DISUSUN OLEH :
1. PENGERTIAN INDIKATOR
Menurut Kemenkes (2013) indikator adalah sesuatu yang dapat memberikan petunjuk
tentang suatu keadaan, baik pada individu maupun masyarakat, khususnya yang berkaitan
dengan surveilans gizi.
Seperti dikemukan oleh WHO (2013), dikutip dari Zulfianto (2016) dalam Ilmu Gizi,
Teoris dan Aplikasi, saat pemilihan indikator Anda harus SMART, yang berarti saat memilih
indikator Anda harus Spesific, Measurable, Achievable, Relevant dan Time bound. Artinya
indikator tersebut harus benar-benar dapat mengidentifikasi masalah yang dimaksud, dapat
diukur atau diamati, dapat dilaksanakan termasuk pembiayaannya, relevan dengan masalah
yang diamati, dan dapat memberikan indikasi secara tepat waktu.
Lebih lanjut WHO (2013) menyatakan bahwa indikator gizi digunakan untuk memantau,
mendiagnosis dan mengevaluasi intervensi gizi dan gizi pada individu. Indikator tersebut juga
digunakan dalam populasi untuk menentukan besarnya dan kecenderungan masalah gizi yang
sedang diawasi, lokasi dan penyebabnya, dan untuk mengevaluasi dampak program dan
kebijakan gizi. Indikator gizi juga digunakan dalam penelitian untuk mengidentifikasi
mekanisme biologis dan sosial yang mempengaruhi, atau dipengaruhi oleh gizi.
2. SYARAT-SYARAT INDIKATOR
Kemenkes (2013) telah menetapkan beberapa syarat suatu data atau variabel dapat
dijadikan indikator. Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut.
1. Mudah diukur baik secara kuantitatif, maupun kualitatif.
2. Dapat menggambarkan masalah dengan jelas.
3. Akurat dan relevan dengan masalah yang ingin diukur.
4. Bersifat sensitif sehingga dapat memberikan indikasi terjadinya perubahan setiap saat.
5. Tepat waktu sesuai dengan tujuan pengamatan.
Namun demikian ada juga yang berpendapat lain tentang syarat-syarat indikator tersebut.
Hal ini disebabkan karena ada juga yang berpendapat bahwa suatu indikator harus memenuhi
persyaratan tertentu, sehingga masalah dan peristiwa dapat ditelusuri agar memenuhi kaidah-
kaidah ilmiah, baik secara kuantitaif maupun kualitatif. Adapun yang juga menjadi syarat-
syarat indikator tersebut adalah sebagai berikut :
1. Indikator harus mudah diukur secara kualitatif maupun kuantitatif. Mudah diukur itu
seperti berat badan, tinggi badan, konsumsi pangan dan lain sebagainya.
2. Indikator harus jelas untuk dipahami dan dapat secara langsung mengukur keadaan.
Misalnya kenaikan berat badan secara 2 kali berturut-turut.
3. Indikator harus akurat dan relevan dengan masalah yang ingin diukur. Contohnya
untuk mengukur status gizi bisa digunakan indeks berat badan menurut tinggi badan
dan untuk mengukur kerawanan pangan bisa dilihat dari tingkat pemenuhan konsumsi
energi dan zat gizi.
4. Indikator harus sensitif. Artinya, jika ada masalah atau perubahan yang terjadi, maka
masalah dapat dideteksi dengan baik oleh indikator tersebut. Misalnya besarnya
lingkar lengan atas, dapat mengunjukkan risiko kurang energi kronis pada wanita usia
subur.
5. Indikator harus tepat waktu. Indikator yang diperlukan harus dapat dikumpulkan
dalam waktu yang tepat dan singkat, sehingga dapat diambil tindakan segera untuk
memecahkan masalah yang akan timbul.
3. PENGELOMPOKAN INDIKATOR
Salah satu bentuk kegiatan surveilans gizi di Indonesia adalah Pemantauan Status Gizi
dan Pemantauan Konsumsi Gizi. Menurut Kemenkes (2017), tujuannya adalah menyediakan
informasi tentang status gizi, konsumsi dan faktor determinannya yang akan digunakan oleh
para perumus kebijakan, pengambilan keputusan dalam rangka perencanaan dan penentuan
kebijakan penanggulangan masalah gizi.
Sebagai contoh, sejak tahun 2014, Kemenkes telah melakukan pemantauan status gizi dan
kinerja upaya perbaikan gizi di masyarakat. Mulai tahun 2016, ditambahkan dengan
pemantauan konsumsi gizi ibu hamil dan pada tahun 2017 dilakukan pemantauan konsumsi
gizi balita.
Pemantauan Status Gizi 2016 Pada pemantauan status gizi tahun 2016, indikator gizi
yang dikumpulkan dan digunakan adalah :
1) Persentase kasus balita gizi buruk yang mendapat perawatan.
2) Persentase balita yang ditimbang berat badannya.
3) Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan mendapat ASI Eksklusif.
4) Persentase rumah tangga mengonsumsi garam beriodium.
5) Persentase balita 6-59 bulan mendapat kapsul vitamin A.
6) Persentase ibu hamil yang mendapatkan Tablet Tambah Darah (TTD) minimal 90
tablet selama masa Kehamilan.
7) Persentase ibu hamil Kurang Energi Kronik (KEK) yang mendapat Makanan
Tambahan.
8) Persentase balita kurus yang mendapat makanan tambahan.
9) Persentase remaja puteri mendapat TTD.
10) Persentase ibu nifas mendapat kapsul vitamin A.
11) Persentase bayi baru lahir yang mendapat IMD.
12) Persentase bayi dengan berat badan lahir rendah (berat badan < 2500 gram).
13) Persentase balita mempunyai buku KIA/KMS.
14) Persentase balita ditimbang yang naik berat badannya.
15) Persentase balita ditimbang yang tidak naik berat badannya (T).
16) Persentase balita ditimbang yang tidak naik berat badannya dua kali berturut-turut (2T).
17) Persentase balita di Bawah Garis Merah (BGM).
18) Persentase ibu hamil anemia.
Jika membandingkan dengan capaian tahun ini sebesar 69,7% dengan target sebesar
45%maka capaian tahun 2021 ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan
denganrealisasi target mencapai 154,9%, seperti yang tergambar pada Gambar di bawah ini:
Bila dilihat perbandingan realisasi kinerja kegiatan ibu hamil yang mendapatkan TTD
90 tablet selama masa kehamilan pada tiga tahun terakhir (gambar 3.6), persentase ibu hamil
yang mendapatkan TTD 90 tablet selama masa kehamilan cenderung meningkat. Walaupun
realisasinya sudah menunjukkan tren yang positif, masih tetap diperlukan upaya yang lebih
untuk mencapai target 98% di tahun 2019.
Secara rata-rata nasional pada tahun 2018, realisasi remaja puteri yang mendapat TTD
sudah mencapai target, yaitu sebesar 48,5% dari target 25%. Target yang ditetapkan untuk
kegiatan ini tidak terlalu tinggi, dikarenakan kegiatan pemberian TTD bagi remaja puteri
merupakan kegiatan yang baru dicanangkan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2015.
Selain itu, pengalokasian anggaran untuk logistik kegiatan inipun masih sangat terbatas.
Jika melihat kecenderungan realisasi indikator ini setiap tahunnya, maka terlihat tren
yang positif, sehingga pencapaian target sebesar 30% di tahun 2019 diprediksi sangat
mungkin tercapai. Meskipun demikian, masih membutuhkan upaya yang serius dari
Kementerian Kesehatan, terutama dalam pengalokasian anggaran bagi pengadaan TTD.
Sebanyak kurang lebih 80% provinsi (27 provinsi) mempunyai realisasi lebih tinggi
dari target (25%), dimana realisasi tertinggi sebesar 92,6% (Provinsi Bali). Realisasi yang
dicapai ini diperoleh dari 431 kabupaten/kota (84%), yang melaporkan pelaksanaan
pelayanan pemberian TTD bagi remaja puteri usia 12-18 tahun yang bersekolah di SMP
dan SMA atau sederajat di wilayah kerjanya (sesuai dengan definisi operasional yang
tercantum dalam revisi Renstra Kemenkes 2015-2019). Realisasi ini melebihi target yang
telah
ditetapkan sebesar 25%.
Bila melihat perbandingan realisasi kinerja kegiatan balita kurus yang mendapat
makanan tambahan pada empat tahun terakhir (gambar 3.14), walaupun belum mencapai
target, persentase balita kurus mendapat makanan tambahan cenderung menunjukkan tren
yang positif. Akan tetapi, masih diperlukan perhatian yang khusus agar target capaian 90% di
tahun 2019 dapat tercapai, dengan syarat alokasi anggaran dapat memenuhi kebutuhan.
Terlihat dari 34 provinsi di Indonesia, baru 23 provinsi yang sudah mencapai/melebihi
target, dengan realisasi tertinggi yaitu Provinsi Sumatera Selatan sebesar 100%. Sementara
itu, 11 provinsi lainnya masih di bawah target, bahkan 10 provinsi realisasinya di bawah
realisasi nasional, dengan realisasi terendah Provinsi Papua sebesar 50,1%.
Berdasarkan dokumen Renstra Kementerian Kesehatan RI tahun 2015-2019, target
balita kurus yang mendapatkan makanan tambahan didasarkan kepada kemampuan anggaran
tahun 2018 sebesar 85%. Akan tetapi pada kenyataannya, alokasi APBN tahun 2018 untuk
penyediaan makanan tambahan bagi balita kurus hanya sebesar Rp 487.007.100.000,- untuk
memenuhi 612.882 balita kurus. Berdasarkan hasil PSG 2017, persentase balita kurus sebesar
6,7% (1.430.890 balita), artinya dengan alokasi tersebut, makanan tambahan yang disediakan
oleh pusat hanya mampu memenuhi 43% balita kurus.
DAFTAR PUSTAKA
https://repository.dinus.ac.id/docs/ajar/SURVAILANS-GIZI-FINAL-SC.pdf
https://ppid.kemkes.go.id/uploads/img_62f0d4c9e9f34.pdf
https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_60248a365b4ce1e/files/SAKIP-GIZI-2018_1559.pdf