Anda di halaman 1dari 24

KETIDAKADILAN TERHADAP WANITA PADA NOVEL PASUNG JIWA KARYA

OKKY MARDASARI: KAJIAN FEMINISME SOSIALIS

Dosen Pengampu:
Dra. Titik Maslikatin, M. HUM.

Oleh Kelompok 2
Safira Tri Ananda 210110201006
Khutfiatul Angel Aulia 210110201003
Oktafiani An Nisa 210110201010
Cahya Rahmadhan M. 210110201054
Nurul Aswita 210110201055
Bella Sofia Maharanie 210110201065
Mazia Ulfa 210110201077
M. Akbar Naufal Fahrezi 210110201085

SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS JEMBER
2023
PRAKATA

Kami selaku penulis makalah ini mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa atas berkat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Ketidakadilan Terhadap Wanita pada Novel Pasung Jiwa karya Okky Mardasari:
Kajian Feminisme Sosialis”

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini untuk memenuhi tugas yang telah
diberikan pada mata kuliah Kajian Prosa Indonesia. Selain itu, makalah ini bertujuan untuk
menambah wawasan mengenai feminisme sosialis dari Novel Pasung Jiwa karya Okky
Mardasari bagi para pembaca dan juga penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra. Titik Maslikatin, M.HUM.
selaku dosen pengampu pada bidang studi Kajian Prosa Indonesia kelas A. Ucapan terima
kasih juga disampaikan kepada Okky Mardasari selaku penulis dari Novel Pasung Jiwa
karena telah menciptakan media berupa karya sastra yang tentunya menjadi wadah untuk
penulis melakukan analisis sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Terlepas dari itu semua, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan
kesalahan dalam penyusunan makalah ini baik dari segi materi maupun dari segi bahasa.
Makalah ini tidaklah sempurna, namun penulis telah menyusunnya dengan semaksimal
mungkin. Oleh karena dengan tangan terbuka, penulis menerima kritik serta saran dari
pembaca demi perbaikan makalah ini.

Jember, 29 April 2023

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Abams dalam Nurgiyantoro (2009:2) karya fiksi merupakaan suatu khayalan atau
rekaan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan sejarah, dan merupakan kejadian yang tidak
sungguh-sungguh atau rekaan dari pengarang. Fiksi didalamnya banyak menceritakan tentang
hubungan antar manusia dengan manusia, dengan tuhannya serta hubungan dengan alam
semesta. Meskipun karya fiksi merupakan sebuah rekaan tetapi pengarang biasanya berharap
karyanya dapat bermanfaat bagi para pembacanya salah satunya yaitu sebagai hiburan,
ataupun diambil nilai nilai yang terkandung didalamnya untuk diterapkan dalam kehidupan.

Menurut Nurgiyantoro (2009:10), novel merupakan suatu karya sastra yang bersifat
imajiner yang menawarkan sebuah kehidupan fiksi yang diciptakan oleh pengarang yang
dibangun oleh beberapa unsur intriksik, seperti peristiwa, tema, plot, tokoh, latar, sudut
pandang dan lain lain, sebuah karya sastra yang tidak terlalu pendek namun juga tidak terlalu
panjang, sehingga dapat dikatakan cukup. Novel biasanya tidak terikat dengan konflik yang
banyak menyertai tetapi mesti ada salah satu konflik yang paling menonjol dalam novel
sehingga dapat dipahami isi cerita dari novel tersebut.

Novel Pasung Jiwa merupakan sebuah buku novel karya Okky Madasari yang
menceritakan tentang seorang laki-laki yang berasal dari keluarga yang sangat berkecukupan
dengan orang tua yang sama-sama hebat ibunya yang seorang dokter dan ayahnya yang
seorang pengacara. Sasana merupakan anak yang sangat patuh kepada orang tuanya, sehingga
apapun yang orang tuanya inginkan pasti ia jalankan. Pada suatu malam, Sasana keluar jalan-
jalan mencari udara segar, tak disangka Sasana menjumpai suatu acara yang sangat ramai,
yang didalamnya banyak sekali orang orang berjoget dengan wanita berada didepan sambil
bernyanyi dan bergoyang, acara dangdutan namanya. Tak terasa dengan masuk ke acara itu
Sasana sangat senang dengan tidak sengaja ikut bergoyang menikmati lagu yang
dinyanyikan, jiwanya terasa bebas dan senang, perasaan yang tak pernah ia rasakan
sebelumnya saat bermain piano.

Tak terasa Sasana sekarang sudah menginjak usia dewasa, ia berkuliah jauh dari
tempat tinggalnya. Karena jaraknya yang jauh dan pengawasan orang tuanya pun kurang
sehingga luapan jiwa yang sedari kecil ia tahan akhirnya keluar dan menjadikan Sasana
seorang biduan dangdut dipangkalan warung tempat ia bernyanyi. Sasana bernyanyi hingga
diudang ke acara panggung tujuh belasan yang merupakan panggung terbesar dan pertama
yang ia lakukan, padahal niat keluar kota ia hanya untuk berkuliah, tetapi perkuliahan tidak ia
lakukan malah bernyanyi dari acara satu keacara lainnya.

1.2 Rumusan Masalah

Sebuah masalah sangat penting untuk melakukan penelitian atau analisis. Penelitian
tidak dapat dilakukan jika tidak ada permasalahan, yang mempunyai peran yang cukup
penting yaitu menjadi dasar adanya penelitian atau analisis. Permasalahan tentunya
diperlukan jawaban untuk menyelesaikannya dan jawaban tersebut haruslah dapat
dipertanggungjawabkan oleh penulis. Permasalahan yang akan diteliti dalam makalah ini
adalah sebagai berikut.

1 Bagaimana keterkaitan antar unsur intrinsik pada novel Pasung Jiwa karya Okky
Madasari yang meliputi tema, alur, penokohan, sudut pandang?
2 Bagaimana pendekatan feminisme sosialis pada novel Pasung Jiwa karya Okky
Madasari?
1.3 Tujuan

Tujuan merupakan sesuatu hal yang ingin dicapai dalam suatu penelitian. Tujuan
penulis dalam penulisan makalah ini yakni:

1. Untuk menjelaskan keterkaitan antar unsur intrinsik pada novel Pasung Jiwa karya
Okky Madasari.
2. Untuk menjelaskan pendekatan dari feminisme sosialis dalam novel Pasung Jiwa
karya Okky Madasari.
1.4 Manfaat

Adapun manfaat yang ingin yang ingin dicapai penulis dalam penulisan makalah ini
adalah:

1. Pembaca dapat memahami keterkaitan antar unsur intrinsik pada novel Pasung Jiwa
karya Okky Madasari.
2. Pembaca dapat memahami pendekatan feminisme sosialis dalam novel Pasung Jiwa
karya Okky Madasari.

1.5 Tinjauan Pustaka


Untuk menghindari plagiasi terhadap karya tulis lainnya, maka dari itu diperlukan
adanya sebuah tinjauan pustaka. Fungsi dari tinjauan pustaka ialah untuk mengetahui apakah
ada karya ilmiah sebelumnya yang mengangkat dan masih berhubungan dengan novel Pasung
Jiwa karya Okky Madasari dengan pendekatan Feminisme Sosialis. Berdasarkan penelusuran
artikel ilmiah yang masih memiliki keterkaitan dengan novel Pasung Jiwa karya Okky
Madasari, berikut tinjauan pustaka yang disajikan.

Jurnal Ilmu Kebahasaan dan Kesusastraan dengan judul Persoalan-Persoalan Sosial


Dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari. Jurnal tersebut membahas tentang
persoalan-persoalan sosial dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari menggunakan
pendekatan sosiologi sastra. Persoalan yang dibahas dalam jurnan tersebut diantaranya
persoalan sosial kemiskinan, persoalan sosial kejahatan, persoalan sosial disorganisasi,
persoalan sosial generasi muda, persoalan sosial konflik, serta persoalan sosial birokrasi.

Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Bahasa Indonesia dengan judul analisis sosiologi
novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari yang ditulis oleh Rara oktaria Nanda program pasca
sarjana pendidikan bahasa Indonesia FKIP universitas Bengkulu tahun 2018. penelitian
tersebut berisi tentang struktur fakta sosial dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari
menggunakan teori sosiologi sastra serta menggunakan pendekatan deskriptif
dalam memuat data.

Tesis Maryanto Wibowo program pasca sarjana Universitas Negeri Jakarta dengan
judul Kepribadian Tokoh Utama Dalam Novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari (Kajian
Psikologi) tahun 2020. Tesis tersebut membahas tentang kepribadian tokoh utama yang
terdapat dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari menggunakan kajian psikologi sastra
serta pendekatan deskriptif kualitatif.

1.6 Landasan teori


Sugiyono (2010: 54) mengatakan bahwa landasan teori adalah alur logika atau
penalaran yang merupakan seperangkat konsep, definisi, dan proporsi yang disusun secara
sistematis. Landasan teori yang di pakai dalam analisis ini ialah teori struktur naratif Seymour
chatman. Teori ini mengembangkan konsep cerita dan wacana. Secara sederhana cerita
merupakan serangkaian peristiwa yang disusun atau di tulis dengan menambah atau
mengurangi dari cerita aslinya agar terlihat lebih menarik, sedangkan wacana merupakan
susunan peristiwa dalam satu cerita.
Feminisme adalah gerakan sosial yang bertujuan untuk memperjuangkan kesetaran
gender antara laki-laki dan perempuan. Feminis memiliki banyak aliran salah satunya adalah
femins sosialis. Feminis sosialis merupakan aliran feminis yang menggabungkan pemikiran
feminis dan sosialis, sehingga menekankan pentingnya memahami dan mengkritisi
keterkaitan antara ketidakadilan gender dan kelas dalam masyarakat. Menurut (fakih dalam
Nurazi 2020) penindasan perempuan terjadi di kelas manapun, bahkan revolusi sosialis tidak
serta merta dapat langsung menaikan posisi perempuan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Tema
Menurut Nurgiyantoro (2002:82) tema mayor merupakan arti dari gagasan utama
yang menjadi pokok atau ide utama karya sastra. Tema mayor mengandung secara
keseluruhan. Tema mayor dari novel Pasung Jiwa karya Okky Mardasri adalah tentang
sebuah arti kebebasan dalam mengekpresikan diri. Hal tersebut dapat dilihat dalam data
berikut,
Seluruh hidupku adalah perangkap. Tubuhku adalah perangkap pertamaku. Lalu
orangtuaku, lalu semua orang yang kukenal. Kemudian segala hal yang kuketahui,
segala sesuatu yang kulakukan. Semua adalah jebakanjebakan yang tertata di
sepanjang hidupku. Semuanya mengurungku, mengungkungku, temboktembok
tinggi yang menjadi perangkap sepanjang tiga puluh tahun usiaku.(Pasung Jiwa : 9)
Pada data diatas bisa dilihat bahwa tokoh utama dalam novel ini yaitu Sasana bermonolog
bahwa hidupnya selalu dalam perangkap, bisa dibilang karena jenis kelamin tokoh utama
Sasana adalah laki-laki, tentang bagaimana dia harus terbentuk sesuai lelaki yang ada
diluaran sana, gagah, berani, dan perkasa. Namun, jika dirinya sendiri ingin menjadi
lemah lembut, indah, dia tidak mendapatkan hal tersebut, dia tidak bisa bebas
mendapatkan apa yang dirinya sendiri inginkan, oleh karena itu tema kebebasan dalam
mengekpresikan diri kami tentukan sebagai tema mayor novel Pasung Jiwa..
Menurut Nurgiyantoro (2002:82) tema minor adalah tema yang melengkapi tema
mayor. Selain menjadi pelengkap dari tema mayor, tema minor juga berfungsi sebagai
latar belakang cerita, dan agar cerita menjadi lebih hidup. Tema minor juga dapat
diartikan sebagai pokok pikiran tambahan dalam cerita. Contoh dari tema minor yaitu
setiap tokoh dalam cerita memiliki watak dan pemikiran yang berbeda, Setiap karakter
mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, oleh sebab itu setiap tokoh atau
karakter akan melengkapi satu sama lain.
Tema Minor dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Mardasari adalah Ketidakadilan
Terhadap Wanita, yang terdapat dalam data berikut,
Aku belum selesai menyanyikan satu lagu saat salah seorang lelaki itu meremas tonjolan
dadaku. Ia melakukannya sambil tertawa. Temantemannya yang melihat pun ikut terbahak.
Bau minuman keras menyengat ketika lakilaki itu mendekat. Mereka semua sedang
mabuk. Remasan yang begitu cepat. Meninggalkan perasaan ganjil, antara rasa kehilangan dan
rasa dipermalukan. Pikiranku tak mampu segera menerjemahkan apa yang kurasakan. Selama
beberapa saat aku hanya bengong, tak bereaksi apaapa. (PasungJiwa:61)
Dalam data diatas, bisa dilihat kenapa penulis berpikir bahwa tema minor dalam novel
tersebut adalah ketidakadilan terhadap wanita, karena menurut penulis bahwa dari data
tersebut bisa dibuktikan bahwa menjadi wanita bukan hal yang mudah, bisa diambil dari
sudut pandang Sasana yaitu tokoh utama yang menjadi Waria saat mengamen, dulunya
saat dia lelaki tulen, dia tidak pernah mendapatkan hal yang melecehkan tersebut, namun
saat dia menjadi Waria pelecehan verbal dan non-verbal dia dapatkan. Oleh karena itu,
ketidak adilan terhadap wanita bisa dirasakan dari semua lapisan masyarakat, laki-laki
dan bahkan waria.

2.2 Alur

Stanton dalam Nurgiyantoro (1995:113) mengatakan bahwa alur adalah cerita yang
berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat,
peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain. Menurut Tasrif dalam
Nurgiyantoro (2013:209) plot dibagi menjadi lima tahapan.

2.2.1 Tahap Penyituasian

Tahap ini merupakan tahap pelukisan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh
cerita.Tahap pemberian informasi awal cerita yang berfungsi melandasi timbulnya cerita yang
dikisahkan pada tahap berikutnya. Tahap penyituasian pada novel Pasung Jiwa ini berisi
tentang pengenalan tokoh Sasana dan keluarganya seperti dalam data berikut ini:

Jika bunyi piano adalah suara yang pertama kali kukenali saat berada dalam rahim
ibuku, piano pula benda pertama yang dikenalkan Ayah dan Ibu setelah aku lahir.
Mereka suka sekali mendudukkan aku di depan piano, menuntun tanganku untuk
memencet-mencet tiap tutsnya. Aku tak menyukainya. Tapi orangtuaku sebaliknya.
Mereka selalu tertawa dan terlihat bahagia setiap aku bisa memencet dan
membunyikannya. Aku melakukannya setiap hari, jangan-jangan juga sepanjang
hari. Tak ada lagi yang bisa kuingat dari masa kecilku selain piano itu. (Pasung
Jiwa:14)
Dalam data tersebut, Piano adalah hal pertama yang sasana ingat saat dia masih kecil.
Meskipun orangtua Sasana bukan pemusik, namun mereka sangat menginginkan anaknya
untuk menjadi anak yang mahir dalam memainkan piano. Meskipun tidak senang sasana
dengan secara terpaksa bermain piano demi menyenangkan hati orangtuanya. Sasana bahkan
tidak tahu berapa lama waktu yang dia habiskan hanya untuk bermain piano. Bahkan sasana
hanya bisa memikirkan piano itu saat dia mengingat masa lalunya waktu kecil.

2.2.2 Tahap Pemunculan Konflik

Merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang
dan atau dikembangkanmenjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Pada novel pasung
jiwa pemunculan konflik dimulai ketika sasana ketahuan menyukai musik dangdut oleh orang
tuanya hal tersebut dapat dilihat pada data berikut:

Muka Ayah dan Ibu jadi berubah. Mereka seperti menahan amarah. Ibu
menggeleng-geleng, tapi tetap tak berkata apa-apa. Ayah menarik nafas. “Musik
seperti itu tidak baik, Sasana,” kata Ayah. “Musiknya orang mabuk, orang tidak
pernah sekolah. Kamu lihat sendiri kan, semalam banyak orang mabuk?” Aku
menggeleng. Memang tak kulihat orang mabuk tadi malam. Yang aku lihat semua
orang bergoyang dengan senang. (Pasung Jiwa:22-23)
Dalam data tersebut, Sasana diam-diam menyukai musik dangdut, tapi kedua orangtuanya
melarang sasana untuk mendengarkan musik dangdut. Orang tua sasana menganggap bahwa
musik dangdut adalah musik yang tidak baik yang diperuntukkan untuk orang-orang yang
tidak berpendidikan. Meskipun sasana tidak bisa membuktikan apa yang dikatakan ayahnya
itu benar. Pemunculan konflik juga terjadi disaat sasana mendapatkan kan tindakan bullying
di sekolahnya hal tersebut dapat dilihat pada data berikut:

Bagi sekolah ini, keributan, perkelahian, penganiayaan, adalah urusan kecil remaja
laki-laki yang bisa diselesaikan mereka sendiri. Aku pun jadi membenci laki-laki.
Membenci diriku sendiri yang jadi bagian laki-laki. Jika aku bukan laki-laki, aku
tak akan masuk sekolah ini. Jika aku tak masuk sekolah ini, aku tak akan menderita
seperti ini. (Pasung Jiwa:35)
Dalam data tersebut, Sasana menumbuhkan konflik batin dalam dirinya. dimana sasana
membenci laki-laki bahkan sampai titik dimana dia membenci dirinya sendiri. Dia juga
berfikir bahwa seandainya dia bukanlah laki-laki, dia tidak akan menderita seperti sekarang
ini.

2.2.3 Tahap peningkatan konflik


Konflik yang dimunculkan pada tahap berikutnya semakin berkembang dan
dikembangkan kadar intensitasnya. Pada novel pasung jiwa tahap peningkatan konflik
muncul ketika kejiwaan sasana mulai tergoyahkan hal tersebut dapat dilihat pada data berikut
ini:

Aku meringkuk di sudut paling gelap dari tubuh tinggi-besar ini. Mengubah suara,
mengubah rambut dan muka. Mengubah semuanya. Tapi tidak dengan jiwaku. Jiwa
ini tetap utuh dan sama. Hanya disembunyikan rapat agar tak ada seorang pun
melihat. (Pasung Jiwa:101)
Berdasarkan data tersebut, bisa dilihat bahwa jiwa sasana yang tergoncang dan ingin
berlindung dari segala ingatan mengerikan yang ia alami bersama tentara di markas yang
berada di Sidoarjo. Latar tempat yang ada di data tersebut adalah di kamar tidur Sasana di
rumah orangtuanya, rumah yang selama ini sasana tinggalkan selama dia masih kuliah di
Malang. Sehingga tampak adanya konflik dalam diri Sasana yang dia rasakan tapi coba
disembunyikan. Sasana juga mengingat apa yang telah dia alami selama berada di markas
tentara di Sidoarjo hal tersebut dapat dilihat pada data berikut:

Lalu aku mengingat apa yang kualami selama ditahan. Pukulan, siksaan, dan yang
paling menyakitkan adalah mereka menggunakan tubuhku untuk melayani nafsu
mereka. Aku masih bisa merasakan saat mereka memasukkan penis ke mulutku.
Juga masih terasa nyata aku dipaksa menungging, lalu benda keras itu memasukiku
dari belakang. Hoeek...! Selalu mual setiap aku tiba pada ingatan ini. Aku jijik. Aku
pedih. Aku marah. Tapi pada siapa? Ingin aku memanjat dinding lalu
menghancurkan semua yang ada dibawahku. (Pasung Jiwa:103)
Pada data tersebut, bisa dilihat bahwa sasana mengalami pelecehan seksual yang begitu
parah. Sasana bahkan sampai di pukul sampai dipaksa untuk berhubungan seks dengan para
tentara disana. Sasana sampai tidak bisa mengendalikan emosinya, dia merasa sedih dia
merasa marah dan dia tidak tau dia tidak tau bagaimana cara meluapkannya. Sehingga konflik
batin dalam dirinya semakin bertambah parah. Peningkatan konflik juga terjadi ketika Sasa
berusaha untuk bangkit dari ingatan buruknya atas apa yang telah tentara itu perbuat seperti
pada data berikut ini:

Setelah satu bulan, ketenaran mulai bisa kudapatkan. Aku sudah dikenal orang-
orang di sepanjang jalan. Mana ada pengamen yang secantik dan seseksi Sasa?
Mana ada penyanyi jalanan yang suaranya semerdu Sasa? Dan yang paling utama,
cuma Sasa yang punya goyangan maut yang bisa bikin siapapun jadi mabuk.
(Pasung Jiwa:230)
Data tersebut menunjukan adanya usaha Sasana selama satu bulan untuk bangkit dari masa
kelamnya dan mengaktualisasikan dirinya menjadi Sasa dan mengekspresikan dirinya
kembali menjadi Sasa yang suka bernyanyi dan menari seperti yang dia inginkan, tapi
sayangnya usahanya itu harus diganggu oleh para preman yang kemudian memunculkan
konflik lebih dalam lagi pada diri Sasana seperti pada data berikut:

Dua preman itu telah merusak semua yang kubangun sejak kembali lagi ke kota
ini. Aku jadi kehilangan gairah. Setiap malam aku mengamen hanya sekadar untuk
mencari uang agar bisa makan dan bayar kontrakan. Kenapa aku hanya bisa jadi
bulan-bulanan? Kenapa aku tak pernah punya keberanian untuk melawan? Dari
anak-anak SMA, hingga tentara dan preman pasar, kenapa semuanya membuatku
tak berdaya? Jika dulu aku selalu dihantui oleh ketakutan, kini aku terus diikuti
oleh dendam dan marah. (Pasung Jiwa:237)
Data di atas menunjukkan adanya rasa amarah mendalam dari diri Sasana karena telah
berkali-kali kalah pada mereka yang bersikap semena-mena dan menindas orang lain,
termasuk dirinya. Sasana juga mengingat kejadian masa lalunya dimana sejak SMA sasana
selalu saja tak berdaya dan hal itu terus saja terulang sampai sasana menjadi Sasa yang
sekarang. Tapi di dalam novel ini, seolah seperti jatuh bangun berkali-kali.

2.2.4 Tahap Klimaks

Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai
pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja
memiliki lebih dari satu klimaks. Perjuangan Sasana untuk mengaktualisasikan dirinya
menjadi Sasa masih tampak dalam data berikut:

Penonton mulai berdatangan. Aku mengintip dari balik tirai panggung untuk
mengetahui seberapa banyak yang datang. Dalam hati aku terus berdoa agar
penontonnya banyak, sehingga aku merasa laku dan tidak perlu malu. Pentasku di
Malang ini akan jadi patokan untuk pentaspentas selanjutnya. Jika ini sukses, kota-
kota lain pasti akan memperebutkan aku. (Pasung Jiwa:290)
Berdasarakan data di atas, pementasan yang digelar di Malang menjadi kesempatan untuk
Sasa menata lagi impiannya menjadi professional. Sasa merasa senang karena banyak orang
yang datang menontonnya. Dia juga berharap agar pementasan ini sukses dan berjalan lancar
agar dia bisa melakukan pementasan di kota-kota lain. tapi pementasan ini menjadi justru
akan menjadi puncak dari penderitaan yang Sasa alami atas sikap semena menanya orang lain
terhadap dirinya terjadi lagi seperti kutipan berikut ini:

Seluruh bajuku diambil. Hanya celana dalam yang masih melekat ditubuhku. Aku
menangis meraung-ruang. Menangis rasa terhina dan kekalahanku. Aku merasa
sakit, jauh lebih sakit jika aku dihajar habis habisan.Sambil terus terisak, aku tatap
orang-orang di sekelilingku satu per satu. Aku mau mereka merasakan kebencian
dan dendam yang sedang kutanam
Tatapan berhenti pada sepasang mata yang sangat aku kenal. Ia pun menatap aku.
Dalam beberapa hitungan, tatapan kami beradu. Ia kemudian lebih dulu
mengalihkan pandangan. Aku masih terus menatapnya. Aku perhatikan setiap
bagian tubuhnya. Aku tidak salah orang. (Pasung Jiwa:292-293)
Dalam data tersebut, ada terjadi razia dimana Sasa gagal melakukan pentasnya seluruh baju
miliknya diambil dan dia marah. Kesedihannya sudah meluap-luap Sasa tentu saja merasakan
sakit hati yang lebih sakit saat dia dipukuli tentara di Sidoarjo. Lebih parahnya lagi Sasa
mengetahui dan melihat siapa orang yang telah melaporkan aksi razia tersebut yaitu Jaka
Wani orang yang dia percaya selama ini.

2.2.5 Tahap penyelesaian

Konflik yang telah mencapai klimaks diberi jalan keluar dan cerita diakhiri. Tahapan
penyelesaiannya yakni dengan bertemunya Sasana dan Jaka Wani di dalam penjara. Terlihat
pada data berikut

Pelan-pelan, aku mengakat kepala. Kususuri wajah Sasa. Matanya, hidungnya,


mulutnya. Dia masih Sasa yang dulu. Sasa adikku. Sasa yang dulu kugadang-
gadang akan menjadi bintang. (Pasung Jiwa:319)
Kami berdua menangis bersama. Terlalu banyak yang ingin dikatakan. Lewat
tangisan kami sedang menumpahkan semuanya. Sasa tetap adikku. Kami tetap
satu. Tangisan adalah buktinya. Aku berhenti menangis. Aku bangkit dan berkata,
'Kita harus pergi, Sa. (Pasung Jiwa:320)
Dari data tersebut, Jaka Wani menatap Sasa menunjukan meyakinkan dari dalam hati Jaka
Wani bahwa yang berada di hadapannya sekarang adalah Sasa, partner mengamennya di masa
lalu. Tawaran Jaka Wani untuk kabur bersama dari penjara menunjukkan sebuah bentuk
kebebasan mereka dalam mencari jalan hidup yang mereka inginkan dan bisa jadi menjadi
perwujudan keinginan dalam diri tertinggi yaitu melepaskan semua beban dan mengejar
mimpi mereka seperti data kutipan berikut ini:

Sasa melepas baju tahanannya. Lalu aku menyusul melepas serbanku, membuang
jubahku. Kami kini sama-sama bebas. Berlarian menyusuri jalanan. “Bebas...
bebas, aku bebaaas!” teriak Sasa. Aku tertawa. Aku berteriak-teriak. Kutumpahkan
semua yang kurasakan. Tak ada yang bisa melarang apa yang kami lakukan. Tak
ada yang bisa mengatur apa yang harus kami lakukan. Ini hidup kami. Ini
kebebasan kami. (Pasung Jiwa:321)
Berdasarkan data di atas, Sasana dan Jaka Wani akhir bebas dari penjara mereka bisa
menghirup udara bebas. Sasana melampiaskan kegembiraannya dengan berteriak dan tertawa.
Dan juga dikarenakan sasana sudah mengalami penderitaan yang panjang dan berlika-liku
demi mengejar mimpinya menjadi biduan dangdut.
2.2 Penokohan

Penokohan dan perwatakan merupakan fungsi untuk memahami karakteristik yang


dimiliki oleh para tokoh dalam sebuah cerita. Digambarkan dengan sifat pribadi atau ciri
psikis, kepercayaan, pandangan hidup, kebiasaan, keadaan sosial maupun adat istiadat yang
dimiliki. Penokohan adalah suatu penggambaran jelasnya tentang sosok yang menjadi subjek
dalam sebuah cerita. Sementara, perwatakan adalah suatu penggambaran sifat dan perilaku di
masing-masing karakter yang lebih merujuk pada kualitas personal seorang tokoh, seperti
yang ditafsirkan oleh pembaca.

Tokoh cerita merupakan sebuah rekaan dalam bentuk individu yang menjalankan
berbagai peristiwa dan perlakuan dalam cerita (Sujiman, 1984: 16). Pengelompokan jenis-
jenis tokoh dapat dibagi berdasarkan tingkat kepentingannya dalam cerita, yaitu tokoh utama
dan tokoh bawahan. Tokoh utama adalah individu paling utama, tokoh paling penting dan
dalam penceritaan tersebut ia sering muncul. Ia juga menjadi pusat dijalankannya alur cerita,
pemunculan hingga penyelesaian konflik yang telah ditentukan oleh pengarang. Sedangkan
tokoh bawahan dipaparkan sebagai tokoh atau individu yang kedudukannya difungsikan
untuk membantu peran tokoh utama dalam sebuah cerita yang telah ditentukan sang
pengarang. Tidak seperti tokoh utama, kedudukan tokoh bawahan dalam cerita kerap kali
tidak diperhatikan dan hanya menjadi peran pembantu saja. Akan tetapi, tak adanya tokoh
bawahan ini maka akan membuat bacaan menjadi terasa tak berwarna dan membosankan.

2.2.1 Tokoh Utama


Tokoh Utama dalam novel Pasung Jiwa ini adalah Sasana. Tokoh Sasana dalam novel
Pasung Jiwa merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Dikategorikan sebagai tokoh
utama karena memiliki banyak percakapan dan peran diantara tokoh-tokoh yang lainnya.

Dalam novel Pasung Jiwa ini. Tokoh Sasana berwatak bulat sebab mengalami
perubahan watak atau karakter. Di awal cerita Sasana kanak-kanak memiliki sifat yang pasrah
akan kehendak yang dijalankannya. Seringkali Sasana mengeluhkan kepada dirinya sendiri
bahwa ia telah lelah dengan apa yang orang tua tunjukkannya. Hal tersebut dapat dilihat dari
data berikut.

Bunyi piano tak lagi indah menyapa telingaku. Ia kini telah menjelma jadi bunyi-
bunyian yang mengganggu, yang membuatku selalu merasa dikejar-kejar atau
terkurung dalam ruangan. Apa yang harus kulakukan? Tak ada. Aku lakilaki kecil
tak berdaya, yang hanya bisa melakukan setiap hal yang orangtuaku tunjukkan.
Aku terus memainkan piano itu. (Pasung Jiwa:14)
Data tersebut menjelaskan bahwa Sasana mengalami kepasrahan dengan dirinya-sendiri dari
apa yang sudah ditunjukkan orang tua padanya. Ia tak bisa melakukan apapun jika orang
tuanya sudah menunjukkan apa yang mereka mau.

Pada masa Sasana sudah beranjak remaja akhir, ia berkuliah di Malang. Disana ia
memiliki kebebasan yang sebelumnya tak ia dapatkan ketika di rumah. Ia merasakan
kebebasan dan kebahagiaannya pada masa tersebut. Dikarenakan ia memilih jalan apa yang ia
mau, yaitu sebagai penyanyi dangdut. Hal tersebut dapat dilihat dari data sebagai berikut.

…. Ratusan orang. Semua ikut menyanyi, ikut bergoyang sepertiku. Semua


memujaku. Semuanya senang padaku. Aku benar-benar menjadi bintang, walau
baru untuk panggung tujuh belasan. (Pasung Jiwa:46)
Data tersebut menjelaskan bahwa Sasana menjadi lepas dan bebas ketika ia sudah menjadi
penyanyi dangdut. Ia bangga karena ketika menjadi pedangdut orang-orang senang
melihatnya.

Sasana menjadi penyanyi dangdut dan mempunyai nama panggung, yaitu Sasa.
Ketika ia bernyanyi orang-orang mengenalinya sebagai Sasa bukan lagi sebagai Sasana. Pada
suatu ketika ia mengamen bersama Cak Jek ada segerombolan preman yang berusaha
melecehkannya, tetapi dengan tekad dan beraninya ia melawannya dengan bringas. Hal
tersebut dapat dilihat dari data sebagai berikut.

“Ya aku hajar semuanya. Memangnya aku takut apa?” (Pasung Jiwa:63)
Data tersebut menjelaskan bahwa Sasa menjadi berani dan tak takut untuk melawan para
preman tersebut. Ketika ia menjelaskan hal tersebut kepada Cak Jek.

Namun, di akhir cerita Sasa kembali menjadi sosok yang beringas dan kasar karena
keadilan tak berpihak kepadanya. Keadilan yang seharusnya didapatkannya berakhir begitu
saja. Hal tersebut dapat dilihat dari data sebagai berikut.

Di tengah sorak-sorai kemenangan, aku lempar kursi yang kududuki ke arah orang-
orang berjubah itu. Ruangan sidang jadi gempar. Ada yang berteriak kesakitan,
sambil tangannya memegang kepala yang berdarah. Orang-orang itu marah.
Beberapa orang berlari ke arahku. Aku dikepung. Lalu pukulan dan tendangan
menghujaniku. Mereka mengeroyokku sambil terus memakimakiku. Aku kalah.
Lagi-lagi kalah. (Pasung Jiwa:308)
Data tersebut menjelaskan bahwa Sasa sudah dikendalikan oleh amarahnya karena ia merasa
keadilan tak berpihak kepadanya. Keadilan yang seharusnya ia miliki tak didapatkannya. Ia
pun melempar kursi yang didudukinya kearah orang-orang berjubah (Laskar). Pukulan,
tendangan, dan makian datang menyambutnya dengan begitu cepat. Ia merasa kalah lagi
dalam menanggapi hal perkelahian.

2.3.2 Tokoh Bawahan


Disamping tokoh utama, terdapat beberapa tokoh bawahan yang menjadi pemeran
pembantu. Beberapa tokoh bawahan yang ada pada novel Pasung Jiwa ini, diantaranya
sebagai berikut.

a. Ibu

Tokoh Ibu pada novel Pasung Jiwa ini merupakan seorang ibu yang memiliki dua
anak, diantaranya anak laki-laki dan perempuan. Ia diceritakan sebagai perempuan yang
berprofesi sebagai dokter bedah yang selalu berdekatan dengan pasien-pasiennya. Ibu disini
berwatak bulat, karena dari awal penceritaan sampai akhir memiliki sifat yang berbeda. Di
awal cerita Ibu marah pada anak laki-lakinya karena sedang kepergok mendengarkan
nyanyian dangdut di belakang rumahnya. Hal tersebut dapat dilihat dari data sebagai berikut.

“Kamu mau jadi berandalan?” Kata-kata itu terus diucapkannya berulang. “Kamu
mabuk ya, sampai goyang-goyang kayak gitu? “Mau jadi apa kamu ikut-ikutan
seperti itu? (Pasung Jiwa:20)
Data tersebut menjelaskan bahwa Ibu marah kepada anak laki-lakinya ketika ia kepergok
menonton dangdut di belakang rumahnya. Dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang
berasumsi buruk, yang tak dimengerti dan ingin disanggah oleh sang anak.

Selanjutnya, Ibu khawatir pada Sasana ketika Sasana berkuliah di Malang tak ada
kabar yang didapatkannya. Akan tetapi, Sasana tiba-tiba pulang ke Jakarta dengan rasa
ketakutan dan kecemasan yang melandanya. Ibu khawatir Sasana sudah mengalami perilaku
tak mengenakkan ketika ia berada di Malang tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari data
sebagai berikut.

“Sas... Sasana, apa pun yang kamu takutkan, ada Ibu di sini. Ada Ayah juga yang
akan menjagamu,” bisiknya. “Kamu tenang di sini dulu ya, Sas. Biar aman. Sampai
hilang semua yang kamu takutkan”. (Pasung Jiwa:115)
Data tersebut menjelaskan bahwa ibu tak ada henti-hentinya mencemaskan dan
mengkhawatirkan Sasana dengan perilaku Sasana yang sedang ketakutan. Ia pun meyakinkan
Sasana, bahwa ia aman berada di rumah ini karena ada ibu adan ayah.

b. Ayah
Tokoh Ayah pada novel Pasung Jiwa ini merupakan ayah yang memiliki dua anak,
diantaranya anak laki-laki dan perempuan. Ia diceritakan sebagai laki-laki yang berprofesi
sebagai pengacara. Ayah disini berwatak bulat, karena memiliki sifat dan karakter yang
berubah. Di awal cerita, sosok ayah bersifat tegas dan lugas dalam memberikan sebuah
gagasan. Setiap penjelasannya harus dilakukan oleh anaknya, agar ia terdidik dengan benar.
Hal tersebut dapat dilihat dari data sebagai berikut.

“Jangan pernah lagi nonton-nonton yang seperti itu. Tidak baik.” Ayah mengakhiri
pembicaraan. Itu perintah yang sudah tak bisa dibantah. Aku diam dan meneruskan
makan. (Pasung Jiwa:23)
Data tersebut menjelaskan bahwasa Ayah bersikeras untuk melarang Sasana menonton
dangdut. Ia melarangnya dengan kata-kata yang tegas dan tak terbantahkan lagi. Sasana pun
hanya diam dan meneruskan makannya.

Pada bab selanjutnya, menceritakan bahwasannya Ayah meminta maaf kepada Sasana
karena tak bisa membelanya ketika ia sedang dirudung oleh kawan-kawannya ketika masih
berada di kawasan sekolah. Hal tersebut dilihat dari data sebagi berikut.

“Mereka mengancam ke kantor Ayah...” kata Ayah sambil terisak. Ayah kemudian
berdiri mendekatiku. Ia memelukku lalu berkata, “Maafkan Ayah ya, Sasana...
Ayah tidak mampu membelamu....” (Pasung Jiwa:43)
Data tersebut menjelaskan bahwa Ayah meminta maaf kepada Sasana karena ia merasa
sebagai Ayah sekaligus pengacara tak dapat membela anaknya. Hal tersebut terjadi
dikarenakan orang tua kawannya adalah orang yang memiliki asset besar pada sekolah
tersebut.

c. Cak Jek

Tokoh Cak Jek dalam novel Pasung Jiwa ini merupakan tokoh yang berwatak bulat,
dikarenakan memiliki sifat dan karakter yang berbeda yang ada pada dalam dirinya. Cak Jek
menyukai musik dan ia senang dengan bermain gitar. Permainan itu membuatnya bebas. Cak
Jek adalah kawan Sasana ketika ia berada di Malang dan Cak Jek inilah yang membuat
Sasana menjadi Sasa sang penyanyi dangdut. Hingga suatu ketika Cak Jek berkeinginan
untuk menjadi bintang musik yang professional bersama Sasa dengan penuh semangat yang
mengembara. Hal tersebut dapat dilihat dari data sebagai berikut.

“Kita harus optimistis. Kita bisa jadi bintang! Ya memang bukan seperti bintang-
bintang di TV itu. Tapi yang penting kita harus profesional,” kata Cak Jek. (Pasung
Jiwa:51)
Data tersebut menjelaskan bahwa Cak Jek adalah orang yang penuh semangat dan berpikiran
optimis bahwa mereka akan besar seperti bintang-bintang di TV. Dengan cara mengajak Sasa
untuk kerja dengan professional dan yakin.

Pada bab selanjutnya, diceritakan bahwa sosok Cak Jek menjadi beringas dan
membantai orang-orang yang melawan agama. Ia mengganti pekerjaan ngamennya bersama
Sasa dengan menjadi seorang Laskar pemberantas orang-orang yang menyelewengkan
agama. Pada suatu ketika ia tengah siap untuk memberantas toko ataupun kafe-kafe yang
menjual minuman beralkohol dan semacamnya. Hal tersebut dapat dilihat dari data sebagai
berikut.

“Kita sedang berjuang untuk agama. Kita harus menjaga kota kita dari dosa!”
kataku dengan suara lantang. “Kami akan lawan siapa pun yang melanggar
agama.” (Pasung Jiwa:269)
Data tersebut menjelaskan bahwa dengan tegas dan dengan suara lantangnya, sang ketua
Laskar yaitu Cak Jek mengatakan bahwa ia sedang berjuang untuk agama dan ia harus
menjaga kota dari dosa yang dibuat oleh manusia. Ia tak henti-hentinya mengingatkan kepada
masyarakat bahwa siapapun yang melanggar agama akan mereka lawan.

Penyesalan seorang Cak Jek ketika saat itu ia melihat secara jelas bahwasannya Sasa
ditangkap oleh ia dan kawanan laskarnya karena menurutnya gerakan eksotis ketika Sasa
bernyanyi dan menyalahi jenis kelamin termasuk ke dalam penyelewengan agama. Sehingga
ia membawa Sasa terjerat ke dalam jeruji besi. Hingga suatu ketika penyesalan tersebut terus
datang dengan bersilihnya waktu. Ia pun datang untuk menemui Sasa dengan pakaian
Laskarnya dan meyakinkan Sasa untuk pergi dari jeruji besi tersebut dan bebas. Hal tersebut
dapat dilihat dari data sebagai berikut.

Aku berhenti menangis. Aku bangkit dan berkata, “Kita harus pergi, Sa.” Sasa
mendongak dan menatapku. “Kita?” Aku mengangguk. “Kita akan pergi sama-
sama. Kita ngamen lagi seperti dulu.” Sasa masih terus memandangiku. Aku
kembali duduk, bicara dengan memelankan suaraku, “Sa... Sa, percayalah padaku.
Kamu harus bebas. Kita berdua harus bebas. (Pasung Jiwa:320)
Data tersebut menjelaskan bahwa Cak Jek merasa menyesal dan dengan penuh keyakinan
untuk membawa pergi Sasa dari tempat tersebut. Cak Jek berusaha meyakinkan Sasa agar
percaya padanya. Agar mereka berdua bebas dari keterbelengguan yang dialami. Dengan
penuh semangat dan tekad yang besar Cak Jek berhasil mengeluarkan Sasa dari
keterbelengguannya.

d. Masita
Tokoh Masita pada novel Pasung Jiwa ini merupakan perempuan yang melakukan penelitian
di rumah sakit jiwa yang ditinggali Sasana ketika ia berada disana. Ia yang selalu menemani
Sasana bahkan yang membuat ide untuk percobaan kabur Sasana dan kawan-kawannya agar
terbebas dari kukungan penjara jiwa. Masita memiliki watak datar, yang memiliki sifat
pemberani dan membantu Sasana serta kawan-kawannya. Hal tersebut dapat dilihat dari data
sebagai berikut.

“Aku akan membantu sebisaku. Malam hari waktu paling bagus. Sebagian petugas
pulang, hanya sedikit yang berjaga.” (Pasung Jiwa:152).
Data tersebut menjelaskan bahwa Masita mempunyai tekad kuat untuk dapat membantu
Sasana serta kawan-kawannya keluar dari kukungan penjara jiwa yang sedang ditempatinya.
Dilakukan pada malam hari merupakan waktu yang tepat dan penjagaan pun tak terlalu ketat.

e. Elis

Tokoh Elis pada novel Pasung Jiwa ini merupakan perempuan pelacur yang bekerja
di Sintai. Walaupun ia adalah seorang pelacur, ia bekerja untuk membiayai anaknya. Lalu ia
bertemu dengan Cak Jek. Elis memiliki watak datar, yang hanya memiliki satu sifatnya yang
keras kepala. Hal tersebut dapat dilihat dari data sebagai berikut.

…. Berulang kali sudah aku minta Elis untuk tidak menerima lakilaki lain tiap
Sabtu malam. Biar separuh malam itu jadi jatahku saja. Uang bayarannya juga
sama saja to! Tapi Elis selalu menolak. “Ya siapa yang datang dia yang kulayani.
Kecuali mau kasih bayarannya di depan,” katanya berulang kali. Asu! Dasar lonte
(Pasung Jiwa:178)
Data tersebut menjelaskan bahwa Elis sudah diberitahu oleh Cak Jek ketika sabtu malam
bahwa ia bersamanya saja tapi selalu ditolak oleh Elis. Dengan sikap keras kepalanya tersebut
Cak Jek mengumpat.

2.4 Sudut Pandang

Teori feminis melihat dunia dari sudut pandang perempuan. Teori feminis adalah
sistem gagasan umum dengan cakupan luas tentang kehidupan sosial dan pengalaman
manusia yang berkembang dari perspektif yang berpusat pada perempuan. Pengarang novel
ini, Okky Madasari, menghadapkan tokoh-tokohnya dengan jebakan-jebakan di luar dirinya,
seperti agama, seks, aturan, dan keyakinan sosial. Selain itu, novel ini juga berisi protes
terhadap orang-orang yang diremehkan, yang menghindari belenggu paham sosial, yang
hidup di balik gemerlap kehidupan kota-kota besar, yang memiliki prioritas dan kesewenang-
wenangan, yang mengorbankan diri.
Novel ini mengajak pembaca untuk melihat dari sudut pandang kaum terpinggirkan,
yaitu orang-orang yang ada tetapi tidak didengarkan. Okky tidak memanjakan pembaca
dengan cerita bahagia, tapi Okky membenamkan pembaca dalam rasa ingin tahu, merasakan
perjuangan kemerdekaan, perjuangan keadilan dan perjuangan menjadi diri sendiri. Dalam
novel Pasung Jiwa memenuhi kriteria cocok untuk pelajar, baik dari segi bahasa, psikologi
maupun latar belakang budaya masyarakat Indonesia. Model pembelajaran yang dipilih
dalam penelitian ini adalah model pembelajaran kontekstual yang berorientasi pada dialog.
Model pembelajaran ini menitikberatkan pada diskusi kelompok sehingga terjadi interaksi
antara siswa dan guru. 

2.5 Analisis Feminisme Sosialis


Feminisme adalah gerakan sosial yang bertujuan untuk memperjuangkan kesetaran
gender antara laki-laki dan perempuan. Feminis memiliki banyak aliran salah satunya
adalah femins sosialis. Feminis sosialis merupakan aliran feminis yang menggabungkan
pemikiran feminis dan sosialis, sehingga menekankan pentingnya memahami dan
mengkritisi keterkaitan antara ketidakadilan gender dan kelas dalam masyarakat. Menurut
(fakih dalam Nurazi 2020) penindasan perempuan terjadi di kelas manapun, bahkan
revolusi sosialis tidak serta merta dapat langsung menaikan posisi perempuan. Dalam
novel Pasung Jiwa sendiri karya Okky Mardasari, bisa dilihat terdapat unsur feminisme
sosial yaitu unsur ketidakadilan gender, walaupun tokoh Sasana dalam novel ini terlahir
sebagai lelaki namun saat kuliah dia mencoba menjadi biduan dan menjadi seorang waria
untuk keperluan penampilannya, namun banyak hal yang dia alami, yaitu pelecehan
verbal maupun non-verbal yang dulunya tidak dia alami, namun setelah berpakaian
wanita dia mengalami hal tersebut, seperti pada data berikut,
Ada juga yang saat aku baru datang saja sudah jelalatan, melihat aku dari ujung kaki
sampai kepala. Entah sedang tergoda atau ketakutan. Kalau ada rombongan lakilaki,
selalu saja ada yang suitsuit. Kalau disuitin seperti itu biasanya aku bertambah semangat
dan sengaja menggoda mereka. Tapi belum ada satu pun yang kelakuannya kayak
bajingan yang di pojok alunalun waktu itu. (PasungJiwa:64)
Pada data diatas bisa dilihat bahwa yang dialami Sasana adalah setelah dia menjalani kehidupan
sebagai biduan, dalam sudut pandang feminisme Sasana memang notabenenya adalah seorang
lelaki, namun dia saat menjadi biduan berdandan sebagai perempuan, oleh karena itu bisa
disimpulkan bahwa wanita mendapatkan ketidak adilan, bahkan pakaian wanita yang dikenakan
bisa menimbulkan pelecehan. Karena pelaku pelecehan tidak peduli apakah itu wanita asli atau
bukan, selagi itu terlihat seperti wanita, pasti akan dia serang. Itulah ironi dari dunia pengamen
Waria yang tidak disadari. Data yang lain juga ditunjukkan terdapat feminisme sosialis, yaitu
pada data berikut,
”Kita pakai saja dulu, Ndan. Biasanya juga dipakai orang,” jawab yang lainnya. Mereka lalu
terbahak bersama. Perih... perih rasanya di hatiku. Lebih sakit dibanding badanku yang sudah
remuk ini. Apa yang mereka pikirkan tentang aku? Aku ini penyanyi. Penari. Seniman. Aku
makan dari apa yang aku bisa. Aku menjual hiburan, orang membayar dengan uang. Apa
yang salah dengan pakaianku? Apa yang salah dengan penampilanku? Ini caraku untuk
membuat orang lain terhibur dan senang. Aku pun senang berdandan dan berpakaian seperti
ini. Jadi apa salahnya? Seenaknya saja bilang aku bisa dipakai orang. Cih (PasungJiwa:98)
Dalam data tersebut juga diperlihatkan seorang yang menjadi Waria selalu dianggap
dalam konotasi negatif, dalam kacamata feminisme. Ketidakadilan gender tidak hanya
terjadi pada perempuan, transpuan, waria, banyak yang mendapatkan diskriminasi.
Seorang waria yang ingin berkarya ataupun hanya mencari sesuap nasi, dianggap hanya
sebagai pemuas nafsu. Dalam kasus ini pun Sasana menjadi biduan Waria, dilecehkan
sedemikian rupanya. Bagaimana dengan wanita-wanita diluaran sana yang biduan
kebanyakan wanita? Pasti pernah mendapatkan pelecehan lebih parah dari hal tersebut.
Ketidak adilan gender dan feminisme bisa dilihat dari sudut pandang apa saja, bahkan
pada toko utama laki-laki pada semua novel.
BAB III
KESIMPULAN
Novel Pasung Jiwa merupakan sebuah karya dari Okky Madasari yang menceritakan
tentang seorang laki-laki yang berasal dari keluarga yang sangat berkecukupan dengan orang
tua yang sama-sama hebat ibunya yang seorang dokter dan ayahnya yang seorang pengacara.
Tema yang digunakan……Alur cerita yang terdapat dalam novel pasung jiwa ada lima.
Pertama, tahap penyituasian pada novel Pasung Jiwa ini berisi tentang pengenalan tokoh
Sasana dan keluarganya. Kedua, tahap pemunculan konflik dimulai ketika sasana ketahuan
menyukai musik dangdut oleh orang tuanya. Ketiga, tahap peningkatan konflik muncul ketika
kejiwaan sasana mulai tergoyahkan. Keempat, tahap klimaks perjuangan Sasana untuk
mengaktualisasikan dirinya menjadi Sasa masih tampak. Kelima, tahap penyelesaiannya
yakni dengan bertemunya Sasana dan Jaka Wani di dalam penjara. Penokohan yang terdapat
dalam novel Pasung Jiwa dibagi menjadi dua bagian yakni tokoh utama dan tokoh bawahan.
Tokoh utama dalam novel Pasung Jiwa ini adalah Sasana. Tokoh bawahan meliputi Ayah, Ibu,
Cak Jek, Masita, dan Elis. Teori feminis adalah sistem gagasan umum dengan cakupan luas
tentang kehidupan sosial dan pengalaman manusia yang berkembang dari perspektif yang
berpusat pada perempuan. Selain itu, novel ini juga berisi protes terhadap orang-orang yang
diremehkan, yang menghindari belenggu paham sosial, yang hidup di balik gemerlap
kehidupan kota-kota besar, yang memiliki prioritas dan kesewenang-wenangan, yang
mengorbankan diri.

DAFTAR PUSTAKA
Burhan, Nurgiyantoro. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

Burhan, Nurgiyantoro. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press

Jonesy. 2023. 8 Aliran Feminisme yang Perlu Kamu Ketahui. Diakses melalui:
https://magdalene.co/story/aliran-feminisme/

Nurazi, R. 2020. Feminis Sosialis Di Dalam Novel Mencari Perempuan Yang Hilang Karya
Imad Zaki. Diakses melalui: file:///C:/Users/User1/Downloads/8022-Article%20Text-
26116-30373-10-20200914.pdf

Nurhidayati, N. (2018). Pelukisan Tokoh dan Penokohan dalam Karya Sastra. Prosiding


Konferensi Nasional Bahasa Arab, 4(4), 493-506.

Oktaria, Nanda. 2018. Analisis Sosiologi Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari. Jurnal
Pendidikan dan Pengajaran Bahasa Indonesia. Vol 1 Nomor 2, Agustus 2018.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta

Sultani. Achmad, Kaleb. 2020. Persoalan-persoalan Sosial Dalam Novel Pasung Jiwa Karya
Okky Madasari. Jurnal Ilmu Kebahasaan dan Kesastraan. Vol 18, No 1 (2020).

Wibowo, Masyanto. 2020. Kepribadian Tokoh Utama dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky
Madasari. Tesis Program Magister Universitas Negeri Jakarta. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai