Anda di halaman 1dari 10

K3 PERTANIAN

ENZYM CHOLINESTERASE
OLEH : KELOMPOK 7

FIDELA SAUFIKA LUKUM


MUH. NUR IHSAN
DAFTAR ISI
SAMPUL .................................................................................................................

DAFTAR ISI ..........................................................................................................1

A. Pengertian Enzym Cholinesterase...................................................................... 2

B. Pengaruh Paparan Pestisida Terhadap Asetilkolinesterase................................ 3

C. Penentuan Kandungan Asetilkolinesterase........................................................ 4

D.  Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Aktivitas Kolinesterase .......................... 5

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 9

1
ENZYM CHOLINESTERASE

A. Pengertian Enzym Cholinesterase

Cholinesterase adalah enzim yang berada di dalam jaringan tubuh yang memiliki peran
untuk menjaga agar sel-sel syaraf, otot-otot dan kelenjar-kelenjar dapat bekerja dengan baik.
Apabila aktivitas cholinesterase sampai pada tingkat yang rendah kira-kira 20% dari keadaan
normal maka gejala keracunan akan terlihat, seperti pupil mata atau celah iris mata
menyempit sehingga penglihatan kabur. mengeluarkan air mata yang diakibatkan dari
gerakan otot yang melemah, mengeluarkan air liur yang banyak, mual, pusing, kejang
kejang, muntah-muntah, detak jantung menjadi cepat, sesak napas, otot tidak dapat
digerakkan sehingga pingsan dan otot pernapasan mulai lumpuh dapat menyebabkan
kematian. Departemen Kesehatan menetapkan untuk mengetahui tingkat keracunan pestisida
dilakukan pengukuran kadar cholinesterase di dalam darah menggunakan metode
Tintometer kit.

Menurut Jacob et al (1990) dua tipe kolinesterase yang dijumpai dalam darah yaitu :

1. “true” cholinesterase(acethylcholinesterase) dalam sel darah merah.


2. “pseudocholinesterase” ( acythylcholine acylhydrolase) pada serum/plasma.

Asetilkolinesterase dalam butir/sel darah merah lebih banyak dibandingkan dengan


pseudokolinesterase. Keduanya merupakan indikator, plasma dipakai sedikit penurunannya
bila kontak dengan organofosfat meskipun dalam jumlah sedikit (WHO, 1986). Kadar
kolinesterase untuk lakilaki dewasa berbeda dengan kadar kolinesterase perempuan dewasa.
Dalam keadaan normal kadar kolinesterase laki-laki dewasa 2,3 – 7,4 µ/ml (25 oC),
sedangkan perempuan dewasa 2,0 – 6, 7 µ/ml (25 oC) (Merk, 1977 dalam Wiyono, 1981).
Hambatan pada kolinesterase akan menyebabkan terjadinya penumpukan asetilkolin
sehingga dapat menimbulkan efek muskarinik, nikotinik maupun menurunnya fungsi saraf
pusat dan berakibat fatal. Kadar kolinesterase merupakan petanda biologis (biomarker)
terjadinya keracunan senyawa golongan organofosfat dan karbamat.

2
Table Indikator Tingkat Keracunan menurut tingkat aktifitas cholinesterase dalam darah
Aktifitas Tingkat Keracunan dan Tindakan Penyelamatan
Cholinesterase
100%-75% Normal:
-  Boleh kerja terus, perlu pemeriksaan berkala
75%-50% Keracunan Ringan:
-  Lakukan pemeriksaan ulang, jika hasilnya sama,
pekerja jauhkan dari jenis organoposphat
-  Lakukan pemeriksaan ulang dalam waktu 2 minggu
50%-25% Keracunan Sedang:
-  Lakukan pemeriksaan ulang, jika hasilnya sama,
pindahkan pekerja yang bebas  pestisida dan bila sakit
perlu pemeriksaan dokter.

25%-0% Keracunan Berat dan sangat berbahaya


-  Lakukan pemeriksaan ulang
-  Pekerja dilarang bekerja sampai ada rekomendasi
dari dokter.

Sumber: Bina Kurniawan, dkk, 2004 “Pedoman Praktikum Laboratorium Keselamatan


dan Kesehatan Kerja” Undip

B. Pengaruh Paparan Pestisida Terhadap Asetilkolinesterase

Insektisida organofosfat dan karbamat menghambat kolinesterase. Biasanya


neurotransmiter asetilkolin (ACh) dilepaskan pada sinaps. Sekali impuls saraf disalurkan
ACh yang dilepas dihidrolisis oleh asetilkolinesterase (AChE) menjadi asam asetat dan kolin.
Asetilkolinesterase berada dalam otak, sel-sel syaraf dan butir darah merah, sehingga penting
artinya dalam mekanisme pergerakan syaraf . Insektisida yang mengandung ester organik dan
derivat asam fosfor (misalnya parathion) dapat menonaktifkan fungsi enzim AChE pada sel-
sel syaraf. Jika aktivitas AChE berkurang secara cepat sampai ke tingkat rendah,

3
mengakibatkan gangguan gerakan otot -otot halus dan kasar, sekresi air mata dan air liur
secara berlebihan. Selanjutnya pernapasan akan lemah, denyut jantung lebih lambat dan
lemah.

Pada saat terpajan organofosfat dan karbamat, asetilkolinesterase AChE) dihambat


sehingga terjadi akumulasi asetilkolin (ACh). ACh yang ditimbun dalam SSP akan
menginduksi tremor, inkoordinasi, kejang-kejang dan lain-lain. Penghambatan AChE yang
diinduksi oleh karbamat dapat pulih dengan cepat, sedangkan pada senyawa organofosfat
sulit pulih (Frank, 1995). Masuknya organofosfat dalam tubuh akan mengganggu sistem
saraf karena penghambatan enzim asetilkolinesterase (Hassall, 1982).

Akibat keracunan dari pemaparan pestisida organofosfat ini secara berlebihan (over
exposure) dapat menurunkan aktivitas asetilkolinesterase. Penurunan aktivitas
asetilkolinesterase dapat juga terjadi pada beberapa penyakit. Infeksi virus hati yang dikenal
dengan hepatitis, baik yang akut maupun yang kronis dapat menurunkan aktivitas
kolinesterase sampai 30-50 %, sedangkan penyakit sirrosis hepatitis yang lanjut dan tumor
hati ataupun tumor lain yang bermetasitasis ke hati dapat menurunkan aktivitas kolinesterase
sampai 50–70 % (Dirdjoatmojo, 1991). Penurunan aktivitas asetilkolinesterase oleh keadaan
penyakit lain seperti penyakit yang menyerang hati, dapat menyebabkan kekeliruan dalam
menentukan adanya keracunan organofosfat, bila petani juga menderita penyakit hati. Untuk
menyingkirkan adanya kekeliruan maka ditentukan enzim glutamat piruvat transaminase
(GPT).

C. Penentuan Kandungan Asetilkolinesterase


Penentuan kandungan enzim asetilkolinesterase dalam tubuh manusia dapat dilakukan
dengan menggunakan parameter biologis (biomarker). Kadar enzim kolinesterase yang
ditentukan menunjukkan terjadinya keracunan senyawa golongan organofosfat ataupun
karbamat. Menurut Departemen Kesehatan (1992) batasan yang digunakan untuk
memberikan kriteria keracunan adalah kadar kolinesterase dalam darah, yaitu kadar 0-25 %
dari normal(keracunan berat), kadar > 25-50 % dari normal (keracunan sedang), kadar >50-
75 % dari normal (keracunan ringan) dan kadar > 75-100 % dari normal (kondisi normal) .
Kandungan asetilkolinesterase dalam darah dapat diketahui dengan beberapa metode,
diantaranya Lovibond dan Elman. Pada metode Lovibond menggunakan alat Tintometer K it

4
dengan reagensia ACP (Acethylcholine Perchlorat) dan BTB (Bromo Timol Blue)sebagai
indikator . Metode Lovibond ini merupakan pengujianan di lapangan.
Penentuan kandungan AChE dalam darah dengan metode Lovibond mempunyai prinsip “
Darah yang mengandung enzim AChE menguraikan asetilkolin menjadi asam cuka bebas
dan kolin. Dengan bebasnya asam cuka maka pH darah turun. Penurunan pH darah sebagai
petunjuk besarnya asam cuka yang bebas, semakin aktif AChE semakin banyak asam cuka
yang bebas dan pH darah rendah. Dengan indikator bromothymol blue diukur seberapa jauh
penurunan pH “. Pengujian ini dilakukan untuk mengukur tingkat kolinesterase darah dengan
asumsi bahwa yang menyatakan sebagai suatu prosentase dari aktivitas kolinesterase dalam
darah normal (Lovibond, 1998).
Metoda Elman menggunakan alat spektrofotometer dan dilakukan di laboratorium. Pada
metode ini digunakan reagensia S-butiril thiocholine iodida dan 5,5 dithiobis 2 -nitrobenzoat.
Darah yang diambil untuk menentukan aktivitas enzim asetilkolinesterase adalah darah vena
yang diambil sebanyak 2 ml dicampur dengan antikoagulan heparin (Sasmito, 1996).
Penentuan aktivitas enzim asetilkolinesterase dengan spektrofotometer menurut metode
Elman berdasarkan prinsip :” Enzim kolinesterase mengkatalisis proses hidrolisis S -butiril
thiocholin menjadi butirat dan thiocholin. Thiocholin yang terbentuk akan mereduksi zat
indikator 5,5 dithiobis (2-nitrobenzoat) menjadi 4-mercapto 2,nitrobenzoat yang berwarna
kuning”. Intensitas warna yang terbentuk diukur dengan spektofotometer pada panjang
gelombang 400/420 nm pada suhu kamar (Elman, 1961).

D. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas Kolinesterase


1. Faktor dari dalam tubuh :
a. Umur
Semakin bertambah umur seseorang semakin banyak pemaparan yang dialaminya.
Bertambahnya umur seseorang menyebabkan fungsi metabolisme akan menurun dan
ini juga akan berakibat menurunnya aktifitas kholinesterase darahnya sehingga akan
mempermudah terjadinya keracunan pestisida. Usia juga berkaitan dengan kekebalan
tubuh dalam mengatasi tingkat toksisitas suatu zat, semakin tua umur seseorang
maka efektifitas sistem kekebalan di dalam tubuh akan semakin berkurang.

5
b. Status gizi
Semakin buruk status gizi seseorang akan semakin mudah terjadi keracunan, dengan
kata lain petani yang mempunyai status gizi yang baik cenderung memiliki aktifitas
kholinesterase yang lebih baik. Buruknya keadaan gizi seseorang juga akan berakibat
menurunnya daya tahan tubuh dan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi. Kondisi
gizi yang buruk menyebabkan protein yang ada dalam tubuh sangat terbatas
sehingga mengganggu pembentukan enzim cholinesterase.
c. Status kesehatan
Beberapa jenis pestisida yang sering digunakan menekan aktifitas kolinesterase
dalam plasma yang dapat berguna dalam menetapkan over exposure terhadap
pestisida tersebut. Pada orangorang yang selalu terpapar pestisida terjadi kenaikan
tekanan darah dan kolesterol.
d. Tingkat pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin kecil peluang
terjadinya keracunan pada dirinya karena pengetahuannya mengenai racun termasuk
cara penggunaan dan penanganan racun secara aman dan tepat sasaran akan semakin
tinggi sehingga kejadian keracunan pun akan dapat dihindari.

2. Faktor dari luar tubuh, diantaranya :


a. Dosis
Dosis pestisida berpengaruh langsung terhadap bahaya keracunan pestisida, karena itu
dalam melakukan pencampuran pestisida untuk penyemprotan petani hendaknya
memperhatikan takaran atau dosis yang tertera pada label. Dosis atau takaran yang
melebihi aturan akan membahayakan penyemprot itu sendiri. Setiap zat kimia pada
dasarnya bersifat racun dan terjadinya keracunan ditentukan oleh dosis dan cara
pemberian. Paracelsus pada tahun 1564 telah meletakkan dasar penilaian toksikoligis
dengan mengatakan “dosis sola facit venenum”, (dosis menentukan suatu zat kimia
adalah racun). Untuk setiap zat kimia, termasuk air, dapat ditentukan dosis kecil yang
tidak berefek sama sekali, atau dosis besar sekali yang dapat menimbulkan keracunan
atau kematian.

6
b. Masa kerja
Merupakan masa waktu berapa lama petani mulai bekerja sebagai petani. Semakin
lama petani bekerja maka smakin banyak pula kemungkinan terjadi kontak langsung
dengan pestisida. Hasil penelitian di Desa sumberejo Kecamatan Ngablak,
menunjukkan masa kerja menjadi petani lebih dari 10 tahun sebanyak 51 orang,
dengan angka kejadian keracunan sebanyak 37 orang (72,5%) dan yang tidak
mengalami keracunan sebanyak 14 orang (27,5%). Sedangkan yang mempunyai masa
kerja kurang dari 10 tahun sebanyak 17 orang dengan angka kejadian keracunan
sebanyak 15 orang (88%) dan yang tidak mengalami keracunan sebanyak 2 orang
(12%).
c. Jumlah pestisida yang digunakan
Jumlah pestisida yang digunakan dalam waktu penyemprotan akan menimbulkan efek
keracunan yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan satu jenis pestisida
karena daya racun atau konsentrasi pestisida akan semakin kuat sehingga memberikan
efek samping yang semakin besar. Pada umumnya anak-anak dan bayi lebih mudah
terpengaruh oleh efek racun dibandingkan dengan orang dewasa. Seseorang dengan
bertambah usia maka kadar ratarata kolinesterase dalam darah akan semakin rendah
sehingga keracunan akibat pestisida akan semakin cepat terjadi. Hasil penelitian di
Kecamatan Kersana, menunjukkan jumlah jenis pestisida yang digunakan dalam
waktu yang sama menimbulkan efek sinergistik akan mempunyai risiko 3 kali lebih
besar untuk terjadinya keracunan bila dibandingkan dengan 1 jenis pestisida yang
digunakan karena daya racun dan dosis pestisida akan semakin kuat sehingga
memberikan efek samping yang semakin besar pula.
d. Lama kerja per hari
Dalam melakukan penyemprotan tidak diperbolehkan lebih dari 2 jam. Semakin lama
melakukan penyemprotan per hari maka akan semakin tinggi intensitas pemaparan
yang terjadi. Hasil penelitian di Desa Tejosari Kecamatan Ngablak, menunjukkan
responden mempunyai lama penyemprotan baik mengalami keracunan akibat
pestisida sebanyak 59 orang (96,7%) dan yang tidak mengalami keracunan sebanyak
2 orang (3,3%). Sedangkan responden yang mempunyai lama penyemprotan buruk

7
sebanyak 17 orang dan yang mengalami keracunan sebanyak 16 orang (94,1%) serta
tidak keracunan sebanyak 1 orang (5,9%).
e. Frekuensi menyemprot
Semakin sering petani melakukan penyemprotan akan lebih besar risiko keracunan.
Hasil penelitian di Kabupaten Seruyan Kalimantan Tengah, menunjukan bahwa
perilaku responden terhadap praktek penyemprotan pestisida menunjukkan adanya
hubungan yang bermakna dengan arah angin, kecenderungan responden sebagai
tenaga penyemprot gulma yang melakukan penyemprotan dengan tidak
tentu/berlawanan arah angin berisiko 0,516 kali lebih besar untuk terjadinya
keracunan pestisida dibandingkan responden yang melakukan penyemprotan searah
dengan arah angin.

8
DAFTAR PUSTAKA

Evy Nuryana. 2005. Dampak Penggunaan Pestisida Terhadap Penurunan Aktivitas Enzim
Asetilkolinesterase Pada Petani Bawang Merah (Studi Kasus Kabupaten Brebes Jawa
Tengah) . Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Imelda Gernauli Purba. 2009. Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kadar
Kolinesterase Pada Perempuan Usia Subur Di Daerah Pertanian . Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro Semarang

Anda mungkin juga menyukai