Anda di halaman 1dari 12

1.

Buatlah contoh perhitungan dari PPh pasal 21s, 22 dan 23 yang Anda
ketahui! Sebutkanlah dasar hukumnya !

Untuk perhitungan PPh 21, terdapat 3 (tiga) metode yang berbeda, yaitu perhitungan
PPh 21 nett, gross dan gross up.

Contoh perhitungan PPh 21 metode nett


Dengan perhitungan PPh 21 metode nett, perusahaan menanggung potongan pajak
karyawan. Artinya, karyawan terima gaji bersih sehingga tidak perlu lagi
membayarkan potongan pajaknya.

Contoh perhitungan PPh 21 metode gross


Kalau karyawan menanggung sendiri pajak penghasilannya, maka metode gross ini
bisa digunakan. Lalu, bagaimana contoh perhitungan PPh 21 menggunakan
metode gross ini?

Misalnya, ada seorang karyawan yang memiliki gaji per bulan Rp11.000.000,
statusnya lajang tanpa tanggungan (PTKP TK/0).

Langkah 1: Pendapatan bruto – biaya jabatan = Pendapatan nett

Rp11.000.000 – (5% x Rp11.000.000) = Rp10.450.000

Langkah 2: Penghasilan nett bulanan x 12 = Penghasilan nett per tahun

Rp10.450.000 x 12 = Rp125.400.000

Langkah 3: Penghasilan nett setahun – PTKP TK/0 = Penghasilan Kena Pajak

Rp125.400.000 – Rp54.000.000 = Rp71.400.000

Langkah 4: Contoh perhitungan PPh 21 Terutang Setahun Pajak Progresif

(5% x Rp60.000.000) + (15% x Rp11.400.00) = Rp4.710.000

Langkah 5: Contoh perhitungan PPh 21 Terutang Sebulan

Rp5.710.000 :12 bulan = Rp392.500


Contoh perhitungan PPh 21 metode gross up
Dengan metode gross up, karyawan menerima tunjangan sejumlah potongan pajak
yang dikenakan. Untuk perhitungannya sendiri, berbeda dibandingkan dengan dua
metode yang sudah disebutkan sebelumnya.

Sebelum melakukan perhitungan gross up kita harus tahu perhitungan untuk PKP
dengan mengikuti formula Lapisan PKP berikut ini:

 Lapisan 1 dengan PKP Rp0 – Rp47.500.000 (PKP setahun – 0) x 5/95 + 0,


 Lapisan 2 dengan PKP Rp47.500.000 – Rp217.500.000 (PKP setahun –
Rp47.500.000) x 15/85 +Rp2.500.000,
 Lapisan 3 dengan PKP Rp217.500.000 – Rp405.000.000 (PKP setahun –
Rp217.500.000) x 25/75 + Rp32.500.000
 Lapisan 4 PKP lebih dari Rp405.000.000 (PKP setahun – Rp405.000.000) x
30/70 + Rp95.000.000
Dengan menggunakan contoh kasus, gaji per bulan adalah Rp11.000.000, dengan
status lajang tanpa tanggungan (PTKP TK/0).

Hitung gaji per tahun = Rp 11.000.000 x 12 bulan = Rp132.000.000

Hitung penghasilan bersih setahun = Rp132.000.000 – (5% x Rp132.000.000) =


Rp125.400.000

PKP setahun = Penghasilan bersih setahun – PTKP

= Rp125.400.000 – Rp54.000.000

= Rp71.400.000

Maka berlaku rumus lapisan kedua untuk mendapatkan Tunjangan Pajak yaitu (PKP
setahun – Rp47.500.000) x 15/85 +Rp2.500.000

(Rp71.400.000 – Rp47.500.000) x 15/85 +Rp2.500.000 = Rp6.717.647

Jadi, tunjangan pajak dalam sebulan adalah Rp6.717.647 : 12 bulan = Rp559.803

Maka tunjangan ini dimasukkan dalam komponen gaji sehingga gaji yang diterima
adalah Rp11.000.000 + Rp559.803 = Rp11.559.803
Aturan perhitungan PPh 21 diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) pajak
Nomor PER-32/PJ/2015.

Cara Menghitung Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh 22)


Dalam melakukan perhitungan pajak penghasilan pasal 22 (PPh 22) dapat
menggunakan rumus berikut :
Tarif Pajak x Nilai Impor/DPP PPN/Harga Pembelian/Harga Jual Lelang

Contoh Perhitungan PPh Pasal 22 atas Impor


PT Maju melakukan impor barang dari Australia dengan harga faktur sebesar
US$200.000 pada 20 November 2021.
Jenis barang yang diimpor merupakan jenis barang yang tidak termasuk kedalam
barang-barang tertentu sesuai yang ditentukan peraturan PMK No. 16/PMK.010 Tahun
2016.
Biaya asuransi yang dibayar di luar negeri adalah 4% dan biaya angkut sebesar 9%
(kedua biaya tersebut dikenakan dari harga faktur). Biaya Bea Masuk (BM) yang
dikenakan adalah 12% dan Bea Masuk Tambahan sebesar 8%. Kurs pajak saat itu
adalah sebesar Rp14.257 per dolar Amerika Serikat.
Berikut perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang dipungut Ditjen Bea Cukai
adalah :

No Diketahui Perhitungan Nilai

1 Harga US$200.000
Faktur
(Cost)

2 Biaya (4% x US$8.000


Asuransi US$200.000)
(Insurance)

3 Biaya (9% x US$18.000


Angkut US$200.000)
(Freight)

4 CIF (Cost, (Cost + US$226.000


Insurance, Insurance +
Freight) Freight)
No Diketahui Perhitungan Nilai

5 CIF (dalam (US$226.000 Rp


perhitungan x Rp 14.257) 3.222.082.00
Rupiah) 0

5 Bea Masuk 12% x Rp Rp


(BM) 3.222.082.00 386.649.840
0

6 Bea Masuk (8% x Rp Rp


Tambahan 3.222.082.00 257.766.560
0)

7 Nilai Impor (CIF + Bea Rp


Masuk + 3.866.498.40
Bea Masuk 0
Tambahan)

Apabila PT Maju memiliki Angka Pengenal Impor (API), maka perhitungan PPh
Pasal 22 dari impor barang tersebut adalah :
Tarif PPh Pasal 22 memiliki API x Nilai Impor
(2,5% x Rp 3.866.498.400) = Rp 96.662.460
Namun, jika PT Maju tidak memiliki Angka Pengenal Impor (API), maka
perhitungannya menjadi seperti berikut :
Tarif PPh Pasal 22 tidak memiliki API x Nilai Impor
(7,5% x Rp 3.866.498.400) = Rp 289.987.380
Contoh Perhitungan PPh Pasal 22 atas Penjualan Hasil Produksi Tertentu
A. PT Maju adalah perusahaan semen yang menjual hasil produksinya kepada PT
Mundur senilai Rp 9.800.000.000 pada bulan Mei 2021. Harga ini sudah termasuk PPN
sebesar 10%.
Maka Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan semen adalah :
Sebelum mencari PPh Pasal 22nya, ketahui terlebih dahulu besar DPP PPN yang
dikenakan dengan menggunakan rumus :
Diketahui Perhitungan Nilai

DPP PPN (100/110) x Rp


Nilai Jual (Rp 9.000.000.000
9.900.000.000)

PPh Pasal 22 (0,25% x DPP Rp 22.500.000


atas penjualan PPN)
semen

B. Pada bulan April 2021, perusahaan kertas PT Merdeka melakukan penjualan atas
hasil produksinya kepada PT Mulia senilai Rp 3.300.000.000. Harga ini sudah
termasuk PPN sebesar 10%. Maka perhitungan PPh Pasal 22 atas penjualan kertas
adalah :

Diketahui Perhitungan Nilai

DPP PPN (100/110) x Rp


Nilai Jual (Rp 3.000.000.000
3.300.000.000)

PPh Pasal 22 (0,1% x DPP Rp 3.000.000


atas penjualan PPN)
kertas

C. Perusahaan baja yaitu PT Makmur menjual hasil produksinya kepada PT Indah


senilai Rp 5.500.000.000 dan sudah termasuk PPN sebesar 10%. Maka perhitungan
PPh Pasal 22 atas penjualan baja adalah :

Diketahui Perhitungan Nilai

DPP PPN (100/110) x Rp


Nilai Jual (Rp 5.000.000.000
5.500.000.000)

PPh Pasal 22 (0,3% x DPP Rp 15.000.000


Diketahui Perhitungan Nilai

atas penjualan PPN)


baja

D. PT Mandiri merupakan perusahaan otomotif yang menjual hasil produksinya


kepada PT Motor senilai Rp 6.600.000.000 dan sudah termasuk PPN sebesar 10%.
Maka perhitungan PPh Pasal 22 atas penjualan otomotif adalah :

Diketahui Perhitungan Nilai

DPP PPN (100/110) x Rp


Nilai Jual (Rp 6.000.000.000
6.600.000.000)

PPh Pasal 22 (0,45% x DPP Rp 27.000.000


atas penjualan PPN)
otomotif

Contoh Perhitungan PPh Pasal 22 atas Penjualan Barang Mewah


A. PT SIAR melakukan penjualan barang mewah berupa kapal pesiar kepada PT
Kapal senilai Rp. 348.000.000.000. Nilai ini tidak termasuk PPN dan PPnBM.
Maka, perhitungan PPh Pasal 22 atas penjualan barang mewah berupa kapal pesiar
adalah :
Tarif PPh Pasal 22 atas Penjualan Barang Mewah Kapal Pesiar x Nilai Jual
5% x Rp 348.000.000.000 = Rp 17.400.000.000
B. PT MEW merupakan perusahaan properti yang menjual properti berupa apartemen
kepada Jarwi senilai Rp 70.000.000.000. Harga jual ini tidak termasuk PPN dan
PPnBM.
Maka, perhitungan PPh Pasal 22 atas penjualan barang mewah adalah :
Tarif PPh Pasal atas Penjualan Barang Mewah x Nilai Jual
1% x Rp 70.000.000.000 = Rp 700.000.000
Contoh Perhitungan PPh Pasal 22 atas Pembelian Barang oleh Instansi Pemerintah
Perusahaan PT PEM berkedudukan di Kota Bekasi, dan menjadi pemasok alat-alat
tulis kantor untuk Dinas Pendidikan di Kota Depok.
Pada tanggal 10 Maret 2016, PT PEM melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
(BKP) dengan nilai kontrak senilai Rp 22.000.000 (sudah termasuk PPN).
Maka perhitungan PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Dinas Pendidikan Kota Depok
adalah :
No Diketahui Perhitungan Nilai

1 Nilai Rp
kontrak 22.000.000
(sudah
termasuk
PPN)

2 DPP (100/110) x Rp
Nilai 20.000.000
Kontrak
(Rp
22.000.000)

3 PPN (10% dari Rp


dipungut DPP) 2.000.000

4 PPh Pasal (1,5% x Rp 300.000


22 yang Harga Beli
dipungut (tidak
termasuk
PPN))

Jadi, PPh Pasal 22 yang dipungut Dinas Pendidikan Kota Depok adalah sebesar Rp
300.000.
Contoh Perhitungan PPh Pasal 22 atas Pembelian Bahan untuk Industri
PT. IND adalah perusahaan industri tekstil yang membeli bahan untuk produksinya
kepada eksportir PT LIM senilai Rp 500.000.000.
Maka perhitungan PPh Pasal 22 atas pembelian bahan industri adalah :
Tarif PPh Pasal 22 atas Pembelian Bahan Industri x Harga Beli
0,25% x Rp 500.000.000 = Rp 1.250.000
Contoh Perhitungan PPh 22 Hasil Produksi Migas
PT. MIG sebagai perusahaan produsen bahan bakar minyak dan melakukan
penyerahan bahan bakar minyak senilai Rp 800.000.000 (tidak termasuk PPN) kepada
PT YAK (bukan perusahaan SPBU).
Maka PPh Pasal 22 yang dipungut atas penyerahan hasil produksi migas adalah :
Tarif PPh 22 Hasil Produksi Migas x Nilai Jual
0,3% x Rp 800.000.000 = Rp 2.400.000
Dasar hukum PPh Pasal 22 adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan. Ketentuan PPh Pasal 22 juga diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan
Pasal 22.

Cara Menghitung PPh 23

Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), tarif PPh 23 dibedakan


menjadi dua jenis. Perbedaan tersebut didasarkan pada objek yang dikenakan pajak
penghasilan 23.

Tarif dari pajak penghasilan 23 dikenakan atas Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau
jumlah bruto dari penghasilan. Di dalam PPh Pasal 23, terdapat dua jenis tarif yang
diberlakukan, yaitu 15% dan 2% tergantung dari objek pajaknya. Berikut penjelasan
dari masing-masing tarif.

1. Tarif 15% PPh 23 dengan tarif 15% wajib dibayarkan oleh WP dari jumlah bruto
atas dividen, bunga, royalti, dan hadiah, penghargaan, bonus, atau sejenisnya, selain
yang belum dipotong oleh PPh 21. Dalam Pasal 4 ayat (1) UU 36 Tahun 2008 tentang
PPh, dividen yang dimaksud termasuk dividen yang diterima oleh pemegang polis
asuransi serta pembagian sisa hasil usaha koperasi.

Sedangkan bunga adalah diskonto, premium, dan imbalan karena jaminan


pengembalian utang. Sementara yang dimaksud dengan royalti adalah imbalan atas
penggunaan hak.

Cara menghitung PPh 23 tarif 15% bisa dilihat dari contoh berikut: Pak Anto
menerima royalti atas hak yang digunakan sebesar Rp10.000.000, maka jumlah PPh
yang harus dibayarkan adalah: 15% x Rp10.000.000 = Rp1.500.000.

2. Tarif 2% Wajib pajak diwajibkan melunasi PPh sebesar 2% dari jumlah bruto atas
sewa dan penghasilan lain terkait penggunaan harta. Adapun sewa dan penghasilan
lain yang bersumber dari penggunaan tanah dan bangunan dikecualikan dari pajak ini,
yang dasar hukumnya dapat ditemukan pada pasal 4 ayat (2) bagian d.
Tarif pajak PPh 23 dengan tarif 2% juga berlaku untuk jumlah bruto dari imbalan jasa,
di antaranya jasa teknik, konstruksi, manajemen, konsultan, penilai, akuntansi, jasa
hukum, jasa penerbitan/percetakan, dan jenis jasa lainnya seperti yang diatur dalam
peraturan Menteri Keuangan.

Untuk penghitungan PPh 23 dengan tarif 2%, berikut contohnya: PT XYZ adalah
sebuah badan usaha tetap yang menerima jasa merancang busana dengan jumlah bruto
Rp15.000.000. Dengan demikian, jumlah PPh 23 yang dibayarkan, yaitu 2% x
Rp15.000.000 = Rp300.000.

Berdasarkan undang-undang dasar hukum PPh Pasal 23 adalah sebagai berikut :

a. Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan


sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan.

b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 tentang Jenis Jasa Lain


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) Huruf c Angka 2 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

2. Jelaskan yang dimaksud dengan pajak berganda, serta kelemahan dan kelebihan
dari pajak berganda tersebut! Sebutkanlah dasar hukumnya !

Apa sih pajak berganda itu? Bagaimana hal tersebut bisa terjadi yaa?

Pajak berganda (Double Taxation) merupakan pajak yang dikenakan lebih dari 1 kali
oleh dua atau lebih negara atas satu subjek/objek pajak yang sama pada periode yang
identik, sehingga mengakibatkan beban pajak yang harus ditanggung oleh wajib pajak
menjadi lebih besar dari yang seharusnya.

Penyebab Terjadinya Pajak Berganda

Pajak berganda ini biasanya terjadi jika dalam suatu transaksi lintas batas negara
terdapat lebih dari satu negara yang mengklaim hak pemajakan atas hal tersebut
sehingga terjadilah benturan antar klaim perpajakan.
Ini karena adanya prinsip pemajakan global untuk wajib pajak dalam negeri (global
principle) dimana penghasilan dari dalam maupun luar negeri akan dikenakan pajak
oleh negara tempat wajib pajak berdomisili. Dilain sisi, terdapat pula pemajakan
teritorial (source principle) yang dikenakan bagi wajib pajak luar negeri oleh negara
sumber atas penghasilannya di negara tersebut. Dengan demikian atas penghasilan
tersebut akan terkena pajak dua kali, yaitu oleh negara residen/domisili dan negara
sumber atas penghasilannya.

Selain itu, klaim pemajakan ganda ini juga dapat terjadi ketika terdapat dua negara
yang kemudian mengklaim bahwa seorang wajib pajak merupakan wajib pajak dalam
negerinya yang mengakibatkan adanya dual residen dan pengenaan pajak ganda.

Lalu, Bagaimana Cara Menghadapi dan Menghindari Pajak Berganda Ini Yaa?

Untuk menghindari terjadinya pemajakan berganda ini, tiap-tiap negara perlu


melakukan Tax Treaty.

Tax Treaty (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda/P3B) yaitu perjanjian antara dua
negara yang mengatur ketentuan-ketentuan berkaitan dengan pembagian hak
pemajakan atas subjek/objek pajak untuk menghindari pajak berganda sekaligus
memajukan investasi negara tersebut. Dengan adanya persetujuan P3B ini, maka
pengenan pajak akan lebih jelas antar kedua negara dan tidak ada pengenaan ganda.

Selain melalui Tax Treaty, upaya lain agar tidak terkena pajak berganda ini yaitu
dengan melakukan Kredit Pajak. Melalui kredit pajak ini, maka wajib pajak dapat
mengkreditkan pajak yang telah dibayar di negara sumber untuk dikreditkan di
negara domisili sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di Indonesia sendiri, ketentuan
akan hal tersebut diatur dalam Pasal 24 UU PPh.

Kelemahan pajak berganda:

1. Pembebanan Pajak Ganda: Pajak berganda dapat menyebabkan beban


pajak yang berlebihan bagi entitas atau individu. Pendapatan yang sudah
dikenai pajak perusahaan kemudian dikenai pajak lagi saat dibagikan kepada
pemegang saham sebagai dividen, sehingga mengurangi keuntungan yang
sebenarnya.
2. Ketidakadilan: Pajak berganda dianggap tidak adil oleh beberapa pihak
karena mengakibatkan pengurangan pendapatan yang sama dikenakan pajak
berulang kali, yang dapat mengurangi insentif untuk berinvestasi atau berbagi
keuntungan.
3. Kompleksitas Administrasi: Pajak berganda dapat meningkatkan
kompleksitas administrasi perpajakan, terutama dalam hal perhitungan,
pelaporan, dan pemulihan pajak. Hal ini membutuhkan upaya dan sumber
daya tambahan dari entitas atau individu yang terkena dampak.

Kelebihan pajak berganda:

1. Pendapatan Pemerintah: Pajak berganda dapat menjadi sumber


pendapatan tambahan bagi pemerintah. Dengan menerapkan pajak perusahaan
dan kemudian pajak atas dividen, pemerintah dapat mengumpulkan lebih
banyak pendapatan yang dapat digunakan untuk membiayai program-program
publik.
2. Pengendalian Dividen: Pajak berganda dapat membantu pemerintah
mengendalikan jumlah dividen yang dibagikan oleh perusahaan. Dengan
memberlakukan pajak yang lebih tinggi atas dividen, pemerintah dapat
mendorong perusahaan untuk menginvestasikan kembali keuntungan mereka
dalam kegiatan usaha atau melakukan pengembangan lebih lanjut.
3. Perlindungan Ekonomi: Beberapa negara menerapkan pajak berganda
sebagai bagian dari kebijakan perlindungan ekonomi mereka. Pajak yang
dikenakan pada dividen dapat mempengaruhi keputusan investor untuk
mengalihkan investasi mereka ke dalam negeri daripada mengirimkan
keuntungan ke luar negeri.

Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau yang bisa disebut dengan Tax
Treaty merupakan sebuah perjanjian kerjasama yang dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia dengan Pemerintah negara lainnya yang merupakan mitra dari negara
Indonesia atau yurisdiksi mitra dengan tujuan untuk menghindari pengenaan pajak
berganda dan pengelakan pajak oleh Wajib Pajak.

Awal mula adanya Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) ini dimulai
dengan berdasar pada Peraturan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983Tentang Pajak
Penghasilan dan telah diubah beberapa kali hingga perubahan terakhir pada Peraturan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Tepatnya pada
Pasal 32A menyatakan bahwa pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan
perjanjian dengan pemerintah negara lain dengan tujuan menghindari pajak berganda
dan pencegahan pengelakan pajak.

Berdasarkan dengan Pasal tersebut muncul lah kebijakan yang benar-benar


menegaskan dan mengatur mengenai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
di Indonesia yang disahkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-15/PJ/2018 Tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda.

Anda mungkin juga menyukai