Anda di halaman 1dari 139

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

KAJIAN SEMIOTIK KUMPULAN CERPEN SAMIN


KARYA KUSPRIHYANTO NAMMA

SKRIPSI

oleh:
YUNITA NURUL KHOMSAH
K1207042

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012

i
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KAJIAN SEMIOTIK KUMPULAN CERPEN SAMIN


KARYA KUSPRIHYANTO NAMMA

oleh:
YUNITA NURUL KHOMSAH
K1207042

Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana
Pendidikan Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012

i
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Persetujuan Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Slamet Mulyono, M . Pd. Drs. Yant Mujiyanto, M. Pd.


NIP 19620728 199003 1 002 NIP 19540520 198503 1 002

ii
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Skripsi ini telah direvisi sesuai dengan arahan dari Tim Penguji Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima
untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

iii
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas


Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima
untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Hari : Kamis
Tanggal : 5 Januari 2012

iv
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRAK

Yunita Nurul Khomsah. K1207042. KAJIAN SEMIOTIK KUMPULAN


CERPEN SAMIN KARYA KUSPRIHYANTO NAMMA. Skripsi, Surakarta:
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas M aret, November
2011.
Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) mengidentifikasi dan menganalisis
indeks, ikon, dan simbol untuk menemukan makna semiotik pada kumpulan
cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma; (2) mendeskripsikan latar belakang
penulis (Kusprihyanto Namma) menggunakan unsur semiotik (indeks, ikon, dan
simbol) dalam menyampaikan ide cerita; (3) mendeskripsikan kebermaknaan
penggunaan unsur semiotik tersebut dalam mendukung keestetikan kumpulan
cerpen Samin.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu mengkaji
fenomena yang terjadi pada subjek penelitian dalam bentuk kata-kata denga n
memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Sumber data dalam penelitian ini berupa
dokumen, yaitu kumpulan cerpen Samin dan informan, yang terdiri dari penulis
dan beberapa pembaca kumpulan cerpen Samin. Teknik pengumpulan data
dilakukan dengan cara analisis dokumen dan wawancara. Validitas data
menggunakan triangulasi metode dan triangulasi sumber.
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa
kumpulan cerpen Samin merupakan bentuk kritik penulis terhadap pemerinta han
Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Beberapa judul cerpen seperti
Biru, Kembang Tebu, Jawa, Samin, Bedil, dan Dom mengisahkan tentang
keburukan atau penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru.
Beberapa judul cerpen yang lain seperti Mun, Pundhen, Patrem, dan Tuyul
memang tidak mengkhususkan pada masa Orde Baru, namun memiliki kesatuan
ide dengan cerpen lainnya, yaitu kritik terhadap sistem pemerintahan atau politik.
Penulis, yaitu Kusprihyanto Namma menggunakan sistem semiotik (simbol,
indeks, dan ikon) dalam menuangkan ide ceritanya karena ia tidak berani
menyampaikan kritiknya secara terang-terangan. M eskipun demikian, penggunaan
sistem semiotik (simbol, indeks, dan ikon) dalam kumpulan cerpen Samin dapat
menambah keestetikan karya.

v
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

MOTTO

Apa yang ada di belakang kita dan apa yang ada di depan kita merupakan
hal kecil dibandingkan dengan apa yang ada di dalam kita.
Oliver Wendell Holmes

Orang yang bercita-cita tinggi adalah orang yang menganggap teguran


keras baginya lebih lembut daripada sanjungan merdu seorang penjilat
yang berlebih-lebihan.
Thales

Manusia tidak dirancang untuk gagal, tetapi manusialah yang gagal untuk
merancang.
William J. Siegel

Sesuatu mungkin mendatangi mereka yang mau menunggu, namun hanya


didapatkan oleh mereka yang bersemangat mengejarnya.
Abraham Lincoln

Kita tidak pernah belajar menjadi berani dan sabar kalau di dunia ini hanya
ada kebahagiaan.
Hellen Keller

Lebih baik bertempur dan kalah daripada tidak pernah bertempur sama
sekali.
Arthur Hugh Clough

vi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PERSEMBAHAN

Penelitian ini penulis persembahkan kepada :


1. Allah Swt. atas nafas dan kekuatan yang
selalu dilimpahkan-Nya.
2. Orangtuaku tercinta yang senantiasa
memberi dukungan moral maupun
material.
3. Kakak-kakakku sayang yang selalu
menguatkan aku.
4. Almarhumah Budhe Is untuk kasihmu
yang tak dapat lagi tersentuh.
5. Keluarga Peronku yang telah
mengajarkanku banyak ha l.
6. Keluarga Fahima, teman sekaligus
saudara perempuanku.
7. Teman-teman Bastind 2007
8. Semua pihak yang tak mampu
disebutkan satu persatu,

vii
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah Swt., karena atas
limpahan nikmat-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian
Semiotik Kumpulan Cerpen Samin Karya Kusprihyanto Namma”. Skripsi ini
tidak akan terwujud tanpa bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, dengan segala kerendaha n hati peneliti menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatulloh, M .Pd. selaku dekan Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang telah memberikan izin penelitian.
2. Dr. Muhammad Rohmadi, M .Hum selaku ketua jurusan Pendidikan
Bahasa dan Seni yang telah menyetujui permohonan penyusunan skripsi.
3. Dr. Andayani, M .Pd. selaku ketua program studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia yang telah memberikan izin untuk penulisan skripsi ini.
4. Drs. Slamet Mulyono, M. Pd. selaku pembimbing I yang telah
memberikan pengarahan, bimbingan, dan bantuan dalam setiap bagian
skripsi sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Drs. Yant Mujiyanto, M.Pd. selaku pembimbing II yang telah memberikan
pengarahan, bimbingan, dan bantuan dalam setiap bagian skripsi sehingga
peneliti dapat menye lesaikan skripsi ini.;
6. Dan semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan.

Surakarta, November 2011

Peneliti

viii
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR ISI

HALAM AN JUDUL…………………………………………………… i
HALAM AN PERSETUJUAN…………………………………………. ii
HALAM AN PENGESAHAN…………………………………………. iv
HALAM AN ABSTRAK……………………………………………….. v
HALAM AN MOTTO…………………………………………………... vi
HALAM AN PERSEMBAHAN………………………………………… vii
KATA PENGANTAR………………………………………………….. viii
DAFTAR ISI……………………………………………………………. ix
DAFTAR GAM BAR…………………………………………………… xii
DAFTAR TABEL………………………………………………………. xiii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………… xiv
BAB I: PENDAHULUAN……………………………………………... 1
A. Latar Belakang Masalah………………………………………… 1
B. Rumusan M asalah………………………………………………. 5
C. Tujuan Penelitian………………………………………………… 5
D. Manfaat Penelitian………………………………………… ……. 6
BAB II: LANDASAN TEORI………………………………………….. 7
A. Tinjauan Pustaka………………………………………………… 7
1. Hakikat Kajian Semiotik…………………………………... 7
a. Sejarah Semiotik……………………………………… 7
b. Pengertian Semiotik…………………………………... 8
c. Teori Semiotik………………………………………... 10
1) Teori semiotik Peirce……………………………. 10
2) Teori Semiotik Saussure………………………… 12
3) Teori Semiotik Charles Morris………………….. 14
4) Teori Semiotik Roland Barthes………………….. 14
5) Teori Semiotik Umberto Eco……………………. 16
6) Teori Semiotik Odgen & Richard………………... 16

ix
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

7) Teori Semiotik Bloomfield………………………. 17


d. M acam-M acam Semiotik…………………………….. 18
e. Bahasa sebagai Sistem Semiotik…………………….. 19
2. Hakikat Cerita Pendek (Cerpen)………………………….. 21
a. Pengertian Cerita Pendek…………………………….. 21
b. Ciri-Ciri Cerpen………………………………………. 22
c. Unsur-Unsur Cerita Pendek……………………...…… 23
1) Tema…………………………………………….. 23
2) Alur atau Plot…………………………………… 24
3) Penokohan……………………………………… 26
4) Latar atau Setting……………………………….. 28
5) Sudut Pandang atau Point of View…………….. 29
6) Gaya…………………………………………….. 30
7) Amanat………………………………….............. 31
B. Kerangka Berpikir……………………………………………..... 32
BAB III: METODOLOGI PENELITIAN………………………………. 34
A. Bentuk dan Strategi Penelitian……………………………………. 34
B. Tempat dan Waktu Penelitian……………………………………. 34
C. Sumber Data……………………………………………………… 35
D. Teknik Sampling…………………………………………………. 35
E. Teknik Pengumpulan Data………………………………………. 36
F. Validitas Data…………………………………………………… 36
G. Teknik Analisis Data……………………………………………. 37
H. Prosedur Penelitian………………………………………………. 39
BAB IV: HASIL PENELITIAN………………………………………… 40
A. Deskripsi Data Penelitian……………………………………….. 40
B. Analisis Data dan Pembahasan…………………………………. 50
1. Identifikasi dan Analisis Ikon, Indeks, dan Simbol untuk
Menemukan M akna Semiotik pada Kumpulan cerpen
Samin……………………………………………………….. 50

x
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2. Makna Semiotik Kumpulan Cerpen Samin Berdasarkan


Identifikasi dan Analisis Ikon, Indeks, dan Simbol………… 94
a. M akna Semiotik Cerpen Biru………………………... 94
b. M akna Semiotik Cerpen Mun………………………... 96
c. M akna Semiotik Cerpen Kembang Tebu………...…... 98
d. M akna Semiotik Cerpen Pundhen……………………. 100
e. M akna Semiotik Cerpen Samin………………………. 102
f. M akna Semiotik Cerpen Jawa……………………….. 105
g. M akna Semiotik Cerpen Bedil……………………….. 107
h. M akna Semiotik Cerpen Patrem.................................. 108
i. M akna Semiotik Cerpen Dom……………………… 109
j. M akna Semiotik Cerpen Tuyul……………………… 110
3. Latar Belaka ng Penulis M enggunakan Sistem Semiotik
(Ikon, Indeks, dan Simbol) dalam Penyajian Cerita………… 112
4. Kebermaknaan Penggunaan Unsur Semiotik (Ikon, Indeks,
dan Simbol) untuk M endukung Keestetikan Karya …………. 114
BAB V: SIMPULAN, IM PLIKASI, DAN SARAN……………………. 122
A. Simpulan………………………………………………………… 122
B. Implikasi………………………………………………………… 123
C. Saran……………………………………………………………. 124
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….. 125

xi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR GAMBAR

Gambar no. Halaman


Gambar 1. Segitiga Relasi Triad Odgen dan Richards…………... 17
Gambar 2. Skema Kerangka Berpikir……………………………. 33

xii
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR TABEL

Tabel no. Halaman


Tabel 1. Jadwal Kegiatan………………………………………… 34
Tabel 2. Deskripsi Data…………………………………………… 41

xiii
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran no. Halaman


Lampiran 1. Gambaran tentang Kumpulan Cerpen Samin………… 130
Lampiran 2. Pedoman Wawancara dengan Pengarang……………… 132
Lampiran 3. Pedoman Wawancara dengan Pembaca……………… 133
Lampiran 4. Pedoman Wawancara dengan Ahli Sastra……………. 134
Lampiran 5. Laporan Hasil Wawancara dengan Pengarang………… 135
Lampiran 6. Laporan Hasil Wawancara dengan Pembaca………….. 140
Lampiran 7. Laporan Hasil Wawancara dengan Ahli Sastra……….. 145
Lampiran 8. Keputusan Dekan Fa kultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan …………………………………………….. 147
Lampiran 9. Permohonan Izin Menyusun Skripsi…………………... 148
Lampiran 10. Permohonan Izin Research…………………………….. 149
Lampiran 9. Kumpulan Cerpen Samin…………………………….... 150

xiv
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Semakin hari dunia sastra semakin digemari dan digeluti oleh sebagian
masyarakat Indonesia. Banyak bermunculan karya sastra dari berbagai pengarang
dengan karakter dan gaya penceritaan masing-masing pengarang. Dunia sastra
menjadi suatu pilihan yang menarik, karena selain dapat mengungkapkan
perasaan dan imajinasi, pengarang juga dapat memperoleh keuntungan yang
lumayan jika karya sastranya dapat terjual di pasaran. Namun pada kenyataannya,
seperti yang diungkapkan oleh Andre Hardjana (1991: 2), sekarang ini tidak
banyak penikmat sastra yang melakukan suatu bentuk apresiasi mendalam
terhadap karya sastra yang dibacanya. Kebanyakan dari mereka hanya sekadar
membaca untuk mencari hiburan saja. Hal ini dibuktikan dengan tidak banyak
kritikus-kritikus sastra di Indonesia. Padahal kritik sastra berguna untuk
membangun kemajuan sastra ke depannya, baik untuk pengarang sendiri maupun
untuk pihak-pihak terkait.
Dunia sastra mengenal prosa sebagai salah satu genre sastra. Istilah prosa
sebenarnya dapat menyaran pada pengertian yang lebih luas. Ia dapat mencakup
berbagai karya tulis yang ditulis dalam bentuk puisi atau drama. Prosa dalam
pengertian kesastraan juga disebut fiksi, teks naratif atau wacana naratif dalam
pendekatan struktural dan semiotik. Istilah fiksi berarti cerita rekaan. Hal itu
disebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada
kebenaran sejarah (Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 2). Istilah fiksi
sering dipergunakan dalam pertentangannya dengan realitas, sesuatu yang benar
ada dan terjadi di dunia nyata sehingga kebenarannya pun dapat dibuktikan
dengan data empiris. Salah satu karya fiksi yang marak dijumpai adalah cerpen.
Sebagai sebuah karya imajiner, cerpen menawarkan berbagai
permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang
menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang
kemudian diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi se suai denga n

1
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pandangannya. Oleh karena itu, menurut Alterbern (dalam Burhan Nurgiyantoro,


1995 : 2) cerpen dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajiner,
namun biasanya masuk akal dan menga ndung kebenaran yang mendramatisasikan
hubungan-hubungan antarmanusia. Pengarang mengemukakan hal itu berdasarkan
pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Hal tersebut dilakukan
secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya, sekaligus memasukkan
unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia.
Penyeleksian pengalaman kehidupan yang akan diceritakan tentu saja bersifat
subjektif.
Cerpen sebagai sebuah kisah fiksi menceritakan berbagai masalah
kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama. Cerpen
merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan
dan kehidupan. Walau berupa kha yalan, tak benar jika cerpen dianggap sebagai
hasil kerja lamunan belaka, melainkan penghayatan dan perenungan secara intens,
perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan, perenunga n yang dilakuka n
dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Oleh karena itu, cerpen merupakan sebuah cerita yang di dalamnya
terkandung unsur hiburan selain memiliki tujuan estetik. Betapa pun saratnya
pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan, sebuah cerpen
haruslah tetap merupakan cerita yang menarik, tetap merupakan bangunan
struktur yang koheren, dan tetap mempunyai tujuan estetik. Dunia fiksi dalam
cerpen jauh lebih banyak mengandung berbagai kemungkinan daripada yang ada
di dunia nyata. Pengarang dapat mengkreasi, memanipulasi, dan menyia sati
berbagai masala h kehidupan yang dialami dan menjadi berbagai kemungkinan
kebenaran yang bersifat hakiki dan universal dalam cerpennya.
Keterkaitan antara cerpen sebagai karya sastra dan kehidupan manusia
yang demikian erat memberikan petunjuk bahwa karya sastra diciptakan bukan
tanpa tujuan. Artinya karya sastra bukan merupakan sesuatu yang kosong tanpa
makna (Ratna Dewi Kumalasari, 2002: 3). Pada dasarnya, setiap kisah dalam
cerita pendek pasti memiliki suatu pesan tersendiri yang ingin disampaikan
kepada pembaca, baik pesan moral maupun pendidikan yang diharapkan dapat

2
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

direfleksikan pembaca dalam kehidupan. Namun pada kenyataannya, tidak


banyak pembaca yang benar-benar mampu menangkap pesan atau maksud yang
ingin disampaikan pengarang melalui tulisannya. Hal ini disebabkan karena tidak
semua pengarang menuliskan dalam bentuk gamblang. Banyak dari mereka yang
menyampaikan melalui simbol-simbol lain yang tersembunyi dalam suatu tanda
bahasa. Pada pembelajaran bahasa, sering ditemui siswa yang merasa kesulitan
menginterpretasi karya sastra kaitannya dengan tema dan amanat.
Menurut W ellek dan Warren (1990: 15), bahasa sastra bersifat banya k
tafsir, berarti ganda dan sangat konotatif. Karya sastra pada dasarnya meliputi
dua wila yah makna (denotatif dan konotatif) tentu saja usaha merebut makna
tidak hanya akan berhenti pada apa yang tersurat, melainkan juga mencari apa
yang tersirat di dalamnya. Untuk mengidentifikasi atau menginterpretasi apa yang
tersurat pada karya sastra, pembaca akan dihadapkan pada sejumlah kemungkinan
pengenalan makna yang cukup mewakili untuk menaklukkan simbol atau
lambang dan seperangkat tanda-tanda lain yang tersirat di dalam karya sastra.
Sugihastuti (2002: 3) menyatakan bahwa arti sebuah karya sastra ditentukan oleh
maksud si pengarang. Kualifikasi karya sastra biasanya bertambah apabila arti
sebuah karya sastra tergantung pada maksud pengarang, sebatas di dalam teks
tersebut terdapat aturan-aturan bahasa yang dapat diuraikan agar mempunyai arti.
Seperti halnya yang diungkapkan oleh Riffatere (dalam A. Teeuw, 1984: 99)
bahwa susunan bahasa menentukan segala sistem semiotik. Oleh karena itu, sastra
sebagai salah satu sistem semiotik yang di dalamnya dapat ditemukan simbol dari
bentuk-bentuk abstrak bahasa itu.
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti bermaksud melakukan kajian
terhadap cerpen sebagai suatu karya fiksi, yang dikhususkan pada pengkajian
kumpulan cerpen. Peneliti melakukan kajian terhadap kumpulan cerpen karena
cerpen memiliki lebih banyak kemungkinan dalam mengemukakan peristiwa
secara implisit dari sekadar apa yang diceritakan.
Pada penelitian ini, peneliti melakukan kajian semiotik dari sebuah
kumpulan cerpen, yaitu kumpulan cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma.
Peneliti memilih kumpulan cerpen tersebut untuk dijadikan bahan kajia n karena

3
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kumpulan cerpen ini memiliki keunikan dengan kisahnya yang bersifat tradisional
dan fenomenal. Kumpulan cerpen Samin mengangkat peristiwa-peristiwa yang
sederhana namun menarik, karena sarat dengan keluguan-keluguan masyarakat
desa. Seperti diungkapkan oleh Yant Mujiyanto (Pawon edisi 12, 2007: 12)
bahwa Antologi Samin yang berisi 10 cerpen adalah buku yang sungguh-sungguh
menerjemahkan karakteristik wong ndesa, dengan idiom-idiom dan bahasa ndesa,
persoalan dan cara pikir khas ndesa. M embaca cerpen-cerpen dalam buku ini
serasa kita diajak ke pedalaman desa-desa di Jawa, bukan hanya dalam latar
tempat dan suasananya, melainkan juga ruhnya, spirit, aspirasi, obsesi, perasaan,
kebahagiaan, dan kebersahajaannya. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Ibnu
Megananda (Pawon edisi satu tahun, 2008: 28) yang menyataka n bahwa
kumpulan cerpen Samin dicetak sederhana, tapi isinya tidak sederhana. Walaupun
ada sepuluh cerpen dengan cerita biasa, tapi cukup sumringah. Sumringah
maksudnya cerita tidak disajikan hanya dengan kalimat kegetiran, namun dengan
logika yang kadang me ngajak pembaca tersenyum.
Berdasarkan pengamatan terbatas dari peneliti, cerpen-cerpen dalam
kumpulan cerpen Samin memiliki ikatan satu sama lain. Beberapa judul cerpen
dalam kumpulan cerpen ini memiliki kesatuan ide yang mengacu pada keadaan
politik suatu masa. Pada setiap kisahnya mengandung makna yang tersirat yang
sejujurnya ingin pengarang, yaitu Kusprihyanto Namma sampaikan kepada
pembaca. Hal demikian senada dengan yang diungkapkan Yant Mujiyanto
(Pawon edisi 12 2007: 13) bahwa di sela-sela kesederhanaan pengucapan dan
materi cerita, cerpen-cerpen dalam buku ini menyimpan misteri yang dibiarka n
pengarangnya tetap sebagai misteri.
Berdasarkan data lapangan hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa
pembaca kumpulan cerpen Samin, peneliti menyimpulkan bahwa beberapa
pembaca mengalami sedikit kesulitan dalam memahami makna atau maksud
sebenarnya ya ng ingin disampaikan oleh pengarang dalam kisahnya. Pembaca
mengalami kesulitan menelaah pernyataan-pernyataan yang digunakan pengarang
dalam menuangkan ide ceritanya dengan bentuk-bentuk simbol yang bersifat
abstrak. Hasil identifikasi peneliti pada kumpulan cerpen Samin, pengarang yaitu

4
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Kusprihyanto Namma menggunakan sistem simbol dalam penceritaannya,


sehingga maksud sebenarnya yang ingin disampaikan pengarang tidak
sesederhana seperti yang tersurat. Ada pesan tersendiri yang ingin disampaikan
pengarang melalui cerpen-cerpennya yang tidak diungkapkan secara gamblang,
melainkan menggunakan simbol-simbol tertentu.
Untuk itulah, peneliti melakukan penelitian kajia n sem iotik kumpulan
cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma. Penelitian ini menekankan pada
pemaknaan karya itu dengan mengidentifikasi ikon, indeks, dan simbol dalam
kumpulan cerpen itu.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat ditentukan
rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimanakah identifikasi dan analisis ikon, indeks, dan simbol untuk
menemukan makna semiotik pada kumpulan cerpen Samin karya
Kusprihyanto Namma?
2. Apakah latar belakang pengara ng (Kusprihyanto Namma) menggunakan
unsur semiotik (ikon, indeks, dan simbol) tersebut dalam menyampaikan
ide ceritanya?
3. Bagaimanakah kebermaknaan penggunaan unsur semiotik tersebut dalam
mendukung keestetikan kumpulan cerpen Samin karya Kusprihyanto
Namma?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai peneliti adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi dan menganalisis ikon, indeks, dan simbol untuk
menemukan makna semiotik pada kumpulan cerpen Samin karya
Kusprihyanto Namma.
2. Mendeskripsikan latar belakang pengarang (Kusprihyanto Namma)
menggunakan unsur semiotik (ikon, indeks, dan simbol) dalam
menyampaikan ide cerita.

5
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3. Mendeskripsikan kebermaknaan penggunaan unsur semiotik tersebut


dalam mendukung keestetikan kumpulan cerpen Samin karya
Kusprihyanto Namma.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah pengetahuan
kesastraan khususnya mengenai kajian sem iotik dalam kumpulan cerpen
Samin karya Kusprihyanto Namma.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi guru, penelitian ini dapat digunakan untuk referensi mata
pelajaran bahasa dan sastra Indonesia kaitannya dengan analisis
cerpen.
b. Bagi peserta didik, penelitian dapat menjadi acuan dalam menganalisis
sastra khususnya kaitannya dengan makna, sehingga membantu
menambah pengetahuan peserta didik dalam mengapresiasi sastra.
c. Bagi pembaca, penelitian ini dapat memberikan wawasan dan
pengetahuan mengenai makna dalam kumpulan cerpen Samin karya
Kusprihyanto Namma, sehingga dapat diambil nilai positif untuk
diaplikasikan dalam kehidupan.
d. Bagi peneliti, penelitian ini dapat memberikan pengalaman lebih dan
dapat menggali kemampuan peneliti dalam bahasa dan sastra
Indonesia.

6
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Hakikat Kajian Semiotik
a. Sejarah Semiotik
Ni Wa yan Sartini (www.journal.unair.ac.id, 17 Maret 2011)
menerangkan bahwa ilmu semiotik bermula dari ilmu linguistik dengan
tokohnya Ferdinand de Saussure (1857 - 1913). Saussure tidak hanya
dikenal sebagai Bapak Linguistik tetapi juga banyak dirujuk sebagai tokoh
semiotik dalam bukunya Course in General Linguistics (1916). Selain itu ada
tokoh yang penting dalam semiotik yaitu Charles Sanders Peirce (1839 -
1914) seorang filsuf Amerika dan Charles Williams Morris (1901 - 1979)
yang mengembangkan behaviouris semiotics. Tokoh semiotik yang
mengembangkan teori-teori semiotik modern adalah Roland Barthes (1915 -
1980), Algirdas Greimas (1917 - 1992), Yuri Lotman (1922 - 1993),
Christian Metz (193 - 1993), Umberco Eco (1932), dan Julia Kristeva (1941).
Linguis selain Saussure yang bekerja dengan semiotics framework adalah
Louis Hjlem slev (1899 - 1966) dan Roman Jakobson (1896 - 1982).
Strukturalisme adalah sebuah metode yang telah diacu oleh
banyak ahli semiotik yang didasarkan pada model linguistik struktural
Saussure. Strukturalis mencoba mendeskripsikan sistem tanda sebagai
bahasa-bahasa, Strauss denga n mith, kinship dan totemisme, Lacan dengan
unconcious, Barthes dan Greim as dengan grammar of narrative. M ereka
bekerja mencari struktur dalam (deep structure) dari bentuk struktur luar
(surface structure) sebuah fenome na. Semiotik sosial kontemporer telah
bergerak di luar perhatian struktural yaitu menganalisis hubungan -
hubungan internal bagian-bagian dengan a self contained system, dan
mencoba mengembangkan penggunaa n tanda dalam situasi sosial yang
spesifik.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa lahirnya semiotik khususnya di
Eropa tidak dapat dilepaskan dari bayangan strukturalisme yang

7
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mendahuluinya dalam perkembangan ilmu pengetahuan budaya.


Perkembangan dari strukturalis ke semiotik dapat dibagi dua yaitu yang
melanjutkan sifat strukturalisme dan yang meninggalkan sifat strukturalisme.
b. Pengertian Semiotik
Tujuan analisis karya sastra adalah mengungkapkan makna. Karya
sastra hanyalah karya yang bersifat artefak jika tidak diketahui makna
yang terkandung di dalamnya. Suatu karya sastra, dalam hal ini cerpen,
merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Rachmat Djoko Pradopo
(2002: 47) mengemukakan bahwa karya sastra adalah karya seni yang
mediumnya sudah bersifat tanda yang memiliki arti, yaitu bahasa. Ia juga
menerangkan bahwa studi sastra bersifat semiotik merupakan usaha untuk
menganalisis karya sastra sebagai suatu sistem tanda dan menentukan
konve nsi-konve nsi yang memungkinkan karya sastra memiliki makna.
Sejala n dengan pendapat di atas, Nyoman Kutha Ratna (2004: 97)
menyatakan bahwa:
Semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan
interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya
terhadap kehidupan manusia. Kehidupan manusia dipenuhi oleh
tanda, dengan perantaraan tanda-tanda proses kehidupan menjadi
lebih efisien, dengan perantaraan tanda-tanda manusia dapat
berkomunikasi dengan sesamanya, sekaligus mengadakan
pemahaman yang lebih baik terhadap dunia.
Preminger dalam Rachmat Djoko Pradopo (2005: 119) menyatakan
bahwa semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap
bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan
tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan
konve nsi-konve nsi yang meyakinkan bahwa tanda-tanda itu mempunyai
arti. Pada kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai
sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada konvensi-konve nsi
tambahan dan meneliti ciri atau sifat yang menyebabkan bermacam-macam
cara agar wacana memiliki makna. Hal ini berarti penekanan pendekatan
semiotik adalah pemahaman makna karya sastra melalui tanda-tanda dalam
karya sastra.

8
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Suwardi Endraswara (2003: 64) menyatakan bahwa penelitian


semiotik adalah studi tentang tanda. Karya sastra akan dibahas sebagai tanda-
tanda. Tanda-tanda tersebut telah ditata oleh pengarang sehingga tercipta
sistem, konvensi, dan aturan-aturan tertentu yang perlu dimengerti oleh
peneliti. Tanpa memperhatikan hal-hal yang terkait dengan tanda, maka
pemaknaan karya sastra tidaklah lengkap. Makna karya sastra tidak akan
tercapai secara optimal jika tidak dikaitkan dengan wacana tanda.
Pandangan semiotik yang berasal dari teori Saussure menyebutkan
bahwa bahasa merupakan sistem tanda. Sebagai suatu tanda, bahasa bersifat
mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna. Bahasa sebagai suatu sistem
tanda dalam teks kesastraan, tidak hanya menyaran pada sistem (tataran)
makna tingkat pertama, melainkan terlebih pada sistem makna tingkat kedua
(Culler dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 39).
Alex Sobur (2006: 15) menyatakan bahwa semiotika adalah suatu ilmu
atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat
yang digunakan untuk mencari jalan di dunia, di tengah-tengah manusia dan
bersama-sama manusia. Semiotik pada dasarnya bertujuan mempelajari
bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai berbagai hal (things).
Kegiatan memaknai (to sinify) tidak dapat dicampuradukkan dengan
mengomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek
tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengonstitusi sistem terstruktur
dari tanda.
Hoed (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 40), menyatakan bahwa:
“Semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda
adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa
pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan sebagainya”. Jadi yang dapat
menjadi tanda sebenarnya bukan hanya bahasa saja, melainkan berbagai hal
yang berada di lingkungan sekitar. Tanda-tanda itu dapat berupa gerakan
anggota badan, mimik, karya seni, sastra, dan sebagainya. Morris dalam
Yasraf Amir Piliang (2003: 256) menjelaskan bahwa analisis sem iotik
memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi sintaktik, semantik, dan pragmatik yang

9
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ketiga nya saling berkaitan satu sama lain. Sintaktik berkaitan dengan studi
mengenai tanda secara individual maupun kombinasinya, khususnya analisis
yang bersifat deskriptif tentang tanda dan kombinasinya. Semantik adalah
studi mengenai relasi antara tanda dan signifikasi atau maknanya. Pragmatik
adalah studi mengenai relasi antara tanda dan penggunanya, khususnya yang
berkaitan dengan penggunaan tanda secara konkrit dalam berbagai peristiwa
serta dampaknya tehadap pengguna. Pragmatik berkaitan dengan nilai,
maksud, dan tujuan dari sebuah tanda.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dan penggunaannya dalam suatu
usaha untuk menemukan makna. Tanda dapat mewakili berbagai hal seprti
fenomena kehidupan, pikiran, perasaan, perila ku manusia, bahasa, dan
sebagainya.
c. Teori Semiotik
Perkembangan teori semiotik saat ini dapat dibedakan ke dalam dua
je nis semiotika, yaitu semiotik komunikasi dan semiotik signifikansi. Semiotik
komunikasi menekankan diri pada teori produksi tanda, sedangkan semiotik
signifikasi mene kankan pemahaman, dan atau pemberian makna suatu tanda.
Produksi tanda dalam semiotik komunikasi, mensyaratka n adanya pengiriman
informasi, penerima informasi, sumber, tanda-tanda, saluran, proses
pembacaan, dan kode. Semiotik signifikasi tidak mempersoalkan produksi dan
tujuan komunikasi, melainkan menekankan bidang kajiannya pada segi
pemahaman tanda-tanda serta bagaimana proses kognisi atau interpretasinya.
1) Teori Semiotik Peirce
Peirce (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1994: 41) menyatakan bahwa:
“Sesuatu itu dapat disebut sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yang
lain. Sebuah tanda yang disebutnya sebagai representation haruslah
mengacu pada sesuatu yang disebutnya sebagai objek acuan”. Proses
perwakila n itu disebut dengan semiosis. Semiosis adalah suatu proses di
mana suatu tanda berfungsi sebagai tanda, yaitu mewakili sesuatu yang
ditandainya.

10
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Panuti Sudjiman (1991: 1) menerangkan bahwa Peirce


mengusulkan kata semiotika sebagai sinonim kata logika. Menurut Peirce,
logika harus mempelajari bagaimana orang bernalar. Penalaran itu
dilakukan melalui tanda-tanda yang memungkinkan berpikir, berhubungan
dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh
alam semesta.
Peirce dalam Suwardi Endraswara (2003: 65) menawarkan sistem
tanda yang harus diungkap. M enurut Peirce, ada tiga faktor yang
menentukan adanya tanda, yaitu tanda itu sendiri, hal yang ditandai, dan
sebuah tanda baru yang terjadi dalam batin penerima tanda. Ada kaitan
representasi (menghadirkan) antara tanda dan yang ditandai. Kedua tanda
itu akan melahirkan interpretasi dalam bena k penerima. Hasil interpretasi
tersebut merupakan tanda baru yang diciptakan oleh penerima pesan.
Peirce membedakan hubungan a ntara tanda dengan acuannya ke
dalam tiga jenis hubungan, yaitu a) Ikon, jika berupa hubungan kemiripan
b) Indeks, jika berupa hubungan kedekatan eksiste nsi c) Simbol, jika
berupa hubungan yang sudah terbentuk secara konvensi.
Tanda yang berupa ikon misalnya foto, peta geografis, penyebutan
atau penempatan di bagian awal atau depan (sebagai tanda sesuatu yang
dipentingkan). Tanda yang berupa indeks misalnya, asap hitam tebal
membumbung menandakan kebakaran, wajah yang terlihat muram
menandakan hati yang sedih, dan sebagainya. Tanda yang berupa simbol
mencakup berbagai hal yang telah mengonvensi di masyarakat. Antara
tanda dengan objek tak memiliki hubungan kemiripan, melainkan
terbentuk karena kesepakatan. Misalnya berbagai gerakan anggota badan
menandakan maksud-maksud tertentu, warna tertentu melambangkan
sesuatu yang tertentu pula.
Pada suatu teks kesastraan, ketiga jenis tenda tersebut sering hadir
bersama dan sulit dipisahkan. Jika sebuah tanda itu dikatakan sebagai
ikon, ia harus mengandung penonjolan ikon, dibanding ciri yang lain.
Ketiganya sulit dikatakan mana yang lebih penting. Simbol jelas

11
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

merupakan tanda yang paling canggih karena berfungsi untuk penalaran,


pemikiran dan perasaan. Namun indeks dapat dipakai untuk memahami
watak tokoh teks fiksi yang mempunyai jangkauan eksistensial yang dapat
melebihi simbol.
Peirce (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1994: 43) membedakan ikon
menjadi tiga macam, yaitu ikon topologis, diagramatik, dan metaforis.
Termasuk dalam ikon topologis jika terdapat istilah-istilah yang tergolong
wilayah makna spasialitas. Termasuk ikon diagramatik jika terdapat
wilayah makna relasional. Termasuk ikon metafora jika dalam pembuatan
deskripsi mengharuskan dipakainya metafora sebagai istilah. Panuti
Sudjiman (1991: 18) menjelaskan ciri karakteristik ikon metafora adalah
tidak adanya kemiripan antara tanda dan acuannya, tetapi antara kedua
acuan diacu dengan tanda yang sama.
Panuti Sudjiman (1991: 11) menyatakan bahwa teks memiliki ikon
jika ada persamaan suatu tanda tekstual dengan acuannya. Acuan dapat
bersifat kongkret ataupun abstrak, nyata atau imajiner. Acuan itu mungkin
ada, pernah ada, atau mungkin aka nada di masa yang akan datang. Semua
yang dapat dibayangkan oleh pikiran manusia dapat merupakan acuan
suatu tanda.
Martinet (2010: 49) mengungkapkan bahwa indeks itu ada, bisa
dipersepsi, terlihat jelas, bagi disposisi manusia. Manusia itulah yang
harus mengidentifikasikan apa yang diindikasikannya dan memberi indeks
tersebut interpretasi yang diinginkannya. Morris (dalam M artinet, 2010:
58) menyebut simbol dengan istilah tanda dari tanda, yaitu tanda yang
diproduksi sebaga i pengganti satu tanda lain. Tanda lain itu adalah
sinonim dari tanda tersebut.
2) Teori Semiotik Saussure
Teori Saussure sebenarnya berkaitan dengan pengembangan teori
linguistik secara umum, maka istilah-istilah yang dipakai untuk bidang
kajian semiotik meminjam dari istilah dan model-model linguistik.
Bahasa sebagai suatu sistem tanda, menurut Saussure (dalam Burhan

12
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Nurgiyantoro, 1994: 43) memiliki dua unsur yang tak terpisahkan:


signifier dan signified, signifiant dan signifie, penanda dan petanda. Wujud
signifiant dapat berupa bunyi-bunyi ujaran atau tulisan, sedangkan signifie
adalah unsur konseptual, gagasan, atau makna yang terkandung dalam
penanda tersebut.
Grayson dan Shulman (2000: 28) menyatakan bahwa : “Building
from this emphasis on relationships between signs rather than the signs
themselves, Saussure argued that there is no semiotic basis for preferring
one signal to another so long as either can hold the same place in a
particular semiotic system”. Banyak tanda yang dapat digunakan untuk
mengungkapkan atau mewakili acuannya, walaupun tanda tersebut tidak
dapat mendeskripsikan objek secara mutlak.
Alex Sobur (2006: 46) menerangkan bahwa ada lima pandangan
Saussure yang selanjutnya menjadi peletak dasar dari strukturalisme Le vi-
Strauss, yaitu pandangan tentang signifier (penanda) dan signified
(petanda), form (bentuk) dan content (isi), langue (bahasa) dan parole
(ujaran), synchronic (sinkronik) dan diachronic (diakronik), serta
syntagmatic (sintagmatik) dan associative (paradigmatik).
Salah satu teori Saussure yang dipergunakan secara luas di bidang
kajian kesastraan adalah konsep sintagmatik dan paradigmatik. Hubungan
yang bersifat linier disebut hubungan sintagmatik, sedangkan hubungan
yang asosisatif disebut dengan hubungan paradigmatik. Karya fiksi
memiliki hubungan antara penanda dan petanda yang jumlahnya sangat
banyak. Pertama akan dapat dilihat aspek formal karya itu yang dapat
berupa deretan kata, kalimat, alinea, dan seterusnya sampai akhirnya
membuat teks yang utuh. Tiap aspek formal berhubungan dengan makna,
sebab tak mungkin kehadiran aspek formal itu tanpa dihadiri konsep
makna. Hal ini merupakan hubungan asosiatif atau paradigmatik.
Hubungan sintagmatik dipergunakan untuk menelaah struktur karya
dengan menekankan urutan satuan-satuan makna karya yang dianalisis.
Pada karya fiksi biasanya berupa hubungan kata, peristiwa, dan tokoh.

13
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3) Teori Semiotik Charles Morris


Morris (dalam Teeuw, 1984: 54-56) membedakan semiotik
menjadi tiga dimensi dalam proses semiotik yang dilambangkan dengan
segitiga. Ketiga dimensi tersebut adalah:
a) Dimensi sintaktik, yaitu hubungan antara tanda satu dengan tanda
la in dalam proses komunikasi. Morris menyamakan dimensi ini
dengan poetic fungtion yang dikemukakan oleh Jacobson dan
pendekatan objektif milik Abrams. Bila dibandingkan dengan
pendekatan objektif milik Abrams, dimensi sintaktik menekankan
bahwa struktur intrinsik karya sastra merupakan sistem tanda.
b) Dimensi pragmatik yang meliputi pengirim dan penerima pesan.
Contohnya dalam kehidupan sehari-hari peran pengirim dan
penerima pesan dapat saling bergantian secara terus-menerus,.
Penerima pesan dapat menjadi pengirim pesan, begitupun sebaliknya
pada situasi komunikasi biasa. Tetapi dalam ranah sastra, pergantian
tersebut tidak dapat terjadi. Hal ini disebabkan karena antara penulis
dan pembaca, antara seniman dan penikmat memiliki kedudukan
yang tidak sejajar bahkan bertentanga n. Pada ilmu sastra aspek
ekspresif dan pragmatik perlu ada penjelasan agar jelas
perbedaannya.
c) Dimensi semantik yang memiliki kesamaan dengan fungsi mimetik
atau referensial. Klaus membedakan dimensi ketiga ini dengan istilah
sigmantik dan semantik. Semantik diartikan sebagai makna
konseptual yang dicetuskan oleh Sausure bahwa tanda sebagai dwi
tungga l signifiant dan signifie, yang artinya dimiliki oleh pemakai
bahasa, terlepas dari situasi komunikasi yang konkrit. Kemudian
sigmatik menurut Klaus diartikan sebagai aspek referensial, acuan
tanda dalam penerapannya pada sesuatu dalam kenyataan.
4) Teori Semiotik Roland Barthes
Teori ini dikemukakan ole h Roland Barthes (1915 - 1980). Barthes
mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat

14
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

denotasi dan konotasi (Kurniawan, 2001: 23). Denotasi adalah tingkat


pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada
realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi
adalah tingkat pertandaan ya ng menjelaskan hubungan penanda dan
petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak
langsung, dan tidak pasti.
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure
tertarik pada cara kompleks pembentukan ka limat dan cara bentuk-bentuk
kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa
kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada
orang yang berbeda situasinya. Roland Barthes meneruskan pemikiran
tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman
personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks
dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya.
Gagasan Barthes ini dikenal dengan order of signification, mencakup
denotasi atau makna sebenarnya dan konotasi, yaitu makna ganda yang
lahir dari pengalaman kultural dan personal. Di sinila h titik perbedaan
Saussure dan Barthes, meskipun Barthes tetap mempergunaka n istilah
signifier-signified yang diusung Saussure.
Alex Sobur (2006: 68) menerangkan bahwa salah satu area penting
yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran
pembaca. Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan
keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes mengulas sistem
pemaknaan tataran ke-dua yang dibangun di atas sistem lain yang telah
ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan
tataran ke-dua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama.
Sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang didalam
Mythologies-nya ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran
pertama.

15
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

5) Teori Semiotik Umberto Eco


Littlejohn dalam Ale x Sobur (2006: 72) menyebut Umberto Eco
sebagai ahli semiotik yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda
yang paling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco
penting karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan
membawa semiotik secara lebih mendalam. Panuti Sudjiman (1991: 26)
memaparkan bahwa Umberto Eco mencoba menggali kemungkina n
teoretis dan fungsi sosial sebuah pendekatan yang utuh terhadap tiap gejala
signifikasi atau komunikasi dalam bukunya A Theory of Semiotics.
Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan,
dan ingin memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco
kemudian mengubah konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco
menyimpulkan bahwa satu tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat
ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen
yang berasal dari sistem dan tingkat yang berbeda. Eco menggunakan
“kode-s” untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur bahasa.
Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti apapun, dan
dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik.
Kode-s bisa bersifat denotatif bila suatu pernyataan bisa dipaham i secara
harfiah, atau konotatif bila tampak kode lain dalam pernyataan yang
sama. Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya Saussure. Eco
ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s yang bersifat
lebih dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure.
6) Teori Semiotik Ogden & Richard
Odgen dan Richards (dalam Leech, 2003: 8) pada tahun 1923 telah
merasa yakin akan kemajuan ilmu pengetahuan dan me nyatakan bahwa:
“Selama beberapa tahun terakhir ini, kemajuan di dalam bidang biologi
dan penelitian psikologis terhadap memori dan keturunan, telah
menempatkan ‘makna’ tanda atau simbol pada umumnya tanpa keraguan,

16
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dan di sinilah tampak bahwa gagasan dan bahasa haruslah diperlakukan


dengan cara yang sama”.
Odgen dan Richards menyingkirkan tesis-tesis Saussuran yang
mereka a nggap tidak ilm iah dalam buku mereka The Meaning of Meaning.
Apa yang mereka pikirkan adalah triad: pemikiran, kata, dan hal. Mereka
sangat memperhitungkan simbolisme atau studi tentang peran yang
berkaitan dengan kemanusiaan oleh bahasa dan simbol jenis apapun,
terutama pengaruh bahasa dan simbol terhadap pemikiran. Odgen dan
Richards mempresentasikan relasi antara ketiga faktor triad itu dengan
menggunakan sebuah segitiga.

PEMIKIRAN ATAU REFERENSI

SIMBOL m enggantikan
REFEREN
(relasi imputasi)

Gambar 1. Segitiga relasi triad Odgen dan Richards

7) Teori Semiotik Bloomfield


Bloomfield, yang dipengaruhi oleh psikologi behaviorisme,
mengembangkan teori bahwa makna bahasa muncul karena terjadinya
proses stimulus dan respon. Orang berbahasa karena adanya stimulus dari
lingkungannya, yang harus mereka respon melalui bahasa. Dengan
demikian, Bloomfield melihat bahwa bahasa bukan merupakan fenomena
semiotis melainkan fenomena psikologis behavioristik atau perilaku.
Pandangan seperti ini menegaskan kenyataan bahwa bahasa merupakan
sistem simbol yang digunakan untuk berinteraksi di dalam mas yarakat.

17
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Leech (2003: 9) menerangkan bahwa Bloomfield menulis suatu


konsep tentang ‘unified science’ (ilmu pengetahuan tunggal), yaitu adanya
gagasan bahwa semua disiplin ilmu, dari fisika sampai psikologi, dapat
digabungkan menjadi suatu bentuk ilmu pengetahuan yang monolitik.
d. Macam-Macam Semiotik
Pateda (dalam Alex Sobur, 2006: 15) menyatakan bahwa terdapat
sembilan macam semiotik antara lain:
1) Semiotik analitik
Semiotik analitik merupakan semiotik yang menganalisis sistem
tanda. Peirce mengatakan bahwa semiotik berobjekka n tanda dan
menganalisisnya menjadi ide, objek dan makna. Ide dapat dikatakan
sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam
lambang yang mengacu pada objek tertentu.
2) Semiotik deskriptif
Semiotik deskriptif adalah semiotik yang memperhatikan sistem tanda
yang dapat dialami sekarang meskipun ada tanda yang se jak dahulu
tetap.
3) Semiotik faunal (zoosemiotic)
Semiotik faunal (zoosemiotic) merupakan semiotik yang khusus
memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan.
4) Semiotik kultural
Semiotik kultural merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem
tanda yang ada dalam kebudayaan masyarakat.
5) Semiotik naratif
Semiotik naratif adalah semiotik yang membahas sistem tanda dalam
narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore).
6) Semiotik natural
Semiotik natural adalah sem iotik yang khusus menelaah sistem tanda
yang dihasilkan oleh alam.
7) Semiotik normatif

18
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Semiotik normatif merupakan semiotik yang khusus membahas


sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma.
8) Semiotik sosial
Semiotik sosial merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda
yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik
lambang kata maupun lambang rangkaian kata berupa kalimat.
9) Semiotik struktural
Semiotik struktural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda
yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.
Menurut Zoest (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2004: 105) dikaitkan
dengan bidang-bidang yang dikaji, pada umumnya semiotika dapat dibedakan
menjadi tiga a liran, yaitu:
1) Aliran semiotika komunikasi, yaitu semiotik dengan intensitas kualitas
tanda dalam kaitannya dengan pengirim dan penerima, tanda yang
disertai dengan maksud, yang digunakan secara sadar, sebagai signal.
2) Aliran semiotika konotatif, yaitu semiotik yang berdasarkan ciri-ciri
denotasi kemudian diperoleh makna konotasinya, arti pada bahasa
sebagai sistem model kedua, tanda-tanda tanpa maksud langsung,
sebagai symptom. Aliran semiotika konotatif selain diterapkan dalam
sastra juga diterapkan dalam berbagai bidang kemasyarakatan. Aliran ini
dipelopori oleh Roland Barthes.
3) Aliran semiotika ekspansif, diperluas dengan bidang psikologi yang
dipelopori oleh Freud, sosiologi dipelopori oleh Marxis, dan filsafat
yang dipelopori oleh Julia Kristeva.
e. Bahasa sebagai Sistem Semiotik
Faktor pertama dalam model semiotik sastra yang harus diberi tempat
yang selayaknya adalah bahasa itu sendiri, sebagai sistem tanda yang
kompleks dan beragam (Teeuw, 1984: 60). Rachmat Djoko Pradopo (1997:
122) menyatakan bahwa bahasa merupakan sistem tanda yang kemudian
dalam karya sastra menjadi mediumnya. Bahasa merupakan sistem tanda
tingkat pertama. M enurut ilmu tanda-tanda atau semiotik, arti bahasa sebagai

19
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sistem tanda tingkat pertama itu disebut meaning (arti). Karya sastra itu juga
merupakan sistem tanda yang berdasarkan konvensi masyarakat. Karya sastra
merupakan sistem tanda yang lebih tinggi kedudukannya dari bahasa, maka
disebut sistem semiotik tingkat kedua. Bahasa tertentu itu mempunya i
konve nsi tertentu pula, dalam sastra konvensi bahasa itu disesuaikan dengan
konve nsi sastra. Pada sebuah karya sastra, arti kata-kata ditentukan oleh
konve nsi sastra. Dengan demikian, timbullah arti baru yaitu arti sastra. Jadi,
arti sastra itu merupakan arti dari arti (meaning of meaning ). Untuk
membedakannya arti bahasa itu disebut makna (significance).
Weissbrod (1998: 2) menerangkan bahwa: “Even dan Zohar suggested
viewing literature a polysystem, a system of systems, wich can described by a
series of oppositions”. Karya sastra bukan hanya sekedar tulisan yang tidak
bermakna dan dibuat sesuka hati, namun karya sastra dibuat dengan
memperhatikan aturan atau sistem. Sistem-sistem tersebut meliputi unsur-
unsur struktural, keindahan, nilai-nilai, dan sebagainya.
Studi sastra bersifat semiotik merupakan usaha untuk menganalisis
suatu karya sastra. Kajian semiotik sebagai suatu sistem tanda-tanda dan
menentukan konvensi-konve nsi apa yang memungkinkan karya sastra
mempunyai makna. Dengan melihat variasi-variasi di dalam struktur sastra
atau hubungan dalam antarunsur-unsurnya akan dihasilkan bermacam-macam
makna ( Rachmat Djoko Pradopo, 2002: 123).
Ada banyak cara yang ditawarkan dalam rangka menganalisis karya
sastra secara sem iotik. Nyoman Kutha Ratna (2004: 104) menyebutka n cara
yang paling umum adalah dengan menaganalisis karya melalui dua tahapan
sebagaimana ditawarkan oleh Wellek dan Warren, yaitu analisis intrinsik
(mikrostruktur) dan analisis ekstrinsik (makrostruktur). Cara yang lain
sebagaimana dikemukakan oleh Abrams dilakukan dengan menggabungkan
empat aspek, yaitu pengarang (ekspresif), semestaan (mimetik), pembaca
(pragmatik), dan objektif (karya sastra itu sendiri).

20
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2. Hakikat Cerita Pendek (Cerpen)


a. Pengertian Cerita Pendek
Poe (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 10) menyatakan bahwa:
“Cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-
kira berkisar antara setengah sampai dua jam”. Sejalan dengan pernyataan
tersebut, Jakob Sumardjo dan Saini K.M . (1988: 30) menyatakan bahwa cerita
pendek adalah cerita berbentuk prosa yang relatif pendek. Ukuran pendek di
sini diartikan dapat dibaca sekali duduk dalam waktu kurang dari satu jam.
Dikatakan pendek juga karena genre ini hanya mempunyai efek tunggal,
karakter, plot dan setting yang terbatas, tidak beragam, dan tidak kompleks.
Menurut Ellery Sedgwick dalam Henry Guntur Tarigan (1984: 176), cerita
pendek adalah penyajian suatu keadaan tersendiri atau suatu kelompok
keadaan yang memberikan kesan tunggal pada jiwa pembaca. Cerita pendek
tidak boleh dipenuhi oleh hal-hal yang tidak perlu.
Berkaitan dengan hal tersebut, Satyagraha Hoerip dalam Atar Semi
(1993: 34) menerangkan bahwa cerpen adalah karakter yang dijabarkan lewat
rentetan kejadian daripada kejadian-kejadian itu sendiri satu persatu. Peristiwa
yang terjadi di dalamnya merupakan suatu pengalaman atau penjelajahan.
Tentang panjangnya, Reid menyebutkan antara 1600 kata sampai dengan
20.000 kata. Sementara Tasrif menyatakan bahwa panjang cerita pendek
antara 500 sampai dengan 32.000 kata atau 17 halaman kertas kuarto spasi
rangkap (dalam Herman J. Waluyo dan Nugraheni, 2008: 6). Sebaliknya Atar
Semi (1993: 34) mengemukakan bahwa panjang pendek ukuran fisik cerpen
tidak menjadi ukuran yang mutlak. tidak ditentukan cerpen harus sekia n
halaman atau sekian kata, walaupun cerpen cenderung berukuran pendek dan
pekat. Keterbatasan yang dimiliki jelas tidak memberi kesempatan bagi
cerpen untuk menjelaskan dan mencantumkan segalanya. Cerpen dituntut
menyampaikan sesuatu yang tidak kecil, walaupun dengan jumla h kata yang
sedikit. Oleh karena itu, cerpen menyuguhka n kebenaran yang diciptakan,
dipadatkan, digayakan, dan diperkokoh oleh kemampuan imajinasi
pengarangnya.

21
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa


cerpen adalah cerita fiksi berbentuk prosa yang bersifat pendek dan terbatas.
Pendek dan terbatas mencakup segi tokoh, alur, peristiwa, setting, dan
sebagainya.
b. Ciri-Ciri Cerpen
Menurut Poe (dalam Habbiburahman, http://lulukeche.multiply.com/
journal/item/, 27 M ei 2010) , cerpen harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu:
1) Cerita pendek harus pendek. Di samping itu juga harus memberi kesan
secara terus-menerus hingga kalimat terakhir, berarti cerita pendek harus
ketat dan tidak mengobral detail. Dialog dalam cerita pendek hanya
diperlukan untuk menampakkan watak, menjalankan cerita, atau
menampilkan masalah.
2) Cerita pendek mengalir dalam arus untuk menciptakan efek tunggal dan
unik. Ketunggalan pikiran dan aksi dapat dikem bangkan melalui satu
garis dari awal sampai akhir. Cerita pendek tak dimungkinkan terjadi
aneka peristiwa digresi.
3) Cerita pendek harus ketat dan padat. Setiap detail harus mengarah pada
satu efek saja yang berakhir pada kesan tunggal. Oleh sebab itu
ekonomisasi kata dan kalimat sebagai salah satu ketrampilan yang
dituntut bagi seorang cerpenis.
4) Cerita pendek harus mampu meyakinkan pembacanya bahwa ceritanya
benar-benar terjadi, bukan suatu buatan, rekaan. Itulah sebabnya
dibutuhkan suatu keterampilan khusus, adanya konsistensi dari sikap dan
gerak tokoh, bahwa mereka benar-benar hidup, sebagaimana manusia
yang hidup.
5) Cerita pendek harus menimbulkan kesan yang selesai, tidak lagi
mengusik dan menggoda, karena ceritanya seperti masih berlanjut.
Kesan selesai itu benar-benar meyakinkan pembaca, bahwa cerita itu
telah tamat, sampai titik akhirnya, tidak ada jalan lain lagi, cerita benar-
benar selesai.

22
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Henry Guntur Tarigan (1984: 177) mengungkapkan ciri-ciri cerpen,


antara lain: 1) Singkat, padu dan ringkas (brevity, unity, dan intensity); 2)
Memiliki unsur utama berupa adegan, tokoh, dan gerakan (scene, character,
and action); 3) Bahasanya tajam, sugestif, dan menarik perhatian (incisive,
suggestive, and alert); 4) Mengandung impresi pengarang tentang konsepsi
kehidupan; 5) M emberikan efek tunggal dalam pikiran pembaca; 6)
Mengandung detail dan insiden yang betul-betul terpilih; 7) Ada pelaku
utama yang benar-benar menonjol dalam cerita; 8) Menyajikan kebulatan efek
dan kesatuan emosi.
c. Unsur-Unsur Cerita Pendek
Cerpen sebagai suatu karya fiksi, merupakan satu kesatuan yang terdiri
dari beberapa unsur. Unsur-unsur itu saling berkaitan, tidak terpisahkan satu
sama lain, dan bersama-sama membentuk cerita (Rusyana dalam Muhammad
Pujiono, 2006: 9). Unsur-unsur yang membentuk cerpen terdiri unsur intrinsik
dan ekstrinsik.
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra,
tetapi tidak secara langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme
karya sastra. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur ya ng membangun kar ya sastra
itu sendiri (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 23). Unsur intrinsik terdiri dari tema,
alur, penokohan, setting, sudut pandang, dan sebagainya.
1) Tema
Herman J. Waluyo dan Nugraheni (2008: 10) menyebutkan tema
sebagai gaga san pokok dalam cerita fiksi. Jakob Sumardjo dan Saini K.M.
(1988: 56) menyatakan bahwa tema adalah ide sebuah cerita. Tema dalam
sebuah cerpen bisa disamakan dengan pondasi sebuah bangunan. Tidaklah
mungkin mendirikan sebuah bangunan tanpa pondasi. Dengan kata lain
tema adalah sebuah ide pokok, pikiran utama sebuah cerpen, pesan atau
amanat, dasar tolak untuk membentuk rangkaian cerita, atau dasar tolak
untuk bercerita.
Hal senada juga disampaikan oleh Burhan Nurgiyantoro (1995:
70), yang menyatakan bahwa: “Tema merupakan dasar cerita, gagasan

23
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dasar umum sebuah kar ya sastra. Gagasan dasar umum inilah yang telah
ditentukan sebelumnya oleh pengarang yang digunakan untuk
mengembangkan cerita”. Panuti Sudjiman (1988: 50) juga menyebut tema
sebagai gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasari suatu karya
sastra.
Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tema
adalah ide pokok suatu cerita yang digunakan sebagai acuan untuk
mengembangkan kisah atau peristiwa dalam karya sastra tersebut. Setiap
cerita pasti mempunyai ide pokok, yaitu sesuatu yang hendak disampaikan
pengarang kepada para pembacanya. Sesuatu itu biasanya adalah masalah
kehidupan, komentar pengarang mengenai kehidupan, atau pandangan
hidup si pengarang dalam menempuh kehidupan. Pengarang tidak dituntut
menjelaskan temanya secara gamblang dan menyeluruh, tetapi ia bisa saja
hanya menyampaikan sebuah masalah kehidupan kemudian terserah
pembaca bagaimana menyikapi dan menyelesaikannya.
Stanton (dalam Herman J. W aluyo dan Nugraheni, 2008: 13)
mengungkapkan bahwa ada beberapa cara untuk menafsirkan tema, yaitu
a) harus memperhatikan detail yang menonjol dalam cerita rekaan; b) tidak
terpengaruh oleh detail cerita yang kontradiktif; c) tidak sepenuhnya
tergantung oleh bukti-bukti implisit, tetapi harus yang eksplisit; d) tema itu
diujarkan secara jelas oleh cerita bersangkutan. Faktor pengarang dengan
pandangan-pandangannya turut menentukan tema karyanya.
2) Alur atau Plot
Panuti Sudjiman (1988: 29) menyatakan bahwa dalam sebuah
cerita rekaan berbagai cerita disajikan dalam urutan tertentu. Peristiwa
yang diurutkan itu membangun tulang punggung cerita, yaitu alur. Alur
yaitu rangkaian peristiwa yang menggerakkan cerita untuk mencapai efek
tertentu (Habbiburahman, http://lulukeche.multiply.com/ journal/item/, 27
Mei 2010). Sehubungan dengan hal tersebut, Jakob Sumardjo dan Saini
K.M. (1988: 49) mengungkapkan bahwa: “Alur adalah hal yang
menggerakkan kejadian cerita, yaitu segi rohaniah dari kejadian”. Atar

24
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Semi (1993: 44) menyatakan bahwa alur merupakan kerangka dasar yang
amat penting. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus saling
berkaitan, bagaimana satu peristiwa mempunyai hubungan dengan
peristiwa lainnya, dan bagaimana agar tokoh terikat dalam satu kesatuan
waktu.
Plot menurut Burhan Nurgiyantoro (1995: 94) berbeda dengan
cerita. Plot bersifat lebih kompleks daripada cerita. Plot lebih menekankan
permasalahannya pada hubungan kasualitas, kelogisan hubungan
antarperistiwa yang dikisahkan dalam karya naratif yang bersangkutan.
Herman J. Waluyo dan Nugraheni (2008: 14) menyebut alur sebagai
kerangka cerita, yaitu jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu yang
menunjukkan hubungan sebab dan akibat dan memiliki kemungkinan agar
pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan datang.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa
alur atau plot adalah rangkaian peristiwa yang saling berkesinambungan,
menunjukkan adanya hubungan sebab akibat, dan membentuk jalinan
cerita yang utuh.
Atar semi (1993: 44) menyatakan baik tidaknya sebuah alur
ditentukan oleh 3 hal, yaitu:
a) Apakah tiap peristiwa susul menyusul secara logis dan alamiah.
b) Apakah tiap peristiwa sudah cukup tergambar atau dimatangkan
dalam peristiwa sebelumnya.
c) Apakah peristiwa itu terjadi secara kebetulan dengan alasan yang
masuk akal dan dapat dipahami.
Menurut Habbiburahman (http://lulukeche.multiply.com journal/
item/, 27 M ei 2010) jenis plot bisa disederhanakan menjadi tiga jenis,
yaitu:
a) Plot keras, jika akhir cerita meledak keras di luar dugaan pembaca.
b) Plot lembut, jika akhir cerita berupa bisikan, tidak mengejutkan
pembaca, namun tetap disampaikan dengan mengesan sehingga
seperti terus tergiang di telinga pembaca.

25
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

c) Plot lembut-meledak, atau plot meledak-lembut adalah campuran


plot keras dan lembut.
Dari segi sifat, alur cerpen dibedakan menjadi:
a) Terbuka. Jika akhir cerita merangsang pembaca untuk
mengembangkan jalan cerita, di samping masa lah dasar persoalan.
b) Tertutup. Akhir cerita tidak merangsang pembaca untuk meneruskan
ja lan cerita.
c) Campuran keduanya.
Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1988:49) bagian-bagian
dalam plot, yaitu pengenalan, timbulnya konflik, konflik memuncak,
klimaks, dan pemecahan soal.
Friedman (dalam Herman J. Waluyo dan Nugraheni, 2008: 22)
menyebutkan tiga jenis plot, yaitu : a) plot peruntungan; b) plot
penokohan; dan c) plot pemikiran. Termasuk alur peruntungan jika
memaparkan kesedihan, sifat sinis, penghukuman, sifat sentimental, atau
kekaguman. Termasuk alur penokohan jika alur menunjukkan
perkembangan watak tokoh-tokohnya, perbaikan nasib hidup, atau
perkembangan ke ara h kedewasaan tokoh-tokoh. Termasuk alur pemikiran
jika menunjukkan peristiwa yang mampu membuka rahasia atau
perkembangan pemikiran tokoh-tokohnya.
3) Penokohan
Penokohan yaitu penciptaan citra tokoh dalam cerita
(Habbiburahman, http://lulukeche.multiply.com/journal/item/, 27 Mei
2010). Tokoh harus tampak hidup dan nyata hingga pembaca merasakan
kehadirannya. Pada cerpen modern, berhasil tidaknya sebuah cerpen
ditentukan oleh berhasil tidaknya menciptakan citra, watak dan karakter
tokoh tersebut. Penokohan, yang di dalamnya ada perwatakan sangat
penting bagi sebuah cerita, bisa dikatakan ia sebagai mata air kekuatan
sebuah cerita pendek.
Burhan Nurgiyantoro (1995: 166) memaparkan bahwa istilah
penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan perwatakan sebab

26
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ia sekaligus menca kup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan,


dan bagaimana penempatan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga
sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa
penokohan adalah penggambaran tokoh dalam suatu cerita yang meliputi
siapa dan bagaimana tokoh tersebut berperan dalam cerita.
Atar Semi (1993: 39) menjelaskan bahwa ada dua macam cara
memperkenalkan tokoh dan perwatakan tokoh, yaitu:
a) Secara analitik, yaitu pengarang langsung memaparkan tentang
watak atau karakter tokoh.
b) Secara dramatis, yaitu menggambarkan perwatakan yang tidak
disampaikan secara langsung. Hal tersebut dapat disampaikan
melalui pilihan nama tokoh, penggambaran fisik, cara berpakaian,
tingkah laku, dan melalui dialog.
Menurut Habbiburahman (http://lulukeche.multiply.com/journal/
item/, 27 Mei 2010) pada dasarnya sifat tokoh ada dua macam; sifat
lahir (rupa, bentuk) dan sifat batin (watak, karakter). Sifat tokoh tersebut
bisa diungkapkan dengan berbagai cara, di antaranya melalui:
a) Tindakan, ucapan dan pikirannya
b) Tempat tokoh tersebut berada
c) Benda-benda di sekitar tokoh
d) Kesan tokoh lain terhadap dirinya
e) Deskripsi langsung secara naratif pengarang
Hal serupa juga diungkapkan oleh Jakob Sumardjo dan Saini K.M.
(1988: 65) yang menyatakan ada beberapa cara menentukan karakter
tokoh, antara lain:
a) Melalui apa yang diperbuatnya atau tindakan-tindaka nnya.
b) Melalui ucapan-ucapannya.
c) Melalui penggambaran fisik tokoh.
d) Melalui pikiran-pikirannya.
e) Melalui penerangan langsung oleh penulis.

27
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4) Latar atau Setting


Menurut Habbiburahman (http://lulukeche.multiply.com/journal/
item/, 27 M ei 2010) latar yaitu segala keterangan mengenai waktu,
ruang dan suasana dalam suatu cerita. Sama halnya dengan yang
diungkapkan oleh Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1988: 76) bahwa
setting tidak hanya menunjukkan tempat dan waktu tertentu, tetapi juga
hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada kondisi lingkungan,
pemikiran rakyatnya, kegilaan mereka, gaya hidup mereka, kecurigaan
mereka, dan sebagainya. Setting bisa berarti tempat tertentu, daerah
tertentu, orang-orang tertentu dengan watak-watak tertentu akibat situasi
lingkungan atau zamannya, cara hidup tertentu, cara berpikir tertentu.
Sejalan dengan hal tersebut, Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro,
1995: 216) menyebutkan bahwa: “Setting disebut juga sebagai landas
tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan”.
Herman J. W aluyo dan Nugraheni (2008: 34) menyebutkan setting sebagai
tempat kejadian cerita yang dapat berkaitan dengan aspek fisik, aspek
sosiologis, dan aspek psikis.
Panuti Sudjiman (1988: 46) menyebutkan beberapa fungsi latar,
antara lain a) memberikan informasi situasi (ruang dan tempat)
sebagaimana adanya; b) sebagai proyeksi keadaan batin para tokoh,
artinya latar dapat menjadi metafor dari keadaan emosional dan spiritual
tokoh.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
latar atau setting adalah segala sesuatu yang melingkupi karya sastra
meliputi waktu, ruang, keadaan sosial, adat istiadat, dan suasana. Pada
dasarnya, latar mutlak dibutuhkan untuk menggarap tema dan plot cerita,
karena latar harus bersatu dengan tema dan plot untuk menghasilkan cerita
pendek yang gempal, padat, dan berkualitas.
Herman J. Waluyo dan Nugraheni (2008: 35) mengungkapkan
fungsi setting, yaitu untuk: a) mempertegas watak pelaku; b) memberikan

28
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tekanan pada tema cerita; c) memperjelas tema yang disampaikan; d)


metafora bagi situasi psikis pelaku; e) sebagai pemberi atmosfir (kesan); f)
memperkuat posisi plot.
5) Sudut Pandang atau Point of View
Sudut pandang tokoh merupakan visi pengarang yang dijelmakan
ke dalam pandangan tokoh-tokoh cerita. Jadi sudut pandang sangat erat
dengan teknik bercerita pengarang (Habbiburahman, http://lulukeche.
multiply.com/journal/item/, 27 Mei 2010). Sejalan dengan hal tersebut,
Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1988: 82) menerangkan bahwa point of
view pada dasarnya adalah visi pengarang, artinya sudut pandangan yang
diambil pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita.
Herman J. Waluyo dan Nugraheni (2008: 37) menyatakan bahwa:
“Sudut pandang yaitu teknik yang digunakan oleh pengarang untuk
berperan dalam cerita itu”. Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995 :
248) menjelaskan bahwa sudut pandang menyaran pada cara sebuah cerita
dikisahkan. Ia merupakan cara atau pandangan yang digunakan pengarang
sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai
peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada
pembaca.
Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat disimpulka n bahwa sudut
pandang atau point of view adalah cara atau pandangan pengarang untuk
menyajikan tokoh, latar, dan berbagai peristiwa ya ng membentuk cerita.
Morris dalam Henry Guntur Tarigan (1984: 140) membagi sudut
pandang menjadi 5 jenis, yaitu:
a) The omniscient point of view, sang pengarang mengetahui segala
sesuatunya, bahkan pikiran dan perasaan dari para pelakunya.
Pengarang juga dapat melihat tingkah laku mereka dari segala sudut.
b) The first person point of view, sang pengarang berbicara sebagai
salah seorang pelaku.
c) The third person point of view, seseorang di luar cerita bertindak
sebagai pencerita atau narator.

29
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

d) The central intelligence, cerita disajikan seperti yang terlihat melalui


mata salah seorang pelaku.
e) The scenic, narator disingkirkan dan cerita disajikan hampir
seluruhnya dalam percakapan atau dialog, seperti dalam drama.
Berkaitan dengan ha l tersebut, Atar Semi (1993: 58) membagi
sudut pandang menjadi beberapa jenis, yaitu:
a) Pengarang sebagai tokoh cerita. Tokoh utama sebagai pemapar cerita
mempunyai kesempatan yang luas untuk menjelaskan tentang
dirinya, perasaan, dan pikirannya. Tetapi ia tidak dapat menceritakan
peristiwa di tempat lain.
b) Pengarang sebagai tokoh sampingan. Orang yang bercerita adalah
seorang tokoh sampingan yang menceritakan peristiwa yang
bertalian, terutama dengan tokoh utama. Sesekali peristiwa itu juga
menyangkut dirinya sebagai pencerita.
c) Pengarang sebagai orang ketiga (pengamat). Pengarang sebagai
orang ketiga bertindak sebagai pengamat sekaligus sebagai narator
yang menjelaskan peristiwa , suasana, perasaan, dan pikiran para
tokoh.
d) Pengarang sebagai pemain dan narator. Pengarang yang bertindak
sebagai pelaku utama cerita dan narator biasanya keluar-masuk
cerita. Kadang ia terlibat dalam cerita, namun kadang bertindak
sebagai pengarang ya ng berada di luar cerita.
6) Gaya
Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1988: 92) menyatakan bahwa:
“Gaya adalah cara khas pengungkapan seseorang”. Cara bagaimana
seorang pengarang memilih tema, persoalan, meninjau persoalan, dan
menceritakannya dalam sebuah cerpen. Atar Semi (1993: 47)
mengungkapkan bahwa gaya penceritaan adalah tingkah laku pengarang
dalam menggunakan bahasa.
Herman J. Waluyo dan Nugraheni (2008: 41) mengungkapkan
bahwa gaya pengarang satu dengan yang lain berbeda. Oleh karena itu,

30
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

bahasa kar ya sastra bersifat ideocyncractic artinya sangat individual.


Perbedaan ga ya dikatakan karena perbedaan pemikiran dan kepribadian.
Gaya bercerita juga berfungsi untuk membentuk kesatuan (unity) dari
karya sastra.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya
adalah cara atau teknik pengarang mengungkapkan cerita dalam karyanya
sesuai dengan kepribadian dan pandangan pengarang tersebut terhadap
lingkungan sekitarnya yang ia sajikan ke dalam sebuah cerita.
Gaya menurut Kenney (dalam Herman J. W aluyo dan Nugraheni,
2008: 42) ada 3, yaitu diction, imagery, dan syntax (diksi, citraan, dan efek
yang ditimbulkan suatu pernyataan). Diksi artinya pilihan kata, kalimat,
dan wacana yang menjadi ciri khas penulis. Citraan artinya penggunaan
ga ya yang menggambarkan suasana yang diceritakan. Sementara itu,
sintaks berarti efek yang ditimbulkan oleh penggambaran cerita oleh
pengarang.
Atar semi (1993: 47) juga mengungkapkan bahwa setiap pengarang
melakukan berbagai upaya dan tindakan yang dilakukan agar pembaca
tertarik dan terpengaruh oleh gagasan yang disampaikannya. Tindakan
tersebut berupa pemilihan materi bahasa, pemakaian ulasan, dan
pemanfaatan ga ya bertutur. Hal tersebut tergantung kepada masing-
masing pengarang, biasanya ditentukan oleh: (a) pribadi pengarang,
pengalaman, dan pengetahuannya; (b) tujuan yang hendak dicapai; (c)
topik yang ditampilkannya,; (d) bentuk tutur yang dipilihnya; (e) kondisi
penangkap tutur (pembaca) yang dihadapi.
7) Amanat
Dari sisi tertentu karya sastra, fiksi dapat dipandang sebagai bentuk
manifestasi keingina n pengarang untuk mendialog, menawar, dan
menyampaikan sesuatu. Sesuatu itu mungkin berupa pandangan tentang
suatu hal, gagasan, moral, atau amanat. Rusyana (dalam Muhammad
Pujiono, 2006: 13) mengemukakan amanat sebagai renungan yang
disajikan kembali kepada pembaca. Hal yang serupa juga diungkapkan

31
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

oleh Panuti Sudjiman (1988: 57) bahwa amanat adalah ajaran moral atau
pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya.
Burhan Nurgiyantoro (1995: 336) menyebutkan bentuk
penyampaian amanat dalam karya fiksi dengan dua cara yaitu secara
langsung dan tak langsung. Bentuk penyampaian langsung identik dengan
cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian atau penjelasan.
Sebaliknya bentuk penyampaian tidak langsung dengan cara tersirat dalam
cerita, berpadu secara koherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
amanat adalah pesan berisi ajaran moral atau nila i-nilai yang ingin
disampaikan penulis melalui karyanya. Setelah membaca karya tersebut
pembaca diharapkan mengambil nilai-nilai positif yang terdapat dalam
sebuah karya sastra dan mengaplikasikannya dalam kehidupan.

B. Kerangka Berpikir
Ada beberapa tinjauan yang ditawarkan dalam mengapresiasi sebuah kar ya
sastra,, yaitu tinjauan sem iotik, tinjauan sosiologi sastra, tinjauan sosiopragmatik,
dan sebagainya. Pada penelitian ini, peneliti akan melakukan kajian semiotik
pada kumpulan cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma. Kajian semiotik ini
bertujuan untuk menemukan tanda bahasa dalam kumpulan cerpen Samin yang
mengacu pada makna karya tersebut. Ada beberapa cara yang bisa ditempuh
dalam menganalisis karya sastra secara semiotik berdasarkan beberapa teori yang
telah dipaparkan sejumlah tokoh sem iotik, yaitu Ferdinand de Saussure, Charles
Sanders Peirce, Roland Barthes, dan sebagainya. Pada penelitian ini, peneliti lebih
mengarah pada teori Peirce dalam menganalisis unsur semiotik kumpulan cerpen
Samin, yaitu mengidentifikasi ikon, indeks, dan simbol yang terdapat dalam
kumpulan cerpen tersebut kemudian menganalisisnya untuk menemukan makna
semiotik. Setelah unsur semiotik tersebut dianalisis, peneliti memaparkan tujuan
pengarang menggunakan ikon, indeks, dan sim bol dalam menyampaikan ide
cerita. Selain itu, peneliti juga mendeskripsikan kebermaknaan penggunaan unsur
semiotik tersebut dalam mendukung keestetikan kar ya. Berikut ini disajikan

32
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

diagram kerangka berpikir untuk memperjelas gambaran mengenai alur berpikir


dalam penelitian ini.

Kumpulan Cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma

Tinjauan sosiologi sastra Kajian semiotik ……………………..

Teori Teori Teori ……………….


Semiotik Semiotik semiotik
Saussure Barthes Peirce

1. Penanda 1. Tingkat Denotasi Identifikasi dan analisis:


(signifiant) 1. Indeks
2. Tingkat Konotasi 2. Ikon
2. Petanda
(signifie) 3. simbol

Makna semiotik

Latar belakang penulis Kebermaknaan unsur


menggunakan indeks, ikon, dan semotik (indeks, ikon, dan
simbol dalam menyampaikan ide simbol) terhadap
cerita keestetikan karya

Kesimpulan

Gambar 2. Skema Kerangka Berpikir

33
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Bentuk dan Strategi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian
deskriptif kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialam i oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi,
motivasi, tindakan, secara holistik, dan deskriptif dalam bentuk kata-kata dan
bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai
metode ilm iah (Lexy J. Moleong, 2004: 6). Data yang dikumpulkan berupa kata-
kata dan kalimat atau gambar yang mempunyai arti lebih dari sekedar angka atau
jumlah.
B. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 7 bulan yaitu dari bulan Mei sampai
dengan bulan November 2011. Objek penelitian ini adalah kumpulan cerpen
Samin karya Kusprihyanto Namma yang terdiri atas 10 judul cerpen dan
diterbitkan oleh Gerilya Peradaban pada tahun 2007.
Adapun rincian waktu dan jenis kegiatan penelitian dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 1. Jadwal Kegiatan
Kegiatan Bulan (2011)
Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nov
1. Persiapan
a. Pengajuan Judul xx
b. Penyusunan Proposal xx xx
c. Izin Penelitian xx
2. Pelaksanaan Penelitian
a. Pengumpulan Data xxxx
b. Analisis Data xxxx xx
c. Penarikan Kesimpulan xx
3. Penyusunan Laporan xxxx xxxx

34
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

C. Sumber Data
Data adalah sumber informasi yang akan diseleksi sebagai bahan analisis.
Data dalam penelitian sastra berupa kata, frasa, atau kalimat (Siswantoro, 2010:
70). H.B. Sutopo (2002: 49) menyatakan bahwa data tidak akan bisa diperoleh
tanpa sumber data. Betapapun menariknya suatu permasalahan atau topik
penelitian, tidak akan berarti jika tidak memiliki sumber data. Sumber data dalam
penelitian ini meliputi:
1. Dokumen
Dokumen yang menjadi sumber data dalam penelitian ini, yaitu kumpulan
cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma yang terdiri atas 10 judul cerpen
dan diterbitkan oleh Gerilya Peradaban pada tahun 2007.
2. Informan
Informan yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah pengarang
(Kusprihyanto Namma) dan beberapa pembaca kumpulan cerpen Samin
karya Kusprihyanto Namma. Informan yang berupa pembaca terdiri dari
pembaca awam, pembaca akademis, dan pembaca praktis. Informan yang
berupa pembaca awam, yaitu Iska yati Hasanah, Retno Juanita, dan Tiara
Angginadi Perwita. Informan yang berupa pembaca akademis, yaitu Dewi
Setyorini, Tyas Sri Utami, Niken Sarasvati Devi, Wahyu Agustina, dan
Desinta Prihatini. Informan yang berupa pembaca praktis, yaitu Chafit Ulya,
M.Pd. Data hasil wawancara terlampir.

D. Teknik Sampling
Teknik sampling yang digunakan dalam peneltitian ini adalah Purpossive
Sampling, ya itu sampel yang pemilikannya didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat
tertentu yang dipandang mempunyai keterkaitan yang erat dengan tujuan
penelitian. Purpossive Sampling adalah pengambilan data yang dilakukan dengan
cara memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan masalahnya
secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap
(H.B. Sutopo, 2002 : 56).

35
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Peneliti menggunakan teknik ini dengan tujuan dapat memperoleh data


yang tepat dan akurat, sehingga memperoleh hasil yang diharapkan. Sampel
dalam penelitian ini adalah kumpulan cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma,
pengarang, dan pembaca. Peneliti menganalisis semua cerpen dalam kumpulan
cerpen Samin yang berjumlah 10 judul cerpen, yaitu Biru, Mun, Kembang Tebu,
Pundhen, Samin, Jawa, Bedil, Patrem, Dom, dan Tuyul. Sampel ya ng berupa
pembaca terdiri dari pembaca awam, pembaca akademis, dan pembaca praktis.

E. Teknik Pengumpulan Data


Siswantoro (2010: 74) menyatakan bahwa cara operasional mengumpulka n
data disebut data reduction atau data selection. Tindakan mereduksi data yaitu
menyeleksi data dengan cara memfokuskan diri pada data yang dibutuhkan sesuai
dengan kriteria atau parameter yang telah ditentukan. Hal ini dilakukan agar
proses pengambilan data berjalan sistematis.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
dengan cara menganalisis dokumen dan juga melakukan wawancara. Untuk
memperoleh data objektif, digunakan teknik pengambilan data dengan membaca
secara mendalam kumpulan cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma. Data
genetik diperoleh dengan cara wawancara mendalam dengan pengarang mengenai
latar belakang penulisan dan makna yang terkandung dalam kumpulan cerpen
Samin. Data afektif diperoleh dari hasil wawancara kepada beberapa pembaca
kumpulan cerpen Samin mengenai pemahaman dan pendapat narasumber tentang
kumpulan cerpen tersebut. Data hasil wawancara terlampir.

F. Validitas Data
Data yang berhasil dikumpulkan, diuji kemantapan dan kebenarannya.
Maksudnya, setiap penelitian harus menentukan cara untuk meningkatkan
validitas data yang diperoleh dari kemantapan kesimpulan dan tafsiran makna
penelitiannya. Menurut H.B. Sutopo (2002: 78), validitas data merupakan jaminan
bagi kemantapan simpulan dan tafsiran makna sebagai hasil penelitian. Terdapat
beberapa cara yang biasanya dipilih untuk menge mbangkan validitas (kesahihan)
data penelitian. Penelitian ini menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi adalah

36
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan hal lain di luar data untuk
keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap hal tersebut (Lexy J.
Moleong, 2004: 330).
Penelitian ini menggunakan triangulasi metode dan triangulasi sumber
menurut H.B. Sutopo (2002: 80) triangulasi metode dilakukan peneliti denga n
mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik atau metode
pengumpulan data yang berbeda. Pada penelitian ini peneliti membandingkan data
hasil analisis dokumen, yaitu kumpulan cerpen Samin dengan data hasil
wawancara terhadap pembaca dan pengarang. Triangulasi sumber mengarahkan
peneliti agar di dalam mengumpulkan data menggunakan beragam sumber data
yang tersedia. Maksudnya, data yang sejenis akan lebih mantap kebenara nnya bila
digali dari beberapa sumber data yang berbeda (H.B. Sutopo, 2002: 79). Pada
penelitian ini peneliti melakukan wawancara terhadap beberapa informan, yaitu
pengarang dan pembaca. Informan yang berupa pembaca terdiri dari 3 jenis yaitu
pembaca akademis, pembaca awam, dan pembaca praktis. Peneliti kemudian
membandingkan hasil-hasil wawancara tersebut untuk menemukan data yang
akurat.
G. Teknik Analisis Data
Lexy J. Moleong (2004: 103) mengungkapkan bahwa: “Analisis data
adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola,
kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data”. Penelitian ini
menggunakan metode pembacaan semiotik yang terdiri atas pembacaan
heuristik dan hermeneutik.
Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasanya.
Pembacaan heuristik secara semiotik berdasarkan konvensi sistem semiotik
tingkat pertama (Riffatere dalam Rachmat Djoko Pradopo, 2005: 135).
Pembacaan ini mengacu pada konvensi kebahasaan. Pembaca melakukan
penafsira n struktur kebahasaan (tanda linguistik) secara referensial. Bahasa
yang digunakan merupakan penanda yang dihubungkan dengan referennya,

37
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yaitu hal-hal nyata. Dengan demikian pembacaan heuristik menghasilkan arti


(meaning).
Hermeneutik me ngarah pada penafsiran ekspresi yang penuh makna dan
dilakukan dengan sengaja oleh manusia. Artinya, peneliti melakukan interpretasi
atas interpretasi yang telah dilakukan oleh pribadi atau kelompok manusia
terhadap situasi mereka sendiri ( Smith dalam H.B. Sutopo, 2002: 26).
Menurut Ricoeur dalam Suwardi Endraswara (2003: 45) ada tiga langkah
pemahaman terhadap simbol. Pertama, penghayatan simbol-simbol tentang
“berpikir dari” simbol-simbol tersebut, maksudnya melukiskan apa simbol
tersebut. Kedua, pemberian makna simbol dan penggalian makna yang tepat.
Ketiga, berpikir filosofis, yaitu menggunakan simbol sebagai titik tolaknya.
Ketiga langkah tersebut tidak akan lepas dari pemahaman semantik, refleksi, dan
eksistensial. Pemahaman semantik adalah pemahaman tingkat bahasa murni.
Pemahaman refleksi yaitu pemahama n yang mendekati tingkat ontologism.
Pemahaman eksistensial adalah pemahaman tingkat being (keberadaan) makna
tersebut.
Suwardi Endraswara (2003: 45) menyatakan bahwa upaya pemahaman
hermeneutik mengenal sistem bolak-balik. Peneliti harus melakukan
dekontekstualisasi (pembebasan teks) dan rekontekstualisasi. Dekontekstualisasi
adalah langkah menjaga otonomi teks saat peneliti melakukan pemaknaan.
Rekontekstualisasi adalah langkah kembali ke konteks untuk melihat latar
belakang terjadi teks dan sebagainya.
Peneliti menggunakan metode pembacaan semiotik secara heuristik dan
hermeneutik untuk mempermudah mengidentifikasi unsur semiotik yang berupa
ikon, indeks, dan simbol. Melalui pembacaan heuristik dan hermeneutik, peneliti
dapat lebih mudah menemukan makna semiotik dalam kumpulan cerpen Samin
karya Kusprihyanto Namma.

38
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

H. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian merupakan penjelasan secara rinci mengenai langkah
penelitian dari awal hingga akhir, guna membantu lancarnya pelaksanaan
penelitian. Langkah-la ngkah yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Membaca kumpulan cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma.
2. Mewawancarai beberapa pembaca untuk memperoleh data.
3. Mewawancarai pengarang untuk mendapatkan data genetik.
4. Mengidentifikasi dan menganalisis ikon, indeks, dan simbol dalam
kumpulan cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma untuk menemuka n
makna semiotik.
5. Mendeskripsikan latar belakang pengara ng menggunakan unsur semiotik
(ikon, indeks, dan simbol) tersebut dalam penyam paian ide ceritanya.
6. Mendeskripsikan kebermaknaan penggunaan unsur semiotik (ikon, indeks,
dan simbol) tersebut dalam mendukung keestetikan karya.
7. Menarik kesimpulan.

39
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data Penelitian

Penelitian ini mengkaji tentang kumpulan cerpen Samin dari segi semiotik.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif
kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena tentang
apa yang dialami oleh subjek penelitia n, misalnya perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan, secara holistik, dan deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada
suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode
ilm iah (Lexy J. Moleong, 2004: 6).
Penelitian ini difokuskan pada kajian semiotik dalam kumpulan cerpen
Samin berdasarkan teori semiotik Charles Sanders Peirce. Teori tersebut
membedakan hubungan antara tanda dengan acuannya ke dalam tiga jenis
hubungan, yaitu 1. Ikon, jika berupa hubungan kemiripan 2. Indeks, jika berupa
hubungan kedekatan eksistensi 3. Simbol, jika berupa hubungan yang sudah
terbentuk secara konvensi. Permasalahan yang diangkat oleh peneliti dalam
penelitian ini adalah identifikasi ikon, indeks, dan simbol untuk menemukan
makna semiotik pada kumpulan cerpen Samin, hal yang melatarbelakangi
pengarang (Kusprihyanto Namma) menggunakan ikon, indeks, dan simbol dalam
menyampaikan ide ceritanya, dan kebermaknaan penggunaan indeks, ikon, dan
simbol dalam mendukung keestetikan kumpulan cerpen Samin.
Untuk mengkaji permasalahan-permasalahan tersebut, peneliti melakukan
pengambilan data dari berbagai sumber. Data dalam penelitian ini adalah
dokumen dan hasil wawancara. Data berupa dokumen berupa kumpulan cerpen
Samin dan berbagai sumber pustaka dari buku, jurnal, maupun internet. Data
berupa hasil wawancara peneliti dapatkan dengan cara mewawancarai pengarang,
yaitu Kusprihyanto Namma, dan beberapa pembaca kumpulan cerpen Samin. Data
yang diperoleh berupa identifikasi ikon, indeks, dan simbol yang terdapat dalam
kumpulan cerpen Samin yang terdiri dari 10 judul cerpen. Data-data tersebut,
yaitu:

40
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

B. Analisis Data dan Pembahasan


1. Identifikasi dan Analisis Ikon, Indeks, Simbol untuk Menemukan Makna
Semiotik pada Kumpulan Cerpen Samin
a. Ikon
Ikon adalah tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya. Ikon dapat
disebut sebagai tanda yang memiliki ciri-ciri sama dengan apa yang
dimaksudkan. Kumpulan cerpen Samin memiliki 64 jenis ikon, yaitu:
1) kecut
a) Untuk instruksi penyeragaman itu Pak Lurah benar-benar kecut.
(cerpen Biru, hal.6)
b) Sementara itu Pak Lurah yang mendapat pengaduan Mbah Joyo,
seperti tak peduli. Bahkan sempat menggertak M bah Joyo agar tutup
mulut. Karena kalau orang-orang yang ia gebuki itu tidak terima ia
bisa kena hukuman atas dasar penganiayaan. Tentu Mbah Joyo kecut.
Meski begitu ia tetap menjaga Pundhen peliharaannya. (cerpen
Pundhen, hal. 25)
Kata ”kecut” biasa digunakan untuk menunjukkan rasa yang bisa
dideteksi oleh indera pengecap atau lidah. Pada kutipan tersebut, kata
“kecut” digunaka n untuk menggambarkan perasaan. Kecut adalah rasa
yang kurang nikmat dan menimbulkan getir pada lidah, jadi dalam hal ini
perasaan yang kecut menandakan perasaan yang kurang menyenangkan.
Kata “kecut” juga dapat diartikan sebagai takut, merasa ngeri, atau gentar
(Suharso dan Ana Retnoningsih, 2005: 231). Kata “kecut” pada cerpen
Biru dan cerpen Pundhen menggambarkan keadaan tokoh yang berarti
tokoh merasa gentar atau takut. Pada cerpen Biru, pak Lurah gentar
terhadap perintah Pak Camat untuk menyampaikan instruksi
penyeragaman terhadap warga. Pada cerpen Pundhen, Mbah Joyo merasa
sedikit takut atau gentar ketika orang-orang yang ia gebuki
mengadukannya.

50
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2) Sementara Pak Camat mulai meluncurkan kalimat-kalimat yang kurang


sedap didengar. (cerpen Biru, hal. 6)
“Sedap” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana
Retnoningsih, 2005: 462) berarti enak, nyam an, dan senang untuk
menggambarkan perasaan pada umumnya. Rasa sedap biasanya bisa
dirasakan oleh indera pengecap, yaitu lidah. Pada kutipan tersebut, kata
“sedap” digunakan untuk menggambarkan suara atau pembicaraan yang
diterima oleh telinga. Sedap merupakan rasa yang nikmat, sebaliknya
kurang sedap merupakan rasa yang tidak menyenangkan bahkan buruk.
Ungkapan “ kurang sedap didengar” menandakan bahwa ucapan Pak
Camat kurang menyenangkan atau menyakitkan hati pendengarnya.
3) Pak Camat merasa tertampar. M atanya mencorong tajam. (cerpen Biru,
hal. 6)
Kata “tampar” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan
Ana Retnoningsih, 2005: 522) diartikan dengan memukul menggunakan
telapak tangan. Tampar merupakan kontak fisik, yaitu pemukulan tangan
terhadap wajah yang menimbulkan rasa sakit. Awalan ter- pada kata
“tertampar” berarti ketidaksengajaan. Pada kutipan tersebut, kata
“tertampar” di sini hanyalah perumpaan. Tidak ada kontak fisik yang
terjadi. Tokoh Pak Camat merasa tertampar karena ucapan Pak Lurah.
Kata “tertampar” dalam hal ini menandakan bahwa tokoh Pak Camat
merasa tersakiti atau tertohok setelah mendengar ucapan Pak Lurah yang
bertolak-belakang dengan pendapatnya dan terkesan menyindir.
4) Lalu yang putih jadi hitam, yang hitam jadi putih. Kacau semuanya.
(cerpen Biru, hal. 6)
Hitam merupakan warna yang gelap dan pekat. Warna hitam biasa
digunakan untuk melambangkan sesuatu yang buruk. Sebaliknya, warna
putih merupakan warna yang bersih tanpa noda. Warna putih biasa
digunakan untuk menandakan suatu kebaikan. Pada kalimat tersebut,

51
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

warna putih melambangkan kebenaran, sedangkan warna hitam


melambangkan kepalsuan. Kalimat “Lalu yang putih jadi hitam, yang
hitam jadi putih” berarti ada pemutar balikan fakta yang benar menjadi
salah, dan yang salah menjadi benar.
5) “Saya tak tahu apa namanya, yang jelas kita berada dalam sebuah sistem.
Kalau tak ingin terlempar, kita mesti berputar seirama sistem tersebut!”
jawab Pak Lurah diplomatis. (cerpen Biru, hal. 8)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana
Retnoningsih, 2005: 495), “sistem” adalah sekelompok bagian-bagian alat
dan sebagainya, yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu
maksud tertentu atau sekelompok dari pendapat, peristiwa, kepercaya an,
dan sebagainya yang disusun dan diatur baik-baik. “Sistem” yang
dimaksud dalam kutipan tersebut berarti sebuah tatanan atau peraturan
yang sudah menjadi kesepekatan bersama. “Berputar seirama sistem”
berarti harus mampu menepati peraturan yang berlaku dan tidak menolak
atau membangkang, karena akan berakibat buruk. Orang yang melanggar
aturan akan mendapat hukuman dan juga akan dijauhi oleh warga yang
tidak setuju.
6) Ia biarkan saja suasana yang beku itu. (cerpen Biru, hal. 8)
Kata “beku” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 81)
diartikan menjadi kental atau keras. Beku biasanya digunakan untuk
menunjukkan zat cair yang mengeras karena didinginkan. Kata “beku”
dalam kutipan tersebut menunjukkan kondisi yang kaku dan bisu, di mana
tidak ada seorang pun yang berbicara atau bercanda.
7) Ternyata mereka antara yang patuh dan tidak terjadi konflik yang serius.
Mereka yang tidak patuh menuduh yang patuh sebagai penjilat. (cerpen
Biru, hal. 8)
“Jilat” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 205) diartika n
sebagai beberapa hal, yaitu mengulurkan lidah untuk merasai, mencolet,
mencari muka, dan sebagainya. Kata “jilat” dalam kutipan di atas berarti
berbuat sesuatu untuk mendapat pujian dari atasan atau mencari muka.

52
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Kata “penjilat” dalam kutipan tersebut menandakan sosok yang rela


melakukan apapun untuk menarik perhatian seseorang atau mendapatkan
pujian dari orang yang kedudukannya lebih tinggi darinya.
8) Apalagi Pak Camat sudah memperingatkan kembali, kelurahannya paling
jelek pelaksanaan instruksi. Maka, tidak bisa tidak, Pak Lurah mulai
memainkan kuku pancanaka. (cerpen Biru, hal. 9)
Kuku pancanaka adalah kuku dari tokoh wayang Werkudara yang
merupakan senjata yang tajam dan mematikan (Puji Waskito, 1999:148).
Pada kutipan tersebut, “kuku pancanaka” merupakan perumpamaan yang
melambangkan senjata, kekuatan, dan kekuasaan. Ungkapan “memainkan
kuku pancanaka” berarti menunjukkan kekuatan dan kekuasaan. Kekuatan
dan kekuasaan yang dimaksud dalam cerpen Biru yaitu senjata yang
berupa kekuasaan sebagai lurah untuk membuat para warganya patuh pada
instruksinya.
9) Tumbuh
a) Karena ketakutannya ia lantas menumbuhkan ketakutan la in yang lebih
besar kepada orang lain. (cerpen Biru, hal. 10)
b) Perseteruan itu sebenarnya tumbuh sejak aku masih kecil.(cerpen
Samin, hal. 28)
Kata “tumbuh” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso
dan Ana Retnoningsih, 2005: 594) diartikan timbul, sedang berkembang
menjadi besar, sempurna, dan sebagainya. Menumbuhkan berarti
menjadikan atau menyebabkan tumbuh, dapat juga berarti menimbulkan.
Tumbuh biasanya digunakan untuk makhluk hidup seperti manusia,
tumbuhan, dan binatang. Tumbuh berarti bertambah tinggi, berat, dan
besar. Pertumbuhan menunjukkan perubahan fisik dari makhluk hidup.
Pada cerpen Biru, kata “menumbuhkan” dipadukan dengan kata “takut”
menjadi “menumbuhkan ketakutan” yang berarti menimbulkan rasa takut
pada orang lain atau membuat rasa takut pada orang lain menjadi lebih
besar. Pada cerpen Samin, kata “tumbuh” menunjukkan bahwa perseteruan
yang terjadi di dalam cerita sudah timbul sejak tokoh masih kecil sampai

53
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sekarang. Perseteruan itu semakin membesar seiring dengan bertambahnya


waktu.
10) “Daripada dibisukan, Pak Samin mem ilih bisu. Katanya, itu lebih
terhormat!” jelas aktivis hukum. (cerpen Biru, hal. 10)
Pernyataa n tersebut senada dengan yang diungkapkan dalam
kutipan berikut:
“Begitu dibirukan pagar rumahnya, Pak Samin memilih mati.
Katanya, itu lebih terhormat daripada dimatikan!” kata aktivis
hukum yang menyambut kedatangan Pak Lurah. (cerpen Biru, hal.
11)

Bisu biasa digunakan untuk menunjukkan cacat fisik, yaitu orang


yang tida k mampu berbicara. “Dibisukan” berarti dibuat menjadi bisu.
Pada cerpen Biru kata “dibisukan” berarti dibungkam agar tidak
memberontak. Hal ini serupa dengan kata “dimatikan”. “Dimatikan”
berarti dibuat mati, atau dibatasi geraknya atau bahkan tidak boleh
bergerak karena khawatir akan memberontak dan dianggap
membahayakan. Hal ini sering terjadi pada masa Orde Baru di mana orang
yang menyuarakan sesuatu yang tidak sejalan dengan pemerintahan pada
masa itu akan dijatuhi hukuman atau bahkan diasingkan.
11) “Begini Pak, saya tidak setuju, dengan instruksi birunisasi itu. Sungguh,
instruksi itu sangat memberatkan warga!” ucap Pak Lurah berapi-api.
(cerpen Biru, hal. 10)
Api merupakan sebuah benda alam yang menyala dan memiliki
panas yang membara. “Api” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Suharso dan Ana Retnoningsih, 2005: 49) berarti panas dan cahaya
berasal dari sesuatu yang terbakar. Kata “berapi-api” dalam kutipan
tersebut menunjukkan sebuah semangat yang membara atau menunjukka n
energi yang lebih.
12) Jawaban itu benar-benar mengagetkan. Bagaimana tidak, Pak Samin yang
segar-bugar, dan wajahnya yang bercaha ya, mati semendadak itu. (cerpen
Biru, hal. 11)

54
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Cahaya merupakan sebuah energi yang dapat membuat sekitarnya


terang atau cerah. Cahaya biasanya dikaitkan dengan benda-benda yang
mampu memancarkan sinar atau memberi penerangan, seperti lampu,
matahari, bulan, dan sebagainya. “Bercahaya” dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2005: 100) berarti
memancarkan cahaya, bersinar, atau berkilau. Pada kutipan tersebut kata
“bercahaya” digunakan untuk menggambarkan kondisi wajah seseorang.
“Wajah yang bercahaya” menunjukkan kejernihan yang terpancar dari air
muka. “Wajah yang bercahaya” dapat diartikan sebagai wajah yang cerah,
bersih, ceria, dan mampu memberikan perasaan senang bagi orang di
sekelilingnya.
13) Meski begitu, cukup banyak perempuan yang bersedia jadi istrinya, baik
janda maupun perawan. Namun, Mun terlanjur dimakan sumpahnya
sendiri: mau kawin kalau sudah punya sepeda. (cerpen Mun, hal. 12)
Pernyataa n ”dimakan sumpahnya sendiri” berarti tokoh ”M un”
sangat memegang teguh sumpah yang telah ia ucapkan, sehingga ia akan
menaati sumpahnya itu dan tidak mungkin mengingkarinya apapun yang
terjadi.
14) ”Priiiiiiit!” peluit petugas jaga melengking tajam. (cerpen Mun, hal. 15)
Melengking adalah suara yang tinggi. Biasanya digunakan untuk
menunjukkan suara yang dikeluarkan oleh orang atau binatang. Kata
”melengking” pada kutipan tersebut digunaka n untuk menggambarkan
suara yang dihasilkan oleh peluit yang ditiup oleh petugas jaga. ”Peluit
yang melengking tajam” berarti suara peluit yang ditiup oleh petugas jaga
mengeluarka n suara yang tinggi dan kecil.
15) Yang ditanya bungkam. Matanya bulat tajam. (cerpen Mun, hal. 16)
Mata adalah bagian tubuh yang mampu menampakkan ekspresi.
Mata yang bulat tajam berarti mata tidak berkedip atau nyaris melotot.
Ungkapan ”matanya bulat tajam” menunjukkan bahwa tokoh tidak gentar
atau tetap teguh dengan pendapatnya.

55
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

16) ”Pukul saja!” sela yang lain.


”Ayo kita permak ramai-ramai!” ajak salah seorang. (cerpen Mun, hal. 16)
”Permak” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana
Retnoningsih, 2005: 375) berarti mengubah dan memperbaiki baju, celana,
dan sebagainya. Kata ”permak” dalam pernyataan tersebut lebih condong
pada mengubah bentuk. Objek yang dipermak dalam cerpen Mun adalah
tokoh ”Mun”. ”Permak” yang dimaksud oleh tokoh ”seseorang” dalam hal
ini adalah menghajar tokoh ”Mun”.
17) Di samping suka bermain di areal tebu dan mengisap air manisnya, Agung
juga suka memandang kembang-kembang tebu yang menyembul laksana
mata tombak. Kembang-kembang yang keperak-perakan itu, di mata
Agung tampak sangat indah. Apalagi bila angin berhembus sepoi,
kembang-kembang itu seperti menari, tak henti-henti. Agung selalu
berdecak kagum. (cerpen Kembang Tebu, hal. 18)
Pada pernyataan di atas, pengarang menggambarkan kembang tebu
seperti layaknya sosok manusia yang mampu menari. M enari adalah gerak
halus yang indah. Kembang-kembang tebu yang dikatakan menari,
maksudnya bergerak luwes sesuai hembusan angin dan memberikan efek
indah bagi tokoh Agung.
18) Jalan kampung yang biasanya lengang, tiba-tiba dipecahkan oleh raungan
truk. (cerpen Kembang Tebu, hal. 18)
Truk adalah kendaraan yang besar dan mengeluarkan suara yang
keras. “Raungan truk” yang dimaksudkan dalam kutipan tersebut adalah
truk mengeluarkan suara yang keras dan berisik, sehingga kampung yang
biasanya sepi menjadi ramai.
19) Wanita harus kembali ke dapur, mengabdi sepenuhnya pada anak dan
suami. (cerpen Kembang Tebu, hal. 19)
Dapur adalah tempat untuk memasak. Dapur selalu dekat kaitannya
dengan seorang perempuan, karena hampir sebagian besar waktu seorang
wanita dihabiskan di dapur. Dapur menjadi simbol pekerjaan rumah
tangga. “Kembali ke dapur” merupakan ungkapan yang berarti bahwa

56
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

seorang wanita kodratnya adalah mengurus rumah, memasak, mencuci,


mengurus anak dan suami.
20) Kegiatan mahasiswa macam apapun tak ada yang diikutinya. Buatnya,
kegiatan semacam itu hanya buang-buang tenaga dan waktu. (cerpen
Kembang Tebu, hal. 19)
Buang berarti melemparkan barang ke suatu tempat (sampah)
karena sudah tidak membutuhkannya lagi atau dianggap sudah tidak
berguna. “Buang-buang waktu dan tenaga” berarti menggunakan waktu
dan tenaga untuk melakukan sesuatu yang tidak berguna atau tidak
menghasilkan sesuatu yang berguna.
21) “Itulah sebabnya Bapak memanggilmu pulang. Kamu mesti tahu
persoalan ini dan tidak menyalahkan Bapak, kalu kamu terpaksa putus
kuliah!” (cerpen Kembang Tebu, hal. 21)
Putus biasanya digunakan untuk menunjukkan berakhirnya
hubungan atau terpisahnya sesuatu yang pada awalnya bersatu. “Putus
kuliah” berarti berhenti kuliah atau tidak melanjutkan kuliah. Dalam
cerpen ini, tokoh “Agung” terpaksa harus menghentikan studinya (kuliah)
karena ayahnya tidak mampu membiaya i kuliahnya lagi.
22) Riak
a) Agung mahasiswa yang melulu belajar. Ia tak pernah mengetahui riak-
riak yang muncul di sekitarnya. (cerpen Kembang Tebu, hal. 21)
b) Kampungku adalah kampung yang tenang. Seperti telaga yang berada
di sunyi pegunungan. Ketenangannya bahkan tak pernah menghasilkan
riak atau ombak. Sesekali, memang, dipecahkan cipak ikan. Atau
selembar daun yang jatuh karena tak sanggup menahan berat embun.
Namun sesudah itu kembali sunyi. Kembali dihuni suara burung,
cengkrik, lenguh kerbau, kokok ayam, penggeret, serta teriakan-
teriakan petani bekerja.(cerpen Samin, hal. 28)
“Riak” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana
Retnoningsih, 2005: 428) berarti gerakan mengombak di permukaan air
atau ombak dalam air. Riak menunjukkan gerakan yang memecahkan

57
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sesuatu yang tenang. Kata “riak” digunakan untuk menggambarkan


keadaan atau suasana berarti bahwa ada sesuatu hal yang terjadi dan
mengakibatkan suasana yang awalnya tenang menjadi tidak beraturan.
“Riak” dalam kutipan tersebut mengarah pada hal yang negatif atau
sesuatu yang buruk. Pernyataan “riak-riak yang muncul di sekitarnya”
maksudnya kegemparan di sekitarnya. Tokoh “Agung” dalam cerpen
Kembang Tebu karena terlalu memusatkan diri pada studinya, ia tidak
mempedulikan berbagai masalah yang terjadi di sekitarnya. Pernyataan
“ketenangannya bahkan tak pernah menghasilkan riak atau ombak”
maksudnya suasana desa sebagai setting tempat cerpen Samin sangat
tenang dan tidak pernah terjadi kerusuhan atau keributan.
“Cipak ikan” merupakan gerakan ikan yang mengakibatkan
gelombang pada air. Gelombang yang diakibatkan oleh cipak ikan kecil
dan hanya sebentar. “Cipak ikan” dalam kutipan tersebut menunjukka n
keributan atau peristiwa yang mengakibatkan keributan kecil, namun cepat
reda. “Selembar daun” adalah benda yang sangat ringan. Embun juga
ringan. Pernyataan “Selembar daun yang jatuh karena tak sanggup
menahan berat embun” maksudnya hampir sama dengan perumpamaan
pengarang melalui “cipak ikan”, yaitu kecelakaan kecil atau bencana kecil
yang sanggup diatasi dan tidak membawa pengaruh besar.
23) Dulu ia malah mencibir orang-orang yang turun ke jalan menuntut ha k-
haknya. Orang-orang itu dinilainya hanya cari perhatian. Agung mulai
menyadari bahwa mahasiswa tak seharusnya hanya melahap buku. (cerpen
Kembang Tebu, hal. 21)
Ungkapan “turun ke jalan” berarti melakukan aksi demonstrasi.
Demonstrasi biasa disebut dengan istilah “turun ke jalan” karena aksi
demonstrasi biasa dilakukan di jalan-jalan raya. Ungkapan “melahap
buku” bukan berarti tokoh benar-benar memakan buku, namun berarti
bahwa tokoh terus menerus belajar. Orang diibaratkan “melahap buku”
karena sangat asyik dan menikmati membaca buku.

58
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

24) Hati Agung tiba-tiba mengeras. Bagai batu. Tangannya meremas


kemarahannya sendiri. tiba-tiba pula darahnya memompa aroma kebencian
yang sangat dahsyat. (cerpen Kembang Tebu, hal. 21)
Pernyataa n di atas menggambarkan kemarahan tokoh “Agung”.
Ungkapan “hati yang mengeras” menunjukkan bahwa tokoh benar-benar
gondok dan menahan kekesalan di dadanya.
25) Pak Kromo mendadak sadar, bahwa ia sedang membangunkan harimau
lapar. (cerpen Kembang Tebu, hal. 21-22)
Harimau yang lapar biasanya menjadi sangat beringas dan tidak
tenang. Ungkapan “membangunkan harimau lapar” yang ditujukan pada
tokoh Agung berarti memancing kemarahan Agung dan membuatnya
emosi.
26) Pak Kromo mesti mengerem kemarahan anaknya yang mulai merambati
ubun-ubun. (cerpen Kembang Tebu, hal. 22)
Ubun-ubun adalah bagian tubuh manusia yang terletak di ujung
kepala. Pernyataa n “kem arahan yang merambati ubun-ubun” berarti
kemarahan yang sudah tidak mampu dikontrol atau sudah sampai batas.
27) Sebelum mencapai Pundhen, jantung M bah joyo berdegup kencang.
Sebab ia melihat sepeda motor terparkir sembarangan di mulut kuburan.
(cerpen Pundhen, hal. 23)
“M ulut” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana
Retnoningsih, 2005: 329) diartikan sebagai rongga atau lubang tempat gigi
dan lidah pada manusia, atau dapat juga diartikan sebagai lubang. Mulut
merupakan bagian luar atau pintu sebelum makanan masuk ke dalam
tubuh. “Mulut kuburan” dapat diartika n sebagai pintu atau gerbang
kuburan.
28) Mbah Joyo berjingkat-jingkat menyelidiki. M atanya yang masih tajam
mencari-cari sesuatu yang mencurigakan. (cerpen Pundhen, hal. 24)
Kata “tajam” biasa digunakan untuk menggambarkan benda atau
senjata yang berujung lancip, seperti pisau, gunting, dan sebagainya.
Tajam berarti mudah mengiris atau berkemampuan. Kata “tajam” dalam

59
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kutipan tersebut digunakan untuk menggambarkan kondisi mata atau


penglihatan seseorang. Hal ini berarti bahwa mata atau penglihatan tokoh
(Mbah Joyo) memiliki kemampuan yang baik atau masih jelas.
29) Dengan geram, M bah Joyo membakar pakaian yang tertinggal. Dari dalam
api yang berkobar Mbah joyo melihat bayang-bayang Ki Tunggul
tersenyum masam. (cerpen Pundhen, hal. 24)
Masam merupakan rasa yang dapat dideteksi oleh indera pengecap.
Masam merupakan rasa yang kurang menyenangkan dan membuat tubuh
sedikit bergidik. Pada kutipan tersebut kata “masam” digunakan untuk
menggambarkan senyum tokoh. “Senyum masam” berarti senyum yang
berasal dari suasana hati yang kurang menyenangkan dari tokoh. Ada
unsur keterpaksaan ketika tokoh tersenyum dan pihak lain yang
melihatnya akan kurang merasa senang juga.
30) Sungguh! Pada hakekatnya tak ada yang berubah. Kecuali orang-orang
kampung kam i yang tak lagi bertani atau berkebun. Tapi ada yang jadi
maling, gali, makelar, sopir, kuli bangunan, pedagang bakso, pelacur, dan
aneka ragam pekerjaan untuk mengisi perutnya. (cerpen Pundhen, hal. 27)
“M engisi perut” merupakan idiom yang berarti makan. M akan
merupakan kebutuhan yang bersifat primer dalam kehidupan makhluk
hidup. “M encari pekerjaan untuk mengisi perut” maksudnya melakukan
pekerjaan agar dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
31) Mereka tak pernah menempatkan alam-lingkungan sebagai musuh yang
harus ditaklukkan. Namun menganggap bumi yang mereka injak sebagai
sahabat yang mesti diolah untuk menemani langkah menyusuri kehidupan
yang menunggu di depan. (cerpen Samin, hal. 28)
Musuh adalah lawan atau saingan bertarung. Musuh adalah sosok
yang tidak disukai, dan orang biasanya berlaku jahat dan buruk terhadap
musuhnya. Ia bahkan akan merusak atau menghancurkan musuh mereka.
Sebaliknya, sahabat adalah sosok teman yang sangat dekat. Pada
umumnya, seseorang akan bersikap hangat dan menya yangi sahabatnya.
Pernyataa n ”mereka tak pernah menempatkan alam-lingkungan sebagai

60
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

musuh yang harus ditaklukkan. Namun menganggap bumi yang mereka


injak sebagai sahabat yang mesti diolah untuk menemani langkah
menyusuri kehidupan yang menunggu di depan” berarti bahwa masyarakat
desa itu tidak pernah merusak atau mengeksploitasi alam sekitar. Bahkan
mereka menjaga alam dan melestarikan dengan baik.
32) Katanya, ”Suara warga janganlah dibeli. Tapi suarakanla h apa yang ingin
dikatakan warga!” (cerpen Samin, hal. 29)
”Suara” dalam kutipan tersebut adalah pendapat dan keinginan
rakyat. ”Suara rakyat janga n dibeli” maksudnya rakyat jangan diim imng-
imingi dengan harta sehingga patuh dan mengikuti keinginan pemerintah,
walaupun berlawanan dengan hati nuraninya. Kalimat ”suarakanlah apa
yang ingin dikatakan warga” maksudnya pemerintah seharusnya mau
mendengarkan pendapat warga dan menyampaikannya pada pihak lain,
kemudian mengambil tindakan untuk kepentingan bersama.
33) ”Sekarang, kalau saatnya pemilihan, berbaik hati dengan warga. Bermanis
muka. Tapi setelah berkuasa warga ditelantarkan begitu saja...” (cerpen
Samin, hal. 30)
”M anis” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana
Retnoningsih, 2005: 309) berarti rasa seperti rasa gula, elok, mungil,
sangat menarik hati (untuk menggambarkan muka, senyum, perkataan, dan
sebagainya). Kata ”manis” biasanya digunakan untuk menggambarkan
rasa yang bisa dirasakan oleh indera pengecap atau lidah. Manis adalah
rasa yang enak dan banyak disukai. Ungkapan ”bermanis muka”
maksudnya berbaik hati dan bersikap lunak untuk menarik hati orang lain.
34) Tentu sikap Pak Rekso yang melawan arus itu mendapat cemoohan warga
yang hanya berpikir sesaat. (cerpen Samin, hal. 30)
”Arus” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana
Retnoningsih, 2005: 54) berarti gerakan air yang mengalir atau aliran
udara (listrik) yang melalui suatu benda. Arus biasanya berjalan satu arah
dan sejalur. ”Melawan arus” maksudnya berjalan ke arah yang lain. Tokoh
”Pak Rekso” dikatakan melawan arus berarti ia memiliki pemikiran sendiri

61
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dan mempunyai cara sendiri dan tidak mau mematuhi hal yang telah
ditetapkan atau dijalani oleh sebagian masyarakat yang lain.
35) Mbah Lurah, yang panas kupingnya mendengar kata-kata Pak Rekso yang
dia nilai sok suci itu, menyebut Pak Rekso sebagai Samin. (cerpen Samin,
hal. 30)
Kuping atau telinga adalah organ tubuh manusia yang digunakan
untuk mendengar atau menangkap suara dari luar. Kata “panas kuping “
menunjukkan ketidaksukaan tokoh mendengar ucapan lawan bicaranya.
Ucapan tokoh lain tersebut membuatnya risih dan membuatnya tidak
nyaman, sakit hati, atau marah.
36) Dan lolosnya calon-calon bermodal kantong. (cerpen Samin, hal. 31)
Kantong merupakan bagian dari pakaian atau tas yang digunaka n
orang untuk menyimpan uang atau harta berharga lainnya. Ungkapan
”bermodal kantong” dalam kutipan tersebut berarti bahwa dalam mencapai
sesuatu yang diinginkannya tidak dengan usaha namun dengan
menggunakan uang atau harta. Mereka menggunakan uang untuk
mendapatkan jabatan. Uang tersebut dapat digunakan untuk menyogok
warga agar memilih dirinya, dan sebagainya.
37) Ia sama sekali tak punya potongan pemberontak. (cerpen Samin, hal. 31)
Potongan sama artinya dengan bagian. Kata ”potongan” dalam
kutipan tersebut menunjukkan bahwa tidak ada bagian dari diri tokoh yang
menunjukkan bahwa tokoh adalah seorang pemberontak.
38) Supaya perkampungan kelihatan dari kejauhan. Supaya kesucian
senantiasa memayungi si empunya rumah. (cerpen Samin, hal. 32)
Payung adalah alat yang digunakan untuk melindungi diri dari
panas atau hujan. Ungkapan ”Kesucian yang memayungi” maksudnya
kesucian itu mampu memberikan perlindungan kepada pemilik rumah dari
hal-hal yang buruk.
39) Kubuka telinga. Kubuka semua indera. Agar nadi-nadiku menyaksikan
keheningan yang dibangun Guru. Kesaksianku kesaksian hamba. Dengus
napasnya pun menjadi sangat bermakna. (cerpen Jawa, hal. 33)

62
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Telinga adalah organ tubuh manusia yang berguna untuk


mendengar. ”Membuka telinga” berarti mendengarkan dengan baik.
Manusia memiliki lima indera. Indera penglihatan (mata), indera
pendengar (telinga), indera pengecap (lidah), indera penciuman (hidung),
dan indera peraba (kulit). ”M embuka semua indera” berarti menggunaka n
kelima indera untuk menerima dan meresapi hal-hal di sekitarnya.
Mengacu pada hal tersebut membuka semua indera berarti tokoh berusaha
menghayati ajaran gurunya. Hamba adalah sebutan untuk seseorang yang
mengabdi. Tokoh ”Aku” dalam cerpen Jawa menyebut dirinya sebagai
”hamba” menunjukkan bahwa ia mengabdi pada gurunya dan akan setia
pada gurunya tersebut.
40) Mungkin memang benar jiwaku tidur bertahun-tahun. Karena setiap hal
telah menjadi hambar. Ketika ada kejahatan, bukannya ingin menegakkan
kebenaran atau keadilan. Namun malah menghindar. (cerpen Jawa, hal.
34)
Hambar biasanya dapat dirasakan oleh indera pengecap atau lidah.
”Hambar” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana
Retnoningsih, 2005: 163) berarti tak ada rasanya atau tawar. Kata
”hambar” dalam pernyataan di atas maksudnya hidupnya tidak memiliki
sesuatu yang berarti atau tidak menemui sesuatu yang menarik yang
membuat hidupnya lebih berwarna.
41) Atau ketika melihat penindasan, kesewenang-wenangan, pemerkosaan,
bukannya berpikir bagaimana cara mengatasinya. Namun malah menutup
mata. (cerpen Jawa, hal. 34)
Ungkapan ”menutup mata” yang dimaksud dalam pernyataan di
atas bukan benar-benar kegiatan menutup mata, namun sebuah
perumpamaan. Orang yang menutup mata tidak akan me lihat hal-hal di
sekitarnya. Sesuatu yang terlihat hanyalah kegelapan. ”Menutup mata”
yang dimaksud dalam pernyataan tersebut adalah tidak mau tahu urusan
yang terjadi di sekitarnya. Tokoh tidak peduli dengan penindasan,
kesewenang-wenangan, dan pemerkosaan yang terjadi di sekitarnya.

63
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

42) Guru mulai membuka mata. M emandangku tajam. Tak tahan aku
menatapnya. (cerpen Jawa, hal. 35)
Kata “tajam” biasa diguna kan untuk menggambarkan benda atau
senjata yang berujung lancip, seperti pisau, gunting, dan sebagainya.
Tajam berarti mudah mengiris atau berkemampuan. Benda yang tajam
juga dapat menusuk. Kata “tajam” dalam pernyataan tersebut digunakan
untuk menggambarkan cara pandang seseorang. “M emandang tajam ”
berarti pandangannya lurus dan kuat seakan menusuk ya ng dipandang.
43) Seandainya kau terlahir sebagai orang Palestina, belum tentu engkau
mengagumi tanah Jawa seperti kekagumanmu saat ini. Jawa adalah area
misterius. Untuk menguak misteri itu kau mesti mengarifi sejarah!”
(cerpen Jawa, hal. 35)
”Arif” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana
Retnoningsih, 2005: 52) berarti bijaksana, cerdik atau pandai, berilmu,
paham, mengerti. Ungkapan ”Mengarifi sejarah” dalam kutipan tersebut
maksudnya mampu memaham i dan menjadikan sejarah sebagai salah satu
pedoman dalam menjalani hidup.
44) ”Setelah Singosari yang banjir darah itu, muncullah M ajapahit yang juga
menelan banyak nyawa. Lalu untuk memasuki peradaban Demak, berapa
nyawa lagi harus dikorbankan. Tak terhitung. Tak terhitung!” (cerpen
Jawa, hal. 35)
”Banjir” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana
Retnoningsih, 2005: 75) berarti air yang banyak dan menga lir deras.
”Banjir darah” berarti banyak darah yang mengalir. Maksudnya terjadi
peristiwa yang membuat banyak orang terluka ata u meninggal. Ungkapan
”menelan banyak nyawa” maksudnya membuat banyak nyawa menghilang
atau banyak orang yang meninggal. Pernyataan di atas menunjukka n
bahwa dalam perubahan kekuasaan atau masa kepemimpinan kerajaan di
tanah Jawa pada masa dulu terjadi peperangan atau perseteruan yang
membuat banyak orang meninggal.

64
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

45) ”Jangan sampai tanah ini tertetesi darah anak-anaknya sendiri. Jangan
sampai. Lebih baik damai daripada perang. Dan apa untungnya perang
dengan saudara sendiri!” (cerpen Jawa, hal. 36)
”Anak-anak” yang dimaksud dalam pernyataan tersebut adalah
generasi bangsa atau pemuda dari tanah Jawa (Indonesia). ”Tertetesi darah
anak-anaknya sendiri” maksudnya mengorbankan generasi bangsa atau
pemuda tanah Jawa (Indonesia) dalam perebutan kekuasaan.
46) Bapak Kuncung yang semula bertahan pada prinsipnya untuk tidak
memberikan barang mainan yang berbau kekerasan, akhirnya mengalah.
Dibuatkanlah sepucuk bedil untuk kuncung. (cerpen Bedil, hal. 39)
Bau adalah sesuatu yang dapat tercium oleh indera penciuman
(hidung). Berbau berarti memilki bau. ”Berbau kekerasan” berarti
memiliki bau kekerasan, maksudnya termasuk ke dalam barang yang dapat
mengakibatkan perkelahian atau kerusuhan.
47) Di teve, perang bukan lagi sebagai permainan ya ng penuh keriangan,
tetapi menjadi perang, sungguh-sungguh. Darah tercecer di mana-mana.
Nyawa melayang seperti daun yang luruh dalam badai. (cerpen Bedil, hal.
40)
Badai merupakan angin ribut yang bisa menghancurkan dan
menerbangkan benda-benda berat sekalipun. Daun adalah bagian
tumbuhan yang ringan dan mudah gugur karena tertiup angin, apalagi
terkena badai. Badai tentunya mampu membuat banyak sekali daun
berguguran dan menerbangkannya. Pernyataan ”nyawa melayang seperti
daun yang luruh dalam badai” berarti banyak sekali nyawa yang melayang
atau banyak sekali orang yang mati dalam perang tersebut.
48) ”Berkali-kali kami teriak minta tolong, tapi tak seorang pun datang
menolong. Bahkan rotan-rotan itu makin keras memukuli kami. Bapak,
kami bukan napi. Kami hanya ingin menyuarakan hati. Tapi kami mesti
berhadapan dengan rotan, tameng, sepatu, peluru karet, gas air mata. Tak
ada yang bisa kami perbuat selain lari!” (cerpen Bedil, hal. 41)

65
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

”Suara hati” maksudnya suara atau pendapat yang berasal dari hati
nurani. ”Ingin menyuarakan hati” maksudnya ingin mengungkapkan
pendapat yang berasal dari hati nurani atau keinginan yang terpendam.
49) Aku mencoba tabah. Semuanya mesti dihadapi dengan dada yang lapang.
Malahan dari peristiwa ini, aku banyak memetik pelajaran. (cerpen Bedil,
hal. 42)
Lapang berarti luas. Ungkapan ”dada yang lapang” pada kutipan
tersebut maksudnya sabar. Memetik berarti mengambil sesuatu dengan
mematahkan tangkainya. Memetik biasa digunakan untuk bunga atau
buah. Pada kutipan tersebut, ”memetik” dipadukan dengan kata
”pelajaran” menjadi ”memetik pelajaran” yang dapat diartikan mengambil
pelajaran dari suatu peristiwa.
50) Lagi-la gi Patrem mengangguk. Ia memang tak ingin berlama-lama dengan
Denmas Bei yang doyan ngomong. (cerpen Patrem, hal. 44)
Doyan merupakan sinonim dari kata suka. Biasanya digunakan
untuk mengungkapkan kesukaan pada makanan. ”Doyan ngomong” berarti
tokoh sangat suka berbicara atau cerewet.
51) Namun malam harinya, tatkala pikirannya berputar-putar mengenai
lowongan kerja, ia jadi kepingin untuk mencoba peruntungan surat
saktinya Denmas Bei. (cerpen Patrem, hal. 44)
Pikiran merupakan akal yang ada di dalam otak yang berupa alat
vital manusia untuk menentukan arah hidup. Pikiran juga sering
disamaartikan dengan otak yang berfungsi untuk berpikir atau
memecahkan masalah. ”Pikiran berputar-putar” berarti tokoh sedang
berpikir dan mengingat-ingat beberapa hal yang ada di dalam otaknya
(pikirannya).
52) Harapan akan kerja lagi membayang di pelupuknya. (cerpen Patrem, hal.
45)
Pelupuk atau kelopak mata merupakan bagian luar dari mata.
”M embayang di pelupuk” berarti sudah sangat dekat dan dapat diraih
dengan mudah.

66
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

53) Sebagai korban PHK, sebagai pengangguran yang mesti menghidupi anak-
istri, biaya tersebut bukanlah biaya yang murah. Mencekik bahkan.
(cerpen Patrem, hal. 46)
Menurut Suharso dan Ana Retnoningsih dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2005: 105), ”mencekik” berarti memegang dan
mencekam leher, meraih hingga tak dapat bernapas, mematikan, menindas.
Kata ”mencekik” dalam pernyataan tersebut berarti menyiksa (secara
batin) dan membuat tokoh merasa keberatan dengan biaya yang diminta
untuk pembuatan SKKB.
54) Nanti, bila hal yang membuatnya uringan-uringan itu telah terselesaika n,
Emak akan kembali seperti sediakala. Menjadi ibu yang baik bagi anak-
anaknya. M engelus kami dengan kelembutan. Memberi nasihat-nasihat
yang meneduhkan. Dan terutama melindungi kami dari semua ancaman.
(cerpen Dom, hal. 49)
Teduh berarti terlindung dari sinar matahari, terhindar dari terik
matahari. Teduh memberikan ketenangan. Pernyataa n ”nasihat-nasihat
yang teduh” pada kutipan tersebut berarti nasihat yang mampu
memberikan ketenanga n dan rasa aman.
55) ”Kau yang paling muda, otakmu masih encer. Pikirkanla h bagaimana
mengatasi Emak. Kalau aku rasa baik, tentu aku dukung!” (cerpen Dom,
hal. 49)
”Encer” sama dengan cair. Benda yang bersifat cair memiliki sifat
fleksibel, dapat menyesuaikan wadah yang ditempati, dan dapat
menerobos melalui celah-celah kecil. Kata ”encer” dipadukan dengan kata
”otak”, yaitu organ tubuh manusia yang digunakan untuk berpikir. ”Otak
encer” maksudnya pandai. Orang yang pandai akan mampu memecahkan
berbagai masalah yang sulit sekalipun, seperti benda cair yang bersifat
fleksibel dan mampu menerobos melalui celah sekecil apapun.
56) ”Yang katanya kita menganggapnya gila. Yang katanya, kita mau
menelantarkannya. Sementara Emak telah memeras keringat selama
berpuluh-puluh tahun untuk membesarkan kita. (cerpen Dom, hal. 49)

67
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

”Peras” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana


Retnoningsih, 2005: 372) berarti memijit atau menekan sesuatu supaya
keluar airnya. Keringat juga merupakan zat cair, namun peras di sini
bukan berarti tokoh benar-benar memeras keringat. Ungkapan ”memeras
keringat” yang dimaksud dalam kutipan di atas adalah mengeluarkan
banyak keringat atau bekerja keras.
57) Aku yang merasa disindir. Tanggap. Tapi aku harus menjawab apa. Emak
tidak lagi sekedar uring-uringan. Ia lebih dari itu. Emak seakan-akan
punya tenaga lain yang siap meledak. Itu dapat dilihat dari kobaran api di
matanya. (cerpen Dom, hal. 50)
”M eledak” berarti meluap atau meletus karena sudah tidak mampu
menampung atau memiliki muatan yang terlalu banyak. Kata ”meledak”
dalam kutipan tersebut dipadukan dengan tenaga, maksudnya tokoh
”Emak” memiliki tenaga lain yang sangat banyak atau menggebu-gebu.
Kobaran api biasa digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang
membara. Sesuatu yang digambarkan membara pada pernyataan tersebut
adalah semangat atau kekuatan tokoh ”Emak”.
58) Emak menggeram. Suaranya memenuhi perkampungan. (cerpen Dom, hal.
50)
”Penuh” artinya terisi semua, tidak menyisakan ruang kosong lagi.
Kata ”memenuhi” yang dimaksud dalam kutipan di atas adalah mengisi
kampung dengan suara tokoh ”Emak”. M aksudnya, suara Emak sangat
keras dan membuat hampir semua penghuni kampung mampu
mendengarnya.
59) Emak sudah bangun. Kemarahannya yang sementara ditimbun tidur;
memuncak. (cerpen Dom, hal. 52)
”Ditimbun” artinya tertutupi oleh sesuatu yang bentuknya berupa
tumpukan. Sesuatu yang ditimbun biasanya tidak nampak atau tidak
mampu bergerak. Pernyataan ”kemarahannya yang sementara ditimbun
tidur” pada kutipan tersebut maksudnya kemarahan Emak dapat redam
sejenak oleh tidurnya.

68
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

60) Dan Emak dengan senyumnya yang dingin, melakukan kebuasannya tanpa
mengucap sepatah kata pun. (cerpen Dom, hal. 52)
”Dingin” adalah kata untuk menggambarkan kondisi suhu yang
rendah. Kata ”dingin” jika dikaitkan dengan sifat seorang bisa berarti
seseorang itu tidak berperasaan. Pernyataan ”Senyum yang dingin” artinya
senyum yang tidak berperasaan atau senyum yang bukan disebabkan
perasaan tokoh sedang senang. Buas sama artinya dengan liar atau galak.
Kebuasan yang dilakukan Emak maksudnya sikap kasar Emak yang tidak
terkontrol baik perbuatan maupun perkataannya.
61) Selanjutnya, kami dan orang kampung hanya duduk sebagai penonton.
Menyaksikan rumah dan harga diri kami dirobek-robek. (cerpen Dom, hal.
52)
Merobek adalah perbuatan yang merusak. Kata ”Robek” biasanya
digunakan untuk kertas atau benda lain yang tipis. Pernyataan ”Harga diri
dirobek-robek” maksudnya tingkah Emak merusak harga diri tokoh
”kami” (anak-anaknya). Bisa juga diartikan tingkah Emak membuat anak-
anaknya malu dihadapan warga kampung yang lain.
62) Ketika Mbah Karyo meminta seseorang di antara kami yang
memperbolehkan tubuhnya dihuni tuyul, meletuslah kegaduhan. (cerpen
Tuyul, hal. 55)
Meletus artinya pecah atau meledak. ”Meletus” biasanya
digunakan untuk benda-benda seperti balon, bom, ban, dan sebagainya.
Benda yang meletus biasanya menimbulkan suara yang keras. Pernyataan
”meletuslah kegaduhan” maksudnya terjadi kegaduhan atau keributan
yang sangat berisik dan menggemparkan.
63) Begitu warga kampung kami mewakilkan Pak Sofyan, Mbah Karyo
langsung bekerja. M erapal mantra. Lalu mengelilingi tubuh Pak Sofyan
yang mandi keringat. (cerpen Tuyul, hal. 55)
Mandi adalah membasuh tubuh dengan air. Mandi biasanya
membutuhkan air yang cukup banyak sehingga mampu membasahi
seluruh tubuh. ”Mandi keringat” berarti tokoh Pak Sofyan mengeluarka n

69
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

banyak keringat sehingga membasahi seluruh tubuhnya. Orang banyak


berkeringat biasanya disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena
seseorang merasa takut, merasa gugup, atau habis melakukan aktivitas
yang berat. ”Mandi keringat” dalam kutipan di atas disebabkan karena
tokoh Pak Sofyan merasa gugup. Hal ini disebabkan tubuhnya akan
dimasuki tuyul.
64) Terus terang, menyaksikan kemanusiaanmu aku menjadi sakit. Pura-pura
suci, tapi semakin tipis rasa malumu! (cerpen Tuyul, hal. 56)
Tipis berarti memiliki ketebalan yang minim. Kata ”tipis” biasa
digunakan untuk benda seperti buku, kertas, dan sebagainya yang
berbentuk tiga dimensi. Benda yang tipis biasanya memiliki ukuran atau
volume yang lebih sedikit dibandingkan dengan benda-benda yang tebal.
Kata ”tipis” dipadukan dengan kata ”malu”, berarti rasa malu yang dimilki
tokoh semakin sedikit atau semakin kecil.
b. Indeks
Indeks merupakan tanda yang memiliki hubungan sebab-akibat dengan
apa yang diwakilinya. Indeks disebut juga tanda sebagai bukti. Indeks yang
terdapat pada kumpulan cerpen Samin berupa mimik wajah yang
menunjukkan perasaan tokoh dan deskripsi alam untuk menunjukkan keadaan
alam sekitar sebagai setting tempat cerita. Pada kumpulan cerpen Samin,
terdapat beberapa indeks yang berupa sikap tubuh atau ekspresi tokoh yang
menunjukkan kemarahan tokoh, yaitu:
1) Pak Camat merasa tertampar. Matanya mencorong tajam. (cerpen Biru,
hal. 6)
2) Petugas jaga mukanya merah padam. Ia begitu geram. Kemarahan si
petugas jaga itu diam-diam telah menulari teman-temannya. (cerpen Mun,
hal. 15)
3) ”Kalau ada kepentingan dengan Bapak sebaiknya me nemui di kantor
saja!” pintu itu pun dibanting dengan keras. (cerpen Pundhen, hal. 25)

70
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4) ”Pergi kalia n. Tak ada tontonan di sini!” bentak Emak yang mendadak
muncul dengan kemara han. Matanya mencorong tajam. Mukanya merah
padam. (cerpen Dom, hal. 50)
5) Emak sudah bangun. Kemarahannya yang sem entara ditimbun tidur;
memuncak. Emak jadi betul-betul garang. M atanya melotot. Tangannya
mengepal. Wajahnya semerah api. Kami bergidik dan mundur ke
belakang. (cerpen Dom, hal. 52)
Beberapa indeks di atas berupa keadaan mimik wajah tokoh yang
berfungsi menunjukkan perasaan tokoh. Mata merupakan bagian tubuh
manusia yang menunjukkan perasaan, seperti perasaan sedih, senang,
marah, dan sebagainya. Kata “mencorong” pada kutipan tersebut dapat
diartikan sebagai terbuka lebar atau membelalak. Orang yang marah
biasanya matanya melotot atau membelalak. Pernyataa n “matanya
mencorong tajam” menandakan bahwa tokoh sedang marah. Muka merah
padam bisa disebabkan beberapa hal, yaitu menunjukkan rasa malu atau
menunjukkan rasa marah. Muka merah padam yang dialami oleh tokoh
dalam beberapa judul cerpen tersebut disebabkan karena tokoh sedang
marah. Hal ini diperkuat dengan pernyataan sebelumnya maupun
sesudahnya.
Pada cerpen Pundhen, pengarang tidak menggunaka n mimik wajah
tokoh untuk menunjukkan kemarahan, tetapi melalui sikap atau perilaku
tokoh. Perilaku ”membanting pintu” dengan keras dapat menunjukkan
beberapa hal, yaitu seseorang sedang terburu-buru atau seseorang sedang
dalam keadaan marah. Berdasarkan pernyataan di atas, tokoh Bu Lurah
membanting pintu dengan keras karena ia merasa kesal dan tidak suka
dengan kedatangan Mbah Joyo. Hal ini dapat dilihat melalui pernyataan
sebelumnya, yaitu:
”Ada keperluan apa? Bapak sedang tidak ada di rumah!” suara itu
sungguh sengit. (cerpen Pundhen, hal. 25)

Kata ”sengit” di sini menunjukkan bahwa tokoh ”Bu Lurah”


berbicara dengan judes atau kasar. Ini menunjukkan bahwa tokoh ”Bu

71
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Lurah” sedang dalam suasana kurang baik, atau ia memang tidak


menyukai kedatangan Mbah Joyo.
Indeks yang berupa deskripsi tentang setting tempat dalam kumpulan
cerpen Samin, yaitu:
1) Agung tak menjawab. Tangannya menuding kembang-kembang tebu
yang melenggak-le nggok di atas kehijauan yang menghampar. Indah
sekali. Di atas langit biru membentang. Di bawah, batang-batang coklat
tebu dengan daunnya yang hijau. Kembang-kembang tebu menari di
antara bentangan warna yang sama memikatnya. (cerpen Kembang Tebu,
hal. 18)
Kutipan tersebut menggambarkan keindahan dari kebun tebu di
desa Agung. pengarang berusaha menunjukkan keindahan dan keelokan
kebun tebu dengan permainan kata-katanya. Kalimat “kembang-kembang
tebu yang melengagak-le nggok di atas kehijauan yang menghampar”
menunjukkan keadaan kembang-kembang tebu yang bergerak tertiup
angin. Kalimat “di atas langit biru membentang” pada kutipan tersebut
menunjukkan bahwa hari cerah. Paragraf tersebut mencerita kan
keindahan kebun tebu di siang hari. Di saat langit cerah, dan angin
berhembus sepoi-sepoi membuat kembang tebu bergerak-gerak seirama
tiupan angin.
2) Kebun tebu telah habis ditebang. Kembang-kembang tebu tak lagi bisa
dipandang. Kini yang membentang, cuma tonggak-tonggak tebu,
menantang langit. Kelancipannya menunjukkan kegersangan. (cerpen
Kembang Tebu, hal. 19)
Kutipan tersebut menggambarkan kondisi kebun tebu setelah
penebangan. pengarang menunjukkan bahwa yang tersisa hanya tonggak-
tonggak tebu yang tak lagi memiliki daun.
3) Untuk membersihkan tanah bekas kebun tebu itu, dilakukanlah
pembakaran. Langit seakan mandi darah. Kampung berselimut kabut.
Asap mengepung dan membumbung. (cerpen Kembang Tebu , hal. 19)

72
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Kutipan tersebut menunjukkan peristiwa pembakaran di kebun


tebu. Pernyataa n “langit yang bermandi darah” maksudnya langit seakan
berwarna merah karena biasan api yang membakar kebun tebu.
Pernyataan “kampung berselimut kabut” menunjukkan bahwa
pembakaran tersebut menghasilkan asap yang te bal hingga menyerupai
kabut.
4) Kampungku adalah kampung yang tenang. Seperti telaga ya ng berada di
sunyi pegunungan. Ketenangannya bahkan tak pernah menghasilkan riak
atau ombak. Sesekali, memang, dipecahkan cipak ika n. Atau selembar
daun yang jatuh karena tak sanggup menahan berat embun. Namun
sesudah itu kembali sunyi. Kembali dihuni suara burung, cengkrik,
lenguh kerbau, kokok ayam, penggeret, serta teriakan-teriakan petani
bekerja. (cerpen Samin, hal. 28)
Pengarang mencerita kan keadaan setting atau latar cerita di awal. Ia
menggambarkan suasana desa yang tenang dan damai denga n
menggunakan bahasa yang indah dan banyak melibatkan perumpaan.
Pernyataan di atas menunjukkan suasana desa yang tenang. W alaupun
terkadang ada sedikit keributan, akan segera reda, kembali tenang dan
damai.
5) ”Tanah ini sangat subur Guru. Sawah membentang, gunung menjulang di
mana-mana. Kebun-kebun luas menghijau, hutan menghampar. Pohon-
pohon rindang di pedesaan. Mata air yang tak ada habis-habisnya. Guru,
aku tak bisa menguraikan lebih jauh mengenai kesuburan tanah ini.
Seandainya ada yang menanam batu, batu itu akan tumbuh. Guru bisa
melihat sendiri. Betapa damainya tanah ini. Gunung yang biru di
kejauhan. Kehijauan yang membentang. Sungai mengalir. Kicau burung.
Gemersik hutan. Suara satwa!” (cerpen Jawa, hal. 35)
Pengarang menunjukkan keindahan dan kesuburan tanah Jawa lewat
penuturan tokoh di atas. Pernyataan ”Kebun-kebun luas menghijau, hutan
menghampar. Pohon-pohon rindang di pedesaan. M ata air yang tak ada
habis-habisnya” menunjukkan keindahan tanah Jawa. Kalimat ”seandainya

73
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ada yang menanam batu, batu itu akan tumbuh” pengara ng tampilkan
untuk menunjukkan betapa suburnya tanah Jawa.
Selain indeks yang telah disebutkan sebelumnya, dalam kumpulan
cerpen Samin juga terdapat indeks yang berupa gerak bagian tubuh, yaitu
mengerutkan dahi. Hal ini terdapat pada kutipan berikut ini:
1) Melihat perubahan bapaknya yang seperti itu, Agung mengernyitkan dahi.
(cerpen Kembang Tebu, hal. 20)
2) Pak Carik mengerutkan dahi. Seperti sedang berpikir, namun tidak
memberi komentar apa-apa. (cerpen Pundhen, hal. 24)
“M engernyitkan dahi” merupakan gerak mengerutkan dahi. Orang
mengerutkan dahi bisa disebabkan banyak hal. Mengerutkan dahi karena
terserang gatal, karena faktor kebiasaaan, menunjukkan seseorang dalam
kondisi bingung atau sedang berpikir keras. Kegiatan “mengernyitkan
dahi” yang dilakukan tokoh “Agung” dalam cerpen Kembang Tebu berarti
tokoh sedang berpikir karena merasa bingung dengan perubahan sikap
bapaknya. Kegiatan “mengerutkan dahi” yang dilakukan tokoh “Pak
Carik” dalam cerpen Pundhen menunjukkan bahwa tokoh sedang
berpikir. Hal tersebut diterangkan dalam kalimat berikutnya.
c. Simbol
Simbol merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan, atau perjanjian
yang telah disepakati oleh masyarakat. Kumpulan cerpen Samin memiliki 46
je nis simbol, yaitu:
1) Biru sebagai judul cerpen
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengarang, “biru” yang
dimaksud dalam cerpen tersebut adalah sebuah perumpamaan dari warna
yang melambangkan sebuah partai, yaitu warna kuning. Warna kuning ini
menjadi warna partai Golkar pada masa Orde Baru. Pada masa itu,
kekuatan Golkar sangat berpengaruh dalam pemerintahan. Semua pegawai
negeri diwajibkan untuk memilih partai Golkar dalam pemilu, sehingga
Golkar selalu menang dalam pemilihan umum. Selama 32 tahun,
Indonesia dipimpin oleh Soeharto sebagai Presiden. Hal ini sesuai dengan

74
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yang diungkapkan oleh Rino Sundawa Putra


(http://labpolunsil.blogspot.com/ 2011/03/konsolidasi-birokrasi-pasca-
pemilukada.html, diunduh pada tanggal 12 oktober 2011) bahwa Orde
Baru adalah orde yang paling banyak menggunakan kekuatan birokrasi
sebagai pondasi untuk melanggengkan sistem kekuasaan. Pada waktu itu,
selain militer Orde Baru juga melakuka n kuningisasi pada institusi
pelayanan masyarakat. Pandangan yang terbentuk pada waktu itu adalah
bila dia seorang PNS, bisa dipastikan dia adalah pendukung fanatik
Golkar.
2) Mengangguk
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 41), mengangguk
adalah menggerakkan kepala ke bawah untuk memberi hormat atau
mengiakan. Ada beberapa gerakan mengangguk yang dilakukan oleh
tokoh dalam beberapa judul cerpen, yaitu:
a) “Tak usah ke Kabupaten, Pak!” kata Pak Lurah jerih.
“Kenapa?” Pak Camat dengan suara sengit.
“Tak apa-apa!” jawab Pak Lurah lunglai.
“Kalau begitu sampaikan instruksi itu ke wargamu!” perintah Pak
Camat.
Pak Lurah mengangguk. (cerpen Biru, hal.7)
b) ”Lihat, Mbah! Burung-burung itu terbang menjauh, begitu senapan ini
ditembakkan. M engapa begitu? Karena mereka ingin selamat!”
Mbah Joyo menelan ludah. Pahit sekali.
”Manusia pun juga begitu,” lanjutnya. ”Paham maksud kami, Mbah?”
Dengan berat Mbah Joyo menganggukkan kepala. (cerpen Pundhen,
hal. 26)
c) ”Jangan sampai tanah ini tertetesi darah anak-anaknya sendiri. Jangan
sampai. Lebih baik damai daripada perang. Dan apa untungnya perang
dengan saudara sendiri!”
Aku mengangguk. Entah anggukan yang ke berapa. (cerpen Jawa, hal.
37)

75
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

d) ”Jawabannya tak ada lowongan, kan?” Patrem mengangguk tanpa


daya. (cerpen Patrem, hal. 44)
e) ”Benarkah kamu Tuyul yang berkeliaran di kampung sini?” tanya
Mbah Karyo berwibawa. Yang ditanya menga ngguk. (cerpen Tuyul,
hal. 55)
f) Ketika kami utarakan maksud mengundang kedatangannya, M bah
Karyo mengangguk-angguk. (cerpen Tuyul, hal. 54)
”M engangguk” yang dilakukan tokoh dalam beberapa cerpen yang
telah disebutkan di atas bukan sekedar gerakan tanpa arti, namun sebagai
bahasa nonverbal sebagai respon pernyataan yang diutarakan tokoh lain.
Setting kumpulan cerpen Samin adalah kehidupan masyarakat Jawa.
Menganggukkan kepala dalam masyarakat Jawa sebagai bahasa nonverbal
berarti persetujuan atau mengiyakan sesuatu yang telah disebutkan
sebelumnya. “M engangguk” yang dilakukan oleh Pak Lurah dalam cerpen
Biru menunjukka n persetujuan atau kesa nggupan. Tokoh “Pak Cam at”
meminta Pak Lurah untuk menyampaikan instruksi ke warga. Pak Lurah
menjawab dengan anggukan kepala yang berarti ia akan melaksanakan
perintah Pak Camat. Begitu pula dalam judul cerpen yang lain,
mengangguk yang dilakukan oleh tokoh merupakan ungkapan persetujuan
atau mengiyakan pernyataan sebelumnya.
3) “Apakah instruksi itu dipraktekkan sebegitu kaku? Kita bisa menjadi robot
karenanya!” debat Ketua RW III. (cerpen Biru, hal. 8)
“Robot” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana
Retnoningsih, 2005: 432) diartikan sebagai alat berupa orang-orangan
yang dapat bergerak atau berbuat seperti manusia dan dikendalikan oleh
mesin. Robot diprogram sehingga berlaku sesuai instruksi. Ia patuh
terhadap tuannya karena tidak punya pemikiran sendiri. Robot bergerak
sangat kaku karena tidak memiliki organ-organ seperti manusia. Ia
bergerak sesuai perintah tuannya. Kata “robot” dalam kutipan tersebut
melambangkan perilaku manusia yang patuh terhadap instruksi atasan dan

76
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tidak punya pemikiran sendiri. Kata “robot” dalam cerpen Biru


menggambarkan masyarakat yang tidak berani melawan pemerintah.
4) Menggeleng
Menggeleng adalah menggerakkan kepala ke kiri dan ke kanan.
Secara bahasa nonverbal menggeleng digunakan untuk mengungkapkan
penolakan atau tidak. Ada beberapa gerakan menggeleng yang dilakukan
oleh tokoh dalam beberapa judul cerpen, yaitu:
a) “Rumahnya sudah dicat biru apa belum?” pancing Pak Lurah.
Si tamu menggeleng kepala. ( cerpen Biru, hal. 9)
b) ”Ibu! Ibu! Kampung kita kedatangan pahlawan!” teriaknya sambil
berlari di lorong-lorong kampung. Tentu sikapnya itu diikuti kawan-
kawan sebayanya, sementara orang-orang tua hanya geleng-geleng
kepala. (cerpen Bedil, hal. 40)
c) ”Sudah bawa surat pengantar RT?” Patrem menggeleng. (cerpen
Patrem, hal. 45)
Menggelengkan kepala bisa disebabkan banyak hal, antara lain
sebagai gerak dalam olahraga, karena kebiasaan, dan sebagai bahasa
nonverbal. ”M enggeleng” yang dilakukan oleh tokoh dari beberapa judul
cerpen di atas jika dilihat dari konteksnya berfungsi sebagai respon atau
jawaban dari pernyataan dari tokoh sebelumnya. Setting kumpulan cerpen
Samin adalah kehidupan masyarakat Jawa. ”Menggeleng” dalam
masyarakat Jawa dapat berfungsi sebagai bahasa nonverbal yang berarti
penolakan atau tidak. ”Menggeleng” yang dilakukan tokoh dalam cerpen
Biru dan cerpen Patrem berarti tidak atau belum. Pada cerpen Bedil, tokoh
geleng-geleng kepala yang berarti melakukan gerakan menggelengkan
kepala lebih dari satu kali. ”Geleng-geleng kepala” yang dilakukan tokoh
dalam cerpen Bedil tidak dilakukan untuk merespon pernyataan, namun
dilakukan untuk mengekspresikan keheranan. Tokoh merasa heran
dengan tingkah Kuncung dan kawan-kawannya.

77
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

5) Julukan Samin sebagai nama tokoh


Masyarakat Samin adalah keturunan para pengikut Samin
Soerosentiko yang mengajarkan sedulur sikep, di mana dia mengobarkan
semangat perlawanan terhadap Belanda dalam bentuk lain di luar
kekerasan. Bentuk yang dilakukan adalah menolak membayar pajak,
menolak segala peraturan yang dibuat pemerintah kolonial
(http://rinangxu. wordpress.com/2006/12/07/samin-anarchy-rebel-budaya/,
13 Juli 2011). M asyarakat Samin adalah masyarakat yang memiliki ciri-
ciri khusus yang menjadi identitas mereka dalam penampilan sehari-hari
yang berbeda dengan masyarakat lain di sekitarnya.
Orang pada umumnya mengidentifikasikan orang Samin sebagai
orang yang bodoh dan menolak pembaruan. Namun sebenarnya
masyarakat Samin timbul dari usaha penolakan pemerintahan kolonial
Belanda yang dianggap semena-mena. Ajaran ini diawali oleh tokoh yang
bernama Samin Surosentiko yang menentang pemerintah Belanda denga n
tidak mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh Belanda. Akibatnya,
terbentuklah masyarakat Samin yang memiliki peraturan sendiri yang
hingga se karang masih me njadi panutan mereka. Masyarakat Samin
terkenal dengan keluguan dan kejujuran mereka dalam menjalani hidup.
Masyarakat Samin memang terkesan tertinggal jika dibandingkan dengan
masyarakat Indonesia lain karena adat-istiadat yang mereka junjung.
Pada cerpen Biru tokoh “Pak Samin” merupakan tokoh yang
menjunjung warisan budaya leluhur dan berani menolak instruksi
pemerintah karena ia merasa instruksi yang diberikan tidak sesuai dengan
hati nuraninya. Pada cerpen Samin Pak Rekso disebut sebagai “Samin”
karena tokoh “Mbah Lurah” menganggap Pak Rekso bodoh dan berani
menentang pemilihan Lurah. pengarang menampilkan tokoh “Samin”
sebagai simbol dari tokoh yang berani menentang kebijakan politik pada
masa itu. Bukan karena tokoh “Samin” (Pak Rekso) bodoh, justru
pengarang berusaha menyampaikan bahwa Samin bukan lambang
kebodohan. Samin justru sangat cerdas, ia melakukan tindakan pura-pura

78
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

bodoh dan seakan tidak peduli untuk mengecoh lawan. Hal tersebut
tampak dalam kutipan berikut:
Kalau ia menunjukkan sikap menentang, sebenarnya itu bukan
bentuk penentangan, namun wujud wewaler. Elinga sajroning eling
aja mung eling sajroning lali ( cerpen Samin, hal. 31).

6) Sepeda
Sepeda adalah kendaraan roda dua yang bergerak dengan cara
dikayuh. Sepeda dalam cerpen Mun merupakan titik pokok permasalahan
dalam cerpen tersebut. Sepeda menjadi sumber permasalahan dan inti
cerita. Pengarang menampilkan sepeda dalam cerpen ini untuk
menyimbolkan kesenjangan sosial yang terjadi saat ini. Seiring kemajuan
teknologi yang menghadirkan kendaraan yang canggih seperti sepeda
motor, mobil, pesawat, sepeda menjadi alat trasnsportasi yang dianggap
kuno dan kurang berkelas. Hanya rakyat kelas mene nga h ke bawah yang
masih menggunakan sepeda sebagai alat transportasi.
7) Dan yang paling penting ia sudah tidak grogi kalau ada yang minta
bonceng. Si Parti sudah sering ngandol di boncengan Mun. Tentu orang
yang me lihat suit-suit me nggoda. Tapi Mun pasang tampang ”landak”
sementara si Parti terus menunduk karena hatinya geronjalan tak karuan.
(cerpen Mun, hal. 14)
Landak adalah binatang yang kulitnya berduri. Ia mempertahankan
diri dari musuh dengan menegakkan duri-durinya yang tajam dan
menusuk. Kata ”landak” dalam pernyataan di atas dijadikan perumpamaan
untuk menunjukkan tampang (wajah) seseorang. Pernyataan ”pasang
tampang landak” maksudnya tokoh ”M un” tetap tenang dan tidak
memedulikan ejekan orang lain.
”M enunduk” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan
Ana Retnoningsih, 2005: 598) berarti kepala atau muka condong ke depan
dan ke bawah. M enunduk secara bahasa tubuh (bahasa nonverbal) dapat
diartikan sebagai ungkapan rasa malu atau takut. ”M enunduk” yang

79
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dilakukan oleh tokoh ”Parti” dalam pernyataan di atas menunjukkan


bahwa Parti merasa malu oleh ejekan orang tentang ia dan Mun.
8) Pertama, ia tak mau masuk jalan sepeda yang sempit dan jelek mutu
aspalnya, dan seperti sepeda-sepeda lain ia melenggang santai di jalur
utama yang hotmik. Kedua, ia tak lagi mematuhi traffic-light, meski
menyala merah M un tetap nyelonong masuk, dan tak ada polisi yang
menegur. (cerpen Mun, hal. 15)
Traffic light atau lampu lalu lintas merupakan rambu-rambu lalu-
lintas yang terdiri dari tiga warna, yaitu merah, kuning, dan hijau. M erah
menunjukkan bahwa kendaraan harus berhenti, kuning menunjukkan
persiapan jalan atau berhenti, dan hijau menunjukkan kendaraan boleh
berjalan. Pada cerpen Mun, tokoh ”Mun” tetap melaju dengan sepedanya
meskipun lampu lalu-lintas menyala merah. Hal tersebut berarti tokoh
”M un” telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan lalu-lintas.
9) Di kampung kam i, sosok M bah Joyo, begitu dikenal. Sesepuh itu sebelum
lewat tengah malam belum mau memejam kan mata. Selalu begitu. Sejak
muda ia sudah terbiasa tirakat. Melekan sampai jauh malam. Mencari
wangsit, katanya. (cerpen Pundhen, hal. 23)
Memejamkan mata merupakan kegiatan menutup mata, namun
juga bisa berarti menunjukkan orang tidur. Pada pernyataan di atas,
”memejamkan mata” merupakan kata la in untuk mengungkapkan tidur.
10) Tradisi itu sudah turun temurun kami warisi, tanpa mengerti lebih jauh
sejarah permulaannya. Yang jelas ritual seperti itu diyakini untuk mbuang
sengkala. (cerpen Pundhen, hal. 23)
Sengkala berarti musibah atau sesuatu yang buruk. Ungkapan
”mbuang sengkala” berarti menghindari musibah atau menghindari
sesuatu yang buruk yang terjadi.
11) Meski usianya sudah kepala tujuh, namun Mbah Joyo masih tangkas dan
kuat. Berjalan dengan ringan, walaupun malam sangat gelap. (cerpen
Pundhen, hal. 23)

80
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Kepala merupakan bagian teratas dari tubuh manusia. Kepala juga


bisa berarti pemimpin atau yang mem impin. Ungkapan ”kepala tujuh”
berarti diawali atau dipimpin oleh angka tujuh. Pernyataan ”usianya sudah
kepala tujuh” dalam kutipan tersebut berarti bahwa tokoh telah berusia
70-an.
12) Pasti ada orang yang berbuat jahat. Batin Mbah joyo. Lalu ia mengingat-
ingat siapa yang mati Selasa Kliwon. Biasanya anggota tubuh dan kafan
orang yang mati di hari itu dijadikan incaran penjahat untuk dijadikan
ajimat sesat. (cerpen Pundhen, hal. 23)
Selasa Kliwon merupakan hari yang dikeramatkan oleh masyara kat
Jawa. Hari tersebut dipercaya oleh orang Jawa mengandung mistik. Orang
sering melakukan ritual-ritual yang berkaitan dengan klenik saat hari
Selasa Kliwon.
13) ”Begini lho Nak carik, sa ya ini mau melaporkan kejadian tadi malam pada
Pak Lurah. Semalam Pundhen kita itu dibuat kurang ajar orang. M asak
Pundhen yang kita sucikan kok dibuat mesum. Apa tidak mencoreng
wibawa kampung kita. Kalau mau begituan kan bisa di rumah. Atau kalau
itu barang colongan, ’kan bisa nyewa penginapan.”(cerpen Pundhen, hal
23)
Kata ”kurang ajar” dan ”begituan” pada kutipan di atas berarti
sama, yaitu untuk mengungkapkan perilaku mesum. Kata-kata tersebut
digunakan tokoh untuk mengungkapkan perilaku mesum dengan lebih
sopan dan tidak terkesan vulgar.
”Barang colongan” berarti mengambil barang yang bukan
miliknya, atau mengambil sesuatu secara sembarangan. Barang yang
dimaksud pada kutipan tersebut adalah wanita. Ungkapan ”barang
colongan” dalam pernyataan di atas berarti wanita yang bukan m iliknya
(istrinya) atau bisa berarti juga wanita tuna susila.
14) Menginjak halaman Pak Lurah, hati Mbah Joyo berdesir. Ada firasat aneh
yang ia tangkap. Namun, kepalang basah, Mbah Joyo nekat mengetuk
pintu. (cerpen Pundhen, hal. 25)

81
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

”M engetuk pintu” merupakan kegiatan yang biasa dilakukan orang


untuk menandakan kedatangan atau meminta permisi untuk masuk ke
suatu ruang atau rumah. M engetuk pintu juga dapat menjadi tanda bahwa
seseorang mencari atau memiliki urusan dengan orang yang ada di dalam
ruangan atau rumah. Pernyataan di atas menunjukkan bahwa tokoh ”M bah
Joyo” mengetuk pintu rumah Pak Lurah bermaksud untuk bertamu dan
bertemu dengan Pak Lurah.
15) Mendengar pengakuan seperti itu M bah Joyo kehilangan konsentrasinya.
Ia kembali hidup di alam wadag. (cerpen Pundhen, hal. 27)
Wadag yaitu sesuatu yang nyata atau bersifat ragawi. Alam wadag
berarti alam nyata atau realita. Pernyataan ”Ia kembali hidup di alam
wadag” berarti tokoh ”Mbah Joyo” kembali dihadapkan pada kenyataan
atau pada sesuatu yang terjadi di sekitarnya.
16) Adapun Mbah Joyo dikabarkan memilih mati moksa seperti Prabu
Jayabaya. Mati beserta raganya. (cerpen Pundhen, hal. 27)
Moksa sering juga disebut nirwana, berarti pembebasan,
saat atman lepas dari ikatan punarbawa atau samsara. Karena itu
seseorang yang bisa mencapai moksa tak akan lagi menitis ke bumi,
atmannya sudah menyatu dengan Hyang Tunggal. Bagi orang-orang Bali
ada tiga moksa, yaitu pembebasan yang masih meninggalkan badan kasar
(jasmani) ketika mati, moksa yang tidak lagi meninggalkan jasad, namun
cuma menyisakan abu, dan moksa yang tidak menyisakan apa pun, hilang
sirna tak berbekas (Gde Aryantha Soethama, http://rare-
angon.blogspot.com/2010/08/ moksa.html). M ati moksa yang dilakukan
Mbah Joyo adalah je nis moksa yang kedua, yaitu mati tanpa meninggalkan
jasad. Ini nampak dalam kalimat berikutnya. Berdasarkan pemaparan
tersebut, dapat diketahui bahwa tokoh “Mbah Joyo” beragama Hindu atau
masih terpengaruh agama Hindu.
17) Sesumbar Mbah Lurah memang menggidikkan. Membuat takut siapa pun.
Hingga tak seorang pun yang berani dadi jago. (cerpen Samin, hal. 28)

82
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

“Dadi jago” maksudnya menjadi yang dijagokan. Kata “dadi jago”


pada cerpen Samin berarti menjadi calon untuk pemilihan Lurah
berikutnya.
18) Warga kembali dihadapkan pada keharusan memberikan suara. Sebab,
kata M bah Lurah, pemilihan Lurah merupakan pesta demokrasi. (cerpen
Samin, hal. 29)
“Suara” adalah sesuatu yang dikeluarkan manusia melalui mulut
sehingga dapat didengar oleh orang lain. Jika dikaitkan dengan suatu
pemilihan umum, suara berarti pendapat. “M emberikan suara” maksudnya
mengikuti pemilihan dan memilih calon untuk dijadikan lurah.
“Pesta” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana
Retnoningsih, 2005: 377) berarti perayaan, perjamuan makan minum,
bersuka ria, dan sebagainya. Pesta biasa dilakukan jika memperingati hari
tertentu dan bersifat masal (melibatkan banyak orang). Demokrasi adalah
pemerintahan yang berasaskan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Artinya suara rakyat sangat dipentingkan untuk menentukan kebijakan
pemerintahan. Pesta demokrasi berarti peristiwa di mana semua rakyat
berhak mengeluarkan aspirasi dan pendapatnya untuk perkembangan
pemerintahan berikutnya. Ungkapan “pesta demokrasi” yang dimaksud
dalam cerpen Samin berarti ikut serta dalam pemilihan Lurah.
19) Mbah Lurah yang diam-diam kuatir tidak bisa menang telak, melancarkan
gerakan siluman. (cerpen Samin, hal. 29)
Siluman merupakan makhluk yang tidak terlihat dan berhati jahat.
“Siluman” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana
Retnoningsih, 2005: 491) berarti makhluk halus seperti manusia yang
tidak kelihata n atau bersifat gaib. Ungkapan “gerakan siluman” dalam
pernyataan tersebut berarti bahwa tokoh menggunakan cara yang licik dan
tidak diketahui oleh pihak lain.
20) Dengan menugasi kaki tangannya bergerilya dari rumah ke rumah
membagikan amplop rezeki. (cerpen Samin, hal. 29)
Terdapat juga dalam kutipan berikut ini:

83
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

“Sekarang, kalau saatnya pemilihan, berbaik hati dengan warga.


Bermanis muka. Tapi setelah berkuasa, warga ditelantarkan begitu
saja. Malah kalau ngurus surat-surat dipersulit. Baru lancar kalau
ada amplop. Pemilihan lurah jangan disamakan dengan sekarang
membuang amplop, besok menarik amplop!” (hal. 30)

“Amplop” merupakan simbol yang biasanya digunakan orang


untuk sejumlah uang yang diberikan kepada orang lain. Biasanya
“amplop” berkonotasi negatif, yaitu sejumlah uang yang diberikan secara
diam-diam untuk alasan tertentu atau sogokan untuk mengikuti apa yang
diinginkan pemberi.
21) Orang-orang mulai memandangnya nyinyir. Ada yang bilang, Pak Rekso
sok keminter. Sok ngerti politik. Padahal makannya cuma gaplek. Tiwul.
Nasi jagung. Jangan ba yem. Lauk kerupuk.(cerpen Samin, hal. 30)
Gaplek, tiwul, nasi jagung, jangan bayem merupakan makanan
yang biasanya dikonsumsi oleh orang desa. Kerupuk merupakan lauk yang
sangat sederhana. Berlauk kerupuk bisa diartikan sebagai kebiasaan orang
yang kurang mampu, karena tidak mampu membeli lauk yang layak.
Pernyataa n “Padahal makannya cuma gaplek. Tiwul. Nasi jagung. Jangan
bayem. Lauk kerupuk” menunjukkan bahwa tokoh “Pak Rekso”
merupakan orang desa yang bukan dari golongan berada, sehingga
masyarakat merasa Pak Rekso tidak pantas jika berani menentang
pemilihan Lurah.
22) Mbah Lurah, kini memang jatuh miskin. Dia tidak lagi bisa mencari
pulihan. Orang-orang di kampungku menyebutnya kalah main. (cerpen
Samin, hal. 30)
Pulih adalah keadaan kembali membaik dari sesuatu yang buruk
atau sembuh dari sakit. Kata ”pulihan” dalam cerita ini berarti sesuatu
yang dapat digunakan untuk memperbaiki keadaaannya dan membuatnya
menjadi lebih baik. ”Pulih” yang dimaksud dalam cerpen Samin adalah
pulih dari kemiskinan atau kebangkrutan.
Main hampir sama artinya dengan berjudi, yaitu bermain dengan
menggunakan taruhan atau mempertaruhkan sesuatu. Orang yang kalah

84
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tidak mendapat apa-apa, bahkan kehilangan benda yang dijadikan teruhan.


Ungkapan ”kalah main” pada cerpen Samin digunakan untuk
menggambarkan kondisi tokoh ”Mbah Lurah”. Buka n berarti Mbah Lurah
benar-benar berjudi, namun ia terlanjur menggunakan hartanya untuk
mengkampanyekan dan menyogok warga agar anaknya dapat menjadi
Lurah berikutnya. Namun ternyata anak Mbah Lurah tidak terpilih menjadi
Lurah.
23) Selama tata-cara pemilihan, tak berubah, berarti tak pernah ada perubahan.
Yang berubah Cuma wayang-wayangnya. Begitu prinsip Pak Samin.
(cerpen Samin, hal. 31)
“Wa yang” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan
Ana Retnoningsih, 2005: 638) berarti gambar atau tiruan orang yang
dibuat dari kulit, kayu, dan sebagainya untuk mempertunjukkan suatu
lakon. Wayang tidak bisa berdiri sendiri. Pertunjukkan wayang
memerlukan dalang sebagai penggerak dan pengatur cerita. “Wayang”
dalam pernyataan tersebut maksudnya tokoh-tokoh yang dicalonkan dalam
pemilihan umum. Pengarang mengibaratkan mereka sebagai wayang
karena menganggap tokoh-tokoh politik itu sebagai pelakon yang
digerakkan oleh dalang dan aturan tertentu. Dalang yang dimaksud dalam
cerpen tersebut adalah sistem negara.
24) Guru
Guru adalah orang yang mengajarkan ilmu. Berdasarkan
wawancara dengan pengarang, ”guru” yang dimaksud dalam cerpen Jawa
adalah guru spritual dari tokoh ”Aku” atau lebih mengarah ke dukun. Guru
di sini mengajarkan tentang ilmu-ilmu yang bersifat spiritual atau
kebatinan. ”Guru” dalam cerpen Jawa bersifat misterius dan gaib. Ia
berhati bersih dan telah meninggalkan nafsu duniawi. Hal ini nampak pada
kutipan:
Usia Guru tak bisa kutebak. Mungkin tigaratus tahun. Mungkin
seribu tahun. Beliau tak pernah mempersoalkan usia. Di wilayah
mana Guru hidup, banyak orang yang umurnya ribuan tahun. Tak
mengenal apapun selain menjaga keseimbangan hidup. Keikhlasa n

85
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yang betul-betul sempurna. Tak tergoda ingin kaya. Tak tertipu


ingin berkuasa. Keinginan tinggal satu. M enjadi saksi. (cerpen
Jawa, hal. 33)
25) Saben-saben ganti raja
Tanah Jawa banjir nyawa (hal. 33)
Pernyataa n di atas merupakan peribahasa bahasa Jawa yang artinya
setiap ganti raja, tanah Jawa banjir nyawa. Banjir nyawa di sini
maksudnya adalah menjatuhkan banyak korban, atau banyak yang mati.
Banyaknya korban itu disebabkan oleh peperangan, perebutan kekuasaa n,
perang saudara, dan sebagainya. Sejak zaman dahulu, tanah Jawa memang
memiliki banyak sejarah kerajaan yang menguasai tanah Jawa. Kerajaan
Jawa diawali oleh berdirinya kerajaan Mataram kuna kemudian beralih ke
kekuasaa n kerajaan Kediri, Singosari, Majapahit, Demak, hingga kerajaan
Mataram. Setiap pergantian Raja atau penguasa kerajaan, terjadi perang
yang menimbulkan banyaknya korban jiwa.
Filosofi inilah yang kemudian membuat pengarang merenung dan
kemudian mengaitkannya ke masa orde baru. Waktu itu tanah Jawa secara
sempit dan Indonesia secara luas dipimpin oleh Presiden Soeharto.
Pengarang menganggap Soeharto sudah menyerupai Raja bagi tanah Jawa
(Indonesia), karena ia berkuasa sangat lama sekitar 32 tahun. Selain itu ia
juga memiliki wibawa yang sangat kuat dan ditakuti oleh rakyat maupun
oleh negara lain. Jika dikaitkan dengan era Orde Baru, dapat dilihat pada
masa jatuhnya pemerintahan Soeharto. Upaya penjatuhan Presiden
Soeharto, diwarnai dengan reformasi yang penuh dengan perseteruan dan
mengakibatkan banyak orang meninggal.
26) Guru tersenyum. Keteduhan mengalir dari wajahnya yang memancarkan
caha ya. Selalu, aku tak kuasa menatap matanya yang terpejam sempurna.
Entahlah. Kekuatan semacam apa yang tersembunyi di balik
pandangannya. Seperti matahari. Seperti aura raja rimba. (cerpen Jawa,
hal. 33)
Tersenyum adalah gerak bibir yang menunjukkan bahwa tokoh
ingin menunjukkan simpati kepada orang lain atau senang. Matahari

86
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

adalah benda alam yang sangat panas, dapat memberikan cahaya dan
kehangatan pada bumi dan planet lainnya. Ungkapan ”seperti matahari”
berarti mampu memberikan kehangatan dan memberi penerangan untuk
orang lain.
”Raja rimba” adalah sebutan lain untuk harimau yang memiliki
kekuatan lebih daripada binatang lain, sehingga selalu disebut sebagai raja
rimba. Harimau adalah simbol kekuatan dan keperkasaan. Ungkapan
”seperti aura raja rimba” yang terdapat pada kutipan tersebut berarti
terlihat kuat dan tegas.
27) ”Sudah terlampau lama engkau tidur, sekarang bangunlah!”
”Aku tidur hanya dua sampai empat jam sehari Guru!”
”Itu tidur badan. Jiwamu tertidur bertahun-tahun, sekarang bangunlah!
Jangan biarkan dirimu terpasung!” (cerpen Jawa, hal. 34)
”Pasung” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan
Ana Retnoningsih, 2005: 362) adalah alat untuk menghukum orang,
berupa kayu apit atau berlubang dipasang di kaki, tangan atau leher.
Terpasung adalah keadaan terhimpit dan tidak mampu bergerak. Kata
”terpasung” dalam pernyataan di atas menunjukkan keadaan yang
terkurung, sehingga tidak mampu melakukan apa-apa atau mengeluarkan
ide dan pendapatnya. Tokoh di sini tidak benar-benar terpasung. Tokoh
”Guru” menyamakan keadaan tokoh dengan kondisi terpasung karena ia
tidak melakukan hal-hal yang berguna selama ini.
28) ”Di mana tanah dipijak, di situ langit dijunjung. Sayang pengetahuanmu
tentang tanah pijakanmu sangat terbatas, sehingga tak mampu menangkap
sasmita langitmu. Sesungguhnya, semua tanah itu ditakdirkan indah.
Gurun pasir atau kutub utara-selatan pun mempunyai keindahan tersendiri.
Artinya; engkau jangan tertipu oleh mata!” (cerpen Jawa, hal. 35)
Mata adalah bagian tubuh manusia maupun binatang yang
berfungsi untuk melihat. ”Mata” yang dimaksud dalam pernyataan di atas
adalah penglihatan atau sesuatu yang terlihat. Ungkapan ”tertipu oleh
mata” pada kutipan tersebut maksudnya tertipu oleh sesuatu yang nampak.

87
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Bisa juga diartikan melihat sesuatu hanya sekedar permukaannya saja,


tidak mengkaji secara lebih dalam.
29) ”Beri pengertian pada yang lain. Bahwa kedamaian lebih menentramkan.
Kalau suara tak ada yang mendengar, jangan memakai jalan kekerasan.
Ingat; wong Jawa matine yen dipangku. Ambillah rasanya ka lau ternyata
hatinya sudah seperti batu, lebih baik diam. Karena diam itu emas. Siapa
tahu dari kesiaman itu akan melahirkan Musa!” (cerpen Jawa, hal. 37)
”Wong Jawa matine yen dipangku” merupakan ungkapan bahasa
Jawa yang berarti orang Jawa matinya ketika dipangku. Ini maksudnya,
orang Jawa lemah terhadap kebaikan orang lain. Mereka akan luluh orang
sikap baik orang lain. Orang Jawa sangat suka dipuji dan dijunjung,
sehingga untuk dapat menaklukkan hati orang Jawa lebih baik dengan
berbuat baik kepadanya. Batu merupakan benda yang keras. Ungkapan
”hati yang seperti batu” pada kutipan tersebut berarti memiliki hati yang
keras dan tidak mudah luluh.
30) Mengingat Guru, mengingat keikhlasannya, ketenangan dan
kebersahajaa nnya, tidak bisa tidak; aku mesti menyampaika n pesan-
pesannya. Maka sebisa-bisaku, aku belajar pada sungai-sungai hulu,
tentang bagaimana mencapai muara. (cerpen Jawa, hal. 37)
”Hulu” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso dan Ana
Retnoningsih, 2005: 171) berarti kepala, bagian atas, ujung, atau
permulaan. ”Hulu” yang dimaksud dalam pernyataan di atas adala h sebuah
permulaan atau awal. ”Muara” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Suharso dan Ana Retnoningsih, 2005: 327) berarti tempat sungai jatuh ke
sungai atau ke laut. Muara adalah pertemuan antara sungai dan laut. Muara
juga bisa diartikan sebagai akhir dari aliran sungai. Air sungai yang
mengalir dari hulu hingga sampai ke muara tentunya memiliki banyak
rintangan, seperti adanya batu, pasir, kayu, dan sebagainya.
Pernyataa n ”belajar pada sunga i-sungai hulu, tentang bagaimana
mencapai muara” dapat diartikan belajar dari hal kecil atau dari awal

88
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

untuk sampai ke akhir (hasil yang diinginkan) dengan tanpa putus asa
meskipun menemui banyak halangan.
31) Kuncung juga ingin gaya koboi. Mencabut pistol, memutarkan di
kelingking. Lalu teriak ”Dor! Dor! Dor!” sambil berlari di kerapatan
kebun jagung. (cerpen Bedil, hal. 38)
Koboi adalah figur yang berasal dari Amerika. Koboi memiliki
pakaian yang khas dengan topi dan cela na jeans. Koboi juga identik
dengan kuda sebagai kendaraan, dan pistol sebagai senjata. Koboi terkenal
sangat lihai memainkan pistol mereka.
32) Kelompok lawan yang tak menduga diserang sedemikian cepat, banyak
yang tewas. Beberapa di antara mereka terpaksa menyerah, dengan
mengangkat tangan. (cerpen Bedil, hal. 39)
Mengangkat tangan adalah gerakan meluruskan tangan ke atas.
Mengangkat tangan bisa disebabkan berbagai hal. Sebagai bahasa
nonverbal mengangkat tanga n digunakan untuk menunjukkan sikap
menyerah dari peperangan atau perseteruan. ”Mengangkat tangan” yang
dilakukan tokoh dalam pernyataan tersebut menunjukkan bahwa tokoh
menyerah dalam permainan perang-perangan. Ini juga dijelaskan dalam
kalimat sebelumnya.
33) Kuncung terhenyak. Ternyata anak-anak muda yang ia tolong itu
pecundang yang ta k sanggup berhadapan dengan sistem negara. M aka tak
aneh, kalau kemudian keikhlasan dan kemanusiaan Kuncung jadi
bumerang. Ia dituduh melindungi orang-orang yang hendak melakukan
makar. Mau tak mau, Kuncung mesti berhadapan dengan pihak yang
berwajib. (cerpen Bedil, hal. 41)
Bum erang adalah senjata dari suku Aborigin yang digunakan
dengan cara dilempar ke musuh atau sasaran dan dapat kembali ke
pelemparnya. Kata ”bumerang” pada pernyataan di atas menunjukkan
serangan balik ke pemiliknya. M aksudnya keikhlasan dan kemanusiaan
Kuncung malah menjadi malapetaka untuk dirinya sendiri atau
menimbulkan hal yang buruk pada dirinya. ”Pihak yang berwajib” adalah

89
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sebutan untuk pihak kepolisian yang merupakan aparat negara yang


bertugas untuk mengatasi hal-hal yang menyimpang.
34) Satu persatu barang yang dipunyai dilego dengan harga bantingan.(cerpen
Bedil, hal 43)
Membanting berarti menjatuhkan benda ke bawah dengan sangat
keras. ”Harga bantingan” merupakan idiom yang bia sa digunakan
masyarakat untuk menunjukkan harga yang turun atau diturunkan dari
harga sebelumnya dengan sangat murah.
35) Banyak PHK di mana-mana. W ong cilik juga yang paling merasakan.
(cerpen Patrem, hal. 44)
”Wong cilik” sama artinya dengan rakyat kecil. Kecil
menunjukkan ukuran yang minim dan ringan. Kecil juga bisa diartikan
sebagai sesuatu yang kurang penting atau tidak berkemampuan. Pada
cerpen Patrem, ”wong cilik” berarti orang yang tidak mampu atau rakyat
biasa.
36) ”Rasanya mau nggantung saja!” (cerpen Patrem, hal. 44)
”Nggantung” merupakan kata yang terpengaruh oleh bahasa Jawa
yang maksudnya melakukan gantung diri. ”Nggantung” merupakan kata
yang biasa orang gunakan untuk mengungkapkan bunuh diri denga n cara
menggantung diri. Ini biasa dilakukan oleh orang-orang yang sedang
putus asa karena didera beban berat. Pada cerpen tersebut, tokoh
”Patrem ” merasa putus asa karena baru di PHK, sehingga ia merasa ingin
bunuh diri saja.
37) Untuk sementara Patrem bisa menarik napas longgar. (cerpen Patrem, hal.
44)
Menarik napas merupakan kegiatan yang biasa dilakukan orang
untuk menenangkan diri atau berusaha membuang hal-hal yang
mengganggu di hati agar tokoh merasa lega. ”Menarik napas longgar ”
pada kutipan tersebut berarti tokoh merasa lega karena beban yang
mengganggu sudah terselesaikan.

90
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

38) Dom
Dom atau jarum adalah benda kecil ya ng digunakan untuk sarana
menjahit. ”Dom” yang sebenarnya ingin disampaikan pengarang tidaklah
sesederhana itu atau bukan sekadar benda kecil yang digunakan untuk
menjahit. Hal yang sebenarnya ingin disampaikan pengarang melalui
”dom” adalah sindiran terhadap Daerah Operasi Militer (DOM ). DOM
dibentuk sejak tahun 1989 yang pada bertujuan untuk mengamankan
situasi dari tindakan suatu gerakan, yang disebut pemerintah sebagai GAM
(Gerakan Aceh Merdeka). Sejak operasi tersebut diberlakukan, ternyata
telah terjadi berbagai bentuk penyimpangan, seperti tindak kekerasan atau
penyiksaan dan pembantaian peradaban religius yang sudah berabad-abad
dibangun oleh masyarakat Aceh. (http://jaringankomunikasi.
blogspot.com/2008/10/ dom-aceh-1989-1998.html, 13 Agustus 2011)
39) Sebenarnya kam i sudah dapat berdiri dengan kaki sendiri. M encari sesuap
nasi sendiri. (cerpen Dom, hal. 49)
Kaki adalah bagian tubuh manusia yang merupakan tonggak dasar
tubuh manusia. Dengan kaki manusia dapat berdiri, berjalan, dan berlari.
Pernyataa n ”dapat berdiri dengan kaki sendiri” pada kutipan tersebut
berarti tidak membutuhkan topangan dari orang lain atau bersifat mandiri.
”Nasi” merupakan simbol kebutuhan pokok manusia, yaitu pangan.
Ungkapan ”dapat mencari sesuap nasi sendiri” berarti dapat mencari
makan dengan usaha sendiri atau sudah memiliki pendapatan sendiri.
40) Namun, Emak selalu menyangsikan kemampuan kami. Dia menganggap
kami anak-anak ingusan yang menghapus ingus saja mesti lewat tangan
Emak. (cerpen Dom, hal. 49)
”Anak-anak ingusan” adalah simbol untuk menunjukkan a nak-
anak yang masih kecil atau di bawah umur. Anak-anak kecil pada
umumnya masih keluar ingus. Jadi ”anak-anak ingusan” menjadi sebutan
untuk anak-anak di bawah umur yang masih membutuhkan bimbingan
orang tua. Tokoh ”Emak” selalu beranggapan bahwa anak-anaknya masih
butuh bimbingannya, padahal sebenarnya mereka telah dewasa.

91
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

41) ”Bagaimana cara kita mengatasi Emak?” keluhku.


Kang Prawiro mengangkat pundak. Sedang Yu Sumi, seperti biasanya
mengambil napas dalam-dalam dan menghembusnya perlahan.(cerpen
Dom, hal. 49)
Mengangkat pundak bisa disebabkan beberapa hal, antara la in,
untuk olahraga, karena pegal, atau untuk mengungkapkan bahasa
nonverbal. Sebagai bahasa nonverbal ”mengangkat pundak” digunaka n
untuk mengekspresikan ketidaktahuan. Ketidaktahuan ini bisa disebabkan
karena orang benar-benar tidak tahu atau karena ia malas menjawab. Pada
pernyataan tersebut tokoh ”Kang Prawiro” mengangkat pundak karena ia
tidak tahu atau tidak punya ide cara mengatasi Emak.
42) ”Emak tidak lagi sekadar menjadi ibu, ia lebih dari itu. Emak juga
menjadi Bapak. Emak mempunyai fungsi, sebagai ibu sekaligus menjadi
ayah!” (cerpen Dom, hal. 51)
Ibu adalah sebutan untuk orangtua perempuan. Ibu adalah sosok
wanita yang pada umumnya melahirkan anak, merawat keluarga, dan
melakukan pekerjaan rumah tangga. Ayah adalah sebutan untuk orangtua
laki-la ki. Seorang ayah pada umumnya bertugas menjadi kepala rumah
tangga yang mencari nafkah untuk keluarga. Pada kutipan tersebut, tokoh
”Emak” harus berperan ganda menjadi ibu yang merawat anak-anaknya
dan menjadi ayah yang menafka hi keluarga. Akibatnya berdampak buruk
terhadap psikologis Emak dan lunturnya sisi kewanitaan Emak. Hal
tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut:
M engapa baru kami sadari tentang peran ganda Emak itu.
Mengapa sejak dulu-dulu tidak kami sadari bahwa peran ganda
akan membawa dampak buruk. Karena secara psikologis, Emak
yang harus menafkahi dan menghidupi kami, sudah sewajarnyalah
berposisi sebagai laki-la ki; yang tegar dan garang dalam
mengarungi gelombang kehidupan. Dengan demikian sosok
kewanitaan - sadar atau tidak – kadang dilenyapkan. (hal. 51)

Sebenarnya istilah ”peran ganda Emak” adalah simbol yang


digunakan pengarang untuk mengungkapkan kondisi pemerintahan masa
Orde Baru, berkaitan dengan DOM (Daerah Operasi M iliter). Pada masa

92
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

itu terjadi peran ganda yaitu dengan penetapan dwifungsi ABRI, yang
memasukkan militer ke dalam pemerintahan. Ternyata kebijakan tersebut
memberikan efek kurang baik terhadap sistem pemerinta han. Terjadi
penindakan yang keras terhadap pihak-pihak yang berani menentang
pemerintahan, sehingga rakyat pada masa itu seakan dibungkam, tidak
berani bersuara. Begitu pula dengan masyarakat Aceh yang dianggap
memberontak, mendapat ancaman dan serangan melalui DOM yang
pengarang nilai kurang berperikemanusiaan. Hal ini sesuai dengan yang
diungkapkan oleh Atang Setiawan
(http://www.javanewsonline.com/index, diunduh pada tanggal 12 Oktober
2011) bahwa militer mempunya i peluang untuk menerima tanggung jawab
baru dalam rangka konsep dwifungsi ABRI, yaitu menjadi kepala daerah
maupun anggota DPR/MPR yang dijabat bukan melalui prosedur
pemilihan umum.
43) Emak adalah sentral atau (bahkan) nyawa bagi keluarga kami. (cerpen
Dom, hal. 51)
Sentral merupakan pusat, sesuatu yang penting. Begitupun nyawa.
Nyawa adalah sesuatu yang paling penting dari bagian makhluk hidup,
karena tanpa adanya nyawa makhluk hidup tidak akan hidup. ”Emak
sebagai sentral” dalam pernyataan di atas maksudnya Emak merupakan
sosok yang utama dalam keluarga. Keberadaannya sangat dibutuhkan
dalam keluarga. Ungkapan ”Emak sebagai nyawa” berarti Emaklah yang
bekerja untuk menghidupi keluarga.
44) Sebenarnya kampung kami berada di tengah ibukota kabupaten. Tidak di
pucuk gunung atau di pinggir hujan jati. Meski begitu, pola berpikir
penduduk kampung kami jauh dari moderen. (cerpen Tuyul, hal. 53)
Daerah di pucuk gunung atau di pinggir hujan jati merupakan
daerah yang terpencil atau jauh dari peradaban kehidupan modern. ”Pucuk
gunung dan pinggir hujan jati” dijadikan pengarang sebagai pengganti
kata terpencil. Pernyataan ”tidak di pucuk gunung atau di penggir hujan
jati” pada kutipan tersebut berarti daerah yang menjadi setting cerpen

93
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Tuyul bukanlah daerah yang terpencil, namun pemikiran masyarakatnya


masih kurang moderen. Mereka masih percaya dengan takhayul atau hal-
hal yang bersifat mistik.
45) ”Sesungguhnya kau manusia, lebih tuyul daripada kami yang Tuyul!”
(cerpen Tuyul, hal. 56)
Tuyul adalah makhluk halus yang bisa dipekerjakan oleh manusia
untuk mencuri. Kata ”tuyul” yang pertama dalam kutipan di atas
maksudnya sindiran kepada manusia yang sebenarnya berperilaku lebih
buruk daripada tuyul, yaitu mencuri uang atau harta tanpa kira-kira.
Apalagi para pejabat yang telah mengorupsi uang negara dengan semena-
mena.
46) Kejadian seperti itu sama sekali di luar dugaan. Karenanya kami hanya
diam. Terkesima. Tak habis pikir kenapa buntutnya jadi begitu. Kenapa
kami diberondong hakikat-hakikat penyadaran. (cerpen Tuyul, hal. 56)
Buntut adalah bagian tubuh yang terletak di belakang. Buntut biasa
digunakan orang untuk menunjukkan hal yang mengikuti sesuatu atau
akhir dari suatu peristiwa. ”Buntut” yang dimaksud dalam kutipan tersebut
adalah akhir dari peristiwa yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu akhir
dari peristiwa interogasi terhadap tuyul.

2. Makna Semiotik Kumpulan Cerpen Samin Berdasarkan Identifikasi dan


Analisis Ikon, Indeks, dan Simbol
a. Makna Semiotik Cerpen Biru
Warna biru sebagai judul cerpen merupakan pelambangan dari warna
kuning yang merupakan warna sebuah partai pada masa Orde Baru, yaitu
partai Golkar. Gerakan birunisasi merupakan pengkonotasian dari
penyeragaman yang dilakukan pemerintah pada masa Orde Baru. Kuningisasi
sempat diberlakukan selama masa pemerintahan Orde Baru. John Sutar
(http://bataviase.co.id/node/259265, diakses pada 12 Oktober 2011)
menyatakan bahwa pada masa itu, Lurah, Camat, Gubernur, bahkan tingkat
kementerian pun tunduk pada penguasa. Mereka merasa takut bila tak mampu

94
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

melaksanakan program kuningisasi di wila yah masing-masing. Apabila tidak


terlaksana dengan baik, akan mengakibatkan mereka kehilangan jabatan.
Pada masa itu pegawai negeri dan militer juga diharuskan memilih dan
mendukung partai Golkar dalam pemilu. Sehingga pemimpin dari partai
Golkar, yaitu Soeharto menjabat sebagai Presiden selama 32 tahun.
Pengarang melakukan kritik sosial terhadap adanya kuningisasi
melalui cerpen Biru. Ia menuangkannya dalam lingkup regional yang lebih
sempit, yaitu hanya berkisar dalam tingkat Kelurahan dan Kecamatan. Pak
Lurah, Pak Camat, dan Pak Bupati merupakan penggambaran dari sosok
pemerintah masa Orde Baru. M ereka patuh terhadap atasan dan membuat
peraturan yang memaksakan kehendak pada masyarakat, yang mau tak mau
harus dipatuhi. Pak Camat menggambarkan sosok pemerintah yang diktator
yang mengharuskan instruksinya untuk dilaksanakan secara paksa. Pak Lurah
merupakan tokoh yang kurang tegas. Walaupun merasa instruksi dari atasan
tidak benar, Pak Lurah tetap saja memaksakan peraturan kepada masyarakat
karena takut kehilangan jabatan. Mereka menggunakan kekuasaan yang
mereka miliki untuk menekan mas yarakat agar mau menuruti dan
menja lankan peraturan pemerintah.
Hal tersebut juga merupakan sebuah penggambaran dari keadaan sosial
pada masa Orde Baru. Pengarang bermaksud menunjukkan bahwa pada masa
itu terjadi bentuk pemerintahan yang sangat represif, di mana terjadi
pembungkaman terhadap suara masyarakat. Orang yang berani mengkritik
secara terang-terangan akan dibungkam atau dipenjara. Hal ini menyebabkan
masyarakat banyak yang tidak berani membantah. M ereka seakan-aka n
menjadi robot pemerintah yang selalu patuh terhadap instruksi pemerintah
tanpa memberikan perlawanan.
Pengarang menampilkan tokoh “Pak Samin” di dalam cerpen Biru
sebagai sosok yang berani melawan kekuasaan pemerintah. Nama Samin
pengarang ambil dari suku Samin yang merupakan sekumpulan masyarakat
yang berani melawan kolonialisme Belanda dengan tidak mau mematuhi
peraturan yang dibuat Belanda dan tidak mau membayar pajak. Masyarakat ini

95
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

bertingkah pura-pura bodoh untuk mengecoh Belanda dan membuatnya kesal.


Mereka membuat idealisme sendiri dan menjunjungnya dalam kehidupan
mereka. Begitu pula tokoh Pak Samin yang pengarang tampilkan dalam
cerpen Biru. Ia merupakan tokoh yang berani melawan instruksi birunisasi
yang dicetuskan oleh pemerintah karena ia ingin mempertahankan warna
wuwungan yang menurutnya harus tetap putih karena itu adalah warna
warisan leluhur. Ia juga menganggap warna biru adalah warna palsu. Tokoh
Pak Samin merupakan tokoh yang teguh. Ia tetap mempertahankan
idealism enya hingga mati.
“Daripada dibisukan, Pak Samin memilih bisu. Katanya, itu lebih
terhormat!” jelas aktivis hukum. (hal. 10)
“Begitu dibirukan pagar rumahnya, Pak Samin memilih mati. Katanya,
itu lebih terhormat daripada dimatikan!” kata aktivis hukum yang
menyambut kedatangan Pa k Lurah. (hal. 11)

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa pada masa itu masyarakat yang


berani bersuara benar-benar akan dibungkam. Pemberontakan sa ngat ditentang
pada masa orde baru. Tokoh “Pak Samin” memilih untuk tidak bersuara
daripada ia dibungkam dan memilih mati daripada dibunuh karena
pembangkangannya. M elalui penggambaran tokoh yang seperti inilah
pengarang berusaha menunjukkan keadaan sosial politik pada masa Orde
Baru.
b. Makna Semiotik Cerpen Mun
Melalui cerpen Mun, pengarang mengungkapkan kesenjangan sosial
yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Pengarang mengungkapkannya
melalui sepeda, yang m erupakan simbol kendaraan yang lemah dan biasa
digunaka n oleh orang yang kurang mampu. Pada zaman modern ini,
keberadaan sepeda mulai tersingkirkan. Sepeda dianggap kuno dan tidak
praktis. Apalagi dengan kemajuan teknologi yang menghadirkan kendaraan
la in yang lebih canggih seperti kendaraan bermotor, mobil, kereta api, dan
sebagainya, kendaraan seperti sepeda sangat jarang ditemukan.
Pengarang menghadirkan tokoh ”Mun” yang memiliki pemikiran lugu
dan tradisionalnya dalam cerpen Mun ini sebagai korban kemajuan teknologi.

96
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Tokoh Mun memiliki impian memiliki sepeda sejak ia masih muda, namun
baru terkabulkan saat ia sudah separuh baya. Walaupun zaman sudah semakin
maju, ia tidak tergiur untuk memiliki barang yang lebih modern. Ia masih saja
teguh dengan impian masa mudanya, yaitu memiliki sepeda. Melalui tokoh
”Mun” inilah pengarang bermaksud menyampaikan sosok yang tidak tergiur
dengan modernisasi. Ia tetap mempertahankan pandangan dan idealismenya
walaupun dianggap kuno dan dicemooh oleh orang lain.
Kepergia n Mun ke kota dengan sepedanya merupakan inti dari cerita
dalam Cerpen Mun. Adanya pembedaan jalan untuk pengendara sepeda dan
rambu-rambu lalu-lintas yang kurang adil terhadap pengendara sepeda
merupakan bentuk kritik pengarang terhadap kesenjangan sosial. Sepeda
dalam cerpen Mun merupakan simbol kaum pinggiran atau rakyat kecil.
Seperti layaknya sepeda yang mendapat jalan sendiri yang kecil dan jelek,
dalam kehidupan sekarang ini orang-orang miskin juga mendapat
ketidakadilan. Dalam kehidupan sehari-hari sering ditemui tindak pilih kasih
yang dilakukan oleh masyarakat. Orang yang memiliki banyak harta akan
dijunjung dan didahulukan daripada orang miskin. Hal ini nampak dalam
kutipan berikut:
”Ngomong-ngomong tempat apa ini, kok mesti ada aturan naik sepeda
harap turun segala. Padahal, yang naik mobil dan sepeda motor tidak
diharuskan turun dari kendaraannya. Kenapa yang naik sepeda harus
turun? Apa bedanya? Apa karena harga sepeda murah?” cerocos Mun
tanpa rasa bersalah sedikitpun. (hal. 16)

Sepeda juga merupakan simbol untuk kaum yang lemah. Kaum yang
lemah selalu menjadi kambing hitam dan kalah oleh orang-orang yang kuat
atau kaya. Kaitannya dalam dunia politik dan hukum, orang yang ka ya dapat
dengan mudah lolos dari hukuman, sedangkan orang yang kurang mampu,
meskipun melakukan kejahatan sekecil apapun akan mendapat hukuman. Hal
inini nampak ketika Mun dihajar oleh massa karena ia melanggar peraturan
la lu-lintas tanpa ada seorang pun yang membelanya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan ahli sastra, ”kota” yang
dimaksud dalam cerpen Mun merupakan simbol untuk kebudayaan Barat.

97
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Seperti layaknya penggambaran kota yang diceritakan dalam cerpen Mun,


budaya Barat meskipun mewah, namun penuh dengan aturan dan tidak lagi
mengenal toleransi. Tokoh ”Mun” yang mewakili sosok orang desa tidak
cocok dengan gaya hidup orang kota. Hal tersebut yang sebenarnya ingin
disampaikan oleh pengarang melalui cerpen Mun. Masyarakat Indonesia yang
menjunjung budaya ketimuran tidak sepatutnya mengagungkan budaya Barat.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh pengarang (Kusprihyanto
Namma) dalam pengantar kumpulan cerpen Samin (2007: 4) bahwa: ”Sa ya tak
pernah memandang Barat sebagai suatu yang perkasa. Bagi saya Barat adalah
penghancur tatanan moral ketimuran. Jadi, tak perlu dikagumi. Apalagi dianut
konsep estetikanya. Sebagai bagian keberagaman Indonesia, harus kita pegang
budaya ketimuran yang adiluhung.”
c. Makna Semiotik Cerpen Kembang Tebu
Kembang tebu bercerita tentang kebijakan pemerintah yang
mengharuskan rakyat untuk menanam i ladang mereka dengan tebu. Padahal
tebu memiliki jangka waktu yang lama untuk dapat dipanen. Ini membuat
tokoh “Pak Kromo” yang terpaksa harus menanami ladangnya dengan tebu
terpaksa menyuruh Agung, anaknya untuk berhenti kuliah karena ia tidak lagi
mampu membiayai kuliah anaknya dengan bertanam tebu.
Melalui cerpen Kembang Tebu, pengarang bermaksud menyampaikan
kesewenang-wenangan pemerintahan pada masa itu, yaitu masa pemerintahan
Orde Baru. Pada masa pemerintahan Orde Baru terdapat kebijakan yang
mengharuskan rakyat untuk menanami ladangnya dengan tebu. Hal ini sesuai
dengan yang disampaika n oleh Tjahjono Edi (http://apchr.murdoch.
edu.au/minihub/siarlist/maillist. html, diakses pada 12 Oktober 2011) bahwa
di bawah tekanan aparat rezim Orde Baru, tak ada pilihan bagi para petani
selain menanam tebu untuk memenuhi program Tebu Intensifikasi Rakyat
(TRI). M ereka yang berani menolak menanam tebu akan selalu berhadapan
dengan aparat keamanan dan intimidasi perangkat pemerintahan desa. Bukan
hanya itu, mereka yang menolak program TRI akan dituduh membangkang
atau dinterograsi di kantor Koramil.

98
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Masyarakat tidak ada yang berani melawan karena jika ada yang
melawan pemerinta h pada masa itu akan dianggap sebagai PKI dan
keberlangsungan hidupnya terancam. M asyarakat akan mengucilkannya dan ia
tidak akan mendapat pekerjaan di manapun. Akhirnya mas yarakat mau tak
mau menjalankan peraturan yang ditetapkan pemerintah. Hal ini nampak
dalam kutipan berikut:
“Mengapa Bapak tidak berontak?”
“Setiap orang yang dipecundangi hidupnya, dalam hati pasti
menyimpan bara pemberontakan, Le. Tapi mana mungkin bisa
melakukannya, baru hendak menyampaikan keberatan saja, kita sudah
dituduh terlibat organisasi terlarang. Kamu tahu kan, orang-orang yang
di cap terlibat organisasi terlarang itu hidupnya selalu terancam. Bukan
cuma atas dirinya sendiri, tapi juga atas anak-anak dan saudara-
saudaranya yang tak tahu apa-apa. Bapak tak sanggup dicap seperti itu,
Le. Jadi ya pasrah saja. Gusti Allah tidak sare, Le!” (hal. 21)

Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ridwan Subagja


(http://ridwansubagja.blogspot.com/, diakses pada tanggal 12 Oktober 2011)
bahwa di masa rezim Orde Baru, TRI dinyatakan sebagai "program nasional".
Sebutan tersebut menjadi sesuatu yang "dikeramatkan", TRI wajib diamalkan
dan dilaksanakan. Apabila terdapat petani yang memiliki pola pemikiran yang
berseberangan, maka mereka disebut sebagai penghambat pembangunan, atau
biasa disebut subversif.
Pengarang juga berusaha menyampaikan pentingnya hidup
berorganisasi. Kegiatan kemahasiswaan dapat memberikan pengalaman dan
membuat seseorang dapat menentukan sikap dalam menjalani kehidupan
bermasyarakat. Hal ini nampak dalam kutipan berikut:
Kini Agung berhadapan dengan sebuah situasi yang dulu tak pernah ia
pedulikan itu. Dulu ia malah mencibir orang-orang yang turun ke jalan
menuntut hak-haknya. Orang-orang itu dinilainya hanya cari perhatian.
Agung mulai menyadari, bahwa mahasiswa tak seharusnya hanya
melahap buku. Belajar tidak pada buku saja, tapi juga pada sejarah dan
peristiwa-peristiwa yang ada di sekelilingnya. (hal. 21)

Tokoh “Agung” dalam cerpen Kembang Tebu merupakan mahasiswa


yang hanya mementingkan studinya saja. Ia hanya terpusat pada belajar dan
bagaimana agar cepat lulus. Ia tidak mengikuti kegiatan mahasiswa apapun,

99
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sehingga ia bingung menyikapi keadaan yang menimpa dirinya. Walaupun ia


merasa bahwa kebijakan yang ditetapkan pemerintah tidak adil, namun ia
tidak mampu berbuat apa-apa.
Selain ketegangan dan konflik yang timbul dari cerpen Kembang Tebu,
pengarang juga menggambarkan keindahan kebu tebu yang ia lukiskan lewat
kata-kata. Ia seakan mengaja k pembaca untuk merasakan dan melihat betapa
indahnya hamparan kebun tebu dalam setting cerita yang dialami tokoh.
Pengarang bermaksud menunjukkan di dalam kepahitan penanaman tebu,
terdapat keindahan kebun tebu yang menghampar. Begitupun sebaliknya, di
dalam keindahan hamparan kebun tebu, terdapat kepahitan. Hal tersebut
ditunjukkan dalam kutipan berikut:
Di samping suka bermain di areal tebu dan mengisap air-manisnya,
Agung juga suka memandang kembang-kembang tebu yang
menyembul laksana mata tombak. Kembang-kembang yang keperak-
perakkan itu, di mata Agung tampak sangat indah. Apalagi bila angin
berhembus sepoi, kembang-kembang itu seperti menari, tak henti-
henti. Agung selalu berdecak kagum. (hal. 22)

d. Makna Semiotik Cerpen Pundhen


Melalui cerpen Pundhen, pengarang bermaksud menampilkan
keluguan mas yarakat Jawa dengan keperca yaannya terhadap hal-hal yang
bersifat gaib. Pundhen merupakan benda yang dikeramatkan oleh masyarakat,
terutama di kawasan pedesaan yang masih besifat tradisional. Keberadaan
Pundhen menjadi sesuatu yang diagungkan dan dianggap suci oleh
masyarakat. Tidak ada yang berani berbuat macam-macam di Pundhen atau
sekitarnya, karena takut dikutuk oleh penunggunya. Namun seiring kemajuan
zaman, kepedulian masyarakat terhadap kekeramatan Pundhen semakin
meluntur. Bahkan sering ditemui perbuatan tercela yang dilakukan di
Pundhen, seperti mabuk-mabukkan atau berbuat mesum. Mereka menganggap
tempat itu sepi sehingga dapat dengan nyaman melakukannya.
Tokoh “Mbah Joyo” merupakan tokoh sentral dalam cerpen Pundhen
ini. Ia adalah penunggu Pundhen yang sangat menjunjung dan menjaga
Pundhen dengan sepenuh hati bahkan hingga mati. Keteguhannya dalam

100
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

menja lankan tugasnya dan menegakkan sesuatu yang ia anggap benar


merupakan kunci dari kisah ini. Sayangnya keluguannya harus tergeser oleh
kemajuan zaman.
Hal lain yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam cerpen
Pundhen ini adalah perselingkuhan yang terjadi antara Pak Carik dan Bu
Lurah. Mereka sebenarnya adalah pasangan laki-la ki dan perempuan yang
kepergok oleh Mbah Joyo sedang melakukan perbuatan mesum di Pundhen.
Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut ini:
Belum sempat mereka membenahi pakaiannya yang awut-awutan,
Mbah Joyo sudah datang melancarkan serangan tongkat. Bertubi-tubi
ia memukul ngawur. Mengenai dada, punggung, kepala, paha, tangan,
dan anggota tubuh lainnya. (hal. 24)

Keesokan harinya Mbah Joyo bergegas ke kantor kelurahan. Ia hendak


mengadukan kejadian mesum semalam. Namun, Pak Lurah sedang
tidak ada di tempat. Di kelurahan ia Cuma ketemu Kamituwo Penthuk
dan Pak Carik. Ketika berhadapan dengan Pak Carik, sebagai wakil
lurah, Mbah Joyo sempat terperanjat. Sebab tangan Pak Carik
diperban, dan kepalanya ditambal tensoplast. (hal. 24)

Mbah Joyo terpana. Dipandanginya tubuh Bu Lurah yang memar-


memar bekas gebukan. Bahkan kepalanya mesti diobat-merah segala.
Mungkinkah Pak Lurah tega mengania ya istrinya sampai sebegitu
parah. Bukankah ia panutan orang sekampung. Tak mungkin hal itu ia
la kukan, Mbah Joyo membatin. Dan lagi, luka itu masih terlihat baru
bukankah Pa k Lurah sedang berada di Kabupaten? (hal. 25)

Hal la in yang nampak dalam cerpen ini adalah pemanfaatan kekuasaan


untuk hal pribadi. Hal ini dilakukan oleh Pak Lurah. Ia seakan mengetahui
perbuatan selingkuh istrinya, namun bukan mem berikan hukuman, ia justru
menyuruh M bah Joyo untuk bungkam. Hal tersebut tentu saja ia lakukan
untuk menjaga martabatnya sebagai seorang Lurah. Hal tersebut dapat dilihat
pada kutipan berikut ini:
Sementara itu Pak Lurah yang mendapat pengaduan Mbah Joyo,
seperti tak peduli. Bahkan sempat menggertak Mbah Joyo agar tutup
mulut. (hal. 25)

Klimaks dari cerpen Pundhen adalah ketika peristiwa penebangan


pohon yang dijadikan Pundhen dan dikeramatkan tersebut. Melalui peristiwa

101
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ini pengarang menunjukkan sesuatu yang logis dibalik takhayul yang telah ia
ceritakan sebelumnya. Ternyata penebangan pohon itu berakhir dengan
sukses, tidak ada hal-hal yang seperti telah dikhawatirkan warga sebelumnya.
Hal terakhir yang ingin disampaikan pengarang melalui cerpen
Pundhen adalah perubahan zaman dan kemajuan teknologi justru membuat
moral masyarakat semakin menurun. Kejujuran dan keluguan masyarakat desa
terhapus oleh keglamoran saat ini. Hal ini pengarang tunjukkan dalam kutipan
berikut:
Pada hakekatnya tak ada yang berubah. Kecuali orang-orang kampung
kami yang tak lagi bertani atau berkebun. Tapi ada yang jadi maling,
gali, makelar, sopir, kuli bangunan, pedagang bakso, pelacur, dan
aneka ragam pekerjaan untuk mengisi perutnya. (hal. 27)

e. Makna Semiotik Cerpen Samin


Cerpen Samin juga merupakan salah satu bentuk kritik pengarang
terhadap sistem pemerintahan Orde Baru. Melalui cerpen Samin, pengarang
menyoroti sistem pemilihan pada masa itu. Pemilihan umum pada masa
pemerintahan Orde Baru pengarang anggap kurang demokratis. Banyak tindak
kecurangan yang terjadi selama masa pemilihan umum. Pengarang
menuangkan kritik terhadap sistem pemilihan Presiden ke dalam regional
yang lebih sempit, yaitu pemilihan Lurah.
Pada masa Orde Baru, terjadi pengharusan pegawai negeri untuk
memilih partai Golkar. Partai lawan yang ditawarkan pada masa itu juga tidak
banyak, karena kekuasaan Golkar pada masa itu dinilai sangat kuat. Hal ini
menyebabkan tidak banyak yang berani menjadi lawan partai tersebut.
Sehingga pada masa itu, partai Golkar beberapa kali mengalami kemenangan
telak. Selama 32 tahun Indonesia dipimpin oleh Presiden Soeharto. Karena
waktu itu tidak ada pembatasan masa kepemimpinan seorang Presiden. Hal
tersebut tampak dalam kutipan di bawah ini
Waktu itu jabatan Lurah belum dibatasi. Hingga mungkin seseorang,
bisa menjadi Lurah seumur hidup. (hal. 28).

Hal tersebut sesuai dengan yang disampaikan oleh Raditya


(http://radityaonlaw.blogspot.com/2010/04/perbedaan-pemilu-1955-pemilu-

102
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

1971, diakses pada 12 Oktober 2011) pada Pemilu 1971, para pejabat
pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar.
Pemerintah mengeluarkan Permen (Peraturan M enteri) No. 12/1969 yang
melarang pegawai negeri masuk partai politik, tapi boleh ikut Golkar.
Ketentuan monoloyalitas itu berlaku bagi pegawai negeri pada semua tingkat.
Jadi sesungguhnya pemerintah merekayasa ketentuan – ketentuan yang
menguntungkan Golkar, salah satunya menetapkan seluruh pegawai negeri
sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Chinty
(http://www.syarikat.org/article/pemilu-indonesia-masa-orde-baru, diakses
pada 12 Oktober 2011) bahwa satu hal yang nyata perbedaannya dengan
pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak pemilu 1977 pesertanya jauh
lebih sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya
pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah
partai denga n membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan
Golkar. Kedua partai selain partai Golkar adalah Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Jadi dalam 5 kali
Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga
tadi. Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP
dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah
menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara langsung dan tidak
la ngsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol
Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer.
Selain pemilihan yang dinila i kurang demokratis, pengarang juga
berusaha membuka keburukan calon-calon yang dipilih pada masa itu dengan
sistem penyogokan yang mereka lakukan. Calon-calon tersebut memberikan
uang dan hasutan kepada rakyat untuk memilih mereka. Rakyat justru
menjadikan itu sebagai sumber rejeki.
Pengarang menampilkan tokoh ”Pak Rekso” yang kemudian
mendapatkan julukan ”Pak Samin” sebagai tokoh yang berani melawan
ketidakjujuran dalam sistem pemilihan umum. Julukan itu diberikan oleh

103
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

orang-orang karena Pak Rekso dianggap bodoh dan tidak sadar diri.
Pengarang menampilkan tokoh ”Pak Rekso” yang menyandang gelar Samin
untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya orang Samin bukanlah simbol
kebodohan. Orang hanyalah orang yang memiliki idealisme yang ia pegang
teguh. Ia berani melawan sesuatu yang dianggap tidak benar dan sewenang-
wenang. Dan begitulah sosok Pak Rekso dalam cerpen Samin ini. Ia berani
melawan pemilihan Lurah yang ia anggap tidak demokratis. Melalui tokoh
”Pak Rekso (Pak Samin)”, pengarang juga mengungkapkan bahwa siapapun
yang berani melawan pemerintah pada masa itu akan dikucilkan bahkan
dianggap bodoh.
Waktu terjadi pemilihan Lurah dengan peraturan baru, sebenarnya
Mbah Lurah menjagokan anak mbarepnya. Namun warga sudah jenuh.
Anak Mbah Lurah kalah dalam pemilihan. (hal. 30).

Melalui kutipan tersebut pembaca diajak untuk menilik realita yang


terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Pada akhir masa kepemimpinan
Soeharto, ia menjadikan anak mbarepnya (anak sulung), yaitu Siti Hardiyanti
Indra Rukmana untuk menjabat sebagai menteri. Inilah yang membuat rakyat
mulai meragukan kepemimpinan Soeharto dan terjadi perseteruan yang
mengakibatkan ia harus turun dari jabatannya. (Yusril Ihza Mahendra,
http://id.buck1.com/politik-hukum/kebijakan-orde-baru-terhadap-masyum i-
dan-islam -politik-537)
Pada tahun 1998, era reformasi, Presiden Soeharto turun dari
jabatannya. Waktu itu ia benar-benar mengalami banyak hal buruk. Jatuh dari
jabatan, tuduhan KKN, dan reputasi yang hancur membuat rakyat tak lagi
bersimpati pada Presiden yang te lah menjabat selama 32 tahun ini. Hal
tersebut berusaha pengarang sampaikan melalui kutipan berikut:
Mbah Lurah, kini memang jatuh miskin. Dia tidak lagi bisa mencari
pulihan. Orang-orang di kampungku menyebutnya; kalah main. (hal.
30)

Selain menyampaikan keburukan pemilihan umum pada masa Orde


Baru, pengarang juga melakukan kritik terhadap sistem Pemilu di masa-masa

104
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

berikutnya yang ia anggap sama bobroknya. Hal tersebut tampak pada kutipan
berikut ini:
Saat ini, sejak Mbah Lurah lengser, kampungku telah ganti lurah tiga
kali. Sepanja ng pergantian itu Pak Samin tetap pada pendiriannya.
Menolak memilih. Selama tata-cara pemilihan, tak berubah, berarti tak
pernah ada perubahan. Yang berubah Cuma wayang-wayangnya. (hal.
31)

Berdasarkan kutipan di atas, pengarang bermaksud menunjukkan


bahwa sampai saat ini pun sistem pemiliha n pemimpin yang dianut Indonesia
masih tidak demokratis dan terjadi berbagai kecurangan. Upaya penyogokan
masih juga dilakukan, pemilihan calon yang kurang tepat, dan sebagainya.
f. Makna Semiotik Cerpen Jawa
Melalui cerpen Jawa, pengarang menyuguhkan suatu pandangan baru
kepada pembaca. Untuk mengawali kisah dalam cerpen Jawa, pengarang
menampilkan ungkapan Saben-saben ganti raja, tanah Jawa banjir nyawa.
Melalui ungkapan tersebut, pembaca diajak untuk menilik sejarah kerajaan-
kerajaan Jawa. Sejak zaman dahulu, tanah Jawa memang memiliki banyak
sejarah kerajaan yang menguasainya. Kerajaan Jawa diawali oleh berdirinya
kerajaan Mataram kuna kemudian beralih ke kekuasaan kerajaan Kediri,
Singosari, Majapahit, Demak, hingga kerajaan Mataram. Setiap pergantia n
raja atau penguasa kerajaan, terjadi perang yang menimbulkan banyaknya
korban jiwa.
Jika dikaitkan dengan masa pemerintahan Orde Baru, dapat dilihat
pada masa jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto. Pengarang menganggap
Soeharto sudah menyerupai Raja bagi tanah Jawa (Indonesia), karena ia
berkuasa sangat lama sekitar 32 tahun. Selain itu ia juga memiliki wibawa
yang sangat kuat dan ditakuti oleh rakyat maupun oleh negara lain. Seperti
pergantian kekuasaan raja di tanah Jawa, masa berakhirnya kepemimpinan
Soeharto pun diwarnai dengan pertumpahan darah, yaitu peristiwa Reformasi
pada tahun 1998.
Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah
dan semakin besarnya ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap

105
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi


besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai
wilayah Indonesia. Demonstrasi tersebut mengakibatkan kerusuhan dan
bentrokan yang menyebabkan banyak orang meninggal, terutama kalangan
mahasiswa. http://abba78.multiply.com/photos/album/7/masamasareformasi_
1998, 13 Agustus 2011)
Melalui tokoh “Guru”, pengarang berusaha memberikan pandangan-
pandangan baru kepada pembaca. Pembaca diajak untuk lebih peka dan
responsif terhadap keadaan sekitar. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan
berikut:
“Sudah terlampau lama engkau tidur, sekarang bangunlah!”
“Aku tidur hanya dua sampai empat jam sehari, Guru!”
“Itu tidur badan. Jiwamu tertidur bertahun-tahun, sekarang bangunlah.
Jangan biarkan dirimu terpasung!”
Aku tersentak.
Mungkin memang benar jiwaku tidur bertahun-tahun. Karena setiap
hal telah menjadi hambar. Ketika ada kejahatan, bukannya ingin
menegakkan kebenaran, atau keadilan. Namun malah menghindar.
Atau ketika melihat penindasan, kesewenang-wenangan, pemerkosaan,
bukannya berpikir bagaimana cara mengatasinya. Namun malah
menutup mata. Aku hanya ingin mencari selamat sendiri. sementara
orang lain; mau mati, mau sengsara, menindas; itu urusan mereka
sendiri. aku telah menjadi sosok yang kehilangan kemanusiaan. (ha l.
34)

Selain itu, melalui tokoh “Guru” pula, pengara ng membuka pandangan


pembaca dengan menjadikan sejarah sebagai suatu pelajaran untuk
menentukan langkah ke depannya. Pembaca diajak untuk me ngubah sejarah
yaitu setiap pergantian raja terjadi pertumpahan darah. Pengarang bermaksud
mengajak pembaca untuk bersikap hati-hati dan arif dalam menyikapi hidup,
apalagi yang berkaitan dengan dunia politik. Usaha pergantian kepemimpinan
hendaknya tidak dengan jalan kekerasan, namun dengan usaha lain yang lebih
bermakna. Hal ini dapat ditangkap dari kutipan berikut ini:
“Benar. Generasi yang sedang tumbuh ini jangan sampai terjebak pada
sejarah yang itu-itu saja. Sejarah lain harus dibuat. Sebagai bukti
bahwa Jawa bukan tanah kutukan!” kata Guru yang ternyata tahu isi
hatiku. (hal. 36)

106
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

g. Makna Semiotik Cerpen Bedil


Melalui cerpen Bedil, pengarang bermaksud menyampaikan
penyalahgunaan kekuasaan pemerintah dan aparatnya. Bedil atau pistol adalah
senjata yang digunakan ole h aparat pemerintah seperti polisi dan ABRI untuk
menja ga keamanan negara. Pada dasarnya bedil digunakan untuk menyerang
orang yang melanggar hukum. Pada cerpen Bedil ini, pengarang
menyampaikan penyimpanga n penggunaan pistol yang justru digunakan untuk
membungkam masyarakat agar tidak berani menyuarakan hati nuraninya.
Seperti pada beberapa judul cerpen yang lain dalam kumpulan cerpen Samin,
pengarang memfokuskan pada masa pemerintahan Orde Baru. Pada masa itu,
orang-orang yang berani menentang pemerintahan dianggap sebagai PKI dan
dijatuhi hukuman.
Pengarang menampilkan tokoh ”Kuncung kecil” yang sangat
mendambakan memiliki bedil maina n untuk bermain perang-perangan dengan
temannya, untuk menunjukkan bahwa sebenarnya bedil atau pistol itu
merupakan senjata yang digunakan untuk membela kebenaran. Sosok
Kuncung dewasa yang merasa miris karena bedil justru digunakan untuk
membungkam suara rakyat merupakan hal pokok yang ingin disampaikan
pengarang.
Tokoh ”anak-anak” yang datang ke rumah Kuncung dalam keadaan
berlumuran darah merupakan penyampaian tidak langsung pengarang untuk
menunjukkan suatu peristiwa pada pemerintahan Orde Baru, yaitu reformasi.
Pada saat itu, terjadi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan mahasiswa
karena ketidaksetujuan mereka terhadap sistem pemerintahan Orde Baru.
Peristiwa reformasi menimbulkan kerusuhan besar-besaran dan
mengakibatkan banyak orang tewas, terutama di kalangan mahasiswa.
Surat Kuncung kepada bapaknya merupakan sindiran secara langsung
yang dilakukan pengarang untuk pemerintahan Orde Baru. Pengarang
bermaksud menyampaikan keprihatinannya terhadap penyimpangan
pemerintah dan aparatnya yang menggunakan kekuasaan mereka untuk

107
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

membunuh atau membungkam suara rakyat. Orang yang menuntut keadilan


justru diacungi bedil dan dianggap sebagai pelaku kejahatan. Hal tersebut
nampak dalam kutipan berikut:
”Bapak, apakah di desa anak-anak kecilnya masih suka main perang-
perangan? Mungkin anak-anak kecil sekarang sudah tidak tertarik lagi
ya, karena te levisi nyaris setiap hari mena yangkan orang baku tembak.
Baik dalam perang sungguhan maupun hanya film khayalan. Di sini
terlihat sekali, bedil memang diperuntukkan menghadapi peperangan.
Alangkah naif, apabila bedil dirahkan kepada mereka yang sedang
mencari keadilan. Orang-orang kalah itu bergerak atau diam saja
kenapa selalu dihadapkan dengan bedil? Apakah karena tidak ada
perang, lalu mengobarkan perang dengan rakyatnya sendiri?” (hal. 42)

h. Makna Semiotik Cerpen Patrem


Cerpen Patrem merupakan bentuk kritik pengarang terhadap sistem
pelayanan masyrakat. Penulis mengambil salah satu contoh melalui fungsi dan
pembuatan Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB) yang menjadi syarat
melamar pekerjaan. Cerpen ini tidak mengkhususkan pada masa pemerintahan
tertentu seperti beberapa cerpen lainnya.
Tokoh ”Patrem” merupakan salah satu gambaran korban PHK dengan
berbagai kesulitan kehidupan yang harus dihadapi. Ia harus memenuhi
kebutuhan keluarga, sedangkan ia tidak memiliki penghasilan. Saat ia
melamar pekerjaan, ia harus mencantumkan SKKB. Melalui tokoh ”Patrem”
inilah penulis bermaksud menunjukkan ketidakefektifan fungsi SKKB dan
sistem pembuatan SKKB yang tidak benar. Pembuatan SKKB dibuat dengan
mengikuti beberapa prosedur yang rumit dari RT hingga kantor kepolisian. Di
tiap pos harus mengeluarkan biaya yang tidak jelas kemana masuknya atau
digunaka n untuk apa. Hal tersebut penulis tunjukkan dalam kutipan berikut:
Seperti di Kelurahan ataupun kecamatan, tanpa dikorek, tanpa ditanya
ini itu, kebutuhan Patrem akan SKKB segera dibuatkan. Tak ada satu
jam, surat yang amat vital bagi para pencari kerja tersebut jadi.
Biayanya dua kali lipat biaya kelurahan. Patrem tercekat. Bagaimana
tidak? Semua pembiayaan itu tanpa kuitansi. (hal. 46)

Selain prosedur pembuatan SKKB yang rumit dan mahal, pengarang


juga menunjukkan ketidakefektifan fungsi SKKB. SKKB memang

108
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

diharuskan dicantumkan dalam syarat melamar pekerjaan, namun fungsinya


sendiri tidak jelas. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
”Tidak, Mas. SKKB tidak punya pengaruh apapun. Bahkan ia hanya
mempersulit pencari kerja. Bagaimana tidak, nyaris semua perusahaan
selalu mencantumkan SKKB itu sebagai syarat melamar. Mau tak
mau, semua pencari kerja mesti susah-susah berusaha memilikinya.
Padahal kalau sudah memiliki, belum tentu diterima kerja. Lalu apa
gunanya SKKB? Jangan-jangan hanya merupakan alat penindasan!”
(hal. 47)

i. Makna Semiotik Cerpen Dom


DOM yang menjadi judul dan inti cerita dalam cerpen Dom ini
sebenarnya bukan sesederhana dom jarum yang digunakan untuk menjahit,
namun merupakan bentuk sindiran pengarang terhadap Daerah Operasi Militer
(DOM ). Daerah Operasi M iliter (DOM ) dibentuk sejak tahun 1989 yang pada
bertujuan untuk mengamankan situasi dari tindakan suatu gerakan, yang
disebut pemerintah sebagai GAM (Gerakan Aceh M erdeka). Namun seja k
operasi tersebut diberlakukan, ternyata telah terjadi bukan hanya pelanggaran
hukum dan hak asasi manusia yang begitu nyata, seperti tindak kekerasan atau
penyiksaan yang langsung maupun tidak langsung dirasakan sendiri oleh
masyarakat, namun juga suatu pembantaian peradaban religius yang sudah
berabad-abad dibangun oleh masyarakat Aceh. (http://jaringankomunikasi.
blogspot.com/2008/10/dom-aceh-1989-1998.html, 13 Agustus 2011)
Kekacauan yang telah dilakukan tokoh Emak dengan mengobrak-abrik
rumah dan sekitarnya merupakan penggambaran dari aksi DOM yang
diberlakukan pemerintah. Keberadaan DOM pada saat itu justru menimbulkan
kerusuhan dimana-mana, terutama di Aceh dan menghancurkan tatanan yang
telah dibuat sebelumnya. Kengerian yang dirasakan oleh anak-anak Emak
menunjukkan kengerian dan ketakutan yang dialami rakyat pada masa itu. Jika
ada yang memberontak akan ditembak, diculik, diperkosa, dan sebagainya.
Sebenarnya istilah ”peran ganda Emak sebagai Ibu dan sebagai Ayah”
adalah simbol yang digunakan pengarang untuk mengungkapka n kondisi
pemerintahan masa Orde Baru, berkaitan dengan DOM (Daerah Operasi
Militer). Pada masa itu terjadi peran ganda yaitu dengan penetapan dwifungsi

109
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABRI, yang memasukkan militer ke dalam pemerintahan. Ternyata kebijakan


tersebut memberikan efek kurang baik terhadap sistem pemerintahan. Terjadi
penindakan yang keras terhadap pihak-pihak yang berani menentang
pemerintahan. Hal ini mengakibatkan rakyat pada masa itu seakan dibungkam,
tidak berani bersuara. Begitu pula dengan masyarakat Aceh yang dianggap
memberontak, mendapat ancaman dan serangan me lalui DOM yang
pengarang nilai kurang berperikemanusiaa n. Hal ini sesuai dengan yang
diungkapkan oleh Atang Setiawan (http://www.javanewsonline.com/index,
diunduh pada tanggal 12 Oktober 2011) bahwa militer mempunyai peluang
untuk menerima tanggung jawab baru dalam rangka konsep dwifungsi ABRI,
yaitu menjadi kepala daerah maupun anggota DPR/M PR yang dijabat bukan
melalui prosedur pemilihan umum.
Sosok Ibu yang seharusnya bersikap lembut dan merawat anak-
anaknya, dan sosok ayah yang perkasa dan melindungi keluarga merupakan
penggambaran sosok pemerintah dan ABRI. Pemerintah seharusnya mampu
menga yomi rakyat dan memberikan yang terbaik untuk kemajuan negara,
sedangkan ABRI seharusnya mampu melindungi masyarakat dan menjaga
ketertiban. Dengan adanya penggabungan antara politik dan militer, terjadi
kurang optimalnya fungsi masing-masing pihak, dan justru menimbulkan
ketidaknyamanan pada rakyat. Hal ini disebabkan karena tekanan yang
diperoleh dari keduanya secara bersamaan.
Akhir cerita yang berupa kesenangan Emak dan kembali tenangnya
setelah DOM seakan tidak terjadi apa-apa sebelumnya menunjukkan bahwa
bagi pemerintah peristiwa DOM dianggap ringan dan tidak berarti. Padahal
bagi rakyat yang mengalami dan melihat kerusuhan itu menimbulkan kerugian
dan trauma. Namun tidak ada tindakan yang cukup berarti dari pemerintah
untuk mengatasi peristiwa DOM ini sebelum, selama, dan sesudahnya.
j. Makna Semiotik Cerpen Tuyul
Cerpen Tuyul merupakan bentuk kritik pengarang terhadap sikap
masyarakat dan hukum terhadap tindak korupsi yang dilakukan oleh aparat
politik dan yang lain. Pengarang mengungkapkannya melalui keluguan

110
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

masyarakat desa yang masih mempercayai hal-hal yang bersifat gaib. Ketika
ada pencurian terjadi di kampung mereka, mereka langsung gempar dan
menuduh tuyullah pelakunya. Ketika ada yang kaya mendadak, mereka
menuduh ia memelihara tuyul.
Tokoh ”Tuyul” yang ditampilkan pengara ng merupakan upaya
pengarang untuk mengungkapkan penyimpangan yang terjadi dalam
pemikiran masyarakat Indonesia. Masyarakat mudah gempar jika ada
peristiwa kehilangan di kampung mereka. Mereka langsung mencari tahu
siapa pelakunya. Begitupun dengan piha k hukum, kasus pencurian yang kecil
akan mereka usut denga n segera dan memberi hukuman bagi pelakunya.
Sebaliknya, kasus pencurian yang besar, seperti korupsi yang menyebabkan
kerugian negara secara besar-besaran justru masyarakat kurang
menanggapinya. Hukumpun tidak cepat tanggap untuk mengusutnya dan
terkesan berbelit-belit. Ironisnya lagi, pihak yang melakukannya hanya
mendapat hukuman yang ringan dan tidak sewajarnya. Bahkan banyak
koruptor yang lolos dan tidak terdeteksi. Hal inilah yang sebenarnya ingin
disampaikan pengarang melalui cerpen Tuyul. Hal ini tampak dalam dialog
tokoh ”Tuyul” berikut:
”Kalau aku bekerja kurang baik, kau akan mencaciku habis-habisan.
Padahal, jadi Tuyul sekarang sangatlah susah. Orang se karang pintar-
pintar. Cenderung m nyimpan uangnya di bank. Tuyul pantangan
masuk bank. Pantangan masuk laci-laci kantor. Kalau bank kebobolan,
itu bukan pekerjaan Tuyul. Kalau laci-laci kantor kosong melompong,
itu pasti pekerjaan pegawai-pegawai kantor itu sendiri!”
”Karenanya jangan hanya menyalakan Tuyul. M aling ada di mana-
mana. Semua orang berpeluang menjadi maling. Menyalahkan itu
pekerjaan paling gampang. Yang sulit, bisakah kau membetulkan
banyak hal yang terlanjur salah. Atau kau nikmati setiap kesalahan dan
memakluminya sebagai kebenaran. Terus terang, menyaksikan
kemanusiaanmu aku menjadi sakit. Pura-pura suci, tapi semakin tipis
rasa malumu!”
”Sesungguhnya kau manusia, lebih Tuyul daripada kami yang Tuyul!”
(hal. 56)

Kalimat terakhir dalam cerpen Tuyul yang disajikan pengarang yaitu


”Jangankan uang, hak-hak kami dicuri atau dirampas sekalipun, kami akan

111
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

diam” menunjukkan bahwa setelah peristiwa dialog tuyul, masyarakat justru


semakin bungkam dan tidak berani bersuara. Kalimat ini menggambarkan
sikap masyarakat Indonesia yang pengecut, yang lebih baik diam dan pura-
pura tidak tahu, daripada bersuara tapi malah mendapat hukuman. Mereka
tidak berusaha melakukan sesuatu untuk perubahan yang lebih baik, tapi lebih
memilih berada di garis aman, walaupun hak-hak mereka dirampas.

3. Latar Belakang Pengarang Menggunakan Sistem Semiotik (Ikon, Indeks,


dan Simbol) dalam Penyajian Cerita
Penulis yaitu Kusprihyanto Namma membuat beberapa cerita dalam
kumpulan cerpen Samin dalam rentang waktu dari tahun 1993 – 1998. Pada masa
itu masih hangat-hangatnya kekuasaan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden
Soeharto. M asa pemerintahan Orde Baru terjadi sistem pemerintahan yang
represif, banyak melakukan pembungkaman suara. Orang yang berani mengkritik
pemerintah secara terang-terangan aka n dipenjara atau diasingkan, sehingga tidak
ada yang berani melawan kekuasaan pemerintah pada masa itu. Gerak rakyat
dibatasi, suara mereka pun dibatasi.
Hal itulah yang menggugah pengara ng untuk menulis kumpulan cerpen
Samin. Ia ingin melakukan kritik terhadap sistem pemerintahan Orde Baru melalui
karyanya. Ia menyajikan kritik sosial melalui cerita yang sederhana, bahasa yang
halus, serta menerapkan sistem simbol karena ia tidak berani mela kukan kritik
secara terang-terangan. Pengarang ingin pembaca sendirilah yang menafsirkan
apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh pengarang melalui kumpulan cerpen
Samin.
Pengarang menuangkan ide cerita dengan bahasa sastra yang menarik,
indah, namun menyiratkan makna yang dalam, dan tidak sesederhana seperti yang
tertulis. Pengarang menerapka n sistem simbol (semiotik) dalam penyampaian ide
cerita untuk menyamarkan sindiran atau kritik terhadap sistem pemerintahan Orde
Baru. Pengarang menganggap orang-orang politik adalah orang yang bodoh atau
buta tentang bahasa sastra. pengarang menggunakan lingkup setting yang lebih
sempit, yaitu hanya berkisar tentang kehidupan desa atau kelurahan. Namun

112
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kebijakan dan peraturan yang diberlakukan menggambarkan sistem pemerintahan


Orde Baru.
Terlepas dari fokus pengarang terhadap kritik politik, pengarang juga
membumbui kumpulan cerpen Samin dengan kehidupan desa yang sangat
tradisiona l, sarat dengan keluguan-luguan masyarakatnya, dan kepercayaan
mereka dengan hal-hal yang berbau klenik. Hal tersebut dimaksudkan pengarang
untuk menunjukkan budaya Jawa yang sempat terabaikan karena hampir sebagian
masyarakat Indonesia berkiblat pada kehidupan Barat dengan keglamouran dan
kehidupan bebas yang mereka anut. Saat ini karya sastra juga terpengaruh denga n
kehidupan modern dan kebarat-baratan. Untuk memberikan keseimbangan dalam
dunia sastra, pengarang memilih menyajikan cerita yang menyuguhkan kehidupan
desa dengan budaya-budaya mereka yang khas dan unik. Hal ini bertujuan agar
pemuda-pemuda Indonesia sebagai generasi bangsa mengetahui kebudayaan-
kebuda yaan dari negara mereka sendiri, terutama kebudayaan Jawa.
Samin menjadi judul kumpulan cerpen ini karena pengarang sangat
tertarik dan mengagumi masyarakat Samin. Pengarang menganggap masyarakat
Samin merupakan sekelompok mas yarakat yang unik dan berani. Masyarakat ini
terbentuk dari upaya perlawanan terhadap kolonialisme Belanda yang dianggap
sewenang-wenang. Pengarang ingin menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat
Samin bukanlah masyarakat yang bodoh seperti anggapan masyarakat Indonesia
saat ini. Justru masyarakat ini sangat pintar. Mereka pura-pura bodoh untuk
membuat lawan (Belanda) merasa kesal.
Berdasarkan hasil wawancara dengan ahli sastra, dari ga ya penceritaan dan
sudut pandang yang diambil pengarang dalam penyajian kumpulan cerpen Samin
dapat ditangkap bahwa pengarang, yaitu Kusprihyanto Namma menempatkan
dirinya sebagai orang Samin. Bukan hanya tokoh dalam cerita tersebut yang
bersikap Samin, namun pengarang juga mengambil sudut pandang orang Samin
dalam menuangkan ide ceritanya. Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan
oleh pengarang dalam pengantar buku kumpulan cerpen Samin (2007: 4) bahwa:
“Samin memang selalu berhadapan atau di seberang imperialisme dan

113
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kolonialisme. M aka tak mengapa saya me njadi Samin karena saya percaya bahwa
keindonesiaan ini sangat kaya.”

4. Kebermaknaan Penggunaan Unsur Semiotik (Ikon, Indeks, dan Simbol)


untuk Mendukung Keestetikan Karya
Agustien S., Sri Mulyani, dan Sulistiono (dalam Anis Handayani, 2009:
13) menguraikan beberapa fungsi sastra yaitu:
a. Fungsi rekreatif, yaitu apabila sastra dapat memberikan hiburan yang
menyenangkan bagi pembacanya
b. Fungsi didaktif, yaitu apabila sastra mampu mengarahkan atau
mendidik pembacanya karena adanya nilai-nilai kebenaran dan kebaikan
yang terkandung di dalam nya.
c. Fungsi estetis, yaitu apabila sastra mampu memberikan keindahan bagi
pembacanya.
d. Fungsi moralitas, yaitu apabila sastra mampu memberikan pengetahuan
kepada pembacanya sehingga mengetahui moral yang baik dan buruk.
e. Fungsi religius, yaitu apabila sastra mengandung ajaran agama yang
dapat diteladani para pembaca sastra.
Sebuah kar ya sastra, termasuk cerpen dalam penyampaian kisahnya pasti
dilengkapi dengan unsur-unsur yang bersatu dan membentuk keestetikan karya.
Unsur-unsur tersebut dapat berupa bahasa yang indah, pemilihan kata yang
menarik, penggunaan gaya baha sa, topologi kar ya sastra, dan sebagainya.
Rachmat Djoko Pradopo (2002: 88) memaparkan bahwa ucapan atau ekspresi
karya sastra sebagai karya seni berbeda dengan ucapan kar ya kebahasaan yang
lain yang tidak mementingkan nilai seninya. Karya sastra sebagai karya seni
mementingkan fungsi estetis bahasa sebagai sarana ekspresinya. Sastrawan
berusaha membuat kesan atau mendapatkan efek dari penggunaan bahasa nya.
Sastrawan berusah menarik perhatian dengan ucapan bahasanya dalam karya
sastra. Hal yang kemudian akan disoroti peneliti adalah penggunaan ikon, indeks,
dan simbol yang telah disebutkan sebelumnya dalam mendukung keestetikan
kumpulan cerpen Samin.

114
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Tujuan utama penggunaan unsur semiotik dalam kumpulan cerpen Samin


oleh pengarang adalah untuk menyamarkan maksud asli yang ingin disampaikan
penulis. Namun dalam penyajiannya, penggunaan unsur semiotik ini pun dapat
memberikan keindahan dalam setiap kisah dalam kumpulan cerpen Samin.
Judul yang digunakan penulis merupakan salah satu sistem simbol.
Pemilihan judul ya ng dilakukan penulis sangat unik dengan menggunakan satu
kata yang terdiri dari satu atau dua suku kata saja. Hal ini justru menambah
keindahan kumpulan cerpen Samin. Pemilihan judul yang sederhana dan praktis
tidak terkesan menjemukan dan merupakan sesuatu ya ng menarik untuk pembaca.
Judul yang disajikan penulis membuat membaca memiliki banyak tafsir sebelum
membaca cerpen-cerpen tersebut. Padahal judul yang disajikan penulis tidak
sesederhana yang tertulis.
Pemilihan simbol yang digunakan penulis untuk menjadi judul juga
menambah keindahan karya tersebut. Pemilihan “warna biru” sebagai sindiran
terhadap “warna kuning”, merupakan bentuk upaya pemikiran unsur keindahan.
Warna biru merupakan warna yang menggambarkan keindahan. W arna laut,
warna gunung, dan warna langit yang biru biasanya digunakan untuk
menunjukkan keindahan. Namun justru yang ditonjolka n dalam warna biru oleh
pengarang bukan pada penggambaran keindahan, tapi pada warna biru yang
dianggap semu. Untuk judul lain seperti Dom, pembaca akan mengarah pada
jarum, benda kecil untuk menjahit. Padahal “dom” yang sebenarnya ingin
disampaikan pengarang adalah Daerah Operasi Militer (DOM). Pemilihan kata
“dom” merupakan sesuatu yang lucu namun membuat karya menjadi indah dan
terkesan lugu.
Pemilihan judul yang lain denga n menggunaka n nama tokoh seperti “M un”
dan “Patrem” merupakan hal yang sederhana, namun karena nama yang
digunakan bersifat ndeso, justru membuat ini menjadi menarik. Untuk pemiliha n
judul Samin yang juga merupakan judul kumpulan cerpen ini, memiliki sesuatu
yang menarik. Pemahaman pembaca sebelum membaca cerpen Samin akan
terarah pada Samin, masyarakat yang terkenal dengan keluguan mereka dan
sering dianggap bodoh. Namun “Samin” di sini merupakan simbol yang

115
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

digunakan pengarang untuk menunjukkan sosok yang me njunjung idealisme dan


membela sesuatu yang ia anggap benar.
Pemilihan simbol yang digunakan pengarang sebagai judul-judul inilah
yang merupakan salah satu hal yang menghadirkan keindahan dalam kumpulan
cerpen Samin. Pemilihan kata yang mampu membuat pembaca memiliki banyak
tafsir inilah yang menjadikan pemilihan judul ini menjadi indah dan menarik.
Shklovsky dalam Rachmat Djoko Pradopo (2002: 88) mengemuakan ciri empiris
sastra, yaitu membuat aneh (making strange). Bahasa sastra membuat pembaca
kecewa, frustasi terhadap harapannya yang sudah mempunyai konsep normatif
terhadap bahasa yang dikenal dan dapat diergunakannya. Pengecewaan terhadap
harapan (frustrated expectation) tersebut merupakan salah satu ciri empiris sifat
estetik kar ya sastra. Selain itu, penggunaan simbol dalam kumpulan cerpen Samin
mampu memberikan efek halus atau sopan untuk menyampaikan hal-hal yang
bersifat negatif, yaitu penggunaan kata “kurang ajar” atau “begituan” untuk
mengungkapkan perbuatan mesum. Contoh yang lain adalah “amplop”, “gerakan
siluman”, dan “pihak ya ng berwajib”.
Penggunaan indeks yang digunakan pengara ng untuk menggambarkan
keadaan tokoh juga menambah segi keestetikan dalam kumpulan cerpen Samin.
Pada beberapa judul cerpen, pengarang menunjukkan kemarahan tokoh dengan
menggunakan indeks, seperti:
a. Petugas ja ga mukanya merah padam. Ia begitu geram. Kemarahan si petugas
ja ga itu diam-diam telah menulari teman-temannya. (hal. 15)
b. ”Kalau ada kepentingan dengan Bapak sebaiknya menemui di kantor saja!”
pintu itu pun dibanting dengan keras. (hal. 25)
c. ”Ada keperluan apa? Bapak sedang tidak ada di rumah!” suara itu sungguh
sengit. (hal. 25)
d. ”Pergi kalian. Tak ada tontonan di sini!” bentak Emak yang mendadak muncul
dengan kemaraha n. Matanya mencorong tajam. Mukanya merah padam. (hal.
50)
e. Emak sudah bangun. Kemarahannya yang sementara ditimbun tidur;
memuncak. Emak jadi betul-betul garang. Matanya melotot. Tangannya

116
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mengepal. W ajahnya semerah api. Kami bergidik dan mundur ke belakang.


(hal. 52)
Berdasarkan beberapa kutipan di atas dapat ditangkap bahwa tokoh
sedang marah. Pemilihan kata oleh pengarang untuk menggambarkan kemarahan
tokoh seperti dalam kutipan di atas memberi keindahan dan membuat pembaca
seakan-akan dapat melihat atau merasakan sendiri kemarahan tokoh.
Selain itu ada beberapa indeks yang digunakan pengarang untuk
menggambarkan keindahan desa seperti pada kutipan berikut ini:
a. Agung tak menjawab. Tangannya menuding kembang-kembang tebu yang
melenggak-le nggok di atas kehijauan yang menghampar. Indah sekali. Di atas
la ngit biru membentang. Di bawah, batang-batang coklat tebu dengan daunnya
yang hijau. Kembang-kembang tebu menari di antara bentangan warna yang
sama memikatnya. (hal. 18)
b. Kebun tebu telah habis ditebang. Kembang-kembang tebu tak lagi bisa
dipandang. Kini yang membentang, cuma tongga k-tonggak tebu, menantang
la ngit. Kelancipannya menunjukkan kegersangan. (hal. 19)
c. Kampungku adalah kampung yang tenang. Seperti telaga yang berada di sunyi
pegunungan. Ketenangannya bahkan tak pernah menghasilkan riak atau
ombak. Sesekali, memeng, dipecahkan cipak ikan. Atau selambar daun yang
jatuh karena tak sanggup menahan berat embun. Namun sesudah itu kembali
sunyi. Kembali dihuni suara burung, cengkrik, lenguh kerbau, kokok ayam,
penggeret, serta teriakan-teriakan petani bekerja. (hal. 28)
d. ”Tanah ini sangat subur Guru. Sawah membentang, gunung menjulang di
mana-mana. Kebun-kebun luas menghijau, hutan menghampar. Pohon-pohon
rindang di pedesaan. Mata air yang tak ada habis-habisnya. Guru, aku tak bisa
menguraikan lebih jauh mengenai kesuburan tana h ini. Seandainya ada yang
menanam batu, batu itu akan tumbuh. Guru bisa melihat sendiri. Betapa
damainya tanah ini. Gunung yang biru di kejauhan. Kehijauan yang
membentang. Sungai mengalir. Kicau burung. Gemersik hutan. Suara satwa!”
(hal. 35)

117
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pernyataa n-pernyataan di atas pengarang gunakan untuk menunjukkan


keindahan desa yang menjadi setting cerita. Melalui bahasa yang indah, dapat
ditangkap bahwa penggunaan indeks tersebut merupakan unsur keindahan
kumpulan cerpen Samin. Pembaca diajak untuk melihat secara langsung kondisi
desa yang menjadi setting cerita, lengkap dengan keindahan dan kondisi
masyarakatnya.
Unsur semiotik yang paling banyak memberikan keindahan atau
keestetikan dari kumpulan cerpen Samin adalah penggunaan ikon dalam
menyampaikan ide cerita, terutama dalam menambah keindahan bahasa.
Pengarang tidak menuliskan secara langsung objek yang dimaksud, tapi
menyisipkan ciri dari objek lain yang memiliki kemiripan. Pengarang memilih
kata atau diksi yang me narik dan puitis sehingga menambah keindahan kumpulan
cerpen Samin, terutama dari segi kebahasaan, misalnya dalam kalimat “Peluit
petugas jaga melengking tajam. (hal. 15)”. Pengarang menggunakan kata
“melengking” (suara tinggi) yang biasa digunakan untuk menggambarkan suara
manusia atau binatang untuk menggambarkan suara peluit. Ini memberikan kesa n
puitis daripada diungkapkan secara langsung, misalnya dengan kalimat “peluit
yang ditiup petugas jaga bersuara tinggi dan keras”.
Pada cerpen Kembang Tebu, pengarang menyisipkan unsur ikon untuk
menunjukkan keindahan kebun tebu. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan:
Di samping suka bermain di areal tebu dan mengisap air manisnya, Agung
juga suka memandang kembang-kembang tebu yang menyembul laksana
mata tombak. Kembang-kembang ya ng keperak-perakkan itu, di mata
Agung tampak sangat indah. Apalagi bila angin berhembus sepoi,
kembang-kembang itu seperti menari, tak henti-henti. Agung selalu
berdecak kagum. (hal. 18)

Pada paragraf di atas terdapat unsur ikon yang digunakan pengarang, yaitu
pada kalimat “Apalagi bila angin behembus sepoi, kembang-kemba ng itu seperti
menari, tak henti-henti”. Pada kalimat tersebut, pengarang mengumpamakan
gerakan kembang tebu yang tertiup angin bagaikan gerak menari yang biasa
dilakukan oleh manusia. Penggunaan ikon dalam kalimat tersebut justru
menambah keindahan bahasa.

118
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Hal yang sama juga terdapat dalam cerpen Samin. Pengarang


menggunakan unsur ikon dalam menyampaikan keadaan desa yang menjadi
setting cerita. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini:
Kampungku adalah kampung yang tenang. Seperti telaga yang berada di
sunyi pegunungan. Ketenangannya bahkan tak pernah menghasilkan riak
atau ombak. Sesekali, memang, dipecahkan cipak ikan. Atau selembar
daun yang jatuh karena tak sanggup menahan berat embun. Namun
sesudah itu kembali sunyi. Kembali dihuni suara burung, cengkrik, lenguh
kerbau, kokok ayam, penggeret, serta teriakan-teriakan petani bekerja.(hal.
28)

Pengarang menggunakan kata “riak atau ombak” untuk menunjukkan


keributan atau kerusuhan, dan menunjukkan keributan kecil dengan “cipak ikan
atau selembar daun yang jatuh karena tak sanggup menahan berat embun”.
Penggunaan diksi yang seperti itu memberikan keindahan bahasa dalam cerpen
Samin.
Penggunaan ikon dan indeks dalam kumpulan cerpen Samin yang tersusun
atas bahasa yang indah dan puitis merupakan salah satu pendukung keindahan
karya tersebut. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Jakobson dalam
Rachmat Djoko Pradopo (2002: 89) bahwa fungsi estetik itu memproyeksikan
prinsip ekuivalensi (persejajaran, persamaan nilai) dari poros pemilihan ke poros
kombinasi. Penulis mem ilih kata-kata yang tepat, ekspresif, untuk melukiskan
perasaan dan pikirannya. Pemilihan itu disesuaikan dengan kata-kata
kombinasinya yang seharga atau senilai, baik arti maupun bunyinya.
Penciptaan rasa aneh terhadap pembaca dan prinsip ekuivalensi mampu
menimbulkan kebaruan ucapan dalam karya sastra sehingga menimbulkan daya
pesona dan kekaguman. Kebaruan dan kemampuan membuat pesona juga
merupakan salah satu kriteria estetik. (W ellek dan W arren dalam Rachmat Djoko
Pradopo, 2002: 90).
Atar Semi (1993: 76) menyatakan bahwa pada umumnya karya fiksi harus
memiliki tiga kriteria pokok, yaitu norma estetika, sastra, dan moral. Suatu karya
sastra dikatakan memiliki norma estetika bila karya sastra itu mencakup hal-hal
berikut:

119
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

a. Mampu menghidupkan atau memperbarui pengetahuan pembaca. M aksudnya


dengan membaca karya tersebut, pembaca dituntun untuk melihat berbagai
kenyataan hidup. Bacaan tersebut dapat memberikan pandangan dan orientasi
baru terhadap apa yang telah pembaca miliki dan mengajak pembaca melihat
hubungan-hubungan baru di antara butir-butir yang terpisah dalam ingatan.
Berdasarkan analisis ikon, indeks, dan simbol yang terdapat dalam kumpulan
cerpen Samin, dapat ditemukan makna semiotik yang terkandung dalam
kumpulan cerpen tersebut. Secara garis besar, kumpulan cerpen tersebut
mengisahkan tentang penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintahan masa
Orde Baru. Melalui kumpulan cerpen Samin, pengarang berusaha
menyampaikan kepada pembaca bahwa kebijakan yang diterapkan oleh
pemerintahan Orde Baru telah merugikan rakyat. Pembaca diajak menilik
kembali peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru.
b. Mampu membuat kehidupan pembaca menjadi lebih baik dan lebih kaya. Hal
ini maksudnya karya tersebut memperlihatkan tata kehidupan yang lebih baik
dan maju sebagai motivasi bagi pembaca untuk menuju ke arah yang lebih
baik. Dengan kata lain, karya sastra tersebut mampu membangkitkan aspirasi-
aspirasi pembaca untuk berpikir dan berbuat lebih banyak dan lebih baik.
Kumpulan cerpen Samin merupaka n upa ya pengarang menunjukkan
penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru. Setelah
membaca kumpulan cerpen ini, pembaca diharapkan dapat mengambil poin-
poin penting di dalamnya dan meresapinya untuk kemudian dapat
direfleksikan dalam kehidupan. Pembaca diajak berpikir lebih kritis dalam
menyikapi berbagai permasalahan kehidupan, terutama yang berkaitan dengan
sosial dan politik. Kumpulan cerpen Samin dapat memotivasi pembaca untuk
tidak hanya pasrah pada hidup, terutama yang berkaitan dengan kebijaka n
pemerintah. Masyarakat berhak mengeluarkan pendapat, sehingga tidak
mudah tertindas.
c. Mampu membawa pembaca lebih akrab dengan kebudayaannya. M aksudnya
karya sastra tersebut mengetengahkan keagungan budaya sendiri dan dapat
mengajak pembaca untuk lebih dekat dengan kebudayaannya. Peristiwa-

120
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

peristiwa yang terjadi dalam karya sastra tersebut dapat dilihat sebagai suatu
peristiwa kebudayaan, sosial, keagamaan, dan politik masa lalu yang
mempunyai rangkaian yang erat dengan peristiwa masa kini dan masa depan.
Kumpulan cerpen Samin merupakan bentuk kritik pengarang terhadap
penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru. Peristiwa-
peristiwa yang dikisahkan dalam kumpulan cerpen ini merupakan gambaran
umum keadaan masyarakat pada masa Orde Baru. Selain itu, kumpulan
cerpen Samin juga mengetengahkan tentang kehidupan masyarakat Jawa
le ngkap dengan keluguan dan adat istiadat mereka. Pengarang memang
sengaja mengambil kehidupan masyarakat Jawa sebagai latar cerita. Hal
tersebut dimaksudkan pengarang untuk menunjukkan budaya Jawa yang
sempat terabaikan. Bukan hanya adat-istiadat Jawa yang pengarang tampilkan
dalam kumpulan cerpen Samin, ia juga memasukkan beberapa bahasa Jawa ke
dalam tulisannya. Seorang ahli sastra yang menjadi narasumber dalam
penelitian ini menyatakan bahwa kesederhanaan dalam kumpulan cerpen
Samin itulah yang menjadi segi keestetikan utama, baik dari segi bahasa
maupun kisah yang diangkat. Penyisipan beberapa bahasa Jawa membuat
kumpulan cerpen tersebut indah dan menarik. Jika diganti dengan bahasa
Indonesia, justru tidak menjadi indah lagi. Hal ini disebabkan karena memang
pada dasarnya ada beberapa bahasa Jawa yang tidak mampu dialihkan ke
bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Jawa tersebut membuat kesan Jawanya
sangat terasa.

121
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. SIMPULAN

Penelitian ini mengkaji kumpulan cerpen Samin berdasarkan teori


semiotik Peirce, yaitu dengan mengidentifikasi dan menganalisis ikon, indeks, dan
simbol yang terdapat dalam kumpulan cerpen tersebut. Berdasarkan analisis data
dan pembahasan, dapat disimpulka n bahwa:
1. Ikon yang terdapat dalam kumpulan cerpen Samin berupa tanda yang memiliki
ciri yang hampir sama atau mirip dengan acuannya dari segi sifat maupun
perilaku. Indeks yang terdapat dalam kumpulan cerpen Samin berupa mimik
wajah yang menunjukkan perasaan tokoh dan deskripsi alam sekitar sebagai
setting tempat. Simbol yang terdapat dalam kumpulan cerpen Samin mengacu
pada hal-hal yang sudah dipahami oleh masyarakat pada umumnya. Simbol
yang terdapat dalam kumpulan cerpen ini berupa gerak anggota tubuh yang
menunjukkan bahasa nonverbal dan tanda yang memiliki ciri tertentu untuk
melambangkan hal lain. Berdasarkan hasil analisis ikon, indeks, dan simbol
tersebut, dapat diketahui makna sem iotik kumpulan cerpen Samin. Kumpulan
cerpen Samin merupakan bentuk kritik pengarang terhadap pemerintahan Orde
Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Beberapa judul cerpen seperti
Biru, Kembang Tebu, Jawa, Samin, Bedil, dan Dom mengisahkan tentang
keburukan atau penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru.
Beberapa judul cerpen yang lain seperti Mun, Pundhen, Patrem, dan Tuyul
memang tidak mengkhususka n pada masa Orde Baru, namun memiliki
kesatuan ide dengan cerpen lainnya, yaitu kritik terhadap sistem pemerintahan
atau politik.
2. Pengarang, yaitu Kusprihyanto Namma menggunakan sistem semiotik (ikon,
indeks, dan simbol) dalam menuangkan ide ceritanya karena ia tidak berani
menyampaikan kritiknya secara terang-terangan. Penggunaan ikon, indeks,
dan simbol dalam kumpulan cerpen Samin bertujuan untuk mengaburkan
kritik pengarang terhadap fenomena sosial atau politik.

122
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3. Penggunaan sistem semiotik (ikon, indeks, dan simbol) dalam kumpulan


cerpen Samin dapat menambah keestetikan karya. Penggunaan simbol
menunjukkan kekhasan pengarang yang unik dan mampu membuat pembaca
memiliki banyak tafsir. Penggunaan indeks yang disertai bahasa yang indah
membuat pembaca mampu mengimajinasikan tokoh dan setting dalam
kumpulan cerpen Samin. Penggunaan ikon mampu menambah keindahan
bahasa. Penggunaan ikon dan indeks dalam kumpulan cerpen Samin yang
tersusun atas bahasa yang indah dan puitis merupakan suatu bentuk prinsip
ekuivalensi. Penggunaan ikon, indeks, dan simbol dalam kumpulan cerpen
Samin mampu menimbulkan kebaruan ucapan dalam karya sastra sehingga
menimbulkan daya pesona dan kekaguman kepada pembaca.

B. IMPLIKASI
Hasil penelitian ini selain berimplikasi pada sastra, juga berimplikasi pada
pengajaran bahasa dan sastra Indonesia. Terhadap dunia sastra, penelitian ini
berimplikasi memberikan pengetahuan untuk memahami dan menemukan makna
semiotik yang terdapat dalam karya sastra, khususnya cerpen. M elalui penelitian
ini, pembaca dapat memahami makna sem iotik ya ng terkandung dalam kumpulan
cerpen Samin, sehingga dapat meresapi nilai-nilai yang terkandung di dalam
kumpulan cerpen tersebut.
Terhadap pengajaran bahasa dan sastra Indonesia, penelitian ini
memberikan implikasi menambah wawasan guru maupun siswa dalam
mengapresiasi karya sastra cerpen khususnya yang berkaitan dengan tema, makna,
dan amanat. Berdasarkan hasil penelitian ini, kumpulan cerpen Samin kurang
tepat digunakan sebagai bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia untuk siswa SD,
SMP, maupun SMA. Kumpulan cerpen ini membutuhkan upaya untuk
mengkritisi secara lebih dalam. Bahasa yang digunakan memang sederhana,
namun penceritaanya bersifat simbolis, sehingga siswa akan mengalam i kesulitan
dalam memahami kumpulan cerpen tersebut. Secara tekstual, beberapa judul
cerpen seperti Biru, Patrem, dan Tuyul lebih sederhana dibandingkan cerpen-
cerpen yang lain dan cukup sesuai dengan tingkat pemahaman siswa SMA.

123
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Mereka tidak akan terlalu mengalami kesulitan dalam menganalisis unsur intrinsik
cerpen-cerpen tersebut. Meskipun demikian, siswa belum mampu memaknai
secara lebih mendalam cerpen-cerpen tersebut.

C. SARAN
1. Bagi pembaca:
Pembaca sebaiknya tidak ha nya memaknai kumpulan cerpen Samin
hanya dari permukaan saja, tapi juga memaknai secara lebih mendalam agar
dapat menangkap hal yang sebenarnya ingin disampaikan pengarang. Untuk
itu, sebaiknya pembaca perlu mempelajari dan memahami ilmu semotik.
2. Bagi guru bahasa dan sastra Indonesia:
a. Seorang guru sebaiknya mem iliki pengetahuan mengenai semiotik,
sehingga dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia dapat
membimbing para siswa memahami makna sebuah karya sastra.
b. Jika ingin menggunakan kumpulan cerpen Samin sebagai sumber
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, sebaiknya guru harus hati-hati
dalam memilih cerpen yang sesuai dengan tingkat pemahaman siswa.
3. Bagi pengarang:
a. Kemasan kumpulan cerpen Samin sebaiknya dibuat lebih menarik dan
pendistribusiannya lebih diperhatikan, agar kumpulan cerpen Samin dapat
dinikmati oleh masyarakat Indonesia secara luas.
b. Pengarang sebaiknya memberikan keterangan terhadap kata-kata sulit
atau kata-kata berbahasa Jawa dalam kumpulan cerpen Samin, agar
kumpulan cerpen tersebut dapat dipahami oleh masyarakat Indonesia dari
berbagai daerah.

124
commit to user

Anda mungkin juga menyukai