ANALISA KEKOSONGAN PERLINDUNGAN HUKUM DAN PEMBERIAN HAK KORBAN TINDAK PIDANA
PENCURIAN, PEMBUNUHAN DAN PENIPUAN DARI KALANGAN MASYARAKAT MENENGAH
KEBAWAH Nama NPM Dosen Penegakan hukum di suatu negara hendaknya menjunjung penghargaan dan komitmen tinggi terhadap hak asasi manusia serta menjamin semua warga negara setara dalam penegakkan hukum. Dalam penegakkan suatu hukum sering kali terjadi hal-hal yang dapat merusak penegakkan suatu hukum seperti halnya rasa terabaikan korban yang tidak dilindungi hak-haknya oleh negara. Korban dalam suatu tindak pidana, pada dasarnya dalam Sistem Hukum Nasional maupun sistem peradilan pidana memiliki posisinya yang tidak menguntungkan. Karena korban tersebut, dalam Sistim Peradilan (pidana) hanya sebagai figuran, bukan sebagai pemeran utama atau hanya sebagai saksi (korban). Dalam kenyataannya korban sementara oleh masyarakat dianggap sebagaimana korban bencana alam, terutama tindak pidana dengan kekerasan, sehingga korban mengalami cidera pisik, bahkan sampai meninggal dunia. Siapa yang mengganti kerugian materi, yang diderita oleh korban, misalnya kerugian atas harta benda yang diderita korban, adanya beban biaya pengobatan, atau jika korbannya sampai meninggal dunia, berapa kerugian yang diderita oleh pihak keluarga korban, jika dihitung secara material misalnya, jika di hitung biaya hidup dari lahir hingga di bunuh dan/atau ditambah apabila korban tersebut sudah punya penghasilan. Perlindungan terhadap korban di Indonesia secara komprehensif bisa dibilang masih jauh dari apa yang diharapkan. Penegakan hukum selama ini cenderung lebih memperhatikan pelaku atau tersangka pelaku kejahatan ataupun terdakwa dan terpidana daripada korban. Perhatian terhadap saksi juga cenderung lebih banyak daripada kepada korban. Apalagi apabila saksi tersebut pada saat bersamaan adalah juga tersangka atau terdakwa yang amat diperlukan keterangannya untuk persidangan. Akan halnya korban yang semata-mata adalah korban dan bukan sekaligus pelaku ataupun saksi, perhatian terhadap mereka masih amat minimal. Korban belum mendapatkan pelayanan dan pensikapan yang optimal dari penegak hukum, dari pemerintah, apalagi dari masyarakat pada umumnya. Seringkali malah yang terjadi adalah reviktimisasi atau double victimization. Dimana korban kejahatan setelah terviktimisasi kemudian menjadi korban (re-victimized) lagi akibat pensikapan aparat hukum yang kurang tepat. Alih-alih hak-hak korban diperhatikan, sebaliknya korban malah menjadi korban kesewenang-wenangan aparat hukum ataupun masyarakat. Meskipun dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, pemerintah Indonesia berupaya membuat suatu aturan khusus yang dapat melindungi saksi dan korban yang tertuang pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang dalam perkembangannya, kemudian undang-undang tersebut diperbaharui melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, namun undang-undang tersebut seakan belum berfungsi maksimal apabila menghadapi kasus-kasus tindak pidana umum yang diatur dalam KUHP, hal ini disebabkan adanya pembatasan upaya pemberian perlindungan hukum maupun hak terhadap korban tindak pidana, dimana Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, hanya menjamin perlindungan dan pemberian hak berdasarkan : a. Rekomendasi atau Keputusan LPSK sesuai Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 b. Kategori tindak pidana tertentu sesuai Pasal 6 yang terdiri dari : 1) Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, 2) Korban tindak pidana terorisme, 3) Korban tindak pidana perdagangan orang, 4) Korban tindak pidana penyiksaan, 5) Korban tindak pidana kekerasan seksual, 6) dan Korban penganiayaan berat adapun tolak ukur LPSK menyetujui memberikan perlindungan hukum maupun bantuan terhadap korban dapat dilihat dari mekanisme perlindungan hukum terhadap saksi dan korban dari LPSK, dimana saksi dan korban harus melewati beberapa prosedur yang telah ditetapkan oleh LPSK disamping mereka harus memenuhi persyaratan untuk mendapat perlindungan dari LPSK ini seperti yang telah dijelaskan dalam pasal 28 t pasal 36 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. Adapun beberapa persyaratan yang telah di tentukan oleh LPSK untuk pemberian perlindungan dan bantuan terhadap saksi dan korban tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang telah diperbaharui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 yang berbunyi “Perjanjian perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau Korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan dengan mempertimbangkan syarat sebagai berikut:1 a. Sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban; 1 Ibid., hlm. 27 b. Tingkat ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban; c. Hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban; d. Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau Korban.”
Adanya ketentuan-ketentuan tersebut di atas menunjukkan adanya ketimpangan dalam
pemberian perlindungan hukum maupun hak bagi korban tindak pidana yang diatur dalam KUHP, sedangkan diketahui bahwa definisi korban dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 menyebutkan bahwa, “korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. “ dimana seharusnya apabila mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2014 tersebut, maka korban secara umum adalah seluruh korban tindak pidana yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi. Namun dalam praktik dan kondisi nyatanya sendiri dilapangan tidak semua korban tindak pidana menerima perlindungan hukum maupun hak bagi korban tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, sedangkan secara nyata diketahui bahwa cukup banyak sejatinya korban yang membutuhkan bantuan dan perlindungan hukum, baik dari segi, perlindungan terhadap ancaman pelaku tindak pidana, perlindungan dari stigma yang berlaku dimasyarakat, perlindungan terhadap kondisi perekonomian akibat terjadinya tindak pidana yang dialami, maupun perlindungan dari sisi bantuan dan kesempatan untuk melangsungkan hidup pasca terjadinya tindak pidana, peneliti akan memberikan contoh konkrit dimana terdapat kondisi-kondisi faktual terhadap korban tindak pidana yang juga membutuhkan bantuan perlindungan hukum namun tidak menerimanya secara konkrit baik dari lembaga perlindungan saksi korban maupun pemerintah yaitu : 1. terhadap korban pembunuhan, dimana tidak jarang korbannya adalah masyarakat kurang mampu, yang memiliki keluarga seperti anak dan istri, yang pastinya membutuhkan bantuan perekonomian untuk melangsungkan hidup dan menerima hak pendidikan maupun kesempatan memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak. 2. Korban pencurian kendaraan bermotor, dimana tidak jarang korban pencurian kendaraan bermotor, adalah masyarakat kurang mampu seperti driver ojek online, pegawai/buruh pabrik yang sangat bergantung dengan kendaraan bermotor yang dicuri, dimana pada dasarnya apabila terhadap motor yang diasuransikan, mungkin pihak korban dapat memperoleh penggantian dari pihak penyelenggara asuransi, namun terhadap korban yang kondisi kendaraannya tidak diasuransikan, atau hasil membeli secara second hand, maka korban tidak dapat memperoleh penggantian hak atas kendaraan bermotor yang dicuri tersebut, 3. Korban penipuan dan penggelapan, dimana tidak jarang masyarakat kurang mampu menjadi korban dari sejenis oknum penipu yang terorganisir yang sasarannya adalah masyarakat kelas menengah kebawah, namun pada akhirnya korban tidak dapat menerima kembali uang atau barang yang telah diberikan kepada pihak pelaku, sedangkan pelaku hanya menerima hukuman maksimal pidana penjara empat tahun tanpa ada kewajiban untuk mengembalikan barang atau uang milik korban. Dari kondisi-kondisi tersebut di atas, pada dasarnya dapat dilihat, bahwa upaya perlindungan terhadap korban terutama terkait dengan hak korban yang telah hilang akibat terjadinya tindak pidana, belum lah maksimal, dimana kondisi ini menjadi sangat kontradiktif, karena disatu sisi pemerintah mengeluarkan produk peraturan perundang- undangan berupa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, namun terdapat beberapa persyaratan maupun kondisi dimana hal tersebut, justru bertentangan dengan asas persamaan kedudukan dihadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945, yang menyatakan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Karena adanya pengkategorian dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, dalam menangani pemberian hak dan perlindungan hukum terhadap korban sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tersebut sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Selain itu adanya persyaratan dan pengkategorian dalam pemberian bantuan maupun perlindungan terhadap korban dalam juga pada dasarnya bertentangan dengan kandungan yang terrdapat didalam konstitusi yaitu Pasal 28 I ayat (2), yang menyebutkan: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatf atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” Pasal 28 J ayat (1) yang menyatakan:“Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan berinasyarakat, berbangsa dan bernegara.” Dimana seharusnya baik pemerintah selaku pembentuk peraturan perundang-undangan maupun LPSK menjadikan konstitusi sebagai pondasi dasar atau asas-asas dan tujuan yang mendasari adanya atau perlunya perlindungan terhadap saksi dan korban dari suatu peristiwa hukum. Kondisi tersebut cukup kontradiktif, dimana pemerintah justru menjamin hak dan perlindungan terhadap tersangka, terutama dalam perkara-perkara besar yang melibatkan golongan pengusaha, maupun pejabat, hal ini dapat dilihat dalam perkara-perkara terkait dengan tindak pidana korupsi, tindak pidana lingkungan, mapun dalam tindak pidana lainnya yang melibatkan pelaku dari golongan pengusaha dan pejabat pemerintah. Namun pemerintah justru seakan mengabaikan kepentingan dari sisi masyarakat umum terutama dari kalangan kondisi ekonomi menengah kebawah, dimana justru peneliti melihat dalam hal ini merupakan pihak yang sejatinya membutuhkan perlindungan hukum atas hak, dan bantuan dari pemerintah, namun justru yang ada adalah produk peraturan pemerintah yang dibuat secara ambiguitas/kurang jelas, serta keputusan pemberian perlindungan hukum atas hak dan bantuan terhadap korban tidak diatur secara jelas, karena adanya pengkategorian dan pemberian kewenangan terhadap LPSK yang sejatinya dapat memutus secara sepihak mengenai pemberian bantuan tersebut, tanpa melihat kepentingan korban secara menyeluruh. Apabila menelusuri dari data yang diberikan LPSK, pada 29 Juni 2020, diketahui LPSK hanya memberikan bantuan pendidikan dan bantuan keuangan kepada 42 (empat puluh dua) korban tindak pidana Perdagangan Orang (TPPO), Kekerasan dan Kekerasan Seksual mendapatkan bantuan psikososial berupa biaya pendidikan, dengan nilai mencapai Rp. 84.000.000,- (delapan puluh empat juta rupiah). Bantuan tersebut diberikan oleh Kementerian BUMN melalui yayasan yang dimilikinya, setelah memutuskan mendukung program rehabilitasi psikososial yang diajukan oleh LPSK. Bantuan disalurkan langsung ke rekening bank milik korban yang telah diverifikasi oleh pihak Yayasan BUMN. Masing-masing anak mendapat bantuan sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) untuk keperluan pendidikan.2 Dan dari bantuan tersebut, tidak satupun korban tindak pidana pembunuhan, pencurian, maupun penipuan yang menerima bantuan tersebut. Hal ini menunjukkan kurangnya komitmen dari LPSK maupun pemerintah dalam membantu memberikan bantuan maupun perlindungan hukum terhadap korban secara menyeluruh, dan kondisi ini patut diperhatikan kembali oleh pemerintah maupun LPSK dalam menyikapi, belum meratanya akses pemberian bantuan maupun perlindungan hukum terhadap seluruh korban tindak pidana sesuai kebutuhan dari para korban.