Anda di halaman 1dari 5

CONTOH-CONTOH KASUS – PKPA PPHI, 8 JANUARI 2022:

KASUS-KASUS KETENAGAKERJAAN & PENYELESAIAN SENGKETANYA


Penulis berdasarkan pengalaman dalam melakukan praktik ketenagakerjaan sebagai suatu
profesi mencoba menghadirkan beberapa kasus-kasus ketenagakerjaan yang mana substansi
kasus-kasus tersebut berada dalam ranah hukum perdata, pidana, dan tata usaha negara,
sebagai berikut :
i. Ranah Hukum Perdata:
Perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang mengikatkan dirinya dalam
suatu perjanjian termaksud, hal ini selaras dengan apa yang disebutkan pada pasal 1338
KUH Perdata dimana perjanjian sepanjang telah memenuhi syarat sahnya (1320 KUH
Perdata), maka wajib dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh para pihak yang berjanji
selayaknya suatu undang-undang bagi mereka. Hal manakala terjadi pengingkaran atas
perjanjian ini, maka dapat diartikan sebagai suatu bentuk wanprestasi (ingkar janji) atau
perbuatan melawan hukum (PMH).
Seorang tenaga kerja telah mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian kerja dengan status
hubungan kerja kontrak (PKWT) dan telah menyepakati dengan penandatanganan
perjanjian kerja tersebut pada tanggal 1 November 2013 untuk jangka waktu 1 tahun.
Dalam salah isi pasal perjanjian disebutkan bahwa hubungan kerja dimulai pada tanggal 1
Desember 2013. Pada perjalanannya, si tenaga kerja sebelum pelaksanaan tanggal
hubungan kerja dimulai memberikan informasi secara verbal kepada pihak perusahaan
bahwa dirinya tidak jadi untuk bekerja dengan alasan tidak disetujui oleh pimpinan
perusahaan yang lama untuk keluar, dan ditawarkan dengan remunerasi yang lebih berupa
promosi dan peningkatan gaji dan benefit. Si- tenaga kerja menuliskan pengunduran
dirinya secara tertulis dan menyerahkan ke calon atasannya melalui pihak ke-3 (cleaning
service) pada perusahaan tersebut dan terserahkan sudah pada saat tanggal hubungan
kerja dimulai (di atas tanggal 7 bulan Desember 2013). HRD perusahaan calon tenaga kerja
berdasarkan informasi dan koordinasi dengan atasan calon karyawan tersebut meminta
untuk dikirimkan surat panggilan pertama atas si calon karyawan karena tidak hadir pada
hari pertama dan seterusnya, sehingga dilakukan pengiriman surat panggilan kedua atas
ketidakhadiran yang melebihi 5 hari kerja sehingga apabila tidak hadir sesuai dengan waktu
yang ditentukan dalam surat panggilan kedua, maka akan dikualifikasikan bahwa calon
tenaga kerja tersebut melakukan pengunduran diri akibat kemangkiran 5 hari kerja. Atas
konsekuensi ini, maka penguduran diri si calon tenaga kerja tersebut mempunyai implikasi
terhadap konsekuansi penalty atas kontrak yang telah ditandatangani, dan wajib
membayar atas tidak terpenuhinya bulan selama kontrak dikalikan upah yang disepakati.
PENANGANAN KASUS :
Setelah pelayangan surat panggilan ke-2 tidak terealisasi dengan pertemuan sesuai dengan
tanggal dan tempat yang telah disepakati, maka pihak perusahaan masih dapat melakukan
pemanggilan secara verbal melalui kontak telephone atau email ke calon tenaga kerja
untuk membicarakan permasalahan yang terjadi dan mencari jalan keluarnya bagaimana
berdasarkan asas musyawarah untuk mufakat. Perusahaan akan mempertanyakan
kewajiban tenaga kerja atas perjanjian yang telah disepakatinya dan apabila tidak dapat
dipenuhi, maka tenaga kerja tersebut wajib memenuhi kewajibannya atas konsekuesi
penalty yang diatur dalam perjanjian yang telah disepakati. Apabila penanganan secara
bipartit1 ini tidak dapat diselesaikan maka, pihak perusahaan dapat meneruskan
permasalahan ini dengan mengajukan permohonan untuk proses mediasi pada tingkat
keterlibatan pihak pemerintah yang dalam hal ini dapat diajukan ke Kantor Suku Dinas
Tenaga Kerja di wilayah Kabupaten atau Kotamadya atau langsung ke tingkat Kantor Dinas
Propinsi setempat, berdasarkan tempat terjadinya perkara atau locus delicti2 . Perlu
diingatkan bahwa proses mediasi merupakan salah satu cara dari proses penyelesaian
sengketa di luar pengadilan atau Alternative Dispute Resolution (ADR) 3 yang wajib
dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa hingga dikelaurkannya suatu anjuran dari
mediator sebagai akhir proses bahwa apakah proses berakhir secara sepakat atau tidak
sepakat. Manakala proses tersebut brakhir secara tidak sepakat, maka salah satu pihak
dapat melanjutkan permasalahan ini ke tingkat Pengadilan Hubungan Industrial di wilayah
terjadinya proses sengketa melalui Pengadilan Negeri setempat. Hingga akhirnya
permasalahan ketenagakerjaan dalam kasus yang disebutkan di atas dapat saja masuk
hingga pada tingkat pengajuan Kasasi di Mahkamah Agung atau permohonan dari pihak
yang melakukan permohonan ke tingkat Kasasi tersebut. Penulis dalam penulisan ini
memang tidak berbicara secara detil bagaimana proses dalam fase Mediasi, Pengadilan
Hubungan Industrial, dan Mahkamah Agung. Tetapi dalam kesempatan ini penulis akan
menginformasikan bahwa pada fase Mediasi dan Pengadilan Hubungan Industrial,
keputusan yang dihasilkan belum memiliki kekuatan hukum tetap sehingga masih dapat
diajukan gugatan dalam bentuk Kasasi ke Mahkamah Agung yang apabila tidak dihadirkan
bukti baru atau Nouvum maka Putusan Mahkamah Agung menjadi Inkrach (mempunyai
kekuatan untuk dilakukan ekesekusi).
ii. Ranah Hukum Pidana:
Dalam kasus ketenagakerjaan yang masuk ke dalam ranah hukum pidana yang penulis
sampaikan dalam penulisan ini mengangkat suatu kajian tentang terjadinya suatu
penggelapan yang dilakukan oleh pekerja yang diakibatkan karena adanya kewenangan
yang dimilikinya dalam suatu posisi tersebut.
Kewenangan atas suatu jabatan merupakan otoritas yang dimiliki oleh seorang pekerja
manakala dia dipercayakan memegang suatu jabatan yang didasarkan atas suatu Perjanjian
Kerja dan atau Surat Keputusan. Dalam kewenangan ini terkandung suatu nilai dan
moralitas4 atas suatu profesi yang dilakukan oleh pekerja atas kedudukan yang dimilikinya.
Dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada pasal 374 Bab XXIV tentang

1
Bipartit adalah proses penyelesaian suatu permasalahan yang melibatkan pihak-pihak yang bersengketa dimana
prosesnya diharapkan dapat menghasilkan win-win solution sebagai suatu proses akhir dan tidak diteruskan pada
tingkat Tripartit yang lebih melibatkan pihak diluar pihak-pihak terkait yang bersengketa – Kesimpulan oleh Penulis
yang diambil dari sejumlah kasus-kasus yang ditangani dalam permasalahan ketenagakerjaan baik sebagai
professional maupun sebagai konsultan.
2
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata – tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan (Jakarta: Sinar Grafika, April 2008), hal. 193 – 194.
3
Susanti Adi Nugroho, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa (Jakarta: Telaga Ilmu Indonesia, April
2009), hal. 23 – 50.
4
Sidharta, Moralitas Profesi Hukum (Bandung: Refika Aditama, Maret 2009), hal. 43  moralitas diartikan sebagai
keseluruhan norma, nilai, dan sikap moral seseorang atau sebuah masyarakat. Penilaian manusia secara
keseluruhan yang di dalamnya menyangkut nilai (moral).
Penggelapan yang menyebutkan bahwa penggelapan yang dilakukan oleh orang yang
penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena
pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun. Seorang pekerja yang atas kewenangan yang dimiliki sebagai akibat
dari adanya hubungan kerja yang melakukan tindakan penggelapan dengan telah memiliki
2 dari 3 syarat pembuktian yakni : adanya barang bukti, adanya saksi, dan adanya
pengakuan dari si pelaku, maka diminta untuk melakukan pengunduran diri dari
perusahaan. Hal ini (meminta untuk melakukan pengunduran diri) adalah sesuatu yang
sulit untuk dilaksanakan mengingat bahwa memaksa seseorang untuk melakukan
pengunduran diri adalah sesuatu hal yang memerlukan usaha dan trik yang jitu dalam
proses negosiasi yang dilakukan.
PENANGAN KASUS :
Penulis dalam pengalamannya telah beberapa kali menangani kasus-kasus seperti ini
dimana hasilnya dapat diakhiri dengan pengunduran diri oleh pekerja. Selanjutnya,
bagaimana jika si pekerja tidak mau melakukan pengunduran diri? Penulis dengan
bertindak sebagai eksekutor dalam kasus-kasus seperti ini melakukan persuasif kepada
pelaku agar dapat memberikan pernyataan bahwa si pelaku mengakui telah melakukan hal
penggelapan dalam kewenangan yang dimilikinya. Apabila 2 bukti penggelepan telah
dimiliki maka akan dilakukan pengancaman kepada pelaku bahwa apabila tidak mau
mengundurkan diri, maka permasalahan ini akan dilaporkan kepada pihak Kepolisian untuk
diusut lebih lanjut secara ketentuan hukum acara pidana yang berlaku. Biasanya penulis
selaku eksekutor selalu memberikan gambaran terkait lamanya proses dan hal-hal yang
perlu diinformasikan terkait adanya tekanan sosial, material, dan ancaman hukum yang
akan dilalui oleh pelaku. Apabila pilihannya adalah melalui proses hukum secara tuntutan
pidana melalui delik aduan ke pihak Kepolisian, maka penulis meminta pihak pelapor untuk
datang ke Kantor Polisi setempat dan dilakukan penangkapan terhadap pelaku untuk
dilakukan proses BAP di Kepolisian. Dalam proses BAP ini, pihak pelapor meminta untuk
dilakukan penahanan selama waktu yang diperlukan hingga proses tersebut dapat
diserahkan ke Kejaksaan Tinggi dan menghasilkan salinan keputusan yang dapat diterima
dan lengkapa atau P-21 sebagai bukti bahwa BAP tersebut dapat ditindaklanjuti oleh Tim
Kejaksaan untuk dituntut di Pengadilan dan selanjutnya mengikuti proses persidangan di
Pengadilan Negeri dan atau proses-proses peradilan yang lebih tinggi hingga mempunyai
kekuatan hukum tetap manakala terjadi banding dan atau kasasi.
Perlu diingat, manakala terjadi tuntutan pidana ke Kepolisian atas kasus-kasus
penggelapan, maka permasalahan ini sudah menjadi permasalahan antara negara
melawan si pelaku (subjek hukum) yang akan diproses sehingga akan mengurangi atau
tidak hak konstitusi pelaku terkait bersalah atau tidak. Artinya, permasalahan di tingkat
hubungan kerja yang terjadi akan terputus manakala dari pihak yang berwajib (di tingkat
Kepolisian) ditetapkan status pelaku menjadi tersangka.
iii. Ranah Hukum Tata Usaha Negara:
Salah satu hal yang wajib dilaksanakan dalam praktik ketenagakerjaan dari aspek
pelaksanaan suatu operasional perusahaan dimana menjadi hal yang wajib dilakukan oleh
pengusaha sebagai syarat operasional suatu badan usaha adalah melaksanakan Undang-
Undang No. 7 tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan, dimana subastansi Wajib
Lapor ini selalu menjadi salah satu poin yang dimintakan oleh petugas pengawas
ketenagakerjaan untuk disiapkan oleh pejabat suatu perusahaan.
Formulir wajib lapor wajib diisi oleh perusahaan dan diperlihatkan pada saat proses
pengawasan dan mempunyai waktu masa berlaku yakni selama 1 tahun, sehingga diartikan
bahwa Wajib Lapor harus dilakukan perpanjangan sebelum masa berlaku habis dan
menjelaskan hal-hal yang menjadi perubahan dalam tahun-tahun berjalan, seperti : Jumlah
Tenaga Kerja, Upah Tenaga Kerja (tertinggi dan terendah), Jumlah Pekerja yang terdaftar
pada Jamsostek, Komposisi Tenaga Kerja baik Lokal maupun Tenaga Kerja Asing, Fasilitas-
Fasilitas Kesejahteraan, Rencana Penambahan dan Pengembangan Tenaga Kerja, dan lain-
lain.
PENANGANAN KASUS :
Penulis ingin mengambil suatu analogi terkait praktik pelaksanaan aspek-aspek
ketenagakerjaan dalam ranah hukum Tata Usaha Negara dengan menjadikan bahwa
pelaksanaan Wajib Lapor merupakan aspek normatif atas apa yang seharusnya dilakukan
(welt des sein)5 terhadap apa yang menjadi asas serta nilai dalam tatanan hal tersebut
sehingga perlu rasanya diberikan suatu pemahaman terkait hubungan nilai, asas, dan
norma dalam pelaksanaan pemenuhan kewajiban Wajib Lapor Ketenagakerjaan oleh
Pengusaha. Hubungan nilai, asas, dan norma 6 tersebut digambarkan dalam suatu skema
dibawah ini, sebagai berikut :
Skema 2
HUBUNGAN NILAI, ASAS, DAN NORMA

NILAI

ASAS - ASAS

NORMA

Penjelasan terhadap skema 2 di atas adalah bagaimana norma sebagai implementasi


konkret terhadap pelaksanaan penerapan Wajib Lapor dilaksanakan berdasarkan asas-asas
yang digambarkan oleh “titik-titik air hujan” sebagai kristalisasi atas terapan-terapan yang
digambarkan dalam suatu bentuk laporan ketenagakerjaan sehingga secara abstrak dapat
5
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta : Rajawali Pers, edisi cetakan 10, 2007), hal. 171.
6
Shidarta, Op.Cit., hal. 38.
menjelaskan arti pentingnya nilai dari keseluruhan fungsi wajib lapor sebagai acuan dalam
penentuan penerapan praktik ketenagakerjaan dalam suatu perusahaan sudah dilakukan
sesuai nilai perusahaan tersebut, yakni (mungkin) membentuk tingkat kesejahteraan
perusahaan dan pekerja sesuai falsafah yang terkandung dalam UUD 1945 dan Pancasila.
Dalam analogi diatas, penulis ingin menyampaikan bahwa pelaksanaan Wajib Lapor
Ketenagakerjaan selayaknya jangan dilihat murni dari aspek normatif ketenagakerjaan
tetapi jauh dari hal tersebut bahwa terdapat nilai yang terkandung untuk mengukur tingkat
kesejahteraan mengenai gambaran penerapan praktik ketenagakerjaan bagi perusahaan
dan pekerja. Hal ini dapat menjadi suatu bentuk spirit bagi pengusaha untuk melaporkan
hal-hal terkait ketenagakerjaan dalam suatu laporan tahunan yang tertuang dalam isian
wajib lapor ketenagakerjaan dengan melakukan pengisian rutin setahun sekali terkait
gambaran dan kondisi ketenagakerjaan yang berlaku di dalam perusahaan tanpa keluar
dari aspek-aspek syarat dan norma kerja yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai