Anda di halaman 1dari 17

KEARIFAN LOKAL DI KAMPUNG BUDAYA BUNISARI

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah Dakwah Antarbudaya

Dosen Pengampu: Dr. Mukhlis Aliyudin, M. Ag.

Disusun Oleh:
Miladuddin Fadzlullah 1214040055
Moh. Hairud Tijani 1214040058
Muhammad Arrofi A 1214040059
Nadia Rospika 1214040074
Naila Intan Najia R 1214040078
Najla Nur Hanifah 1214040079
Nunu Nugraha 1214040082
R. Nadhira Ainun I 1214040085
Rembani Citra 1214040088

PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2023
KATA PENGANTAR

Tidak ada rasa yang patut kita panjatkan kepada Dzat yang maha kuasa, Allah SWT selain rasa
syukur kita kepada-Nya. Yang telah memberikan rahmat, karunia dan kesehatannya. Sehingga
seluruh manusia dapat melaksanakan aktivitas setiap hari, terutama untuk mencari ridho Allah
SWT, dengan menghendaki diri kepada-Nya.

Shalawat serta salam pun tidak akan pernah lupa kami panjatkan kepada junjungan kita, uswatun
hasanah kita, Nabi Muhammad SAW. Yang telah membimbing kita untuk selalu berada dalam
naungan Allah SWT.

Makalah ini diajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah Dakwah Antarbudaya dan sebagai
latihan dasar menulis karya ilmiah berikutnya. Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini
jauh dari kata sempurna atau lebih dalam pandangan kebenaran. Oleh karena itu, penulis hanya
dapat memanjatkan do’a semoga mendapat petunjuk dan hidayah dari-Nya.

Bandung, 16 Mei 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................................ iii

BAB I (PENDAHULUAN)

A. Latar Belakang ...................................................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 1
C. Tujuan Penelitian .................................................................................................................. 2
D. Metode Penelitian.................................................................................................................. 2

BAB II (PEMBAHASAN)

A. Sejarah Kampung Bunisari ................................................................................................. 3


B. Macam-macam Kearifan Lokal Bunisari ........................................................................... 4
C. Pengaruh Budaya Terhadap Masyarakat dalam Perspektif SM, SDE, dan SDL .......... 6
D. Pesan-pesan Dakwah dalam Tradisi Kampung Budaya Bunisari.................................... 7

BAB III (PENUTUP)

A. Kesimpulan ............................................................................................................................ 10

DOKUMENTASI KEGIATAN .................................................................................................. 12

DOKUMENTASI TEMPAT ....................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam setiap negara di dunia memiliki keunikan tersendiri, termasuk juga negara
Indonesia. Keunikan negara Indonesia sendiri berasal dari adat istiadat, tradisi dan budaya
yang menjadi sebuah kearifan lokal dalam setiap daerahnya.
Kearifan lokal merupakan sebuah pandangan hidup suatu masyarakat di wilayah tertentu
mengenai lingkungan alam tempat mereka tinggal. Pandangan hidup ini biasanya adalah
pandangan hidup yang sudah berakar atau dapat dikatakan sebuah pandangan yang sudah
mandarah daging seperti halnya kebudayaan yang ada di setiap lingkungan masyarakat.
Dalam konteks budaya, agama dalam bentuk yang nyata dapat tumbuh dan berkembang.
Sedangkan budaya jika diartikan dengan semua pengetahuan dan nilai-nilai yang dimiliki
bersama oleh masyarakat yang tidak didasari oleh nilai moral dan spiritualitas luhur yang
berasal dari tradisi agama akan kering dan kehilangan arah. Maka dari itu, walaupun antara
agama dan budaya bisa dibedakan tetapi tidak mungkin dapat dipisahkan.
Dalam sejarahnya, agama besar selalu melahirkan tradisi besar, sementara tradisi budaya
yang sudah mapan tidak mudah berubah dan digeser oleh agama. Ajaran agama dan tradisi
lokal saling berbaur dan tidak bisa dipisahkan.
Kearifan lokal yang terdapat disetiap lingkungan masyarakat itu berbeda-beda. Salah satu
contoh nya terdapat di desa Giri Mekar yang berlokasi di Kabupaten Bandung. Terdapat sebuah
kampung budaya yang biasa disebut dengan Kasepuhan Bunisari.
Kesepuhan Buni Sari ini merupakan sebuah kearifan lokal yang didalam nya terdapat
kebudayaan yang sudah hadir sejak zaman nenek moyang. Untuk melestarikan budayanya ini,
masyarakat yang tinggal di desa Giri Mekar menghidupkan kembali tradisi-tradisi yang hampir
punah. Diantaranya, Tali Paranti, Nyawang Bulan dan masih ada beberapa diantaranya

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, adapun rumusan masalah yang akan dibahas yaitu:
1. Bagaimana sejarah kearifan lokal Kampung Budaya Bunisari?
2. Apa saja macam-macam kearifan lokal yang ada di Kampung Budaya Bunisari?

1
3. Bagaimana pengaruh serta manfaat tradisi terhadap masyarakat dalam perspektif SDM,
SDE, dan SDL?
4. Apa saja pesan dakwah yang ada dalam proses tradisi Kampung Budaya Bunisari?

C. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah masalah di atas, penulis dan pembaca bisa mengetahui bagaimana
sejarah yang ada di Kampung Bunisari, macam-macam kearifan lokalnya, manfaat tradisi
dalam perspektif Pengembangan Masyarakat, dan apa saja pesan dakwah yang terkandung
dalam proses tradisi Kebudayaan Bunisari.

D. Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah etnografi dengan observasi, studi literatur, dan teknik
dokumentasi. Metode etnografi dalam penelitian ini adalah merekam segala sesuatu yang
berkaitan dengan budaya dan budaya, khususnya budaya Sunda dan kearifan lokal.
Teknik observasi digunakan ketika mengamati objek dalam bentuk wacana, istilah, konsep,
perilaku, dan pelaku budaya, terutama yang berkaitan dengan upacara tradisional di Jawa Barat
yang merupakan bagian dari kearifan lokal. Studi pustaka adalah kegiatan mencari informasi
penting terkait Tali Paranti Sunda dan Nyawang Bulan baik yang direkam maupun lisan, serta
informasi budaya dan tradisional secara umum.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Kampung Budaya Bunisari


Kampung Budaya adalah suatu kawasan lingkungan tradisional dimana kebiasaan-
kebiasaan asli yang diturunkan dari generasi ke generasi masih dapat dilihat di sejumlah lokasi
kawasan yang mencakup unsur dan obyek pemajuan kebudayaan, serta memiliki sistem
interaksi kebudayaan yang terintegrasi. Menurut pengertian lain, kampung adat adalah suatu
komunitas tradisional dengan fokus fungsi dalam bidang adat dan tradisi. Selain itu, kampung
adat juga merupakan satu kesatuan wilayah di mana para masyarakat atau anggotanya secara
bersama-sama melaksanakan kegiatan sosial dan juga tradisi yang sudah ditata oleh sistem
budaya yang dimiliki sejak dulu.
Kampung budaya Bunisari Adalah salah satu komunitas yang hingga kini mempertahankan
aspek kebudayaan lokal, yaitu berbagai kesenian tradisional Sunda. Menurut sesepuh desa dulu
ketika kampung budaya Bunisari di era 80 an ada semacam tajuk atau masjid sebagai
penyebaran agama islam oleh orang-orang kesultanan Cirebon. Masjid atau tajuk, yang
didirikan pada waktu dahulu menjadi tempat bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas
keagamaan seperti Shalat Jum’at, Tadarusan, serta kegiatan dakwah. Kepala desa Giri Mekar
Bapak Wahyudi mengatakan bahwa kampung budaya Bunisari ini dulunya adalah pusat
penyebaran agama ke daerah sekitarnya termasuk Cijambe, Ujung Berung dan lainnya.
Ke-anekaragaman budaya di kampung budaya Bunisari yang masih lestari hingga saat ini
cukup bervariasi dari adanya nyawang bulan yang rutin di laksanakan setiap bulan, tali paranti
dan kesenian seperti tradisi kecapi masih di kembangkan oleh aparat desa giri mekar agar
budaya yang telah di ciptakan oleh nenek moyang tidak hilang di telan zaman.
Potensi budaya yang ada di kampung Bunisari tergolong unik karena tak hanya
melestarikan budaya akan tetapi dari sisi ekonomi dan spritualitas masyarakat meningkat
hingga menurut sebagian warga mengatakan kalau masyarakat sekarang semakin melekat dan
saling bahu membahu dalam melestarikan tradisi yang ada serta erat hubungan ukhuwah
islamiah nya. Dari segi ekonomi para masyarakat yang pekerjaannya sebagai pedagang
mendapatkan keuntungan dari adanya festival budaya yang di selenggarakan. Adapun barang
yang di jual merupakan hasil karya masyarakat seperti lukisan, kalung, gelang dan makanan.

3
B. Macam-macam Kearifan Lokal Bunisari
Kearifan lokal adalah filosofi dan pandangan hidup yang mewujud dalam berbagai bidang
kehidupan, meliputi tata nilai sosial dan ekonomi, arsitektur, kesehatan, tata lingkungan, dan
sebagainya. Kearifan lokal itu tidak hanya berlaku secara lokal pada budaya atau etnik tertentu,
tetapi dapat dikatakan bersifat lintas budaya atau lintas etnik sehingga membentuk nilai budaya
yang bersifat nasional. Sama hal nya dengan kearifan lokal yang ada di Kasepuhan Bunisari
banyak sekali tradisi yang dapat ditemukan diantara nya adalah:
a. Tali Paranti
Tali paranti secara umum merupakan aturan-aturan yang tidak tertulis tetapi mengikat,
yang dilaksanakan secara maranti atau biasa dilaksanakan. Secara keilmuan, tali paranti
sejajar dengan tradisi atau adat-istiadat. Tali paranti dalam masyarakat Bunisari berwujud
aktivitas bahasa dan perilaku sebagai realisasi pemikiran dan gagasannya. Aktivitas
tersebut tentu saja dilengkapi dengan benda-benda yang menyertainya sebagai bagian dari
budayanya. Wujud tali Paranti masyarakat Sunda dalam bahasa misalnya saja berupa
suruhan; keharusan; anjuran; pujian (kudu ngarah harus supaya), larangan; celaan (ulah;
pamali; teu meunang), dan ungkapan-ungkapan. Wujud aktivitasnya berupa ritual-ritual;
upacara-upacara; inisiasi-inisiasi yang dianggapnya bisa menyelamatkeun dan sebagai
tanda syukur pada segala nikmat yang telah diberikan Pangéran Nu Murbéng Alam atau
Gusti Nu Maha Kawasa.
Tali paranti masyarakat Bunisari sama hal nya dengan tali paranti masyarakat Sunda
yang meliputi: kelahiran, kehidupan, dan kematian. Kegiatan-kegiatannya berupa upacara-
upacara, misalnya saja: tingkeban atau nujuh bulan, puputan, mahinum, nurunkeun,
ngabersihan; sundatan, nikahan, tahlilan, Nyusur taneuh, dan natus. Tentu saja, kegiatan-
kegiatan dalam kelahiran, kehidupan, dan kematian itu bisa dirinci lagi secara khusus
sesuai dengan kebiasaan daerah masing-masing. Tali Paranti yang biasa dilakukan dalam
hal kelahiran dan pertumbuhan seorang anak yaitu: opat bulanan, nujuh bulan, babaran,
puput puseur, akekah bersamaan dengan cukuran dan memberi nama, turun bumi, gusaran,
sundatan.
Adapun tali paranti yang berhubungan dengan kehidupan dalam hal pernikahan, ada
kegiatan-kegiatan yang harus‟ dilaksanakan sebagai tanda syukur pada pencipta dan ciri
manusia berbudaya, yaitu: neundeun omong, nyangcang atau Nyeureuhan, lamaran,

4
seserahan, siraman, ngeuyeuk seureuh, midadarén, nikah (dalam ketentuan Islam ada
rukun-rukun; ketentuan-ketentuan nikah secara khusus dan terliput dalam nikah. Oleh
karena itu, dari serangkaian kegiatan pernikahan ini, Kegiatan upacara-upacara tadi oleh
orang Sunda-Islam dianggap adat sebagai memenuhi tali paranti atau tali karuhun) sawér,
buka panto, nincak endog, ngumbah suku, meuleum harupat, ngaleupaskeun japati, sampai
dengan numbas.
Tali paranti pada kematian adalah sejumlah aturan adat yang biasa dilakukan, walaupun
setelah tahun 1990-an bentuk tali paranti pada kematian ini semakin ditinggalkan oleh
masyarakat. Tapi Bentuk tali paranti ini misalnya saja: sawer mayit, ngolong, tahlilan (hiji-
tujuhna atau hari pertama sampai ketujuh hari kematian), opat puluh poe atau matang
puluh, natus (100 hari kematian), dan haul (1000 hari kematian).
Tali paranti pada masyarakat Sunda, bukan hanya untuk manusia tapi juga untuk
tumbuhan, terutama padi. Cara-cara masyarakat sunda utamanya warga Bunisari
memperlakukan padi dianggap sebagai kegiatan pemuliaan terhadap perempuan. Hal itu
dikarenakan dalam masyarakat terdapat mitos mengenai asal Muasal padi yaitu yang
menceritakan bahwa padi tercipta dari jasad perempuan yang bernama Nyi Dewi Sri;
Sanghyang Sari.
b. Nyawang Bulan
Nyawang bulan dilakukan biasanya pada saat bulan purnama muncul, yaitu pada
pertengahan bulan, karena bulan purnama akan muncul tiap bulannya, namun setiap 3
tahun sekali terkadang suka muncul di awal bulan. Jadi nyawang bulan dalam setahun
dilakukan dua belas kali atau tiga kali untuk setiap musimnya.
Melihat pentingnya menjaga budaya dan menjaga persatuan masyarakat melalui tradisi
Nyawang Bulan, komunitas kampung budaya Bunisari yang di ketuai oleh pak Wahyudi,
menggelar Nyawang Bulan dengan konsep memadukan tradisi budaya sunda dengan ajaran
Islam (hablum minal alam). Komunitas kampung selalu mencoba menyuguhkan keindahan
alam sebagai keagungan Sang Pencipta, dan memahami agar manusia khususnya
Masyarakat Bunisari lebih mencintai budaya sendiri dan mengenal budayanya. Nyawang
Bulan berarti mengetahui siapa yang menciptakan yaitu Tuhan Yang Maha Esa, karena
semua yang berada di alam semesta ini merupakan ciptaannya.

5
Bagi masyarakat Bunisari Simbol Nyawang Bulan adalah memperhatikan dengan hati,
gelaran Nyawang Bulan dapat dijadikan penguatan dalam memahami filosofi hidup
masyarakat, agar lebih bermakna dalam kehidupan. Yang paling penting adalah belajar
bersama dalam merawat kehidupan untuk lebih membuka hati, sehingga masyarakat yang
berbeda suku dan agama dapat hidup rukun dan berdampingan. Agar mendapatkan efek
positif, sejak munculnya bulan purnama kita harus berada dalam pikiran tenang.
Kegiatan rutinitas ini merupakan adat dan budaya yang di lestarikan oleh masyarakat
kampung budaya Bunisari Desa Giri Mekar, kecamatan Cilengkrang Kabupaten Bandung,
agar warisan leluhur dan adat tidak punah di kolaborasikan dengan tadabur alam dan
kesenian. Ketua adat kampung budaya Bunisari bapak wahyudi, menjelaskan bahwa kalau
bukan kita, siapa lagi yang akan memelihara kearifan lokal, acara nyawang bulan ini di
lakukan ditempat-tempat yang punya nilai sejarah, seperti di kasepuhan atau kadang di
balai budaya yang sudah di persiapkan oleh aparat desa, supaya mereka masyarakat yang
ikut dalam acara tersebut bisa menilai arti dari budaya lokal yang ada.
Nyawang Bulan ini bukan acara untuk mengingat ratu atau kerajaan melainkan ini
adalah acara untuk memperingati munculnya bulan purnama. sebagai bentuk syukur kita
masih dipertemukan pada bulan purnama, masih dipertemukan bulan yang merupakan
termasuk penyeimbang bumi.

C. Pengaruh Budaya Terhadap Masyarakat dalam Perspektif SDM, SDE, dan SDL
1. Sumber Daya Manusia
Dari segi SDM (Sumber Daya Manusia) ini, tradisi yang terdapat di kampung Bunisari
memberikan pengaruh positif bagi masyarakat dalam hal memperkaya pengetahuan dan
keterampilan mereka. Selama proses pelaksanaan tradisi tali paranti contohnya,
masyarakat akan belajar cara membuat dan mengikat tali dengan benar, dalam
mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas. 3 Hal ini karena tradisi tali
paranti dapat membantu memupuk nilai-nilai seperti kebersamaan, kerja sama, dan gotong
royong yang dapat menjadi modal penting dalam membentuk karakter dan kompetensi
sumber daya manusia yang berintegritas dan tangguh.
2. Sumber Daya Ekonomi

6
Dari segi SDE (Sumber Daya Ekonomi) ini, tradisi nyawang bulan juga memiliki
manfaat dalam mengembangkan potensi ekonomi masyarakat. Tradisi ini dapat dijadikan
sebagai peluang untuk mengembangkan usaha pembuatan dan penjualan produk-produk
lokal yang terkait dengan kegiatan tali paranti, seperti pembuatan makanan, baju, dan
peralatan lainnya. Dengan demikian, tradisi tali paranti dan nyawang bulan dapat
memberikan kontribusi bagi perekonomian masyarakat setempat serta dapat menambah
nilai jual produk lokal.
3. Sumber Daya Lingkungan
Dari segi SDL (Sumber Daya Lingkungan), dengan adanya Kearifan lokal yang masih
lestari di tengah masyarakat dapat membantu mengembangkan kreativitas dalam menjaga
lingkungan yang baik dan lestari. Hal ini karena tradisi tali paranti biasanya melibatkan
penggunaan bahan-bahan alami seperti tali dan bahan yang mudah diuraikan oleh alam,
sehingga tidak menimbulkan kerusakan lingkungan.
Tradisi Nyawang Bulan juga dapat dipadukan dengan kegiatan membersihkan
lingkungan serta menghijaukan daerah sekitarnya, sehingga dapat membantu
meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat terhadap lingkungan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal serta tradisi-tradisi yang ada di
kampung budaya Bunisari memiliki manfaat yang banyak bagi masyarakat, baik dari segi
pengembangan SDM, SDE, maupun SDL. Oleh karena itu, tradisi ini perlu terus dilestarikan
dan dikembangkan agar dapat terus memberikan manfaat positif bagi masyarakat.

D. Pesan-pesan Dakwah dalam Tradisi Kampung Budaya Bunisari


Tradisi nyawang bulan dan tali paranti adalah upacara tradisional masyarakat Sunda
utamanya kampung budaya Bunisari, desa Giri Mekar, kecamatan Cilengkrang, kabupaten
Bandung. Yang dilakukan sebagai bentuk syukuran memohon berkat kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Dalam upacara ini terdapat beberapa simbol dan pesan-pesan dakwah yang
melambangkan ajaran agama Islam yang telah melekat dalam budaya masyarakat Bunisari
yakni memohon berkah kepada Sang Pencipta untuk mendapatkan hasil panen yang melimpah.

7
Dalam prosesi kegiatan tradisi Tali Paranti dan Nyawang Bulan ini, terdapat simbol
dakwah yang dapat di identifikasikan, antara lain:
a. Tali dan simpul: Tali dan simpul pada tali paranti melambangkan ikatan dan hubungan
antara manusia dengan Tuhannya. Simpul-simpul tersebut juga melambangkan kesatuan
dan persatuan dalam menjalin hubungan yang baik dengan sesama.
b. Bulan purnama: Dalam nyawang bulan, bulan purnama melambangkan perubahan dan
peningkatan diri menuju kebaikan yang lebih baik. Selain itu, bulan purnama juga
merupakan simbol kekuasaan Allah SWT yang selalu mengawasi dan memberikan
petunjuk kepada umat manusia. Bulan merupakan simbol dari siklus kehidupan dan
perubahan yang terus menerus terjadi. Masyarakat diajak untuk tetap sabar dan optimis
menghadapi perubahan yang terjadi dalam hidupnya.
c. Doa dan dzikir: Prosesi tali paranti dan nyawang bulan banyak disertai dengan doa dan
zikir sebagai bentuk dakwah yang diutamakan dalam Islam. Hal ini mengingatkan manusia
untuk selalu merenungkan dan mengingat Allah dalam setiap tindakan dan perbuatan yang
dilakukan.
d. Pakaian dan perlengkapan: Pakaian dan perlengkapan yang digunakan dalam kedua acara
tersebut sering kali dikaitkan dengan kesederhanaan dan keikhlasan dalam beribadah. Hal
ini merupakan simbol dakwah yang mengajarkan untuk tidak terpaku pada kemewahan
dunia dan lebih memfokuskan diri pada ibadah yang benar dan tulus.
e. Gunungan atau tumpeng: melambangkan ke berlimpahan hasil bumi dan juga mengajak
masyarakat untuk selalu bersyukur atas berkah yang diberikan oleh Allah SWT. Nasi yang
menjulang ke atas ini merupakan harapan agar kehidupan masyarakat dapat meningkat.
f. Beberapa persembahan: Beberapa persembahan yang diletakkan di atas atau di bawah
seperti nasi ketan, buah-buahan, dan daun pisang melambangkan kedermawanan,
kemurahan hati, serta kesederhanaan dalam beribadah dan bermasyarakat.
g. Tali paranti: melambangkan persatuan dan kesatuan masyarakat dalam menjalankan
kehidupan sehari-hari. Melalui prosesi pengikatannya, masyarakat diingatkan untuk selalu
menjaga persatuan dan membangun kerja sama yang baik dalam kehidupan bermasyarakat.

Dengan demikian, tali paranti dan nyawang bulan dapat dikatakan adalah bentuk dakwah
yang memberikan simbol dan pesan-pesan dakwah untuk mengajarkan kepada manusia

8
tentang pentingnya menjalin hubungan dengan Allah, meningkatkan kualitas diri, serta
meningkatkan kesadaran akan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan adanya pesan-pesan dakwah dalam prosesi kegiatan nyawang bulan dan tali
paranti, diharapkan masyarakat kampung budaya Bunisari semakin sadar akan pentingnya
menjalankan ajaran agama dengan baik serta membangun sikap yang baik dalam kehidupan
bermasyarakat.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kampung Bunisari atau oleh masyarakat sekitar sering disebut dengan Kasepuhan
Bunisari, merupakan salah satu kampung budaya yang ada di kabupaten Bandung, secara
geografis kampung Bunisari terletak di Desa Giri Mekar, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten
Bandung, menurut sisi sejarah nya penamaan Bunisari berasal dari kata Buni dan Sari yang
artinya mata air, jadi Bunisari adalah di buni ada mata air, di namai oleh orang-orang zaman
dahulu dan awal mula kebudayaan serta tradisinya berasal dari kesultanan Cirebon.
Kearifan lokal yang terdapat di Kasepuhan Bunisari antara lain: Tali paranti dan Nyawang
Wulan. Wujud tali Paranti masyarakat Sunda dalam bahasa misalnya saja berupa suruhan;
keharusan; anjuran; pujian (kudu ngarah harus supaya), larangan; celaan (ulah; pamali; teu
Meunang), dan ungkapan-ungkapan. Wujud aktivitasnya berupa ritual-ritual; upacara-upacara;
inisiasi-inisiasi yang dianggapnya bisa menyelamatkeun dan sebagai tanda syukur pada segala
nikmat yang telah diberikan Pangéran Nu Murbéng Alam atau Gusti Nu Maha Kawasa.
sedangkan, Nyawang Bulan berarti mengetahui siapa yang menciptakan yaitu Tuhan Yang
Maha Esa, karena semua yang berada di alam semesta ini merupakan ciptaannya. Nyawang
Bulan dengan konsep memadukan tradisi budaya sunda dengan ajaran Islam (hablum minal
alam). Komunitas kampung selalu mencoba menyuguhkan keindahan alam sebagai keagungan
Sang Pencipta, dan memahami agar manusia khususnya Masyarakat buni sari lebih mencintai
budaya sendiri dan mengenal budayanya.
Kearifan lokal serta tradisi-tradisi yang ada di kampung budaya Bunisari memiliki manfaat
yang banyak bagi masyarakat, baik dari segi pengembangan SDM, SDE, maupun SDL. Oleh
karena itu, tradisi ini perlu terus dilestarikan dan dikembangkan agar dapat terus memberikan
manfaat positif bagi masyarakat.
Tradisi nyawang bulan dan tali paranti adalah upacara tradisional masyarakat Sunda
utamanya kampung budaya Bunisari, desa Giri Mekar, kecamatan Cilengkrang, Kabupaten
Bandung Yang dilakukan sebagai bentuk syukuran memohon berkat kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Masyarakat diajak untuk tetap sabar dan optimis menghadapi perubahan yang terjadi

10
dalam hidupnya. Nasi yang menjulang ke atas ini merupakan harapan agar kehidupan
masyarakat dapat meningkat.

11
DOKUMENTASI KEGIATAN

12
DOKUMENTASI TEMPAT

13
DAFTAR PUSTAKA

Kampung Budaya. (2022, November 22). Retrieved from Dinas Kebudayaan Web site:
https://dinaskebudayaan.jakarta.go.id/disbuddki/news/2022/11/kampung-
budaya#:~:text=Kampung%20Budaya%20adalah%20suatu%20kawasan,sistem%20interaksi%20
kebudayaan%20yang%20terintegrasi
Marliah, S. (n.d.). Kearifan Lokal: Pengertian, Ciri-Ciri, Fungsi, Hingga Jenisnya. Retrieved from Sosial
Budaya Web site: https://www.gramedia.com/literasi/kearifan-lokal/
Tradisi Nyawang Bulan. (2021, September 11). Retrieved from
https://www.nyenang.com/2021/09/tradisi-nyawang-bulan.html

Dinas Kebudayaan. Kampung Budaya. Jakarta, 2022

M. Hardi. Kearifan Lokal: Pengertian, Ciri-Ciri, Fungsi, Hingga Jenisnya


Retty Isnendes, Seba Baduy Ceremony: A Political Journey Of Sunda Wiwitan Traditional
Community, jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016, JPBD UPI Bandung

A Radiana003. “?Urf, Kearifan Tradisi dan Budaya Lokal” dalam Pikiran Rakyat 06-03-2003 hal.
18. Bandung

N. Herlina Lubis M.S. 2000. Tradisi dan Transformasi Sejarah Sunda. Bandung: Humaniora
Utama Press.

Wawancara dengan Kepala Desa Giri Mekar sekaligus Ketua Adat Bapak Wahyudi pada tanggal
15 Mei 2023, Di kantor Kelurahan

Wawancara dengan Bapak Eko ketua RT Kampung Bunisari di kediaman pada tanggal 14 Mei
2023

14

Anda mungkin juga menyukai