Anda di halaman 1dari 78

7

BAB II

ACUAN TEORETIS

A. MENYIMAK
1. Pengeretian Menyimak
Dalam kegiatan komunikasi sehari-hari seseorang sudah pasti akan
menggunakan perangkat indera pendengaran untuk mendengar. Lain halnya
dengan mendengarkan adalah kegiatan yang disengaja untuk mendapatkan
informasi atau pesan yang disampaikan oleh orang lain.
Menurut Russel dan Russel dalam Tarigan, “menyimak bermakna
mendengarkan dengan penuh pemahaman dan perhatian serta apresiasi.”1 Dibuku
yang sama Tarigan menjelaskan “ Menyimak adalah suatu proses kegiatan
mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian,
pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi,
menangkap isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah
disampaikan oleh sang pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan.” 2
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menyimak adalah suatu proses
kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian,
pemahaman apresiasi serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap
isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan oleh
sang pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan.
“Tujuan orang menyimak sesuatu itu beraneka ragam antara lain:
1. Untuk memperoleh pengetahuan dari bahan ujaran sang pembicara;
dengan perkataan lain, dia menyimak untuk belajar;
2. Untuk penikmatan terhadap sesuatu dari materi yang diujarkan atau yang
diperdengarkan atau dipergelarkan (terutama sekali dalam bidang seni);
pendeknya dia menyimak untuk menikmati keindahan audial;
3. Untuk menilai apa-apa yang dia simak itu (baik-buruk, indah-jelek, logis-
tak logis, dan lain-lain); singkatnya dia menyimak untuk mengevaluasi;
4. Untuk menikmati serta menghargai apa-apa yang disimaknya itu
(misalnya: pembacaan cerita, pembacaan puisi, musik dan lagu, dialog,

1
Henry Guntur Tarigan, Menyimak, (Bandung: Angkasa, 1987), hlm. 29
2
Ibid. hlm. 28

7
8

diskusi panel, perdebatan); pendek kata, orang itu menyimak untuk


mengapreasi materi simakan;
5. Untuk dapat mengkomunikasikan ide-ide, gagasan-gagasan, maupun
perasaan-perasaannya kepada orang lain dengan lancar dan tepat. Banyak
contoh dan ide yang dapat diperoleh dari sang pembicara dan semua ini
merupakan bahan penting dan menunjangnya dalam mengkomunikasikan
ide-idenya sendiri;
6. Untuk dapat membedakan bunyi-bunyi dengan tepat; mana bunyi yang
membedakan arti mana bunyi yang tidak membedakan arti; biasanya ini
terlihat nyata pada seseorang yang sedang belajar bahasa asing yang asyik
mendengarkan ujaran pembicara asli;
7. Ada lagi orang yang menyimak dengan maksud agar dia dapat
memecahkan masalah secara kreatif dan analisis, sebab dari sang
pembicara dia mungkin memperoleh banyak masukan berharga;
8. Selanjutnya ada lagi orang yang tekun menyimak sang pembicara untuk
meyakinkan dirinya terhadap suatu masalah atau pendapat selama ini dia
ragu; dengan perkataan lain, dia menyimak persuasif.”3

Dari uraian di atas dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa pada dasarnya
“menyimak” itu dapat kita pandang dari berbagai segi, misalnya sebagai
keterampilan berkomunikasi dan sebagai pengalaman kreatif.

2. Ragam Menyimak
“Ragam menyimak yang penulis sarikan dari pendapat Tarigan (1993:35),
bahwa menyimak secara umum dapat dikelompokkan ke dalam menyimak
ekstensif dan menyimak intensif. Menyimak ekstensif meliputi; (1) sekunder, (2)
estetik. Sedangkan menyimak intensif meliputi menyimak; (1) kritis, (2)
konsentratif, (3) kreatif, (4) eksploratif, (5) interogatif, dan (6) selektif.”4

a. Menyimak Ekstensif
“Menyimak ekstensif (extensive listening) adalah sejenis kegiatan
menyimak yang mengenai hal-hal yang lebih umum dan lebih bebas terhadap
suatu ujaran, tidak perlu di bawah bimbingan langsung dari seorang guru.”5
menyimak jenis ini merupakan jenis menyimak yang berhubungan dengan
hal-hal yang bersifat umum.
3
Tarigan, menyimak……………………. hlm. 57
4
Ibid. hlm. 35
5
Bustanul Arifin, Menyimak, (Jakarta: Gramedia, 2004), hlm. 1. 28
9

1. Menyimak Sekunder
“menyimak sekunder (secondary listening) adalah sejenis
kegiatan menyimak secara kebetulan (casual listening) dan secara
ekstensif (extensive listening). Menyimak ini lebih bersifat umum
tanpa ada bimbingan. Apa yang didengar oleh penyimak bukan
menjadi tujuan utama. Salah satu contoh, bila menikmati musik
sementara ikut berpartisipasi dalam kegiatan menulis atau
6
melukis.” Kegiatan menyimak seperti ini, yaitu kegiatan menyimak
suara sesuatu, sementara perhatian penyimak sebenarnya pada hal yang
lain secara lebih khusus. Misalnya, penyimak menonton pertunjukkan
tari, dalam kegiatan tersebut tarian biasanya diiringi oleh musik. Musik
yang mengalun tersebut sebenarnya oleh penyimak hanya disimak secara
kebetulan, sedangkan perhatian yang sebenarnya adalah pada gerak tari-
tarinya.
2. Menyimak Estetik
“Menyimak estetik (aesthetic listening) ataupun yang disebut
menyimak apresiatif (Appreciational listening) adalah menyimak secara
serius dan besungguh-sungguh memperhatikan satu cara atau pertunjukan
drama, cerita, dongeng. Baik secara langsung maupun malalui siaran
televise atau radio.”7 Kegiatan menyimak estetik pada dasarnya adalah
kegiataa menyimak hal-hal yang mungkin dapat menimbulkan keindahan
bagi diri penyimak.

b. Menyimak Intensif
“Menyimak intensif merupakan kegiatan menyimak kebalikan dari
kegiatan menyimak ekstensif.”8 Pada kegiatan menyimak intensif sangat
memerlukan bimbingan guru. Kegiatan menyimak instensif selalu diawasi
dikontrol agar terarah pada topik tertentu. Dalam menyimak intensif,

6
Tarigan, Menyimak…………………. hlm. 38
7
Aripin, Menyimak…………………… hlm. 1.29
8
Ibid. hlm. 1.29
10

penyimak memerlukan arahan dan bimbingan guru yang ketat karena bahan-
bahan yang harus disimak perlu dipahami secara terperinci, teliti dan
mendalam.
Kegiatan menyimak intensif ini, penyimak pada dasarnya ditekankan
untuk dapat rnemahami materi simakkan bukan saja yang tersurat, namun
termasuk pula terhadap hal-hal yang tersirat. Oleh karena itu, unsur
pemahaman dalam menyimak intensif ini sangat menjadi perhatian.
Menyimak intensif ini pun banyak ragamnya, di antaranya; (1) menyimak
kritis, (2) menyimak konsentratif, (3) menyimak kreatif, (4) menyimak
eksploratif, (5) menyimak interogatif.
Pengertian istilah-istilah dalam ragam menyimak intensif tersebut di
atas, sebagai berikut.

1). Menyimak Kritis


Menyimak kritis (critical listening) adalah sejenis kegiatan
menyimak yang berupa untuk mencari kesalahan atau kekeliruan bahkan
juga butir-butir yang baik dan benar dari ujaran seorang pembicara,
dengan alasan-alasan yang kuat yang dapat diterima oleh akal sehat.”9
Penjelasan pengertian menyimak kritis sebagaimana dikemukakan di
atas.
Tujuan menyimak kritis adalah untuk memperoleh keakuratan
tentang sesuatu sehingga menghasilkan suatu kesimpulan. Olehkarena itu
penyimak kritis mendapatkan segala apa yang diidekan atau
diinformasikan sampai bermanfaat.

2) Menyimak Konsentratif
“Menyimak konsentratif (consentralive listening) sering juga disebut
study-tipe listening atau menyimak yang merupakan sejenis telaah.
Kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam menyimak konsentratif itu
adalah :

9
Tarigan, Menyimak,………………………………… hlm. 42
11

 Mengikuti petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam pembicaraan.


 Mencari dan merasakan hubungan-hubungan, seperti kelas, tempat,
kualitas, waktu, urutan serta sebab-akibat.
 Mendapat atau memeperoleh butir-butir informasi tertentu.
 Memperoleh pemahaman dan pengertian yang mendalam.
 Merasakan serta menghayati ide-ide sang pembicara. Sasaran
maupun pengorganisasiannya.
 Memahami urutan ide-ide pembicara.
 Mencari dan mencatat fakta-fakta penting.”10

Penjelasan pengertian menyimak konsentratif di atas, penulis


sederhanakan bahwa menyimak konsentratif adalah menyimak bagian-
bagian tertentu dari materi simakan atau ujaran yang dianggap penting
saja. Artinya, penyimak memusatkan perhatiaimya pada hal-hal yang
memang sangat dibutuhkan, sedangkan materi lainnya tidak dijadikan
pusat perhatian.

3). Menyimak Kreatif


“Menyimak kreatif (creative listening) adalah sejenis kegiatan
dalam menyimak yang dapat mengakibatkan rekontruksi imajinatif para
penyimak terhadap bunyi, penglihatan, gerakan, serta perasaan-perasaan
kinestetik yang disarankan atau dirangsang oleh apa-apa yang
disimaknya.”11 Menyimak kreatif merupakan kegiatan menyimak yang
dapat menimbulkan suatu dampak kreatif bagi pembaca dari materi yang
disimaknya. Materi yang dimaksud dapat berupa isi, cara penyusunan ide,
gaya bicara, atau yang lainnya, namun hal tersebut dapat dijadikan sebagai
bahan pengalaman penyimak.

4). Menyimak Eksploratif


“Menyimak eksploratif, menyimak yang bersifat menyelidik adalah
sejenis kegiatan menyimak intensif dengan maksud dan tujuan menyelidiki

10
. Tarigan, Menyimak…………………………… hlm. 45
11
Ibid. hlm. 46
12

sesuatu lebih terarah dan lebih sempit.”12 Dalam kegiatan menyimak


seperti ini sang penyimak menyiagakan perhatian untuk menjelajahi serta
menemukan hal-hal yang menarik perhatian, informasi tambahan
mengenai suatu topik.
5). Menyimak Interogatif
“Menyimak interogatif (interrogative listening) adalah sejenis
kegiatan menyimak intensif yang menuntut lebih banyak konsentrasi dan
seleksi, pemusatan perhatian dan pemilihan butir-butir dari ujaran sang
pembicara, karena sang penyimak akan mengajukan sebanyak
pertanyaan.”13 Artinya dalam menyimak introgatif ini, penyimak dalam
melakukan kegiatan menyimak, memiliki sasaran untuk memilih butir-
butir yang dapat dijadikan bahan pertanyaan kepada si pembicara. Oleh
karena itu, kegiatan menyimak seperti ini menuntut konsentrasi penuh.
Maksudnya, agar jangan sampai bahan yang menjadi pertanyaan dari
penyimak tersebut sebenarnya telah dibahas pada saat pembicara
menyampaikan materi pembicaraannya.

B. Cerita Pendek
a. Pengertian Cerita Pendek
“Cerita pendek adalah karakter yang dijabarkan lewat rentetan kejadian
daripada kejadian-kejadian itu sendiri satu persatu, Apa yang terjadi di
dalamnya lazim merupakan suatu pengalaman atau penjelajahan. Dan reaksi
mental itulah yang pada hakekatnya disebut cerpen.”14 Sedangkan menurut
Burhan Nurgiyantoro “cerpen adalah sebuah cerita selesai dibaca dengan
sekali duduk.”15
Sebuah cerpen pada dasarnya menuntut adanya perwatakan jelas pada
tokoh cerita. Sang tokoh merupakan ide sentral dari cerita; cerita bermula dari
sang tokoh dan berakhir pula pada “nasib” yang menimpa sang tokoh itu. Unsur

12
. Tarigan, Menyimak……………………………. hlm. 47
13
Ibid. hlm. 48
14
Atar Semi, Atonomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), hlm. 34
15
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengajian Fiksi, (Yogyakarta: UGM, 2005), hlm. 10
13

perwatakan lebih dominan daripada unsur cerita sendiri. Membaca sebuah cerpen
berarti kita berusaha memahami manusia bukan sekedar ingin mengetahui
bagaimana jalan ceritanya. Beda dengan sebuah novel di mana kedudukan
perwatakan dan jalan cerita berada dalam satu keseimbangan, ibarat dua sisi dari
satu mata uang.
“Soal panjang pendek ukuran fisiknya tidak menjadi ukuran yang mutlak;
tidak ditentukan bahwa cerpen harus sekian halaman atau sekian kata,
walaupun ia punya kecenderungan untuk berukuran pendek dan pekat.
Karena singkatannya jelas tidak memberi kesempatan bagi cerpen itu
menjelaskan dan mencantumkan segalanya; kepadanya dituntut
menyampaikan sesuatu yang tidak kecil kendatipun menggunakan
sejumlah kecil bahasa. Dengan begitu cerpen menyuguhkan kebenaran
yang diciptakan, dipadatkan, digayakan, dan diperkokoh oleh kemampuan
imajinasi pengarangnya.”16

Di Indonesia sendiri cerpen lazim ditemui dikisaran 1.500 – 2.100 kata (6-8
halaman kwarto, spasi ganda), jumlah kata ini menjadi persyaratan standar sebuah
naskah cerpen yang dimuat surat kabar hari minggu. Jumlah itu dianggap cukup
memenuhi definisi klasik dari cerpen; Cerita pendek harus dapat dibaca dalam
waktu sekali duduk (Edgar Allan Poe, 1846). Boleh jadi definisi ini erat kaitannya
dengan kebiasaan membaca Koran di WC.
b. Unsur-unsur Cerpen
1. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik menurut Nurgiantoro adalah unsur-unsur yang
membangun karya sastra itu sendiri yang menyebabkan karya sastra itu
hadir. Unsur intrinsik terdiri dari tema, alur/plot, penokohan, latar, gaya,
suasana, sudut pandang dan amanat.17
Untuk lebih jelasnya, unsur intrinsik akan dipaparkan lebih lanjut
di bawah ini.
a. Tema
Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M. dalam buku Apresiasi
Kesusastraan menyatakan bahwa tema adalah ide sebuah cerita. Pengarang

16
Nurgiyantoro, Teori Pengajian Fiksi………………………… hlm. 34
17
Burhan. Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, (Yogyakarta: BPFE, 1995),
hlm. 23
14

dalam menulis ceritanya bukan sekedar mau bercerita, tetapi mau mengatakan
sesuatu kepada pembaca. Sesuatu yang mau dikatakan itu bisa suatu masalah
kehidupan, pandangan hidupnya tentang kehidupan ini, atau komentar
terhadap kehidupan ini. Kejadian dan tokoh cerita, semuanya didasari oleh ide
pengarang tersebut. Sebuah cerita novel harus mengatakan sesuatu, yaitu
pendapat pengarang tentang hidup ini, sehingga orang lain dapat mengerti
hidup ini lebih baik.
Tema adalah gagasan pertama atau pikiran pokok. Tema suatu karya
sastra imajinatif merupakan pikiran yang akan ditemui oleh setiap pembaca
yang cermat sebagai akibat dari membaca karya sastra tersebut. Tema biasanya
merupakan komentar mengenai kehidupan.18
Tema pada sebuah cerita baru dapat diketahui setelah pembaca
mengetahui isi keseluruhan cerita. Pembaca harus mampu menafsirkan terlebih
dahulu unsur-unsur intrinsik lainnya, karena tidaklah mudah menemukan tema
suatu cerita.
Tema biasanya tidak dicantumkan secara eksplisit oleh pengarang.
Sumardjo dan Saini K.M, menyatakan bahwa di dalam cerpen yang berhasil,
tema justru tersamar dalam sebuah elemen. Pengarang memakai dialog para
tokohnya, jalan pikirannya, perasaannya, kejadian, latar cerita untuk
mempertegas atau menyamarkan isi temanya. Pengarang biasanya menyatakan
tema secara sembunyi-sembunyi dalam suatu potongan dialog tokohnya, atau
dalam suatu adegan cerita.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide cerita
yang merupakan dasar pengembangan sebuah cerita dan menjiwai seluruh
bagian cerita itu.

b. Alur/Plot
Pada setiap peristiwa yang terjadi selalu memiliki permulaan,
pertengahan, dan kemudian sampailah pada sebuah akhir peristiwa, begitu pula
dengan cerita fiksi dan novel. Dalam sebuah cerita, peristiwa yang terjadi itu

18
Henry Guntur Tarigan, Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, (Bandung:
Angkasa, 1994), hlm. 160
15

disebut sebagai alur atau plot. Alur atau plot biasanya diidentikkan dengan
jalan cerita, padahal alur tidak sama dengan jalan cerita. Nurgiantoro
menyamakan plot dengan jalan cerita atau bahkan mendefinisikan plot sebagai
jalan cerita sebenarnya adalah kurang tepat. Plot memang mengandung unsur
jalan cerita, namun ia lebih dari jalan cerita itu sendiri.19
Banyak ahli bahasa yang mengemukakan pengertian alur. Panuti
Sudjiman dalam Kamus Istilah Sastra menyatakan bahwa alur adalah
rangkaian peristiwa yang direka dan dijalani dengan seksama, yang
menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan penyelesaian.
Pautannya dapat diwujudkan dengan hubungan kausal atau sebab akibat.
Nurgiantoro menyatakan bahwa alur/plot merupakan cerminan atau
bahkan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh dalaam bertindak , berpikir
dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan. Namun, tidak
dengan sendirinya semua kejadian yang dialami manusia dapat disebut plot
jika bersifat khas, mengandung unsur konflik, saling berkaitan dan yang
terpenting adalah menarik untuk diceritakan dan bersifat dramatik. 20
Inti alur adalah konflik, namun sebuah konflik dalam cerita tidak
dipaparkan begitu saja, plot itu harus ada dasarnya. Maka dari itu, plot/alur
sering dikupas menjadi elemen-elemen berikut.
a) Pengenalan.
b) Timbulnya konflik.
c) Konflik memuncak.
d) Klimaks.
e) Pemecahan masalah.
Lebih lanjut, Sumardjo dan Saini menjelaskan bahwa dalam sebuah
cerita, konflik digambarkan sebagai pertarungan antara protagonis dan
antagonis. Protagonis adalah pelaku utama cerita, sedangkan antagonis adalah
tokoh lawan protagonis. Tokoh-tokoh tersebut bertemu dan terjadilah
perbenturan yang membangun cerita.

19
Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, …………………. hlm. 111
20
Ibid. hlm. 114
16

Berdasarkan kriteria urutan waktu, plot/alur dibagi menjadi 2 bagian,


yaitu plot lurus dan plot sorot balik. Sebuah novel dikatakan memiliki plot
lurus jika peristiwa-peristiwa yang diceritakan bersifat kronologis, peristiwa
pertama diikuti oleh peristiwa berikutnya. Situasi dimulai dari tahap awal,
tengah, sampai tahap akhir. Sedangkan, novel dikatakan memiliki plot sorot
balik (flashback), jika urutan kejadian ceritanya tidak bersifat kronologis,
cerita tidak dimulai dari awal, melainkan dari tahap tengah, atau mungkin dari
tahap akhir, baru kemudian ke awal cerita.
Berdasarkan padat atau tidaknya cerita, plot dibagi menjadi 2, yaitu plot
rapat dan plot longgar Sebuah cerita dikatakan memiliki plot rapat jika
hubungan antara peristiwa dijalani secara erat, dan pembaca seolah-olah selalu
dipaksa untuk terus- menerus mengikutinya. Sedangkan, cerpen dikatakan
memiliki plot longgar jika hubungan antara peristiwa tidak terlalu erat, artinya
peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain diselipi dengan peristiwa
tambahan. 21

c. Penokohan
Setiap novel tentu memiliki tokoh yang sengaja diciptakan untuk
mengusung sebuah cerita. Penciptaan tokoh dengan sengaja diciptakan untuk
mengusung sebuah cerita. Penciptaan tokoh dengan segala perwatakan dan
berbagai jati dirinya disebut sebagai penokohan.
Tokoh cerita menurut Abrams (dalam Nurgiantoro, 1995) adalah orang
yang ditampilkan dalam suatu karya sastra naratif, atau drama yang oleh
pembacanya ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu
seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam
tindakan.22
Istilah penokohan oleh Sudjiman diartikan sebagai penciptaan cerita di
dalam karya sastra. Tokoh tersebut diciptakan oleh pengarang secara

21
Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, ……………………. hlm. 153—159
22
Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, ……………….…. .. hlm. 165
17

meyakinkan sehingga pembaca merasa seolah-olah berhadapan dengan


manusia sebenarnya.
Tarigan mengungkapkan bahwa yang dimaksud tokoh atau karakterisasi
adalah proses yang dipergunakan oleh seorang pengarang untuk menciptakan
tokoh-tokoh fiksinya. Sedangkan untuk melukiskan tokoh dalam cerita bisa
dilakukan dengan cara sebagai berikut.
1) Melukiskan bentuk lahir dari pelakon.
2) Melukiskan jalan pikiran pelakon atau apa yang terlintas dalam pikirannya.
3) Melukiskan bagaimana reaksi pelakon itu terhadap kejadian-kejadian.
4) Pengarang langsung menganalisis watak pelakon.
5) Pengarang melukiskan keadaan sekitar pelakon, misalnya dengan
melukiskan keadaan kamar pelakon (biasanya keadaan kamar seseorang
mencerminkan wataknya).
6) Pengarang melukiskan bagaimana pandangan-pandangan pelakon lain
dalam suatu cerita terhadap pelakon utama itu.
7) Mempergunakan pelakon-pelakon lain yang memperbincangkan keadaan
pelakon utama.23
Kualitas sebuah cerita atau novel banyak ditentukan oleh kepandaian
pengarang dalam menghidupkan watak para tokohnya. Jika watak tokohnya
lemah, maka menjadi lemahlah keseluruhan cerita. Oleh karena itu, watak atau
karakter tokoh di dalam sebuah novel harus digambarkan oleh pengarang
secara tersirat, sehingga dapat ditangkap oleh pembaca.
Jadi, dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa penokohan
adalah seseorang yang berperan dalam sebuah cerita dan mengalami peristiwa-
peristiwa yang terdapat dalam cerita itu, dengan memiliki watak atau karakter
sendiri, terutama dalam menghadapi suatu masalah atau kejadian yang
dialaminya.

23
Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1985), hlm.
141
18

d. Latar
Nurgiantoro, dengan mengutip pendapat Abrams, mendefinisikan ‘latar
sebagai landasan tumpu menyarankan pada pengertian tempat, hubungan
waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan’.24
Sumardjo dan Saini K.M. mengemukakan bahwa latar dalam sebuah novel
bukan hanya menunjukan tempat dan waktu terjadinya suatu peristiwa,
melainkan juga hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada macam
debunya, pemikiran rakyatnya, kegiatan mereka, gaya hidup mereka dan
sebagainya.
Lebih lanjut Sumardjo dan Saini menjelaskan bahwa dalam sebuah cerita
yang baik, latar harus benar-benar mutlak menggarap tema dan karakter cerita,
sehingga dari latar wilayah tertentu akan menghasilkan perwatakan tokoh
tertentu pula. Andaikata sebuah novel latarnya dapat diganti dengan tempat
mana saja tanpa mengubah atau mempengaruhi watak tokoh-tokoh dan tema
novelnya, maka latar yang demikian kurang integral.
Kedudukan latar dalam novel sangat penting karena dapat memberikan
kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-
olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.25 Pembaca merasa dipermudah
mengoperasikan daya imajinasinya, di samping memungkinkan berperan
secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar. Pembaca pun
dapat merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan dan aktualisasi latar yang
diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah menemukan
dalam cerita itu sesuatu yang menjadi bagian dirinya. Hal ini akan terjadi jika
latar mampu mengangkat suasana setempat, warna lokal, lengkap dengan
perwatakannya ke dalam novel.

24
Nurgiantoro, Burhan. Penilaian dalam Penilaian Bahasa…………………… hlm. 216
25
Ibid. hlm. 217
19

e. Sudut Pandang /Point of view


Sudut pandang yaitu cara pandang pengarang menempatkan dirinya
dalam cerita. Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan siapa-siapa saja
yang menceritakan, atau dari posisi mana peristiwa dilihat.26
Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995) menyatakan bahwa sudut pandang
bersarang pada cara sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara
atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sasaran untuk
menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk
cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dengan demikian sudut
pandang pada hakikatnya merupakan sebuah strategi atau teknik yang sengaja
dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan ceritanya. Segala sesuatu
yang dikemukakan dalam karya fiksi memang milik pengarang, pandangan
hidup dan tafsirnya terhadap kehidupan. Namun, kesemuanya itu dalam karya
fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh atau kacamata tokoh tersebut.
Sudut pandang pada dasarnya merupakan visi pengarang, artinya sudut
pandang yang diambil pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita. Dalam
hal ini, harus dibedakan dengan pandangan pengarang sebagai pribadi, sebab
sebuah karya sebenarnya merupakan pandangan pengarang terhadap
kehidupannya. Suara pribadi pengarang jelas akan masuk ke dalam karyanya
dan ini lazim disebut gaya pengarang. Sedangkan sudut pandang menyangkut
teknis bercerita, yaitu soal bagaimana pandangan pribadi pengarang akan bisa
diungkapkan sebaik-baiknya.
Hal senada diungkapkan oleh Booth (dalam Nurgiyantoro, 1995) yang
mengatakan bahwa sudut pandang bagaimanapun merupakan sesuatu yang
menyarankan pada masalah teknis, sarana untuk menyampaikan maksud yang
lebih besar daripada sudut pandang itu sendiri. Sudut pandang merupakan
teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan
makna karya artistiknya untuk dapat sampai dan berhubungan dengan
pembaca. Dengan teknik yang dipilihnya itu, diharapkan pembaca dapat
menerima dan menghayati gagasan pengarang.

26
Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, ………………………… hlm. 246
20

f. Amanat
Dalam membuat cerita, setiap pengarang pasti ingin menyampaikan
amanat kepada pembacanya. Seperti halnya tema, amanat biasanya
disampaikan pengarang secara implisit (tersirat). Maka dari itulah pembaca
harus mampu menemukan amanat dari karya sastra yang dibacanya.
Panuti Sudjiman mengatakan bahwa amanat yang terdapat dalam sebuah
karya sastra bisa secara implisit maupun eksplisit. Dikatakan implisit jika jalan
keluar atau jalan moral itu disiratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang
cerita berakhir. Eksplisit jika pengarang menyampaikan seruan, saran,
peringatan, nasihat, anjuran, dan larangan yang berkenaan dengan gagasan
yang mendasari cerita itu yang disampaikan pada bagian tengah atau akhir
cerita. Amanat biasanya berupa ajaran moral yang berhubungan dengan sifat-
sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia.
G. Gaya/Style
Setiap pengarang pasti memiliki ciri khas tersendiri dalam
mengungkapkan ceritanya dan tergambar pada hasil karyanya. Artinya, cara
bagaimana seorang pengarang memilih tema, persoalan dan menceritakannya
dalam sebuah karya sastra, tentunya setiap pengarang memiliki gaya bercerita
yang berbeda dengan pengarang lainnya. Gaya tersebut biasanya dipengaruhi
oleh latar belakang pengarang itu sendiri, misalnya latar belakang pendidikan,
latar belakang profesi, atau latar belakang lingkungan tempat ia tinggal. Gaya
dalam sebuah karya sastra juga biasanya ada hubungannya dengan penggunaan
bahasa. Hal ini ditegaskan oleh pendapat Aminuddin (dalam Hendrayati, 1990)
bahwa gaya mengandung pengertian cara seseorang pengarang menyampaikan
gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis,
serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya
intelektual dan emosi pembaca. Penggunaan media bahasa meliputi
penggunaan kalimat, penggunaan kata, penggunaan bentuk bahasa figuratif ,
dialog dan sebagainya.
Panuti Sudjiman memaparkan beberapa pengertian gaya yang
diungkapkan dalam Kamus Istilah Sastra sebagai berikut:
21

1. Cara menyampaikan pikiran dan perasaan dengan kata-kata.


2. Cara khas dalam penyusunan dan penyampaian pikiran dan perasaan
dalam bentuk tulisan dan lisan.
3. Ciri-ciri suatu kelompok karya sastra berdasarkan bentuk perbuatannya
(ekspresinya) dan bukan kandungan isinya. Gaya terutama ditentukan oleh
diksi dan struktur kalimat.
Kesimpulannya, gaya adalah ciri khas setiap pengarang dalam
menyajikan karyanya, di mana antara pengarang yang satu dengan pengarang
yang lainnya tidak memiliki gaya yang sama persis. Mempelajari gaya
bercerita pengarang akan membantu kita untuk lebih memahami pribadi yang
kreatif daripada membaca biografinya yang ditulis oleh orang lain. Yang pasti,
gaya karangan yang diciptakan mencerminkan jiwa pengarangnya.

h. Suasana
Dalam suatu peristiwa tertentu, pasti ada suasana yang mewarnainya.
Misalnya, sedih, gembira, mengharukan, memancing emosi kemarahan, dan
ekspresi jiwa lainnya. Dengan gambaran suasana yang naratif dan emotif
inilah keasikan dari pembaca akan timbul. Demikian halnya dengan unsur-
unsur intrinsik lainnya, unsur suasana akan menjadi lebih baik apabila
didukung oleh unsur-unsur intrinsik lainnya seperti tokoh, latar, tema, dan
sebagainya.
Sudjiman dalam Kamus Istilah Sastra, mengemukakan bahwa “Suasana
adalah suasana hati yang ditimbulkan oleh latar dan cakapan.” Sedangkan,
Harianto G.P. mengemukakan bahwa “Suasana adalah hawa (udara atau
kesadaran sesuatu) di suatu lingkungan, keadaan suatu peristiwa, atau keadaan
perasaan yang ada dalam suatu peristiwa.”
Sebenarnya untuk menjelaskan suasana memang agak sulit, walaupun bisa
dilihat dan dirasakan. Namun yang jelas, suasana merupakan warna dasar
cerita itu atau merupakan pesona sebuah cerita.
22

C. Media

1. Pengertian Media Pembelajaran

“Media berasal dari bahasa latin medium yang secara harfiah berarti
perantara atau pengantar. Media adalah peratara atau pengantar pesan dari
pengirim ke penerima pesan.”27 Adapun pendapat lain Pada tahun 1982 “Heinich
dan kawan-kawan mengemukakan istilah medium sebagai perantara. Jadi televisi,
film, foto, radio, rekaman audio, gambar yang diproyeksikan, bahan-bahan
28
cetakan adalah media komunikasi.” Apabila media itu membawa pesan-pesan
atau informasi yang bertujuan intruksional atau mengandung maksud-maksud
pengajaran maka media itu disebut media pembelajaran. ”Association for
Education and Communication technologi (AECT) di Amerika membatasi media
sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan
pesan atau informasi. Sedangkan National Education Association (NEA)
mengatakan bahwa adalah bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak maupun
audiovisual serta peralatannya.”29

Media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk


menyampaikan isi materi pengajaran, yang terdiri dari antara lain buku, tape
recorder, kaset, video, kamera, video recorder, film, slide, foto, gambar grafik,
televisi dan komputer. “Sedangkan menurut Elly(1977) media digolongkan
menjadi enam kategori umum yaitu: 1).Gambar diam,yaitu cetakan fotografis,
sketsa, kartun, tabel, grafik dan peta. 2) Audio yaitu suara guru, radio, tape,
recorder dan disk,3). Gambar gerak yaitu film, 4). Televisi, videotape, 5). Benda
nyata, 6). Komputer.”30

Dengan demikian media pembelajaran didefinisikan sebagai segala sesuatu


yang dapat digunakan untuk menyampaikan informasi dari pengirim informasi

27
Arief Sudirman, dkk, Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan dan
Pemanfaatannya. (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2003), Cet. ke-7, hlm. 6
28
Azhar Arsyad, Media Pendidikan, (Jakarta: Gramedia, 2009),Cet. ke-12, hlm. 6
29
Loc. Cit. hlm. 6
30
M. Zaim, The Effect of Using Instruksional Media Toward the Learning Achievement
of English”, dalam jurnal guru, no. 2 vol. 2 Desember, 2006, hlm. 78
23

(guru) ke penerima informasi (siswa) sehingga proses belajar terjadi. Media


pembelajaran adalah suatu cara, alat, atau proses yang digunakan untuk
menyampaikan pesan dari sumber pesan kepada penerima pesan yang berlangsung
dalam proses pendidikan. Penggunaan media dalam proses belajar mengajar dapat
membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan
rangsangan kegiatan belajar, bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis
terhadap siswa. Selain itu, pembelajaran bermedia dapat membantu siswa
meningkatkan pemahaman, menyajikan data dengan menarik dan terpercaya,
memudahkan penafsiran serta mendapatkan informasi.

Dengan berkembangnya sikap positif guru dan kepala sekolah dalam


pemanfaatan media pembelajaran sebagai salah satu sumber belajar. “Kegiatan
pembelajaran lebih variatif dan menyenangkan bagi para siswa. Pemanfaatan
media pembelajaran yang dikelola oleh guru secara terencana dikelas dapat
membantu mempermudah para siswa memahami materi pelajaran dan pada
akhirnya juga turut meningkatkan prestasi belajar siswa. Dalam keadaan yang
demikian, dapat dikatakan bahwa para guru dapat memperlakukan media
pembelajaran sebagai mitra dalam mengelola kegiatan belajar mengajar di
kelas.”31

Hamalik (1986) yang mengemukakan bahwa “media pembelajaran dalam


proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru,
membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa
pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa.”32 Oleh karena itu fungsi media
pembelajaran ialah dapat meningkatkan motivasi siswa dalam belajar,
memudahkan siswa dalam mengingat informasi mengenai materi pelajaran, serta
memudahkan siswa memahami pelajaran.

31
Sudirman Siahaan, Media Pembelajaran Pemahaman dan Pemanfaatannya dalam
Kegiatan Pembelajaran; dalam jurnal TEKNODIK, no. 20 Tahun ke-11, April 2007, hlm. 96–97.
32
Azhar Arsyad, Media Pendidikan, (Jakarta: Gramedia,2004), hlm. 15.
24

2. Manfaat Media Pembelajaran


Berbagai manfaat media telah diungkapkan oleh beberapa ahli. Meskipun
telah disadari bahwa banyak keuntungan penggunaan media pembelaaran, namun
penerimaan serta pengintegrasiannya kedalam program-program pembelajaran
berjalan lambat. “Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran memiliki
manfaat antara lain:
1) Pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat
menimbulkan motivasi belajar.
2) Bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga lebih difahami oleh
siswa.
3) Metode mengajar akan lebih bervariasi siswa lebih banyak melakukan
kegiatan belajar, sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru tapi juga
aktivitas lain seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan, dan
lain-lain.”33
Dengan demikian, manfaat penggunaan media pembelajaran diantaranya
adalah dapat menjadikan pengajaran lebih menarik, memperjelas bahan
pengajaran, menjadikan pengajaran lebih bervariatif dan menjadikan siswa lebih
berperan aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Penggunaan media secara kreatif
akan memperbesar kemungkinan siswa untuk belajar lebih banyak, mencamkan
apa yang dipelajarinya lebih baik dan meningkatkan keterampilan mereka sesuai
dengan apa yang menjadi tuntunan pembelajaran yang telah ditetapkan.

3. Jenis Media

1. Media Tape Recorder


“Media berasal dari bahasa latin “medium” yang secara harfiah berarti
perantara atau pengantar. Media adalah perantara atau pengantar pesan dari
pengirim ke penerima pesan.”34 Sedangkan menurut Ma’mur Saadie “media
adalah segala sesuatu yang terletak di tengah dalam letak jenjang atau alat apa saja

33
Nana Sudjana dan Ahmad Rivai, Media Pengajaran, (Bandung: Sinar Baru Algensindo),
hlm 2.
34
Loc. Cit. hlm. 6
25

yang digunakan sebagai perantara atau penghubung 2 hal.”35 Jadi media adalah
bahan, alat atau peristiwa yang dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan
siswa untuk menerima pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dirancang dengan
baik dalam batas-batas tertentu terdapat merangsang timbulnya dialog internal
dalam diri siswa dengan media atau antar siswa dengan guru sebagai sumber
belajar
“Alat perakam pita magnetic (magnetic tape recording) atau lazimnya
orang menyebut tape recorder adalah salah satu media pendidikan yang tak dapat
diabaikan untuk menyampaikan informasi, karena mudah menggunakan. Ada dua
macam rekaman dalam alat perekam pita magnetik yaitu sistem full track
recording dan double track recorder.”36 Jadi tape recorder suatu perlengkapan
elektronik yang diciptakan berkat kemajuan dalam bidang teknologi modern.
Melalui alat ini orang dapat mendengar siaran tentang berbagai peristiwa,
kejadian-kejadian yang penting dan baru, masalah dalam kehidupan dan acara-
acara rekreasi yang menyenangkan, semuanya dipancarkan dari stasiun tape
recorder tertentu.
1. “Kelebihan media tape recorder
a. Tidak begitu mahal untuk kegiatan pembelajaran.
b. Tape recorder cukup hemat, sebab suatu rekaman dapat dihapus dan
diganti dengan materi yang baru.
c. Dapat digunakan untuk belajar kelompok maupun individual.
d. Siswa yang tuna netra maupun yang tuna aksara dapat belajar melalui
madia tape recorder.
e. Anak yang masih kecil atau untuk anak didik yang belum dapat
membaca, media tape recorder dapat membentuk pengalaman belajar
bahasa permulaan.
2. Kelemahan media audio
a. Melalui tape recorder dapat mendengarkan urutan penyajian yang tetap,
bahkan apabila diputar kembali, akan terdengar hal-hal yang sama. Hal
ini kadang-kadang membosankan.
b. Tanpa ada penyajian yang bertatap muka langsung dengan siswa,
beberapa di antara siswa kurang memperhatikan penyajian itu.
c. Pengembang program tape recorder yang baik, akan banyak menyita
waktu.

35
Ma’mur Saadie, Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia, (Jakarta: UT, 2008), hlm. 5.3
36
Sudjana, Media Pengajaran.......................................... hlm. 7
26

d. Penentuan kecepatan cara penyampaian informasi dapat menimbulkan


kesulitan apabila pendengar memiliki latar belakang serta kemampuan
mendengar yang berbeda.
e. Tidak dapat diperoleh balikan secara langsung karena hanya ada satu
jalur penyampaian informasi.”37

37
Saadie, Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia…………………….. hlm. 5. 34–5.35
7

BAB II

ACUAN TEORETIS

A. MENYIMAK
1. Pengeretian Menyimak
Dalam kegiatan komunikasi sehari-hari seseorang sudah pasti akan
menggunakan perangkat indera pendengaran untuk mendengar. Lain halnya
dengan mendengarkan adalah kegiatan yang disengaja untuk mendapatkan
informasi atau pesan yang disampaikan oleh orang lain.
Menurut Russel dan Russel dalam Tarigan, “menyimak bermakna
mendengarkan dengan penuh pemahaman dan perhatian serta apresiasi.”1 Dibuku
yang sama Tarigan menjelaskan “ Menyimak adalah suatu proses kegiatan
mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian,
pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi,
menangkap isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah
disampaikan oleh sang pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan.” 2
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menyimak adalah suatu proses
kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian,
pemahaman apresiasi serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap
isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan oleh
sang pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan.
“Tujuan orang menyimak sesuatu itu beraneka ragam antara lain:
1. Untuk memperoleh pengetahuan dari bahan ujaran sang pembicara;
dengan perkataan lain, dia menyimak untuk belajar;
2. Untuk penikmatan terhadap sesuatu dari materi yang diujarkan atau yang
diperdengarkan atau dipergelarkan (terutama sekali dalam bidang seni);
pendeknya dia menyimak untuk menikmati keindahan audial;
3. Untuk menilai apa-apa yang dia simak itu (baik-buruk, indah-jelek, logis-
tak logis, dan lain-lain); singkatnya dia menyimak untuk mengevaluasi;
4. Untuk menikmati serta menghargai apa-apa yang disimaknya itu
(misalnya: pembacaan cerita, pembacaan puisi, musik dan lagu, dialog,

1
Henry Guntur Tarigan, Menyimak, (Bandung: Angkasa, 1987), hlm. 29
2
Ibid. hlm. 28

7
8

diskusi panel, perdebatan); pendek kata, orang itu menyimak untuk


mengapreasi materi simakan;
5. Untuk dapat mengkomunikasikan ide-ide, gagasan-gagasan, maupun
perasaan-perasaannya kepada orang lain dengan lancar dan tepat. Banyak
contoh dan ide yang dapat diperoleh dari sang pembicara dan semua ini
merupakan bahan penting dan menunjangnya dalam mengkomunikasikan
ide-idenya sendiri;
6. Untuk dapat membedakan bunyi-bunyi dengan tepat; mana bunyi yang
membedakan arti mana bunyi yang tidak membedakan arti; biasanya ini
terlihat nyata pada seseorang yang sedang belajar bahasa asing yang asyik
mendengarkan ujaran pembicara asli;
7. Ada lagi orang yang menyimak dengan maksud agar dia dapat
memecahkan masalah secara kreatif dan analisis, sebab dari sang
pembicara dia mungkin memperoleh banyak masukan berharga;
8. Selanjutnya ada lagi orang yang tekun menyimak sang pembicara untuk
meyakinkan dirinya terhadap suatu masalah atau pendapat selama ini dia
ragu; dengan perkataan lain, dia menyimak persuasif.”3

Dari uraian di atas dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa pada dasarnya
“menyimak” itu dapat kita pandang dari berbagai segi, misalnya sebagai
keterampilan berkomunikasi dan sebagai pengalaman kreatif.

2. Ragam Menyimak
“Ragam menyimak yang penulis sarikan dari pendapat Tarigan (1993:35),
bahwa menyimak secara umum dapat dikelompokkan ke dalam menyimak
ekstensif dan menyimak intensif. Menyimak ekstensif meliputi; (1) sekunder, (2)
estetik. Sedangkan menyimak intensif meliputi menyimak; (1) kritis, (2)
konsentratif, (3) kreatif, (4) eksploratif, (5) interogatif, dan (6) selektif.”4

a. Menyimak Ekstensif
“Menyimak ekstensif (extensive listening) adalah sejenis kegiatan
menyimak yang mengenai hal-hal yang lebih umum dan lebih bebas terhadap
suatu ujaran, tidak perlu di bawah bimbingan langsung dari seorang guru.”5
menyimak jenis ini merupakan jenis menyimak yang berhubungan dengan
hal-hal yang bersifat umum.
3
Tarigan, menyimak……………………. hlm. 57
4
Ibid. hlm. 35
5
Bustanul Arifin, Menyimak, (Jakarta: Gramedia, 2004), hlm. 1. 28
9

1. Menyimak Sekunder
“menyimak sekunder (secondary listening) adalah sejenis
kegiatan menyimak secara kebetulan (casual listening) dan secara
ekstensif (extensive listening). Menyimak ini lebih bersifat umum
tanpa ada bimbingan. Apa yang didengar oleh penyimak bukan
menjadi tujuan utama. Salah satu contoh, bila menikmati musik
sementara ikut berpartisipasi dalam kegiatan menulis atau
6
melukis.” Kegiatan menyimak seperti ini, yaitu kegiatan menyimak
suara sesuatu, sementara perhatian penyimak sebenarnya pada hal yang
lain secara lebih khusus. Misalnya, penyimak menonton pertunjukkan
tari, dalam kegiatan tersebut tarian biasanya diiringi oleh musik. Musik
yang mengalun tersebut sebenarnya oleh penyimak hanya disimak secara
kebetulan, sedangkan perhatian yang sebenarnya adalah pada gerak tari-
tarinya.
2. Menyimak Estetik
“Menyimak estetik (aesthetic listening) ataupun yang disebut
menyimak apresiatif (Appreciational listening) adalah menyimak secara
serius dan besungguh-sungguh memperhatikan satu cara atau pertunjukan
drama, cerita, dongeng. Baik secara langsung maupun malalui siaran
televise atau radio.”7 Kegiatan menyimak estetik pada dasarnya adalah
kegiataa menyimak hal-hal yang mungkin dapat menimbulkan keindahan
bagi diri penyimak.

b. Menyimak Intensif
“Menyimak intensif merupakan kegiatan menyimak kebalikan dari
kegiatan menyimak ekstensif.”8 Pada kegiatan menyimak intensif sangat
memerlukan bimbingan guru. Kegiatan menyimak instensif selalu diawasi
dikontrol agar terarah pada topik tertentu. Dalam menyimak intensif,

6
Tarigan, Menyimak…………………. hlm. 38
7
Aripin, Menyimak…………………… hlm. 1.29
8
Ibid. hlm. 1.29
10

penyimak memerlukan arahan dan bimbingan guru yang ketat karena bahan-
bahan yang harus disimak perlu dipahami secara terperinci, teliti dan
mendalam.
Kegiatan menyimak intensif ini, penyimak pada dasarnya ditekankan
untuk dapat rnemahami materi simakkan bukan saja yang tersurat, namun
termasuk pula terhadap hal-hal yang tersirat. Oleh karena itu, unsur
pemahaman dalam menyimak intensif ini sangat menjadi perhatian.
Menyimak intensif ini pun banyak ragamnya, di antaranya; (1) menyimak
kritis, (2) menyimak konsentratif, (3) menyimak kreatif, (4) menyimak
eksploratif, (5) menyimak interogatif.
Pengertian istilah-istilah dalam ragam menyimak intensif tersebut di
atas, sebagai berikut.

1). Menyimak Kritis


Menyimak kritis (critical listening) adalah sejenis kegiatan
menyimak yang berupa untuk mencari kesalahan atau kekeliruan bahkan
juga butir-butir yang baik dan benar dari ujaran seorang pembicara,
dengan alasan-alasan yang kuat yang dapat diterima oleh akal sehat.”9
Penjelasan pengertian menyimak kritis sebagaimana dikemukakan di
atas.
Tujuan menyimak kritis adalah untuk memperoleh keakuratan
tentang sesuatu sehingga menghasilkan suatu kesimpulan. Olehkarena itu
penyimak kritis mendapatkan segala apa yang diidekan atau
diinformasikan sampai bermanfaat.

2) Menyimak Konsentratif
“Menyimak konsentratif (consentralive listening) sering juga disebut
study-tipe listening atau menyimak yang merupakan sejenis telaah.
Kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam menyimak konsentratif itu
adalah :

9
Tarigan, Menyimak,………………………………… hlm. 42
11

 Mengikuti petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam pembicaraan.


 Mencari dan merasakan hubungan-hubungan, seperti kelas, tempat,
kualitas, waktu, urutan serta sebab-akibat.
 Mendapat atau memeperoleh butir-butir informasi tertentu.
 Memperoleh pemahaman dan pengertian yang mendalam.
 Merasakan serta menghayati ide-ide sang pembicara. Sasaran
maupun pengorganisasiannya.
 Memahami urutan ide-ide pembicara.
 Mencari dan mencatat fakta-fakta penting.”10

Penjelasan pengertian menyimak konsentratif di atas, penulis


sederhanakan bahwa menyimak konsentratif adalah menyimak bagian-
bagian tertentu dari materi simakan atau ujaran yang dianggap penting
saja. Artinya, penyimak memusatkan perhatiaimya pada hal-hal yang
memang sangat dibutuhkan, sedangkan materi lainnya tidak dijadikan
pusat perhatian.

3). Menyimak Kreatif


“Menyimak kreatif (creative listening) adalah sejenis kegiatan
dalam menyimak yang dapat mengakibatkan rekontruksi imajinatif para
penyimak terhadap bunyi, penglihatan, gerakan, serta perasaan-perasaan
kinestetik yang disarankan atau dirangsang oleh apa-apa yang
disimaknya.”11 Menyimak kreatif merupakan kegiatan menyimak yang
dapat menimbulkan suatu dampak kreatif bagi pembaca dari materi yang
disimaknya. Materi yang dimaksud dapat berupa isi, cara penyusunan ide,
gaya bicara, atau yang lainnya, namun hal tersebut dapat dijadikan sebagai
bahan pengalaman penyimak.

4). Menyimak Eksploratif


“Menyimak eksploratif, menyimak yang bersifat menyelidik adalah
sejenis kegiatan menyimak intensif dengan maksud dan tujuan menyelidiki

10
. Tarigan, Menyimak…………………………… hlm. 45
11
Ibid. hlm. 46
12

sesuatu lebih terarah dan lebih sempit.”12 Dalam kegiatan menyimak


seperti ini sang penyimak menyiagakan perhatian untuk menjelajahi serta
menemukan hal-hal yang menarik perhatian, informasi tambahan
mengenai suatu topik.
5). Menyimak Interogatif
“Menyimak interogatif (interrogative listening) adalah sejenis
kegiatan menyimak intensif yang menuntut lebih banyak konsentrasi dan
seleksi, pemusatan perhatian dan pemilihan butir-butir dari ujaran sang
pembicara, karena sang penyimak akan mengajukan sebanyak
pertanyaan.”13 Artinya dalam menyimak introgatif ini, penyimak dalam
melakukan kegiatan menyimak, memiliki sasaran untuk memilih butir-
butir yang dapat dijadikan bahan pertanyaan kepada si pembicara. Oleh
karena itu, kegiatan menyimak seperti ini menuntut konsentrasi penuh.
Maksudnya, agar jangan sampai bahan yang menjadi pertanyaan dari
penyimak tersebut sebenarnya telah dibahas pada saat pembicara
menyampaikan materi pembicaraannya.

B. Cerita Pendek
a. Pengertian Cerita Pendek
“Cerita pendek adalah karakter yang dijabarkan lewat rentetan kejadian
daripada kejadian-kejadian itu sendiri satu persatu, Apa yang terjadi di
dalamnya lazim merupakan suatu pengalaman atau penjelajahan. Dan reaksi
mental itulah yang pada hakekatnya disebut cerpen.”14 Sedangkan menurut
Burhan Nurgiyantoro “cerpen adalah sebuah cerita selesai dibaca dengan
sekali duduk.”15
Sebuah cerpen pada dasarnya menuntut adanya perwatakan jelas pada
tokoh cerita. Sang tokoh merupakan ide sentral dari cerita; cerita bermula dari
sang tokoh dan berakhir pula pada “nasib” yang menimpa sang tokoh itu. Unsur

12
. Tarigan, Menyimak……………………………. hlm. 47
13
Ibid. hlm. 48
14
Atar Semi, Atonomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), hlm. 34
15
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengajian Fiksi, (Yogyakarta: UGM, 2005), hlm. 10
13

perwatakan lebih dominan daripada unsur cerita sendiri. Membaca sebuah cerpen
berarti kita berusaha memahami manusia bukan sekedar ingin mengetahui
bagaimana jalan ceritanya. Beda dengan sebuah novel di mana kedudukan
perwatakan dan jalan cerita berada dalam satu keseimbangan, ibarat dua sisi dari
satu mata uang.
“Soal panjang pendek ukuran fisiknya tidak menjadi ukuran yang mutlak;
tidak ditentukan bahwa cerpen harus sekian halaman atau sekian kata,
walaupun ia punya kecenderungan untuk berukuran pendek dan pekat.
Karena singkatannya jelas tidak memberi kesempatan bagi cerpen itu
menjelaskan dan mencantumkan segalanya; kepadanya dituntut
menyampaikan sesuatu yang tidak kecil kendatipun menggunakan
sejumlah kecil bahasa. Dengan begitu cerpen menyuguhkan kebenaran
yang diciptakan, dipadatkan, digayakan, dan diperkokoh oleh kemampuan
imajinasi pengarangnya.”16

Di Indonesia sendiri cerpen lazim ditemui dikisaran 1.500 – 2.100 kata (6-8
halaman kwarto, spasi ganda), jumlah kata ini menjadi persyaratan standar sebuah
naskah cerpen yang dimuat surat kabar hari minggu. Jumlah itu dianggap cukup
memenuhi definisi klasik dari cerpen; Cerita pendek harus dapat dibaca dalam
waktu sekali duduk (Edgar Allan Poe, 1846). Boleh jadi definisi ini erat kaitannya
dengan kebiasaan membaca Koran di WC.
b. Unsur-unsur Cerpen
1. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik menurut Nurgiantoro adalah unsur-unsur yang
membangun karya sastra itu sendiri yang menyebabkan karya sastra itu
hadir. Unsur intrinsik terdiri dari tema, alur/plot, penokohan, latar, gaya,
suasana, sudut pandang dan amanat.17
Untuk lebih jelasnya, unsur intrinsik akan dipaparkan lebih lanjut
di bawah ini.
a. Tema
Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M. dalam buku Apresiasi
Kesusastraan menyatakan bahwa tema adalah ide sebuah cerita. Pengarang

16
Nurgiyantoro, Teori Pengajian Fiksi………………………… hlm. 34
17
Burhan. Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, (Yogyakarta: BPFE, 1995),
hlm. 23
14

dalam menulis ceritanya bukan sekedar mau bercerita, tetapi mau mengatakan
sesuatu kepada pembaca. Sesuatu yang mau dikatakan itu bisa suatu masalah
kehidupan, pandangan hidupnya tentang kehidupan ini, atau komentar
terhadap kehidupan ini. Kejadian dan tokoh cerita, semuanya didasari oleh ide
pengarang tersebut. Sebuah cerita novel harus mengatakan sesuatu, yaitu
pendapat pengarang tentang hidup ini, sehingga orang lain dapat mengerti
hidup ini lebih baik.
Tema adalah gagasan pertama atau pikiran pokok. Tema suatu karya
sastra imajinatif merupakan pikiran yang akan ditemui oleh setiap pembaca
yang cermat sebagai akibat dari membaca karya sastra tersebut. Tema biasanya
merupakan komentar mengenai kehidupan.18
Tema pada sebuah cerita baru dapat diketahui setelah pembaca
mengetahui isi keseluruhan cerita. Pembaca harus mampu menafsirkan terlebih
dahulu unsur-unsur intrinsik lainnya, karena tidaklah mudah menemukan tema
suatu cerita.
Tema biasanya tidak dicantumkan secara eksplisit oleh pengarang.
Sumardjo dan Saini K.M, menyatakan bahwa di dalam cerpen yang berhasil,
tema justru tersamar dalam sebuah elemen. Pengarang memakai dialog para
tokohnya, jalan pikirannya, perasaannya, kejadian, latar cerita untuk
mempertegas atau menyamarkan isi temanya. Pengarang biasanya menyatakan
tema secara sembunyi-sembunyi dalam suatu potongan dialog tokohnya, atau
dalam suatu adegan cerita.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide cerita
yang merupakan dasar pengembangan sebuah cerita dan menjiwai seluruh
bagian cerita itu.

b. Alur/Plot
Pada setiap peristiwa yang terjadi selalu memiliki permulaan,
pertengahan, dan kemudian sampailah pada sebuah akhir peristiwa, begitu pula
dengan cerita fiksi dan novel. Dalam sebuah cerita, peristiwa yang terjadi itu

18
Henry Guntur Tarigan, Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, (Bandung:
Angkasa, 1994), hlm. 160
15

disebut sebagai alur atau plot. Alur atau plot biasanya diidentikkan dengan
jalan cerita, padahal alur tidak sama dengan jalan cerita. Nurgiantoro
menyamakan plot dengan jalan cerita atau bahkan mendefinisikan plot sebagai
jalan cerita sebenarnya adalah kurang tepat. Plot memang mengandung unsur
jalan cerita, namun ia lebih dari jalan cerita itu sendiri.19
Banyak ahli bahasa yang mengemukakan pengertian alur. Panuti
Sudjiman dalam Kamus Istilah Sastra menyatakan bahwa alur adalah
rangkaian peristiwa yang direka dan dijalani dengan seksama, yang
menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan penyelesaian.
Pautannya dapat diwujudkan dengan hubungan kausal atau sebab akibat.
Nurgiantoro menyatakan bahwa alur/plot merupakan cerminan atau
bahkan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh dalaam bertindak , berpikir
dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan. Namun, tidak
dengan sendirinya semua kejadian yang dialami manusia dapat disebut plot
jika bersifat khas, mengandung unsur konflik, saling berkaitan dan yang
terpenting adalah menarik untuk diceritakan dan bersifat dramatik. 20
Inti alur adalah konflik, namun sebuah konflik dalam cerita tidak
dipaparkan begitu saja, plot itu harus ada dasarnya. Maka dari itu, plot/alur
sering dikupas menjadi elemen-elemen berikut.
a) Pengenalan.
b) Timbulnya konflik.
c) Konflik memuncak.
d) Klimaks.
e) Pemecahan masalah.
Lebih lanjut, Sumardjo dan Saini menjelaskan bahwa dalam sebuah
cerita, konflik digambarkan sebagai pertarungan antara protagonis dan
antagonis. Protagonis adalah pelaku utama cerita, sedangkan antagonis adalah
tokoh lawan protagonis. Tokoh-tokoh tersebut bertemu dan terjadilah
perbenturan yang membangun cerita.

19
Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, …………………. hlm. 111
20
Ibid. hlm. 114
16

Berdasarkan kriteria urutan waktu, plot/alur dibagi menjadi 2 bagian,


yaitu plot lurus dan plot sorot balik. Sebuah novel dikatakan memiliki plot
lurus jika peristiwa-peristiwa yang diceritakan bersifat kronologis, peristiwa
pertama diikuti oleh peristiwa berikutnya. Situasi dimulai dari tahap awal,
tengah, sampai tahap akhir. Sedangkan, novel dikatakan memiliki plot sorot
balik (flashback), jika urutan kejadian ceritanya tidak bersifat kronologis,
cerita tidak dimulai dari awal, melainkan dari tahap tengah, atau mungkin dari
tahap akhir, baru kemudian ke awal cerita.
Berdasarkan padat atau tidaknya cerita, plot dibagi menjadi 2, yaitu plot
rapat dan plot longgar Sebuah cerita dikatakan memiliki plot rapat jika
hubungan antara peristiwa dijalani secara erat, dan pembaca seolah-olah selalu
dipaksa untuk terus- menerus mengikutinya. Sedangkan, cerpen dikatakan
memiliki plot longgar jika hubungan antara peristiwa tidak terlalu erat, artinya
peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain diselipi dengan peristiwa
tambahan. 21

c. Penokohan
Setiap novel tentu memiliki tokoh yang sengaja diciptakan untuk
mengusung sebuah cerita. Penciptaan tokoh dengan sengaja diciptakan untuk
mengusung sebuah cerita. Penciptaan tokoh dengan segala perwatakan dan
berbagai jati dirinya disebut sebagai penokohan.
Tokoh cerita menurut Abrams (dalam Nurgiantoro, 1995) adalah orang
yang ditampilkan dalam suatu karya sastra naratif, atau drama yang oleh
pembacanya ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu
seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam
tindakan.22
Istilah penokohan oleh Sudjiman diartikan sebagai penciptaan cerita di
dalam karya sastra. Tokoh tersebut diciptakan oleh pengarang secara

21
Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, ……………………. hlm. 153—159
22
Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, ……………….…. .. hlm. 165
17

meyakinkan sehingga pembaca merasa seolah-olah berhadapan dengan


manusia sebenarnya.
Tarigan mengungkapkan bahwa yang dimaksud tokoh atau karakterisasi
adalah proses yang dipergunakan oleh seorang pengarang untuk menciptakan
tokoh-tokoh fiksinya. Sedangkan untuk melukiskan tokoh dalam cerita bisa
dilakukan dengan cara sebagai berikut.
1) Melukiskan bentuk lahir dari pelakon.
2) Melukiskan jalan pikiran pelakon atau apa yang terlintas dalam pikirannya.
3) Melukiskan bagaimana reaksi pelakon itu terhadap kejadian-kejadian.
4) Pengarang langsung menganalisis watak pelakon.
5) Pengarang melukiskan keadaan sekitar pelakon, misalnya dengan
melukiskan keadaan kamar pelakon (biasanya keadaan kamar seseorang
mencerminkan wataknya).
6) Pengarang melukiskan bagaimana pandangan-pandangan pelakon lain
dalam suatu cerita terhadap pelakon utama itu.
7) Mempergunakan pelakon-pelakon lain yang memperbincangkan keadaan
pelakon utama.23
Kualitas sebuah cerita atau novel banyak ditentukan oleh kepandaian
pengarang dalam menghidupkan watak para tokohnya. Jika watak tokohnya
lemah, maka menjadi lemahlah keseluruhan cerita. Oleh karena itu, watak atau
karakter tokoh di dalam sebuah novel harus digambarkan oleh pengarang
secara tersirat, sehingga dapat ditangkap oleh pembaca.
Jadi, dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa penokohan
adalah seseorang yang berperan dalam sebuah cerita dan mengalami peristiwa-
peristiwa yang terdapat dalam cerita itu, dengan memiliki watak atau karakter
sendiri, terutama dalam menghadapi suatu masalah atau kejadian yang
dialaminya.

23
Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1985), hlm.
141
18

d. Latar
Nurgiantoro, dengan mengutip pendapat Abrams, mendefinisikan ‘latar
sebagai landasan tumpu menyarankan pada pengertian tempat, hubungan
waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan’.24
Sumardjo dan Saini K.M. mengemukakan bahwa latar dalam sebuah novel
bukan hanya menunjukan tempat dan waktu terjadinya suatu peristiwa,
melainkan juga hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada macam
debunya, pemikiran rakyatnya, kegiatan mereka, gaya hidup mereka dan
sebagainya.
Lebih lanjut Sumardjo dan Saini menjelaskan bahwa dalam sebuah cerita
yang baik, latar harus benar-benar mutlak menggarap tema dan karakter cerita,
sehingga dari latar wilayah tertentu akan menghasilkan perwatakan tokoh
tertentu pula. Andaikata sebuah novel latarnya dapat diganti dengan tempat
mana saja tanpa mengubah atau mempengaruhi watak tokoh-tokoh dan tema
novelnya, maka latar yang demikian kurang integral.
Kedudukan latar dalam novel sangat penting karena dapat memberikan
kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-
olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.25 Pembaca merasa dipermudah
mengoperasikan daya imajinasinya, di samping memungkinkan berperan
secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar. Pembaca pun
dapat merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan dan aktualisasi latar yang
diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah menemukan
dalam cerita itu sesuatu yang menjadi bagian dirinya. Hal ini akan terjadi jika
latar mampu mengangkat suasana setempat, warna lokal, lengkap dengan
perwatakannya ke dalam novel.

24
Nurgiantoro, Burhan. Penilaian dalam Penilaian Bahasa…………………… hlm. 216
25
Ibid. hlm. 217
19

e. Sudut Pandang /Point of view


Sudut pandang yaitu cara pandang pengarang menempatkan dirinya
dalam cerita. Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan siapa-siapa saja
yang menceritakan, atau dari posisi mana peristiwa dilihat.26
Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995) menyatakan bahwa sudut pandang
bersarang pada cara sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara
atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sasaran untuk
menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk
cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dengan demikian sudut
pandang pada hakikatnya merupakan sebuah strategi atau teknik yang sengaja
dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan ceritanya. Segala sesuatu
yang dikemukakan dalam karya fiksi memang milik pengarang, pandangan
hidup dan tafsirnya terhadap kehidupan. Namun, kesemuanya itu dalam karya
fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh atau kacamata tokoh tersebut.
Sudut pandang pada dasarnya merupakan visi pengarang, artinya sudut
pandang yang diambil pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita. Dalam
hal ini, harus dibedakan dengan pandangan pengarang sebagai pribadi, sebab
sebuah karya sebenarnya merupakan pandangan pengarang terhadap
kehidupannya. Suara pribadi pengarang jelas akan masuk ke dalam karyanya
dan ini lazim disebut gaya pengarang. Sedangkan sudut pandang menyangkut
teknis bercerita, yaitu soal bagaimana pandangan pribadi pengarang akan bisa
diungkapkan sebaik-baiknya.
Hal senada diungkapkan oleh Booth (dalam Nurgiyantoro, 1995) yang
mengatakan bahwa sudut pandang bagaimanapun merupakan sesuatu yang
menyarankan pada masalah teknis, sarana untuk menyampaikan maksud yang
lebih besar daripada sudut pandang itu sendiri. Sudut pandang merupakan
teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan
makna karya artistiknya untuk dapat sampai dan berhubungan dengan
pembaca. Dengan teknik yang dipilihnya itu, diharapkan pembaca dapat
menerima dan menghayati gagasan pengarang.

26
Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, ………………………… hlm. 246
20

f. Amanat
Dalam membuat cerita, setiap pengarang pasti ingin menyampaikan
amanat kepada pembacanya. Seperti halnya tema, amanat biasanya
disampaikan pengarang secara implisit (tersirat). Maka dari itulah pembaca
harus mampu menemukan amanat dari karya sastra yang dibacanya.
Panuti Sudjiman mengatakan bahwa amanat yang terdapat dalam sebuah
karya sastra bisa secara implisit maupun eksplisit. Dikatakan implisit jika jalan
keluar atau jalan moral itu disiratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang
cerita berakhir. Eksplisit jika pengarang menyampaikan seruan, saran,
peringatan, nasihat, anjuran, dan larangan yang berkenaan dengan gagasan
yang mendasari cerita itu yang disampaikan pada bagian tengah atau akhir
cerita. Amanat biasanya berupa ajaran moral yang berhubungan dengan sifat-
sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia.
G. Gaya/Style
Setiap pengarang pasti memiliki ciri khas tersendiri dalam
mengungkapkan ceritanya dan tergambar pada hasil karyanya. Artinya, cara
bagaimana seorang pengarang memilih tema, persoalan dan menceritakannya
dalam sebuah karya sastra, tentunya setiap pengarang memiliki gaya bercerita
yang berbeda dengan pengarang lainnya. Gaya tersebut biasanya dipengaruhi
oleh latar belakang pengarang itu sendiri, misalnya latar belakang pendidikan,
latar belakang profesi, atau latar belakang lingkungan tempat ia tinggal. Gaya
dalam sebuah karya sastra juga biasanya ada hubungannya dengan penggunaan
bahasa. Hal ini ditegaskan oleh pendapat Aminuddin (dalam Hendrayati, 1990)
bahwa gaya mengandung pengertian cara seseorang pengarang menyampaikan
gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis,
serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya
intelektual dan emosi pembaca. Penggunaan media bahasa meliputi
penggunaan kalimat, penggunaan kata, penggunaan bentuk bahasa figuratif ,
dialog dan sebagainya.
Panuti Sudjiman memaparkan beberapa pengertian gaya yang
diungkapkan dalam Kamus Istilah Sastra sebagai berikut:
21

1. Cara menyampaikan pikiran dan perasaan dengan kata-kata.


2. Cara khas dalam penyusunan dan penyampaian pikiran dan perasaan
dalam bentuk tulisan dan lisan.
3. Ciri-ciri suatu kelompok karya sastra berdasarkan bentuk perbuatannya
(ekspresinya) dan bukan kandungan isinya. Gaya terutama ditentukan oleh
diksi dan struktur kalimat.
Kesimpulannya, gaya adalah ciri khas setiap pengarang dalam
menyajikan karyanya, di mana antara pengarang yang satu dengan pengarang
yang lainnya tidak memiliki gaya yang sama persis. Mempelajari gaya
bercerita pengarang akan membantu kita untuk lebih memahami pribadi yang
kreatif daripada membaca biografinya yang ditulis oleh orang lain. Yang pasti,
gaya karangan yang diciptakan mencerminkan jiwa pengarangnya.

h. Suasana
Dalam suatu peristiwa tertentu, pasti ada suasana yang mewarnainya.
Misalnya, sedih, gembira, mengharukan, memancing emosi kemarahan, dan
ekspresi jiwa lainnya. Dengan gambaran suasana yang naratif dan emotif
inilah keasikan dari pembaca akan timbul. Demikian halnya dengan unsur-
unsur intrinsik lainnya, unsur suasana akan menjadi lebih baik apabila
didukung oleh unsur-unsur intrinsik lainnya seperti tokoh, latar, tema, dan
sebagainya.
Sudjiman dalam Kamus Istilah Sastra, mengemukakan bahwa “Suasana
adalah suasana hati yang ditimbulkan oleh latar dan cakapan.” Sedangkan,
Harianto G.P. mengemukakan bahwa “Suasana adalah hawa (udara atau
kesadaran sesuatu) di suatu lingkungan, keadaan suatu peristiwa, atau keadaan
perasaan yang ada dalam suatu peristiwa.”
Sebenarnya untuk menjelaskan suasana memang agak sulit, walaupun bisa
dilihat dan dirasakan. Namun yang jelas, suasana merupakan warna dasar
cerita itu atau merupakan pesona sebuah cerita.
22

C. Media

1. Pengertian Media Pembelajaran

“Media berasal dari bahasa latin medium yang secara harfiah berarti
perantara atau pengantar. Media adalah peratara atau pengantar pesan dari
pengirim ke penerima pesan.”27 Adapun pendapat lain Pada tahun 1982 “Heinich
dan kawan-kawan mengemukakan istilah medium sebagai perantara. Jadi televisi,
film, foto, radio, rekaman audio, gambar yang diproyeksikan, bahan-bahan
28
cetakan adalah media komunikasi.” Apabila media itu membawa pesan-pesan
atau informasi yang bertujuan intruksional atau mengandung maksud-maksud
pengajaran maka media itu disebut media pembelajaran. ”Association for
Education and Communication technologi (AECT) di Amerika membatasi media
sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan
pesan atau informasi. Sedangkan National Education Association (NEA)
mengatakan bahwa adalah bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak maupun
audiovisual serta peralatannya.”29

Media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk


menyampaikan isi materi pengajaran, yang terdiri dari antara lain buku, tape
recorder, kaset, video, kamera, video recorder, film, slide, foto, gambar grafik,
televisi dan komputer. “Sedangkan menurut Elly(1977) media digolongkan
menjadi enam kategori umum yaitu: 1).Gambar diam,yaitu cetakan fotografis,
sketsa, kartun, tabel, grafik dan peta. 2) Audio yaitu suara guru, radio, tape,
recorder dan disk,3). Gambar gerak yaitu film, 4). Televisi, videotape, 5). Benda
nyata, 6). Komputer.”30

Dengan demikian media pembelajaran didefinisikan sebagai segala sesuatu


yang dapat digunakan untuk menyampaikan informasi dari pengirim informasi

27
Arief Sudirman, dkk, Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan dan
Pemanfaatannya. (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2003), Cet. ke-7, hlm. 6
28
Azhar Arsyad, Media Pendidikan, (Jakarta: Gramedia, 2009),Cet. ke-12, hlm. 6
29
Loc. Cit. hlm. 6
30
M. Zaim, The Effect of Using Instruksional Media Toward the Learning Achievement
of English”, dalam jurnal guru, no. 2 vol. 2 Desember, 2006, hlm. 78
23

(guru) ke penerima informasi (siswa) sehingga proses belajar terjadi. Media


pembelajaran adalah suatu cara, alat, atau proses yang digunakan untuk
menyampaikan pesan dari sumber pesan kepada penerima pesan yang berlangsung
dalam proses pendidikan. Penggunaan media dalam proses belajar mengajar dapat
membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan
rangsangan kegiatan belajar, bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis
terhadap siswa. Selain itu, pembelajaran bermedia dapat membantu siswa
meningkatkan pemahaman, menyajikan data dengan menarik dan terpercaya,
memudahkan penafsiran serta mendapatkan informasi.

Dengan berkembangnya sikap positif guru dan kepala sekolah dalam


pemanfaatan media pembelajaran sebagai salah satu sumber belajar. “Kegiatan
pembelajaran lebih variatif dan menyenangkan bagi para siswa. Pemanfaatan
media pembelajaran yang dikelola oleh guru secara terencana dikelas dapat
membantu mempermudah para siswa memahami materi pelajaran dan pada
akhirnya juga turut meningkatkan prestasi belajar siswa. Dalam keadaan yang
demikian, dapat dikatakan bahwa para guru dapat memperlakukan media
pembelajaran sebagai mitra dalam mengelola kegiatan belajar mengajar di
kelas.”31

Hamalik (1986) yang mengemukakan bahwa “media pembelajaran dalam


proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru,
membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa
pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa.”32 Oleh karena itu fungsi media
pembelajaran ialah dapat meningkatkan motivasi siswa dalam belajar,
memudahkan siswa dalam mengingat informasi mengenai materi pelajaran, serta
memudahkan siswa memahami pelajaran.

31
Sudirman Siahaan, Media Pembelajaran Pemahaman dan Pemanfaatannya dalam
Kegiatan Pembelajaran; dalam jurnal TEKNODIK, no. 20 Tahun ke-11, April 2007, hlm. 96–97.
32
Azhar Arsyad, Media Pendidikan, (Jakarta: Gramedia,2004), hlm. 15.
24

2. Manfaat Media Pembelajaran


Berbagai manfaat media telah diungkapkan oleh beberapa ahli. Meskipun
telah disadari bahwa banyak keuntungan penggunaan media pembelaaran, namun
penerimaan serta pengintegrasiannya kedalam program-program pembelajaran
berjalan lambat. “Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran memiliki
manfaat antara lain:
1) Pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat
menimbulkan motivasi belajar.
2) Bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga lebih difahami oleh
siswa.
3) Metode mengajar akan lebih bervariasi siswa lebih banyak melakukan
kegiatan belajar, sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru tapi juga
aktivitas lain seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan, dan
lain-lain.”33
Dengan demikian, manfaat penggunaan media pembelajaran diantaranya
adalah dapat menjadikan pengajaran lebih menarik, memperjelas bahan
pengajaran, menjadikan pengajaran lebih bervariatif dan menjadikan siswa lebih
berperan aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Penggunaan media secara kreatif
akan memperbesar kemungkinan siswa untuk belajar lebih banyak, mencamkan
apa yang dipelajarinya lebih baik dan meningkatkan keterampilan mereka sesuai
dengan apa yang menjadi tuntunan pembelajaran yang telah ditetapkan.

3. Jenis Media

1. Media Tape Recorder


“Media berasal dari bahasa latin “medium” yang secara harfiah berarti
perantara atau pengantar. Media adalah perantara atau pengantar pesan dari
pengirim ke penerima pesan.”34 Sedangkan menurut Ma’mur Saadie “media
adalah segala sesuatu yang terletak di tengah dalam letak jenjang atau alat apa saja

33
Nana Sudjana dan Ahmad Rivai, Media Pengajaran, (Bandung: Sinar Baru Algensindo),
hlm 2.
34
Loc. Cit. hlm. 6
25

yang digunakan sebagai perantara atau penghubung 2 hal.”35 Jadi media adalah
bahan, alat atau peristiwa yang dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan
siswa untuk menerima pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dirancang dengan
baik dalam batas-batas tertentu terdapat merangsang timbulnya dialog internal
dalam diri siswa dengan media atau antar siswa dengan guru sebagai sumber
belajar
“Alat perakam pita magnetic (magnetic tape recording) atau lazimnya
orang menyebut tape recorder adalah salah satu media pendidikan yang tak dapat
diabaikan untuk menyampaikan informasi, karena mudah menggunakan. Ada dua
macam rekaman dalam alat perekam pita magnetik yaitu sistem full track
recording dan double track recorder.”36 Jadi tape recorder suatu perlengkapan
elektronik yang diciptakan berkat kemajuan dalam bidang teknologi modern.
Melalui alat ini orang dapat mendengar siaran tentang berbagai peristiwa,
kejadian-kejadian yang penting dan baru, masalah dalam kehidupan dan acara-
acara rekreasi yang menyenangkan, semuanya dipancarkan dari stasiun tape
recorder tertentu.
1. “Kelebihan media tape recorder
a. Tidak begitu mahal untuk kegiatan pembelajaran.
b. Tape recorder cukup hemat, sebab suatu rekaman dapat dihapus dan
diganti dengan materi yang baru.
c. Dapat digunakan untuk belajar kelompok maupun individual.
d. Siswa yang tuna netra maupun yang tuna aksara dapat belajar melalui
madia tape recorder.
e. Anak yang masih kecil atau untuk anak didik yang belum dapat
membaca, media tape recorder dapat membentuk pengalaman belajar
bahasa permulaan.
2. Kelemahan media audio
a. Melalui tape recorder dapat mendengarkan urutan penyajian yang tetap,
bahkan apabila diputar kembali, akan terdengar hal-hal yang sama. Hal
ini kadang-kadang membosankan.
b. Tanpa ada penyajian yang bertatap muka langsung dengan siswa,
beberapa di antara siswa kurang memperhatikan penyajian itu.
c. Pengembang program tape recorder yang baik, akan banyak menyita
waktu.

35
Ma’mur Saadie, Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia, (Jakarta: UT, 2008), hlm. 5.3
36
Sudjana, Media Pengajaran.......................................... hlm. 7
26

d. Penentuan kecepatan cara penyampaian informasi dapat menimbulkan


kesulitan apabila pendengar memiliki latar belakang serta kemampuan
mendengar yang berbeda.
e. Tidak dapat diperoleh balikan secara langsung karena hanya ada satu
jalur penyampaian informasi.”37

37
Saadie, Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia…………………….. hlm. 5. 34–5.35
29

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 1 Pakuhaji Tangerang. Pada
Bulan November di kelas X Tahun Ajaran 2010/2011.

B. Jenis dan Pendekatan Penelitian


Penelitian yang berjudul “Efektivitas Penggunaan Tape Recorder dalam
Pembelajaran Menyimak Cerita Pendek Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Pakuhaji
Tangerang Tahun Pembelajaran 2010/2011” ini merupakan penelitian lapangan
seperti“pendapat Bogdan dan Biklen (1982) tentang makna catatan lapangan di at
as, ia memahaminya sebagai hasil observasi dan wawancara yang bermakna lebih
kolektif, karena terdiri dari catatan lapangan yang dibuat oleh peneliti sendiri, dan
ditambahkan dengan hasil karya orang lain yang berupa transkrip wawancara
(transkip wawancara ini mungkin saja merupakan hasil karya orang lain, karena si
peneliti sendiri menyerahkan hasil rekamannya kepada seorang ahli yang telah
terbiasa menulis transkripnya), dokumen resmi yang, statistic resmi, gambar, foto,
rekaman, video, ataupun catatan resmi lainnya yang dikeluarkan pihak yang
terkait dengan situasi fokus penelitian.”1

Adapun pendekatan penelitian yang penulis lakukan adalah menggunakan


pendekatan kuantitatif. ” Berbeda dengan penelitian kualitatif berupaya
membangun pemahaman (verstehen) dan penjelasan atas perilaku manusia
sebagai mahkluk sosial (Muhadjir, 2000), penelitian kuantitatif yang bertujuan
memperoleh teori-teori atau hukum-hukum hubungan kausalitas yang general

1
http://fkip.uki.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=77:paradigma-
penelitian&catid=41:artikel&Itemid=55, Moleong, Metodologi Penelitian Pendidikan
Kualitatif.(Selasa, 28, 11, 2010)

29
30

yang memungkinkan peneliti melakukan prediksi dan pengendalian seperti yang


dilakukan pada penelitian ilmu alam,.”2

C. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi eksperimen
(eksperimen semu). “Quasi eksperimen adalah suatu eksperimen semu dimana
penelitian menggunakan rancangan penelitian yang tidak dapat mengontrol secara
penuh terhadap ciri-ciri dan karakteristik sampel yang diteliti, tetapi cenderung
menggunakan rancangan yang memungkinkan pada pengontrolan yang sesuai
dengan kondisi yang ada (situasional).”3

D. Desain Penelitian
“Pada penelitian ini desain atau rancangan penelitian yang digunakan adalah
Control Group Pretest – Postest dimana di dalam desain ini observasi dilakukan 2
kali yaitu sebelum eksperimen dan sesudah eksperimen. Observasi yang dilakukan
sebelum eksperimen disebut pretest, dan observasi sesudah eksperimen disebut
postest yang dibandingkan dengan kelompok yang lain yang disebut kelompok
kontrol yang tidak mendapat perlakuan. Dalam hal ini dilihat perbedaan
pencapaian antara kelompok eksperimen dengan pencapaian kelompok kontrol.”4
Adapun desain penelitian ini dapat dinyatakan sebagai berikut:

Tabel 3.1 Desain Penelitian


Kelompok Tes Awal Variabel Bebas Tes akhir
(Pretest) (Postest)
E T1 XE T2
K T1 XK T2

2
http://penelitianstudikasus.blogspot.com/2009/03/pengertian-penelitian-kualitatif.html. Moleong,
Metodologi Penelitian Pendidikan Kualitatif.(Selasa, 28, 11, 2010)
3
Nana Sudjana dan Ibrohim, Penelitian dan Penilaian Pendidikan, ( Bandung : Sinar baru
Algensindo), 2007, hlm. 43-44
4
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta : Rineka Cipta)
2002, hlm. 79-80
31

Keterangan :
E : Kelas Eksperimen
K : Kelas Kontrol
XE : Perlakuan yang diberikan pada kelompok eksperimen yaitu dengan
menggunakan media tape recorder
XK : Perlakuan yang diberikan pada kelompok kontrol yaitu dengan tidak
menggunakan media tape recorder
T1 : Tes awal (pretest) yang diberikan sebelum proses belajar mengajar di
mulai, diberikan kepada kedua kelompok (eksperimen dan kontrol)
T2 : Tes akhir (postest) yang diberikan sesudah proses belajar mengajar di
mulai, diberikan kepada kedua kelompok (eksperimen dan kontrol)

E. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel


“Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Sedangkan sampel adalah
sebagian/wakil populasi yang diteliti yang dianggap mewakili populasi dan
diambil dengan menggunakan teknik sampling.”5 Dalam hal ini populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA Negeri 1 Pakuhaji Tangerang.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
“Purposive Sampling, yaitu pengambilan sampel berdasarkan tujuan penelitian.”6
Yaitu melihat pengaruh penggunaan media Tape Recorder terhadap hasil belajar
siswa di SMA Negeri 1 Pakuhaji kelas X.1 sebagai kelas eksperimen dan kelas
X.2 sebagai kelas kontrol, kelas ini dipilih sebagai sampel penelitian karena kelas
ini dinilai lebih baik dan kondusif di antara kelas-kelas lainnya.

F. Prosedur Penelitian
Adapun prosedur penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu tahap
persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap akhir penelitian.
1. Tahap Persiapan

5
Ibid. hlm. 108-109
6
Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif dan R dan D
(Bandung : ALFABETA, 2005), hlm. 120
32

Langkah awal pada tahap persiapan sebelum melaksanakan penelitian


adalah pengurusan surat izin penelitian dari Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Langkah selanjutnya adalah survei tempat untuk uji coba
instrumen dan penelitian. Setelah melaksanakan survei tempat, langkah
selanjutnya adalah membuat instrumen penelitian berdasarkan kisi-kisi soal
yang telah dibuat dengan bimbingan dosen pembimbing. Setelah penelitian
selesai dibuat dilanjutkan dengan penyusunan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran.
Setelah instrumen penelitian dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
selesai dibuat, langkah selanjutnya adalah melakukan koordinasi dengan pihak
sekolah dalam hal ini guru bidang studi yang bersangkutan untuk
melaksanakan uji coba instrumen. Setelah uji coba instrumen selesai
dilaksanakan, dilakukan analisis data hasil uji coba instrumen untuk
menentukan soal-soal yang akan digunakan dalam penelitian (pretest dan
postest). Analisis data hasil uji coba instrumen merupakan langkah terakhir
pada tahap persiapan sebelum melaksanakan penelitian.
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Langkah awal tahap pelaksanaan penelitian adalah menentukan dua
kelompok sampel yaitu kelompok eksperimen dan kelompok control.
Selanjutnya diadakan tes awal (pretest) bagi kedua kelompok penelitian
dengan menggunakan soal-soal hasil analisis data uji coba instrumen
penelitian. Setelah tes awal (pretest) dilaksanakan pada kedua kelompok
penelitian, kegiatan belajar mengajar dapat dilaksanakan kelompok
eksperimen diberi perlakuan berupa penggunaan media tape recorder yang
berisi materi Bahasa Indonesia dalam pembahasan unsur-unsur intrinsik.
Sedangkan kelompok kontrol dengan perlakuan berupa pembelajaran dengan
menggunakan metode konvensional di kelas. Setelah perlakuan tersebut
diadakan tes akhir (postes) untuk kedua kelompok penelitian dengan
menggunakan soal-soal yang sama ketika dilakukan tes awal (pretest).
33

3. Tahap Akhir Penelitian


Setelah kedua kelompok penelitian melaksanakan tes akhir (postest),
langkah selanjutnya adalah melakukan analisis data hasil tes awal (pretest)
dan tes akhir (posttest). Kedua kelompok penelitian dengan menggunakan
analisis uji statistik dengan memanfaatkan hasil analisis statistik yang telah
dilakukan. Penarikan kesimpulan merupakan langkah paling akhir dalam
prosedur penelitian.

G. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian diartikan sebagai alat yang dapat menunjang sejumlah
data yang diasumsikan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menguji
hipotesis penelitian. Sesuai dengan jenis data yang dibutuhkan, penelitian ini
menggunakan dua instrumen penelitian, yaitu:
1. Tes Hasil Belajar
Tes hasil belajar, yaitu tes yang digunakan untuk mengukur sejauh
mana siswa menguasai materi yang diberikan. Tes yang diberikan merupakan
tes tertulis berbentuk pilihan ganda dengan empat pilihan (option) pada pokok
bahasan unsur-unsur intrinsik yang meliputi jenjang pengetahuan (C1),
pemahaman (C2), aplikasi (C3) dan analisis (C4). Sebelum tes ini diujikan
kepada siswa kelas X, tes ini terlebih dahulu diujicobakan di kelas XI untuk
diketahui validitas dan reliabilitasnya.
2. Angket
“Angket adalah daftar pertanyaan yang diberikan kepada orang lain
yang bersedia memberikan respon (responden) sesuai dengan permintaan
pengguna.”7 Dalam penelitian ini angket digunakan untuk mendapatkan
informasi mengenai pembelajaran Bahasa Indonesia dengan menggunakan
media tape recorder.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam penyusunan instrumen
penelitian ini adalah sebagai berikut :

7
Ridwan, Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-Karyawan dan Penelitian Pamulang, (Bandung:
Alfabeta, 2005), hlm. 71
34

1. Menentukan konsep dan sub konsep berdasarkan kurikulum tingkat satuan


pendidikan untuk tingkat SMA/MAN
2. Membuat kisi-kisi instrumen penelitian
3. Membuat soal berdasarkan kisi-kisi
4. Instrumen yang telah dibuat kemudian dikonsultasikan ke dosen
pembimbing
5. Melaksanakan uji coba instrumen

H. Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel penelitian yaitu pengaruh
pembelajaran bahasa Indonesia dengan menggunakan media tape recorder
sebagai variabel bebas (variabel X) dan hasil belajar siswa sebagai variabel
terikat (variabel Y).

I. Teknik Analisis Data


Setelah melakukan uji coba instrumen, selanjutnya dilakukan penelitian.
Data yang diperoleh melalui instrumen penelitian selanjutnya diolah dan
dianalisis dengan maksud agar hasilnya dapat menjawab pertanyaan penelitian
dan menguji hipotesis. Dalam pengolahan dan penganalisisan data tersebut dalam
statistik. Dalam penggunaan statistik untuk pengolahan data tersebut adalah:
1. Uji Hipotesis
“Hipotesis kognitif diuji dengan menggunakan uji “t” jika hasil uji
normalitas normal. Kemudian diuji dengan rumus.”8
x1  x 2
t 
(dk = n1+ n2-2) 1 1
S 
n1 n 2

n1  1S 1 2  n 2  1S 2


2

S 
n1  n 2  2

8
Sudjana, Metode Statistik , (Bandung: Tarsito, 2006), hlm 239
35

Keterangan:
X1 : rerata skor kelompok eksperimen
X2 : rerata skor kelompok kontrol
n1 : jumlah anggota sampel kelompok eksperimen
n2 : jumlah anggota sampel kelompok kontrol
S12 : varians kelompok eksperimen
S22 : varians kelompok kontrol
S : nilai varians gabungan
Langkah selanjutnya adalah sebagai berikut :
a. Mengajukan hipotesis, yaitu
1) Uji kesamaan dua rata-rata hasil pretes
Ho : X = Y
Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor
pretes kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol
Ha : X ≠ Y
Terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor pretes
kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol
2) Uji kesamaan dua rata-rata hasil postes
Ho : X = Y
Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor
postes kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol
Ha : X ≠ Y
Terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor postes
kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol
b. Menghitung nilai t hitung dengan rumus uji-t
c. Menentukan derajat kebebasan (dk) dengan rumus : dk = n1+ n2-2
d. Menentukan nilai t tabel dengan α = 0.05
e. Menguji hipotesis
Jika : -ttabel < thitung < ttabel maka Ho diterima pada tingkat kepercayaan
0.95
Jika : thitung ≤ -ttabel atau ttabel ≤ thitung maka Ha diterima pada tingkat
kepercayaan 0.95
36
87

BAB IV
HASIL PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data
Peneliti telah melakukan uji coba instrumen pada kelas XI SMA Negeri 1
Pakuhaji Tangerang dengan jumlah sampel penelitian 40 siswa dan 40 soal
instrumen penelitian. Dari 40 soal instrumen penelitian diambil 20 soal instrumen
penelitian berdasarkan analisis butir soal. Instrumen yang telah valid dijadikan
sebagai instrumen dalam penelitian ini. Instrumen digunakan pada saat pretes dan
postest.
Penelitian yang diperoleh meliputi data nilai pretest dann posttest dari 60
siswa yang terdiri dari kelompok eksperimen sebanyak 30 siswa dan kelompok
kontrol sebanyak 30 siswa. Data tersebut dianalisis dan dibahas sebagai upaya
untuk mengetahui hasil belajar siswa pada pokok bahasan unsur-unsur intrinsik
dengan menggunakan media tape recorder. Pengumpulan data hasil penelitian
dilakukan dengan menggunakan alat pengumpul data berupa tes objektif pilihan
ganda yang terdiri dari 20 soal.
Adapun deskripsi data dari hasil pretest dan posttest kelompok kontrol
yakni kelompok siswa yang tidak mendapat perlakuan dan kelompok eksperimen
(kelompok siswa yang diberi perlakuan berupa penggunaan media tape recorder)
adalah sebagai berikut :
1. Deskripsi Data Hasil Pretest Kelompok Kontrol dan Eksperimen
Berdasarkan hasil pengolahan data penelitian mengenai tes awal hasil
belajar Bahasa Indonesia kelompok kontrol dari 30 siswa dijadikan sample
penelitian diperoleh nilai tertinggi 60 dan nilai terendah 25; nilai rata-rata
sebesar 41,4; standar deviasi 8,69; dan varian sebesar 75,68.
Sedangkan deskripsi hasil pretes pada kelompok eksperimen, dapat
dilihat berdasarkan hasil pengolahan data pretes mengenai tes hasil belajar
Bahasa Indonesia, dari 30 siswa dijadikan sample penelitian diperoleh nilai
tertinggi 60 dan nilai terendah 25; nilai rata-rata sebesar 55,73; standar deviasi
10,52; dan varian sebesar 110,6. Untuk lebih jelasnya, deskripsi dari hasil

87
88

belajar pretes kelompok kontrol dan eksperimen dapat dilihat pada tabel dan
histogren di bawah.

Gambar 4.1. Histogram Distribusi Frekuensi Pretest Kelompok Kontrol


dan Eksperimen

Berdasarkan tabel yang terdapat pada lampiran dan grafik histogram di


atas, terlihat bahwa skor pada interval 35-50 merupakan skor paling banyak
diperoleh siswa kelompok kontrol, yaitu sebanyak 26,7%. Skor rata-rata
diperoleh kelompok kontrol yaitu 42. Siswa yang mendapat skor di atas rata-
rata sebanyak 66,6% yaitu siswa pada kelas interval nomor 3, 4, 5 dan 6.
Siswa yang mendapat skor di bawah rata-rata sebanyak 6,7% yaitu siswa pada
kelas interval nomor 1.
a. Data skor pretes siswa kelas kontrol
25 30 35 35 35 35 35 35 35 35
40 40 40 40 40 40 40 45 45 45
45 45 45 50 50 50 50 55 60 60
 Distribusi Frekuensi
a. Menentukan skor besar dan kecil
Skor terbesar = 60
Skor terkecil = 25
89

b. Menentukan Rentangan (R)


R = Skor terbesar – skor terkecil
R = 60 – 25 = 35
c. Menentukan banyaknya kelas (BK)
BK = 1 + 3,3 log n
= 1 + 3,3 log 30
= 1 + 3,3 ( 1,477)
= 1 + 4,87 = 5,87 ≈ 6
d. Menentukan panjang kelas (i)
R 35
I=  = 5,8 dibulatkan menjadi 6
BK 6
Tabel Distribusi Frekuensi
Kelas Nilai Tengah
No f xi2 fxi fxi2
Interval (xi)
1. 25 – 30 2 27,5 756,25 55 1512,5
2. 31 – 36 8 33,5 1122,25 268 8978
3. 37 – 42 7 39,5 1560,25 276,5 10921,75
4. 43 – 48 6 45,5 2070,25 273 12421,75
5. 49 – 54 4 51,5 2652,25 206 10609
6. 55 - 60 3 57,5 3306,25 172,5 9918,75
Jumlah 30 1251 54361,5
e. Menentukan harga mean (X)

X=
 fXi =
1251
= 41,7
n 30
f. Simpangan Baku (standar Deviasi)

n. fXi 2  ( fX )2
S=
n.( n  1)

30 x54361,5  (1251) 2 65844


= = = 75,68 = 8,69
30 x (30  1) 870

 Membuat daftar frekuensi yang diharapkan dengan cara :


90

a. Menentukan batas kelas, yaitu :


24,5 30,5 36,5 42,5 48,5 54,5 60,5

b. Mencari nilai Z-Score untuk batas kelas interval dengan rumus


Bataskelas  X 42,5  41,7
Z= Z4 = = 0,09
S 8,69
24,5  41,7 48,5  41,7
Z1 = = -1,98 Z5 = = 0,78
8,69 8,69
30,5  41,7 54,5  41,7
Z2 = = -1,29 Z6 = = 1,47
8,69 8,69
36,5  41,7 60,5  41,7
Z3 = = - 0,59 Z7 = = 2,16
8,69 8,69
c. Mencari luas 0 – Z dari tabel kurva normal dari 0 – Z, didapat:
0,4761 0,4015 0,2224 0,0359 0,2823 0,4292 0,4846
d. Mencari luas tiap kelas interval:
0,4761 – 0,4015 = 0,0746
0,4015 - 0,2224 = 0,1791
0,2224 - 0,0359 = 0,1865
0,0359 + 0,2823 = 0,3182
0,2823 - 0,4292 = -0,1469
0,4292 – 0,4846 =-0,0554
e. Mencari frekuensi yang diharapkan (fe)
0,0746 x 30 = 2,238
0,1791 x 30 = 5,373
0,1865 x 30 = 5,595
0,3182 x 30 = 9,546
0,1469 x 30 = 4,407
0,0554 x 30 = 2,662
Batas Luas Tiap
No. Z Luas 0 – Z fe f0
Kelas Kelas Interval
1. 34,5 -2,02 0,4783 0,0668 2,238 2
91

2. 41,5 -1,35 0,4115 0,1598 5,373 8


3. 48,5 -0,68 0,2517 0,2437 5,595 7
4. 55,5 -0,02 0,0080 0,2502 9,546 6
5. 62,5 0,65 0,2422 -0,1627 4,407 4
6. 69,5 1,31 0,4049 0,0712 1,662 3
76,5 1,98 0,4767
∑f0=30
f. Mencari chi – kuadrat hitung (x2 hitung)
k
( fo  fe)2
(X2) = 
i 1 fe

(2  2,238) 2 (8  5,373)2 (7  5,595) 2 (6  9,546) 2


X2 = + + + +
2,238 5,373 5,595 9,546

(4  4,407)2 (3  1,662) 2
+
4,407 1,662
= 0,025 + 1,284 + 0,353 + 1,317 + 0,037 + 1,077
= 4,093
Nilai x2 tabel untuk α =0,05 dan derajat kebebasan (dk) = k – 1 = 6 – 1 = 5 pada
tabel chi-kuadrat didapat, x2 tabel = 11,070
Dengan kriteria pengujian sebagai berikut :
 Jika X2 hitung ≥ X2 tabel berarti Distribusi Data tidak normal
 Jika X2 hitung ≤ X2 tabel berarti Distribusi Data normal
Dari perhitungan didapat:
X2 hitung = 4,093 dan X2 tabel = 11,070
Jadi, X2 hitung < X2 tabel, artinya data berdistribusi normal

b. Data skor pretest siswa kelas eksperimen


25 30 30 35 35 35 35 40 40 40
40 40 40 40 40 40 45 45 45 45
45 50 50 50 50 50 50 55 60 60
 Distribusi Frekuensi
a. Menentukan skor besar dan kecil
92

Skor terbesar = 60
Skor terkecil = 25
b. Menentukan Rentangan (R)
R = Skor terbesar – skor terkecil
R = 60 – 25 = 35
c. Menentukan banyaknya kelas (BK)
BK = 1 + 3,3 log n
= 1 + 3,3 log 30
= 1 + 3,3 ( 1,477)
= 1 + 4.87 = 5,87 = 6
d. Menentukan panjang kelas (i)
R 35
I=  = 5.8 dibulatkan menjadi 6
BK 6
Tabel Distribusi Frekuensi
Kelas Nilai Tengah
No f xi2 fxi fxi2
Interval (xi)
1. 25 – 30 3 27,5 756,25 82,5 2268,75
2. 31 – 36 4 33,5 1122,25 134 4489
3. 37 – 42 9 39,5 1560,25 355,5 14042,25
4. 43 – 48 5 45,5 2070,25 227,5 10351,25
5. 49 – 54 6 51,5 2652,25 309 15913,5
6. 55 - 60 3 57,5 3306,25 172,5 9918,75
Jumlah 30 1281 56983,5
e. Menentukan harga mean (X)

X=
 fXi =
1281
= 42,7
n 30
f. Simpangan Baku (standar Deviasi)

n. fXi 2  ( fX )2
S=
n.( n  1)
93

30 x56983.5  (1281)2 68544


= = = 78,78 = 8,87
30 x (30  1) 870

 Membuat daftar frekuensi yang diharapkan dengan cara :


a. Menentukan batas kelas, yaitu :
24,5 30,5 36,5 42,5 48,5 54,5 60,5
b. Mencari nilai Z-Score untuk batas kelas interval dengan rumus
Bataskelas  X 42.5  42.7
Z= Z4 = = -0,02
S 8.87
24.5  42.7 48.5  42.7
Z1 = = -2,05 Z5 = = 0,65
8.87 8.87
30.5  42.7 54.5  42.7
Z2 = = -1,38 Z6 = = 1,33
8.87 8.87
36.5  42.7 60.5  42.7
Z3 = = - 0,69 Z7 = = 2,01
8.87 8.87
c. Mencari luas 0 – Z dari tabel kurva normal dari 0 – Z, didapat:
0,4798 0,4162 0,2549 0,0080 0,2422 0,4082 0,4778
d. Mencari luas tiap kelas interval:
0,4798 - 0,4162 = 0,0636
0,4162 – 0,2549 = 0,1613
0,2549 – 0,0080 = 0,2469
0,0080 + 0,2422 = 0,2502
0,2422 - 0,4082 = 0,166
0,4082 – 0,4778 = 0,0696

e. Mencari frekuensi yang diharapkan (fe)


0,0636 x 30 = 1,908
0,1613 x 30 = 4.839
0,2469 x 30 = 7,407
0,2502 x 30 = 7,506
0,166 x 30 = 4,98
0,0696 x 30 = 2,088
94

Batas Luas Tiap Kelas


No. Z Luas 0 – Z fe f0
Kelas Interval
1. 24,5 -2,05 0,4798 0,0636 1,908 3
2. 30,5 -1,38 0,4162 0,1613 4,839 4
3. 36,5 - 0,69 0,2549 0,2469 7,407 9
4. 42,5 -0,02 0,0080 0,2502 7,506 5
5. 48,5 0,65 0,2422 0,166 4,98 6
6. 54,5 1,33 0,4082 0,0696 2,088 3
60,5 2,01 0,4778
∑f0=30
f. Mencari chi – kuadrat hitung (x2 hitung)
k
( fo  fe)2
(X2) = 
i 1 fe

(3  1.908)2 (4  4.839)2 (9  7.407) 2 (5  7.506)2


X2 = + + + +
1.908 4.839 7.407 7.506
(6  4.98) 2 (3  2.088) 2
+
4.98 2.088
= 0,62 + 0,15 + 0,34 + 0,84 + 0,21 + 0,39
= 2,55
2
Nilai x tabel untuk α =0,05 dan derajat kebebasan (dk) = k – 1 = 6 – 1 = 5 pada
tabel chi-kuadrat didapat, x2 tabel = 11,070
Dengan kriteria pengujian sebagai berikut :
 Jika X2 hitung ≥ X2 tabel berarti Distribusi Data tidak normal
 Jika X2 hitung ≤ X2 tabel berarti Distribusi Data normal
Dari perhitungan didapat:
X2 hitung = 2,55 dan X2 tabel = 11,070
Jadi, X2 hitung < X2 tabel, artinya data berdistribusi normal

2. Deskipsi Data Posttest Kelompok Kontrol dan Eksperimen


Berdasarkan hasil pengolahan data penelitian mengenai tes awal hasil
belajar Bahasa Indonesia kelompok kontrol dari 30 siswa dijadikan sample
95

penelitian diperoleh nilai tinggi 70 dan nilai terendah 30, nilai rata-rata sebesar
51,9; standar deviasi 9,26; dan varian sebesar 858,575.
Sedangkan deskripsi hasi postes pada kelompok eksperimen, dapat
dilihat berdasarkan hasil pengolahan data postes mengenai tes hasil belajar
Bahasa Indonesia, dari 30 siswa dijadikan sample penelitian diperoleh nilai
tertinggi 90 dan nilai terendah 45 nilai rata-rata sebesar 62,6; standar deviasi
11,44; dan varian sebesar 130,89. Untuk lebih jelasnya, deksripsikan hasil
belajar postes kelompok kontrol dan eksperimen dapat dilihat pada tabel dan
histogram di bawah.

Gambar 4.2 Histrogram Distribusi Frekuensi Postest Kelompok Kontrol


dan Eksperimen

Berdasarkan tabel yang terdapat pada lampiran dan grafik di atas, terlihat
bahwa skor pada interval 50-56 merupakan skor paling banyak diperoleh
siswa kelompok kontrol yaitu sebanyak 43%. Skor rata-rata diperoleh
kelompok eksperimen yaitu 52. Siswa yang mendapat skor diatas rata-rata
sebanyak 26,7% yaitu siswa pada kelas interval nomor 5 dan 6. Siswa yang
mendapat skor di bawah rata-rata sebanyak 30,1% yaitu siswa pada kelas
interval nomor 1, 2, dan 3.
96

Sedangkan deskripsi hasil postes pada kelompok eksperimen, terlihat


bahwa skor pada interval 53-60 merupakan skor paling banyak diperoleh
siswa kelompok kontrol yaitu sebanyak 36,7%. Skor rata-rata diperoleh
kelompok eksperimenn yaitu 63. Siswa yang mendapat skor di atas rata-rata
sebanyak 46,7% yaitu siswa pada kelas interval nomor 3, 4, 5 dan 6. Siswa
yang mendapatkan skor di bawah rata-rata sebanyak 16,7% yaitu siswa pada
kelas interval nomor 1.
Tabel 4.1 Rekapitulasi Hasil Belajar Konsep Unsur-Unsur Intrinsik
Pretest Postest
Data
Eksperimen Kontrol Eksperimen Kontrol
Skor Max 60 60 90 70
Skor Min 25 25 45 30
Rata-rata 41,7 41,7 62,6 51,9
Keseluruhan KKM 6,67% 6,67% 70% 26,67%

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa hasil belajar pretest kelompok eksperimen


memiliki skor rata-rata sebesar 42,7, dan presentase siswa yang lulus KKM
sebanyak 6,67%. Hasil belajar pretest kelompok kontrol memiliki skor
maksimum 60, skor minimum 25, skor rata-rata sebesar 41,7, dan presentase
siswa yang lulus KKM sebanyak 6,67%. Hasil belajar postest kelompok
eksperimen memiliki skor maksimum 90, skor minimum 45, skor rata-rata
sebesar 62,6, dan presentase siswa yang lulus KKM sebanyak 70%. Hasil
belajar postest kelompok kontrol memiliki skor maksimum 70, skor minimum
30, skor rata-rata sebesar 51,9, dan persentase siswa yang lulus KKM
sebanyak 26,67%. Dapat disimpulkan bahwa kedua kelompok mengalami
peningkatan hasil belajar. Tetapi kelompok eksperimen mengalami
peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol.

a. Data skor postest siswa kelas eksperimen


45 45 50 50 50 55 55 55 60 60
60 60 60 60 60 60 65 65 65 65
65 70 70 70 75 75 75 80 90 90
97

 Distribusi Frekuensi
a. Menentukan skor besar dan kecil
Skor terbesar = 90
Skor terkecil = 45
b. Menentukan Rentangan (R)
R = Skor terbesar – skor terkecil
R = 90 – 45 = 45
c. Menentukan banyaknya kelas (BK)
BK = 1 + 3,3 log n
= 1 + 3,3 log 30
= 1 + 3,3 ( 1,477)
= 1 + 4,87 = 5,87 ≈ 6
d. Menentukan panjang kelas (i)
R 45
I=  = 7,5 dibulatkan menjadi 8
BK 6

Tabel Distribusi Frekuensi


Kelas Nilai Tengah
No f xi2 fxi fxi2
Interval (xi)
1. 45 – 52 5 48,5 2352,25 242,5 11761,25
2. 53 – 60 11 56,5 3203,56 621,5 35239,16
3. 61 – 68 5 64,5 4160,25 322,5 20801,25
4. 69 – 76 6 72,5 5256,25 435 31537,5
5. 77 – 84 1 80,5 6480,25 80,5 6480,25
6. 85 - 92 2 88,5 7832,25 177 15664,5
Jumlah 30 1879 121483,91
e. Menentukan harga mean (X)

X=
 fXi =
1879
= 62,6
n 30
f. Simpangan Baku (standar Deviasi)
98

n. fXi 2  ( fX )2
S=
n.( n  1)

30 x121483,91  (1879)2 113876,3


= = = 130,89 = 11,44
30 x(30  1) 870

 Membuat daftar frekuensi yang diharapkan dengan cara :


a. Menentukan batas kelas, yaitu :
44,5 52,5 60,5 68,5 76,5 84,5 92,5
b. Mencari nilai Z-Score untuk batas kelas interval dengan rumus
Bataskelas  X 68,5  62,6
Z= Z4 = = 0,52
S 11,44
44,5  62,6 76,5  62,6
Z1 = = -1,58 Z5 = = 1,22
11,44 11,44
52,5  62,6 84,5  62,6
Z2 = = -0,88 Z6 = = 1,91
11,44 11,44
60,5  62,6 92,5  62,6
Z3 = = - 0,18 Z7 = = 2,61
11,44 11,44
c. Mencari luas 0 – Z dari tabel kurva normal dari 0 – Z, didapat:
0,4429 0,3106 0,0714 0,1985 0,3888 0,4719 0,4955

d. Mencari luas tiap kelas interval:


0,4429 – 0,3106 = 0,1323
0,3106 - 0,0714 = 0,2392
0,0714 + 0,1985 = 0,2699
0,1985 - 0,3888 = 0,1903
0,3888 - 0,4719 = 0,0831
0,4719 – 0,4955 = 0,0236
e. Mencari frekuensi yang diharapkan (fe)
0,1323 x 30 = 3,969
0,2392 x 30 = 7,176
0,2699 x 30 = 8,097
0,1903 x 30 = 5,709
99

0,0831 x 30 = 2,493
0,0236 x 30 = 0,708
Batas Luas Tiap
No. Z Luas 0 – Z fe f0
Kelas Kelas Interval
1. 44,5 -1,58 0,4429 0,1323 3,969 5
2. 52,5 -0,88 0,3106 0,2392 7,176 11
3. 60,5 -0,18 0,0714 0,2699 8,097 5
4. 68,5 0,52 0,1985 0,1903 5,709 6
5. 76,5 1,22 0,3888 0,0831 2,493 1
6. 84,5 1,91 0,4719 0,0236 0,708 2
92,5 2,61 0,4955
∑f0=30

f. Mencari chi – kuadrat hitung (x2 hitung)


k
( fo  fe)2
(X2) = 
i 1 fe

(5  3,969) 2 (11  7,176) 2 (5  8,097)2 (6  5,709) 2


X2 = + + + +
3,969 7,176 8,097 5,709

(1  2,493) 2 (2  0,708) 2
+
2,493 0,708
= 0,267 + 2,037 + 1,185 + 0,015 + 0,894 + 2,357
= 6,755
2
Nilai x tabel untuk α =0,05 dan derajat kebebasan (dk) = k – 1 = 6 – 1 = 5 pada
tabel chi-kuadrat didapat, x2 tabel = 11,070
Dengan kriteria pengujian sebagai berikut :
 Jika X2 hitung ≥ X2 tabel berarti Distribusi Data tidak normal
 Jika X2 hitung ≤ X2 tabel berarti Distribusi Data normal
Dari perhitungan didapat:
X2 hitung = 6,755 dan X2 tabel = 11,070
Jadi, X2 hitung < X2 tabel, artinya data berdistribusi normal
100

b. Data skor postes siswa kelas kontrol


30 35 40 40 45 45 45 45 45 50
50 50 50 50 50 50 55 55 55 55
55 55 60 60 60 65 65 70 70 70
 Distribusi Frekuensi
g. Menentukan skor besar dan kecil
Skor terbesar = 70
Skor terkecil = 30
h. Menentukan Rentangan (R)
R = Skor terbesar – skor terkecil
R = 70 – 30 = 40
i. Menentukan banyaknya kelas (BK)
BK = 1 + 3,3 log n
= 1 + 3,3 log 30
= 1 + 3,3 ( 1,477)
= 1 + 4,87 = 5,87 ≈ 6
j. Menentukan panjang kelas (i)
R 40
I=  = 6,6 dibulatkan menjadi 7
BK 6
Tabel Distribusi Frekuensi
Kelas Nilai Tengah
No f xi2 fxi fxi2
Interval (xi)
Kelas Nilai Tengah
No f xi2 fxi fxi2
Interval (xi)
1 29 – 35 2 32 1.024 64 2.048
2. 36 – 42 2 39 1.521 78 3.042
3. 43 – 49 5 46 2.116 230 10.580
4. 50 – 56 13 52 2.704 676 35.152
5. 57 – 63 3 60 3.600 180 10.800
101

6. 64 - 70 5 66 4.356 330 21.780


Jumlah 30 1.558 83.402

k. Menentukan harga mean (X)

X=
 fXi =
1558
= 51,9 ≈ 52
n 30
l. Simpangan Baku (standar Deviasi)

n. fXi 2  ( fX )2
S=
n.( n  1)

30(83.402)  (1.558) 2
=
870

2.502.060  2.427.364
=
870

74.696
= = 858.575 = 9,26
870
 Membuat daftar frekuensi yang diharapkan dengan cara :
a. Menentukan batas kelas, yaitu :
28,5 35,5 42,5 49,5 56,5 63,5 70,5
b. Mencari nilai Z-Score untuk batas kelas interval dengan rumus
Bataskelas  X 49,5  52
Z= Z4 = = - 0,27
S 9,26
28,5  52 56,5  52
Z1 = = -2,54 Z5 = = 0,48
9,26 9,26
35,5  52 63,5  52
Z2 = = -1,78 Z6 = = 1,24
9,26 9,26
42,5  52 70,5  52
Z3 = = - 1,03 Z7 = = 1,99
9,26 9,26
c. Mencari luas 0 – Z dari tabel kurva normal dari 0 – Z, didapat:
0,4945 0,4625 0,3485 0,1064 0,1844 0,3925 0,4767
d. Mencari luas tiap kelas interval:
0,4945 – 0,4625 = 0,032
102

0,4625 - 0,3485 = 0,114


0,3485 - 0,1064 = 0,2421
0,1064 + 0,1844 = 0,2908
0,1844 - 0,3925 = -0,2081
0,3925 – 0,4767 =-0,0842
e. Mencari frekuensi yang diharapkan (fe)
0,032 x 30 = 0,96
0,114 x 30 = 3,42
0,2421 x 30 = 7,263
0,2908 x 30 = 8,724
0,2081 x 30 = 6,243
0,0842 x 30 = 2,526

Batas Luas Tiap


No. Z Luas 0 – Z fe f0
Kelas Kelas Interval
1. 28,5 2,54 0,4945 0,032 0,96 2
2. 35,5 1,78 0,4625 0,114 3,42 2
3. 42,5 1,03 0,3485 0,2421 7,263 5
4. 49,5 0,27 0,1064 0,2908 8,724 13
5. 56,5 0,48 0,1844 0,2081 6,243 3
6. 63,5 1,24 0,3925 0,0842 2,526 5
70,5 1,99 0,4767
∑f0=30

f. Mencari chi – kuadrat hitung (x2 hitung)


k
( fo  fe)2
(X2) = 
i 1 fe
103

(2  0,96) 2 (2  3,42)2 (5  7,263) 2 (13  8,724) 2


X2 = + + + +
0,96 3,42 7, 263 8,724

(3  6,243)2 (5  2,526) 2
+
6,243 2,526
= 1,127 + 0,589 + 0,705 + 2,095 + 1,685 + 2,423
= 8,624
2
Nilai x tabel untuk α =0,05 dan derajat kebebasan (dk) = k – 1 = 6 – 1 = 5 pada
tabel chi-kuadrat didapat, x2 tabel = 11,070
Dengan kriteria pengujian sebagai berikut :
 Jika X2 hitung ≥ X2 tabel berarti Distribusi data tidak normal
 Jika X2 hitung ≤ X2 tabel berarti Distribusi data normal
Dari perhitungan didapat:
X2 hitung = 8,624 dan X2 tabel = 11,070
Jadi, X2 hitung < X2 tabel, artinya data berdistribusi normal

3. Data Hasil Angket


Berdasarkan angket mengenai tanggapan atau respon siswa terhadap
pembelajaran Bahasa Indonesia dengan menggunakan media tape recorder
yang diberikan kepada siswa setelah akhir pembelajaran dapat dilihat pada
tabel dibawah ini:
Tabel 4.2. respon siswa terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia yang
menggunakan media tape recorder untuk kelompok eksperimen:

No Pertanyaan Penilaian
ya tidak
1. Apakah kamu menyukai pembelajaran Bahasa
Indonesia dengan menggunakan media tape 6,67%
99,33%
recorder?
2. Apakah pembelajaran Bahasa Indonesia ini
sesuai dengan materi unsur-unsur intrinsik 90% 10%
cerpen?
3. Apakah kamu merasa kesulitan dalam 16,7% 83,33%
memahami materi unsur-unsur intrinsik
cerpen dengan pembelajaran yang
menggunakan media tape recorder?
104

4. Apakah pembelajaran dengan menggunakan


media tape recorder membuat kamu semangat 80% 20%
belajar Bahasa Indonesia?
5. Apakah kamu merasa jenuh dengan 13,3% 86,7%
pembelajaran ini?
6. Apakah kamu mendengarkan saat guru 56,7% 43,3%
menjelaskan materi pembelajaran
7. Apakah kamu memahami pembelajaran
Bahasa Indonesia dengan baik setelah 89,7% 13,3%
mengikuti pembelajaran dengan menggunakan
media tape recorder?
8. Apakah kamu membuat catatan selama 33,3% 66,7%
pembelajaran Bahasa Indonesia berlangsung?
9. Apakah kamu aktif dalam mengikuti
pembelajaran Bahasa Indonesia dengan 80% 20%
menggunakan media tape recorder?
10. Apakah masih ada materi yang belum
dipahami setelah guru menyampaikan materi 50% 50%
pelajaran dengan menggunakan media tape
recorder?
Dari tabel 4.2 di atas diketahui bahwa respon siswa terhadap penggunaan
media tape recorder dalam menyampaikan materi tentang unsur-unsur intrinsik
cerpen sekitar 93,33% siswa menyukai pembelajaran ini 90% siswa berpendapat
bahwa menggunakan media tape recorder sesuai untuk menyampaikan materi
unsur-unsur intrisik cerpen 83,33% siswa tidak merasa kesulitan belajar dengan
menggunakan media tape recorder.
Tidak merasa kesulitan belajar dengan menggunakan media tape recorder,
bahkan sebaliknya 80% siswa merasa semangat mempelajari materi pelajaran
dengan menggunkan media tape recorder. Kemampuan siswa untuk memahami
materi pelajaran dengan menggunakan media tape recorder adalah 50% siswa
mampuh memahami dengan baik dan 50% lainnya tidak mampu memahami
materi pelajaran dengan baik. Hal ini dikarenakan media tape recorder kurang
mudah dipahami oleh sebagian siswa karena bahasa yang digunakan kurang
dimengerti dan terlalu bias dalam menyampaikan kata-katanya. 56,7% siswa
menyatakan bahwa bahwa mereka memperhatikan saat guru menjelaskan materi
pelajaran. Hanya 66,7% siswa yang membuat catatan saat pembelajaran
berlangsung. 80% siswa aktif mengikuti pembelajaran dengan menggunakan
105

media tape recorder, dan 50% siswa merasa ada materi pelajaran yang belum
dipahami setelah guru menyampaikan materi pelajaran dengan menggunakan
media tape recorder.

B. Pengujian Persyaratan Analisis Data


Dalam penelitian ini peneliti melakukan analisis data berdasarkan hipotesis
yang telah diajukan sebagai berikut.
1. Uji Hipotesis
a. Uji Kesamaan Dua Rata-rata Hasil Pretest
Pengujian dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan
yang signifikan antara skor pretest kelompok eksperimen dengan skor
pretest kelompok kontrol. Untuk pengujian tersebut diajukan hipotesis
berikut :
Ho: X = Y
Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor
pretest kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol.
Ha: X ≠ Y
Terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor pretest
kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol.
Pengujian hipotesis tersebut akan diuji dengan menggunakan
rumus uji-t, dengan kriteria pengujian sebagai berikut :

Jika maka Ho diterima pada tingkat


kepercayaan 0,95.

Jika atau maka Ha


diterima pada tingkat kepercayaan 0,95.
106

Tabel 4.7
Uji Kesamaan Dua Rata-rata Hasil Pretest
Kelompok
Keterangan Kelompok Kontrol
Eksperimen
Jumlah sampel 30 30
42,7 41,7
SD 8,87 8,69
S2 78,78 75,68
t-hitung 0,46
t-tabel 2,00
Kesimpulan Tidak Berbeda

Dari perhitungan diperoleh nilai thitung sebesar 0,46 dan ttabel 2,00
hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan bahwa thitung berada di daerah

penerimaan Ho, yaitu atau -2,00 < 0,46 < 2,00.


Dengan demikian Ho diterima dan Ha ditolak pada taraf kepercayaan 0,95
hal ini menunjukkan bahwa tidak dapat perbedaan yang signifikan antara
rata-rata skor pretest kelompok eksperimen dengan rata-rata skor pretest
kelompok kontrol. Penghitungan lengkap uji kesamaan dua rata-rata hasil
pretest dapat dilihat pada lampiran.
Kriteria pengujian sebagai berikut:
Jika – ttabel ≤ thitung ≤ ttabel, maka Ho diterima pada tingkat kepercayaan 0,95
Jika thitung < – ttabel atau ttabel < thitung, maka Ha diterima pada tingkat kepercayaan
0,95.
N1 = 30
X1 = 43
S12 = 78,78
N2 = 30
X2 = 42
S22 = 75,68
43

Untuk pengujian hipotesis menggunakan rumus :

t
x1  x2
dan S g 
n 1
 2
 1 S1  n2  1S2
2

1 1 n1  n2  2
Sg 
n1 n2

Dimana :

Sg 
n 1
 2
 1 S1  n2  1S2
2

n1  n2  2

Sg 
30  178,78  30  175,68
30  30  2

2284,62  2194,72
Sg 
58

4479,34
Sg   77,23  8,78
58
Sehingga :

x1  x2
t
1 1
Sg 
n1 n2

43  42 1 1
t    0,46
1 1 8,78 x0,251 2,1511
8,78 
30 30
Menentukan harga tabel
ttabel untuk (dk) = (n-1) = 58 dengan α = 0,05 di dapat ttabel = 2,00.
Dari hasil pengujian menunjukkan bahwa thitung di daerah penerimaan Ho,
yaitu -ttabel < thitung < ttabel atau -2,00 < 0,46 < 2,00. dengan demikian Ho diterima
dan Ha ditolak pada taraf kepercayaan 0,95. hal ini menunjukkan bahwa Tidak
terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor tes awal (pretest)
kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol.
44

b. Uji Kesamaan Dua Rata-rata Hasil Posttest


Pengujian dilakukan untuk mengetahui apakah skor pretest
kelompok eksperimen yang menggunakan model pembelajaran Bahasa
Indonesia menggunakan media tape recorder lebih besar secara signifikan
dibandingkan dengan skor posttest kelompok kontrol yang tidak
menggunakan pembelajaran Bahasa Indonesia menggunakan media tape
recorder. Untuk pengujian tersebut diajukan hipotesis yaitu:
Ho: X = Y
Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor
posttest kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol.

Ha: X ≠ Y
Terdapat perbedaan yang signifiakan antara rata-rata skor posttest
kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol.
Pengujian hipotesis tersebut akan diuji dengan menggunakan
rumus uji-t, dengan kriteria pengujiann sebagai berikut :

Jika maka Ho diterima pada tingkat


kepercayaan 0,95.

Jika atau maka Ha


diterima pada tingkat kepercayaan 0,95.

Tabel 4.8
Uji Kesamaan Dua Rata-rata Hasil Postest
Kelompok
Keterangan Kelompok Kontrol
Eksperimen
Jumlah sampel 30 30
62,6 51,9
SD 11,44 9,26
S2 130,89 85,88
t-hitung 3,88
t-tabel 2,00
Kesimpulan Berbeda
45

Dari hasil perhitungan diperoleh nilai thitung sebesar 3,88 dan ttabel
2,00 hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan bahwa thitung berada di
daerah penerimaan Ha, yaitu ttabel < thitung atau 2,00 < 3,88. Dengan
demikian Ho di tolak dan Ha diterima pada taraf kepercayaan 0,95 hal ini
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata
skor posttest kelompok eksperimen dengan rata-rata skor posttest
kelompok kontrol. Perhitungan lengkap uji kesamaan dua rata-rata hasil
posttest dapat dilihat pada lampiran.
Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan :
N1 = 30
X1 = 62,6
S12 = 130,89
N2 = 30
X2 = 51,9
S22 = 85,85
Untuk pengujian hipotesis menggunakan rumus :

t
x1  x2
dan S g 
n 1
 2
 1 S1  n2  1S2
2

1 1 n1  n2  2
Sg 
n1 n2

Dimana :

Sg 
n 1
 2
 1 S1  n2  1S2
2

n1  n2  2

Sg 
30  1130,89  30  185,85
30  30  2

3795,81  2489,65
Sg 
58

6285,46
Sg   108,37  10,41
58
Sehingga :
46

x1  x2
t
1 1
Sg 
n1 n2

62,6  51,9 10,7 10,7


t    3,88
1 1 10, 41x0, 251 2,75598
10, 41 
30 30
Menentukan harga tabel
ttabel untuk (dk) = (n-1) = 58 dengan α = 0,05 di dapat ttabel = 2,000.
Dari hasil pengujian menunjukkan bahwa thitung di daerah penerimaan
Ha,yaitu ttabel < thitung atau 2,00 < 3,88. dengan demikian Ho ditolak dan Ha
diterima pada taraf kepercayaan 0,95, hal ini menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor tes akhir (posttest) kelompok
eksperimen dengan kelompok kontrol.

2. Analisis Data Hasil Angket


Berdasarkan hasil angket mengenai respon siswa terhadap pembelajaran
dengan menggunakan media tape recorder, maka dapat dianalisis bahwa
siswa sangat menyukai pembelajaran ini dan menjadi mudah dalam
memahami materi pelajaran, atau tidak merasa kesulitan. Siswa semangat
dalam mengikuti kegiatan belajar, aktif dan dapat memahami materi pelajaran
dengan baik. Siswa mendengarkan dan meneliti media tape recorder dan
dijelaskan oleh guru. Hanya sebagian siswa yang merasa masih ada materi
yang belum dipahami setelah pembelajaran ini dilakukan, dan 43,3% siswa
cenderung malas untuk mendengarkan media tape recorder pada materi
pelajaran selama kegiatan berlangsung.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan media tape
recorder pada siswa sangat efektif, karena membuat siswa semangat belajar,
aktif dan merasa mudah memahami materi pelajaran.
47

C. Intrerpretasi Data
Dilihat dari hasil tes yang dilakukan sebelum pembelajaran (pretest)
diketahui nilai rata-rata kelompok eksperimen sebesar 42,7 dan kelompok kontrol
sebesar 41,7. Adapun hasil tes setelah pembelajaran (postest) diketahui nilai rata-
rata kelompok eksperimen sebesar 62,6 dan nilai rata-rata kelompok kontrol
sebesar 51,9. Dari hasil analisis tampak ada pengaruh penggunaan media tape
recorder dalam meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran Bahasa
Indonesia pada sub pokok bahasan unsur-unsur intrinsik. Siswa dari kelompok
kontrol atau kelompok yang tidak menggunakan media tape recorder juga
mengalami peningkatan hasil belajar siswa pada materi unsur-unsur intrinsik.
Meskipun siswa dari kelompok kontrol ini mengalami peningkatan, namun
peningkatan hasil belajar yang diperoleh lebih rendah dibanding dengan kelompok
eksperimen yang dalam pembelajarannya dengan menggunakan media tape
recorder.
Kelompok eksperimen dan kelompok kontrol ini keduanya berada pada
distribusi normal, baik hasil uji pretest dan posttestnya. Hal tersebut terbukti pada
hasil uji persyaratan analisis yang menyatakan bahwa x2hitung < x2tabel pada taraf
kepercayaan 95% sebesar 11,070. Selain itu kedua kelompok ini juga bersifat
homogen, terbukti berdasarkan hasil uji pretest dan posttest yang menyatakan
bahwa pada x2hitung < x2tabel taraf kepercayaan 95% sebesar 3,841.
Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji-t, pada taraf
kepercayaan 95%. Hasil uji kesamaan dua rata-rata pretest, dilakukan untuk
mengetahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara skor pretest
kelompok eksperimen dengan skor pretest kelompok kontrol, diperoleh nilai thitung
sebesar 0,46 dan nilai ttabel = 2,00. Hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan
bahwa nilai thitung berbeda di daerah penerimaan Ho, yaitu –ttabel < thitung < ttabel atau
-2,00 < 0,46 < 2,00. Dengan demikian Ho diterima dan Ha ditolak pada taraf
kepercayaan 95% hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara rata-rata skor pretest kelompok eksperimen dengan rata-rata skor
pretest kelompok kontrol. Sedangkan berdasarkan hasil uji kesamaan dua rata-rata
posttest, dilakukan untuk mengetahui apakah skor posttest kelompok eksperimen
48

yang menggunakan model pembelajaran Bahasa Indonesia menggunakan media


tape recorder lebih besar secara signifikan dibandingkan dengan skor posttest
kelompok kontrol yang tidak menggunakan model pembelajaran Bahasa
Indonesia menggunakan media tape recorder, diperoleh menunjukkan bahwa
thitung sebesar 3,88 dan nilai ttabel = 2,00. Hasil pengujian yang diperoleh
menunjukkan bahwa thitung ada di daerah penerimaan Ha, yaitu ttabel < thitung atau
2,00 < 3,88. Dengan demikian Ho ditolak dan Ha diterima pada taraf kepercayaan
95% hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-
rata skor posttest kelompok eksperimen dengan rata-rata skor posttest kelompok
kontrol.

D. Pembahasan
Media tape recorder merupakan alat audio yang penting dan mudah didapat.
Media tape recorder sangat penting digunakan dalam usaha memperjelas
pengertian pada siswa. Siswa dapat menangkap ide atau informasi yang
terkandung di dalamnya dengan jelas. Karena dengan menggunakan media tape
recorder materi yang diajarkan menjadi lebih mudah dipahami oleh siswa
sehingga sesuatu yang abstrak bagi siswa menjadi lebih konkrit dengan bantuan
media tape recorder telah lama digunakan sebagai media untuk pembelajaran serta
dapat di gunakan media tape recorder dalam sub pokok bahasan unsur-unsur
intrinsik pada kelompok eksperimen ada pengaruhnya dalam meningkatkan hasil
belajar siswa disbanding kelompok kontrol yang dalam pembelajaran tidak
menggunakan media tape recorder.
Dalam pembelajaran menggunakan media Tape recorder dalam sub pokok
bahasan unsur-unsur intrisik pada kelompok eksperimen, siswa menjadi lebih
termotivasi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat “Hamalik (1986) yang
mengemukakan bahwa media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat
membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan
49

rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologi


terhadap siswa.”1
Hal ini menunjukan bahwa kelompok eksperimen yang selama proses
pembelajaran menggunakan media tape recorder menjadikan mereka menguasai
konsep dan memahami dalam menjawab soal-soal, sehingga mengakibatkan
pengalaman yang mereka dapat bersifat tahan lama dalam ingatan mereka, selain
pembelajaran menjadi lebih menarik. Berbeda dengan kelompok kontrol yang
selama proses pembelajaran hanya berjalan seperti biasa, yaitu tanpa
menggunakan media tape recorder sehingga dari data yang diperoleh terlihat
berbeda, walaupun terdapat beberapa siswa yang memahami konsep yang
diajarkan.
Berdasarkan uraian di atas menunjukan bahwa perlakuan yang berbeda
menyebabkan terjadinya hasil akhir yang berbeda antara kelompok eksperimen
yang diajarkan menggunakan media tape recorder dengan kelompok kontrol yang
tidak menggunakan media tape recorder. Walaupun kedua kelompok tersebut
mengalami peningkatkan hasil belajarnya, namun kelompok eksperimen
mengalami peningkatan hasil belajar yang lebih tinggi.
Dengan demikian, ternyata terbukti bahwa menggunakan media tape
recorder, khususnya sub pokok bahasan unsur-unsur intrinsik dapat meningkatkan
hasil belajar siswa sehingga hasil belajar siswa kelompok kontrol yang dalam
pembelajaran Bahasa Indonesia sub pokok bahasan unsur-unsur intrinsik tanpa
media tape recorder.
Adapun respon siswa terhadap pembelajaran yang menggunakan media tape
recorder sangat positif. Hal ini didukung oleh keadaan psikologis siswa yang
memiliki kecenderungan menyukai pembelajaran dengan menitipberatkan
terhadap kemampuan indra audionya, sehingga sebagian besar siswa menyukai
pembelajaran tersebut. Siswa merasa mudah memahami pelajaran, aktif dalam
kegiatan pembelajaran dan memiliki semangat belajar yang tinggi ketika kegiatan
berlangsung.

1
Azhar Arsyad. Media Pendidikan. (Jakarta: Gramedia, 2009), Cet. ke-12, hlm. 15
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis penelitian, maka dapat disimpulkan secara umum
bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia dengan menggunakan media tape recorder
berpengaruh secara signifikansi terhadap hasil belajar Bahasa Indonesia siswa.
Hal ini dapat dilihat dari hasil belajar siswa pada kelas Kontrol dan Eksperimen
pada materi unsur-unsur intrinsik cerpen, yaitu:
1. Hasil penelitian pembelajaran menggunakan tape recorder berpengaruh positif
terhadap hasil belajar siswa.
2. Hasil yang diperoleh siswa yang diajarkan menggunakan media tape recorder
lebih baik dibandingkan yang tidak menggunakan media tape recorder.
3. Siswa memberikan respons positif terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia
dengan menggunakan media tape recorder pada materi unsur-unsur intrinsik
dengan presentase sebesar 93,33%. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan
media tape recorder pada siswa sangat efektif, karena membuat siswa
semangat belajar, aktif dan merasa mudah memahami materi pelajaran.

B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka ada hal yang disarankan
kepada peneliti selanjutnya, yaitu:
1. Dapat mengembangkan dan memodifikasi kembali pembuatan cerpen
menggunakan tape recorder pada materi unsur-unsur intrinsik sehingga lebih
menarik minat siswa dan meningkatkan daya imajinasi siswa.
2. Dalam pembuatan media tape recorder gunakanlah Bahasa Indonesia yang
sederhana agar lebih mudah dipahami.

50
59

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Jauharoti, dkk, Bahasa Indonesia I, Surabaya: Lapis-PGMI, 2008

Arifin, Bustanul, Menyimak, Jakarta: Gramedia, 2004

Arikunto, Suharsimi, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara,


2006
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:
Rineka Cipta, 2002

Asyad, Azhar, Media Pendidikan, Jakarta: Gramedia, 2009

Iskandar dan Dadang Suhendar, Strategi Pembelajaran Bahasa, Bandung: IKAPI,


2008

Mahayaman, Maman S, 9 Jawaban Sastra Indonesia, Jakarta: Bening Publishing,


2005

Makmun, Abin Syamsudin, Psikologi Pendidikan, Bandung: Rosda, 2009

Munadi, Yudhi, Media Pembelajaran Sebuah Pendekatan Baru, Jakarta: Gaung


Persada Press, 2008

Nugiyantoro, Burhan, Teori Pengajian Fiksi, Yogyakarta: UGM, 2005

Resmini, Novi dan Dadang Juanda, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Di
Kelas Tinggi, Bandung: UPI Press, 2007

Saadie, Ma’mur, Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia, Jakarta: UT, 2008

Sadirman, Arief, dkk, Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan dan


Pemanfaatannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005

Semi, Atar, Atonomi Sastra, Padang: Angkasa Raya, 1988

Sudjana, Metode Statistik, Bandung: Tarsito, 2006

Sugiyono, Statistik untuk Penelitian, Bandung: ALFABETA, 2006

Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif


dan R dan D, Bandung: ALFABETA, 2005

Syamsidun dan Vismaia S. Damaianti, Metode Penelitian Pendidikan Bahasa,


Bandung: Rosda, 2007
60

Tarigan, Henry Guntur, Menyimak, Bandung: Angkasa, 1987


Tarigan, Henry Guntur, Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa,
Bandung: Angkasa, 1994
Teeuw, A, Sastera dan Ilmu Sastera, Bandung: Pustaka Jaya, 2003

http://something2283.blogspot.com/2009/05/menyimak.html, Tarigan,
Menyimak, (Selasa, 28-11-2010)

http://fkip.uki.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=77:paradig
ma-penelitian&catid=41:artikel&Itemid=55, Moleong, Metodologi
Penelitian Pendidikan Kualitatif.(Selasa, 28, 11, 2010)

Anda mungkin juga menyukai