PENDAHULUAN
1
Gambar 1 : Reaksi biokimia pemecahan Asetilkolin oleh Cholinesterase (Shinde, 2005).
2
otot dengan menghentikan aktvitas listrik di serat otot saat tidak ada sinyal.
Kontraksi otot terjadi karena asetilkolin berkontak dengan motor end plate
sehingga aliran Na+ dan K+ tetap ada untuk menimbulkan energi potensial. Jika
kerja asetilkolin ini terus dibiarkan maka otot akan terus bekerja sehingga
menimbulkan kelelahan otot (Sherwood, 2014).
3
sinaps-sinaps kolinergi esterase. Hidrolisis asetilkolin oleh cholinesterase
berlangsung dalam beberapa milidetik setelah dikeluarkan dari presinaps sehingga
dapat menjadi dasar penjelasan perubahan konduktans Na+ dan kegiatan listrik
yang terjadi pada transmisi sinaps (Knechtges, 2008; Guyton et al., 2012).
Pemeriksaan aktifitas Cholinesterase dalam darah digunakan untuk
mengetahui fungsi hati dan merupakan parameter yang cukup sensitif untuk
mengetahui adanya keracunan secara inhalasi atau kontak dengan bahan
organofosfat, yang menginhibisi aktifitas cholinesterase. Secara umum, jika
aktivitas cholinesterase jaringan tubuh mengalami peningkatan atau penurunan,
akan berdampak pada kelumpuhan pada sistem saraf pusat (Worek et al., 2013).
Kontrol genetik dari aktifitas cholinesterase penting secara praktik klinis.
Terdapat 2 bentuk serum yaitu, normal dan atipikal. Individu homozigot atipikal
dibedakan dengan homozigot normal. Homozigot atipikal mempunyai kadar
cholinesterase yang sangat sedikit dan tidak diinhibisi oleh dibucaine. Homozigot
normal mempunyai kadar cholinesterase yang tinggi diinhibisi oleh dibucaine.
Sedangkan untuk heterozigot mempunyai kadar menengah dan respon terhadap
inhibitor. Fakta ini penting untuk diketahui secara klinis berkenaan dengan
mekanisme relaksasi otot (succinylcholine). Seseorang dengan tipe homozigot
atipikal yang menerima succinylcholine dapat menyebabkan terjadinya apnea
yang berkepanjangan (Tietz, 2000).
Kadar cholinesterase yang tinggi dapat digunakan untuk mendeteksi
adanya keracunan pestisida, baik yang didapat dengan cara inhalasi maupun
kontak langsung dengan bahan yang mengandung organofosfatase (Knechtges,
2008). Sementara itu kadar cholinesterase yang rendah ditemui pada pasien
dengan hepatitis, sirosis hepatis, metastase hepatik, gagal jantung karena kongestif
hepar, amubiasis hepatik, malnutrisi, anemia, infeksi akut, emboli paru,
plasmaferesis, dermatomiositis, distrofi otot, sesudah operasi, gagal ginjal kronik,
kondisi serum albumin rendah, dermatitis eksfoliatif (Tietz, 2000).
Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengukur kadar
cholinesterase dalam tubuh. Namun terdapat tiga kategori pemeriksaan yang
4
sampai dengan saat ini masih banyak digunakan dalam pengukuran kadar
cholinesterase (Wilson, 2005).
1. Metode Delta pH.
Prinsip dari metode tersebut adalah memastikan adanya perubahan pH yang
diamati dalam periode tertentu. Metode ini menggunakan RBC/plasma darah
sebagai sampel. Kelebihan metode ini adalah dapat mengetahui variasi kadar
kolinesterase dalam periode tertentu, namun metode ini sudah jarang
digunakan karena hasil yang didapat tidak cukup mewakili kadar
kolinesterase dalam darah, serta membutuhkan waktu pemeriksaan yang lebih
lama.
2. Metode Radioaktif Acetylcholine.
Prinsip pemeriksaannya dengan menggunakan reaksi enzimatik melalui
ekstraksi organik. Kelebihan dari metode ini dapat mengetahui kadar
kolinesterase dalam serum dengan lebih akurat dan dapat menentukan kadar
kolinesterase pada beberapa tingkat aktivitas enzimatiknya. Metode ini sangat
jarang digunakan dikarenakan biaya yang dibutuhkan terlalu besar serta
penggunaan radioactive dianggap tidak ramah lingkungan.
3. Metode Kinetic Assay.
Metode ini memiliki banyak prinsip pemeriksaan, namun yang paling banyak
direkomendasikan adalah dengan menggunakan metode Ellman. Prinsip
kerjanya dengan menggunaan thiocholine substrat, melalui hidrolisis
asetilkolin oleh kolinesterase yang dipastikan dengan penggunaan
spectrophotometer. Kelebihan dari metode ini adalah hasil pemeriksaan
dapat diketahui dalam waktu yang lebih cepat memiliki sensitifitas yang
tinggi, dikarenakan hasil yang didapat dinyatakan dalam bentuk
mikromol/min/mL (Wilson, 2005).
Beberapa perbedaan metode yang digunakan berkaitan dengan hasil yang
didapatkan. Hasil yang didapatkan dapat berupa hasil pengujian berkala atau
dalam bentuk kadar cholinesterase serial. Beberapa metode laboratorium baru
untuk menganalisis kadar cholinesterase telah dikembangkan dalam beberapa
tahun terakhir. Salah satu metode tersebut adalah metode analisis yang dilakukan
5
dengan cara mengukur enzim cholinesterase secara kuantitatif. Metode lain yang
dikembangkan adalah metode proteomic menggunakan spektrometri massa, yang
secara kuantitatif mengukur kadar peptide yang telah dimodifikasi secara kimiawi,
hasil pengujian dengan metode ini dinilai cukup sensitif (Haigh et al., 2006).
Pada karya tulis ini akan dibahas pemeriksaan cholinesterase dengan metode
butyrylthiocholine. Prinsip pemeriksaan metode ini yaitu cholinesterase akan
menghidrolisis butyrylthiocoline menjadi butyrate dan thiocholine, yang bereaksi
dengan 5,5’-dithiobis (2-asam nitrobenzoic) menjadi 5-thio-2-nitrobenzoate.
Perubahan ini bisa diamati dengan pembentukan warna kuning yang diukur secara
spektrofotometri di 405 nm. Pada pemeriksaan menggunakan metode ini sangat
sederhana dan dapat memberikan hasil yang diandalkan (Adak et al., 2015).
6
BAB II
PEMERIKSAAN CHOLINESTERASE
METODE BUTYRYLTHIOCHOLINE
A. Pra Analitik
1. Tujuan
Untuk mengukur aktifitas enzim cholinesterase secara kuantitatif dalam
serum dan plasma darah secara kuantitatif.
2. Alat dan Bahan
a. Alat
Pemeriksaan aktifitas enzim cholinesterase dalam serum dan plasma ini
menggunakan The ADVIA® 1800 Clinical Chemistry System, produksi
Siemens Healthcare Diagnostics Inc.
b. Bahan
i. Aquades bebas CO2 atau distilled water sebanyak 15 mL.
ii. Buffer 2 mL untuk masing-masing tabung mengandung phosphate,
surfaktan dan EDTA.
7
iii. Reagen 1 mengandung 0,26 mmol/L 5,5’ dithiobis (2-nitrobenzoic
acid) dan 51,40 mmol/L buffer fosfat.
iv. Reagen 2 mengandung 7,00 mmol/L butyrylthiocholine iodine.
v. Sampel serum atau plasma darah dengan lithium heparin.
3. Persiapan
a. Persiapan pasien
Sebelum pemeriksaan tidak diperlukan persiapan khusus, karena aktivitas
fisik dan waktu pengambilan sampel tidak banyak berpengaruh pada
perubahan kadar cholinesterase.
b. Persiapan reagen
Reagen cholinesterase dimasukkan ke dalam kontainer reagen dengan
hati-hati.
c. Persiapan alat
i. Kalibrasi.
Kalibrasi pada metode ini menggunakan Factor Value (FV) yang
berdasarkan dari koefisien molar dari 5-thio-2-nitrobenzoate pada 410
nm. Satu unit didefinisikan sebagai jumlah enzim yang dibutuhkan
untuk menghasilkan 1 µmol dari 5-thio-2-nitrobenzoate per menit
dalam assay.
ii. Quality Control (QC)
Quality control dengan menggunakan standar yang telah
direkomendasikan oleh pihak penyedia alat. Selama operasi dari
analisa setidaknya dua tingkat bahan kontrol kualitas yang tepat harus
diuji minimal sekali sehari. Selain itu, kontrol harus dilakukan setelah
kalibrasi, dengan masing-masing reagen baru. Kualitas pengujian
kontrol harus dilakukan sesuai dengan persyaratan peraturan dan
prosedur standar masing-masing laboratorium. Hasil kontrol diterima
bila sesuai dengan range yang ditentukan. Larutan kontrol harus
sesuai dengan spesifikasi alat.
Siemens Diagnostic menyarankan menggunakan ADVIA Chemistry
Special Chemistry Control. Jika digunakan, integrasi kontrol ini ke
8
dalam klinis laboratorium dari program dan prosedur quality control.
Siemens Diagnostic tidak mengevaluasi penggunaannya dari material
kontrol lain dengan metode ini.
Level kepuasan didapatkan ketika nilai analisis berada dalam
Acceptable Control Range. Frekuensi aktual dari kontrol pada
laboratorium berdasarkan berbagai faktor seperti alur kerja,
pengalaman sistem, dan regulasi pemerintah. Setiap laboratorium
harus mengevaluasi kontrol berdasarkan frekuensi yang dibuat oleh
guideline laboratoriumnya sendiri. Ketika metode ini digunakan,
Siemen Diagnostic menyarankan menganalisis setidaknya 2 level
kontrol rutin. Kontrol assay dilakukan setidaknya pada kondisi
berikut:
- Ketika menggunakan reagen baru.
- Pengaturan, pembersihan, atau prosedur troubleshooting.
- Setelah melakukan kalibrasi baru.
4. Sampel
Dianjurkan untuk menggunakan darah segar yang kemudian disentrifus.
Sampel yang dibutuhkan adalah serum atau plasma dengan menggunakan
lithium heparin. Serum cholinesterase stabil pada serum atau plasma selama
7 hari pada suhu 2-8o C.
5. Penyimpanan Reagen
Reagen yang belum digunakan dan masih tersegel disimpan pada suhu 2-8
℃, hindari sinar, dan dapat bertahan sampai dengan masa kadaluarsa yang
tertera pada kemasan/ wadah reagen. Tidak dianjurkan untuk meletakkan
reagen di dalam freezer. Reagen yang sudah dibuka tetap stabil hingga 2
minggu setelah kemasan dibuka pertama kali apabila tidak ada kontaminasi.
Reagen tidak dapat digunakan bila reagen berkabut atau nilai absorbance
pada 450 nm < 1300.
6. Persiapan reagen
Reagen 1:
1. Rekonstitusi kandungan vial R1 dengan 25 ml air deionisasi
9
2. Kocok vial secara perlahan
3. Campur vial dengan inversi setidaknya 5 kali hingga isinya tercampur
4. Pindahkan seluruh isinya ke R1 WEDGE
Reagen 2:
1. Rekonstitusi kandungan vial R2 dengan 9 ml air deionisasi
2. Kocok vial secara perlahan
3. Campur vial dengan inversi setidaknya 5 kali hingga isinya tercampur
4. Pindahkan seluruh isinya ke R2 WEDGE
B. Analitik
1. Prinsip Kerja
Cholinesterase mengkatalisasi hidrolisis dari butyrylthocoline (BTC)
menjadi butyrate dan thiocholine. Selanjutnya, thiocholine akan mereduksi
5,5’-dithiobis (2-asam nitrobenzoic) (DTNB) menjadi 5-thio-2-
nitrobenzoate (TNB).
BTC + H2O Cholinesterase
Butyrate + Thiocoline
DTNB + Thiocoline TNB
Cholinesterase ADVIA didasarkan pada metode Ellman. Acetylthiocholine
(AcTC) atau butyrylthiocholine (BuTC) dihidrolisis oleh ACholinesterase
atau PCholinesterase, masing-masing, menghasilkan asam karboksilat dan
thiocholine yang bereaksi dengan reagen Ellman (DTNB, asam
dithionitrobenzoic) untuk membentuk warna kuning yang diukur
spektrofotometri di 405 nm. Laju pembentukan warna sebanding dengan
jumlah baik ACholinesterase atau PCholinesterase.
Cholinesterase
thiocholine ester (AcTC / BuTC) =============> thiocholine
thiocholine + DTNB ============> TNB-thiocholine + TNB (kuning).
C. Paska Analitik
1. Cholinesterase yang dihitung oleh analyzer fotometri menggunakan
persamaan berikut:
10
Dengan faktor teoritis:
IU/L = (∆ Abs/menit) x 65804
µKat/L = (∆ Abs/menit) x 1097
Dengan serum multicalibrator :
Aktivitas serum cholinesterase =
4. Presisi
Setiap sampel diukur 2 kali setiap putaran, 1 atau 2 putaran tiap hari, hingga
setidaknya 16 hari. Presisi diukur berdasarkan CLSI document EP05-A2.
11
Intra-assay (n=20) Inter-assay (n=20)
Mean (U/L) 5592 3087 6277 3254
SD 70 56.1 50.5 66.0
CV (%) 1.17 1.82 0.80 2.03
12
BAB III
SIMPULAN
13
DAFTAR PUSTAKA
Guyton dan Hall. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. h.88-90.
Howland RD, Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC, Mycek MJ. Pharmacology 3rd
edition, Lippincott’s Illustrated Reviews, 2008; 51.
Nestler, E.J, Hyman, S.E and Melanka, R.C., 2001, Molecular Neuropharmacology: A
Foundation for Medical Neuroscience, McGraw-Hill Company, New York, p
358-361
Sherwood, Lauralee 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC. h.256-
258.
Shinde R, Chatterjea MN. 2005. Textbook of Medical Biochemistry (6th ed.). New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publications (P) Ltd. p. 565.
Tietz NW. 2000. Clinical Guide to Laboratory Tests, 4 th Edition. W.B. Saunders Co.
Philadelphia, PA.
14
15