1
Bipartit adalah proses penyelesaian suatu permasalahan yang melibatkan pihak-pihak yang bersengketa dimana
prosesnya diharapkan dapat menghasilkan win-win solution sebagai suatu proses akhir dan tidak diteruskan pada
tingkat Tripartit yang lebih melibatkan pihak diluar pihak-pihak terkait yang bersengketa – Kesimpulan oleh Penulis
yang diambil dari sejumlah kasus-kasus yang ditangani dalam permasalahan ketenagakerjaan baik sebagai
professional maupun sebagai konsultan.
2
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata – tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan (Jakarta: Sinar Grafika, April 2008), hal. 193 – 194.
3
Susanti Adi Nugroho, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa (Jakarta: Telaga Ilmu Indonesia, April
2009), hal. 23 – 50.
4
Sidharta, Moralitas Profesi Hukum (Bandung: Refika Aditama, Maret 2009), hal. 43 moralitas diartikan sebagai
keseluruhan norma, nilai, dan sikap moral seseorang atau sebuah masyarakat. Penilaian manusia secara
keseluruhan yang di dalamnya menyangkut nilai (moral).
Penggelapan yang menyebutkan bahwa penggelapan yang dilakukan oleh orang yang
penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena
pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun. Seorang pekerja yang atas kewenangan yang dimiliki sebagai akibat
dari adanya hubungan kerja yang melakukan tindakan penggelapan dengan telah memiliki
2 dari 3 syarat pembuktian yakni : adanya barang bukti, adanya saksi, dan adanya
pengakuan dari si pelaku, maka diminta untuk melakukan pengunduran diri dari
perusahaan. Hal ini (meminta untuk melakukan pengunduran diri) adalah sesuatu yang
sulit untuk dilaksanakan mengingat bahwa memaksa seseorang untuk melakukan
pengunduran diri adalah sesuatu hal yang memerlukan usaha dan trik yang jitu dalam
proses negosiasi yang dilakukan.
PENANGAN KASUS :
Penulis dalam pengalamannya telah beberapa kali menangani kasus-kasus seperti ini
dimana hasilnya dapat diakhiri dengan pengunduran diri oleh pekerja. Selanjutnya,
bagaimana jika si pekerja tidak mau melakukan pengunduran diri? Penulis dengan
bertindak sebagai eksekutor dalam kasus-kasus seperti ini melakukan persuasif kepada
pelaku agar dapat memberikan pernyataan bahwa si pelaku mengakui telah melakukan hal
penggelapan dalam kewenangan yang dimilikinya. Apabila 2 bukti penggelepan telah
dimiliki maka akan dilakukan pengancaman kepada pelaku bahwa apabila tidak mau
mengundurkan diri, maka permasalahan ini akan dilaporkan kepada pihak Kepolisian untuk
diusut lebih lanjut secara ketentuan hukum acara pidana yang berlaku. Biasanya penulis
selaku eksekutor selalu memberikan gambaran terkait lamanya proses dan hal-hal yang
perlu diinformasikan terkait adanya tekanan sosial, material, dan ancaman hukum yang
akan dilalui oleh pelaku. Apabila pilihannya adalah melalui proses hukum secara tuntutan
pidana melalui delik aduan ke pihak Kepolisian, maka penulis meminta pihak pelapor untuk
datang ke Kantor Polisi setempat dan dilakukan penangkapan terhadap pelaku untuk
dilakukan proses BAP di Kepolisian. Dalam proses BAP ini, pihak pelapor meminta untuk
dilakukan penahanan selama waktu yang diperlukan hingga proses tersebut dapat
diserahkan ke Kejaksaan Tinggi dan menghasilkan salinan keputusan yang dapat diterima
dan lengkapa atau P-21 sebagai bukti bahwa BAP tersebut dapat ditindaklanjuti oleh Tim
Kejaksaan untuk dituntut di Pengadilan dan selanjutnya mengikuti proses persidangan di
Pengadilan Negeri dan atau proses-proses peradilan yang lebih tinggi hingga mempunyai
kekuatan hukum tetap manakala terjadi banding dan atau kasasi.
Perlu diingat, manakala terjadi tuntutan pidana ke Kepolisian atas kasus-kasus
penggelapan, maka permasalahan ini sudah menjadi permasalahan antara negara
melawan si pelaku (subjek hukum) yang akan diproses sehingga akan mengurangi atau
tidak hak konstitusi pelaku terkait bersalah atau tidak. Artinya, permasalahan di tingkat
hubungan kerja yang terjadi akan terputus manakala dari pihak yang berwajib (di tingkat
Kepolisian) ditetapkan status pelaku menjadi tersangka.
iii. Ranah Hukum Tata Usaha Negara:
Salah satu hal yang wajib dilaksanakan dalam praktik ketenagakerjaan dari aspek
pelaksanaan suatu operasional perusahaan dimana menjadi hal yang wajib dilakukan oleh
pengusaha sebagai syarat operasional suatu badan usaha adalah melaksanakan Undang-
Undang No. 7 tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan, dimana subastansi Wajib
Lapor ini selalu menjadi salah satu poin yang dimintakan oleh petugas pengawas
ketenagakerjaan untuk disiapkan oleh pejabat suatu perusahaan.
Formulir wajib lapor wajib diisi oleh perusahaan dan diperlihatkan pada saat proses
pengawasan dan mempunyai waktu masa berlaku yakni selama 1 tahun, sehingga diartikan
bahwa Wajib Lapor harus dilakukan perpanjangan sebelum masa berlaku habis dan
menjelaskan hal-hal yang menjadi perubahan dalam tahun-tahun berjalan, seperti : Jumlah
Tenaga Kerja, Upah Tenaga Kerja (tertinggi dan terendah), Jumlah Pekerja yang terdaftar
pada Jamsostek, Komposisi Tenaga Kerja baik Lokal maupun Tenaga Kerja Asing, Fasilitas-
Fasilitas Kesejahteraan, Rencana Penambahan dan Pengembangan Tenaga Kerja, dan lain-
lain.
PENANGANAN KASUS :
Penulis ingin mengambil suatu analogi terkait praktik pelaksanaan aspek-aspek
ketenagakerjaan dalam ranah hukum Tata Usaha Negara dengan menjadikan bahwa
pelaksanaan Wajib Lapor merupakan aspek normatif atas apa yang seharusnya dilakukan
(welt des sein)5 terhadap apa yang menjadi asas serta nilai dalam tatanan hal tersebut
sehingga perlu rasanya diberikan suatu pemahaman terkait hubungan nilai, asas, dan
norma dalam pelaksanaan pemenuhan kewajiban Wajib Lapor Ketenagakerjaan oleh
Pengusaha. Hubungan nilai, asas, dan norma 6 tersebut digambarkan dalam suatu skema
dibawah ini, sebagai berikut :
Skema 2
HUBUNGAN NILAI, ASAS, DAN NORMA
NILAI
ASAS - ASAS
NORMA