Anda di halaman 1dari 32

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengangkutan

2.1.1 Pengertian Pengangkutan

Menurut pengertian pengangkutan berasal dari kata “angkut” yang artinya

mengangkat dan membawa, memuat atau mengirimkan. Mengangkut artinya

mengangkat dan membawa, memuat dan membawa atau mengirimkan. Pengangkutan

artinya pengangkatan dan pembawaan barang atau orang, pemuatan dan pengiriman

barang atau orang, barang atau orang yang diangkut. Jadi, dalam pengertian

pengangkutan itu tersimpul suatu proses kegiatan atau gerakan dari satu tempat ke

tempat lain7.

Menurut pendapat R. Soekardono, SH, pengangkutan pada pokoknya

berisikan perpindahan tempat baik mengenai benda-benda maupun mengenai orang-

orang, karena perpindahan itu mutlak perlu untuk mencapai dan meninggikan

manfaat serta efisiensi8. Pengangkutan dapat diartikan sebagai pemindahan barang

7
Abdul Kadir Muhammad, SH, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1991, h. 19.
8
R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, CV Rajawali, Jakarta, 1981, h. 5.
16

dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan. Dalam hal ini terkait unsur-unsur

pengangkutan sebagai berikut9 :

1. Ada sesuatu yang diangkut.

2. Tersedianya kendaraan sebagai alat angkutan.

3. Ada tempat yang dapat dilalui alat angkutan.

Menurut uraian di atas terlaksananya pengangkutan berarti harus ada suatu

obyek yang di angkut, adanya alat angkut dan sarana untuk di lalui oleh peralatan

pengangkut. Di dalam arti lain pengangkutan dapat diartikan sebagai pemindahan

barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan10. Menurut Subekti

mendefinisikan Pengangkutan adalah suatu perjanjian dimana satu pihak

menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu tempat ke

tempat lain. Sedangkan pihak lain menyanggupi akan membayar ongkosnya11.

Sehingga dapat di simpulkan bahwa pengangkutan adalah suatu perjanjian

timbal balik antara pengangkut dan penumpang atau konsumen pengangkut

mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari

suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan penumpang atau

konsumen mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan. Bertujuan untuk

meninggikan manfaat atas barang-barang tersebut dan juga efisien bagi orang-orang

9
Ridwan Khairandy, Machsun Tabroni, Ery Arifuddin, dan Djohari Santoso, Pengantar
Hukum Dagang Indonesia, Jilid 1, Gama Media, , Yogyakarta, 1999, h. 195.
10
Ibid.,
11
R. Subekti, Op.Cit., h. 1.
17

yang dapat diselenggarakan melalui pengangkutan darat, pengangkutan laut, maupun

pengangkutan udara.

2.1.2 Fungsi Pengangkutan.

Fungsi pengangkutan ialah memindahkan barang atau orang dari suatu

tempat ke tempat lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai 12. Jadi

dengan pengangkutan maka dapat diadakan perpindahan barang-barang dari suatu

tempat yang dirasa barang itu memliki fungsi dan kegunaan di tempat lain. maka

peran pengangkutan udara dituntut agar menjadi suatu sistem yang baik. Dalam

kehidupan manusia kebutuhan atas angkutan adalah bagian yang sangat tidak bisa

dipisahkan. Berkembangnya manusia menuntut kemajuan suatu sistem angkutan yang

berguna sebagai pendorong semua kegiatan masyarakat yang semakin tinggi.

Pengangkutan pada dasarnya memiliki 2 nilai kegunaan, yaitu :

1. Kegunaan Tempat (Place Utility). Menimbulkan nilai dari suatu barang

tertentu karena dapat dipindahkan itu, dari tempat di mana barang yang

berlebihan kurang diperlukan di suatu tempat, di mana barang itu sangat

dibutuhkan di tempat lain karena langka. Dalam arti perkataan lain,

bahwa di daerah mana barang dihasilkan dalam jumlah yang berkelebihan

nilainya akan turun, dibandingkan jika di suatu tempat barang tersebut

sangat sulit didapatnya. Tetapi dengan dipindahkan, dikirimkan barang

12
H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3, Djambatan, cetakan
II, 1984, h. 10.
18

tersebut atau diangkut ke daerah lain maka harga kebutuhan dapat

disamaratakan.

2. Kegunaan Waktu (Time Utility). Menimbulkan sebab karena barang-

barang dapat diangkut atau dikirim dari satu tempat ke tempat lain atau

dari part my origin diangkut ke tempat tertentu dimana benda atau barang

sangat dibutuhkan menurut keadaan, waktu, dan kebutuhan. Jika kita

tinjau hal tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

pengangkut memegang peranan penting dalam mewujudkan ekonomi dan

perdagangan sebagai sarana pokok penunjang yang menimbulkan

eksternal ekonomi di sektor-sektor perdagangan industri dan pertanian.

Kedua nilai tersebut secara ekonomis dapat dicapai jika barang-barang atau

benda tersebut diangkut ketempat dimana nilainya lebih tinggi dan dapat

dimanfaatkan tepat pada waktunya. Dengan demikian pengangkutan memberikan jasa

kepada masyarakat yang disebut “jasa pengangkutan” 13.

2.1.3 Tujuan pengangkutan.

Pengangkutan bertujuan untuk membantu memindahkan barang atau orang

dari satu tempat ke tempat lain secara efektif dan efisien. Dikatakan efektif karena

perpindahan barang atau orang tersebut dapat dilakukan sekaligus atau dalam jumlah

yang banyak sedangkan dikatakan efisien karena dengan menggunakan pengangkutan

13
Muchtarudin Siregar, Beberapa Masalah Ekonomi dan Managemen Pengangkutan,
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1978, h. 6.
19

perpindahan itu menjadi relatif singkat atau cepat dalam ukuran jarak dan waktu

tempuh dari tempat awal ke tempat tujuan.

Dengan adanya pengangkutan tentunya juga akan menunjang usaha dari

pemerintah dalam rangka untuk ningkatkan pembangunan diseluruh tanah air, karena

suatu daerah yang tadinya mempunyai Sumber Daya Alam yang baik namun tidak

dapat terjangkau misalnya, maka dengan adanya pengangkutan akhirnya Sumber

Daya Alam tersebut dapat dikirim ketempat lain untuk kemudian dikelola dan

dimanfaatkan.

2.2 Pengertian Pengangkutan Udara

Ada 3 jenis pengangkutan yaitu pengangkutan darat pengangkutan perairan

dan pengangkutan udara. Pada penulisan skripsi ini hanya memfokuskan kepada

pengangkutan udara saja. Pengangkutan udara dalam pasal 1 ayat (13) Undang-

undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Angkutan Udara adalah setiap

kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo,

dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara

yang lain atau beberapa bandar udara.

Ada beberapa Jenis Angkutan Udara yaitu :

1. Angkutan udara niaga, terdiri atas :

a) Angkutan udara niaga dalam negeri, dan

b) Angkutan udara niaga luar negeri.


20

Kegiatan angkutan udara niaga dapat dilakukan secara berjadwal dan/atau

tidak berjadwal oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional dan/atau asing untuk

mengangkut penumpang dan kargo atau khusus mengangkut kargo. Angkutan udara

niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional

yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga. Kegiatan angkutan udara niaga

tidak berjadwal yang bersifat sementara dapat dilakukan atas inisiatif instansi

Pemerintah dan/atau atas permintaan badan usaha angkutan udara niaga nasional.

Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal yang dilaksanakan oleh

badan usaha angkutan udara niaga berjadwal tidak menyebabkan terganggunya

pelayanan pada rute yang menjadi tanggung jawabnya dan pada rute yang masih

dilayani oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal lainnya. Kegiatan

angkutan udara niaga tidak berjadwal dapat berupa:

a. Rombongan tertentu yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama

bukan untuk tujuan wisata (affinity group);

b. Kelompok penumpang yang membeli seluruh atau sebagian kapasitas

pesawat untuk melakukan paket perjalanan termasuk pengaturan

akomodasi dan transportasi lokal (inclusive tour charter);

c. Seseorang yang membeli seluruh kapasitas pesawat udara untuk

kepentingan sendiri (own use charter);

d. Taksi udara (air taxi); atau


21

e. Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal lainnya.

2. Angkutan udara bukan niaga

Kegiatan angkutan udara bukan niaga dapat dilakukan oleh Pemerintah,

pemerintah daerah, lembaga tertentu, orang perseorangan, dan/atau badan usaha

Indonesia lainnya. Kegiatan angkutan udara bukan niaga adalah:

a. Angkutan udara untuk kegiatan keudaraan (aerial work).

b. Angkutan udara untuk kegiatan pendidikan dan/atau pelatihan personel

pesawat udara; atau

c. Angkutan udara bukan niaga lainnya yang kegiatan pokoknya bukan

usaha angkutan udara niaga.

2.2.1 Asas-Asas Hukum Pengangkutan.

Dalam setiap undang-undang yang dibuat pembentuk undang-undang,

biasanya dikenal sejumlah asas atau prinsip yang mendasari diterbitkannya Undang-

undang tersebut. Asas-asas hukum merupakan fondasi suatu undang-undang dan

peraturan pelaksananya. Bila asas-asas di kesampingkan, maka runtuhlah bangunan

undang-undang itu dan segenap peraturan pelaksananya14.

Sudikno Mertokusumo memberikan ulasan asas hukum sebagai berikut:

“…bahwa asas hukum bukan merupakan hukum kongkrit, melainkan merupakan

14
Yusuf Shofie, Pelaku Usaha,Konsumen,dan Tindak Pidana Korporasi, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2002, h. 25.
22

pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan yang

kongkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma

dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum

positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat atau ciri-ciri yang umum dalam

peraturan kongkrit tersebut15.

Sejalan dengan pendapat Sudikno Mertokusumo tersebut, Satjipto Rahardjo

berpendapat bahwa asas hukum bukan merupakan peraturan hukum, namun tidak ada

hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya,

asas-asas hukum memberi makna etis kepada setiap peraturan-peraturan hukum serta

tata hukum16. selanjutnya dipaparkan bahwa asas hukum ia ibarat jantung peraturan

hukum atas dasar dua alasan yaitu, pertama asas hukum merpakan landasan yang

paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa penerapan

peraturan-peraturan hukum itu dapat dikembalikan kepada asas-asas hukum. Kedua

,karena asas hukum mengandung tuntunan etis, maka asas hukum diibaratkan sebagai

jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan

etis masyarakatnya17.

Di dalam hukum pengangkutan juga terdapat asas-asas hukum, yang terbagi

ke dalam dua jenis, yaitu bersifat publik dan bersifat perdata18, asas yang bersifat

15
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Jakarta, 1996, h. 5-6.
16
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, 1986, h. 87.
17
Ibid., h. 85.
18
Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Citra Adityabhakti, Bandung, 1998,
h. 17.
23

publik merupakan landasan hukum pengangkutan yang berlaku dan berguna bagi

semua pihak, yaitu pihak-pihak dalam pengangkutan, pihak ketiga yang

berkepentingan dengan pengangkutan, dan pihak pemerintah.

Asas-asas yang bersifat publik biasanya terdapat di dalam penjelasan

undang-undang yang mengatur tentang pengangkutan, sedangkan asas-asas yang

bersifat perdata merupakan landasan hukum pengangkutan yang hanya berlaku dan

berguna bagi kedua pihak dalam pengangkutan niaga, yaitu pengangkut dan

penumpang atau pengirim barang19.

2.2.2 Asas-asas Hukum Pengangkutan Bersifat Publik

Ada beberapa asas hukum pengangkutan yang bersifat publik, yaitu sebagai

berikut:

a. Asas manfaat yaitu, bahwa penerbangan harus dapat memberikan

manfaat sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan

rakyat dan pengembangan perikehidupan yang berkesinambungan bagi

warga negara, serta upaya peningkatan pertahanan dan keamanan

negara.

b. Asas usaha bersama dan kekeluargaan yaitu, bahwa penyelenggaraan

usaha di bidang penerbangan dilaksanakan untuk mencapai cita-cita dan

19
Ibid.,
24

aspirasi bangsa yang dalam kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh

lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan.

c. Asas adil dan merata yaitu, bahwa penyelenggaraan penerbangan harus

dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada segenap

lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat.

d. Asas keseimbangan yaitu, bahwa penerbangan harus diselenggarakan

sedemikian rupa sehingga terdapat keseimbangan yang serasi antara

sarana dan prasarana, antara kepentingan pengguna dan penyedia jasa,

antara kepentingan individu dan masyarakat, serta antara kepentingan

nasional dan internasional.

e. Asas kepentingan umum yaitu, bahwa penyelenggaraan penerbangan

harus mengutamakan kepentingan pelayanan umum bagi masyarakat

luas.

f. Asas keterpaduan yaitu, bahwa penerbangan harus merupakan kesatuan

yang bulat dan utuh, terpadu, saling menunjang, dan saling mengisi baik

intra maupun antar moda transportasi.

g. Asas kesadaran hukum yaitu, bahwa mewajibkan kepada pemerintah

untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum serta mewajibkan

kepada setiap warga negara Indonesia untuk selalu sadar dan taat kepada

hukum dalam penyelenggaraan penerbangan.


25

h. Asas percaya pada diri sendiri yaitu, bahwa penerbangan harus

berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri,

serta bersendikan kepada kepribadian bangsa.

i. Asas keselamatan Penumpang, yaitu bahwa setiap penyelenggaraan

pengangkutan penumpang harus disertai dengan asuransi kecelakaan.

2.2.3 Asas Hukum Pengangkutan Bersifat Perdata

Dalam kegiatan pengangkutan terdapat hubungan hukum antara pihak

pengangkut dan penumpang, hubungan hukum tersebut harus di dasarkan pada asas-

asas hukum. Asas hukum pengangkutan bersifat perdata terdiri dari :

a. Asas konsensual yaitu, perjanjian pengangkutan tidak diharuskan dalam

bentuk tertulis, sudah cukup dengan kesepakatan pihak-pihak. Akan

tetapi, untuk menyatakan bahwa perjanjian itu sudah terjadi atau sudah

ada harus dibuktikan dengan atau didukung dengan dokumen

pengangkutan.

b. Asas koordinatif yaitu, pihak-pihak dalam pengangkutan mempunyai

kedudukan yang setara atau sejajar, tidak ada pihak yang mengatasi atau

membawahi yang lain. Meskipun pengangkut menyediakan jasa dan

melaksanakan perintah penumpang atau pengirim barang, pengangkut

bukan bawahan penumpang atau pengirim barang. Pengangkut

merupakan salah satu bentuk pemberian kuasa.


26

c. Asas campuran yaitu, pengangkutan merupakan campuran dari 3 (tiga)

jenis perjanjian yakni, pemberian kuasa, peyimpanan barang dan

melakukan pekerjaan dari pengirim kepada pengangkut. Ketentuan

ketiga jenis perjanjian ini berlaku pada pengangkutan, kecuali jika

ditentukan lain dalam perjanjian pengangkutan.

d. Asas pembuktian dengan dokumen yaitu, setiap pengangkutan selalu

dibuktikan dengan dokumen angkutan, tidak ada dokumen

pengangkutan berarti tidak ada perjanjian pengangkutan, kecuali jika

kebiasaan yang sudah berlaku umum, misalnya pengangkutan untuk

jarak dekat biasanya tidak ada dokumen atau tiket penumpang,

contohnya angkutan dalam kota.

2.3 Keterlambatan Penerbangan

2.3.1 Pengertian keterlambatan penerbangan

Keterlambatan penerbangan atau yang sering disebut (Flight Delayed)

adalah keterlambatan penerbangan yang dilakukan pihak maskapai dari jadwal yang

telah ditetapkan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, keterlambatan adalah

ketidaksesuaian atau telah melewati waktu yang di tentukan20.

Di dalam pasal 1 Angka 30 Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tentang

Penerbangan. Keterlambatan adalah terjadinya perbedaan waktu antara waktu

20
Surayin, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Bandung, Yrama Widya, 2007, h. 277.
27

keberangkatan atau kedatangan yang dijadwalkan dengan realisasi waktu

keberangkatan atau kedatangan.

Menurut Pasal 9 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011

tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara:

Keterlambatan angkutan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf

(e) terdiri dari :

a) Keterlambatan penerbangan (flight delayed).

b) Tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara

(denied boarding passanger), dan

c) Pembatalan penerbangan (cancelation offlight).

Selanjutnya adalah mengenai masalah teknis, yaitu adalah masalah yang

terjadi karena disebabkan oleh kerusakan pada alat transportasi yang di akibatkan

oleh alat atau human error dan juga di akibatkan oleh keadaan alam. Masalah teknis

merupakan hal yang sering menjadi faktor utama yang menyebabkan tertundanya

penerbangan. Selain menyangkut keamanan hal yang sangat penting dalam

penerbangan adalah keselamatan, sehingga faktor keselamatan merupakan hal yang

harus diutamakan. Selain itu pemberitahuan tentang adanya keterlambatan pesawat

sering di kabarkan secara mendadak dan selalu merugikan konsumen.

Menurut uraian di atas keterlambatan penerbangan memiliki pengertian

bahwa keberangkatan tidak sesuai dengan yang sudah di janjikan oleh kedua belah
28

pihak sebagaimana yang sudah tercantum di dalam perjanjian yang sudah tertulis di

dalam tiket yang sudah di miliki penumpang. Yang berarti pelaku usaha tidak

memenuhi suatu kewajibannya karena tidak sesuai dengan apa yang sudah di

tuangkan di dalam perjanjian.

2.3.2 Akibat keterlambatan penerbangan

Segala kegiatan pengangkutan tidak lepas dari adanya keterlambatan. Dalam

kenyataannya banyak pelaku usaha jasa pengangkutan udara sering selalu melakukan

kebiasaan penundaan dan pembatalan penerbangan sehingga menyebabkan jadwal

penerbangan tidak sesuai dengan ketepatan waktu dalam penerbangan, yang sangat

merugikan konsumen dan berdampak pada perkembangan bisnis transportasi udara

yang merupakan salah satu pendukung pertumbuhan ekonomi bangsa.

Kerugian yang dialami pengguna jasa pengangkutan udara tidak hanya dari

segi waktu, melainkan konsumen juga merasakan kerugian dari segi biaya sehingga

banyak konsumen yang merasa di rugikan terkadang ada konsumen yang menunggu

keberangkatan penerbangan berjam-jam tapi akhirnya di tunda keberangkatannya

oleh pihak maskapai. Maka kepercayaan mereka hilang atas terjadinya keterlambatan

penerbangan.

Mengenai kewajiban pengangkut kepada penumpang akibat keterlambatan

atau (delay) diatur dalam pasal 146 Undang-undang No 1 Tahun 2009 tentang

Penerbangan. Bahwa : “Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita


29

karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila

pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor

cuaca dan teknis operasional”.

Menurut penjelasan di atas bahwa pengangkut udara tetap bertanggung gugat

atas kerugian yang timbul karena keterlambatan pengangkutan penumpang, bagasi

atau barang, kecuali kalau ada persetujuan lain dari perusahaan penerbangan. Dengan

adanya suatu persetujuan, maka pengangkut udara dapat terbebas dari tanggung gugat

atau dengan kata lain tanggung gugat perusahaan maskapai memiliki batas-batas

tertentu.

2.4 Perjanjian Angkutan Udara

Perjanjian pengangkut udara adalah suatu perjanjian antara seorang

pengangkut udara dan pihak penumpang atau pihak pengirim udara, dengan imbalan

bayaran atau suatu prestasi lain. Dalam arti luas suatu perjanjian angkutan udara

dapat merupakan sebagian dari suatu perjanjian pemberian jasa dengan pesawat

udara21.

Tiket adalah bukti perjanjian jasa angkutan udara antara penumpang di satu

pihak dan maskapai penerbangan di lain pihak dan juga sebagai bukti pembayaran

dalam pelayanan jasa angkutan udara.

21
Lestari Ningrum, Usaha Perjalanan Wisata Dalam Perspektif Hukum Bisnis, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2004.
30

Menurut pasal 1 ayat (27) Undang-Undang No 1 Tahun 2009 Tentang

Penerbangan : “Tiket adalah dokumen berbentuk cetak, melalui proses elektronik,

atau bentuk lainnya, yang merupakan salah satu alat bukti adanya perjanjian angkutan

udara antara penumpang dan pengangkut, dan hak penumpang untuk menggunakan

pesawat udara atau diangkut dengan pesawat udara.

Setelah penumpang selesai membeli tiket pengangkut penumpang akan

secara langsung mempunyai hubungan hukum dengan perusahaan pengangkut.

Sehingga pengangkut memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan sebaik

mungkin sesuai dengan perjanjian.

2.4.1 Syarat-syarat Sahnya Perjanjian

Pasal 1320 KUHPerdata menentukan syarat-syarat untuk sahnya perjanjian,

yakni :

a. Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikat dirinya.

b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian.

c. Adanya suatu hal tertentu.

d. Adanya sebab yang halal dalam perjanjian.

Syarat yang pertama dan kedua yaitu kata sepakat dan kecakapan untuk

membuat suatu perjanjian disebut sebagai syarat subyektif karena mengenai para

pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian atau subyek dari perbuatan

hukum yang dilakukan. Jika syarat subyektif tidak terpenuhi maka perjanjiannya
31

bukan batal demi hukum melainkan salah satu pihak dalam perjanjian tersebut

mempunyai hak untuk meminta perjanjian tersebut dibatalkan. Sedangkan suatu hal

tertentu dan atau suatu sebab yang halal disebut sebagai syarat obyektif. Jika syarat

obyektif tidak terpenuhi maka pejanjian dianggap tidak pernah ada tidak pernah

dilahirkan.

2.5 Tanggung Jawab Hukum Akibat Keterlambatan Penerbangan Menurut

Undang-undang di Indonesia

Tanggung jawab merupakan sesuatu yang telah menjadi kewajiban yang

harus dilakukan. Jika terjadi sesuatu dan maskapai penerbangan tidak melaksanakan

kewajibannya hal itu berarti ada hak penumpang penumpang pengangkutan udara

yang dilanggar atau tidak terpenuhi. Jika ada hak yang tdak terpenuhi, maka akan

menjadi suatu kerugian bagi penumpang pengangkutan udara. Dengan adanya hak

penumpang yang tidak di penuhi tersebut, maka maskapai penerbangan harus

bertanggung jawab tehadap kerugian yang di terima penumpang pengangkutan udara.

Secara umum tanggung jawab maskapai penerbangan sebagai pelaku usaha

yang memberikan ganti rugi kepada konsumen pengangkutan udara yang di rugikan

seperti yang telah diatur dalam pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 1999

Tentang perindungan konsumen. “Pelaku usaha wajib bertanggung jawab dengan

memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan kerugian yang dialami
32

konsumen dalam mengkonsumsi barang atau jasa yang dihasilkan atau

diperdagangkan”.

Tanggung jawab konsumen meliputi segala kerugian yang dialami

konsumen. Guna mendapatkan ganti rugi, maka kerugian tersebut harus merupakan

akibat dari perbuatan melanggar hukum. Berarti bahwa untuk dapat menuntut ganti

kerugian, harus terpenuhi unsur sebagai berikut22:

1. Ada perbuatan melanggar hukum

2. Ada kerugian.

3. Ada hubungan kausalitas antara perbuatan melanggar hukum dan

kerugian.

4. Ada kesalahan.

Ganti kerugian sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 19 ayat (1)

Undang-undang Nomor 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat berupa23 :

1. Pengembalian uang.

2. Penggantian barang dan atau jasa yang sejanis atau setara nilainya.

3. Perawatan kesehatan.

4. Pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

22
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004, h. 126.
23
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2008, h. 119.
33

Berdasarkan penjelasan diatas pembebanan ganti kerugian berdasarkan

kesalahan atau kelalaian perbuatan tersebut. Dan ganti rugi harus memenuhi unsur

melanggar hukum, kerugian, hukum klausalitas antara perbuatan melanggar hukum

dengan kerugian dan kesalahan.

Tanggung jawab maskapai penerbangan atas kerugian yang dialami

penumpang akibat keterlambatan penerbangan juga diatur di dalam Pasal 146

Undang-undang No 1 tahun 2009 tentang Penerbangan yang menyatakan bahwa :

“Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan

pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat

membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis

operasional”.

Tanggung jawab pelaku usaha mengenai keterlambatan pengangkutan diatur

di dalam pasal 147 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa:

1. Pengangkut bertanggung jawab atas tidak terangkutnya penumpang,

sesuai dengan tanggung gugat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dengan memberikan kompensasi kepada penumpang berupa:

a. mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan;

dan/atau.
34

b. memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila

tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan. jadwal yang telah

ditentukan dengan alasan kapasitas pesawat udara.

Menurut uraian diatas tanggung jawab pelaku usaha pengangkutan udara

bertujuan untuk melindungi hak pengumpang yang menggunakan jasa pengangkutan

udara. Perlindungan hak yang di karenakan keterlambatan penerbangan. Tanggung

jawab pelaku usaha harus memberikan kompensasi kepada penumpang.

2.5.1 Prinsip-prinsip tanggung jawab

Prinsip tanggung jawab merupakan suatu hal yang sangat penting di dalam

hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen,

diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan

seberapa tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait24.

Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dibedakan

sebagai berikut :

1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan ( liability based on fault),

yaitu prinsip yang menyatakan bahwa seseorang dapat dimintai

pertanggungjawabannya jika ada unsur kesalahan yang dilakukan olehnya.

Asas tanggung jawab ini cukup tepat jika digunakan untuk mengajukan

tuntutan ganti rugi yang di akibatkan oleh kelalaian pelaku usaha. Ketika

24
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, 2006, h. 72.
35

produsen tidak melaksanakan kewajibannya untk menjamin kualitas

produk/jasa yang di berikan kepeda konsumen sehingga konsumen

mengalami kerugian.

2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (Presumption of

liability). Yaitu prinsip yang menyatakan, tergugat selalu dianggap

bertanggung jawab (Presumption of liability), sampai dapat membuktikan,

ia tidak bersalah. Jadi beban pembuktian ada pada si tergugat 25. Teori ini

pembalikan beban pembuktian seseorang dianggap bersalah sampai yang

bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya.

Berkaitan dengan prinsip tanggung jawab ini, dalam doktrin hukum

pengangktan khususnya, dikenal 4 variasi26 :

a. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab kalau dapat

membuktikan, kerugian ditimbulkan oleh hal-hal di luar

kekuasaannya.

b. Pengangkutan dapat membebaskan diri dari tanggng jawab jika ia

dapat membuktikan, ia mengambil suatu tindakan yang diperlukan

untuk menghindari timbulnya kerugian.

25
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta, 2006, h. 75.
26
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2008,
h. 95.
36

c. Pengangkutan dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia

dapat membuktikan, kerugian yang timbul bukan karena

kesalahannya.

d. Pengangkut tidak bertanggung jawab jika kerugian itu di timbulkan

oleh kesalahan/kelalaian penumpang atau karena kualitas/mutu barang

yang diangkut tidak baik.

3. Prinsip tanggung jawab mutlak, yaitu prinsip yang menetapkan kesalahan

tidak sebagai faktor yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang

menentukan, namun pengecualian-pengecualian yang memungkinkan

untuk di bebaskan dari tanggung jawab, misalnya karena adanya (force

majeur).

Berdasarkan uraian di atas mengenai tanggung jawab pihak maskapai

penerbangan tersebut.

Pertama, Prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan ( liability based on

fault) Dalam ajaran ini bahwa dalam menentukan tanggung jawab pengangkutan di

dasarkan pada pandangan bahwa yang membuktikan kesalahan pengangkut adalah

pihak yang dirugikan atau penggugat. Maka harus ada unsur unsur untuk menjadikan

suatu perbuatan pelaku usaha dapat dituntut ganti rugi, yaitu antara lain:

1. Adanya perbuatan melawan hukum dari tergugat.

2. Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepadanya.


37

3. Adanya kerugian yang diderita akibat kesalahan tersebut.

Prinsip praduga untuk selalu bertanggung gugat di terapkan selama maskapai

penerbangan tidak dapat membuktikan bahwa kerugian yang di timbulkan itu bukan

karena kesalahannya, maka pihak maskapai penebangan wajib bertanggung jawab

atas kerugian yang di alami konsumen.

Prinsip tanggung gugat mutlak diterapkan kepada pihak maskapai

penerbangan karena maskapai penerbangan adalah pihak yang bertanggung jawab

atas kerugian yang dialami penumpang akibat ketelambatan penerbangan kecuali

kerugian itu timbul akibat suatu perstiwa yang tidak di inginkan atau di luar kendali

pihak maskapai penerbangan (force majeur).

Lebih lanjut, pengangkut dibebaskan dari tanggung jawab atas ganti kerugian

akibat keterlambatan penerbangan dalam hal :

1. Faktor cuaca antara lain

a. Hujan lebat

b. Banjir

c. Petir

d. Badai

e. Kabut

f. Asap

g. Jarak pandang di bawah standar minimal, atau


38

h. Kecepatan angin yang melampaui standar maksimal yang mengganggu

keselamatan penerbangan.

2. Teknis Operasional antara lain:

a. Bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat digunakan

operasional pesawat udara.

b. Lingkungan menuju bandar udara atau landasan terganggu fungsinya

misalnya retak, banjir, atau kebakaran.

c. Terjadinya antrian pesawat udara lepas landas (take off), mendarat

(landing), atau alokasi waktu keberangkatan (departure slot time)di

bandar udara.

d. Keterlambatan pengisian bahan bakar (refuelling).

Sedangkan yang tidak termasuk dengan teknis operasional atau faktor yang

di sebabkan oleh maskapai penerbangan meliputi:

1. Keterlambatan pilot, co pilot, dan awak kabin.

2. Keterlambatan jasa boga (catering).

3. Keterlambatan penanganan di darat.

4. Menunggu penumpang, baik yang baru melapor (check in), pindah

pesawat (transfer) atau penerbangan lanjutan (connecting flight), dan

5. Ketidaksiapan pesawat udara.


39

2.5.2 Ganti Rugi.

Ganti rugi adalah hak konsumen yang harus diberikan ketika mengalami

kerugian. ganti rugi juga suatu kewajiban yang dibebankan kepada produsen atau

seseorang yang melakukan perbuatan melanggar hukum dan menimbulkan kerugian

terhadap orang lain dikarenakan sebuah kesalahannya.

Menurut Yahya Harahap, ganti rugi ialah “kerugian nyata” atau “fietelijke

nadeel” yang ditimbulkan perbuatan wanprestasi.27 Kerugian nyata ini di tentukan

oleh suatu perbandungan keadaan yang tidak di lakukan oleh debitur. Dan besarnya

jumlah ganti rugi itu sebesar jumlah yang sesuai dengan besarnya nilai prestasi yang

telah menjadi obyek perjanjian. Dibandingkan dengan keadaan yang menyebabkan

timbulnya wanprestasi.

Menurut Abdulkadir Muhammad, bahwa pasal 1243 KUHPerdata sampai

dengan pasal 1248 KUHPerdata merupakan pembatasan-pembatasan yang sifatnya

sebagai perlindungan undang-undang terhadap debitur dari perbuatan sewenang-

wenang pihak kreditur sebagai akibat wanprestasi28. Dengan pembatasan pembatasan

tersebut memiliki kegunaan untuk menciptakan keadilan bagi kedua belah pihak

akibat wanprestasi.

Menurut pasal 1 ayat (18) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 tahun

2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara : Ganti Rugi adalah

27
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, h. 66.
28
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, h. 41.
40

uang yang dibayarkan atau sebagai pengganti atas suatu kerugian. Menurut uraian di

atas menyebutkan bahwa konsumen atau penumpang berhak mendapatkan ganti rugi

akibat kesalahan pengangkut.

2.5.3 Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Pengangkutan Udara.

Subjek hukum merupakan orang atau badan yang dikenakan hak dan

kewajiban. Seperti yang telah diketahui subjek hukum pengangkutan adalah pihak

yang secara langsung terikat dalam perjanjian dan pihak yang tidak secara langsung

terikat di dalam perjanjian.

Secara umum hak pengangkut adalah menerima pembayaran ongkos

angkutan dari penumpang atau pengirim barang atas jasa angkutan yang telah

diberikan, dan juga hak untuk menolak pelaksanaan atau mengangkut penumpang

yang tidak jelas identitasnya. Hal tersebut dapat ditemukan di dalam tiket pesawat

yang menyatakan bahwa hak pengangkut untuk menyerahkan penyelenggaraan atau

pelaksanaan perjanjian angkutan kepada perusahaan penerbangan lain, serta

mengubah tempat-tempat pemberhentian yang telah disetujui.

1. Hak pelaku usaha adalah:

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan.
41

2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang

beritikad tidak baik.

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatunya di dalam penyelesaian

hukum sengketa konsumen.

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan.

5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya:

1. Hak konsumen

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa.

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan

yang dijanjikan.

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa.

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan.

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut.

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.


42

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif.

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian

atau tidak sebagaimana mestinya.

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Agar dapat mewujudkan semua hak-hak dari konsumen dan melindungi

semua hak konsumen, maka diperlukan adanya pemantauan tugas dan kewajiban di

dalam kegiatan yang di lakukan oleh pelaku usaha yaitu maskapai penerbangan.

Untuk mengatahui bagaimana pelaku usaha atau maskapai penerbangan melakukan

semua kegiatan usahanya sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen.

Sesuai dengan pasal 7 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen. Menjelaskan bahwa : Kewajiban pelaku usaha.

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,

perbaikan dan pemeliharaan.


43

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif.

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa

yang berlaku.

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau

mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau

garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.

6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian

akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa

yang diperdagangkan.

7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

perjanjian.

Kewajiban pelaku usaha atau maskapai penerbangan yang menjadi sorotan

masyarakat adalah memiliki etikad baik ketika melakukan semua kegiatan usahanya.

Karena unsur etikad baik maskapai penerbangan sangatlah penting bila terjadi

keterlambatan penerbangan yang mengakibatkan kerugian konsumen. Apabila

memang kerugian yang di alami konsumen itu di akibatkan oleh kesalahan dari pihak

maskapai penerbangan, maka maskapai penerbangan sebagai pelaku usaha wajib

memberikan ganti kerugian yang sesuai dengan yang di derita oleh konsumen.
44

Sebagai kewajiban hukum, maka produsen harus memenuhinya dengan

itikad baik dan penuh tanggung jawab. Jika produsen bersalah tidak memenuhi

kewajibannya itu, menjadi alasan baginya untuk di tuntut secara hukum untuk

mengganti segala kerugian yang timbul sehubungan dengan tidak terpenuhinya

kewajiban itu. Artinya, produsen harus bertanggung jawab secara hukum atas

kesalahan atau kelalaiannya dalam menjalankan kewajibannya itu29.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat di simpulkan bahwa apabila

pihak maskapai penerbangan tidak memenuhi kewajibannya untuk beritikad baik jika

terjadi kerugian penumpang. Maka maskapai penerbangan dapat di gugat secara

hukum oleh penumpang atau konsumen karena sudah tidak beritikad baik terhadap

penumpang.

Pemberian informasi yang jelas juga penting dikarenakan maskapai

penerbangan selalu membela diri dan menyembunyikan informasi. Untuk membela

semua yang telah menjadi faktor keterlambatan. Seharusnya maskapai penerbangan

harus jelas, dan jujur terhadap semua mengenai kondisi yang terjadi. Maskapai

penerbangan juga harus jujur dan benar tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap

penumpang. Penumpang harus diberlakukan sama sepanjang penumpang itu telah

memenuhi kewajiban sebagai konsumen.

29
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2006, h. 85.
45

Selanjutnya pelaku usaha harus menjamin mutu pelayanan yang di berikan

kepada penumpang. Apabila ada sebuah keterlambatan sebaiknya yang di lakukan

oleh maskapai penerbangan sesuai dengan standart pelayanan maskapai jika terjadi

keterlambatan penerbangan. Menjamin kualitas armadanya agar tercipta kenymanan,

keamanan dan keselamatan jika menggunakan jasa yang di berikan oleh pelaku

usaha. Yang tidak kalah penting adalah maskapai penerbangan berkawajiban untuk

mengganti kerugian atas semua kerugian yang di alami konsumen atau penumpang

yang di akibatkan oleh keterlambatan penerbangan yang timbul akibat kesalahan

pelaku usaha. Kewajiban konsumen Sebagai salah satu pihak dalam perjanjian

angkutan udara maka penumpang memiliki kewajiban-kewajiban sebagai berikut:

1. Membayar uang angkutan, kecuali ditentukan sebaliknya.

2. Mengindahkan petunjuk-petunjuk dari pengangkut udara atau dari

pegawai-pegawainya yang berwenang untuk itu.

3. Menunjukan tiketnya kepada pegawai-pegawai pengakut udara setiap saat

apabila diminta.

4. Tunduk kepada peraturan-peraturan pengangkut udara mengenai syarat-

syarat umum perjanjian angkutan muatan udara yang disetujuinya.

5. Memberitahukan kepada pengangkut udara tentang barang-barang

berbahaya atau barangbarang terlarang yang dibawa naik sebagai bagasi

tercatat atau sebagai bagasi tangan, termasuk pula barangbarang terlarang

yang ada pada dirinya.


46

Apabila penumpang tidak melaksanakan kewajibannya itu, maka sebagai

konsekuensinya pengakut udara berhak untuk membatalkan perjanjian angkutan

udara itu. Disamping itu juga apabila penumpang yang melalikan kewajibannya itu

kemudian menimbulkan kerugian sebagai akibat perbuatannya itu, maka ia sebagai

penumpang harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

Anda mungkin juga menyukai