spinal.html . Diakses pada tanggal 02 Desember 2020 pukul 21:51
WIB.
Kennardy, G. (2016). Komunikasi krisis PT kalbe farma dalam menangani kasus
kesalahan pelabelan obat buvanest spinal (Doctoral dissertation, Universitas
Multimedia Nusantara).

Anda mungkin juga menyukai