Anda di halaman 1dari 2

studi kasus 1

RS. Citra Medika

kasus

Sore itu Lydia pulang ke rumahnya dengan raut muka penuh keletihan. Tidak ada yang ingin
dilakukannya sore itu kecuali minum segelas teh hangat dan beristirahat. Berbagai persoalan
yang dihadapinya di RS. Citra Medika (RSCM) serasa tidak ada habis-habisnya. Setiap hari
selalu ada saja masalah ini dan itu. Ironisnya, masalahnya selalu yang itu-itu juga. Lydia tidak
habis pikir kenapa para stafnya tidak kunjung bisa menangani masalah mereka sendiri. Kenapa
segala sesuatunya harus diserahkan kepada dia?

Sudah 1 tahun lamanya Lydia diserahi mandat untuk menjadi Direktur di RSCM. Suatu
penugasan yang menurut Lydia pribadi sangat terlalu cepat dan nampak tidak cukup dipikirkan
dengan matang oleh Yayasan Citra Medika (YCM) mengingat dia sendiri pada saat itu baru 6
bulan bekerja di sana. Belum banyak yang dia ketahui dan belum banyak yang dia kenal di sana.
Tetapi karena merasa tidak enak kalau tugas tersebut dia tolak, Lydia akhirnya memutuskan
untuk menerima tanggung jawab itu. Terlebih lagi tidak ada dokter tetap di sana pada saat itu
yang bersedia untuk diangkat sebagai Direktur RSCM.

“Siapa lagi soalnya Ruth? Kasihan juga rumah sakit kalau tidak ada yang pimpin,” kata Lydia
kepada sahabatnya Ruth ketika dia ditanya kenapa dia “nekad” memberanikan diri menyanggupi
penugasan tersebut. “Bukan apa-apa Lydia, masalah di RSCM itu sudah kronis: siapa yang
duduk di Yayasan nggak jelas, karyawannya sedikit-sedikit demo, dokter-dokternya nggak ada
yang commit. Kamu akan jadi bulan-bulanan kalau jadi Direktur di sana.” sanggah Ruth. Ucapan
sahabatnya tersebut sore itu kembali terngiang-ngiang di telinga Lydia. “Kamu bener ternyata
Ruth,” kata Lydia kepada dirinya sendiri sambil menghela napasnya.

RS. Citra Medika adalah rumah sakit tipe C dengan kapasitas 65 tempat tidur yang sudah berdiri
sejak 1995 atas prakarsa beberapa tokoh masyarakat yang peduli akan minimnya fasilitas
pelayanan kesehatan di daerah mereka. Pada mulanya, RSCM merupakan sebuah rumah sakit
yang mendapat tempat di hati masyarakat karena kualitas pelayanannya yang baik walaupun
kapasitasnya relatif masih kecil pada saat itu. Dedikasi dari para pendirinya yang tulus dan penuh
dengan pengabdian adalah faktor utama keberhasilan RSCM di masa-masa awal berdirinya
tersebut.

Tetapi seiring dengan meningkatnya kapasitas rumah sakit, berbagai permasalahan mulai
bermunculan di sana di sini. Terlebih lagi ketika para pendirinya mulai tutup usia satu per satu.
Perlahan tapi pasti, RSCM mulai kehilangan semangat pengabdian dan jiwa pelayanan yang
selama ini melandasi sepak terjang RSCM. Para pengganti dewan pengurus, pembina, maupun
pengawas yang telah tutup usia tersebut nampak tidak mampu meneruskan visi dan misi rumah
sakit. Mereka datang silih berganti masing-masing dengan pemikiran dan ide-nya sendiri-sendiri
sehingga jajaran Direksi RS menjadi bingung apa yang sebenarnya harus mereka lakukan. Satu
per satu dari mereka pun mengundurkan diri.

Karena tidak adanya kejelasan kebijakan rumah sakit, karyawan pun menjadi gelisah. Banyak
permasalahan di tingkat operasional yang menjadi terbengkalai karenanya. Petugas di unit
laboratorium misalnya, mereka terus menerus mengeluh karena tidak kunjung dilengkapinya
berbagai peralatan yang mereka butuhkan untuk bisa bekerja dengan baik. “Sulit Sis kalau kita

© Prima Haswidi, 2005 1 of 2


kerja kayak begini.” kata Mirna salah satu petugas di sana kepada rekannya Siska. “Kita terus-
terusan di-complaint oleh pasien karena kerja lambat, padahal mikroskop kita yang jalan cuma
ada satu.” lanjut Mirna lagi. Ridwan, salah satu petugas di radiologi pun tidak kalau sengitnya
mengkritik jajaran Direksi RSCM. “Mereka itu maunya apa sih, kerjaannya cuma rapat dan rapat
aja tapi follow up-nya mana?” protesnya berapi-api. Beberapa karyawan lain yang tergolong garis
keras bahkan kerap kali memobilisasi rekan-rekannya untuk mendemo jajaran Direksi RSCM
untuk hampir setiap masalah yang menurut mereka perlu untuk “diluruskan”. Beberapa diantara
demo karyawan tersebut bahkan ada yang sempat diliput oleh media massa setempat karena
melibatkan cukup banyak karyawan dan gaungnya terdengar di mana-mana.

Para dokter tamu spesialis pun tidak urung gerah juga bekerja di RSCM. “Kami ini ibarat
numpang lewat aja Pak.” kata dr. Duddy salah seorang dokter spesialis kebidanan dan
kandungan di sana kepada salah seorang pengurus YCM baru ketika mereka berdiskusi
mengenai apa yang sebaiknya dilakukan RSCM untuk meningkatkan kinerjanya. “Bayangkan
Pak, sebagian besar dari kami sudah menjadi dokter tamu di sini selama tidak kurang dari 6
tahun, tetapi apa pernah kami dimintai pendapat untuk meningkatkan pelayanan rumah sakit?
Tidak pernah Pak.” lanjut dr. Duddy. “Bahkan banyak dari kami yang punya surat perjanjian
kerjasama dengan rumah sakit pun tidak. Coba bayangkan Pak.” kata dr. Duddy lagi.

Sebagai akibat dari akumulasi berbagai permasalahan tersebut, BOR RSCM saat ini hanya
berada pada kisaran 40% dari yang semula sempat mencapai 78 – 80%, rata-rata jumlah
kunjungan rawat jalan turun dari semula 120 pasien per hari menjadi 52 pasien per hari saja.
Sisa hasil usaha RS pun menurun drastis dari yang semula 8% terhadap total revenue menjadi
hanya 1,20% saja. Semuanya itu terjadi hanya dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Memikirkan
itu semua Lydia sering merasa tidak sanggup bisa bertahan lama di RSCM. “Apa yang harus
saya lakukan,” kata Lydia kepada dirinya sambil merebahkan diri di atas sofa kesayangannya di
rumahnya.

pertanyaan

1. Menurut anda, apa yang menjadi permasalahan utama di RSCM? Kenapa masalahnya bisa
menjadi sedemikian pelik?
2. Sekiranya anda diminta untuk memberikan saran kepada dr. Lydia selaku Direktur di sana,
saran apa yang akan anda berikan kepada dia? Kemukakan saran anda tersebut dalam
bentuk program kerja.
3. Presentasikanlah pendapat anda untuk kedua pertanyaan tersebut di atas di depan rekan-
rekan anda.

© Prima Haswidi, 2005 2 of 2

Anda mungkin juga menyukai