Anda di halaman 1dari 42

DIGITAL TRANSFORMATION 4.

0: SOLUSI IMPLEMENTASI SENTRALISASI IZIN


USAHA PERTAMBANGAN (IUP) SEBAGAI SOLUSI DALAM PENCEGAHAN
TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

Kompetisi Karya Tulis Ilmiah

SOCIAL SCIENCE IN NATIONAL LAW COMPETITION

(SCIENCESATIONAL 2021)
PRAJUDI ATMOSUDIRJO

Disusun Oleh:

FAJRI KURNIAWAN ( 1910111007 )

CHANTIKA AULIA RAHMI ( 1910111072 )

NUR AINI ( 2010111004 )

UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2021
DIGITAL TRANSFORMATION 4.0: SOLUSI IMPLEMENTASI SENTRALISASI
IZIN USAHA PERTAMBANGAN (IUP) SEBAGAI SOLUSI DALAM
PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

Kompetisi Karya Tulis Ilmiah

SOCIAL SCIENCE IN NATIONAL LAW COMPETITION

(SCIENCESATIONAL 2021)
2018
PRAJUDI ATMOSUDIRJO

Disusun Oleh:

FAJRI KURNIAWAN ( 1910111007 )

CHANTIKA AULIA RAHMI ( 1910111072 )

NUR AINI ( 2010111004 )

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2021
LEMBAR PENGESAHAN

1. Judul Karya Tulis : Digital Transformation 4.0: Solusi Implementasi Sentralisasi Izin
Usaha Pertambangan (IUP) Sebagai Solusi Dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi
di Indonesia.

2. Peserta :

a. Ketua Kelompok :
Nama : Fajri Kurniawan
NIM : 1910111007
b. Anggota Kelompok:
Nama : Chantika Aulia Rahmi
NIM : 1910111072
c. Anggota Kelompok:
Nama : Nur Aini
NIM : 2010111004

3. Dosen Pembimbing :

Nama : Syofiarti, S.H., M.H.


NIP : 197405181999032001

Menyetujui, Padang, 25 September 2021


Dosen Pembimbing Ketua Kelompok

SYOFIARTI, S.H.,M.H. FAJRI KURNIAWAN


NIP.1974051819990320 Nim. 1910111007

Mengetahui,
Direktur Bidang Kemahasiswaan

LERRI PATRA, S.H., M.H.


NIP. 1983010620080110003
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas

limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah

untuk memenuhi karya tulis ilmiah “Digital Transformation 4.0: Solusi

Implementasi Sentralisasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Sebagai Solusi

Dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia” ini meskipun sangat

sederhana dan jauh dari sempurna.

Karya Tulis Ilmiah ini penulis buat dalam rangka mengikuti “Kompetisi

Karya Tulis Ilmiah “The 8th Sciencesational Piala Prof. Erman Rajagukguk 2021”

yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, Depok. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih

dan penghargaan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan,

bimbingan dan arahan kepada penulis. Ucapan terima kasih tersebut kami ucapkan

kepada:

1. Syofiarti, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing kami yang telah

memberikan arahan, konsultasi, serta semangat dalam mengembangkan dan

mengerjakan kegiatan penulisan karya tulis ini.

2. Semua rekan dan alumni dari Komunitas Basilek Lidah Justitia (Kombad

Justitia) yang telah meluangkan waktu, sumbangsih pemikiran serta

memberikan semangat dalam proses mengerjakan kegiatan penulisan karya

tulis ini.

Penulis menyadari karya tulis ilmiah ini masih banyak terdapat banyak

kekurangan yang mungkin tidak disadari dan dengan keterbatasan yang kami
miliki. Oleh karena itu, diharapkan kritik dan saran dari pembaca akan kami terima

dengan tangan terbuka demi perbaikan dan kesempurnaan penulisan-penulisan

karya tulis ilmiah kedepannya.

Harapan kami semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat, khususnya

bagi pembaca untuk menambah wawasan baru atau pengetahuan lebih lanjut lagi

tentang judul karya tulis ilmiah yang disebutkan diatas.

Padang, 25 September 2021

Penulis
ABSTRAK

Digital Transformation 4.0: Solusi Implementasi Sentralisasi Izin Usaha


Pertambangan (IUP) Sebagai Solusi Dalam Pencegahan Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia

Fajri Kurniawan, Chantika Aulia Rahmi, Nur Aini1

Izin adalah salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum
administrasi negara. Melalui pemberian izin, pemerintah memperkenankan orang
yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam mengeruk
seluruh potensi yang ada pada suatu daerah tersebut. Ketika pemerintah
mengesahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
(Minerba). Regulasi ini hadir untuk memangkas birokrasi kebijakan izin usaha
tambang yang terkesan berbelit-belit serta memudahkan perizinan kegiatan usaha
tambang dengan memakai sistem satu pintu. Namun ketika Undang-Undang ini
telah disahkan, banyak para akademisi, aktifis serta praktisi yang berkecimpung
dalam dunia pertambangan, meragukan ke efektifitasan pemberlakuan Revisi
Undang-Undang Mineral dan Batubar (Minerba) ini. Dimulai ketika bagaimana
pertanggungjawaban Jika nantinya terjadi kerusakan lingkungan oleh perusahaan
tambang yang melakukan aktivitas tambang didaerah tersebut, sampai kepada
pelanggaran tindak pidana korupsi korporasi disektor pertambangan. Salah satu
penyebab faktor terjadinya pelanggaran korupsi di bidang pertambangan adalah
kurangnya keterbukaan serta transparansi informasi publik antara instansi yang
mengeluarkan izin dengan perusahaan terkait. Untuk menjawab permasalahan tata
kelola perizinan di Indonesia dibutuhkan suatu sistem perizinan yang terintegritasi,
mencakup dokumentasi dan informasi atas izin-izin yang terintegrasi dengan
konsep “Digitalisasi”. Sistem perizinan seperti ini diharapkan mampu menjawab
persoalan-persoalan khususnya yang berkaitan dengan masalah perizinan usaha
pertambangan. Seperti perizinan dengan konsep sederhana, transparan dan
akuntabel. Maka secara eksplisit bisa mempermudah akses oleh seluruh pihak yang
memiliki kepentingan dalam suatu proses perizinan.

Kata Kunci: Digital Transformation, Sentralisasi Izin Usaha Pertambangan (IUP),


Tindak Pidana Korupsi.

1
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
ABSTRACT

Digital Transformation 4.0: Solutions for Centralizing Mining Business


Permits (IUP) as a Solution in Preventing Corruption in Indonesia

Fajri Kurniawan, Chantika Aulia Rahmi, Nur Aini

Permits are one of the most widely used instruments in state administrative law.
Through the granting of a permit, the government allows the person requesting it
to take certain actions in exploiting all the potential that exists in an area. When
the government passed Law Number 3 of 2020 Amendments to Law Number 4 of
2009 concerning Mineral and Coal Mining (Minerba). This regulation is here to
cut down the bureaucracy of mining business permit policies that seem convoluted
and to facilitate licensing of mining business activities using a one-door system.
However, when this Law was passed, many academics, activists and practitioners
working in the mining world doubted the effectiveness of the implementation of the
Revised Mineral and Coal Law (Minerba). It starts with how to be responsible if
there is environmental damage by mining companies that carry out mining
activities in the area, to violations of corporate corruption in the mining sector.
One of the factors causing corruption violations in the mining sector is the lack of
openness and transparency of public information between the agency that issued
the permit and the related company. To answer the problems of licensing
governance in Indonesia, an integrated licensing system is needed, including
documentation and information on permits that are integrated with the concept of
“Digitalization”. This licensing system is expected to be able to answer problems,
especially those related to mining business licensing issues. Such as licensing with
a simple, transparent and accountable concept. So it can explicitly facilitate access
by all parties who have an interest in a licensing process.

Keywords: Digital Transformation, Centralized Mining Business Permit (IUP),


Corruption.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, terutama
sektor pertambangan. Sektor pertambangan merupakan sektor strategis yang dapat
menjadi opsi bagi pemerintah untuk menopang laju pengeluaran dengan pendapatan
yang dihasilkan melalui pertambangan. Dengan kekayaan alam terkhususnya pada
sektor pertambangan perlu dilakukannya aturan atau regulasi oleh pemerintah yang
jelas dalam mengelola kekayaan alam khususnya di sektor izin usaha pertambangan
(IUP). Salah satu upaya pemerintah membuat suatu regulasi ketika disahkannya
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Regulasi ini akan di fungsikan sebagai pedoman baru dalam tata pengelolaan dan
perizinan kegiatan usaha tambang di Indonesia.

Secara teoritis penguasaan negara atas pertambangan didasarkan pada teori


kedaulatan (sovereignty atau souvereniteit)2. Semua itu tidak terlepas dari
pernyataan Van Vollenhoven yang menyatakan negara sebagai organisasi tertinggi
dari bangsa yang diberi kekuasaan untuk mengatur segala sesuatu dan negara
berdasarkan kedudukannya memiliki kewenangan untuk membuat ketentuan
peraturan perundang-undangan3. Pada sisi lain JJ. Rousseau menyatakan bahwa
kekuasaan negara sebagai suatu lembaga bersumber kepada “contract social” yang

2
Teori kekuasaan negara ini didasarkan atas tiga teori yaitu: teori teokrasi, teori
kekuasaan, dan teori yuridis. Menurut Thomas Hobbes, Jonh Locke, dan JJ. Rousseau teori yuridis
ini dalam perkembangannya dibagi lagi atas tiga yaitu: teori patrimonial, teori patrirchaal, dan teori
perjanjian. Lebih jauh lihat dalam Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, (Yogyakarta: UII Press,
2004), hlm. 7.
3
Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, (Jakarta: Bina
Aksara, 1984), hlm. 99.
bertujuan untuk melindungi kekuasaan bersama, pribadi, dan milik individu.
Namun perlu dipahami bahwa yang dilepaskan dan diserahkan kepada negara oleh
individu itu hanya sebagian kekuasaan bukan kedaulatannya, sehingga kekuasaan
negara itu bukanlah kekuasaan tanpa batas (postestas legibus omnibus soluta),
sebab ada beberapa ketentuan hukum yang mengikatnya, seperti hukum alam dan
hukum Tuhan (leges naturae et devinae) serta hukum yang bersifat umum pada
semua bangsa yang disebut “leges imperit”.

Berdasarkan teori kedaulatan dan teori contract social tersebut, maka secara
teoritis keuasaan negara atas pertambangan bersumber dari rakyat yang disebut
dengan hak bangsa. Negara sendiri dipandang sebagai territoriale publieke
rechtsgemeenschap van overheid en onderdanen. Sehingga negara berwenang
untuk mengatur penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan seluruh potensi
pertambangan dalam wilayahnya secara internal. Bila hal ini dikaitkan dengan
konfigurasi hukum penguasaan dan pengelolaan pertambangan yanng pernah
diterapkan di bumi Nusantara, hal ini tidak terlepas dari dua asas, yaitu asas
“Domein Verklaring” dan asas “Hak Menguasai Negara”4.

Ketika negara memiliki penguasaan dalam mengurus kekayaan alam,


sebagaimana yang telah diatur secara konstitusional dalam Pasal 33 Ayat (3)
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mencantumkan bahwa bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam pasal tersebut terdapat sebuah frasa
“demi sebesar-besamya kemakmuran rakyat”, membawa konsekuensi pemahaman
bahwa Indonesia, secara konseptual merupakan negara yang menganut paham
negara kesejahteraan (welfare state). Dalam paham negara kesejahteraan, negara
turut campur/berperan dalam aktivitas perekonomian untuk mencapai kemakmuran
rakyat. Selain itu, Mahkamah Konstitusi memberikan pandangan dalam Pengujian
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Bumi dan Gas Alam,
dengan nomor putusan PUU :002/PUU-I/2003, menjelaskan bahwa dengan

4
Busyra Azheri, Corporate Social Responsibility Dari Voluntary Menjadi Mandatory,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 206.
memandang UUD 19455, pada Pasal 33 UUD 1945 memiliki pengertian yang Iebih
tinggi atau Iebih Iuas dari pada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi
penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan
prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945. Dalam paham kedaulatan
rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber,pemilik, dan sekaligus pemegang
kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat6”.

Dalam sektor pertambangan, negara berperan dalam mengatur dan


mengurusi operasional aktivitas pertambangan. Suatu perusahaan yang ingin
berkegiatan usaha tambang, harus memenuhi beberapa kriteria persyaratan untuk
bisa mendirikan perusahaan pertambangannya. Salah satu persyaratan yang harus
dipenuhi yakni memiliki izin usaha tambang. Perizinan bertujuan agar negara
memiliki kontrol terhadap operasional perusahaan atau korporasi dibidang
pertambangan minerba di Indonesia 7. Menilik dalam hal penguasaan negara atas
perizinan tambang, Revisi Undang-Undang Minerba terbaru, justru memiliki
prinsip oligarki atas kekayaan alam mineral dan batubara di Indonesia.
Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 35 ayat (1) yang berbunyi “Usaha
pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah
pusat”. Pasal ini bermakna bahwa segala hal yangberhubungan dengan perizinan
dan pengelolaan usaha tambang berada di tangan pemerintah pusat.

Revisi Undang-Undang Minerba berimplikasi pada adanya disharmonisasi


antara Undang-Undang Dasar 1945 dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
Dalam pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 dikatakan bahwa negara Indonesia
menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan nya yang memberi
kewenangan daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah seluas-luasnya. Lalu

5
Kuntana Magnar,et al., “Tafsir MK atas Pasal 33 UUD 1945: (Studi Atas Putusan MK
Mengenai Judical Review UU No. 7/2004, UU No.22/2002, dan UU No.20/22”, Jurnal Konstitusi,
Vol. 7, No.1, (Februari 2010),hlm.113.
6
Elli Ruslina, “Makna Pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Pembangunan Hukum
Ekonomi Indonesia,”Jurnal Konstitusi, Vol. 9, No.1, (Maret 2012), hlm. 52.
7
Paripurna P Sugarda dan Irine Handika, “Penilaian Terhadap Kesesuaian antara
penetapan Bea Keluar Atas Ekspor Mineral dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas
Ekonomis,”Mimbar Hukum, Vol. 8, No.3,(Oktober 2016), hlm. 398.
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pada
pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa “ Penyelenggaraan urusan pemerintahan
bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara
Pemerintah pusat dan daerah”. Namun dari hasil revisi Undang-Undang Minerba
kewenangan pemerintah daerah dalam hal otonomi daerah untuk mengelola
kekayaan alam didaerahnya justru teramputasi olehnya. Hal ini disebabkan karena
upaya sentralisasi kewenangan izin tambang diberikan kepada pemerintah pusat.

Sentralisasi kewenangan izin tambang telah memangkas hak otonomi


pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya. Hal ini justru menimbulkan
ketakutan bagi pemerintah daerah khususnya terhadap kerusakan lingkungan. Jika
nantinya terjadi kerusakan lingkungan oleh perusahaan tambang yang melakukan
aktivitas tambang didaerahnya, maka siapa nantinya yang akan bertanggung jawab
dan tentunya pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan dalam mencabut izin
usaha perusahaan tersebut. Karena Undang-Undang Minerba terbaru hanya
memberikan wewenang untuk mencabut Izin Usaha Tambang (IUP) kepada
Menteri ESDM, bukan lagi kepada pemerintah daerah seperti Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 20098.

Disahkannya Undang-Undang Minerba terbaru, bertujuan untuk


memangkas birokrasi kebijakan izin usaha tambang yang terkesan berbelit-belit
serta memudahkan perizinan kegiatan usaha tambang dengan memakai sistem satu
pintu yakni kepada pemerintah pusat. Namun dengan kebijakan yang awalnya
dianggap efektif untuk memangkas kesulitan dalam operasional perizinan tambang,
justru juga menimbulkan indikasi tindak pidana korupsi didalamnya. Menurut
Direktur Center for Indonesian Resource Strategic Studeies (Cirrus) Budi Santoso
dalam Katadata.co.id menyatakan bahwa jika proses pengelolaan perizinan
pertambangan ditarik seluruhnya ke pusat, ia memperkirakan bisa terjadi antrian
panjang bagi para pemohon izin 9. Akibatnya, akan ada oknum nakal yang akan

8
Zsaszsa Dordia Arianda dan Aminah, “Sentralisasi Kewenangan Pengelolaan dan
Perizinan Dalam Revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara,” Jurnal Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Riau ( Februari 2021),hlm.179.
9
Verda Nano Setiawan, “Kontrak Pandora Beralihnya Kewenangan Izin Tambang ke
Pusat”https://katadata.co.id/sortatobing/berita/5fd36ce78689a/kotak-pandora-beralihnya-
kewenangan-izin-tambang-ke-pusat diakses 22 September 2021.
bermain pada situasi tersebut, sebab yang mendapatkan suatu izin usaha hanya
orang-orang yang dekat dengan pusat, secara finansial dan politik. Maka dengan
kondisi inilah, peluang praktik korupsi terjadi di dalam dunia korporasi tambang
yang masih menggelap gulita dan sulit untuk ditengarai sampai saat sekarang.

Dengan melihat akar persoalan diatas, Dalam rangka memperbaiki tata


kelola perizinan di Indonesia dibutuhkan suatu sistem perizinan yang terintegritasi,
mencakup dokumentasi dan informasi atas izin-izin yang terintegrasi dengan
konsep “Digitalisasi”, karena kita telah memasuki Era yang dinamakan 4.0
sehingga semua sektor birokrasi sudah selayaknya bertransformasi dari perizinan
yang bersifat konvensional (Offline) menuju ke tahap daring (Online). Sistem
perizinan seperti ini diharapkan mampu menjawab persoalan-perosalan khususnya
yang berkaitan dengan masalah perizinan usaha pertambangan. Seperti perizinan
dengan konsep sederhana, transparan dan akuntabel. Maka secara eksplisit bisa
mempermudah akses oleh seluruh pihak yang memiliki kepentingan dalam suatu
proses perizinan. Salah satu inisiatif untuk membenahi sistem perizinan menjadi
lebih transparan adalah Satu Informasi Perizinan (SIP). Keberadaan SIP diharapkan
tidak hanya membuka informasi alur perizinan tetapi juga informasi alur
penerimaan negara dari perizinan, sehingga pelanggaran-pelanggaran seperti tindak
pidana korupsi dapat ditekan seminimal mungkin.

Maka penulis tertarik untuk membahas mengenai suatu konsep yang dapat
menjadi solusi atas permasalahan mengenai Implikasi Revisi Undang-Undang
Minerba Terkait Sentralisasi Kewenangan Izin Usaha Tambang serta Bagaimana
meminimalisir Tindak Pidana Korupsi Korporasi disektor Pertambangan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya,


rumusan masalah yang akan dibahas adalah :

1. Bagaimana implikasi sentralisasi kewenangan izin usaha pertambangan


dalam revisi undang-undang minerba?
2. Bagaimana solusi yang diharapkan dalam sentralisasi izin usaha
pertambangan menurut revisi undang-undang minerba sehingga dapat
mencegah pelanggaran tindak pidana korupsi?

C. Tujuan

Tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut:

1. Memahami implikasi sentralisasi kewenangan izin usaha pertambangan


dalam revisi undang-undang minerba.
2. Mengetahui solusi yang diharapkan dalam sentralisasi izin usaha
pertambangan menurut revisi undang-undang minerba sehingga dapat
mencegah pelanggaran tindak pidana korupsi.

Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan hukum,


khususnya terkait dengan kepastian hukum terhadap sentralisasi izin usaha
pertambangan demi mencegah tindak pidana korupsi.

2. Manfaat Aplikatif
a. Bagi Akademisi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi sivitas akademika


sebagai bahan untuk melakukan penelitian lebih lanjut terkait solusi dalam
pencegahan tindak pidana korupsi atas sentralisasi izin usaha usaha pertambangan.

b. Bagi Pemerintah

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan


masukan dalam disusunnya peraturan terkait dengan pencegahan tindak pidana
korupsi yang tentu sangat merugikan bagi negara.

c. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan kepada
masyarakat terlebih terkait dengan hak masyarakat dalam mengelola lingkungan
dan sumber daya alamnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pertambangan

Pertambangan adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan penggalian ke


dalam tanah (bumi) untuk mendapatkan suatu yang berupa hasil tambang. 10
Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 pertambangan
adalah Sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian,
pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan
umum, eksplorasi, studi kekayaan, konstruksi, penambangan, pengolahan, dan
pemurnian, pengangkutan, penjualan, serta kegiatan pascatambang. Pengertian
pertambangan menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 di atas
merupakan pengertian pertambangan dalam arti luas karena meliputi berbagai
kegiatan pertambangan yang ruang lingkupnya dapat dilakukan sebelum
penambangan, selama proses penambangan, dan sesudah proses penambangan.

Pengertian pertambangan mineral dan pertambangan batubara adalah dua


pengertian yang berbeda. Pertambangan mineral adalah pertambangan kumpulan
mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi,
serta air tanah. 11 Sedangkan yang dimaksud dengan pertambangan batubara adalah
pertambangan endepan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen
padat, gambut dan batuan aspal. 12

Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara berasal dari beberapa istilah


yakni Hukum Pertambangan, Mineral dan Batubara. Menurut Pendapat Salim HS,
hukum pertambangan adalah keseluruhan kaidah hukum yang mengatur
kewenangan negara dalam pengelolaan bahan galian (tambang) dan mengatur

10
Gatot Supramono, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2012), hlm. 6.
11
Indonesia, Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 4 Tahun
2009, LN No.4 Tahun 2009, TLN No. 4959, Ps. 1. Angka 4.
12
Indonesia, Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 4 Tahun
2009, LN No.4 Tahun 2009, TLN No. 4959, Ps. 1. Angka 5.
hubungan hukum antara negara dengan orang dan atau badan hukum dalam
pengelolaan dan pemanfaatan bahan galian (tambang). Sedangkan definisi mineral
dan Batubara tercantum dalam Pasal 1 angka 7 dan 8, menjelaskan bahwa Mineral
adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan
kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk
batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu. Sedangkan pengertian Batubara
sebagaimana yang telah diatur juga dalam Undang-Undang Mineral dan Batubara
(selanjutnya disebut UU Minerba) adalah endapan senyawa organik karbonan yang
terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan13. Dari unsur-unsur diatas,
dapat disimpulkan bahwa pengertian hukum pertambangan mineral dan batubara
adalah kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara mineral dan batu bara
dengan negara serta antara mineral dan batubara dengan subjek hukum dalam
rangka pengusahaan mineral dan batubara.

B. Izin Usaha Pertambangan


Istilah izin usaha pertambangan yang selanjutnya disebut dengan IUP
berasal dari terjemahan Bahasa Inggris, yaitu dari kata mining permit.14
Berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral
dan Batubara IUP didefenisikan sebagai izin untuk melaksanakan usaha
pertambangan. Selanjutnya pihak-pihak yang berwenang dalam memberikan IUP
tertuang dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009, yakni:
a. Bupati/walikota apabila WIUP berada dalam satu wilayah kabupaten/kota;
b. Gubernur apabila WIUP berada pada lintas wilayah kebupaten/kota dalam
1 (satu) provinsi setelah mendapat rekomendasi dari bupati/wolikota
setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku; dan
c. Menteri apabila WIUP berada pada lintas wilayah provinsi setelah
mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

13
Salim HS, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012),
hlm. 19.
14
Ibid., hlm. 108.
Namun dengan adanya undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang
pemerintahan daerah, maka yang berwenang memberikan izin usaha pertambangan
adalah pemerintah provinsi sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.
Ketentuan peralihan Pasal 402 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah, mengatur bahwa izin yang telah dikeluarkan sebelum
berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun 20014 tetap berlaku samai dengan
habis masa berlaku izin tersebut. Kemudian dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Barubara mengatur bahwa IUP
diberikan kepada:
a. Badan usaha;
b. Koperasi; dan
c. Perseorangan.
Prinsip pemberian IUP yang diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun
2009 adalah satu IUP hanya diperbolehkan untuk satu jenis mineral atau batubara,
pemberian IUP tidak boleh lebih dari satu jenis tambang.15 Apabila dalam hal
pemegang IUP waktu melaksanakan pertambangan menemukan mineral lain selain
yang telah didaftarkan di dalam wilayah pertambangannya, maka pemegang IUP
tersebut dapat diberikan prioritas oleh pemerintah untuk dapat mengajukan
permohonan IUP baru kepada pejabat yang berwenang. Tetapi apabila pemegang
IUP tersebut tidak inginmengusahakan mineral lain yang ditemukannya tersebut,
maka ia berkewajiban untuk menjaga meniral lain tersebut agar tidak dimanfaatkan
pihak lain. Ada dua macam IUP yang biasanya dikenal, yaitu IUP Ekplorasi dan
IUP Operasi Produksi yang peneribtan izinya dilakukan secara bertahap. 16
a. IUP Ekplorasi
IUP Eksplorasi merupakan pemberian izin tahap pertama, dan
kegiatannya meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan studi
kelayakan. Kegunaan IUP Eksplorasi dibedakan untuk kepentingan jenis
pertambangan mineral logam dan mineral bukan logam. Untuk jenis
pertambangan mineral logam IUP Eksplorasinya dapat diberikan dalam
jangka waktu paling lama 8 (delapan) tahun. Sedangkan untuk IUP

15
Gatot Supramono, Op.Cit., hlm.23.
16
Ibid., hlm. 24-25.
Eksplorasi untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan paling
lama dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun.
b. IUP Operasi Produksi
IUP Operasi Produksi sebagai pemberian izin sesuai IUP Eksplorasi
diterbitkan dan kegiatannya meliputi kegiatan konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. Setiap
pemegang IUP Eksplorasi dijamin undang-undang untuk memperoleh IUP
Operasi Produksi karena sebagai kelanjutan kegiatan usaha
pertambangannya. IUP Operasi Produksi dapat diberikan kepada perusahaan
yang berbentuk perseroan terbatas, koperasi, atau perseorangan atas hasil
pelelangan WIUP mineral logam atau batu bara yang telah mempunyai data
hasil kajian studi kelayakan. IUP Operasi Produksi untuk pertambangan
mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 tahun dan
dapat diperpanjang dua kali masing-masing 10 tahun. Sedangkan untuk
pertambangan mineral bukan logam IUP Operasi Produksinya dapat
diberikan dalam jangka waktu paling lama 10 tahun dan dapat diperpanjang
dua kali masing-masing 5 tahun.

Selaku Pemegang IUP ada hak dan kewajiban yang harus dipatuhi. Hak dan
kewajiban ini telah dipaparkan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pemegang IUP memiliki hak untuk:
(1) Pemegang IUP dan IUPK dapat rnelakukan sebagian atau seluruh tahapan usaha
pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun kegiatan operasi produksi. (2)
Pemegang IUP dan IUPK dapat memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk
keperluan pertambangan setelah memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan. (3) Pemegang IUP dan IUPK berhak memiliki mineral, termasuk
mineral ikutannya, atau batu bara yang telah diproduksi. (4) Pemegang IUP dan
lUPK tidak boleh memindahkan IUP dan IUPK-nya kepada pihak lain. Untuk
pengalihan kepemilikan dan/atau saham di bursa saham Indonesia hanya dapat
dilakukan setelah melakukan kegiatan eksplorasi tahapan tertentu.

Selain hak, pemegang IUP juga memiliki kewajiban. Kewajiban tersebut


adalah: (1) menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik; (2) mengelola
keuangan sesuai dengan sistem akuntansi Indonesia; (3) meningkatkan nilai tambah
sumber daya mineral dan/atau batubara; (4) melaksanakan pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat setempat; dan (5) mematuhi batas toleransi daya dukung
lingkungan. Berakhirnya izin usaha pertambangan telah ditentukan dalam Pasal 117
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009. Maksud dari berakhirnya izin usaha
pertambangan mineral adalah selesai atau tidak berlakunya lagi izin usaha
pertambangan yang diberikan kepada pemegang IUP. Ada 3 (tiga) cara berakhirnya
IUP, yaitu:

a. Dikembalikan;
b. Dicabut; atau
c. Habis masa berlakunya.
IUP yang berakhir karena dikembalikan adalah tidak berlakunya lagi izin
yang diberikan kepada pemegang IUP, dimana pemegang IUP menyerahkan
kembali IUPnya secara tertulis kepada pejabat yang berwenang. Dalam rangka
penyerahan IUP, pemegang IUP harus mengemukakan alasan yang jelas. Yang
dimaksud dengan alasan yang jelas, antara lain tidak ditemukannya prospek secara
teknis, ekonomis, atau lingkungan.

IUP yang berakhir karena dicabut adalah tidak berlakunya lagi IUP karena
dinyatakan ditarik kembali atau dinyatakan tidak berlaku lagi atau membatalkan
IUP yang telah diberikan kepada pemegang IUP oleh pejabat yang berwenang.
Pejabat yang berwenang untuk mencabut IUP adalah Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai kewenangannya. Ada 3 (tiga) alasan pejabat yang
berwenang untuk mencabut IUP pemegang IUP, meliputi:

1) Pemegang IUP tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP


serta peraturan perundang-undangan;
2) Pemegang IUP melakukan tindak pidana; atau
3) Pemegang IUP dinyatakan pailit.
Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 telah ditentukan kewajiban
yang harus dilakukan pemegang IUP. Apabila salah satu kewajiban sebagai
pemegang IUP tidak dipenuhi, maka dianggap sudah cukup untuk mencabut izin
sebagai pemegang IUP. Namun dalam hal ini pejabat yang berwenang terlebih
dahulu melakukan teguran sebanyak tiga kali kepada pemegang IUP. Apabila
teguran tersebut tidak diindahkan, maka pejabat yang berwenang dapat mencabut
IUP secara sepihak.
C. Kewenangan Pemerintah dalam Bidang Pertambangan
Dalam lampiran Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah disebutkan perihal pembagian urusan pemerintahan di bidang energi dan
sumber daya mineral, yang mana kewenangan terkait mineral dan batubara dibagi
kepada pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Kewenangan pemerintah pusat
dalam bidang energi dan sumber daya mineral khususnya mineral dan batubara
yaitu sebagai berikut:

a. Penetapan wilayah pertambangan sebagai bagian dari rencana tata ruang


wilayah nasional, yang terdiri atas wilayah usaha pertambangan, wilayah
pertambangan rakyat dan wilayah pencadangan negara serta usaha
pertambangan khusus;
b. Penetapan wilayah izin usaha pertambangan mineral logam dan batubara
serta wilayah izin usaha pertambangan khusus;
c. Penetapan wilayah izin usaha pertambangan mineral bukan logam dan
batuan lintas daerah provinsi dan wilayah laut lebih dari 12 mil;
d. Penerbitan izin usaha pertambangan mineral logam, batubara dan batuan
pada:
1) Wilayah izin usaha pertambangan yang berada pada wilayah lintas
daerah provinsi;
2) Wilayah izin usaha pertambangan yang berbatasan langsung dengan
negara lain; dan
3) Wilayah laut lebih dari 12 mil.
e. Penerbitan izin usaha pertambangan dalam rangka penanaman modal asing;
f. Pemberian izin usaha pertambangan khusus mineral dan batubara;
g. Pemberian registrasi izin usaha pertambangan dan penetapan jumlah
produksi setiap daerah provinsi untuk komoditas mineral logam dan
batubara;
h. Penerbitan izin usaha pertambangan operasi produksi khusus untuk
pengolahan dan pemurnian yang komoditas tambangnya berasal dari daerah
produksi lain di luar lokasi fasilitas pengolahan dan pemurnian, atau impor
serta dalam rangka penanaman modal asing;
i. Penerbitan izin usaha jasa pertambangan dan surat keterangan terdaftar
dalam rangka penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing
yang kegiatan usahanya di seluruh wilayah Indonesia;
j. Penetapan harga patokan mineral logam dan batubara;
k. Pengelolaan inspektur tambang dan pejabat pengawas pertambangan.

Sedangkan kewenangan pemerintah provinsi adalah sebagai berikut:


a. Penetapan wilayah izin usaha pertambangan mineral bukan logam dan
batuan dalam satu daerah provinsi dan wilayah laut sampai dengan 12 mil;
b. Penerbitan izin usaha pertambangan mineral logam dan batubara dalam
rangka penanaman modal dalam negeri pada wilayah izin usaha
pertambangan daerah yang berada dalam satu daerah provinsi termasuk
wilayah laut sampai dengan 12 mil laut;
c. Penerbitan izin usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan dalam
rangka penanaman modal dalam negeri pada wilayah izin usaha
pertambangan yang berada dalam satu daerah provinsi termasuk wilayah
laut sampai dengan 12 mil laut;
d. Penerbitan izin pertambangan rakyat untuk komoditas mineral logam,
batubara, mineral bukan logam dan batuan dalam wilayah pertambangan
rakyat;
e. Penerbitan izin usaha pertambangan operasi produksi khusus untuk
pengolahan dan pemurnian dalam rangka penanaman modal dalam negeri
yang komoditas tambangnya berasal dari satu daerah provinsi yang sama;
f. Penerbitan izin usaha jasa pertambangan dan surat keterangan terdaftar
dalam rangka penanaman modal dalam negeri yang kegiatan usahanya
dalam satu daerah provinsi;
g. Penetapan harga patokan mineral bukan logam dan batuan.

D. Korupsi Dan Kejahatan Kerah Putih (White Colar Crime)

B.Lopa dalam bukunya Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum


mengutip pengertian Kejahatan Kerah Putih menurut Hazel Croall sebagai berikut:

“White colar crime is defined as the abuse of a legitimate occupational role


which is regulated by law. Selanjutnya dikatakan: the term white collar
crime with fraud, embezzlement and other offences associated with high
status employees”17.

Hazel Croall berpendapat bahwa kejahatan kerah putih merupakan


kejahatan yang selalu menggerogoti aset perusahaan dalam jumlah besar dengan
cara menipu, menggelapkan dan cara-cara licik lainnya, serta dilakukan oleh orang-
orang yang memegang posisi menentukan di dalam birokrasi/perusahaan tersebut.
Karena pendapatan mereka lebih dari cukup, maka mereka adalah termasuk orang-
orang yang sudah mapan hidupnya.
Kejahatan kerah putih merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi.
Menurut Andi Hamzah, korupsi berasal dari kata Latin Corruptio, atau Corruptus
yang kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Perancis Corruption. Dalam
bahasa Belanda Korruptie, dan selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan
“Korupsi”. J.M.Echols dan H.Shadily menerjemahkan korupsi secara harfiah,

17
Lopa.B, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, (Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 35.
berarti jahat atau busuk.Sedangkan A.I.N.Kramer. ST menerjemahkannya sebagai
busuk, rusak atau dapat disuapi. 18
J.Pope19 dalam bukunya Strategi Memberantas Korupsi (Elemen Sistem
Integritas Nasional) pada halaman 6-7 mengatakan, korupsi adalah mencakup
perilaku pejabat-pejabat sektor publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang
memerkaya diri mereka secara tidak pantas dan melanggar hukum, atau orang-
orang dekat dengan mereka, dengan menyalahgunakan kekuasaan yang
dipercayakan kepada mereka. Selanjutnya R. Klitgaard20 dalam bukunya yang
berjudul Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah tepatnya
pada halaman 2 mendefinisikan korupsi adalah menggunakan jabatan untuk
kepentingan pribadi.
Definisi yang lebih luas dikemukakan oleh Bambang Poernomo, bahwa
kejahatan kerah putih didefenisikan sebagai: 21
a) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara
langsung atau tidak langsung atau diketahui atau patut disangka dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
b) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dengan
menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan yang secara
langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara;
c) Kejahatan tertentu dalam kitab undang-undang hukum pidana yang
menyangkut kekuasaan umum, pekerjaan pembangunan, penggelapan atau
pemerasan yang berhubungan dengan jabatan;
d) Memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat
sesuatu kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya;
e) Tidak melapor setelah pemberian atau janji kepada yang berwajib dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya tanpa alasan yang wajar sehubungan
dengan kejahatan jabatan.

Korupsi terjadi apabila seseorang secara tidak sah meletakkan kepentingan


pribadinya di atas kepentingan rakyat serta cita-cita yang menurut sumpah akan

18
Prinst.D., Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2002), hlm. 1.
19
Pope.J., Strategi Memberantas Korupsi (Elemen Sistem Integritas Nasional), (Jakata:
Tranparancy International Indonesia & Yayasan Obor Indonesia, 2003), hlm. 6-7.
20
Kaligis.O.C., Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus dalam
Pemberantasan Korupsi, (Bandung: PT. Alumni, 2006), hlm. 2.
21
Bambang Purnomo, Potensi Kejahatan Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1983
), hlm. 43.
dilayaninya. Korupsi itu muncul dalam banyak bentuk dan menyangkut
penyalahgunaan instrumen-instrumen kebijakan, apakah kebijakan mengenai tarif,
sistem penegakan hukum, keamanan umum, pelaksanaan kontrak, pengembalian
pinjaman, dan hal-hal lain, atau menyangkut prosedur-prosedur sederhana.22
Dalam perkembangannya, korupsi tidak sekedar suatu tindakan yang
dilakukan oleh seorang pelaku yang melakukan pelanggaran hukum semata.
Melainkan ada indikasi dan kecenderungan yang menarik, disebagian kejahatan
korupsi, diduga terjadi kombinasi antara penyalahgunaan kewenangan atau
memperdagangkan pengaruh dari penyelenggaraan negara dan/atau elite kekuasaan
politik tertentu yang bertemu dengan kepentingan bisnis dari kalangan privat.
Dari pendapat para sarjana di atas, dapat disimpulkan bahwa korupsi
sebagai penyalahgunaan jabatan, kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki untuk
memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan cara melawan hukum sehingga
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pengertian korupsi
di atas sesuai dengan isi Pasal 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang
mengatakan:
"Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah)".

Pasal 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi di atas menyiratkan bahwa


pelaku tindak pidana korupsi harus memangku suatu jabatan atau kedudukan.
Kemudian jabatan atau kedudukan tersebut secara otomatis mempunyai wewenang.
Dengan demikian penyalahgunaan wewenang, kesempatan dan sarana yang ada
karena jabatan atau kedudukan tersebut menggunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang dijabat atau diduduki
oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk tujuan lain dari maksud diberikannya
kewenangan, kesempatan atau sarana tersebut.

22
Kaligis.O.C., Op. Cit, hlm. 72.
E. Digitalisasi Sentralisasi Izin Usaha Pertambangan

Digitalisasi sentralisasi izin usaha pertambangan merupakan Implikasi


teknologi digital (digitalisasi teknologi) sebagai bagian dari prinsip Revolusi 4.0
menjadi urgensi dalam setiap industri, tidak terkecuali industri pertambangan.
Digitalisasi teknologi meliputi Cloud Computing, Big Data, Machine Learning,
Artificial Intelligence, Internet of Things, hingga Blockchain yang membuat
industri pertambangan lebih berdaya. Digitalisasi teknologi pada industri
pertambangan menuntut adanya perubahan yang sangat berarti pada proses kerja,
khususnya dalam bidang operasional tambang. Digitalisasi ini membantu hampir
seluruh kegiatan operasional pertambangan mulai dari perencanaan dan
pengembangan lahan tambang, eksploitasi, sistem tranportasi hingga pengelolaan
hasil pertambangan.
Digitalisasi teknologi pertambangan membuat kegiatan operasional industri
pertambangan menjadi semi otomatis. Bentuk digitalisasi pertambangan dapat
dilihat dari pengopersian mesin bor oleh operator jarak jauh, mesin robot untuk
drilling, Internet of Things untuk menghubungkan semua elemen dan sumber daya
manusia kedalam sistem pengelolaan data, hingga aplikasi digital twina untuk
memproduksi data. Digitalisasi teknologi pertambangan juga merambah ke bidang
tranfortasi, supply chain management, sumber daya manusia dan HSE (Health,
Safety and Environment).Terdapat banyak keuntungan yang didapatkan dari
digitalisasi ini yang diperkirakan dapat meraih peningkatan margin sebesar 20%.
Tidak hanya itu, digitalisasi juga membuat biaya lebh murah dan kendali lebih besar
dalam pengalokasian sumber daya, hingga keselamatan para pekerja dan
lingkungan sekitar.
Keuntungan sistem digitalisasi pertambangan sisi sentralisasi perizinan
pertambangan adalah kemudahan dalam proses pengajuan perizinan tambang,
adanya transparansi infromasi yang dapat diakses oleh khalayak ramai, dan
memudahkan pengawasan kesiatan pertambangan. Meskipun demikian, penerapan
digitalisasi teknologi industri pertambangan di Indonesia mesih menghadapi
banyak tantangan, seperti kualitas internet yang buruk di lokasi tambang, rendahnya
kesadaran akan ekosistem digital, relative rendahnya refernsi penggunaan di ranah
lokal, dan rendahnya keterampilan digital di industri pertambangan. 23

F. Digitalisasi Melalui Sistem Satu Informasi Perizinan (SIP)

Sistem Informasi Perizinan (SIP) adalah sebuat prototipe sistem


penyimpanan data, pengelolaan data, permohonan, evaluasi, verifikasi, pemberian
dan pengawasan izin yang berbasis dalam jaringan (online). Dengan demikian
diharapkan SIP dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi antarinstansi dalam
proses perizinan, menjadi satu layanan terintegrasi bagi pemohon izin untuk
memproses dan mendapatkan informasi terkait perizinan, serta memperkuat sistem
penataan hukum perizinan. Selain itu, di sisi lain SIP juga diharapkan dapat menjadi
jendela informasi bagi masyarakat umum untuk memperoleh data perizinan sesuai
dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Ruang Lingkup Satu Informasi (SIP)
Pada tahapan awal pengembangan SIP, maka ruang linkup SIP yang akan
difokuskan pada izin-izin berbasis lahan, yaitu lahan pada bidang perkebunan dan
pertambangan. Alasan kedua bidang ini diprioritaskan mengingat pentingnya
kontibusi kedua bidang ini dalam struktur ekonomi Indonesia. Selain itu, kedua
bidang ini juga memberi dampak yang sangat signifikan terhadap struktur sosial
dan lingkungan sehingga memerlukan kehati-hatian dalam pelaksanaannya. Oleh
karena itu, peningkatan efektivitas layanan perizinan serta perbaikan pengawasan
pada kedua bidang ini diharapkan dapat meningkatkan keuntungan ekonomi dan
memperkecil dampak sosial dan lingkungannya 24. Pengembangan terhadap bidang-
bidang usaha lainnya di masa mendatang akan dilakukan secara bertahap dengan
memprioritaskan pda izin-izin yang berbasiskan lahan. Adapun bidang-bidang
usaha yang berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut adalah: panas bumi,
minyak dan gas. Transmigrasi dan ketenagakerjaan.

23
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, “Revolusi Industri 4.0: Menyoal
Digitalisasi” https://www.esdm.go.id/id/berita-unit/badan-pengembangan-sumber-daya-
manusia/revolusi-industri-40-menyoal-digitalisasi diakses 25 September 2021.
24
Kartikasari Feby Ivalerina,Tambang Hutan dan Kebun, cet.1 (Bogor:IPB Press,2015),
hlm. 32.
BAB III

METODE PENELITIAN

Sebagai suatu penelitian ilmiah, penelitian hukum didasarkan pada suatu


metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu
atau beberapa gejala hukum dengan jalan menganalisanya 25. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif, yaitu penelitian hukum
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Tipe
penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yang bersifat melukiskan
tentang suatu konsep desentralisasi izin usaha pertambangan dengan
mengedepankan aspek penanganan upaya pelanggaran korupsi didalamnya. Jenis
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang mencakup,
buku-buku, jurnal, Internet, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, media
berita dan lain sebagainya.

Alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen yang


dilakukan melalui data tertulis serta bahan hukum dengan menggunakan teknik
analisis konten. Bahan hukum yang digunakan untuk penelitian ini terdiri dari:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yakni :

a. Undang-Undang Dasar 1945


b. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Revisi Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara
d. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
e. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara.

25
Soerjono Soekanto, 2015, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3 Jakarta, Penerbit
Universitas Indonesia, hlm. 43.
f. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
g. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Energi Dan Sumber Daya Mineral.
h. Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara
Pemberian Wilayah, Perizinan dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara.
i. Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2015 tentang Pendelegasian
Wewenang Pemberian Perizinan Bidang Pertambangan Mineral dan
Batubara Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.
j. Peraturan Gubernur Provinsi Jambi Nomor 31 Tahun 2014 Tentang
Penggunaan Satu Informasi Perizinan sebagai pangkalan data izin di
bidang pertambangan dan perkebunan di Provinsi Jambi.

2. Bahan hukum sekunder

Yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya:


hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, pendapat ilmiah para sarjana dan
buku-buku literatur yang berkaitan dengan sentralisasi perizinan tambang kepada
pemerintah pusat dan hubungannya dengan ancaman tindak pidana korupsi.

3. Bahan hukum tersier,

Yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan


terhadap bahan hukum primer dan sekunder yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia
dan kamus hukum. Metode analisa data yang terkumpul menggunakan pendekatan
kualitatif, yaitu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, dengan
meneliti dan mempelajari obyek penelitian yang utuh. Pada penelitian hukum
normatif dengan data sekunder, penyajian data penelitian ini akan dilakukan
bersama dengan analisanya demi mendapatkan data yang akurat terhadap
permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Implikasi Sentralisasi Kewenangan Izin Usaha Pertambangan Dalam


Revisi Undang-Undang Minerba

Disahkannya Undang-Undang Minerba terbaru yakni Undang-Undang


Nomor 3 Tahun 2020 atas Perubahan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
menuai kontroversial. Apalagi pembahasan Undang-Undang ini dilaksanakan
ditengah pandemi Covid-19 yang seharusnya pemerintah harus mengoptimalkan
upaya pencegahan penularan virus yang membahayakan kesehatan. Namun dalam
revisi Undang-Undang Minerba terkesan kejar tayang untuk disahkan serta
membuka pintu lebar kepada para investor untuk berinvestasi khususnya di sektor
pertambangan. Oleh karena itu, para investor yang ingin berinvestasi, tentu harus
memenuhi syarat mendirikan perusahaan tambang salah satunya memperoleh izin
tambang dalam operasional kegiatan usahanya di sektor pertambangan.

Upaya sentralisasi kewenangan pemerintah pusat yang termaktub didalam


revisi Undang-Undang Minerba bertujuan untuk memutus rantai birokrasi yang
berbeli-belit selama ini terjadi26. Sehingga mengakibatkan lemahnya laju
pembangunan perekonomian nasional di Indonesia. Beberapa upaya yang
dilakukan oleh pemerintah pusat sebagai bentuk menyelesaikan problematika
birokrasi sebagai efesiensi tindakan yang baik untuk dilakukan.

Namun dengan sentralisasi kewenagan izin usaha tambang dalam Undang-


Undang Minerba justru memiliki Implikasi yang merugikan masyarakat.Maka dari
itu, dalam penulisan ini kami memaparkan beberapa poin implikasi dari sentralisasi
kewenangan pemerintah pusat dalam hal perizinan usaha tambang.

26
Rony Sulistyanto dan Rachmasari Kusuma Dewi, “Sentralisasi Kewenangan Perizinan
Usaha Oleh Pemerintah Pusat dalam Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara,”Al-Adl
Vol.13 No.2 (Juli 2020),hlm.280.
1. Implikasi Pemberian Kemudahan Perizinan Usaha Tambang
Sebagai Upaya Pemangkasan Birokrasi Dalam Revisi Undang-
Undang Minerba
Menurut Bagir Manan sebagaimana yang dikutip oleh Ridwan HR
menyebutkan bahwa izin dalam arti luas berarti suatu persetujuan dari penguasa
berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan melakukan
tindakan atau perbuatan tertentu yang pada umumnya dilarang27 .Perizinan usaha
tambang merupakan hal yang urgensi khususnya bagi pengusaha tambang yang
ingin berinvestasi di Indonesia. Dengan adanya perizinan usaha tambang secara
legal, maka operasional kegiatan usaha tambang pun dilakukan tanpa hambatan
karena adanya perlindungan pemerintah yang ikut andil didalamnya.

Perizinan usaha tambang tentu cenderung berubah-ubah karena adanya


ketidaksesuaian pengaturan dengan kebutuhan hukum didalam masyarakat. Maka
perizinan usaha memiliki perbedaan pengaturan dari masa kemasa.

Tabel 4.1 Rezim Perundang-Undangan tentang Perizinan Usaha Pertambangan

No Undang-Undang Pasal Makna


1 Undang-Undang Nomor 11 Pasal 11 ayat Menerangkan bahwa izin
Tahun 1967 tentang (2), (3) pertambangan berada di
Ketentuan Pokok tangan rakyat daerah
Pertambangan sekitar pertambangan serta
pengelolaannya diatur
dalam Peraturan Dearah
2 Undang – Undang Nomor 4 Pasal 37 Mengatur kewenanga Izin
Tahun 2009 tentang Usaha Pertambangan(IUP)
Mineral dan Batubara diberikan oleh :
a. Bupati/walikota
apabila Wilayah
Izin Usaha
Pertambangan
(WIUP) berada di
wilayah
kabupaten/kota;
b. Gubernur apabila
apabila Wilayah
Izin Usaha
Pertambangan

27
Ridwan HR, Hukum Adminitrasi Negara,(Jakarta: RajaGrafindo,2003),hlm.199.
(WIUP) berada di
wilayah satu
provinsi setelah
mendapatkan
wilayah
rekomendasi dari
pemerintah
kabupaten/kota;
c. Menteri apabila
Wilayah Izin
Usaha
Pertambangan
(WIUP) berada di
wilayah lintas
provinsi setelah
mendapatkan
rekomendasi dari
bupati/walikota
dan gubernur.
3 Peraturan Pemerintah Pasal 6 ayat Menerangkan bahwa Izin
Nomor 23 Tahun 2010 (1) Usaha Pertambangan(IUP)
tentang Pelaksanaan diberikan oleh Menteri
Kegiatan Usaha gubernur atau
Pertambangan Mineral dan bupati/walikota.
Batu bara
4 Undang-Undang Nomor 3 Pasal 35 ayat Menerangkan bahwa
Tahun 2020 (1) kewenangan Izin Usaha
Pertambangan (IUP)
berada di pemerintah pusat

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada tabel diatas menandakan adanya


disharmonisasi pengaturan izin usaha tambang di Indonesia. Izin usaha tambang
yang cenderung berubah-ubah karena tidak sesuai dengan kebutuhan perekonomian
nasional khususnya disektor pertambangan dari masa ke masa. Maka dari itu,
bentuk upaya pemerintah dalam meminimalisir kesulitan dalam perizinanan
tambang yakni dengan sentralisasi izin usaha tambang yang diatur dalam Undang-
Undang Minerba . Disahkannya Undang-Undang Minerba terbaru yakni Undang–
Undang Nomor 3 Tahun 2020 bertujuan untuk memangkas birokrasi dalam hal
perizinan usaha tambang yang menyulitkan para pengusaha untuk mendirikan
usahanya disektor pertambangan. Maka dari itu pemerintah berupaya membuka
kemudahan para pengusaha tambang yang mempersoalkan perihal perizinan usaha
pertambangannya di Indonesia

Namun dari pemberian kemudahan atas perizinan usaha tersebut malah


menimbulkan berbagai permasalahan baru disektor pertambangan yakni adanya
indikasi korupsi pada proses pemberian izin usaha. Izin usaha yang mudah akan
diyakini bagi para elite politik dan pengusaha memanfaatkan situasi ini dengan
faktor kepentingan dari diri masing-masingnya. Para elite pengusaha akan lebih
leluasa untuk memperoleh perizinan usaha pertambangan (IUP) apabila cukup
dalam hal politik,finansial dan faktor lainnya. Bukan hanya itu, para pengusaha pun
memiliki kesempatan untuk bisa memperpanjang perizinan sesuai dengan apa yang
dibutuhkannya sehingga berakibat fatal juga bagi lingkungan hidup apabila
diberikan izin usaha yang sewenang-wenang.

Transparency Internasional Indonesia melakukan studi untuk menilai risiko


korupsi pada proses pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) mulai dari tahapan
penetapan wilayah pertambangan (WP), pelelangan wilayah izin usaha
pertambangan, sampai dengan tahapan penerbitan IUP khususnya IUP Eksplorasi28.
Hasil Penilaian menemukan bahwa terdapat 35 reisiko dalam pemberian IUP yang
dapat memicu adanya praktek korupsi, 20 risiko diantaranya dikategorikan sangat
tinggi, artinya risiko tersebu hampir pasti tu sangat mungkin terjadi dan
menimbulkan dampak yang sangat buruk jika tidak ada upaya mengatasi dan
memperbaiki permasalahan dan kesenjangan dalam sistem dan tata kelola
pemberian IUP.

2. Lemahnya Pengawasan Dalam Proses Pemberian Izin Usaha


Tambang
Sumber daya alam khususnya bahan tambang mineral dan batu bara
merupakan sumber daya alam tak terbarukan yang dimanfaatkan untuk dapat
meningkatkan pembangunan perekonomian nasional. Namun cita-cita tersebut
tidak dapat terlaksana apabila tata kelola pemanfaatan sumber daya bahan tambang

28
Transparency International Indonesia,”Pemberian Izin Usaha Pertambangan Rawan
Korupsi”https://ti.or.id/pemberian-izin-usaha-pertambangan-rawan-korupsi/ diakses pada
tanggal 24 September 2021
belum optimal. Sehingga akan memberikan implikasi yang buruk dalam
pengelolaan sumber daya alam pertambangan di Indonesia.

Pada dasarnya, tujuan dari pengelolaan Minerba telah terejawantahkan


dalam Pasal 2 Undang-Undang Minerba permasalahan yang menyatakan bahwa 29
Pertambangan mineradan/atau batubara dikelola berasaskan :

a. Manfaat,keadian dan keseimbangan


b. Keberpihakan kepada kepentingan bangsa
c. Partidipatif, transparansi dan akuntabilitas
d. Berkelanjutan dan berwawasan lingkungan

Transparansi yaitu suatu asas bahwa dalam pelaksanaan pertambangan


mineral dan batubara harus dilaksanakan secara terbuka. Asas ini diperlukan
sebagai tolak ukur kinerja dari pemerintah pusat khusunya pada pemberian izin
usaha dalam bentuk pengawasan dari masyarakat. Dalam tansparansi pengelolaan
yang terbuka terkait dengan informasi pengelolaaan yang dapat diakses secara
umum sehingga lembaga negara dan anggota masyarakat seperti lembaga swadaya
masyarakat dapat memantau dan memberikan pengawasan secara efektif30
khususnya dalam pemberian perizinan usaha tambang.

Sentralisasi kewenangan izin usaha tambang menimbulkan problematika


khususnya pada transparansi dalam hal perizininan usaha oleh pemerintah pusat.
Jikalau segala perizinan usaha tambang yang bertumpu seluruhnya ke pemerintah
pusat, menimbulkan antrian yang panjang bagi para pengusaha tambang untuk bisa
mendapatkan suatu izin usaha tambang. Dengan situasi ini, para pengusaha akan
berkompetensi untuk bisa mendapatkan izin usaha secara mudah dengan melakukan
praktik yang sewenang-wenang. Seperti para kalangan elite politik dan pengusaha
tambang yang mampu secara politik dan finansial yang ikut terjun dalam proses
izin usaha tambang , berimplikasi melakukan penyalahgunaan penguasaan serta
praktik korupsi izin tambang yang seharusnya terbuka atau transparan justru bisa
menyimpang diluar konteks yang telah diatur didalam perundang-undangan.

29
Imas novita Juaningsi, “Polemik Revisi Undang-Undang Minerba Dalam Dinamika Tata
Negara,”adalah:Buletin Hukum dan Keadilan,Vol.4No.3(2020),hlm,107.
30
Marthen B. Salinding, “Prinsip Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara yang
Berpihak kepada Masyarakat Hukum Adat,” Jurnal Konstitusi, Voll.16,No.1 (Maret 2019)”hlm.155.
B. Upaya Digitalisasi Sentralisasi Izin Usaha Tambang Dalam Revisi
Undang-Undang Minerba.

Pada hakikatnya izin merupakan instrumen yuridis yang digunakan


pemerintah untuk mengendalikan kegiatan warganys guna mencapai tujuan tertentu
(Spelt dan Berge, 1993).31 Setiap izin yang diterbitkan oleh pemerintah akan
melibatkan setidaknya pihak pemohon izin, pemberi izin pengawas izin, dan
(seharusnya) masyarakat yang berpotensi terkena dampak dari penerbitan izin
tersebut. Dalam proses perizinan, suatu izin diterbitkan apabila pihak pemohon izin
memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan oleh peraturan
perundsng-undangan. Pasca-perizinan, pemilik izin juga memiliki tanggung jawab
untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang dipersyaratkan oleh peraturan
perundang-undangan maupun izin itu sendiri.

Dalam praktiknya sebelum hadirnya revisi Undang-Undang Mineral dan


Batubara (Minerba) adanya desentralisasi izin usaha pertambangan (IUP) yang
dilakukan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, seperti yang termuat
didalam PP No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara. Dilakukan dengan cara permohonan wilayah. Permohonan
wilayah maksudnya adalah setiap pihak badan usaha, koperasi atau perseorangan
yang ingin memiliki IUP harus menyampaikan permohonan kepada Menteri,
Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya. Pembagian kewenangan
Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota adalah32:

1. Menteri ESDM, untuk permohonan wilayah yang berada lintas wilayah


provinsi atau wilayah laut lebih dari 12 mil dari garis pantai.
2. Gubernur, untuk permohonan wilayah yang berada lintas wilayah
kabupaten/kota dalam 1 provinsi atau wilayah laut 4 sampai dengan 12
mil.
3. Bupati/Walikota, untuk permohonan wilayah yang berada di dalam 1
wilayah kabupaten/kota atau wilayah laut sampai dengan 4 mil.

31
Kartikasari Feby Ivalerina,Tambang Hutan dan Kebun, cet.1 (Bogor:IPB Press,2015),
hlm. 12.
32
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, “Tata Cara Pemberian Izin Usaha
Pertambangan Batuan”, https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/tata-cara-
pemberian-izin-usaha-pertambangan-batuan diakses 21 September 2021.
Dalam proses implementasinya, banyak terjadi penyimpangan-
penyimpangan dalam proses perizinan, terutama terkait izin-izin yang berbasis
lahan pertambangan, permasalahan-permasalahan yang terjadi di sektor perizinan
di Indonesia diakibatkan oleh proses penerbitan izin yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, lemahnya pengawasan atas izin yang diterbitkan,
kurangnya koordinasi antar instansi pemerintah yang terlibat dalam proses
perizinan. Dalam kaitannya dengan izin-izin yang berbasis lahan tambang, hal
tersebut berakibat pada tumbang tindih lahan antara izin-izin yang diterbitkan oleh
masing-masing instansi pemerintah sesuai dengan kewenangannya. Pada intinya,
permasalahan-permasalahan yang kerap terjadi tersebut diakibatkan oleh buruknya
tata kelola dalam proses perizinan.

Salah satu penyebab maraknya pemberian izin adalah tidak adanya


transparansi dan akuntabilitas dalam sistem perizinan. Jika tidak ada keterbukaan
dalam proses pemberian izin, penerbitan izin yang tidak sesuai dengan prosedur
yang sah akan mudah dilakukan. Di sisi lain, ketiadaan transparansi juga
menyebabkan sulitnya menghitung dan mendapatkan penerimaan negara yang
sesungguhnya dari usaha pertambangan terkhususnya, dengan ketidakjelasan
penghitungan ini lah yang akan menjadi akar dari pelanggaran korupsi nantinya33.

Dalam rangka memperbaiki tata kelola perizinan di Indonesia dibutuhkan


suatu sistem perizinan yang terintegritasi, khususnya yang berbungan dengan izin-
izin terkait lahan, yang mencakup dokumentasi dan informasi atas izin-izin yang
telah diterbitkan, pengawasan atas izin yang berlaku, serta proses permohonan
perizinan yang sederhana, transparan dan akuntabel. Seiring dengan perkembangan
teknologi informasi, sistem perizinan tersebut diharapkan dapat dibuat secara
daring ( didalam jaringan atau online), sehingga bisa mempermudah akses oleh
seluruh pihak yang memiliki kepentingan dalam suatu proses perizinan. Salah satu
inisiatif untuk membenahi sistem perizinan menjadi lebih transparan adalah Satu
Informasi Perizinan (SIP). Keberadaan SIP diharapkan tidak hanya membuka
informasi alur perizinan tetapi juga informasi alur penerimaan negara dari

33
Kartikasari Feby Ivalerina., Op. Cit, hlm. 202.
perizinan, sehingga pelanggaran-pelanggaran seperti tindak pidana korupsi dapat
ditekan seminimal mungkin.

Satu Informasi Perizinan (SIP) adalah sebuah prototipe sistem penyimpanan


data, pengelolaan data, permohonan, evaluasi, verifikasi, pemberian dan
pengawasan izin yang berbasis dalam jaringan (online). Sistem ini
mengintegrasikan proses birokrasi perizinan lintas instansi pemerintahan di tingkat
pusat maupun daerah, dengan fitur (i) pangkalan data (database), yang menyimpan
seluruh dokumen persyaratan teknis dan persyaratan administrasi izin, baik dalam
proses pemberian izin maupun implementasi izin, secara tersistematis; (ii)
permohonan izin, yang meliputi portal permohonan izin terintegrasi dan pelaksanan
fungsi verifikasi administratif dalam proses perizinan yang terhubung lansung
melalui koneksi dengan data atau sistem informasi berbagai instansi terkait; (iii)
pengawasan, yang memberikan informasi lengkap dan terkini bagi pejabat
pengawas dan pemegang izin mengenai pemenuhan kewajiban izin, yang disertai
dengan notifikasi otomatis yang memberikan kemudahan bagi kedua belah pihak;
(iv) sarana komunikasi bagi pejabat terkait perizinan, lintas instansi pemerintahan,
melalui portal online, dan (v) diseminasi informasi perizinan bagi masyarakat
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU
KIP).

Terdapat beberapa keuntungan yang diharapkan dari fitur ini34. Pertama,


Jumlah tatap muka antara pihak pemohon izin dan pihak pemberi izin dapat
dikurangi. Dengan demikian, peluang terjadinya praktik korupsi, kolusi dan
nepotisme dalam proses pemberian izin juga diharapkan dapat berkurang. Kedua,
koordinasi antarinstansi pemberi izin dapat berlansung secara lebih efektif.
Koordinasi kerap sulit dilaksanakan dengan tatap muka lansung, dengan kehadiran
SIP ini diharapkan koordinasi dapat terlaksana secara virtual dengan akuntabilitas
yang lebih jelas. Akuntabilitas dapat terwujud karena dalam sistem seperti SIP akan
tercatat secara sistematis kspsn suatu keputusan diambil dan pihak mana yang
mengambil keputusan tersebut. Ketiga, adanya kejelasan rantai perizinan.
Kejelasan ini harus diambil saat SIP dibentuk, karenanya seluruh instansi terkait

34
Ibid, hlm. 21.
dituntut duduk bersama guna menyetujui secara teknis rantai perizinan terkait
dalam suatu izin berbasis lahan pertambangan. Selama ini, keputusan-keputusan
teknis terkait rantai perizinan kerap dapat diabaikan mengingat model pembahasan
kebijakan perizinan bersifat sektoral sehingga masing-masing sektor dapat
mengambil keputusan secara independen. Dengan adanya SIP maka keputusan atas
proses perizinan tidak lagi dapat dilaksanakan secara terpisah karena hanya akan
ada satu sistem yang akan digunakan bersama yaitu SIP.

Keempat, kejelasan atas proses perizinan yang sudah menjadi bagian dari
SIP diharapkan dapat membangun kesatuan paham dari berbagai instansi pusat
berkaitan dengan proses pemberian izin, termasuk bila terdapat perubahan
peraturan perundang-undangan di sektor tertentu yang akan tercermin dalam proses
perizinan di SIP. Selama ini, akibat proses perizinan yang rumit dan sektoral,
apalagi terdapat aturan-aturan baru, kerap terdapat perbedaan pendapat dari pejabat
pemberi izin tentang proses yang harus diikuti. Hal demikian sering kali
menimbulkan sengketa dan ketidakpastian hukum hingga berdampak kepada tindak
pidana korupsi dan tentunya adanya persepsi negatif terhadap marwah birokrasi
Indonesia. Kelima, tercatatnya seluruh proses beserta terdokumentasikannya
dokumen pendukung yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini
dapat memfasilitasi penyimpanan dokumen dan kejelasan atas proses apabila
terdapat sengketa di kemudian hari. Terakhir, alur perizinan yang jelas dan tercatat
dalam sistem akan memperkuat kepastian hukum bagi masyarakat yang
berkepentingan, termasuk pemohon izin dan masyarakat yang berpotensi terkena
dampak. Sehinnga diharapkan SIP dapat menyajikan proses penerbitan izin secara
sederhana, transparansi, dan akuntabel.

Maka daripada itu dalam memasuki dunia 4.0 berbasis daring (Online),
dalam mekanisme perizinan bersifat sentralisasi oleh pemerintah pusat, sudah
semestinya pemerintah pusat melakukan transformasi perizinan berbasis digital.
Seperti melalui Platform Web atau Apps, sehingga keterbukaan informasi publik,
sederhana dan transparan dapat merubah citra proses birokrasi yang sudah berjalan
menjadi lebih baik di mata masyarakat luas dan tentunya pelanggaran tindak pidana
korupsi dapat ditekan keberadaannya.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan paparan karya tulis imiah diatas, dapat ditarik kesimpulan


antara lain :

1. Implikasi sentralisasi kewenangan izin usaha pertambangan dalam revisi


undang-undang minerba yang penulis bahas terdiri atas dua bagian. Pertama,
implikasi pemberian kemudahan perizinan usaha tambang sebagai upaya
pemangkasan birokrasi dalam revisi undang-undang minerba. Kedua, lemahnya
pengawasan dalam proses pemberian izin usaha tambang. Karena sejatinya dari dua
implikasi tersebut terjadi karena adanya penyalahgunaan kewenangan izin usaha
tambang yang dipegang oleh pemerintah pusat seperti ikut sertanya para kalangan
elite politik dan pengusaha tambang yang memanfaatkan kesempatan ini, guna
melancarkan perusahaan tambang untuk keuntungannya sendiri dan berdampak
merugikan bagi tata kelola perizinan usaha tambang serta masyarakat secara luas.

2. Upaya digitalisasi Satu Informasi Perizinan (SIP) dijadikan sebagai solusi


yang diharapkan untuk memangkas pelanggaran tindak pidana korupsi sebagai
akibat dari sentralisasi kewenangan izin usaha tambang menurut revisi undang-
undang minerba. Satu Informasi Perizinan (SIP) dikonsepkan berbasis online yang
bertujuan untuk membenahi sistem perizinan yang lebih transparan atau
keterbukaan informasi dalam tata kelola perizinan usaha tambang di Indonesia.
Sehingga dapat meminimalisir faktor-faktor yang mendorong terjadinya praktik
korupsi dalam proses pemberian izin pertambangan (IUP) di Indonesia.

B. Saran

1. Bagi pemerintah, penulis berharap setiap pengelolaan izin petambangan


menggunakan Satu Informasi Pertambangan (SIP) sebagai langkah yang efektif
untuk membenahi sistem perizinan yang lebih transparan dan meminimalisir
terjadinya pelanggaran tindak pidana korupsi di Indonesia.
2. Bagi masyarakat, hendaknya masyarakat memahami dan turut peduli
urgensi untuk dipenuhinya hak-hak pengelolaan sumber daya alam bahan tambang
dalam pemberian izin usaha tambang yang tersentralkan sepenuhnya kepada
pemerintah pusat.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Azheri, Busyra. Corporate Social Responsibility Dari Voluntary Menjadi


Mandatory. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011.

Feby, dan Ivalerina Kartikasari. Tambang Hutan dan Kebun, cet.1. Bogor: IPB
Press,2015.

H.R., Ridwan. Hukum Adminitrasi Negara. Jakarta: RajaGrafindo, 2003.


H.S., Salim. Hukum Pertambangan Indonesia. Jakarta: Rajawali,2014.
H.S., Salim. Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara. Jakarta: Sinar Grafika,
2012.
Kaligis, O.C. Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana
Khusus dalam Pemberantasan Korupsi. Bandung: PT. Alumni, 2006.
Lopa, B. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta: Kompas, 2001.

Moenta, Andi Pangerang dan H. Syafa’at Anugrah Pradana, Pokok-Pokok Hukum


Pemerintahan Daerah, Ed. 1, cet. 2. Depok: RajaGrafindo Persada, 2018.

Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, Jakarta:


Bina Aksara, 1984.

Pope, J. Strategi Memberantas Korupsi (Elemen Sistem Integritas Nasional),


Jakata: Tranparancy International Indonesia & Yayasan Obor Indonesia,
2003.
Prinst, D. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2002.
Purnomo, Bambang. Potensi Kejahatan Korupsi di Indonesia. Jakarta: Bina
Aksara, 1983.

Saleng, Abrar. Hukum Pertambangan. Yogyakarta: UII Press, 2004.

Samadhi, Tjokorda Nirarta dan Sonny Mumbunan. eds., Tambang Hutan dan
Kebun. Bogor: IPB Press, 2015.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 2015.

Supramono, Gatot. Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia.


Jakarta: Rineka Cipta, 2012.

PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 18.
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 33 ayat (3).
Indonesia, Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20 Tahun 2001, LN No.
134 Tahun 2001, TLN No. 4150.
Indonesia, Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 4
Tahun 2009, LN No. 4 Tahun 2009, TLN No. 4959.
Indonesia, Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 3 Tahun 2020, LN No. 147
Tahun 2020, TLN No. 6525.
Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, LN
No.244 Tahun 2014, TLN No. 5587.

JURNAL
Dordia Arianda, Zsaszsa dan Aminah, “Sentralisasi Kewenangan Pengelolaan dan
Perizinan Dalam Revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara,” Jurnal
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Riau (Februari 2021). Hlm.179.
Magnar, Kuntana. et al., “Tafsir MK atas Pasal 33 UUD 1945: (Studi Atas Putusan
MK Mengenai Judical Review UU No. 7/2004, UU No.22/2002, dan UU
No.20/22”, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No.1 (Februari 2010). Hlm.113.
Marthen B. Salinding, “Prinsip Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara yang
Berpihak kepada Masyarakat Hukum Adat,” Jurnal Konstitusi,
Voll.16,No.1 (Maret 2019). Hlm.155.
Novita Juaningsi, Imas. “Polemik Revisi Undang-Undang Minerba Dalam
Dinamika Tata Negara,” adalah: Buletin Hukum dan Keadilan,Vol. 4 No. 3
(2020). Hlm.107.
P Sugarda, Paripurna dan Irine Handika, “Penilaian Terhadap Kesesuaian antara
penetapan Bea Keluar Atas Ekspor Mineral dengan Asas Kepastian Hukum
dan Asas Ekonomis,” Mimbar Hukum, Vol. 8, No.3 (Oktober 2016). Hlm.
398.
Ruslina, Elli. “Makna Pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Pembangunan
Hukum Ekonomi Indonesia,” Jurnal Konstitusi, Vol. 9, No.1 (Maret 2012).
Hlm. 52.
Sulistyanto, Rony dan Rachmasari Kusuma Dewi, “Sentralisasi Kewenangan
Perizinan Usaha Oleh Pemerintah Pusat dalam Rancangan Undang-Undang
Mineral dan Batubara,”Al-Adl Vol.13 No.2 (Juli 2020). Hlm.280.

INTERNET
Budi Saptono, Prianto. “Pengertian Pertambangan, Mineral, dan Batubara”
http://www.transformasi.net/articles/read/134/pengertian-pertambangan
mineral-dan-batubara.html. Diakses pada tanggal 15 September 2021.
International Indonesia, Transparency. “Pemberian Izin Usaha Pertambangan
Rawan Korupsi” https://ti.or.id/pemberian-izin-usaha-pertambangan
rawan-korupsi/. Diakses 24 September 2021.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, “Revolusi Industri 4.0: Menyoal
Digitalisasi”https://www.esdm.go.id/id/berita-unit/badan-pengembangan
sumber-daya manusia/revolusi-industri-40-menyoal-digitalisasi diakses 25
September 2021
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, “Tata Cara Pemberian Izin Usaha
Pertambangan Batuan”, https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip
berita/tata-cara-pemberian-izin-usaha-pertambangan-batuan diakses 21
September 2021.
Verda Nano Setiawan, “Kontrak Pandora Beralihnya Kewenangan Izin Tambang
ke Pusat”https://katadata.co.id/sortatobing/berita/5fd36ce78689a/kotak
pandora-beralihnya-kewenangan-izin-tambang-ke-pusat. Diakses 22
September 2021.

Anda mungkin juga menyukai