Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN DISKUSI SGD

(SMALL GROUP DISCUSSION)

Skenario 3
“Hematuria”

Disusun oleh :
Kezia Honey Mariana Sunarno
21/474678/KH/10864

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2022
I. Tujuan Pembelajaran:
1. Mahasiswa mampu mengkomparasi struktur mikroskopis organ uropoetika.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan fungsi dasar sistem urinasi dan homeostasis pada
anjing dan kucing.
3. Mahasiswa mampu mengenali gejala klinis penyakitpenyakit parasit sistem
uropoetika pada karnivora (anjing dan kucing), mengetahui cara diagnosis,
pengobatan dan penanganan penyakit-penyakit parasit pada karnivora, serta
mengetahui diferensial diagnosa berbagai penyakit parasit pada karnivora.
4. Mahasiswa dapat saling berkolaborasi, berbagi konsep, keterampilan dan perilaku
dalam diskusi.

II. Skema Pembelajaran

SGD
Semester III

Anatomi Histologi Fisiologi Ilmu Bakteriologi Ilmu


Terapan Sistem Organ Veteriner Pemuliaan dan Mikologi Penyakit
Hewan II Hewan Veteriner Parasit
Veteriner

Sinergi dan Integrasi antar mata kuliah untuk membangun pemahaman secara lebih dalam
dan komprehensif untuk mencapai kompetensi

Skenario 3: mengenali gejala klinis penyakit parasit pada sistem uropoetika karnivora (anjing
dan kucing), diagnosis, pengobatan dan penanganannya; fungsi dasar sistem urinasi dan
homeostasis pada anjing dan kucing; komparasi topografi dan struktur makroskopis
mikroskopis organ
III. Pembahasan
A. Struktur Mikroskopis Sistem Urinaria Mamalia
1. Ren/Ginjal

Gambar 1. Struktur Mikroskopis Ren Mamalia (Eroschenko, 2005)


Ginjal dibungkus oleh kapsula fibrosa mengandung serabut otot polos pada
bagian dekat organ. Organ terbagi menjadi bagian korteks dan medulla.
Terdapat nefron yang terdiri dari korpuskulum renale, tubulus konvolutus
proksimal, tubulus konvolutus distal dan ansa nefroni yang berfungsi menjadi
bagian utama dari organ dalam proses pembentukan urin. Sistem duktus
kolektivus mempunyai fungsi utama mengumpulkan, mengkonsentrasikan dan
menyalurkan urin keluar dari ginjal, terusun dari tubulus konektivus,
tubulus renalis arkuatus, tubulus koligens rektus, dan duktus papillaris (Bacha
& Bacha, 2000).

a. Korteks
➢ Pars Konvoluta
- Korpuskulum renale yang terdiri dari glomerulus dan kapsula
glomeruli, polus vaskularis dan polus tubularis
- Tubulus kontortus proksimal yang dibatasi sel berbentuk kuboid
kaya tepi sikat, nukleus kecil, bulat, terletak dibasal atau
parabasal, lumen kecil dan batas sel kurangjelas.
- Tubulus konvolutus distal lebih jarang ditemukan dibandingkan
tubulus konvolutus proksimal.
- Tubulus renalis arkuatus, dibatasi oleh sel kuboid tercat lemah,
nukleus bulat, besar, dan tercat gelap
(Bacha & Bacha, 2000)

➢ Pars Radiata
- Ansa nefroni terdiri dari tubulus rektus proksimalis, tubulus
atenuatus (pars descendens dan ascendens), dan tubulus rektus
distalis. Panjangnya segemen ini menentukan kemampuan hewan
mengkonservasi air. Nefron jugsta medullaris mempunyai segmen
tipis yang ujungnya jauh masuk ke dalam medulla, dapat
mencapai papilla medulla
- Tubulus koligen rektus pada pars radiata, dibatasi oleh epitelium
kuboid tercat pucat, nukleus besar, bulat, tercat gelap
(Bacha & Bacha, 2000)

b. Medulla
- Zona eksternal terletak dekat korteks dan terdiri dari ansa nefroni
yang pendek dan tubulus koligensrektus.
- Zona internal berisi nefron panjang. Didalamnya terdapat ansa
nefroni panjang, tubulus koligens rektus dan duktus papillaris
(Bacha & Bacha, 2000)

2. Ureter

Gambar 2. Ureter Mamalia (Eroschenko, 2005)


Terdiri dari 2 saluran pipa masing-masing bersambung dari ginjal ke
vesika urinaria. Panjangnya± 25-30cm, dengan penampang 0,5cm. Ureter
Sebagian terletak pada rongga abdomen dan sebagian lagi terletak pada
rongga pelvis (Eroschenko, 2005). Lapisan dinding ureter terdiri dari:
a. Tunika mukosa
• Epitel transisional dengan sel payung bercrusta pada permukaannya
dan membranbasalisnya tidak tampak begitujelas.
• Lamina propria, berupa jaringan ikat mengandung kapiler darah.
Semakin keluar jaringan ikat menjadi jaringan longgar hingga
terbentuk lipatan-lipatan membrana mukosa. Tidak ada papilla jaringan
pengikat pada epitel (Bacha & Bacha,2000).
b. Tunika muskularis, pada bagian distal dari ureter dibedakan menjadi 3
lapisan: Stratum longitudinale internum; Stratum circulare;
Stratum longitudinale eksternum (Bacha & Bacha,2000).
c. Tunika adventitia, jaringan pengikat longgar yang membungkus dinding
jaringan sebelah luar (Eroschenko,2005).
3. Vesica Urinaria

Gambar 3. Vesica Urinari (Eroschenko, 2005)


Kandung kemih memiliki dinding berotot tebal. Dindingnya mirip dengan
sepertiga bawah ureter, kecuali ketebalannya. Di dinding ditemukan tiga
lapisan otot halus yang disusun secara longgar, longitudinal bagian
dalam, melingkar tengah, dan lapisan memanjang luar. Vesica urinaria
terdiri dari tiga lapisan :
1. Tunika mukosa.
a. Lumen dibatasi oleh sel epiteliumtransisional,
b. Lamina muskularis mucosae tipis,
2. Tunika submukosa mengandung jaringan ikat longgar.
3. Tunika muskularis terdiri dari otot polos tiga lapis. Lamina
muskularis longitudinalis internal dan eksternal dan lamina
muskularis sirkularis intermedia (tebal).
4. Korpus dan apeks dibungkus tunika serosa sedangkan kollum dibungkus
tunika adventisia
(Eroschenko,2005)

4. Uretra

Gambar 4. Uretra (Kuehnel, 2003)


Sel epitel dari uretra dimulai sebagai sel transisional setelah keluar
darikantung kemih. Sepanjang uretra disusun oleh sel epitel bertingkat
kolumnar, kemudian sel bertingkat pipih di dekat lubang keluar. Terdapat
pula kelenjar uretra kecil yang menghasilkan lendir untuk membantu
melindungi sel epitel dari urin yang korosif (Kuehnel, 2003).
B. Fungsi Dasar Sistem Urinasi dan Proses Pembentukan Urin
Sistem urinasi adalah sistem yang mengatur terjadinya proses
penyaringan sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan tubuh
(Nuari dan Widayati, 2017). Sistem urinasi merupakan salah satu bagian dari
hewan yang sangat berperan dalam menjaga kesehatan. Sistem urinasi memiliki
tiga fungsi, yaitu metabolisme, hormonal dan ekskresi. Sistem ini terdiri dari
dua bagian, yaitu sistem urinasi bagian atas dan bawah. Sistem urinaria bagian
atas hanya terdiri dari ginjal sedangkan sistem urinasi bagian bawah disusun
oleh ureter, vesica urinasi dan urethra (Putra dkk., 2020). Pada sistem urinasi,
ginjal kanan terletak pada bagian ventral sampai bagian dorsal dari dua atau tiga
tulang rusuk terakhir dan prosesesus transversal lumbar pertama. Sedangkan
ginjal kiri biasanya lebih panjang dan letaknya lebih dekat ke bidang median
dan memanjang ke kaudal. Ginjal kiri biasanya terletak pada bagian ventral
tulang rusuk terakhir dan dua atau tiga prosesus transversus lumbar pertama
(Putra dkk.,2020).

Fungsi utama Sistem Perkemihan pada tubuh adalah melakukan ekskresi


dan eliminasi sisa-sisa metabolisme tubuh. Selain itu terdapat beberapa fungsi
tambahan, antara lain:

1. Sebagai regulator volume darah dan tekanan darah dengan mengeluarkan


sejumlah cairan ke dalam urine dan melepaskan hormone eritropoetin dan renin
2. Sebagai regulator konsentrasi plasma dari beberapa ion, yaitu sodium,
potassium, klorida & mengontrol jumlah kehilangan ion-ion lainnya ke dalam
urine, serta menjaga batas ion kalsium melalui sintesis kalsiterol
3. Sebagai stabilisator pH darah melalui control jumlah pengeluaran Hidrogen
dan ion bikarbonat ke dalam urine
4. Menghemat pengeluaran nutrisi dengan memelihara eksresi pengeluaran
nutrisi tersebut pada saat proses eliminasi produk sisa, terutama pada saat
pembuangan nitrogen seperti urea dan asam urat.
5. Sebagai detoksifikator racun bersama organ hepar selama kelaparan melalui
proses deaminasi asam amino yang dapat merusak jaringan.
(Nuari dan Widayati, 2017)

Proses pembentukan urin di dalam ginjal terbagi menjadi tiga tahap yaitu
filtrasi, reabsorpsi, dan augmentasi. Ketiga proses tersebut terjadi di traktus
urinaria yang meliputi glomerulus → kapsula bowman → tubulus proximal →
loop henle → tubulus distal → tubulus kolligens → tubulus kolektivus → kaliks
minor → kaliks mayor → pelvis renalis → ureter → vesica urinaria → urethra
(Sunarto dkk., 2019)

Menurut (Nuari dan Widayati, 2017), Proses pembentukan urin


dibutuhkan tiga tahapan yaitu:
a. Filtrasi (penyaringan)
Proses pembentukan urin diawali dengan penyaringan darah yang terjadi di
kalpiler glomerulus. Sel- sel kapiler glomerulus yang berpori/ podosit, tekanan,
dan permeabilitas yang tinggi pada glomerulus mempermudah proses
penyaringan. Di dalam glomerulus juga terjadi penyerapan Kembali sel- sel
darah, keping darah, dan sebagian besar protein plasma. Bahan- bahan kecil
yang terlarut di dalam plasma darah seperti glukosa, asam amino, natrium,
kalium, klorida, bikarbonat, dan urea dapat melewati filter dan menjadi bagian
dari endapan. Hasil penyaringan di glomerulus disebut filtrat glomerulus atau
urin primer yang mengandung asam amino, glukosa, natrium, kalium, dan
garam- garam lainnya.

b. Reabsorpsi (penyerapan kembali)


Reabsopsi merupakan proses kedua setelah terjadi filtrasi (penyaringan).
Bahan- bahan yang masih diperlukan di dalam urin primer akan diserap
Kembali di tubulus kontortus proksimal sedangkan di tubulus kontortus distal
terjadi penambahan zat sisa dan urea. Meresapnya zat pada tubulus ini melalui
2 cara yaitu gula dan asa amino meresap melalui peristiwa difusi sedangkan air
melalui peristiwa osmosis. Penyerapan air terjadi pada tubulus proksimal dan
tubulus distal. Substansi yang masih diperlukan seperti glukosa dan asam amino
dikembalikan ke darah. Zat ammonia, obat- obatan seperti penisilin, kelebihan
garam, dan bahan lain pada filtrat dikeluarkan Bersama urin. Hasil dari proses
ini adalah urin sekunder, zat- zat yang masih diperlukan tidak akan ditemukan
lagi dan konsentrasi zat- zat sisa metabolisme yang bercacun seperti urea akan
bertambah.

c. Augmentasi
Tahap yang terakhir merupakan augmentasi yaitu proses penambahan zat sisa
dan urea yang mulai terjadi di tubulus kontortus distal. Dari tubulustubulus
ginjal, urin akan menuju rongga ginjal dan selanjutnya ke kantong kemih
melalui saluran ginjal. jika kantong kemih terisi urin, dinding kantong kemih
akan tertekan sehingga timbul rasa ingin buang air kecil. Urin akan keluar
melalui uretra dengan komposisi air, garam, urea, dan sisa substansi lain
misalnya pigmen empedu untuk memberi warna/ bau pada urin.

C. Dehidrasi
Dehidrasi didefinisikan sebagai kondisi tubuh hewan dimana kekurangan cairan
baik intrasel maupun ekstrasel yang diikuti oleh kehilangan elektrolit dan
perubahan keseimbangan asam-basa (Suartha, 2010). Kejadian ini dapat terjadi
akibat kurangnya asupan cairan atau air minum yang masuk ke dalam tubuh dan
penyakit. Kehilangan cairan pada tubuh menurut Suartha (2010) dapat terjadi
melalui empat mekanisme, yaitu:
1. Pengeluaran air melalui respirasi pada hewan terengah-engah seperti
anjing. Pada hewan lain sangat bervariasi tergantung atas jenis hewan.
2. Air keluar melalui kulit, karena difusi dari permukaan dan keringat.
Jumlah yang keluar melalui keringat masing-masing hewan bervariasi
tergantung atas jumlah kelenjar keringat pada kulit
3. Keluar melalui feses, jumlahnya sangat sedikit dan pada masing-masing
hewan volume bervariasi tergantung atas diet yang diberikan
4. Keluar melalui urin
Gejala klinis dehidrasi yang dapat dipakai sebagai acuan adalah hilangnya
elastisitas kulit (turgor), membran mukosa kering, waktu pengisian kapiler
(capillary refilling time) yang bertambah, Dehidrasi yang berat dapat
menyebabkan kelelahan, depresi, dan shock, serta Pemeriksaan laboratorium
PCV dan plasma protein meningkat. Berat ringannya gejala yang muncul
tergantung prosentase cairan yang hilang. Dehidrasi dapat dikelompokkan
menjadi kategori ringan (5%), dehidrasi sedang (7%), dan kategori berat (10-
12%). Sirkulasi akan kolap jika kehilangan cairan tubuh mencapai 15%,
sedangkan jika sampai mencapai 20% hewan akan mati.

D. Homeostasis
Homeostasis adalah kemampuan fisiologis tubuh dalam
mempertahankan keseimbangan dan kecenderungan semua jaringan hidup guna
memelihara dan mempertahankan kondisi seimbang (Isnaeni, 2006). Respon
fisiologis tubuh saat dehidrasi adalah dengan mengurangi defekasi dan urinasi,
mereduksi metabolisme, pengurangan evaporasi, perlindungan volume plasma,
dan vasokonstriksi (Frandson dkk., 1992).

Apabila kadar garam lebih dari jumlah normal dan kurang air dalam
badan, tekanan osmosis darah akan meningkat, osmoreseptor pada hipotalamus
akan terangsang kemudian kelenjar hipofisis akan dirangsang lebih aktif untuk
mensekresikan hormon ADH (antidiuretik) untuk meningkatkan permeabilitas
tubulus ginjal terhadap air, sedangkan kelenjar (hormon aldosteron) akan
kurang dirangsang sehingga lebih banyak air yang diserap, ion natrium dan ion
kalsium diserap kembali masuk dalam tubuh dan tekanan osmosis darah akan
turun. Proses ini akan berlangsung berulang kali sehingga tekanan osmosis
darah pada jumlah normal (Frandson dkk., 1992).

Apabila kadar garam lebih rendah dari jumlah normal dalam tubuh dan
lebih banyak air dalam tubuh, tekanan osmosis darah akan
menurun,osmoreseptor pada hipotalamus akan terangsang kemudian kelenjar
pituitary akan kurang dirangsang untuk mensekresikan hormon ADH untuk
mengurangi permeabilitas tubulus ginjal terhadap air, kelenjar adrenal (hormon
aldosteron) akan dirangsang dengan lebih aktif, maka lebih sedikit air diserap
dan lebih sedikit juga natrium dan kalsium yang diserap kembali masuk dalam
tubuh sehingga tekanan osmosis darah akan naik. Proses ini akan berlangsung
berulang kali sehingga tekanan osmosis darah berada pada jumlah normal
(Frandson dkk., 1992).

Faktor-faktor lingkungan internal yang harus dipertahankan secara


homeostasis:
1. Konsentrasi molekul zat-zat gizi,
2. Konsentrasi O2 dan CO2,
3. Konsentrasi zat-zat sisa,
4. pH,
5. Konsentrasi garam-garam, air, dan elektrolit –elektrolit lain
6. Suhu,
7. Volume dan tekanan.

E. Parasit pada Sistem Uropoetika


Parasit pada sistem uropoetika karnivora dapat menimbulkan berbagai
macam penyakit terutama pada ternak berasal dari filum Nematoda. Telur
cacing yang ditemukan pada skenario adalah telur Capillaria plica yang
bersumpat di kedua ujungnya dan berhospes pada anjng dengan predileksi
urinary bladder/ vesica urinaria (Taylor et al., 2016).

1) Capillaria plica
Hospes: anjing, dan terkadang pada kucing.
Predileksi: urinary bladder/ vesica urinaria, terkadang juga pelvis ginjal.
Filum: Nematoda
Ciri- ciri: ukuran telur 63-68 x 24-27 um dan telur termasuk unsegmented.
Berwarna kekuningan memiliki sumbat di kedua kutub, dan hanya ditemukan
di urin, cacing jantan memiliki spikulum tunggal yang panjang dan tipis. Cacing
dewasa berwarna keputihan dengan panjang cacing jantan 13-30 mm dan betina
30-60 mm
Diagnosis: ditemukannya cacing Capillaria di urin.
Gejala klinis: urin berdarah, cystitis, dan kesulitan mengeluarkan urin.
Fencobatan dan penanganan fenbendazole 50 mg/kg secara oral setiap hari
selama 3 hari, dapat juga dengan pemberian ivermectin.
(Taylor et al., 2016)

2) Capillaria feliscati/ Pearsonema feliscati


Hospes: kucing
Predileksi: urinary bladder vesica urinaria
Filum: Nematoda
Ciri- ciri: telur berbentuk oval dan pucat dengan kapsul tebal tipikal bipolar
plugs, dan berukuran 50-68 x 22-32 um, cacing dewasa terlihat seperti benang
kecil, cacing dewasa betina berukuran 30-60 mm, dan jantan 13-30 mm
panjangnya.
Diagnosis: di lakukan melalui urinalisis terdapat tanda peradangan, termasuk
darah dan/atau sel-sel inflamasi pada sampel urinasi.
Gejala klinis: urin berdarah, kesulitan buang air kecil, dan kesalahan- kesalahan
dalam urin.
Pengobatan dan penanganan: fenbendazole, ivermectin, and milbemycin
dengan satu kali minum atau bisa pengulangan 3-5 hari, bisa juga mendapat
treatment tambahan jika inflamasi yang disebabkan terlalu parah.
(Taylor dkk., 2016)
3) Dioctophyma renale
Hospes: anjing, serigala, kucing.
Predileksi: parenkim ren.
Filum: Nematoda
Ciri- ciri: telurya berbentuk lemon, coklat kekuningan, dengan cangkang tebal
berbintik-bintik dan sumbat bipolar sedikit menonjol, sekitar 71-84 kali 46-52
um dan bergranula unsegmented. Telur diamati dalam urin. Panjang cacing
jantan mencapai 35-40 cm dan betina lebih dari 60 cm.
Diagnosis: ditemukan telur berbentuk bulat dan berwarna coklat kekuningan
dalam urin.
Gejala klinis: hematuria.
Pengobatan dan penanganan: jarang diperlukan penanganan obat, tetapi bisa
dilakukan melalui operasi.
(Taylor dkk., 2016)

4) Leishmania infantrum
Hospes: anjing.
Predilekst sitoplasma ren
Filum: Protozoa
Ciri- ciri: bentuknya bulat dan berdiameter sekitar 2- 6um. Nukleus, terdiri dari
flagel pendek yang tertanam di ujung anterior tampa menonjol keluar dan
kinetoplast kecil seperti batang yang diwarai secara intensif, flagela, dapat
dilihat bahkan dengan mikroskop cahaya.
Diagnosis: ditemukan imunohistokimia pada histologi preparat sampel
jaringan.
Gejala klinis: demam, penurunan berat badan, fungsi ginjal terganggu.
Pengobatan dan pencegahan: meglumine antimoniate tau miltetosine digunakan
untuk pengobatan medis leishmaniosis, sering dikombinasikan dengan
allopurinol. Melakukan uji Leishmania direkomendasikan untuk anjing impor
untuk mengendalikan resiko penularan.
(Saari dkk., 2018)

5) Gnathostoma spinigerum
Hospes: anjing, kucing.
Predileksi: daerah abdomen.
Filum: Nematoda
Ciri- ciri: badan tebal dengan warna kemerahan pada anterior dan Keabuan pada
posterior. Panjang cacing jantan 1-2.5 cm dan betina 3 cm. telur berukuran 69
x 37 um.
Diagnosis: ditemukan telur oval berwarna kehijauan di feses
Gejala klinis: rasa sakit berlebih pada daerah perut dan ren.
Pengobatan dan penanganan: belum ditemukan secara jelas, tetapi bisa dicegah
dengan tidak memebrikan ikan dan belut mentah pada hewan.
(Taylor dkk.. 2016)
IV. Kesimpulan
• Sistem Urinaria terdiri dari ren, ureter, vesica urinaria, dan uretra
• Dehidrasi adalah kondisi tubuh hewan dimana kekurangan cairan baik
intrasel maupun ekstrasel yang diikuti oleh kehilangan elektrolit dan
perubahan keseimbangan asam-basa
• Homeostasis adalah kemampuan fisiologis tubuh dalam
mempertahankan keseimbangan dan kecenderungan semua jaringan
hidup
• Beberapa parasit yang bisa menyebabkan penyakit pada sistem
uropoetika karnivora antara lain Capillaria plica, Capillaria feliscati,
Dioctophyma renale, Leishmania infantrum, dan Gnathostoma
spinigerum.
• Masing- masing parasit dapat menyebaban penyakit yang berbeda dari
segi diagnosis maupun pengobatannya.

V. Daftar Pustaka
Bacha, William J.; Bacha, Linda M. 2000. Color Atlas of Veterinary
Histology, 3rd ed. Chichester: Wiley-Blackwell.
Eroschenko, Victor P. 2015. diFiore’s Atlas of Histology with Functional
Correlations 11ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins.
Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University
Press: Yogyakarta.
Isnaeni, W. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Kanisius
Nuari, N. A, dan Widayati, D. (2017). Gangguan pada Sistem Perkemihan
dan Penatalaksanaan Keperawatan. Yogyakarta: Deepublish
Putra, I. K. P., Heryani, L. G. S. S., dan Setiasih, N. L. E. (2020). Morfologi
Ginjal Anjing Kintamani Betina. Buletin Veteriner Udayana, 12(2):
115-122.
Saari, S., Nareaho, A., dan Nikander, S. 2018. Canine Parasite and Parasitic
Diseases. UK: Elsevier.
Suartha, I. N. (2010). Terapi Cairan Pada Anjing dan Kucing. Buletin
Veteriner Udayana, 2(2): 69-83
Taylor, M., Cood, Wall. 2016. Veterinary Parasitology Fourth Edition.New
Delhi: Wiley Blackwell.

Anda mungkin juga menyukai