Anda di halaman 1dari 52

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Post Sectio Caesarea

2.1.1 Definisi
Persalinan sectio caesarea adalah proses persalinan dengan melalui
pembedahan dimana irisan dilakukan pada perut (laparatomi) dan rahim
(hysterotomi) untuk mengeluarkan bayi (Sitorus, 2021). Section caesarea
umumnya dilakukan ketika proses persalinan normal melalui vagina tidak
memungkinkan karena berisiko kepada ibu dan bayi atau komplikasi medis
lainnya (Nurfitriani, 2017).
Istilah persalinan sectio caesarea berasal dari bahasa latin cedere yang
berarti memotong atau menyayat. Dalam ilmu obstetrik, istilah tersebut mengacu
pada tindakan pembedahan yang bertujuan melahirkan bayi dengan membuka
dinding perut dan rahim ibu (Sitorus, 2021).
Post dalam bahasa inggris adalah sesudah. Post sectio caesarea adalah suatu
kondisi sesudah dilakukan tindakan pembedahan yang meninggalkan bekas luka
sayatan pada dinding perut dan rahim untuk mengeluarkan janin.

2.1.2 Indikasi
Menurut Sitorus (2021), pada persalinan sectio caesaria ada indikasi-
indikasi yaitu:
a. Indikasi dari Ibu
1) Distosia, gangguan pada satu atau lebih faktor P (Power, Passage,
Passenger) yang berpengaruh buruk bagi ibu dan janin.
2) Distosia, kelainan his dimana kekuatan his tidak baik. Distosia ada
dua jenis yaitu inersia uteri primer yang terjadi pada awal fase laten
3) Usia
4) Kesempitan tulang panggul
5) Persalinan sebelumnya dengan Sectio Caesarea
6) Ketuban pecah dini

6
7

7) Rasa takut kesakitan


8) Hambatan jalan lahir
9) Kelainan kontraksi rahim
10) Penyakit ibu yang berat (Preeklampsia berat atau eklampsia, jantung,
diabetes mellitus, kanker serviks, atau infeksi berat)
b. Indikasai dari Janin
1) Janin terlalu besar
2) Kelainan letak
3) Ancaman gawat janin atau fetal distress
4) Janin abnormal
5) Faktor plasenta
6) Kelainan tali pusat
7) Bayi kembar
c. Indikasi Waktu
Selain faktor ibu dan janin adanya indikasi waktu, setelah tiga jam
dibimbing melahirkan normal ternyata hasilnya nihil, sementara bantuan
dengan vakum atau forceps juga tidak memungkinkan maka alternatif terakhir
adalah Caesarea.

2.1.3 Klasifikasi
Menurut Triyanti et al., (2022) sectio caesarea diklasifikasikan menjadi 2
tipe, yaitu:

Gambar 2.1 Klasifikasi sectio caesarea


8

a. Sectio caesarea Klasik (Korporal)


Sectio caesarea klasik ini dengan cara membuat sayatan memanjang
pada korpus uteri kira-kira sepanjang 10 cm. Sectio caesarea tipe ini
membuat pengeluaran janin lebih cepat, tidak mengakibatkan
komplikasi pada kandung kemih, sayatan dapat diperpanjang ke
proximal atau distal. Namun sectio caesarea tipe ini menyebabkan
infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak ada
reperitonealisasi yang baik dan pada persalinan berikutnya akan mudah
mengalami rupturuteri spontan.
b. Sectio caesarea Ismika (Profunda)
Sectio caesarea ismika ini dilakukan dengan cara membuat sayatan
melintang konkaf pada segmen bawah rahim (low cervical transversal)
kira-kira sepanjang 10 cm. Sectio caesarea tipe ini ada beberapa
kelebihan yaitu penjahitan luka lebih mudah, penutupan luka dengan
reperitonealisasi yang baik, tumpang tindih peritoneal flap baik untuk
menahan penyebaran isi uterus ke rongga peritoneum, mengurangi
perdarahan, dan kemungkinan terjadi rupturuteri spontan kecil. Namun
kekurangan dari tipe ini adalah luka dapat melebar ke kiri, kanan, dan
bawah sehingga dapat menyebabkan arteri uterina putus sehingga
mengalami pendarahan dalam jumlah banyak dan keluhan pada kandung
kemih setelah pembedahan meningkat.

2.1.4 Komplikasi
Menurut Sulfianti et al., (2021) Banyak komplikasi yang dapat terjadi jika
dilakukan tindakan sectio caesarea, yaitu komplikasi jangka pendek dan jangka
panjang. Komplikasi jangka pendek terjadi sesaat setelah dilakukan tindakan
seperti:
a. Pendarahan
Pendarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedaha apabila
cabang arteri ikut terbuka. Darah yang hilang pada saat pembedahan
sectio caesarea dua kali lipat dibanding persalinan normal.
b. Infeksi Puerpereal/sepsis
9

Infeksi ini merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada
saat tindakan sectio caesarea. Penggunaan antibiotik profilaksis yang
kurang tepat merupakan faktor pemicunya. Gejala yang muncul akibat
infeksi terdapat gejala ringan seperti kenaikan suhu selama beberapa
hari selama masa nifas dan gejala berat.seperti peritonitis, sepsis, dan
sebagainya.
c. Luka kandung kemih
d. Embolisme paru
e. Kurang kuatnya parut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan
berikutnya bisa terjadi rupturuteri. Peristiwa ini banyak ditemui setelah
sectiocaesarea klasik.
f. Beberapa organ di abdomen seperti usus besar, kandung kemih,
pembuluh didalam ligamen yang lebar dan besar, ureter akan
cenderung mengalami cedera.

2.1.5 Perubahan Fisiologis


Menurut Wahyuningsih (2019), pada ibu post sectio caesare akan terjadi
perubahan fisik dalam tubuh terjadi secara sistematik :

a. Perubahan Tanda-Tanda Vital


Perubahan tanda-tanda vital pada ibu post cetio caesarea meliputi suhu,
tekanan darah, nadi, dan pernapasan. Suhu tubuh normal adalah 35,5 o-
37oC, tekanan darah normal pada pasien post sectio caesarea adalah 110-
120 mmHg, nadi berkisar antara 60-80 x/menit jika denyut nadi cepat
disebabkan oleh infeksi, sedangkan pernapasan normal berkisar 18-20
x/menit. Tanda-tanda vital dicatat setiap setengah jam untuk dua jam
pertama, kemudian setiap jam untuk dua jam berikutnya dan kemudian
setiap 4 jam.
b. Perubahan Sistem Reproduksi
Setelah post sectio caesarea maka alat-alat interna maupun eksterna akan
berangsur-angsur kembali keadaan sebelum hamil. Perubahan pada
keselurahan alat genetalia ini disebut involusi. Perubahan sistem
reproduksi terdiri dari perubahan uterus, perubahan serviks, dan perubahan
payudara.
10

1) Uterus
Involusi merupakan proses kembalinya uterus pada kondisi sebelum
hamil. Proses involusi uterus adalah sebagai beikut:
a) Iskemia miometrium, disebabkan oleh kontraksi dan retraksi yang
terus menerus setelah pengeluaran plasenta sehingga membuat
uterus menjadi relatif anemi dan menyebabkan serat otot atrofi.
b) Atrofi jaringan terjadi akibat reaksi penghentian hormon esterogen
saat pelepasan plasenta.
c) Autolysis, proses penghancuran yang terjadi di dalam otot uterus.
Enzim proteolitik akan memendekkan jaringan otot yang telah
mengendur hingga panjangnya 10 kali panjang sebelum hamil dan
lebarnya 5 kali lebar sebelum hamil yang terjadi selama kehamilan.
Hal ini diakibatkan penurunan hormon estrogen dan progesteron.
d) Efek Oksitosin
Oksitosin menyebabkan terjadinya kontraksi dan retraksi otot
uterus sehingga akan menekan pembuluh darah yang
mengakibatkan berkurangnya pembuluh darah yang
mengakibatkan berkurangnya suplai darah ke uterus. Proses ni
membantu untuk mengurangi situs atau tempat implantasi plasenta
serta mengurangi perdarahan.
Perubahan uterus ini diketahui dengan pemeriksaan palpasi untuk
meraba tinggi fundus uteri. Selama 12 jam pertama post partum,
uterus mengalami kontraksi kuat dan teratur selama 2-3 hari
berikutnya. Uterus mengalami involusi dengan cepat selama 7-10
hari pertama dan selanjutnya involusi uteri berlangsung lebih
berangsur-angsur.

Tabel 2.1 Perubahan Uterus pada Masa Post Partum

Involusi TFU Berat Diameter Bekas Keadaan


Uterus Melekat Plasenta Serviks
Bayi lahir Setinggi 1000 gram 12,5 Lembek
pusat
Plasenta 2 jari 750 gram 7,5 Lembek
lahir dibawah
pusat
11

Satu Pertengahan 500 gram 3-4 Dilalui 2


minggu pusat dengan jari
simpisis
Dua minggu Tidak teraba 350 gram 1-2 Dilalui 2
diatas jari
simpisis
Enam Bertambah 50-60 gram - Dimasuki
minggu kecil 1 jari
Delapan Sebesar 30 gram - Dimasuki
minggu normal 1 jari

2) Lochea
Lochea adalah eksresi cairan rahim selama masa nifas. Lochea berbau
anyir dengan volume yang berbeda disetiap pasie. Total rata-rata
jumlah pengeluaran lochea sekitar 240-270 ml. Lochea juga berbau
tidak sedap menandakan adanya infeksi, lochea dibagi menjadi 6
yaitu:
a) Lochea Rubra
Lochea rubra keluar pada hari pertama sampa hari ke empat masa
post partum. Cairan yang keluar berwarna merah karena terisi
darah segar, jaringan sisa-sisa plasenta, dinding rahim, lemak bayi,
lanugo (rambut bayi), dan mekonium.
b) Lochea Sanguinolenta
Lochea yang berwarna merah kecoklatan dan berlendir yang
berlangsung hari ke-4 sampai hari ke-7 poost partum.
c) Lochea Serosa
Lochea berwarna kuning kecoklatan karena mengandung serum,
leukosit, dan laserasi plasenta hari ke-7 sampai hari ke-14.
d) Lochea Alba
Lochea cairan putih yang mengandung leukosit, sel desidua, sel
epitel, selaput lendir serviks, dan serabut jaringan yang mati yang
berlangsung selama 2-6 minggu setelah post partum.
e) Lochea Purulenta
Lochea ini terjadi karena adanya infeksi, sehinga cairan yang
keluar seperti nanah yang berbau busuk.
12

f) Lochiostatis
Pengeluaran lochea yang tidak lancar.
3) Serviks
Serviks mengalami involusi bersama uterus, setelah persalinan ostium
eksterna dapat dimasuki oleh 2-3 jari tangan, setelah 6 minggu post
natal serviks akan menutup. Selama dilatasi terjadi robekan kecil,
serviks tidak pernah kembali seperti keadaan sebelum hamil yang
berupa lubang kecil seperti jarum, namun serviks hanya dapat kembali
sembuh.
4) Payudara
Payudara lebih besar, kencang, dan mula-mula akan terasa nyeri tekan
sebagai reaksi terhadap perubahan status hormonal serta dimualinya
laktasi. Hal ini disebabkan karena karena suplai darah ke payudara
meningkat dan menyebabkan pembengkakan vaskular sementara, air
susu di produksi dan harus dikeluarkan secara efektif dengan cara
dihisap oleh bayi.
c. Perubahan Abdomen
Persalinan dengan cara operasi sectio caesarea terdapat luka post sectio
caesarea dengan berbagai bentuk insisi. Sehingga terdapat perubahan pada
pola pencernaan pasien post yang membutuhkan waktu sekitar 103 hari
agar fungsi saluran cerna dan nafsu makan kembali normal.
d. Perubahan Sistem Pencernaan
Sistem gastrointestinal selama kehamilan dipengaruhi oleh beberapa hal,
salah satunya adalah kadar progesteron yang tinggi sehingga mengganggu
keseimbangan cairan tubuh, meningkatkan kolesterol darah, dan
melambatkan kontraksi otot-otot polos. Setelah melahirkan maka kadar
progesteron akan menurun, sedangkan faal usus memerlukan waktu 3-4
hari untuk kembali normal. Pasca melahirkan secara sectio caesarea atau
normal ibu akan merasa lapar, pemulihan nafsu makan memerlukan waktu
3-4 hari sebelum faal kembali normal. Kadar progesteron menurun, asupan
makanan juga mengalami penurunan selama satu atau dua hari. Kelebihan
anastesi dapat memperlambat pengembalian tonus dan motilitas ke
13

keadaan normal. Setelah melahirkan, sering mengalami konstipasi. Hal ini


disebabkan tonus otot usus menurun selama proses persalinan.
e. Perubahan Sistem Perkemihan
Sulit buang air kecil selama 24 jam, urine dalam jumlah besar akan
dihasilkan dalam waktu 12-36 jam sesudah melahirkan. Hal tersebut
menyebabkan dieresis urete yang berdilatasi akan kembali normal dalam
waktu 6 minggu. Sehingga diperlukan pemasangan kateter karna kondisi
organ reproduksi belum berfungsi secara optimal pasca sectio caesarea.
f. Perubahan Sistem Muskuloskeletal
Pembuuluh darah yang berada diantara otot-otot uterus akan terjepit,
sehingga proses tersebut akan menghentikan perdarahan setelah plasenta
dilahirkan. Distensi yang berlangsung lama akibat uterus membesar pada
masa kehamilan, dinding abdomen masih sedikit lunak dan kendor untuk
sementara waktu. Untuk memulihkan kembali jaringan-jaringan penunjang
alat genetalia, serta otot-otot dinding perut dan dasar panggul, sehingga
dianjurkan untuk melatih gerakan tertentu. Pada hari ke 2 post op sudah
dapat melakukan fisioterapi.
g. Perubahan Sistem Kardiovaskular
Selama kehamilan, volume darah normal digunakan untuk menampung
aliran darah yang meningkat yang diperlukan oleh plasenta dan pembuluh
darah. Esterogen yang ditarik kembali akan menyebabkan dieresis yang
terjadi secara cepat sehingga mengurangi volume plasma kembali pada
proporsi normal. Hal ini terjadi 2-4 jam setelah kelahiran bayi. Pada
persalinan dengan sectio caesarea, pengeluaran 400-1000 ml. Perubahan
terdiri dari volume darah dan kadar hematokrit.
Setelah persalinan, shunt akan hilang dengan tiba-tiba. Volume darah ibu
akan relative bertambah. Keadaan ini akan menyebabkan beban pada
jantung dan akan menimbulkan decompensatio cordis pada pasien dengan
vitum cardio. Hal ini dapat diatasi dengan mekanisme kompensasi dengan
tumbuhnya haemokonsentrasi sehingga volume darah kembali seperti
sedia kala. Hal ini akan terjadi 3-5 hari post partum.
14

h. Perubahan Sistem Hematologi


Kadar fibrinogen dan plasma serta faktor pembekuan darah akan
meningkat pada minggu terakhir kehamilan. Pada hari pertama post op,
kadar fibrinogen dan plasma akan sedikit menurun tetapi darah lebih
mengental dengan peningkatan viskositas sehingga meningkat faktor
pembekuan darah.
Meningkatnya jumlah sel-sel darah putih sebanyak 15.000 selama
persalinan disebut dengan leukositas. Jumlah leukosit akan tetap tinggi
selama beberapa hari pasca post partum. Jumalh sel darah putih akan
meningkat kembali sampai 25.000-30.000 tanpa adanya kondisi patologis
jika wanita mengalami persalinan dalam jangka waktu yang lama.
Pada awal post partum, jumlah hemoglobin, hematorit, dan eritrosit akan
bervariasi. Namun pada 4-5 minggu post partum maka hematokrit dan
hemoglobin akan kembali normal.
i. Sistem Endokrin
1) Hormon plasenta menurun dengan cepat setelah persalinan. Human
Chronic Gonadotropin (HCG) menurun dengan cepat dan menetap
sampai 10% dalam 3 jam hingga hari ke-7 post partum baik secara
pervagina ataupun sectio caesarea.
2) Hormon pituitary, prolaktin darah akan meningkat dengan cepat. Pada
wanita yang tidak menyusui maka proklatin menurun dalam waktu 2
minggu. FSH dan LH akan meningkat pada fase konsentrasi folikuler
(minggu ke-3) dan LH tetap rendah hingga ovulasi terjadi.
3) Hypotalamik pituitary ovarium
Faktor menyusui mempengaruhi lamanya wanita mendapatkan
menstruasi, sehingga menstruasi pertama bersifat anovulasi karena
rendahnya kadar estrogen dan progesteron.
4) Kadar estrogen
Setelah persalinan, kadar estrogen mengalami penurunan yang
bermakna sehingga aktivitas prolaktin yang sedang meningkat juga
dapat mempengaruhi kelenjar mamae dalam menghasilkan ASI.
15

2.1.6 Perubahan Psikologis


Menurut Pitriani & Adriyani (2014) Pada masa ini ibu akan mengalami
stimulus sehingga ibu akan mengalami sedikit perubahan perilaku. Dalam masa
ini ada fase beradpatasi, yaitu:

a. Taking In
Fase ini terjadi pada hari ke-1 sampai hari ke-2, pada fase ini fokus
perhatian pada diri sendiri, mungkin pasif dan ketergantungan. Pada fase
ini ibu mengalami kelelahan, sehingga perlu tidur yang cukup. Fase ini
memahami ibu untuk tetap menjaga komunikasi dengan baik, memberikan
makanan yang ekstra untuk proses pemulihan, dan memberikan informasi
mengenai kondisi bayi.
b. Taking Hold
Fase ini terjadi pada hari ke-3 sampai hari ke-10, timbul kekhawatiran
tidak mampu merawat bayi. Pada fase ini perasaan ibu sangat sensitif
sehingga mudah tersinggung jika komunikasi kurang terjalin dengan baik.
fase ini juga perlu memperhatikan kemampuan fungsi tubuh, seperti buang
air kecil dan buang air besar, aktivitas mobilisasi, perawatan diri dan bayi.
Pada fase ini diperlukan dukungan khususnya dukungan suami.
c. Letting Go
Fase ini terjadi setelah hari ke-10 post partum. Pada fase ini yaitu fase
menerima tanggung jawab akan peran barunya, sehingga ibu sudah mulai
mampu menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya. Pada fase ini
juga ibu lebih percaya diri menjalani peran barunya, lebih mandiri dalam
memenuhi kebutuhan.

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


Menurut Sulfianti et al., (2021), pemeriksaan penunjang pada ibu nifas
yaitu:

a. Pemantauan janin terhadap kesehatan janin


Pemantauan kesehatan ini bertujuan untuk melihat perkembangan
janin dari waktu ke waktu.
16

b. Golongan darah
Persiapan untuk transfusi darah (bila dibutuhkan) dan untuk
mengetahui kecocokan rhesus. Jika seorang wanita mempunyai rhesus
negatif saat hami dan suami mempunyai rhesus positif sedangkan anak
yang dikandung rhesus positif maka secara alami ibu akan
menghasilkan antibodi yang menyerang darah janin dan menyebabkan
sel darah merah janin menjadi rusak sehingga janin mengalami
anemia, kerusakan otak dan jantung. Sehingga perlu diberikan suntikan
imunoglobin yang berguna untuk pembentukan antibodi yang dapat
menyerang darah janin.
c. Hemoglobin/hematokrit
Untuk mengkaji perubahan dari kadar pra operasi dan mengevaluasi
efek kehilangan darah pada pembedahan.
d. Leukosit
Pemeriksaan leukosit berfungsi untuk menandakan adanya proses
infeksi yang terjadi. Pada pasien post sectio caesarea normal
terjadinya peningkat leukosit karena tubuh saat operasi kemungkinan
terpapar oleh kuman, baik dari lingkungan atau dari tubuh sendiri (air
ketuban, darah, cairan lain) atau alat yang digunakan yang kurang
steril.
e. Jumlah darah lengkap
Untuk memantau kondisi ibu post sectio caesarea secara berkala.
f. Urinalisa
Urinalisa atau tes urine merupakan salah satu pemeriksaan yang
dilakukan untuk mendeteksi penyakit atau kondisi kesehatan lainnya.
g. USG
Menilai jumlah dan kekeruhan air ketuban, derajat maturitas plasenta,
besarnya janin, dan keadaan janin.
h. Pemantauan EKG
Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainan-
kelainan pada irama jantung atau gagguan yang mungkin dialami oleh
17

jantung. Selain itu juga untuk memantau aktivitas listrik jantung yang
dilakukan sebelum operasi.
i. Elektrolit
Pemeriksaan elektrolit untuk mendeteksi adanya gangguan elektrolit.

2.1.8 Patofisiologi
Ada beberapa hambatan atau kelainan pada proses persalinan yang
menyebabkan bayi tidak lahir spontan atau lahir secara normal, misal disebabkan
oleh panggul sempit, plasenta previa, ruptureuteri yang mengancam, partus lama,
preeklampsia, distosia serviks, dan malpresesntasi janin sehingga dilakukan
persalinan dengan cara sectio caesarea. Tindakan anestesi diberikan dalam
operasi sectio caesarea yang menyebabkan pasien mengalami imobilisasai, yang
efeknya menyebabkan masalah gangguan mobilitas fisik. Efek dari anastesi juga
menyebabkan terjadinya konstipasi.
Informasi yang kurang mengenai proses pembedahan, penyembuhan, dan
perawatan post operasi akan menimbulkan masalah ansietas. Pada proses
pembedahan juga dilakukan tindakan insisi pada dinding abdomen sehingga
menyebabkan terputusnya inkontinuitas jaringan merangsang area sensorik yang
merangsang pengeluaran histamin dan prostaglandin yang akan menimbulkan rasa
tidak nayaman dikarenakan rasa nyeri (nyeri akut) yang timbul setelah proses
pembedahan berakhir. Setelah proses pembedahan selesai daerah insisi ditutup
dan menimbulkan luka post sectio caesarea yang apabila tidak dirawat dengan
baik dan benar akan menyebabkan risiko infeksi. Pada masa post partum hormon
progesteron dan estrogen akan mengalami penurunan dan terjadi kontraksi uterus
dan involusi tidak adekuat sehingga terjadi perdarahan dan bisa menyebabkan
risiko syok, hemoglobin menurun dan kekurangn oksigen mengakibatkan
kelemahan dan menyebabkan defisit perawatan diri. Setelah kelahiran bayi maka
prolaktin dan oksitosin meningkat menyebabkan efeksi ASI, efeksi ASI yang
tidak adekuat menimbulkan masalah ketidakefektifan pemberian ASI pada bayi
(Ferinawati & Hartati, 2019a).
18

2.1.9 Penatalaksanaan

Menurut Wahyuningsih (2019), bahwa penatalaksaanpada pasien yang


sudah menjalani post sectio caesarea, yaitu:
a. Penatalaksanaan Medis
Pemberian analgesik perlu diberikan pasca operasi karena apabila
anastesi hilang maka akan timbul rasa nyeri yang hebat, analgesik
yang dapat diberikan yaitu meperidin 75-100 mg atau morfin 10-15 mg
secara intravena dan selanjutnya bisa diberikan dengan intramuskular.
Antibiotik juga perlu diberikan karena morbiditas demam pasca
operasi cukup besar, antibiotik yang dapat diberikan yaitu ampisilin 2
gr. Memberikan terapi cairan serta diet.
b. Penatalaksaan Keperawatan
1) Observasi tanda-tanda vital
2) Observasi visikaurinaria dan usus
3) Jumlah urin
4) Jumlah perdarahan
5) Ambulasi dan Mobilisasi
Ambulasi dini (early ambulation), membimbing pasien bangun
dari tempat tidur membimbing secepat mungkin untuk berjalan.
Ambulasi dilakukan bertahap, ambulasi tidak diperbolehkan oleh
pasien post sectio caesarea dengan anemia, penyakit jantung, penyakit
paru-paru, demam, dan sebagainya.
Menurut Puspitaningrum (2017), tahap ambulasi pada pasien
Sectio Caesarea yaitu:
a) Pada 6 jam pertama setelah operasi, pasien harus tirah baring dan
hanya bisa menggerakan lengan, tangan, menggerakan ujung jari
kaki, dan memutar pergelangan kaki, mengangkat tumit,
menegangkan otot betis serta menekuk dan menggeser kaki.
b) Setelah 6-10 jam pasien diharuskan untuk miring kiri dan kanan
untuk mencegah trombosis dan thromoemboli.
c) Setelah 24 jam pasien dianjurkan belajar duduk, kemudian
dilanjutkan dengan belajar berjalan.
19

d) Pada persalinan normal dbiasanya diperbolehkan untuk bangun dari


tempat tidur 2-48 jam setelah persalinan
Keuntungan dari mobilisasi dini atau ambulasi dini antara lain
(Nurfitriani, 2017):
a) Dapat melancarkan pengeluaran lockhea
b) Mempercepat involusi uterus
c) Melancarkan fungsi alat gastrointestinal
d) Merasa lebih sehat dan kuat
e) Melancarkan peredaran darah
f) Mempercepat fungsi ASI
g) Pengeluaran sisa metabolisme
h) Mempercepat kesembuhan ibu sehingga dapat melakukan aktivitas
sehari-hari secara normal.
4) Perawatan Luka
5) Perawatan payudara
Perawatan payudara sebaiknya telah dimulai sejak kehamilan
supaya puting lemas, tidak keras, dan kering sebagai persiapan
menyusui bayi
6) Laboratorium
7) Keluarga Berencana
Keluarga berencana adalah salah satu usaha membantu keluarga
merencanakan kehidupan berkeluarganya dengan baik sehingga
mencapai keluarga yang berkualitas.
8) Edukasi Nutrisi dan Cairan
Nutrisi yang baik dapat mempercepat penyembuhan ibu dan sangat
mempengaruhi ASI. Kebutuhan gizi ibu saat menyusui adalah
mengkonsumsi tambahan kalori 500 kalori tiap hari, diet seimbang,
protein, mineral, dan vitamin, minum minimal 2 liter per hari (±8
gelas), Fe/tablet tambah darah sampai 40 hari pasca persalinan, dan
kapsul Vitamin A 200.000 unit.
9) Edukasi Kebersihan Diri
20

Pada pasien post sectio caesarea rentan terhadap infeksi, oleh


karena itu tetap harus menjaga kebersihan tubuh, pakaian, tempat
tidur, dan lingkungan. Sehingga perlu menganjurkan kebersihan
seluruh tubuh terutama perineum, mengajarkan cara membersihkan
alat kelamin dengan sabun dan air dari depan ke belakang,
menyarankan ganti pembalut minimal dua kali sehari,
membersihkan tangan dengan sabun dan air sebelum dan sesudah
membersihkan alat kelamin.
10) Edukasi Istirahat dan Tidur
Menganjurkan istirahat yang cukup, kurang istirahat mengurangi
produksi ASI, memperlambat proses involusi dan depresi pasca
persalinan.
11) Senam Nifas
Selama kehamilan dan persalinan mengalami perubahan fisik,
sehingga kegiatan ini akan meningkatkan paru-paru, otot kandung
kemih dan usus besar yang agak lamban kerjanya akibat pembiusan
pada saat proses sectio caesarea. Sebelum luka dinyatakan sembuh,
cukup melakukan gerakan ringan seperti menggerakan ujung jari
dan tumit sedikit demi sedikit dilakukan di minggu pertama setelah
persalinan. Miringkan tubuh kekanan tekuk kaki kiri serta letakan
tangan kiri ke tempat tidur bangun secara perlahan dengan kedua
tangan sebagai penyangga. Turunkan kaki perlahan dari tempat
tidur untuk membantu mengurangi rasa sakit, peganglah bantal
kecil yang ditempelkan pada bagian yang dioperasi.

2.1.10 Perawatan Luka Post Sectio Caesarea

Menurut Wulandari & Sanjaya (2021) penatalaksanaan dari post sectio


caesarea adalah :

a. Perawatan Luka Sectio Caesarea


Persalinan dengan cara sectio caesarea akan memiliki luka jahitan. Luka
akan menimbulkan rasa tidak nyaman dan pemulihan yang tidak sebentar.
Namun dengan perawatan yang tepat, luka bekas sectio caesarea akan
21

pulih dengan cepat. Dalam operasi caesar terdapat dua sayatan, sayatan
pertama dilakukan dibagian perut dan sayatan ke dua di rahim untuk
mengeluarkan bayi. Kemudian sayatan akan ditutup dengan jahitan, untuk
bagian rahim atau uterus luka sayatan ditutup dengan menggunakan
benang jahit yang dapat diserap oleh tubuh sehingga menyatu dengan
jaringan otot rahim. Sementara untuk menutup luka sayatan pada perut,
menggunakan benang jahitan yang tidak dapat menyatu dengan daging.
Oleh karena itu, setelah 7 hari pasca operasi ibu kembali ke rumah sakit
untuk mengontrol jahitan operasi caesar.
b. Perawatan Luka Sectio Caesarea di Rumah
Luka operasi memiliki panjang 10-15 cm, jika luka operasi tidak terjadi
infeksi maka luka operasi akan menutup dan pulih dalam waktu ± 6
minggu. Hal yang sering terjadi pada ibu post caesarea dalam 48 jam yaitu
mual, sulit bergerak, gatal, dan sedikit perih pada luka operasi. Untuk
menghindari terjadinya luka infeksi pada luka jahitan operasi caesar maka
perlu dilakukan perawatan, yaitu:
1) Membersihkan luka sayatan dengan teratur
2) Menggunakan pakaian yang nyaman dan longgar
3) Mempertahankan agar luka operasi tetap kering atau tidak basah
4) Menghindari aktifitas fisik yang berat
5) Konsumsi obat penghilang rasa sakit dan antibiotik sesuai dengan resep
dokter hingga waktu kontrol ke layanan kesehatan.
6) Mengedukasi terkait tanda dan gejala infeksi. Beberapa minggu
kemudian, luka sayatan akan berubah warna menjadi kemerahan hal itu
menandakan bahwa luka jahitan operasi sudah berangsur membaik.
Namun apabila terjadi pembengkakan di area sekitar luka atau
mengeluarkan pus atau nanah, maka tanda terjadinya infeksi.
22

2.2 Konsep Bekas Sectio Caesarea (BSC)


2.2.1 Definisi
Bekas sectio caesarea adalah tanda yang tertinggal yang diakibatkan oleh
luka operasi yang dibuat oleh ahli bedah yang bertujuan untuk melahirkan janin
dengan cara membuka dinding perut dan dinding uterus. Bekas sectio caesarea
juga dapat didefinisikan sebagai ibu yang sudah pernah mengalami pembedahan
untuk mengeluarkan janin di kehamilan sebelumnya, yang irisannya menembus
hingga mencapai cavumuteri (Rahim, Rompas, & Kallo, 2019).

Bekas luka caesarea terdiri dari dua komponen yaitu bagian hypoechoic
pada bekas luka dan jaringan parut pada miometrium yang dinilai sebagai
ketebalan miometrium residual (KMR). Ketebalan seluruh segmen bawah rahim
(SBR) diukur dengan menggunakan transabdominal sonografi, sementara lapisan
otot diukur dengan menggunakan transvaginal sonografi (TVS). Ketebalan SBR
harus dievaluasi karena berperan sebagai predikator terjadinya rupture uteri
(Suryawinata et al., 2019).

Bekas luka operatif sectio caesarea pada uterus akan mengalami


perubahan selama proses kehamilan selanjutnya. Peningkatan lebar rata-rata 1,8
mm dan 1,9 mm per trimester. Ketebalan myometrium residual menurun rata-rata
1,1 mm per trimester (Suryawinata et al., 2019).

2.2.2 Manifestasi Klinis


Ketika bekas luka sectio caesarea tidak dilakukan perawatan dengan baik
maka akan menimbulkan infeksi, tanda gejala infeksi luka post sectio caesarea
yaitu (Aulya, Novelia, & Isnaeni, 2021):

a. Nyeri dan terdapat pus pada sekitar luka sectio caesarea


b. Terdapat kemerahan dan bengkak di sekeliling luka sectio caesarea
c. Suhu tubuh meningkat
d. Sel darah putih meningkat

2.2.3 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada pasca sectio caesarea adalah
infeksi jahitan. Akibat dari infeksi tersebut maka luka bekas sectio caesarea akan
terbuka dalam minggu pertama pasca operasi. Luka yang terbuka di kulit atau
23

subkulit atau sampai fascia atau disebut dengan bust abdomen. Selain itu juga bisa
mengakibatkan rupture uteri (Juliathi et al., 2021).

2.2.4 Proses Penyembuhan Luka

Menurut Sihotang & Yulianti (2018) proses penyembuhan luka terdiri dari
tiga fase, yaitu :

a. Inflamasi, penyembuhan luka pada fase ini terjadi pada hari ke-5 setelah
pembedahan. Fase ini terjadi secara singkat apabila tidak terjadi infeksi.
b. Poliferasi (epitelasi), setelah luka bersih dari bakteri maka akan terbentuk
jaringan baru yang disebut dengan jaringan parut. Proses dalam fase ini
akan membuat bekas luka yang terlihat merah akan memudar.
c. Maturasi (Remodeling), fase menguatkan jaringan baru terbentuk.
Namun proses penyembuhan luka ini dipengaruhi oleh usia, anemia,
penyakit penyerta, vaskularisasi, nutrisi, kegemukan, obat-obatan,
mobilisasi dini, personal hygiene, dan stres.

2.2.5 Indikasi
Pada kehamilan sebelumnya melakukan sectio caesarea dan pada
kehamilan selanjutnya dapat melakukan persalinan dengan dua cara yaitu
pervagina atau sectio caesarea. Hal ini berdasarkan oleh syarat klinis yang harus
terpenuhi apabila ibu dengan riwayat sectio caesarea akan melakukan persalinan
pervagina untuk membatasi ibu hamil dalam pemilihan persalinan.

Ibu hamil yang berhasil menjalani vaginal birth after caesarean delivery
(VBAC) memiliki beberapa keuntungan dibandingkan ibu yang melakukan sectio
caesarea berulang yaitu mengurangi risiko perdarahan, penurunan risiko
tromboemboli, serat durasi perawatan yang lebih singkat. Apabila wanita dengan
riwayat sectio caesarea satu kali dengan insisi melintang rendah (low transverse
incision) dapat dipertimbangkan untuk persalinan pervagina, serta jarak antara
kelahiran >18 bulan dan tidak adanya kontraindikasi untuk persalinan pervagina
seperti plasenta previa dan letak lintang.

Faktor yang menurunkan keberhasilan Vaginal birth after caesarean


delivery (VBAC) yaitu bayi dengan berat badan besar, riwayat operasi sectio
24

caesarea > 1 kali, riwayat insisi caesar klasik atau insisi “T”, riwayat operasi
transfundal yang ekstensif, riwayat rupture uteri, dan gangguan plasenta, serta
usia pasian > 40 tahun, IMT yang tinggi, dan ketebalan uterus kurang baik
(Rezeki & Sari, 2018).

2.3 Konsep Ketuban Pecah Dini

2.3.1 Definisi
Ketuban pecah dini atau premature rupture of membrane/PROM merupakan
pecahnya selaput ketuban sebelum proses persalinan dimulai. Ketuban pecah dini
preterm atau preterm premature rupture of membrane/PPROM adalah selaput
ketuban yang pecah sebelum usia kehamilan 37 minggu. Ketuban pecah dini
adalah apabilah ketuban pecah secara spontan tanpa diikuti tanda-tanda persalinan
seperti adanya pembukaan serviks akibat dari kontraksi uterus, pengeluaran lendir
yang bercampur dengan darah. Ketuban pecah dini terjadi pada kehamilan aterm
maupun pada kehamilan preterm (I. K. Su. Negara, 2021).

Ada teori yang menghitung durasi waktu pecahnya selaput ketuban


sebelum inpartu yaitu 1 atau 6 jam sebelum inpartu, namun ada juga yang
menyatakan dalam ukuran pembukaan serviks pada kala I misalnya pada
primigravida ketuban pecah sebelum pembukaan serviks 3 cm dan kurang dari 5
cm pada multigravida.

2.3.2 Etiologi
Penyebab ketuban pecah dini masih belum diketahui dan tidak dapat
ditentukan secara pasti. Namun, kemungkinan yang menjadi faktor predisposisi
adalah (Tahir, 2021):

a. Infeksi
1) Amnionitis atau korioamnionitis
Korioamnionitis adalah keadaan pada perempuan hamil dimana
korion, amnion, dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri. Hal ini
merupakan komplikasi serius yang dapat menyebabkan sepsis.
2) Infeksi genetalia
Hal ini menjadi salah satu penyebab terjadinya ketuban pecah dini dan
persalinan preterm. Terutama ketika dilakukan pemeriksaan pH vagina
25

7,1-7,3 karena nilai normal pH vagina adalah 3,8-4,5. Abnormalitas


pH merupakan salah satu indikasi adanya infeksi vagina.
b. Serviks yang tidak mengalami kontraksi (serviks inkompetensia)
Ketidakmampuan serviks uteri untuk mempertahankan kehamilan.
Kelainan ini berhubungan dengan kelainan uterus yang lain seperti septum
uterus dan bikornis. Hal ini disebabkan oleh trauma bedah pada serviks,
dilatasi berlebihan serviks pada terminasi kehamilan atau laserasi
obstetrik.
c. Trauma hubungan seksual saat hamil dengan frekuensi lebih dari 3 kali
seminggu, pemeriksaan dalam, dan amniosintesis.
Pemeriksaan dalam merupakan manipulasi dari jari tangan pemeriksa yang
dimasukan ke dalam vagina, hal ini memicu terjadinya ketuban pecah dini
karena risiko masuknya infeksi ke dalam vagina yang dapat merusak
selaput ketuban sehingga membran selaput ketuban mudah rapuh dan
akhirnya pecah spontan. Sedangkan amniosintesis yaitu pengambilan air
ketuban melalui tusukan per abdominal langsung menembus uterus ke
rongga amnion, kemudian cairan amnion dihisap untuk pemeriksaan
penegakan diagnosis prenatal adanya kelainan janin sehingga
menyebabkan selaputnya pecah secara spontan.
d. Tekanan intra uterin yang meningkat secara berlebihan (overdistensi
uterus) misal polihidramnion atau gameli
Hidramnion atau polihidramnion adalah keadaan banyaknya air ketuban
melebihi 200 cc. Penambahan air ketuban ini ada dua jenis yaitu
hidramnion akut yaitu penambahan air ketuban secara mendadak dalam
beberapa hari, sedangkan hidramnion kronis yaitu penambahan air ketuban
secara perlahan-lahan. Selain itu, sering ditemukan pada ibu hamil ganda
dan beberapa penyakit ibu seperti diabetes mellitus dan preeklampsia.
e. Kelainan letak (sungsang dan lintang)
Pada keadaan ini, tidak ada bagian terendah janin yang menutupi pintu
atas panggul sehingga tidak ada yang dapat menghalangi tekanan terhadap
membran bagian bawah. Letak sungsang adalah terdapat plasenta previa,
keadaan janin yang menyebabkan letak sungsang (makrosemia,
26

hidrosefalus, anensefalus), keadaan air ketuban (oligohidramnion,


hidramnion), keadaan kehamilan (kehamilan ganda, kehamilan lebih dari
dua), keadaan uterus (uterus arkuatus), keadaan dinding abdomen, keadaan
tali pusat (pendek, terdapat lilitan tali pusat pada leher). Sedangkan
penyebab letak lintang yaitu panggul sempit, multipara, kehamilan ganda,
hidramnion/oligohridramnion, tumor pada daerah serviks.
f. Usia kurang dari 20 tahun dan diatas 35 tahun

2.3.3 Manifestasi Klinis


Menurut Nur(2019), tanda gejala ketuban pecah dini yaitu :

a. Keluar air ketuban berwarna putih keruh, jernih, kuning, hijau,


atukecoklatan sedikit maupun banyak
b. Demam (apabila infeksi)
c. Nyeri perut
d. Bercak vagina yang banyak
e. Keluar air ketuban yang merembes melalui vagina dengan bau amis dan
tidak seperti amoniak
Tanda dan gejala yang timbul pada ketuban pecah dini yaitu:
a. Tanda maternal
Tanda pada ibu yaitu demam, takikardi, kontraksi uetrus, keluarnya cairan
ketuban melalui vagina, cairan amnion yang keruh dan berbau serta
leukositosis.
b. Tanda Fetal
Tanda pada janin setelah dilahirkan yaitu takikardi.
c. Tanda Cairan Amnion
Tanda pada aciran amnion yaitu volume cairan ketuban berkurang.

2.3.4 Klasifikasi
MenurutI. K. Su. Negara (2021) berdasarkan usia kehamilan, ketuban
pecah dini diklasifikasikan menjadi dua yaitu:

a. Ketuban pecah dini atau premature rupture of membrane (PROM) yaitu


pecahnya selaput ketuban pada saat usia kehamilan aterm.
27

b. Ketuban pecah prematur atau preterm premature rupture of membrane


/PPROM adalah pecahnya membran korioamnion saat usia kehamilan <
37 minggu.

2.3.5 Faktor Risiko


Menurut Bouvier et al., (2019), Faktor risiko terjadinya ketuban pecah dini
atau premature rupture of membran (PROM) yaitu:

a. Indeks Massa Tubuh (IMT) < 18,5 kg/m2


b. Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya
c. Nulipara
d. Diabetes gestasional
e. Pendidikan rendah
f. Pekerjaan
g. Asupan insulin
h. Riwayat prematuritas
i. Kehamilan ganda
j. Infeksi yang diobati dengan antibiotik

2.3.6 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang sering ditimbulkan karena terjadinya ketuban
pecah dini diantaranya adalah (K. S. Negara, Mulyana, & Pangkahila, 2017):

a. Persalinan premature
Setelah ketuban pecah disusul oleh persalinan, periode laten tergantung
dengan usia kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24 jam
setelah ketuban pecah, sedangkan pada kehamilan antara 28-34 minggu
50% persalinan dalam 24 jam, dan pada kehamilan < 26 minggu
persalinan seringkali terjadi dalam kurun waktu 1 minggu.
b. Infeksi
Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah dini. Pada ibu
akan terjadi korioamnionitis, sedangkan pada bayi dapat terjadi
septikemia, pneumonia, omfalitis. Umumnya terjadi korioamnionitis
sebelum janin tersebut terinfeksi. Infeksi ini lebih sering terjadi pada aterm
dibandingkan dengan preterm.
28

c. Hipoksia dan asfiksia


Pecahnya ketuban akan terjadi oligohidamnion sehingga bagian kecil janin
menempel erat dengan dinding uterus yang dapat menekan tali pusat
hingga terjadi hipoksia atau asfiksia.
d. Sindrom deformitas janin
Ketuban pecah dini akan menyebabkan pertumbuhan janin terhambat
disebabkan karena kompresi muka dan anggota badan janin, serta
hipoplasipulmonary.

2.3.7 Patofisiologi
Pecahnya selaput ketuban disebabkan oleh hilangnya elastis pada daerah
tepi robekan selaput ketuban. Hilangnya elastis selaput ketuban berkaitan dengan
jaringan kolagen yang dapat terjadi akibat penipisan oleh infeksi atau rendahnya
kadar kolagen. Kolagen pada selaput terdapat pada amnion di daerah lapisan
kompakta, fibrolas serta pada korion di daerah lapisan retikuler atay trofoblas.

Selaput ketuban pecah disebabkan karena perubahan biokimia sehingga


selaput ketuban menjadi lemah. Perubahan struktur, katabolisme kolagen, dan
jumlah sel menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan menyebabkan selaput
ketuban pecah.

Faktor risiko terjadinya ketuban pecah dini yaitu berkurangnya asam


askorbik sebagai komponen kolagen serta kekurangan tembaga dan asam askorbik
yang berakibat pertumbuhan struktur abnormal karena antara lain merokok.
Degradasi kolagen dimediasi oleh Matriks Metallo Proteinase (MMP) yang
dihambat oleh inhibitor jaringan spesifik dan inhibitor protease (TIMP-1). Ketika
mendekati waktu persalinan maka keseimbangan antara MMP dan TIMP-1
mengarah pada degradasi proteolitik dari matriks ekstraseluler dan membran
janin. Aktivitas degradasi proteolitik akan meningkat ketika menjelang persalinan.
Namun pada penyakit periodonitis terdapat peningkatan MMP sehingga terjadi
ketuban pecah dini.

Melemahnya kekuatan selaput ketuban berkaitan dengan pembesaran


uterus, kontraksi rahim, dan gerakan janin. Selaput ketuban yang pecah berkaitan
dengan proses biokimia yang terjadi dalam kolagen matriks ekstarseluller amnion,
29

kotion, dan apoptosis membran janin. Membran janin dan desidua bereaksi
terhadap stimuli seperti infeksi dan peregangan selaput ketuban dengan
memproduksi mediator seperti prostaglandin, sitokinin, dan protein hormon yang
merangsang aktivtas matriks degrading enzyme (K. S. Negara et al., 2017).

2.3.8 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan dalam mendiganosa
terjadinya ketuban pecah dini, yaitu (Lalenoh, 2018):

a. Pemeriksaan Laboratorium
Melakukan pemeriksaan cairan yang keluar dari vagina berupa warna,
konsentrasi, bau, dan pH. Cairan yang keluar dari vagina bisa berupa air
ketuban, urine, atau sekret vagina. pH sekret vagina hamil 4-5, dengan
kerta nitrazin tidak berubah warna tetap kuning, namun ketika kertas
lakmus merah berubah menjadi biru maka menunjukkan adanya air
ketuban (alkalisis). pH air ketuban 7-7.5 darah dan infeksi vagina
menghasilkan tes positif palsu.
b. Pemeriksaan Ultrasonografi
Untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam cavum uteri. Pada ketuban
pecah dini jumlah cairan ketuban yang sedikit, namun sering terjadi
kesalahan pada penderita oligohidramnion.

2.3.9 Penatalaksanaan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan ketuban pecah dini
yaitu memastikan diagnosis, menentukan usia kehamilan, mengevaluasi ada tidak
infeksi maternal atau janin, keadaan inpartu/kegawatan janin (K. S. Negara et al.,
2017).

a. Ketuban pecah dini dengan kehamilan aterm


1) Diberikan antibiotika prafilaksis, ampisilin 4x500 mg selama 7 hari
2) Melakukan pemeriksaan admision test, apabila hasilnya patologis maka
segera terminasi kehamilan
3) Observasi suhu setiap 3 jam, apabila tidak meningkat maka observasi
selama 12 jam
30

4) Batasi pemeriksaan dalam, hanya dilakukan berdasarkan indikasi


obstetric
5) Bila dilakukan terminasi, lakukan evaluasi pelvic score:
a) Bila pelvic score ≥ 5, dilakukan induksi dengan oksitoksin drip
b) Bilang < 5 dilakukan pematangan dengan misoprostol 50 gr setiap
6 jam per oral maksimal 4 kali pemberian.

Tabel2.2Pelvic Score (PS) menurut Bishop


SKOR 0 1 2 3
Pembukaan 0 1-2 3-4 5-6
serviks (cm)
Pendarahan 0-30% 40-50% 60-70% 80%
serviks
Penurunan -3 -2 -1.0 +1, +2
kepala di ukur
dari bidang
Hodge III (cm)
Konsistensi Keras Sedang Lunak
serviks
Posisi serviks Kebelakang Searah sumbu Kearah depan
jalan lahir

b. Ketuban pecah dini dengan kehamilan preterm


1) Penanganan di rawat di Rumah Sakit
2) Diberikan antibiotika, Ampicilin 4x500 mg selama 7 hari
3) Diberikan kortikosteroid untuk merangsang maturasi paru (Usia
kehamilan < 35 minggu), dexametason 5 mg setiap 6 jam
4) Observasi meliputi tirah baring selama 24 jam, observasi temperatur
rektal setiap 3 jam, apabila terjadi peningkatan suhu maka terminasi
kehamilan
5) Pemeriksaan laboratorium, leukosit dan LED setiap 3 hari

2.4 Konsep Preeklampsia

2.4.1 Definisi
Preekampsia adalah kelainan multi sistemik yang terjadi pada kehamilan
yang ditandai dengan adanya hipertensi dan edema serta adanya proteinuria yang
terjadi pada usia kehamilan 20 minggu ke atas atau kehamilan trimester ketiga,
31

preeklampsia lebih sering terjadi pada kehamilan 37 minggu atau bisa terjadi
setelah persalinan (Lalenoh, 2018).
Preekampsia merupakan sindroma spesifik kehamilan yang terutama
berkaitan dengan berkurangnya perfusi orang akibat vasospasme dan aktivasi
endotel, yang bermanifestasi dengan adanya peningkatan tekanan darah dan
proteinuria. Preeklampsia dapat berkembang dari ringan, sedang, sampai dengan
berat, yang dapat berlanjut menjadi eklampsia (Lalenoh, 2018).

2.4.2 Etiologi
Sampai saat ini belum diketahui secara jelas penyebab terjadinya
preeklampsia, namun ada yang menyatakan bahwa preeklampsia dapat terjadi
pada kelompok tertentu diantaranya yaitu ibu yang mempunyai faktor penyebab
dari dalam diri seperti usia ibu, dikarenakan semakin bertambah usia ibu maka
lebih rentan untuk terjadinya peningkatan hipertensi kronis dan menghadapi risiko
lebih besar untuk menderita hipertensi karena kehamilan, riwayat kehamilan,
riwayat melahirkan, keturunan, riwayat preeklampsia (Pratiwi, 2020).
Menurut Ekasari & Natalia(2019b), terdapat teori yang menjadi penyebab
dari preeklampsia, yaitu:
a. Abnormalitas invasi tropoblas
Invasi tropoblas yang kurang sempurna maka akan terjadi kegagalan
remodelinga spiralis. Hal ini mengakibatkan darah menuju lakuna
hemokorioendotel mengalir kurang optimal dan bila jangka waktu lama
mengakibatkan hipooksigenasi atau hipoksia plasenta. Apabila hipoksia
dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan kerusakan endotel pada
plasenta yang menambah berat hipoksia. Kerusakan vaskular selanjutnya
akan terlepas dan masuk ke dalam darah ibu yang menyebabkan gejala
klinis preeklampsia.
b. Maladaptasi imunologi antara maternal-plasenta (paternal)-fetal.
Pada trimester kedua memungkinkan wanita akan terjadi preeklampsia.
Hal ini disebabkan karena reaksi inflamasi yang distimulasi oleh mikro
partikel plasenta dan adiposit.
c. Maladaptasi kardiovaskular atau perubahan proses inflamasi dari proses
kehamilan normal
32

d. Faktor genetik
Preeklampsia adalah penyakit multifaktorial dan poligenik. Predisposisi
herediter untuk preeklamsia mungkin merupakan hasil interaksi dari
ratusam gen yang diwariskan baik secara maternal ataupun paternal yang
mengontrol fungsi enzimatik dan metabolism pada setiap sistem organ.
Faktor plasma yang diturunkan dapat menyebabkan preeklampsia.
e. Faktor nutrisi, kurangnya intake anti oksidan.
Mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan yang tinggi antioksidan
umumnya dihubungkan dengan turunnya tekanan darah.

2.4.3 Manifestasi Klinis


Preeklampsia merupakan kumpulan dari gejala-gejala yang terjadi pada
kehamilan ditandai dengan hipertensi dan oedema. Preeklampsia dimulai dengan
kenaikan berat badan diikuti edema kaki atau tangan, kenaikan tekanan darah, dan
terjadi proteinuria. Tanda gejala yang biasa ditentukan pada preeklampsia yaitu
sakit kepala hebat, sakit ulu hati karena regangan selaput hati oleh perdarahan atau
edema karena perubahan pada lambung dan gangguan penglihatan seperti
penglihatan menjadi kabur bahkan sampai buta, hal ini disebabkan karena
penyempitan pembuluh darah dan edema(Pratiwi, 2020).

2.4.4 Faktor Risiko


Menurut Keman (2014), faktor risiko yang berhubungan dengan
preeklampsia antara lain:
a. Obesitas dan dislipidemia
Obesitas yaitu adanya penimbunan lemak yang berlebihan di dalam tubuh
yang akan memicu terjadinya preeklampasia melalui pelepasan sitokin-
sitokin inflamasi dari sel jaringan lemak sehingga menyebabkan inflamasi
pada endotel sistemik.
b. Terpapar vilikorionik yang berlebihan atau hiperplasentosis, misalnya
pada mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes mellitus,
hidropsfetalis, makrosomia
c. Umur yang ekstrim (terlalu tua atau terlalu muda)
Usia ibu > 40 tahun, seiring bertambahnya usia maka semakin rentan
untuk terjadi peningkatan tekanan darah karena telah terjadi degenerasi.
33

Adanya perubahan patologis, terjadinya spasme pembuluh darah arteri


menuju organ penting dalam tubuh sehingga menyebabkan gangguan
metabolisme jaringan, gangguan peredaran darah, dan menuju
retroplasenter.
d. Primigravida
Preeklampsia lebih sering terjadi pada primigravida dibandingkan dengan
multigravida, terutama primigravida usia muda. Hal ini terjadi karena
preeklampasia timbul pada wanita yang pertama kali terpapar virus korion
karena mekanisme imun pembetukan blocking anti body terhadap antigen
plasenta belum terbentuk secara sempurna, sehingga proses implantasi
trofoblas ke jaringan residual ibu menjadi terganggu. Pada primigravida
juga rentang stres sehingga menstimulus tubuh mengeluarkan kortisol
sehingga meningkatkan respon simpatis, sehingga curah jantung dan
tekanan darah akan meningkat.
e. Kehamilan Ganda
Meningkatkan risiko terjadinya preeklampsia karena terjadi peningkatan
massa plasenta dan produksi hormon.
f. Riwayat keluarga pernah preeklampsia atau eklampsia maupun hipertensi
g. Penyakit-penyakit ginjal dan kardiovaskular termasuk hipertensi yang
sudah ada sebelum hamil

2.4.5 Klafisikasi
Menurut Ekasari & Natalia, (2019) preeklampsia dibagi menjadi 2
klasifikasi yaitu:
a. Preeklampsia ringan
Preeklampsia ringan yaitu hipertensi yang timbul setelah umur kehamilan
lebih dari 20 minggu atau segera mendekati persalinan yang disertai
dengan adanya proteinuria, akan tetapi dapat timbul pada usia kehamilan
sebelum 20 minggu. Tanda-tanda dari preeklampsia ringan, yaitu:
1) Kenaikan tekanan darah diastolik 15 mmHg atau lebih dari 90 mmHg
dengan dua kali pengukuran berjarak 1 jam atau tekanan diastolik
sampai 110 mmHg
2) Kenaikan tekanan darah sistolik 30 mmHg atau mencapai 140 mmHg
34

3) Protein urinpositf 1, edema pada kaki, jari tangan dan muka


4) Kenaikan berat badan 1 kg atau lebih per minggu
b. Preeklampsia berat
1) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih
2) Proteinuria 5 gram atau lebih perliter
3) Oliguria jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam
4) Adanya gangguan serebral, gangguan visus, dan rasa nyeri di
epigastrum
5) Ada edema paru dan sianosis

2.4.6 Patofisiologi
Pada kehamilan normal, uterus dan plasenta akan mendapatkan perfusi
dari cabang arteri uterine dan arteri ovarika yang menembus miometrium dan
selanjutnya menjadi arteri arkuata dan bercabang menjadi arteri radialis yang akan
menembus endometrium menjadi arteri basalis yang bercabang menjadi arteri
spiralis.

Pada kehamilan normal terkadang terjadi invasi trofablas ke dalam lapisan


otot arteriaspiralis, yang akan menimbulkan degenerasi lapisan otot. Sehingga
akan terjadi distensi dan vasodilatasi arteri spinali invasi trofoblas juga memasuki
jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga terjadi perubahan jaringan matriks dan
memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan
vasodilatasi lumen arteri spiralis memberi dampak penurunan tekanan darah,
penurunan resistensi vaskular, serta peningkatan aliran darah ke utero plasenta.
Sehingga mengakibatkan aliran darah ke janin cukup banyak, perfusi jaringan
juga akan meningkat, sehingga pertumbuhan janin akan berjalan dengan baik.
mekanisme ini merupakan proses remodeling dari arteri spiralis.

Hipertensi pada kehamilan, tidak terjadi invasi sel-sel trofablas pada


lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri
spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak
mengalami distensi dan vasodilatasi. Sehingga mengakibatkan arteri spiralis
relatif mengalami vasokontriksi dan selanjutnya terjadi kegagalan remodering
arteri spiralis, sehingga aliran darah utero plasma menurun serta akan terjadi
35

hipoksia dan iskemia plasenta. Hal ini akan menimbulkan perubahan pada
hipertensi dalam kehamilan. Disfungsi endotel ditandai dengan kadar fibronektin
meningkat, faktor vonWillebrand, t-PA dan PAI-1 yang merupakan marker dari
sel-sel endotel.

Pada preeklampsia akan terjadi kegagalan proses remodeling arteri spiralis


yang berkaitan dengan perubahan arteri spiralis menjadi kaku dan keras, tidak bisa
mengalami distensi lagi serta tidak dapat mengalami vasodilatasi. Hal ini akan
mengakibatkan aliran darah utero plasenta berkurang sehingga terjadi hipoksia
serta selanjutnya terjadi iskemia plasenta.

Patogenesis plasenta yang terjadi pada preeklampsia yaitu terjadinya


plasentasi yang tidak sempurna sehingga plasenta tertanam dangkal dan arteri
spiralis tidak semua mengalami dilatasi, aliran darah ke plasenta berkurang
sehingga terjadi infark plasenta yang luas, plasenta mengalami hipoksia sehingga
menghambat pertumbuhan janin, dan deposisi fibrin pada pembuluh darah
plasenta yang selanjutnya akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah
(Lalenoh, 2018).

2.4.7 Komplikasi
Menurut Lalenoh (2018), komplikasi yang tersebut di bawah ini biasanya
terjadi pada preeklampsia berat adalah :

a. Solusio Plasenta
Hal ini biasanya terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut dan lebih
sering terjadi pada preeklampsia.
b. Eklampsia
Timbul kejang pada perempuan preeklampsia sampai mengalami
eklampsia dan koma.
c. Sindrom HEELP
Hal ini terjadi karena peningkatan enzim hati dan penurunan trombosit,
peningkatan enzim kemungkinan disebabkan oleh nekrosis hemoragik
periporta di bagian perifer lobus hepar.
d. Ablasi Retina
36

Merupakan keadaan lepasnya retina sensoris dari epitel pigmen retina


karena adanya peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah akibat
penimbunan cairan yang terjadi pada proses peradangan.
e. Gagal Ginjal
Perubahan pada ginjal diakibatkan oleh aliran darah ke dalam ginjal
menurun sehingga filtrasi glomerulus berkurang. Kelainan ginjal ini
berhubungan dengan terjadinya proteinuria dan retensi garam serta air.
f. Edema Paru
Kerusakan sel endotel pada pembuluh darah kapiler paru dan menurunnya
dieresis, kerusakan vaskuler dapat menyebabkan perpindahan protein dan
cairan ke dalam lobus paru. Gangguan jantung akibat hipertensi dan kerja
ekstra jantung untuk memompa darah ke dalam sirkulasi sistemik yang
menyempit dapat menyebabkan terjadinya kongesti paru.
g. Kerusakan Hati
Vasokontriksi akan menyebabkan hipoksia sel hati yang mengalami
nekrosis diindikasikan oleh adanya enzim hari seperti transminase asparat
dalam darah yang menyebabkan nyeri karena hati membesar. Hal ini
dirasakan sebagai nyeri ulu hati.
h. Penyakit Kardiovaskular
Gangguan ini berkaitan dengan afterload jantung yang meningkat akibat
hipertensi, preload jantung, yang dipengaruhi oleh tidak adanya
hipervolemia pada kehamilan.
i. Gangguan Saraf
Preeklampsia menimbulkan gangguan sirkulasi darah ke otak dan
menyebabkan perdarahan atau edema jaringan otak atau kekurangan
oksigen.

2.4.8 Pencegahan
Menurut Hasliani & Rahmawati (2019), pencegahan atau diagnosis dapat
mengurangi kejadian dan menurunkan angka kesakitan dan kematian. Untuk
mencegah terjadinya preeklampsia ringan yaitu melakukan edukasi berupa:

a. Diet makanan
37

Mengedukasi untuk makanan tinggi protein, tinggi karbohidrat, cukup


vitamin, dan rendah lemak, kurangi garam apabila berat badan bertambah
atau edema. Makanan empat sehat lima sempurna, untuk meningkatkan
jumlah protein dengan tambahan satu butir telur setiap hari.
b. Cukup istirahat
Memperbanyak duduk atau berbaring ke arah punggung janin sehingga
aliran darah menuju plasenta tidak mengalami gangguan. Istirahat yang
cukup sesuai dengan usia kehamilan yang bertambah sehingga bekerja
seperlunya dan disesuaikan dengan kemampuan
c. Pengawasan antenatal
Bila terjadi perubahan perasaan dan gerak janin perhatikan
2) Uji kemungkinan preeklampsia
a) Pemeriksaan tekanan darah atau kenaikannya
b) Pemeriksaan tinggi fundus uteri
c) Pemeriksaan kenaikan berat badan atau edema
d) Pemeriksaa protein dalam urine
e) Jika memungkinkan dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal, fungsi
hati, gambaran darah umum, dan pemeriksaan retina mata
3) Penilaian kondisi janin dalam rahim
a) Pemantauan tinggi fundusuteri
b) Pemeriksaan janin : gerakan janin dalam rahim, denyut jantung
janin, pemantauan air ketuban
c) Mengusulkan untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografi

2.4.9 Penatalaksanaan
MenurutMuaningsih et al., (2020)penatalaksanaan preeklampsia sebagai
berikut:

a. Penatalaksaan preeklampsia tanpa proteinuria kehamilan < 37 minggu


maka dilakukan secara rawat jalan dengan memantau tekanan darah,
proteinuria, kesehatan janin setiap minggu. Jika terdapat peningkatan
tekanan darah, maka segera ditangani.
b. Penatalaksanaan preeklampsia ringan jika kehamilan < 37 minggu, jika
tidak ada tanda-tanda membaik maka monitor seminggu dua kali secara
38

rawat jalan dengan memonitor tekanan darah, kondisi janin, dan refleks
janin. Anjurkan untuk lebih banyak istirahat dan diet.
c. Penatalaksaan preeklampsia ringan yang di rawat di rumah sakit yaitu
diet biasa, memonitor tekanan darah sehari dua kali dan proteinuria satu
kali sehari, diuretik diberikan apabila ada edema paru,
dekompensasikordis maupun gagal ginjal akut. Jika tekanan darah
sistolik normal maka klien dapat dipulangkan untuk rawat jalan dan
ajarkan untuk memantau terjadinya preeklampsia berat. Namun jika
terdapat pertumbuhan janin terhambat maka pertimbangkan untuk
terminasi kehamilan. Jika proteinuria meningkat, maka tangani sesuai
penanganan preeklampsia berat, jika kehamilan > 37 minggu
pertimbangkan untuk terminasi kehamilan.
d. Penatalaksanaan preeklampsia berat yaitu pemberian obat anti
hipertensi (nifedipin), gluko kortikoid untuk pematangan paru janin,
obat anti kejang (magnesium sulfat/mgso4) dengan syarat terpenuhi
yaitu tersedianya antidotu MgSo4 yaitu kalsium glukonas untuk
persiapan jika terjadinya intoksikasi (hiporefleksia, frekuensi napas <
12 kali/menit, hipotensi, letargi), berikan oksigen 4-6 lpm setelah klien
kejang.

2.5 Terapi Relaksasi Benson


Menurut Mulyani Nunung, Mardiah Saadah Siti, & Herliana Lia (2021)
Terapi relaksasi benson adalah pengembangan metode relaksasi napas dalam
dengan melibatkan faktor keyakinan untuk menciptakan lingkungan yang tenang
sehingga membatu mencapai kesehatan yang optimal. Teknik relaksasi benson
untuk menurunkan tekanan darah, mengurangi kecemasan, dan mengurangi nyeri
yang dilakukan dengan cara menggabungkan relaksasi yang diberikan dengan
kepercayaan yang dimiliki oleh klien. Relaksasi benson pada penelitian ini
menggunakan kepercayaan muslim, dimana klien mengucapkan kalimat secara
berulang-ulang.
39

Pada terapi relaksasi benson ini cukup efektif dalam memunculkan keadaan
tenang dan rileks sehingga menstabilkan tekanan darah khususnya pada ibu hamil
dengan hipertensi sekaligus mengurangi kecemasan. Respon relaksasi benson ini
berkaitan dengan hipotalamus pituitary adrenal axis. Ketika tubuh dalam keadaan
rileks, maka axis hipotalamus pituitary adrenal akan mengurangi kadar kortisol,
epinefrin, dan norepinefrin dalam menurunkan tekanan darah dan frekuensi nadi
(Mulyani Nunung et al., 2021).

Menurut Satriana & Feriani (2020) manfaat terapi relaksasi benson yaitu
menurunkan stress, menurunkan tekanan darah, mengurangi rasa nyeri,
mengalami gangguan pola tidur, membantu merileksan tubuh, dan meningkatkan
kesehatan serta membantu individu untuk mengontrol diri dan memfokuskan
perhatian sehingga dapat mengambil respon yang tepat saat di dalam keadaan
yang menegangkan.

Terapi relaksasi benson berfokus pada kata atau kalimat tertentu yag
diucapkan beberapa kali dengan ritme yang teratur dan disertai dengan sikap
pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa sambil menarik napas dalam. Pernapasan
yang panjang mampu memberikan energi yang cukup, karena ketika
menghembuskan napas mengeluarkan karbondioksida dan pada saat menghirup
napas mendapatkan oksigen yang membantu tubuh dalam membersihkan darah
dan mencegah kerusakan jaringan otak akibat kekurangan oksigen. Pada saat
menghirup udara maka otot pada dinding perut akan menekan iga bagian bawah
ke belakang serta mendorong sekat diafragma ke atas sehingga menyebabkan
tingganya tekanan intra abdominal sehingga merangsang aliran darah balik vena
cava inferior atau aorta abdominalis yang menyebabkan aliran darah meningkat
keseluruh tubuh terutama pada organ-organ vital seperti otak, sehingga oksigen
tercukupi ke dalam otak dan tubuh akan menjadi rileks (Fithriana, Firdiyanti, &
Zilfiana, 2018).

2.6 Konsep Asuhan Keperawatan


Proses keperawatan adalah suatu konsep yang diterapkan dalam praktik
keperawatan terdiri dari lima tahap yang saling berhubungan yaitu pengkajian,
40

diagnosis, perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Berikut lima tahap konsep


asuhan keperawatan pada klien:

a. Pengkajian
Pengkajian adalah pengumpulan data secara lengkap dan sistematis untuk
dikaji dan dianalisis sehingga masalah kesehatan dan keperawatan yang
dihadapi pasien baik secara fisik, mental, sosial, maupun spiritual.
1) Biodata klien
Mengkaji identitas klien dan pasangan klien yang meliputi nama,
umur, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, pernikahan, lama
pernikahan, agama, suku, no. Rekam medis, sumber informasi dan
tanggal dilakukan pengkajian.
2) Keluhan utama
Keluhan yang dirasakan klien pada saat pengkajian untuk menentukan
priortas intervensi keperawatan, keluhan utama pada post sectio
caesarea biasanya adanya nyeri pada bagian abdomen, pusing, dan
sakit pinggang.
3) Riwayat Kesehatan
Penyakit ibu sekarang dan riwayat penyakit yang lalu yang perlu
dikaji, mengkaji ibu menderita penyakit akut atau kronis, penyakit
keturunan, penyakit menular yang pernah diderita keluarga. Kemudian
mengkaji riwayat obstetri dan gynekologi ibu yang meliputi riwayat
menstruasi termasuk menerche. Riwayat antenatal care juga perlu
dikaji, status obstetric ibu, riwayat persalinan yang lalu, riwayat
perkawinan serta riwayat permakaian alat kontrasepsi.
4) Pola aktifitas sehari-hari
a) Makan dan minum meliputi komposisi makanan, frekuensi, baik
sebelum dan saat dirawat di rumah sakit. Makanan pada masa
post sc harus bermutu dan bergizi, cukup kalori, makanan yang
mengandung protein, banyak cairan, sayur-sayuran, dan buah-
buahan. Termasuk mengalami peningkatan berat badan atau tidak.
41

b) Eliminasi, pola dan defekasi, jumlah, warna, konsistensi. Adanya


perubahan pola BAK dan BAB. BAB harus 3-4 hari post SC
sedangkan BAK secepatnya.
c) Istirahat dan tidur meliputi gangguan pola tidur karena perubahan
peran dan melaporkan kelelahan yang berlebihan.
d) Personal hygiene, meliputi pola atau frekuensi mandi, menggosok
gigi, cuci rambut sebelum dan saat dirawat di rumah sakit
termasuk menggantu balutan.
5) Psikososial spiritual
Emosi selama pasca sectio caesarea
6) Pemeriksaan Fisik
a) Kepala
Mengkaji bentuk kepala, warna rambut, kebersihan rambut, dan
terdapat benjolan pada bagian kepala atau tidak.
b) Mata
Terkadang adanya pembengkakan pada kelopak mata, kongjutiva,
anemia (pucat) pada selaput mata karena proses persalinan yang
mengalami perdarahan, sklera kuning.
c) Telinga
Bentuk telinga simetris atau tidak, kebersihan telinga, ada cairan
yang keluar dari telinga.
d) Hidung
Lubang hidung simetris, adanya polip atau tidak, adanya nyeri
tekan atau tidak, adanya benjolan, adanya perdarahan, adanya
pernapasan cuping hidung atau tidak, terpasang oksigen atau tidak
e) Mulut dan gigi
Mulut bersih atau kotor, mukosa bibir kering atau lembab, terdapat
caries gigi atau tidak.
f) Leher
Saat dilakukan palpasi ditemukan ada atau tidak pembesaran
kelenjar tiroid, tidak terdapat nyeri tekan, tidak mengalami kaku
kuduk, dan tidak terdapat pembesaran vena jugularis
42

g) Payudara
Simetris antara kanan dan kiri, tidak ada kelainan pada payudara,
aerola, puting inverted atau eksverted, air susu menetes, lancara
atau tidak keluar
h) Paru-paru
Inspeksi : simetris antara kanan dan kiri, ada pembengkakan atau
tidak, gerakan saat inspirasi dan ekspirasi seirama, tidak terdapat
otot bantu napas, tidak terdapat jejas, tidak terdapat lesi
Palpasi : ada nyeri tekan atau tidak, teraba massa atau tidak
Perkusi : redup atau sonor
Auskultasi : suara napas vesikuler atau terdapat suara napas
tambahan (wheezing atau ronkhi)
i) Jantung
Inspeksi : bentuk simetris, tidak terdapat jejas, ictus cordis teraba
atau tidak
Palpasi : ictus cordi terabata atu tidak di intra costae, tidak terdapat
nyeri tekan
Perkusi : redup atau tympani
Auskultasi : bunyi jantung lup dup atau ada suara tambahan
j) Abdomen
Inspeksi : apakah terdapat luka jahitan post operasi, bentuk luka,
panjang luka, tertutup oleh kassa atau tidak, ada strie gravidarium
atau tidak
Palpasi : terdapat nyeri tekan pada luka atau tidak, konsistensi
uterus lembek atau keras
Perkusi : redup
Auskultasi : bising usus
k) Genetalia
Pengeluaran darah ada atau tidak, darah keluar berapa banyak dan
berwarna apa, terdapat luka pada jalan lahir atau tidak
l) Ekstremitas
43

Pemeriksaan ekstremitas terdapat oedema atau tidak karena


pembesaran uterus atau karena preeklampsia
m)Tanda-tanda vital
Apabila terjadi perdarahan pada post sectio caesara maka tekanan
darah akan menurun, nadi cepat, pernapasan meningkat, suhu tubuh
menurun
b. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan kondisi klinis seseorang akibat dari
masalah kesehatan atau proses kehidupan yang aktual maupun potensial.
1) Nyeri akut b.d agen pencedera fisik (prosedur invansif) (D. 0077)
2) Risiko infeksi d.d prosedur invansif (D. 0142)
3) Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri (D. 0054)
4) Defisit perawatan diri b.d kelemahan (D. 0109)
5) Konstipasi b.d efek agen farmakologis (D. 0049)
6) Gangguan rasa nyaman b.d efek samping terapi (D. 00074)
7) Ansietas b.d krisis situasional (D. 0080)
8) Gangguan pola tidur b.d hambatan lingkungan (D. 0055)
9) Pola napas tidak efektif b.d hambatan upaya napas (D. 0005)
10) Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi perfusi (D.
0003)
11) Gangguan eliminasi urine b.d efek tindakan medis dan diagnostik (D.
0040)
12) Resiko ketidakseimbangan cairan d.d perdarahan (D. 0036)
13) Defisit Pengetahuan b.d kurang terpapar informasi (D. 0111)
c. Rencana Asuhan Keperawatan
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN LUARAN (SLKI)
1 Nyeri akut b.d agen pencedera fisik Tingkat Nyeri
(prosedur invansif) (D. 0077) (L. 08066)
2 Risiko infeksi d.d prosedur invansif (D. Kontrol Risiko
0142) (L. 14128)
3 Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri (D. Mobilitas Fisik
0054) (L. 05042)
4 Defisit perawatan diri b.d kelemahan (D. Perawatan Diri
0109) (L. 11103)
5 Konstipasi b.d efek agen farmakologis Eliminasi Fekal
44

(D. 0049) (L. 04033)


6 Gangguan rasa nyaman b.d efek samping Status Kenyamanan
terapi (D. 00074) (L. 08064)
7 Ansietas b.d krisis situasional (D. 0080) Tingkat Ansietas
(L. 09093)
8 Gangguan pola tidur b.d hambatan Pola Tidur
lingkungan (D. 0055) (L. 05045)
9 Pola napas tidak efektif b.d hambatan Pola Napas
upaya napas (D. 0005) (L. 01004)
10 Gangguan pertukaran gas b.d Pertukaran Gas
ketidakseimbangan ventilasi perfusi (D. (L. 01003)
0003)
11 Gangguan eliminasi urine b.d efek Eliminasi Urine
tindakan medis dan diagnostik (D. 0040) (L. 04034)
12 Resiko ketidakseimbangan cairan d.d Keseimbangan Cairan
perdarahan (D. 0036) (L. 03020)
13 Defisit Pengetahuan b.d kurang terpapar Tingkat Pengetahuan
informasi (D. 0111) (L. 12111)

d. Intervensi Keperawatan (SIKI)


NO DIAGNOSA INTERVENSI (SIKI)
KEPERAWATAN
1 Nyeri akut b.d agen Manajemen Nyeri (I. 08238)
pencedera fisik (prosedur Observasi
invansif) (D. 0077) - Identifikasi lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
- Identifikasi skala nyeri
- Identifikasi respons nyeri non
verbal
- Identifikasi faktor yang
memperberat dan memperingan
nyeri
- Identifikasi pengetahuan dan
keyakinan tentang nyeri
- Identifikasi pengaruh nyeri pada
kualitas hidup
- Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah
diberikan
- Monitor efek samping
penggunaan analgetik
Terapeutik
- Berikan teknik non farmakologi
untuk mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hipnosis, akupresur,
45

terapi musik, biofeedback, terapi


pijat, aromaterapi, teknik
imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
- Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis.
Suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
- Fasilitasi istirahat dan tidur
- Pertimbangkan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
- Anjurkan menggunakan analgetik
secara tepat
- Ajarkan teknik non farmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu
2 Risiko infeksi d.d prosedur Pencegahan Infeksi (I.14539)
invansif (D. 0142) Observasi
- Monitor tanda gejala infeksi local
dan sistemik
Terapeutik
- Batasi jumlah pengunjung
- Berikan perawatan kulit pada
daerah edema
- Cuci tangan sebelum dan sesudah
kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
- Pertahankan teknik aseptic pada
pasien berisiko tinggi
Edukasi
- Jelaskan tanda dan gejala infeksi
- Ajarkan cara mencuci tangan
dengan benar
- Ajarkan etika batuk
- Ajarkan cara memeriksa kondisi
luka atau luka operasi
- Anjurkan meningkatkan asupan
cairan
- Anjurkan meningkatkan asupan
46

nutrisi
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian imunisasi,
Jika perlu
3 Gangguan mobilitas fisik Dukungan mobilisasi (I. 05173)
b.d nyeri (D. 0054) Observasi
- Identifikasi adanya nyeri atau
keluhan fisik lainnya
- Identifikasi toleransi fisik
melakukan pergerakan
- Monitor frekuensi jantung dan
tekanan darah sebelum memulai
mobilisasi
- Monitor kondisi umum selama
melakukan mobilisasi
Terapeutik
- Fasilitasi aktivitas mobilisasi
dengan alat bantu (mis. Pagar
tempat tidur)
- Fasilitasi melakukan pergerakan,
jika perlu
- Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan
Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur
mobilisasi
- Anjurkan melakukan mobilisasi
dinI
- Ajarkan mobilisasi sederhana
yang harus dilakukan (mis.
Duduk di tempat tidur, duduk
disisi tempat tidur, pindah dari
tempat tidur ke kursi)
4 Defisit perawatan diri b.d Dukungan Perawatan Diri (I.
kelemahan (D. 0109) 11348)
Observasi
- Identifikasi kebiasaan aktivitas
perawatan diri sesuai usia
- Monitor tingkat kemandirian
- Identifikasi kebutuhan alat bantu
kebersihan diri, berpakaian,
berhias, dan makan
Terapeutik
- Sediakan lingkungan yang
teraupetik (mis. Suasana hangat,
rileks, privasi)
- Siapkan keperluan pribadi (mis.
47

Parfum, sikat gigi, dan sabun


mandi)
- Dampingi dalam melakukan
perawatan diri sampai mandiri
- Fasilitasi untuk menerima
keadaan ketergantungan
- Fasilitasi kemandirian, bantu jika
tidak mampu melakukan
perawatan diri
- Jadwalkan rutinitas perawatan
diri
Edukasi
- Anjurkan melakukan perawatan
diri secara konsisten sesuai
kemampuan
5 Konstipasi b.d efek agen Manajemen Konstipasi (I. 04155)
farmakologis (D. 0049) Observasi:
- Periksa tanda dan gejala
konstipasi
- Periksa pergerakan usus,
karakteristik feses (konsistensi,
bentuk, volume, dan warna)
- Identifikasi faktor risiko
konstipasi (mis. Obat-obatan,
tirah baring, dan diet rendah
serat)
- Monitor tanda dan gejala ruptur
usus dan atau peritonitis
Terapeutik:
- Anjurkan diet tinggi serat
- Lakukan masase abdomen, jika
perlu
- Lakukan evakuasi feses secara
manual, jika perlu
- Berikan enema atau irigasi, jika
perlu
Edukasi:
- Jelaskan etiologi masalah dan
alasan tindakan
- Anjurkan peningkatan asupan
cairan, jika tidak ada
kontraindikasi
- Latih buang air besar secara
teratur
- Ajarkan cara mengatasi
konstipasi/impaksi
Kolaborasi:
- Kolaborasi penggunaan obat
48

pencahar, jika perlu


6 Gangguan rasa nyaman b.d Terapi Relaksasi (I. 09236)
efek samping terapi (D. Observasi:
00074) - Identifikasi penurunan tingkat
energi, ketidakmampuan
berkonsentrasi, atau gejala lain
yang mengganggu kemampuan
kognitif
- Identifikasi teknik relaksasi yang
pernah efektif digunakan
- Identifikasi kesediaan,
kemampuan, dan penggunaan
teknik sebelumnya
- Periksa ketegangan otot,
frekuensi nadi, tekanan darah, dan
suhu sebelum dan sesudah latihan
- Monitor respons terhadap teknik
relaksasi
Terapeutik:
- Ciptakan lingkungan tenang dan
tanpa gangguan dengan
pencahayaan dan suhu ruang
nyaman, jika memungkinkan
- Berikan informasi tertulis tentang
persiapan dan prosedur teknik
relaksasi
- Gunakan pakaian longgar
- Gunakan nada suara lembut
dengan irama lambat dan
berirama
- Gunakan relaksasi sebagai
strategi penunjang dengan
analgesik atau tindakan medis
lain, jika sesuai
Edukasi:
- Jelaskan tujuan, manfaat, batasan,
dan jenis relaksasi yang tersedia
(mis. Musik, meditasi, napas
dalam, relaksasi otot progresif)
- Jelaskan secara rinci intervensi
relaksasi yang dipilih
- Anjurkan mengambil posisi
nyaman
- Anjurkan rileks dan merasakan
sensasi relaksasi
- Anjurkan sering mengulangi atau
melatih teknik yang dipilih
- Demonstrasikan dan latih teknik
49

relaksasi (mis. Napas dalam,


peregangan, dan imajinasi
terbimbing)
7 Ansietas b.d krisis Reduksi Ansietas (I. 09314)
situasional (D. 0080) Observasi
- Identifikasi saat tingkat ansietas
berubah (Mis. Kondisi, waktu,
stresor)
- Identifikasi kemampuan
mengambil keputusan
- Monitor tanda-tanda ansietas
(verbal dan nonverbal)
Terapeutik
- Ciptakan suasana teraupetik
untuk menumbuhkan
kepercayaan
- Temani pasien untuk mengurangi
kecemasan, jika memungkinkan
- Pahami situasi yang membuat
ansietas dengarkan dengan penuh
perhatian
- Gunakan pendekatan yang
tenang dan meyakinkan
- Tempatkan barang pribadi yang
memberikan kenyamanan
- Motivasi mengidentifikasi situasi
yang memicu kecemasan
- Diskusikan perencanaan realisitis
tentang peristiwa yang akan
datang
Edukasi
- Jelaskan prosedur, termasuk
sensasi yang mungkin dialami
- Informasikan secara factual
mengenai diagnosis,
pengobatan, dan prognosis
- Anjurkan keluarga untuk tetap
bersama pasien, Jika perlu
- Latih kegiatan pengalihan untuk
mengurangi ketegangan
- Latih penggunaan mekanisme
pertahanan diri yang tepat
- Latih teknik relaksasi
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian obat
antlansietas, Jika perlu
8 Gangguan pola tidur b.d Dukungan Tidur (I. 06174)
hambatan lingkungan (D. Observasi:
50

0055) - Identifikasi pola aktivitas dan


tidur
- Identifikasi faktor pengganggu
tidur (fisik atau psikologis)
- Identifikasi makanan atau
minuman yang mengganggu tidur
(mis. Kopi, teh, alkohol, makan
mendekati waktu tidur, minum
banyak air sebelum tidur)
- Identifikasi obat tidur yang
dikonsumsi
Terapeutik:
a. Modifikasi lingkungan (mis.
Pencahayaan, kebisingan, suhu,
matras, dan tempat tidur) batasi
waktu tidur siang, jika perlu
b. Fasilitasi menghilangkan stress
sebelum tidur
c. Tetapkan jadwal tidur rutin
d. Lakukan prosedur untuk
meningkatkan kenyamanan (mis.
Pijat, penganturan posisi, terapi
akupresur)
e. Sesuaikan jadwal pemberian obat
dan tindakan untuk menunjang
siklus tidur terjaga
Edukasi:
f. Jelaskan pentingnya tidur cukup
selama sakit
g. Anjurkan menepati kebiasaan
waktu tidur
h. Anjurkan menghindari makanan
atau minuman yang mengganggu
tidur
i. Anjurkan penggunaan obat tidur
yang mengandung supresor
terhadap tidur REM
- Ajarkan faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap gangguan
pola tidur (mis. Psikologis, gaya
hidup, sering berubah shift
bekerja)
- Ajarkan relaksasi otot autogenik
atau cara nonfarmakologi lainnya
9 Pola napas tidak efektif Manajemen Jalan Napas (I. 01011)
b.d hambatan upaya napas Observasi:
(D. 0005) - Monitor pola napas (frekuensi,
kedalaman, usaha napas)
51

- Monitor bunyi napas tambahan


(mis. Gurgling, mengi, wheezing,
ronkhi kering)
- Monitor sputum (jumlah, warna,
aroma)
Terapeutik
- Pertahankan kepatenan jalan napas
dengan head tilt dan chin lift (jaw
thrust, jika curiga trauma servikal)
- Posisikan semi fowler atau fowler
- Berikan minuman hangat
- Lakukan fisioterapi dada, jika
perlu
- Lakukan penghisapan lender
kurang dari 15 detik
- Lakukan hiperoksigenasi sebelum
penghisapan endotrakeal
- Keluarkan sumbatan benda padat
dengan forsep McGill
- Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
- Anjurkan asupan cairan 2000
ml/hari, jika tidak kontra indikasi
- Anjurkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
10 Gangguan pertukaran gas Pemantauan Respirasi (I. 01014)
b.d ketidakseimbangan Observasi:
ventilasi perfusi (D. 0003) - Monitor pola nafas (Seperti
bradipnea, takipnea,
hiperventilasi, kussmaul, Cheyne
stokes, biot, ataksik)
- Monitor frekuensi, irama,
kedalaman dan upaya napas
- Monitor kemampuan batuk efektif
- Monitor adanya produksi sputum
- Monitor adanya sumbatan jalan
nafas
- Palpasi kesimetrisan ekspansi
paru
- Auskultasi bunyi napas
- Monitor saturasi oksigen
- Monitor nilai AGD
- Monitor hasil x-ray toraks
52

Terapeutik:
- Atur Interval pemantauan
respirasi sesuai kondisi pasien
- Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
- Informasikan hasil pemantauan,
jika perlu
11 Gangguan eliminasi urine Manajemen Eliminasi Urin (I.
b.d efek tindakan medis 04152)
dan diagnostik (D. 0040) Observasi:
- Identifikasi tanda dan gejala
retensi atau inkontinensia urin
- Identifikasi faktor yang
menyebabkan retensi atau
inkontinensia urin
- Monitor eliminasi urin (mis.
Frekuensi, konsistensi, aroma,
volume, dan warna)
Terapeutik:
- Catat waktu-waktu haluaran
berkemih
- Batasi asupan cairan, jika perlu
- Ambil sampel urin tengah
(midstream) atau kultur
Edukasi:
- Ajarkan tanda dan gejala infeksi
saluran kemih
- Ajarkan mengukur asupan cairan
dan haluaran urin
- Anjarkan mengambil spesimen
urine midstream
- Ajarkan mengenali tanda
berkemih dan waktu yang tepat
untuk berkemih
- Ajarkan terapi modalitas
penguatan otot-otot panggul atau
berkemihan
- Anjurkan minum yang cukup,
jika perlu tidak ada kontraindikasi
Kolaborasi:
- Kolaborasi pemberian obat
suppositoria, jika perlu
12 Resiko ketidakseimbangan Manajemen Cairan (I.03098)
cairan d.d perdarahan (D. Observasi
0036) - Monitor status hidrasi (mis.
53

Frekuensi nadi, kekuatan nadi,


akral, pengisian kapiler,
kelembapan mukosa, turgor kulit,
tekanan darah)
- Monitor berat badan harian
- Monitor berat badan sebelum dan
sesudah dialysis
- Monitor hasil pemeriksaan
laboratorium (mis. Hematokrit,
Na, K, Cl, berat jenis urine, BUN)
- Monitor status hemodinamik
(mis. MAP, CVP, PAP, PCWP
jika tersedia)
Terapeutik
- Catat intake output dan hitung
balance cairan 24 jam
- Berikan asupan cairan, sesuai
kebutuhan
- Berikan cairan intravena, jika
perlu
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian diuretik,
jika perlu
13 Defisit Pengetahuan b.d Edukasi Kesehatan (I. 12383)
kurang terpapar informasi Observasi
(D. 0111) - Identifikasi kesiapan dan
kemampuan menerima informasi
- Identifikasi faktor-faktor yang
dapat meningkatkan dan
menurunkan motivasi perilaku
perilaku hidup bersih dan sehat
Terapeutik
- Sediaakan materi dan media
pendidikan kesehatan
- Jadwalkan pendidikan kesehatan
sesuai kesepakatan
- Berikan kesempatan untuk
bertanya
Edukasi
- Jelaskan faktor risiko yang dapat
mempengaruhi kesehatan
- Ajarkan perilaku hidup bersih dan
sehat
- Ajarkan strategi yang dapat
digunakan untuk meningkatkan
perilaku hidup bersih dan sehat
54

e. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan fase kelima atau fase terakhir dalam proses
keperawatan. Evaluasi adalah aktivitas yang direncanakan, berkelanjutan,
dan terarah ketika klien dan perawatn menentukan kemajuan klien menuju
pencapaian tujuan atau hasil dan keefektifan rencana asuhan keperawatan
Ibu : obesitas, terpapar - Tekanan darah tinggi
Ibu : IMT obesitas, -Infeksi amnionitis, vilikorionik, usia, - Usia Ibu > 30 tahun
genetalia Riwayat Sectio
riwayat KPD, primigravida, kehamilan - Riwayat Kehamilan
- Serviks inkompetensia Caesarea
nulipara, pendidikan ganda, riwayat PEB - Riwayat PEB
rendah, pekerjaan, - Trauma hubungan
riwayat prematuritas, seksual Bekasa Sectio
kehamilan ganda - Overdistensi uterus Preeklampsia
- Kelainan letak janin Caesarea

Janin : Kelainan Spasme pembuluh darah


letak janin Ketuban Pecah Dini
(KPD)
Sectio Caesarea Suplai darah ke plasenta ↓

Ibu tidak
mengetahui Air ketuban terlalu Perfusi Uteroplasenter ↓
penyebab dan banyak keluar
Post anastesi Insisi
akibat KPD
Maladaptasi uterus Hipoksia Plasenta
Distoksia Penurunan kerja pons Jaringan
Defisit kontinuitas Pertumbuhan
Pengetahuan Iskemia
terputus plasenta terganggu
Laserasi
Peristaltik usus ↓
jalan lahir
Pelepasan Lahir premature
Luka Post
Kecemasan Jaringan tropoblastik
Konstipasi Operasi
Risiko Infeksi ibu pada janin
Paru Janin belum
Kurang Endoteliosis
Merangsang area terbentuk sempurna
Ansietas proteksi pada glomerulus
sensorik
Nyeri Akut
Permeabilitas Kerja napas ↑
Gangguan Pola Nyeri Akut Invaksi bakteri
Tidur kapiler terhadap
protein ↑ Pola Napas Tidak
Gangguan
Resiko Efektif
Rasa Nyaman Gangguan Infeksi Proteinuria
Mobilitas Fsik

40
4

Kadar albumin
Produksi urine ↓ darah ↓

Tekanan onkotik
Gangguan
plasma ↓
Eliminasi
Urine
Perpindahan
cairan
intravaskular ke
intersisial

Edema di
paru-paru

Sesak napas

Gangguan
Pertukaran
Gas
4

Anda mungkin juga menyukai