TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Persalinan sectio caesarea adalah proses persalinan dengan melalui
pembedahan dimana irisan dilakukan pada perut (laparatomi) dan rahim
(hysterotomi) untuk mengeluarkan bayi (Sitorus, 2021). Section caesarea
umumnya dilakukan ketika proses persalinan normal melalui vagina tidak
memungkinkan karena berisiko kepada ibu dan bayi atau komplikasi medis
lainnya (Nurfitriani, 2017).
Istilah persalinan sectio caesarea berasal dari bahasa latin cedere yang
berarti memotong atau menyayat. Dalam ilmu obstetrik, istilah tersebut mengacu
pada tindakan pembedahan yang bertujuan melahirkan bayi dengan membuka
dinding perut dan rahim ibu (Sitorus, 2021).
Post dalam bahasa inggris adalah sesudah. Post sectio caesarea adalah suatu
kondisi sesudah dilakukan tindakan pembedahan yang meninggalkan bekas luka
sayatan pada dinding perut dan rahim untuk mengeluarkan janin.
2.1.2 Indikasi
Menurut Sitorus (2021), pada persalinan sectio caesaria ada indikasi-
indikasi yaitu:
a. Indikasi dari Ibu
1) Distosia, gangguan pada satu atau lebih faktor P (Power, Passage,
Passenger) yang berpengaruh buruk bagi ibu dan janin.
2) Distosia, kelainan his dimana kekuatan his tidak baik. Distosia ada
dua jenis yaitu inersia uteri primer yang terjadi pada awal fase laten
3) Usia
4) Kesempitan tulang panggul
5) Persalinan sebelumnya dengan Sectio Caesarea
6) Ketuban pecah dini
6
7
2.1.3 Klasifikasi
Menurut Triyanti et al., (2022) sectio caesarea diklasifikasikan menjadi 2
tipe, yaitu:
2.1.4 Komplikasi
Menurut Sulfianti et al., (2021) Banyak komplikasi yang dapat terjadi jika
dilakukan tindakan sectio caesarea, yaitu komplikasi jangka pendek dan jangka
panjang. Komplikasi jangka pendek terjadi sesaat setelah dilakukan tindakan
seperti:
a. Pendarahan
Pendarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedaha apabila
cabang arteri ikut terbuka. Darah yang hilang pada saat pembedahan
sectio caesarea dua kali lipat dibanding persalinan normal.
b. Infeksi Puerpereal/sepsis
9
Infeksi ini merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada
saat tindakan sectio caesarea. Penggunaan antibiotik profilaksis yang
kurang tepat merupakan faktor pemicunya. Gejala yang muncul akibat
infeksi terdapat gejala ringan seperti kenaikan suhu selama beberapa
hari selama masa nifas dan gejala berat.seperti peritonitis, sepsis, dan
sebagainya.
c. Luka kandung kemih
d. Embolisme paru
e. Kurang kuatnya parut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan
berikutnya bisa terjadi rupturuteri. Peristiwa ini banyak ditemui setelah
sectiocaesarea klasik.
f. Beberapa organ di abdomen seperti usus besar, kandung kemih,
pembuluh didalam ligamen yang lebar dan besar, ureter akan
cenderung mengalami cedera.
1) Uterus
Involusi merupakan proses kembalinya uterus pada kondisi sebelum
hamil. Proses involusi uterus adalah sebagai beikut:
a) Iskemia miometrium, disebabkan oleh kontraksi dan retraksi yang
terus menerus setelah pengeluaran plasenta sehingga membuat
uterus menjadi relatif anemi dan menyebabkan serat otot atrofi.
b) Atrofi jaringan terjadi akibat reaksi penghentian hormon esterogen
saat pelepasan plasenta.
c) Autolysis, proses penghancuran yang terjadi di dalam otot uterus.
Enzim proteolitik akan memendekkan jaringan otot yang telah
mengendur hingga panjangnya 10 kali panjang sebelum hamil dan
lebarnya 5 kali lebar sebelum hamil yang terjadi selama kehamilan.
Hal ini diakibatkan penurunan hormon estrogen dan progesteron.
d) Efek Oksitosin
Oksitosin menyebabkan terjadinya kontraksi dan retraksi otot
uterus sehingga akan menekan pembuluh darah yang
mengakibatkan berkurangnya pembuluh darah yang
mengakibatkan berkurangnya suplai darah ke uterus. Proses ni
membantu untuk mengurangi situs atau tempat implantasi plasenta
serta mengurangi perdarahan.
Perubahan uterus ini diketahui dengan pemeriksaan palpasi untuk
meraba tinggi fundus uteri. Selama 12 jam pertama post partum,
uterus mengalami kontraksi kuat dan teratur selama 2-3 hari
berikutnya. Uterus mengalami involusi dengan cepat selama 7-10
hari pertama dan selanjutnya involusi uteri berlangsung lebih
berangsur-angsur.
2) Lochea
Lochea adalah eksresi cairan rahim selama masa nifas. Lochea berbau
anyir dengan volume yang berbeda disetiap pasie. Total rata-rata
jumlah pengeluaran lochea sekitar 240-270 ml. Lochea juga berbau
tidak sedap menandakan adanya infeksi, lochea dibagi menjadi 6
yaitu:
a) Lochea Rubra
Lochea rubra keluar pada hari pertama sampa hari ke empat masa
post partum. Cairan yang keluar berwarna merah karena terisi
darah segar, jaringan sisa-sisa plasenta, dinding rahim, lemak bayi,
lanugo (rambut bayi), dan mekonium.
b) Lochea Sanguinolenta
Lochea yang berwarna merah kecoklatan dan berlendir yang
berlangsung hari ke-4 sampai hari ke-7 poost partum.
c) Lochea Serosa
Lochea berwarna kuning kecoklatan karena mengandung serum,
leukosit, dan laserasi plasenta hari ke-7 sampai hari ke-14.
d) Lochea Alba
Lochea cairan putih yang mengandung leukosit, sel desidua, sel
epitel, selaput lendir serviks, dan serabut jaringan yang mati yang
berlangsung selama 2-6 minggu setelah post partum.
e) Lochea Purulenta
Lochea ini terjadi karena adanya infeksi, sehinga cairan yang
keluar seperti nanah yang berbau busuk.
12
f) Lochiostatis
Pengeluaran lochea yang tidak lancar.
3) Serviks
Serviks mengalami involusi bersama uterus, setelah persalinan ostium
eksterna dapat dimasuki oleh 2-3 jari tangan, setelah 6 minggu post
natal serviks akan menutup. Selama dilatasi terjadi robekan kecil,
serviks tidak pernah kembali seperti keadaan sebelum hamil yang
berupa lubang kecil seperti jarum, namun serviks hanya dapat kembali
sembuh.
4) Payudara
Payudara lebih besar, kencang, dan mula-mula akan terasa nyeri tekan
sebagai reaksi terhadap perubahan status hormonal serta dimualinya
laktasi. Hal ini disebabkan karena karena suplai darah ke payudara
meningkat dan menyebabkan pembengkakan vaskular sementara, air
susu di produksi dan harus dikeluarkan secara efektif dengan cara
dihisap oleh bayi.
c. Perubahan Abdomen
Persalinan dengan cara operasi sectio caesarea terdapat luka post sectio
caesarea dengan berbagai bentuk insisi. Sehingga terdapat perubahan pada
pola pencernaan pasien post yang membutuhkan waktu sekitar 103 hari
agar fungsi saluran cerna dan nafsu makan kembali normal.
d. Perubahan Sistem Pencernaan
Sistem gastrointestinal selama kehamilan dipengaruhi oleh beberapa hal,
salah satunya adalah kadar progesteron yang tinggi sehingga mengganggu
keseimbangan cairan tubuh, meningkatkan kolesterol darah, dan
melambatkan kontraksi otot-otot polos. Setelah melahirkan maka kadar
progesteron akan menurun, sedangkan faal usus memerlukan waktu 3-4
hari untuk kembali normal. Pasca melahirkan secara sectio caesarea atau
normal ibu akan merasa lapar, pemulihan nafsu makan memerlukan waktu
3-4 hari sebelum faal kembali normal. Kadar progesteron menurun, asupan
makanan juga mengalami penurunan selama satu atau dua hari. Kelebihan
anastesi dapat memperlambat pengembalian tonus dan motilitas ke
13
a. Taking In
Fase ini terjadi pada hari ke-1 sampai hari ke-2, pada fase ini fokus
perhatian pada diri sendiri, mungkin pasif dan ketergantungan. Pada fase
ini ibu mengalami kelelahan, sehingga perlu tidur yang cukup. Fase ini
memahami ibu untuk tetap menjaga komunikasi dengan baik, memberikan
makanan yang ekstra untuk proses pemulihan, dan memberikan informasi
mengenai kondisi bayi.
b. Taking Hold
Fase ini terjadi pada hari ke-3 sampai hari ke-10, timbul kekhawatiran
tidak mampu merawat bayi. Pada fase ini perasaan ibu sangat sensitif
sehingga mudah tersinggung jika komunikasi kurang terjalin dengan baik.
fase ini juga perlu memperhatikan kemampuan fungsi tubuh, seperti buang
air kecil dan buang air besar, aktivitas mobilisasi, perawatan diri dan bayi.
Pada fase ini diperlukan dukungan khususnya dukungan suami.
c. Letting Go
Fase ini terjadi setelah hari ke-10 post partum. Pada fase ini yaitu fase
menerima tanggung jawab akan peran barunya, sehingga ibu sudah mulai
mampu menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya. Pada fase ini
juga ibu lebih percaya diri menjalani peran barunya, lebih mandiri dalam
memenuhi kebutuhan.
b. Golongan darah
Persiapan untuk transfusi darah (bila dibutuhkan) dan untuk
mengetahui kecocokan rhesus. Jika seorang wanita mempunyai rhesus
negatif saat hami dan suami mempunyai rhesus positif sedangkan anak
yang dikandung rhesus positif maka secara alami ibu akan
menghasilkan antibodi yang menyerang darah janin dan menyebabkan
sel darah merah janin menjadi rusak sehingga janin mengalami
anemia, kerusakan otak dan jantung. Sehingga perlu diberikan suntikan
imunoglobin yang berguna untuk pembentukan antibodi yang dapat
menyerang darah janin.
c. Hemoglobin/hematokrit
Untuk mengkaji perubahan dari kadar pra operasi dan mengevaluasi
efek kehilangan darah pada pembedahan.
d. Leukosit
Pemeriksaan leukosit berfungsi untuk menandakan adanya proses
infeksi yang terjadi. Pada pasien post sectio caesarea normal
terjadinya peningkat leukosit karena tubuh saat operasi kemungkinan
terpapar oleh kuman, baik dari lingkungan atau dari tubuh sendiri (air
ketuban, darah, cairan lain) atau alat yang digunakan yang kurang
steril.
e. Jumlah darah lengkap
Untuk memantau kondisi ibu post sectio caesarea secara berkala.
f. Urinalisa
Urinalisa atau tes urine merupakan salah satu pemeriksaan yang
dilakukan untuk mendeteksi penyakit atau kondisi kesehatan lainnya.
g. USG
Menilai jumlah dan kekeruhan air ketuban, derajat maturitas plasenta,
besarnya janin, dan keadaan janin.
h. Pemantauan EKG
Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainan-
kelainan pada irama jantung atau gagguan yang mungkin dialami oleh
17
jantung. Selain itu juga untuk memantau aktivitas listrik jantung yang
dilakukan sebelum operasi.
i. Elektrolit
Pemeriksaan elektrolit untuk mendeteksi adanya gangguan elektrolit.
2.1.8 Patofisiologi
Ada beberapa hambatan atau kelainan pada proses persalinan yang
menyebabkan bayi tidak lahir spontan atau lahir secara normal, misal disebabkan
oleh panggul sempit, plasenta previa, ruptureuteri yang mengancam, partus lama,
preeklampsia, distosia serviks, dan malpresesntasi janin sehingga dilakukan
persalinan dengan cara sectio caesarea. Tindakan anestesi diberikan dalam
operasi sectio caesarea yang menyebabkan pasien mengalami imobilisasai, yang
efeknya menyebabkan masalah gangguan mobilitas fisik. Efek dari anastesi juga
menyebabkan terjadinya konstipasi.
Informasi yang kurang mengenai proses pembedahan, penyembuhan, dan
perawatan post operasi akan menimbulkan masalah ansietas. Pada proses
pembedahan juga dilakukan tindakan insisi pada dinding abdomen sehingga
menyebabkan terputusnya inkontinuitas jaringan merangsang area sensorik yang
merangsang pengeluaran histamin dan prostaglandin yang akan menimbulkan rasa
tidak nayaman dikarenakan rasa nyeri (nyeri akut) yang timbul setelah proses
pembedahan berakhir. Setelah proses pembedahan selesai daerah insisi ditutup
dan menimbulkan luka post sectio caesarea yang apabila tidak dirawat dengan
baik dan benar akan menyebabkan risiko infeksi. Pada masa post partum hormon
progesteron dan estrogen akan mengalami penurunan dan terjadi kontraksi uterus
dan involusi tidak adekuat sehingga terjadi perdarahan dan bisa menyebabkan
risiko syok, hemoglobin menurun dan kekurangn oksigen mengakibatkan
kelemahan dan menyebabkan defisit perawatan diri. Setelah kelahiran bayi maka
prolaktin dan oksitosin meningkat menyebabkan efeksi ASI, efeksi ASI yang
tidak adekuat menimbulkan masalah ketidakefektifan pemberian ASI pada bayi
(Ferinawati & Hartati, 2019a).
18
2.1.9 Penatalaksanaan
pulih dengan cepat. Dalam operasi caesar terdapat dua sayatan, sayatan
pertama dilakukan dibagian perut dan sayatan ke dua di rahim untuk
mengeluarkan bayi. Kemudian sayatan akan ditutup dengan jahitan, untuk
bagian rahim atau uterus luka sayatan ditutup dengan menggunakan
benang jahit yang dapat diserap oleh tubuh sehingga menyatu dengan
jaringan otot rahim. Sementara untuk menutup luka sayatan pada perut,
menggunakan benang jahitan yang tidak dapat menyatu dengan daging.
Oleh karena itu, setelah 7 hari pasca operasi ibu kembali ke rumah sakit
untuk mengontrol jahitan operasi caesar.
b. Perawatan Luka Sectio Caesarea di Rumah
Luka operasi memiliki panjang 10-15 cm, jika luka operasi tidak terjadi
infeksi maka luka operasi akan menutup dan pulih dalam waktu ± 6
minggu. Hal yang sering terjadi pada ibu post caesarea dalam 48 jam yaitu
mual, sulit bergerak, gatal, dan sedikit perih pada luka operasi. Untuk
menghindari terjadinya luka infeksi pada luka jahitan operasi caesar maka
perlu dilakukan perawatan, yaitu:
1) Membersihkan luka sayatan dengan teratur
2) Menggunakan pakaian yang nyaman dan longgar
3) Mempertahankan agar luka operasi tetap kering atau tidak basah
4) Menghindari aktifitas fisik yang berat
5) Konsumsi obat penghilang rasa sakit dan antibiotik sesuai dengan resep
dokter hingga waktu kontrol ke layanan kesehatan.
6) Mengedukasi terkait tanda dan gejala infeksi. Beberapa minggu
kemudian, luka sayatan akan berubah warna menjadi kemerahan hal itu
menandakan bahwa luka jahitan operasi sudah berangsur membaik.
Namun apabila terjadi pembengkakan di area sekitar luka atau
mengeluarkan pus atau nanah, maka tanda terjadinya infeksi.
22
Bekas luka caesarea terdiri dari dua komponen yaitu bagian hypoechoic
pada bekas luka dan jaringan parut pada miometrium yang dinilai sebagai
ketebalan miometrium residual (KMR). Ketebalan seluruh segmen bawah rahim
(SBR) diukur dengan menggunakan transabdominal sonografi, sementara lapisan
otot diukur dengan menggunakan transvaginal sonografi (TVS). Ketebalan SBR
harus dievaluasi karena berperan sebagai predikator terjadinya rupture uteri
(Suryawinata et al., 2019).
2.2.3 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada pasca sectio caesarea adalah
infeksi jahitan. Akibat dari infeksi tersebut maka luka bekas sectio caesarea akan
terbuka dalam minggu pertama pasca operasi. Luka yang terbuka di kulit atau
23
subkulit atau sampai fascia atau disebut dengan bust abdomen. Selain itu juga bisa
mengakibatkan rupture uteri (Juliathi et al., 2021).
Menurut Sihotang & Yulianti (2018) proses penyembuhan luka terdiri dari
tiga fase, yaitu :
a. Inflamasi, penyembuhan luka pada fase ini terjadi pada hari ke-5 setelah
pembedahan. Fase ini terjadi secara singkat apabila tidak terjadi infeksi.
b. Poliferasi (epitelasi), setelah luka bersih dari bakteri maka akan terbentuk
jaringan baru yang disebut dengan jaringan parut. Proses dalam fase ini
akan membuat bekas luka yang terlihat merah akan memudar.
c. Maturasi (Remodeling), fase menguatkan jaringan baru terbentuk.
Namun proses penyembuhan luka ini dipengaruhi oleh usia, anemia,
penyakit penyerta, vaskularisasi, nutrisi, kegemukan, obat-obatan,
mobilisasi dini, personal hygiene, dan stres.
2.2.5 Indikasi
Pada kehamilan sebelumnya melakukan sectio caesarea dan pada
kehamilan selanjutnya dapat melakukan persalinan dengan dua cara yaitu
pervagina atau sectio caesarea. Hal ini berdasarkan oleh syarat klinis yang harus
terpenuhi apabila ibu dengan riwayat sectio caesarea akan melakukan persalinan
pervagina untuk membatasi ibu hamil dalam pemilihan persalinan.
Ibu hamil yang berhasil menjalani vaginal birth after caesarean delivery
(VBAC) memiliki beberapa keuntungan dibandingkan ibu yang melakukan sectio
caesarea berulang yaitu mengurangi risiko perdarahan, penurunan risiko
tromboemboli, serat durasi perawatan yang lebih singkat. Apabila wanita dengan
riwayat sectio caesarea satu kali dengan insisi melintang rendah (low transverse
incision) dapat dipertimbangkan untuk persalinan pervagina, serta jarak antara
kelahiran >18 bulan dan tidak adanya kontraindikasi untuk persalinan pervagina
seperti plasenta previa dan letak lintang.
caesarea > 1 kali, riwayat insisi caesar klasik atau insisi “T”, riwayat operasi
transfundal yang ekstensif, riwayat rupture uteri, dan gangguan plasenta, serta
usia pasian > 40 tahun, IMT yang tinggi, dan ketebalan uterus kurang baik
(Rezeki & Sari, 2018).
2.3.1 Definisi
Ketuban pecah dini atau premature rupture of membrane/PROM merupakan
pecahnya selaput ketuban sebelum proses persalinan dimulai. Ketuban pecah dini
preterm atau preterm premature rupture of membrane/PPROM adalah selaput
ketuban yang pecah sebelum usia kehamilan 37 minggu. Ketuban pecah dini
adalah apabilah ketuban pecah secara spontan tanpa diikuti tanda-tanda persalinan
seperti adanya pembukaan serviks akibat dari kontraksi uterus, pengeluaran lendir
yang bercampur dengan darah. Ketuban pecah dini terjadi pada kehamilan aterm
maupun pada kehamilan preterm (I. K. Su. Negara, 2021).
2.3.2 Etiologi
Penyebab ketuban pecah dini masih belum diketahui dan tidak dapat
ditentukan secara pasti. Namun, kemungkinan yang menjadi faktor predisposisi
adalah (Tahir, 2021):
a. Infeksi
1) Amnionitis atau korioamnionitis
Korioamnionitis adalah keadaan pada perempuan hamil dimana
korion, amnion, dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri. Hal ini
merupakan komplikasi serius yang dapat menyebabkan sepsis.
2) Infeksi genetalia
Hal ini menjadi salah satu penyebab terjadinya ketuban pecah dini dan
persalinan preterm. Terutama ketika dilakukan pemeriksaan pH vagina
25
2.3.4 Klasifikasi
MenurutI. K. Su. Negara (2021) berdasarkan usia kehamilan, ketuban
pecah dini diklasifikasikan menjadi dua yaitu:
2.3.6 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang sering ditimbulkan karena terjadinya ketuban
pecah dini diantaranya adalah (K. S. Negara, Mulyana, & Pangkahila, 2017):
a. Persalinan premature
Setelah ketuban pecah disusul oleh persalinan, periode laten tergantung
dengan usia kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24 jam
setelah ketuban pecah, sedangkan pada kehamilan antara 28-34 minggu
50% persalinan dalam 24 jam, dan pada kehamilan < 26 minggu
persalinan seringkali terjadi dalam kurun waktu 1 minggu.
b. Infeksi
Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah dini. Pada ibu
akan terjadi korioamnionitis, sedangkan pada bayi dapat terjadi
septikemia, pneumonia, omfalitis. Umumnya terjadi korioamnionitis
sebelum janin tersebut terinfeksi. Infeksi ini lebih sering terjadi pada aterm
dibandingkan dengan preterm.
28
2.3.7 Patofisiologi
Pecahnya selaput ketuban disebabkan oleh hilangnya elastis pada daerah
tepi robekan selaput ketuban. Hilangnya elastis selaput ketuban berkaitan dengan
jaringan kolagen yang dapat terjadi akibat penipisan oleh infeksi atau rendahnya
kadar kolagen. Kolagen pada selaput terdapat pada amnion di daerah lapisan
kompakta, fibrolas serta pada korion di daerah lapisan retikuler atay trofoblas.
kotion, dan apoptosis membran janin. Membran janin dan desidua bereaksi
terhadap stimuli seperti infeksi dan peregangan selaput ketuban dengan
memproduksi mediator seperti prostaglandin, sitokinin, dan protein hormon yang
merangsang aktivtas matriks degrading enzyme (K. S. Negara et al., 2017).
a. Pemeriksaan Laboratorium
Melakukan pemeriksaan cairan yang keluar dari vagina berupa warna,
konsentrasi, bau, dan pH. Cairan yang keluar dari vagina bisa berupa air
ketuban, urine, atau sekret vagina. pH sekret vagina hamil 4-5, dengan
kerta nitrazin tidak berubah warna tetap kuning, namun ketika kertas
lakmus merah berubah menjadi biru maka menunjukkan adanya air
ketuban (alkalisis). pH air ketuban 7-7.5 darah dan infeksi vagina
menghasilkan tes positif palsu.
b. Pemeriksaan Ultrasonografi
Untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam cavum uteri. Pada ketuban
pecah dini jumlah cairan ketuban yang sedikit, namun sering terjadi
kesalahan pada penderita oligohidramnion.
2.3.9 Penatalaksanaan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan ketuban pecah dini
yaitu memastikan diagnosis, menentukan usia kehamilan, mengevaluasi ada tidak
infeksi maternal atau janin, keadaan inpartu/kegawatan janin (K. S. Negara et al.,
2017).
2.4.1 Definisi
Preekampsia adalah kelainan multi sistemik yang terjadi pada kehamilan
yang ditandai dengan adanya hipertensi dan edema serta adanya proteinuria yang
terjadi pada usia kehamilan 20 minggu ke atas atau kehamilan trimester ketiga,
31
preeklampsia lebih sering terjadi pada kehamilan 37 minggu atau bisa terjadi
setelah persalinan (Lalenoh, 2018).
Preekampsia merupakan sindroma spesifik kehamilan yang terutama
berkaitan dengan berkurangnya perfusi orang akibat vasospasme dan aktivasi
endotel, yang bermanifestasi dengan adanya peningkatan tekanan darah dan
proteinuria. Preeklampsia dapat berkembang dari ringan, sedang, sampai dengan
berat, yang dapat berlanjut menjadi eklampsia (Lalenoh, 2018).
2.4.2 Etiologi
Sampai saat ini belum diketahui secara jelas penyebab terjadinya
preeklampsia, namun ada yang menyatakan bahwa preeklampsia dapat terjadi
pada kelompok tertentu diantaranya yaitu ibu yang mempunyai faktor penyebab
dari dalam diri seperti usia ibu, dikarenakan semakin bertambah usia ibu maka
lebih rentan untuk terjadinya peningkatan hipertensi kronis dan menghadapi risiko
lebih besar untuk menderita hipertensi karena kehamilan, riwayat kehamilan,
riwayat melahirkan, keturunan, riwayat preeklampsia (Pratiwi, 2020).
Menurut Ekasari & Natalia(2019b), terdapat teori yang menjadi penyebab
dari preeklampsia, yaitu:
a. Abnormalitas invasi tropoblas
Invasi tropoblas yang kurang sempurna maka akan terjadi kegagalan
remodelinga spiralis. Hal ini mengakibatkan darah menuju lakuna
hemokorioendotel mengalir kurang optimal dan bila jangka waktu lama
mengakibatkan hipooksigenasi atau hipoksia plasenta. Apabila hipoksia
dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan kerusakan endotel pada
plasenta yang menambah berat hipoksia. Kerusakan vaskular selanjutnya
akan terlepas dan masuk ke dalam darah ibu yang menyebabkan gejala
klinis preeklampsia.
b. Maladaptasi imunologi antara maternal-plasenta (paternal)-fetal.
Pada trimester kedua memungkinkan wanita akan terjadi preeklampsia.
Hal ini disebabkan karena reaksi inflamasi yang distimulasi oleh mikro
partikel plasenta dan adiposit.
c. Maladaptasi kardiovaskular atau perubahan proses inflamasi dari proses
kehamilan normal
32
d. Faktor genetik
Preeklampsia adalah penyakit multifaktorial dan poligenik. Predisposisi
herediter untuk preeklamsia mungkin merupakan hasil interaksi dari
ratusam gen yang diwariskan baik secara maternal ataupun paternal yang
mengontrol fungsi enzimatik dan metabolism pada setiap sistem organ.
Faktor plasma yang diturunkan dapat menyebabkan preeklampsia.
e. Faktor nutrisi, kurangnya intake anti oksidan.
Mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan yang tinggi antioksidan
umumnya dihubungkan dengan turunnya tekanan darah.
2.4.5 Klafisikasi
Menurut Ekasari & Natalia, (2019) preeklampsia dibagi menjadi 2
klasifikasi yaitu:
a. Preeklampsia ringan
Preeklampsia ringan yaitu hipertensi yang timbul setelah umur kehamilan
lebih dari 20 minggu atau segera mendekati persalinan yang disertai
dengan adanya proteinuria, akan tetapi dapat timbul pada usia kehamilan
sebelum 20 minggu. Tanda-tanda dari preeklampsia ringan, yaitu:
1) Kenaikan tekanan darah diastolik 15 mmHg atau lebih dari 90 mmHg
dengan dua kali pengukuran berjarak 1 jam atau tekanan diastolik
sampai 110 mmHg
2) Kenaikan tekanan darah sistolik 30 mmHg atau mencapai 140 mmHg
34
2.4.6 Patofisiologi
Pada kehamilan normal, uterus dan plasenta akan mendapatkan perfusi
dari cabang arteri uterine dan arteri ovarika yang menembus miometrium dan
selanjutnya menjadi arteri arkuata dan bercabang menjadi arteri radialis yang akan
menembus endometrium menjadi arteri basalis yang bercabang menjadi arteri
spiralis.
hipoksia dan iskemia plasenta. Hal ini akan menimbulkan perubahan pada
hipertensi dalam kehamilan. Disfungsi endotel ditandai dengan kadar fibronektin
meningkat, faktor vonWillebrand, t-PA dan PAI-1 yang merupakan marker dari
sel-sel endotel.
2.4.7 Komplikasi
Menurut Lalenoh (2018), komplikasi yang tersebut di bawah ini biasanya
terjadi pada preeklampsia berat adalah :
a. Solusio Plasenta
Hal ini biasanya terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut dan lebih
sering terjadi pada preeklampsia.
b. Eklampsia
Timbul kejang pada perempuan preeklampsia sampai mengalami
eklampsia dan koma.
c. Sindrom HEELP
Hal ini terjadi karena peningkatan enzim hati dan penurunan trombosit,
peningkatan enzim kemungkinan disebabkan oleh nekrosis hemoragik
periporta di bagian perifer lobus hepar.
d. Ablasi Retina
36
2.4.8 Pencegahan
Menurut Hasliani & Rahmawati (2019), pencegahan atau diagnosis dapat
mengurangi kejadian dan menurunkan angka kesakitan dan kematian. Untuk
mencegah terjadinya preeklampsia ringan yaitu melakukan edukasi berupa:
a. Diet makanan
37
2.4.9 Penatalaksanaan
MenurutMuaningsih et al., (2020)penatalaksanaan preeklampsia sebagai
berikut:
rawat jalan dengan memonitor tekanan darah, kondisi janin, dan refleks
janin. Anjurkan untuk lebih banyak istirahat dan diet.
c. Penatalaksaan preeklampsia ringan yang di rawat di rumah sakit yaitu
diet biasa, memonitor tekanan darah sehari dua kali dan proteinuria satu
kali sehari, diuretik diberikan apabila ada edema paru,
dekompensasikordis maupun gagal ginjal akut. Jika tekanan darah
sistolik normal maka klien dapat dipulangkan untuk rawat jalan dan
ajarkan untuk memantau terjadinya preeklampsia berat. Namun jika
terdapat pertumbuhan janin terhambat maka pertimbangkan untuk
terminasi kehamilan. Jika proteinuria meningkat, maka tangani sesuai
penanganan preeklampsia berat, jika kehamilan > 37 minggu
pertimbangkan untuk terminasi kehamilan.
d. Penatalaksanaan preeklampsia berat yaitu pemberian obat anti
hipertensi (nifedipin), gluko kortikoid untuk pematangan paru janin,
obat anti kejang (magnesium sulfat/mgso4) dengan syarat terpenuhi
yaitu tersedianya antidotu MgSo4 yaitu kalsium glukonas untuk
persiapan jika terjadinya intoksikasi (hiporefleksia, frekuensi napas <
12 kali/menit, hipotensi, letargi), berikan oksigen 4-6 lpm setelah klien
kejang.
Pada terapi relaksasi benson ini cukup efektif dalam memunculkan keadaan
tenang dan rileks sehingga menstabilkan tekanan darah khususnya pada ibu hamil
dengan hipertensi sekaligus mengurangi kecemasan. Respon relaksasi benson ini
berkaitan dengan hipotalamus pituitary adrenal axis. Ketika tubuh dalam keadaan
rileks, maka axis hipotalamus pituitary adrenal akan mengurangi kadar kortisol,
epinefrin, dan norepinefrin dalam menurunkan tekanan darah dan frekuensi nadi
(Mulyani Nunung et al., 2021).
Menurut Satriana & Feriani (2020) manfaat terapi relaksasi benson yaitu
menurunkan stress, menurunkan tekanan darah, mengurangi rasa nyeri,
mengalami gangguan pola tidur, membantu merileksan tubuh, dan meningkatkan
kesehatan serta membantu individu untuk mengontrol diri dan memfokuskan
perhatian sehingga dapat mengambil respon yang tepat saat di dalam keadaan
yang menegangkan.
Terapi relaksasi benson berfokus pada kata atau kalimat tertentu yag
diucapkan beberapa kali dengan ritme yang teratur dan disertai dengan sikap
pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa sambil menarik napas dalam. Pernapasan
yang panjang mampu memberikan energi yang cukup, karena ketika
menghembuskan napas mengeluarkan karbondioksida dan pada saat menghirup
napas mendapatkan oksigen yang membantu tubuh dalam membersihkan darah
dan mencegah kerusakan jaringan otak akibat kekurangan oksigen. Pada saat
menghirup udara maka otot pada dinding perut akan menekan iga bagian bawah
ke belakang serta mendorong sekat diafragma ke atas sehingga menyebabkan
tingganya tekanan intra abdominal sehingga merangsang aliran darah balik vena
cava inferior atau aorta abdominalis yang menyebabkan aliran darah meningkat
keseluruh tubuh terutama pada organ-organ vital seperti otak, sehingga oksigen
tercukupi ke dalam otak dan tubuh akan menjadi rileks (Fithriana, Firdiyanti, &
Zilfiana, 2018).
a. Pengkajian
Pengkajian adalah pengumpulan data secara lengkap dan sistematis untuk
dikaji dan dianalisis sehingga masalah kesehatan dan keperawatan yang
dihadapi pasien baik secara fisik, mental, sosial, maupun spiritual.
1) Biodata klien
Mengkaji identitas klien dan pasangan klien yang meliputi nama,
umur, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, pernikahan, lama
pernikahan, agama, suku, no. Rekam medis, sumber informasi dan
tanggal dilakukan pengkajian.
2) Keluhan utama
Keluhan yang dirasakan klien pada saat pengkajian untuk menentukan
priortas intervensi keperawatan, keluhan utama pada post sectio
caesarea biasanya adanya nyeri pada bagian abdomen, pusing, dan
sakit pinggang.
3) Riwayat Kesehatan
Penyakit ibu sekarang dan riwayat penyakit yang lalu yang perlu
dikaji, mengkaji ibu menderita penyakit akut atau kronis, penyakit
keturunan, penyakit menular yang pernah diderita keluarga. Kemudian
mengkaji riwayat obstetri dan gynekologi ibu yang meliputi riwayat
menstruasi termasuk menerche. Riwayat antenatal care juga perlu
dikaji, status obstetric ibu, riwayat persalinan yang lalu, riwayat
perkawinan serta riwayat permakaian alat kontrasepsi.
4) Pola aktifitas sehari-hari
a) Makan dan minum meliputi komposisi makanan, frekuensi, baik
sebelum dan saat dirawat di rumah sakit. Makanan pada masa
post sc harus bermutu dan bergizi, cukup kalori, makanan yang
mengandung protein, banyak cairan, sayur-sayuran, dan buah-
buahan. Termasuk mengalami peningkatan berat badan atau tidak.
41
g) Payudara
Simetris antara kanan dan kiri, tidak ada kelainan pada payudara,
aerola, puting inverted atau eksverted, air susu menetes, lancara
atau tidak keluar
h) Paru-paru
Inspeksi : simetris antara kanan dan kiri, ada pembengkakan atau
tidak, gerakan saat inspirasi dan ekspirasi seirama, tidak terdapat
otot bantu napas, tidak terdapat jejas, tidak terdapat lesi
Palpasi : ada nyeri tekan atau tidak, teraba massa atau tidak
Perkusi : redup atau sonor
Auskultasi : suara napas vesikuler atau terdapat suara napas
tambahan (wheezing atau ronkhi)
i) Jantung
Inspeksi : bentuk simetris, tidak terdapat jejas, ictus cordis teraba
atau tidak
Palpasi : ictus cordi terabata atu tidak di intra costae, tidak terdapat
nyeri tekan
Perkusi : redup atau tympani
Auskultasi : bunyi jantung lup dup atau ada suara tambahan
j) Abdomen
Inspeksi : apakah terdapat luka jahitan post operasi, bentuk luka,
panjang luka, tertutup oleh kassa atau tidak, ada strie gravidarium
atau tidak
Palpasi : terdapat nyeri tekan pada luka atau tidak, konsistensi
uterus lembek atau keras
Perkusi : redup
Auskultasi : bising usus
k) Genetalia
Pengeluaran darah ada atau tidak, darah keluar berapa banyak dan
berwarna apa, terdapat luka pada jalan lahir atau tidak
l) Ekstremitas
43
nutrisi
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian imunisasi,
Jika perlu
3 Gangguan mobilitas fisik Dukungan mobilisasi (I. 05173)
b.d nyeri (D. 0054) Observasi
- Identifikasi adanya nyeri atau
keluhan fisik lainnya
- Identifikasi toleransi fisik
melakukan pergerakan
- Monitor frekuensi jantung dan
tekanan darah sebelum memulai
mobilisasi
- Monitor kondisi umum selama
melakukan mobilisasi
Terapeutik
- Fasilitasi aktivitas mobilisasi
dengan alat bantu (mis. Pagar
tempat tidur)
- Fasilitasi melakukan pergerakan,
jika perlu
- Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan
Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur
mobilisasi
- Anjurkan melakukan mobilisasi
dinI
- Ajarkan mobilisasi sederhana
yang harus dilakukan (mis.
Duduk di tempat tidur, duduk
disisi tempat tidur, pindah dari
tempat tidur ke kursi)
4 Defisit perawatan diri b.d Dukungan Perawatan Diri (I.
kelemahan (D. 0109) 11348)
Observasi
- Identifikasi kebiasaan aktivitas
perawatan diri sesuai usia
- Monitor tingkat kemandirian
- Identifikasi kebutuhan alat bantu
kebersihan diri, berpakaian,
berhias, dan makan
Terapeutik
- Sediakan lingkungan yang
teraupetik (mis. Suasana hangat,
rileks, privasi)
- Siapkan keperluan pribadi (mis.
47
Terapeutik:
- Atur Interval pemantauan
respirasi sesuai kondisi pasien
- Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
- Informasikan hasil pemantauan,
jika perlu
11 Gangguan eliminasi urine Manajemen Eliminasi Urin (I.
b.d efek tindakan medis 04152)
dan diagnostik (D. 0040) Observasi:
- Identifikasi tanda dan gejala
retensi atau inkontinensia urin
- Identifikasi faktor yang
menyebabkan retensi atau
inkontinensia urin
- Monitor eliminasi urin (mis.
Frekuensi, konsistensi, aroma,
volume, dan warna)
Terapeutik:
- Catat waktu-waktu haluaran
berkemih
- Batasi asupan cairan, jika perlu
- Ambil sampel urin tengah
(midstream) atau kultur
Edukasi:
- Ajarkan tanda dan gejala infeksi
saluran kemih
- Ajarkan mengukur asupan cairan
dan haluaran urin
- Anjarkan mengambil spesimen
urine midstream
- Ajarkan mengenali tanda
berkemih dan waktu yang tepat
untuk berkemih
- Ajarkan terapi modalitas
penguatan otot-otot panggul atau
berkemihan
- Anjurkan minum yang cukup,
jika perlu tidak ada kontraindikasi
Kolaborasi:
- Kolaborasi pemberian obat
suppositoria, jika perlu
12 Resiko ketidakseimbangan Manajemen Cairan (I.03098)
cairan d.d perdarahan (D. Observasi
0036) - Monitor status hidrasi (mis.
53
e. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan fase kelima atau fase terakhir dalam proses
keperawatan. Evaluasi adalah aktivitas yang direncanakan, berkelanjutan,
dan terarah ketika klien dan perawatn menentukan kemajuan klien menuju
pencapaian tujuan atau hasil dan keefektifan rencana asuhan keperawatan
Ibu : obesitas, terpapar - Tekanan darah tinggi
Ibu : IMT obesitas, -Infeksi amnionitis, vilikorionik, usia, - Usia Ibu > 30 tahun
genetalia Riwayat Sectio
riwayat KPD, primigravida, kehamilan - Riwayat Kehamilan
- Serviks inkompetensia Caesarea
nulipara, pendidikan ganda, riwayat PEB - Riwayat PEB
rendah, pekerjaan, - Trauma hubungan
riwayat prematuritas, seksual Bekasa Sectio
kehamilan ganda - Overdistensi uterus Preeklampsia
- Kelainan letak janin Caesarea
Ibu tidak
mengetahui Air ketuban terlalu Perfusi Uteroplasenter ↓
penyebab dan banyak keluar
Post anastesi Insisi
akibat KPD
Maladaptasi uterus Hipoksia Plasenta
Distoksia Penurunan kerja pons Jaringan
Defisit kontinuitas Pertumbuhan
Pengetahuan Iskemia
terputus plasenta terganggu
Laserasi
Peristaltik usus ↓
jalan lahir
Pelepasan Lahir premature
Luka Post
Kecemasan Jaringan tropoblastik
Konstipasi Operasi
Risiko Infeksi ibu pada janin
Paru Janin belum
Kurang Endoteliosis
Merangsang area terbentuk sempurna
Ansietas proteksi pada glomerulus
sensorik
Nyeri Akut
Permeabilitas Kerja napas ↑
Gangguan Pola Nyeri Akut Invaksi bakteri
Tidur kapiler terhadap
protein ↑ Pola Napas Tidak
Gangguan
Resiko Efektif
Rasa Nyaman Gangguan Infeksi Proteinuria
Mobilitas Fsik
40
4
Kadar albumin
Produksi urine ↓ darah ↓
Tekanan onkotik
Gangguan
plasma ↓
Eliminasi
Urine
Perpindahan
cairan
intravaskular ke
intersisial
Edema di
paru-paru
Sesak napas
Gangguan
Pertukaran
Gas
4