Anda di halaman 1dari 48

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Strategi Komunikasi


2.1.1 Pengertian Strategi Komunikasi
Strategi pada hakikatnya adalah perencanaan dan manajemen untuk
mencapai suatu tujuan. Strategi komunikasi yang merupakan paduan
perencanaan komunikasi dengan manajemen komunikasi untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Strategi komunikasi ini harus
mampu menunjukkan bagaimana operasionalnya secara praktis harus
dilakukan, dalam arti kata bahwa pendekatan bisa berbeda sewaktu-
waktu bergantung pada situasi dan kondisi (Effendy, 2013:32).
Demikian pula dengan strategi komunikasi yang merupakan
paduan perencanaan komunikasi dengan manajemen komunikasi untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Strategi komunikasi ini harus
mampu menunjukkan bagaimana operasionalnya secara praktis harus
dilakukan, dalam arti kata bahwa pendekatan bisa berbeda sewaktu-
waktu bergantung pada situasi dan kondisi (Effendy, 2013:32).
Kata strategi berasal dari bahasa Yunani klasik yaitu “stratos”
yang artinya tentara dan kata “agein” yang berarti memimpin. Dengan
demikian, strategi dimaksudkan adalah memimpin tentara. Lalu
muncul kata strategos yang artinya pemimpin tentara pada tingkat atas.
Jadi, strategi adalah konsep militer yang bisa diartikan sebagai seni
perang para jendral, atau suatu rancangan yang terbaik untuk
memenangkan peperangan (Cangara, 2013:61).
Strategi menghasilkan gagasan dan konsepsi yang dikembangkan
oleh para praktisi. Karena itu para pakar strategi tidak saja lahir dari
kalangan yang memiliki latar belakang militer, tapi juga dari profesi
lain, misalnya pakar strategi Henry Kissinger berlatar belakang
sejarah, Thomas Schelling berlatar belakang ekonomi, dan Albert
Wohlsetter berlatar belakang matematika (Cangara, 2013:61).
Dalam menangani masalah komunikasi, para perencana
dihadapkan pada sejumlah persoalan, terutama dalam kaitannya
dengan strategi penggunaan sumber daya komunikasi yang tersedia
untuk mencapai tujuan yang ingin di capai. Rogers memberi batasan
pengertian strategi komunikasi sebagai suatu rancangan yang dibuat
untuk mengubah tingkah laku manusia dalam skala yang lebih besar
melalui transfer ide-ide baru. Seorang pakar perencanaan komunikasi
Middleton membuat definisi dengan menyatakan “strategi komunikasi
adalah kombinasi yang terbaik dari semua elemen komunikasi mulai
dari komunikator, pesan, saluran (media), penerima sampai pada
pengaruh (efek) yang dirancang untuk mencapai tujuan komunikasi
yang optimal (Cangara, 2013:61).

R. Wayne Pace, Brent D. Peterson, dan M. Dallas Burnett dalam


bukunya, Techniques for Effevtive Communication, menyatakan bahwa
tujuan sentral kegiatan komunikasi terdiri atas tiga tujuan utama.
Pertama adalah to secure understanding, memastikan bahwa
komunikan mengerti pesan yang diterimanya. Andai kata ia sudah
dapat mengerti dan menerima, maka penerimaannya itu harus dibina to
establish acceptance kedua. Pada akhirnya ketiga kegiatan
dimotivasikan to motivate action (Effendy, 2013:32).
2.1.2 Komponen Strategi Komunikasi

Dalam strategi diperhatikan komponen-komponen dan faktor-


faktor pendukung dan penghambat pada setiap komponen tersebut. Berikut
penjelasannya (Effendy, 2013:35-39) :

1. Mengenali sasaran komunikasi

Sebelum kita melancarkan komunikasi, kita perlu


mempelajari siapa-siapa yang akan menjadi sasaran
komunikasi kita itu. Sudah tentu itu bergantung pada tujuan
komunikasi, apakah agar komunikan hanya sekedar
mengetahui atau agar komunikan melakukan tindakan tertentu.
Ada dua faktor untuk mengenali sasaran komunikasi yaitu
faktor kerangka referensi dan faktor situasi serta kondisi.

Kerangka referensi seseorang terbentuk dalam dirinya


sebagai hasil dari paduan pengalaman, pendidikan, gaya hidup,
norma hidup, status sosial, ideology, cita-cita dan sebagainya.
Dalam situasi komunikasi antarpersonal mudah untuk
mengenal kerangka referensi komunikan karena ia hanya satu
orang. Jangankan sudah dikenal, tidak di kenal pun mudah
menjajaginya, umpamanya dengan menanyakan kepadanya
mengenai pekerjaan dan asal daerahnya.

Faktor situasi dan kondisi, yang dimaksud situasi di sini


ialah situasi komunikasi pada saat komunikan akan menerima
pesan yang kita sampaikan. Situasi yang bisa menhambat
jalannya komunikasi dapat diduga sebelumnya, dapat juga
datang tiba-tiba pada saat komunikasi dilancarkan. Yang
dimaksud kondisi ialah state of personality komunikan, yaitu
keadaan fisik dan psikis komunikan pada saat ia menerima
pesan komunikasi. Komunikasi tidak akan efektif apabila
komunikan sedang marah, sedih, bingung, sakit, atau lapar.

2. Pemilihan Media Komunikasi

Untuk mencapai sasaran komunikasi kita dapat memilih


salah satu atau gabungan dari beberapa media, bergantung pada
tujuan yang akan dicapai, pesan yang akan disampaikan, dan
teknik yang akan dipergunakan. Mana yang terbaik dari sekian
banyak media komunikasi itu tidak dapat ditegaskan dengan
pasti sebab masing-masing mempunyai kelebihan dan
kekurangan.

3. Pengkajian tujuan pesan komunikasi


Pesan komunikasi mempunyai tujuan tertentu. Ini
menentukan teknik yang harus diambil, apakah itu teknik
informasi, teknik persuasi, atau teknik instruksi. Seperti telah di
singgung di muka, apa pun tekniknya, pertama-tama
komunikasi harus mengerti pesan komunikasi itu.

4. Peranan komunikator dalam komunikasi

Ada faktor yang penting pada diri komunikator bila ia


melancarkan komunikasi, yaitu daya tarik sumber dan
kredibilitas sumber. Berdasarkan kedua faktor tersebut, seorang
komunikator dalam menghadapi komunikan harus bersikap
empatik, yaitu kemampuan seseorang untuk memproyeksikan
dirinya kepada peranan orang lain. Dengan lain perkataan,
dapat merasakan apa yang di rasakan oleh orang lain. Seorang
komunikator harus bersikap empatik ketika ia berkomunikasi
dengan komunikan yang sedang sibuk, marah, bingung, sedih,
saki, kecewa, dan sebagainya.

Persoalan yang timbul adalah konsep strategi komunikasi kadang


disamakan dengan kebijaksanaan komunikasi, padahal strategi komunikasi
adalah kiat atau taktik yang bisa dilakukan dalam melaksanakan
perencanaan komunikasi. konsep strategi memang kadang juga mengalami
duplikasi karena seringkali dianggap sebagai paying perencanaan jika
dihubungkan dengan konsep perencanaan strategic yang notabene adalah
kebijaksanaan komunikasi. strategic Planning dimaksudkan ialah
perencanaan yang menetapkan program jangka panjang (long-term plan),
dimana di dalamnya mencakup kerangka kerja untuk perencanaan jangka
menengah (middle-term plan) dan jangka pendek (short-term plan). Oleh
karena itu, konsep strategi komunikasi di sini diletakkan sebagai bagian
dari perencanaan komunikasi dalam pencapai tujuan yang ingin dicapai,
sedengkan perencanaan strategik tidak lain adalah kebijaksanaan
komunikasi dalam tataran makro untuk program jangka panjang (Cangara,
2013:63).

Penetapan strategi merupakan langkah krusial yang memerlukan


penanganan secara hati-hati dalam setiap program komunikasi. sebab jika
penetapan strategi salah atau keliru maka jalan yang ditempuh untuk
mencapai tujuan bisa gagal, terutama kerugian dari segi waktu, materi dan
tenaga. Strategi juga merupakan rahasia yang harus diamankan oleh para
ahli perencanaan komunikasi, utamanya dalam kampanye politik dan
pemasaran komersial (Cangara, 2013:103).

Untuk menetapkan strategi, dapat digunakan model analisis, antara


lain (Cangara, 2013:63) :

1. Analisis SWOT
2. Analisis Akar Masalah (Root Cause Analysis =RCA)
3. Analisis Kekuatan Medan (Field Force Analysis = FFA)
4. Analisis Kesenjangan (Gap Analysis = GA)
5. Pembakuan Mutu (Bench Marking = BM)
6. Metode konstruksi Skenario (Scenarios Construction Method =
SCM)
7. Metode Analisis Identifikasi Isu (issue identification and
Analysis Method = IIAM)

2.2 Komunikasi
2.2.1 Pengertian Komunikasi

Komunikasi adalah proses berbagai makna melalui perilaku verbal dan


nonverbal. Segala perilaku dapat disebut komunikasi jika melibatkan dua
orang atau lebih. Frase dua orang atau lebih perlu ditekankan, karena sebagian
literatur menyebut istilah komunikasi intrapersonal, yakni komunikasi dengan
diri-sendiri. Akan tetapi, saya sendiri kurang setuju dengan istilah ini.
Menurut Burgoon et al tidak diragukan bahwa orang berpikir, berbicara
dengan dirinya sendiri, meskipun dalam diam, membaca tulisannya sendiri
dan mendengarkan suara sendiri lewat tape, tetapi itu bukan dengan
sendirinya komunikasi, meskipun setiap komunikasi dengan orang lain
memang dimulai dengan komunikasi dengan diri sendiri (Mulyana, 2008:3).

Komunikasi adalah suatu proses penyimpanan informasi pesan,ide,


gagasan dari satu pihak ke pihak lain. Pada umumnya komunikasi dilakukan
secara lisan atau verbal yang dimengerti oleh kedua belah pihak. Komunikasi
verbal adalah komunikasi yang menggunakan kata-kata, entah lisan maupun
tulisan. Komunikasi ini paling banyak di pakai dalam hubungan antar
manusia. Melalui kata-kata, mereka mengungkapkan perasaan, emosi,
pemikiran,gagasan, atau maksud mereka, menyampaikan fakta, data dan
informasi serta menjelaskannya, saling bertukar perasaan dan pemikiran,
saling berdebat, dan bertengkar (Ngalimun, 2017:19).

Komunikasi adalah proses pengiriman atau penyampaian berita atau


informasi dari satu pihak ke pihak lain dalam usaha untuk mendapatkan saling
pengertian. Aktivitas komunikasi dalam sebuah institusi senantiasa dengan
tujuan pencapaian baik dalam kelompok maupun dalam masyarakat. Untuk
melakukan komunikasi dengan baik kita mengetahui situasi dan kondisi serta
karakteristik lawan bicara kita, sebagaimana yang kita tahu, bahwa setiap
manusia itu seperti sebuah radar yang dilingkupi lingkungan. Manusia bias
menjadi sangat sensitive pada bahasa tubuh, ekspresi wajah, postur, gerakan,
intonasi suara dan lainnya (Ngalimun, 2017:20).

Komunikasi didefinisikan sebagai apa yang terjadi bila makna


diberikan kepada suatu perilaku. Bila seseorang memperhatikan perilaku kita
dan memberinya makna, komunikasi telah terjadi terlepas dari apakah kita
menyadari perilaku kita atau tidak menyengajanya atau tidak. Bila kita
memikirkan hal ini, kita harus menyadari bahwa tidak mungkin bagi kita
untuk tidak berperilaku. Setiap perilaku memiliki potensi komunikasi. Maka
tidaklah mungkin bagi kita untuk tidak berkomunikasi, dengan kata lain kita
tak dapat tidak berkomunikasi (Mulyana&Rakhmat, 2010:13).

Komunikasi terjadi jika setidaknya suatu sumber membangkitkan


respons pada penerima melalui penyampaian suatu pesan dalam bentuk tanda
atau simbol, baik bentuk verbal (kata-kata) atau bentuk nonverbal (nonkata-
kata), tanpa harus memastikan terlebih dulu bahwa kedua pihak yang
berkomunikasi punya suatu sistem simbol yang sama. Simbol atau lambing
adalah sesuatu yang mewakili sesuatu lainnya berdasarkan kesepakatan
bersama, misalnya kata ucapan ‘kucing’ mewakili suatu mahluk berbulu dan
berkaki empat yang bisa mengeong, tanpa memerlukan kehadiran hewan
tersebut. Simbol dapat pula merepresentasikan suatu konsep atau gagasan
yang lebih abstrak. Pendeknya, sebagaimana dikatakan Geert Hofstede, simbol
adalah kata, jargon, isyarat, gambar, gaya atau objek yang mengandung suatu
makna tertentu yang hanya dikenali oleh mereka yang menganut suatu budaya
(Mulyana, 2008:3).

Dalam konteks hubungan sosial, setiap individu akan berinteraksi


dengan individu lainnya. Interaksi tersebut dilakukan karena adanya maksud,
baik itu untuk memengaruhi individu maupun tujuan-tujuan tertentu lainnya.
Wilbur Schramm & William E Porter setidakanya mencatat ada lima teori
manusia mulai berkomunikasi dengan menggunakan bahasa. Pertama, teori
bow-bow yang menggambarkan bahwa manusia pertama kali menggunakan
bahasa lisan dengan meniru bunyi-bunyian yang bersifat alami, seperti suara
rintik hujan maupun gemuruh. Kedua, teori poo-poo merupakan era di mana
manusia menggunakan bahasa yang sesuai dengan perwakilan emosi yang
mereka alami seperti perasaan takut, kesakitan, gembira dan sebagainya.
Ketiga, teori sing-song, yaitu bahasa yang digunakan dalam komunikasi pada
masa awal merupakan ucapan atau nyanyian saat mereka merayakan sesuatu.
Keempat teori Yo-Heave-ho merupakan bahasa komunikasi yang berkembang
dari sungutan yang terjadi karena pergerakan fisik. Terakhir, kelima teori
Yuk-Yuk bahwa terjadinya kata karena adanya bunyi yang berkaitan dengan
peristiwa-peristiwa tertentu (Nasrullah, 2012: 2-3).

2.2.2 Perkembangan Komunikasi

Selanjutnya perkembangan komunikasi manusia semakin hari semakin


berkembang. Perkembangan ini di mulai saat manusia untuk pertama kali
mengenal dengan apa yang disebut tulisan. Memang pada awalnya
kemampuan tulisan tidaklah sekompleks dan semaju sekarang. Manusia awal
menggunakannya dengan simbol-simbol yang sangat sederhana dan
berlangsung selama lebih dari berabad-abad tahun lamanya. Ini dibuktikan
dengan adanya gambar-gambar sederhana yang ditemukan di gua-gua. Bahkan
sebuah penelitian menemukan bahwa manusia mulai pertama kali
menggunakan bahan tulisan dengan aksara yang lebih maju dan tersusun pada
masa 4.000 tahun sebelum masehi dengan di temukannya tanah liat yang
bertulis di sekitar sungai Tigris atau Babylonia (Irak) (Nasrullah,2012:3).

Perkembangan aksara yang semakin tersusun menyebabkan manusia


mulai beralih untuk menuliskannya melalui media. Pada masa awal dapat
dijumpai pada adanya pahatan pada papan yang dilakukankan oleh bangsa
Kreta, melalui jerami papyrus di Mesir, kulit binatang di Pegamon, batang
bamboo di Cina, atau daun kurma di semenanjung Arab. Hingga pada
akhirnya saat ditemukan alat cetak oleh Gutenberg di Mainz (Jerman)
membawa kemajuan proses komunikasi yang terjadi diantara manusia. Bahkan
di awal alaf yang semakin canggih dan baru setaip waktunya (Nasrullah,
2012:4).

Komunikasi manusia itu melayani segala sesuatu, akibatnya orang


bilang komunikasi itu sangat mendasar dalam kehidupan manusia, komunikasi
merupakan proses yang universal. Komunikasi merupakan pusat dari seluruh
sikap, perilaku dan tindakan yang trampil dari manusia. Manusia tidak bisa
dikatakan berinterkasi sosial kalau dia tidak berkomunikasi dengan cara atau
melalui pertukaran informasi, ide-ide, gagasan, maksud serta emosi yang
dinyatakan dalam simbol-simbol dengan orang lain (Liliweri, 2003:5).

Bernardo Attias mengatakan defisi komunikasi itu harus


mempertimbangkan tiga model komunikasi (model retorikal dan perspektif
dramaturgi, model transmisi, dan model ritual). Jadi komunikasi itu membuat
orang lain mengambil bagian, menanamkan, mengalihkan berita atau gagasan,
mengatur kebersamaan, membuat orang yang terlibat memiliki komunikasi,
membuat orang lain saling berhubungan dan mengambil bagian dalam
kebersamaan (Liliweri, 2003:7).

2.2.3 Unsur-unsur Komunikasi

Paradigma Lasswell menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima


unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu, yaitu (Ngalimun,
2017:22) :

1. Komunikator (siapa yang mengatakan?)


2. Pesan (mengatakan apa?)
3. Media (melalui saluran/media apa?)
4. Komunikan (kepada siapa?)
5. Efek (dengan dampak/efek apa?)

Jadi berdasarkan paradigm Laswell tersebut, secara sederhana


proses komunikasi adalah pihak komunikator membentuk pesan dan
menyampaikannya melalui suatu saluran tertentu kepada pihak penerima
yang menimbulkan efek tertentu (Ngalimun, 2017:22).

Fungsi komunikasi secara umum (Ngalimun, 2017:42) :

a. Dapat menyampaikan pikiran atau perasaan


b. Tidak terasing atau terisolasi dari lingkungan
c. Dapat mengajarkan atau memberitahukan sesuatu
d. Dapat mengetahui atau mempelajari dari peristiwa di lingkungan
e. Dapat mengenal diri sendiri
f. Dapat memperoleh hiburan atau menghibur orang lain
g. Dapat mengurangi atau menghilangkan perasaan tegang
h. Dapat mengisi waktu luang
i. Dapat menambah pengetahuan dan merubah sikap serta perilaku
kebiasaan
j. Dapat membujuk atau memaksa orang lain agar berpendapat bersikap
atau berperilaku sebagaimana diharapkan.

Mulai dengan suatu asumsi dasar bahwa komunikasi berhubungan


dengan perilaku manusia dan kepuasan terpenuhinya kebutuhan
berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya. Hamper setiap orang
membutuhkan hubungan sosial dengan orang-orang lainnya, dan
kebutuhan ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai
jembatan untuk mempersatukan manusia-manusia yang tanpa
berkomunikasi akan terisolasi. Pesan-pesan itu mengemuka lewat perilaku
manusia. Ketika kita berbicara, kita sebenarnya sedang berperilaku. Ketika
kita melambaikan tangan, tersenyum, bermuka masam, menganggukkan
kepala, atau memberikan suatu isyarat, kita juga sedang berperilaku.
Sering perilaku-perilaku ini merupakan pesan-pesan, pesan-pesan itu
digunakan untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada seseorang
(Mulyana&Rakhmat, 2010:12).

Ada delapan unsur khusus komunikasi dalam konteks komunikasi


sengaja, yaitu (Mulyana&Rakhmat, 2010:14-15) :

1. Sumber (source)
Suatu sumber adalah orang yang mempunyai suatu kebutuhan
untuk berkomunikasi. Kebutuhan ini mungkin berkisar dari kebutuhan
sosial untuk diakui sebagai individu hingga kebutuhan berbagai
informasi dengan orang lain atau mempengaruhi sikap atau perilaku
seseoorang atau sekelompok orang lainnya.
2. Penyandian (encoding)
Encoding adalah suatu kegiatan internal seseorang untuk memilih
dan merancang perilaku verbal dan non verbalnya yang sesuai dengan
aturan-aturan tata bahasa dan sintaksis guna menciptakan suatu pesan.
3. Pesan (message)
Suatu pesan terdiri dari lambing-lambang verbal dan atau
nonverbal yang memiliki perasaan dan pikiran sumber pada suatu saat
dan tempat tertentu. Meskipun encoding merupakan suatu kegiatan
internal yang menghasilkan suatu pesan, pesannya itu sendiri bersifat
eksternal bagi sumber. Pesan adalah apa yang harus sampai dari
sumber ke penerima bila sumber bermaksud mempengaruhi penerima.
4. Saluran (Channel)
Saluran adalah yang menjadi penghubung antara sumber dan
penerima. Suatu saluran adalah alat fisik yang memindahkan pesan
dari sumber ke penerima.
5. Penerima (receiver)
Penerima adalah orang yang menerima pesan dan sebagai akibatnya
menjadi terhubungkan dengan sumber pesan. Penerima mungkin
dikehendaki oleh sumber atau orang lain yang dalam keadaan apapun
menerima pesan sekali pesan itu telah memasuki saluran.
6. Penyandian balik (decoding)
Decoding adalah proses internal penerima dan pemberian makna
kepada perilaku sumber yang mewakili perasaan dan pikiran sumber.
7. Respons penerima (receiver response)
Respons ini bisa beraneka ragam, mulai dari tingkat minimum hingga
tingkat maksimum. Respons minimum adalah keputusan penerima
untuk mengabaikan pesan atau tidak berbuat apapun setelah ia
menerima pesan. Sebaliknya, respons maksimum bisa merupakan
suatu tindakan penerima yang segera, terbuka dan mungkin
mengandung kekerasan. Komunikasi dianggap berhasil, bila respons
penerima mendekati apa yang dikehendaki oleh sumber yang
menciptakan pesan.
8. Umpan balik (feedback)
Umpan balik adalah informasi yang tersedia bagi sumber yang
memungkinkannya menilai keefktifan komunikasi yang dilakukannya
untuk mengadakan penyesuaian- penyesuaian atau perbaikan-
perbaikan dalam komunikasi selanjutnya. Meskipun umpan balik dan
respons bukan hal yang sama, keduanya jelas sangat berkaitan.

2.3 Budaya
2.3.1 Pengertian Budaya
Budaya pada dasarnya merupakan nilai-nilai yang muncul dari
proses interaksi antar-individu. Nilai-nilai ini diakui, baik secara langsung
maupun tidak, seiring dengan waktu yang dilalui dalam interaksi tersebut.
Bahkan terkadang sebuah nilai tersebut berlangsung di dalam alam bawah
sadar individu dan diwariskan pada generasi berikutnya. Menurut KBBI,
budaya bisa diartikan sebagai pikiran, akal budi, adat istiadat, sesuatu
mengenai kebudayaan yang sudah berkembang, sesuatu yang sudah
menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah ( Nasrullah, 2012: 15).
Sementara dalam pandangan psikologi, sebagaimana yang
dipopulerkan Geert Hofstede, budaya diartikan tidak sekedar sebagai
respons dari pemikiran manusia atau “programming of the mind”,
melainkan juga sebagai jawaban atau respons dari interaksi antarmanusia
yang melibatkan pola-pola tertentu sebagai anggota kelompok dalam
merespons lingkungan tempat manusia itu berada. Definisi Hofstede ini
menekankan bahwa pada dasarnya manusia sebagai individu memiliki
pemikiran, karakteristik, sudut pandang, atau image yang berbeda. Dengan
demikian dalam presfektif psikologi makna kata budaya lebih cenderung
menekankan budaya sebagai upaya yang dilakukan manusia dalam
menghadapi persoalan kehidupan, dalam berkomunikasi, maupun upaya
untuk pemenuhan kebutuhan secara fisik maupun psikis ( Nasrullah, 2012:
16).

Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara


formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman,
kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan,
hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang
diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha
individu dan kelompok. Budaya menampakkan diri dalam pola-pola
bahasa dan dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi
sebagai model-model bagi tindakan-tindakan penyesuaian diri dan gaya
komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam suatu
masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat
perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu
(Mulyana&Rakhmat, 2010:18).

Edward Burnett Tylor dalam karyanya berjudul Primitive Culture,


bahwa kebudayaan adalah kompleks dari keseluruhan pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, hokum, adat istiadat dan setiap kemampuan lain
dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu
masyarakat. Seperti kata Hebding dan Glick (1992) bahwa kebudayaan
dapat dilihat secara material maupun non material. Kebudayaan material
tampil dalam objek material yang dihasilkan, kemudian digunakan
manusia. Misalnya dari alat-alat paling sederhana seperti asesoris
perhiasan tangan, leher dan telinga, alat rumah tangga, pakaian system
computer, desain arsitektur, mesin otomotif hingga instrument untuk
penyelidikan besar sekalipun. Sebaliknya budaya non material adalah
unsur-unsur yang dimaksudkan dalam konsep norma-norma, nilai-nilai,
kepercayaan/keyakinan serta bahasa (Liliweri, 2003:107).
Para ahli kebudayaan sering mengartikan norma sebagai tingkah
laku rata-rata, tingkah laku khusus atau yang selalu dilakukan berulang-
ulang. Kehidupan manusia selalu ditandai oleh norma sebagai aturan sosial
untuk mematok perilaku manusia yang berkaitan dengan kelaikan
bertingkahlaku, tingkah laku rata-rata atau tingkah laku yang
diabstraksikan. Oleh karena itu dalam setiap kebudayaan dikenal norma-
norma yang ideal dan norma-norma yang kurang ideal atau norma rata-
rata. Norma ideal sangat penting untuk menjelaskan dan memahami
tingkah laku tertentu manusia, dan ide tentang norma-norma tersebut
sangat mempengaruhi sebagaian besar perilaku sosial termasuk perilaku
komunikasi manusia (Liliweri, 2003:107-108).
Kebudayaan adalah akumulasi dari keseluruhan kepercayaan dan
keyakianan, norma-norma, kegiatan, institusi, maupun pola-pola
komunikasi dari sekelompok orang. Kebudayaan juga dapat diartikan
sebagai pengalihan atau sosialisasi perilaku, kepercayaan, seni, institusi,
dan semua karya intelektual dan karya lain dalam suatu masyarakat.
Kebudayaan adalah seluruh tubuh pengetahuan yang dibagi dengan orang
lain dan mempengaruhi segala sesuatu yang diperbuat, waktu yang kita
gunakan sampai tentang apa yang kita makan (Liliweri, 2003: 108).
Kata Taylor dalam istilah yang populer, kebudayaan diartikan
sebagai pandangan hidup dari sebuah komunitas atau kelompok. Peranan
kebudayaan menjadi sangat besar dalam ekosistem komunikasi, karena
karakteristik kebudayaan antarkomunitas dapat membedakan kebudayaan
lisan dan tertulis yang merupakan kebiasaan suatu komunitas dalam
mengkomunikasikan adat istiadatnya. Jadi pesan-pesan, pengetahuan,
kepercayaan, dan perilaku sejak awal tatkala orang tidak bisa menulis
dapat dikomunikasikan hanya dengan kontak antarpribadi langsung atau
oleh pengamatan yang mendalam terhadap peninggalan artifak sehingga
informasi yang paling minimum pun dapat disebarluaskan (Liliweri,
2003:109).
Secara etimologi (bahasa), budaya atau kebudayaan berasal dari
bahasa Sanskerta, buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi
(budi atau akal). Budaya atau kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia. Berbudaya berarti mempunyai
budaya, mempunyai pikiran dan akal budi untuk memajukan diri.
Kebudayaan diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan manusia
sebagai hasil pemikiran dan akal budi. Peradaban juga merupakan hasil
akal budi, dan ilmu pengetahuan menjadi puncak peradaban yang
memberikan manfaat dalam kehidupan sosial. Budaya adalah segala
sesuatu yang diperoleh dari hasil pemikiran manusia yang memiliki nilai
bagi kesejahteraan manusia (Shoelhi,2015:34).
Secara terminologi (istilah), kebudayaan dapat diartikan sebagai
keseluruhan simbol, pemaknaan, penggambaran, struktur, aturan,
kebiasaan, nilai, pikiran, perkataan, pemrosesan infromasi, pengalihan
pola-pola konvensi (kesepakatan), dan perbuatan/tindakan yang terjadi
pada suatu kelompok masyarakat (Shoelhi,2015:35).

Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara


formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman,
kepercayaan, nilai, sikap, makna dan diwariskan dari generasi ke generasi,
melalui usaha individu dan kelompok. Budaya menampakkan diri, dalam
pola-pola bahasa dan bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku, gaya
berkomunikasi, objek materi, seperti rumah, alat dan mesin yang
digunakan dalam industri dan pertanian, jenis transportasi, dan alat-alat
perang (Sihabudin, 2013:19).

Trenholm dan Jensen mendefisikan budaya sebagai seperangkat


nilai, kepercayaan, norma dan adat istiadat, aturan dank ode, yang secara
sosial mendefisikan kelompok-kelompok orang, mengikat mereka satu
sama lain dan memberi mereka kesadaran bersama. Mereka
mengemukakan lebih jauh bahwa budaya adalah jawaban kolektif terhadap
pertanyaan-pertanyaan mendasar: siapa kita? Bagaimana tempat kita di
dunia? Dan bagaimana kita menjalani kehidupan kita? Dalam pandangan
Trenholm dan Jensen, pemahaman budaya ini memandu kita untuk
mempersepsi dunia, bagaimana kita berpikir tentang diri kita sendiri dan
hubungan kita dengan orang lain, dan bagaimana kita mempertukarkan
pesan (Mulyana, 2008:15).

Drs. Hidayat Z.M. dalam bukunya Masyarakat dan Kebudayaan ,


menyatakan bahwa adat istiadat adalah cara hidup masyarakat yang
merupakan hasil dari kekuatan tanpa disadari, yang berkembang terus
secara intensif dari pengalaman untuk mencapai bentuk terakhir dari
penyesuaian maksimal kearah penting bersama, yang diwariskan oleh
tradisi tanpa perubahan yang rasional. Sistem berpikir menurut adat
menjadi tradisi yang mengikat dan memengaruhi pola perilaku serta pola
berpikir sehingga masyarakat sukar menerima ide-ide baru yang lebih
berguna menurut pandangan masyarakat modern yang rasional (Shoelhi,
2015:36).

2.3.2 Unsur dan Ciri Budaya


Kebudayaan memiliki dimensi yang sangat luas, bahkan dapat
dikatakan seluas dan serumit kehidupan manusia itu sendiri. Tetapi untuk
kepentingan ilmiah, kebudayaan dikelompokkan kedalam tujuh unsur
penting, yaitu (Shoelhi, 2015:36-37) :
1. Sistem religi (agama) dan upacara keagamaan
2. Sistem dan organisasi kebudayaan
3. Sistem pengetahuan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem mata pencarian
7. Sistem teknologi dan peralatan.

Budaya berkenaan dengan cara hidup. Manusia belajar berpikir,


merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut
budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi,
tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan
teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya. Apa yang orang-orang
lakukan, bagaimana mereka bertindak, bagaimana mereka hidup dan
berkomunikasi, merupakan respons-respons terhadap dan fungsi-fungsi
dari budaya mereka (Mulyana&Rakhmat, 2010:18).

Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan oleh karena budaya


tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan
bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan
kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan
pesan. Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku kita sangat bergantung
pada budaya tempat kita dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan
landasan komunikasi. bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam
pula praktik-praktik komunikasi (Mulyana&Rakhmat, 2010:19).

Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar


berpikir, merasa, mempercayai, dan mengusahakan apa yang patut
menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik
komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan ekonomi, politik dan
teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya. Ada yang berbicara
bahasa sunda, memakan ular, menghindari minuman keras terbuat dari
anggur, menguburkan orang mati, berbicara melalui telepon atau
meluncurkan roket ke bulan. Ini semua karena mereka telah dilahirkan
atau sekurang-kurangnya dibesarkan dalam suatu budaya yang
mengandung unsur-unsur tersebut. Apa yang mereka lakukan, bagaimana
mereka bertindak, merupakan respons terhadap fungsi-fungsi budayanya
(Sihabudin, 2013:19).

Suatu komunitas rasial, etnik, regional, ekonomi atau sosial yang


memperlihatkan pola-pola perilaku yang membedakannya dari subkultur-
subkultur lainnya dalam suatu budaya atau masyarakat yang
melingkupinya. Contoh subkultur di Jawa Barat, Cirebonan, Parahyangan,
Subkultur di Amerika Serikat, golongan imigran asal timur, Yahudi, kaum
miskin perkotaan, penganut hidup berpindah, kelompok mafia (Sihabudin,
2013:20).

Ciri utama subkelompok (Sihabudin, 2013:21) :

- Nilai-nilai, sikap dan perilaku atau unsur-unsur perilakunya


bertentangan dengan nilai-nilai, sikap dan perilaku mayoritas
komunitas.
- Subkelompok hadir dalam suatu komunitas yang tidak puas dan
tidak sepaham dengan komunitas itu serta memilki kesulitan
memahami dan berkomunikasi dengan komunitas tersebut.

Budaya dan komunikasi berinteraksi secara erat dan dinamis. Inti


budaya adalah komunikasi, karena budaya muncul melalui komunikasi.
Akan tetapi pada gilirannya budaya yang tercipta pun mempengaruhi cara
berkomunikasi anggota budaya bersangkutan. Hubungan antarbudaya dan
komunikasi adalah timbal balik. Budaya takkan eksis tanpa komunikasi
dan komunikasi pun takkan eksis tanpa budaya. Menurut Alfred G.Smith,
budaya adalah kode yang kita pelajari bersama dan untuk itu dibutuhkan
komunikasi. komunikasi membutuhkan pengkodean dan simbol-simbol
yang harus dipelajari. Godwin C.Chu mengatakan bahwa setiap pola
budaya dan setiap tindakan melibatkan komunikasi. untuk dipahami
keduanya harus dipelajari bersama-sama. Budaya takkan dapat dipahami
tanpa mempelajari komunikasi, dan komunikasi hanya dapat dipahami
dengan memahami budaya yang mendukungnya (Mulyana, 2008:14).

Peran budaya sangat besar dalam kehidupan kita. Apa yang kita
bicarakan, bagaimana membicarakannya, apa yang kita lihat, perhatikan
atau abaikan, bagaimana kita berpikir dan apa yang kita pikirkan
dipengaruhi oleh budaya kita. Budaya telah ada sebelum kita lahir dan
akan tetap ada setelah kita meinggal dunia. Dengan kata lain, budaya
“memenjarakan” kita, meskipun kita tidak selalu menyadarinya. Pendek
kata, seperti dikatakan Goodman, manusia telah berkembang hingga ke
titik yang memungkinkan budaya menggantikan naluri dalam menentukan
setiap pikiran dan tindakan kita. Apa yang kita pikirkan dan pilihan
tindakan kita, termasuk cara kita berkomunikasi, adalah hasil dari apa
yang diajarkan dalam budaya kita (Mulyana, 2008:15-16).

Budaya dan unsur-unsur di dalamnya terikat oleh waktu dan bukan


kuantitas yang statis. Budaya tetap berubah, seberapa lamban pun
perubahan tersebut. Kelambanan atau kecepatan perubahannya antara lain
bergantung pada seberapa jauh kekuatan budaya tersebut dan intensitas
interaksinya dengan budaya lain. Suatu budaya yang lemah (sebagai
minoritas misalnya atau komunitas yang “kutrang percaya diri” karena
pernah terjajah bangsa lain) yang sering berhubungan dengan budaya lain
yang kuat, maju, dan dominan akan cepat berubah karena pengaruh
budaya kedua. Ini ditunjukkan oleh budaya Indonesia yang cepat berubah
karena dipengaruhi budaya barat. Sebaliknya, komunitas budaya yang
intensitas komunikasinya sedikit dengan budaya suku Eskimo di Kutub
Utara, suku Amish di Amerika, suku Aborigin di Australia, dan budaya
suku Baduy dalam di Jawa Barat (Mulyana, 2008:23).

Lengkapnya, budaya memiliki ciri-ciri, sebagai berikut (Mulyana,


2008:23):

a. Budaya bukan bawaan, tetapi dipelajari


b. Budaya dapat disampaikan dari orang ke orang, dari kelompok
ke kelompok, dan dari generasi ke generasi
c. Budaya berdasarkan simbol
d. Budaya bersifat dinamis, suatu sistem yang terus berubah
sepanjang waktu
e. Budaya bersifat selektif, merepresentasikan pola-pola perilaku
pengalaman manusia yang jumlahnya terbatas
f. Berbagai unsur budaya saling berkaitan
g. Etnosentrik (menganggap budaya sendiri sebagai yang terbaik
atau standar untuk menilai budaya lain).

2.4 Komunikasi Antarbudaya


2.4.1 Pengertian
Komunikasi dan kebudayaan tidak sekedar dua kata tetapi dua
konsep yang tidak dapat dipisahkan, harus dicatat bahwa studi komunikasi
antarbudaya dapat diartikan sebagai studi yang menekankan pada efek
kebudayaan terhadap komunikasi. Komunikasi antarbudaya adalah
komunikasi antara dua orang atau lebih yang berbeda latar belakang
kebudayaan. Komunikasi antarbudaya adalah pernyataan diri antarpribadi
yang paling efektif antara dua orang yang saling berbeda latar belakang
budaya (Liliweri, 2003:8-9).
Komunikasi antarbudaya merupakan pertukaran pesan-pesan yang
disampaikan secara lisan, tertulis, bahkan secara imajiner antara dua orang
yang berbeda latar belakang budaya. Komunikasi antarbudaya adalah
pengalihan informasi dari seorang yang berkebudayaan tertentu kepada
seorang yang berkebudayaan lain. Komunikasi antarbudaya adalah
pertukaran makna yang berbentuk simbol yang dilakukan dua orang yang
berbeda latar belakang budayanya (Liliweri, 2003:9).
Proses perhatian komunikasi dan kebudayaan terletak pada variasi
langkah dan cara berkomunikasi yang melintasi komunitas atau kelompok
manusia. Fokus perhatian studi komunikasi dan kebudayaan juga meliputi,
bagaimana menjajagi makna, pola-pola tindakan itu diartikulasikan ke
dalam sebuah kelompok sosial, kelompok budaya, kelompok politik,
proses pendidikan, bahkan lingkungan teknologi yang melibatkan interaksi
antarmanusia (Liliweri,2003:10).
Pengertian-pengertian komunikasi antarbudaya tersebut
membenarkan sebuah hipotesis proses komunikasi antarbudaya, bahwa
semakin besar derajat perbedaan antarbudaya maka semakin besar pula
kita kehilangan peluang untuk merumuskan suatu tingkat kepastiaan
sebuah komunikasi yang efektif. Jadi harus ada jaminan terhadap akurasi
interpretasi pesan-pesan verbal maupun non-verbal. Hal ini disebabkan
karena ketika kita berkomunikasi dengan seseorang dari kebudayaan yang
berbeda, maka kita memiliki pula perbedaan dalam sejumlah hal, misalnya
derajat pengetahuan, derajat kesulitan dalam peramalan, dejarat
ambiguitas, kebingungan, suasana misterius yang tak dapat dijelaskan,
tidak bermanfaat, bahkan Nampak tidak bersahabat (Liliweri, 2003:12).
Komunikasi dan budaya tidak dapat dipisahkan, kendati
komunikasi dan kebudayaan adalah dua hal yang berbeda. Komunikasi
adalah proses penyampaian pesan di antara para pelaku komunikasi
dengan tujuan untuk saling memahami satu sama lain. Sedangkan budaya
atau kebudayaan dapat dikatakan sebagai cara berperilaku suatu komunitas
masyarakat secara berkesinambungan. Namun demikian, komunikasi dan
kebudayaan eksistensinya saling berkaitan. Suatu budaya dapat lestari dan
di wariskan kepada generasi penerus melalui proses komunikasi. Disini
komunikasi berfungsi sebagai alat penyebaran tradisi dan nilai-nilai
budaya. Pada sisi lain, cara orang berkomunikasi sangat dipengaruhi oleh
budaya yang dianut. Hal ini menjadikan komunikasi dan kebudayaan
bersifat resiprokal. Komunikasi dan budaya adalah dua entitas tak
terpisahkan, sebagaimana dikatakan Edward T.Hall, bahwa budaya adalah
komunikasi dan komunikasi adalah kebudayaan (Shoelhi, 2015:39-40).
Mulyana menjelaskan bahwa setiap praktik komunikasi pada
dasarnya adalah representasi budaya, atau tepatnya suatu peta atas suatu
realitas budaya yang sangat rumit. Lebih lanjut Mulyana mengatakan
bahwa begitu kita mulai berbicara tentang komunikasi, tak terhindarkan,
kita pun berbicara tentang budaya (Shoelhi,2015:40).

Komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah


anggota budaya lain dan penerima pesannya anggota budaya lain. Dalam
keadaan demikian, kita segera di hadapkan kepada masalah-masalah yang
ada dalam suatu situasi di mana suatu pesan disandi dalam suatu budaya
dan harus disandi baik dalam budaya lain. Seperti telah kita lihat budaya
mempengaruhi orang yang berkomunikasi. Akibat perbendaharaan yang
dimiliki dua orang berbeda budaya dapat menimbulkan segala macam
kesulitan (Sihabudin, 2013:21).

2.4.2 Jenis atau Model Komunikasi Antarbudaya


Ada beberapa jenis atau model komunikasi yang menjadi bagian
dari komunikasi antarbudaya. Pertama, komunikasi internasional yaitu
proses komunikasi antara bangsa dan Negara. Komunikasi ini tercermin
dalam diplomasi dan propaganda, dan seringkali berhubungan dengan
situasi intercultural (antar budaya) dan interracial (antar ras).
Komunikasi internasional lebih menekankan kepada kebijakan dan
kepentingan suatu Negara dengan Negara lain yang terkait dengan masalah
ekonomi, politik, pertahanan, dan lain-lain. Menurut Maletzke,
komunikasi antarbudaya lebih banyak menyoroti realitas sosiologis dan
antropologis, sementara komunikasi antar bangsa lebih banyak mengkaji
realitas politik. Namun demikian, komunikasi internasional pun masih
merupakan bagian dari komunikasi antarbudaya (Ngalimun, 2017:112).
Secara lebih spesifik studi-studi komunikasi internasional
disandarkan atas pendekatan-pendekatan maupun metodologi sebagai
berikut (Ngalimun, 2017:113):
1. Pendekatan peta bumi yang membahas arus informasi maupun
liputan internasional pada bangsa atau Negara tertentu, wilayah
tertentu, atau pun lingkup dunia, di samping antar wilayah.
2. Pendekatan media adalah pengkajian berita internasional
melalui suatu medium atau multimedia.
3. Pendekatan peristiwa yang mengkaji suatu peristiwa lewat
suatu medium
4. Pendekatan ideologis yang membandingkan sistem pers
antarbangsa atau melihat penyebaran arus berita internasional
dari sudut ideologis semata-mata.
Kedua, komunikasi antar ras, yaitu suatu komunikasi yang terjadi
apabila sumber dan komunikan berbeda ras. Ciri penting dari komunikasi
antarras ini adalah peserta komunikasi berbeda ras. Ras adalah
sekelompok orang yang ditandai dengan ciri-ciri biologis yang sama.
Secara implisit komunikasi antarras ini termasuk ke dalam komunikasi
antarbudaya. Hambatan utama dalam komunikasi antarras ini adalah sikap
curiga kepada ras lain. Misalnya orang Jepang berkomunikasi dengan
orang Amerika (Ngalimun, 2017:113-114).

Ketiga, komunikasi antaretnis yaitu berkaitan dengan keadaan


sumber komunikannya, sama ras/suku bangsa tetapi berbeda asal etnis dan
latar belakangnya. Kelompok etnis adalah kelompok orang yang ditandai
dengan bahasa asal usul yang sama. Oleh karena itu, komunikasi antaretnis
merupakan komunikasi antarbudaya. Misalnya, komunikasi antara orang-
orang Kanada Inggris dengan Kanada Perancis. Mereka sama-sama warga
Negara Kanada, sama rasnya tetapi mempunyai latar belakang, perspektif,
pandangan hidup, cita-cita, dan bahasa yang berbeda (Ngalimun,
2017:114).

Komunikasi antarbudaya diartikan sebagai komunikasi


antarpribadi yang dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang
kebudayaan. Definisi lain mengatakan bahwa yang menandai komunikasi
antarbudaya adalah bahwa sumber dan penerimanya berasal dari budaya
yang berbeda. Fred E. Jandt mengartikan komunikasi antarbudaya sebagai
interaksi tatap muka diantara orang-orang yang berbeda budayanya
(Ngalimun, 2017:114).

Komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah


anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya
yang lainnya. Dalam keadaan demikian, kita segera dihadapkan kepada
masalah-masalah penyandian pesan, di mana dalam situasi komunikasi
suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus disandi balik dalam
budaya lain (Ngalimun, 2017:115).

2.4.3 Fungsi dan Ruang Lingkup

Secara khusus, fungsi komunikasi antarbudaya adalah untuk


mengurangi ketidakpastian. Ketika kita memasuki wilayah orang lain kita
dihadapkan dengan orang-orang yang sedikit atau banyak berbeda dengan
kita dari berbagai aspek. Pada waktu itu pula kita dihadapkan dengan
ketidakpastian dan ambiguitas dalam komunikasi. Untuk mengurangi
ketidakpastian seseorang melakukan prediksi sehingga komunikasi bisa
berjalan efektif (Ngalimun, 2017:117).

Secara umum fungsi komunikasi antarbudaya tidak dapat


dipisahkan dari fungsi komunikasi secara umum. fungsi-fungsi tersebut,
yaitu: a)Identitas sosial b)Integritas sosial c)Kognitif d)Melepaskan diri
e)Pengawasan f)Menjembatani g)Sosialisasi Nilai h)Menghibur i)Asumsi-
asumsi dalam Komunikasi Antarbudaya (Ngalimun, 2017:118-120).

Ruang lingkup komnikasi antarbudaya dapat dirinci ke dalam


empat wilayah utama, yaitu (Ngalimun, 2017:122) :

1. Mempelajari komunikasi antarbudaya dengan pokok bahasan


proses komunikasi antarpribadi dan komunikasi antarbudaya
termasuk ke dalamnya, komunikasi di antara komunikator dan
komunikan yang berbeda kebudayaan, suku bangsa, ras dan etnik.
2. Komunikasi lintas budaya dengan pokok bahasan perbandingan
pola-pola komunikasi antarpribadi lintas budaya.
3. Komunikasi melalui media di antara komunikator dan komunikan
yang berbeda kebudayaan namun menggunakan media, seperti
komunikasi internasional.
4. Mempelajari perbandingan komunikasi massa, misalnya
membandingkan sistem media massa antarbudaya, perbandingan
komunikasi massa, dampak media massa, tatanan informasi dunia
baru.

2.5 Pendekatan dalam Komunikasi Antar Budaya


Martin dan Nakayama menegaskan bahwa ada tiga pendekatan
dalam mempelajari komunikasi antar budaya, yakni pendekatan
fungsionalis, pendekatan interpretative, dan pendekatan kritis. Pendekatan-
pendekatan ini pada dasarnya beranjak dari asumsi dasar tentang sifat
alamiah manusia, kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan, bahasa bahkan
terhadap konsepsi tentang budaya dan komunikasi itu sendiri. Berikut
penjelasannya ( Nasrullah, 2012: 36-37) :
1. Pendekatan Fungsionalis
Pendekatan fungsionalis ini atau yang dikenal dengan
pendekatan ilmu sosial beranjak dari displin ilmu psikologi dan
sosial. Pendekatan ini menyatakan bahwa pada dasarnya
kebiasaan manusia itu dapat diketahui melalui penampilan luar
dan dapat digambarkan. Oleh karena itu, kebiasaan manusia
dapat diprediksi dan dapat dikenali melalui perbedaan-
perbedaan budaya.
2. Pendekatan Interpretatif
Pendekatan interpretatif ini menegaskan bahwa pada
dasarnya manusia itu mengkonstruk dirinya dan realitas yang
berada di luar dirinya. Realitas oleh karena itu tidak bisa
dipandang sebagai cerminan ekspresi manusia itu sendiri.
Pendekatan ini meyakini bahwa baik budaya dan komunikasi
itu bersifat subjektif. Oleh karena itu pendekatan ini
memberikan arahan bagaimana menggambarkan dan
memahami kebiasaan manusia serta bukan bermaksud untuk
memprediksi kebiasaan.
3. Pendekatan Kritis
Pendekatan kritis pada dasar memiliki kesamaan dalam
pendekatan interpretatif yang memandang manusia dalam
kacamata subjek dan bukan dalam kacamata objek. Namun,
pendekatan ini memberikan metode untuk mengetahui
bagaimana konteks makro misalnya kekuatan sosial dan politik
memberikan pengaruh terhadap komunikasi. budaya tidak
hanya merupakan tempat dimana interpretasi bisa muncul
secara banyak dan beragam, melainkan juga terdapat kekuatan
dominan di dalamnya. Oleh karena itu, pendekatan kritis tidak
sekedar mempelajari bagaimana kekuasaan sosial atau politik
itu berfungsi dalam situasi budaya tertentu akan memberikan
manusia itu solusi dalam menyikapi kekuasaan tersebut.

Inilah tiga pendekatan dalam melihat budaya dan komunikasi,


khususnya untuk mendekati manusia sebagai objek sekaligus subjek dalam
komunikai antar budaya. Oleh karena itu, Martin dan Nakayama
memandang bahwa mendekati budaya dan komunikasi bisa dari berbagai
sisi. Budaya tidak hanya memengaruhi komunikasi, tetapi budaya juga
bisa dipengaruhi oleh komunikasi itu sendiri. Juga, dalam komunikasi
antarbudaya terkandung di dalamnya pertarungan kekuatan sosial maupun
politik (Nasrullah, 2012: 38).

2.6 Peran Penting Komunikasi dengan Kebudayaan

Bahasa selalu berkaitan dengan budaya dan komunitas para


penggunanya. Bahasa dan budaya adalah dua wujud yang tidak bisa
dipisahkan. Bahasa menjadi salah satu alat ekspresi budaya bagi
penggunanya, sementara budaya merupakan muatan nilai yang menjadi
kekuatan bahasa dalam memengaruhi cara berpikir, bersikap, dan
bertindak. Perhimpitan kedua wujud tersebut, salah satunya tampak dalam
aktivitas komunikasi. bahkan menurut riset komunikasi, bahasa diakui
sebagai alat komunikasi yang paling efektif. Pada lain sisi, komunikasi
merupakan saluran pembentukan kebudayaan. Bahasa, budaya, dan
komunikasi merupakan kesatuan yang saling memengaruhi dan saling
melengkapi (Muhtadi, 2012:47).

Haviland mendefinisikan kebudayaan sebagai “seperangkat


peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh para anggota
masyarakat, yang jika dilaksanakan akan melahirkan perilaku yang oleh
para anggotanya sendiri dipandang layak dan dapat diterima.” Karena itu,
menurut Porter dan Samovar, budaya senantiasa berkenaan dengan cara
manusia hidup. Manusia belajar bepikir, merasa, mempercayai dan
mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Setiap tindakan sosial
yang diperankannya, termasuk praktik-praktik komunikasi, mucul
berdasarkan pola-pola budaya. Dengan kata lain, kebudayaan itu sendiri
bukan perilaku bukan perilaku yang kelihatan, melainkan lebih merupakan
nilai-nilai dan kepercayaan yang digunakan oleh manusia untuk
memberikan tafsiran-tafsiran terhadap pengalamannya yang pada akhirnya
menimbulkan perilaku. Jadi, lanjut Haviland, kebudayaan adalah sejumlah
cita-cita, nilai dan standar perilaku, sebagai sebutan persamaan, yang
menyebabkan perbuatan setiap individu dapat dipahami oleh kelompoknya
(Muhtadi, 2012:47).

Menurut Mulyana, komunikasi pada gilirannya turut berperan


dalam menentukan, memelihara, dan mengembangkan atau mewariskan
budaya. Proses transmisi kebiasaan-kebiasaan, misalnya tentu
mensyaratkan komunikasi sebab lewat komunikasi para pelakunya dapat
saling bertukar informasi, pengalaman dan bahkan perasaannya, termasuk
cara-cara dalam menyelesaikan masalah yang pernah ditemukan
sebelumnya. Komunikasi akan menemukan jalan yang paling mungkin
dilalui, lalu di turunkan dari generasi ke generasi. Komunikasi pula yang
akan memelihara mata rantai perjalanan tradisi suatu masyarakat
(Muhtadi, 2012:47-48).
Jadi, peran penting komunikasi dalam proses kebudayaan ini salah
satunya ditunjukkan oleh adanya fungsi transmisi dalam aktivitas
komunikasi. komunikasi dan kebudayaan merupakan dua sisi yang saling
memengaruhi. Perilaku komunikasi seseorang atau sekkelompok orang
akan selalu di pengaruhi oleh kebudayaan yang melingkupi kehidupannya
dan kebudayaan suatu masyarakat terbentuk melalui proses komunikasi
yang berlangsung dalam setting sosial tertentu dan dalam waktu yang
cukup lama. Bahasa sendiri dalam konteks seperti ini merupakan simbol
verbal yang berfungsi merepresentasikan niali-nilai kebudayaan yang
dianut para penggunanya. Karena itu, selain merupakan media komunikasi
yang melekat pada kehidupan seseorang, bahasa juga menjadi ciri suatu
kebudayaan (Muhtadi, 2012:48).

Dalam proses kehidupan yang diwarnai pertukaran nilai antar


masyarakat yang berbeda budaya saat ini, komunikasi akan tetap
memainkan peran sosialnya secara fungsional. Lahirnya gagasan, konsep,
dan ikhtiar mengendalikan praktik komunikasi antarbudaya pada dasarnya
diilhami oleh kenyataan semakin intensifnya interaksi antara individu dan
kelompok yang memiliki latar budaya yang berbeda. Dengan fasilitas
media masa, batas-batas antar individu, kelompok dan bahkan wilayah
Negara menjadi kabur. Proses ini berlangsung dalam ruang kebudayaan
yang satu sama lain saling memengaruhi, juga dalam aktivitas komunikasi
dengan melibatkan simbol-simbol verbal ataupun nonverbal, karakter
individu ataupun kelompok, serta lingkungan sosial yang memungkinkan
terjadinya interaksi dan komunikasi (Muhtadi, 2012:48).

Agar terciptanya komunikasi antarbudaya yang berhasil, kita harus


menyadari faktor-faktor budaya yang mempengaruhi komunikasi kita, baik
dari budaya kita maupun dari budaya pihak lain. Kita tidak hanya perlu
memahami perbedaan-perbedaan budaya, tetapi juga persamaan-
persamaannya. Tidak ada standar etika komunikasi antar budaya yang
baku.
K.S. Sitaram dan Roy Cogdell menyajikan standar etika
komunikasi antarbudaya sebagai berikut ( Saefullah, 2013:60) :

1. Memperlakukan budaya khalayak dengan penghormatan yang sama


diberikan terhadap budaya sendiri.
2. Memahami landasan budaya dan nilai-nilai orang lain.
3. Tidak pernah menganggap lebih tinggi standar etika yang diyakininya
dibandingkan dengan etika orang lain.
4. Berusaha keras memahami kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan orang
lain.
5. Menghargai cara berpakaian orang-orang dari budaya lain.
6. Tidak memandang rendah orang lain karena karena ia berbicara
dengan aksen yang berbeda dari aksen seseorang.
7. Tidak menciptakan suasana untuk menebalkan stereotip tentang orang
lain.
8. Tidak memaksakan nilai yang diyakininya kepada orang lain yang
berbeda budaya.
9. Berhati-hati dengan simbol nonverbal yang digunakan pada budaya
lain.
10. Tidak berbicara dengan bahasa yang sama dengan orang dari budaya
yang sama di hadapan orang yang tidak mengerti bahasa tersebut.
2.7 Komponen dalam Komunikasi Antarbudaya
2.7.1 Komponen Komunikator
Komunikator merupakan sumber dari bermulanya komunikasi.
Menurut Cangara bahwa semua peristiwa komunikasi akan melibatkan
sumber sebagai pembuat pesan yang bisa berasal dari satu orang
maupun kelompok atau organisasi. Gerhard Maletzke
mengidentifikasikan beberapa relasi penting dan faktor berkaiatan
dengan sender atau penyampai pesan (Nasrullah, 2012:39-40) :
a. The communicator’s self-image, bagaimana penyampai
memandang konsep dirinya atau memosisikan dalam desain serta
rencana komunikasi.
b. Professionalization of communication practitioners, dalam
komunikasi kelompok, anggota kelompok yang berpengaruh sering
kali bisa merubah opini atau pendapat anggota kelompoknya.
c. The work group orientation, bahwa seluruh individu yang terlibat
dalam komunikasi memiliki orientasi yang sama terhadap pesan.
d. The social environment of the communicator, pesan-pesan dalam
komunikasi tidak hanya tergantung dari sender semata, kondisi
lingkungan dan budaya dibahas lebih jauh dalam komunikasi
budaya juga dapat memengaruhi.
e. The communicator’s personality structure, seorang komunikator
yang unggul, memahami permasalahan, dan pembicara yang baik.
Pertimbangan ini akan memengaruhi kekuatan penyampaian pesan,
efektivitas dalam menyampaikan pesan, ketepatan dalam
memberikan pesan, dan ketercapaian pesan.
f. Constrain from message and medium, pemahaman komunikator
bahwa ada keterbatasan pesan serta medium. Tidak semua
informasi yang diberikan sumber atau sender akan diterima apa
adanya oleh penerima pesan atau receiver.
g. The communicator image of the audience, bagaimana komunikator
dalam hal ini harus memandang publik yang ingin dituju.

Komunikator dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak yang


memprakarsai komunikasi, artinya dia mengawali pengiriman pesan
tertentu kepada pihak lain yang disebut komunikan. Dalam komunikasi
antarbudaya seorang komunikator berasal dari latar belakang
kebudayaan tertentu, misalnya kebudayaan A yang berbeda dengan
komunikan yang berkebudayaan B (Liliweri, 2003:25).
Baik komunikator maupun komunikan karakteristik tersebut pun
sangat ditentukan oleh faktor-faktor makro seperti penggunaan bahasa
minoritas dan pengelolaan etnis, pandangan tentang pentingnya sebuah
percakapan dalam konteks budaya, orientasi atas konsep
individualistik dan kolektivistik dari suatu masyarakat, dan orientasi
atas ruang dan waktu. Faktor mikro seperti komunikasi yang dilakukan
dalam suatu konteks yang segera, masalah subjektivitas dan
objektivitas dalam komunikasi antarbudaya, kebiasaan percakapan
etnik dalam bentuk dialek, aksen serta nilai dan sikap yang menjadi
identitas sebuah etnik (Liliweri, 2003:26).

2.7.2 Komponen Pesan


Pesan merupakan titik sentral dalam proses komunikasi termasuk
dalam komunikasi antarbudaya. Pesan merupakan perwakilan dari
image serta tujuan-tujuan yang ingin di capai. Pesan merupakan titik
temu antara sender dan receiver. Cangara bahkan menegaskan bahwa
pesan merupakan sesuatu yang disampaikan pengirim kepada
penerima. Penyampaiannya bisa melalui tatap muka maupun melalui
media komunikasi (Nasrullah, 2012: 40).
Sebagai contoh, banyaknya pertimbangan dan siapa saja yang
terlibat di dalam penentuan berita atau informasi yang akan disajikan
oleh media menuntut pelaksana media relations haruslah memiliki
perencanaan serta desain pesan komunikasi yang berdaya guna. Jika
pesan yang diolah pelaksana media relations tidak menarik dan
memiliki nilai berita, maka besar kemungkinan tidak akan ada liputan
media. Sebaliknya pesan yang baik dan mengandung informasi teramat
penting bisa menjadi pemicu media untuk mempublikasikan pesan
tersebut. Liputan yang luas dan dilakukan oleh banyak media
memungkinkan naiknya citra perusahaan tersebut (Nasrullah, 2012:
41-42).
Pertimbangan inilah yang mendasari Fruh mencatat beberapa poin
penting berkaitan dengan pembentukan pesan (Nasrullah, 2012:42) :
a. Pesan harus berisi informasi
b. Informasi dikemas semenarik mungkin
c. Mengetahui audience (penerima pesan)
d. Efektifitas dan efisiensi pesan berkaitan dengan audience dan
receiver.

Dalam proses komunikasi, pesan berisi pikiran, ide atau gagasan,


perasaan yang dikirim komunikator kepada komunikan dalam bentuk
simbol. Simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk mewakili
maksud tertentu, misalnya dalam kata-kata verbal yang diucapkan atau
ditulis, atau simbol non verbal yang diperagakan melalui gerak-gerik
tubuh atau anggota tubuh, warna, artifak, gambar, pakaian dan lain-
lain yang semuanya harus dipahamai secara konotatif (Liliweri,
2003:27).

Dalam model komunikasi antarbudaya, pesan adalah apa yang


ditekankan atau yang dialihkan oleh komunikator kepada komunikan.
Setiap pesan sekurang-kurangnya mempunyai dua aspek utama :
content dan treatment, yaitu isi dan perlakuan. Isi pesan meliputi aspek
daya tarik pesan, misalnya kebaruan, kontroversi, argumentatif,
rasional, bahkan emosional. Perlakuan atas pesan berkaiatan dengan
penjelasan atau penataan isi pesan oleh komunikator. Pilihan isi dan
perlakuan atas pesan tergantung dari keterampilan komunikan, sikap,
tingkat pengetahun, posisi dalam system sosial dan kebudayaan
(Liliweri, 2003:28).

2.7.3 Komponen Medium


Media merupakan saluran pembawa pesan dari sender untuk
sampai ke Receiver. Media pula yang menerjemahkan pesan-pesan
tersebut agar bisa dicapai oleh khalayak. Cangara menyebut medium
sebagai media yang merupakan alat yang digunakan untuk
memindahkan pesan dari sumber kepada penerima. Televise, surat
kabar, majalah, internet atau telepon genggam merupakan medium
untuk mentrasmisikan pesan yang akan disampaikan. Pada dasarnya,
banyak pilihan saluran komunikasi atau media yang bisa dipakai dalam
menyampaikan pesan (Nasrullah, 2012:42).
Sebagai saluran komunikasi, media massa memiliki karakteristik
tersendiri dibandingkan media lainnya. Hafied Cangara memaparkan
lima karakteristik media masa. Pertama, bersifat melembaga, pihak
yang mengelola media melibatkan banyak individu mulai dari
pengumpulan, pengelolaan sampai pada penyajian informasi. Kedua,
bersifat satu arah. Ketiga, jangkauan yang luas, artinya media masa
memiliki kemampuan untuk menghadapi jangkauan yang lebih luas
dan kecepatan dari segi waktu. Juga bergerak secara luas dan simultan
di mana dalam waktu bersamaan informasi yang disebarkan dapat
diterima oleh banyak individu. Keempat, pesan yang disampaikan
dapat diserap oleh siapa saja tanpa membedakan faktor demografi
seperti jenis kelamin, usia, suku bangsa, dan bahkan tingkat
pendidikan. Kelima, dalam penyampaian pesan media masa memakai
peralatan teknis dan mekanis (Nasrullah, 2012:44).
Para ilmuwan sosial menyepakati dua tipe saluran, (1) sensory
channel atau saluran sensoris, yakni saluran yang memindahkan pesan
sehingga akan ditangkap oleh lima indra, yaitu mata, telinga, tangan,
hidung dan lidah. Lima saluran sensoris itu adalah cahaya, bunyi,
perabaan, pembauan dan rasa. (2) institutionalized means, atau saluran
yang sudah sangat dikenal dan digunakan manusia, misalnya
percakapan tatap muka, material cetakan dan media elektronik. Perlu
diingat bahwa setiap saluran institusional memerlukan dukungan satu
atau lebih saluran sensoris untuk memperlancar pertukaran pesan dari
komunikator kepada komunikan (Liliweri, 2003:29).
2.7.4 Komponen Komunikan
Windahl dan Signitzer (1992) mendefiniskan audines menurut para
peneliti komunikasi masa sebagai audience in terms of people who
have chosen voluntarily to attend to a certain content or medium.
Audiensi dengan kesadarannya akan memilih media dan pesan yang
ingin diakses. Audiens dapat didefiniskan sesuai dengan keinginan
pengirim pesan, sesuai dengan keanggoatan audiens tersebut, dan
terkadung pada media yang digunakan (Nasrullah, 2012:45).
Cangara menyebut audiens sebagai pihak yang menjadi sasaran
pesan yang dikirim oleh sumber yang bisa berupa satu orang atau
lebih, kelompok, partai, bahkan Negara. Penerima merupakan elemen
penting dalam proses komunikasi karena ia merupakan sasaran
komunikasi. audines yang akan mencerna dan menerjemahkan pesan
yang disampaikan dan atau meneruskan pesan tersebut sesuai dengan
tujuan dari proses komunikasi yang terjadi (Nasrullah, 2012:45).
Komunikan dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak yang
menerima pesan tertentu, dia menjadi tujuan atau sasaran komunikasi
dari pihak lain (komunikator). Dalam komunikasi antarbudaya seorang
komunikan berasal dari latar belakang sebuah kebudayaan tertentu,
misalnya kebudayaan B (Liliweri, 2003:26).
Seorang komunikan ketika memperhatikan atau memahami isi
pesan sangat tergantung dari tiga bentuk pemahaman, yakni 1)
kognitif, komunikan menerima isi pesan sebagai sesuatu yang benar,
2) afektif, komunikan percaya bahwa pesan itu tidak hanya benar tetapi
baik dan disukai, dan 3) overt action atau tindakan nyata, dimana
seorang komunikan percaya atas pesan yang benar dan baik sehingga
mendorong tindakan yang tepat. Jadi komunikan dapat berbuat sesuatu
untuk memisahkan isi dan perlakuan pesan hanya karena pesan yang
diterima itu megandung attention dan comprehension (Liliweri,
2003:27).
2.7.5 Komponen Efek
Tujuan akhir dari proses komunikasi adalah munculnya efek,
begitu juga ketika membincangkan tentang komunikasi antarbudaya.
Mengundang kalangan media untuk meliput produk-produk baru
perusahaan, sebagai missal, pada intinya tidak hanya untuk mendapat
publikasi yang luas di media semata, melainkan juga publikasi tersebut
akan mendorong audiens atau khalayak menggunakan jasa mapupun
produk yang ditawarkan oleh perusahaan tersebut. Miliaran biaya iklan
yang dikeluarkan perusahaan tujuan utamanya adalah agar produk
tersebut laku dipasar dan dapat mengalahkan pesaing produk sejenis
(Nasrullah, 2012: 47).
Efek dari proses komunikasi ini diharapkan mampu mengubah
pengetahuan atau kepercayaan, kebiasaan, serta komunikasi
antarpribadi dari audiens. Dari sisi komunikator, pesan yang dirancang
dapat diterima seutuhnya dan tanpa adanya distorsi atau gangguan
kepada audiens (Nasrullah, 2012:49).
Dalam kasus komunikasi tatap muka, umpan balik lebih mudah
diterima. Komunikator dapat mengetahui secara langsung apakah
serangkaian pesan itu dapat diterima oleh komunikan atau tidak.
Komunikator pun dapat mengatakan sesuatu secara langsung jika dia
melihat komunikan kurang memberikan perhatian atas pesan yang
sedang disampaikan. Reaksi-rekasi verbal dapat diungkapkan secara
langsung oleh komunikan melalui kata-kata menerima, mengerti
bahkan mungkin menolak pesan, sebaliknya reaksi pesan dapat
dinyatakan dengan pesona non verbal seperti menganggukkan kepala
tanda setuju dan menggelengkan kepala sebagai ungkapan tidak setuju.
(Liliweri, 2003:30).
2.7.6 Suasana (setting dan context)
Satu faktor penting dalam komunikasi antarbudaya adalah suasana
yang kadang-kadang di sebut setting of communication, yakni tempat,
waktu serta suasana ketika komunikasi antarbudaya berlangsung.
Suasana itu berkaitan dengan waktu (jangka
pendek/panjang,jam/hari/minggu/bulan/tahun) yang tepat untuk
bertemu/ berkomunikasi, sedangkan tempat (rumah,kantor,rumah
ibadah) untuk berkomunikasi, kualitas relasi (formalitas, informalitas)
yang berpengaruh terhadap komunikasi antarbudaya (Liliweri,
2003:30).
2.7.7 Gangguan (Noice atau interference)
Gangguan dalam komunikasi antarbudaya adalah segala sesuatu
yang menjadi penghambat laju pesan yang ditukar antara komunikator
dengan komunikan, atau paling fatal adalah mengurangi makna pesan
antarbudaya. Gangguan menghambat komunikan menerima pesan dan
sumber pesan. Gangguan (noise) dikatakan ada dalam satu system
komunikasi bila dalam membuat pesan yang disampaikan berbeda
dengan pesan yang diterima. Gangguan itu dapat bersumber dari
unsur-unsur komunikasi, misalnya komunikator, komunikan, pesan,
media/saluran yang mengurangi usaha bersama untuk memberikan
makna yang sama atas pesan (Liliweri,2003:30).
De Vito (1997) menggolongkan tiga macam gangguan, 1) fisik
berupa interfensi dengan transmisi fisik isyarat atau pesan lain,
misalnya desingan mobil yang lewat, dengungan computer, kaca mata
2) psikologis interfensi kognitif atau mental, misalnya prasangka dan
bias pada sumber-penerima-pikiran yang sempit, dan 3) semantik
berupa pembicara dan pendnegar memberi arti yang berlaianan,
misalnya orang berbicara dengan bahasa yang berbeda, menggunakan
jargon atau istilah yang terlalu rumit yang tidak dipahami pendengar
(Liliweri, 2003:31).
2.8 Faktor-faktor Hubungan Antarpribadi yang Mempengaruhi Komunikasi
Antarbudaya
1. Sifat Antarbudaya yang Berpengaruh terhadap Interaksi
Semua manusia mempunyai mental, kemauan dan kemampuan
untuk berkomunikasi sehingga dapat mengenal dan mengevaluasi
siapa yang berkomunikasi dengan dia. Namun persepsi manusia
terhadap manusia yang lain yang hanya jatuh pada seseorang atau
kelompok orang tertentu. Bagi banyak ahli, warna atribusi atau
penampilan pribadi memberikan warna komunikasi untuk apa kita
berkomunikasi. Karena itu maka setiap peristiwa komunikasi memiliki
dua aspek penting, yakni isi komunikasi dan relasi komunikasi, yang
dengan tampilan beratribusi rendah maka formula tersebut tampaknya
tidak berlaku. Kata Paul Watzlawick, Janet Beavin dan Don Jacson
(1967) ada perbedaan antara isi dan relasi komunikasi. isi komunikasi
meliputi informasi yang terkandung dalam pesan, misalnya tentang apa
yang diucapkan secara lisan atau ditulis di atas kertas. Sedangkan
relasi komunikasi berkaitan dengan bagaimana pesan itu dialihkan,
bagaimana isi pesan itu disimpulkan sehingga meningkatkan kualitas
relasi hubungan antarpribadi (Liliweri, 2003:90).
2. Masalah Kredibilitas
Para ahli komunikasi berpendapat, ada pula tiga faktor yang
mempengaruhi pengiriman pesan dari seorang komunikator agar
diterima oleh seorang komunikan yaitu kredibilitas, objektivitas dan
keahlian. Ketiga aspek dari pengirim ini berkaitan erat dengan
dampaknya terhadap penerima. Penerima akan percaya kepada pesan
atau merespon pesan yang dia inginkan, kalau pengirimnya itu
kredibel, objektif, dan ahli dalam satu bidang tertentu (Liliweri,
2003:91).
3. Derajat Kesamaan Komunikator dengan Komunikan
Untuk menjelaskan kesamaan komunikator maka ada baiknya
mengingatkan kembali perihal istilah homofili dan hoterofili. Homofili
mengacu pada kesamaan antara individu yang berinterkasi. Kesamaan
itu mereflesikan kesamaan area atau wilayah siakp atau nilai, tampilan
status sosial, kepribadian dan keragaman aspek demografis. Dengan
demikian perbedaan kebudayaan membuat kita belajar dari orang lain
dan kita berusaha berinteraksi secara pribadi dan senantiasa berusaha
meningkatkan kreativitas (Liliweri, 2003: 94).
Sedangkan heterofili adalah keballikan dari homofili, mengacu
pada derajat penampilan ketidak samaan antara dua orang yang
berkomunikasi. Komunikasi antarbudaya yang dilandasi oleh heterofili
hasilnya akan berbeda dengan mereka yang homofili. Bayangkan kalau
anda mempunyai seorang teman dekat, bandingkan berapa banyak atau
jenis informasi yang patut anda ceritakan kepada teman dekat itu
dengan teman yang jauh. Jadi dua orang yang berbeda kebudayaan
selalu berada dalam tahap mencari kesamaan dan perbedaan.
Kemampuan berkomunikasi merupakan jalan yang paling cepat untuk
keluar dari masalah tersebut (Liliweri, 2003: 94).
4. Kemampuan Menyampaikan Pesan Verbal Antarpribadi
Dalam berkomunikasi antarbudaya maka ada beberapa perbedaan
yang perlu diperhatikan. Menurut Ohoiwutun (1997-107) anda harus
memperhatikan : 1) kapan orang berbicara, 2) apa yang dikatakan, 3)
hal memperhatikan 4)intonasi 5)gaya kaku dan puitis, dan 6) bahasa
tidak langsung. Inilah yang disebut dengan saat yang tepat bagi
seorang untuk menyampaikan pesan verbal dalam komunikasi
antarbudaya (Liliweri, 2003:94).
5. Kemampuan Menyampaikan Pesan Non Verbal Antarpribadi
Ketika berhubungan antarpribadi maka ada beberapa faktor dari
pesan non verbal yang mempengaruhi komunikasi antarbudaya. Ada
beberapa bentuk perilaku non verbal yakni : kinestik, okulesik, haptiks,
proksemik dan kronemik (Liliweri, 2003:98).
2.9 Etnis

Secara Etimologis, kata etnis berasal dari bahasa Yunani ethnos,


yang merujuk pada pengertian bangsa atau orang. Acap kali ethnos
diartikan sebagai setiap kelompok sosial yang ditentukan oleh ras, adat
istiadat, bahasa, nilai dan norma budaya, dan lain-lain yang pada
gilirannya mengindikasikan adanya kenyataan kelompok yang minoritas
atau mayoritas dalam suatu masyarakat. Istilah etnis mengacu pada suatu
kelompok yang sangat fanatik dengan ideologi kelompoknya dan tidak
mau tahu dengan ideologi kelompok lain. Dalam perkembangannya makna
ethos berubah menjadi etnichos yang secara harfiah digunakan untuk
menerangkan keberadaan sekelompok “penyembah berhala” atau orang
kafir yang hanya berurusan dengan kelompoknya sendiri tanpa peduli
kelompok lain (Wartawan L, 2013: Online. digilib.unila.ac.id).

Menurut Narroll yang dikutip Ali Liliweri kelompok etnis dikenal


sebagai suatu populasi yang (Wartawan L, 2013: Online.
digilib.unila.ac.id):

1. Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan


2. Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa
kebersamaan dalam bentuk budaya
3. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, dan
4. Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh
kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi
lain.

Sedangkan Thomas Sowell yang menulis tentang Ethnic of


America berpendapat bahwa kelompok etnis merupakan sekelompok
orang yang mempunyai pandangan dan praktik hidup yang sama atas suatu
nilai dan norma. Misalnya kesamaan agama, Negara asal, suku bangsa,
kebudayaan, bahasa dan lain-lain yang semuanya berpayung pada satu
kelompok yang disebut kelompok etnis. Fredrick Barth dan Zatrow yang
mengatakan bahwa etnis adalah himpunan manusia karena kesamaan ras,
agama, asal-usul, bangsa ataupun kombinasi dari kategori tersebut yang
terikat pada sistem nilai budayanya. Sementara Koentjaraningrat
memaknai etnis sebagai kelompok sosial atau kesatuan hidup manusia
yang mempunyai sistem interaksi, sistem norma yang mengatur interaksi
tersebut. Adanya kontinuitas dan ras identitas yang mempersatukan semua
anggotanya serta memiliki sistem kepemimpinan sendiri (Wartawan L,
2013: Online. digilib.unila.ac.id).

Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat dikatakan bahwa etnis


atau kelompok etnis adalah pertama, suatu kelompok sosial yang
mempunyai tradisi kebudayaan dan sejarah yang sama, dan karena
kesamaan itulah mereka memiliki suatu identitas sebagai suatu
subkelompok dalam suatu masyarakat yang luas. Kelompok etnis bisa
mempunyai bahasa sendiri, agama sendiri, adat istiadat sendiri yang
berbeda dengan kelompok lain. Yang paling penting para anggota dari
kelompok etnis itu mempunyai perasaan sendiri yang secara tradisional
berbeda dengan kelompok sosial lain (Wartawan L, 2013: Online.
digilib.unila.ac.id).

Kedua, suatu kelompok individu yang mempunyai kebudayaan


yang berbeda, namun diantara para anggotanya merasa memiliki semacam
subkultur yang sama. Ketiga, etnis merupakan suatu kelompok yang
memiliki domain tertentu yang kita sebut dengan ethnic domain. Susane
Langer mengatakan bahwa kerap kali kelompok etnis itu mempunyai
peranan dan bentuk simbol yang sama, memiliki bentuk kesenian atau art
yang sama, yang diciptakan dalam ruang dan waktu mereka (Wartawan L,
2013: Online. digilib.unila.ac.id).

Di Indonesia terdapat berbagai macam etnis yang berdiri,


diantaranya etnis China, etnis Arab dan lain-lain. Berragam macam
perbedaan yang ada di dunia, selain etnis ada banyak perbedaan dalam
kehidupan manusia seperti jenis kelamin, agama, budaya, suku, ras dan
lain sebaginya.

Sebagaimana dalam surat Al-Hujurat (49) : 13, sebagai berikut:

       


         
    

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-


laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang
paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Mengenal”.
2.9.1 Etnis Arab

Literatur komunikasi lintas budaya banyak membahas nilai-nilai


Arab, keramahtamahan terhadap tamu, kemurahan hati, keberanian,
kehormatan, harga diri, senioritas, spiritualitas, reputasi dan keluarga.
Mereka juga dikenal bangga dengan budaya mereka dan tidak mudah larut
dalam budaya lain. Orang Arab bermurah hati terhadap tamu. Mereka
menjamu tamunya secara berlimpah dan memberikan hadiah (Mulyana,
2010:99-100).
Nilai kehormatan orang Arab itu terutama melekat pada anggota
keluarganya yang tidak boleh diganggu orang luar. Istri dan anak
perempuan mereka khususnya adalah bagian dari kehormatan mereka.
Maka jangan coba-coba kita sebagai pria berkenalan atau bertemu dengan
istri-istri mereka atau anak-anak perempuan mereka yang sudah dewasa
(Mulyana, 2010:100).
Di Arab Saudi orang-orang yang berpakaian terbuka di ruang
publik dianggap tidak sopan. Di Mekah atau di Madinah khususnya, kita
takkan menemukan pria Arab bercelana pendek atau wanita Arab yang
mengenakan rok atau t-shirt. Banyak wanitanya yang bercadar. Jika warga
pendatang berpakaian terbuka, mereka pasti akan diperingatkan orang
Arab. Harga diri orang Arab juga identik dengan sejenis pemujaan
terhadap budaya termasuk bahasa sendiri, dan tidak merasa perlu untuk
meniru budaya luar. Meskipun globalisasi telah melanda berbagai pelosok
dunia, orang Arab masih berbudaya Arab dan berbahasa Arab (Mulyana,
2010:101).
Salah satu sifat orang Arab yang positif adalah kekeluargaan.
Mereka lebih mementingkan kelompok daripada perorangan. Nilai
keakraban ini diekspresikan lewat sentuhan dan pelukan dalam pertemuan,
dan pandangan mata yang dalam, terutama dengan orang yang menjadi
kawan atau sahabat mereka. Mereka juga tak segan berpegangan tangan
saat berbicara atau ketika berjalan kaki (Mulyana, 2010:102).
Sifat-sifat buruk terbentuk oleh lingkungan, baik sosial ataupun
fisik. Salah satu sifat orang Arab yang sering dipandang negatif oleh
pendatang adalah sifat kasar dank eras, terutama orang Arab Mekah.
Orang Arab Madinah, yang nenek moyangnya dididik Nabi Muhammad
SAW 14 abad lalu, cenderung lebih santun. Salah satu indikasi bahwa
orang Arab kasar adalah kebiasaan mereka untuk melangkahi bahu orang
yang duduk di masjid, melewati orang yang sedang berdiri shalat, atau
bahkan melangkahi kepala orang yang sedang sujud ketika shalat. Namun
hati mereka boleh jadi lembut dan tulus (Mulyana, 2010:102-103).

2.9.2 Etnis China


Ada banyak hal yang harus dipahami dibalik anggapan bahwa
orang-orang keturunan China dicap sebagai orang yang perhitungan.
Orang China tidak perhitungan, tapi mereka menghargai usaha diri sendiri
maupun orang lain. Orang-orang China bukannya pelit, tapi mereka
menghargai segala usaha yang telah dilakoni, baik usaha yang dilakukan
sendiri maupun orang lain. Misalnya saat berdagang akan sangat
menghargai jerih payah sendiri (Anjani, 2016: Online
https://www.idntimes.com).
Orang China terbiasa bekerja keras. Hal ini telah diajarkan oleh
orang tua mereka sejak kecil. Orang-orang China berusaha berjuang sejak
masih kecil. Kedua orang tua mengajarinya cara menghadapi hidup sejak
mereka masih kanak-kanak. Untuk mereka hidup adalah sebuah perjalanan
yang panjang dan perlu bekerja keras untuk bertahan (Anjani, 2016:
Online https://www.idntimes.com).
Orang china sering terlihat sederhana, untuk mereka hidup tak
cukup hanya untuk berfoya-foya. Itulah sebabnya mereka tak suka
berfoya-foya dan memilih tampil sederhana. Mereka paham betul tentang
esensi sebuah kehidupan. Mereka tahu bagaimana sulitnya berjuang
memperoleh hidup yang layak. Buat mereka kesenangan tak serta merta
hanya dengan menghambur-hamburkan uang (Anjani, 2016: Online
https://www.idntimes.com).
Soal manajamen keuangan, jangan ditanya. Orrang China-lah
jagonya. Mereka bisa dengan rapi mengatur manajemen keuangan. Untuk
itu, mereka tahu berapa uang yang harus dikeluarkan, sebanding atau tidak
dengan pemasukan. Karena pandai mengatur keuangan, mereka jadi hati-
hati mengeluarkan uang (Anjani, 2016: Online
https://www.idntimes.com).

2.10 Streotip
a. Pengertian
Stereotip adalah cara pandang terhadap suatu kelompok
sosial dimana cara pandang tersebut digunakan pada setiap
kelompok tersebut. Kita memperoleh informasi dari pihak kedua
maupun media, sehingga kita cenderung untuk menyesuaikan
informasi tersebut agar sesuai dengan pemikiran kita. Stereotip
pada umumnya tidak memiliki sumber yang jelas, berasal dari
karangan-karangan suatu kelompok tertentu atau berasal dari
cerita-cerita turun temurun untuk dipakai sebagai kerangka rujukan
tentang seseorang, kelompok, budaya, bangsa, hingga agama.
Sehingga segala bentuk stereotype adalah belum tentu
kebenarannya, bahkan ada stereotype yang salah sama sekali
kebenarannya. Stereotip bisa berkaitan dengan hal positif atau hal
negatif, stereotip bisa benar juga bisa salah, stereotip bisa berkaitan
dengan individu atau subkelompok (Praditha, 2019: Online.
https://academia.edu>Stereotip).
Stereotip juga digunakan oleh manusia sebagai bagian dari
mekanisme pertahanan diri untuk menyembunyikan keterbatasan
kita atau untuk membenarkan perasaan kita yang rapuh mengenai
superioritas. Stereotip dapat membawa ketidakadilan sosial bagi
mereka yang menjadi korban, dan jika ini terjadi akan
memunculkan pertanyaan terkait etnisitas. Stereotip terkadang juga
melibihi pertanyaan seputar keadilan sosial. Hal ini berkaitan
dengan tendensi yang mengaitkan antara stereotip dengan
persoalan yang bersifat visible seperti prejudice mengenai kelamin,
ras dan etnis (Praditha, 2019: Online.
https://academia.edu>Stereotip).
Sebab munculnya stereotype adalah karena adanya
perbedaan-perbedaan yang ada dalam suatu kelompok tertentu
yang menimbulkan prasangka kelompok lain terhadap keunikan
kelompok tersebut, misalkan perbedaan nilai, budaya, logat,
agama, jenis kelamin dan sebagainya (Praditha, 2019: Online.
https://academia.edu>Stereotip).

Menurut Purwasito, streotip adalah pandangan umum dan


suatu kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat
terhadap kelompok masyarakat lain. Pandangan umum ini biasanya
bersifat negative (salah kaprah). Artinya, bahwa pandangan yang
ditujukan kepada komunitas tertentu, misalnya streotip untuk orang
semarang dikenal dengan gertak Semarang (menggeretak), dan
bagi orang Solo distereotip umuk Solo (sombong), dan streotip
bagi orang Jogja glembuk Jogja (merayu). Di kalangan orang
sunda (jawa barat), orang jawa distreotipkan Jawa koek
(kolot/kampungan). Lebih jauh, Purwasito menjelaskan bahwa
streotip dibangun oleh kelompok masyarakat dari waktu ke waktu
dan mengandung kerangka interpretasi tersendiri berdasarkan
lingkungan budayanya. Stereotip biasanya merupakan referensi
pertama (penilaian umum) ketika seseorang atau kelompok melihat
orang atau kelompok lain,. Suatu contoh penilaian umum orang-
orang Jepang terhadap kelompok minioritas Burukumin dianggap
sebagai kesalahan (Shoelhi, 2015: 44-45).

b. Fungsi Stereotipe
Fungsi stereotip yaitu (Praditha, 2019: Online.
https://academia.edu>Stereotip) :
1. Menggambarkan suatu kondisi kelompok
2. Memberikan dan membentuk citra kepada kelompok
3. Membantu seseorang dari suatu kelompok untuk mulai bersikap
terhadap kelompok lainnya
4. Melalui stereotype ini kita dapat menilai keadaan suatu kelompok
c. Dimensi Stereotype
Dalam konteks komunikasi antar budaya, stereotype juga bervariasi
dalam beberapa dimensi, antara lain ( Praditha, 2019: Online.
https://academia.edu>Stereotip):
1. Dimensi arah: tanggapan bersifat positif dan negative,
2. Dimensi intensitas: seberapa jauh seseorang percaya pada stereotip
yang dipercayai,
3. Dimensi keakuratan: seberapa tepat suatu stereotype dengan
kenyataan yang biasa ditemui,
4. Dimensi isi: sifat-sifat khusus yang diterapkan pada kelompok
tertentu.
d. Cara Meminimalisir Stereotipe
Jangan hanya memandang suatu kelompok atau individu dari
satu sisi saja dan mengabaikan sisi lainnya yang merupakan sebuah
kelengkapan dalam diri objek dan dilewatkan. Kita harus
menyadari bahwa setiap individu terlahir dengan keunikan
tersendiri sehingga tidak perlu disamakan dengan individu yang
lain apalagi kelompok. Menumbuhkan rasa saling menghargai
terhadap perbedaan pada suatu kelompok. Maka dari itu sudah
saatnya masyarakat lebih objektif dalam menerima sebuah
stereotype yang hadir di tengah kehidupan bermasyarakat. Di
antaranya menanamkan rasa toleransi dalam merajut sebuah
keberagamaan yang dimuai sejak dini, hal ini perlu dilakukan
mengingat stereotype dapat terus menerus dilestarikan melalui
komunikasi yang beredar di kalangan masyarakat dan dapat
diturunkan ke generasi berikutnya (Praditha, 2019: Online.
https://academia.edu>Stereotip).
Untuk menghilangkan stereotip tersebut, ada beberapa konsepsi
yaitu (Saefullah, 2013: 219) :
a. Sadarilah bahwa perbedaan itu adalah sunatullah, tidak bisa
ditolak, baik berbeda karena budaya, etnis, keturunan,
maupun yang lainnya.
b. Pandanglah orang lain yang berbeda dengan kita secara
jernih, akurat dan komprehensif. Pasti pada diri orang lain
itu ada yang positif da nada yang negative. Dari segi
positifnya, kita bisa mengambil manfaatnya.
c. Bersikaplah dewasa menerima perbedaan itu, dan
lapangkanlah hati kita untuk bisa sharing pengetahuan dan
pengalaman.
d. Bersikaplah jujur bahwa diri kita memiliki keterbatasan dan
kekuarangan.
e. Berani dan fair mengakui kelebihan dan kehebatan orang
lain.

Stereotip mempengaruhi sikap seseorang, misalnya


bagaimana seseorang akan bersikap atau berperilaku terhadap
orang lain, bagaimana sikap umum masyarakatnya terhadap orang
tersebut. Demikian pula, bagaimana menyikapi orang yang sama
sekali belum penah dikenal. Dalam hal ini, biasanya orang
mengambil kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakatnya. Inilah
cara pandang terhadap dunia (vision du monde) yang melekat
dalam pribadi seseorang. Akibatnya, setiap hari muncul perasaan
in-group dan out-group dalam proses interaksi sosial tersebut
(Shoelhi, 2015:45).

Dalam konteks ini, media massa, seperti surat kabar,


majalah, televise, film, video, dan internet, juga ikut berperan
dalam penyebaran stereotip Barat terhadap islam. Gumpert
Cathcart menyebutkan bahwa televise merupakan sumber utama
pengetahuan bangsa Amerika Serikat mengenai orang-orang asing.
Bersama tim peneliti dari Perancis dan Jepang, Gumpert
melakukan kajian lintas-budaya mengenai stereotip orang-orang
Amerika, Perancis, dan Jepang secara tatap muka dengan orang-
orang dari latar bangsa dan budaya lain (Shoelhi, 2015:47).

Pandangan stereotip ini terjadi tidak hanya dalam konteks


lintas budaya yang berbeda, tetapi juga pada budaya dan
subbudaya yang sama, namun memiliki kepentingan yang berbeda,
baik kepentingan politik maupun kepentingan kelompok bisnis.
Walaupun sama-sama satu budaya, satu etnik, satu agama, satu
daerah, dan satu latar pendidikan, kerapkali diantara mereka
memunculkan stereotip-stereotip yang tidak mengenakkan, dalam
arti kata dimatanya sendiri orang lain dipandang selalu negative,
seperti tidak ada yang positif tetang diri orang lain. Padahal,
informasi yang didapatkan tentang orang lain sangat terbatas.
Pandangan stereotip yang tidak fair dan tidak berdasar seperti ini
biasa terjadi dalam lingkungan persaingan politik, bisnis, dan
sebagainya (Shoelhi, 2015:48).

Meskipun berbagai kelompok budaya semakin sering


berinteraksi, bahkan dengan bahasa yang sama, tidak otomatis
saling pengertian terjalin di antara mereka, karena terdapat
prasangka timbal balik antara berbagai kelompok budaya itu. Bila
tidak dikelola secara baik, kesalahpahaman antarbudaya ini akan
terus terjadi, dan menimbulkan kerusuhan. Problem utamanya
adalah meminjam ungkapan Arnett, “komunikasi dari posisi
terpolarisasikan” Gudykunst dan Kim, (1992) dalam Mulyana,
yakni ketidak mampuan mempercayai atau secara serius
menganggap pandangan sendiri sebagai seseuatu yang keliru dan
pendapat orang lain sebagai sesuatu yang benar. Komunikasi
ditandai dengan retorika “kami yang benar” dan “mereka yang
salah.” Dengan kata lain, setiap kelompok budaya cenderung
etnosentrik (Sihabudin, 2013:120).

Di Indonesia kita sering mendengar stereotip-stereotip


kesukuan. Misalnya, orang-orang Jawa-Sunda beranggapan bahwa
mereka halus dan sopan dan bahwa orang-orang batak, nekat suka
berbicara keras, pemberang, dan suka berkelahi. Akan tetapi, orang
batak sendiri menganggap bahwa mereka pemberani, terbuka, suka
berterus terang, pintar, rajin, kuat, dan tegar. Mereka menganggap
orang-orang Jawa dan Sunda lebih halus dan sopan, tetapi lemah
dan tidak suka berterus terang. Apa yang orang sunda anggap
kekasaran, bagi orang Batak justru kejujuran. Apa yang orang
sunda anggap kehalusan, bagi orang Batak adalah kemunafikan
dan kelemahan (Sihabudin, 2013:121).

Anda mungkin juga menyukai