BAB II
ACUAN TEORETIS
A. MENYIMAK
1. Pengeretian Menyimak
Dalam kegiatan komunikasi sehari-hari seseorang sudah pasti akan
menggunakan perangkat indera pendengaran untuk mendengar. Lain halnya
dengan mendengarkan adalah kegiatan yang disengaja untuk mendapatkan
informasi atau pesan yang disampaikan oleh orang lain.
Menurut Russel dan Russel dalam Tarigan, “menyimak bermakna
mendengarkan dengan penuh pemahaman dan perhatian serta apresiasi.”1 Dibuku
yang sama Tarigan menjelaskan “ Menyimak adalah suatu proses kegiatan
mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian,
pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi,
menangkap isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah
disampaikan oleh sang pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan.” 2
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menyimak adalah suatu proses
kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian,
pemahaman apresiasi serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap
isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan oleh
sang pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan.
“Tujuan orang menyimak sesuatu itu beraneka ragam antara lain:
1. Untuk memperoleh pengetahuan dari bahan ujaran sang pembicara;
dengan perkataan lain, dia menyimak untuk belajar;
2. Untuk penikmatan terhadap sesuatu dari materi yang diujarkan atau yang
diperdengarkan atau dipergelarkan (terutama sekali dalam bidang seni);
pendeknya dia menyimak untuk menikmati keindahan audial;
3. Untuk menilai apa-apa yang dia simak itu (baik-buruk, indah-jelek, logis-
tak logis, dan lain-lain); singkatnya dia menyimak untuk mengevaluasi;
4. Untuk menikmati serta menghargai apa-apa yang disimaknya itu
(misalnya: pembacaan cerita, pembacaan puisi, musik dan lagu, dialog,
1
Henry Guntur Tarigan, Menyimak, (Bandung: Angkasa, 1987), hlm. 29
2
Ibid. hlm. 28
7
8
Dari uraian di atas dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa pada dasarnya
“menyimak” itu dapat kita pandang dari berbagai segi, misalnya sebagai
keterampilan berkomunikasi dan sebagai pengalaman kreatif.
2. Ragam Menyimak
“Ragam menyimak yang penulis sarikan dari pendapat Tarigan (1993:35),
bahwa menyimak secara umum dapat dikelompokkan ke dalam menyimak
ekstensif dan menyimak intensif. Menyimak ekstensif meliputi; (1) sekunder, (2)
estetik. Sedangkan menyimak intensif meliputi menyimak; (1) kritis, (2)
konsentratif, (3) kreatif, (4) eksploratif, (5) interogatif, dan (6) selektif.”4
a. Menyimak Ekstensif
“Menyimak ekstensif (extensive listening) adalah sejenis kegiatan
menyimak yang mengenai hal-hal yang lebih umum dan lebih bebas terhadap
suatu ujaran, tidak perlu di bawah bimbingan langsung dari seorang guru.”5
menyimak jenis ini merupakan jenis menyimak yang berhubungan dengan
hal-hal yang bersifat umum.
3
Tarigan, menyimak……………………. hlm. 57
4
Ibid. hlm. 35
5
Bustanul Arifin, Menyimak, (Jakarta: Gramedia, 2004), hlm. 1. 28
9
1. Menyimak Sekunder
“menyimak sekunder (secondary listening) adalah sejenis
kegiatan menyimak secara kebetulan (casual listening) dan secara
ekstensif (extensive listening). Menyimak ini lebih bersifat umum
tanpa ada bimbingan. Apa yang didengar oleh penyimak bukan
menjadi tujuan utama. Salah satu contoh, bila menikmati musik
sementara ikut berpartisipasi dalam kegiatan menulis atau
6
melukis.” Kegiatan menyimak seperti ini, yaitu kegiatan menyimak
suara sesuatu, sementara perhatian penyimak sebenarnya pada hal yang
lain secara lebih khusus. Misalnya, penyimak menonton pertunjukkan
tari, dalam kegiatan tersebut tarian biasanya diiringi oleh musik. Musik
yang mengalun tersebut sebenarnya oleh penyimak hanya disimak secara
kebetulan, sedangkan perhatian yang sebenarnya adalah pada gerak tari-
tarinya.
2. Menyimak Estetik
“Menyimak estetik (aesthetic listening) ataupun yang disebut
menyimak apresiatif (Appreciational listening) adalah menyimak secara
serius dan besungguh-sungguh memperhatikan satu cara atau pertunjukan
drama, cerita, dongeng. Baik secara langsung maupun malalui siaran
televise atau radio.”7 Kegiatan menyimak estetik pada dasarnya adalah
kegiataa menyimak hal-hal yang mungkin dapat menimbulkan keindahan
bagi diri penyimak.
b. Menyimak Intensif
“Menyimak intensif merupakan kegiatan menyimak kebalikan dari
kegiatan menyimak ekstensif.”8 Pada kegiatan menyimak intensif sangat
memerlukan bimbingan guru. Kegiatan menyimak instensif selalu diawasi
dikontrol agar terarah pada topik tertentu. Dalam menyimak intensif,
6
Tarigan, Menyimak…………………. hlm. 38
7
Aripin, Menyimak…………………… hlm. 1.29
8
Ibid. hlm. 1.29
10
penyimak memerlukan arahan dan bimbingan guru yang ketat karena bahan-
bahan yang harus disimak perlu dipahami secara terperinci, teliti dan
mendalam.
Kegiatan menyimak intensif ini, penyimak pada dasarnya ditekankan
untuk dapat rnemahami materi simakkan bukan saja yang tersurat, namun
termasuk pula terhadap hal-hal yang tersirat. Oleh karena itu, unsur
pemahaman dalam menyimak intensif ini sangat menjadi perhatian.
Menyimak intensif ini pun banyak ragamnya, di antaranya; (1) menyimak
kritis, (2) menyimak konsentratif, (3) menyimak kreatif, (4) menyimak
eksploratif, (5) menyimak interogatif.
Pengertian istilah-istilah dalam ragam menyimak intensif tersebut di
atas, sebagai berikut.
2) Menyimak Konsentratif
“Menyimak konsentratif (consentralive listening) sering juga disebut
study-tipe listening atau menyimak yang merupakan sejenis telaah.
Kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam menyimak konsentratif itu
adalah :
9
Tarigan, Menyimak,………………………………… hlm. 42
11
10
. Tarigan, Menyimak…………………………… hlm. 45
11
Ibid. hlm. 46
12
B. Cerita Pendek
a. Pengertian Cerita Pendek
“Cerita pendek adalah karakter yang dijabarkan lewat rentetan kejadian
daripada kejadian-kejadian itu sendiri satu persatu, Apa yang terjadi di
dalamnya lazim merupakan suatu pengalaman atau penjelajahan. Dan reaksi
mental itulah yang pada hakekatnya disebut cerpen.”14 Sedangkan menurut
Burhan Nurgiyantoro “cerpen adalah sebuah cerita selesai dibaca dengan
sekali duduk.”15
Sebuah cerpen pada dasarnya menuntut adanya perwatakan jelas pada
tokoh cerita. Sang tokoh merupakan ide sentral dari cerita; cerita bermula dari
sang tokoh dan berakhir pula pada “nasib” yang menimpa sang tokoh itu. Unsur
12
. Tarigan, Menyimak……………………………. hlm. 47
13
Ibid. hlm. 48
14
Atar Semi, Atonomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), hlm. 34
15
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengajian Fiksi, (Yogyakarta: UGM, 2005), hlm. 10
13
perwatakan lebih dominan daripada unsur cerita sendiri. Membaca sebuah cerpen
berarti kita berusaha memahami manusia bukan sekedar ingin mengetahui
bagaimana jalan ceritanya. Beda dengan sebuah novel di mana kedudukan
perwatakan dan jalan cerita berada dalam satu keseimbangan, ibarat dua sisi dari
satu mata uang.
“Soal panjang pendek ukuran fisiknya tidak menjadi ukuran yang mutlak;
tidak ditentukan bahwa cerpen harus sekian halaman atau sekian kata,
walaupun ia punya kecenderungan untuk berukuran pendek dan pekat.
Karena singkatannya jelas tidak memberi kesempatan bagi cerpen itu
menjelaskan dan mencantumkan segalanya; kepadanya dituntut
menyampaikan sesuatu yang tidak kecil kendatipun menggunakan
sejumlah kecil bahasa. Dengan begitu cerpen menyuguhkan kebenaran
yang diciptakan, dipadatkan, digayakan, dan diperkokoh oleh kemampuan
imajinasi pengarangnya.”16
Di Indonesia sendiri cerpen lazim ditemui dikisaran 1.500 – 2.100 kata (6-8
halaman kwarto, spasi ganda), jumlah kata ini menjadi persyaratan standar sebuah
naskah cerpen yang dimuat surat kabar hari minggu. Jumlah itu dianggap cukup
memenuhi definisi klasik dari cerpen; Cerita pendek harus dapat dibaca dalam
waktu sekali duduk (Edgar Allan Poe, 1846). Boleh jadi definisi ini erat kaitannya
dengan kebiasaan membaca Koran di WC.
b. Unsur-unsur Cerpen
1. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik menurut Nurgiantoro adalah unsur-unsur yang
membangun karya sastra itu sendiri yang menyebabkan karya sastra itu
hadir. Unsur intrinsik terdiri dari tema, alur/plot, penokohan, latar, gaya,
suasana, sudut pandang dan amanat.17
Untuk lebih jelasnya, unsur intrinsik akan dipaparkan lebih lanjut
di bawah ini.
a. Tema
Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M. dalam buku Apresiasi
Kesusastraan menyatakan bahwa tema adalah ide sebuah cerita. Pengarang
16
Nurgiyantoro, Teori Pengajian Fiksi………………………… hlm. 34
17
Burhan. Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, (Yogyakarta: BPFE, 1995),
hlm. 23
14
dalam menulis ceritanya bukan sekedar mau bercerita, tetapi mau mengatakan
sesuatu kepada pembaca. Sesuatu yang mau dikatakan itu bisa suatu masalah
kehidupan, pandangan hidupnya tentang kehidupan ini, atau komentar
terhadap kehidupan ini. Kejadian dan tokoh cerita, semuanya didasari oleh ide
pengarang tersebut. Sebuah cerita novel harus mengatakan sesuatu, yaitu
pendapat pengarang tentang hidup ini, sehingga orang lain dapat mengerti
hidup ini lebih baik.
Tema adalah gagasan pertama atau pikiran pokok. Tema suatu karya
sastra imajinatif merupakan pikiran yang akan ditemui oleh setiap pembaca
yang cermat sebagai akibat dari membaca karya sastra tersebut. Tema biasanya
merupakan komentar mengenai kehidupan.18
Tema pada sebuah cerita baru dapat diketahui setelah pembaca
mengetahui isi keseluruhan cerita. Pembaca harus mampu menafsirkan terlebih
dahulu unsur-unsur intrinsik lainnya, karena tidaklah mudah menemukan tema
suatu cerita.
Tema biasanya tidak dicantumkan secara eksplisit oleh pengarang.
Sumardjo dan Saini K.M, menyatakan bahwa di dalam cerpen yang berhasil,
tema justru tersamar dalam sebuah elemen. Pengarang memakai dialog para
tokohnya, jalan pikirannya, perasaannya, kejadian, latar cerita untuk
mempertegas atau menyamarkan isi temanya. Pengarang biasanya menyatakan
tema secara sembunyi-sembunyi dalam suatu potongan dialog tokohnya, atau
dalam suatu adegan cerita.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide cerita
yang merupakan dasar pengembangan sebuah cerita dan menjiwai seluruh
bagian cerita itu.
b. Alur/Plot
Pada setiap peristiwa yang terjadi selalu memiliki permulaan,
pertengahan, dan kemudian sampailah pada sebuah akhir peristiwa, begitu pula
dengan cerita fiksi dan novel. Dalam sebuah cerita, peristiwa yang terjadi itu
18
Henry Guntur Tarigan, Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, (Bandung:
Angkasa, 1994), hlm. 160
15
disebut sebagai alur atau plot. Alur atau plot biasanya diidentikkan dengan
jalan cerita, padahal alur tidak sama dengan jalan cerita. Nurgiantoro
menyamakan plot dengan jalan cerita atau bahkan mendefinisikan plot sebagai
jalan cerita sebenarnya adalah kurang tepat. Plot memang mengandung unsur
jalan cerita, namun ia lebih dari jalan cerita itu sendiri.19
Banyak ahli bahasa yang mengemukakan pengertian alur. Panuti
Sudjiman dalam Kamus Istilah Sastra menyatakan bahwa alur adalah
rangkaian peristiwa yang direka dan dijalani dengan seksama, yang
menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan penyelesaian.
Pautannya dapat diwujudkan dengan hubungan kausal atau sebab akibat.
Nurgiantoro menyatakan bahwa alur/plot merupakan cerminan atau
bahkan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh dalaam bertindak , berpikir
dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan. Namun, tidak
dengan sendirinya semua kejadian yang dialami manusia dapat disebut plot
jika bersifat khas, mengandung unsur konflik, saling berkaitan dan yang
terpenting adalah menarik untuk diceritakan dan bersifat dramatik. 20
Inti alur adalah konflik, namun sebuah konflik dalam cerita tidak
dipaparkan begitu saja, plot itu harus ada dasarnya. Maka dari itu, plot/alur
sering dikupas menjadi elemen-elemen berikut.
a) Pengenalan.
b) Timbulnya konflik.
c) Konflik memuncak.
d) Klimaks.
e) Pemecahan masalah.
Lebih lanjut, Sumardjo dan Saini menjelaskan bahwa dalam sebuah
cerita, konflik digambarkan sebagai pertarungan antara protagonis dan
antagonis. Protagonis adalah pelaku utama cerita, sedangkan antagonis adalah
tokoh lawan protagonis. Tokoh-tokoh tersebut bertemu dan terjadilah
perbenturan yang membangun cerita.
19
Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, …………………. hlm. 111
20
Ibid. hlm. 114
16
c. Penokohan
Setiap novel tentu memiliki tokoh yang sengaja diciptakan untuk
mengusung sebuah cerita. Penciptaan tokoh dengan sengaja diciptakan untuk
mengusung sebuah cerita. Penciptaan tokoh dengan segala perwatakan dan
berbagai jati dirinya disebut sebagai penokohan.
Tokoh cerita menurut Abrams (dalam Nurgiantoro, 1995) adalah orang
yang ditampilkan dalam suatu karya sastra naratif, atau drama yang oleh
pembacanya ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu
seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam
tindakan.22
Istilah penokohan oleh Sudjiman diartikan sebagai penciptaan cerita di
dalam karya sastra. Tokoh tersebut diciptakan oleh pengarang secara
21
Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, ……………………. hlm. 153—159
22
Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, ……………….…. .. hlm. 165
17
23
Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1985), hlm.
141
18
d. Latar
Nurgiantoro, dengan mengutip pendapat Abrams, mendefinisikan ‘latar
sebagai landasan tumpu menyarankan pada pengertian tempat, hubungan
waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan’.24
Sumardjo dan Saini K.M. mengemukakan bahwa latar dalam sebuah novel
bukan hanya menunjukan tempat dan waktu terjadinya suatu peristiwa,
melainkan juga hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada macam
debunya, pemikiran rakyatnya, kegiatan mereka, gaya hidup mereka dan
sebagainya.
Lebih lanjut Sumardjo dan Saini menjelaskan bahwa dalam sebuah cerita
yang baik, latar harus benar-benar mutlak menggarap tema dan karakter cerita,
sehingga dari latar wilayah tertentu akan menghasilkan perwatakan tokoh
tertentu pula. Andaikata sebuah novel latarnya dapat diganti dengan tempat
mana saja tanpa mengubah atau mempengaruhi watak tokoh-tokoh dan tema
novelnya, maka latar yang demikian kurang integral.
Kedudukan latar dalam novel sangat penting karena dapat memberikan
kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-
olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.25 Pembaca merasa dipermudah
mengoperasikan daya imajinasinya, di samping memungkinkan berperan
secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar. Pembaca pun
dapat merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan dan aktualisasi latar yang
diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah menemukan
dalam cerita itu sesuatu yang menjadi bagian dirinya. Hal ini akan terjadi jika
latar mampu mengangkat suasana setempat, warna lokal, lengkap dengan
perwatakannya ke dalam novel.
24
Nurgiantoro, Burhan. Penilaian dalam Penilaian Bahasa…………………… hlm. 216
25
Ibid. hlm. 217
19
26
Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, ………………………… hlm. 246
20
f. Amanat
Dalam membuat cerita, setiap pengarang pasti ingin menyampaikan
amanat kepada pembacanya. Seperti halnya tema, amanat biasanya
disampaikan pengarang secara implisit (tersirat). Maka dari itulah pembaca
harus mampu menemukan amanat dari karya sastra yang dibacanya.
Panuti Sudjiman mengatakan bahwa amanat yang terdapat dalam sebuah
karya sastra bisa secara implisit maupun eksplisit. Dikatakan implisit jika jalan
keluar atau jalan moral itu disiratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang
cerita berakhir. Eksplisit jika pengarang menyampaikan seruan, saran,
peringatan, nasihat, anjuran, dan larangan yang berkenaan dengan gagasan
yang mendasari cerita itu yang disampaikan pada bagian tengah atau akhir
cerita. Amanat biasanya berupa ajaran moral yang berhubungan dengan sifat-
sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia.
G. Gaya/Style
Setiap pengarang pasti memiliki ciri khas tersendiri dalam
mengungkapkan ceritanya dan tergambar pada hasil karyanya. Artinya, cara
bagaimana seorang pengarang memilih tema, persoalan dan menceritakannya
dalam sebuah karya sastra, tentunya setiap pengarang memiliki gaya bercerita
yang berbeda dengan pengarang lainnya. Gaya tersebut biasanya dipengaruhi
oleh latar belakang pengarang itu sendiri, misalnya latar belakang pendidikan,
latar belakang profesi, atau latar belakang lingkungan tempat ia tinggal. Gaya
dalam sebuah karya sastra juga biasanya ada hubungannya dengan penggunaan
bahasa. Hal ini ditegaskan oleh pendapat Aminuddin (dalam Hendrayati, 1990)
bahwa gaya mengandung pengertian cara seseorang pengarang menyampaikan
gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis,
serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya
intelektual dan emosi pembaca. Penggunaan media bahasa meliputi
penggunaan kalimat, penggunaan kata, penggunaan bentuk bahasa figuratif ,
dialog dan sebagainya.
Panuti Sudjiman memaparkan beberapa pengertian gaya yang
diungkapkan dalam Kamus Istilah Sastra sebagai berikut:
21
h. Suasana
Dalam suatu peristiwa tertentu, pasti ada suasana yang mewarnainya.
Misalnya, sedih, gembira, mengharukan, memancing emosi kemarahan, dan
ekspresi jiwa lainnya. Dengan gambaran suasana yang naratif dan emotif
inilah keasikan dari pembaca akan timbul. Demikian halnya dengan unsur-
unsur intrinsik lainnya, unsur suasana akan menjadi lebih baik apabila
didukung oleh unsur-unsur intrinsik lainnya seperti tokoh, latar, tema, dan
sebagainya.
Sudjiman dalam Kamus Istilah Sastra, mengemukakan bahwa “Suasana
adalah suasana hati yang ditimbulkan oleh latar dan cakapan.” Sedangkan,
Harianto G.P. mengemukakan bahwa “Suasana adalah hawa (udara atau
kesadaran sesuatu) di suatu lingkungan, keadaan suatu peristiwa, atau keadaan
perasaan yang ada dalam suatu peristiwa.”
Sebenarnya untuk menjelaskan suasana memang agak sulit, walaupun bisa
dilihat dan dirasakan. Namun yang jelas, suasana merupakan warna dasar
cerita itu atau merupakan pesona sebuah cerita.
22
C. Media
“Media berasal dari bahasa latin medium yang secara harfiah berarti
perantara atau pengantar. Media adalah peratara atau pengantar pesan dari
pengirim ke penerima pesan.”27 Adapun pendapat lain Pada tahun 1982 “Heinich
dan kawan-kawan mengemukakan istilah medium sebagai perantara. Jadi televisi,
film, foto, radio, rekaman audio, gambar yang diproyeksikan, bahan-bahan
28
cetakan adalah media komunikasi.” Apabila media itu membawa pesan-pesan
atau informasi yang bertujuan intruksional atau mengandung maksud-maksud
pengajaran maka media itu disebut media pembelajaran. ”Association for
Education and Communication technologi (AECT) di Amerika membatasi media
sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan
pesan atau informasi. Sedangkan National Education Association (NEA)
mengatakan bahwa adalah bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak maupun
audiovisual serta peralatannya.”29
27
Arief Sudirman, dkk, Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan dan
Pemanfaatannya. (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2003), Cet. ke-7, hlm. 6
28
Azhar Arsyad, Media Pendidikan, (Jakarta: Gramedia, 2009),Cet. ke-12, hlm. 6
29
Loc. Cit. hlm. 6
30
M. Zaim, The Effect of Using Instruksional Media Toward the Learning Achievement
of English”, dalam jurnal guru, no. 2 vol. 2 Desember, 2006, hlm. 78
23
31
Sudirman Siahaan, Media Pembelajaran Pemahaman dan Pemanfaatannya dalam
Kegiatan Pembelajaran; dalam jurnal TEKNODIK, no. 20 Tahun ke-11, April 2007, hlm. 96–97.
32
Azhar Arsyad, Media Pendidikan, (Jakarta: Gramedia,2004), hlm. 15.
24
3. Jenis Media
33
Nana Sudjana dan Ahmad Rivai, Media Pengajaran, (Bandung: Sinar Baru Algensindo),
hlm 2.
34
Loc. Cit. hlm. 6
25
yang digunakan sebagai perantara atau penghubung 2 hal.”35 Jadi media adalah
bahan, alat atau peristiwa yang dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan
siswa untuk menerima pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dirancang dengan
baik dalam batas-batas tertentu terdapat merangsang timbulnya dialog internal
dalam diri siswa dengan media atau antar siswa dengan guru sebagai sumber
belajar
“Alat perakam pita magnetic (magnetic tape recording) atau lazimnya
orang menyebut tape recorder adalah salah satu media pendidikan yang tak dapat
diabaikan untuk menyampaikan informasi, karena mudah menggunakan. Ada dua
macam rekaman dalam alat perekam pita magnetik yaitu sistem full track
recording dan double track recorder.”36 Jadi tape recorder suatu perlengkapan
elektronik yang diciptakan berkat kemajuan dalam bidang teknologi modern.
Melalui alat ini orang dapat mendengar siaran tentang berbagai peristiwa,
kejadian-kejadian yang penting dan baru, masalah dalam kehidupan dan acara-
acara rekreasi yang menyenangkan, semuanya dipancarkan dari stasiun tape
recorder tertentu.
1. “Kelebihan media tape recorder
a. Tidak begitu mahal untuk kegiatan pembelajaran.
b. Tape recorder cukup hemat, sebab suatu rekaman dapat dihapus dan
diganti dengan materi yang baru.
c. Dapat digunakan untuk belajar kelompok maupun individual.
d. Siswa yang tuna netra maupun yang tuna aksara dapat belajar melalui
madia tape recorder.
e. Anak yang masih kecil atau untuk anak didik yang belum dapat
membaca, media tape recorder dapat membentuk pengalaman belajar
bahasa permulaan.
2. Kelemahan media audio
a. Melalui tape recorder dapat mendengarkan urutan penyajian yang tetap,
bahkan apabila diputar kembali, akan terdengar hal-hal yang sama. Hal
ini kadang-kadang membosankan.
b. Tanpa ada penyajian yang bertatap muka langsung dengan siswa,
beberapa di antara siswa kurang memperhatikan penyajian itu.
c. Pengembang program tape recorder yang baik, akan banyak menyita
waktu.
35
Ma’mur Saadie, Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia, (Jakarta: UT, 2008), hlm. 5.3
36
Sudjana, Media Pengajaran.......................................... hlm. 7
26
37
Saadie, Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia…………………….. hlm. 5. 34–5.35
7
BAB II
ACUAN TEORETIS
A. MENYIMAK
1. Pengeretian Menyimak
Dalam kegiatan komunikasi sehari-hari seseorang sudah pasti akan
menggunakan perangkat indera pendengaran untuk mendengar. Lain halnya
dengan mendengarkan adalah kegiatan yang disengaja untuk mendapatkan
informasi atau pesan yang disampaikan oleh orang lain.
Menurut Russel dan Russel dalam Tarigan, “menyimak bermakna
mendengarkan dengan penuh pemahaman dan perhatian serta apresiasi.”1 Dibuku
yang sama Tarigan menjelaskan “ Menyimak adalah suatu proses kegiatan
mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian,
pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi,
menangkap isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah
disampaikan oleh sang pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan.” 2
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menyimak adalah suatu proses
kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian,
pemahaman apresiasi serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap
isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan oleh
sang pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan.
“Tujuan orang menyimak sesuatu itu beraneka ragam antara lain:
1. Untuk memperoleh pengetahuan dari bahan ujaran sang pembicara;
dengan perkataan lain, dia menyimak untuk belajar;
2. Untuk penikmatan terhadap sesuatu dari materi yang diujarkan atau yang
diperdengarkan atau dipergelarkan (terutama sekali dalam bidang seni);
pendeknya dia menyimak untuk menikmati keindahan audial;
3. Untuk menilai apa-apa yang dia simak itu (baik-buruk, indah-jelek, logis-
tak logis, dan lain-lain); singkatnya dia menyimak untuk mengevaluasi;
4. Untuk menikmati serta menghargai apa-apa yang disimaknya itu
(misalnya: pembacaan cerita, pembacaan puisi, musik dan lagu, dialog,
1
Henry Guntur Tarigan, Menyimak, (Bandung: Angkasa, 1987), hlm. 29
2
Ibid. hlm. 28
7
8
Dari uraian di atas dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa pada dasarnya
“menyimak” itu dapat kita pandang dari berbagai segi, misalnya sebagai
keterampilan berkomunikasi dan sebagai pengalaman kreatif.
2. Ragam Menyimak
“Ragam menyimak yang penulis sarikan dari pendapat Tarigan (1993:35),
bahwa menyimak secara umum dapat dikelompokkan ke dalam menyimak
ekstensif dan menyimak intensif. Menyimak ekstensif meliputi; (1) sekunder, (2)
estetik. Sedangkan menyimak intensif meliputi menyimak; (1) kritis, (2)
konsentratif, (3) kreatif, (4) eksploratif, (5) interogatif, dan (6) selektif.”4
a. Menyimak Ekstensif
“Menyimak ekstensif (extensive listening) adalah sejenis kegiatan
menyimak yang mengenai hal-hal yang lebih umum dan lebih bebas terhadap
suatu ujaran, tidak perlu di bawah bimbingan langsung dari seorang guru.”5
menyimak jenis ini merupakan jenis menyimak yang berhubungan dengan
hal-hal yang bersifat umum.
3
Tarigan, menyimak……………………. hlm. 57
4
Ibid. hlm. 35
5
Bustanul Arifin, Menyimak, (Jakarta: Gramedia, 2004), hlm. 1. 28
9
1. Menyimak Sekunder
“menyimak sekunder (secondary listening) adalah sejenis
kegiatan menyimak secara kebetulan (casual listening) dan secara
ekstensif (extensive listening). Menyimak ini lebih bersifat umum
tanpa ada bimbingan. Apa yang didengar oleh penyimak bukan
menjadi tujuan utama. Salah satu contoh, bila menikmati musik
sementara ikut berpartisipasi dalam kegiatan menulis atau
6
melukis.” Kegiatan menyimak seperti ini, yaitu kegiatan menyimak
suara sesuatu, sementara perhatian penyimak sebenarnya pada hal yang
lain secara lebih khusus. Misalnya, penyimak menonton pertunjukkan
tari, dalam kegiatan tersebut tarian biasanya diiringi oleh musik. Musik
yang mengalun tersebut sebenarnya oleh penyimak hanya disimak secara
kebetulan, sedangkan perhatian yang sebenarnya adalah pada gerak tari-
tarinya.
2. Menyimak Estetik
“Menyimak estetik (aesthetic listening) ataupun yang disebut
menyimak apresiatif (Appreciational listening) adalah menyimak secara
serius dan besungguh-sungguh memperhatikan satu cara atau pertunjukan
drama, cerita, dongeng. Baik secara langsung maupun malalui siaran
televise atau radio.”7 Kegiatan menyimak estetik pada dasarnya adalah
kegiataa menyimak hal-hal yang mungkin dapat menimbulkan keindahan
bagi diri penyimak.
b. Menyimak Intensif
“Menyimak intensif merupakan kegiatan menyimak kebalikan dari
kegiatan menyimak ekstensif.”8 Pada kegiatan menyimak intensif sangat
memerlukan bimbingan guru. Kegiatan menyimak instensif selalu diawasi
dikontrol agar terarah pada topik tertentu. Dalam menyimak intensif,
6
Tarigan, Menyimak…………………. hlm. 38
7
Aripin, Menyimak…………………… hlm. 1.29
8
Ibid. hlm. 1.29
10
penyimak memerlukan arahan dan bimbingan guru yang ketat karena bahan-
bahan yang harus disimak perlu dipahami secara terperinci, teliti dan
mendalam.
Kegiatan menyimak intensif ini, penyimak pada dasarnya ditekankan
untuk dapat rnemahami materi simakkan bukan saja yang tersurat, namun
termasuk pula terhadap hal-hal yang tersirat. Oleh karena itu, unsur
pemahaman dalam menyimak intensif ini sangat menjadi perhatian.
Menyimak intensif ini pun banyak ragamnya, di antaranya; (1) menyimak
kritis, (2) menyimak konsentratif, (3) menyimak kreatif, (4) menyimak
eksploratif, (5) menyimak interogatif.
Pengertian istilah-istilah dalam ragam menyimak intensif tersebut di
atas, sebagai berikut.
2) Menyimak Konsentratif
“Menyimak konsentratif (consentralive listening) sering juga disebut
study-tipe listening atau menyimak yang merupakan sejenis telaah.
Kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam menyimak konsentratif itu
adalah :
9
Tarigan, Menyimak,………………………………… hlm. 42
11
10
. Tarigan, Menyimak…………………………… hlm. 45
11
Ibid. hlm. 46
12
B. Cerita Pendek
a. Pengertian Cerita Pendek
“Cerita pendek adalah karakter yang dijabarkan lewat rentetan kejadian
daripada kejadian-kejadian itu sendiri satu persatu, Apa yang terjadi di
dalamnya lazim merupakan suatu pengalaman atau penjelajahan. Dan reaksi
mental itulah yang pada hakekatnya disebut cerpen.”14 Sedangkan menurut
Burhan Nurgiyantoro “cerpen adalah sebuah cerita selesai dibaca dengan
sekali duduk.”15
Sebuah cerpen pada dasarnya menuntut adanya perwatakan jelas pada
tokoh cerita. Sang tokoh merupakan ide sentral dari cerita; cerita bermula dari
sang tokoh dan berakhir pula pada “nasib” yang menimpa sang tokoh itu. Unsur
12
. Tarigan, Menyimak……………………………. hlm. 47
13
Ibid. hlm. 48
14
Atar Semi, Atonomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), hlm. 34
15
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengajian Fiksi, (Yogyakarta: UGM, 2005), hlm. 10
13
perwatakan lebih dominan daripada unsur cerita sendiri. Membaca sebuah cerpen
berarti kita berusaha memahami manusia bukan sekedar ingin mengetahui
bagaimana jalan ceritanya. Beda dengan sebuah novel di mana kedudukan
perwatakan dan jalan cerita berada dalam satu keseimbangan, ibarat dua sisi dari
satu mata uang.
“Soal panjang pendek ukuran fisiknya tidak menjadi ukuran yang mutlak;
tidak ditentukan bahwa cerpen harus sekian halaman atau sekian kata,
walaupun ia punya kecenderungan untuk berukuran pendek dan pekat.
Karena singkatannya jelas tidak memberi kesempatan bagi cerpen itu
menjelaskan dan mencantumkan segalanya; kepadanya dituntut
menyampaikan sesuatu yang tidak kecil kendatipun menggunakan
sejumlah kecil bahasa. Dengan begitu cerpen menyuguhkan kebenaran
yang diciptakan, dipadatkan, digayakan, dan diperkokoh oleh kemampuan
imajinasi pengarangnya.”16
Di Indonesia sendiri cerpen lazim ditemui dikisaran 1.500 – 2.100 kata (6-8
halaman kwarto, spasi ganda), jumlah kata ini menjadi persyaratan standar sebuah
naskah cerpen yang dimuat surat kabar hari minggu. Jumlah itu dianggap cukup
memenuhi definisi klasik dari cerpen; Cerita pendek harus dapat dibaca dalam
waktu sekali duduk (Edgar Allan Poe, 1846). Boleh jadi definisi ini erat kaitannya
dengan kebiasaan membaca Koran di WC.
b. Unsur-unsur Cerpen
1. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik menurut Nurgiantoro adalah unsur-unsur yang
membangun karya sastra itu sendiri yang menyebabkan karya sastra itu
hadir. Unsur intrinsik terdiri dari tema, alur/plot, penokohan, latar, gaya,
suasana, sudut pandang dan amanat.17
Untuk lebih jelasnya, unsur intrinsik akan dipaparkan lebih lanjut
di bawah ini.
a. Tema
Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M. dalam buku Apresiasi
Kesusastraan menyatakan bahwa tema adalah ide sebuah cerita. Pengarang
16
Nurgiyantoro, Teori Pengajian Fiksi………………………… hlm. 34
17
Burhan. Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, (Yogyakarta: BPFE, 1995),
hlm. 23
14
dalam menulis ceritanya bukan sekedar mau bercerita, tetapi mau mengatakan
sesuatu kepada pembaca. Sesuatu yang mau dikatakan itu bisa suatu masalah
kehidupan, pandangan hidupnya tentang kehidupan ini, atau komentar
terhadap kehidupan ini. Kejadian dan tokoh cerita, semuanya didasari oleh ide
pengarang tersebut. Sebuah cerita novel harus mengatakan sesuatu, yaitu
pendapat pengarang tentang hidup ini, sehingga orang lain dapat mengerti
hidup ini lebih baik.
Tema adalah gagasan pertama atau pikiran pokok. Tema suatu karya
sastra imajinatif merupakan pikiran yang akan ditemui oleh setiap pembaca
yang cermat sebagai akibat dari membaca karya sastra tersebut. Tema biasanya
merupakan komentar mengenai kehidupan.18
Tema pada sebuah cerita baru dapat diketahui setelah pembaca
mengetahui isi keseluruhan cerita. Pembaca harus mampu menafsirkan terlebih
dahulu unsur-unsur intrinsik lainnya, karena tidaklah mudah menemukan tema
suatu cerita.
Tema biasanya tidak dicantumkan secara eksplisit oleh pengarang.
Sumardjo dan Saini K.M, menyatakan bahwa di dalam cerpen yang berhasil,
tema justru tersamar dalam sebuah elemen. Pengarang memakai dialog para
tokohnya, jalan pikirannya, perasaannya, kejadian, latar cerita untuk
mempertegas atau menyamarkan isi temanya. Pengarang biasanya menyatakan
tema secara sembunyi-sembunyi dalam suatu potongan dialog tokohnya, atau
dalam suatu adegan cerita.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide cerita
yang merupakan dasar pengembangan sebuah cerita dan menjiwai seluruh
bagian cerita itu.
b. Alur/Plot
Pada setiap peristiwa yang terjadi selalu memiliki permulaan,
pertengahan, dan kemudian sampailah pada sebuah akhir peristiwa, begitu pula
dengan cerita fiksi dan novel. Dalam sebuah cerita, peristiwa yang terjadi itu
18
Henry Guntur Tarigan, Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, (Bandung:
Angkasa, 1994), hlm. 160
15
disebut sebagai alur atau plot. Alur atau plot biasanya diidentikkan dengan
jalan cerita, padahal alur tidak sama dengan jalan cerita. Nurgiantoro
menyamakan plot dengan jalan cerita atau bahkan mendefinisikan plot sebagai
jalan cerita sebenarnya adalah kurang tepat. Plot memang mengandung unsur
jalan cerita, namun ia lebih dari jalan cerita itu sendiri.19
Banyak ahli bahasa yang mengemukakan pengertian alur. Panuti
Sudjiman dalam Kamus Istilah Sastra menyatakan bahwa alur adalah
rangkaian peristiwa yang direka dan dijalani dengan seksama, yang
menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan penyelesaian.
Pautannya dapat diwujudkan dengan hubungan kausal atau sebab akibat.
Nurgiantoro menyatakan bahwa alur/plot merupakan cerminan atau
bahkan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh dalaam bertindak , berpikir
dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan. Namun, tidak
dengan sendirinya semua kejadian yang dialami manusia dapat disebut plot
jika bersifat khas, mengandung unsur konflik, saling berkaitan dan yang
terpenting adalah menarik untuk diceritakan dan bersifat dramatik. 20
Inti alur adalah konflik, namun sebuah konflik dalam cerita tidak
dipaparkan begitu saja, plot itu harus ada dasarnya. Maka dari itu, plot/alur
sering dikupas menjadi elemen-elemen berikut.
a) Pengenalan.
b) Timbulnya konflik.
c) Konflik memuncak.
d) Klimaks.
e) Pemecahan masalah.
Lebih lanjut, Sumardjo dan Saini menjelaskan bahwa dalam sebuah
cerita, konflik digambarkan sebagai pertarungan antara protagonis dan
antagonis. Protagonis adalah pelaku utama cerita, sedangkan antagonis adalah
tokoh lawan protagonis. Tokoh-tokoh tersebut bertemu dan terjadilah
perbenturan yang membangun cerita.
19
Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, …………………. hlm. 111
20
Ibid. hlm. 114
16
c. Penokohan
Setiap novel tentu memiliki tokoh yang sengaja diciptakan untuk
mengusung sebuah cerita. Penciptaan tokoh dengan sengaja diciptakan untuk
mengusung sebuah cerita. Penciptaan tokoh dengan segala perwatakan dan
berbagai jati dirinya disebut sebagai penokohan.
Tokoh cerita menurut Abrams (dalam Nurgiantoro, 1995) adalah orang
yang ditampilkan dalam suatu karya sastra naratif, atau drama yang oleh
pembacanya ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu
seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam
tindakan.22
Istilah penokohan oleh Sudjiman diartikan sebagai penciptaan cerita di
dalam karya sastra. Tokoh tersebut diciptakan oleh pengarang secara
21
Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, ……………………. hlm. 153—159
22
Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, ……………….…. .. hlm. 165
17
23
Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1985), hlm.
141
18
d. Latar
Nurgiantoro, dengan mengutip pendapat Abrams, mendefinisikan ‘latar
sebagai landasan tumpu menyarankan pada pengertian tempat, hubungan
waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan’.24
Sumardjo dan Saini K.M. mengemukakan bahwa latar dalam sebuah novel
bukan hanya menunjukan tempat dan waktu terjadinya suatu peristiwa,
melainkan juga hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada macam
debunya, pemikiran rakyatnya, kegiatan mereka, gaya hidup mereka dan
sebagainya.
Lebih lanjut Sumardjo dan Saini menjelaskan bahwa dalam sebuah cerita
yang baik, latar harus benar-benar mutlak menggarap tema dan karakter cerita,
sehingga dari latar wilayah tertentu akan menghasilkan perwatakan tokoh
tertentu pula. Andaikata sebuah novel latarnya dapat diganti dengan tempat
mana saja tanpa mengubah atau mempengaruhi watak tokoh-tokoh dan tema
novelnya, maka latar yang demikian kurang integral.
Kedudukan latar dalam novel sangat penting karena dapat memberikan
kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-
olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.25 Pembaca merasa dipermudah
mengoperasikan daya imajinasinya, di samping memungkinkan berperan
secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar. Pembaca pun
dapat merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan dan aktualisasi latar yang
diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah menemukan
dalam cerita itu sesuatu yang menjadi bagian dirinya. Hal ini akan terjadi jika
latar mampu mengangkat suasana setempat, warna lokal, lengkap dengan
perwatakannya ke dalam novel.
24
Nurgiantoro, Burhan. Penilaian dalam Penilaian Bahasa…………………… hlm. 216
25
Ibid. hlm. 217
19
26
Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, ………………………… hlm. 246
20
f. Amanat
Dalam membuat cerita, setiap pengarang pasti ingin menyampaikan
amanat kepada pembacanya. Seperti halnya tema, amanat biasanya
disampaikan pengarang secara implisit (tersirat). Maka dari itulah pembaca
harus mampu menemukan amanat dari karya sastra yang dibacanya.
Panuti Sudjiman mengatakan bahwa amanat yang terdapat dalam sebuah
karya sastra bisa secara implisit maupun eksplisit. Dikatakan implisit jika jalan
keluar atau jalan moral itu disiratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang
cerita berakhir. Eksplisit jika pengarang menyampaikan seruan, saran,
peringatan, nasihat, anjuran, dan larangan yang berkenaan dengan gagasan
yang mendasari cerita itu yang disampaikan pada bagian tengah atau akhir
cerita. Amanat biasanya berupa ajaran moral yang berhubungan dengan sifat-
sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia.
G. Gaya/Style
Setiap pengarang pasti memiliki ciri khas tersendiri dalam
mengungkapkan ceritanya dan tergambar pada hasil karyanya. Artinya, cara
bagaimana seorang pengarang memilih tema, persoalan dan menceritakannya
dalam sebuah karya sastra, tentunya setiap pengarang memiliki gaya bercerita
yang berbeda dengan pengarang lainnya. Gaya tersebut biasanya dipengaruhi
oleh latar belakang pengarang itu sendiri, misalnya latar belakang pendidikan,
latar belakang profesi, atau latar belakang lingkungan tempat ia tinggal. Gaya
dalam sebuah karya sastra juga biasanya ada hubungannya dengan penggunaan
bahasa. Hal ini ditegaskan oleh pendapat Aminuddin (dalam Hendrayati, 1990)
bahwa gaya mengandung pengertian cara seseorang pengarang menyampaikan
gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis,
serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya
intelektual dan emosi pembaca. Penggunaan media bahasa meliputi
penggunaan kalimat, penggunaan kata, penggunaan bentuk bahasa figuratif ,
dialog dan sebagainya.
Panuti Sudjiman memaparkan beberapa pengertian gaya yang
diungkapkan dalam Kamus Istilah Sastra sebagai berikut:
21
h. Suasana
Dalam suatu peristiwa tertentu, pasti ada suasana yang mewarnainya.
Misalnya, sedih, gembira, mengharukan, memancing emosi kemarahan, dan
ekspresi jiwa lainnya. Dengan gambaran suasana yang naratif dan emotif
inilah keasikan dari pembaca akan timbul. Demikian halnya dengan unsur-
unsur intrinsik lainnya, unsur suasana akan menjadi lebih baik apabila
didukung oleh unsur-unsur intrinsik lainnya seperti tokoh, latar, tema, dan
sebagainya.
Sudjiman dalam Kamus Istilah Sastra, mengemukakan bahwa “Suasana
adalah suasana hati yang ditimbulkan oleh latar dan cakapan.” Sedangkan,
Harianto G.P. mengemukakan bahwa “Suasana adalah hawa (udara atau
kesadaran sesuatu) di suatu lingkungan, keadaan suatu peristiwa, atau keadaan
perasaan yang ada dalam suatu peristiwa.”
Sebenarnya untuk menjelaskan suasana memang agak sulit, walaupun bisa
dilihat dan dirasakan. Namun yang jelas, suasana merupakan warna dasar
cerita itu atau merupakan pesona sebuah cerita.
22
C. Media
“Media berasal dari bahasa latin medium yang secara harfiah berarti
perantara atau pengantar. Media adalah peratara atau pengantar pesan dari
pengirim ke penerima pesan.”27 Adapun pendapat lain Pada tahun 1982 “Heinich
dan kawan-kawan mengemukakan istilah medium sebagai perantara. Jadi televisi,
film, foto, radio, rekaman audio, gambar yang diproyeksikan, bahan-bahan
28
cetakan adalah media komunikasi.” Apabila media itu membawa pesan-pesan
atau informasi yang bertujuan intruksional atau mengandung maksud-maksud
pengajaran maka media itu disebut media pembelajaran. ”Association for
Education and Communication technologi (AECT) di Amerika membatasi media
sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan
pesan atau informasi. Sedangkan National Education Association (NEA)
mengatakan bahwa adalah bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak maupun
audiovisual serta peralatannya.”29
27
Arief Sudirman, dkk, Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan dan
Pemanfaatannya. (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2003), Cet. ke-7, hlm. 6
28
Azhar Arsyad, Media Pendidikan, (Jakarta: Gramedia, 2009),Cet. ke-12, hlm. 6
29
Loc. Cit. hlm. 6
30
M. Zaim, The Effect of Using Instruksional Media Toward the Learning Achievement
of English”, dalam jurnal guru, no. 2 vol. 2 Desember, 2006, hlm. 78
23
31
Sudirman Siahaan, Media Pembelajaran Pemahaman dan Pemanfaatannya dalam
Kegiatan Pembelajaran; dalam jurnal TEKNODIK, no. 20 Tahun ke-11, April 2007, hlm. 96–97.
32
Azhar Arsyad, Media Pendidikan, (Jakarta: Gramedia,2004), hlm. 15.
24
3. Jenis Media
33
Nana Sudjana dan Ahmad Rivai, Media Pengajaran, (Bandung: Sinar Baru Algensindo),
hlm 2.
34
Loc. Cit. hlm. 6
25
yang digunakan sebagai perantara atau penghubung 2 hal.”35 Jadi media adalah
bahan, alat atau peristiwa yang dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan
siswa untuk menerima pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dirancang dengan
baik dalam batas-batas tertentu terdapat merangsang timbulnya dialog internal
dalam diri siswa dengan media atau antar siswa dengan guru sebagai sumber
belajar
“Alat perakam pita magnetic (magnetic tape recording) atau lazimnya
orang menyebut tape recorder adalah salah satu media pendidikan yang tak dapat
diabaikan untuk menyampaikan informasi, karena mudah menggunakan. Ada dua
macam rekaman dalam alat perekam pita magnetik yaitu sistem full track
recording dan double track recorder.”36 Jadi tape recorder suatu perlengkapan
elektronik yang diciptakan berkat kemajuan dalam bidang teknologi modern.
Melalui alat ini orang dapat mendengar siaran tentang berbagai peristiwa,
kejadian-kejadian yang penting dan baru, masalah dalam kehidupan dan acara-
acara rekreasi yang menyenangkan, semuanya dipancarkan dari stasiun tape
recorder tertentu.
1. “Kelebihan media tape recorder
a. Tidak begitu mahal untuk kegiatan pembelajaran.
b. Tape recorder cukup hemat, sebab suatu rekaman dapat dihapus dan
diganti dengan materi yang baru.
c. Dapat digunakan untuk belajar kelompok maupun individual.
d. Siswa yang tuna netra maupun yang tuna aksara dapat belajar melalui
madia tape recorder.
e. Anak yang masih kecil atau untuk anak didik yang belum dapat
membaca, media tape recorder dapat membentuk pengalaman belajar
bahasa permulaan.
2. Kelemahan media audio
a. Melalui tape recorder dapat mendengarkan urutan penyajian yang tetap,
bahkan apabila diputar kembali, akan terdengar hal-hal yang sama. Hal
ini kadang-kadang membosankan.
b. Tanpa ada penyajian yang bertatap muka langsung dengan siswa,
beberapa di antara siswa kurang memperhatikan penyajian itu.
c. Pengembang program tape recorder yang baik, akan banyak menyita
waktu.
35
Ma’mur Saadie, Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia, (Jakarta: UT, 2008), hlm. 5.3
36
Sudjana, Media Pengajaran.......................................... hlm. 7
26
37
Saadie, Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia…………………….. hlm. 5. 34–5.35
29
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
1
http://fkip.uki.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=77:paradigma-
penelitian&catid=41:artikel&Itemid=55, Moleong, Metodologi Penelitian Pendidikan
Kualitatif.(Selasa, 28, 11, 2010)
29
30
C. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi eksperimen
(eksperimen semu). “Quasi eksperimen adalah suatu eksperimen semu dimana
penelitian menggunakan rancangan penelitian yang tidak dapat mengontrol secara
penuh terhadap ciri-ciri dan karakteristik sampel yang diteliti, tetapi cenderung
menggunakan rancangan yang memungkinkan pada pengontrolan yang sesuai
dengan kondisi yang ada (situasional).”3
D. Desain Penelitian
“Pada penelitian ini desain atau rancangan penelitian yang digunakan adalah
Control Group Pretest – Postest dimana di dalam desain ini observasi dilakukan 2
kali yaitu sebelum eksperimen dan sesudah eksperimen. Observasi yang dilakukan
sebelum eksperimen disebut pretest, dan observasi sesudah eksperimen disebut
postest yang dibandingkan dengan kelompok yang lain yang disebut kelompok
kontrol yang tidak mendapat perlakuan. Dalam hal ini dilihat perbedaan
pencapaian antara kelompok eksperimen dengan pencapaian kelompok kontrol.”4
Adapun desain penelitian ini dapat dinyatakan sebagai berikut:
2
http://penelitianstudikasus.blogspot.com/2009/03/pengertian-penelitian-kualitatif.html. Moleong,
Metodologi Penelitian Pendidikan Kualitatif.(Selasa, 28, 11, 2010)
3
Nana Sudjana dan Ibrohim, Penelitian dan Penilaian Pendidikan, ( Bandung : Sinar baru
Algensindo), 2007, hlm. 43-44
4
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta : Rineka Cipta)
2002, hlm. 79-80
31
Keterangan :
E : Kelas Eksperimen
K : Kelas Kontrol
XE : Perlakuan yang diberikan pada kelompok eksperimen yaitu dengan
menggunakan media tape recorder
XK : Perlakuan yang diberikan pada kelompok kontrol yaitu dengan tidak
menggunakan media tape recorder
T1 : Tes awal (pretest) yang diberikan sebelum proses belajar mengajar di
mulai, diberikan kepada kedua kelompok (eksperimen dan kontrol)
T2 : Tes akhir (postest) yang diberikan sesudah proses belajar mengajar di
mulai, diberikan kepada kedua kelompok (eksperimen dan kontrol)
F. Prosedur Penelitian
Adapun prosedur penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu tahap
persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap akhir penelitian.
1. Tahap Persiapan
5
Ibid. hlm. 108-109
6
Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif dan R dan D
(Bandung : ALFABETA, 2005), hlm. 120
32
G. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian diartikan sebagai alat yang dapat menunjang sejumlah
data yang diasumsikan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menguji
hipotesis penelitian. Sesuai dengan jenis data yang dibutuhkan, penelitian ini
menggunakan dua instrumen penelitian, yaitu:
1. Tes Hasil Belajar
Tes hasil belajar, yaitu tes yang digunakan untuk mengukur sejauh
mana siswa menguasai materi yang diberikan. Tes yang diberikan merupakan
tes tertulis berbentuk pilihan ganda dengan empat pilihan (option) pada pokok
bahasan unsur-unsur intrinsik yang meliputi jenjang pengetahuan (C1),
pemahaman (C2), aplikasi (C3) dan analisis (C4). Sebelum tes ini diujikan
kepada siswa kelas X, tes ini terlebih dahulu diujicobakan di kelas XI untuk
diketahui validitas dan reliabilitasnya.
2. Angket
“Angket adalah daftar pertanyaan yang diberikan kepada orang lain
yang bersedia memberikan respon (responden) sesuai dengan permintaan
pengguna.”7 Dalam penelitian ini angket digunakan untuk mendapatkan
informasi mengenai pembelajaran Bahasa Indonesia dengan menggunakan
media tape recorder.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam penyusunan instrumen
penelitian ini adalah sebagai berikut :
7
Ridwan, Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-Karyawan dan Penelitian Pamulang, (Bandung:
Alfabeta, 2005), hlm. 71
34
H. Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel penelitian yaitu pengaruh
pembelajaran bahasa Indonesia dengan menggunakan media tape recorder
sebagai variabel bebas (variabel X) dan hasil belajar siswa sebagai variabel
terikat (variabel Y).
S
n1 n 2 2
8
Sudjana, Metode Statistik , (Bandung: Tarsito, 2006), hlm 239
35
Keterangan:
X1 : rerata skor kelompok eksperimen
X2 : rerata skor kelompok kontrol
n1 : jumlah anggota sampel kelompok eksperimen
n2 : jumlah anggota sampel kelompok kontrol
S12 : varians kelompok eksperimen
S22 : varians kelompok kontrol
S : nilai varians gabungan
Langkah selanjutnya adalah sebagai berikut :
a. Mengajukan hipotesis, yaitu
1) Uji kesamaan dua rata-rata hasil pretes
Ho : X = Y
Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor
pretes kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol
Ha : X ≠ Y
Terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor pretes
kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol
2) Uji kesamaan dua rata-rata hasil postes
Ho : X = Y
Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor
postes kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol
Ha : X ≠ Y
Terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor postes
kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol
b. Menghitung nilai t hitung dengan rumus uji-t
c. Menentukan derajat kebebasan (dk) dengan rumus : dk = n1+ n2-2
d. Menentukan nilai t tabel dengan α = 0.05
e. Menguji hipotesis
Jika : -ttabel < thitung < ttabel maka Ho diterima pada tingkat kepercayaan
0.95
Jika : thitung ≤ -ttabel atau ttabel ≤ thitung maka Ha diterima pada tingkat
kepercayaan 0.95
36
87
BAB IV
HASIL PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data
Peneliti telah melakukan uji coba instrumen pada kelas XI SMA Negeri 1
Pakuhaji Tangerang dengan jumlah sampel penelitian 40 siswa dan 40 soal
instrumen penelitian. Dari 40 soal instrumen penelitian diambil 20 soal instrumen
penelitian berdasarkan analisis butir soal. Instrumen yang telah valid dijadikan
sebagai instrumen dalam penelitian ini. Instrumen digunakan pada saat pretes dan
postest.
Penelitian yang diperoleh meliputi data nilai pretest dann posttest dari 60
siswa yang terdiri dari kelompok eksperimen sebanyak 30 siswa dan kelompok
kontrol sebanyak 30 siswa. Data tersebut dianalisis dan dibahas sebagai upaya
untuk mengetahui hasil belajar siswa pada pokok bahasan unsur-unsur intrinsik
dengan menggunakan media tape recorder. Pengumpulan data hasil penelitian
dilakukan dengan menggunakan alat pengumpul data berupa tes objektif pilihan
ganda yang terdiri dari 20 soal.
Adapun deskripsi data dari hasil pretest dan posttest kelompok kontrol
yakni kelompok siswa yang tidak mendapat perlakuan dan kelompok eksperimen
(kelompok siswa yang diberi perlakuan berupa penggunaan media tape recorder)
adalah sebagai berikut :
1. Deskripsi Data Hasil Pretest Kelompok Kontrol dan Eksperimen
Berdasarkan hasil pengolahan data penelitian mengenai tes awal hasil
belajar Bahasa Indonesia kelompok kontrol dari 30 siswa dijadikan sample
penelitian diperoleh nilai tertinggi 60 dan nilai terendah 25; nilai rata-rata
sebesar 41,4; standar deviasi 8,69; dan varian sebesar 75,68.
Sedangkan deskripsi hasil pretes pada kelompok eksperimen, dapat
dilihat berdasarkan hasil pengolahan data pretes mengenai tes hasil belajar
Bahasa Indonesia, dari 30 siswa dijadikan sample penelitian diperoleh nilai
tertinggi 60 dan nilai terendah 25; nilai rata-rata sebesar 55,73; standar deviasi
10,52; dan varian sebesar 110,6. Untuk lebih jelasnya, deskripsi dari hasil
87
88
belajar pretes kelompok kontrol dan eksperimen dapat dilihat pada tabel dan
histogren di bawah.
X=
fXi =
1251
= 41,7
n 30
f. Simpangan Baku (standar Deviasi)
n. fXi 2 ( fX )2
S=
n.( n 1)
(4 4,407)2 (3 1,662) 2
+
4,407 1,662
= 0,025 + 1,284 + 0,353 + 1,317 + 0,037 + 1,077
= 4,093
Nilai x2 tabel untuk α =0,05 dan derajat kebebasan (dk) = k – 1 = 6 – 1 = 5 pada
tabel chi-kuadrat didapat, x2 tabel = 11,070
Dengan kriteria pengujian sebagai berikut :
Jika X2 hitung ≥ X2 tabel berarti Distribusi Data tidak normal
Jika X2 hitung ≤ X2 tabel berarti Distribusi Data normal
Dari perhitungan didapat:
X2 hitung = 4,093 dan X2 tabel = 11,070
Jadi, X2 hitung < X2 tabel, artinya data berdistribusi normal
Skor terbesar = 60
Skor terkecil = 25
b. Menentukan Rentangan (R)
R = Skor terbesar – skor terkecil
R = 60 – 25 = 35
c. Menentukan banyaknya kelas (BK)
BK = 1 + 3,3 log n
= 1 + 3,3 log 30
= 1 + 3,3 ( 1,477)
= 1 + 4.87 = 5,87 = 6
d. Menentukan panjang kelas (i)
R 35
I= = 5.8 dibulatkan menjadi 6
BK 6
Tabel Distribusi Frekuensi
Kelas Nilai Tengah
No f xi2 fxi fxi2
Interval (xi)
1. 25 – 30 3 27,5 756,25 82,5 2268,75
2. 31 – 36 4 33,5 1122,25 134 4489
3. 37 – 42 9 39,5 1560,25 355,5 14042,25
4. 43 – 48 5 45,5 2070,25 227,5 10351,25
5. 49 – 54 6 51,5 2652,25 309 15913,5
6. 55 - 60 3 57,5 3306,25 172,5 9918,75
Jumlah 30 1281 56983,5
e. Menentukan harga mean (X)
X=
fXi =
1281
= 42,7
n 30
f. Simpangan Baku (standar Deviasi)
n. fXi 2 ( fX )2
S=
n.( n 1)
93
penelitian diperoleh nilai tinggi 70 dan nilai terendah 30, nilai rata-rata sebesar
51,9; standar deviasi 9,26; dan varian sebesar 858,575.
Sedangkan deskripsi hasi postes pada kelompok eksperimen, dapat
dilihat berdasarkan hasil pengolahan data postes mengenai tes hasil belajar
Bahasa Indonesia, dari 30 siswa dijadikan sample penelitian diperoleh nilai
tertinggi 90 dan nilai terendah 45 nilai rata-rata sebesar 62,6; standar deviasi
11,44; dan varian sebesar 130,89. Untuk lebih jelasnya, deksripsikan hasil
belajar postes kelompok kontrol dan eksperimen dapat dilihat pada tabel dan
histogram di bawah.
Berdasarkan tabel yang terdapat pada lampiran dan grafik di atas, terlihat
bahwa skor pada interval 50-56 merupakan skor paling banyak diperoleh
siswa kelompok kontrol yaitu sebanyak 43%. Skor rata-rata diperoleh
kelompok eksperimen yaitu 52. Siswa yang mendapat skor diatas rata-rata
sebanyak 26,7% yaitu siswa pada kelas interval nomor 5 dan 6. Siswa yang
mendapat skor di bawah rata-rata sebanyak 30,1% yaitu siswa pada kelas
interval nomor 1, 2, dan 3.
96
Distribusi Frekuensi
a. Menentukan skor besar dan kecil
Skor terbesar = 90
Skor terkecil = 45
b. Menentukan Rentangan (R)
R = Skor terbesar – skor terkecil
R = 90 – 45 = 45
c. Menentukan banyaknya kelas (BK)
BK = 1 + 3,3 log n
= 1 + 3,3 log 30
= 1 + 3,3 ( 1,477)
= 1 + 4,87 = 5,87 ≈ 6
d. Menentukan panjang kelas (i)
R 45
I= = 7,5 dibulatkan menjadi 8
BK 6
X=
fXi =
1879
= 62,6
n 30
f. Simpangan Baku (standar Deviasi)
98
n. fXi 2 ( fX )2
S=
n.( n 1)
0,0831 x 30 = 2,493
0,0236 x 30 = 0,708
Batas Luas Tiap
No. Z Luas 0 – Z fe f0
Kelas Kelas Interval
1. 44,5 -1,58 0,4429 0,1323 3,969 5
2. 52,5 -0,88 0,3106 0,2392 7,176 11
3. 60,5 -0,18 0,0714 0,2699 8,097 5
4. 68,5 0,52 0,1985 0,1903 5,709 6
5. 76,5 1,22 0,3888 0,0831 2,493 1
6. 84,5 1,91 0,4719 0,0236 0,708 2
92,5 2,61 0,4955
∑f0=30
(1 2,493) 2 (2 0,708) 2
+
2,493 0,708
= 0,267 + 2,037 + 1,185 + 0,015 + 0,894 + 2,357
= 6,755
2
Nilai x tabel untuk α =0,05 dan derajat kebebasan (dk) = k – 1 = 6 – 1 = 5 pada
tabel chi-kuadrat didapat, x2 tabel = 11,070
Dengan kriteria pengujian sebagai berikut :
Jika X2 hitung ≥ X2 tabel berarti Distribusi Data tidak normal
Jika X2 hitung ≤ X2 tabel berarti Distribusi Data normal
Dari perhitungan didapat:
X2 hitung = 6,755 dan X2 tabel = 11,070
Jadi, X2 hitung < X2 tabel, artinya data berdistribusi normal
100
X=
fXi =
1558
= 51,9 ≈ 52
n 30
l. Simpangan Baku (standar Deviasi)
n. fXi 2 ( fX )2
S=
n.( n 1)
30(83.402) (1.558) 2
=
870
2.502.060 2.427.364
=
870
74.696
= = 858.575 = 9,26
870
Membuat daftar frekuensi yang diharapkan dengan cara :
a. Menentukan batas kelas, yaitu :
28,5 35,5 42,5 49,5 56,5 63,5 70,5
b. Mencari nilai Z-Score untuk batas kelas interval dengan rumus
Bataskelas X 49,5 52
Z= Z4 = = - 0,27
S 9,26
28,5 52 56,5 52
Z1 = = -2,54 Z5 = = 0,48
9,26 9,26
35,5 52 63,5 52
Z2 = = -1,78 Z6 = = 1,24
9,26 9,26
42,5 52 70,5 52
Z3 = = - 1,03 Z7 = = 1,99
9,26 9,26
c. Mencari luas 0 – Z dari tabel kurva normal dari 0 – Z, didapat:
0,4945 0,4625 0,3485 0,1064 0,1844 0,3925 0,4767
d. Mencari luas tiap kelas interval:
0,4945 – 0,4625 = 0,032
102
(3 6,243)2 (5 2,526) 2
+
6,243 2,526
= 1,127 + 0,589 + 0,705 + 2,095 + 1,685 + 2,423
= 8,624
2
Nilai x tabel untuk α =0,05 dan derajat kebebasan (dk) = k – 1 = 6 – 1 = 5 pada
tabel chi-kuadrat didapat, x2 tabel = 11,070
Dengan kriteria pengujian sebagai berikut :
Jika X2 hitung ≥ X2 tabel berarti Distribusi data tidak normal
Jika X2 hitung ≤ X2 tabel berarti Distribusi data normal
Dari perhitungan didapat:
X2 hitung = 8,624 dan X2 tabel = 11,070
Jadi, X2 hitung < X2 tabel, artinya data berdistribusi normal
No Pertanyaan Penilaian
ya tidak
1. Apakah kamu menyukai pembelajaran Bahasa
Indonesia dengan menggunakan media tape 6,67%
99,33%
recorder?
2. Apakah pembelajaran Bahasa Indonesia ini
sesuai dengan materi unsur-unsur intrinsik 90% 10%
cerpen?
3. Apakah kamu merasa kesulitan dalam 16,7% 83,33%
memahami materi unsur-unsur intrinsik
cerpen dengan pembelajaran yang
menggunakan media tape recorder?
104
media tape recorder, dan 50% siswa merasa ada materi pelajaran yang belum
dipahami setelah guru menyampaikan materi pelajaran dengan menggunakan
media tape recorder.
Tabel 4.7
Uji Kesamaan Dua Rata-rata Hasil Pretest
Kelompok
Keterangan Kelompok Kontrol
Eksperimen
Jumlah sampel 30 30
42,7 41,7
SD 8,87 8,69
S2 78,78 75,68
t-hitung 0,46
t-tabel 2,00
Kesimpulan Tidak Berbeda
Dari perhitungan diperoleh nilai thitung sebesar 0,46 dan ttabel 2,00
hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan bahwa thitung berada di daerah
t
x1 x2
dan S g
n 1
2
1 S1 n2 1S2
2
1 1 n1 n2 2
Sg
n1 n2
Dimana :
Sg
n 1
2
1 S1 n2 1S2
2
n1 n2 2
Sg
30 178,78 30 175,68
30 30 2
2284,62 2194,72
Sg
58
4479,34
Sg 77,23 8,78
58
Sehingga :
x1 x2
t
1 1
Sg
n1 n2
43 42 1 1
t 0,46
1 1 8,78 x0,251 2,1511
8,78
30 30
Menentukan harga tabel
ttabel untuk (dk) = (n-1) = 58 dengan α = 0,05 di dapat ttabel = 2,00.
Dari hasil pengujian menunjukkan bahwa thitung di daerah penerimaan Ho,
yaitu -ttabel < thitung < ttabel atau -2,00 < 0,46 < 2,00. dengan demikian Ho diterima
dan Ha ditolak pada taraf kepercayaan 0,95. hal ini menunjukkan bahwa Tidak
terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor tes awal (pretest)
kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol.
44
Ha: X ≠ Y
Terdapat perbedaan yang signifiakan antara rata-rata skor posttest
kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol.
Pengujian hipotesis tersebut akan diuji dengan menggunakan
rumus uji-t, dengan kriteria pengujiann sebagai berikut :
Tabel 4.8
Uji Kesamaan Dua Rata-rata Hasil Postest
Kelompok
Keterangan Kelompok Kontrol
Eksperimen
Jumlah sampel 30 30
62,6 51,9
SD 11,44 9,26
S2 130,89 85,88
t-hitung 3,88
t-tabel 2,00
Kesimpulan Berbeda
45
Dari hasil perhitungan diperoleh nilai thitung sebesar 3,88 dan ttabel
2,00 hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan bahwa thitung berada di
daerah penerimaan Ha, yaitu ttabel < thitung atau 2,00 < 3,88. Dengan
demikian Ho di tolak dan Ha diterima pada taraf kepercayaan 0,95 hal ini
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata
skor posttest kelompok eksperimen dengan rata-rata skor posttest
kelompok kontrol. Perhitungan lengkap uji kesamaan dua rata-rata hasil
posttest dapat dilihat pada lampiran.
Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan :
N1 = 30
X1 = 62,6
S12 = 130,89
N2 = 30
X2 = 51,9
S22 = 85,85
Untuk pengujian hipotesis menggunakan rumus :
t
x1 x2
dan S g
n 1
2
1 S1 n2 1S2
2
1 1 n1 n2 2
Sg
n1 n2
Dimana :
Sg
n 1
2
1 S1 n2 1S2
2
n1 n2 2
Sg
30 1130,89 30 185,85
30 30 2
3795,81 2489,65
Sg
58
6285,46
Sg 108,37 10,41
58
Sehingga :
46
x1 x2
t
1 1
Sg
n1 n2
C. Intrerpretasi Data
Dilihat dari hasil tes yang dilakukan sebelum pembelajaran (pretest)
diketahui nilai rata-rata kelompok eksperimen sebesar 42,7 dan kelompok kontrol
sebesar 41,7. Adapun hasil tes setelah pembelajaran (postest) diketahui nilai rata-
rata kelompok eksperimen sebesar 62,6 dan nilai rata-rata kelompok kontrol
sebesar 51,9. Dari hasil analisis tampak ada pengaruh penggunaan media tape
recorder dalam meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran Bahasa
Indonesia pada sub pokok bahasan unsur-unsur intrinsik. Siswa dari kelompok
kontrol atau kelompok yang tidak menggunakan media tape recorder juga
mengalami peningkatan hasil belajar siswa pada materi unsur-unsur intrinsik.
Meskipun siswa dari kelompok kontrol ini mengalami peningkatan, namun
peningkatan hasil belajar yang diperoleh lebih rendah dibanding dengan kelompok
eksperimen yang dalam pembelajarannya dengan menggunakan media tape
recorder.
Kelompok eksperimen dan kelompok kontrol ini keduanya berada pada
distribusi normal, baik hasil uji pretest dan posttestnya. Hal tersebut terbukti pada
hasil uji persyaratan analisis yang menyatakan bahwa x2hitung < x2tabel pada taraf
kepercayaan 95% sebesar 11,070. Selain itu kedua kelompok ini juga bersifat
homogen, terbukti berdasarkan hasil uji pretest dan posttest yang menyatakan
bahwa pada x2hitung < x2tabel taraf kepercayaan 95% sebesar 3,841.
Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji-t, pada taraf
kepercayaan 95%. Hasil uji kesamaan dua rata-rata pretest, dilakukan untuk
mengetahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara skor pretest
kelompok eksperimen dengan skor pretest kelompok kontrol, diperoleh nilai thitung
sebesar 0,46 dan nilai ttabel = 2,00. Hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan
bahwa nilai thitung berbeda di daerah penerimaan Ho, yaitu –ttabel < thitung < ttabel atau
-2,00 < 0,46 < 2,00. Dengan demikian Ho diterima dan Ha ditolak pada taraf
kepercayaan 95% hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara rata-rata skor pretest kelompok eksperimen dengan rata-rata skor
pretest kelompok kontrol. Sedangkan berdasarkan hasil uji kesamaan dua rata-rata
posttest, dilakukan untuk mengetahui apakah skor posttest kelompok eksperimen
48
D. Pembahasan
Media tape recorder merupakan alat audio yang penting dan mudah didapat.
Media tape recorder sangat penting digunakan dalam usaha memperjelas
pengertian pada siswa. Siswa dapat menangkap ide atau informasi yang
terkandung di dalamnya dengan jelas. Karena dengan menggunakan media tape
recorder materi yang diajarkan menjadi lebih mudah dipahami oleh siswa
sehingga sesuatu yang abstrak bagi siswa menjadi lebih konkrit dengan bantuan
media tape recorder telah lama digunakan sebagai media untuk pembelajaran serta
dapat di gunakan media tape recorder dalam sub pokok bahasan unsur-unsur
intrinsik pada kelompok eksperimen ada pengaruhnya dalam meningkatkan hasil
belajar siswa disbanding kelompok kontrol yang dalam pembelajaran tidak
menggunakan media tape recorder.
Dalam pembelajaran menggunakan media Tape recorder dalam sub pokok
bahasan unsur-unsur intrisik pada kelompok eksperimen, siswa menjadi lebih
termotivasi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat “Hamalik (1986) yang
mengemukakan bahwa media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat
membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan
49
1
Azhar Arsyad. Media Pendidikan. (Jakarta: Gramedia, 2009), Cet. ke-12, hlm. 15
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis penelitian, maka dapat disimpulkan secara umum
bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia dengan menggunakan media tape recorder
berpengaruh secara signifikansi terhadap hasil belajar Bahasa Indonesia siswa.
Hal ini dapat dilihat dari hasil belajar siswa pada kelas Kontrol dan Eksperimen
pada materi unsur-unsur intrinsik cerpen, yaitu:
1. Hasil penelitian pembelajaran menggunakan tape recorder berpengaruh positif
terhadap hasil belajar siswa.
2. Hasil yang diperoleh siswa yang diajarkan menggunakan media tape recorder
lebih baik dibandingkan yang tidak menggunakan media tape recorder.
3. Siswa memberikan respons positif terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia
dengan menggunakan media tape recorder pada materi unsur-unsur intrinsik
dengan presentase sebesar 93,33%. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan
media tape recorder pada siswa sangat efektif, karena membuat siswa
semangat belajar, aktif dan merasa mudah memahami materi pelajaran.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka ada hal yang disarankan
kepada peneliti selanjutnya, yaitu:
1. Dapat mengembangkan dan memodifikasi kembali pembuatan cerpen
menggunakan tape recorder pada materi unsur-unsur intrinsik sehingga lebih
menarik minat siswa dan meningkatkan daya imajinasi siswa.
2. Dalam pembuatan media tape recorder gunakanlah Bahasa Indonesia yang
sederhana agar lebih mudah dipahami.
50
59
DAFTAR PUSTAKA
Resmini, Novi dan Dadang Juanda, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Di
Kelas Tinggi, Bandung: UPI Press, 2007
http://something2283.blogspot.com/2009/05/menyimak.html, Tarigan,
Menyimak, (Selasa, 28-11-2010)
http://fkip.uki.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=77:paradig
ma-penelitian&catid=41:artikel&Itemid=55, Moleong, Metodologi
Penelitian Pendidikan Kualitatif.(Selasa, 28, 11, 2010)