Anda di halaman 1dari 13

Interaksi Obat – P5

ANTIARITMIA

1. Klasifikasi Obat
Berdasarkan klasifikasi Vaughan Williams (1), obat- obat golongan I memblok saluran
natrium cepat. Selanjutnya, obat-obat antiaritmia dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Golongan IA. Obat-obat yang menurunkan Vmaks dan memperpanjang durasi potensial aksi:
kuinidin, prokainamida, disopiramida; kinetika onset dan offset dalam menghambat saluran Na+
berada pada kecepatan menengah (<5 detik).
b. Golongan IB. Obat-obat yang tidak menurunkan Vmaks dan memperpendek durasi potensial
aksi: meksiletin, fenitoin, dan lidokain; kinetika onset dan offset cepat (<500 milidetik).
c. Golongan IC. Obat-obat yang menurunkan Vmaks, terutama konduksi rendah, dan dapat
memperpanjang refraktori secara minimal: flekainida, propafenon, dan kemungkinan morisizin;
kinetika onset dan offset lambat (10-20 detik).
d. Obat-obat golongan II memblok reseptor beta- adrenergik dan meliputi propranolol, timolol,
metoprolol, dan lain-lain.
e. Obat-obat golongan III memblok saluran kalium dan memperpanjang repolarisasi. Obat yang
meliputi golongan ini adalah sotalol, amiodaron, bretilium, dan ibutilida.
f. Obat-obat golongan IV memblok saluran kalsium lambat dan meliputi verapamil, diltiazem.

Sudut pandang yang lebih realistis dari senyawa antiaritmia diberikan oleh "gambit Sisilia
(2)". Pendekatan terhadap penggolongan obat ini merupakan usaha untuk mengidentifikasi
mekanisme aritmia khusus, menentukan parameter berisiko dari aritmia yang paling rentan dengan
modifikasi, menentukan target yang kemungkinan besar memengaruhi parameter berisiko, dan
kemudian memilih obat yang akan memodifikasi target.

Penggunaan senyawa antiaritmia membutuhkan perawatan khusus karena indeks terapi yang
sempit dari obat ini. Untungnya, memiliki titik akhir klinis yang dipercaya untuk menentukan
efikasi dan toksisitas dengan beberapa senyawa tersebut (3). Sayangnya, bagaimanapun, toksisitas
dapat terlihat sebagai aritmia yang sangat sama untuk proses yang menggolongkan obat-obat ini.
Sebagai konsekuensinya, dokter dapat mengakibatkan kesalahan yang kemungkinan fatal dari
toksisitas kesalahan mendiagnosis sebagai kurangnya efikasi dan merespons dengan cara yang
berlawanan dengan cara yang dibutuhkan.
Fenomena ini merupakan perhatian khusus untuk obat golongan I (contohnya sama dengan
kuinidin dan flekainida). Obat-obat itu biasanya digunakan untuk mengobati takiaritmia ventrikular,
namun kardiotoksisitas yang melekat pada senyawa itu sendiri dapat menjadi aritmia yang sama.
Perlu untuk ditegaskan bahwa efek farmakologis obat-obat ini dapat sering diukur dengan
menghitung interval output jantung (QT), yang memperbaiki laju denyut jantung, dan durasi
kompleks sistem pelepasan cepat (quick release system, QRS). Jika pasien menunjukkan takiaritmia
ventrikular dengan perpanjangan interval QT atau perluasan kompleks QRS, seseorang harus
mencurigai etiologi toksis untuk aritmia ini dan bukan kurangnya efikasi obat. Jika toksisitas seperti
itu salah didiagnosis dan pengobatan dilanjutkan atau dosis yang lebih tinggi digunakan,
konsekuensinya dapat menjadi berbahaya.

2. Efek Samping
Obat-obat antiaritmia menghasilkan segolongan efek samping yang berhubungan dengan
dosis berlebih dan konsentrasi plasma sehingga mengakibatkan toksisitas nonjantung (misalnya
cacat neurologis) dan jantung (misalnya gagal jantung, dan beberapa aritmia), dan golongan efek
samping lain yang tidak berhubungan dengan konsentrasi plasma, dikenal dengan istilah idiopatik.
Contoh yang terakhir meliputi sindrom lupus yang diinduksi prokainamida, toksisitas pulmoner
yang diinduksi amiodaron (walaupun publikasi terbaru menghubungkan dosis terhadap efek
samping ini), dan beberapa aritmia seperti torsades de pointes yang diinduksi kuinidin.

Aritmia jantung yang diinduksi obat atau memperburuk obat (proaritmia) merupakan masalah
klinis yang besar. Mekanisme elektrofisiologis mungkin berhubungan dengan perpanjangan
repolarisasi, perkembangan pasca-depolarisasi awal sampai mengakibatkan torsades de pointes, dan
perubahan dalam jalur masuk kembali untuk memunculkan atau meneruskan takiaritmia
ventrikular. Kejadian proaritmia dapat terjadi pada sebanyak 5-10% pasien. Gagal jantung
meningkatkan risiko proaritmia. Pasien dengan fibrilasi atrium yang diobati dengan obat antiaritmia
memiliki 4,7 kali risiko relatif kematian jantung jika mereka memiliki riwayat gagal jantung
dibandingkan dengan pasien tidak diobati yang memiliki 3,7 kali risiko relatif kematian aritmia.
Pasien tanpa riwayat gagal jantung kongestif tidak memiliki peningkatan risiko kematian jantung
selama pengobatan dengan obat antiaritmia. Penurunan fungsi ventrikular kiri, pengobatan dengan
digitalis dan diuretik, dan interval QT pengobatan awal yang lebih lama mencirikan pasien yang
membentuk fibrilasi ventrikular yang diinduksi obat. Kejadian proaritmia yang lebih sering
diketahui terjadi dalam beberapa hari dimulainya terapi obat atau perubahan dosis dan ditunjukkan
dengan perkembangan seperti takikardia ventrikular berulang, sindrom QT yang lama, dan torsades
de pointes. Akan tetapi, dalam Cardiac Arrhytmia Suppression Trial, (CAST) (4), enkainida dan
flekainida mengurangi aritmia ventrikular spontan, namun dikaitkan dengan jumlah kematian total
7,7 vs 3,0% dalam kelompok yang me- nerima plasebo. Kematian terjadi secara merata selama
periode pengobatan, memunculkan pertimbangan penting bahwa jenis respons proaritmia lain dapat
terjadi beberapa waktu setelah permulaan terapi obat. Efek proaritmia lambat seperti itu dapat
dihubungkan dengan memburuknya penundaan konduksi miokardial regional yang diinduksi obat
akibat iskemia dan konsentrasi obat heterogen yang dapat menyebabkan pemasukan kembali.
Morisizin juga meningkatkan mortalitas, yang menyebab- kan terminasi CAST II (5).

2.A. Kuinidin (Golongan IA)


Efek samping yang paling sering terjadi dari terapi kuinidin oral kronis adalah masalah
saluran pencernaan (GI), termasuk mual, muntah, diare, nyeri perut, dan anoreksia. Efek samping
GI dapat menjadi lebih ringan dengan bentuk glukonat. Toksisitas pada sistem saraf pusat (SSP)
meliputi tinitus, kehilangan pendengaran, gangguan penglihatan, kebingungan, delirium, dan
psikosis. Sinkonisme adalah suatu istilah yang sering digunakan untuk efek samping ini. Reaksi
alergi dapat dilihat sebagai, ruam, demam, trombositopenia yang diperantarai imun, anemia
hemolitik, dan jarang sekali adalah anafilaksis. Trombositopenia disebabkan kemunculan antibodi
pada kompleks kuinidin-platelet, yang menyebabkan platelet mengalami aglutinasi dan lisis. Pada
pasien yang menerima antikoagulan oral, kuinidin dapat menycbabkan perdarahan. Efek samping
dapat mencegah pemberian kuinidin dalam jangka waktu lama pada 30-40% pasien. Kuinidin dapat
memperlambat konduksi jantung, terkadang terhadap titik hambatan, yang terlihat dalam bentuk
perpanjangan dari durasi QRS atau gangguan konduksi nodus sinoatrium (SA) atau arterovena
(AV). Toksisitas jantung yang diinduksi kuinidin dapat diobati dengan natrium laktat molar.
Kuinidin dapat memperpanjang interval QT dan menyebabkan torsades de pointes pada 1-3%
pasien. Kuinidin dapat membuat 0,5-2,0% pasien mengalami sinkope (pingsan), paling scring
terjadi sebagai akibat kejadian terminasi diri pada torsades de pointes. Torsades de pointes
disebabkan oleh perkembangan pasca-depolarisasi awal, sebagaimana telah dijelaskan. Kuinidin
memperlama interval QT pada sebagian besar pasien, baik aritmia ventrikular terjadi maupun tidak,
namun perpanjangan QT yang signifikan (interval QT 500-600 milidetik) sering merupakan suatu
ciri-ciri dari sinkope akibat kuinidin. Banyak dari pasien ini juga menerima digitalis atau diuretik.
Sinkope tidak berhubungan dengan konsentrasi kuinidin dalam plasma atau durasi terapi.
Hipokalemia biasanya merupakan ciri yang menonjol. Terapi untuk sinkope akibat kuinidin mem-
butuhkan diskontinuasi obat segera dan pencegahan obat lain yang memiliki efek farmakologis
yang sama, contohnya disopiramida, karena sensivitas silang muncul pada beberapa pasien.
Magnesium yang diberikan secara intravena (2 mg selama 1-2 menit, diikuti dengan infus 3-20
mg/menit) mungkin pengobatan pilihan dengan obat awal. Pemacuan atrium atau ventrikular dapat
digunakan untuk menekan takiaritmia ventrikular dan dapat bekerja dengan menekan pasca-
depolarisasi. Bagi beberapa pasien, obat-obat yang tidak memperpanjang interval QT, seperti
lidokain atau fenitoin, dapat dicoba. Saat alat pacu tidak tersedia, isoproterenol dapat diberikan
dengan perhatian khusus.

Obat-obat yang menginduksi produksi enzim hati, seperti fenobarbital dan fenitoin, dapat
memperpendek durasi kerja kuinidin dengan meningkatkan laju eliminasinya. Kuinidin dapat
meningkatkan konsentrasi digoksin dan digitoksin dalam serum dengan menurunkan bersihan tubuh
total , volume distribusi, dan afinitas reseptor jaringan untuk digoksin.

2.B. Prokainamida (Golongan IA)


Berbagai efek nonjantung yang merugikan telah dilaporkan dengan pemberian prokainamida
dan meliputi ruam kulit, mialgia, vaskulitis digital, dan fenomena Raynaud. Demam dan
agranulositosis dapat disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas, serta perhitungan sel darah putih dan
darah diferensial harus ditunjukkan pada interval yang teratur. Efek samping saluran pencernaan
kurang sering terjadi dibandingkan dengan penggunaan kuinidin, dan efek samping SSP yang
merugikan kurang sering terjadi dibandingkan dengan penggunaan lidokain. Prokainamida dapat
menyebabkan pening, psikosis, halusinasi, dan depresi. Konsentrasi toksik prokainamida dapat
mengurangi kejadian miokardial dan mendorong terjadinya hipotensi. Berbagai macam gangguan
konduksi atau takiaritmia ventrikular dapat terjadi serupa dengan yang dihasikan oleh kuinidin,
termasuk sindrom QT yang diperlama dan takikardia ventrikular polimorf. N-Asetilprokainamida
(NAPA) juga dapat menginduksi perpanjangan QT dan torsades de pointes. Tanpa penyakit nodus
sinus, prokainamida tidak memengaruhi fungsi nodus sinus secara merugikan. Pada pasien dengan
disfungsi sinus, prokainamida cenderung memperpanjang waktu penyembuhan (recovery time)
nodus sinus yang diperbaiki dan dapat memperburuk gejala pada beberapa pasien yang memiliki
sindrom bradikardia-takikardia Prokainamida tidak meningkatkan konsentrasi digoksin dalam
serum. Artralgia, demam, pleuroperikarditis, hepatomegali, dan cfusi perikardial hemoragik dengan
tamponade telah diperlihatkan pada sindrom mirip eritematosus lupus sistemik (SLE). Sindrom ini
dapat terjadi lebih sering dan lebih awal pada pasien yang merupakan "asetilator lambat" terhadap
prokainamida dan dipengaruhi oleh faktor genetik. Gugus amino aromatis pada prokainamida
terlihat penting untuk induksi sindrom SLE karena mengasetilasi gugus amino ini untuk membentuk
NAPA tampaknya memblok efek yang menginduksi SLE. Enam puluh hingga 70% pasien yang
menerima prokainamida pada dasar kronis membentuk antibodi antinuklir, dengan gejala klinis
pada 20-30% pasien, namun hal ini bersifat terbalikkan bila prokainamida dihentikan. Ketika gejala
terjadi, preparat sel SLE sering kali positif. Uji serologis positif tidak diperlukan sebagai alasan
untuk tidak melanjutkan terapi obat; akan tetapi, kemunculan gejala atau antibodi anti DNA positif
terjadi, kecuali pada pasien dengan aritmia fatal yang dikontrol hanya dengan prokainamida.
Pemberian steroid pada pasien ini dapat mengeliminasi gejala tersebut. Sebaliknya, pada
kemunculan SLE dengan sendirinya, otak dan ginjal terlindungi, dan tidak ada kecenderungan
terhadap wanita.

2.C. Disopiramida (Golongan IA)


Tiga kategori efek merugikan dibuat berdasarkan pemberian disopiramida. Yang pertama dan
paling sering yaitu berhubungan dengan sifat parasimpatolitik poten obat dan meliputi retensi atau
hesitansi urine, konstipasi, pandangan buram, glaukoma sudut dekat, dan mulut kering. Gejala-
gejala itu dapat diminimalkan dengan pemberian bersamaan piridostigmin. Kedua, disopiramida
dapat mengakibatkan takiaritmia ventrikular yang umumnya disebabkan oleh perpanjangan QT dan
torsades de pointes. Beberapa pasien dapat memiliki "sensitivitas silang" terhadap kuinidin dan
disopiramida dan menyebabkan torsades de pointes ketika menerima obat lain. Saat torsades de
pointes yang diinduksi obat terjadi, senyawa-senyawa yang memperpanjang interval QT sebaiknya
digunakan sangat hati-hati atau tidak sama sekali. Dan yang ketiga, disopiramida dapat mengurang!
kontraktilitas ventrikel normal, namun depresi fungsi ventrikular jauh lebih terlihat pada pasien
dengan kegagalan ventrikular yang sudah ada. Kadang-kadang, dapat terjadi kolaps kardiovaskular.

2.D. Lidokain (Golongan IB)


Efek merugikan lidokain yang paling sering dilaporkan adalah manifestasi toksisitas SSP
yang terkait dosis: pusing, parestesia, kebingunan, delirium, stupor, koma, dan kejang. Depresi
nodus sinus yang kadang terjadi dan hambatan Purkinje-nya telah dilaporkan. Pada pasien dengan
takiaritmia atrium, akselerasi laju ventrikular telah dicatat. Lidokain jarang dapat menyebabkan
hipertermia malignan. Lidokain dan prokainamida dapat meningkatkan ambang defibrilasi.

2.E. Meksiletin dan Tokainida (Golongan IB)


Obat-obat ini, dengan spektrum aktivitas mirip lidokain, namun aktif setelah pemberian oral,
merupakan basa lemah yang memperlihatkan ekskresi meningkat dengan pengasaman urin.
Fenomena itu sepertinya tidak penting secara klinis, untuk pH urine biasanya bersifat asam, serta
jumlah obat yang dickskresikan di urine dalam bentuk tidak berubah kurang dari 10% (mcksiletin)
dan 30-50% (tokainida). Akan tetapi, terdapat sisa obat yang masih potensial untuk pasien dengan
gangguan keasaman urine untuk mengakumulasi salah satu dari obat- obat ini hingga kadar toksik.
Penurunan fungsi ginjal dengan sendirinya tidak terlihat banyak memengaruhi kinetika dari salah
satu senyawa-senyawa ini.

2.F. Flekainida (Golongan IC)


Efek proaritmia merupakan salah satu efek merugikan yang sangat penting dari flekainida.
Perlambatan konduksinya yang nyata tidak memungkinkan penggunaannya pada pasien dengan
blok AV tingkat dua tanpa alat pacu jantung dan menjamin pemberian yang hati-hati pada pasien
dengan gangguan konduksi intraventrikular. Memburuknya aritmia ventrikular yang terjadi atau
onset aritmia ventrikular baru dapat terjadi pada 5-30% pasien, persentase yang meningkat pada
pasien dengan takikardia ventrikular berkelanjutan yang sudah ada, dekompensasi jantung, dan
dosis obat yang lebih tinggi. Kegagalan aritmia yang berhubungan dengan flekainida untuk
merespons terhadap terapi, termasuk kardioversidefibrilasi elektris, dapat berujung pada kematian
sebesar 10% pada pasien yang mengalami kejadian proaritmia. Efek inotropik negatif dapat
menyebabkan atau memperburuk gagal jantung. Pasien dengan disfungsi nodus sinus dapat
mengalami henti sinus, dan yang menggunakan alat pacu jantung dapat membuat suatu peningkatan
dalam ambang pacu. Pada CAST, pasien yang diobati dengan flekainida memiliki 5,1% mortalitas
atau henti jantung yang tidak fatal yang dibandingkan dengan 2,3% pada kelompok placebo lebih
dari 10 bulan. Kematian merupakan yang tertinggi terjadi pada mereka dengan infark gelombang
non-Q, sering terjadi kompleks ventrikular prematur, dan laju denyut jantung lebih cepat,
meningkatkan kemungkinan interaksi obat dengan iskemia dan ketidakstabilan elektris. Olahraga
dapat memperbesar konduksi yang memperlambat pada ventrikel yang dihasilkan oleh flekainida
dan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan respons proaritmia. Karena itu, uji olahraga telah
direkomendasikan untuk melindungi dari proaritmia. Gangguan SSP, meliputi kebingungan dan
mudah emosi, mewakili efek merugikan non jantung yang paling sering terjadi.

2.G. Propafenon (Golongan IC)


Efek non-jantung minor terjadi pada kira-kira 15% pasien, dengan gejala pusing, gangguan
indera perasa, dan pandangan buram merupakan efek samping yang umum terjadi dan selanjutnya
masalah gangguan pencernaan. Memburuknya penyakit paru bronkospastik dapat terjadi. Efek
samping kardiovaskular terjadi pada 10-15% pasien, yang meliputi kelainan konduksi seperti blok
AV, depresi nodus sinus, dan memburuknya gagal jantung. Respons proartimia, lebih sering terjadi
pada pasien dengan riwayat takikardia ventrikular yang berkelanjutan dan penurunan fraksi
penolakan, terlihat kurang sering terjadi dibandingkan dengan flekainida dan dapat berada dalam
rentang 5%. Kesesuaian data dari CAST tentang flekainida terhadap propafenon tidak jelas, tetapi
membatasi penggunaan propafenon dengan cara serupa dengan obat-obat IC lain perlu dilakukan
secara hati-hati untuk saat ini sampai didapat informasi lebih lanjut. Akan tetapi, kerja penghamb
dapat membuatnya berbeda.

2.H.Morisizin (Golongan IC)


Biasanya obat ini dapat mudah ditoleransi. Efek merugikan non-jantung terutama meliputi
sistem saraf dan termasuk tremor, perubahan mood, sakit kepala, vertigo, nistagmus, dan pusing.
Efek samping GI meliputi mual, muntah, dan diare. Memburuknya gagal jantung kongestif tidak
sering, namun dapat terjadi. Efek proaritmia telah dilaporkan pada sekitar 3-15% pasien dan
tampaknya lebih umum pada pasien dengan aritmia ventrikular yang parah. Usia yang bertambah
meningkatkan kerentanan terhadap efek merugikan.

2.I. Penghambat Beta (Golongan II)


Efek kardiovaskular yang merugikan dari propranolol meliputi hipotensi, bradikardia, dan
gagal jantung kongestif yang tidak diharapkan. Bradikardia dapat disebabkan oleh bradikardia sinus
atau blok AV. Penghentian tiba-tiba propranolol pada pasien dengan angina pektoris dapat
menyebabkan atau memperburuk keadaan angina dan aritmia jantung dan menyebabkan infark
miokard akut, yang kemungkinan karena sensitivitas yang dipertinggi terhadap agonis β yang
disebabkan oleh blokade β sebelumnya (peningkatan jumlah). Sensitivitas yang dipertinggi mulai
terjadi beberapa hari setelah peng- hentian terapi propranolol dan mungkin berlangsung selama 5
atau 6 hari. Efek merugikan lainnya dari propranolol meliputi memburuknya asma atau penyakit
pulmoner obstruktif kronis, klaudikasi intermiten, fenomena Raynaud, depresi mental, peningkatan
risiko hipoglikemia di antara pasien diabetes yang bergantung insulin, mudah merasa lelah,
insomnia atau mimpi buruk yang menganggu, dan fungsi seksual yang terganggu.

G. Amiodaron (6,7) (Golongan III)


Efek merugikan telah dilaporkan sekitar 75% pasien yang diobati dengan amiodaron selama 5
tahun, tetapi, sebanyak 18-37% dari pasien tersebut mengharuskan penghentian obat. Efek samping
yang paling sering terjadi yang memerlukan penghentian obat melibatkan keluhan GI dan
pulmoner. Kebanyakan efek merugikan bersifat reversibel dengan pengurangan dosis atau
penghentian pengobatan. Efek merugikan menjadi lebih sering muncul saat terapi dilanjutkan dalam
jangka panjang. Mengenai reaksi merugikan non-jantung, toksisitas pulmoner adalah yang paling
serius; dalam suatu studi, reaksi ini terjadi antara 6 hari dan 60 bulan pengobatan pada 33 dari 573
pasien, dengan tiga di antaranya meninggal. Mekanismenya tidak jelas, namun dapat dikaitkan
dengan reaksi hipersensitivitas dan/atau fosfolipidosis yang meluas. Dispnea, batuk tidak produktif,
dan demam adalah gejala yang sering muncul, dengan disertai rales, hipoksia, pengamatan galium
positif, kapasitas difusi yang menurun, dan bukti radiografik dari infiltrat pulmoner juga dilaporkan.
Amiodaron harus dihentikan jika perubahan inflamasi pulmoner seperti itu terjadi. Steroid dapat
digunakan, namun tidak ada studi terkontrol yang telah dilakukan untuk mendukung
penggunaannya. Mortalitas 10% terjadi pada pasien dengan perubahan inflamasi pulmoner, bahkan
sering terjadi pada pasien dengan keterlibatan pulmoner tidak diketahui dan keterlibatan tersebut
mudah terjadi. Rontgenogram dada pada interval 3-bulan untuk tahun pertama dan kemudian dua
kali setahun untuk beberapa tahun telah direkomendasikan. Pada dosis pemeliharaan kurang dari
300 mg per hari, toksisitas pulmoner jarang terjadi. Pada usia lanjut, dosis pemeliharaan obat yang
tinggi, dan penurunan kapasitas difusi obat awal (DLco) merupakan faktor risiko terhadap
munculnya toksisitas pulmoner. Volume DLco yang tidak berubah dapat menjadi prediktor negatif
toksisitas pernapasan. Walaupun peningkatan asimtomatik dari enzim hati ditemukan pada sebagian
besar pasien, obat tidak dihentikan kecuali nilainya melebihi dua atau tiga kali nilai normal pada
pasien dengan nilai abnormal awal. Sirosis jarang terjadi, namun dapat berakibat fatal. Disfungsi
neurologis, fotosensitivitas (mungkin dapat diminimalkan dengan tabir surya), perubahan warna
kulit kebiruan, mikrodeposit konea (pada hampir 100% orang dewasa yang menerima obat lebih
dari 6 bulan), gangguan gastrointestinal, dan hipertiroidisme (1-2%) atau hipotiroidisme (2-4%)
dapat terjadi. Amiodaron tampaknya menghambat konversi perifer T4 mnenjadi T3 sehingga terjadi
perubahan kimia, yang ditandai dengan sedikit peningkatan pada T4, T3 balik, dan hormon yang
merangsang tiroid (TSH), dan sedikit penurunan pada T3. Konsentrasi T3 balik telah digunakan
sebagai indeks efikasi obat. Selama hipotiroidisme, TSH sangat meningkat, sedangkan T3
meningkat pada hipertiroidisme. Efek samping pada jantung meliputi gejala bradikardia simtomatik
kira-kira 2%, memburuknya takiaritmia ventrikular (dengan kemunculan torsades de pointes
kadang-kadang) sebesar 1-2%, kemungkinan lebih tinggi pada wanita, dan memburuknya gagal
jantung kongestif sebesar 2%, Ke- mungkinan disebabkan oleh interaksi dengan anestetik,
komplikasi setelah operasi jantung terbuka telah di- laporkan, namun tidak semua, oleh beberapa
peneliti, yang termasuk disfungsi pernapasan, hipotensi, disfungsi hati, dan curah jantung yang
rendah. Interaksi penting dengan obat lain terjadi, dan ketika diberikan bersamaan dengan
amiodaron, dosis warfarin, digoksin, dan obat antiaritmia lainnya harus dikurangi sebanyak
sepertiga hingga setengahnya dan pasien diawasi dengan saksama. Obat-obat dengan aksi
sinergistik, seperti penghambat beta atau penghambat saluran kalsium, perlu diberikan dengan hati-
hati.

H. Bretilium (Golongan II)


Obat yang digunakan untuk takiaritmia ventrikular refraktori ini dapat menimbulkan masalah
khusus pada pasien dengan disfungsi ginjal karena kinetikanya terlihat kompleks dan belum
dijelaskan untuk kelompok pasien ini. Terapi dengan obat ini pada pasien dengan penyakit ginjal
harus sangat diperhatikan. 1.2.12. Sotalol (Golongan III) Proaritmia adalah efek merugikan yang
sangat serius (8). Secara keseluruhan, takiaritmia ventrikular baru atau lebih buruk terjadi sekitar
4% dan respons ini disebabkan oleh torsades de pointes sekitar 2,5%. Insiden torsades de pointes
meningkat hingga 4% pada pasien dengan riwayat takikardia ventrikular berkelanjutan dan
dikaitkan dengan dosis, dengan laporan hanya 1,6% pada 320 mg/hari dan hanya 4,4% pada 480
mg/hari. Efek merugikan lain yang biasa terjadi dengan penghambat beta lainnya juga terjadi pada
sotalol. Sotalol harus digunakan dengan perhatian khusus atau tidak sama sekali dalam kombinasi
dengan obat lain yang dapat memperpanjang interval QT. Akan tetapi, kombinasi seperti itu telah
berhasil digunakan.

I. Adenosin
Efek samping yang berlangsung beberapa saat terjadi pada hampir 40% pasien dengan
takikardia supraventrikular yang diberikan adenosin dan paling sering terjadi adalah kemerahan
pada wajah, dispnea, dan tekanan pada dada. Gejala-gejala tersebut terjadi singkat, biasanya kurang
dari I menit, dan mudah ditoleransi. Kompleks ventrikular prematur, bradikardia sinus sesaat, henti
sinus, dan blok AV umum terjadi ketika takikardia supraventrikular tiba-tiba dihentikan. Induksi
fibrilasi atrium dapat menjadi problematik pada pasien dengan sindrom Wolff-Parkinson-White
atau konduksi AV yang cepat.

3. Interaksi Obat (Pemilihan; Amiodaron Diutamakan)


Interaksi obat yang berhubungan dengan amiodaron adalah farmakodinamik dan/atau
farmakokinetik secara alami. Interaksi farmakodinamik yang disebabkan oleh amiodaron terutama
terjadi dengan antiaritmia lain dan merupakan konsekuensi aditif atau efek elektrofisiologis
sinergistik. Seiring efek farmakologik amiodaron ditunda selama beberapa hari bahkan dengan
dosis muatan yang adekuat, penggunaan antiaritmia lainnya secara bersamaan seringkali diperlukan.
Pada kasus yang demikian, dosis antiaritmia sekunder, biasanya, harus dikurangi sebanyak 30-50%
setelah beberapa hari pertama terapi amiodaron dimulai. Penghentian senyawa antiaritmia kedua
harus diusahakan secepatnya setelah efek terapi amiodaron teramati. Sebaliknya, pada pasien yang
membutuhkan terapi kombinasi, dosis antiaritmia kedua, biasanya, harus dikurangi sebanyak 50%
sampai amiodaron dieliminasi dari tubuh. Proaritmia, termasuk torsades de pointes (Tabel 1) dan
takikardi ventrikular monomorf dapat dan telah terjadi saat amiodaron diberikan dalam kombinasi
dengan sejumlah senyawa antiaritmia termasuk senyawa golongan IA, meksilitin dan propafenon.
Perhatian khusus harus dilakukan saat amiodaron diberikan dengan obat apa pun dengan efek
elektrofisiologis.
Amiodaron menghambat aktivitas dari dua enzim sitokrom P450, yakni CYP2D6 dan
CYP2C9, Sebagai konsekuensinya, pengurangan metabolisme beberapa obat telah dilaporkan. Dari
obat-obat ini, interaksi yang paling penting dilaporkan dengan antikoagulan, antiaritmika, fenitoin,
dan siklosporin. Efek antikoagulan dari warfarin dan nikumalon sangat meningkat saat amiodaron
ditambahkan.

Penggunaan amiodaron bersamaan dengansiklosporin tidak perlu dihindari, namun kadar


serum siklosporin dapat meningkat dan harus dipantau. Penurunan dosis siklosporin biasanya
dibutuhkan. Amiodaron juga meningkatkan konsentrasi digoksin serum.

Konsentrasi flekainida meningkat hingga rata-rata 60% dengan terapi amiodaron secara
bersamaan. Walaupun mekanisme pasti tentang interaksi tersebut tidak diketahui, metabolisme hati
dan/atau bersihan ginjal dari flekainida diperkirakan dapat menurun. Pengamatan klinis pasien
secara hati-hati dan juga pemantauan elektrokardiogram (EKG) dan konsentrasi lekainida dalam
plasma secara ketat penting dilakukan dengan penyesuaian regimen dosis flekainida yang harus
dilakukan untuk mencegah peningkatan efek toksisitas atau farmakodinamik. Reduksi empirik dosis
flekainida sebesar 50% dianjurkan 2–3 hari setelah dimulainya terapi amiodaron.

Konsentrasi kuinidin dalam serum secara umum meningkat sekitar 33% pada pasien yang
menerima terapi amiodaron secara bersamaan. Walaupun mekanismenya tidak jelas, tampaknya
bersihan hati dan/atau ginjal dapat berkurang dan kuinidin juga dapat dipindahkan dari tempat
ikatan jaringan dan protein. Perpanjangan interval QT juga dicatat baik dengan kuinidin, dan
penambahan amiodaron dapat sangat meningkatkan efek ini, menempatkan pasien pada
peningkatan risiko atas kemunculan torsades de pointes. Pengamatan klinis pasien secara hati-hati
dan juga pemantauan ketat elektrokardiogram (EKG) dan konsentrasi kuinidin serum penting
dilakukan dengan penyesuaian regimen dosis kuinidin yang perlu dilakukan untuk mencegah pe-
ningkatan toksisitas atau efek farmakodinamik. Reduksi empirik dosis kuinidin sebesar 50%
dianjurkan selama 2 hari sehabis dimulainya terapi amiodaron dengan pertìmbangan yang diberikan
untuk kuinidin yang dihentikan segera setelah terapi amiodaron dimulai.

Konsentrasi prokainamida dan N-asetilprokainamida atau NAPA (suatu metabolit aktif secara
farmakologis) meningkat hingga masing-masing kira-kira 55 dan 33%, selama 7 hari pertama terapi
yang bersamaan dengan amiodaron. Mekanisme farmakokinetik yang tepat dari interaksi ini masih
belum dijelaskan walaupun reduksi bersihan ginjal induk dan metabolit, dan juga reduksi dalam
metabolisme hatinya tampak sama. Aktivitas elektrofisiologis aditif terjadi dengan terapi kombinasi
dan memperpanjang interval QT dan QRS atau akselerasi takikardia ventrikular yang ada
sebelumnya dapat terjadi. Pengamatan klinis pasien secara hati-hati dan juga pemantauan ketat
EKG dan konsentrasi prokainamida dan NAPA dalam serum sangat penting dengan penyesuaian
regimen dosis prokainamida yang perlu dilakukan untuk mencegah peningkatan toksisitas atau efek
farmakodinamik. Pada umumnya, penghentian total atau pengurangan dosis harian prokainamida
sebesar 25% direkomendasikan selama minggu pertama terapi amiodaron dimulai.

Pemberian bersamaan penghambat β, atau penghambat saluran kalsium dengan amiodaron


dapat menyebabkan efek elektrofisiologis aditif termasuk bradikardia, henti sinus, dan hambatan
atrioventrikular. Hal ini khususnya cenderung terjadi pada pasien yang permah mengalami disfungsi
nodus sinus. Secara umum, obat-obat ini sebaiknya hanya dilanjutkan pada pasien yang berisiko
terhadap bradikardia yang signifikan jika alat pacu jantung buatan yang permanen telah dipasang.
Selain itu, amiodaron dapat menurunkan bersihan obat yang dieliminasi oleh metabolisme hati.
Reaksi kardiovaskular yang parah diamati saat amiodaron diberikan bersamaan dengan metoprolol
dan propranolol.

Amiodaron meningkatkan kadar digoksin dalam serum saat diberikan bersamaan, dan
pengurangan dosis sebesar 50% secara empirik dianjurkan terhadap permulaan terapi amiodaron.
Tingkat saat konsentrasi digoksin dalam serum akan meningkat tidak dapat diprediksi dan
penentuan ulang kebutuhan untuk kedua obat perlu dilakukan dengan seksama. Seperti biasanya,
pengamatan klinis pasien secara hati-hati, dan pemantauan ketat EKG dan konsentrasi digoksin
serum sangat penting untuk memastikan efikasi dan untuk mencegah terjadinya digoksin yang perlu
dilakukan. Mekanisme peningkatan pada konsentrasi digoksin serum cukup rumit dan tidak
dimengerti dengan baik, namun diperkirakan terjadi karena perpindahan digoksin yang diinduksi
amiodaron dari tempat ikatan jaringan, peningkatan pada ketersediaan hayati, dan/atau penurunan
pada bersihan ginjal atau non-ginjal. Lebih lanjut, amiodaron dapat menginduksi perubahan pada
fungsi tiroid dan mengubah sensitivitas terhadap glikosida jantung, dan fungsi tiroid sebaiknya
dipantau secara ketat pada pasien yang menerima kedua obat pada waktu sama.

Pemberian bersamaan amiodaron dengan antikoagulan kumarin atau indandion (warfarin)


menyebabkan sedikitnya penggandaan waktu protrombin (PT), sangat meningkatkan rasio
normalisasi internasional (INR) pada hampir seluruh pasien yang menerima kombinasi obat ini dan
dapat menyebabkan komplikasi serius atau perdarahan yang berpotensi fatal. Efek ini dapat terjadi
paling cepat 4-6 hari setelah pemberian awal obat dalam kombinasi, namun dapat ditunda selama
beberapa minggu padabeberapakasus. Denganmempertimbangkan waktu paruh amiodaron yang
sangat panjang, interaksi dapat terjadi selama berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan
setelah penghentian amiodaron. Pengurangan 50% pada dosis warfarin dianjurkan jika terapi
amiodaron dimulai dengan pengamatan klinis intensif dan penentuan PT dan nilai INR yang sering
dilakukan untuk mengevaluasi luasnya interaksi dan menuntun penyesuaian lebih lanjut pada terapi.

Pemberian amiodaron dan fenitoin secara bersamaan dapat menyebabkan toksisitas fenitoin,
yang disebabkan oleh dua atau tiga kali lipat kenaikan jumlah, konsentrasi fenitoin dalam serum
pada keadaan tunak sepertinya disebabkan oleh penurunan yang diinduksi amiodaron dalam
metabolisme fenitoin. Pemantauan secara seksama untuk gejala toksisitas fenitoin yang meliputi
nistagmus, letargi, dan ataksia; dan evaluasi konsentrasi fenitoin serum dengan pengurangan dosis
yang sesuai bila dibutuhkan sangat penting bagi pasien yang menerima pengobatan ini.

Amiodaron dapat meningkatkan efek merugikan kardiovaskular seperti hipotensi dan


bradikardia yang resisten terhadap atropin pada pasien yang menerima anestetik inhalasi,
kemungkinan disebabkan oleh interaksi obat.

Penggunaan bersamaan amiodaron dengan antidepresan trisiklik, fenotiazin, atau obat dengan
potensi memperpanjang interval QT dapat menyebabkan perpanjangan aditif interval QT, dan yang
jarang sekali terjadi adalah torsades de pointes.

Walaupun ada data yang terbatas, laporan yang tidak dipercaya telah memperlihatkan
penurunan yang diinduksi kolestiramin pada waktu paruh eliminasi amiodaron dan konsentrasi
serum selanjutnya. Interaksi ini dapat menjadi keuntungan dari pengurangan sementara amiodaron
serum, dan konsentrasi desetilamiodaron (DEA) yang di duga sebelum operasi dalam usaha untuk
membatasi efek depresan jantung obat pada periode pasca-operasi segera.

Dua inhibitor protease, ritonavir dan nelfinavir, merupakan inhibitor enzim P450 yang poten.
Secara teoretis, keduanya diharapkan dapat menghasilkan peningkatan yang besar dalam
konsentrasi amiodaron, disebabkan oleh penghambatan metabolismenya. Akan tetapi, tidak ada
laporan yang telah dipublikasikan tentang interaksi ini hingga sekarang, namun diperkirakan bahwa
mungkin ada peningkatan risiko aritmia ventrikular sehingga penggunaan secara bersamaan
sebaiknya tetap dihindari.

Kemungkinan interaksi farmakodinamik dapat terjadi antara levometadil dan kemungkinan


senyawa aritmogenik seperti amitriptilin, penghambat saluran kalsium, antiaritmia golongan I,
antiaritmia golongan III, inhibitor monoamin oksidase, sitalopram, fluoksetin, nortiptilin, sertralin,
dan terfenadin, di antara lainnya yang mem- perpanjang interval QT. Levometadil
dikontraindikasikan pada pasien yang diobati dengan salah satu dari beberapa senyawa ini.

Paroksetin menggangu jalur metabolisme CYP2D6 (isoenzim 2D6 sitokrom P450) pada dosis
terapi. Paroksetin sebaiknya digunakan secara hati-hati pada pasien yang menerima pengobatan
antiaritmia tipe IC (seperti propafenon, flekainida, atau enkainida) dan kuinidin. Persaingan untuk
CYP2D6 hati (isoenzim 2D6 sitokrom P450) oleh paroksetin dapat memungkinkan toksisitas
antiaritmia ini.

Interaksi obat antara obat-obat antijamur dan antibiotik makrolida, misalnya ketokonazol dan
eritromisin, yang dimetabolisme oleh isoenzim hati 3A4 sitokrom P450 yang sama, dapat
menyebabkan sindrom LQT dan torsades de pointes.

Anda mungkin juga menyukai