Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Cholinesterase atau disebut asetylcholinesterase adalah suatu enzim yang


terdapat didalam jaringan tubuh yang berperan untuk menjaga sistem saraf pusat
berfungsi dengan tepat. Cholinesterase dapat ditemukan pada membran sel
terminal saraf kolinergik juga pada membran lainnya, seperti dalam plasma darah
dan sel plasenta (Knechtges, 2008).
Cholinesterase adalah enzim yang mengkatalisa hidrolisis dari
neurotransmitter asetilkolin (Ach) dalam kolin dan asam asetat, reaksi yang
diperlukan untuk memungkinkan neuron kolinergik untuk kembali ke keadaan
istirahat setelah aktivasi. Terdapat dua jenis:

1). Acetylcholinesterase (AChE, acetylhydrolase acetycholine) ditemukan banyak


jenis di jaringan: saraf dan otot, jaringan pusat dan perifer, motor dan serat
sensorik, dan kolinergik dan serat noncholinergic. Aktivitas AChE lebih tinggi
pada motor neuron dari dalam neuron sensorik. AChE juga ditemukan dalam
membran sel darah merah, di mana merupakan antigen golongan darah.

2). Pseudocholinesterase (Buche), juga dikenal sebagai cholinesterase plasma,


butyrylcholinesterase, atau acylcholine acylhydrolase, ditemukan terutama di hati.
Berbeda dari AChE, Buche menghidrolisis butyrylcholine lebih cepat dari Ach.
Peran biologis tidak diketahui. (Colovic et al., 2013)

1
Gambar 1 : Reaksi biokimia pemecahan Asetilkolin oleh Cholinesterase (Shinde, 2005).

Asetilkolin merupakan salah satu jenis neurotransmitter yang dikeluarkan


oleh sistem saraf melalui ujung akson neuron presinaps. Neurotransmitter
dikeluarkan dengan distribusi yang terbatas ke sel-sel sasaran spesifik didekatnya,
kemudian dengan cepat akan mengalami inaktivasi oleh enzim-enzim yang berada
ditaut sel saraf-sel sasaran atau diserap kembali sebelum mencapai darah oleh
ujung-ujung saraf (Howland et al., 2008).
Asetilkolinesterase merupakan enzim yang berfungsi sebagai katalis untuk
menghidrolisis asetilkolin menjadi kolin dan asetat. Kolin merupakan amina
penting yang merupakan prekusor dari fosfolipid, fosfatidilcholine, serta
sfingomielin membran dan merupakan prekusor dari penggiat platelet fosfolipid.
Kolin secara aktif diambil ke dalam neuron kolinergik dengan menggunakan suatu
kendaraan khusus. Sementara itu, asetat diaktifkan melalui penggabungan gugus
asetat dengan koenzim A reduksi. Reaksi antara asetat aktif dengan kolin,
dikatalisis oleh enzim kolinasetiltransferase. Enzim ini ditemukan pada
konsentrasi tinggi di sitoplasma ujung-ujung saraf kolinergik (Knechtges, 2008).
Seluruh sistem saraf yang mempersarafi otot-otot rangka dalam tubuh
(neuron motorik) menggunakan neurotransmiter yang sama yaitu asetilkolin.
Kontraksi otot rangka dapat terjadi jika asetilkolin masuk dalam darah dan
menempati reseptor yang identik (Nestler, 2001).
Inaktivasi asetilkolin disebabkan oleh adanya enzim asetilkolinesterase
yang terdapat pada membran motor end plate. Enzim ini mengontrol kontraksi

2
otot dengan menghentikan aktvitas listrik di serat otot saat tidak ada sinyal.
Kontraksi otot terjadi karena asetilkolin berkontak dengan motor end plate
sehingga aliran Na+ dan K+ tetap ada untuk menimbulkan energi potensial. Jika
kerja asetilkolin ini terus dibiarkan maka otot akan terus bekerja sehingga
menimbulkan kelelahan otot (Sherwood, 2014).

Gambar 2. Mekanisme kerja enzim asetilkolinesterase pada membrane motor endplate


(Shinde,2005)

Mekanisme pelepasan asetilkolin, kerja enzim asetilkolinesterase, dan


inaktivasi asetilkolin dipengaruhi oleh beberapa zat kimia dan juga beberapa
mekanisme khusus. Zat kimia yang dapat mempengaruhi mekanisme tersebut
misalnya adalah toksin Clostridium botulinum, kurare, dan beberapa macam
organofospat seperti malation dan parathion. Pengaruh dari gangguan yang terjadi
pada mekanisme kerja asetilkolin-enzim asetilkolinesterase dapat menyebabkan
beberapa jenis penyakit seperti miastenia gravis, botulisme, dan alzheimer
(Sherwood, 2014). .
Enzim asetilkolinesterase yang disintesis di dalam hati merupakan enzim
cholinesterase yang berada pada eritrosit, saraf, dan neuromuscular junction.
Molekul-molekul cholinesterase spesifik tersebar di membran postsinaps dan

3
sinaps-sinaps kolinergi esterase. Hidrolisis asetilkolin oleh cholinesterase
berlangsung dalam beberapa milidetik setelah dikeluarkan dari presinaps sehingga
dapat menjadi dasar penjelasan perubahan konduktans Na+ dan kegiatan listrik
yang terjadi pada transmisi sinaps (Knechtges, 2008; Guyton et al., 2012).
Pemeriksaan aktifitas Cholinesterase dalam darah digunakan untuk
mengetahui fungsi hati dan merupakan parameter yang cukup sensitif untuk
mengetahui adanya keracunan secara inhalasi atau kontak dengan bahan
organofosfat, yang menginhibisi aktifitas cholinesterase. Secara umum, jika
aktivitas cholinesterase jaringan tubuh mengalami peningkatan atau penurunan,
akan berdampak pada kelumpuhan pada sistem saraf pusat (Worek et al., 2013).
Kontrol genetik dari aktifitas cholinesterase penting secara praktik klinis.
Terdapat 2 bentuk serum yaitu, normal dan atipikal. Individu homozigot atipikal
dibedakan dengan homozigot normal. Homozigot atipikal mempunyai kadar
cholinesterase yang sangat sedikit dan tidak diinhibisi oleh dibucaine. Homozigot
normal mempunyai kadar cholinesterase yang tinggi diinhibisi oleh dibucaine.
Sedangkan untuk heterozigot mempunyai kadar menengah dan respon terhadap
inhibitor. Fakta ini penting untuk diketahui secara klinis berkenaan dengan
mekanisme relaksasi otot (succinylcholine). Seseorang dengan tipe homozigot
atipikal yang menerima succinylcholine dapat menyebabkan terjadinya apnea
yang berkepanjangan (Tietz, 2000).
Kadar cholinesterase yang tinggi dapat digunakan untuk mendeteksi
adanya keracunan pestisida, baik yang didapat dengan cara inhalasi maupun
kontak langsung dengan bahan yang mengandung organofosfatase (Knechtges,
2008). Sementara itu kadar cholinesterase yang rendah ditemui pada pasien
dengan hepatitis, sirosis hepatis, metastase hepatik, gagal jantung karena kongestif
hepar, amubiasis hepatik, malnutrisi, anemia, infeksi akut, emboli paru,
plasmaferesis, dermatomiositis, distrofi otot, sesudah operasi, gagal ginjal kronik,
kondisi serum albumin rendah, dermatitis eksfoliatif (Tietz, 2000).
Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengukur kadar
cholinesterase dalam tubuh. Namun terdapat tiga kategori pemeriksaan yang

4
sampai dengan saat ini masih banyak digunakan dalam pengukuran kadar
cholinesterase (Wilson, 2005).
1. Metode Delta pH.
Prinsip dari metode tersebut adalah memastikan adanya perubahan pH yang
diamati dalam periode tertentu. Metode ini menggunakan RBC/plasma darah
sebagai sampel. Kelebihan metode ini adalah dapat mengetahui variasi kadar
kolinesterase dalam periode tertentu, namun metode ini sudah jarang
digunakan karena hasil yang didapat tidak cukup mewakili kadar
kolinesterase dalam darah, serta membutuhkan waktu pemeriksaan yang lebih
lama.
2. Metode Radioaktif Acetylcholine.
Prinsip pemeriksaannya dengan menggunakan reaksi enzimatik melalui
ekstraksi organik. Kelebihan dari metode ini dapat mengetahui kadar
kolinesterase dalam serum dengan lebih akurat dan dapat menentukan kadar
kolinesterase pada beberapa tingkat aktivitas enzimatiknya. Metode ini sangat
jarang digunakan dikarenakan biaya yang dibutuhkan terlalu besar serta
penggunaan radioactive dianggap tidak ramah lingkungan.
3. Metode Kinetic Assay.
Metode ini memiliki banyak prinsip pemeriksaan, namun yang paling banyak
direkomendasikan adalah dengan menggunakan metode Ellman. Prinsip
kerjanya dengan menggunaan thiocholine substrat, melalui hidrolisis
asetilkolin oleh kolinesterase yang dipastikan dengan penggunaan
spectrophotometer. Kelebihan dari metode ini adalah hasil pemeriksaan
dapat diketahui dalam waktu yang lebih cepat memiliki sensitifitas yang
tinggi, dikarenakan hasil yang didapat dinyatakan dalam bentuk
mikromol/min/mL (Wilson, 2005).
Beberapa perbedaan metode yang digunakan berkaitan dengan hasil yang
didapatkan. Hasil yang didapatkan dapat berupa hasil pengujian berkala atau
dalam bentuk kadar cholinesterase serial. Beberapa metode laboratorium baru
untuk menganalisis kadar cholinesterase telah dikembangkan dalam beberapa
tahun terakhir. Salah satu metode tersebut adalah metode analisis yang dilakukan

5
dengan cara mengukur enzim cholinesterase secara kuantitatif. Metode lain yang
dikembangkan adalah metode proteomic menggunakan spektrometri massa, yang
secara kuantitatif mengukur kadar peptide yang telah dimodifikasi secara kimiawi,
hasil pengujian dengan metode ini dinilai cukup sensitif (Haigh et al., 2006).
Pada karya tulis ini akan dibahas pemeriksaan cholinesterase dengan metode
butyrylthiocholine. Prinsip pemeriksaan metode ini yaitu cholinesterase akan
menghidrolisis butyrylthiocoline menjadi butyrate dan thiocholine, yang bereaksi
dengan 5,5’-dithiobis (2-asam nitrobenzoic) menjadi 5-thio-2-nitrobenzoate.
Perubahan ini bisa diamati dengan pembentukan warna kuning yang diukur secara
spektrofotometri di 405 nm. Pada pemeriksaan menggunakan metode ini sangat
sederhana dan dapat memberikan hasil yang diandalkan (Adak et al., 2015).

6
BAB II
PEMERIKSAAN CHOLINESTERASE
METODE BUTYRYLTHIOCHOLINE

A. Pra Analitik
1. Tujuan
Untuk mengukur aktifitas enzim cholinesterase secara kuantitatif dalam
serum dan plasma darah secara kuantitatif.
2. Alat dan Bahan
a. Alat
Pemeriksaan aktifitas enzim cholinesterase dalam serum dan plasma ini
menggunakan The ADVIA® 1800 Clinical Chemistry System, produksi
Siemens Healthcare Diagnostics Inc.

Gambar 3. The ADVIA® 1800 Clinical Chemistry System (Siemens,


2015).

b. Bahan
i. Aquades bebas CO2 atau distilled water sebanyak 15 mL.
ii. Buffer 2 mL untuk masing-masing tabung mengandung phosphate,
surfaktan dan EDTA.

7
iii. Reagen 1 mengandung 0,26 mmol/L 5,5’ dithiobis (2-nitrobenzoic
acid) dan 51,40 mmol/L buffer fosfat.
iv. Reagen 2 mengandung 7,00 mmol/L butyrylthiocholine iodine.
v. Sampel serum atau plasma darah dengan lithium heparin.
3. Persiapan
a. Persiapan pasien
Sebelum pemeriksaan tidak diperlukan persiapan khusus, karena aktivitas
fisik dan waktu pengambilan sampel tidak banyak berpengaruh pada
perubahan kadar cholinesterase.
b. Persiapan reagen
Reagen cholinesterase dimasukkan ke dalam kontainer reagen dengan
hati-hati.
c. Persiapan alat
i. Kalibrasi.
Kalibrasi pada metode ini menggunakan Factor Value (FV) yang
berdasarkan dari koefisien molar dari 5-thio-2-nitrobenzoate pada 410
nm. Satu unit didefinisikan sebagai jumlah enzim yang dibutuhkan
untuk menghasilkan 1 µmol dari 5-thio-2-nitrobenzoate per menit
dalam assay.
ii. Quality Control (QC)
Quality control dengan menggunakan standar yang telah
direkomendasikan oleh pihak penyedia alat. Selama operasi dari
analisa setidaknya dua tingkat bahan kontrol kualitas yang tepat harus
diuji minimal sekali sehari. Selain itu, kontrol harus dilakukan setelah
kalibrasi, dengan masing-masing reagen baru. Kualitas pengujian
kontrol harus dilakukan sesuai dengan persyaratan peraturan dan
prosedur standar masing-masing laboratorium. Hasil kontrol diterima
bila sesuai dengan range yang ditentukan. Larutan kontrol harus
sesuai dengan spesifikasi alat.
Siemens Diagnostic menyarankan menggunakan ADVIA Chemistry
Special Chemistry Control. Jika digunakan, integrasi kontrol ini ke

8
dalam klinis laboratorium dari program dan prosedur quality control.
Siemens Diagnostic tidak mengevaluasi penggunaannya dari material
kontrol lain dengan metode ini.
Level kepuasan didapatkan ketika nilai analisis berada dalam
Acceptable Control Range. Frekuensi aktual dari kontrol pada
laboratorium berdasarkan berbagai faktor seperti alur kerja,
pengalaman sistem, dan regulasi pemerintah. Setiap laboratorium
harus mengevaluasi kontrol berdasarkan frekuensi yang dibuat oleh
guideline laboratoriumnya sendiri. Ketika metode ini digunakan,
Siemen Diagnostic menyarankan menganalisis setidaknya 2 level
kontrol rutin. Kontrol assay dilakukan setidaknya pada kondisi
berikut:
- Ketika menggunakan reagen baru.
- Pengaturan, pembersihan, atau prosedur troubleshooting.
- Setelah melakukan kalibrasi baru.
4. Sampel
Dianjurkan untuk menggunakan darah segar yang kemudian disentrifus.
Sampel yang dibutuhkan adalah serum atau plasma dengan menggunakan
lithium heparin. Serum cholinesterase stabil pada serum atau plasma selama
7 hari pada suhu 2-8o C.
5. Penyimpanan Reagen
Reagen yang belum digunakan dan masih tersegel disimpan pada suhu 2-8
℃, hindari sinar, dan dapat bertahan sampai dengan masa kadaluarsa yang
tertera pada kemasan/ wadah reagen. Tidak dianjurkan untuk meletakkan
reagen di dalam freezer. Reagen yang sudah dibuka tetap stabil hingga 2
minggu setelah kemasan dibuka pertama kali apabila tidak ada kontaminasi.
Reagen tidak dapat digunakan bila reagen berkabut atau nilai absorbance
pada 450 nm < 1300.
6. Persiapan reagen
Reagen 1:
1. Rekonstitusi kandungan vial R1 dengan 25 ml air deionisasi

9
2. Kocok vial secara perlahan
3. Campur vial dengan inversi setidaknya 5 kali hingga isinya tercampur
4. Pindahkan seluruh isinya ke R1 WEDGE
Reagen 2:
1. Rekonstitusi kandungan vial R2 dengan 9 ml air deionisasi
2. Kocok vial secara perlahan
3. Campur vial dengan inversi setidaknya 5 kali hingga isinya tercampur
4. Pindahkan seluruh isinya ke R2 WEDGE

B. Analitik
1. Prinsip Kerja
Cholinesterase mengkatalisasi hidrolisis dari butyrylthocoline (BTC)
menjadi butyrate dan thiocholine. Selanjutnya, thiocholine akan mereduksi
5,5’-dithiobis (2-asam nitrobenzoic) (DTNB) menjadi 5-thio-2-
nitrobenzoate (TNB).
BTC + H2O Cholinesterase
Butyrate + Thiocoline
DTNB + Thiocoline TNB
Cholinesterase ADVIA didasarkan pada metode Ellman. Acetylthiocholine
(AcTC) atau butyrylthiocholine (BuTC) dihidrolisis oleh ACholinesterase
atau PCholinesterase, masing-masing, menghasilkan asam karboksilat dan
thiocholine yang bereaksi dengan reagen Ellman (DTNB, asam
dithionitrobenzoic) untuk membentuk warna kuning yang diukur
spektrofotometri di 405 nm. Laju pembentukan warna sebanding dengan
jumlah baik ACholinesterase atau PCholinesterase.
Cholinesterase
thiocholine ester (AcTC / BuTC) =============> thiocholine
thiocholine + DTNB ============> TNB-thiocholine + TNB (kuning).

C. Paska Analitik
1. Cholinesterase yang dihitung oleh analyzer fotometri menggunakan
persamaan berikut:

10
Dengan faktor teoritis:
IU/L = (∆ Abs/menit) x 65804
µKat/L = (∆ Abs/menit) x 1097
Dengan serum multicalibrator :
Aktivitas serum cholinesterase =

( ∆|¿| menit) Assay


× aktivitas kalibrator
( ∆|¿|menit )Kalibrator

2. Sensitifitas analitik (minimum detection limit) The ADVIA® 1800 Clinical


Chemistry System adalah 123 IU/L.
3. Spesifitas/interferensi.
a. Trigliserida: ≥1000 mg/dl.
b. Bilirubin: ≥20 mg/dl.
c. Hemolisis : ≥500 mg/dl.

Tabel 1: Nilai Level Interferensi (Siemens, 2015)

4. Presisi
Setiap sampel diukur 2 kali setiap putaran, 1 atau 2 putaran tiap hari, hingga
setidaknya 16 hari. Presisi diukur berdasarkan CLSI document EP05-A2.

11
Intra-assay (n=20) Inter-assay (n=20)
Mean (U/L) 5592 3087 6277 3254
SD 70 56.1 50.5 66.0
CV (%) 1.17 1.82 0.80 2.03

Tabel 2 : Nilai Presisi (Siemens, 2015)


5. Linearitas
Linearitas The ADVIA® 1800 Clinical Chemistry System hingga 25.000
IU/L.
6. Nilai Rujukan
Nilai rujukan dari metode ini adalah 4.900 – 11.900 U/L.
Pada suhu 37oC IU/L µKat/L
Laki-laki 5.900 – 12.200 98-203
Perempuan 4.700 – 10.400 78-173

Tabel 3 : Nilai Rujukan (Siemens,2015)

12
BAB III
SIMPULAN

1. Cholinesterase atau disebut enzim asetylcholinesterase adalah suatu enzim


yang terdapat didalam jaringan tubuh yang berperan untuk menjaga sistem
saraf pusat berfungsi dengan tepat.

2. Pemeriksaan Cholinesterase dalam darah umumnya digunakan untuk


mengetahui fungsi hati, parameter keracunan insektisida karbamat atau
organofosfat serta dapat digunakan sebelum melakukan anastesi dengan
succinylcholine untuk menyingkirkan kelainan genetis defisiensi
cholinesterase.
3. Metode standar yang sering digunakan untuk pemeriksaan Cholinesterase
adalah metode Ellman yaitu Acetylthiocholine (AcTC) atau butyrylthiocholine
(BuTC) dihidrolisis oleh Asetilkolinesterase atau Pseudokolinesterase.
4. Metode tersebut dijadikan gold standart dikarenakan pemeriksaan tersebut
sederhana dan hasil dapat diandalkan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Adak A, Eswarappa R, Nagarajan S, Mukhopadhayay SK. 2015. Validation of


Cholinesterase (Acetyl and Butyryl) Activity Estimation in the Blood and Brain of
Wistar Rats. IJRST (1) 4: 255-259.

Guyton dan Hall. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. h.88-90.

Howland RD, Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC, Mycek MJ. Pharmacology 3rd
edition, Lippincott’s Illustrated Reviews, 2008; 51.

Knechtges PL. 2008. An Evaluation Of Blood Cholinesterase Testing Methods For


Military Health Surveillance. United States Army Center for Environmental
Health Research Fort Detrick, MD 21702-5010.

Colovic M, Krstic D and Lazarevic T, 2013. Acetylcholinesterase and Toxicology: Curr


Neuropharmacology 2013 May; 11(3): 315-335.

Nestler, E.J, Hyman, S.E and Melanka, R.C., 2001, Molecular Neuropharmacology: A
Foundation for Medical Neuroscience, McGraw-Hill Company, New York, p
358-361

Sherwood, Lauralee 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC. h.256-
258.
Shinde R, Chatterjea MN. 2005. Textbook of Medical Biochemistry (6th ed.). New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publications (P) Ltd. p. 565.
Tietz NW. 2000. Clinical Guide to Laboratory Tests, 4 th Edition. W.B. Saunders Co.
Philadelphia, PA.

Wilson B. 2005. Monitoring cholinesterases to detect pesticide exposure. Chemico-


Biological Interactions. 157-158; 253-256.

Wilson B. 2006. Improving blood monitoring of enzymes as biomarkers of risk from


anticholinergic pesticides and chemical warfare agents. Annual Report, Contract
DAMD17-01-1-0772, 1 October 2006, DTIC.

Worek F, Baumann M, Pfeiffer B, Aurbek N, Balszuweit F, Thiermann H. 2013.


Cholinesterase Kit for Field Diagnosis of Organophosphate Exposure.
Challenge: CBRN Medical Defense International.

14
15

Anda mungkin juga menyukai