Anda di halaman 1dari 104

PENGATURAN PERSEKONGKOLAN TENDER DALAM UNDANG-

UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN


PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA
TIDAK SEHAT DENGAN PENDEKATAN
RULE OF REASON
(Suatu Tinjauan Kelemahan Penegakan Hukum Oleh
Komisi Pengawas Persaingan Usaha)

Penulisan Hukum
(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1

dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh
Erika Rovita Maharani
NIM. E0006016

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2010
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)


PENGATURAN PERSEKONGKOLAN TENDER DALAM UNDANG-
UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN
PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA
TIDAK SEHAT DENGAN PENDEKATAN
RULE OF REASON
(Suatu Tinjauan Kelemahan Penegakan Hukum Oleh
Komisi Pengawas Persaingan Usaha)

Oleh
Erika Rovita Maharani
NIM. E0006016

Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum


(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, 5 April 2010


Dosen Pembimbing

Hernawan Hadi, S.H., M.Hum.


NIP. 19600520 198601 1 001
PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)


PENGATURAN PERSEKONGKOLAN TENDER DALAM UNDANG-
UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN
PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA
TIDAK SEHAT DENGAN PENDEKATAN
RULE OF REASON
(Suatu Tinjauan Kelemahan Penegakan Hukum Oleh
Komisi Pengawas Persaingan Usaha)
Oleh
Erika Rovita Maharani
NIM. E0006016

Telah diterima dan dipertahankan di hadapan


Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Rabu
Tanggal : 28 April 2010
DEWAN PENGUJI
1. Endang Mintorowati, S.H. ,M.H. :................................................................
Ketua

2. Diana Tantri C, S.H., M.Hum. :.................................................................


Sekretaris

3.Hernawan Hadi, S.H., M.Hum. :................................................................


Anggota
Mengetahui
Dekan,

Mohammad Jamin, S.H., M.Hum.


NIP. 19610930 198601 1 001
ABSTRAK

Erika Rovita Maharani, E0006016. 2010. PENGATURAN


PERSEKONGKOLAN TENDER DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 5
TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN
PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN PENDEKATAN RULE
OF REASON (Suatu Tinjauan Kelemahan Penegakan Hukum Oleh Komisi
Pengawas Persaingan Usaha). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah metode pendekatan
rule of reason yang diterapkan dalam menangani persekongkolan tender sudah
tepat baik peraturan maupun praktek karena peran Komisi Pengawas Persaingan
Usaha sangat penting dalam penegakan persaingan usaha.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif,
menemukan hukum in concreto dalam hal pengaturan dalam undang-undang yang
seharusnya lebih memudahkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha menangani
perkara dan pihak-pihak yang terlibat dalam persekongkolan tender. Jenis data
yang digunakan yaitu data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan
mencakup bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan
bahan hukum yang digunakan yaitu studi kepustakaan dan cyber media.
Kemudian bahan hukum tersebut disesuaikan satu sama lain untuk memperoleh
alur yang tepat dalam mengkaji pengaturan dan penegakan hukum terhadap
persekongkolan tender yang selama ini sudah berlangsung. Analisis bahan hukum
yang dilaksanakan dengan menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum yaitu
pengaturan mengenai persekongkolan tender secara umum pada kasus individual
konkret yang dihadapi oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk dijadikan
peristiwa hukum. Untuk menjawab permasalahan atas pengatura hukum yang ada,
maka digunakan silogisme deduksi.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan,
bahwa alasan yang mendasari dominasinya perkara persekongkolan tender adalah
adanya celah dalam pengaturan undang-undang dengan pendekatan rule of reason
dalam menegakkan persekongkolan tender secara praktek. Hal ini memberikan
kesulitan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk melakukan
penyelidikan dari taraf laporan atau monitoring sampai Sidang Majelis Komisi
yang mana seharusnya tidak diperlukan ketika persekongkolan tender sudah
mempunyai indikasi negatif. Indikasi negatif tersebut sudah ada pada hambatan
memasuki persaingan (barrier to entry) ke pasar. Jadi, ketidakadilan pada
dasarnya sudah terjadi pada kesempatan yang dibatasi terhadap pelaku usaha yang
dirugikan serta adanya celah untuk melakukan korupsi karena hakekatnya
persaingan fair banyak memberi manfaat terutama kesejahteraan rakyat.
Kata kunci : Persekongkolan Tender, Rule of Reason.
ABSTRACT

Erika Rovita Maharani, E0006016. 2010. THE REGULATION OF TENDER


CONSPIRACY IN THE ACT NO. 5 OF 1999 CONCERNING
PROHIBITION OF MONOPOLISTIC PRACTICES AND UNFAIR
BUSINESS COMPETITIONABOUT THE RULE OF REASON APPROACH
(A Review On The Weakness Of Law Enforcement By The Commission for
the Supervision of Business  Competition). Law Faculty of Sebelas Maret
University.

This research aims to find out the rule of reason approach method applied
in handling the tender conspiracy has been appropriate, either the regulation or
practice, because the role of The Commission for the Supervision of Business 
Competition is very important in the business competition enforcement.
This study belongs to a normative law research that is prescriptive in
nature finding the law in concreto in the term of regulation in the act facilitates the
The Commission for the Supervision of Business  Competition in coping with the
case and parties involved in tender conspiracy. The type of data employed was
secondary data. The data secondary source employed included primary and
secondary law materials. Technique of collecting law material employed was
literary study and cyber media. Then, those law materials are adjusted each other
for obtaining the proper flow in studying law regulation and enforcement over the
tender conspiracy proceeding so far. An analysis on law material implemented by
drawing conclusion from the general thing, namely, the regulation of tender
conspiracy in the individual concrete case encountered by The Commission for
the Supervision of Business  Competition for becoming the law event. In order to
answer the problem of law regulation existing, the deduction syllogism was used.
Considering the result of research and discussion, it can be concluded, that
the premise of tender conspiracy case dominance is the niche in the law and
regulation using rule of reason approach by enforcing the tender conspiracy
practically. It makes The Commission for the Supervision of Business 
Competition difficult in undertaking the investigation from the reporting or
monitoring stage to Commission Chamber Trial that is not necessary when the
tender conspiracy has had negative indication. The negative indication has resided
in the barrier to entry the market. So, injustice has basically occurred in the
opportunity limited to the disadvantageous businessmen as well as the presence of
niche to undertake the corruption because the fair competition essentially gives
considerable benefits, particularly to the people’s well-fare.
Keywords: Tender conspiracy, rule of reason.
PERNYATAAN

Nama : Erika Rovita Maharani


NIM : E0006016

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum(skripsi) berjudul :


PENGATURAN PERSEKONGKOLAN TENDER DALAM UNDANG-
UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK
MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN
PENDEKATAN RULE OF REASON (Suatu Tinjauan Kelemahan
Penegakan Hukum Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha) adalah betul-
betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum
(skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila
kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima
sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang
saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, 5 April 2010


Yang membuat pernyataan,

Erika Rovita Maharani


NIM. E0006016
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan


rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi)
dalam rangka memenuhi persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana. Penulisan
hukum ini membahas mengenai pengaturan persekongkolan tender yang terdapat
dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 beserta penerapan terhadap
penegakannya oleh KPPU. Pada kesempatan ini dengan rendah hati penulis
bermaksud menyampaikan ucapan terimakasih kepada segenap pihak yang telah
memberi bantuan, dukungan serta pertolongan baik berupa materiil maupu
imateriil selama penyusunan penulisan hukum ini terutama kepada :

1. ALLAH SWT yang senantiasa menjaga dan melindungi penulis dalam


setiap langkah dan mencari ridho-Nya.
2. Nabi Muhammad SAW junjungan dan suri tauladan yang baik untuk
penulis dalam menjalani kehidupan.
3. Ibunda, ayahanda serta ketiga adik tersayang yang menjadi sumber
inspirasi, kebanggaan dan pengabdian diri penulis.
4. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
5. Bapak Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing
Akademik penulis.
6. Ibu Ambar Budi Sulistyowati, S.H.,M.Hum. selaku Ketua Bagian Hukum
Perdata.
7. Bapak Hernawan Hadi, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing
Penulisan Hukum (Skripsi).
8. Sahabat tercintaku di Fakultas Hukum UNS Dian Rachma Fitria, Erlina
Septiyaningrum, Hanifah Endah Setyowati dan Pratami Wahyudya
Ningsih. Terimakasih untuk persahabatan dan persaudaraan yang indah
dan penuh motivasi.
9. Kelompok Studi dan Penelitian (KSP) Principium rumah kedua penulis di
bangku perkuliahan. Terimakasih untuk ilmu, pengalaman, kekeluargaan
dan semangatnya. We are Principiumer’s (Be Smart Of Course) berikut
pembimbingnya Bapak Muhammad Rustamadji, S.H., M.H. yang
membimbing penulis sejak semester awal perkuliahan.
10. Segenap keluarga besar trah eyang Harto Wiyono, Karso Wijoyo, Suryodi
Kromo atas doa dan nasehat-nasehatnya.
11. Teman-teman seperjuangan angkatan 2006 yang begitu menjaga
solidaritas spesial Arshinta Puspitasari, Harris Fadillah Wildan, Andria
Luhur Prakoso, Megawati Attiyatunajah.
12. Kakak-kakak tersayang di KSP Principium Mas Arif, Mas Aji, Mbak
Recca, Mbak Aci, Mbak Fitri, Mas Andi Rahman, dan terkhusus Mbak
Lia atas data-data dari KPPU serta adik-adik tersayang, Yuni, Yovi,
Ariyani, Gatot, Lili, Citra, Benny, Trisna, Helena, Ardhani, Iffa, dan
teman-teman lainya, jaga KSP kita.
13. Teman-teman dunia maya khususnya teman SD, SMP, SMA dan kuliah
atas semangat perjuangannya.
14. Seluruh civitas akademika Fakultas Hukum UNS, mari wujudkan
profesional dan bermoral.
15. Pihak-pihak yang memberi bantuan baik langsung maupun tidak langsung
yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan,
untuk itu penulis berharap saran dan kritik dari para pembaca. Akhirnya penulis
berharap penulisan ini mampu memberikan suatu manfaat bagi kita semua.

Surakarta, 5 April 2010

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI...............................................................iii
HALAMAN PERNYATAAN............................................................................... iv
ABSTRAK.............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR...........................................................................................vii
DAFTAR ISI...........................................................................................................ix
DAFTAR TABEL...................................................................................................xi
DAFTAR BAGAN................................................................................................xii
DAFTAR GRAFIK...............................................................................................xiii

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah..........................................................................1


B. Rumusan Masalah...................................................................................9
C. Tujuan Penelitian.....................................................................................9
D. Manfaat Penelitian.................................................................................10
E. Metode Penelitian..................................................................................10
F. Sistematika Penulisan Hukum...............................................................14

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori......................................................................................16
1. Tinjauan Umum tentang Persekongkolan Tender........................16
2. Tinjauan Umum tentang Pendekatan Hukum Persaingan Usaha.23
3. Tinjauan Umum tentang Penegakan Hukum...............................26
4. Tinjauan Umum tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha....33
B. Kerangka Pemikiran..............................................................................37
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Persekongkolan Tender dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 dengan Pendekatan Rule of Reason..................................39
B. Kelemahan Penegakan Hukum oleh Komisi Pengawas Persaingan
Usaha dalam Persekongkolan Tender dengan Pendekatan Rule of
Reason...................................................................................................50

BAB IV. PENUTUP

A. Simpulan................................................................................................87
B. Saran......................................................................................................88

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kategori Tindakan yang Dilarang Undang-Undang..................................4


Tabel 2. Perbandingan Putusan KPPU.....................................................................6
Tabel 3. Perkara yang ditangani.............................................................................75
Tabel 4. Putusan yang dijatuhkan..........................................................................76
DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Persekongkolan Horizontal.....................................................................21


Bagan 2. Persekongkolan Vertikal.........................................................................22
Bagan 3. Persekongkolan Horizontal dan Vertikal................................................23
Bagan 4. Pendekatan Per se Illegal........................................................................26
Bagan 5. Pendekatan Rule of Reason.....................................................................26
Bagan 6. Kerangka Pemikiran................................................................................37
Bagan 7. Tata Cara Penanganan Perkara...............................................................56
DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. Laporan Perkara Masuk..........................................................................74


Grafik 2. Variasi Dugaan Pelanggaran...................................................................77
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek


Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disingkat Undang-
Undang No. 5 Tahun 1999) perlu disambut secara positif karena sebelumnya
praktek monopoli oleh perusahaan-perusahaan besar seakan-akan berlangsung
tanpa aturan. Di masa pemerintahan Orde Baru Soeharto misalnya, di masa itu
sangat banyak terjadi monopoli, oligopoli dan perbuatan lain yang menjurus
kepada persaingan curang. Misalnya monopoli tepung terigu, monopoli
cengkeh, monopoli jeruk di Kalimantan, monopoli pengedaran film dan masih
banyak lagi. Bahkan dapat dikatakan bahwa keberhasilan beberapa
konglomerat besar di Indonesia juga bermula dari tindakan monopoli dan
persaingan curang lainnya yang dibiarkan saja bahkan didorong oleh
pemerintah kala itu. Karena itu tidak mengherankan jika cukup banyak para
praktisi maupun teoretisi hukum dan ekonomi kala itu yang menyerukan agar
segera dibuat sebuah Undang-Undang Anti Monopoli. Seruan-seruan tersebut
terasa tidak bergeming sampai dengan lengsernya rezim mantan Presiden
Soeharto, di mana baru di masa reformasi tersebut diundangkan sebuah
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 (Munir Fuady, 2002: 41). Undang-Undang
ini menumbuhkan harapan atas persamaan hak berusaha dan persaingan yang
fair. Usaha untuk menegakkan hukum di bidang anti monopoli ini merupakan
conditio sine qua non menuju perkembangan usaha atau bisnis yang semakin
pesat.

Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan beberapa alasan yang


menyebabkan Undang-undang Persaingan Usaha untuk lahir pada masa Orde
Baru, yaitu antara lain : Pertama, adalah karena pemerintah menganut konsep
bahwa perusahaan-perusahaan besar perlu ditumbuhkan untuk berfungsi
menjadi lokomotif pembangunan apabila perusahaan-perusahaan tersebut
diberikan perlakuan khusus. Perlakuan khusus itu ada dalam bentuk proteksi
yang dapat menghalangi perusahaan lain dalam bidang usaha tersebut atau
dengan kata lain memberikan posisi monopoli. Kedua, adalah pemberian
fasilitas monopoli perlu ditempuh karena perusahaan itu telah bersedia menjadi
pioner di sektor yang bersangkutan. Tanpa fasilitas monopoli dan proteksi,
sulit bagi pemerintah untuk mendapatkan kesediaan insvestor menanamkan
modal disektor tersebut. Ketiga, adalah untuk menjaga berlangsungnya praktek
KKN demi kepentingan kroni-kroni mantan presiden Soeharto dan pejabat-
pejabat yang berkuasa pada waktu itu ( Ditha Wiradiputra, 2004: 8-9).
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat serta merta membuat orang yang bergerak di
bidang hukum dan bisnis merasa sedikit lega, karena yang dinanti-nanti selama
beberapa dasawarsa akhirnya terwujud juga. Hal ini tentunya tidak terlepas
dari semangat reformasi yang sedang melanda Indonesia saat undang-undang
tersebut dibuat dan diundangkan. Akan tetapi kegembiraan atas undang-
undang tersebut patut ditahan dulu sebab pembuatan undang-undang adalah
suatu hal. Sedangkan pelaksanaan dari undang-undang tersebut (law
enforcement) merupakan hal lain lagi yang membutuhkan perjuangan tidak
mudah.

Hukum persaingan dalam hukum ekonomi lebih mencerminkan ideologi


atau filsafat suatu perekonomian. Hukum ini merupakan filsafat perekonomian
yang sekarang diterima secara meluas di seluruh dunia yang merupakan
pendukung utama sistem perencanaan perekonomian pusat. Filsafat berbunyi :

“banyak orang yang memberi argumentasi bahwa persaingan yang hidup


menurunkan harga barang dan meningkatkan pengalokasian sumber daya
secara efisien. Persaingan juga membatasi kekuasaan bisnis dalam suatu
pasar yang bersaing, orang tidak dapat mengambil keuntungan dari orang
dengan siapa mengadakan transaksi. Bila seorang penjual menetapkan
harga yang terlalu tinggi untuk perangkat barangnya, pembeli dapat
membeli barang tersebut dari orang lain. Banyak orang menganggap
alternatif ini memberikan hasil yang lebih adil daripada keputusan yang
dibuat pemerintah tentang apa dan berapa banyak yang harus diproduksi.
Secara beralasan persaingan juga membantu bisnis kecil dan membuka
peluang bagi setiap orang dan untuk mendistribusikan uang ke seluruh
lapisan masyarakat dan bukan hanya pada segelintir orang kuat saja”
Oleh karena itu, hukum persaingan mempunyai relevansi yang kuat dengan
hukum ekonomi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat juga
(John W. Head, 1997: 9).

Kelahiran Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dimaksudkan untuk


memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang sama kepada
setiap pelaku usaha dalam berusaha, dengan cara mencegah timbulnya praktek-
praktek monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat lainnya dengan
harapan dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif, dimana setiap pelaku
usaha dapat bersaing secara wajar dan sehat. Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
membuat tiga kategori tindakan-tindakan yang dilarang, yaitu perjanjian yang
dilarang (Bab III), kegiatan yang dilarang (Bab IV) dan posisi dominan (Bab
V). Di dalam kategori perjanjian yang dilarang ditentukan ada sepuluh
tindakan yang tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha, sedangkan untuk
kategori kegiatan yang dilarang dan posisi dominan masing-masing ditentukan
ada empat atau tiga tindakan yang tidak diperbolehkan. Dua kategori yang
pertama (perjanjian yang dilarang dan kegiatan yang dilarang) tampak lebih
ditekankan pada pengaturan perilaku (behavior) yang mengarah pada akibat
yang tidak dikehendaki, sedangkan kategori posisi dominan lebih
dititikberatkan pada larangan penggunaan struktur tertentu (posisi dominan)
untuk bersaing secara tidak fair (Arie Siswanto, 2002: 81).

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli


dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang jelas maksudnya untuk melarang
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, dapat digambarkan secara
umum seperti berikut:

No. Kategori Jenis-jenis Pendekatan


Tindakan yang
dilarang
1. Perjanjian yang Pasal 4 : Oligopoli Rule of Reason
dilarang Pasal 5-Pasal 8 : Penetapan
(Bab III) Harga Per se Illegal
Pasal 9 : Pembagian Rule of Reason
Wilayah
Pasal 10 : Pemboikotan Per se Illegal
Pasal 11 : Kartel Rule of Reason
Pasal 12 : Trust Rule of Reason
Pasal 13 : Oligopsoni Rule of Reason
Pasal 14 : Integrasi Vertikal Rule of Reason
Pasal 15 : Perjanjian
Tertutup Per se Illegal
Pasal 16 : Perjanjian dengan
Luar Negeri Rule of Reason

2. Kegiatan yang Pasal 17 : Monopoli Rule of Reason


dilarang Pasal 18 : Monopsoni Rule of Reason
(Bab IV) Pasal 19 – Pasal 21 :
Penguasaan Pasar Rule of Reason
Pasal 22 – Pasal 24 : Rule of Reason &
Persekongkolan Per se Illegal
3. Posisi Dominan Pasal 25 : Umum Per se Illegal
(Bab V) Pasal 26 : Jabatan Rangkap Rule of Reason
Pasal 27 : Pemilikan Saham Per se Illegal
Pasal 28 : Penggabungan,
peleburan, pengambilalihan Rule of Reason
Tabel 1. Kategori Tindakan yang dilarang UU No. 5 Tahun 1999
Salah satu bagian kegiatan yang dilarang adalah ketentuan yang mengatur
mengenai persekongkolan. Persekongkolan itu sendiri mencakup
persekongkolan untuk mengatur atau menentukan pemenang tender atau
tindakan bidrigging, mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaing yang
dapat diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan, menghambat produksi dan
atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan
agar barang dan atau jasa itu berkurang kualitas maupun kuantitasnya serta
terganggunya ketepatan waktu yang dipersyaratkan. Dan salah satu substansi
dari kegiatan persekongkolan itu adalah persekongkolan tender yang diatur
dalam Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dan merupakan ketentuan yang
lebih khusus sifatnya dalam rangka menciptakan iklim usaha yang kondusif
guna mendukung dan menumbuh kembangkan kegiatan penyediaan barang
dan atau jasa yang berkualitas serta harga yang bersaing di tanah air.
Persekongkolan tender menjadi salah satu substansi yang menarik untuk
diteliti karena sebagian besar kasus yang ditangani oleh Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) adalah praktek persekongkolan tender.

Pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan bagian yang paling


banyak dijangkiti oleh korupsi, kolusi, dan nepotisme. Penyakit ini sangat
merugikan keuangan negara, sekaligus dapat berakibat menurunnya kualitas
pelayanan publik dan berkurangnya jumlah pelayanan yang seharusnya
diberikan pemerintah kepada masyarakat. Tidak heran kalau begawan
ekonomi, Sumitro Djojohadikusumo, mengidentifikasi adanya kebocoran
30%-50% pada dana pengadaan barang dan jasa pemerintah. Indikasi
kebocoran dapat dilihat dari banyaknya proyek pemerintah yang tidak tepat
waktu, tidak tepat sasaran, tidak tepat kualitas, dan tidak efisien. Akibatnya
banyak alat yang dibeli tidak bisa dipakai, ambruknya bangunan gedung dan
pendeknya umur konstruksi jalan raya karena banyak proyek pemerintah yang
masa pakainya hanya mencapai 30-40% dari seharusnya akibat tidak sesuai
atau lebih rendah dari ketentuan yang telah ditetapkan dalam spesifikasi teknis.
Berdasarkan jumlah perkara yang ditangani oleh KPPU sejak tahun 2000
hingga saat ini, sebagian besar masih didominasi oleh kasus tender yakni
sebesar 70%.

Putusan
Tahun
Tender Non Tender
2000 1 1
2001 3 1
2002 1 3
2003 1 6
2004 3 4
2005 10 8
2006 8 4
2007 22 4
2008 34 6
2009 0 0
TOTAL 83 38

Tabel 2. Perbandingan Putusan KPPU

Temuan yang diperoleh KPPU bahwa persekongkolan dalam tender sudah


terjadi semenjak perencanaan pengadaan yaitu tahap awal dalam kegiatan
pengadaan barang dan jasa pemerintah. Perencanaan pengadaan
mencantumkan secara rinci mengenai target, lingkup kerja, SDM, waktu,
mutu, biaya dan manfaat yang akan menjadi acuan utama dalam pelaksanaan
pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam bentuk paket pekerjaan yang
dibiayai dari dana APBN/APBD maupun Bantuan Luar Negeri.
Persekongkolan bisa terjadi antara pelaku usaha dengan sesama pelaku usaha
(penyedia barang dan jasa pesaing) yaitu dengan menciptakan persaingan semu
diantara peserta tender. Ini lebih dikenal dengan tender arisan dimana
pemenangnya sudah ditentukan terlebih dahulu. Persekongkolan juga dapat
terjadi antara satu atau beberapa pelaku usaha dengan panitia tender atau
panitia lelang misalnya rencana pengadaan yang diarahkan untuk pelaku usaha
tertentu dengan menentukan persyaratan kualifikasi dan spesifikasi teknis yang
mengarah pada suatu merek sehingga menghambat pelaku usaha lain untuk
ikut tender. Akibatnya kompetisi untuk memperoleh penawaran harga yang
paling menguntungkan tidak terjadi. Pemaketan pengadaan yang seharusnya
dilaksanakan dengan mempertimbangkan aspek efisiensi dan efektifitas,
namun pada prakteknya banyak yang direkayasa untuk kepentingan KKN.
Panitia pengadaan bekerja secara tertutup dan tidak memberikan perlakuan
yang sama diantara para peserta tender. Tender dilakukan hanya untuk
memenuhi persyaratan formal sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan
jasa. Hal ini terjadi karena calon pemenang biasanya sudah ditunjuk terlebih
dahulu pada saat tender berlangsung yaitu karena adanya unsur suap kepada
panitia atau pejabat yang mempunyai pengaruh. Disamping itu penentuan
Harga Perkiraan Sendiri (HPS) atau owner’s estimate (OE) biasanya sudah
direkayasa untuk mempunyai margin tertentu yang bisa disisihkan untuk
dibagi-bagi (rente ekonomi atau laba abnormal). Bermacam-macam cara
digunakan untuk membatasi informasi tender, diantaranya memasang iklan
palsu di Koran. Padahal hal inilah yang merangsang terjadinya mark-up dan
korupsi ((Nuzul Qur’aini Madya, 2009: 8-9). Pemerintah dalam pengadaan
barang dan jasa haruslah terbuka, transparan dan tidak diskriminatif, karena
menyembunyikan proyek melanggar Keppres Nomor 80 Tahun 2003 yang
mensyaratkan adanya pengumuman kepada masyarakat luas baik di awal
pengadaan maupun hasil akhirnya.

Penegakan hukum yang dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan


Usaha (KPPU) terhadap praktek persekongkolan tender adalah dengan
menggunakan pendekatan rule of reason. Secara eksplisit dalam Undang-
Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat tidak menyebutkan prinsip rule of reason dan per se illegal.
Penafsiran yang dilakukan oleh KPPU untuk menentukan suatu perjanjian atau
kegiatan yang dilarang termasuk dalam kategori rule of reason dan per se
illegal didasarkan pada analisis redaksional atau kalimat yang terdapat dalam
setiap pasal dari undang-undang. Hal tersebut nampak ketika membandingkan
diantara pasal-pasal tertentu yang termasuk dalam kategori rule of reason
maupun per se illegal. Bahwa penafsiran yang dilakukan KPPU dalam hal
menentukan suatu perbuatan (perjanjian atau kegiatan) yang dilarang
didasarkan pada:

a. Perjanjian atau kegiatan yang dilarang ditentukan sebagai rule of reason


apabila karakterisitik bunyi pasal mempunyai tujuan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat.
b. Sedangkan dalam perjanjian atau kegiatan yang dilarang yang termasuk
kategori per se illegal ditentukan sebagai perbuatan (perjanjian dan
kegiatan) yang dilarang dan tujuan dari perbuatan tersebut tanpa
memperhatikan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut.
Dengan demikian maka terhadap perbuatan tersebut dapat dinyatakan
melanggar hukum (prinsip per se illegal).

Mengkaji dari sisi pengertiannya rule of reason yang mempunyai karakteristik


“mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat” dalam praktek terhadap persekongkolan tender akan sangat
menyulitkan KPPU sendiri. Pembuktian yang sulit terdapat pada risiko
persekongkolan tender terhadap kerugian. Oleh karena itu, penulis
mengangkat prinsip pendekatan rule of reason dalam menangani
persekongkolan tender dalam penulisan berjudul “PENGATURAN
PERSEKONGKOLAN TENDER DALAM UNDANG-UNDANG
NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK
MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN
PENDEKATAN RULE OF REASON (Suatu Tinjauan Kelemahan
Penegakan Hukum Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha)”.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis


merumuskan permasalahan yang akan dibahas adalah

1. Apakah pengaturan persekongkolan tender dalam Undang-Undang No. 5


Tahun 1999 dengan pendekatan rule of reason sudah tepat?
2. Apakah kelemahan penegakan hukum yang dilakukan oleh Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terhadap persekongkolan tender
dengan pendekatan rule of reason?

C. Tujuan Penelitian

Dalam suatu penelitian pada dasarnya memiliki suatu tujuan tertentu yang
hendak dicapai. Tujuan penelitian juga harus jelas sehingga dapat memberikan
arah dalam pelaksanaan penelitian tersebut. Adapun tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui pengaturan persekongkolan tender dalam Undang-
Undang No. 5 Tahun 1999 dengan pendekatan rule of reason sudah
tepat atau belum.
b. Untuk mengetahui kelemahan penegakan hukum yang dilakukan oleh
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terhadap persekongkolan
tender dengan pendekatan rule of reason.

2. Tujuan Subyektif
a. Memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan
dalam program studi ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret.
b. Untuk memperluas wawasan, pengetahuan dan kemampuan penulis
dalam mengkaji masalah di bidang hukum perdata khususnya hukum
bisnis dan persaingan usaha.

D. Manfaat Penelitian
Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini
akan bermanfaat bagi penulis maupun orang lain. Adapun manfaat yang dapat
diperoleh dari penulisan hukum ini antara lain:
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada
umumnya dan hukum persaingan usaha pada khususnya.
b. Menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang berwenang dalam
penegakan persaingan usaha dan sebagai referensi keilmiahan.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
b. Untuk mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir dinamis
sekaligus mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu
yang diperoleh.

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum dimulai dengan melakukan penelusuran terhadap bahan-


bahan hukum sebagai dasar untuk membuat suatu keputusan hukum (legal
decision making) terhadap kasus-kasus hukum yang konkret. Pada sisi lainnya,
penelitian hukum juga merupakan kegiatan ilmiah untuk memberikan refleksi
dan penilaian terhadap keputusan-keputusan hukum yang telah dibuat terhadap
kasus-kasus hukum yang pernah terjadi atau akan terjadi (Johnny Ibrahim,
2006: 299). Metode penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif.


Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah
untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi
normatifnya. Logika keilmuan yang ajeg, dalam penelitian hukum
normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu
hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri
(Johnny Ibrahim, 2006: 57). Sebagai konsekuensi pemilihan topik
permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian yang objeknya adalah
permasalahan hukum, maka tipe penelitian yang digunakan adalah
penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk
mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum
positif (Johnny Ibrahim, 2006: 295).

2. Sifat Penelitian

Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat


preskriptif dan terapan (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 22). Dari hasil
telaah dapat dibuat opini atau pendapat hukum. Opini atau pendapat
hukum yang dikemukakan oleh ahli hukum merupakan suatu preskipsi.
Begitu juga tuntutan jaksa, petitum atau eksepsi dalam pokok perkara di
litigasi berisi preskripsi. Untuk dapat memberikan preskripsi itulah guna
praktik penelitian hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 37). Berdasarkan
definisi tersebut karakter preskriptif akan dikaji pada penegakan hukum
terhadap persekongkolan tender melalui pendekatan rule of reason yang
diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan


perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Suatu penelitian hukum
normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan
karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi
fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian (Johnny Ibrahim, 2006: 302).
Dalam penelitian ini, pendekatan perundang-undangan dilakukan terhadap
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Konsep dalam pengertian yang relevan
adalah unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam
bidang studi yang kadangkala menunjuk pada hal-hal universal yang
diabstrasikan dari hal-hal yang partikular dan fungsi dari konsep itu sendiri
ialah memunculkan objek-objek yang menarik perhatian dari sudut
pandangan praktis dan sudut pengetahuan dalam pikiran dan atribut-atibut
tertentu (Johnny Ibrahim, 2006: 306). Konsep-konsep yang digunakan
adalah konsep tentang penegakan hukum terkhusus dalam persaingan
usaha.

4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum tidak mengenal adanya data, yang ada


dalam penelitian hukum adalah bahan hukum. Bahan hukum terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan
perundang-undangan berdasarkan hierarkinya. Bahan hukum sekunder
adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks (textbooks) yang
ditulis oleh para ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer), jurnal-
jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi,
dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik
penelitian. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan
petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain (Johnny
Ibrahim, 2006: 295-296).

Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah


Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun
2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
dan Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Penanganan
Perkara. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
adalah jurnal, buku, artikel internet dan artikel media massa.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah


menggunakan teknik studi pustaka. Pengumpulan bahan hukum primer,
dan bahan hukum sekunder diinventarisasi dan diklasiikasi dengan
menyesuaikan masalah yang dibahas. Bahan hukum yang berhubungan
dengan masalah yang dibahas dipaparkan, disistematisasi, kemudian
dianalisis untuk menginterpretasikan hukum yang berlaku (Johnny
Ibrahim, 2006: 296).

6. Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis yang digunakan adalah metode penalaran hukum.


Metode penalaran hukum adalah kegiatan penalaran ilmiah terhadap
bahan-bahan hukum yang dianalisis dapat menggunakan penalaran
deduksi, induksi dan abduksi. Metode ini menitikberatkan pada logika,
logika mengajarkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menghindarkan
kesalahan dalam rangka mencapai kebenaran, namun ia belum
mengajarkan kebenaran materi pemikiran. Penalaran deduktif digunakan
untuk menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus
yang individual, penalaran ini bertolak dari aturan hukum yang berlaku
umum pada kasus individual konkret yang dihadapi. Penalaran induktif
dengan merumuskan fakta, mencari hubungan sebab akibat, serta
mengembangkan penalaran berdasarkan kasus-kasus terdahulu yang telah
diputus kemudian membandingkan kasus faktual yang dihadapi yang
menghasilkan temuan dan kesimpulan. Sedangkan penalaran abduktif
adalah penalarn hukum yang mengandung unsur induksi dan deduksi
secara bersamaan (Johnny Ibrahim, 2006: 249-251). Dalam penelitian ini,
analisis bahan hukum yang digunakan adalah penalaran deduktif.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, yaitu pendahuluan, tinjauan
pustaka, pembahasan dan penutup, serta daftar pustaka dan lampiran. Adapun
susunannya adalah sebagai berikut:

BAB I. PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis mengemukakan latar belakang, rumusan masalah,


tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika
penulisan hukum.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis memaparkan landasan teori dari para pakar maupun
doktrin hukum berdasarkan literatur yang berkaitan dengan permasalahan
penelitian. Landasan teoritik tersebut meliputi tinjauan umum mengenai
persekongkolan tender, pendekatan hukum persaingan usaha, penegakan
hukum, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis menguraikan mengenai pembahasan dan hasil yang
diperoleh dari proses meneliti. Berdasarkan rumusan masalah yang diteliti,
terdapat dua pokok permasalahan yang dibahas dalam bab ini yaitu
apakah pengaturan persekongkolan tender dalam Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 dengan pendekatan rule of reason sudah tepat dan apakah
kelemahan penegakan hukum yang dilakukan oleh Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) terhadap persekongkolan tender dengan
pendekatan rule of reason.
BAB IV. PENUTUP

Pada bab ini penulis menguraikan mengenai simpulan yang dapat


diperoleh dari kesimpulan hasil pembahasan dan proses meneliti, serta
saran-saran yang dapat penulis kemukakan pada para pihak yang terkait
dengan bahasan penulisan hukum.

DAFTAR PUSTAKA
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum tentang Persekongkolaan Tender


Persekongkolan Tender diatur pada Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat,“ pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur
dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.
a. Pengertian Persekongkolan
Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
memberikan definisi persekongkolan atau konspirasi adalah bentuk kerja
sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan
maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku
usaha yang bersekongkol. Persekongkolan selalu melibatkan dua pihak
atau lebih untuk melakukan kerjasama. Pembentuk Undang-undang
memberikan tujuan persekongkolan secara limitatif untuk menguasai pasar
bagi kepentingan pihak-pihak yang bersekongkol. Penguasaan pasar
merupakan perbuatan yang diantisipasi dalam persekongkolan termasuk
dalam tender. Kiranya sulit untuk menentukan bahwa dalam
persekongkolan (tender) mengarah pada penguasaan pasar apabila
mengacu pada pengertian pasar pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 yaitu lembaga ekonomi dimana para pembeli dan penjual baik secara
langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan
barang/jasa.

Menurut Black’ Law Dictionary (1968:382) mendefinisikan


persekongkolan (conspiracy), a combination or confederacy between two
or persons formed for the purpose of committing, by their joint efforts,
some unlawful or criminal act, or some act which is innocent in itself, but
becomes unlawful when done concerted action of the conspirators, or for
the purpose of using criminal or unlawful means to the commission of an
act not in it self unlawful. Definisi diatas menegaskan bahwa
persekongkolan harus dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang bertujuan
untuk melakukan tindakan/kegiatan bersama (joint efforts) suatu perilaku
kriminal atau melawan hukum. Terdapat dua unsur persekongkolan yaitu
pertama, adanya dua pihak atau lebih secara bersama-sama (in concert)
melakukan perbuatan tertentu dan kedua, perbuatan yang disekongkolkan
merupakan perbuatan yang melawan atau melanggar hukum (Yakub Adi
Krisanto, 2002: 105). Yang perlu digaris bawahi adalah pertama, bahwa
terjadi persekongkolan apabila ada tindakan bersama yang melawan
hukum. Kedua, suatu tindakan apabila dilakukan oleh satu pihak maka
bukan merupakan perbuatan melawan hukum (unlawful) tetapi ketika
dilakukan bersama (concerted action) merupakan perbuatan melawan
hukum.

Berkaitan dengan definisi persekongkolan muncul permasalahan


yaitu apabila terjadi kerjasama antara dua pelaku usaha, tetapi yang
melakukan perbuatan hanya salah satu pihak dari pihak yang bekerjasama.
Padahal dengan melakukan sendirian suatu perbuatan pihak tersebut dapat
menguasai pasar atau mempengaruhi proses tender. Apakah situasi
demikian dapat dikatakan telah terjadi persekongkolan?. Situasi tersebut
sangat mungkin terjadi dalam pelaksanaan tender karena kerjasama yang
dibangun dilakukan tidak pada saat proses tender berlangsung. Sehingga
pada saat tender,  salah satu pihak mengikuti proses tender dan dapat
menguasai pasar karena kekuatan modal atau pengaruh pada pasar
tertentu. Salah satu indikator terjadi persekongkolan yaitu apakah terdapat
tujuan untuk menguasai pasar ketika melakukan kerjasama.

b. Pengertian Tender
Penjelasan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur
bahwa “ tender adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu
pekerjaan untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan
jasa”. Dalam hal ini tidak disebut jumlah yang mengajukan penawaran
(oleh beberapa atau oleh satu pelaku usaha dalam hal penunjukan atau
pemilihan langsung). Pengertian tender dalam tersebut mencakup tawaran
mengajukan harga untuk:

a) memborong atau melaksanakan suatu pekerjaan.


b) mengadakan barang dan atau jasa.
c) membeli suatu barang dan atau jasa.
d) menjual suatu barang dan atau jasa.

Berdasarkan definisi tersebut, maka cakupan dari penerapan Pasal 22


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah tender atau tawaran
mengajukan harga yang dapat dilakukan melalui:
a) tender terbuka,
b) tender terbatas,
c) pelelangan umum,
d) pelelangan terbatas (KPPU, 2006: 7).

Pengertian tender termasuk dalam ruang lingkup tender antara lain


pertama, tawaran mengajukan harga (terendah) untuk memborong suatu
pekerjaan. Kedua, tawaran mengajukan harga (terendah) untuk
mengadakan barang-barang. Ketiga, tawaran mengajukan harga (terendah)
untuk menyediakan jasa. Terdapat tiga terminologi berbeda untuk
menjelaskan pengertian tender yaitu pemborongan, pengadaan, dan
penyediaan. Tiga terminologi tersebut menjadi pengertian dasar dari
tender, artinya dalam tender suatu pekerjaan meliputi pemborongan,
pengadaan, dan penyediaan. Suatu pekerjaan/proyek ditenderkan maka
pelaku usaha yang menang dalam proses tender akan memborong,
mengadakan atau menyediakan barang/jasa yang dikehendaki oleh pemilik
pekerjaan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian antara pemenang tender
dengan pemilik pekerjaan (Yakub Adi Krisanto, 2005: 40-50).
Para pihak dalam tender terdiri dari pemilik pekerjaan/proyek yang
melakukan tender dan pelaku usaha yang ingin melaksanakan proyek yang
ditenderkan (peserta tender). Tender yang bertujuan untuk memperoleh
pemenang tender dalam suatu iklim tender yang kompetitif harus terdiri
dari dua atau lebih pelaku usaha peserta tender. Dua atau lebih pelaku
usaha akan berkompetisi dalam mengajukan harga dari suatu proyek yang
ditawarkan, sehingga apabila peserta tender hanya satu maka pilihan
pemilik pekerjaan menjadi lebih terbatas. Keterbatasan pilihan sangat tidak
menguntungkan bagi pemilik pekerjaan karena ide dasar dari pelaksanaan
tender adalah mendapatkan harga terendah dengan kualitas terbaik.
Sehingga dengan keberadaan lebih dari dua peserta tender akan terjadi
persaingan dalam pengajuan harga untuk memborong, mengadakan atau
menyediakan barang/jasa.

c. Pengertian Persekongkolan Tender


Persekongkolan tender adalah perbuatan pelaku usaha yang
melakukan kerjasama dengan pelaku usaha lain untuk menguasai pasar
dengan cara mengatur dan/atau menentukan pemenang tender sehingga
dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Sacker dan Lohse
mengatakan bahwa konspirasi (persekongkolan) tender adalah hambatan
persaingan yang dilakukan apabila hasil pengumuman tender
menguntungkan salah satu peserta tender.

United Nations Conference on Trade and Development


(UNCTAD) menyatakan bahwa persekongkolan tender terjadi dalam
berbagai bentuk, yaitu perjanjian yang menentukan siapa yang
mengajukan penawaran termurah, perjanjian mengenai cover bid
(penawaran secara sukarela terlalu mahal), perjanjian tidak akan bersaing
satu sama lain dalam mengajukan penawaran, perjanjian standar umum
untuk menentukan harga atau kondisi tender, perjanjian ‘memeras’ peserta
tender luar, perjanjian yang sebelumnya mengatur pemenang tender atas
dasar rotasi, atau alokasi geografis, atau alokasi pelanggan (Krisanto,
2006: 107). United States Departement of Justice menentukan bahwa
persekongkolan tender (bid rigging) adalah the way that conspiring
competitors effectively raise prices where purchasers – often federal, state,
or local goverments – acquired goods or services by soliciting competing
bids. Persekongkolan tender terjadi ketika para pesaing bersekongkol
untuk menaikkan harga agar salah satu pesaing yang disepakati dapat
memenangkan tender. Ari Siswanto bahkan secara tegas menyatakan
bahwa persekongkolan tender mengartikan persekongkolan yang
dilakukan oleh peserta tender untuk mengatur dan menentukan siapa yang
menjadi pemenang tender. Senada dengan pengertian persekongkolan
tender diatas, Naoaki Okatani menyatakan bahwa persekongkolan tender 
terjadi apabila para penawar akan menentukan perusahaan mana yang
harus mendapat order dengan harga kontrak yang ditawarkan.
Persekongkolan tender terjadi sebelum diumumkan pemenang tender dan
bersarnya harga kontrak, masing-masing peserta tender melakukan
penawaran dengan harga yang telah direncanakan sebelumnya
(http://yakubadikrisanto.wordpress.com/category/persekongkolantender/
page/2/).

Dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang


Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat diatur
mengenai larangan persekongkolan tender diartikan persekongkolan
pelaku usaha dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan
pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat. Dalam Pasal 22 ini pihak lain bisa saja pemerintah,
swasta ataupun pelaku usaha lain dalam tender yang sama. Pelaku usaha di
sini juga dilarang melakukan persekongkolan dengan pelaku usaha lain
untuk mengatur harga penawaran di luar prosedur pelaksanaan pengadaan
sehingga mengurangi/menghambat/memperkecil dan/atau meniadakan
persaingan yang sehat sehingga merugikan pihak lain.

d. Jenis-Jenis Persekongkolan Tender


Persekongkolan dalam tender dapat dibedakan pada tiga jenis, yaitu
persekongkolan horizontal, persekongkolan vertikal dan gabungan
persekongkolan vertikal dan horizontal. Berikut penjelasan atas ketiga
jenis persekongkolan tersebut.
1) Persekongkolan Horizontal
Merupakan persekongkolan yang terjadi antara pelaku usaha atau
penyedia barang dan jasa dengan sesama pelaku usaha atau penyedia
barang dan jasa pesaingnya. Persekongkolan ini dapat dikategorikan
sebagai persekongkolan dengan menciptakan persaingan semu di
antara peserta tender. Berikut bagan persekongkolan tersebut.

Panitia pengadaan / panitia lelang barang/


pengguna barang atau jasa / pimpinan proyek

Pelaku Pelaku Pelaku


usaha/ usaha/ usaha/
Penyedia Penyedia Penyedia
barang barang barang
atau jasa atau jasa atau jasa

Persekongkolan

Bagan 1. Persekongkolan Horizotal

2) Persekongkolan Vertikal
Merupakan persekongkolan yang terjadi antara salah satu atau
beberapa pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa dengan panitia
tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik
atau pemberi pekerjaan. Persekongkolan ini dapat terjadi dalam bentuk
dimana panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan
jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan bekerjasama dengan salah
satu atau beberapa peserta tender. Berikut bagan persekongkolan
tender tersebut.

Panitia pengadaan / panitia lelang barang/


pengguna barang atau jasa / pimpinan proyek

Pelaku Pelaku Pelaku


usaha/ usaha/ usaha/
Penyedia Penyedia Penyedia
barang barang barang
atau jasa atau jasa atau jasa

Persekongkolan

Bagan 2. Persekongkolan Vertikal

3) Persekongkolan Horizontal dan Vertikal


Merupakan persekongkolan antara panitia tender atau panitia lelang
atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan
dengan pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa. Persekongkolan
ini dapat melibatkan dua atau tiga pihak yang terkait dalam proses
tender. Salah satu bentuk persekongkolan ini adalah tender fiktif,
dimana baik panitia tender, pemberi pekerjaan, maupun sesama para
pelaku usaha melakukan suatu proses tender hanya secara administratif
dan tertutup. Berikut bagan kedua persekongkolan tersebut (KPPU,
2008: 10-12).

Panitia pengadaan / panitia lelang barang/


pengguna barang atau jasa / pimpinan proyek

Pelaku Pelaku Pelaku


usaha/ usaha/ usaha/
Penyedia Penyedia Penyedia
barang barang barang
atau jasa atau jasa atau jasa

Persekongkolan

Bagan 3. Persekongkolan Horizontal dan Vertikal

2. Tinjauan Umum tentang Pendekatan Hukum Persaingan Usaha

Dalam hukum persaingan usaha secara yuridis dikenal dua macam


dasar pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis, apakah suatu
perbuatan baik berupa perjanjian maupun kegiatan telah melanggar undang-
undang atau tidak yaitu dengan pendekatan rule of reason dan per se illegal.
Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh
lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat
perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu
perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung
persaingan. Sebaliknya, pendekatan per se illegal adalah menyatakan setiap
perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai ilegal, tanpa pembuktian lebih
lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha
tersebut (Andi Fahmi Lubis, 2009: 55).

a. Pendekatan Per se illegal

Menurut Kissane and Benefore, bahwa suatu perbuatan dalam


pengaturan persaingan usaha dikatakan sebagai ilegal secara per se (per se
illegal), apabila “pengadilan telah memutuskan secara jelas adanya anti
persaingan, dimana tidak diperlukan lagi analisa terhadap fakta-fakta
tertentu dari masalah yang ada guna memutuskan, bahwa tindakan tersebut
telah melanggar hukum”. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa ada
kategori terhadap perbuatan yang oleh pengadilan dianggap secara konkret
bersifat anti persaingan ataupun menjurus pada praktek monopoli,
sehingga analisis terhadap kenyataan yang ada di sekitar perbuatan
tersebut tidak diperlukan lagi atau tidak begitu penting untuk menentukan
bahwa perbuatan tersebut telah melanggar hukum. Sedangkan Yahya
Harahap lebih cenderung mengatakan bahwa per se illegal-pun artinya
sejak semula tidak sah, oleh karenanya perbuatan tersebut merupakan
suatu perbuatan yang melanggar hukum dan tanpa perlu adanya
pembuktian (L.Budi Kagramanto, 2007: 223).

Jadi, per se illegal ditujukan pada suatu perbuatan atau tindakan


yang secara inhern bersfat dilarang atau ilegal, dapat diartikan juga suatu
tindakan dinyatakan melanggar hukum dan dilarang secara mutlak, serta
tidak diperlukan pembuktian apakah tindakan tersebut memiliki dampak
negatif terhadap persaingan usaha. Yang termasuk kategori per se illegal
meliputi: perjanjian penetapan harga, perjanjian pemboikotan, perjanjian
pembagian wilayah, persekongkolan untuk menghambat perdagangan,
penyalahgunaan posisi dominan, pemilikan saham mayoritas.
b. Pendekatan Rule of reason

Rule of reason adalah suatu doktrin yang dibangun berdasarkan


penafsiran atas ketentuan Sherman Antitrust Act oeh Mahkamah Agung
Amerika Serikat yang diterapkan dalam kasus Standard Oil Co. Of New
Jersey vs. United State pada tahun 1911. Pendekatan rule of reason, yaitu
penerapan hukum dengan mempertimbangkan alasan-alasan dilakukannya
suatu tindakan atau suatu perbuatan oleh pelaku usaha. Untuk menerapkan
prinsip ini tidak hanya diperlukan pengetahuan ilmu hukum tetapi
penguasaan terhadap ilmu ekonomi. Melalui pendekatan rule of reason ini
apabila suatu perbuatan dituduh melanggar hukum persaingan, maka
pencari fakta harus mempertimbangkan dan menentukan apakah perbuatan
tersebut menghambat persaingan dengan menunjukkan akibatnya terhadap
proses persaingan dan apakah perbuatan itu tidak adil atau mempunyai
pertimbangan lainnya. Pertimbangan atau argumentasi yang perlu
dipertimbangkan antara lain adalah aspek ekonomi, keadilan, efisiensi,
perlindungan terhadap golongan ekonomi tertentu dan fairness
(Hermansyah, 2008: 79).

Pendekatan per se illegal mirip dengan konsep ‘delik formal’ di


dalam hukum pidana yang dianggap terjadi sekedar apabila unsur-unsur
tindak pidana yang dicantumkan dalam undang-undang telah terpenuhi
tanpa melihat akibat tindakan yang dilakukan. Sedangkan pendekatan rule
of reason diterapkan terhadap tindakan-tindakan yang tidak dapat secara
mudah ilegalitasnya tanpa menganalisis akibat tindakan itu terhaap kondisi
persaingan. Jadi, jika di dalam pendekatan per se illegal tidak perlu terlalu
jauh melihat akibat yang ditimbulkan suatu tindakan terhadap persaingan
karena tindakan semacam itu dianggap selalu dianggap membawa akibat
negatif sedangkan di dalam pendekatan rule of reason pengadilan
disyaratkan untuk mempertimbangkan faktor-faktor seperti latar belakang
dilakukannya tindakan, alasan bisnis dilakukannya tindakan serta posisi si
pelaku tindakan dalam industri tertentu. Setelah mempertimbangkan
faktor-faktor tersebut barulah dapat ditentukan apakah suatu tindakan
bersifat ilegal atau tidak (Arie Siswanto, 2002: 66). Berikut ilustrasinya:

Pendekatan Per se illegal

TINDAKAN TERBUKTI ILEGAL

Bagan 4. Pendekatan Per Se Illegal

Pendekatan Rule of reason

TINDAKAN TERBUKTI FAKTOR2 UNREASO ILEGAL


LAIN2 NABLE

REASONABLE LEGAL

Bagan 5. Pendekatan Rule of Reason

3. Tinjauan Umum Tentang Penegakan Hukum

a. Pengertian Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk


tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai
pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan–hubungan hukum
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut
subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas
dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan
semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang
menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum
yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum.
Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya
diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk
menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan,
aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya
paksa.

Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut


obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga
mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan
hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung
didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup
dalam masyarakat. Tetapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya
menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu,
penerjemahan perkataan “Law enforcement” ke dalam bahasa Indonesia
dalam menggunakan perkataan “Penegakan Hukum” dalam arti luas dapat
pula digunakan istilah “Penegakan Peraturan” dalam arti sempit.
Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan
nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa
inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah “the rule of law” atau
dalam istilah “ the rule of law and not of a man” versus istilah “ the rule
by law” yang berarti “the rule of man by law”. Dalam istilah “ the rule of
law” terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam
artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang
terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah “ the rule of just
law”. Dalam istilah “the rule of law and not of man”, dimaksudkan untuk
menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum
modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya
adalah “the rule by law” yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh
orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka
(http://www.solusihukum.com/artikel/artikel49.php)

b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan atau keefektifan


hukum : hukum atau undang-undangnya, penegak hukum baik pembentuk
hukum maupun penerap hukum, sarana / fasilitas pendukung, masyarakat
(adressat hukum), budaya (legal culture). Sedangkan syarat-syarat agar
hukum efektif , meliputi : undang-undang dirancang dengan baik,
kaidahnya jelas, mudah dipahami, dan penuh kepastian; Undang-undang
sebaiknya bersifat melarang dan bukan mengharuskan/membolehkan);
sanksi haruslah tepat dan sesuai tujuan / sifat undang-undang itu; beratnya
sanksi tidak boleh berlebihan (sebanding) dengan macam pelanggarannya;
mengatur terhadap perbuatan yang mudah dilihat (lahiriah); mengandung
larangan yang berkesesuaian dengan moral; pelaksana hukum menjalankan
tugasnya dengan baik; menyebarluaskan UU, penafsiran seragam, dan

konsisten (Soerjono Soekanto, 1983: 5). 

Fokus dari Soerjono Soekanto mengenai hukum atau undang-


undangnya, penegak hukum baik pembentuk hukum maupun penerap
hukum, sarana / fasilitas pendukung, masyarakat (adressat hukum),
budaya (legal culture) yang terjadi pada persaingan usaha khususnya
persekongkolan tender. Realitas penegakan hukum dalam masyarakat kita
yang sedang mengalami proses modernisasi juga dipengaruhi faktor-faktor
majemuk baik dalam sistem hukum maupun di luar sistem. Kondisi
penegakan hukum yang masih buruk dalam masyarakat kita dipengaruhi
oleh berbagai faktor, yaitu:

1) faktor hukum atau perundang-undangan itu sendiri yang meliputi:


konsistensi asas-asas atau prinsip-prinsipnya, proses perumusan yang
memperhatikn kecenderungan hukum-hukum kebiasaan yang
berlaku di masyarakat dan aspirasi masyarakat, dan tingkat
kemampuan hukum itu sendiri dalam operasionalnya.
2) faktor sumber daya aparatur penegak hukumnya yang merupakan
faktor kunci dalam penegakan hukum.
3) faktor sarana dan prasarana fisik yang memadai, khususnya alat-alat
teknologi modern dalam rangka sosialisasi hukum dan mengimbangi
kecenderungan-kecenderungan penyimpangan sosial masyarakat.
4) faktor masyarakat yang berkaitan dengan persepsi masyarakat
tentang hukum, tentang ketertiban dan tentang fungsi penegak
hukum.
5) faktor politik atau penguasa negara, khususnya deskripsi tentang
campur tangan pemerintah dan kelompok-kelompok kepentingan di
dalam usaha-usaha penegakan hukum (Bambang Sutiyoso, 2004: 61-
65).

c. Tujuan Penegakan Hukum

Hal yang senada dalam penegakan hukum dikemukakan juga oleh


Sudikno Mertokusumo, hukum berfungsi sebagai perlindungan
kepentingan manusia dan membutuhkan pelaksanaan hukum yang dapat
berlangsung secara normal dan damai sekalipun tidak dapat dipungkiri
akan terjadi juga pelanggaran di dalamnya. Hukum yang dilanggar harus
ditegakkan melalui penegakan hukum itu sendiri. Dalam menegakkan
hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu : kepastian
hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan
(Gerechtigkeit). Kepastian hukum merupakan perlindungan hukum
terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan
memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam kondisi tertentu. Masyarakat
mengharapkan kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum
masyarakat akan lebih tertib. Manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan
hukum juga penting karena jangan sampai hukum yang ditegakkan
menimbulkan keresahan di dalam masyarakat. Unsur ketiga adalah
keadilan, masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan
atau penegakan hukum keadilan diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau
penegakan hukum harus adil. Hukum tidak identik dengan keadilan.
Hukum ini bersifat umum, mengikat setiap orang dan menyamaratakan.
Keadilan sendiri bersifat subyektif, individualistis dan tidak
menyamaratakan. Keadilan bagi si A belum tentu adil untuk si B. Kalau
dalam menegakkan hukum hanya diperhatikan kepastian hukum saja,
maka unsur-unsur lainnya akan dikorbankan. Dalam menegakkan hukum
harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur itu harus
mendapat perhatian secara proporsional seimbang walaupun dalam
prakteknya tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara
proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut (Sudikno
Mertokusumo, 1999: 145-147).

Merujuk pendapat Gustav Radbrurh, terdapat aspek tujuan hukum


yang sering dikaitkan dengan penegakan hukum yang harus memenuhi
tiga hal pokok yang sangat prinsipil yang hendak dicapai, yaitu : keadilan,
kepastian dan kemanfaatan. Keadilan dapat diartikan sebagai memberikan
hak yang setara dengan kapasitas seseorang atau pemberlakuan kepada
tiap orang secara proporsional, tetapi juga bisa berarti memberi sama
banyak kepada setiap orang apa yang menjadi jatahnya berdasarkan
prinsip keseimbangan. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan
hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen, yang pelaksanaannya
tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.
Mengutip pendapat Lawrence M. Wriedman, seorang Guru Besar di
Stanford University, berpendapat bahwa untuk mewujudkan kepastian
hukum paling tidak haruslah didukung oleh unsur-unsur sebagai berikut,
yakni : (1) substansi hukum, (2) aparatur hukum, dan (3) budaya hukum.
Unsur pertama “substansi hukum” berbicara tentang isi daripada
ketentuan-ketentuan tertulis dari hukum itu sendiri. Unsur kedua adalah
“aparatur hukum” adalah perangkat, berupa system tata kerja dan
pelaksana daripada apa yang diatur dalam substansi hukum tadi.
Sedangkan unsur yang terakhir adalah “budaya hukum” yang menjadi
pelengkap untuk mendorong terwujudnya “kepastian hukum” adalah
bagaimana budaya hukum masyarakat atas ketentuan hukum dan aparatur
hukumnya. Unsur budaya hukum ini juga tidak kalah pentingnya dari
kedua unsur diatas, karena tegaknya peraturan-peraturan hukum akan
sangat bergantung kepada “budaya hukum” masyarakatnya. Dan budaya
hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya
yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya,
posisi atau kedudukan, bahkan kepentingan-kepentingan
(http://www.scribd.com/doc/2953532/Penegakkan-Hukum).

Substansi hukum, aparatur hukum serta budaya hukum seperti


telah dikemukakan di atas, idealnya harus di-sinergikan guna mendorong
terwujudnya “kepastian hukum“ di negara hukum manapun di dunia ini.
Satu sama lain harus memiliki sifat saling ketergantungan (dependency),
salah satu unsur saja tidak terpenuhi, maka “kepastian hukum“ sulit untuk
terwujud. Sedangkan dari sisi kemanfaatannya, hukum seyogyanya
membawa kegunaan dalam tata sinergis antara keadilan dan kepastiannya.
Sehingga dalam praktek, hukum membawa akibat (manfaat) terciptanya
rasa terlindung dan keteraturan dalam hidup bersama dalam masyarakat.

Aparatur penegak hukum menunjuk kepada pengertian mengenai


institusi penegak hukum dan aparatnya (orangnya). Dalam arti sempit,
aparatur penegak hukum yang itu dimulai dari saksi, polisi, penasehat
hukum, jaksa hakim dan petugas-petugas sipir pemasyarakatan. Dalam
realitanya, tugas atau perannya langsung terkait dengan kegiatan pelaporan
atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian,
penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan
kembali (resosialisasi) terpidana. Dalam proses bekerjanya, aparatur
penegak hukum itu, dipengaruhi oleh 3 elemen penting yang sangat
berpengaruh yaitu: (i) institusi penegak hukum beserta perangkat sarana
dan prasarana pendukung serta mekanisme kerja kelembagaannya; (ii)
budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk faktor kesejahteraan
aparatnya, dan (iii) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja
kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan
standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum acaranya. Upaya
penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek
itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu
sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata
(http://www.solusihukum.com/artikel/artikel49.php).

Pemikiran filosofis tujuan penegakan hukum terutama keadilan


yang berkaitan dengan filsafat hukum berkaitan erat dengan pemikiran
John Rawls mengungkapkan tiga faktor utama yaitu :
a. perimbangan tentang keadilan (Gerechtigkeit)
b. kepastian hukum (Rechtessisherkeit)
c. kemanfaatan hukum (Zweckmassigkeit) (Soetandyo, 2002: 18).
Keadilan berkaitan erat dengan pendistribusian hak dan kewajiban, hak
yang bersifat mendasar sebagai anugerah Ilahi sesuai dengan hak asasinya
yaitu hak yang dimiliki seseorang sejak lahir dan tidak dapat diganggu
gugat. Keadilan merupakan salah satu tujuan sepanjang perjalanan sejarah
filsafat hukum. Keadilan adalah kehendak yang ajeg, tetap untuk
memberikan kepasa siapapun sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangan masyarakat dan tuntutan jaman (R.Arry Mth. Soekowathy,
2003: 291).

Dengan uraian diatas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud


dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang
dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit
maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam
setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan
maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan
kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-
norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan penegakan hukum
dapat ditentukan sendiri batas-batasnya. Dalam penulisan ini pembahasan
mengenai penegakan hukum yang digunakan adalah penegakan dalam arti
sempit yaitu penegakan peraturan, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999. Dan penegakan hukum formal yang menekankan pada sanksi
untuk mencapai tujuan berupa keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum.

4. Tinjauan Umum tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)


Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur
bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha (yang selanjutnya disebut KPPU)
adalah komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat. Komisi ini dibentuk sebagai wujud nyata
penegakan hukum terhadap upaya praktek monopoli maupun persaingan usaha
tidak sehat yang dilakukan oleh pelaku usaha. Pasal yang mengatur mengenai
Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah Pasal 30 sampai 37 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pembentukan Komisi serta susunan organisasi,
tugas, dan fungsinya ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Menurut Pasal 30 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, status
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, meliputi:
(1) Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-undang ini dibentuk Komisi
Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut Komisi.
(2) Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan
kekuasaan Pemerintah serta pihak lain.
(3) Komisi bertanggung jawab kepada Presiden.

Menurut Pasal 31 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, keanggotaan


Komisi Pengawas Persaingan Usaha, meliputi:
(1) Komisi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil
Ketua merangkap anggota, dan sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang anggota.
(2) Anggota Komisi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Masa jabatan anggota Komisi adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat
kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
(4) Apabila karena berakhirnya masa jabatan akan terjadi kekosongan dalam
keanggotaan Komisi, maka masa jabatan anggota dapat diperpanjang sampai
pengangkatan anggota baru.

Menurut Pasal 32 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, persyaratan


anggota Komisi antara lain:
a. warga negara Republik Indonesia, berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga
puluh) tahun dan setinggi-tingginya 60 (enam puluh) tahun pada saat
pengangkatan;
b. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. jujur, adil, dan berkelakuan baik;
e. bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia;
f. berpengalaman dalam bidang usaha atau mempunyai pengetahuan dan
keahlian di bidang hukum dan atau ekonomi;
g. tidak pernah dipidana;
h. tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan; dan
i. tidak terafiliasi dengan suatu badan usaha.

Sebagai lembaga independen maka persyaratan anggota Komisi


Pengawas Persaingan Usaha tersebut cukup fair terlebih syarat terakhir
dimana tidak terafiliasi dengan badan usaha tersebut memang dibutuhkan
dalam pengawasan. Yang dimaksud tidak terafiliasi dengan suatu badan usaha
adalah bahwa sejak yang bersangkutan menjadi anggota Komisi tidak menjadi
: anggota dewan komisaris atau pengawas, atau direksi suatu perusahaan;
anggota pengurus atau badan pemeriksa suatu koperasi; pihak yang
memberikan layanan jasa kepada suatu perusahaan seperti konsultan, akuntan
publik, dan penilai; dan pemilik saham mayoritas suatu perusahaan.
Pemberhentian keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
berakhir ketika meninggal dunia; mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia; sakit jasmani
atau rohani terus menerus; berakhirnya masa jabatan keanggotaan Komisi;
atau diberhentikan. Persyaratan berakhirnya keanggotaan karena diberhentikan
belum diatur secara detail untuk alasan seperti apa, misalnya melakukan
tindak pidana atau perbuatan melawan hukum lainnya. Sedangkan dalam
kinerjanya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha dibantu oleh sekretariat ntuk
kelancaran pelaksanaan tugas dan Komisi dapat membentuk kelompok kerja.
Kelompok kerja adalah tim profesional yang ditunjuk oleh Komisi untuk
membantu pelaksanaan tugas tertentu dalam waktu tertentu.

Tugas Komisi menurut Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun


1999, meliputi:
a. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16;
b. melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku
usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai
dengan Pasal 24;
c. melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi
dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai
dengan Pasal 28;
d. mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur
dalam Pasal 36;
e. memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang
berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
f. menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-
undang ini;
g. memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden
dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Sedangkan Wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha menurut


Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, meliputi:
a. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang
dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
b. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau
tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat;
c. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh
masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai
hasil penelitiannya;
d. menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau
tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
e. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan undang-undang ini;
f. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
g. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi
ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak
bersedia memenuhi panggilan Komisi;
h. meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan
penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar
ketentuan undang-undang ini;
i. mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain
guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;
j. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
pelaku usaha lain atau masyarakat;
k. memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga
melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
l. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar ketentuan Undang-undang ini.

Seperti Komisi independen pada umumnya, Komisi Pengawas


Persaingan Usaha juga memerlukan pembiayaan dalam melaksanakan fungsi,
tugas ataupun wewenangnya. Menurut Pasal 37 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 diatur bahwa “Biaya untuk pelaksanaan tugas Komisi dibebankan
kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan atau sumber-sumber
lain yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Pada dasarnya Negara bertanggung jawab terhadap operasional pelaksanaan
tugas Komisi dengan memberikan dukungan dana melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara. Namun, mengingat ruang lingkup dan
cakupan tugas Komisi yang demikian luas dan sangat beragam, maka Komisi
dapat memperoleh dana dari sumber lain yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang sifatnya tidak mengikat
serta tidak akan mempengaruhi kemandirian Komisi.
B. Kerangka Pemikiran

Pengaturan Persekongkolan Tender dalam UU


No. 5 Tahun 1999 dengan Rule of Reason

Penanganan KPPU sulit :

- Pendekatan Hukum
- Pendekatan Ekonomi
- Pembuktian Kerugian
APBN (korupsi)
- Dominasi Perkara Tender

Dengan pendekatan Per se


Illegal :

- Indikasi larangan dengan


adanya barrier to entry
- Pembuktian terhadap
perjanjian yang sifatnya
kolusif atau sekongkol

Persaingan Sehat yang


Menyejahterakan Rakyat

Bagan 6. Kerangka Pemikiran


Keterangan :
Persekongkolan tender yang diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat menggunakan pendekatan rule of reason. Perkara persekongkolan tender
mendominasi perkara di KPPU karena banyaknya celah atau peluang untuk
melakukan persekongkolan tersebut. Prakteknya, KPPU menggunakan
pendekatan rule of reason seperti ketentuan normatifya. Tetapi pendekatan rule of
reason yang digunakan menjadi kesulitan tersendiri bagi KPPU karena harus
melakukan prosedur penyidikan melalui pendekatan hukum, pendekatan ekonomi,
pembuktian terhadap unsur korupsi yang mengakibatkan pada kerugian APBN.
Prosedur yang ditempuh sangat rumit dengan pendekatan rule of reason sekalipun
secara logika kegiatan persekongkolan tender yang jelas-jelas menghambat
terwujudnya persaingan yang sehat karena adanya barrier to entry atau hambatan
masuk pasar dalam persaingan, padahal prinsipnya persaingan membuka
kesempatan yang sama dalam tender antar pelaku usaha. Akan tetapi, apabila
sejak awal sudah ada indikasi kecurangan dalam tender akan membatasi
persaingan karena pemenang tender sudah ditentukan, alangkah baiknya apabila
persekongkolan tender diklasifikasikan pada per se illegal karena secara langsung
sudah terdapat unsur ilegal, sehingga pembuktian ditujukan pada perjanjian atau
unsur bersekongkol saja dan apabila terbukti adanya perjanjian tersebut dapat
langsung diperkarakan seperti ketentuan per se Illegal lainnya. Hal ini juga akan
memberi dampak pada jumlahnya perkara persekongkolan tender yang ada di
KPPU karena celah persekongkolan otomatis akan ditekan dengan ketentuan per
se illegal persekongkolan tender dan memudahkan pembuktian yang digunakan
untuk mewujudkan persaingan yang sehat yang otomatis menyejahterakan rakyat.
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengaturan Persekongkolan Tender dalam Undang-Undang No. 5 Tahun


1999 dengan Pendekatan Rule of Reason

Beberapa ahli yang concern terhadap hukum persaingan usaha


Indonesia yang mengatakan bahwa dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
terdapat prinsip rule of reason dan per se illegal. Namun pendapat tersebut
tidak mempunyai landasan normatif dalam Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 karena memang Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tidak secara
eksplisit menyinggung prinsip rule of reason dan per se illegal. Berbagai
literatur tentang hukum persaingan usaha sering disinggung mengenai rule of
reason dan per se illegal tersebut. Dalam literatur tersebut rule of reason dan
per se illegal dibahas serba sedikit untuk memberikan pemahaman dan
perbandingan hukum persaingan usaha (competition law) yang berlaku di
Amerika. Dikemukakan dalam literatur tersebut bahwa kedua prinsip tersebut
merupakan pendekatan untuk melakukan penilaian terhadap perbuatan-
perbuatan yang dilarang oleh Sherman Act, Clayton Act, Federal Trade
Commission Act Antitrust Law. Hal ini juga dimplikasikan pada pelaksanaan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang merupakan peraturan untuk
mengatur bisnis yang berasal dar Amerika Serikat
(http://yakubadikrisanto.wordpress.com/2008/06/03/prinsip-rule-of-reason-dan-per-
se-illegal/).

Baik pendekatan per se illegal maupun rule of reason telah lama


diterapkan untuk menilai apakah suatu tindakan tertentu dari pelaku usaha
melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Pendekatan rule of reason
adalah pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha
untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha
tertentu guna menentukan apakah perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat
menghambat atau mendukung persaingan. Sebaliknya pendekatan per se
illegal menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu ilegal tanpa
pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan oleh perjanjian atau
kegiatan usaha tersebut. Kedua metode pendekatan yang memiliki perbedaan
ekstrim tersebut juga digunakan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999,
hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal-pasalnya yakni pencantuman kata-
kata “yang dapat mengakibatkan” dan/atau “patut diduga”. Kata-kata tersebut
menyiratkan perlunya penelitian secara lebih mendalam, apakah suatu
tindakan dapat menimbulkan praktek monopoli yang bersifat menghambat
persaingan. Sedangkan penerapan pendekatan per se illegal biasanya
digunakan dalam pasal-pasal yang menyatakan istilah “dilarang”, tanpa anak
kalimat “yang dapat mengakibatkan” (A.M. Tri Anggraini, 2005: 5-6).

Dalam hal kebijakan persaingan usaha, istilah persekongkolan


hampir di semua kegiatan masyarakat senantiasa berkonotasi buruk atau
negatif karena pada hakekatnya persekongkolan bertentangan dengan rasa
keadilan. Prinsip fair atau keadilan adalah apabila orang atau perusahaan
tidak mempunyai kesempatan yang sama seperti halnya penawar lain dalam
penawaran untuk mendapatkan obyek barang atau jasa tertentu yang
ditawarkan oleh penyelenggara atau panitia tender. Ketentuan Pasal 22 dalam
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 lebih mencakup konspirasi atau
persekongkolan tender daripada sekedar membatasi persaingan usaha atau
apakah kegiatan persekongkolan tender ibaratnya akan mampu membatasi
adanya persaingan usaha. Apabila hasil pengumuman tender menguntungkan
para peserta yang mengambil bagian dalam tender tersebut, maka secara
tersirat dalam konteks kebijakan persaingan usaha setidak-tidaknya
mengandung pembatasan terhadap persaingan harga.

Pendekatan rule of reason dalam persaingan usaha merupakan


kebalikan dan lebih luas cakupannya jika dibandingkan pendekatan per se
illegal. Pendekatan rule of reason ini cenderung pada prinsip efisiensi dan
pada sisi lain dapat melakukan interpretasi terhadap Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 tersebut. Sepeti yang dilakukan oleh Mahkamah Agung Amerika
Serikat yang menetapkan rule of reason sebagai standar bagi pengadilan
untuk mempertimbangkan faktor-faktor kompetitif serta menetapkan layak
tidaknya suatu hambatan dan hambatan tersebut bersifat mencampuri,
mempengaruhi atau bahkan mengganggu proses persaingan atau tidak.
Keputusan pengadilan telah berkembang menjadi dikotomi antara pendekatan
per se illegal dan rule of reason, artinya bahwa pengadilan membagi praktek
bisnis ke dalam 2 (dua) bagian yaitu meletakkan perjanjian yang masuk
dalam kategori per se illegal dan perjanjian tertentu ke dalam wilayah rule of
reason. Salah satu contohnya adalah pernyataan Hakim White mengenai
penggunaan rule of reason dalam perkara Standar Oil mengandung tiga
pengujian, yaitu :
1. adanya konsep per se illegal;
2. adanya maksud para pihak; dan
3. akibat dari suatu perjanjian.

Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam pendekatan rule of reason


ini lebih menekankan undang-undang yang mengatur tentang kebebasan
ekonomi secara komprehensif yang ditujukan kepada persaingan usaha serta
tidak mengikat. Pengaturan tersebut juga menjamin kesetaraan dalam
kesempatan berusaha serta melindungi masyarakat pebisnis untuk bersaing
dalam lingkup perdagangan dengan tidak memandang besar kecilnya
perusahaan tersebut. Masing-masing pola penekatan tersebut mengandung
keunggulan dan kelemahan yang mungkin dapat menjadi bahan pemikiran
untuk menerapkan salah satu pendekatan terhadap tindakan pelaku usaha yag
diduga melanggar undang-undang. Keunggulan rule of reason adalah
menggunakan analisis ekonomi untuk mencapai efisiensi guna mengetahui
dengan pasti apakah suatu tindakan pelaku usaha memiliki implikasi pada
persaingan atau dengan kata lain tindakan dianggap menghambat persaingan
atau mendorong persaingan ditentukan oleh “...economic values, that is, with
the maximization of consumer want satisfaction through the most efficient
allocaton and use resources...”. Sebaliknya jika menerapkan per se illegal,
maka tindakan pelaku usaha tertentu selalu dianggap melanggar Undang-
Undang. Sedangkan kelemahannya adalah bahwa rule of reason yang
digunakan para hakim dan juri mensyaratkan pengetahuan tentang teori
ekonomi dan sejumlah data ekonomi yang kompleks dimana mereka belum
tentu memiliki kemampuan yang cukup untuk memahaminya guna dapat
menghasilkan keputusan yang rasional (Andi Fahmi Lubis.dkk, 2009: 66).

Berbeda dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang


mengkategorikan persekongkolan tender dalam kegiatan yang dilarang.
United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD)
memasukkan persekongkolan tender khususnya tender kolusif dalam kategori
perjanjian atau perilaku yang saling sepakat (restrictive agreement or
arrangements). Pemahaman dari United Nations Conference on Trade and
Development (UNCTAD) tidak jauh berbeda dengan yang diberikan oleh
Yurisprudensi Amerika, dimana perjanjian yang dilandasi dengan suatu
kesepakatan baik tertulis maupun tidak tertulis (lisan), formal maupun tidak
formal semuanya dilarang. Termasuk pula segala perjanjian tanpa
memperhatikan, apakah perjanjian tersebut dibuat dengan maksud yuridis
memiliki kekuatan mengikat atau tidak mengikat, semuanya terkena larangan.
Terlebih lagi pada perjanjian informal secara lisan akan menimbulkan
masalah pada pembuktian karena harus dibuktikan bahwa telah terdapat
hubungan komunikasi secara bersama-sama dalam mengambil suatu
keputusan usaha antar perusahaan sehingga berakibat adanya kegiatan yang
saling menyesuaikan atau perilaku yang sejajar.

United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD)


menyatakan bahwa tender kolusif dapat terjadi dalam bentuk :
1. persetujuan untuk mengajukan penawaran yang sama;
2. persetujuan untuk menentukan pihak yang melakukan penawaran
termurah;
3. persetujuan mengenai penawaran yang tertutup;
4. persetujuan untuk tidak akan bersaing satu sama lain dalam mengajukan
penawaran;
5. persetujuan untuk menentukan harga atau persyaratan tender lainnya;
6. persetujuan antara peserta tender yang mengeliminasi peserta tender yang
berasal dari luar, dan
7. persetujuan yang menunjuk pemenang tender atas dasar rotasi atau
alokasi pasar geografis ataupun berdasarkan pada pelanggan.

Lain halnya dengan batasan persekongkolan tender (bid rigging) yang


diberikan oleh OECD (Organization for Economic Co-operation and
Development), yaitu suatu bentuk khusus dari penetapan harga secara kolusif
yang dilakukan oleh beberapa pelaku usaha untuk mengkoordinasikan atau
menselaraskan penawaran di antara mereka atas proyek atau kontrak. Di
samping itu ada bentuk persekongkolan tender yang sering terjadi, bentuk
pertama adalah peserta tender sepakat untuk mengajukan beberapa penawaran
harga sehingga dapat mengurangi dan bahkan meniadakan tingkat persaingan
harga, sedangkan bentuk kedua adalah kesepakatan diri peserta tender untuk
menentukan peserta yang mengajukan penawaran terbaik serta kemudian
melakukan rotasi agar semua peserta mendapatkan giliran untuk menjadi
pemenang dalam suatu proyek tertentu. Tindakan berpartisipasi ikut serta
secara aktif dalam persekongkolan tender merupakan suatu tindakan anti
persaingan usaha sehat serta melanggar hakikat dan tujuan tender yang
sesungguhnya, yaitu mengedepankan keinginan untuk mendapatkan barang
dan atau jasa dengan harga serta kondisi yang paling menguntungkan,
sehingga akibat kegiatan persekongkolan tender tersebut ada pihak lain yang
dirugikan.

Suatu perilaku yang ditetapkan oleh pengadilan sebagai per se illegal


akan dihukum tanpa proses penyelidikan rumit. Jenis perilaku yang
ditetapkan secara per se illegal hanya akan dilaksanakan setelah pengadilan
memiliki pengalaman yang memadai terhadap perilaku tersebut yakni bahwa
perilaku tersebut hampir selalu bersifat anti persaingan dan hampir selalu
tidak pernah membawa manfaat sosial. Pendekatan per se illegal ditinjau dari
sudut proses administratif adalah mudah. Hal ini disebabkan karena per se
illegal membolehkan pengadilan untuk menolak melakukan penyelidikan
secara rinci yang biasanya memerlukan waktu lama dan biaya mahal guna
mencari fakta di pasar yang bersangkutan. Oleh karena itu, pada prinsipnya
terdapat dua syarat melakukan pendekatan per se illegal, yakni pertama harus
ditujukan lebih kepada perilaku bisnis daripada situasi pasar karena keputusan
melawan hukum dijatuhkan tanpa disertai pemeriksaan lebih lanjut, misalnya
mengenai akibat dan hal-hal yang melingkupinya. Metode pendekatan ini
dianggap fair, jika perbuatan ilegal tersebut merupakan tindakan sengaja oleh
perusahaan yang seharusnya dapat dihindari. Kedua, adanya identifikasi
secara cepat atau mudah mengenai jenis praktek atau batasan perilaku yang
terlarang. Dengan perkataan lain, penilaian atas tindakan dari pelaku usaha
baik di pasar maupun dalam proses pengadilan harus dapat ditentukan dengan
mudah. Meskipun demikian diakui bahwa terdapat perilaku yang terletak
dalam batas-batas yang tidak jelas antara pelaku terlarang dan pelaku yang
sah. Pembenaran substansif dalam per se illegal harus didasarkan pada fakta
atau asumsi bahwa perilaku tersebut dilarang karena dapat mengakibatkan
kerugian bagi pesaing lainnya dan atau konsumen. Hal tersebut dapat
dijadikan pengadilan sebagai alasan pembenar dalam mengambil keputusan.
Oleh karena itu, terdapat dua hal penting yang harus diperhatikan oleh
pengadilan, pertama adanya dampak merugikan yang signifikan dari perilaku
tersebut. Kedua, kerugian tersebut harus tergantung pada kegiatan yang
dilarang (Andi Fahmi Lubis.dkk, 2009: 60-61).

Selain konsep yang sudah ada, rule of reason juga menjadi hak inisiatif
dari hakim dengan melihat keunggulan dan kebijaksanaan, efisiensi dan
keuntungan publik. If one stands back and looks at the structure of
competition regimes in common law jurisdictions two broad types emerge.
The first and oldest is the United States model where the competition statute
is viewed simply as an initial authority for judges to paint with a broad brush
as they build up the law case by case with little need to refer back to the
archaically worded statute. The other model is that operating in Australia
and New Zealand where the words of the statute have primacy and concepts
of reasonableness, efficiency and public benefit enter into the analysis only to
the extent that the words of the statute permit. In the United States, the rule of
reason first found its way into the antitrust lexicon in the dissenting judgment
of White J in United States v Trans-Missouri Freight Association. That case,
of course, involved the interpretation of a liability creating provision in the
antitrust statute itself. Nevertheless the two analytical technique were very
similar. Nowadays this cornerstone provision in United States antitrust
legislation is routinely read as though it commences with the words ‘every
unreasonable contract’ to avoid the conclusion that all restrictive agreements
are illegal without question or qualification. Terjemahannya adalah sebagai
berikut : jika satu pendirian kembali dan terlihat dalam struktur persaingan
rezim yurisdiksi hukum timbul dua tipe besar. Yang pertama dan tertua
adalah model Amerika Serikat dimana Undang-Undang persaingan terlihat
sederhana sebagai wewenang awal hakim bekerja lebih dari kasus hukum
yang terjadi dengan kasus dari kasus yang sedikit kembali kepada penafsiran
undang-undang terdahulu. Model lain adalah yang dijalankan di Australia dan
Selandia Baru dimana penafsiran undang-undang mempunyai keunggulan dan
konsep yang bijaksana, efisien, manfaat publik termasuk di dalamnya untuk
menafsirkan lebih luas daripada undang-undang saja. Di Amerika Serikat,
rule of reason pertama ditemukan dalam kosakata keputusan pengadilan
Hakim J. White antara Perhubungan Amerika Serikat melawan Asosiasi
Pengangkutan Missouri. Dalam kasus tentunya dilibatkan penasiran dan
pertanggungjawaban membuat ketentuan sendiri dalam Undang-Undang
Antitrust. Meskipun demikian, teknik analisis yang sangat sama. Pada waktu
sekarang, ketentuan dasar di perundang-undangan Antitrust Amerika Serikat
yang rutin dibaca lebih dulu memulai dengan kata “setiap perjanjian yang
tidak masuk akal” untuk menghindari semua perjanjian ilegal yang
meragukan dan dibatasi. Ketidakteraturan yang akan memberi dampak
sendiri menjadi salah satu kesimpulan untuk menjadikan sesuatu hal masuk
dalam kualifikasi ilegal (Ian Agles and Louise Longdin, 2009: 310).

Persekongkolan tender dianggap sebagai jenis pelanggaran yang serius


karena tindakan tersebut cenderung lebih banyak merugikan negara terutama
kerugian terhadap anggaran negara. Di banyak negara, persekongkolan tender
mempunyai konotasi negatif dan cenderung kolusif sifatnya diperlakukan
secara per se illegal. Bahkan di beberapa negara yang belum memiliki
undang-undang antimonopoli dan persaingan usaha mengatur secara khusus
mengenai tender dan memperlakukan tender kolusif lebih tertata daripada
perjanjian horizontal lainnya karena adanya unsur kecurangan serta
mengakibatkan kerugian pemerintah dan anggaran negara. Persekongkolan
tender di Indonesia diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang
menetapkan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan pasal ini akan diperiksa
dengan pendekatan rule of reason. Hal ini terlihat dalam kalimat “pelaku
usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau
menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat”. Kata “dapat mengakibatkan terjadinya”
tersebut mengandung suatu pengertian bahwa tender kolusif termasuk sebagai
bentuk pelanggaran yang masih boleh asal tidak mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat (L. Budi Kagramanto, 2007: 266).

Rancangan undang-undang yang diajukan DPR sudah mengandung


aturan tentang larangan praktek monopoli dan perilaku usaha. Namun, "yang
perlu dibenahi dulu adalah struktur pasarnya, sehingga pelaku ekonomi
dipaksa berperilaku baik. Kalau langsung diatur soal perilakunya, mengatur
moral itu kan sulit," kata Marzuki Achmad, salah satu anggota DPR.
Hasilnya, beberapa kali terjadi deadlock (kebuntuan) dalam pembahasan yang
berkutat pada perilaku pasar dan moral pelaku usaha yang sebenarnya tidak
begitu diperlukan karena adanya peraturanlah yang akan mengatur perilaku.
Bahkan para pembahas khawatir kalau-kalau tenggat penyelesaian rancangan
undang-undang itu pada Jumat pekan depan, 18 Desember 1998 sesuai jadwal
yang ditetapkan Dana Moneter Internasional (IMF) bisa tak tercapai.
Akhirnya, melalui berbagai jenis lobi, pemerintah berhasil juga meluluhkan
sikap DPR. Adapun polemik seputar konsep, yakni pendekatan struktur pasar
ataukah perilaku usaha, sampai pekan lalu belum tuntas. Sementara ini,
pembatasan pangsa pasar disepakati untuk tetap dicantumkan, tapi besar
persentasenya masih belum ditetapkan. Arti angka itu pun diubah, dari vonis
monopoli menjadi sekadar indikator dugaan monopoli. Dengan angka itu
kelak Komisi Pengawas Persaingan, yang akan dibentuk oleh pemerintah dan
DPR, bakal meneliti: apakah sang pengusaha telah melanggar praktek
persaingan sehat atau tidak. Masih ada lagi persoalan yang belum seratus
persen disetujui DPR, yakni pengecualian terhadap larangan praktek
monopoli dan persaingan sehat, khususnya untuk pengusaha kecil, koperasi,
dan bisnis yang berasal dari monopoli negara. Bagi DPR, hanya pengusaha
kecil dan koperasi yang sesuai dengan ketentuan undang-undang yang bisa
dikecualikan. Dan, tentang bisnis rnonopoli ncgara, DPR juga meminta agar
kriteria cabang-cabang produksi penting yang dikuasai negara dan dianggap
menguasai hajat hidup orang banyak harus diatur secara tegas dan selektif.
Sebab, "Mungkin suatu saat ada bisnis yang tak perlu lagi dikelola oleh badan
usaha milik negara, sehingga harus dilepaskan," tutur Marzuki Achmad
(http://tempointeraktif.com/pembahasan-uu-antimonopoli-di-dpr). Polemik
seputar konsep yang tidak dibahas secara khusus daan cenderung diabaikan
menjadikan fokus pendekatan hukum yang dilakukan KPPU kurang kuat
dalam penegakannya.

Perlu diflashback kembali pembahasan Rancangan Undang-Undang


sudah mengkaji implikasi hukum atas kata-kata “yang dapat mengakibatkan”
maupun “patut diduga” tersebut. Hal ini mengingat pembahasan di DPR saat
itu masih diwarnai dengan retorika melawan pengusaha besar yang
menguasai sektor-sektor ekonomi tertentu dari hulu ke hilir dianggap telah
merusak perekonomian bangsa dan merugikan rakyat banyak (A.M. Tri
Anggraini, 2005: 6). Oleh karena itu, pencantuman kata-kata tersebut besar
kemungkinannya tidak mempertimbangkan implikasi dalam penerapannya,
sehingga terdapat beberapa ketentuan dalam undang-undang yang tidak
selaras dengan praktek penerapan kedua pendekatan dalam perkara-perkara
yang terjadi khususnya persekongkolan tender. Penafsiran dari pembuat
hukum (legislator) tidak mengedepankan aspek penegakannya kelak karena
semata-mata hanya pengaturan secara normatif. Hal ini yang menjadi
kelemahan ketika penegak hukum harus menjalankan prosedur sesuai
aturannya.

Ketentuan dalam Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang


menggunakan pendekatan rule of reason justru akan mempersulit KPPU di
Indonesia jika akan melakukan proses penyelidikan dan pembuktian, apakah
tindakan tersebut akan mendorong atau bahkan meniadakan sama sekali
persaingan sehat yang sudah ada. Disamping itu karakteristik dari
persekongkolan tender kolusif sama sekali tidak ada kaitannya dengan
struktur pasar (market structure) dan tidak terdapat unsur pro pada persaingan
sehat, justru merusak persaingan. Tender kolusif juga lebih mengutamakan
perilaku berupa perjanjian untuk bersekongkol dengan pelaku usaha lainnya
yang pada umumnya dilakukan secara diam-diam. Hal ini jelas memberikan
peluang agar persekongkolan tender dilakukan karena tidak ada pengaturan
yang sifatnya lebih spesifik.

Salah satu negara yang mengatur persekongkolan tender secara ketat


adalah Amerika Serikat yang sudah sejak lama tertuang dalam ketentuan The
Sherman Act 1890 yang merupakan peraturan perundang-undangan di bidang
persaingan usaha yang pertama di Amerika Serikat dala rangka
mengakomodir keinginan atau hak untuk bersaing secara sehat.
Persekongkolan tender pertama kali diatur dalam Pasal 1 Sherman Act 1890
ditentukan, bahwa setiap, perjanjian, gabungan dalam bentuk perusahaan atau
yang lainnya atau konspirasi dengan maksud untuk membatasi perdagangan
atau bisnis antara negara-negara federal ataupun dengan negara-negara asing
merupakan suatu perbuatan melawan hukum (ilegal) (L. Budi Kagramanto,
2007: 174). Dan pada prakteknya, berdasarkan analisis yang dibuat oleh
Hakim Federal di Amerika Serikat, terdapat segi-segi positif atas penerapan
pendekatan per se illegal, yaitu:

1. segi positif dari penerapan per se illegal adalah adanya larangan yang
tegas untuk memberikan kepastian hukum pada pelaku usaha, apakah
suatu perbatan yag dilakukan oleh si pelaku usaha tersebut merupakan
perbuatan yang sah atau tidak sah;
2. jika ada satu acuan yang pasti bagi mereka dalam berbuat, mereka pada
akhirnya dapat merencanakan atau melakukan usaha tanpa dibebani
rasa khawatir dan akan melakukan kegiatan usaha dengan nyaman dan
aman;
3. disamping itu segi positif dari penerapan per se illegal ini adalah jauh-
jauh hari si pelaku usaha sudah berupaya untuk mencegah perbuatan
yang berpotensi merusak persaingan usaha;
4. pendek kata, penerapan per se illegal ini sejak awal akan
memberitahukan kepada si pelaku usaha perbuatan apa saja yang
dilarang, serta menjauhkan para pelaku usaha untuk tidak mencoba
melakukannya (L. Budi Kagramanto, 2007: 233-234).

Penerapan per se illegal juga memiliki kekuatan mengikat (self-


enforcing) yang lebih luas daripada larangan-larangan yang bergantung pada
evaluasi mengenai pengaruh kondisi pasar yang kompleks. Dengan
menggunakan metode pendekatan per se illegal, maka proses pada tingkatan
tertentu dalam penegakan hukum persaingan usaha dapat
diperpendek/dipersingkat, mudah serta sederhana karena hanya membutuhkan
identifikasi perilaku yang tidak sah dan pembuktian atas perbuatan ilegal
secara sederhana. Begitu juga terhadap persekongkolan tender apabila
digunakan metode pendekatan per se illegal, maka rumusan pasal mengenai
kegiatan tender yang dilarang untuk dilakukan, dimana perbuatan tersebut
sudah dapat terbukti dilakukan dan dapat di proses secara hukum tanpa harus
menunjukan akibat-akibat atau kerugian yang secara nyata terhadap
persaingan. Konsep per se illegal merupakan konsep yang memudahkan
penegakan terhadap persekongkolan tender dibandingkan dengan konsep rule
of reason untuk menyatakan bahwa suatu perbuatan yang dituduhkan
melanggar hukum persaingan dimana penegak hukum harus
mempertimbangkan keadaan di sekitar kasus untuk menentukan apakah
perbuatan itu membatasi persaingan secara tidak patut, dan untuk itu
disyaratkan bahwa penegak hukum harus dapat menunjukan akibat-akibat
anti persaingan, atau kerugian yang secara nyata terhadap persaingan yang
mana rule of reason lebih memfokuskan kepada melihat akibat yang
dimunculkan dari suatu perbuatan barulah pasal yang menggunakan rumusan
secara rule of reason ini dapat diterapkan.

Pengaturan persekongkolan tender dalam Pasal 22 Undang-Undang


Nomor 5 Tahun 1999 tidak tepat apabila menggunakan pendekatan rule of
reason karena sejak adanya persekongkolan yang akan menghambat
persaingan fair sudah ada indikasi kegiatan ilegal. Jadi, klasifikasi seharusnya
untuk persekongkolan tender adalah per se illegal dengan konsep yang
memudahkan penegakan tehadap persekongkolan tender tanpa harus
memfokuskan pada akibat yang dimunculkan seperti konsep rule of reason.

B. Kelemahan Penegakan Hukum oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha


dalam Persekongkolan Tender dengan Pendekatan Rule of Reason

Konsekuensi dari ketentuan Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999


tersebut bagi penegak hukum persaingan usaha adalah melaksanakan pendekatan
rule of reason. Proses penyelidikan dan pembuktian terhadap persekongkolan
tender berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 terlalu rumit, karena
KPPU harus menggunakan metode rule of reason. Penggunaan metode tersebut
memaksa KPPU harus membuktikan adanya dampak atas persekongkolan tender,
padahal setiap persekongkolan hampir selalu berdampak menghambat dan atau
merugikan pelaku usaha yang tidak terlibat. Pembuktian menggunakan
pendekatan hukum dan pendekatan ekonomi. Berikut pembuktian yang dilakukan
oleh KPPU dengan 2 (dua) cara :

1. Pendekatan Hukum

Pendekatan hukum di sini adalah pendekatan rule of reason yang


terdiri dari prosedur KPPU berdasarkan Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun
2006 tentang tata cara penanganan perkara, yang meliputi :

a. Laporan atau Monitoring KPPU

Tim pemeriksa pendahuluan dalam KPPU mempunyai tugas mendapatkan


pengakuan Terlapor berkaitan dengan dugaan pelanggaran yang
dituduhkan dan/atau mendapatkan bukti awal yang cukup mengenai
dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Terlapor. Setelah adanya
penetapan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan terhadap kasus,
Tim Pemeriksa Lanjutan bertugas menemukan bukti ada tidaknya
pelanggaran dan menyerahkan hasil pemeriksaan pada Komisi. Setelah itu
Majelis Komisi bertugas menilai, menyimpulkan dan memutuskan terjadi
atau tidaknya pelanggaran, menjatuhkan sanksi berupa tindakan
administratif kepada Terlapor yang terbukti melanggar dan membacakan
putusannya dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum.
Sedangkan monitoring terhadap Pelaku Usaha yang diduga atau patut
diduga melakukan pelanggaran berdasarkan data dan informasi yang
berkembang di masyarakat. Monitoring dilakukan untuk menemukan
kejelasan tentang ada atau tidaknya dugaan pelanggaran melalui
keterangan dan/atau data terkait dengan kegiatan pelaku usaha, instansi
pemerintah dan penelitian terhadap surat, dokumen atau alat bukti lainnya.
Hasil disajikan dalam bentuk Resume Monitoring yang memuat identitas
pelaku usaha dan perjanjian dan/atau kegiatan yang diduga melanggar dan
mengakibatkan terjadinya persaingan yang tidak sehat. Monitoring
dilakukan dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari dan dapat
diperpanjang 60 (enam puluh) hari. Jadi, dapat dibayangkan praktek
terhadap monitoring dapat berlangsung dalam waktu lama untuk
membuktikan adanya persekongkolan tender, sedangkan kelemahan pada
laporan bahwa tidak semua pihak dengan mudah melapor, kemungkinan
hanya pihak-pihak yang dirugikan dalam persekongkolan tender tersebut.
b. Penelitian dan Klarifikasi Laporan
Penelitian dan klarifikasi dilakukan untuk menemukan kejelasan dan
kelengkapan tentang dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Sekretariat
Komisi terhadap Laporan dan/atau meminta klarifikasi kepada pihak
Pelapor dan/atau pihak lain. Terhadap Laporan yang dinilai jelas dan
lengkap dilakukan Pemberkasan untuk dilakukan Gelar Laporan.
Penelitian dan klarifikasi laporan dilakukan selambat-lambatnya 60 (enam
puluh) hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari.
c. Pemberkasan
Sekretariat Komisi melakukan pemberkasan terhadap resume laporan dan
resume monitoring dan dilakukan untuk menilai layak atau tidaknya
dilakukan Gelar Laporan. Hasil pemberkasan dituangkan dalam bentuk
Berkas Laporan Dugaan Pelanggaran. Terhadap berkas laporan yang
ditemukan belum layak untuk dilakukan Gelar Laporan maka Sekretariat
Komisi melakukan perbaikan sehingga jelas dan lengkap, sedangkan
apabila berkas laporan tetap tidak jelas dan lengkap maka Sekretariat
Komisi merekomendasikan kepada Komisi untuk menghentikan
penanganan laporan dimaksud dan mencatatnya dalam Buku Daftar
Penghentian Laporan yang selanjutnya diberitahukan kepada pelapor.
Jangka waktu pemberkasan dilakukan dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari.
d. Gelar Laporan
Sekretariat Komisi memaparkan Laporan Dugaan Pelanggaran dalam
suatu Gelar Laporan yang dilakukan dalam suatu Rapat Gelar Laporan
yang dihadiri oleh Pimpinan Komisi dan sejumlah anggota Komisi yang
memenuhi kuorum. Komisi akan menilai layak atau tidaknya dilakukan
Pemeriksaan Pendahuluan terhadap Laporan Dugaan Pelanggaran dan
Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan melalui penetepan yang
ditandatangani Ketua Komisi yang mana penetapan tersebut disampaikan
kepada Pelapor dan Terlapor (termasuk pemeriksaan pendahuluan).
Sedangkan apabila Lpaoran Dugaan Pelanggaran tidak layak untuk
dilakukan Pemeriksaan Pendahuluan, maka Komisi menetapkan untuk
tidak dilakukan Pemeriksaan Pendahuluan. Gelar Laporan dilakukan
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak selesainya pemberkasan.
e. Pemeriksaan Pendahuluan
Pemeriksaan pendahuluan dilakukan oleh Tim Pemeriksa Pendahuluan
yang terdiri dari sekurang-kurangnya 3 (tiga) anggota Komisi.
Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan pengakuan
Terlapor bekaitan dengan dugaan pelanggaran yang dituduhkan dan/atau
mendapatkan bukti awal yang cukup. Tim Pemeriksa Pendahuluan
memanggil Terlapor untuk dimintakan keterangan dan kesediaannya untuk
mengakhiri perjanjian dan/atau kegiatan yang diduga melanggar,
sedangkan untuk bukti awal yang cukup dapat dilakukan panggilan dan
pemeriksaan terhadap pihak-pihak yang dianggap mengetahui terjadinya
pelanggaran dan alat bukti berupa surat, dokumen dan lainnya. Setelah tim
pemeriksa pendahuluan menyimpulkan pengakuan terlapor dan/atau bukti
awal yang cukup, maka kesimpulan disusun dalam bentuk Laporan Hasil
Pemeriksaan Pendahuluan yang berisi dugaan pelanggaran yang dilakukan
oleh terlapor, pengakuannya dan rekomendasi perlu tidaknya pemeriksaan
lanjutan. Selanjutnya ditentukan dalam Rapat Komisi terkait status
Terlapor. Apabila Terlapor tidak bersedia mengakhiri perjanjian dan/atau
kegiatannya, Tim Pemeriksa Pendahuluan memberikan kesempatan untuk
mengajukan pembelaan diri dalam pemeriksaan lanjutan dengan
memberikan keterangan baik lisan maupun tertulis, menyampaikan bukti
pendukung dan/atau mengajukan saksi dan ahli. Pemeriksaan pendahuluan
dilakukan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkan.
Komisi dapat menetapkan tidak perlu dilakukan Pemeriksaan Lnjutan
meskipun terdapat dugaan pelanggaran apabila terlapor menyatakan
bersedia melakukan perubahan perilaku. Perubahan perilaku dapat
dilakukan dengan membatalkan perjanjian dan/atau menghentikan
kegiatan yang diduga melakukan pelanggaran dan/atau membayar
kerugian akibat dari pelanggaran yang dilakukan. Perubahan perilaku
dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari dan Komisi melakukan
monitoring terhadap perubahan perilaku.
f. Pemeriksaan Lanjutan
Pemeriksaan lanjutan dilakukan oleh Tim Pemeriksa Lanjutan yang terdiri
dari sekurang-kurangnya 3 (tiga) anggota Komisi. Pemeriksa Lanjutan
dilakukan untuk menemukan ada tidaknya bukti pelanggaran. Untuk
menemukan ada tidaknya bukti pelanggaran dilakukan serangkaian
kegiatan antara lain : memeriksa dan meminta keterangan Terlapor;
memeriksa dan meminta keterangan dari Saksi, Ahli dan Instansi
Pemerintah; meminta, mendapatkan dan menilai surat, dokumen atau alat
bukti lain; dan melakukan penyelidikan terhadap kegiatan Terlapor atau
pihak lain terkait dengan dugaan pelanggaran. Penyelidikan dilakukan di
lokasi dimana keterangan dan/atau bukti terkait dugaan pelanggaran dapat
ditemukan. Sebelum pemeriksaan lanjutan berakhir, Tim Pemeriksa
Lanjutan menyimpulkan ada tidaknya bukti telah terjadi pelanggaran.
Pemeriksaan Lanjutan dilakukan dalam jangka waktu 60 (enam puluh)
hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak ditetapkannya penetapan pemeriksaan lanjutan.
g. Sidang Majelis Komisi
Majelis Komisi dibentuk sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang
Anggota Komisi yang dipimpin oleh seorang Ketua Majelis dan 2 (dua)
orang Anggota Majelis untuk memutuskan telah terjadi atau tidak terjadi.
Sidang Majelis Komisi dilakukan untuk menilai, menyimpulkan dan
memutuskan perkara berdasarkan bukti yang cukup tentang telah terjadi
atau tidak terjadinya pelanggaran. Pada Sidang pertama Majelis Komisi
memberikan kesempatan kepada Terlapor untuk menyampaikan pendapat
atau pembelaannya terkait dengan dugaan pelanggaran yang dituduhkan.
Pendapat atau pembelaan Terlapor dapat disampaikan secara tertulis atau
lisan dan dapat menyampaikan bukti tambahan dalam sidang Majelis.
Majelis Komisi memutuskan telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran
berdasarkan penilaian Hasil Pemeriksaan Lanjutan dan seluruh surat
dan/atau dokumen atau alat bukti lain yang disertakan di dalamnya
termasuk pendapat atau pembelaan Terlapor. Keputusan Majelis Komisi
disusun dalam bentuk Putusan Komisi dan apabila telah terbukti terjadi
pelanggaran, Majelis Komisi dalam putusannya menyatakan Terlapor telah
melanggar ketentuan undang-undang dan menjatuhkan sanksi administratif
sesuai dengan ketentuan undang-undang. Putusan Komisi dibacakan dalam
suatu Sidang Majelis Komisi yang terbuka untuk umum dengan
memberitahukan kepada Terlapor tentang waktu dan tempatnya. Putusan
Komisi dibacakan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
berakhirnya jangka waktu pemeriksaan lanjutan.
Dari prosedur yang dilakukan untuk mengetahui perjanjian atau
kegiatan yang dilarang dalam persaingan usaha apalagi dari proses laporan
atau monitoring sampai Sidang Majelis membutuhkan waktu maksimal 494
hari efektif. Apabila hari kerja KPPU dalam 1 (satu) bulan maksimal 20 (dua
puluh) hari, maka perhitungan terhadap prosedur yang ada adalah 24 (dua
puluh empat) bulan 14 (empat belas) hari. Hampir 2 (dua) tahun lebih KPPU
berkutat untuk memperjuangkan penegakan terhadap persekongkolan tender.
Hal ini menimbulkan ketimpangan terhadap kecenderungan kasus
persekongkolan tender padahal kasus persekongkolan tender mendominasi
perkara di KPPU. Jangka waktu tersebut belum termasuk upaya hukum
setelah adanya Putusan Komisi. Berikut ini skema tata cara penanganan
perkara oleh KPPU secara umum yang diterapkan juga dalam perkara
persekongkolan tender.
Mahkamah
Agung

Putusan PN

Pengadilan
Negeri

Berhenti Putusan
KPPU

Sidang Majelis
Tidak
Perilak Pemeriksaan
u Lanjutan
Beruba
h
Tidak

Monitoring
Perubahan Meneri
Perilaku ma

Terbuk
ti

Pemeriksaan
Pendahuluan

Gelar Laporan

Pemberkasan

Klarifikasi

Monitoring Laporan

Bagan 7. Tata Cara Penanganan Perkara


Selain pada pembuktian secara prosedural, KPPU harus dapat melihat
indikasi-indikasi terjadinya persekongkolan tender yang meliputi :

1. Indikasi persekongkolan pada saat perencanaan, meliputi :


a. pemilihan metode pengadaan yang menghindari pelaksanaan
tender secara terbuka.
b. pencantuman spesifikasi teknik, jumlah, mutu dan/atau Waktu
penyerahan barang yang akan ditawarkan atau dijual atau dilelang
yang hanya dapat disuplai oleh satu pelaku usaha tertentu.
c. tender dibuat dalam paket yang hanya satu atau dua peserta tertentu
yang dapat mengikuti/melaksanakannya.
d. ada keterkaitan antara sumber pendanaan dan asal barang/jasa.
e. nilai uang jaminan lelang ditetapkan jauh lebih tinggi daripada
nilai dasar tender.
f. penetapan tempat dan waktu lelang yang sulit dicapai dan diikuti.
2. Indikasi persekongkolan pada saat pembentukan Panitia, antara lain
meliputi :
a. Panitia yang dipilih tidak memiliki kualifikasi yang dibutuhkan
sehingga mudah dipengaruhi.
b. panitia terafiliasi dengan pelaku usaha tertentu.
c. Susunan dan kinerja Panitia tidak diumumkan atau cenderung
ditutup-tutupi.
3. Indikasi persekongkolan pada saat prakualifikasi perusahaan atau pra
tender, antara lain meliputi :
a. persyaratan untuk mengikuti prakualifikasi membatasi dan/atau
mengarah kepada pelaku usaha tertentu.
b. adanya kesepakatan dengan pelaku usaha tertentu mengenai
spesifikasi, merek, jumlah, tempat dan/atau waktu penyerahan
barang dan jasa yang akan ditender atau dielangkan.
c. adanya kesepakatan mengenai cara, tempat dan/atau waktu
pengumuman tender.
d. Adanya pelaku usaha yang diluluskan dalam prakualifikasi
walaupun tidak atau kurang memenuhi persyaratan yang telah
ditetapkan.
e. Panitia memberikan perlakuan khusus/istimewa kepada pelaku
usaha tertentu.
f. adanya persyaratan tambahan yang dibuat setelah prakualifikasi
dan tidak diberitahukan kepada semua peserta.
g. adanya pemegang saham yang sama di antara peserta atau Panitia
atau pemberi pekerjaan maupun pihak lain yang terkait langsung
dengan tender (benturan/kepentingan).
4. Indikasi persekongkolan pada saat pembuatan persyaratan untuk
mengikuti tender maupun pada saat penyusunan dokumen tender antara
lain meliputi adanya persyaratan tender/lelang yang mengarah kepada
pelaku usaha tertentu terkait dengan sertiikasi barang, mutu, kapasitas dan
waktu penyerahan yang harus dipenuhi.
5. Indikasi persekongkolan pada saat pengumuman tender, antara lain
meliputi :
a. Jangka waktu pengumuman tender yang sangat terbatas.
b. Informasi dalam pengumuman tender dengan sengaja dibuat tidak
lengkap dan tidak memadai. Sementara informasi yang lebih
lengkap diberikan hanya kepada pelaku usaha tertentu.
c. Pengumuman tender dilakukan melalui media dengan jangkauan
yang sangat terbatas, misalnya pada surat kabar yang tidak dikenal
ataupun pada papa pengumuman yang jarang dilihat publik atau
pada surat kabar dengan jumlah eksemplar yang tidak menjangkau
sebagian besar target yang diinginkan.
d. Pengumuman tender dimuat pada surat kabar dengan ukuran iklan
yang sangat kecil atau pada bagian/lay-out surat kabar yang
seringkali dilewatkan oleh pembaca yang menjadi target tender.
6. Indikasi persekongkolan pada saat pengembalian dokumen tender antara
lain meliputi :
a. Dokumen tender yang diberikan tidak sama bagi seluruh calon
peserta tender.
b. Waktu pengambilan dokumen tender yang diberikan sangat
terbatas.
c. Alamat atau tempat pengambilan dokumen tender sulit ditemukan
oleh calon peserta tender.
d. Panitia memindahkan tempat pengambilan dokumen tender secara
tiba-tiba menjelang penutupan waktu pengambilan dan perubahan
tersebut tidak diumumkan secara terbuka.
7. Indikasi persekongkolan pada saat penentuan Harga Perkiraan Sendiri atau
harga dasar tender, antara lain meliputi :
a. Adanya dua atau lebih harga perkiraan sendiri atau harga dasar atas
satu produk atau jasa yang ditender.
b. Harga perkiraan sendiri atau harga dasar ditentukan berdasarkan
pertimbangan yang tidak jelas dan tidak wajar.
8. Indikasi persekongkolan pada saat penjelasan tender atau open house,
antara lain meliputi :
a. informasi atas barang/jasa yang ditender tidak jelas dan cenderung
ditutupi.
b. penjelasan tender dapat diterima oleh pelaku usaha yang terbatas
sementara sebagian besar calon peserta lainnya tidak dapat
menyetujuinya.
c. Panitia bekerja secara tertutup dan tidak memberi layanan atau
informasi yang seharusnya diberikan secara terbuka.
d. Salah satu calon peserta tender melakukan pertemuan tertutup
dengan Panitia.
9. Indikasi persekongkolan pada saat penyerahan dan pembukaan dokumen
atau kotak penawaran tender, antara lain meliputi :
a. adanya dokumen penawaran yang diterima setelah batas waktu.
b. adanya dokumen yang dimasukkan dalam satu amplop bersama-
sama dengan penawaran peserta tender yang lain.
c. adanya penawaran yang diterima oleh Panitia dari pelaku usaha
yang tidak mengikuti atau tidak lulus dalam proses kualifikasi atau
proses administrasi.
d. terdapat penyesuaian harga penawaran pada saat-saat akhir
sebelum memasukkan penawaran.
e. adanya pemindahan lokasi/tempat penyerahan dokumen penawaran
secara tiba-tiba tanpa pengumuman.
10. Indikasi persekongkolan pada saat evaluasi dan penetapan pemenang
tender, antara lain meliputi :
a. jumlah peserta tender yang lebih sedikit dari jumlah peserta tender
dalam tender sebelumnya.
b. harga yang dimenangkan jauh lebih tinggi atau lebih rendah dari
harga tender sebelumnya oleh perusahaan atau pelaku usaha yang
sama.
c. para peserta tender memasukkan harga penawaran yang hampir
sama.
d. peserta tender yang sama, dalam tender yang berbeda mengajukan
harga yang berbeda untuk barang yang sama tanpa alasan yang
logis untuk menjelaskan perbedaan tersebut.
e. Panitia cenderung untuk memberi keistimewaan pada peserta
tender tertentu.
f. adanya beberapa dokumen penawaran tender yang mirip.
g. adanya dokumen penawaran yang ditukar atau dimodifikasi oleh
Panitia.
h. Proses evaluasi dilakukan di tempat yang terpencil atau
tersembunyi.
i. perilaku dan penawaran para peserta tender dalam memasukkan
penawaran mengikuti pola yang sama dengan beberapa tender
sebelumnya.
11. Indikasi persekongkolan pada saat pengumuman calon pemenang, antara
lain meliputi :
a. Pengumuman diumumkan secara terbatas sehingga pengumuman
tersebut tidak diketahui secara optimal oleh pelaku usaha yang
memenuhi persyaratan, misalnya diumumkan pada media massa
yang tidak jelas atau diumumkan melalui faksimili dengan nama
pengirim yang jelas.
b. Tanggal pengumuman tender ditunda dengan alasan yang tidak
jelas.
c. Peserta tender memenangkan tender cenderung berdasarkan giliran
yang tetap.
d. Ada peserta tender yang memenangkan tender secara teru-menerus
di wilayah tertentu.
e. Ada selisih harga yang besar antara harga yang diajukan pemenang
tender dengan harga penawaran peserta lainnya dengan alasan yang
tidak wajar atau tidak dapat dijelaskan.
12. Indikasi persekongkolan pada saat pengajuan sanggahan, antara lain
meliputi :
a. Panitia tidak menanggapi sanggahan peserta tender.
b. Panitia cenderung menutup-nutupi proses dan hasil evaluasi.
13. Indikasi persekongkolan pada saat penunjukan pemenang tender dan
penandatanganan kontrak, antara lain meliputi :
a. Surat penunjukan pemenang tender telah dikeluarkan sebelum
proses sanggahan diselesaikan.
b. Penerbitan surat penunjukan pemenang tender mengalami
penundaan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
c. Surat penunjukan pemenang tender tidak lengkap.
d. Konsep kontrak dibuat dengan menghilangkan hal-hal penting
yang seharusnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam
kontrak.
e. Penandatanganan kontrak dilakukan secara tertutup.
f. Penandatanganan kontrak mengalami penundaan tanpa alasan yang
tidak dapat dijelaskan.
14. Indikasi persekongkolan pada saat pelaksanaan dan evaluasi pelaksanaan,
antara lain meliputi :
a. Pemenang tender mensub-kontrakkan pekerjaan kepada perusahaan
lain atau peserta tender yang kalah dalam tender tersebut.
b. Volume atau nilai proyek yang diserahkan tidak sesuai dengan
ketentuan awal tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
c. Hasil pengerjaan tidak sesuai atau lebih rendah dibandingkan
dengan ketentuan yang diatur dalam spesifikasi teknis tanpa alasan
yang dapat dipertanggungjawabkan (KPPU, 2008: 12-16).
Dari penjabaran di atas perlu diperhatikan bahwa hal-hal tersebut
merupakan indikasi persekongkolan yang terbatas pada muara adanya
persekongkolan tender yang menciptakan persaingan usaha tidak sehat.
Sedangkan bentuk atau perilaku persekongkolan maupun ada tidaknya
persekongkolan tersebut harus dibuktikan melalui pemeriksaan oleh Tim
Pemeriksa atau Majelis KPPU. Hal ini dapat berakibat pada penelitan,
pengkajian bahkan persidangan membutuhkan waktu yang cukup lama.

Selain dari indikasi-indikasi terjadinya persekongkolan tender,


terdapat juga modus-modus beroperasinya persekongkolan tender yang dapat
dianalisis meliputi :
1. Tekanan terhadap penawaran (Bid Suppression) artinya bahwa satu atau
lebih penawar setuju untuk tidak mengikuti pelelangan atau menarik
penawaran yang telah diajukan sebelumnya dan memberi kesempatan
agar penawar lain dapat memenangkan pelelangan tersebut. Berdasarkan
metode ini persekongkolan dapat dilakukan oleh 1 (satu) atau lebih
pelaku usaha dan di dalamnya terjadi pemaksaan yang dilakukan di
antara para peserta tender agar yang lain bersedia menahan diri bahkan
dipaksa untuk menarik diri dari persaingan penawaran harga.

2. Penawaran yang Saling Melengkapi (Complementary Bidding) yaitu


kesepakatan di antara para penawar dimana dua atau lebih penawar
setuju terhadap siapa yang akan memenangkan penawaran dengan
mengatakan harga yang direncanakan sehingga penawar lain akan
melakukan penawaran dengan harga yang lebih tinggidi tingkat harga
yang ditentukan. Tindakan tersebut menciptakan seolah-olah terdapat
persaingan yang sesungguhnya di antara mereka.

3. Perputaran Penawaran atau Arisan Tender (Bid Rotation) adalah pola


penawaran tender dimana satu dari penawar setuju untuk kembali sebagai
penawar yang paling rendah. Dalam hal ini penawar tender (selain
pemenang yang sudah ditentukan sebelumnya) secara bersama-sama
akan menawar setinggi-tingginya, sebelum sampai pada gilirannya untuk
memenangkan tender. Seringkali perputaran ini menetapkan adanya
jaminan bahwa mereka akan mendapat giliran untuk memenangkan
tender.

4. Pembagian Pasar (Market Division) adalah pola penawaran tender yang


terdiri dari beberapa cara untuk memenangkan tender melalui pembagian
pasar. Melalui metode ini, para penawar dapat merancang wilayah
geografis maupun pelanggan tertentu sehingga jika terdapat kontrak di
wilayah tertent, seluruh penawar sudah mengetahui penawar mana yang
akan memenangkan tender (http://www.oecd.org/competition).
Modus-modus tersebut menjadi cara-cara memuluskan pelaku usaha
yang bersekongkol dalam penawaran tender. Selain harus pandai mendeteksi
indikasi maupun modus-modusnya, rule of reason diterapkan juga melalui
pendekatan ekonomi.

2. Pendekatan Ekonomi

Pendekatan ekonomi dilakukan dengan menggunakan keahlian ekonomi dan


melihat peluang-peluang seperti :
a. Relevant Market yang erat kaitannya dengan pengukuran pasar dan ini
merupakan salah satu tugas penting dalam menganalisis adanya tingkat
persaingan pasar yang bersangkutan.
b. Market power (kekuatan pasar) yang sangat berkaitan dengan pangsa
karena pelaku usaha dalam kekuatan pasar yang ditentukan berdasarkan
pada pangsa pasar yang dikuasainya. Pangsa pasar di sini mencerminkan
kekuatan pasar dari sisi pelaku usaha dan kekuatan pasar tersebut
digunakan untuk mengatur harga supra kompetitif atau untuk
meenghambat adanya persaingan.
c. Barrier to entry (hambatan masuk pasar yang bersangkutan) bagi pelaku
usaha merupakan persoalan serius dalam rangka melakukan kegiatan
usahanya lancar. Salah satu cara yang ditempuh oleh pelaku usaha adalah
mengurangi hambatan untuk masuk ke pasar yang bersangkutan dan ini
merupakan metode yang baik atau dapat pula dikatakan sebagai hal
bermanfaat bagi persaingan usaha.
d. Strategi harga, dalam pendekatan perilaku, harga merupakan salah satu
tolok ukur untuk mengamati apakah terdapat dugaan pelanggaran terhadap
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 atau tidak. Diperlukan suatu
pengetahuan yang memadai mengenai bagimana proses terjadinya
pembentukan harga pasar, pertimbangan serta strategi yang sekiranya
dapat digunakan oleh pelaku usaha untuk menentukan harga dan tingkat
harga yang ada pada pasar tertentu.
Menurut ilmu ekonomi, pasar yang paling ideal adalah pasar yang
bersaing sempurna (perfect competition market), pasar dikatakan mempunyai
sifat persaingan sempurna apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. barang yang diperjualbelikan homogen;
2. jumlah penjual dan pembeli sangat banyak;
3. tidak ada hambatan bagi setiap penjual untuk masuk atau keluar pasar;
4. penjual dan pembeli mengetahui seluruh informasi pasar secara
sempurna.
Hukum harus mampu berpartisipasi agar idealisme pasar dapat tercapai dan
tidak merugikan para pelaku usaha. Pada dasarnya, persaingan dalam suatu
perekonomian modern adalah sesuatu yang penting dan wajar sehingga pelaku
usaha wajar sehingga pelaku usaha wajar juga apabila menginginkan
keuntungan. Yang mana sasaran utamanya adalah keseimbangan kepentingan
yang wajar dan jujur antara kelompok pelaku usaha dengan kepentingan
publik serta pelaksanaan etika bisnis dengan penuh kesadaran (Sri Redjeki
Hartono, 2007: 140-142).
Dalam hukum ekonomi, hukum persaingan usaha lebih mencerminkan
ideologi atau filsafat suatu perekonomian . Hukum ini merupakan filsafat
perekonomian yang sekarang diterima secara meluas di seluruh dunia yang
merupakan pendukung utama sistem perencanaan perekonomian pusat.
Penerapan rule of reason dalam persekongkolan tender dari norma yang diatur
dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang mana perangkat peraturan
yang diturunkan atau dihasilkan dalam asas-asas hukum ekonomi merupakan
perangkat hukum yang ideal secara filosofis, yuridis dan sosiologis karena
memberikan keadilan, kepastian dan pengaturan yang berlaku baik bagi
produsen maupun konsumen sebagai unsur pelaku ekonomi. Hukum ekonomi
yang bersumber dari asas-asas hukum publik dan asas-asas hukum perdata
sekaligus dapat mengakomodasi kebutuhan hukum yang ada. Perangkat
hukum yang diutamakan adalah perangkat peraturan antara lain tentang
legalitas berusaha dan legalitas kegiatan berusaha termasuk perizinan dan
pengawasan. Asas-asas utama hukum ekonomi, yaitu : asas campur tangan
negara terhadap kegiatan ekonomi pada umumnya, asas pengawasan publik
yang bertanggung jawab, asas keterbukaan dan bertanggung jawab, dan asas
keseimbangan kepentingan (Sri Redjeki Hartono, 2007: 124-125). Asas-asas
tersebut diwujudkan dalam rangka pencapaian dari tujuan adanya peraturan
persaingan usaha dalam lingkup pengawasan.
Pada dasarnya persekongkolan tender menurut Pasal 22 Undang-
Undang No. 5 Tahun 1999 itu dilarang. Ada dua alasan mengapa
persekongkolan tender itu dilarang yaitu pertama, secara langsung dapat
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat serta bertentangan dengan tujuan
dilaksanakannya tender itu sendiri yaitu untuk memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada para pelaku usaha. Kedua, secara tidak langsung dapat
menimbulkan kerugian keuangan negara melalui tender pemerintah yang
sering dilakukan penggelembungan anggaran (mark up). Persekongkolan
tender membawa dampak buruk yakni antara lain konsumen atau pemberi
kerja akan membayar harga lebih mahal daripada harga sesungguhnya, barang
atau jasa yang diperoleh dari segi mutu, jumlah, waktu serta nilai seringkali
lebih rendah dari yang akan diperoleh apabila tender dilakukan secara benar,
jujur dan transparan. Terjadi hambatan pasar bagi peserta tender potensial
yang tidak memperoleh kesempatan untuk mengikuti serta memenangkan
tender dan nilai proyek menjadi lebih tinggi akibat praktek mark up yang
dilakukan oleh pihak-pihak bersekongkol. Tender pada proyek pemerintah
(melalui APBN) apabila dilakukan dengan cara bersekongkol akan
menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economic).

3. Pembuktian Terhadap Korupsi


Selain dari prosedur, kesulitan lain adalah membuktikan adanya
dampak atas persekongkolan tender, dalam hal ini persekongkolan tender
adalah dampak terhadap kerugian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). Kerugian APBN tidak semudah itu dapat terlihat karena anggaran-
anggaran yang ditetapkan untuk masing-masing instansi sudah dari awal
anggaran. Hal yang berkaitan erat dengan kerugian APBN adalah korupsi.
Pemerintah Indonesia saat ini berusaha mewujudkan penyelenggaraan negara
yang bersih sebagai upaya mewujudkan sistem pemerintahan yang bebas KKN
(korupsi, kolusi dan nepotisme). Salah satu contoh dalam keinginan tersebut
adalah melalui Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (selanjutnya disingkat
Keppres No. 80 Tahun 2003). Pembentukan Keppres ini bertujuan agar
pengadaan barang/jasa instansi Pemerintah dapat dilaksanakan dengan efektif
dan efisien dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka dan perlakuan
yang adil dan layak bagi semua pihak terkait sehingga hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya
bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat. Apabila
pengadaan barang/jasa atau tender dilakukan dengan adanya konspirasi, maka
tujuan Keppres No. 80 Tahun 2003 ini tidak tercapai dan otomatis akan
menghambat penyelenggaraan negara yang bersih tadi.
Pasal 10 Keppres No. 80 Tahun 2003 mengatur bahwa panitia
pengadaan barang wajib dibentuk untuk semua pengadaan dengan nilai di atas
Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), artinya bahwa semua pengadaan
proyek di atas nilai tersebut harus dilakukan melalui penawaran umum.
Ketentuan ini menyebabkan banyak proyek-proyek yang harus dilakukan
dengan cara penawaran tender secara terbuka sehingga semakin besar pula
kemungkinan terjadinya persekongkolan penawaran tender. Negara
merupakan sebuah organisasi birokrasi besar yang selalu membutuhkan
barang dan jasa untuk keperluan pengelolaan pemerintahan dan pemberian
jasa pelayanan kepada publik. Sistem pengadaan barang dan jasa yang terkait
dengan sektor publik perlu disempurnakan dengan tetap memperhatikan
norma-norma serta prosedur yang ada yakni sesuai Keppres No. 80 Tahun
2003 sebagai salah satu pencegahan korupsi birokrasi dari penawaran tender.
Adapun latar belakang Keppres No. 80 Tahun 2003 dikaji dari hal-hal
sebagai berikut :
1. Proses pengadaan barang dan jasa pemerintah harus bersifat efisien;
2. Lemahya daya saing nasional;
3. Pendekatan yang protektif;
4. Mekanisme pengadaan barang dan atau jasa;
5. Kerangka kerja yang efisien, efektif dan konsisten; dan
6. Proses seleksi berdasarkan pada spesifikasi dan kualifikasi.
Keppres No. 80 Tahun 2003 juga mengatur tentang persyaratan kepemilikan
sertifikat keahlian yang merupakan sebagai tanda bukti pengakuan atas
kompetensi serta kemampuan profesi bidang pengadaan barang dan atau jasa
pemerintah. Sertifikat tersebut harus dimiliki seseorang untuk diangkat
sebagai pengguna barang/jasa atau sebagai panitia/pejabat pengadaan
barang/jasa. Selain itu terdapat pula sistematika yang disesuaikan dengan
proses pengadaan barang dan jasa pada umumnya yang meliputi tahap
persiapan pengadaan barang/jasa dan proses pelaksanaan pengadaan dengan
penyedia barang/jasa. Pada tahap persiapan yang perlu diperhatikan adalah
meliputi perencanaan pengadaan, pembentukan panitia pengadaan,
penyusunan harga perkiraan sendiri/harga dasar tender, penyusunan jadwal
pelaksanaan serta penyusunan dokumen pengadaan barang/jasa oleh
pemerintah yang dapat dilakukan dengan pengadaan yang yang dilakukan oleh
penyedia barang dan jasa serta pengadaan yang dilakukan secara swakelola.
Secara teoritis dan universal kesejahteraan konsumen dan efisiensi
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena baik kesejahteraan
konsumen maupun efisiensi akan bertambah baik dengan semakin tingginya
persaingan dibandingkan jika tidak terjadi persaingan atau tingkat
persaingannya rendah bahkan tidak ada sama sekali. Dengan
memperbandingkan harga serta output persekongkolan dengan harga serta
output patokan dari suatu model pasar persaingan sehat, maka akan dapat
dipahami bagaimana tingkat persaingan akan mempengaruhi tingkat
kesejahteraan konsumen dan efisiensi yang dilakukan oleh produsen.
Menurut Soemitro Djojohadikusumo, perilaku serta kegiatan
persekongkolan dalam tender pengadaan barang dan jasa milik pemerintah ini
dapat merugikan serta menimbulkan kebocoran negara hingga mencapai 30-
50% dari nilai anggaran belanja barang dan jasa. Sedangkan menurut laporan
Bank Dunia (Country Procurement Assestment Report) bahwa kebocoran
dalam tender pengadaan barang dan jasa pemerintah di Indonesia berkisar
antara 10-50% jasa dari nilai anggaran untuk belanja barang serta belanja
modal. Tender pengadaan barang dan jasa di sekitar pemerintahan merupakan
besaran yang sangat signifikan bagi Indonesia. Jika Indonesia dapat
mengendalikan kegiatan tender barang dan jasa di sektor pemerintahan dengan
baik dan benar, maka penghematan maupun penghilangan kebocoran akan
terjadi dengan signifikan pula. Pada gilirannya hal itu akan mendorong
terjadinya realokasi terhadap sumber daya Negara ke arah yang lebih
produktif dan bernilai guna. Kenyataan menunjukkan bahwa perkara
persekongkolan tender yang ditangani oleh KPPU ini lebih banyak dilakukan
karena adanya intervensi pejabat birokrasi terhadap panitia tender yang tidak
lain adalah bawahannya. Ini merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya
persekongkolan tender di Indonesia. Oleh karena persekongkolan tender
berkaitan erat dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), maka
para pelaku usaha sering merasa lebih leuasa bertindak tanpa khawatir terjerat
oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, Keppres No. 80 Tahun 2003 dan
peraturan terkait lainnya karena hampir tidak ditemukan adanya dokumen
secara tertulis yang menyatakan keterlibatan mereka. Hal ini merupakan
kelebihan tersendiri dari praktek persekongkolan tender.

Faktor-faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya persekongkolan


tender yang sarat dengan KKN, antara lain meliputi :
1. Penegakan hukum yang inkonsisten
Penegakan hukum hanya digunakan sebagai make up politik yang sifatnya
sementara, banyak sekali peraturan yang berkaitan dengan tender
pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah selalu berubah dan bahkan
setiap tahunnya peraturannya berubah sesuai dengan pergantian
pemerintahan. Dan masih terdapat pelanggaran peraturan yang ada
tersebut baik oleh panitia tender maupun para pelaku usaha.
2. Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang
Persekongkolan tender banyak terjadi karena adanya penyalahgunaan
kekuasaan maupun wewenang sehingga para pelakunya berasumsi bahwa
takut dianggap bodoh ataupun ceroboh bila tidak menggunakan
kesempatan yang ada untuk bersekongkol dalam tender pengadaan barang
dan jasa. Para pelaku usaha berbondong-bondong bahkan berusaha berebut
untuk berusaha mendapatkan pekerjaan proyek melalui seleksi yang tidak
benar baik tidak transparan, penuh diskriminasi dan setelah itu dengan
kekuasaannya ataupun kewenangan yang dimilikinya dapat mempengaruhi
proses serta pelaksanaan tender. Peluang ini dapat dilihat dari adanya jenis
persekongkolan baik vertikal, horisontal maupun vertikal horisontal yang
bersifat kolusif serta mengarah pada tindakan korupsi.
3. Terbatasnya lingkungan anti korupsi
Terbatasnya lingkungan yang menerapkan prinsip antikorupsi dan
nepotisme menjadi salah satu penyebab terjadinya persekongkolan tender.
Hal ini disebabkan adanya sistem dan pedoman yang dimiliki berkaitan
dengan penerapan prinsip antikorupsi yang sangat terbatas dan hanya
sebatas formalitas.
4. Rendahnya pendapatan
Penyebab terjadinya persekongkolan tender lainnya bermotif korupsi
adalah rendahnya pendapatan bulanan yang diterima penyelenggara
negara. Seharusnya dengan pendapatan yang mencukupi mampu
mendorong penyelenggara negara untuk meraih prestasi serta mampu
memberikan pelayanan terbaik bagi kepentingan masyarakat.
5. Kemiskinan serta keserakahan
Dengan memanfaatkan situasi serta kesempatan yang ada bagi pelaku yang
berkecukupan leluasa melakukan tindakan korupsi dengan menghalalkan
segala cara guna mendapatkan keuntungan yang optimal yang pada
akhirnya mengakibatkan kerugian negara/pemerintah. Lahan yang paling
mudah dalam melakukan korupsi adalah melalui media persekongkolan
tender pengadaan barang dan jasa pemerintah.
6. Budaya serta karakter bangsa
Persekongkolan tender yang erat kaitannya dengan korupsi, timbul karena
korupsi itu sendiri merupakan budaya permisif yang mana serba
membolehkan serta tidak mau tahu keadaan buruk akibat korupsi yang
seringkali mehinggapi para penyelenggara maupun peserta tender. Dalam
kegiatan persekongkolan tender korupsi serta nepotisme merupakan suatu
hal yang biasa atau lumrah tanpa peduli pada kepentingan orang lain,
pelaku usaha lain karena yang terpenting bagi pelaku-pelaku yang terlibat
adalah kepentingannya terlindungi.
7. Keuntungan korupsi lebih besar
Seseorang yang akan melakukan tindak korupsi dalam persekongkolan
tender sudah menghitung dengan cermat keuntungan yang diperoleh
secara optimal. Perhitungan tersebut sudah termasuk risiko apabila
tertangkap dan menyuap petugas. Kegiatan persekongkolan tender
sebenarnya hanya merupakan media bagi pelakunya untuk mendapatkan
keuntungan secara melawan hukum (L. Budi Kagramanto, 2007: 128-
137).

Korupsi telah menjadi musuh besar negara ini dan upaya


pemberantasan korupsi tidak akan berhasil jika ditangani hanya oleh aparat
penegak hukum. Salah satunya dengan penegakan hukum persaingan usaha
yang hendaknya diarahkan juga sebagai upaya pemberantasan korupsi,
setidaknya sebagai upaya pencegahan korupsi. Hal ini sangat dimungkinkan
karena potensi terjadinya korupsi dengan skala yang lebih besar dapat terkait
dengan pelaku usaha yang memiliki sejumlah dana dari keuntungan yang
menjadi potensi besar untuk diberikan sebagai illegal fees atau suap atau
bentuk lain kepada pejabat pengambil kebijakan. Salah satu ciri pemerintahan
yang tinggi tingkat korupsinya adalah kuatnya hubungan antara penguasa atu
birokrat terkait dengan pelaku usaha berdasarkan patronase. Pelaku usaha
yang memiliki akses terhadap kekuasaan biasanya diberi hak eksklusif dan
kemudahan lainnya dengan imbalan proporsional kepada pejabat yang terkait.
Pelaku usaha tersebut kemudian bisa dengan leluasamelakukan eksploitasi
terhadap konsumen melalui penetapan harga produk yang eksesifuntuk
memperoleh keuntungan yang sangat besar (supernomal profit). Dan dari
keuntungan supernormal inilah pelaku usaha mampu menyisihkan sejumlah
dana yang cukup besar sebagai dana potensial melakukan praktek korupsi
guna mempertahankan statusquo atau bahkan ekspansi usaha. Demikian
halnya oknum pejabat tersebut akan semakin kuat dan kaya dari hasil
pemberian pelaku usaha terkait. Kebijakan dan regulasi digunakan sebagai
alat untuk memperkaya diri dan mempertahankan kekuasaannya. Demikian
seterusnya dengan prinsip win-win hingga menjadi lingkaran setan (vicious
circle) yang tidak mudah diputus (Benny Pasaribu, 2009: 23-24).

Corruption is generally defined as the “misuse of a position of trust for


dishonest gain.” In an auction context, corruption refers to the lack of
integrity of the auctioneer. It occurs whenever the auctioneer twists the
auction rules in favor of some bidder(s) in exchange for bribes. Corruption
may be a simple bilateral affair between one bidder and the auctioneer, but it
may also involve collusion among several bidders who jointly strike a deal
with the auctioneer. Corruption cannot occur in an auction if the seller is also
the auctioneer. Corruption is only an issue if the auctioneer is the agent of the
seller. Such delegation occurs if the seller lacks the expertise to run the
auction himself, or if the seller is a complex organization. It does not matter
whether the auctioneer-agent is a specialized auction house, an employee, or
a government official. What matters alone is the fact that the auctioneer acts
independently on behalf of the seller. Corruption can also not work in an
open-bid auction simply because it lacks secrecy. However, open auctions are
typically hybrids between open and sealed bid auctions since sealed bids are
usually permitted and are indeed widely used. A corrupt auctioneer can then
use “magic numbers” (empty envelopes) to rig bids even if some bidders
participate in the open auction (Yvan Lengwiler dan Elmar Wolfstetter, 2009:
1-2).

Terjemahannya adalah sebagai berikut : Korupsi biasanya menegaskan


sebagai penyalahgunaan posisi dari kepercayaan untuk memperoleh
keuntungan dari ketidakjujuran. Dalam konteks pelelangan, korupsi mengarah
pada kurangnya integritas pelelang. Ini terjadi sewaktu-waktu pelelang
menyeleweng dari peraturan pelelangan yang murah hati dari beberapa
penawar yang bertukar suap. Korupsi mungkin peristiwa bilateral sederhana
antara satu penawar dengan pelelang. Tetapi ini mungkin juga keterlibatan
sekongkolan di antara beberapa orang penawar yang bersama-sama
melakukan transaksi dengan pelelang. Korupsi tidak dapat terjadi di
pelelangan jika penjual juga pelelangnya. Korupsi hanya isu jika pelelang
adalah agen dari penjual. Seperti perwakilan jika penjual kurang ahli untuk
mengambil pelelangan sendiri atau jika penjual suatu organisasi kompleks..
Korupsi tidak dapat terjadi tanpa adanya keterlibatan dengan pihak dari juru
lelang atau pihak pengadaan yang biasanya terspesialisasi dari pihak dalam,
karyawan maupun birokrat. Permasalahannya, pada faktanya terjadi kebebasan
dalam kepentingan juru lelang atau panitia pengadaan. Korupsi tidak dapat
bekerja dalam penawaran terbuka karena tidak bersifat rahasia. Bagaimanapun
penawaran terbuka secara khas terjadi terbuka dan ditutup tawaran pada
umumnya diijinkan dan sungguh-sungguh luas digunakan. Panitia yang
korupsi dapat menggunakan angka yang menakjubkan (amplop kosong) dari
hasil persekongkolannya untuk melengkapi beberapa partisipasi penawar
dalam tender terbuka”. Efek korupsi ini jelas merugikan keuangan negara
apalagi terkait tender-tender yang diselenggarakan pemerintah yang
melibatkan birokrat dan sistem yang ada. Apalagi sebagian besar penawaran
tender dengan nilai tinggi berasal dari pemerintah dalam hal pengadaan barang
dan jasa karena kepentingannya untuk negara.

Persekongkolan tender dalam praktek persaingan usaha tidak sehat


mempunyai cara atau mekanisme tersendiri agar persekongkolan tersebut
dapat berlangsung dan mempunyai hasil memuaskan bagi para pihak. Tender
yang berpotensi menciptakan persaingan usaha tidak sehat atau menghambat
persaingan usaha adalah :

1. Tender yang bersifat tertutup atau tidak transparan dan tidak diumumkan
secara luas, sehingga mengakibatkan para pelaku usaha yang berminat dan
memenuhi kualifikasi tidak dapat mengikutinya;

2. Tender bersifat diskriminatif dan tidak dapat diikuti oleh semua pelaku
usaha dengan kompetensi yang sama;
3. Tender dengan persyaratan dan spesifikasi teknis atau merek yang
mengarah kepada pelaku usaha tertentu sehingga menghambat pelaku
usaha lain untuk ikut.

Persekongkolan tender yang mana sudah menimbulkan sisi kolusif


dalam pengertiannya karena cenderung memperluas kesempatan yang ilegal
baik dari pelaku usaha maupun birokrat pemerintah sebagai penyelenggara
tender apalagi melibatkan anggaran negara dan penerapan pendekatan rule of
reason dengan melihat akibat yang terjadi sehinggacenderung sulit merupakan
kelemahan penegakan terhadap persekongkolan tender baik dari segi norma
maupun praktek sehingga perkara ini masih mendominasi perkara di KPPU.
Oleh karena itu, perlu ditindaklanjuti penerapan rule of reason dalam praktek
penegakan khususnya persekongkolan tender.
4. Dominasi Perkara Persekongkolan Tender di KPPU

Implementasi kebijakan persaingan usaha (competition policy) yang


efektif dibentuk dari sinergi positif terhadap kewenangan persaingan usaha di
suatu negara. Efektivitas implementasi itu diyakini mampu meningkatkan
keberhasilan suatu lembaga persaingan usaha itu sendiri. Negara yang memiliki
hukum persaingan usaha berada dalam kondisi aktual yang berbeda dalam
sistem penegakan hukum persaingan dan kewenangan lembaga persaingan
usahanya. Di Indonesia, esensi keberadaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
pasti memerlukan pengawasan dalam rangka implementasinya yaitu dengan
berdirinya KPPU. KPPU adalah sebuah lembaga yang bersifat independen, di
mana dalam menangani , memutuskan atau melakukan penyelidikan suatu
perkara tidak dapat dipengaruhi oleh pihak mana pun baik pemerintah maupun
pihak lain yang memiliki conflict of interest, walaupun dalam pelaksanaan
wewenang dan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden. KPPU juga
adalah lembaga quasi judicial yang mempunyai wewenang eksekutorial terkait
kasus-kasus persaingan usaha (Hermansyah, 2008: 73).

Berkaitan dengan KPPU, Syamsul Maarif mengatakan bahwa lembaga


ini memiliki yurisdiksi yang luas dan memiliki 4 (empat) tugas utama, yaitu :
1. fungsi hukum, yaitu sebagai satu-satunya institusi yang mengawasi
implementasi Undang-Undang No. 5 Tahun 1999;
2. fungsi administratif, disebabkan KPPU bertanggung jawab mengadopsi
dan mengimplementasi peraturan-peraturan pendukung;
3. fungsi penengah, karena KPPU menerima keluhan-keluhan dari pelaku
usaha, melakukan investigasi independen, melakukan tanya jawab dengan
semua pihak yang terlibat, dan mengambil keputusan; dan
4. fungsi polisi, disebabkan KPPU bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
keputusan yang diambilnya (Hermansyah, 2008: 74).

Dalam rangka penegakan hukum, KPPU yang dibentuk berdasarkan Undang-


Undang No. 5 Tahun 1999 mempunyai tugas dan kewenangan melakukan
pencegahan dan penindakan atas pelanggaran hukum persaingan serta
memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dan instansi negara
terkait. Meskipun menghadapi berbagai kendala, KPPU telah melakukan upaya
untuk menegakkan hukum persaingan di Indonesia bahkan lembaga PBB yakni
UNCTAD telah memberikan sebuah award sebagai penghargaan kepada
KPPU atas kinerja dan efektifitasnya yang relatif baik. Berbagai keberhasilan
tersebut dapat ditunjukkan sebagai berikut (Benny Pasaribu, 2009: 29-32) :

Pertama, kesadaran stakeholder terhadap pentingnya persaingan usaha yang


sehat dapat mengalami peningkatan yang ditandai antara lain dengan
peningkatan jumlah laporan masyarakat.

Grafik 1. Laporan Perkara Masuk


Jumlah

Jumlah Laporan Masuk Periode 2000 – November 2009

Dari grafik di atas, terlihat bahwa laporan meningkat dari tahun ke tahun.
Perkembangan juga menunjukkan bahwa sebaran pelaporan juga semakin
meningkat, hal ini terjadi sering dengan adanya peningkatan daya jangkau
KPPU melalui kehadiran kantor perwakilan di 5 (lima) daerah ditambah
dengan upaya advokasi dan sosialisasi ke berbagai daerah.
Kedua, penanganan perkara juga terus meningkat intensitasnya. Selain
bersumber dari laporan, perkara di KPPU juga berasal dari hak inisiatif KPPU,
yang dilakukan melalui kegiatan kajian industri, penelitian dan monitoring
pelaku usaha. Sejak tahun 2000 sampai 2009, KPPU telah melaksanakan
sebanyak 110 (seratus sepuluh) kegiatan dengan perkembangan sebagaimana
terlihat dalam tabel di bawah ini (KPPU, 2009: 14-15).

Pada periode Januari-Juni 2009, KPPU menangani 14 perkara, yang terdiri dari
11 perkara mengenai tender dan 3 perkara non-tender. Total perkara yang
ditangani oleh KPPU sejak tahun 2000 hingga Juni 2009 adalah 186 perkara.

Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tot

Jumlah
2 5 8 9 9 22 18 31 68 14 186
Perkara

Tabel 3. Perkara yang Ditangani

Sampai dengan tengah tahun 2009, KPPU telah menjatuhkan sebanyak 128
putusan, dengan rincian sebagai berikut:

Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tot

Jumlah
2 7 5 7 10 16 14 50 17 128
Putusan
Tabel 4. Putusan yang Dijatuhkan

Dari tabel laporan tengah tahun KPPU 2009 tersebut terdapat perkara yang
mengalami keterlambatan pada putusannya karena jangka waktu yang dibutuhkan
KPPU dalam melaksanakan prosedurnya. Hal ini otomatis akan menjadi kendala
tersendiri bagi KPPU dalam tugasnya menegakkan hukum persaingan di
Indonesia. Efek rule of reason yang seharusnya dapat diantisipasi sejak awal
sangat berimbas pada praktek yang terjadi terutam perkara persekongkolan tender
yang mendominasi pelanggaran dalam bidang persaingan usaha.

Grafik 2. Variasi Dugaan Pelanggaran

Dominasi perkara persekongkolan tender tersebut seharusnya mendapatkan


perhatian khusus untuk penegakan hukum ke depannya karena persekongkolan
tender banyak memberikan dampak negatif yang antara lain :

1. Persekongkolan tender menciptakan hambatan (barrier to entry)


Persoalan mengenai hambatan masuk ke pasar bersangkutan bagi pelaku
usaha merupakan persoalan serius yang dihadapi dalam rangka melaksanakan
kegiatan usaha secara lancar. Mengurangi hambatan masuk ke pasar yang
bersangkutan merupakan cara yang baik dan bermanfaat bagi persaingan
usaha. Dengan berusaha untuk mempertahankan pelaku usaha pesaing yang
beragamnya serta karakternya serta berusaha untuk mencegah terjadinya
hambatan masuk ke pasar yang bersangkutan, maka setidak-tidaknya
penegakan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menuju pada arah yang benar.
Terjaminnya persaingan yang sehat dan wajar akan membantu perkembangan
perusahaan-perusahaan terutama yang baru berkiprah di dunia usaha dalam
rangka memenangkan tender karena para peserta tender mempunyai
kesempatan yang sama. Barrier to entry dapat terjadi dapat terjadi pada
kegiatan pengadaan barang dan atau jasa tertenu karena pada dasarnya setiap
peserta tender mempunyai kepentingan yang sama yaitu berkeinginan untuk
menjadi pemenang tender. Dan peluang yang terjadi adalah peserta tender tak
segan-segan dalam melakukan penyimpangan untuk mencapai tujuannya.
2. Persekongkolan tender menimbulkan inefisiensi anggaran pemerintah
Secara teoritis dan universal kesejahteraan konsumen dan efisiensi
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena baik kesejahteraan
konsumen maupun efisiensi akan bertambah baik dengan semakin tingginya
persaingan. Pada dasarnya persaingan usaha secara sehat memberikan
berbagai keuntungan kepada konsumen, yaitu harga lebih murah, produksi
yang lebih banyak, pelayanan yang lebih prima/baik serta pilihan produk
yang inovatif, beragam dan banyakjika dibandingkan dengan kondisi dimana
persaingan usaha dibatasi. Jika dikaitkan efisiensi erat kaitannya dengan
penggunaan sumber daya berupa manusia, mesin serta bahan baku atau bahan
mentah lainnya yang dipergunakan untuk memproduksi output secara
maksimal dan input tidak digunakan secara sia-sia sehingga produk barang
dan atau jasa yang dihasilkan mempunyai nilai tertinggi dan bermanfaat bagi
konsumen. Relevansi pertimbangan efisiensi bagi kebijakan persaingan usaha
adalah bahwa penggunaan/pemanfaatan sumber daya yang tidak efisien akan
mengakibatkan harga/biaya tinggi, output rendah, berkurangnya atau tidak
adanya inovasi serta pemborosan sumber daya. Efisiensi itu sendiri terbagi
menjadi 2 (dua) sifat yaitu efisiensi yang bersifat statik dapat digambarkan
sebagai efisiensi dalam memproduksi barang dan atau jasa dengan bahan
serta proses yang tersedia atau ada sekarang, sedangkan efisiensi yang
bersifat dinamis atau teknis berkembang yang digambarkan sebagai
efisiensidi masa depan yang dimulai dari proses atau inovasi produk. Yang
utama adalah kaitannya dengan pendapatan dan pengeluaran keuangan negara
diatur secara rinci dan sistematis dalam APBN maupun APBD melalui
mekanisme APBN dan APBD tersebut semua kegiatan pemerintah dibiayai
termasuk kegiatan pengadaan barang dan atau jasa oleh pemerintah. Oleh
karena itu, pemerintah perlu membuat manajemen serta pengaturan yang baik
agar pengeluaran negara tidak melebihi jumlah yang sudah dianggarkan
dalam APBN dan APBD. Sudah menjadi kebiasaan dalam sistem serta
mekanisme anggaran yang berimbang bahwa pemerintah harus melakukan
efisiensi terhadap pengeluaran-pengeluaran negara agar tidak terjadi defisit
keuangan.
3. Persekongkolan tender menimbulkan ketidakpercayaan pasar kepada
Pemerintah sebagai penyelenggara tender
Banyaknya perkara persekongkolan tender yang melibatkan pemerintah
terutama dalam praktek pengadaan barang dan atau jasa yang melibatkan
pemerintah membuat citra pemerintah di mata pelaku usahamenjadi buruk
dan kondisi seperti ini akan menimbulkan keraguan para pelaku usaha untuk
mengikuti tender yang diselenggarakan oleh pemerintah. Para pelaku usaha
menjadi tidak berminat lagi untuk mengeluarkan tenaga, waktu serta
pikirannya hanya untuk mengikuti tender pemerintah yang seringkali sudah
diatur dan bahkan sudah diketahui sebelumnya siapa yang akan
memenangkan tender tersebut. Apabila kondisi seperti ini dibiarkan terus
berlanjut, maka pemerintah akan menemui kesulitan dalam pengadaan barang
dan atau jasa di kemudian hari karena tidak ada lagi pelaku usaha yang
bersedia bekerja sama dengan pemerintah (L Budi Kagramanto, 2007: 202-
209).
Dari banyaknya perkara dan dampak yang diakibatkan dari
persekongkolan tender, salah satu perkara yang berkaitan erat antara
pemerintahan dan persekongkolan yang terjadi adalah Dugaan Persekongkolan
Pengadaan Tinta Sidik Jari Pemilu Legislatif dengan Nomor Putusan :
08/KPPU-L/2004. Berikut penjelasan atas putusan tersebut. Perkara ini berawal
dari laporan masyarakat perihal dugaan persekongkolan tinta sidik jari Pemilu
tahun 2004. Dalam menangani perkara ini KPPU membentuk Majelis Komisi
yang bertugas untuk melakukan pemeriksaan dan membuat keputusan. Pihak
Terlapor dalam perkara ini adalah :

1. PT Mustika Indra Mas (Terlapor I)


2. PT Multi Mega Service (Terlapor II)
3. PT Senorotan Perkasa (Terlapor III)
4. PT Tricipta Adimandiri (Terlapor IV)
5. PT Yanaprima Hastapersada (Terlapor V)
6. Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira, S.H. (Terlapor VI)
7. PT Fulcomas Jaya (Terlapor VII)
8. PT Wahgo International (Terlapor VIII)
9. PT Lina Permai Sakti (Terlapor IX)
10. PT Nugraha Karya Oshinda (Terlapor X)

Pada tanggal 11 Juli 2005, Majelis Komisi telah mengambil putusan terhadap
perkara tersebut melalui putusan KPPU No. 08/KPPU-L/2004 dan dibacakan di
muka umum sebagai berikut :

1. Menyatakan Terlapor I Konsorsium PT MUSTIKA INDRA MAS, yang


dalam perkara ini kegiatannya dijalankan oleh direksi perusahaan-
perusahaan yang tergabung dalam konsorsium tersebut bersama-sama
dengan Lo Kim Muk, John Manurung, Welly Sahat, Hilmi Rahman, dan
Melina Alaydroes secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22
Undang-Undang No. 5/1999.
2. Menyatakan Terlapor II Konsorsium PT MULTI MEGA SERVICE secara
sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang No. 5/1999.
3. Menyatakan Terlapor III PT SENOROTAN PERKASA, dalam perkara ini
kegiatannya dijalankan oleh Makmur Boy dan Jackson Andree W. Kumaat
secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang No.
5/1999.
4. Menyatakan Terlapr IV PT TRICIPTA ADIMANDIRI secara sah dan
meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang No. 5/1999.
5. Menyatakan Terlapor V PT YANAPRIMA HASTAPERSADA, dalam
perkara ini kegiatannya dijalankan oleh Mus’ab Mochammad, secara sah
dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang No. 5/1999.
6. Menyatakan Terlapor VI Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira, S.H. selaku
Ketua Panitia Pengadaan Tinta Sidik Jari Pemilu Legislatif Tahun 2004
secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang No.
5/1999.
7. Menyatakan Terlapor VII Konsorsium PT FULCOMAS JAYA secara sah
dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang No. 5/1999.
8. Menyatakan Terlapor VIII PT WAHGO INTERNATIONAL
CORPORATION secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22
Undang-Undang No. 5/1999.
9. Menyatakan Terlapor IX Konsorsium PT LINA PERMAI SAKTI secara
sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang No. 5/1999.
10. Menyatakan Terlapor X PT NUGRAHA KARYA OSHINDA, dalam
perkara ini kegiatannya dilakukan oleh Yulinda Juniarty, S.E. selaku
Direktur Operasi secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-
Undang No. 5/1999.
11. Menghukum Terlapor I Konsorsium PT Mustika Indra Mas, Terlapor II
Konsorsium PT Multi Mega Service, Terlapor III Konsorsium PT
Senorotan Perkasa, Terlapor IV PT Tricipta Adimandiri, Terlapor V
Konsorsium PT Yanaprima Hastapersada dan Terlapor X PT Nugraha
Karya Oshinda secara bersama-sama untuk membayar denda sebesar Rp
1.000.000.000,00 (satu milyar Rupiah) yang harus disetorkan ke Kas
Negara sebagai setoran penerimaan negara bukan pajak Departemen
Keuangan Direktorat Jenderal Anggaran Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta I yang beralamat di Jl. Ir. H.
Juanda No. 19 Jakarta Pusat melalui Bank Pemerintah dengan kode
penerimaan 1212 selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak
dibacakannya putusan ini.
12. Menghukum Terlapor VII Konsorsium PT Fulcomas Jaya untuk
membayar ganti rugi sebesar Rp 719.744.600,00 (tujuh ratus sembilan
belas juta tujuh ratus empat puluh empat ribu enam ratus Rupiah) yang
harus disetorkan ke Kas Negara sebagai setoran penerimaan negara bukan
pajak Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Anggaran Kantor
Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta I yang beralamat di Jl.
Ir. H. Juanda No. 19 Jakarta Pusat melalui Bank Pemerintah dengan kode
penerimaan 1212 selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak
dibacakannya putusan ini.
13. Menghukum Terlapor VIII Konsorsium PT Wahgo International
Corporation untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 719.744.600,00 (tujuh
ratus sembilan belas juta tujuh ratus empat puluh empat ribu enam ratus
Rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai setoran penerimaan
negara bukan pajak Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Anggaran
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta I yang
beralamat di Jl. Ir. H. Juanda No. 19 Jakarta Pusat melalui Bank
Pemerintah dengan kode penerimaan 1212 selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari sejak dibacakannya putusan ini.
14. Menghukum Terlapor IX Konsorsium PT Lina Permai Sakti untuk
membayar ganti rugi sebesar Rp 719.744.600,00 (tujuh ratus sembilan
belas juta tujuh ratus empat puluh empat ribu enam ratus Rupiah) yang
harus disetorkan ke Kas Negara sebagai setoran penerimaan negara bukan
pajak Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Anggaran Kantor
Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta I yang beralamat di Jl.
Ir. H. Juanda No. 19 Jakarta Pusat melalui Bank Pemerintah dengan kode
penerimaan 1212 selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak
dibacakannya putusan ini.
15. Menghukum Lo Kim Muk, John Manurung, Welly Sahat, Hilmi Rahman,
Makmur Boy, Jackson Andree W. Kumaat, Nucke Indrawan, Mus’ab
Muhammad, Melina Alaydroes, dan Yulinda Juniarty dalam bentuk
larangan untuk mengikuti dan atau terlibat dalam kegiatan pengadaan
barang dan atau jasa di KPU maupun KPUD selama 2 (dua) tahun sejak
dibacakannya putusan ini.
16. Menyarankan kepada atasan dan instansi penyidik untuk melakukan
tindakan dan pemeriksaan lebih lanjut terhadap Prof. Dr. Rusadi
Kantaprawira, S.H. dan R.M Purba sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Dari Putusan No. 08/KPPU-L/2004 analisis yang diperoleh meliputi :


a. Perkara yang dilaporkan pada tahun 2004 dan putusan baru
dibacakan pada Juli 2005, hal ini menjadi tanda bahwa proses
pemeriksaan sampai pembuktian terhadap persekongkolan tender
tersebut dalam jangka waktu yang cukup lama.
b. Dalam perkara persekongkolan tender terdapat dua subjek hukum
yaitu manusia (natuurlijke persoon) yang mempunyai hak dan
mampu menjalankan haknya yang dijamin oleh hukum yang
berlaku, dalam putusan ini adalah pihak-pihak yang terlibat dalam
persekongkolan tender atas nama perorangan yaitu Prof. Dr.
Rusadi Kantaprawira, S.H, R.M Purba, Lo Kim Muk, John
Manurung, Welly Sahat, Hilmi Rahman, Makmur Boy, Jackson
Andree W. Kumaat, Nucke Indrawan, Mus’ab Muhammad, Melina
Alaydroes, dan Yulinda Juniarty. Sedangkan subjek hukum berupa
badan hukum (rechts persoon) yang dapat bertindak seperti
manusia dimana badan hukum sebagai pembawa hak dan tidak
berjiwa dapat melakukan sebagai pembawa hak manusia seperti
dapat melakukan persetujuan-pesetujuan, memiliki kekayaan yang
sama sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya dan badan
hukum bertindak dengan perantaan pengurus-pengurus, dalam
putusan ini badan hukum berupa badan hukum privat yaitu PT
Mustika Indra Mas, PT Multi Mega Service, PT Senorotan
Perkasa, PT Tricipta Adimandiri, PT Yanaprima Hastapersada, PT
Fulcomas Jaya, PT Wahgo International, PT Lina Permai Sakti, PT
Nugraha Karya Oshinda sebagai Terlapor (Elsi Kartika Sari dan
Advendi Simangunsong, 2004: 7-9).
c. Objek hukum persekongkolan terjadi dalam tender atau pengadaan
barang milik pemerintah adalah tinta sidik jari pemilu legislatif
2004.
d. Persekongkolan yang terjadi termasuk jenis persekongkolan
horizontal dan vertikal dimana antara panitia pengadaan yaitu Prof.
Dr. Rusadi Kantaprawira, S.H. bersekongkol dengan pelaku-pelaku
usaha lainnya dan antara pelaku usaha juga mengadakan
persekongkolan.
e. Sebagai salah satu peraturan perundang-undangan yang dibuat
untuk menciptakan social engineering bagi masyarakat dunia usaha
pada umumnya dan para pelaku usaha pada khususnya, maka
sanksi-sanksi harus diberlakukan sebagai “cambuk” dan untuk
menjamin efektivitas dari pelaksanaan dan pemenuhan kewajiban
oleh pihak-pihak yang terkait dalam persaingan usaha. Dalam
putusan ini, penegakan sanksi hanya dari sisi sanksi administratif
dalam putusan ini yaitu penetapan pembayaran ganti rugi kepada
Terlapor VII, Terlapor VIII, Terlapor IX sebesar Rp
719.744.600,00 (tujuh ratus sembilan belas juta tujuh ratus empat
puluh empat ribu enam ratus Rupiah) dan dikenakan denda kepada
Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V
sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar Rupiah). Sedangkan
pada pihak perorangan yang terlibat dalam kegiatan
persekongkolan tender diberikan sanksi pidana tambahan berupa
larangan untuk mengikuti dan atau terlibat dalam pengadaan
barang dan atau jasa di KPU maupun KPUD selama 2 tahun sejak
dibacakannya putusan. Bagi pelaku usaha sanksi ini belum tentu
memberikan efek jera yang berarti karena tidak adanya sanksi
pidana. Sedangkan sanksi pidana dijatuhkan kepada Prof. Dr.
Rusadi Kantaprawira, S.H. dan R.M Purba sebagai pihak yang
terlibat dalam pengadaan tinta yang mempunyai indikasi korupsi
untuk menindaklanjuti pada tahap penyidikan di ranah pidana.
Sanksi-sanksi tidak akan berarti dan hanya menjadi macan kertas
saja jika tidak diiringi dengan kecepatan dan ketepatan pelaksanaan
sanksi oleh aparat yang berwenang (Ahmad Yani dan Gunawan
Widjaja, 1999: 63).

Perkara dan putusan merupakan tahap yang penting dalam


menegakkan hukum persaingan secara umum. Prinsip bahwa tidak ada
gunanya sebagus dan sesempurna apa pun peraturan tertulis jka hal tersebut
tidak bisa diwujudkan dalam praktek. Agar praktek dapat berjalan sesuai
dengan yang dikehendaki oleh peraturan tertulis, maka aspek pelaksanaan
hukum (law enforcement) juga harus diatur, diarahkan dan dilaksanakan
secara rapi. KPPU merupakan ujung tombak dari penegakan hukum Undang-
Undang No. 5 Tahun 1999, maka kapabilitas, kejujuran dan keseriusan dari
anggota KPPU ini sangat menentukan warna dan irama berjalannya hukum
persaingan usaha dalam praktek terutama dalam praktek persekongkolan
tender yang mendominasi banyak perkara (Munir Fuady, 2003: 117-118).
Solusinya ketika penegakan hukum membutuhkan kekuatan yang lebih, maka
harus kembali pada mekanisme yang ada melalui General Provisions,
meliputi :
1. National Regulation, regarding economic competition, monopolies, and
free market is a federal statute to be enforced accross the entire nation. In
principle, the life and performance of all businesses regardless of their
size or specific activity.
2. Objective, to protect the prosess of competiton and free exchange through
the prevention and elimination of monopolies, monopolistic, practices and
other restrictions to the efficient interaction of the market for goods and
services.
3. Enforcement, a decentralized administrative body was created and
charged specifically with the application and enforcement of this law.

4. Subjects, following the broad criteria for the application, the law states
that all economic agents are bound by its provisions.
5. State Monopolies, excludes from its purview those activities whose
execution are expressly reserved for the state, following from its
application, categorizing them instead as activities not constituting
monopolistic practices.
6. Exempted Activities, in a clear change direction from the past poltics of
prices controls on certain goods and services provide the following rules
on this matter (Juan Francisco Torres Landa R, 1996: 40-42).

Baik peraturan yang bersifat nasional, sasaran atau tujuan untuk


melindungi proses persaingan dan prakteknya demi pasar barang dan jasa,
penegakan hukum terutama menggunakan badan tertentu dalam prakteknya, pihak
yang terkait terutama pelaku usaha selaku agen ekonomi yang terlibat langsung
dengan peraturan, inti-inti monopoli dan negara monopoli yang kegiatannya untuk
melayani negara dan pembebasan kegiatan dalam hal ini adalah persaingan secara
bebas menjadi tolok ukur yang penting bagi keberhasilan penegakan persaingan
usaha. Dan alangkah bijaknya apabila langkah memudahkan penanganan perkara
persekongkolan tender yang indikasinya negatif dapat diantisipasi dengan
peraturan yang lebih real dibutuhkan dalam penegakan hukum.
BAB IV. PENUTUP

A. Simpulan

1. Pengaturan persekongkolan tender dalam Undang-Undang No. 5 Tahun


1999 tepatnya pada ketentuan Pasal 22 diklasifikasikan dengan pendekatan
rule of reason adalah tidak tepat apabila melihat indikasi negatif
persekongkolan tender sejak awal. Pada awal pembentukannya, memang
undang-undang ini tidak mengkaji penerapan dalam penegakan hukum ke
depannya karena fokus pada saat itu adalah penyelesaian undang-undang
yang terburu-buru. Hal ini berbeda dengan pengaturan di Amerika Serikat
asal pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, persekongkolan
tender termasuk dalam kategori per se illegal karena cenderung kolusif dan
tidak mendukung persaingan yang seharusnya dilakukan secara fair atau
adil.
2. Konsekuensi dari pengaturan persekongkolan tender secara rule of reason
adalah pada prosedurnya KPPU membutuhkan pendekatan hukum dan
pendekatan ekonomi dalam membuktikan keterlibatan pelaku usaha maupun
panitia pengadaan. Selain itu, KPPU harus membuktikan adanya kerugian
pada APBN atas persekongkolan tender yang bermuara pada korupsi
tersebut. Hal ini menjadi kelemahan tersendiri karena KPPU mengalami
kesulitan yang seharusnya tidak diperlukan apalagi perkara persekongkolan
tender mendominasi perkara di KPPU. Dampak yang diakibatkan adalah
jumlah dominasi perkara persekongkolan tender karena masih ada celah
atau peluang dan pada akhirnya akan mempengaruhi pasar yang menjadi
tidak sehat karena kesempatan yang dibatasi antara pelaku usaha. Para pihak
yang bersekongkol jelas melihat celah tersendiri karena keuntungan mereka
jauh lebih besar daripada sanksi administratif atau pengenaan denda yang
dijatuhkan KPPU. Penegakan pada tataran praktis memang harus
disesuaikan dari tataran teoritis.

B. Saran

1. Perubahan atau revisi terhadap ketentuan Pasal 22 Undang-Undang No. 5


Tahun 1999 yang harus menggambarkan pada aspek per se illegal agar
kegiatan persekongkolan tender baik yang dilakukan oleh pelaku usaha
maupun birokrat pelaku ini dapat dicegah. Kepastian ini juga akan
menjamin penegakan terhadap persekongkolan tender ke depannya agar
KPPU tidak perlu melakukan pembuktian sampai taraf mendalam. Hanya
dari alat bukti secara hukum yang sah bahwa telah terjadi persekongkolan
tender, maka dapat segera ditindak secara cepat dan tegas.
2. Aparat birokrat harus menerapkan prinsip-prinsip yang ada dalam
Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 dalam melaksanakan kegiatan
pengadaan barang dan atau jasa untuk mengurangi kecurangan atau KKN
dari pihak birokrat sendiri dan melakukan penawaran secara terbuka dan
adil untuk semua pelaku usaha.
3. Pemutusan mata rantai korupsi dalam pengadaan barang dan atau jasa
pemerintah dengan melibatkan KPK, Bappenas dan masyarakat yang
mengetahui adanya unsur tender yang tidak terbuka dalam
pelaksanaannya.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja. 1999. Seri Hukum Bisnis : Anti Monopoli.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
A. M. Tri Anggraini. 2005. “Penerapan Pendekatan Rule Of Reason dan Per Se
Illegal dalam Hukum Persaingan”. Jurnal Hukum Bisnis Volume 24.
Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis.
_______ . 2006. “Penegakan Hukum Dan Sanksi Dalam Persekongkolan
Penawaran Tender”. Jurnal Legislasi Indonesia Volume 3. Jakarta:
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum
dan HAM RI.
Andi Fahmi Lubis, dkk. 2009. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan
Konteks. Jakarta: ROV Creativ Media.
Anonim. KPPU Tangani 65 Persen Kasus Tender.
http://cetak.fajar.co.id/news.php?newsid=16384. [ 16 Oktober 2009 pukul
20:54:05].
Anonim. Penegakan Hukum. http://www.solusihukum.com/artikel/artikel49.php.
[ 7 Desember 2009 pukul 08:41:38].
Arie Siswanto. 2002. Hukum Persaingan Usaha. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Bambang Sutiyoso. 2004. Aktualita Hukum dalam Era Reformasi. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Benny Pasaribu. 2009. “Peran Persaingan Usaha Dalam Upaya Pemberantasan
Korupsi”. Jurnal Persaingan Usaha Edisi 2. Jakarta: Komisi Pengawas
Persaingan Usaha.
Competition Division. The Guidelines for Fighting Bid Rigging in Public
Procurement. http://www.oecd.org/competition. [13 Maret 2010 pukul
12:20:10].
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simagunsong. 2004. Hukum dalam Ekonomi.
Jakarta: Grasindo.
Hermansyah. 2008. Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Indonesia. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.

Ian Eagles dan Louise Longdin. 2009. “Subjecting Competition Law Exemptions
to a Rule Of Reason: New Zealand Courts Push at the Boundaries of
Statutory Interpretation”. Subjecting Competition Law Exemptions to a
Rule of Reason UNSW Law Journal Volume 32(1).
Juan Francisco Torres Landa R. 1996. “Recent Developments In Antitrust
Legislation In Mexico”. Comparative Lawyear Book of International
Business Volume 18. Boston: Kluwer Law International.
John W. Head. 1997. Seri Dasar-Dasar Hukum Ekonomi : Pengantar Umum
Hukum Ekonomi. Jakarta: ELIPS.
Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.
Malang: Bayumedia Publising.
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 2009. Buku Penjelasan Katalog Putusan
KPPU. Jakarta: KPPU.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 2008. Pedoman Pasal 22 Tentang Larangan
Persekongkolan Dalam Tender. Jakarta: KPPU.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Laporan Tengah Tahun 2009 Komisi
Pengawas Persaingan Usaha. http://www.kppu.go.id. [7 Des 2009
08:41:38 pukul 08:30:25 ].
L. Budi Kagramanto. 2007. Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif Hukum
Persaingan Usaha). Surabaya: Srikandi.
Munir Fuady. 2003. Hukum Anti Monopoli, Menyongsong Era Persaingan Sehat.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Nuzul Qur’aini Madya. 2009. “E-procurement Cegah Persaingan Usaha Tidak
Sehat”. Kompetisi Media Berkala Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Edisi 15. Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2006 Tentang
Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU.
Peter Mahmud Marzuki. 2009. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Raimond Flora Lamandasa. Penegakan Hukum.
http://www.scribd.com/doc/2953532/Penegakkan-Hukum.[ 13 Desember
2009 pukul 19:27:41].
R. Arry Mth. Soekowathy. 2003. “Fungsi dan Relevansi Filsafat Hukum Bagi
Rasa Keadilan dalam Hukum Positif”. Jurnal Filsafat UGM. Jilid 35
Nomor 3. Yogyakarta: UGM.
Soerjono Soekanto. 1983. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.
Jakarta: Rajawali.
Sri Redjeki Hartono. 2007. Hukum Ekonomi Indonesia. Malang: Bayumedia
Publishing.
Sudikno Mertokusumo. 1999. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Yakub Adi Krisanto. 2006. “Persekongkolan Tender dalam Pengadaan
Barang/Jasa di Kota Salatiga”. Kritis Jurnal Studi Pembangunan
Interdisiplin. Vol. XVIII.
_______ . 2006. “Analisis Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 dan Karakteristik
Putusan KPPU Tentang Persekongkolan Tender”. Jurnal Hukum Bisnis.
Vol II. Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis.
_______ . Analisis Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 dan Karakteristik Putusan
KPPU Tentang Persekongkolan Tender.
http://yakubadikrisanto.wordpress.com/category/persekongkolan-tender/
page/2/.[10 September 2009 pukul 15:08:55].
_______ . Prinsip Rule of Reason dan Per Se Rule dalam Hukum Persaingan
Indonesia. http://yakubadikrisanto.wordpress.com/2008/06/03/prinsip-
rule-of-reason-dan-per-se-illegal/ [15 Januari 2010 pukul 09:12:25].
Yvan Lengwiler dan Elmar Wolfstetter. 2009. “Auctions and Corruption : An
Analysis of Bid Rigging by a Corrupt Auctioneer”. From legwiler-
wolfstetter.pdf.

Anda mungkin juga menyukai