Anda di halaman 1dari 36

BAB 7

STUDI FASIES SERTA LINGKUNGAN PENGENDAPAN


BATUGAMPING DI DESA GERBOSARI DAN SEKITARNYA,
KECAMATAN SAMIGALUH, KABUPATEN KULONPROGO,
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Gerakan massa seringkali disebut sebagai longsoran dari massa

tanah/batuan dan secara umum diartikan sebagai suatu gerakan tanah atau batuan

dari tempat asalnya karena pengaruh gravitasi dan faktor lainnya.

7.1 Latar Belakang

Kegiatan penelitian geologi ini dilaksanakan dalam rangka mempelajari

kondisi geologi pada daerah penelitian yang meliputi geomorfologi, stratigrafi,

struktur geologi, sejarah geologi, dan geologi lingkungan untuk memberikan

informasi kebumian. Dengan mengetahui kondisi geologinya, maka dapat

diperkirakan potensi sumberdaya alam baik positif maupun negatif yang

selanjutnya dapat ditangani untuk kesejahteraan manusia, yang terdapat di daerah

penelitian yaitu pada perbatasan Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Magelang

dan Kabupaten Purworejo, dengan lokasi studi kasus pada Desa Gerbosari dan

sekitarnya, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa

Yogyakarta.

Penelitian ini didasari adanya ketertarikan terhadap Batugamping yang ada

di Desa Gerbosari dan sekitarnya yang tersebar secara setempat-setempat. Metode

analisis yang digunakan yaitu studi pustaka, penelitian geologi di lapangan

mencakup semua aspek geologi, analisis laboratorium yaitu analisis struktur,

87
88

analisis mikropaleontologi, analisis petrografi, serta pembuatan dan analisis

kolom MS (Measured Section).

7.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian geologi adalah untuk memenuhi persyaratan

akademik tingkat Sarjana (S1), pada Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi

Mineral, Institus Sains dan Teknologi AKPRIND Yogyakarta.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi geologi

permukaan yang mencakup aspek geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi

sehingga dapat ditentukan sejarah geologinya serta mengetahui fasies dan

lingkungan pengendapan Batugamping di Desa Gerbosari, Kecamatan Samigaluh,

Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta.

7.3 Dasar Teori

Fasies merupakan bagian yang sangat penting dalam mempelajari ilmu

sedimentologi. Boggs (1995) mengatakan bahwa dalam mempelajari lingkungan

pengendapan sangat penting untuk memahami dan membedakan dengan jelas

antara lingkungan sedimentasi (sedimentary environment ) dengan lingkungan

facies (facies environment).

7.3.1 Batuan Karbonat

Batuan karbonat adalah batuan sedimen yang mempunyai komposisi

dominan terdiri dari garam – garam karbonat, sedang dalam prakteknya secara

umum meliputi batugamping dan dolomit. Proses pembetukannya dapat terjadi

secara insitu, yang berasal dari larutan yang mengalami proses kimiawi maupun

biokimia, dimana dalam proses tersebut organisme turut berperan dan dapat pula
89

terjadi dari butiran rombakan yang telah mengalami transportasi secara mekanik

yang kemudian diendapkan pada tempat lain (Koesoemadinata, 1985).

Batuan karbonat memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan batuan

klastik terrigenous. Batuan karbonat dapat terbentuk dari hasil presitipasi dan juga

akumulasi dari fragmen-fragmen skeletal di sekitarnya. Pada batuan karbonat

penamaan dikarekteristikkan dengan komposisi sedimen yang terkandung dan

sekaligus sebagai penciri lingkungan pengendapannya, variasi dari ukuran

fragmen tidak terpengaruh oleh rezim arus.

7.3.2 Fasies Batuan Karbonat

Fasies dapat didefinisikan sebagai karakter tubuh batuan berdasarkan

kombinasi litologi, struktur fisik atau biologi yang mempengaruhi aspek pembeda

tubuh batuan antara satu dengan yang lainnya. Fasies batuan karbonat ini

menggunakan klasifikasi Koesoemadinata (1985) hasil modifikasi klasifikasi dari

Dunham (1962) dan Embry dan Klovan (1971) (Gambar 7.1), antara lain:
90

Gambar 7.1 Klasifikasi batuan karbonat berdasarkan teksturnya


(modifikasi Dunham, 1962 dan Embry dan Klovan, 1971)
Berikut adalah definisi penamaan batuan karbonat berdasarkan teksturnya

menurut klasifikasi di atas:

a. Mudstone, fasies ini memiliki karakteristik dari ukuran butiran yang halus (mud

supported), keterdapatan fragmen tidak lebih dari sepuluh persen (< 10%).

b. Wackstone, fasies ini memiliki karakteritik terdiri dari ukuran butiran yang

sangat halus (lumpur atau kalsilutit) namun masih memiliki asosiasi dengan

fragmen klastik yang lebih besar tetapi tidak dominan.

c. Packstone, fasies ini memiliki karakteristik mulai melimpahnya lumpur

karbonat (> 15%) namun fasies ini masih tetap didominasi oleh butiran.

d. Grainstone, fasies ini merupakan batugamping klastik yang penyusun

utamanya merupakan butiran yang ukurannya lebih besar 2 mm, keterdapatan

matriks di fasies ini tidak ada.

e. Floatstone, fasies ini memiliki karakteristik butiran terdiri dari fragmen

kerangka organik tidak lebih dari sepuluh persen (< 10%) yang tertanam dalam

matriks karbonat.
91

f. Rudstone, fasies ini memiliki karakteristik kelimpahan butiran > 10% dengan

dukungan ukuran komponen > 2mm.

g. Framestone, fasies ini memiliki karakteristik hampir seluruhnya terdiri dari

kerangka organik seperti koral, alga dan lainnya. Sedangkan komposisi

matriksnya kurang dari 10% antara kerangka tersebut biasanya terisi oleh sparry

calcite.

h. Bafflestone, fasies ini memiliki karakateristik butiran terdiri dari kerangka

organik seperti koral yang sedang dalam posisi tumbuh berdiri (growth position)

dan diselimuti oleh lumpur karbonat yang mengisi rongga-rongga pada koral.

Koral tersebut berperan sebagai (baffle) yang menjebak lumpur karbonat.

i. Bindstone, fasies ini memiliki karakteristik butiran yang terdiri dari kerangka

ataupun pecahan yang telah mengalami pengikatan oleh kerak-kerak lapisan

batugamping (encrusting) yang dikeluarkan oleh ganggang merah dan lainnya.

7.3.3 Fasies pengendapan Batuan Karbonat

Kebanyakan reef tumbuh di air dangkal dan kedalamannya terkontrol

dengan baik. Dua hal ini rentan terhadap pergantian muka air laut, yang bisa

disebabkan oleh eustasi proses tektonisme dan rasio penurunan cekungan.

Kenaikan muka air laut identik dengan pertumbuhan reef, namun jika kenaikan

muka air laut lebih cepat dari pertumbuhan reef, maka reef tersebut akan berhenti

tumbuh (give up reef). Kenaikan muka air laut juga mempengaruhi suplai nutrisi

pada reef tersebut, namun jika kondisi muka air laut turun maka karbonat akan

berpindah atau akan mati karena tersingkap dan memungkinkan terjadinya proses
92

diagenesis. Link, (1950) (Gambar 7.2) dan Luis Pomar, (2004) (Gambar 7.3)

membagi beberapa fasies pengendapan, yaitu:

Gambar 7.2 Model Fasies Pengendapan (Link, 1950)

Gambar 7.3 Model Capitan/Barrier Reef linier (Pomar et al, 2004)

a. Back reef lagoon


93

Lagoon adalah suatu tempat yang dibatasi oleh pembatas, area dengan

energi yang rendah di belakang reef crest/reef core. Di beberapa sistem patch reef

mungkin dipisahkan oleh fasies inter-reef dari karakter yang lebih ke open

marine, dari pembatasnya, endapan lagoonal. Dicirikan oleh endapan mudstone

dan wackestone dengan lapisan yang horisontal dan dibatasi dengan erosional

pada permukaannya, mengandung fosil berupa Moluska, Miliolid, Ostracoda,

Stromatolit dan Mangrove serta sering juga terdapat sea grass, bagian ini sering

disebut Inner back reef lagoon. Sementara pada bagian Outer back reef lagoon

dicirikan dengan endapan skeletal grainstone dan packstone dengan dominasi

koral, fosil yang sering dijumpai berupa koral, Moluska, Foraminifera, alga

merah, Rhodolite, Echinodermata, cacing dan Halimeda dan terdapat juga pellet.

b. Reef core

Reef core merupakan endapan yang tertinggi (puncak reef) hampir

tersingkap ke permukaan dan merupakan hasil aktivitas gelombang. Hasil

morfologi reef dan komposisinya bergantung pada rezim energi yang

berkembang. Pada energi yang tinggi didominasi encrusting organisme khususnya

low encrusting growths of coralline algae. Pada energi yang rendah sering

ditemukan hydrozoan atau robust coral. Dicirikan oleh endapan kerangka koral

(boundstone) dengan skeletal grainstone dan packstone, endapan berbentuk

sigmnoidal, fosil yang sering dijumpai Koral, Alga merah, Foraminifera, Bryozoa,

Cacing dan Moluska.

c. Fore reef/Fore reef-slope

Merupakan morfologi yang berkembang dari reef core, membentuk lereng

kira-kira 5–10° dan 10–30°. Dengan dicirikan oleh endapan skeletal kasar seperti
94

packstone dan wackestone, terkadang juga didominasi oleh endapan gravitasi dan

sedimen pelagik. Kehadiran fosil seringkali berupa pecahan koral, Moluska,

Rhodolit, Alga merah, Biostrome, Halimeda dan Foram plankton.

d. Off reef/Open shelf

Morfologi hampir datar seperti halnya Back reef lagoon, endapan yang

sering dijumpai adalah endapan halus seperti mudstone dan wackestone, dan

endapan kasar seperti packstone dan grainstone. Endapan horizontal dan sedikit

sekali dijumpai bioturbasi, fosil yang sering dijumpai adalah Foram Plankton,

Echinodermata, Pectinid, Rhodolit, pecahan alga merah dan koral.

7.3.4 Lingkungan Pengendapan

Lingkungan pengendapan adalah bagian dari permukaan bumi dimana

proses fisik, kimia dan biologi berbeda dengan daerah yang berbatasan dengannya

(Selley, 1988). Sedangkan menurut Boggs (1995) lingkungan pengendapan adalah

karakteristik dari suatu tatanan geomorfik dimana proses fisik, kimia dan biologi

berlangsung yang menghasilkan suatu jenis endapan sedimen tertentu. Nichols

(1999) menambahkan yang dimaksud dengan proses tersebut adalah proses yang

berlangsung selama proses pembentukan, transportasi dan pengendapan sedimen.

Perbedaan fisik dapat berupa elemen statis ataupun dinamis. Elemen statis antara

lain geometri cekungan, material endapan, kedalaman air dan suhu, sedangkan

elemen dinamis adalah energi, kecepatan dan arah pengendapan serta variasi

angin, ombak dan air. Termasuk dalam perbedaan kimia adalah komposisi dari

cairan pembawa sedimen, geokimia dari batuan asal di daerah tangkapan air

(oksidasi dan reduksi (Eh), keasaman (pH), salinitas, kandungan karbon dioksida
95

dan oksigen dari air, presipitasi dan solusi mineral). Sedangkan perbedaan biologi

tentu saja perbedaan pada fauna dan flora di tempat sedimen diendapkan maupun

daerah sepanjang perjalanannya sebelum diendapkan. Permukaan bumi

mempunyai morfologi yang sangat beragam, mulai dari pegunungan, lembah

sungai, dataran, padang pasir (desert), delta sampai ke laut. 

Analogi pembagian lingkungan pengendapan secara garis besar dapat

dibagi menjadi tiga kelompok, yakni darat (misalnya sungai, danau dan gurun),

peralihan (atau daerah transisi antara darat dan laut; seperti delta, lagun dan

daerah pasang surut) dan laut. Banyak penulis membagi lingkungan pengendapan

berdasarkan versi masing-masing. Selley (1988) misalnya, membagi lingkungan

pengendapan menjadi 3 bagian besar: darat, peralihan dan laut.

Beberapa penulis membagi lingkungan pengendapan langsung menjadi

lebih rinci lagi. Lingkungan pengendapan tidak akan dapat ditafsirkan secara

akurat hanya berdasarkan suatu aspek fisik dari batuan saja. Maka dari itu untuk

menganalisis lingkungan pengendapan harus ditinjau mengenai struktur sedimen,

ukuran butir (grain size), kandungan fosil (bentuk dan jejaknya), kandungan

mineral, runtunan tegak dan hubungan lateralnya, geometri serta

distribusi batuannya.

Bandy (1967) masih mempergunakan Teluk Meksiko sebagai studi kasus

dan menambahkan penelitiannya pada Pasifik bagian timur untuk menentukan

biofasies dasar laut. Hasil penelitian ini menyimpulkan adanya pembagian

lingkungan pengendapan sebagai berikut (Gambar 7.4) :


96

Gambar 7.4 Zonasi Lingkungan Pengendapan Fosil (Bandy, 1967)

1. Habitat sungai adalah lingkungan sungai yang bebas dari pengaruh arus,

mengandung foraminifera air tawar seperti Leptodermella, Urnulina,

Lagunculina, dan Protoneina.

2. Habitat rawa adalah lingkungan air payau yang mengandung foraminifera

arenaceous seperti Ammotium, Trochammina, dan Miliammina.

3. Habitat lagoon adalah fauna air payau masih dijumpai, ditambah dengan fauna

lagun seperti Ammonia dan Elphidium. Bahkan jumlah Ammonium beccarii

mencapai 70-80 %.

4. Habitat fluvial – marine adalah lingkungan muara sungai, berkembang satu

spesies unik, yaitu Palmerinella gardenislandensis.

5. Habitat pantai terbuka adalah lingkungan dengan energi tinggi didominasi

fauna yang berukuran lebih besar seperti Elphidium spp., Ammonia beccarii

vars, golongan Millioli dan Amphistegina.


97

6. Lingkungan laut terbuka:

a. Zona neritik tepi memiliki kedalaman 0-100 kaki / 0-30,48m dijumpai

antara lain Ammonia beccarii, Elphidium spp., golongan Milliolidae,

Eggerella advena dan Textularia.

b. Zona neritik tengah memiliki kedalaman 100-300 kaki/ 30,84-91,44m

dijumpai antara lain fauna sebelumnya, ditambah dengan Eponides

anttilarum, Cibicides sp., Robulus, Cassidulina subglobosa dsb.

c. Zona neritik luar memiliki kedalaman 300-600 kaki/ 91,44-182,88m

dijumpai antara lain Bulimina, Marginulina, Siphonina dan Uvigerina.

d. Zona bathyal atas memiliki kedalaman 600-1500 kaki/ 182,88-457,2m

dijumpai antara lain Uvigerina spp., Bulimina, Valvulinerina, Bolivina, dan

Gyroidina soldonii.

e. Zona bathyal tengah memiliki kedalaman 1500-3000 kaki/ 457,2-914,4m

dijumpai antara lain Cyclammina cancellata, Hoeglundina elegans,

Chilostomella oolina, Cibicides wullerstorfi dan Cibicides rugosus.

f. Zona bathyal bawah memiliki kedalaman 3000-6000 kaki/ 914,4-1828,8m

dijumpai antara lain Cibicides wuellerstorfi, Melonis barleeanus, Uvigerina

haspida dan Oridorsalis umbonatus.

g. Zona abyssal memiliki kedalaman 6000-16000 kaki/ 1828,8-4876,8m

dijumpai antara lain Melonis pompiloides, Uvigerina ampulocea, Bulimina

rostrata, Cibicides mexicanus dan Eponides tumidulus.

h. Zona hadal memiliki kedalaman >16000 kaki/ >4876,8 m dijumpai antara

lain Bathysipon dan Recurvoides turbinatus.


98

7.4 Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan untuk mengidentifikasi fasies dan

lingkungan pengendapan batugamping yaitu dengan pemetaan lapangan

kemnudian menentukan lokasi pengamatan berdasarkan pada ketinggian (elevasi)

di Daerah Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo, Daerah

Istimewa Yogyakarta, yang kemudian dibedakan menjadi bagian atas (top),

tengah (middle) dan bawah (bottom), kemudian pengamatan lapangan terdiri dari

pengamatan penyebaran batuan karbonat daerah penelitian, pendeskripsian

singkapan bagian atas (top), tengah (middle) dan bawah (bottom), pembuatan

sketsa lapangan dan pengambilan foto lapangan. Setelah itu pengambilan sampel

batuan meliputi bagian atas (top), tengah (middle) dan bawah (bottom), digunakan

dalam pembuatan sayatan petrografi dengan masing-masing satu sayatan

petrografi pada masing-masing bagian dan didukung dengan pengukuran

menggunakan metode measuring section akan menghasilkan output berupa kolom

Measured Section yang nantinya digunakan sebagai acuan dalam penarikan fasies

dan lingkungan pengendapan batugamping.

7.5 Profil litologi daerah studi kasus

Lokasi pengamatan dan pengambilan data profil litologi berada pada 6

titik lokasi pengamatan yang berdasarkan pada elevasi atau ketinggian serta

kondisi singkapan yang masih segar. Tidak adanya kehadiran varian litologi

batuan karbonat lain di daerah penelitian dan hanya dijumpai satuan batugamping

terumbu, maka penyusun hanya melakukan pembuatan profil litologi pada 6 titik
99

lokasi pengamatan yang telah ditentukan untuk pembahasan fasies serta

lingkungan pengendapan batuan karbonat.

7.5.1 Lokasi Pengamatan 60 (Top)

Singkapan ini berada pada koordinat 07°41’44” LS dan 110°12’12” BT

dicirikan dengan keterdapatan batugamping terumbu yang tidak memiliki jurus

dan (Gambar 7.5). Memiliki ketebalan 16,38 m.

Gambar 7.5 Singkapan batuan karbonat Lokasi Pengamatan 60 (Top), lensa menghadap timurlaut

Berdasarkan analisis sayatan petrografi yang telah dilakukan pada sampel

di lokasi pengamatan 60, memiliki kandungan Bioclast (80%) terdiri dari

Foraminifera besar, Foraminifera kecil (planktonik dan bentonik), coral, red algae

dan pecahan cangkang moluska, berukuran >2mm, sebagian dalam keadaan utuh

dan sebagian besar berupa pecahan. Lumpur karbonat (15%) hadir merata dalam

sayatan, berwarna cokelat keruh. Sparit (5%) sebagian mengisi bioclast (Gambar
100

7.6). Lokasi pengamatan 60 ini termasuk ke dalam penamaan fasies Bindstone

menurut Embry dan Klovan, (1971).

Gambar 7.6 Sayatan batugamping Lokasi Pengamatan 60 (Top)

Pembuatan kolom litologi berdasarkan pengamatan lapangan yang

dilakukan pada hari minggu tanggal 25 Agustus 2019 yang berada pada Desa

Banjarasri, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa

Yogyakarta didapat ketebalan singkapan 16,38 m dengan kolom litologi lokasi

pengamatan 60 yang merupakan bagian atas (top) yang memiliki skala 1:100

terlampir sebagai lampiran lepas pada akhir naskah skripsi (Tabel 7.1).

Kolom litologi ini memiliki komponen pendukung berupa foto

kenampakan singakapan (foto pertama dalam kolom) , foto handspicemen (foto

kedua dalam kolom) dan foto sayatan petrografi (foto ketiga dalam kolom) yang

digunakan untuk memberi gambaran secara untuh dan menyeluruh dari litologi

lokasi pengamatan 60.


101

Tabel 7.1 Kolom litologi Lokasi Pengamatan 60 (Top)


102

7.5.2 Lokasi Pengamatan 61 (Middle)

Singkapan ini berada pada koordinat 07°41’31” LS dan 110°12’12” BT

dicirikan dengan keterdapatan batugamping terumbu yang tidak memiliki jurus

dan kemiringan (Gambar 7.7). Memiliki ketebalan 9,30 m.

Gambar 7.7 Singkapan batuan karbonat Lokasi Pengamatan 61 (Middle), lensa menghadap timur

Berdasarkan analisis sayatan petrografi yang telah dilakukan pada sampel

di lokasi pengamatan 61, memiliki kandungan Bioclast (65%) terdiri dari

Foraminifera kecil (planktonik dan bentonik), coral dan red algae, berukuran

>2mm, sebagian dalam keadaan utuh dan sebagian besar berupa pecahan. Lumpur

karbonat (28%) hadir merata dalam sayatan, berwarna cokelat keruh. Sparit (7%)

sebagian mengisi bioclast (Gambar 7.8). Lokasi pengamatan 61 ini termasuk ke

dalam penamaan fasies Rudstone menurut Embry dan Klovan, (1971).


103

Gambar 7.8 Sayatan batugamping Lokasi Pengamatan 61 (Middle)

Pembuatan kolom litologi berdasarkan pengamatan lapangan yang

dilakukan pada hari minggu tanggal 25 Agustus 2019 yang berada pada Desa

Banjarasri, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa

Yogyakarta didapat ketebalan singkapan 9,30 m dengan kolom litologi lokasi

pengamatan 61 yang merupakan bagian tengah (middle) yang memiliki skala

1:100 terlampir sebagai lampiran lepas pada akhir naskah skripsi (Tabel 7.2).

Kolom litologi ini memiliki komponen pendukung berupa foto

kenampakan singakapan (foto pertama dalam kolom) , foto handspicemen (foto

kedua dalam kolom) dan foto sayatan petrografi (foto ketiga dalam kolom) yang

digunakan untuk memberi gambaran secara untuh dan menyeluruh dari litologi

lokasi pengamatan 61.


104

Tabel 7.2 Kolom profil litologi Lokasi Pengamatan 61 (Middle)


105

7.5.3 Lokasi Pengamatan 62 (Bottom)

Singkapan ini berada pada koordinat 07°41’15” LS dan 110°12’16” BT

dicirikan dengan keterdapatan batugamping terumbu yang tidak memiliki jurus

dan kemiringan serta kontak dengan breksi andesit (Gambar 7.5). Memiliki

ketebalan 12,8 m.

Gambar 7.9 Singkapan batuan karbonat Lokasi Pengamatan 62 (Bottom),


lensa menghadap timurlaut

Berdasarkan analisis sayatan petrografi yang telah dilakukan pada sampel

di lokasi pengamatan 62, memiliki kandungan Bioclast (62%) terdiri dari

Foraminifera besar sebagai penyusun yang dominan dan terdapat pula

Foraminifera kecil (planktonik dan bentonik), berukuran >2mm, sebagian dalam

keadaan utuh dan sebagian besar berupa pecahan. Lumpur karbonat (30%) hadir

merata dalam sayatan, berwarna cokelat keruh. Sparit (8%) sebagian mengisi

bioclast (Gambar 7.10). Lokasi pengamatan 62 ini termasuk ke dalam penamaan

fasies Large Foraminifera Rudstone menurut Embry dan Klovan, (1971).


106

Gambar 7.10 Sayatan batugamping Lokasi Pengamatan 62 (Bottom)

Pembuatan kolom litologi berdasarkan pengamatan lapangan yang

dilakukan pada hari minggu tanggal 25 Agustus 2019 yang berada pada Desa

Banjarasri, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa

Yogyakarta didapat ketebalan singkapan 12,8 m dengan kolom litologi lokasi

pengamatan 62 yang merupakan bagian bawah (bottom) yang memiliki skala

1:100 terlampir sebagai lampiran lepas pada akhir naskah skripsi (Tabel 7.3).

Kolom litologi ini memiliki komponen pendukung berupa foto

kenampakan singakapan (foto pertama dalam kolom) , foto handspicemen (foto

kedua dalam kolom) dan foto sayatan petrografi (foto ketiga dalam kolom) yang

digunakan untuk memberi gambaran secara untuh dan menyeluruh dari litologi

lokasi pengamatan 62.


107

Tabel 7.3 Kolom profil litologi Lokasi Pengamatan 62 (Bottom)


108

7.5.4 Lokasi Pengamatan 83 (Top)

Singkapan ini berada pada koordinat 07°39’38” LS dan 110°10’16” BT

dicirikan dengan keterdapatan batugamping terumbu yang tidak memiliki jurus

dan kemiringan (Gambar 7.11). Memiliki ketebalan 14,43 m.

Gambar 7.11 Singkapan batuan karbonat Lokasi Pengamatan 83 (Top), lensa menghadap timur

Berdasarkan analisis sayatan petrografi yang telah dilakukan pada sampel

di lokasi pengamatan 83, memiliki kandungan Bioclast (85%) terdiri dari

Foraminifera besar, Foraminifera kecil (planktonik dan bentonik), coral, red algae

dan pecahan cangkang moluska, berukuran >2mm, sebagian dalam keadaan utuh

dan sebagian besar berupa pecahan. Lumpur karbonat (8%) hadir merata dalam

sayatan, berwarna cokelat keruh. Sparit (7%) sebagian mengisi bioclast (Gambar

7.12). Lokasi pengamatan 83 ini termasuk ke dalam penamaan fasies Bindstone

menurut Embry dan Klovan, (1971).


109

Gambar 7.12 Sayatan batugamping Lokasi Pengamatan 83 (Top)

Pembuatan kolom litologi berdasarkan pengamatan lapangan yang

dilakukan pada hari sabtu tanggal 24 Agustus 2019 yang berada pada Desa

Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa

Yogyakarta didapat ketebalan singkapan 14,43 m dengan kolom litologi lokasi

pengamatan 83 yang merupakan bagian atas (top) yang memiliki skala 1:100

terlampir sebagai lampiran lepas pada akhir naskah skripsi (Tabel 7.4).

Kolom litologi ini memiliki komponen pendukung berupa foto

kenampakan singakapan (foto pertama dalam kolom) , foto handspicemen (foto

kedua dalam kolom) dan foto sayatan petrografi (foto ketiga dalam kolom) yang

digunakan untuk memberi gambaran secara untuh dan menyeluruh dari litologi

lokasi pengamatan 83.


110

Tabel 7.4 Kolom profil litologi Lokasi Pengamatan 83 (Top)


111

7.5.5 Lokasi Pengamatan 82 (Middle)

Singkapan ini berada pada koordinat 07°39’42” LS dan 110°10’06” BT

dicirikan dengan keterdapatan batugamping terumbu yang tidak memiliki jurus

dan kemiringan (Gambar 7.13). Memiliki ketebalan 10,85 m.

Gambar 7.13 Singkapan batuan karbonat Lokasi Pengamatan 82 (Middle),


lensa menghadap baratlaut

Berdasarkan analisis sayatan petrografi yang telah dilakukan pada sampel

di lokasi pengamatan 82, memiliki kandungan Bioclast (60%) terdiri dari

Foraminifera besar dan red algae, berukuran >2mm, sebagian dalam keadaan utuh

dan sebagian besar berupa pecahan. Lumpur karbonat (35%) hadir merata dalam

sayatan, berwarna cokelat keruh. Sparit (5%) sebagian mengisi bioclast (Gambar

7.14). Lokasi pengamatan 82 ini termasuk ke dalam penamaan fasies Rudstone

menurut Embry dan Klovan, (1971).


112

Gambar 7.14 Sayatan batugamping Lokasi Pengamatan 82 (Middle)

Pembuatan kolom litologi berdasarkan pengamatan lapangan yang

dilakukan pada hari sabtu tanggal 24 Agustus 2019 yang berada pada Desa

Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa

Yogyakarta didapat ketebalan singkapan 10,85 m dengan kolom litologi lokasi

pengamatan 82 yang merupakan bagian tengah (middle) yang memiliki skala

1:100 terlampir sebagai lampiran lepas pada akhir naskah skripsi (Tabel 7.5).

Kolom litologi ini memiliki komponen pendukung berupa foto

kenampakan singakapan (foto pertama dalam kolom) , foto handspicemen (foto

kedua dalam kolom) dan foto sayatan petrografi (foto ketiga dalam kolom) yang

digunakan untuk memberi gambaran secara untuh dan menyeluruh dari litologi

lokasi pengamatan 82.


113

Tabel 7.5 Kolom profil litologi Lokasi Pengamatan 82 (Middle)


114

7.5.6 Lokasi Pengamatan 179 (Bottom)

Singkapan ini berada pada koordinat 07°40’02” LS dan 110°10’10” BT

dicirikan dengan keterdapatan batugamping terumbu yang tidak memiliki jurus

dan kemiringan (Gambar 7.15). Memiliki ketebalan 11,79 m.

Gambar 7.15 Singkapan batuan karbonat Lokasi Pengamatan 179 (Bottom),


lensa menghadap tenggara

Berdasarkan analisis sayatan petrografi yang telah dilakukan pada sampel

di lokasi pengamatan 179, memiliki kandungan Bioclast (55%) terdiri dari

Foraminifera besar, coral, dan red algae, berukuran >2mm, sebagian dalam

keadaan utuh dan sebagian besar berupa pecahan. Lumpur karbonat (37%) hadir

merata dalam sayatan, berwarna cokelat keruh. Sparit (8%) sebagian mengisi

bioclast (Gambar 7.16). Lokasi pengamatan 179 ini termasuk ke dalam penamaan

fasies Rudstone menurut Embry dan Klovan, (1971).


115

Gambar 7.16 Sayatan batugamping Lokasi Pengamatan 179 (Bottom)

Pembuatan profil litologi berdasarkan pengamatan lapangan yang

dilakukan pada hari sabtu tanggal 24 Agustus 2019 yang berada pada Desa

Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa

Yogyakarta didapat ketebalan singkapan 11,79 m dengan kolom litologi lokasi

pengamatan 179 yang merupakan bagian bawah (bottom) yang memiliki skala

1:100 terlampir sebagai lampiran lepas pada akhir naskah skripsi (Tabel 7.6).

Kolom litologi ini memiliki komponen pendukung berupa foto

kenampakan singakapan (foto pertama dalam kolom) , foto handspicemen (foto

kedua dalam kolom) dan foto sayatan petrografi (foto ketiga dalam kolom) yang

digunakan untuk memberi gambaran secara untuh dan menyeluruh dari litologi

lokasi pengamatan 179.


116

Tabel 7.6 Kolom profil litologi Lokasi Pengamatan 179 (Bottom)


117

Terlihat bahwa pada daerah penelitian ini menunjukkan pola pengendapan

mendangkal ke atas berdasarkan interpretasi hasil dari analisis profil litologi pada

6 lokasi pengamatan yang terdiri dari bagian atas (top), tengah (middle) dan

bawah (bottom). Hal ini dipengaruhi oleh adanya faktor yang dominan berupa

kenaikan dan penurunan muka air laut (sea-level change).

7.6 Fasies

Pada pembahasan ini, penyusun akan membahas mengenai fasies batuan

karbonat daerah penelitian yang termasuk ke dalam Formasi Jonggrangan melalui

pendekatan fasies modifikasi Dunham (1962) dan Embry dan Klovan (1971) serta

fasies pengendapan batuan karbonat Link (1950) dan Pomar (2004).

Batuan Karbonat umumnya memiliki berbagai fasies tertentu yang sangat

berbeda dengan batuan sedimen lainnya. Fasies didefinisikan sebagai karakter

tubuh batuan berdasarkan kombinasi litologi, struktur fisik, atau biologi yang

mempengaruhi aspek pembedaan tubuh batuan satu dengan yang lainnya.

Berdasarkan hasil dari analisis sayatan yang dilakukan pada 6 lokasi

pengamatan maka pembagian fasies didasarkan pada modifikasi Dunham, (1962)

dan Embry dan Klovan, (1971) didapatkan hasil terdiri dari Large Foraminifera

Rudstone, Rudstone dan Bindstone.

7.7 Fasies Pengendapan

Model pengendapan yang penyusun gunakan adalah model pengendapan

dari Link (1950) dan Luis Pomar (2004), dimana model pengendapan Link secara

spesifik membagi model pengendapan berdasarkan Litofasies dan model


118

pengendapan Luis Pomar, (2004) merupakan model pengendapan yang cukup

baru dibandingkan dengan model pengendapan lainnya yang membagi model

pengendapan dengan aspek tekstur, struktur dan komposisi.

Berdasarkan pada Litofasies, tekstur, struktur serta komposisinya, daerah

penelitian termasuk ke dalam dua fasies pengendapan Reef Core Reef Crest (Link,

1950 dan Luis Pomar, 2004) dan Reef Flat (Link, 1950)/ Reef Core Massive (Luis

Pomar, 2004).

7.7.1 Reef core reef crest (Link, 1950 dan Luis Pomar, 2004)

Pada bagian ini dicirikan oleh litologi Bindstone. Bindstone ini berada

pada bagain atas (top) dengan warna segar putih kekuningan, warna lapuk cokelat

kehitaman, struktur masif dan berfosil, tekstur amorf. Berdasarkan pada sayatan

tipis mengandung mengandung Bioclast (80%-85%) terdiri dari Foraminifera

besar, Foraminifera kecil (planktonik dan bentonik), coral, red algae dan pecahan

cangkang moluska, berukuran >2mm, sebagian dalam keadaan utuh dan sebagian

besar berupa pecahan. Lumpur karbonat (8%-15%) hadir merata dalam sayatan,

berwarna cokelat keruh. Sparit (5%-7%) sebagian mengisi bioclast, yang

memiliki karakteristik butiran yang terdiri dari kerangka ataupun pecahan yang

telah mengalami pengikatan oleh kerak-kerak lapisan batugamping (encrusting)

yang dikeluarkan oleh ganggang merah dan lainnya serta terikat satu sama lain

(bind).

Berdasarkan pada karakteristik dari bindstone yang terlihat pada sayatan,

maka penyusun menginterpretasikan bahwa fasies ini termasuk ke dalam fasies


119

pengendapan Reef core reef crest (Link, 1950 dan Luis Pomar, 2004) (Gambar

7.17).

Gambar 7.17 Posisi Reef core reef crest (Link, 1950 (atas) dan Luis Pomar, 2004(bawah))

7.7.2 Reef flat (Link, 1950)/ Reef core massive (Luis Pomar, 2004)

Pada bagian ini dicirikan oleh litologi Large Foraminifera Rudstone dan

Rudstone. Large Foraminifera Rudstone ini berada pada bagain bawah (bottom)

dengan karakteristik memiliki kandungan Foraminifera besar berukuran butir (>2

mm) dimana butiran ini saling menyangga satu dengan yang lain. Berdasarkan

pada sayatan tipis mengandung Bioclast (62%) terdiri dari Foraminifera besar

sebagai penyusun yang dominan dan terdapat pula Foraminifera kecil (planktonik

dan bentonik), berukuran >2mm, sebagian dalam keadaan utuh dan sebagian besar
120

berupa pecahan. Lumpur karbonat (30%) hadir merata dalam sayatan, berwarna

cokelat keruh. Sparit (8%) sebagian mengisi bioclast.

Rudstone berada pada bagian bawah (bottom) dan tengah (middle),

memiliki kelimpahan Foraminifera cukup banyak baik Foraminifera planktonik

maupun bentonik dengan butiran yang saling menyangga satu dengan yang

lainnya. Mengandung Bioclast (55%-65%) terdiri dari Foraminifera besar,

Foraminifera kecil (planktonik dan bentonik), coral dan red algae, berukuran

>2mm, sebagian dalam keadaan utuh dan sebagian besar berupa pecahan. Lumpur

karbonat (28%-37%) hadir merata dalam sayatan, berwarna cokelat keruh. Sparit

(5%-8%) sebagian mengisi bioclast.

Berdasarkan pada karakteristik dari Large Foraminifera Rudstone dan

Rudstone yang terlihat pada sayatan, maka penyusun menginterpretasikan bahwa

kedua fasies ini termasuk ke dalam fasies pengendapan Reef flat (Link, 1950)/

Reef core massive (Luis Pomar, 2004) (Gambar 7.18).


121

Gambar 7.18 Posisi Reef flat (Link, 1950)(atas)/ Reef core massive (Luis Pomar, 2004)(bawah)
Terlihat bahwa pada daerah penelitian ini menunjukkan pola pengendapan

mendangkal ke atas, berdasarkan hasil analisis yang dilakukan baik pada analisis

profil litologi maupun sayatan petrografi. Hal tersebut diakibatkan oleh adanya

faktor penaikan dan penurunan muka air laut.

7.8 Lingkungan Pengendapan

Lingkungan pengendapan batugamping pada daerah Gerbosari dan

sekitarnya, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa

Yogyakarta, diinterpretasikan dengan menggunakan analisis fosil baik berupa

fosil foraminifera besar dan foraminifera kecil (planktonik dan bentonik). Fosil

yang dapat diindentifikasi menggunakan sayatan petrografi berupa fosil

Amphistegina lessonii D'Orbigny (Gambar 7.19(A)), Anomalina colligera

(Chapman dan Parr) (Gambar 7.19(B)), Buccella parkerae Andersen (Gambar

7.19(C)), Nodosaria sp. (Gambar 7.19(D)) dan Operculina complanata Defrance


122

(Gambar 7.19(E)), sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa batugamping ini

terbentuk pada lingkungan laut dangkal pada zona neritik tepi-neritik tengah

(Inner Neritic-Middle Neritic)(0-100m).

Gambar 7.19 Fosil foraminifera besar yang digunakan untuk penarikan lingkungan pengendapan

Anda mungkin juga menyukai