Draft KTI
Draft KTI
(SCIENCESATIONAL 2021)
PRAJUDI ATMOSUDIRJO
Disusun Oleh:
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2021
DIGITAL TRANSFORMATION 4.0: SOLUSI IMPLEMENTASI SENTRALISASI
IZIN USAHA PERTAMBANGAN (IUP) SEBAGAI SOLUSI DALAM
PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
(SCIENCESATIONAL 2021)
2018
PRAJUDI ATMOSUDIRJO
Disusun Oleh:
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2021
LEMBAR PENGESAHAN
1. Judul Karya Tulis : Digital Transformation 4.0: Solusi Implementasi Sentralisasi Izin
Usaha Pertambangan (IUP) Sebagai Solusi Dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi
di Indonesia.
2. Peserta :
a. Ketua Kelompok :
Nama : Fajri Kurniawan
NIM : 1910111007
b. Anggota Kelompok:
Nama : Chantika Aulia Rahmi
NIM : 1910111072
c. Anggota Kelompok:
Nama : Nur Aini
NIM : 2010111004
3. Dosen Pembimbing :
Mengetahui,
Direktur Bidang Kemahasiswaan
Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
Karya Tulis Ilmiah ini penulis buat dalam rangka mengikuti “Kompetisi
Karya Tulis Ilmiah “The 8th Sciencesational Piala Prof. Erman Rajagukguk 2021”
Indonesia, Depok. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih
dan penghargaan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan,
bimbingan dan arahan kepada penulis. Ucapan terima kasih tersebut kami ucapkan
kepada:
2. Semua rekan dan alumni dari Komunitas Basilek Lidah Justitia (Kombad
tulis ini.
Penulis menyadari karya tulis ilmiah ini masih banyak terdapat banyak
kekurangan yang mungkin tidak disadari dan dengan keterbatasan yang kami
miliki. Oleh karena itu, diharapkan kritik dan saran dari pembaca akan kami terima
Harapan kami semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat, khususnya
bagi pembaca untuk menambah wawasan baru atau pengetahuan lebih lanjut lagi
Penulis
ABSTRAK
Izin adalah salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum
administrasi negara. Melalui pemberian izin, pemerintah memperkenankan orang
yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam mengeruk
seluruh potensi yang ada pada suatu daerah tersebut. Ketika pemerintah
mengesahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
(Minerba). Regulasi ini hadir untuk memangkas birokrasi kebijakan izin usaha
tambang yang terkesan berbelit-belit serta memudahkan perizinan kegiatan usaha
tambang dengan memakai sistem satu pintu. Namun ketika Undang-Undang ini
telah disahkan, banyak para akademisi, aktifis serta praktisi yang berkecimpung
dalam dunia pertambangan, meragukan ke efektifitasan pemberlakuan Revisi
Undang-Undang Mineral dan Batubar (Minerba) ini. Dimulai ketika bagaimana
pertanggungjawaban Jika nantinya terjadi kerusakan lingkungan oleh perusahaan
tambang yang melakukan aktivitas tambang didaerah tersebut, sampai kepada
pelanggaran tindak pidana korupsi korporasi disektor pertambangan. Salah satu
penyebab faktor terjadinya pelanggaran korupsi di bidang pertambangan adalah
kurangnya keterbukaan serta transparansi informasi publik antara instansi yang
mengeluarkan izin dengan perusahaan terkait. Untuk menjawab permasalahan tata
kelola perizinan di Indonesia dibutuhkan suatu sistem perizinan yang terintegritasi,
mencakup dokumentasi dan informasi atas izin-izin yang terintegrasi dengan
konsep “Digitalisasi”. Sistem perizinan seperti ini diharapkan mampu menjawab
persoalan-persoalan khususnya yang berkaitan dengan masalah perizinan usaha
pertambangan. Seperti perizinan dengan konsep sederhana, transparan dan
akuntabel. Maka secara eksplisit bisa mempermudah akses oleh seluruh pihak yang
memiliki kepentingan dalam suatu proses perizinan.
1
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
ABSTRACT
Permits are one of the most widely used instruments in state administrative law.
Through the granting of a permit, the government allows the person requesting it
to take certain actions in exploiting all the potential that exists in an area. When
the government passed Law Number 3 of 2020 Amendments to Law Number 4 of
2009 concerning Mineral and Coal Mining (Minerba). This regulation is here to
cut down the bureaucracy of mining business permit policies that seem convoluted
and to facilitate licensing of mining business activities using a one-door system.
However, when this Law was passed, many academics, activists and practitioners
working in the mining world doubted the effectiveness of the implementation of the
Revised Mineral and Coal Law (Minerba). It starts with how to be responsible if
there is environmental damage by mining companies that carry out mining
activities in the area, to violations of corporate corruption in the mining sector.
One of the factors causing corruption violations in the mining sector is the lack of
openness and transparency of public information between the agency that issued
the permit and the related company. To answer the problems of licensing
governance in Indonesia, an integrated licensing system is needed, including
documentation and information on permits that are integrated with the concept of
“Digitalization”. This licensing system is expected to be able to answer problems,
especially those related to mining business licensing issues. Such as licensing with
a simple, transparent and accountable concept. So it can explicitly facilitate access
by all parties who have an interest in a licensing process.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, terutama
sektor pertambangan. Sektor pertambangan merupakan sektor strategis yang dapat
menjadi opsi bagi pemerintah untuk menopang laju pengeluaran dengan pendapatan
yang dihasilkan melalui pertambangan. Dengan kekayaan alam terkhususnya pada
sektor pertambangan perlu dilakukannya aturan atau regulasi oleh pemerintah yang
jelas dalam mengelola kekayaan alam khususnya di sektor izin usaha pertambangan
(IUP). Salah satu upaya pemerintah membuat suatu regulasi ketika disahkannya
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Regulasi ini akan di fungsikan sebagai pedoman baru dalam tata pengelolaan dan
perizinan kegiatan usaha tambang di Indonesia.
2
Teori kekuasaan negara ini didasarkan atas tiga teori yaitu: teori teokrasi, teori
kekuasaan, dan teori yuridis. Menurut Thomas Hobbes, Jonh Locke, dan JJ. Rousseau teori yuridis
ini dalam perkembangannya dibagi lagi atas tiga yaitu: teori patrimonial, teori patrirchaal, dan teori
perjanjian. Lebih jauh lihat dalam Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, (Yogyakarta: UII Press,
2004), hlm. 7.
3
Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, (Jakarta: Bina
Aksara, 1984), hlm. 99.
bertujuan untuk melindungi kekuasaan bersama, pribadi, dan milik individu.
Namun perlu dipahami bahwa yang dilepaskan dan diserahkan kepada negara oleh
individu itu hanya sebagian kekuasaan bukan kedaulatannya, sehingga kekuasaan
negara itu bukanlah kekuasaan tanpa batas (postestas legibus omnibus soluta),
sebab ada beberapa ketentuan hukum yang mengikatnya, seperti hukum alam dan
hukum Tuhan (leges naturae et devinae) serta hukum yang bersifat umum pada
semua bangsa yang disebut “leges imperit”.
Berdasarkan teori kedaulatan dan teori contract social tersebut, maka secara
teoritis keuasaan negara atas pertambangan bersumber dari rakyat yang disebut
dengan hak bangsa. Negara sendiri dipandang sebagai territoriale publieke
rechtsgemeenschap van overheid en onderdanen. Sehingga negara berwenang
untuk mengatur penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan seluruh potensi
pertambangan dalam wilayahnya secara internal. Bila hal ini dikaitkan dengan
konfigurasi hukum penguasaan dan pengelolaan pertambangan yanng pernah
diterapkan di bumi Nusantara, hal ini tidak terlepas dari dua asas, yaitu asas
“Domein Verklaring” dan asas “Hak Menguasai Negara”4.
4
Busyra Azheri, Corporate Social Responsibility Dari Voluntary Menjadi Mandatory,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 206.
memandang UUD 19455, pada Pasal 33 UUD 1945 memiliki pengertian yang Iebih
tinggi atau Iebih Iuas dari pada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi
penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan
prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945. Dalam paham kedaulatan
rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber,pemilik, dan sekaligus pemegang
kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat6”.
5
Kuntana Magnar,et al., “Tafsir MK atas Pasal 33 UUD 1945: (Studi Atas Putusan MK
Mengenai Judical Review UU No. 7/2004, UU No.22/2002, dan UU No.20/22”, Jurnal Konstitusi,
Vol. 7, No.1, (Februari 2010),hlm.113.
6
Elli Ruslina, “Makna Pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Pembangunan Hukum
Ekonomi Indonesia,”Jurnal Konstitusi, Vol. 9, No.1, (Maret 2012), hlm. 52.
7
Paripurna P Sugarda dan Irine Handika, “Penilaian Terhadap Kesesuaian antara
penetapan Bea Keluar Atas Ekspor Mineral dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas
Ekonomis,”Mimbar Hukum, Vol. 8, No.3,(Oktober 2016), hlm. 398.
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pada
pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa “ Penyelenggaraan urusan pemerintahan
bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara
Pemerintah pusat dan daerah”. Namun dari hasil revisi Undang-Undang Minerba
kewenangan pemerintah daerah dalam hal otonomi daerah untuk mengelola
kekayaan alam didaerahnya justru teramputasi olehnya. Hal ini disebabkan karena
upaya sentralisasi kewenangan izin tambang diberikan kepada pemerintah pusat.
8
Zsaszsa Dordia Arianda dan Aminah, “Sentralisasi Kewenangan Pengelolaan dan
Perizinan Dalam Revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara,” Jurnal Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Riau ( Februari 2021),hlm.179.
9
Verda Nano Setiawan, “Kontrak Pandora Beralihnya Kewenangan Izin Tambang ke
Pusat”https://katadata.co.id/sortatobing/berita/5fd36ce78689a/kotak-pandora-beralihnya-
kewenangan-izin-tambang-ke-pusat diakses 22 September 2021.
bermain pada situasi tersebut, sebab yang mendapatkan suatu izin usaha hanya
orang-orang yang dekat dengan pusat, secara finansial dan politik. Maka dengan
kondisi inilah, peluang praktik korupsi terjadi di dalam dunia korporasi tambang
yang masih menggelap gulita dan sulit untuk ditengarai sampai saat sekarang.
Maka penulis tertarik untuk membahas mengenai suatu konsep yang dapat
menjadi solusi atas permasalahan mengenai Implikasi Revisi Undang-Undang
Minerba Terkait Sentralisasi Kewenangan Izin Usaha Tambang serta Bagaimana
meminimalisir Tindak Pidana Korupsi Korporasi disektor Pertambangan.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
2. Manfaat Aplikatif
a. Bagi Akademisi
b. Bagi Pemerintah
c. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan kepada
masyarakat terlebih terkait dengan hak masyarakat dalam mengelola lingkungan
dan sumber daya alamnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Pertambangan
10
Gatot Supramono, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2012), hlm. 6.
11
Indonesia, Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 4 Tahun
2009, LN No.4 Tahun 2009, TLN No. 4959, Ps. 1. Angka 4.
12
Indonesia, Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 4 Tahun
2009, LN No.4 Tahun 2009, TLN No. 4959, Ps. 1. Angka 5.
hubungan hukum antara negara dengan orang dan atau badan hukum dalam
pengelolaan dan pemanfaatan bahan galian (tambang). Sedangkan definisi mineral
dan Batubara tercantum dalam Pasal 1 angka 7 dan 8, menjelaskan bahwa Mineral
adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan
kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk
batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu. Sedangkan pengertian Batubara
sebagaimana yang telah diatur juga dalam Undang-Undang Mineral dan Batubara
(selanjutnya disebut UU Minerba) adalah endapan senyawa organik karbonan yang
terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan13. Dari unsur-unsur diatas,
dapat disimpulkan bahwa pengertian hukum pertambangan mineral dan batubara
adalah kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara mineral dan batu bara
dengan negara serta antara mineral dan batubara dengan subjek hukum dalam
rangka pengusahaan mineral dan batubara.
13
Salim HS, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012),
hlm. 19.
14
Ibid., hlm. 108.
Namun dengan adanya undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang
pemerintahan daerah, maka yang berwenang memberikan izin usaha pertambangan
adalah pemerintah provinsi sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.
Ketentuan peralihan Pasal 402 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah, mengatur bahwa izin yang telah dikeluarkan sebelum
berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun 20014 tetap berlaku samai dengan
habis masa berlaku izin tersebut. Kemudian dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Barubara mengatur bahwa IUP
diberikan kepada:
a. Badan usaha;
b. Koperasi; dan
c. Perseorangan.
Prinsip pemberian IUP yang diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun
2009 adalah satu IUP hanya diperbolehkan untuk satu jenis mineral atau batubara,
pemberian IUP tidak boleh lebih dari satu jenis tambang.15 Apabila dalam hal
pemegang IUP waktu melaksanakan pertambangan menemukan mineral lain selain
yang telah didaftarkan di dalam wilayah pertambangannya, maka pemegang IUP
tersebut dapat diberikan prioritas oleh pemerintah untuk dapat mengajukan
permohonan IUP baru kepada pejabat yang berwenang. Tetapi apabila pemegang
IUP tersebut tidak inginmengusahakan mineral lain yang ditemukannya tersebut,
maka ia berkewajiban untuk menjaga meniral lain tersebut agar tidak dimanfaatkan
pihak lain. Ada dua macam IUP yang biasanya dikenal, yaitu IUP Ekplorasi dan
IUP Operasi Produksi yang peneribtan izinya dilakukan secara bertahap. 16
a. IUP Ekplorasi
IUP Eksplorasi merupakan pemberian izin tahap pertama, dan
kegiatannya meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan studi
kelayakan. Kegunaan IUP Eksplorasi dibedakan untuk kepentingan jenis
pertambangan mineral logam dan mineral bukan logam. Untuk jenis
pertambangan mineral logam IUP Eksplorasinya dapat diberikan dalam
jangka waktu paling lama 8 (delapan) tahun. Sedangkan untuk IUP
15
Gatot Supramono, Op.Cit., hlm.23.
16
Ibid., hlm. 24-25.
Eksplorasi untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan paling
lama dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun.
b. IUP Operasi Produksi
IUP Operasi Produksi sebagai pemberian izin sesuai IUP Eksplorasi
diterbitkan dan kegiatannya meliputi kegiatan konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. Setiap
pemegang IUP Eksplorasi dijamin undang-undang untuk memperoleh IUP
Operasi Produksi karena sebagai kelanjutan kegiatan usaha
pertambangannya. IUP Operasi Produksi dapat diberikan kepada perusahaan
yang berbentuk perseroan terbatas, koperasi, atau perseorangan atas hasil
pelelangan WIUP mineral logam atau batu bara yang telah mempunyai data
hasil kajian studi kelayakan. IUP Operasi Produksi untuk pertambangan
mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 tahun dan
dapat diperpanjang dua kali masing-masing 10 tahun. Sedangkan untuk
pertambangan mineral bukan logam IUP Operasi Produksinya dapat
diberikan dalam jangka waktu paling lama 10 tahun dan dapat diperpanjang
dua kali masing-masing 5 tahun.
Selaku Pemegang IUP ada hak dan kewajiban yang harus dipatuhi. Hak dan
kewajiban ini telah dipaparkan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pemegang IUP memiliki hak untuk:
(1) Pemegang IUP dan IUPK dapat rnelakukan sebagian atau seluruh tahapan usaha
pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun kegiatan operasi produksi. (2)
Pemegang IUP dan IUPK dapat memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk
keperluan pertambangan setelah memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan. (3) Pemegang IUP dan IUPK berhak memiliki mineral, termasuk
mineral ikutannya, atau batu bara yang telah diproduksi. (4) Pemegang IUP dan
lUPK tidak boleh memindahkan IUP dan IUPK-nya kepada pihak lain. Untuk
pengalihan kepemilikan dan/atau saham di bursa saham Indonesia hanya dapat
dilakukan setelah melakukan kegiatan eksplorasi tahapan tertentu.
a. Dikembalikan;
b. Dicabut; atau
c. Habis masa berlakunya.
IUP yang berakhir karena dikembalikan adalah tidak berlakunya lagi izin
yang diberikan kepada pemegang IUP, dimana pemegang IUP menyerahkan
kembali IUPnya secara tertulis kepada pejabat yang berwenang. Dalam rangka
penyerahan IUP, pemegang IUP harus mengemukakan alasan yang jelas. Yang
dimaksud dengan alasan yang jelas, antara lain tidak ditemukannya prospek secara
teknis, ekonomis, atau lingkungan.
IUP yang berakhir karena dicabut adalah tidak berlakunya lagi IUP karena
dinyatakan ditarik kembali atau dinyatakan tidak berlaku lagi atau membatalkan
IUP yang telah diberikan kepada pemegang IUP oleh pejabat yang berwenang.
Pejabat yang berwenang untuk mencabut IUP adalah Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai kewenangannya. Ada 3 (tiga) alasan pejabat yang
berwenang untuk mencabut IUP pemegang IUP, meliputi:
17
Lopa.B, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, (Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 35.
berarti jahat atau busuk.Sedangkan A.I.N.Kramer. ST menerjemahkannya sebagai
busuk, rusak atau dapat disuapi. 18
J.Pope19 dalam bukunya Strategi Memberantas Korupsi (Elemen Sistem
Integritas Nasional) pada halaman 6-7 mengatakan, korupsi adalah mencakup
perilaku pejabat-pejabat sektor publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang
memerkaya diri mereka secara tidak pantas dan melanggar hukum, atau orang-
orang dekat dengan mereka, dengan menyalahgunakan kekuasaan yang
dipercayakan kepada mereka. Selanjutnya R. Klitgaard20 dalam bukunya yang
berjudul Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah tepatnya
pada halaman 2 mendefinisikan korupsi adalah menggunakan jabatan untuk
kepentingan pribadi.
Definisi yang lebih luas dikemukakan oleh Bambang Poernomo, bahwa
kejahatan kerah putih didefenisikan sebagai: 21
a) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara
langsung atau tidak langsung atau diketahui atau patut disangka dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
b) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dengan
menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan yang secara
langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara;
c) Kejahatan tertentu dalam kitab undang-undang hukum pidana yang
menyangkut kekuasaan umum, pekerjaan pembangunan, penggelapan atau
pemerasan yang berhubungan dengan jabatan;
d) Memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat
sesuatu kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya;
e) Tidak melapor setelah pemberian atau janji kepada yang berwajib dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya tanpa alasan yang wajar sehubungan
dengan kejahatan jabatan.
18
Prinst.D., Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2002), hlm. 1.
19
Pope.J., Strategi Memberantas Korupsi (Elemen Sistem Integritas Nasional), (Jakata:
Tranparancy International Indonesia & Yayasan Obor Indonesia, 2003), hlm. 6-7.
20
Kaligis.O.C., Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus dalam
Pemberantasan Korupsi, (Bandung: PT. Alumni, 2006), hlm. 2.
21
Bambang Purnomo, Potensi Kejahatan Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1983
), hlm. 43.
dilayaninya. Korupsi itu muncul dalam banyak bentuk dan menyangkut
penyalahgunaan instrumen-instrumen kebijakan, apakah kebijakan mengenai tarif,
sistem penegakan hukum, keamanan umum, pelaksanaan kontrak, pengembalian
pinjaman, dan hal-hal lain, atau menyangkut prosedur-prosedur sederhana.22
Dalam perkembangannya, korupsi tidak sekedar suatu tindakan yang
dilakukan oleh seorang pelaku yang melakukan pelanggaran hukum semata.
Melainkan ada indikasi dan kecenderungan yang menarik, disebagian kejahatan
korupsi, diduga terjadi kombinasi antara penyalahgunaan kewenangan atau
memperdagangkan pengaruh dari penyelenggaraan negara dan/atau elite kekuasaan
politik tertentu yang bertemu dengan kepentingan bisnis dari kalangan privat.
Dari pendapat para sarjana di atas, dapat disimpulkan bahwa korupsi
sebagai penyalahgunaan jabatan, kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki untuk
memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan cara melawan hukum sehingga
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pengertian korupsi
di atas sesuai dengan isi Pasal 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang
mengatakan:
"Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah)".
22
Kaligis.O.C., Op. Cit, hlm. 72.
E. Digitalisasi Sentralisasi Izin Usaha Pertambangan
23
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, “Revolusi Industri 4.0: Menyoal
Digitalisasi” https://www.esdm.go.id/id/berita-unit/badan-pengembangan-sumber-daya-
manusia/revolusi-industri-40-menyoal-digitalisasi diakses 25 September 2021.
24
Kartikasari Feby Ivalerina,Tambang Hutan dan Kebun, cet.1 (Bogor:IPB Press,2015),
hlm. 32.
BAB III
METODE PENELITIAN
25
Soerjono Soekanto, 2015, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3 Jakarta, Penerbit
Universitas Indonesia, hlm. 43.
f. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
g. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Energi Dan Sumber Daya Mineral.
h. Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara
Pemberian Wilayah, Perizinan dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara.
i. Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2015 tentang Pendelegasian
Wewenang Pemberian Perizinan Bidang Pertambangan Mineral dan
Batubara Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.
j. Peraturan Gubernur Provinsi Jambi Nomor 31 Tahun 2014 Tentang
Penggunaan Satu Informasi Perizinan sebagai pangkalan data izin di
bidang pertambangan dan perkebunan di Provinsi Jambi.
PEMBAHASAN
26
Rony Sulistyanto dan Rachmasari Kusuma Dewi, “Sentralisasi Kewenangan Perizinan
Usaha Oleh Pemerintah Pusat dalam Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara,”Al-Adl
Vol.13 No.2 (Juli 2020),hlm.280.
1. Implikasi Pemberian Kemudahan Perizinan Usaha Tambang
Sebagai Upaya Pemangkasan Birokrasi Dalam Revisi Undang-
Undang Minerba
Menurut Bagir Manan sebagaimana yang dikutip oleh Ridwan HR
menyebutkan bahwa izin dalam arti luas berarti suatu persetujuan dari penguasa
berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan melakukan
tindakan atau perbuatan tertentu yang pada umumnya dilarang27 .Perizinan usaha
tambang merupakan hal yang urgensi khususnya bagi pengusaha tambang yang
ingin berinvestasi di Indonesia. Dengan adanya perizinan usaha tambang secara
legal, maka operasional kegiatan usaha tambang pun dilakukan tanpa hambatan
karena adanya perlindungan pemerintah yang ikut andil didalamnya.
27
Ridwan HR, Hukum Adminitrasi Negara,(Jakarta: RajaGrafindo,2003),hlm.199.
(WIUP) berada di
wilayah satu
provinsi setelah
mendapatkan
wilayah
rekomendasi dari
pemerintah
kabupaten/kota;
c. Menteri apabila
Wilayah Izin
Usaha
Pertambangan
(WIUP) berada di
wilayah lintas
provinsi setelah
mendapatkan
rekomendasi dari
bupati/walikota
dan gubernur.
3 Peraturan Pemerintah Pasal 6 ayat Menerangkan bahwa Izin
Nomor 23 Tahun 2010 (1) Usaha Pertambangan(IUP)
tentang Pelaksanaan diberikan oleh Menteri
Kegiatan Usaha gubernur atau
Pertambangan Mineral dan bupati/walikota.
Batu bara
4 Undang-Undang Nomor 3 Pasal 35 ayat Menerangkan bahwa
Tahun 2020 (1) kewenangan Izin Usaha
Pertambangan (IUP)
berada di pemerintah pusat
28
Transparency International Indonesia,”Pemberian Izin Usaha Pertambangan Rawan
Korupsi”https://ti.or.id/pemberian-izin-usaha-pertambangan-rawan-korupsi/ diakses pada
tanggal 24 September 2021
belum optimal. Sehingga akan memberikan implikasi yang buruk dalam
pengelolaan sumber daya alam pertambangan di Indonesia.
29
Imas novita Juaningsi, “Polemik Revisi Undang-Undang Minerba Dalam Dinamika Tata
Negara,”adalah:Buletin Hukum dan Keadilan,Vol.4No.3(2020),hlm,107.
30
Marthen B. Salinding, “Prinsip Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara yang
Berpihak kepada Masyarakat Hukum Adat,” Jurnal Konstitusi, Voll.16,No.1 (Maret 2019)”hlm.155.
B. Upaya Digitalisasi Sentralisasi Izin Usaha Tambang Dalam Revisi
Undang-Undang Minerba.
31
Kartikasari Feby Ivalerina,Tambang Hutan dan Kebun, cet.1 (Bogor:IPB Press,2015),
hlm. 12.
32
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, “Tata Cara Pemberian Izin Usaha
Pertambangan Batuan”, https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/tata-cara-
pemberian-izin-usaha-pertambangan-batuan diakses 21 September 2021.
Dalam proses implementasinya, banyak terjadi penyimpangan-
penyimpangan dalam proses perizinan, terutama terkait izin-izin yang berbasis
lahan pertambangan, permasalahan-permasalahan yang terjadi di sektor perizinan
di Indonesia diakibatkan oleh proses penerbitan izin yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, lemahnya pengawasan atas izin yang diterbitkan,
kurangnya koordinasi antar instansi pemerintah yang terlibat dalam proses
perizinan. Dalam kaitannya dengan izin-izin yang berbasis lahan tambang, hal
tersebut berakibat pada tumbang tindih lahan antara izin-izin yang diterbitkan oleh
masing-masing instansi pemerintah sesuai dengan kewenangannya. Pada intinya,
permasalahan-permasalahan yang kerap terjadi tersebut diakibatkan oleh buruknya
tata kelola dalam proses perizinan.
33
Kartikasari Feby Ivalerina., Op. Cit, hlm. 202.
perizinan, sehingga pelanggaran-pelanggaran seperti tindak pidana korupsi dapat
ditekan seminimal mungkin.
34
Ibid, hlm. 21.
dituntut duduk bersama guna menyetujui secara teknis rantai perizinan terkait
dalam suatu izin berbasis lahan pertambangan. Selama ini, keputusan-keputusan
teknis terkait rantai perizinan kerap dapat diabaikan mengingat model pembahasan
kebijakan perizinan bersifat sektoral sehingga masing-masing sektor dapat
mengambil keputusan secara independen. Dengan adanya SIP maka keputusan atas
proses perizinan tidak lagi dapat dilaksanakan secara terpisah karena hanya akan
ada satu sistem yang akan digunakan bersama yaitu SIP.
Keempat, kejelasan atas proses perizinan yang sudah menjadi bagian dari
SIP diharapkan dapat membangun kesatuan paham dari berbagai instansi pusat
berkaitan dengan proses pemberian izin, termasuk bila terdapat perubahan
peraturan perundang-undangan di sektor tertentu yang akan tercermin dalam proses
perizinan di SIP. Selama ini, akibat proses perizinan yang rumit dan sektoral,
apalagi terdapat aturan-aturan baru, kerap terdapat perbedaan pendapat dari pejabat
pemberi izin tentang proses yang harus diikuti. Hal demikian sering kali
menimbulkan sengketa dan ketidakpastian hukum hingga berdampak kepada tindak
pidana korupsi dan tentunya adanya persepsi negatif terhadap marwah birokrasi
Indonesia. Kelima, tercatatnya seluruh proses beserta terdokumentasikannya
dokumen pendukung yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini
dapat memfasilitasi penyimpanan dokumen dan kejelasan atas proses apabila
terdapat sengketa di kemudian hari. Terakhir, alur perizinan yang jelas dan tercatat
dalam sistem akan memperkuat kepastian hukum bagi masyarakat yang
berkepentingan, termasuk pemohon izin dan masyarakat yang berpotensi terkena
dampak. Sehinnga diharapkan SIP dapat menyajikan proses penerbitan izin secara
sederhana, transparansi, dan akuntabel.
Maka daripada itu dalam memasuki dunia 4.0 berbasis daring (Online),
dalam mekanisme perizinan bersifat sentralisasi oleh pemerintah pusat, sudah
semestinya pemerintah pusat melakukan transformasi perizinan berbasis digital.
Seperti melalui Platform Web atau Apps, sehingga keterbukaan informasi publik,
sederhana dan transparan dapat merubah citra proses birokrasi yang sudah berjalan
menjadi lebih baik di mata masyarakat luas dan tentunya pelanggaran tindak pidana
korupsi dapat ditekan keberadaannya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
BUKU
Feby, dan Ivalerina Kartikasari. Tambang Hutan dan Kebun, cet.1. Bogor: IPB
Press,2015.
Samadhi, Tjokorda Nirarta dan Sonny Mumbunan. eds., Tambang Hutan dan
Kebun. Bogor: IPB Press, 2015.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 2015.
PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 18.
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 33 ayat (3).
Indonesia, Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20 Tahun 2001, LN No.
134 Tahun 2001, TLN No. 4150.
Indonesia, Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 4
Tahun 2009, LN No. 4 Tahun 2009, TLN No. 4959.
Indonesia, Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 3 Tahun 2020, LN No. 147
Tahun 2020, TLN No. 6525.
Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, LN
No.244 Tahun 2014, TLN No. 5587.
JURNAL
Dordia Arianda, Zsaszsa dan Aminah, “Sentralisasi Kewenangan Pengelolaan dan
Perizinan Dalam Revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara,” Jurnal
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Riau (Februari 2021). Hlm.179.
Magnar, Kuntana. et al., “Tafsir MK atas Pasal 33 UUD 1945: (Studi Atas Putusan
MK Mengenai Judical Review UU No. 7/2004, UU No.22/2002, dan UU
No.20/22”, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No.1 (Februari 2010). Hlm.113.
Marthen B. Salinding, “Prinsip Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara yang
Berpihak kepada Masyarakat Hukum Adat,” Jurnal Konstitusi,
Voll.16,No.1 (Maret 2019). Hlm.155.
Novita Juaningsi, Imas. “Polemik Revisi Undang-Undang Minerba Dalam
Dinamika Tata Negara,” adalah: Buletin Hukum dan Keadilan,Vol. 4 No. 3
(2020). Hlm.107.
P Sugarda, Paripurna dan Irine Handika, “Penilaian Terhadap Kesesuaian antara
penetapan Bea Keluar Atas Ekspor Mineral dengan Asas Kepastian Hukum
dan Asas Ekonomis,” Mimbar Hukum, Vol. 8, No.3 (Oktober 2016). Hlm.
398.
Ruslina, Elli. “Makna Pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Pembangunan
Hukum Ekonomi Indonesia,” Jurnal Konstitusi, Vol. 9, No.1 (Maret 2012).
Hlm. 52.
Sulistyanto, Rony dan Rachmasari Kusuma Dewi, “Sentralisasi Kewenangan
Perizinan Usaha Oleh Pemerintah Pusat dalam Rancangan Undang-Undang
Mineral dan Batubara,”Al-Adl Vol.13 No.2 (Juli 2020). Hlm.280.
INTERNET
Budi Saptono, Prianto. “Pengertian Pertambangan, Mineral, dan Batubara”
http://www.transformasi.net/articles/read/134/pengertian-pertambangan
mineral-dan-batubara.html. Diakses pada tanggal 15 September 2021.
International Indonesia, Transparency. “Pemberian Izin Usaha Pertambangan
Rawan Korupsi” https://ti.or.id/pemberian-izin-usaha-pertambangan
rawan-korupsi/. Diakses 24 September 2021.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, “Revolusi Industri 4.0: Menyoal
Digitalisasi”https://www.esdm.go.id/id/berita-unit/badan-pengembangan
sumber-daya manusia/revolusi-industri-40-menyoal-digitalisasi diakses 25
September 2021
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, “Tata Cara Pemberian Izin Usaha
Pertambangan Batuan”, https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip
berita/tata-cara-pemberian-izin-usaha-pertambangan-batuan diakses 21
September 2021.
Verda Nano Setiawan, “Kontrak Pandora Beralihnya Kewenangan Izin Tambang
ke Pusat”https://katadata.co.id/sortatobing/berita/5fd36ce78689a/kotak
pandora-beralihnya-kewenangan-izin-tambang-ke-pusat. Diakses 22
September 2021.