Hudzaifah Fawwaz
31211200100064
Jawaban Soal
2 a. Aspek terpenting dalam setiap progres pembangunan sebuah sistem dan lembaga
adalah aspek kebijakan dan regulasi yang diterapkan untuk mendukung pembangunan
sistem tersebut. Segala sistem yang dibangun dalam sebuah negara pasti dipengaruhi
oleh kebijakan dan regulasi yang diterapkan. Jika regulasi dan kebijakannya
mendukung sistem tersebut, maka sistem tersebut akan mampu untuk berkembang.
Pada kaitannya dengan awal perkembangan sebuah sistem keuangan syariah di
sebuah negara, kebijakan pemerintah negara tersebut menjadi tolak ukur apakah sistem
tersebut nantinya dapat berkembang atau tidak. Pendirian bank dengan sistem keuangan
syariah pertama merupakan sebuah landasan kebijakan dan regulasi politik yang
beredar pada masa awal berdirinya. Ketika sebuah gagasan untuk menjadikan sistem
keuangan syariah telah banyak dipikirkan oleh ilmuan-ilmuan muslim dunia diterima
dengan baik oleh sebuah pemerintahan, sistem keuangan tersebut dapat direalisasikan
dan berkembang dengan baik.
Pendirian bank Mit Ghamr sebagai bank syariah pertama di dunia misalnya,
merupakan sebuah kebijakan yang dilakukan pemerintah mesir untuk menjadikan
sistem keuangan berbasis bunga harus digantikan dengan sistem kerja sama dengan
skema bagi hasil atas keuntungan dan kerugian. Gagasan ini oleh pemerintah mesir
dituangkan dalam pertemuan Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Pakistan dan dapat
diterima dengan baik oleh seluruh negara muslim yang hadir pada konferensi tersebut.
Atas dasar regulasi dan kebijakan yang baik dari pemerintah mesir tersebut kemudian
muncullah bank-bank dengan sistem keuangan syariah diseluruh belahan dunia.
Malaysia sendiri mengikuti perkembangan keuangan syariah dengan begitu baik.
Terbukti pada tahun 1983 berdiri bank syariah pertama di Malaysia yaitu Bank Islam
Malaysia Benhard (BIMB) mengaplikasikan regulasi yang berdampingan dengan
sistem perbankan konvensional. Meskipun berada pada dualisme sistem perbankan saat
itu, bank islam Malaysia mampu memberikan aspek positif kepada masyarakat untuk
tertarik kepada bank syariah. Berdirinya bank ini diikuti dengan dukungan Undang-
Undang pemerintah Malaysia dengan sebutan Islamic Bank Act (IBA). Uniknya
regulasi yang diberikan oleh pemerintah Malaysia memberikan kewenangan secara
penuh (dengan pengawasan) untuk menyediakan produk-produk perbankan syariah
disana. Hasilnya, perkembangan keuangan syariah malaysia melonjak drastis hingga
saat ini dan menjadi pioneer keuangan syariah dunia. Dukungan kebijakan pemerintah
Malaysia mampu mendongkrak minat masyarakat Malaysia untuk menggunakan
produk-produk keuangan syariah dengan masif.
Indonesia sendiri dirasa kurang aktif dan peka dalam mengikuti perkembangan
keuangan syariah di dunia. Meskipun telah banyak tokoh-tokoh pemikir muslim
Indonesia yang memberi gagasan agar Indonesia segera membentuk sistem keuagan
berbasis syariah, sistem ini baru dapat terealisasi pada tahun 1992 dengan berdirinya
Bank Muamalat. Pendirian bank ini merupakan buah dari hasil MUNAS MUI pada
tahun 1990 dengan mendirikan kelompok kerja bank syariah, namun, belum juga
mendapatkan respon dari pemerintah saat itu. Kebijakan dan regulasinya baru ada pada
Oktober tahun 1998 tentang kebijakan liberalisasi penbankan. UU No.7 Tahun 1992
masih menganut sistem dualisme perbankan dan belum memberikan kebijakan pasti
tentang sistem keuangan syariah. Sistem perbankan syari’ah baru ditempatkan
secara tegas sebagai bagian dari sistem perbankan nasional sejak diundangkannya
UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (UU Perbankan 1998) sebagai amandemen
UU Perbankan 1992, yang memperjelas dan memperkuat dasar kebijakan dual
banking system yang sudah diimplementasikan sejak 1992. UU Perbankan 1998
telah mengakomodir beberapa pengaturan mengenai kegiatan perbankan
syari’ah seperti pengertian bank yang mencakup bank syari’ah, pengertian
prinsip syari’ah dan pembiayaan. Selanjutnya dengan telah diundangkannya UU
No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah (UUPerbankan Syari’ah),
maka payung hukum perbankan syari’ah di Indonesia adalah UU Perbankan
Syari’ah. Kini pemerintah Indonesia melaui kebijakan-kebijakannya mulai fokus untuk
membenahi sistem keuangan syariah. Hal ini dibuktikan dengan kebijakan merger pada
beberapa bank-bank syariah menjadi Bank Syariah Indonesia. Diharapkan kebijakan ini
(meskipun baru bergulir) dapat meningkatkan efisiensi sistem keuagan syariah dan
minat masyarakat untuk menggunakan sistem ini pada perbankan sehingga sistem
keuagan syariah di Indonesia dapar bersaing dengan negara-negara muslim lainnya.
Wallahu A’lam…
b. Sistem pengelolaan dana zakat berbeda-beda pada tiap negara muslim. Perbedaan
ini dilandasi oleh kebijakan dan regulasi yang berlaku pada negara tersebut. Ada negara
yang mengaplikasikan pengelolaan zakatnya melalui lembaga-lembaga yang diberikan
wewenang, adapula negara yang mensentralkan pengelolaannya melalui satu pihak
yaitu pemerintah.
Pada tahun 1950 di Saudi Arabia, sistem pengelolaan zakat belum mendapatkan
perhatian oleh kerajaan. Masyarakat Saudi bahkan tidak dibebankan kewajiban untuk
membayar zakat namun sebatas pajak penghasilan. Ketentuan Undang-Undang negara
dalan pengelolaan zakat baru dimulai pada tahun 1951 dimana setelah perundangan
tersebut diresmikan, pengelolaan dana zakat disana berkembang dengan begitu pesat.
Pemanfaatan dana zakat dan wakaf dapat tersalurkan dengan baik kepada berbagai
bidang diantaranya pertanian, hotel, apartemen, kebun dan perawatan Masjid Al-
Haram.
Sentralisasi dana zakat yang dilakukan pemerintah Arab Saudi berjalan dengan
baik menggunakan sistem kerajaan yang mereka anut. Kebijakan ini tentu tidak banyak
mendapatkan pertentangan dari masyarakat dikarenakan keseriusan pemerintah dalam
pengelolaannya. Bahkan, menurut Republika.co.id1 dana zakat yang dikelola oleh
kementrian sosial melalui Dirjen Zakat Saudi mencapai 25 Miliar $ atau sekitar 300
Triliun Rupiah. Jumlah ini diproyeksikan meningkat 2x lipat yaitu 600Triliun pada
kurun waktu 2-3 Tahun kemudian. Keseriusan pemerintah saudi mengelola dana zakat
berpotensi untuk menanggulangi kemiskinan.
Sudan juga melakukan hal yang serupa dengan kebijakan zakat oleh Saudi Arabia.
Pemerintah sudan melakukan sentralisasi zakat pada Tahun 1984 seiring dengan
realisasi sistem keuangan syariah secara menyeluruh di negara tersebut. Bedanya,
pemerintah sudan menggabungkan dana zakat dan pajak dalam sebuah lembaga
pemerintahan. Masyarakat Sudan ketika telah membayar pajak artinya telah juga
1
https://www.republika.co.id/berita/nforg54/tsaqofi-belajar-zakat-dari-arab-saudi (Akses 16 Desember
2022)
berkontribusi membayarkan zakatnya. Kebijakan ini terbukti efektif untuk mengurangi
kerancuan pemahaman masyarakat yang menganggap pajak sama dengan zakat.
Turki memiliki sejarah yang panjang dalam pengelolaan zakat dan wakaf yang
dinilai begitu berperan dalam peningkatan portofolio zakat dan wakaf. Pada beberapa
dekade terakhir Turki memaksimalkan dana zakat dan wakafnya melalui aset produktif
yang dapat dikembangkan dan menjadi sumber pendapatan negara. Diperkirakan bahwa
sekitar ¾ dana zakat dan wakaf di Turki merupakan aset produktif. Kebijakan ini
kemudian diaplikasikan melalui pembuatan Waqf Bank yang khusus mengelola dana
ini. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi Turki meningkat pesat dalam kurun waktu 1990-
2014 dan menjadi salah satu negara maju di dunia sebelum terjadinya kudeta disana.
Dana zakat dan wakaf di Turki mampu memberikan hasil kepada banyak bidang
terutama bidang pendidikan. Pendidikan yang digratiskan oleh pemerintah turki
merupakan hasil dari pengelolaan zakat yang baik disana. Pemerintah melakukan
sentralisasi dana wakaf dan zakat yang mampu menghasilkan kesejahteraan.
Zakat yang tertuang dalam Undang-Undang No.38 Tahun 1999 di Indonesia
merupakan implementasi hukum syariah dimana dalam pasal 2 dikatakan bahwa
“Setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan yang
dimiliki oleh orang muslim berkewajiban menunaikan zakat.” Pemerintah pada pasal 3
selanjutnya dibebankan kewajiban untuk memberikan perlindungan, pembinaan, dan
pelayanan Kepada muzakki, mustahiq, dan amil zakat. Pada UU ini, pemerintah
memberikan wewenang kepada lembaga-lembaga pengumpul zakat (LPU) untuk
mengelola zakatnya secara mandiri. Pemerintah hanya memberikan regulasi dan
pengawasan terhadap pelaksanaanya.
Pada tahun 2011, ketika diberlakukannya UU No 23 Tahun 2011 yang
mengamandemen UU No.38 Tahun 1999, pemerintah mulai berperan serius untuk
menangani zakat. Hal ini berkaitan dengan potensi zakat sejumlah 170Triliun tiap
tahunnya jika pengelolaannya baik. Pemerintah membentuk BAZNAS sebagai plat
merah lembaga pengumpul zakat. Regulasi ini dinilai sebagai bentuk keseriusan
pemerintah untuk mamaksimalkan pengelolaan dana zakat di Indonesia.
Amandemen Undang-Undang ini mendapatkan respon yang beragam dari berbagai
pihak. Ada yang menganggap bahwa ini merupakan sebuah proses sentralisasi
pengelolaan zakat di Indonesia. Jika melihat praktik zakat dan wakaf di Indonesia yang
kebanyakan dilakukan oleh lembaga-lembaga swasta dan lembaga keumatan, akan
adanya pertentangan ketika kebijakan sentralisasi ini akan diaplikasikan. Mereka
menganggap sentralisasi akan menghilangkan unsur budaya masyarakat yang berzakat
melalui lembaga manapun yang dikehendaki. Jika pemerintah membatasinya, akan ada
potensi bahkan yang akan mengurangi pendapatan dari dana zakat tersebut. Alasannya
adalah:
1. Masyarakat mampu kebanyakan masih menyalurkan dana zakatnya kepada orang
lain secara personal.
2. Masyarakat yang menyalurkan dananya melalui lembaga hanya dilakukan kepada
lembaga yang memang sudah mereka percaya.
3. Masih minimnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah.
4. Pemerintah belum membuat regulasi yang terperinci mengenai pengelolaan dana
zakat dan wakaf.
Ketika berkaca kepada negara-negara muslim yang melakukan sentralisasi dana
zakat dan wakaf, maka kebanyakan dari mereka sukses dalam mengaplikasikannya.
Regulasi yang dituangkan secara serius dapat secara signifikan meningkatkan minat
masyarakat untuk menyalurkan dananya melalui lembaga pemerintah. Ketika
kebijakan sentralisasi mampu untuk mendongkrak keuangan di sebuah negara,
maka kebijakan tersebut perlu diaplikasikan. Namun demikian, kesiapan regulasi ini
harus benar-benar diseriusi oleh pemerintah terlebih pemerintah melalui lembaga
zakatnya belum banyak mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Wallahu
A’lam.
2
Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2020 sebagai landasan transformasi
Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) menjadi Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah
(KNEKS) tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan pembangunan ekosistem ekonomi dan keuangan syariah
serta membuat Indonesia sebagai Pusat Halal Dunia.
3
Ascarya. (2006). Comparing Islamic Banking Development in Malaysia and Indonesia: Lessons for
Instruments Development. (pp. 1-60). Jakarta: Center for Central Banking Education and Studies Bank
Indonesia.
Gambar 1. Pengumpulan Zakat dan Infak 2015-2019 oleh Baznas
Menurut data Badan Amil Zakat Nasional selaku lembaga negara yang memiliki
legalitas dalam pengumpulan zakat dan Infak di Indonesia. Keberadaan Baznas dari tahun 2015
hingga 2019 dalam hal pengumpulan zakat dan Infak dapat dikatakan cenderung mengalami
peningkatan pemasukan dari tahun ke tahun. Indikator ACR juga terus mengalami perbaikan
dari yang awalnya cukup efektif hingga menjadi sudah efektif.
4
Aden Rosadi dan Mohamad Anton Athoillah, “Distribusi zakat di Indonesia: antara sentralisasi dan
desentralisasi,” IJTIHAD Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, 15.2 (2016), 237
<https://doi.org/10.18326/ijtihad.v15i2.237-256>.
5
Ascarya. (2006). Comparing Islamic Banking Development in Malaysia and Indonesia: Lessons for
Instruments Development. (pp. 1-60). Jakarta: Center for Central Banking Education and Studies Bank
Indonesia.
Gambar 4. Akad Syariah di Malaysia
2. Bai Al Inah di Malaysia
Akad ini merupakan akad khas dari bank Syariah yang ada di Malaysia. Merupakan akad
jual beli dimana pihak penjual melakukan penjualan Kembali assetnya dengan janji untuk
dilakukan pembelian Kembali dengan pihak yang sama. Bai Al Inah merupakan penjualan tunai
dan juga dilanjutkan Kembali dengan pembelian dengan Tangguh. Dalam akad ini terdapat
beberapa Langkah yang harus dilakukan, yaitu:
1) Pihak nasabah melakukan penjualan assetnya kepada pihak bank Syariah dengan harga
100 juta ringgit
2) Pihak bank Syariah melakukan pembayaran sebesar 100 juta ringgit kepada pihak
nasabah
3) Pihak bank Syariah mealkukan penjualan Kembali asset tersebut kepada pihak nasabah
dengan melakukan penambahan marjin keuntungan. Marjin keuntungan tersebut nilainya
adalah 120 juta ringgit
4) Pihak nasabah lalu melakukan pembayaran harga asset tersebut dengan harga 120 juta
ringgit sesuai dengan kesepakatan
3. Bai Al Dayn di Malaysia
Akad ini merupakan akad jual beli. Adapun yang diperjualbelikan dalam akad ini adalah
hutang atau Dayn. Pertemuan yang dilakukan oleh Islamic Fiqh Academy yang diselenggarakan
di kantor pusat mereka di Jeddah, Arab Saudi. Dalam pertemuan tersebut Lembaga yang
merupakan perwakilan pada ulama ahli fikih muamalah seluruh dunia telah sepakat bahwa
konsep Bai Al Dayn harus dilarang. Dan mereka telah sepakat untuk melakukan pelarangannya
secara aklamasi. Akan tetapi, pada Agustus 1996 NSAC Malaysia menyatakan dapat menerima
prinsip dari Bai Al Dayn yang diharapkan dapat mampu untuk mengakselerasi konsep pasar
modal Syariah. NSAC Malaysia menyatakan bahwa hutang dapat dianggap sama dengan harta
benda. Dikarenakan hutang sama dengan harta maka hutang bisa diperdagangkan dengan harga
berapapun penawaran yang terjadi. Pada jual beli BBA, ada empat langkah proses yang
dilakukan, sebagai berikut:
1) Nasabah mengidentifikasi aset, misalkan aset X yang ingin dimiliki atau dibeli;
2) Bank membelikan aset yang diinginkan nasabah dari pemilik aset X, misalkan dengan
harga Rp.100 juta;
3) Bank menjual aset X tersebut kepada nasabah dengan harga jual sama dengan harga
perolehan ditambah marjin keuntungan yang diinginkan bank, misalkan Rp.120 juta;
dan
4) Nasabah membayar harga aset X yang Rp.120 juta dengan cicilan sesuai
kesepakatan.
4. Akad BBA di Malaysia
BBA (BBA) adalah akad jual beli murabahah (cost + margin) ketika pembayaran
dilakukan secara tangguh dan dicicil dalam jangka waktu panjang, sehingga disebut juga kredit
murabahah jangka panjang.
Pada jual beli BBA, ada empat langkah proses yang dilakukan, sebagai berikut:
1) Nasabah mengidentifikasi aset, misalkan aset X yang ingin dimiliki atau dibeli;
2) Bank membelikan aset yang diinginkan nasabah dari pemilik aset X, misalkan dengan
harga Rp.100 juta; 18
3) Bank menjual aset X tersebut kepada nasabah dengan harga jual sama dengan harga
perolehan ditambah marjin keuntungan yang diinginkan bank, misalkan Rp.120 juta;
dan
4) Nasabah membayar harga aset X yang Rp.120 juta dengan cicilan sesuai kesepakatan.
Dalam prakteknya, nasabah dan bank melakukan kontrak jual dan beli kembali (sale and
buyback) yang tercermin pada perjanjian Property Purchase Agreement (PPA) dan Property Sale
Agreement (PSA). Dalam PPA bank membeli aset dari nasabah dan nasabah disyaratkan untuk
membeli aset yang telah dijual sebelumnya ke bank. Uang pembayaran dari bank akan diteruskan
dari nasabah untuk dibayarkan ke pemilik awal aset. Setelah memiliki aset, bank kemudian
menjualnya kembali kepada nasabah dengan PSA. Mekanisme kontrak jual dan beli kembali ini
esensinya mengandung dua hal. Pertama, kontrak ini merupakan kontrak jual dengan syarat.
Kedua, akad BBA seperti ini menggunakan mekanisme Bai’ al-Inah, karena nasabah menjual
asetnya kepada bank dengan niat untuk dibeli kembali. Demikian pula bank membeli aset
nasabah dengan niat untuk dijual kembali kepada nasabah yang bersangkutan. Akad BBA yang
berorientasi Bai’ al-Inah ini hanya dapat dihindari ketika bank membeli aset dari pemilik awal
aset (vendor/supplier) kemudian menjualnya kepada nasabah dengan pembayaran tangguh.
Tetapi, pada praktek saat ini bank tidak dilarang untuk melakukan jual beli langsung dengan
supplier. Hal ini disebabkan karena suatu bank, baik konvensional maupun syariah, hanya dapat
menyediakan fasilitas pembiayaan. Bank tidak dibolehkan untuk membeli dan menjual aset
untuk mencari keuntungan. Dengan begitu bank tidak dapat membeli aset, seperti rumah atau
kendaraan, dari developer atau dealer. Bank hanya boleh menyediakan pembiayaan atau
pinjaman. Hal yang sama berlaku untuk bank syariah. Transaksi sipil mensyaratkan nasabah
untuk membeli aset dari pemilik aset (membeli rumah dari developer atau membeli mobil dari
dealer). Sedangkan undang-undang perbankan syariah tahun 1983 adalah hukum sipil dan berada
dibawah yurisdiksi pengadilan sipil. Undang-undang perbankan syariah ini memuat nilai-nilai
Syariah, tetapi tidak cukup untuk menutupi 19 hukum perbankan yang berlaku untuk dapat
menjalankan konsep jual beli (al-Bai’) yang murni Syariah.
5. Akad Tawaruq di Malaysia
Tawarruq adalah transaksi pembelian komoditas antara dua belah pihak (pembeli dan
penjual) dengan harga tangguh, untuk selanjutnya oleh si pembeli dijual kembali ke pembeli yg
lain (pihak ketiga) untuk mendapatkan uang tunai. Perbankan syariah di Malaysia mencoba
beralih ke Tawarruq. Atau dikenal juga dengan istilah commodity murabahah dan reverse
murabahah.
Contoh, si A membeli barang dari si B dengan harga 120 ribu dan dicicil selama 12
bulan. Setelah si A menerima barang tersebut, si A akan menjual barang tersebut kepada si C
dengan harga 100 ribu dibayar tunai. Dalam aplikasi perbankan, tawarruq mendapatkan porsi
yang cukup besar.
Jual beli tawarruq memiliki kesamaan dengan jual beli al‘inah, namun juga terdapat
perbedaan antara keduanya. Para ahli hukum mazhab Hambali dan Syafi’i membedakan
tawarruq dan ba’i ‘inah adalah, bahwa dalam tawarruq, orang yang memerlukan likuiditas
menjual barang tersebut kepada pihak ketiga, sedangkan dalam ba’i al-‘inah pembeli menjual
barang tersebut kepada penjual yang sama dari siapa dia membeli barang tersebut
• Istijrar adalah Model jual beli dengan cara konsumen mengambil barang dari penjual (Bank di
Pakistan), lalu di akhir periode dibayar total seluruh harganya.
• Di Pakistan akad ini dilakukan dalam pembelian komoditas seperti kapas, minyak untuk
konsumsi dan obat-obatan.
• Pembeli memiliki opsi untuk menetapkan harga jual kapan saja pada atau sebelum tanggal
jatuh tempo pembayaran kepada Bank asalkan harga pasar melebihi batas atas yang
ditentukan.
• Harga tersebut kemudian akan dibayarkan oleh pembeli kepada bank pada saat jatuh tempo.
• Musyarakah menurun Adalah Musyarakah dengan ketentuan bagian dana pihak pertama akan
dialihkan secara bertahap kepada pihak kedua sehingga bagian dana pihak pertama akan
menurun dan pada akhir masa akad pihak kedua tersebut akan menjadi pemilik penuh usaha
tersebut. Keuntungan yang dihasilkan pada tiap-tiap periode dibagi sesuai porsi kepemilikan
aset masing-masing pihak saat itu
• Di Pakistan akad Musyarakah Menurun ini salah satunya diaplikasikan untuk pembiayaan
pemilikan rumah (pembelian, pembangunan, renovasi, dan pengalihan).
• Dalam hal ini, bank sepakat untuk membiayai pembelian rumah nasabah sampai 85 persen.
Selanjutnya, nasabah setuju untuk membayar cicilan bulanan yang berupa bagian pembayaran
sewa dan cicilan modal. Cicilan bulanan ini menurun karena setiap bulan bagian modal
nasabah bertambah besar, sedang bagian modal bank berkurang, sehingga bagian pembayaran
sewa berkurang. Ketika cicilan lunas aset (rumah) sepenuhnya menjadi milik nasabah.
• Ijarah muntahiya bi tamlik (IMBT) adalah transaksi sewa dengan perjanjian untuk menjual
atau menghibahkan obyek sewa di akhir periode sehingga transaksi ini diakhiri dengan alih
kepemilikan obyek sewa.
• Di Pakistan akad IMBT ini salah satunya diaplikasikan untuk pembiayaan pemilikan
kendaraan atau mobil (baru atau bekas).
• Dalam hal ini, bank sepakat untuk membeli kemudian menyewakan mobil sesuai spesifikasi
yang diinginkan oleh nasabah untuk jangka waktu tiga, empat, atau lima tahun. Pada akhir
periode sewa nasabah akan memperoleh kepemilikan mobil secara penuh yang dibayar
ditambahkan dengan deposit awal (initial security deposits).
JAWABAN SOAL UAS
6
Kahf, Monzer. “Islamic Banks: The Rise of a New Power Alliance of Wealth and
Shari’a Scholarship.” In The Politics of Islamic Finance, edited by CLEMENT M. HENRY
and RODNEY WILSON, 17–36. Edinburgh University Press, 2004.
http://www.jstor.org/stable/10.3366/j.ctt1r27cw.4.
7
Stiansen, Endre. “Interest Politics: Islamic Finance in the Sudan, 1977–2001.” In The Politics of
Islamic Finance, edited by CLEMENT M. HENRY and RODNEY WILSON, 155–67. Edinburgh University
Press, 2004. http://www.jstor.org/stable/10.3366/j.ctt1r27cw.10.
mendapatkan dukungan moderat serta sekularis untuk melawan Islamis radikal.
Dibandingkan dengan rumah pembiayaan khusus lainnya, kinerja Asya Finance terus
meningkat. Hal yang menarik dari Asya Finance adalah proporsi pembiayaan mudharabah
mencapai 41 persen, hampir menyamai pembiayaan murabahah. Pendirian Persatuan Rumah
Keuangan Khusus pada tahun 2001, yang memberikan jaminan bagi uang deposan jika terjadi
kebangkrutan, telah memperkuat posisi perbankan dan keuangan Islam di Turki.8
Industri keuangan Islam telah tumbuh secara substansial di Asia selama 2 dekade
terakhir. Populasi Muslim di berbagai negara Asia, terutama di Asia Tenggara, semakin
meningkat. Pertumbuhan populasi Muslim yang cepat dan peningkatan standar hidup dapat
meningkatkan popularitas keuangan Islam sebagai alternatif yang tajam untuk mekanisme
pembiayaan konvensional.
Selain itu, investor dari Timur Tengah dan Asia semakin tertarik untuk berinvestasi
pada produk yang sejalan dengan keyakinan agama mereka. Pemerintah dan otoritas
keuangan di beberapa negara Asia telah berperan aktif dalam mendorong pengembangan
pasar keuangan syariah sejalan dengan upaya mendorong investasi dan mencapai pendanaan
yang berkelanjutan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan memanfaatkan
likuiditas yang sangat besar dari negara-negara penghasil minyak dan komoditas.
Karakter politik.keuangan syariah dapat meningkatkan daya tarik tersendiri. Produk
keuangan Islami memiliki fokus etis (terutama tidak termasuk investasi dalam alkohol dan
perjudian) dengan profil risiko yang menarik bagi investor yang lebih sadar etika. Mengingat
bahwa dalam pengembalian investasi perbankan Islam didasarkan pada kegiatan ekonomi
yang mendasari dan / atau aset yang menyusun hubungan kontraktual antara pihak yang
bertransaksi, adalah mungkin untuk menggunakan sifat berbasis aset dan aspek pembagian
risiko keuangan Islam untuk integrasi yang lebih besar dengan ekonomi riil dan untuk
meningkatkan keseimbangan ekonomi secara keseluruhan antara sektor riil dan keuangan.
Pasar modal syariah mengalami pertumbuhan yang cukup besar. Sekuritas dengan
dukungan aset Islam dikenal sebagai Sukuk. Sekuritas ini telah muncul di berbagai struktur di
Malaysia, Indonesia, Iran, dan pusat keuangan Islam lainnya. Perusahaan swasta dan
organisasi internasional seperti IDB, Bank Dunia, dan pemerintah termasuk di antara penerbit
8
Baskan, Filiz. “The Political Economy of Islamic Finance in Turkey: The Role of
Fethullah Gülen and Asya Finanss.” In The Politics of Islamic Finance, edited by CLEMENT
M. HENRY and RODNEY WILSON, 216–39. Edinburgh University Press, 2004.
http://www.jstor.org/stable/10.3366/j.ctt1r27cw.13.
Sukuk, termasuk pemerintah Indonesia, Iran, dan Malaysia. Sejumlah yurisdiksi non-Muslim
terkemuka di Asia, termasuk Singapura dan Hong Kong, Tiongkok, kini juga telah
menerbitkan Sukuk Negara (ADB–IFSB 2015). Beberapa dana berdasarkan saham yang
sesuai dengan Syariah muncul selama tahun-tahun booming di tahun 1990-an.
Pada akhir 2018, Malaysia menyumbang 70,5% dari aset perbankan syariah regional
($135,5 miliar), diikuti oleh Indonesia (9,5%, $20,2 miliar) dan Pakistan (5,3%, $10,2 miliar)
(ADB-IFSB 2015)9. Aset perbankan Islam dan produk keuangan di Asia jauh lebih besar
daripada di Eropa dan Amerika Utara, sebagian besar karena pasar keuangan Islam Malaysia.
Malaysia adalah salah satu pemimpin global dalam layanan keuangan Islam dan memegang
sekitar 10,0% pangsa aset perbankan Islam global. Sebagai perbandingan, Indonesia,
Pakistan, dan Brunei Darussalam memiliki pangsa yang lebih kecil, tetapi pertumbuhan dan
perkembangan peraturan mereka di beberapa tahun terakhir telah memungkinkan mereka
untuk memperluas volume aset perbankan syariah mereka dikarenakan perangkat dari
demokrasi yang ada berjalan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
2. Apakah ada pengaruh sentralisasi zakat dan wakaf (pengelolaan oleh lembaga negara)
terhadap peningkatan portofolio zakat dan wakaf di negara muslim. Jelaskan berikut data
dukung nya?
Potensi hanya tinggal potensi saja jika tidak dapat direalisasikan menjadi
penghimpunan dana zakat yang siap dibagikan kepada penerima yang berhak menerimanya.
Konsep lokalisasi/desentralisasi dapat dianggap sebagai cara terbaik dalam pencairan zakat.
Itukonsep lokalisasi/zonasi atau desentralisasi dalam penyaluran dana zakatsangat cocok
dengan konsep Sharma dalam masalah pencairan pajak yang menyatakan demikian transfer
kekuasaan, sumber daya dan tanggung jawab dari pusat ke daerah lebih efektif dalam
mengentaskan kemiskinan di Indonesia.
Beberapa ulama Islam menyampaikan, seperti Qardhawi merekomendasikan
pengelolaan zakat ditarik oleh wilayah, serta pencatatan zakat terpisah dari daerah yang lain.
Pemerintah dapat mengumpulkan seluruh tipe zakat sepanjang itu diambil kepada muzakki
serta tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Quran. Mazhab Hanbali berkomentar kalau
lebih baik seluruh tipe zakat diserahkan oleh Muzzaki (pembayar zakat) langsung kepada
Mustahiq (penerima dana zakat). Sedangkan Mazhab Hanafi serta Syafii yakin kalau
9
Ropi Marlina et al., “Islamic Political Economy: Critical Review of Economic Policy in Indonesia,”
Review of Islamic Economics and Finance 2, no. 1 (2019): 47–55.
memberikan zakat diserahkan melalui pemerintah. Dalam hal ini pemerintah wajib
memferifikasi jika seluruh umat Islam melaksanakannya.
Sentralisasi zakat memberikan konsekwensi keterbukaan data dari hulu hingga hilir.
Jika terjadi Asimetris informasi maka akan menyebabkan ketidakpercayaan dan akan
merugikan muzakki, mustahiq dan pengelola zakat. Selama ini yang terjadi di Indonesia
hanya bersifat semi sentralisasi, yakni lembaga amil zakat melaporkan laporan keuangannya
kepada BAZNAS sebagai induk organisasi. Sayangnya, masih banyak lembaga amal zakat
yang belum berizin sehingga sulit untuk terdeteksi dan di data, hal ini tentu bisa
menimbulkan tidak keakuratan dan bisa jadi zakat yang dibagikan masih timpang, atau wakaf
yang tidak termanfaatkan dengan baik.
Di Mesir, Mesir memiliki jaringan yang sangat besar dan luas dalam pengumpulan
dan pendistribusiannya zakat oleh relawan dan organisasi masyarakat. Manajemen zakat
jaringan di Mesir terdiri dari empat elemen utama seperti: (1) zakat sukarela panitia yang
tidak berafiliasi dengan lembaga manapun, (2) kementerian dan jaringan wakaf dengan
organisasi nirlaba terdaftar, (3) Bank Sosial Nasir dan kelompoknya, (4) ) Bank Islam Faisal
Mesir dan kelompoknya.
Zakat dibayarkan secara sukarela kepada para pengumpul di atas dan
disalurkan oleh panitia zakat di atas kepada mustahik dengan pertimbangan masing-masing
panitia zakat. UU no. 48 tahun 1977 yang mengatur pendirian The Egyptian Faisal Islamic
Bank memperkuat hal tersebut. Undang-undang ini mewajibkan bank untuk menarik zakat
dari modal, keuntungan pemegang saham dan kemudian kumpulkan dana mandiri/gratis
untuk zakat di bank. Hukum ini melakukannya tidak mengenakan pemotongan pajak apa pun
pada Muzaki. Demikian pula Bank Sosial Nasir adalah bank milik pemerintah. Bank ini
mendirikan direktorat zakat di masing-masing cabang utamanya. Melalui cabang-cabang
bank yang tersebar di seluruh negeri, direktorat ini dapat membina kerjasama dengan
pengelola zakat setempat dalam Pembayaran zakat.10
Di Yordania, Hukum wajib zakat bagi umat Islam diatur dalam Undang-
Undang namun dibatasi hanya untuk ternak, kepemilikan tanah dan barang impor. Sebuah
direktorat kecil di Kementerian Wakaf melakukan pengelolaan zakat. Pengumpulan dan
distribusi dari dana zakat dilakukan baik di pemerintah pusat maupun di provinsi. Cukup
Uniknya di Yordania, pembayar zakat bisa menunjuk siapa calon penerima zakatnya dengan
mengisi formulir. Setelah dievaluasi dan disetujui oleh direktorat zakat, uang zakat dapat
10
Dian Masyita, “Lessons Learned of Zakat Management from Different Era and Countries,” Al-
Iqtishad: Jurnal Ilmu Ekonomi Syariah 10, no. 2 (2018): 441–456.
disalurkan kepada pihak yang direkomendasikan oleh pembayar zakat dan pembayar zakat
juga menerima bukti pembayaran yang dapat digunakan untuk mengurangi pembayaran pajak
negara (konsesi pajak). Dengan cara ini, direktorat zakat mampu merespon kebutuhan khusus
masyarakat seperti penyaluran zakat kepada pihak-pihak khusus tersebut sebagai tetangga
dan kerabat dekat Muzzaki yang miskin.11
Di Kuwait, Di negara kecil dan kaya, organisasi zakat kecil sudah cukup untuk
mengelola zakat seluruh negeri. Peran pemerintah terbatas dalam mengelola zakat di Kuwait.
Oleh karena itu, sebuah badan independen, yang disebut Rumah Zakat, berafiliasi dengan
Kementerian Wakaf didirikan untuk mengelola zakat. Tidak ada kewajiban dari zakat yang
diatur oleh Undang-Undang dan Rumah Zakat menerima pembayaran amal sukarela dari
masyarakat, perusahaan dan organisasi / lembaga publik. Rumah Zakat menerima segala
bentuk zakat yang diserahkan pihak lain secara sukarela dasar. Selain itu, Kuwait tidak
mengenakan pajak penghasilan apa pun kepada warganya pemberian zakat tidak relevan
dengan pemotongan pajak.
Tim zakat di Rumah Zakat sering kesulitan menemukan keluarga miskin
karena keluarga miskin di Kuwait biasanya menghindar dari perhatian publik. Karena sangat
sedikit keluarga miskin di Kuwait, tim Rumah Zakat memiliki jangkauan yang luas berbagai
program pengentasan kemiskinan internasional seperti proyek anak yatim Afrika, rehabilitasi,
pinjaman qardh hasan, beasiswa pendidikan di berbagai fakir miskin negara dan berbagai
program kemanusiaan lainnya.12
Di Pakistan Konstitusi Pakistan menetapkan bahwa ada lembaga pemerintah
ditugaskan untuk mengumpulkan dan mendistribusikan zakat dan menghubungkannya
dengan kementerian keuangan. Pemerintah mengumpulkan zakat dalam bentuk simpanan
tabungan di bank, tabungan di kantor pos, saham, surat berharga, dan asuransi serta produk
pertanian. Sedangkan zakat hewan ternak, emas, perak, uang tunai dan perdagangan
dibagikan kepada masing-masing Muzaki. Bagi non muslim, asing dan kafir dengan fikih
zakat diperbolehkan memperoleh pembebasan.
Hukum Pakistan memungkinkan kombinasi pemerintahan dan memilih organisasi
nirlaba untuk mengelola zakat. Meskipun secara administrative berafiliasi dengan
kementerian keuangan, setiap provinsi memiliki dewan zakat yang dipimpin oleh hakim dan
ada beberapa ahli fikih sebagai anggotanya. Tiga tingkat manajemen di mengelola distribusi
11
Ibid.
12
Ibid.
zakat seperti tingkat kabupaten, kecamatan dan lokal sukarela, sementara dana zakat
dikumpulkan di tingkat nasional, provinsi dan lokal.13
Di Malaysia, Pengelolaan zakat di Malaysia merupakan kewenangan pemerintah.
Peningkatan jumlah zakat yang dihimpun oleh pemerintah tidak dapat dipisahkan dari
pengembangan e-Zakah menggunakan aplikasi berbasis internet yang membuat semua
informasi tentang zakat dapat diakses oleh semua orang.
Zakat dengan strategi pemasaran e-zakah mampu membangkitkan kesadaran umat
Islam untuk membayar zakat secara teratur dan komputerisasi meningkatkan efektivitas dan
efisiensi pengumpulan zakat dari tahun ke tahun. Namun, pendistribusian zakat masih
menjadi persoalan rumit di Malaysia yang merendahkan kinerja lembaga zakat itu sendiri.
Dikutip oleh masyita menurut Dahan dan Abdullah, ketidakpuasan Muzzaki terhadap kinerja
lembaga zakat membuat Muzzaki cenderung untuk mendistribusikan zakat mereka ke 8 asnaf
sendiri terutama kepada fakir dan miskin.
Di Malaysia, pengelolaan zakat berbeda antara satu negara bagian dengan negara
bagian lainnya hanya Selangor, Pulau Pinang, dan Sarawak yang memprivatisasi pengelolaan
zakat mereka proses pengumpulan dan pendistribusian. Sementara itu Federal Kuala Lumpur
Wilayah, Negeri Sembilan, Melaka dan Pahang memprivatisasi hanya melakukan proses
pengumpulan dan penyerahan zakat kepada Umat Islam Negara Dewan (SIRC). Negara
bagian lain seperti Kedah, Perlis, Sabah, Kelantan, Perak, Terengganu, Johor, Putrajaya dan
Wilayah Federal Labuan belum diprivatisasi manajemen zakat mereka dan hanya bergantung
pada SIRC untuk mengelola zakat. Privatisasi di sini berarti proses mengalihkan peran
pemerintah dalam pengelolaan zakat kepada pihak swasta meningkatkan kualitas dan kinerja
pengelolaan zakat secara signifikan.
Di Indonesia, Menurut UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat,
pasal 1, “Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha
untuk diberikan kepada siapa yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam”. Dalam
pasal 1, itu dijelaskan pula bahwa, “BAZNAS merupakan lembaga yang mengelola zakat
secara nasional dan LAZ merupakan lembaga bentukan masyarakat yang memiliki tugas
membantu pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat.
Padahal Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di
dunia dengan 88% dari 240 juta penduduk, Indonesia bukanlah Negara Islam. Pemerintah
Indonesia juga memberlakukan kewajiban membayar pajak kepada seluruh warga negaranya.
namun demikian UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan juga ditegaskan
13
Ibid.
dengan UU no. 23/2011 pasal 22 yang menyatakan bahwa “Zakat dibayarkan oleh Muzzaki
kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak”.
Dengan aturan ini, umat Islam Indonesia terhindar dari beban ganda
membayar zakat dan pajak pada saat yang sama. Ini adalah keuntungan dari pengelolaan
zakat yang terintegrasi secara nasional dimana bukti pembayaran zakat melalui lembaga yang
kredibel dapat mengurangi pembayaran Pajak Muzaki. Potensi pajak menurun tetapi
pembayaran zakat meningkat berbagai akibat. Salah satu konsekuensi dari hal ini membuat
umat Islam dengan dana zakat diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi program
pengentasan kemiskinan di Indonesia.
3. Sebutkan akad-akad yang digunakan di perbankan syariah di negara muslim dan jelaskan
persamaan dan perbedaan ketentuan syariah nya.
Di Pakistan
Karakteristik perbankan Syariah yang ada di Pakistan pada dasarnya hampir sama
dengan karakteristik perbankan Syariah yang ada di negara yang lain. Akan tetapi terdapat
perbedaan yang signifikan berkaitan dengan system Syariah yang berlaku secara nasional di
seluruh Pakistan yang membuat Pakistan berbeda dengan negara lain yang menganut dual
economic system. Seperti di Indonesia misalnya.
Mayoritas Masyarakat Pakistan menganut konsep hukum Hanafi. Hal ini membuat
banyak ulama di Pakistan yang menyatakan bahwa hutang sama dengan uang. Karena adanya
anggapan bahwa hutang sama dengan uang, maka hutang hanya dapat ditukarkan atau
dijualbelikan dengan harga atau nilai yang sama.. Selain itu juga dalam konsep keuangan
syariah di Pakistan dengan menggunakan mazhab Hanafi membuat konsep buy back dilarang.
Hal ini membuat akad Ba’I Al Inah, yang menggunakan konsep sale and buyback dianggap
tidak sesuai dengan konsep Syariah, sehingga tidak bisa dipergunakan untuk kepentingan
transaksi.
Terdapat beberapa akad yang ada di bank Syariah di Pakistan. Untuk kegiatan
pendanaan maka akad yang dipergunakan adalah akad wadiah dan juga akad mudharabah.
Untuk pembiayaan akad yang dipergunakan adalah akad mudharabah, akad musayarakah dan
juga akad musyarakah menurun. Juga terdapat akad salam, ijarah dan juga isthisna. Untuk
jasa-jasa perbankan maka akad yang dipergunakan adalah akad kafalah, akad wakalah, akad
ijarah, akad sharf dan akad mudharabah muqayyadah.
Gambar . Akad Syariah di Pakistan
2. Apakah ada pengaruh sentralisasi zakat dan wakaf (pengelolaan oleh Lembaga negara)
terhadap peningkatan portofolio zakat dan wakaf di negara muslim. Jelaskan berikut data
pendukung
P en g h i mp u n an za k at i n d o n esi a
12
11
10
8
Jumlah (triliun)
6
5
4
3
3
Tahun
Pengelolaan Wakaf
Pengelolaan wakaf pada era kekhilafahan Islam dimulai pada masa Khilafah Bani
Umayah yang mengalami masa perkembangan luar biasa. Wakaf dan penyalurannya tidak
hanya terbatas kepada kalangan fakir miskin, akan tetapi telah merambah berbagai
hal,wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun
perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para
siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat terhadap pelaksanaan wakaf telah menarik
perhatian khalifah untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun
ekonomi dan kesejahteraan umat.
Wakaf di Arab Saudi. Perkembangan wakaf di Arab Saudi sangat pesat dan
bentuknya bermacam-macam seperti hotel, tanah, apartemen, toko, kebun, dan tempat-
tempat ibadah. Pemanfaatan hasil wakaf, sebagian digunakan untuk perawatan Masjidil
Haram dan Masjid Nabawi, serta sebagian lain diproduktifkan yang hasilnya digunakan
untuk membiayai fasilitas pendidikan dan kegiatan sosial lainnya.
Arab Saudi termasuk negara yang sangat serius menangani wakaf, di antaranya
dengan membentuk Kementerian Haji dan Wakaf. Kementerian ini berkewajiban
mengembangkan dan mengerahkan wakaf sesuai dengan syarat-syarat yang telah
ditetapkan oleh waqif. Sedangkan untuk mengawal kebijakan perwakafan, pemerintah
membentuk Majelis Tinggi Wakaf yang diketuai oleh Menteri haji dan Wakaf dengan
anggota terdiri dari ahli hukum Islam dari Kementerian Kehakiman, wakil dari
Kementerian Ekonomi dan Keuangan, Direktur Kepurbakalaan serta tiga anggota dari
cendekiawan dan wartawan. Majelis ini mempunyai wewenang untuk membelanjakan
hasil pengembangan wakaf dan menentukan langkah-langkah dalam mengembangkan
wakaf berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh waqif dan manajeman wakaf
Negara Sudan menetapkan pengelolaan wakaf secara produktif disertai dengan
manajemen yang rapi dimulai pada tahun 1987, dengan dibentuknya Badan Wakaf Islam
Sudan. Badan Wakaf ini diberi wewenang yang luas dalam memenej dan melaksanakan
semua tugas yang berkaitan dengan wakaf, menertibkan administrasi wakaf,
menggalakkan sertifikasi tanah wakaf dan mendorong para dermawan untuk berwakaf.
Selain itu, Badan Wakaf ini juga mengawasi para naz}ir dalam mengelola wakaf, agar
lebih produktif dan sesuai tujuan dari wakif. Berbeda dengan Turki, Negara ini
mempunyai sejarah Panjang dalam pengelolaan wakaf, mulai sejak masa Daulah
Utsmaniyah sampai sekarang. Pada tahun 1925 harta wakaf Turki mencapai ¾ dari aset
wakaf produktifnya. Kini didirikan Waqf Bank & Finance Coorporation untuk
memobilisasi sumber-sumber wakaf dan membiayaiberbagai macam proyek joint-
venture.
Negara Kuwait pada tahun 1993, Kementerian Wakaf membentuk persekutuan
wakaf yang mengelola asetaset wakaf, baik wakaf lama maupun wakaf baru. Lembaga ini
merupakan lembaga independen yang mempunyai dua strategi pengembangan wakaf
secara efektif: 1) pengembangan harta wakaf secara produktif melalui berbagai saluran
investasi dan membagikan hasilnya sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh pada
wakif, 2) membuat program wakaf yang sesuai untuk menggalakkan berdirinya wakaf
baru, lembaga wakaf mengajak masyarakat dan memberikan penyuluhan agar mereka
terdorong untuk mewakafkan sebagian hartanya.
Mesir menetapkan pengelolaan wakaf sejak lama. Wakaf telah memainkan
peranan yang penting dalam menggerakkan roda perekonomian dan memenuhi kebutuhan
masyarakat Mesir. Hal ini karena wakaf dikelola secara profesional dan dikembangkan
secara produktif. Perintis wakaf pertama kali di Mesir adalah seorang hakim di era
Hisyam bin Abdul Malik, bernama Taubah bin Namir al-Hadrami yang menjadi hakim
pada tahun 115 H. Ia mewakafkan tanahnya untuk dibangun bendungan dan manfaatnya
dikembangkan secara produktif untuk kepentingan umat (Abdul Aziz Muhammad as-
Sanawi, 1983: 83). Wakaf yang dirintis oleh Taubah ini perkembangannya sangat pesat,
terutama pada masa kekuasaan Daulah Mamluk (1250-1517). Pada era kejayaan Mamluk,
wakaf telah berkembang pesat dan dibarengi dengan pemanfaatannya yang sangat luas
untuk menghidupi berbagai layanan kesehatan, pendidikan, perumahan, penyediaan
makanan dan air, serta digunakan untuk kuburan. Contoh utama wakaf di era Mamluk ini
adalah Rumah Sakit yang dibangun oleh al-Mansur Qalawun yang mampu memenuhi
kebutuhan kesehatan masyarakat Mesir selama beberapa abad. Wakaf berkembang pesat
ketika pemerintah Mesir menerbitkan Undang-undang No. 80 Tahun 1971 yang mengatur
tentang pembentukan Badan Wakaf Mesir yang khusus menangani masalah wakaf dan
pengembangannya.
Yordania mengelola wakaf ditangani oleh Kementerian Wakaf dan Urusan
Agama Islam yang didasarkan pada Undang-undang Wakaf No. 25/1947. Dalam Undang-
undang ini disebutkan bahwa yang termasuk dalam urusan Kementerian Wakaf dan
Urusan Agama Islam adalah wakaf masjid, madrasah, lembaga-lembaga Islam,
rumahrumah yatim, tempat pendidikan, lembaga-lembaga Syari’ah, kuburan-kuburan
Islam, urusan haji, dan urusan fatwa. Undangundang ini diperkuat oleh Undang-undang
Wakaf No. 26/1966 yang mempertegas peran Kementerian Wakaf dan Urusan Agama
Islam dalam pengelolaan wakaf.
Di Indonesia pengelolaan wakaf di Indonesia secara praktis banyak
diimplementasikan oleh masyarakat (Ormas) Muhammadiyah NU. Untuk memperkuat
pengembangan wakaf, pemerintah membentuk BWI. Produk turunan wakaf terus
berkembang mengintegrasikan wakaf dengan instrument keuangan lainnya seperti sukuk,
deposito.
Pemerintah menetapkan regulasi No 41 Tahun 2004 yang dilanjutkan dengan PP
No 42 Tahun 2006 tentang wakaf. Melalui BWI sebagai Lembaga pemerintah yang
berwenang menjalankan regulasi pengelolan asset wakaf yang dimiliki negara dan
memberikan kebebasan kepada Nazir pengelola wakaf baik statusnya Lembaga Yayasan,
perusahaan dan perorangan. BWI memberikan izin untuk mengelola wakaf dengan baik.
Produk-produk wakaf lebih inovatif dengan menghubungkan antara sukuk dan wakaf
yang disertai dengan jaminan dari pemerintah bagi investor yang menginvestasikan untuk
kepentingan social. Seperti CWLS, Sukuk Wakaf melalui IPO, dan sukuk wakaf melalui
Reksa Dana Penyertaan Terbatas (RDPT).
Dengan dikelolanya wakaf oleh pemerintah melalui Lembaga negara, trend dari
penhimpunan dan pengelolaan wakaf terus meningkat. Total wakaf uang yang dikelola
Lembaga kenazhiran BWI mencapai Rp 77.7 Miliar, dan imbal hasilnya tersalurkan.
Akad ini merupakan nama lama dari akad murabahah. Bisa dikatakan bahwa akad
ini merupakan akad jual beli dimana pembayaran dilakukan secara Tangguh atau cicilan,
serta pembayaran dilakukan dalam jangka Panjang. Bisa dikatakan bahwa murabahah
merupakan kredit murabahah untuk jangka Panjang. Di sini terdapat pula keunikan dalam
akan bai bitthaman ajil yang berlaku di bank Syariah di Malaysia. Pihak nasabah dan juga
pihak bank Syariah melakukan kegiatan kontrak dan jual beli kembali yang dicerminkan
dalam perjanjian property purchase agreement dan juga property sale agreement. Dengan
adanya kontrak ini maka pihak bank Syariah melakukan pembelian asset dari nasabah
sementara pihak nasabah juga diminta untuk melakukan pembelian asset yang
sebelumnya telah dilakukan penjualan kembali oleh pihak bank Syariah. Uang
pembayaran yang diberikan oleh pihak bank Syariah akan diteruskan dari pihak nasanah
untuk kemudian dilakukan pembayaran kepada pihak pemilik awal daripada asset
tersebut. Setelah memiiliki asset tersebut, maka pihak bank Syariah melakukan penjualan
kembali dari asset tersebut kepada nasabah dengan mempergunakan konsep property sale
agreement.