Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

SUNAN GUNUNG JATI


TUGAS AGAMA ISLAM

Disusun oleh:

Vika Diyanti /35

X-1
SMA Negeri 8 Surabaya
2022-2023
DAFTAR ISI

Halaman Judul .................................................................................................................... 1


Daftar Isi ............................................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 3
B. Rumusan Masalah .................................................................................................. 3
C. Tujuan ..................................................................................................................... 3
BAB II ISI
A. Biografi Sunan Gunung Jati .................................................................................... 4
B. Silsilah dan Keterkaitan antar Wali ........................................................................ 4
C. Sejarah Perjuangan dan Metode Dakwah .............................................................. 5
D. Peran Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan ajaran islam ................................. 7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam menyebar di berbagai tempat di Indonesia tidak dengan sendirinya tetapi
disebarkan oleh tokoh-tokoh Islam yang salah satunya oleh para Wali Songo. Diantara
para Wali Songo yaitu Sunan Gunung Djati yang menyebarkan agama Islam di
Cirebon.Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari sembilan orang penyebar agama
Islam terkenal di Pulau Jawa yang dikenal dengan sebutan Wali Sanga. Kehidupannya
selain sebagai pemimpin spriritual, sufi, mubaligh dan Da’i pada zamannya juga
sebagai pemimpin rakyat, karena beliau menjadi raja di Kasultanan Cirebon. Bahkan
sebagai sultan pertama Kasultanan Cirebon yang semula bernama Keraton
Pakungwati.
Sunan Gunung Djati mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya
Syekh Maulana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh
Datuk Kahfi ia meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi
masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu
wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji untuk umat Islam.
Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuwana membangun kota
Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Sunan
Gunung Djati mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin
perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.
Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah
masa-masa paling sulit, baik bagi Sunan Gunung Djati dan Raden Patah karena proses
Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh
(di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan
external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia Tenggara.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Biografi Sunan Gunung Jati ?
2. Bagaimana silsilah Sunan Gunung Jati dan Keterkaitan antar Wali
3. Bagaimanakah sejarah Perjuangan dan Metode Dakwah Sunan Gunung Jati
4. Bagaimana Peran Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan ajaran islam

C. Tujuan
1. Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata pelajaran Agama Islam.
2. Agar dapat mengetahui bagaimana Biografi dari Sunan Gunung Jati.
3. Agar mengetahui peran yang dijalankan Sunan Gunung jati dalam penyebaran
Agama Islam.
4. Agar mengetahui metode dakwah Sunan Guung Jati.
BAB II
ISI

A. Biografi Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati, lahir dengan nama Syarif Hidayatullah atau Sayyid Al-
Kamil adalah salah seorang dari Walisongo, ia dilahirkan Tahun 1448 Masehi dari
pasangan Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alam dan Nyai Rara Santang,
Putri Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran (yang setelah
masuk Islam berganti nama menjadi Syarifah Mudaim). Syarif Hidayatullah sampai
di Cirebon pada tahun 1470 Masehi, yang kemudian dengan dukungan Kesultanan
Demak dan Pangeran Walang sungsang atau Pangeran Cakrabuana (Tumenggung
Cirebon pertama sekaligus uwak Syarif Hidayatullah dari pihak ibu), ia dinobatkan
menjadi Tumenggung Cirebon ke-2 pada tahun 1479 dengan gelar Maulana Jati.
Nama Syarif Hidayatullah kemudian diabadikan menjadi nama Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta di daerah Tangerang Selatan, Banten.
Sedangkan nama Sunan Gunung Jati diabadikan menjadi nama Universitas Islam
negeri di Bandung, yaitu Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, dan Korem
063/Sunan Gunung Jati di Cirebon.

B. Silsilah dan Keterkaitan antar Wali


Syarif Hidayatullah adalah putra dari Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali
Nurul Alam yang menikah dengan Nyi Mas Rara Santang putri dari Jayadewata yang
bergelar Sri Baduga Maharaja yang setelah menikah dengan Syarif Abdullah bergelar
Syarifah Mudaim. Ayah Syarif Hidayatullah adalah seorang penguasa Mesir, putra
dari Ali Nurul Alim bin Jamaluddin Akbar al-Husaini, seorang keturunan dari Sayyid
Abdul Malik Azmatkhan dan Alwi Ammul Faqih
Pada masa lalu terdapat puluhan naskah yang menjelaskan tentang silsilah
Syarif Hidayatullah yang diklaim oleh beberapa pihak dan menimbulkan
kesimpangsiuran sehingga pada masa pertemuan agung para cendekiawan, sejarawan,
bangsawan dan alim ulama senusantara dan mancanegara (bahasa Cirebon: Gotra
Sawala) pertama yang dimulai pada tahun 1677 di Cirebon maka Pangeran Raja
Nasiruddin (bergelar Wangsakerta) mengadakan penelitian dan penelusuran serta
pengkajian naskah-naskah tersebut bersama para ahli-ahli di bidangnya.
Hasilnya pada tahun 1680 disusunlah kitab Negara Kertabumi yang di
dalamnya memuat bab tentang silsilah Syarif Hidayatullah (Tritiya Sarga) yang sudah
diluruskan dari kesimpangsiuran klaim oleh banyak pihak.

C. Sejarah Perjuangan dan Metode Dakwah


Pada masa awal kedatangannya ke Cirebon, Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati) bersama dengan Pangeran Walangsungsang sempat melakukan syiar
Islam di wilayah Banten yang pada masa itu disebut sebagai Wahanten, Syarif
Hidayatullah dalam syiarnya menjelaskan bahwa arti jihad (perang) tidak hanya
dimaksudkan perang melawan musuh-musuh saja namun juga perang melawan hawa
nafsu, penjelasan inilah yang kemudian menarik hati masyarakat Wahanten dan
Pucuk Umun (penguasa) Wahanten Pasisir. Pada masa itu di wilayah Wahanten
terdapat dua penguasa yaitu Sang Surosowan (anak dari Prabu Jaya Dewata atau Silih
Wangi) yang menjadi Pucuk Umun (penguasa) untuk wilayah Wahanten Pasisir dan
Arya Suranggana yang menjadi Pucuk Umun untuk wilayah Wahanten Girang.
Di wilayah Wahanten Pasisir Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nyai
Kawung Anten (putri dari Sang Surosowan), keduanya kemudian menikah dan
dikaruniai dua orang anak yaitu Ratu Winaon (lahir pada 1477 M) dan Pangeran
Maulana Hasanuddin (Pangeran Sabakingkin: nama pemberian dari kakeknya Sang
Surosowan) yang lahir pada 1478 M.Sang Surosowan walaupun tidak memeluk
agama Islam namun sangat toleran kepada para pemeluk Islam yang datang ke
wilayahnya.
Syarif Hidayatullah kemudian kembali ke Kesultanan Cirebon untuk
menerima tanggung jawab sebagai penguasa Kesultanan Cirebon pada 1479 setelah
sebelumnya menghadiri rapat para Wali di Tuban yang menghasilkan keputusan
menjadikan Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin dari para Wali.
Metode Dakwah Sunan Gunung Jati
1. Metode maw’izhatul hasanah wa mujadalah bilati hiya ahsan. Dasar metode ini
merujuk pada al-Quran surat An-Nahl ayat 125, yang artinya: “Seluruh manusia
kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui
orangorang yang mendapat petunjuk”.
2. Metode Al-Hikmah sebagai sistem dan cara berda’wah para wali yang merupakan
jalan kebijaksanaan yang diselenggarakan secara populer, atraktif, dan sensasional.
Cara ini mereka pergunakan dalam menghadapi masyarakat awam. Dengan tata
cara yang amat bijaksana, masyarakat awam itu mereka hadapi secara masal,
kadangkadang terlihat sensasional bahkan ganjil dan unik sehingga menarik
perhatian umum.
3. Metode Tadarruj atau Tarbiyatul Ummah, dipergunakan sebagai proses klasifikasi
yang disesuaikan dengan tahap pendidikan umat, agar ajaran Islam dengan mudah
dimengerti oleh umat dan akhirnya dijalankan oleh masyarakat secara merata.
Metode ini diperhatikan setiap jenjang, tingkat, bakat. Materi dan kurikulumnya,
tradisi ini masih tetap dipraktekan dilingkungan pesantren.
4. Metode pembentukan dan penanaman kader serta penyebaran juru da’wah
keberbagai daerah. Tempat yang dituju ialah daerah yang sama sekali kosong dari
pengaruh Islam.
5. Metode kerja sama, dalam hal ini diadakan pembagian tugas masing-masing para
wali dalam mengIslamkan masyarakat tanah Jawa. Misalnya Sunan Gunung Jati
bertugas menciptakan do’a mantra untuk pengobatan lahir batin, menciptakan hal-
hal yang berkenaan dengan pembukaan hutan, transmigrasi atau pembangunan
masyarakat desa.
6. Metode musyawarah, para wali sering berjumpa dan bermusyawarah membicarakan
berbagai hal yang bertalian dengan tugas dan perjuangan mereka. Sementara dalam
pemilihan wilayah da’wahnya tidaklah sembarangan, dengan mempertimbangkan
faktor geostrategi yang sesuai dengan kondisi zamannya.

Hal yang memberi kesan mereka sebagai Da’i juga berpropesi sebagai
pedagang seperti dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sunan Gunung Jati
sendiri dilingkungan masyarakatnya selain sebagai penda’wah, juga berperan
sebagai politikus dan juga berperan sebagai budayawan.

D. Peran Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan ajaran islam


Proses penyebaran dan perluasan Islam di Jawa Barat lebih banyak dikisahkan
melalui dua gerbang penyebaran yaitu Cirebon dan Banten. Didua daerah itu dikuasai
oleh seorang raja juga seorang ulama yaitu Sunan Gunung Djati. Karena dua
kekuasaan yang diperankannya yaitu kekuasaan politik dan agama, dia mendapatkan
gelar Ratu Pandita.
Dibawah kepemimpinannya dilakukan penyebaran agama Islam di Jawa Barat
atau Tatar Sunda dari dua pusat kekuasaan Islam yaitu Cirebon dan Banten. Menurut
Hoesen Djajadiningrat (1913), setelah Sunan Gunung Djati jadi penguasa Kerajaan
Islam Cirebon, secara damai ia mengajarkan dan menyebarkan agama Islam. Pada
saat itu, beribu-ribu orang berdatangan kepada Sunan Gunung Djati untuk berguru
agama Islam.
Pada awalnya kepala-kepala daerah di sekelilingnya mencoba menentang
gerakan itu. Tetapi mereka melihat tentangannya tidak berguna, mereka membiarkan
diri mereka sendiri terseret oleh gerakan tersebut. Para bupati seperti Galuh,
Sukapura, dan Limbangan menerima dan memelukagama Islam dan menghormati
Sunan Gunung Djati. Para penguasa di sekitar Cirebon menganggap bahwa Sunan
Gunung Djati adalah sebagai peletak dasar bagi dinasti sultan-sultan Cirebon.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Sunan Gunung Djati menggunakan
sistem desentralisasi. Adapun pola kekuasaannya Kerajaan Islam Cirebon
menggunakan pola Kerajaan Pesisir, di mana pelabuhan mempunyai peranan yang
sangat penting dengan dukungan wilayah pedalaman menjadi penunjang yang vital.
Menyadari posisi Cirebon sebagai pusat penyebaran agama Islam, pusat kekuasaan
politik, serta pusat perekonomian yang sangat strategis, maka Sunan Gunung Jati
mempercepat pengembangan kota tersebut. Untuk hal itu, maka ia menjalin hubungan
dengan kerajaan Islam pesisir utara Jawa yaitu Kerajaan Islam Demak.
Untuk sarana politik, Sunan Gunung Jati memperluas bangunan Istana
Pakungwati sebagai tempat pusat kegiatan pemerintahan. Kemudian di bidang
ekonomi, Sultan Cirebon selain memperluas jaringan perdagangan, untuk mendukung
kegiatan ekonomi dibuat jalan-jalan antara istana ke pelabuhan Muara Jati dan pasar.
Setelah Cirebon berada dibawah kekuasaan kesultanan Islam yang dipimpin
oleh Syarif Hidayatullah atau Sayid Kamil, atau Syeikh Djati, atau Sunan Gunung
Jati, maka kota tersebut tumbuh menjadi pusat kekuatan politik Islam di Jawa Barat
atau Tatar Sunda. Selain itu Cirebon dibawah kekuasaan Syarif Hidayatullah selain
sebagai pusat kekuasaan kesultanan Islam juga merupakan pusat penyebaran agama
Islam dan sekaligus sebagai pusat perdagangan yang menjadi lintasan perdagangan
internasional yaitu lintasan perdagangan jarak jauh (long dintance trade line) yang 36
dikenal perdagangan Jalur Sutra. Dengan demikian, maka dalam waktu singkat
dibawah kekuasaan Sunan Gunung jati Cirebon tumbuh menjadi sebuah kota yang
berkembang dari sebelumnya.
Struktur pemerintahan Kerajaan Islam Cirebon menurutCarita Purwaka
Caruban Nagari, terdiri dari Tumenggung sebagai pemimpin tertinggi, kemudian
penasehat, dan pimpinan tentara atau lasykar yaitu para Adipati, kemudian para
pemimpin wilayah yang lazim disebut dengan Ki Gedeng.Adapun program-program
yang dijalankan dalam memipin pemerintahan di Cirebon, menurut Sunarjo (1983)
Sunan Gunung Djati adalah intensitas pengembangan agama Islam ke segenap
penjuru Tatar Sunda. Sedangkan di bidang ekonomi Sultan menekankan bidang
perdagangan terutama dengan nagari-nagari di wilayah Nusantara. Selain itu
dikembangkan pula hubungan perdagangan dengan negeri Campa, Malaka, Cina,
India, dan Arab. Setelah membangunan kekuatan-kekuatan ekonomi.
Usaha dakwah yang dilakukan Sunan Gunung Djati sesuai tugasnya sebagai
guru agama islam, yang kemudian menjadi anggota wali mula-mula dilakukan di
Gunung Sembung dengan memakai nama Sayyid Kamil. Atas bantuan Haji Abdullah
Iman alias Pangeran Cakrabuwana, Kuwu Caruban, Sunan Gunung Djati membuka
pondok dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk sekitar dan namanya disebut
Maulana Jati atau Syeikh Jati. Tidak lama kemudian, datanglah Ki Dipati Keling
beserta Sembilan puluh delapan orang pengiringnya, menjadi pegikut Sunan Gunung
Jati.
Salah satu strategi dakwah Sunan Gunung Jati dalam memperkuat kedudukan,
sekaligus memperluas hubungan dengan tokoh-tokoh berpengaruh di Cirebon adalah
melalui pernikahan sebagaimana hal itu telah dicontohkan Nabi Muhammad Saw dan
para sahabat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Syarif Hidayatullah atau yang biasa dikenal sebagai Sunan Gunung Djati lahir
dari pasangan Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alim dan Nyai Rara
Santang. Sunan Gunung Djati lahir sekitar tahun 1450 M di Mekkah ketika Sultan
Syarifah Abdullah dan Nyai Rara Santang sedang berziarah di Mekkah dan Madinah,
namun ada juga yang menyebutkan bahwa ia lahir pada sekitar 1448 M. Sultan
Syarifah adalah raja dari kerajaan Mesir,sedangkan Nyai Rara Santang merupakan
putri Prabu Siliwangi.
Sejak kecil Sunan Gunung Djati tekun belajar agama. Selain dari orang
tuanya, ia juga belajar dari Syekh Kahfi, seorang muballigh asal Baghdad yang juga
menjadi guru pamannya, Pangeran Cakrabuana. Tak puas mendalami agama di
pesantren Syekh Kahfi, Sunan Gunung Djati pergi ke Timur Tengah. Sunan Gunung
Djati mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat
berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan
atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal
sebagai Kasultanan Pakungwati.
Salah satu strategi dakwah Sunan Gunung Jati dalam memperkuat kedudukan,
sekaligus memperluas hubungan dengan tokoh-tokoh berpengaruh di Cirebon adalah
melalui pernikahan sebagaimana hal itu telah dicontohkan Nabi Muhammad Saw dan
para sahabat.
DAFTAR PUSTAKA

Sunan Gunung Jati - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


P. S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon. Jakarta: Depdikbud.
Sunyoto Agus, 2016, ATLAS WALISONGO, Tangerang Selatan : Pustaka IIMaN dan
LESBUMI PBNU.
https://www.historyofcirebon.id/2018/01/biografi-sunan-gunung-jati-lengkap.html
Dadan Wildan (2003), Melacak Metode Da’wah Wali Songo Di Tanah Jawa, Dalam
Risalah No. 6, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai