Pada awalnya peribahasa ini secara spesifik digunakan oleh masyarakat Melayu Ngabang
untuk pekerjaan yang bersifat berburu/mencari ikan. Mengapa demikian, karena pada
umumnya masyarakat Melayu cenderung bermukim ditepian sungai atau yang disebut
dengan masyarakat pesisir. Namun dalam bahasan ini tidak salahnya jika digunakan
untuk pekerjaan lain misalnya buruh pasar, berdagang, bertani atau pekerjaan-
pekerjaan sejenisnya tergantung pada situasi dan kondisi yang anggap sesuai.
Pesan moral yang dapat kita petik dari peribahasa ini adalah bahwa kita seharusnya
menjadi pribadi yang tangguh dalam bekerja mencari rejeki dari Allah SWT.
Sebagaimana dalam firman Allah SWT:
ِ ُِإنَّ هّللا َ الَ يُ َغيِّ ُر َما بِقَ ْو ٍم َحتَّى يُ َغيِّ ُرو ْا َما بَِأ ْنف
س ِه ْم
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (Qs. ar Ra’d : 11)
Jadi sudah selayaknya manusia berusaha untuk menjadi yang terbaik dalam
kehidupannya, baik secara ekonomi maupun sosial kemasyarakatan dan tentunya tidak
luput dengan disertai do’a kepada Allah SWT atas usaha atau pekerjaan yang dilakukan.
Dalam kehidupan ini sudah selayaknya kita dengan senang hati menerima tamu yang
akan berkunjung atau datang didaerah, rumah, tempat dimana kita berada. Peribahasa
yang diungkapkan seperti ini mengandung makna yang sangat halus sehingga apabila
orang lain mendengarnya akan merasa senang hati untuk datang berkunjung karena kita
mengungkapkan rasa penerimaan yang baik.
Sejalan dengan yang di ajarkan oleh Rasulullah SAW bahwa kita harus dapat memuliakan
tamu. Sebagaimana Rasullullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan
tamunya.” (HR. Bukhari)
Dari peribahasa ini terdapat gabungan dua kalimat yaitu “Bearap late’ kelangit” dan “ae’
dalam tempayan ditumpahkan’. Pertama mengandung makna berharap kepada sesuatu
yang belum tentu pasti terjadi, diumpamakan seperti petir dilangit yang belum tentu
terjadi hujan. Kedua mengandung makna akibat dari harapan kepada sesuatu yang
belum pasti terjadi hingga akhirnya apa yang sudah ada dibuang atau dihabiskan begitu
saja karena ada harapan mendapatkan ganti yang lebih banyak atau lebih baik.
Jadi peribahasa ini secara keseluruhan mengandung makna bahwa tidak boleh berharap
kepada sesuatu yang belum tentu ada atau terjadi sehingga apa yang sudah ada dibuang
begitu saja. Hendaknya apa yang sudah didapatkan kiranya dapat disyukuri dan
dimanfaatkan sebaik-baiknya. Peribahasa ini juga memberikan pesan berupa nasehat
bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita tidak boleh terlalu boros namun bukan berarti
pelit. Sebagaimana firman Allah SWT
﴾٢٧﴿ ًين َو َكانَ ال َّش ْيطَانُ لِ َربِّ ِه َكفُورا ْ ُِإ َّن ْال ُمبَ ِّذ ِرينَ َكان
ِ وا ِإ ْخ َوانَ ال َّشيَا ِط
(Sesungguhnya orang-orang pemboros itu adalah saudara-saudara setan) artinya
berjalan pada jalan setan (dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya) sangat
ingkar kepada nikmat-nikmat yang dilimpahkan oleh-Nya, maka demikian pula saudara
setan yaitu orang yang pemboros. QS AL-Israa’ : 27.
Kemudian Allah SWT juga berfirman
ين ِ َ ِإ َّن ْال ُمبَ ِّذ ِرينَ َكانُوا ِإ ْخ َوانَ ال َّشيBَوال تُبَ ِّذرْ تَ ْب ِذي ًرا
ِ اط
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’ [17]: 26-27).
Maksudnya adalah mereka menyerupai setan dalam hal ini.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ضى لَ ُك ْم َأنْ َتعْ ُب ُدوهُ َوالَ ُت ْش ِر ُكوا ِب ِه َش ْيًئ ا َوَأنْ َتعْ َتصِ مُوا َ ْضى لَ ُك ْم َثالَ ًثا َو َي ْك َرهُ لَ ُك ْم َثالَ ًثا َف َير
َ ِْإنَّ هَّللا َ َير
ِ اع َة ْال َم
ال َ ض َ ال َوِإِ ِب َحب ِْل هَّللا ِ َجمِيعًا َوالَ َت َفرَّ قُوا َو َي ْك َرهُ لَ ُك ْم قِي َل َو َقا َل َو َك ْث َر َة ال ُّسَؤ
“Sesungguhnya Allah meridlai tiga hal bagi kalian dan murka apabila kalian melakukan
tiga hal. Allah ridha jika kalian menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu apapun, dan (Allah ridla) jika kalian berpegang pada tali Allah
seluruhnya dan kalian saling menasehati terhadap para penguasa yang mengatur
urusan kalian. Allah murka jika kalian sibuk dengan desas-desus, banyak mengemukakan
pertanyaan yang tidak berguna serta membuang-buang harta.” (HR. Muslim no.1715)
4. Nurutkan nafsu palsu, nurutkan hawa kecewa, henjang henjot kaki diela
Peribahasa ini seperti pantun namun sarat mengandung makna pesan moral dan
nasehat. Jika kita pisah satu persatu kalimatnya, terdapat tiga kalimat yang akan
dimaknai. Pertama ‘Nurutkan nafsu palsu’ mengandung makna jangan menurutkan
hawa nafsu karena akan membawa kita kepada sesuatu yang tidak bermanfaat bahkan
bisa membawa malapetaka. Kedua, nurutkan hawa kecewa mengandung makna yang
sama seperti yang pertama. Ketiga ‘henjang henjot kaki diela’ mengandung makna
akibat dari perbuatan yang menurutkan hawa nafsu, bahwa ketika sudah terjadi maka
dengan bersusah payah untuk memperbaikinya.
Manusia memang pada dasarnya memiliki hawa nafsu yang juga merupakan pemberian
dari sang Pencipta yaitu Allah SWT. Hawa nafsu hendaknya mampu dikendalikan oleh
setiap manusia oleh karenanya manusia juga diberikan penyeimbang yakni akal dan
pikiran.
Nafsu adalah kecenderungan jiwa pada perkara-perkara yang selaras dengan kehendak
manusia. Ia sejatinya diciptakan Allah untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia.
Bisa dibayangkan, jika tak ada nafsu, tak mungkin manusia menginginkan kualitas hidup
yang baik. Karenanya, nafsu tidak untuk dihilangkan, tetapi untuk diatur dan
dikendalikan sesuai dengan kehendak syariat. Meskipun pada prakteknya
mengendalikan hawa nafsu bukanlah perkara yang mudah. Mengendalikan hawa nafsu
bak bertempur tak ada habisnya. Di setiap waktu, tempat, dan keadaan kita harus
senantiasa sigap melawan bisikan nafsu negatif. Dan adapun orang yang takut akan
kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka sesungguhnya surga
itulah tempat tinggalnya.” (QS An-Nazi’aat 79:37-41).
Manusia tentu memiliki akal yang bisa dilihat dari arti dasarnya. Akal merupakan
kemampuan untuk memilih mana yang benar atau salah, mana yang boleh atau tidak
boleh. Manusia yang berakal tentu bisa mengetahui tindakan yang benar atau salah,
baik dari pandangan pribadi ataupun orang lain. Hampir semua tindakan manusia atas
dasar akal meski sebelum atau sesudah melakukan.
Akal hanya dimiliki oleh manusia saja atau dengan kata lain, hewan tidak memiliki akal.
Oleh karena itu, binatang tidak bisa menilai sendiri apakah tindakan yang dilakukan
tergolong benar atau salah. Seekor kucing yang berjalan di atas lantai rumah dengan
kaki becek tidak bisa disalahkan atau dihukum berat karena tidak mengetahui persis atas
tindakannya. Manusia tidak boleh menyalahkan hewan atas segala tindakan karena
memang diciptakan tuhan tanpa akal.
Sebagaimana Allah SWT berfirman akan penting akal dan pikiran pada manusia:
Dialah yang menghidupkan dan mematikan, Dia pula yang mengatur pergantian malam
dan siang. Tidakkah kalian menalarnya?! [al-Mukminûn/23:80]
Katakanlah: samakah antara orang yang buta dengan orang yang melihat?! Tidakkah
kalian memikirkannya?! [al-An’am/6:50]
Memang pertanyaan banyak anak banyak rezeki kadang menimbulkan kontroversi dari
banyak kalangan masyarakat namun ada baiknya kita merujuk kepada Al-quran sebagai
landasan atau pegangan dalam memahaminya. Allah berfirman dalam Al-quran surah Al
Baqarah (2): 187
“Maka sekarang campurilah mereka (istri-istri) dan carilah/harapkanlah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu.”
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan
memberi rezki kepadamu dan kepada mereka.” (QS. Al An’am [6]: 151).
Selanjutnya, jika anak-anak itu adalah anak-anak yang shaleh dan shalehah, yang
tumbuh dalam beribadah kepada Allah, maka semakin bertambahlah karunia yang Allah
berikan kepada kedua orang tuanya. Hidup kian berkah dengan kehadiran mereka. Bisa
jadi, kerja keras orang tua mendidik anak-anaknya menjadi hamba-hamba Allah yang
shaleh menjadi sebab semakin berkahnya rizki yang didapatkan. Karena orang tua yang
sungguh-sungguh mendidik anak-anaknya, berarti ia telah bertakwa kepada Allah.
Ungkapan seperti ini oleh kedua orang tua adalah dalam rangka mengingatkan kepada
anak-anaknya untuk berhati-hati dengan barang-barang milik orang lain. Dalam hal
meminjam atau menggunakan barang-barang milik orang lain hendaklah mampu
menjaganya, jangan sampai sembarangan dalam menggunakannya apalagi untuk tidak
dalam keperluan yang sangat penting. Kebiasaan-kebiasaan menggunakan barang-
barang milik orang lain, akan dapat menimbulkan resiko jika barang tersebut rusak atau
hilang, maka kita berkewajiban mengganti barang tersebut. Oleh karenanya peribahasa
ini mengandung makna bahwa ketika menggunakan barang-barang milik orang lain yang
mungkin sudah lama atau kondisinya yang sudah usang, maka ketika rusak hendaknya
diganti dan tentunya sangat sulit untuk mencari ganti yang sama, sehingga mau tidak
mau membeli yang baru sebagai ganti barang tersebut.
Walaupun pada kenyataannya tidak juga seperti itu, banyak juga orang yang ketika
barang miliknya dipakai atau digunakan, kemudian rusak atau hilang justru malah
mengikhlaskannya. Dengan demikian hendaklah kita berhati-hati dalam menggunakan
barang-barang milik orang lain, karena dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang
menyebabkan timbulnya masalah sebagaimana dalam peribahasa tersebut. Ketika ingin
menggunakan barang milik orang lain hendaknya juga meminta ijin dan tentunya
memang digunakan untuk keperluan yang sangat penting. Sebagaimana Hadist
Rasulullah SAW
ٍ ب نَ ْف
ُس ِم ْنه ِ الَ يَ ِحلُّ َما ُل ا ْم ِرٍئ ِإالَّ بِ ِطي
“Tidak halal harta seseorang kecuali dengan ridho pemiliknya” (HR. Ahmad 5: 72. Syaikh
Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa hadits tersebut shahih lighoirihi).
Dalam kehidupan ini hendaklah kita dapat menjadi manusia yang sabar dan ikhlas
walaupun bukanlah perkara yang mudah. Demikian pula halnya dengan peribahasa ini
yang menggambarkan bahwa seekor ular tidak akan mati apabila ular tersebut berjalan
atau bergerak dibawah akar, meskipun pada kenyataannya ular punya insting atau
kecenderungan untuk berjalan dan bergerak dengan melilit akar tersebut. Namun
peribahasa ini mengamanatkan bahwa tidak akan menjadi persoalan jika dalam
kehidupan selalu mengalah demi mengepentingkan kepentingan yang lebih besar. Hal
tersebut merupakan bentuk kesabaran dan keikhlasan hati.
Ungkapan seperti ini tidak asing bagi masyarakat Melayu di Ngabang karena sering kali
digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam menyelesaikan masalah dengan
orang lain, maka penggunaan peribahasa ini sering digunakan agar seseorang dengan
sabar dan ikhlas dalam menghadapi persoalan sehingga berusaha untuk mengalah
dalam arti bukanlah menerima dengan apa adanya.
Allah SWT dan Rasulnya telah mengajarkan kepada umat agar selalu sabar dan ikhlas
dalam menghadapi masalah dikehidupan ini. Seperti firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
Peribahasa ini mengandung makna teguran kepada seseorang yang suka usil atau selalu
melakukan aktivitas berlebihan sehingga mengganggu kenyamanan orang lain yang
berada di sekitarnya. Digambarkan seperti seekor cacing yang ditaburi abu sehingga
membuat cacing tersebut bergerak cepat dan tidak beraturan. Penggunaan peribahasa
ini memang agak sedikit kasar namun bukanlah mengaburkan makna yang tersirat
didalamnya. Ungkapan semacam ini merupakan wujud kekesalan terhadap perlakuan
atau tindakan orang lain yang cenderung merusak atau menggangu kenyamanan.
Allah SWT dan Rasulnya mengajarkan kepada setiap umat agar selalu sopan serta santun
dalam menjalin hubungan dengan sesame manusia lainnya. Dengan demikian akan
tercipta sebuah hubungan yang harmonis antar sesama.
Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa
yang ingin dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga, hendaklah apa
yang menjadi angan-angannya itu benar-benar diusahakan, dimana ia harus beriman
kepada Allah dan hari akhir, serta berbuat senang kepada orang lain, sebagaimana ia
sendiri senang apabila diperbuat seperti itu.” (HR Muslim)
Memilih pasangan hidup tidaklah gampang, selain dari keelokan wajah harusnya juga
baik perilaku serta perbuatannya. Demikian halnya dengan peribahasa “Asal beinsang ja’
ikan” merupakan ungkapan sebagian besar masyarakat Melayu Ngabang dalam rangka
memberikan nasehat atau pernyataan dalam hal memilih calon pasangan hidupnya.
Ungkapan ini bukanlah bermaksud untuk menghina atau mencela, namun lebih penting
adalah dalam rangka menjaga keharmonisan rumah tangga yang nantinya akan dijalani.
Sudah banyak sekali masalah-masalah percerian dalam rumah tangga terjadi
dikarenakan perilaku keduanya yang tidak sesuai dalam kehidupan berumah tangga.
Maka dari itu hendaklah memilih calon pasangan hidup yang utamanya memiliki sikap
dan perilaku yang baik. Sebagaimana Firman Allah SWT
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertaqwa.” (QS.
Al Hujurat: 13)
فاظفر بذات الدين تربت يداك، وجمالها ولدينهاB لمالها ولحسبها:تنكح المرأة ألربع
“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya,
karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus
agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR.
Bukhari-Muslim)
Terdapat dua kalimat dalam peribahasa ini yang menjadi satu kesatuan. Pertama Rioh
banta’ artinya gerombolan jenis ikan (banta’/nama ikan) dan yang kedua ‘rioh seluang’
artinya rombongan ikan seluang yang merupakan jenis ikan yang sering bersamaan jika
terjadi musim panen ikan di Sungai Landak. Namun oleh masyarakat Melayu Ngabang
memaknai peribahasa ini adalah untuk memberikan pernyataan kepada anak-anak
muda yang suka ikut-ikutan melakukan perbuatan yang dipandang tidak seharusnya
dilakukan misalnya keluar malam, hura-hura, atau bepergian disuatu tempat yang jauh
dan membahayakan.
Para orang tua sering menggunakan peribahasa ini untuk menegur anaknya agar jangan
ikut-ikutan kepada perbuatan-perbuatan yang tidak baik walaupun terkadang anak-anak
juga tidak begitu memahami maknanya, namun ketika dicetuskan dari mulut dengan
mimik wajah yang agak sedikit marah tentunya secara bahasa tubuh dimungkinkan
anak-anak akan paham dan mengerti maksudnya.
Tidaklah mungkin jika seseorang ingin memutuskan air dengan apapun juga terkecuali
oleh Nabi Musa dengan ijin Allah SWT. Demikian halnya peribahasa “Tetak aek ndak
putus” adalah ungkapan bahwa tidaklah mungkin seseorang untuk melepaskan garis
keturunan, kekeluargaan dan kekerabatannya. Seburuk apapun seseorang jika dia
adalah merupakan keturunan atau saudara, maka tidak mungkin terputus. Peribahasa ini
digunakan oleh masyarakat Melayu Ngabang untuk menegaskan bahwa pentingnya
menjaga silahturahmi antar kerabat. Saling tolong menolong, memperhatikan,
mendukung, mengingatkan serta peduli terhadap sanak keluarga merupakan tugas bagi
setiap orang yang tentunya tetap dalam hal kebaikan.
Jadi, tali persaudaraan dan kekerabatan digambarkanlah seperti air yang mengalir yang
tak mungkin dipotong atau diputuskan. Diajarkan kepada kita semua untuk selalu
menjaga tali silaturahmi antar sesama keluarga dan kerabat. Ini berdasarkan perintah
dari Allâh Azza wa Jalla dan RasulNya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
Arti dari peribahasa ini adalah terlalu naïf jika hanya saja gara-gara satu ayam jantan
yang tidak berkokok pada subuh hari kemudian menyebabkan tidak timbulnya siang
hari. Makna yang diamanatkan dalam peribahasa ini adalah bahwa tidaklah wajar jika
sesuatu masalah yang sangat kecil menjadikan persoalannya semakin rumit dan tidak
dapat diselesaikan. Peribahasa ini masih tergolong sangat umum tergantung pada
konteks dan situasi tertentu, namun tetap mengandung makna yang sama.
Misalnya dalam hal mengadakan suatu kegiatan, katakanlah gotong royong. Tidaklah
mungkin karena gara-gara tidak ada ketua RT nya lantas menggagalkan kegiatan
tersebut padahal sudah menjadi kegiatan rutin. Dalam hal ini tentunya sangat
diperlukan rasa saling memaklumi, memaafkan, serta saling tenggang rasa karena apa
yang menjadi masalah hanyalah sesuatu yang sangat kecil dan sepele. Memang
memaafkan itu tak semudah apa yang kita ucapkan, tapi cobalah berfikir Allah saja maha
pengampun, kenapa kita tidak bisa memaafkan. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
“…dan balasan kejelekan itu adalah kejelekan pula, namun siapa yang memaafkan dan
memperbaiki (hubungannya), maka pahala baginya di sisi Allah. Sungguh Allah tidak
menyukai orang-orang yang dhalim. “(QS Asy Syura 40)
Arti dari “Sambel nyelam minum ae’” jika di Bahasa Indonesiakan menjadi sambil
menyelam minum air. Mengandung makna dalam satu kegiatan dapat melakukan
kegiatan lainnya. Peribahasa ini mengisyaratkan bahwa seseorang dapat melakukan
sesuatu hal yang sejalan dengan apa yang dilakukan, bukan bertentangan atau berbeda
situasi dan kesempatan serta peribahasa ini tidak diperuntukan pada kegiatan-kegiatan
yang negatif.
Para sesepuh Melayu Ngabang dahulu menggunakan peribahasa ini dengan maksud
untuk menumbuhkan kemampuan kreatifitas dan efektifitas dalam melakukan sesuatu.
Kreatif dimaksudkan mampu melakukan sesuatu yang positif dalam satu kesempatan,
sedangkan efektif dimaksudkan bahwa pekerjaan itu tidak menggunakan banyak waktu
dan kesempatan.
Keberhasilan dan kesuksesan merupakan tujuan hidup dari setiap manusia, berhasil dan
sukses baik secara ekonomi, sosial, dan agama serta apapun bentuknya. Keberhasilan
dan kesuksesan itu diumpakan sebagai bintang di langit. Sebagai contoh ketika orang tua
atau guru yang memberikan motivasi kepada anak atau siswanya untuk meraih cita-cita
setinggi bintang di langit. Nah.. demikian pula ungkapan peribahasa “Macam bintang ge’
ke kening” adalah ungkapan yang diperuntukan kepada seseorang yang berhasil dan
sukses dalam hidupnya.
ٌ ال َيسْ َأ ُم اإل ْن َسانُ مِنْ ُد َعا ِء ْال َخيْر َوِإنْ َم َّس ُه ال َّشرُّ َف َيُئوسٌ َق ُن
وط ِ
“Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia
menjadi putus asa lagi putus harapan.” (QS. Fushshilat: 49). Atau pada ayat lainnya,
ٍ ض َو َنَأى ِب َجان ِِب ِه َوِإ َذا َم َّس ُه ال َّشرُّ َف ُذو ُد َعا ٍء َع ِر
يض َ ان َأعْ َر
ِ َوِإ َذا َأ ْن َع ْم َنا َعلَى اِإْل ْن َس
“Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan
diri; tetapi apabila ia ditimpa malapetaka, maka ia banyak berdoa.” (QS. Fushshilat: 51)
Sebagai insan yang beragama sudah sepantasnya bersyukur atas segala nikmat yang
telah diberikan. Rezeki berupa materi hendaknya digunakan untuk keperluan yang
sewajarnya bukan untuk dihambur-hamburkan untuk hal-hal yang tidak pantas. Adapun
setiap musibah yang Allah SWT berikan adalah merupakan suatu ujian bagi setiap
hambaNya, oleh karena itu kemampuan bersabar serta ikhlas dalam menghadapi ujian
menjadi faktor utama keberhasilan.