Anda di halaman 1dari 15

SISTEM GENITOURINARIA PADA LANSIA

Di ajukan untuk melengkapi tugas mata kuliah komunitas II

DI SUSUN

OLEH

KELOMPOK 7

ANGGUN ARISTANTIA : 1626010055


LINA : 1626010053
RISKA SARI : 1626010004
PUTRI KARTIKA SARI : 1626010030
ELSI NOPIANTI : 1626010028
YUDI PEBRIANSYAH : 1626010068

PROGRAM STUDI SI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

TRI MANDIRI SAKTI

BENGKULU

2019
A. Anatomi dan Fisiologi Sitem Urinaria
Sistem perkemihan merupakan organ vital dalam melakukan ekskresi dan
melakukan eliminasi sisa-sisa hasil metabolisme tubuh (Muttaqin, Arif, dan
Kumala Sari. 2014). Sedangkan menurut Nuari dan Widayati (2017), sistem
Perkemihan atau sistem urologi merupakan suatu sistem dimana terjadinya
proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak
dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh
tubuh. Zat-zat yang tidak diperlukan oleh tubuh larut dalam air dan dikelurkan
berupa urine. Selain mempunyai fungsi eliminasi, sistem perkemihan juga
mempunyai fungsi lainnya, yaitu sebagai berikut.
a. Meregulasi volume darah dan tekanan darah dengan mengeluarkan
sejumlah cairan kedalam urine dan melepaskan eritropoetin, serta
melepaskan renin.
b. Meregulasi konsentrasi plasma dari sodium, potasium, klorida, dan
mengontrlon kuantitas ion-ion lainnya kedalam urine, serta menjaga
batas ion kalsium dengan menyintesis karsitrol
c. Mengonstribusi stabilisasi pH darah dengan mengontrol jumlah
keluarnya ion hidrogen dan ion bikarbonat kedalam urine
d. Menghemat pengeluaran nutrisi dengan memelihara ekskresi
pengeluaran nutrisi tersebut pada saat eliminasi produk sisa, terutama
pada saat pembuangan nitrogen seperti urea dan asam urat
e. Membantu organ hati dalam mendetoksikasi racun selama kelaparan,
deaminasi asam amino yang dapat merusak jaringan (Muttaqin, Arif, dan
Kumala Sari. 2014).
f. Sistem perkemihan terdiri atas ginjal,ureter, kandung kemih, dan uretra.
Untuk menjaga fungsi ekskresi, sistem perkemihan mempunyai dua
ginjal. Organ ini memproduksi urine yang berisikan air, ion-ion,
senyawa-senyawa, solut yang kecil. Urine meninggalkan kedua ginjal
dan melewati sepasang ureter menuju dan ditampung sementara pada
kandung kemih. Proses ekskresi urine dinamakan miksi, terjadi ketika
adanya kontraksi dari otot-otot kandung kemih menekan urine untuk
keluar melalui uretra dan keluar dari tubuh. (Muttaqin, Arif, dan Kumala
Sari. 2014).
1. Ginjal
Ginjal merupakan suatu organ yang terletak retroperitoneal pada
dinding abdomen di kanan dan kiri columna vertebralis setinggi vertebra
T12 hingga L3. Ginjal kanan terletak lebih rendah dari yang kiri karena
besarnya lobus hepar. Ginjal dibungkus oleh tiga lapis jaringan. Jaringan
yang terdalam adalah kapsula renalis, jaringan pada lapisan kedua adalah
adiposa, dan jaringan terluar adalah fascia renal. Ketiga lapis jaringan ini
9 berfungsi sebagai pelindung dari trauma dan memfiksasi ginjal
(Tortora, 2011).
Ginjal memiliki korteks ginjal di bagian luar yang berwarna coklat
terang dan medula ginjal di bagian dalam yang berwarna coklat gelap.
Korteks ginjal mengandung jutaan alat penyaring disebut nefron. Setiap
nefron terdiri dari glomerulus dan tubulus. Medula ginjal terdiri dari
beberapa massa-massa triangular disebut piramida ginjal dengan basis
menghadap korteks dan bagian apeks yang menonjol ke medial. Piramida
ginjal berguna untuk mengumpulkan hasil ekskresi yang kemudian
disalurkan ke tubulus kolektivus menuju pelvis ginjal (Tortora, 2011).
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan
komposisi kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan
mengekresikan zat terlarut dan air secara selektif. Fungsi vital ginjal
dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui glomerulus dengan
reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah yang sesuai di
sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air di eksresikan
keluar tubuh dalam urin melalui sistem pengumpulan urin (Price dan
Wilson, 2012).
Ginjal memiliki berbagai fungsi antara lain, ekskresi produk sisa
metabolisme dan bahan kimia asing, pengaturan keseimbangan air dan
elektrolit, pengaturan osmolaritas cairan tubuh, pengaturan
keseimbangan asam dan basa, sekresi dan eksresi hormon dan
glukoneogenesis (Guyton & Hall, 2008). Sedangkan, menurut Sherwood
(2011), ginjal memiliki fungsi yaitu:
a. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh.
b. Memelihara volume plasma yang sesuai sehingga sangat berperan
dalam pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri.
c. Membantu memelihara keseimbangan asam basa pada tubuh.
d. Mengekskresikan produk-produk sisa metabolisme tubuh.
e. Mengekskresikan senyawa asing seperti obat-obatan.

Ginjal mendapatkan darah yang harus disaring dari arteri. Ginjal


kemudian akan mengambil zat-zat yang berbahaya dari darah. Zat-zat
yang diambil dari darah pun diubah menjadi urin. Urin lalu akan
dikumpulkan dan dialirkan ke ureter. Setelah ureter, urin akan ditampung
terlebih dahulu di kandung kemih. Bila orang tersebut merasakan
keinginan berkemih dan keadaan memungkinkan, maka urin yang
ditampung dikandung kemih akan di keluarkan lewat uretra (Sherwood,
2011).

Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin,


yaitu filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi. Pembentukan urin dimulai dengan
filtrasi sejumlah besar cairan yang hampir bebas protein dari kapiler
glomerulus ke kapsula Bowman. Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali
protein, di filtrasi secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat
glomerulus dalam kapsula bowman hampir sama dengan plasma.
Awalnya zat akan difiltrasi secara bebas oleh kapiler glomerulus tetapi
tidak difiltrasi, kemudian di reabsorpsi parsial, reabsorpsi lengkap dan
kemudian akan dieksresi (Sherwood, 2011).

2. Ureter
Ureter adalah organ yang berbentuk tabung kecil yang berfungsi
mengalirkan urine dari pielum ginjal kedalam kandung kemih. Pada orang
dewasa panjangnya kurang lebih 20 cm. (Muttaqin, Arif, dan Kumala Sari.
2014). Ureter terdiri dari 2 saluran pipa, masing-masing bersambung dari
ginjal ke kandung kemih. Ureter sebagian terletak dalam rongga abdomen
dan sebagian terletak dalam rongga pelvis. Lapisan dinding ureter terdiri
dari dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa), lapisan tengah otot polos
dan lapisan sebelah dalam lapisan mukosa.
Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltik
tiap 5menit sekali yang akan mendorong air kemih masuk kedalam kandung
kemih (vesika urinaria). Gerakan peristaltik mendorong urine melalui ureter
yang diekskresikan oleh ginjal dan disemprotkan dalam bentuk pancaran,
melalui osteum uretralis masuk ke dalam kandung kemih (Nuari dan
Widayati, 2017).
3. Kandung Kemih
Kandung kemih adalah organ berongga yang terdiri atas 3 lapis otot
detrusor yang saling beranyaman (Muttaqin, Arif, dan Kumala Sari. 2014).
Kandung kemih dapat mengembang dan mengempis seperti balon karet,
terletak di belakang simfisis pubis di dalam rongga panggul. Bentuk
kandung kemih seperti kerucut yang dikelilingi oleh otot yang kuat. Dinding
kandung kemih terdiri dari beberapa lapisan yaitu, peritonium (lapisan
sebelah luar), tunika muskularis, tunika submukosa, dan lapisan mukosa
(lapisan bagian dalam). Bagian vesika urinaria terdiri dari:
a. Fundus, yaitu bagian yang menghadap ke arah belakang dan bawah,
bagian ini terpisah dari rektum oleh spatium rectosivikale yang terisi
oleh jaringan ikat duktus deferent, vesika seminalis dan prostat pada
laki-laki.
b. Korpus, yaitu bagian antara verteks dan fundus
c. Verteks, bagian yang menuju ke arak muka dan berhubungan dengan
ligamentum vesika umbilikalis (Nuari dan Widayati, 2017).
Kandung kemih berfungsi menampung urine dari ureter
dankemudian mengelurkannya melalui uretra dalam mekanisme miksi.
Dalam menampung urine, kandung kemih mempunyai kapasitas maksimal,
dimana pada orang dewasa besarnya adalah kurang lebih 300-450 ml. Pada
saat kosong, kenadung kemih terletak dibelakang simfisis pubis dan pada
saat penuh berada diatas simfisis sehingga dapat dipalpasi atau diperkusi.
(Muttaqin, Arif, dan Kumala Sari. 2014).
4. Uretra
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine keluar dari
kandung kemih melalui proses miksi. Pada pria, organ ini berfungsi juga
dalam menyalurkan cairan mani. (Muttaqin, Arif, dan Kumala Sari. 2014).
Pada laki-laki uretra berjalan berkelok-kelok melalui tengah-tengah prostat
kemudian menembus lapisan fibrosa yang menembus tulang pubis kebagian
penis. Panjangnya sekitar 20 cm. Uretra pada laki-laki terdiri dari uretra
prostatica, uretra membranosa dan uretra kavernosa. Apisan uretra laki-laki
terdiri dari lapisan mukosa dan lapisan sub mukosa (Nuari dan Widayati,
2017).
Uretra pada wanita terletak dibelakang simfisis pubis, berjalan
miring sedikit kearah atas, panjangnya sekitar 3-4 cm. Paisan uretra pada
wanita terdiri dari tunika muskularis, lapisan spongeosa merupakan pleksus
dari vena-vena, dan lapisan mukosa. Muara uretra pada wanita terletak
disebelah atas vagina (antara klitoris dan vagina) dan uretra disini hanya
sebagai saluran eksresi (Nuari dan Widayati, 2017).
Uretra dilengkapi oleh sfingter uretra interna yang terletak pada
perbatasan kandung kemih dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang
terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior. Sfingter uretra interna
teridi atas otot polos yang dipersarafi oleh sistem simpatik sehingga pada
saat kandung kemih penuh, sfingter ini terbuka. Sfingter uretra eksterna
terdiri atas otot bergaris dipersarafi oleh sistem somatik yang dapat
diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat BAK sfingter ini
terbuka dan tertutup pada saat menahan urine. (Muttaqin, Arif, dan Kumala
Sari. 2014).
B. Perubahan Yang Terjadi Pada Sistem Urinaria
1. Ginjal merupakan alat untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh, melalui
urine darah yang masuk ke ginjal disaring oleh satuan (unit) terkecil dari
ginjal yang disebut nerfon (tempatnya di glomerulus). Kemudian mengecil
dan nefron menjadi atrofi, aliran darah ginjal menurun sampai 50 % fungsi
tubulus berkurang akibat kurangnya kemampuan mengkonsentrasi urin,
berat jenis urin menurun proteinuria (biasanya 1+), BUN (Blood Urea
Nitrogen) meningkat sampai 21 mg%, nilai ambang ginjal terhadap glukosa
meningkat (Priyoto, 2015).
2. Otot-otot kandung kemih menjadi lemah, kapasitas menurun sampai 200 ml
atau menyebabkan frekuensi buang air seni meningkat, vesika urinaria
susah dikosongkan pada lanjut usia sehingga meningkatnya retensi urin.
Pembesaran prostat +75 % dialami oleh pria berusia diatas 65 tahun
(Priyoto, 2015).
3. Perubahan Aliran Darah Ginjal Pada Lanjut Usia
Ginjal menerima sekitar 20% dari aliran darah jantung atau sekitar 1 liter
per menit darah dari 40% hematokrit, plasma ginjal mengalir sekitar 600
ml/menit. Normalnya 20% dari plasma disaring di glomerulus dengan GFR
120 ml/menit atau sekitar 170 liter per hari. Penyaringan terjadi di tubular
ginjal dengan lebih dari 99% yang terserap kembali meninggalkan
pengeluaran urin terakhir 1-1,5 liter per hari.
Dari beberapa penelitian pada lansia yang telah dilakukan, memperlihatkan
bahwa setelah usia 20 tahun terjadi penurunan aliran darah ginjal kira-kira
10% per dekade, sehingga aliran darah ginjal pada usia 80 tahun hanya
menjadi sekitar 300 ml/menit. Pengurangan dari aliran darah ginjal terutama
berasal dari korteks. Pengurangan aliran darah ginjal mungkin sebagai hasil
dari kombinasi pengurangan curah jantung dan perubahan dari hilus besar,
arcus aorta dan arteri interlobaris yang berhubungan dengan usia.
4. Perubahan Fungsi Ginjal Pada Lanjut Usia
Pada lansia banyak fungsi hemostasis dari ginjal yang berkurang, sehingga
merupakan predisposisi untuk terjadinya gagal ginjal. Ginjal yang sudah tua
tetap memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh dan
fungsi hemostasis, kecuali bila timbul beberapa penyakit yang dapat
merusak ginjal.
Penurunan fungsi ginjal mulai terjadi pada saat seseorang mulai memasuki
usia 30 tahun dan 60 tahun, fungsi ginjal menurun sampai 50% yang
diakibatkan karena berkurangnya jumlah nefron dan tidak adanya
kemampuan untuk regenerasi.
Beberapa hal yang berkaitan dengan faal ginjal pada lanjut usia antara lain
:
a. Fungsi konsentrasi dan pengenceran menurun.
b. Keseimbangan elektrolit dan asam basa lebih mudah terganggu bila
dibandingkan dengan usia muda.
c. Ureum darah normal karena masukan protein terbatas dan produksi
ureum yang menurun. Kreatinin darah normal karena produksi yang
menurun serta massa otot yang berkurang. Maka yang paling tepat untuk
menilai faal ginjal pada lanjut usia adalah dengan memeriksa Creatinine
Clearance.
d. Renal Plasma Flow (RPF) dan Glomerular Filtration Rate (GFR)
menurun sejak usia 30 tahun.
5. Perubahan Laju Filtrasi Glomerulus Pada Lanjut Usia
Salah satu indeks fungsi ginjal yang paling penting adalah laju filtrasi
glomerulus (GFR). Pada usia lanjut terjadi penurunan GFR. Hal ini dapat
disebabkan karena total aliran darah ginjal dan pengurangan dari ukuran dan
jumlah glomerulus. Pada beberapa penelitian yang menggunakan
bermacam-macam metode, menunjukkan bahwa GFR tetap stabil setelah
usia remaja hingga usia 30-35 tahun, kemudian menurun hingga 8-10
ml/menit/1,73 m2/dekade.
Penurunan bersihan kreatinin dengan usia tidak berhubungan dengan
peningkatan konsentrasi kreatinin serum. Produksi kreatinin sehari-hari
(dari pengeluaran kreatinin di urin) menurun sejalan dengan penurunan
bersihan kreatinin.
6. Perubahan Fungsi Tubulus Pada Lanjut Usia
Aliran plasma ginjal yang efektif (terutama tes eksresi PAH) menurun
sejalan dari usia 40 ke 90-an. Umumnya filtrasi tetap ada pada usia muda,
kemudian berkurang tetapi tidak terlalu banyak pada usia 70, 80 dan 90
tahunan. Transpor maksimal tubulus untuk tes ekskresi PAH
(paraaminohipurat) menurun progresif sejalan dengan peningkatan usia dan
penurunan GFR.
Penemuan ini mendukung hipotesis untuk menentukan jumlah nefron yang
masih berfungsi, misalnya hipotesis yang menjelaskan bahwa tidak ada
hubungan antara usia dengan gangguan pada transpor tubulus, tetapi
berhubungan dengan atrofi nefron sehingga kapasitas total untuk transpor
menurun.
7. Perubahan Pengaturan Keseimbangan Air Pada Lanjut Usia
Perubahan fungsi ginjal berhubungan dengan usia, dimana pada
peningkatan usia maka pengaturan metabolisme air menjadi terganggu yang
sering terjadi pada lanjut usia. Jumlah total air dalam tubuh menurun sejalan
dengan peningkatan usia. Penurunan ini lebih berarti pada perempuan
daripada laki-laki, prinsipnya adalah penurunan indeks massa tubuh karena
terjadi peningkatan jumlah lemak dalam tubuh. Pada lanjut usia, untuk
mensekresi sejumlah urin atau kehilangan air dapat meningkatkan
osmolaritas cairan ekstraseluler dan menyebabkan penurunan volume yang
mengakibatkan timbulnya rasa haus subjektif. Pusat-pusat yang mengatur
perasaan haus timbul terletak pada daerah yang menghasilkan ADH di
hypothalamus.
Pada lanjut usia, respon ginjal pada vasopressin berkurang bila
dibandingkan dengan usia muda yang menyebabkan konsentrasi urin juga
berkurang, Kemampuan ginjal pada kelompok lanjut usia untuk mencairkan
dan mengeluarkan kelebihan air tidak dievaluasi secara intensif. Orang
dewasa sehat mengeluarkan 80% atau lebih dari air yang diminum (20
ml/kgBB) dalam 5 jam.
C. Dampak Yang Terjadi Akibat Perubahan Sistem Urinaria
1. Inkontinensia Urine
a. Pengertian
Inkontenensia terjadi akibat gangguan neurologis, atau mekanis pada
sistem yang mengontrol fungsi berkemih normal. (Braunwald, dkk.
2002). Merupakan pengeluaran urine secara tidak sadar. sering pada
orang tua dan menyebabkan meningkatnya risiko infeksi saluran kemih,
masalah psikologis dan isolasi sosial (Fatimah, 2010).
b. Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada
anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain disebabkan melemahnya
otot dasar panggul, kebiasaan mengejan yang salah ataupun karena
penurunan estrogen. Kelemahan otot dasar panggul dapat terjadi karena
kehamilan, setelah melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia
lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan
tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar
panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga
dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan
jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat
meningkatkan risiko terjadinya Inkontinensia urin. Dengan
menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50
tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu
saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya Inkontinensia
urin. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat
operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan
Inkontinensia urin. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan
mengalami Inkontinensia urin, karena terjadi perubahan struktur
kandung kemih dan otot dasar panggul. Ini mengakibatkan seseorang
tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi ( gerakan )
abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung
kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih.
Resiko Inkontinensia urin meningkat pada wanita dengan nilai indeks
massa tubuh yang lebih besar, riwayat histerektomi, infeksi urin, dan
trauma perineal. Penyebab Inkontinensia urin antara lain terkait dengan
gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi
urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan / keinginan ke toilet
( Martin dan Frey, 2005 ; Setiati dan pramantara 2007 ).
c. Manifestasi Klinis
1. Inkontinensia stress : Keluarnya urin selama batuk, mengedan, dan
sebagainya. Gejala-gejala ini sangat spesifik untuk inkontinensia
stress.
2. Inkontinensia urgensi : ketidak mampuan menahan keluarnya urin
dengan gambaran seringnya terburu-buru untuk berkemih.
3. Enuresis nocturnal : 10% anak usian 5 tahun dan 5% anak usia 10
tahun mengompol selama tidur. Mengompol pada anak yang lebih
tua merupakan sesuatu yang abnormal dan menunjukan adanya
kandung kemih yang tidak stabil.
4. Gejala infeksi urine (frekuensi, disuria, nokturia), obstruksi(pancara
lemah, menetes), trauma (termasuk pembedahan, misalnya reseksi
abdominoperineal), fistula (menetes terus menerus), penyakit
neurologis (disfungsi seksual atau usus besar) atau penyakit sistemik
(misalnya diabetes) dapat menunjukan penyakit yang mendasari.
5. Ketidak nyamanan daerah pubis.
6. Distensi vesika urinaria.
7. Ketidak sanggupan untuk berkemih.
8. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine (20-50 ml).
9. Ketidak seimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan
asupannya.
10. Meningkatkan keresahan dan keinginanan berkemih.
11. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.
12. Tidak merasakan urine keluar.
13. Kandung kemih terasa penuh walaupun telah buang air kecil. (Potter
& Perry: 2006)
d. Jenis Inkontinensia
Menurut Fatimah (2010) inkontinensia dibagi menjadi inkontinensia akut
dan kronik.
1. Inkontinensia akut atau transient bersifat tiba-tiba, biasanya
berhubungan dengan kondisi pengobatan atau pembedahan.
Penyebab inkontinensia akut antara lain mobilitas teratas, fecal
impaction, delirium, infeksi saluran kemih, dm tak terkontrol,
hiperkalsemia, pengobatan antikolinergik/alpha bloker, diurektic,
paikotropik, narkotika dan alkohol.
2. Inkontinensia kronik atau persisten terbagi menjadi stress
inkontinensia, urge inkontinensia, overflow inkontinensia dan
fungsional inkoninensia. Stress inkontinensia biasa terjadi pada
lansia wanita. Terjadi akibat adanya kelemahan otot-otot di sekitar
uretra karena kehamilan, kelahiran per vaginam, trauma
pembedahan, obesitas dan batuk kronis. Pada pria stress
inkontinensia tidak biasa terjadi tetapi dapat terjadi apabila ada
pembedahan prostate dan terapi radiasi. Urge inkontinensia pada
lansia biasanya dihubungkan dengan ketidakseimbangan otot
destrusor akibat dari tumor, batu, juga stroke dan penyakit
parkinson. Dihubungkan dengan nokturia. Overflow inkontinensia
ditandai dengan keluhan sering miksi dengan volume urine yang
sedikit, sulit memulai miksi dan merasa tidak lampias. Biasanya
terjadi pada neurophaty diabetic, injuri tulang belakang, hipertropi
prostate dan multiple sclerosis. Fungsional inkontinensia terjadi
akibat ketidakmampuan ke toilet. Akibat faktor fisik, mental,
psikologis dan lingkungan (Fatimah, 2010).
e. Penatalaksanaan Inkontinensia Urine
1. Bladder training.
2. Latihan otot-otot dasar pelvic (Kegel 's exercise).
3. Biofeedback.
4. Toileting terjadwal.
5. Penggunaan pads.
6. lndwelling kateter, jika retensi urine tidak dapat dikoreksi secara
medis/pembedahan dan untuk kenyamanan klien terakhir.
D. Pengaruh Perubahan Sistem Urinaria Terhadap Psikologis
Kelainan Inkontinensia urin sendiri tidak mengancam jiwa penderita, tetapi
berpengaruh pada kualitas hidup yang disebabkan oleh faktor gangguan
psikologis dan faktor sosial yang sulit diatasi. Penderita merasa rendah diri
karena selalu basah akibat urin yang keluar, mungkin pada saat batuk, bersin,
mengangkat barang berat, bersanggama, bahkan kadang pada saat beristirahat
dan setiap saat harus memakai kain pembalut.
a. Hubungan antara inkontinensia urine dengan depresi
Depresi merupakan penyakit mental yang sering dijumpai pada usia lanjut.
Prevalensi terbesar terjadi pada usia lanjut diatas 60 tahun. Beberapa faktor
seperti : faktor biologis, psikologis, sosial, penyakit fisis, gangguan
neurologis, taraf kesehatan yang menurun, kehilangan pasangan hidup dan
rasa aman serta lingkungan dapat menjadikan usia lanjut rentan mengalami
gangguan depresi. Gangguan kesehatan yang berkelanjutan dan
terusmenerus dapat memperberat depresi itu sendiri. Pada usia lanjut
terjadi gangguan kesehatan dan penurunan fungsi tubuh dan kognitif.
Salah satu gangguan kesehatan yang sering dijumpai pada usia lanjut
adalah Inkontinensia urin. Namun demikian gangguan kesehatan ini
seringkali tidak mendapatkan perhatian dan perawatan medis yang
seharusnya. Pandangan salah yang berpendapat bahwa Inkontinensia urin
merupakan bagian normal dari proses menua menyebabkan masalah ini
lepas dari perhatian kalangan masyarakat maupun tenaga medis. Keadaan
ini menjadikan masalah Inkontinensia urin berkembang menjadi lebih
buruk dan berakhir pada komplikasi medis yang lainnya. Salah satunya
komplikasinya berupa gangguan psikologis yang berupa depresi. Tingkat
berat dan ringannya depresi ini dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti
kematangan individu, tingkat pendidikan, kepribadian mental dan
progesivitas penyakit yang sedang dialami. Inkontinesia urin
berkepanjangan dapat membawa pada kondisi atau status depresi yang
semakin berat dan pada akhirnya akan menimbulkan permasalahan baru
seperti gangguan aktivitas dan pekerjaan, interaksi sosial, pola tidur,
masalah seksual yang semua itu akan mengurangi kualitas hidup usia
lanjut ( Setiati et al, 2007).
Menurut penelitian yang dilakukan Devrisa Nova Fernandes (2010)
tentang “Hubungan Inkontinensia Urine Dengan Derajat Depresi Wanita
Usia Lanjut” didapatkan hasil adanya hubungan antara Inkontinensia urin
dengan derajat depresi pada wanita usia lanjut. Penelitian ini dilakukan
pada tahun 2009 dengan 39 responden didapatkan dari Panti Dharma Bakti
dan sisanya sebesar 34 didapatkan dari Posyandu Lansia binaan
Puskesmas Manahan Surakarta.
Dalam penelitian ini, peneliti ingin membuktikan teori yang menyebutkan
bahwa Inkontinensia urin yang terjadi pada usia lanjut dapat menyebabkan
munculnya depresi. Dan peneliti lebih mengkhususkan untuk mengetahui
sejauh mana hubungan antara bertambahnya tingkat Inkontinensia urin
dengan derajat depresi yang dialami wanita usia lanjut. Beberapa hal di
bawah ini disimpulkan peneliti ikut mempengaruhi hasil penelitian,
diantaranya :
a. Tingkat keparahan/progesivitas penyakit ( Inkontinensia urin ).
Semakin tingkat keparahan dari penyakit maka akan semakin
memberikan beban psikologis ( depresi, malu, rendah diri dan
menjauh dari pergaulan sosial ).
b. Kondisi Inkontinensia urin yang berat memberikan gangguan
mobilitas dan beban psikologis bagi seseorang.
c. Makin berat tingkatan Inkontinensia urin yang terjadi maka semakin
membutuhkan perawatan medis yang lebih ( dampak ekonomi, sosial
dan mental semakin besar )
d. Penyakit lain yang dialami. Penyakit fisik ( tubuh ) yang berat, kronis
dan menahun akan membawa kondisi mental individu yang
bersangkutan menjadi stres, putus asa dan tidak memiliki gairah
hidup.
DAFTAR PUSTAKA

Bandiyah, Siti. 2009. Lanjut usia dan keperawatan gerontik. Yogyakarta : Nuha
Medika

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8
Volume 2. Jakarta: EGC

Fatimah. 2010. Merawat Manusia Lanjut Usia Suatu Pendekatan Proses


Keperawatan Gerontik. Jakarta : CV Trans Info Media.

Nuari, Nian Afrian, Dhina Widayati. 2017. Gangguan Pada Sistem Perkemihan &
Penatalaksanaan Keperawatan. Yogyakarta: Deepublish Publisher

Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Konsep, Proses, dan
Praktik. Jakarta: EGC

Price SA, Wilson LM. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit,
edisi ke-6. Jakarta : EGC.

Priyoto. 2015. Nursing Intervention Classification (NIC) dalam Keperawatan


Gerontik. Jakarta: Salemba Medika

Setiati S, Harimurti K, Roosheroe AG. 2007. Proses Menua dan Implikasi


Kliniknya. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai