ANTIARITMIA
1. Klasifikasi Obat
Berdasarkan klasifikasi Vaughan Williams (1), obat- obat golongan I memblok saluran
natrium cepat. Selanjutnya, obat-obat antiaritmia dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Golongan IA. Obat-obat yang menurunkan Vmaks dan memperpanjang durasi potensial aksi:
kuinidin, prokainamida, disopiramida; kinetika onset dan offset dalam menghambat saluran Na+
berada pada kecepatan menengah (<5 detik).
b. Golongan IB. Obat-obat yang tidak menurunkan Vmaks dan memperpendek durasi potensial
aksi: meksiletin, fenitoin, dan lidokain; kinetika onset dan offset cepat (<500 milidetik).
c. Golongan IC. Obat-obat yang menurunkan Vmaks, terutama konduksi rendah, dan dapat
memperpanjang refraktori secara minimal: flekainida, propafenon, dan kemungkinan morisizin;
kinetika onset dan offset lambat (10-20 detik).
d. Obat-obat golongan II memblok reseptor beta- adrenergik dan meliputi propranolol, timolol,
metoprolol, dan lain-lain.
e. Obat-obat golongan III memblok saluran kalium dan memperpanjang repolarisasi. Obat yang
meliputi golongan ini adalah sotalol, amiodaron, bretilium, dan ibutilida.
f. Obat-obat golongan IV memblok saluran kalsium lambat dan meliputi verapamil, diltiazem.
Sudut pandang yang lebih realistis dari senyawa antiaritmia diberikan oleh "gambit Sisilia
(2)". Pendekatan terhadap penggolongan obat ini merupakan usaha untuk mengidentifikasi
mekanisme aritmia khusus, menentukan parameter berisiko dari aritmia yang paling rentan dengan
modifikasi, menentukan target yang kemungkinan besar memengaruhi parameter berisiko, dan
kemudian memilih obat yang akan memodifikasi target.
Penggunaan senyawa antiaritmia membutuhkan perawatan khusus karena indeks terapi yang
sempit dari obat ini. Untungnya, memiliki titik akhir klinis yang dipercaya untuk menentukan
efikasi dan toksisitas dengan beberapa senyawa tersebut (3). Sayangnya, bagaimanapun, toksisitas
dapat terlihat sebagai aritmia yang sangat sama untuk proses yang menggolongkan obat-obat ini.
Sebagai konsekuensinya, dokter dapat mengakibatkan kesalahan yang kemungkinan fatal dari
toksisitas kesalahan mendiagnosis sebagai kurangnya efikasi dan merespons dengan cara yang
berlawanan dengan cara yang dibutuhkan.
Fenomena ini merupakan perhatian khusus untuk obat golongan I (contohnya sama dengan
kuinidin dan flekainida). Obat-obat itu biasanya digunakan untuk mengobati takiaritmia ventrikular,
namun kardiotoksisitas yang melekat pada senyawa itu sendiri dapat menjadi aritmia yang sama.
Perlu untuk ditegaskan bahwa efek farmakologis obat-obat ini dapat sering diukur dengan
menghitung interval output jantung (QT), yang memperbaiki laju denyut jantung, dan durasi
kompleks sistem pelepasan cepat (quick release system, QRS). Jika pasien menunjukkan takiaritmia
ventrikular dengan perpanjangan interval QT atau perluasan kompleks QRS, seseorang harus
mencurigai etiologi toksis untuk aritmia ini dan bukan kurangnya efikasi obat. Jika toksisitas seperti
itu salah didiagnosis dan pengobatan dilanjutkan atau dosis yang lebih tinggi digunakan,
konsekuensinya dapat menjadi berbahaya.
2. Efek Samping
Obat-obat antiaritmia menghasilkan segolongan efek samping yang berhubungan dengan
dosis berlebih dan konsentrasi plasma sehingga mengakibatkan toksisitas nonjantung (misalnya
cacat neurologis) dan jantung (misalnya gagal jantung, dan beberapa aritmia), dan golongan efek
samping lain yang tidak berhubungan dengan konsentrasi plasma, dikenal dengan istilah idiopatik.
Contoh yang terakhir meliputi sindrom lupus yang diinduksi prokainamida, toksisitas pulmoner
yang diinduksi amiodaron (walaupun publikasi terbaru menghubungkan dosis terhadap efek
samping ini), dan beberapa aritmia seperti torsades de pointes yang diinduksi kuinidin.
Aritmia jantung yang diinduksi obat atau memperburuk obat (proaritmia) merupakan masalah
klinis yang besar. Mekanisme elektrofisiologis mungkin berhubungan dengan perpanjangan
repolarisasi, perkembangan pasca-depolarisasi awal sampai mengakibatkan torsades de pointes, dan
perubahan dalam jalur masuk kembali untuk memunculkan atau meneruskan takiaritmia
ventrikular. Kejadian proaritmia dapat terjadi pada sebanyak 5-10% pasien. Gagal jantung
meningkatkan risiko proaritmia. Pasien dengan fibrilasi atrium yang diobati dengan obat antiaritmia
memiliki 4,7 kali risiko relatif kematian jantung jika mereka memiliki riwayat gagal jantung
dibandingkan dengan pasien tidak diobati yang memiliki 3,7 kali risiko relatif kematian aritmia.
Pasien tanpa riwayat gagal jantung kongestif tidak memiliki peningkatan risiko kematian jantung
selama pengobatan dengan obat antiaritmia. Penurunan fungsi ventrikular kiri, pengobatan dengan
digitalis dan diuretik, dan interval QT pengobatan awal yang lebih lama mencirikan pasien yang
membentuk fibrilasi ventrikular yang diinduksi obat. Kejadian proaritmia yang lebih sering
diketahui terjadi dalam beberapa hari dimulainya terapi obat atau perubahan dosis dan ditunjukkan
dengan perkembangan seperti takikardia ventrikular berulang, sindrom QT yang lama, dan torsades
de pointes. Akan tetapi, dalam Cardiac Arrhytmia Suppression Trial, (CAST) (4), enkainida dan
flekainida mengurangi aritmia ventrikular spontan, namun dikaitkan dengan jumlah kematian total
7,7 vs 3,0% dalam kelompok yang me- nerima plasebo. Kematian terjadi secara merata selama
periode pengobatan, memunculkan pertimbangan penting bahwa jenis respons proaritmia lain dapat
terjadi beberapa waktu setelah permulaan terapi obat. Efek proaritmia lambat seperti itu dapat
dihubungkan dengan memburuknya penundaan konduksi miokardial regional yang diinduksi obat
akibat iskemia dan konsentrasi obat heterogen yang dapat menyebabkan pemasukan kembali.
Morisizin juga meningkatkan mortalitas, yang menyebab- kan terminasi CAST II (5).
Obat-obat yang menginduksi produksi enzim hati, seperti fenobarbital dan fenitoin, dapat
memperpendek durasi kerja kuinidin dengan meningkatkan laju eliminasinya. Kuinidin dapat
meningkatkan konsentrasi digoksin dan digitoksin dalam serum dengan menurunkan bersihan tubuh
total , volume distribusi, dan afinitas reseptor jaringan untuk digoksin.
I. Adenosin
Efek samping yang berlangsung beberapa saat terjadi pada hampir 40% pasien dengan
takikardia supraventrikular yang diberikan adenosin dan paling sering terjadi adalah kemerahan
pada wajah, dispnea, dan tekanan pada dada. Gejala-gejala tersebut terjadi singkat, biasanya kurang
dari I menit, dan mudah ditoleransi. Kompleks ventrikular prematur, bradikardia sinus sesaat, henti
sinus, dan blok AV umum terjadi ketika takikardia supraventrikular tiba-tiba dihentikan. Induksi
fibrilasi atrium dapat menjadi problematik pada pasien dengan sindrom Wolff-Parkinson-White
atau konduksi AV yang cepat.
Konsentrasi flekainida meningkat hingga rata-rata 60% dengan terapi amiodaron secara
bersamaan. Walaupun mekanisme pasti tentang interaksi tersebut tidak diketahui, metabolisme hati
dan/atau bersihan ginjal dari flekainida diperkirakan dapat menurun. Pengamatan klinis pasien
secara hati-hati dan juga pemantauan elektrokardiogram (EKG) dan konsentrasi lekainida dalam
plasma secara ketat penting dilakukan dengan penyesuaian regimen dosis flekainida yang harus
dilakukan untuk mencegah peningkatan efek toksisitas atau farmakodinamik. Reduksi empirik dosis
flekainida sebesar 50% dianjurkan 2–3 hari setelah dimulainya terapi amiodaron.
Konsentrasi kuinidin dalam serum secara umum meningkat sekitar 33% pada pasien yang
menerima terapi amiodaron secara bersamaan. Walaupun mekanismenya tidak jelas, tampaknya
bersihan hati dan/atau ginjal dapat berkurang dan kuinidin juga dapat dipindahkan dari tempat
ikatan jaringan dan protein. Perpanjangan interval QT juga dicatat baik dengan kuinidin, dan
penambahan amiodaron dapat sangat meningkatkan efek ini, menempatkan pasien pada
peningkatan risiko atas kemunculan torsades de pointes. Pengamatan klinis pasien secara hati-hati
dan juga pemantauan ketat elektrokardiogram (EKG) dan konsentrasi kuinidin serum penting
dilakukan dengan penyesuaian regimen dosis kuinidin yang perlu dilakukan untuk mencegah pe-
ningkatan toksisitas atau efek farmakodinamik. Reduksi empirik dosis kuinidin sebesar 50%
dianjurkan selama 2 hari sehabis dimulainya terapi amiodaron dengan pertìmbangan yang diberikan
untuk kuinidin yang dihentikan segera setelah terapi amiodaron dimulai.
Konsentrasi prokainamida dan N-asetilprokainamida atau NAPA (suatu metabolit aktif secara
farmakologis) meningkat hingga masing-masing kira-kira 55 dan 33%, selama 7 hari pertama terapi
yang bersamaan dengan amiodaron. Mekanisme farmakokinetik yang tepat dari interaksi ini masih
belum dijelaskan walaupun reduksi bersihan ginjal induk dan metabolit, dan juga reduksi dalam
metabolisme hatinya tampak sama. Aktivitas elektrofisiologis aditif terjadi dengan terapi kombinasi
dan memperpanjang interval QT dan QRS atau akselerasi takikardia ventrikular yang ada
sebelumnya dapat terjadi. Pengamatan klinis pasien secara hati-hati dan juga pemantauan ketat
EKG dan konsentrasi prokainamida dan NAPA dalam serum sangat penting dengan penyesuaian
regimen dosis prokainamida yang perlu dilakukan untuk mencegah peningkatan toksisitas atau efek
farmakodinamik. Pada umumnya, penghentian total atau pengurangan dosis harian prokainamida
sebesar 25% direkomendasikan selama minggu pertama terapi amiodaron dimulai.
Amiodaron meningkatkan kadar digoksin dalam serum saat diberikan bersamaan, dan
pengurangan dosis sebesar 50% secara empirik dianjurkan terhadap permulaan terapi amiodaron.
Tingkat saat konsentrasi digoksin dalam serum akan meningkat tidak dapat diprediksi dan
penentuan ulang kebutuhan untuk kedua obat perlu dilakukan dengan seksama. Seperti biasanya,
pengamatan klinis pasien secara hati-hati, dan pemantauan ketat EKG dan konsentrasi digoksin
serum sangat penting untuk memastikan efikasi dan untuk mencegah terjadinya digoksin yang perlu
dilakukan. Mekanisme peningkatan pada konsentrasi digoksin serum cukup rumit dan tidak
dimengerti dengan baik, namun diperkirakan terjadi karena perpindahan digoksin yang diinduksi
amiodaron dari tempat ikatan jaringan, peningkatan pada ketersediaan hayati, dan/atau penurunan
pada bersihan ginjal atau non-ginjal. Lebih lanjut, amiodaron dapat menginduksi perubahan pada
fungsi tiroid dan mengubah sensitivitas terhadap glikosida jantung, dan fungsi tiroid sebaiknya
dipantau secara ketat pada pasien yang menerima kedua obat pada waktu sama.
Pemberian amiodaron dan fenitoin secara bersamaan dapat menyebabkan toksisitas fenitoin,
yang disebabkan oleh dua atau tiga kali lipat kenaikan jumlah, konsentrasi fenitoin dalam serum
pada keadaan tunak sepertinya disebabkan oleh penurunan yang diinduksi amiodaron dalam
metabolisme fenitoin. Pemantauan secara seksama untuk gejala toksisitas fenitoin yang meliputi
nistagmus, letargi, dan ataksia; dan evaluasi konsentrasi fenitoin serum dengan pengurangan dosis
yang sesuai bila dibutuhkan sangat penting bagi pasien yang menerima pengobatan ini.
Penggunaan bersamaan amiodaron dengan antidepresan trisiklik, fenotiazin, atau obat dengan
potensi memperpanjang interval QT dapat menyebabkan perpanjangan aditif interval QT, dan yang
jarang sekali terjadi adalah torsades de pointes.
Walaupun ada data yang terbatas, laporan yang tidak dipercaya telah memperlihatkan
penurunan yang diinduksi kolestiramin pada waktu paruh eliminasi amiodaron dan konsentrasi
serum selanjutnya. Interaksi ini dapat menjadi keuntungan dari pengurangan sementara amiodaron
serum, dan konsentrasi desetilamiodaron (DEA) yang di duga sebelum operasi dalam usaha untuk
membatasi efek depresan jantung obat pada periode pasca-operasi segera.
Dua inhibitor protease, ritonavir dan nelfinavir, merupakan inhibitor enzim P450 yang poten.
Secara teoretis, keduanya diharapkan dapat menghasilkan peningkatan yang besar dalam
konsentrasi amiodaron, disebabkan oleh penghambatan metabolismenya. Akan tetapi, tidak ada
laporan yang telah dipublikasikan tentang interaksi ini hingga sekarang, namun diperkirakan bahwa
mungkin ada peningkatan risiko aritmia ventrikular sehingga penggunaan secara bersamaan
sebaiknya tetap dihindari.
Paroksetin menggangu jalur metabolisme CYP2D6 (isoenzim 2D6 sitokrom P450) pada dosis
terapi. Paroksetin sebaiknya digunakan secara hati-hati pada pasien yang menerima pengobatan
antiaritmia tipe IC (seperti propafenon, flekainida, atau enkainida) dan kuinidin. Persaingan untuk
CYP2D6 hati (isoenzim 2D6 sitokrom P450) oleh paroksetin dapat memungkinkan toksisitas
antiaritmia ini.
Interaksi obat antara obat-obat antijamur dan antibiotik makrolida, misalnya ketokonazol dan
eritromisin, yang dimetabolisme oleh isoenzim hati 3A4 sitokrom P450 yang sama, dapat
menyebabkan sindrom LQT dan torsades de pointes.