448 ArticleText 1835 1 10 20210630
448 ArticleText 1835 1 10 20210630
net/publication/352891717
CITATION READS
1 198
2 authors:
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Tania Intan on 17 July 2021.
p-ISSN: 2085-9554
e-ISSN: 2621-2005
Naskah Diterima Tanggal: 16 Februari 2021; Direvisi Akhir Tanggal: 14 Juni 2021; Disetujui Tanggal: 25 Juni 2021
DOI: https://doi.org/10.26499/mab.v15i1.448
Abstrak
Budaya patriarki telah membuat perempuan didorong untuk bersegera menjadi istri dan ibu
dalam sebuah keluarga, sehingga ia lebih dihargai sebagai anggota masyarakat yang utuh.
Fenomena ini masih berlangsung dalam situasi aktual, sebagaimana tercermin dalam sejumlah
novel populer. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari stigma perempuan lajang dan
perkawinan di dalam metropop 90 Hari Mencari Suami (2019) karya Ken Terate. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif. Data berupa kata, frasa, dan kalimat
dikumpulkan dengan teknik simak-catat. Data selanjutnya diklasifikasi, diinterpretasi, dan dikaji.
Landasan teoretis yang digunakan dalam penelitian ini adalah perspektif sosiologis dan kritik
sastra feminis dari Beauvoir dan Humm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam novel 90
Hari Mencari Suami: (1) kelajangan merupakan hal yang tidak wajar terjadi pada perempuan
dewasa sehingga muncul mitos dan stigma yang mendorongnya untuk segera menikah.
Protagonis perempuan membuktikan bahwa mitos itu tidak benar dan memutuskan untuk
menentukan jalan hidupnya sendiri. (2) Perkawinan tidak seharusnya terjadi karena perasaan
takut melainkan didasari oleh kesadaran penuh untuk menjalaninya. Perkawinan yang ideal
adalah yang memposisikan perempuan dan laki-laki dalam kedudukan setara.
Kata-kata kunci: stigma; perempuan lajang; perkawinan; metropop
Abstract
The patriarchal culture has encouraged women to immediately become wives and
mothers in a family so that they are more valued as members of the whole society. This
phenomenon is still taking place in actual situations, as reflected in several popular
novels. This study aims to study the stigma about single women and marriages in Ken
Terate's 90 Hari Mencari Suami (2019). The method used in this research is descriptive-
qualitative. Data in the form of words, phrases, and sentences were collected using note-
taking technique. The data are then classified, interpreted, and reviewed. The
theoretical basis used in this study is a sociological perspective and feminist literary
criticism from Beauvoir and Humm. The results showed that: in the novel 90 Hari
Mencari Suami: (1) singleness is something that is not natural for adult women so that
myths and stigma emerge that encourage them to get married. The female protagonist
proves that the myth is untrue and decides to decide her path in life. (2) Marriage
should not occur out of fear but with full awareness of living it. The ideal marriage is
one that positions women and men in an equal position.
Keywords: stigma; single women; marriage; metropop
(2019) karya Asma Nadia, Kebelet Nikah perempuan, Eli, beserta mimpi-mimpinya
(2020) karya Anisa Hakim, serta Ganjil- yang tidak tercapai hingga usianya yang
Genap (2020) karya Almira Bastari. menjelang tiga puluh tahun. Ia memiliki
Berulangnya penggunaan tema yang sama banyak harapan, yang salah satu di
dalam karya-karya ini menunjukkan masih antaranya adalah saat usianya mencapai
relevannya permasalahan tersebut dalam 28 tahun, ia akan “menikah dengan
kehidupan perempuan Indonesia. tunangan yang tampan dan miliarder itu”
Keberadaan perempuan lajang dengan (hlm. 7). Namun kenyataannya, Eli belum
stigmatisasi terutama sebagai sosok juga menikah dan bahkan tidak memiliki
‘pengganggu rumah tangga/pelakor’ atau pacar saat memasuki usia 29 tahun.
malah sebagai ‘perempuan aneh’ Kegalauan yang dialami protagonis
merupakan isu yang kerap dikembangkan tersebut agaknya dialami oleh banyak
di dalam karya fiksi (T. Intan, 2021). perempuan yang telah memasuki usia
Selain karya-karya yang telah kepala tiga tapi belum menikah. Situasi ini
disebutkan di atas, novel lain yang diperparah ketika perempuan dihadapkan
mengusung tema tersebut dan telah dipilih pada tekanan dari keluarga dan stres
sebagai objek penelitian ini adalah 90 akibat pekerjaan (Wijayanti, 2019).
Hari Mencari Suami (2019) yang Karena kerap menghadapi ketidakadilan,
merupakan karya pertama penulis Ken biasanya akan muncul kesadaran dan
Terate pada lini metropop. Novel ini kekuatan pada perempuan untuk menuntut
dipilih sebagai bahan kajian karena haknya dan mengupayakan hal yang
merupakan karya yang relatif baru, dikehendaki sesuai dengan pilihannya
menggunakan gaya penulisan dan bahasa (untuk menikah atau melajang).
yang nyaman dibaca, mengandung unsur Kesadaran tersebut, menurut Widianti
humor, dan memiliki akhir cerita yang (2020: 54-55), diperoleh melalui
tidak mudah ditebak. Karya tersebut, pergaulan dan pendidikan yang membuat
sebelum terbit sebagai buku, sempat perempuan menjadi kritis dalam bersikap.
diunggah penulisnya pada platform online
Wattpad. 2. Landasan Teori
Pada umumnya, perempuan dewasa
Novel yang terdiri dari 365 halaman
yang menunda pernikahan terhalang
tersebut diawali dengan sebuah epilog
karena belum menemukan pasangan yang
untuk memperkenalkan tokoh utama
tepat, namun ada juga yang memang
memilih untuk tetap melajang (Septiana, dari orang tua dan lingkungannya untuk
2013: 72). Hurlock (1990) menjelaskan segera menikah.
bahwa pada usia dua puluhan, tujuan Menurut teori Identitas Sosial dari
hidup sebagian besar perempuan adalah Tajfel & Turner yang dikutip Septiana
menikah. Namun, bila perempuan belum (2013: 73), perempuan lajang menjadi
juga menikah pada umur tiga puluh tahun, kategori sosial tersendiri yang dilekati
mereka akan mengganti tujuan dan nilai karakteristik khas bernada negatif atau
hidupnya untuk mulai berorientasi pada ‘tidak normal’, karena dibandingkan
pekerjaan, karir, dan kesenangan pribadi. dengan kelompok perempuan yang telah
Perempuan berusia 30-an memasuki fase menikah dan dipandang ‘normal’.
usia kritis (critical age) karena berada Tindakan mengategorisasi ini
pada persimpangan antara pilihan ingin memunculkan nilai psikologis yang
tetap menikah atau justru tetap menjadi berdampak pada harga diri individu yang
lajang. masuk dalam kelompok tersebut. Status
Kehidupan lajang pada perempuan belum menikah pada perempuan dewasa
memang tidak pernah bebas dari tekanan akan cenderung diposisikan sebagai
masyarakat yang dominan (Septiana, inferior karena tidak sesuai dengan norma
2013: 72). Masyarakat Indonesia kewajaran. Dengan status tersebut,
merupakan bagian dari struktur budaya individu yang mendapat identitas negatif,
Asia yang memiliki kecenderungan atau disebut juga stigma, akan merasakan
kolektivitas lebih kental dibandingkan adanya ancaman identitas.
dengan masyarakat Amerika atau Eropa. Stigma sendiri, menurut Goffman,
Oleh karena itu, anggota masyarakat adalah semua bentuk kualitas yang
Indonesia, terutama perempuan, bersifat fisik, sosial, atau personal yang
mengalami tekanan yang jauh lebih kuat membuat kelompok orang yang
untuk memelihara norma budayanya, memilikinya dilabeli dengan identitas
termasuk menikah. Pernikahan adalah yang mendiskreditkan dan inferior
salah satu ritus budaya yang sangat (Septiana, 2013: 73-74). Dalam konteks
dihargai oleh hampir seluruh etnis budaya ini, status ‘perempuan lajang’ mendapat
di Indonesia. Sebagai konsekuensinya, penilaian yang merendahkan,
orang dewasa yang masih lajang, terlebih sebagaimana ditunjukkan dalam kajian
perempuan, akan mendapatkan tekanan Indriana yang dikutip Septiana (2013: 74),
digunakan dalam penelitian ini adalah menjadi tiga bagian yaitu: (1) Sinopsis
sosiologi sastra dan kritik sastra feminis. Metropop 90 hari Mencari Suami, (2)
karena teks yang ditelaah merupakan Karir dan Stigma, dan (3) Perkawinan
4.1 Sinopsis Metropop 90 Hari Mencari menikah. Dalam budaya Jawa, ada mitos
Suami
bahwa jika ‘dilangkahi’, kakak perempuan
Novel ini dikisahkan melalui sudut
akan mengalami kelajangan selamanya.
pandang Eli sebagai narator-tokoh.
Eli sebenarnya tidak yakin apakah dia
Dengan karakter naratif ini, sifat
ingin menikah atau tidak. Akan tetapi, ia
penceritaan menjadi subjektif, intim, dan
tidak ingin menua sendiri. Untuk
seperti pengakuan. Latar cerita didominasi
mendahului pernikahan adiknya, ia pun
oleh situasi kota Jakarta yang sibuk dan
bertekad menemukan suami dalam waktu
para tokoh ditempatkan dalam ruang kerja
kurang dari 90 hari. Kabar buruk
metropolis, yang melibatkan para pekerja
berikutnya tiba-tiba menghampiri, ketika
dari dunia hiburan seperti artis, make up
Tristan, adik laki-lakinya, mengabari Eli
artis, manager artis, event organizer,
bahwa ia akan segera melamar pacarnya.
penata gaya, dan wartawan. Latar cerita
Panik karena akan dilangkahi
beralih ke Jogjakarta karena Eli
menikah oleh kedua adiknya, Eli pun
memutuskan untuk mengundurkan diri
membicarakan permasalahan itu dengan
dari pekerjaannya dan memulai hidup
kedua sahabatnya, Sandra dan Rosa.
baru.
Mereka pun merancang sejumlah langkah
Pada awal novel, Eli memaparkan
untuk segera menemukan suami bagi Eli.
kegagalan mimpi-mimpinya untuk sukses
Meskipun selalu disibukkan dengan
sebelum berumur 30 tahun, terutama
pekerjaan, Eli sendiri tetap berupaya
karena ia belum menikah. Ia bekerja
menemukan laki-laki idamannya. Ia pergi
sebagai sebagai asisten artis di sebuah
ke tempat fitnes dan memainkan aplikasi
perusahaan dengan atasan yang tidak ia
pencari jodoh, Tinder. Ia juga menemui
sukai dan tidak menyukainya. Eli bertahan
Jay, kakak angkatannya dulu saat kuliah
bekerja di tempat itu karena sesuai dengan
yang sangat rupawan dan ramah. Eli pun
passion-nya dan gajinya memungkinkan
sempat berhubungan dengan Dewa yang
dirinya berbelanja online setiap kali ia
metroseksual dan mapan. Namun, tidak
merasa tertekan.
satu pun dari laki-laki yang ia temui yang
Kenyamanannya berubah menjadi
benar-benar cocok dengannya.
kegelisahan saat ia memasuki usia 29,
Persahabatannya dengan Sandra dan
yang berarti satu tahun lagi menuju 30
Rosa memberi Eli pandangan baru tentang
tahun. Kepanikan Eli bertambah saat adik
arti pernikahan. Sandra sudah menikah
perempuannya menyatakan akan segera
dengan seorang ekspatriat dan hidup Selama ini, hubungan yang dijalaninya
berkecukupan secara material, tetapi tidak selalu berakhir dalam waktu relatif
merasa bahagia. Demikian pula dengan singkat.
Rosa, yang hamil tapi tidak dapat
meminta pertanggungjawaban dari ayah Aku juga punya pacar saat itu. Plus
gebetan nggak resmi. Dua atau tiga
bayi yang dikandungnya karena telah
gebetan tidak resmi. Semuanya
beristri. Eli juga banyak belajar dari memanjakanku dengan caranya
masing-masing. Rafi dengan
hubungan Pak Dion dan Bu Mimi, yang
traktiran makan dan nonton, Frank
merupakan kliennya. dengan keromantisan ala novel-
novel Harlequin dan ciuman yang
Pada akhirnya, perjalanan hidup
sanggup menegakkan seluruh bulu
mendekatkan Eli pada Dimi, teman kecil di tubuhku, dan Yori dengan segala
kelucuan, keluguan, dan
dan tetangganya saat di Jogjakarta, dan
keikhlasannya membantuku setiap
membuat mereka menikah. Laki-laki saat (antar-jemput? Beres.
Komputer rusak? Beres. Kiriman
sederhana itu awalnya tidak masuk
makan siang? Beres).
kriterianya sama sekali. Namun, seiring Hidup begitu sempurna.
(Terate, 2019: 9-10)
waktu, Eli menyadari bahwa Dimi adalah
orang yang tepat untuk menua
Dalam perspektif Hurlock (1990:
bersamanya.
247), perempuan memang dapat
4.2 Representasi Perempuan Lajang
berpacaran dengan lebih dari satu laki-laki
di antara Karir dan Stigma
Eli adalah perempuan berumur untuk menemukan pasangan hidup yang
hampir tiga puluh tahun. Penampilannya paling cocok. Pengalamannya berpacaran
menarik dan mandiri secara finansial dengan sejumlah laki-laki di masa lalu
karena ia bekerja sebagai asisten artis di membuktikan bahwa Eli adalah
perusahaan Glow Event Company. perempuan heteronormatif yang memiliki
Kesukaannya pada pekerjaan itu kemampuan menjalin hubungan
membuatnya terlena dan hampir lupa pada percintaan dan tidak memiliki masalah
pernikahan, kalau saja Lisa, adiknya yang kejiwaan atau fisik tertentu. Para laki-laki
baru berusia 23 tahun, tidak menyatakan itu pun memperlakukannya dengan baik
akan segera menikah. Eli pun menyadari dan hal tersebut membuatnya senang.
bahwa dirinya tidak mau ‘dilangkahi’. Meskipun memiliki karakter mandiri,
namun saat itu ia tidak sedang menjalin sebagai perempuan biasa, ada saatnya Eli
hubungan percintaan dengan siapa pun.
senang saat dimanjakan, bergantung, dan bagi perempuan untuk bergegas mencari
diberi perhatian oleh laki-laki. suami, ‘sebelum semuanya terlambat’.
Konstruksi masyarakat terhadap Stigma kelajangan ini memengaruhi
perempuan lajang yang sangat kentara di mentalitas Eli menjadi tertekan dan tidak
dalam novel 90 Hari Mencari Cinta nyaman karena merasa ‘tidak laku’.
adalah aksentuasi pada stigma dan mitos,
bahwa bila seorang perempuan dilangkahi Tiga puluh tahun usiaku! Sudah
tujuh tahun bekerja seperti kuda,
adiknya menikah, perempuan itu akan
dan yang aku punya? Hanya
hidup melajang sampai akhir hayat. tumpukan tas dan sepatu. […]
Tiga puluh. Brak! Pintu jadi PNS
Namun, mitos, dalam hal ini dari budaya
tertutup. Brak! Pintu ke karier
Jawa, juga mengganjar para lajang yang model tertutup. Brak! Pintu jadi
karyawan level pertama tertutup
dilangkahi ini dengan ‘pelipur lara’ yang
[…] dan yang paling parah::
disebut sebagai ‘pelangkah’. Braaakkk! Pintu ke Mr. Perfect juga
tertutup. (Terate, 2019: 12-13)
“Pelangkah?”
“Iya, itu kewajiban adik yang sudah
melangkahi kakaknya. Kalau kamu Ada apa dengan usia tiga puluh?
nggak minta, bisa bener-bener sulit Apa usia itu memancarkan sinyal
jodohmu, mintalah pelangkah yang “perawan tua” yang membuat laki-
wajar. Jangan terlalu mudah, laki menjaga jarak? Meski mereka
jangan terlalu sulit. Jangan terlalu tertarik padamu, mereka akan
mahal, tapi juga jangan murah. Itu berpikir, “Hm, cewek ini menarik,
menghina adikmu namanya.” […] tapi kenapa dia masih jomlo? Ah,
“Dan jangan sampai Tristan pasti dia cewek matre yang hanya
melangkahimu! Dilangkahi adik doyan cowok tajir. Atau kariernya
perempuan saja sudah gawat, cemerlang banget dan bikin cowok
dilangkahi adik laki-laki? Gawatnya minder.” Itu masih mending
dobel. Contohnya Bulik Mia tadi.” daripada: dia pasti lesbi, dia tidak
(Terate, 2019: 129) perawan lagi, dia punya masalah
kejiwaan, atau dia “punya masalah
dengan kesuburan”.
Seperti diburu waktu, perempuan
(Terate, 2019: 14-15)
dikonstruksi oleh lingkungannya untuk
menikah sesegera mungkin. Gagasan yang Kedua kutipan di atas
ditanamkan dalam benak setiap orang merepresentasikan pandangan umum
adalah bahwa semakin berumur, peluang bahwa kelajangan perempuan dewasa
perempuan untuk mendapatkan pasangan adalah sebuah kategori sosial yang
pun dianggap semakin kecil. Usia 30 ‘bermasalah’, bahkan bagi mereka yang
tahun merupakan lampu merah pengingat menempati posisi lajang itu sendiri. Status
lajang akan mengundang prasangka yang mereka dapat menjadi sangat akrab dan
membuat perempuan yang mengalaminya terbuka. Dalam novel 90 Hari Mencari
dilabeli secara peyoratif, mulai dari Suami, Sandra dan Rosa, sahabat Eli,
‘perawan tua’, ‘banyak menuntut/ terungkap memiliki andil dalam
materialistis’, lesbian, tidak perawan lagi, membantunya mencari calon suami
sakit jiwa, hingga mandul. Eli sebagai dengan cara membuat daftar alternatif
representasi perempuan lajang menyikapi tempat-tempat yang potensial untuk
situasinya secara dilematis. Di satu sisi, ia menemukan pasangan.
menikmati kebebasan, kemandirian, dan Mengikuti saran mereka, Eli pun
prestasi, namun di sisi lain, ada perasaan pergi ke tempat fitnes yang sebelumnya
tertekan, kesepian, serta keinginan untuk tidak pernah didatangi. Ia juga bermain
menuntaskan kelajangan tersebut. Usia aplikasi Tinder untuk menemukan
tiga puluh seperti menjadi penanda dari pasangan yang cocok. Namun, meskipun
ambang batas pilihan untuk masa depan. diburu waktu, perempuan ini tidak begitu
saja memilih sembarang laki-laki yang
Tiga puluh! Tiga puluh! Angka itu ada di sekitarnya karena ia memiliki
berdentam-dentam seperti drum.
kriteria calon suaminya harus “tampan
Padahal memangnya kenapa bila
aku sudah tiga puluh? Aku tetap dan mapan”. Dengan belajar dari
sama. Tak ada tanduk yang muncul
pengalaman sahabat-sahabatnya, Eli pun
di dahiku atau kutil di seluruh
permukaan kulitku. Tapi fakta mulai memilah hal-hal yang berpotensi
bahwa tak ada laki-laki yang
baik atau buruk baginya di kemudian hari.
beredar di orbitku, membuat semua
ini tidak masuk akal. Kayaknya aku Ia mencoba menyikapi kelajangannya
sudah menjadi ogre dalam semalam
dengan pandangan positif. Dalam hal ini,
atau minimal ada aura yang
menyelubungiku dan membuatku dapat dinyatakan bahwa Eli menghadapi
tampak seperti … seperti apa ya?
stigma kelajangannya dengan cara
Seperti guru TK tua yang bijaksana,
begitu menentramkan, enak diajak vokasional, secara aktif ia melakukan
bicara, tapi sudah itu saja.
upaya untuk mencari suami. Ia tidak
(Terate, 2019: 16)
berusaha bersembunyi atau menghindar
Sebagaimana dinyatakan Hurlock dari realitas tersebut.
(1990: 262), perempuan dewasa lajang
Usia tiga puluh kupikir
menjadi lebih selektif memilih teman.
menguntungkan karena aku sudah
Namun, meskipun memiliki sedikit teman, “menemukan diriku”, apa pun
artinya itu. Aku tak ragu tampil
sebagai cewek cerdas dan mandiri kadang merasa malu karena dalam
sebagaimana adanya diriku (waktu
lingkungan pergaulannya, keperawanan
remaja kadang aku sengaja tampil
lenjeh, manja, dan tak berdaya, bukan lagi merupakan hal penting yang
berharap dengan begitu cowok-
perlu dijaga. Kondisi ‘perawan’
cowok jatuh cinta padaku. Konyol
banget). Aku tak lagi terintimidasi cenderung menunjukkan karakter naif dan
dengan tren dan sebagainya. Aku
tidak berpengalaman. Lebih jauh lagi,
bahkan tak peduli bila pada hari
kencanku, ada jerawat nongol di perempuan dewasa yang masih perawan
jidatku. (Terate, 2019: 200-201)
berpotensi dilabeli sebagai perempuan
‘tidak laku’ atau ‘tidak ada yang mau’.
Ide di dalam kutipan di atas juga
Stigma ini pun memperburuk citra
sesuai dengan teori Hurlock (1990: 255),
perempuan lajang, yang diposisikan
bahwa minat perempuan untuk
semakin inferior dalam masyarakat,
meningkatkan penampilan mulai
karena dianggap tidak normal dan di luar
berkurang menjelang umur tigapuluhan.
kewajaran.
Namun, minat tersebut dapat kembali
muncul jika ada tanda-tanda ketuaan yang
Dan pengakuan ketiga: sebenarnya
mendorong kecemasan individu. Hal … aku … eh … masih perawan.
Seratus persen. Nggak tahu deh
inilah yang terjadi pada Eli. Menjelang
kenapa aku malu mengakuinya. Tapi
umurnya yang ketiga puluh, ia semakin aku memang MALU mengakuinya.
Rasanya kayak mengakui aku
yakin untuk menjadi dirinya sendiri.
adalah manusia terakhir yang
Wacana seksualitas prapernikahan, belum berevolusi. […] cewek baik-
baik harus tetap perawan sebelum
yang merupakan salah satu fokus bahasan
menikah. (Terate, 2019: 15)
feminisme radikal, tidak mendapat tempat
dalam novel 90 Hari Mencari Suami. Meskipun tidak ditampilkan sebagai
Meskipun sedang dalam keadaan perempuan yang kaku atau religius, Eli
‘terdesak’ untuk mendapatkan pasangan, memiliki prinsip untuk mempertahankan
Eli tidak merasa dirinya harus kesuciannya dan menunda hubungan
menyerahkan diri begitu saja, ketika ada seksual hingga setelah menikah nanti.
laki-laki yang ia sukai dan menyukainya. Oleh karena itu, ia memilih untuk putus
Ia berusaha menjaga diri karena dirinya dengan Jay padahal mereka baru saja
masih perawan. Meskipun demikian, menjalin hubungan. Eli tidak dapat
perempuan itu tidak benar-benar bangga menerima prinsip laki-laki itu yang
dengan keadaannya. Sebaliknya, Eli menganggap hubungan seksual sebagai
hal yang wajar dilakukan pasangan yang prinsipnya. Dia bergaya hippie dan
tak ada yang berani macam-macam
sedang berpacaran (hlm. 166).
dengannya, termasuk Vivian.
Eli juga tidak dapat menolerir laki- (Terate, 2019: 63-64)
laki yang melakukan perselingkuhan atau
Prinsip praktis dan pragmatis yang
kekerasan, baik secara fisik maupun
diadopsi Emma yang menolak perkawinan
verbal. Itulah sebabnya, ia memilih
tersebut relatif memengaruhi pandangan
berpisah dengan Dewa, laki-laki yang
Eli. Ia mendapat pemahaman bahwa tanpa
sebenarnya dianggap memenuhi hampir
menikah pun, perempuan dapat merasa
semua harapannya. Dalam pandangan Eli,
bahagia sepanjang hal itu memang
laki-laki itu memiliki kekurangan yang
menjadi pilihan sadarnya. Meskipun
akan sangat mengganggunya jika mereka
demikian, Eli melihat bahwa Emma
terus berhubungan bahkan menikah. Dewa
menempuh jalan tersebut karena ada
dinilainya sangat posesif, pemarah, dan
ketakutan dan trauma akibat perceraian
kurang bertanggung jawab (hlm. 297).
orang tuanya.
Selain mendapat gambaran tentang
Setelah mengupayakan berbagai
pernikahan dari sahabat-sahabatnya, Eli
cara untuk menemukan suami dalam
juga mendapat pengaruh dari para tokoh
waktu yang singkat, pada akhirnya Eli pun
perempuan yang memang memilih untuk
tiba pada kesadaran bahwa tidak semua
tidak menikah karena berbagai alasan
hal yang telah ia rencanakan dapat
personal. Salah satu perempuan lajang di
diwujudkan sesuai keinginan. Sekalipun
dalam keluarganya yang memberi
kehidupan telah menjadi sangat modern
inspirasi adalah Bulik Mia, adik ibunya,
dan (seharusnya) lebih mudah dijalani,
yang menjadi dosen favorit di kampus
ada hal-hal yang tidak dapat dikendalikan
tempatnya mengajar. Perempuan lajang
manusia. Selain itu, situasi yang tidak
lain yang menarik perhatian Eli adalah
menyenangkan menurutnya harus
Emma, seniornya di perusahaan.
ditanggapi dengan sudut pandang lain,
sehingga ada hikmah yang didapatkan.
Emma lajang, dalam arti belum
menikah (dan jalang). Dia punya
pacar yang gosipnya sudah tinggal
Ok, untuk yang terakhir, aku sudah
bersama. Umurnya 37 tahun dan
memutuskan untuk tidak peduli. Jadi
nggak berniat menikah. “Kenapa
aku tak peduli. Yeah, tentu saja aku
harus punya mobil, kalau ada Grab
tak peduli. Memangnya kenapa
yang bisa lo panggil tiap saat. Lebih
kalau aku belum punya calon saat
murah dan nggak ribet,” adalah
popok, sale susu, atau gemblungnya dengan menjadi ibu rumah tangga setelah
asisten rumah tangga mereka.
menikah.
Mereka tak lagi punya waktu untuk
diajak nongkrong di kafe atau
nonton film ABG sambil jejeritan.
“Lis, dengar aku. Kalau kamu
Norak, kata mereka. […] Andai
menikah, kamu nggak akan punya
mereka mau nongkrong ngopi pun,
kesempatan berkarier atau kuliah
pasti hanya sebentar karena selalu
setinggi-tingginya. Puas-puasin
ada krisis, “anakku demam”, “ibu
dulu masa mudamu.”
mertuaku mau datang, inspeksi
“Tapi aku sudah puas,” Alisa
mendadak”, “duh, nanny-ku mau
terdengar mantap. ”Aku sudah
pulang kampung”, dan seterusnya.
bilang, aku mungkin bisa kuliah di
Nongkrong lebih lama sedikit selalu
Jepang. Tapi kalau tidak bisa pun,
diselingi telepon-telepon untuk
tidak apa-apa. Kurasa aku bakal
mengecek ketersediaan popok atau
hepi-hepi aja jadi ibu rumah
susu. (Terate, 2019: 16-17)
tangga.”
Mengejutkan! Oh, Kartini pasti
Kutipan tersebut menunjukkan menangis mendengarnya.
(Terate, 2019: 34)
ketidaksukaan Eli pada gambaran
perempuan berkeluarga, yang mungkin
Dalam bayangan Eli, perkawinan
akan melekat padanya juga jika ia
seharusnya menyenangkan dan adil bagi
menikah kelak. Ia tidak ingin
kedua belah pihak. Ia juga membayangkan
kebebasannya bersenang-senang
akan memperlihatkan kesenangan yang
dikekang. Situasi ini sejalan dengan kajian
didapatkannya dalam perkawinannya
Hurlock (1990: 266) yang menguraikan
kelak melalui media sosial, sebagaimana
bahwa perempuan masa kini
yang saat ini lazim dipamerkan oleh
mengharapkan menjadi istri dan ibu,
pasangan ‘yang berbahagia’.
namun menolak konteks tradisional dari
kedua peran itu. Yang Eli harapkan
Setelah menikah dia dan suaminya
sebenarnya adalah berada dalam institusi bikin usaha bareng, backpacking
sepuluh hari di Australia naik van,
perkawinan yang menempatkan istri dan
umroh bareng, bikin rumah sendiri-
suami pada posisi sederajat. Mereka akan dan tiap tahapnya mereka upload di
Instagram. Rumahnya biasa-biasa
berbahagia dan menanggung seluruh
aja, tetapi entah gimana banyak
beban rumah tangga bersama, yang berarti yang nge-like, lalu mereka punya
anak dan blam! Pada usia tiga
Eli ingin tetap bekerja. Oleh karenanya, ia
tahun anak ini udah femes di
merasa heran mendengar keinginan Lisa, Instagram karena fotonya menurut
orang-orang imut banget. Bah,
adiknya, yang merasa baik-baik saja
semua anak kecil begitu juga, kali!
Oh, astaga, berat kuakui, tapi AKU Sandra tidak bahagia. Kurasa Aron
INGIN SEMUA itu. Soalnya pun tidak. (Terate, 2019: 185)
mereka PUNYA semua itu dan aku
nggak punya! Persetan. (Terate,
Eli pun mengamati pengalaman
2019: 59)
kehidupan pernikahan Pak Dion dan Bu
Kutipan tersebut menunjukkan Mimi, kliennya. Sejak pertemuan pertama,
bahwa keluarga normatif membutuhkan terlihat bahwa Pak Dion bersikap sangat
rumah sebagai latar kehidupannya. Bila sabar menghadapi perilaku dan kata-kata
mobil menjadi simbol status utama bagi istrinya yang sangat pahit dan sinis. Eli
remaja, Packard dalam Hurlock (1990: mengira laki-laki itu berusaha
257) menjelaskan bahwa pada orang memakluminya karena Bu Mimi
dewasa, rumahlah yang menjadi simbol menderita sakit kanker. Ternyata di
status penting karena merupakan tempat kemudian hari, Eli mengetahui bahwa di
untuk memamerkan ‘budaya’ dan masa lalu Pak Dion pernah berselingkuh
kekayaannya. Di dalam rumah, orang dan kemudian diusir oleh sang istri.
dapat memamerkan barang, buku-buku, Namun, ketika ia terpuruk, Bu Mimi
kristal, lukisan, pakaian, dan sebagainya. bersedia menerima suaminya kembali.
Mobil tidak dapat menjadi lahan pameran
materi seperti itu. Eli meyakini bahwa Aku teringat Pak Dion dan Bu Mimi.
Cinta berarti saling menerima.
materi memang diperlukan untuk
Cinta berarti memaafkan. Apakah
membangun kebahagiaan. Namun, dari aku harus memaafkan juga?
Tunggu! Memangnya aku cinta
pengalaman Sandra, sahabatnya, ia
padanya? […]
menemukan bahwa materi tidak menjamin Apakah aku akan memaafkan
pasanganku bila dia selingkuh?
kebahagiaan dan kelanggengan sebuah
Tidak! Aku tak bakal memaafkan
perkawinan. pengkhianatan semacam itu. Aku
menghela napas. Kurasa setiap
orang punya nilai-nilai sendiri
Awalnya aku mendambakan menyangkut hubungan percintaan.
pernikahan, tetapi setelah apa yang Apa yang bisa diterima dan apa
menimpa dua temanku, aku tak yang bisa dimaafkan.
yakin lagi. Sebenarnya, untuk apa (Terate, 2019: 281)
sih pernikahan itu? Lihat Sandra.
Orang-orang mengatakan mereka
Eli juga mendapat pembelajaran dari
pasangan sempurna, tampan dan
cantik, uang tak kurang, sama-sama hubungannya dengan Dewa. Ia memang
pintar, dan masing-masing punya
menyukai tampilan fisik Dewa dan
karier cemerlang. Tetapi lihat,
kemapanannya yang sangat sesuai dengan untuk memutuskan tidak lagi berhubungan
ekspektasi. Namun, Eli tidak dapat dengan laki-laki itu. Ia menolak untuk
menerima karakter kasar, penindas, dan berada dalam posisi dikuasai, karena yang
posesif pada laki-laki itu yang jauh di luar diinginkannya adalah perkawinan dalam
dugaannya. Meskipun ia sempat berharap posisi setara.
Dewa menjadi pasangannya di kemudian Berbeda dengan Sandra yang tidak
hari, pada akhirnya ia menyadari tidak menyukai anak dalam perkawinannya, Eli
ingin menghabiskan masa depan dengan menganggap bahwa keluarga yang ia
laki-laki yang berpotensi menyakitinya inginkan adalah keluarga dengan anak-
itu. Terlebih lagi, Dewa ternyata meyakini anak di dalamnya.
stigma buruk terhadap perempuan lajang.
Ah, aku pasti akan mengundangnya
untuk memotret bayiku bila aku
“Jadi kamu nggak mau
punya bayi suatu hari nanti. Hah,
berkompromi?” Dewa menatapku
tunggu sebentar. Apakah barusan
tajam. Menusuk.
aku memikirkan untuk punya bayi?
Hah, siapa yang tidak mau
Aku dan Dimi belum
berkompromi? Bukannya kamu?
membicarakannya, tetapi kurasa
“Pantas saja kamu tidak menikah
diam-diam ada kesepakatan di
sampai saat ini. Tak ada laki-laki
antara kami; bayi akan kami terima
yang mau dengan perempuan
dengan sukacita bila dia memang
keras kepala sepertimu.”
tiba. (Terate, 2019: 358)
Apa? Aku kaget. Tanpa sadar
kutentang matanya. Mata itu
menyala dengan amarah. Tetapi Pada akhirnya, Eli mendapatkan
anehnya, aku tidak takut.
harapannya, yaitu laki-laki yang
“Oya? Aku nggak peduli. Lebih baik
aku tak menikah daripada dipasung mencintainya dan ia cintai, Dimi.
laki-laki egois sepertimu.”
Meskipun Dimi tidak memenuhi kriteria
(Terate, 2019: 297)
‘tampan dan mapan’ yang disyaratkan dan
Eli, yang sebelumnya percaya bila ‘hanya’ bekerja sebagai PNS di kantor
Dewa menyukai dirinya apa adanya, catatan sipil, Eli merasa bahagia.
merasa terkejut karena laki-laki Pernikahan mereka memang terjadi
berpendidikan tinggi pun ternyata percaya setelah melebihi batas 90 hari yang
pada stigma perempuan lajang. Karena ditetapkannya dulu, namun Eli tetap
telah memiliki kriteria tentang sebuah bersyukur karena telah mendapatkan
perkawinan yang setara dan dapat banyak pengalaman berharga. Dia merasa
membuatnya bahagia, Eli pun memilih pernikahan membawa kebaikan dan
kebahagiaan asal dilakukan dengan orang hidup sebagaimana yang dimiliki oleh
yang tepat, di saat yang tepat, dengan laki-laki.
alasan yang tepat (Terate, 2019: 286). Perkawinan juga tidak seharusnya
Dari pembahasan bagian ini, dimotivasi oleh perasaan takut (dilangkahi
terungkap bahwa perkawinan bagi atau dilekati stigma), melainkan sebagai
perempuan tidak seharusnya dilakukan pilihan sadar dari individu yang
karena perasaan takut (dilangkahi atau menjalaninya. Konsep perkawinan yang
dilekati stigma) melainkan sebagai pilihan ideal adalah yang memosisikan
sadar dari individu yang menjalaninya. perempuan dan laki-laki yang ada di
Konsep perkawinan yang ideal adalah dalamnya pada kedudukan setara.
yang memosisikan perempuan dan laki- Sebagai implikasi dari penelitian ini,
laki yang ada di dalamnya pada terungkap bahwa seperti dalam sebagian
kedudukan setara. besar karya fiksi kontemporer Indonesia
lainnya, kelajangan tidak benar-benar
5. Penutup dirayakan atau menjadi pilihan protagonis
Hasil penelitian terhadap novel
perempuan. Pada akhirnya, perempuan
metropop 90 Hari Mencari Suami
lajang tetap kembali berada di bawah
menunjukkan bahwa dalam situasi modern
konstruksi patriarki dengan menerima
sekalipun, kelajangan masih merupakan
perkawinan sebagai alasan untuk
hal yang tidak wajar dan cenderung
menghindari stigma.
dianggap aneh oleh masyarakat jika
dipilih sebagai jalan hidup oleh
perempuan dewasa. Hal tersebut terjadi
karena perempuan telah dikonstruksi
secara sosial, di antaranya melalui mitos-
mitos. Perempuan lajang dianggap sebagai
mahluk yang tidak utuh karena tidak
memiliki pasangan (laki-laki). Namun,
terungkap bahwa setelah menempuh cara
vokasional, protagonis perempuan
mendapatkan kesadaran jika mitos itu
tidak benar. Sebagai perempuan dewasa,
ia memiliki hak untuk menentukan jalan
Daftar Pustaka
Beauvoir, S. d. 2016. Second Sex: Fakta Major, B., O’Brien, L.T. 2005. The Social
dan Mitos. Jakarta: PT. Buku Seru. Psychology of Stigma. Annual
Review of Psychology, 56(393-
Djajanegara, S. 2003. Kritik Sastra 421).
Feminis: Sebuah Pengantar.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mami, L. S. 2015. Harga Diri, Dukungan
Sosial, dan Psychological Well
Fahmi, R. F. A., R. . 2020. Kesetaraan Being Perempuan Dewasa yang
Perempuan dan Polemik Budaya Masih Lajang. Persona, Jurnal
Patriarkal dalam Novel Cinta Suci Psikologi Indonesia, 4(3), 216-224.
Zahrana. Deiksis, 7(1), 36-45.
Septiana, E., Syafiq, M. 2013. Identitas
Greitemeyer, T. 2009. Stereoptypes of “Lajang” (Single Identity) dan
Singles: Are singles what we Stigma: Studi Fenomenologi
think? European Journal of Social Perempuan Lajang di Surabaya.
Psychology, 39, 368-383. Jurnal Psikologi Teori & Terapan,
4(1), 71-86.
Humm, M. 2007. Ensiklopedia Feminisme
(M. Rahayu, Trans.). Yogyakarta: Taylor, A. 2012. Single Women in
Fajar Pustaka Baru. Popular Culture: The Limits of
Post-feminism. New York:
Hurlock, E. B. 1990. Psikologi Palgrave Macmillan.
Perkembangan: Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan. Terate, K. 2019. 90 Hari Mencari Suami.
Jakarta: Erlangga. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Intan, T. 2020. Resiliensi Perempuan
Lajang dalam Metropop Ganjil- Widianti, N. R., S.A.; Labibah, S.;
Genap Karya Almira Bastari. Solihin, N. 2020. Representasi
Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Perjuangan Perempuan dalam
Sastra, 4(1), 47-65. Novel Wedding Agreement karya
Mia Chuz. Muwazah Jurnal Kajian
Intan, T. 2021. Perempuan Lajang dan Gender, 12(1), 53-70.
Perjodohan dalam Novel Jodoh
Terakhir Karya Netty Virgiantini. Wijayanti, E. 2019. Ulasan Novel 90 Hari
Alinea: Jurnal Bahasa Sastra dan Mencari Suami Karya Ken Terate.
Pengajaran, 10(1), 1-14. https://www.fimela.com/lifestyle-
relationship/read/4137919/ulasan-
Intan, T., Elga Ahmad Prayoga. 2021. novel-90-hari-mencari-suami-
Strategi Kebertahanan Perempuan karya-ken-terate diakses tanggal 14
Lajang dalam Novel Cincin September 2020
Separuh Hati Karya Netty
Virgiantini. Fonema: Edukasi Wiyatmi. 2012. Kritik Sastra Feminis:
Bahasa dan Sastra Indonesia, 4(1), Teori dan Aplikasinya dalam
1-17. Sastra. Yogyakarta: Ombak.