TA Rudi Irawan
TA Rudi Irawan
TUGAS SARJANA
Oleh:
Rudi Irawan
1201109
Rudi Irawan
LEMBAR PENGESAHAN
TUGAS SARJANA
Disetujui oleh:
Bismillahirrohmannirrohim…
Alhamdulillah kupanjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan kesempatan untuk menyelesaikan tugas akhir dengan segala
kekuranganku. Segala syukur ku ucapkan kepadaMu karena telah
menghadirkan mereka yang selalu memberi semangat dan doa
disaat kutertatih. KarenaMu lah mereka ada, dan karenaMu lah
tugas akhir ini terselesaikan. Hanya padaMu tempat kumengadu
dan mengucapkan syukur.
Kepada Abah dan Alm.mama tersayang tugas akhir ini
kupersembahkan. Tiada kata yang bisa menggantikan segala
sayang, usaha, semangat, dan juga uang yang telah dicurahkan
untuk penyelesaian tugas akhir putra bungsunya ini. Untuk kedua
kakak ku yang tercinta (Yanti dan Rina) terima kasih
untuk dukungannya.
Serta kepada Seluruh keluarga besarku yang kusayangi dan
kukasihi terima kasih atas motivasinya selama ini.
Tak lupa, sahabat dan teman seperjuangan yang tak mungkin
disebutkan satu persatu, (Teknik Perminyakan B 2012),
perkuliahan akan tidak ada rasa jika tanpa kalian , pasti tidak ada
yang akan dikenang, tidak ada yang diceritakan pada masa depan.
Ku ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Mohon maaf jika
ada salah kata. Sukses buat kalian semua. Semoga Allah
memberikan Rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.Amin...
Rudi Irawan
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat
rahmat dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan penyusunan Tugas Akhir
dengan judul “Evaluasi Tekanan Formasi Dengan Menggunakan Metode
D’eksponen Pada Sumur “R-26” Di Lapangan “MANUNGGAL ”.
Tugas Akhir ini disusun dan diajukan sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana pada Program Study Teknik Perminyakan STT MIGAS
Balikpapan. Dalam penulisan Tugas Akhir ini penyusun banyak dibantu berbagai
pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penyusun ingin mengucapkan banyak
terima kasih kepada:
1. Bapak Lukman, ST. MT. selaku ketua STT Migas Balikpapan.
2. Bapak Ir. Yudiaryono, ST. MT. selaku Ketua Program Studi S1 Teknik
Perminyakan STT Migas Balikpapan dan sebagai Dosen Pembimbing
Akademik.
3. Bapak Andi Jumardi, ST. MT. selaku Dosen Pembimbing Utama dalam
Tugas Akhir.
4. Ir. Andry Halim, MM sebagai Dosen Pembimbing Pendamping Tugas Akhir.
5. Orang tua yang selalu mendo’akan dan selalu mensupport selama
mengerjakan tugas akhir serta dalam menjalani kuliah selama 4 tahun ini.
6. Rekan-rekan seperjuangan dalam mempersiapkan Tugas Akhir.
Apabila terdapat kesalahan baik dari segi penyusunan maupun tata bahasa
dalam Tugas Akhir ini, penyusun memohon maaf. Penyusun berharap semoga
Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya Mahasiswa Teknik
Perminyakan dalam menambah wawasan dan ilmu pengetahuan, Amin.
Balikpapan, Agustus 2016
Penyusun
EVALUASI TEKANAN FORMASI DENGAN
MENGGUNAKAN METODE D’EKSPONEN Rudi
Judul
PADA SUMUR “R-26” DI LAPANGAN Irawan
“MANUNGGAL”
Jurusan Teknik Perminyakan 1201109
Sekolah Tinggi Teknologi Minyak dan Gas Bumi Balikpapan
ABSTRAK
DEKLARASI .................................................................................................. ii
ABSTRAK BAHASA..................................................................................... vi
DAFTAR ISI................................................................................................... ix
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Peta Daerah Penelitian........................................................ 4
2.2 Sketsa Fisiografi Regional Cekungan Kutai ..................... 5
2.3 Stukttur Geologi Cekungan Kutai ..................................... 6
2.4 Kolom Stratigrafi cekungan Kutai ..................................... 11
3.1 Tekanan Abnormal ............................................................. 15
3.2 Tekanan Abnormal Akibat Proses Kompaksi ................... 16
3.3 Tekanan Abnormal Akibat Sistem Air Artesis .................. 18
3.4 Tekanan Abnormal Akibat Adanya Erosi .......................... 18
3.5 Pengaruh Lapisan Garam Terhadap Overburden Stress .... 19
3.6 Pengaruh Salt Dome Terhadap Tekanan Abnormal ......... 20
3.7 Pengaruh Perbedaan Densitas Fluida Formasi Terhadap
Abnormal ......................................................................... 20
3.8 Upward Fluid Migration yang Menyebabkan Abnormal
Pressure pada Shallow Formation ..................................... 21
3.9 Tekanan Formasi Subnormal ............................................. 22
3.10 Bearing assemblies yang digunakan pada roller cutter bit . 26
3.11 Percobaan Kuantitatif Evaluasi Tekanan Menggunakan
Data Flow Line Temperatur ............................................... 27
3.12 Hubungan Antara Tekanan Pori Formasi dengan Densitas
bulk Cutting Shale.............................................................. 28
4.1 Flow Chart Penelitian ........................................................ 32
4.2 Kurva D-Corr vs Depth ...................................................... 38
4.3 Kurva EMW vs Depth ....................................................... 42
DAFTAR TABEL
Halaman
PENDAHULUAN
1
keselamatan para pekerja di permukaan. Jika tekanan formasi yang tinggi tersebut
dapat dideteksi lebih dini maka hal-hal tersebut di atas dapat dihindari.
2
BAB I Pendahuluan
Bab pendahuluan akan membahas latar belakang dalam penyusunan
laporan tugas akhir dengan judul yang di pilih, maksud dan tujuan dibuatnya
laporan tugas akhir, batasan masalah yang di analisa, dan sistematika
penulisan laporan.
BAB II Tinjauan Lapangan
Bab ini berisikan penjelasan mengenai letak geografis lapangan,
struktur geologi,sejarah lapangan, geologi regional lapangan, dan stratigrafi
lapangan.
BAB III Tinjauan Pustaka
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai teori dasar dari ilmu terapan
yang digunakan dalam penulisan TA ini, yakni tekanan formasi dan metoda
d’eksponen.
BAB IV Analisa dan Perhitungan
Pada bab analisa dan perhitungan ini dilakukan perhitungan
mengenai permasalahan yang akan dibahas lebih detail. Pada bab ini berisi
data-data perhitungan yang berhubungan dengan masalah pada judul yang
dibuat.
BAB V Pembahasan
Bab pembahasan akan memaparkan bagaimana studi kasus dianalisa
dan diteliti sehingga menghasilkan suatu perencanaan penanganan yang
tepat dari masalah yang terjadi.
BAB VI Kesimpulan
Bab kesimpulan akan menyimpulkan pokok-pokok bahasan dalam
laporan tugas akhir sebagai jawaban atas latar belakang serta maksud dan
tujuan di angkatnya laporan tugas akhir.
3
BAB II
TINJAUAN LAPANGAN
Lokasi Penelitian
4
2.2 Kondisi Geologi Regional
2.2.1 Fisiografi Cekungan Kutai
Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan di Indonesia yang
menutupi daerah seluas ±60000 km2 dan mengandung endapan berumur Tersier
dengan ketebalan mencapai 14 km. Cekungan ini merupakan cekungan terbesar
dan terdalam di Indonesia Bagian Timur. Cekungan Kutai terletak di tepi bagian
timur dari Paparan Sunda, yang dihasilkan sebagai akibat dari gaya ekstensi di
bagian selatan Lempeng Eurasia.
Cekungan kutai di batasi di bagian utara oleh suatu daerah tinggian batuan
dasar yang terjadi pada Oligosen, yaitu Tinggian Mangkalihat dan Sesar
Sangkulirang yang memisahkannya dengan Cekungan Tarakan. Di bagian timur
daerah cekungan ini, terdapat Delta Mahakam yang terbuka ke Selat Makasar. Di
5
bagian barat, cekungan di batasi oleh daerah Tinggian Kuching (Central
Kalimantan Ranges) yang berumur kapur. Di bagian tenggara cekungan, terdapat
paparan Patenoster yang di pisahkan oleh gugusan pegunungan Meratus.
Sementara di bagian selatan cekungan, di jumpai Cekungan Barito yang di
pisahkan oleh Sesar Adang.
6
struktur yang mempengaruhi pembentukan Cekungan Kutai dapat di lihat pada
gambar 2.3.
Pulau Kalimantan merupakan tempat terjadinya kolisi dengan
mikrokontinen, busur kepulauan, penjebakan lempeng oceanic, dan intrusi granit,
membentuk batuan menjadi dasar Cekungan Kutai selama Kapur Tengah sampai
Eosen Awal. Pada Eosen Tengah, Cekungan Kutai terbentuk oleh proses
pemekaran yang melibatkan pemekaran selat Makasar bagian utara dan Laut
Sulawesi.
Pada Eosen Akhir, sejumlah half graben terbentuk sebagai respon dari
terjadinya fasa ekstensi regional. Fasa ini terlihat juga di tempat lain, yaitu berupa
pembentukan laut dan selat Makasar. Half graben ini terisi dengan cepat oleh
endapan syn-rift pada Eosen Tengah-Eosen Akhir dengan variasi dari beberapa
fasies litologi.
Tektonik inverse terjadi pada Miosen Awal, menyebabkan pengangkatan
pada pusat cekungan yang terbentuk selama Eosen dan Oligosen, sehingga
cekungan mengalami pendangkalan. Inversi berlanjut dan mempengaruhi
cekungan selama Miosen Tengah dan Pliosen. Inversi tersebut mempengaruhi
daerah yang terletak di bagian timur Cekungan Kutai, sehingga mempercepat
proses progradasi delta.
Pada lapangan “MANUNGGAL” di gambarkan berada di sebelah utara
penunjaman yang merupakan bagian dari sepasang penunjaman dari antiklin
lapangan Nangka-Pelarang-Sambutan-Bivak-Mumus-MANUNGGAL, yang
panjang totalnya kira-kira 100 km. Lapangan “MANUNGGAL” di cirikan dengan
plunging antiklin yang asimetris dengan kemiringan lapisan struktur yang
menunjam di sayap bagian barat sebesar 40-50 derajat, yang merupakan batas
bagian barat lapisan produktif. Kemiringan lapisan struktur bagian timur
bervariasi antara 10-20 derajat yang merupakan batas bagian timur lapisan
produktif.
7
2.2.2 Stratigrafi Cekungan Kutai
Sejarah cekungan Kutai di mulai dengan fase transgresi yang di cirikan
oleh adanya tipe sandstone Tanjung, yang tidak selaras dengan batuan dasarnya
yang terjadi selama kala Eosen. Proses transgresi berlanjut dalam lingkungan laut
dalam yang berpengaruh besar sekali terhadap pembentukan cekungan, dimana
proses tersebut berlangsung sampai masa Miosen. Selama masa Miosen awal
sampai Miosen tengah, suatu periode panjang dari progradasi delta dimulai dari
arah barat ke timur yang masih berlanjut sampai sekarang.
Sedimen deltaic pada masa Miosen tengah dari formasi Balikpapan, yang
di tembus oleh sumur-sumur di lapangan “MANUNGGAL” dari permukaan
sampai kedalaman total, yang terdiri dari batu pasir dan lempung, dengan sisipan
batu lanau, batu gamping dan batubara. Kandungan fasiesnya merupakan variasi
fasies lingkungan delataic yaitu dari fluviodeltaic sampai marginal marine.
Lapisan Balikpapan tidak hanya berkembang di lapangan
“MANUNGGAL”, tapi juga menyebar luas di cekungan kutai, yang disebabkan
oleh system delta yang luas berkembang secara cepat kea rah timur selama masa
Miosen tengah. Sistem pengendapan yang terdapat pada cekungan Kutai bisa di
lihat pada kolom stratigrafi di gambar 2.5. yang secara berurutan dari tua ke muda
terdiri dari beberapa formasi sebagia berikut:
a) Formasi Pamaluan
Diambil dari nama Kampung Pamaluan, terletak 30 km ke arah baratlaut
Balikpapan. Formasi in diendapkan pada lingkungan marine dan lingkungan
pengendapan neritik hingga bathial. Formasi ini berumur Oligosen Akhir. Formasi
Pamaluan memperlihatkan ciri litologi serpih dengan sisipan batupasir kuarsa dan
batubara. Berbeda dengan formasi-formasi sedimen Tersier yang lebih tua,
Formasi Pamaluan tersingkap pada daerah yang luas. Berdasarkan kandungan
fosil pada serpih, menunjukkanlingkungan pengendapan litoral – supralitoral.
Umurnya tidak lebih tua dari Oligosen. Diatasnya diendapkan batugamping
Formasi Bebulu.
Dari litologi penyusun Formasi Pamaluan terlihat bahwa bagian bawah
formasi ini diendapkan dalam lingkungan paparan delta (delta plain) dengan
8
terdapatnya batubara. Kemudian terjadi transgresi, lingkungan berubah menjadi
pantai dengan diendapkannya batugamping Formasi Bebulu yang memiliki
hubungan menjemari pada bagian atas Formasi Pamaluan.
b) Formasi Bebulu
Formasi Bebulu diambil dari nama Sungai Bebulu, yaitu sebuah sungai kecil
yang berada 45 km arah tenggara dari Balikpapan , dengan litologi penyusunnya
terdiri dari batugamping terumbu dengan sisipan batugamping pasiran dan serpih
warna kelabu, padat, mengandung foraminifera besar, berbutir sedang. Setempat
batugamping menghablur, terkekar tak beraturan. Serpih, kelabu kecoklatan
berselingan dengan batupasir halus kelabu tua kehitaman.
c) Formasi Pulau Balang
Nama Formasi ini diambil dari nama Pulau Balang, yaitu suatu pulau yang
berada ± 8 km ke arah timurlaut dari Teluk Balikpapan.Formasi ini dapat
dibedakan dari formasi lainnya karena perlapisannya sangat bagus dan relative
resisten terhadap pelapukan dibandingkan formasi – formasi lain, sehingga
formasi ini mudah dikenali dari citra satelit. Menurut Ismoyowati, 1982, Formasi
Pulau Balang terdiri dari perselingan antara batupasir dan batulanau dengan
sisipan batugamping dan batulempung. Batugamping mengandung foraminifera,
fragmen – fragmen bivalve dan alga pada sebuah mikritik matriks. Batupasir
terdapat pada lapisan yang tipis – tebal. Batupasir didominasi oleh mineral kuarsa,
berwarna abu-abu terang hingga putih, ada yang rapuh dan keras, setempat
karbonatan dengan ukuran butir halus – kasar. Pada bagian bawah dari lapisan ini
terdapat sedikit lapisan tipis batupasir dan batubara.
d) Formasi Balikpapan
Formasi Balikpapan terdiri dari beberapa siklus endapan delta yang disusun
oleh litologi yang terdiri dari perselingan batupasir dan lempung dengan sisipan
lanau, serpih, batugamping dan batubara. Batupasir kuarsa, putih kekuningan,
tebal lapisan 1 – 3 m, disisipi lapisan batubara tebal 5 – 10 cm. Batupasir
gampingan, coklat, berstruktur sedimen lapisan bersusun dan silangsiur, tebal
lapisan 20 – 40cm, mengandung foraminifera kecil, disisipi lapisan tipis karbon.
Lempung, kelabu kehitaman, setempat mengandung sisa tumbuhan, oksida besi
9
yang mengisi rekahanrekahan setempat mengandung lensa-lensa batupasir
gampingan. Lanau gampingan, berlapis tipis; serpih kecoklatan, berlapis tipis.
Batugamping pasiran mengandung foraminifera besar, menunjukkan umur
Miosen Akhir bagian bawah – Miosen Tengah bagian atas. Lingkungan
pengendapan Perengan “paras delta – dataran delta”, tebal 1000 – 1500 m.
Formasi ini memiliki hubungan bersilang jari dengan Formasi Pulaubalang.
e) Formasi Kampung Baru
Terdiri dari batupasir kuarsa dengan sisipan lempung, serpih; lanau dan
lignit,pada umumnya lunak, mudah hancur. Batupasir kuarsa, putih, setempat
kemerahan atau kekuningan, tidak berlapis, mudah hancur, setempat mengandung
lapisan tipis oksida besi atau konkresi, tufan atau lanauan dan sisipan batupasir
konglomeratan atau konglomerat dengan komponen kuarsa, kalsedon, serpih
merah dan lempung, diameter 0,5 – 1 cm, mudah lepas. Lempung, kelabu
kehitaman mengandung sisa tumbuhan, kepingan batubara, koral. Lanau, kelabu
tua, menyerpih, laminasi. Lignit, tebal 1 – 2 m. Diduga berumur Miosen Akhir –
Pli Plistose, lingkungan pengendapan delta – laut dangkal, tebal lebih dari 500m.
Formasi ini menindih selaras dan setempat tidak selaras terhadap Formasi
Balikpapan. Menurut Allen, 1984, bagian bawah Formasi Kampung Baru terdapat
batugamping yang juga merupakan siklus pengendapan delta, dengan dimulainya
suatu transgresi setelah pengendapan Formasi Balikpapan. Kemudian disusul
endapan dataran delta yang terdiri atas batupasir kasar hasil endapan channel
dengan batulempung dan batubara.
f) Aluvium (Qa)
Terdiri dari kerikil, pasir dan lumpur terendapkan secara tidak selaras di atas
Formasi Kampung Baru pada lingkungan sungai, rawa, delta dan pantai.
Pengendapannya masih terus berlangsung hingga sekarang.
10
Formasi daerah penelitian
11
BAB III
DASAR TEORI
12
3.1 Tekanan Formasi
Pori-pori formasi yang di bor memiliki tekanan yang disebut dengan
tekanan formasi (Formation Pressure). Pada perencanaan dan pelaksanaan
operasi pemboran, tekanan formasi akan mempengaruhi desain casing, berat
lumpur pemboran (mud weight) dan berpengaruhi terhadap kemungkinan pipa
kejepit (stuck pipe), hole instability dan masalah well control. Penting juga untuk
mendeteksi zona-zona bertekanan tinggi yang beresiko menyebabkan terjadinya
blow-out. Selain tekanan formasi, diperlukan juga data tentang tekanan rekah
(fracture) formasi atau batuan. Karena fracture dapat menyebabkan terjadinya
loss atau masuk dan hilangnya lumpur pemboran kedalam formasi atau batuan.
Dan juga fracture mendatangkan resiko terhadap masuknya influx dari formasi
yang bisa menyebabkan blowout.
Tekanan formasi dan tekanan rekah merupakan dua data penting dalam
mendisain sumur dan pelaksanaan operasi pemboran. Tekanan didalam lubang
sumur harus lebih besar dari tekanan formasi, namun tekanan dalam lubang
tersebut tidak boleh lebih besar dari tekanan rekah. Tekanan di dalam lubang
sumur itu didapat dari kolom lumpur pemboran yang dikenal dengan tekanan
hidrostatik. Jika tekanan hidrostatik lebih kecil dari tekanan formasi maka fluida
dari formasi akan masuk ke lubang sumur dan bisa menyebabkan kick dan
blowout, sedangkan jika tekanan formasi lebih besar dari tekanan rekah formasi
atau batuan tersebut, maka bisa menyebabkan loss atau hilangnya lumpur
pemboran kedalam formasi.
Pada saat pengeboran, kolom lumpur pemboran akan memberikan tekanan
hidrostatik. Jika tekanan hidrostatik lebih besar dari tekanan formasi maka disebut
dengan kondisi overbalance. Sedangkan jika tekanan hidrostatik lebih kecil dari
tekanan formasi maka disebut dengan kondisi underbalance. Strategi pengeboran
overbalance atau underbalance akan berbeda dalam pemakaian berat lumpur,
peralatan dan teknik pengeborannya.
13
3.1.1 Tekanan Formasi Normal
Tekanan formasi (Formation Pressure atau Formation Pore Pressure)
adalah besarnya tekanan yang diberikan cairan yang mengisi rongga formasi,
secara hidrostatis untuk keadaan normal sama dengan tekanan kolom cairan yang
ada dalam dasar formasi sampai ke permukaan. Bila isi dari kolom yang terisi
berbeda fluida nya, maka besarnya tekanan hidrostatiknya pun berbeda. Gradien
tekanan formasi sebesar 0.433 psi/ft untuk air tawar dengan berat jenis 8.33 ppg
(lb/gal), dan 0.465 psi/ft untuk air asin (80,000 ppm salt content) dengan berat
jenis 9 ppg (lb/gal), yang merupakan gradien tekanan normal karena biasanya
fluida pada pori formasi berisi garam atau dikenal sebagai brine. Untuk tekanan
formasi yang nilai nya diatas atau dibawah gradien tersebut (0.465 ft/gal) disebut
sebagai tekanan abnormal dan subnormal (abnormal and subnormal pressure).
14
Pob = S + Pf...........................................................................................(3.1)
Atau
P = Pob – S.............................................................................................(3.2)
dimana :
Pf = tekanan formasi (psi)
S = tekanan kekuatan batuan (psi)
Pob = tekanan overburden (psi)
Bila tekanan overburden (Pob) membesar sementara kekuatan batuan (S) sudah
tidak bisa membesar lagi maka yang menerima tekanan overburden adalah cairan
(P) sehingga mempunyai tekanan simpanan yang besar sekali :
𝑃
𝜆=𝑃 ..................................................................................................(3.3)
𝑜𝑏
15
Asal Mula Pembentukan Tekanan Formasi Abnormal :
1. Proses Kompaksi Sedimen
16
Kompaksi abnormal akan terjadi jika pertambahan berat beban di atasnya
tidak menyebabkan berkurangnya ruang pori. Ruang pori tidak mengecil karena
air yang berada di dalamnya tidak bisa terdorong keluar. Tersumbatnya air di
dalam ruang pori disebabkan karena formasi itu terperangkap di dalam formasi
yang mempunyai permeabilitas sangat kecil (struktur lensa).
Proses kompaksi abnormal umumnya terjadi pada formasi shale, terutama
jika terdapat lapisan pasir yang terperangkap di dalamnya. Pertambahan berat
beban di atasnya tidak hanya ditahan oleh partikel-partikel sedimen, tetapi ditahan
juga oleh air formasi yang terperangkap dalam ruang pori. Hal ini menyebabkan
tekanan pori formasi menjadi tinggi dan gradien tekanannya melebihi gradien
tekanan formasi normal.
Ruang pori yang tidak mengecil pada daerah transisi yang berupa lapisan
shale menyebabkan perubahan massa jenis shale tersebut. Pada kompaksi normal
makin dalam suatu sedimen shale terendapkan, makin kecil volume keseluruhan
dan makin kompak, sehingga massa jenisnya membesar sesuai kedalaman. Pada
kompaksi abnormal porositas tidak mengecil, karena adanya air formasi yang
terjebak di dalamnya, sehingga bulk volume tidak mengecil. Hal ini menyebabkan
massa jenis shale mengecil, dan sewaktu dilakukan pemboran massa jenis shale
ditentukan berdasarkan dari serpih pemboran (cutting), dan hasil ini diplot untuk
setiap interval kedalaman tertentu. Penyimpangan dari arah normal yang
merupakan arah kompaksi normal menandakan bahwa formasi yang ditembus
mempunyai tekanan tinggi atau abnormal,
2. Sistem Sumur Artesis
Formasi water-bearing yang menerus akan mengantarkan tekanan
hidrostastatik ke dasar struktur. Seperti pada gambar dibawah, ketika pada
kedalaman 1000 ft dibawah rig ditemui tekanan 13.5 ppg EMW (702 psi) akibat
pengaruh dari sistem artesis formasi water bearing. Kondisi sangat berbeda ketika
memakai asumsi tekanan normal dibawah rig yang didapat 9 ppg, dengan :
0.052 x 9 lb/gal x 1000 ft = 468 psi.
17
Gambar 3.3 Tekanan Abnormal Akibat Sistem Air Artesis
(Rubiandini, 2011)
18
4. Lapisan Garam
Lapaisan garam merupakan penyebab tekanan formasi mendekati
overburden. Jika dibandingkan, shale lebih semipermeable sedangkan lapisan
garam impermeable,dan bersifat plastik, meneruskan beban overburden ke
formasi dibawahnya.
19
Gambar 3.6 Pengaruh Salt Dome terhadap Besarnya Tekanan Abnormal
(Rubiandini, 2011)
20
7. Fluid Migration Effect
Aliran fluida dari reservoir yang lebih dalam ke formasi yang dangkal
dapat menyebabkan tekanan abnormal pada formasi dangkal tersebut. Kondisi
formasi dangkal yang tekanannya menjadi abnormal ini dikenal dengan charging.
Aliran tersebut bisa terjadi secara natural atau melalui kondisi buatan. Blowout
saat pengeboran beresiko terjadi ketika tidak ada antisipasi terhadap kemungkinan
formasi yang mengalami charging, terutama pada lapangan-lapangan tua.
21
Gambar 3.9 Tekanan Formasi Subnormal (Rubiandini, 2011)
22
4. Precipitation
Pada daerah yang kering atau gersang (seperti di timur tengah) permukaan
air tanah bisa jadi berada ratusan feet dibawah permukaan, sehingga akan
mengurangi tekanan hidrostatik.
5. Potentiometric Surface
Mekanisme ini tergantung relief structural formasi dan bisa menghasilkan
zona subnormal dan juga zona overpressure. Potentiometric surface merupakan
permukaan imajiner ketinggian air dari tempat yang terkurung, yang muncul pada
sumur yang di bor. Potentiometric surface bisa ribuan feet di atas dan dibawah
permukaan tanah.
6. Epeirogenic Movements
Perubahan elevasi bisa menyebabkan tekanan abnormal pada formasi
secara lateral namun sealing. Jika singkapan tersebut naik maka akan
menyebabkan overpressure, namun jika singkapannya turun maka akan
menyebabkan tekanan subnormal.
dimana :
D = kedalaman (feet)
Dwt = ketebalan cairan (feet)
Db = ketebalan batuan, D-𝐷𝑤𝑡 (feet)
23
w = berat jenis cairan (gr/cc)
b = berat jenis rata-rata batuan (gr/cc)
Besarnya gradien tekanan overburden normal biasanya dianggap sebesar 1 psi/ft
yang diambil dengan menganggap berat jenis batuan rata-rata sebesar 2,3 kali dari
berat jenis air. Jika besarnya gradien tekanan air adalah 0,433 psi/ft maka gradien
tekanan overburden sebesar 2,3 x 0,433psi/ft = 1,0 psi/ft.
24
𝑝𝑟𝑒𝑠𝑠𝑢𝑟𝑒 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑠ℎ𝑜𝑒 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑘𝑎 𝑙𝑒𝑎𝑘 𝑜𝑓𝑓 𝑡𝑒𝑟𝑗𝑎𝑑𝑖
Maksimum MW =
𝑡𝑟𝑢𝑒 𝑣𝑒𝑟𝑡𝑖𝑐𝑎𝑙 𝑑𝑒𝑝𝑡 ℎ 𝑠ℎ𝑜𝑒
𝑝𝑟𝑒𝑠𝑠𝑢𝑟𝑒 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑠𝑢𝑟𝑓𝑎𝑐𝑒 𝑑𝑎𝑛 𝑝ℎ 𝑙𝑢𝑚𝑝𝑢𝑟 𝑑𝑖 𝑠𝑢𝑚𝑢𝑟
= 𝑡𝑟𝑢𝑒 𝑣𝑒𝑟𝑡𝑖𝑐𝑎𝑙 𝑑𝑒𝑝𝑡 ℎ 𝑠ℎ𝑜𝑒
........................(3.7)
Biasanya dipakai safety factor 0.5 ppg dengan pengurangan pada maksimum MW
25
daerah tersebut, litologi terdiri dari formasi pasir dan lempung dengan hasil laju
penembusan yang cepat pada pasir.
26
tepat dari data flowline temperatur sebagai semi kuantitatif pressure indikator
ditunjukkan oleh Fertl seperti gambar 3.11 di bawah ini.
Dimana:
D = Kedalaman, ft.
T = Temperatur Flowline, F
G = Gradient Geothermal, F/100 ft.
``1 = Subkrip untuk bagian dangkal.
``2 = Subkrip untuk bagian yang lebih dalam.
27
3.2.3 Metode Shale Density
Variasi ukuran, bentuk dan volume fragment shale dalam fluida pemboran
juga dapat memberikan tanda tekanan formasi abnormal. Jika tekanan formasi
menjadi lebih besar dari tekanan fluida pemboran saat membor shale yang
permeabilitasnya rendah, fragmen shale besar berada di pinggir lubang bor.
Densitas bulk cutting shale biasanya diukur dengan : mercury pump, mud
balance atau variable-density liquid column. Prosedur yang digunakan untuk
penyiapan sample adalah sama untuk semua metode. Kira-kira seperempat cutting
diperoleh dari fluida pemboran. Cutting kemudian di tempatkan pada screens dan
terus dicuci dengan air atau minyak diesel tergantung air atau minyak yang
digunakan sebagai bahan dasar fluida pemboran.
Densitas shale yang bergantung dari parameter porositas sering diplot
dengan kedalaman untuk memperkirakan tekanan formasi. Ketika densitas bulk
dari cutting bersih dari shale berarti garis tekanan normal untuk shale adalah
menunjukkan tekanan abnormal. Hubungan antara tekanan pori formasi dan
densitas bulk dari cutting shale ditunjukkan dalam gambar 3.12
28
Model matematik trend kompaksi normal untuk densitas bulk dari shale
cutting dapat dituliskan dengan persamaan :
Dimana :
ρshn = densitas shale untuk tekanan normal.
ρg = densitas grain (2,65).
ρfl = densitas fluida pori.
,K = konstanta, berdasar pada shale-cutting bulk density pada tekanan
formasi normal.
b
R 12W
a
60 N d B ……………………………...……………………..(3.9)
Keterangan :
R = Laju Penetrasi, ft /jam
N = Kecepatan Putar, rpm
W = Berat Bit, 1000 lb
dB = Diameter Bit, inch
b = Exponent Berat Bit, dimensionless
a = Konstanta Drillability Formasi, dimensionless
29
Jordan dan Shirley memodifikasi persaman Bingham menjadi:
R
log
d = 60 N
12W
log
1000db ………………….………………….…………….(3.10)
Keterangan :
dcorr = d‟eksponen Terkoreksi.
Gfn = Densitas Lumpur Normal Equivalent dengan Tekanan
Formasi Normal, ppg
ECD = Berat lumpur pada saat sirkulasi,ppg
30
𝑑 𝑐𝑜𝑟𝑟 𝑛𝑜𝑟𝑚𝑎𝑙
EMW = x Gfn .................................................................(3.12)
𝑑 𝑐𝑜𝑟𝑟
Keterangan:
EMW = ekivalen mud weight, ppg
dcorr normal = d‟eksponen terkoreksi normal
Dalam formasi yang terkompaksi normal, bertambahnya kedalaman
menyebabkan laju penembusan berkurang karena batuan semakin kompak akibat
bertambahnya tekanan overburden. Dengan demikian harga d‟eksponen
bertambah. Pertambahan d‟eksponen ini mengikuti suatu kecenderungan yang
disebut trend d‟eksponen normal.
Tetapi jika suatu saat pemboran menembus formasi bertekanan abnormal
maka laju penembusan akan naik dengan tiba-tiba, meninggalkan trend laju
penembusan pada kedalaman sebelumnya. Perbedaan tekanan antara lubang
sumur dengan formasi yang kecil, bahkan negatif akan mengakibatkan batuan
yang sedang dibor semakin mudah terlepas, sehingga laju penembusan bertambah.
Disamping itu, pada zona bertekanan tinggi batuannya memiliki porositas yang
lebih tinggi, butiran batuan kurang rapat satu sama lainnya, sehingga batuannya
lebih mudah dibor. Jika dikaitkan dengan persamaan d‟eksponen, maka naiknya
harga laju penembusan R akan mengakibatkan turunnya harga d‟eksponen.
Jika dibuat hubungan antara d‟eksponen terhadap kedalaman, maka
perubahan harga d‟eksponen yang mengindikasikan zona bertekanan abnormal ini
akan menunjukkan terjadinya penyimpangan ke kiri dari trend d‟eksponen normal
(d‟eksponen mengecil). Sebaliknya, bila diperoleh data d‟eksponen yang
menunjukkan penyimpangan ke kanan (membesar) maka hal ini mengindikasikan
adanya zona bertekanan lebih rendah dari tekanan normal (subnormal) dan
berpotensi pada terjadinya lost circulation.
31
BAB IV
32
4.2 Data Lapangan
33
4.3 Perhitungan
34
Dari data konversi yang di hitung, di dapatkan hasil sebagai berikut:
35
4.3.2 Perhitungan d’Eksponen
Setelah menghitung konversi satuan, selanjutnya bisa menghitung
perhitungan d’Eksponen dari data sumur “R-26” (Tabel 4.2). Berikut
perhitungannya:
Dalam perhitungan d’Eksponen kita menggunakan persamaan 3.10:
𝑅𝑂𝑃
log ( )
60 𝑥 𝑅𝑃𝑀
d= 12 𝑥 𝑊𝑂𝐵
log ( 3 )
10 𝑥 𝑑 .𝑏𝑖𝑡
71.67
log ( )
60 𝑥 129
d@TVD 1069.3 ft = 12 𝑥 9.48
log ( 3 )
10 𝑥 17.5
d = 0.930
9 𝑝𝑝𝑔
dcorr @TVD 1069.3 ft = x 0.930
9.26
dcorr = 0.903
36
Tabel 4.3 Hasil perhitungan d-eksponen dan d-corr
Depth WOB ROP Bit Size ECD
NO RPM D d-corr
ft 1000 lbs ft/hr inch ppg
1 1069.28 129 9.48 71.67 17.5 9.26 0.930 0.903
2 1152.92 135 9.70 71.80 17.5 9.26 0.943 0.916
3 1397.28 91 20.06 77.64 17.5 9.35 0.992 0.956
4 1599 91 22.05 70.09 17.5 9.35 1.039 1.000
5 1684.28 95 13.89 152.75 17.5 9.35 0.778 0.749
6 1735.12 133 15.87 158.00 17.5 9.43 0.868 0.828
7 1826.96 141 22.49 157.11 17.5 9.43 0.955 0.912
8 1933.56 146 12.79 114.31 17.5 9.51 0.916 0.867
9 2005.72 140 14.33 84.98 17.5 9.51 0.994 0.940
10 2105.76 146 16.09 169.51 17.5 9.60 0.875 0.821
11 2253.36 104 8.16 134.05 12.25 9.76 0.795 0.733
12 2328.8 138 16.76 169.77 12.25 9.76 0.946 0.872
13 2435.4 172 10.36 139.17 12.25 9.76 0.938 0.865
14 2531.504 180 6.61 66.26 12.25 9.76 1.011 0.932
15 2625.312 173 5.95 67.34 12.25 9.76 0.979 0.903
16 2719.776 180 3.75 71.83 12.25 9.76 0.894 0.824
17 2813.584 174 5.29 60.58 12.25 9.76 0.979 0.902
18 2953.968 181 10.36 231.86 12.25 9.76 0.838 0.772
19 3057.616 182 13.01 293.49 12.25 9.76 0.829 0.764
20 3136.992 172 15.43 380.32 12.25 9.76 0.787 0.726
21 3232.112 178 19.40 237.47 12.25 9.76 0.960 0.885
22 3329.856 177 17.86 372.18 12.25 9.76 0.828 0.763
23 3457.776 187 16.09 351.85 12.25 9.76 0.834 0.769
24 3520.752 187 19.18 261.81 12.25 9.76 0.945 0.872
25 3654.576 174 13.45 275.88 12.25 9.76 0.839 0.774
26 3756.912 180 13.45 193.16 12.25 9.76 0.929 0.857
27 3846.784 176 15.21 135.63 12.25 9.76 1.035 0.954
28 3946.496 179 5.73 43.39 12.25 9.85 1.064 0.972
29 4087.536 172 12.57 156.00 12.25 9.85 0.953 0.871
30 4134.112 181 10.36 65.24 12.25 9.85 1.114 1.018
37
Pengeplotan dari data Depth dan d-Corr ke dalam grafik :
d-corr
0.00 0.50 1.00 1.50
1000
1500
2000
D-corr
2500
d-Corr
Depth (ft)
Linear (d-Corr)
y = 5469.9x - 3858
3000
R² = 0.9927
3500
4000
4500
38
4.3.4. Perhitungan d-Corr Normal
Terlebih dahulu seharusnya mengetahui nilai linier atau trend pada (Gambar 4.2)
dimana nanti akan mendapatkan nilai y = mx + c sebagai berikut :
m = 5469.9
c = -3858
(𝐷𝑒𝑝𝑡 −𝑐)
Dcorr normal =
𝑚
(1069.28−(−3858 )
dcorr normal @TVD 1069.28 ft =
5469.9
39
Tabel 4.4 Hasil perhitungan d-Corr Normal
Depth d-corr
NO
ft normal
1 1069.28 0.901
2 1152.92 0.916
3 1397.28 0.961
4 1599 0.998
5 1684.28 1.013
6 1735.12 1.023
7 1826.96 1.039
8 1933.56 1.059
9 2005.72 1.072
10 2105.76 1.090
11 2253.36 1.117
12 2328.8 1.131
13 2435.4 1.151
14 2531.504 1.168
15 2625.312 1.185
16 2719.776 1.203
17 2813.584 1.220
18 2953.968 1.245
19 3057.616 1.264
20 3136.992 1.279
21 3232.112 1.296
22 3329.856 1.314
23 3457.776 1.337
24 3520.752 1.349
25 3654.576 1.373
26 3756.912 1.392
27 3846.784 1.409
28 3946.496 1.427
29 4087.536 1.453
30 4134.112 1.461
40
4.2.5. Perhitungan EMW
EMW (Equivalen Mud Weight) atau disebut juga mewakili tekanan pori
formasi dalam satuan ppg, yang berfungsi menentukan setiap kedalaman pada d-
Corr normal. Dari hasil (Tabel 4.3) perhitungan d-Corr dan hasil dari (Tabel 4.4)
perhitungan d-Corr Normal sudah bisa mencari EMW di setiap kedalaman dengan
menggunakan persamaan 3.12:
d corr normal
EMW = x Gfn
𝑑 𝑐𝑜𝑟𝑟
0.901
EMW @TVD 1069.28 = x 9 ppg
0.903
41
Tabel 4.5 (Lanjutan)
Depth d-corr
NO d d-corr EMW
ft normal
18 2953.968 0.838 0.772 1.245 14.510
19 3057.616 0.829 0.764 1.264 14.892
20 3136.992 0.787 0.726 1.279 15.857
21 3232.112 0.960 0.885 1.296 13.178
22 3329.856 0.828 0.763 1.314 15.490
23 3457.776 0.834 0.769 1.337 15.652
24 3520.752 0.945 0.872 1.349 13.930
25 3654.576 0.839 0.774 1.373 15.979
26 3756.912 0.929 0.857 1.392 14.625
27 3846.784 1.035 0.954 1.409 13.284
28 3946.496 1.064 0.972 1.427 13.211
29 4087.536 0.953 0.871 1.453 15.005
30 4134.112 1.114 1.018 1.461 12.912
Setelah mendapat hasil perhitungan EMW, plot nilai EMW dengan depth
ke dalam grafik.
EMW (ppg)
0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 14.0 16.0
1000
1500
2000
EMW
Depth (ft)
2500
3000
3500
4000
4500
42
BAB V
PEMBAHASAN
44
Nilai d’Eksponen yang didapat akan dikoreksi dalam perhitungan d-Corr,
perhitungan yang dilakukan tidak mempertimbangkan adanya pengaruh berat
lumpur terhadap laju penembusan. Untuk itu, d’eksponen perlu dikoreksi sesuai
dengan berat lumpur yang digunakan. Dimana nilai d’Eksponen akan dikoreksi
pada setiap kedalamannya. Dengan cara mengalikan hasil pembagian dari nilai
tekanan gradient normal yang bernilai 9 ppg dengan nilai densitas lumpur dalam
satuan ppg. Dari perhitungan persamaan dari bab sebelumnya didapatkan nilai d-
Corr @TVD 1069.28 adalah 0.90. Perhitungan tersebut akan dihitung pada setiap
kedalamannya.
Setelah mendapat nilai d-Corr selanjutnya memplot nilai d-Corr dengan
depth kedalam grafik. Dalam grafik tersebut dicari nilai linier dari data d-Corr
dengan depth tersebut., dan didapatkan nilai y = mx + c dari adalah m = 5469.9
dan c = -3858 yang nantinya akan digunakan dalam perhitungan mencari nilai d-
Corr Normal.
Perhitungan d-Corr Normal dilakukan untuk mengetahui nilai d’Eksponen
terkoreksi Normal dari setiap kedalaman. Dalam pencarian nilai d-Corr Normal
pada setiap kedalaman terlebih dahulu mengetahui nilai y = mx + c dari
pengeplotan nilai Depth vs d-Corr kedalam grafik. Setelah mendapatkan nilai
tersebut, nilai c yang didapat dikurang dengan nilai depth dan hasil dari
pengurangannya akan dibagi dengan nilai m. Maka dari perhitungan persamaan
dari bab sebelumnya didapatkan nilai d-Corr Normal @TVD 1069.28 adalah
0.90, dan perhitungan tersebut akan dilakukan pada setiap kedalamannya.
Dari hasil perhitungan d-Corr Normal, selanjutnya menghitung nilai EMW
(Equivalen Mud Weight). EMW atau disebut juga perwakilan tekanan pori formasi
dalam satuan ppg, yang berfungsi menentukan setiap kedalaman pada d-Corr
Normal. Nilai EMW tersebut yang nantinya akan digunakan dalam menentukan
pada kedalaman mana saja terjadi tekanan abnormal dan subnormal, nilai d-Corr
normal yang didapat akan dibagi dengan nilai d-Corr dan hasil dari pembagian
tersebut akan dibagi dengan tekanan gradient normal yang biasa digunakan adalah
9 ppg. Dari perhitungan persamaan dari bab sebelumnya didapatkan nilai EMW
@TVD 1069.28 adalah 9.0 ppg, dan perhitungan tersebut dilakukan pada setiap
45
kedalamannya. Setelah mendapat nilai EMW selanjutnya memplotkan grafik
Depth vs EMW.
EMW (ppg)
0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 14.0 16.0
1000
1500
2000
EMW
Depth (ft)
2500
3000
3500
4000
4500
46
BAB VI
KESIMPULAN
47
DAFTAR PUSTAKA