Anda di halaman 1dari 7

1.

Penanganan Aritmia Lethal

1.1 Obat - Obatan Antiaritmia

Tujuan utama dari terapi obat antiaritmia adalah untuk mengembalikan irama dan

konduksi yang normal. Apabila tidak memungkinkan, penggunaan obat antiaritmia dapat

digunakan untuk mencegah terjadinya aritmia lethal. (Klabunde, 2009)

Obat antiaritmia terbagi menjadi dua hal; berdasarkan cara kerjanya (Vaughan

Williams) dan berdasarkan tempat kerjanya. Berdasarkan klasifikasi Vaughan Williams,

obat-obat aritmia dibagi menjadi 4 golongan besar. Pembagian golongan ini didasarkan

pada cara kerja obat antiaritmia terhadap sel jantung, terutama terhadap proses

elekrofisiologis jantung. (Kapuangan, 2006)

Kelas Cara kerja Contoh obat

I Penghambat saluran

natrium

IA Kuinidin, prokainamid, disopiramid

IB Lidokain, tokainid, meksiletin, fenitoin

IC Flekainid, propanefon, enkainid

IA,B,C Moricizin

(campuran)

II Penghambat β- Propanolol, asebutolol, esmolol,

adrenergik sotalol

III Memperpanjang fase 3 Bretilium, amiodaron, ibutalid, sotalol,

dofetilid

IV Penghambat saluran Verapamil, diltiazem

kalsium
Beberapa obat lain memiliki efek antiaritmia dan tidak termasuk dalam penggolongan

Vaughan Williams, seperti adenosin dan digoksin. Hal ini disebabkan perbedaan cara kerja

dari obat tersebut. Oleh karena itu terdapat pembagian lain dari obat antiaritmia, yaitu

berdasarkan tempat kerja obat tersebut pada jantung. (Kapuangan, 2006)

Tempat kerja Cara kerja Contoh Obat

Nodus AV Memperlambat konduksi di Verapamil, diltiazem, adenosin,

nodus AV digoksin, β-bloker

Ventrikel Mengatur aritimia ventrikular Lidokain, meksiletin, fenitoin

Atrium, Bekerja efektif baik pada Kuinidin, disopiramid, amiodaron,

ventrikel, takikardi supraventrikular flekainid, prokainamid, propafenon

dan jalur maupun ventrikular

tambahan

2.3.2 Penanganan Saat Terjadi Arrest

Penanganan aritmia lethal harus didasarkan pada jenis dari aritmia yang terjadi.

Kebanyakan korban henti jantung diakibatkan oleh timbulnya fibrilasi ventrikel (VF),

takhikardi ventrikel (VT), aktifitas listrik tanpa nadi (PEA), dan asistol. (Nugroho, 2011)

Menurut irama jantung, keadaan henti jantung ini terbagi menjadi dua kondisi, yakni

shockable rhythm dan nonshockable rhythm. VF dan VT tanpa nadi merupakan shockable
rhythm sedangkan PEA dan asistole merupakan nonshockable rhythm. Berdasarkan kedua

kondisi ini terdapat algoritma penanganan henti jantung sebagai berikut. (Nugroho, 2011)

Gambar 1.1 Algoritma Penanganan Cardiac Arrest (ACLS, 2014)

Ventrikel fibrilasi merupakan kasus terbanyak yang sering menimbulkan kematian

mendadak, pada keadaan ini jantung tidak dapat melakukan fungsi kontraksinya, jantung

hanya mampu bergetar saja. Pada kasus ini tindakan yang harus segera dilakukan adalah

CPR dan DC shock atau defibrilasi. (Nugroho, 2011)

Mekanisme penyebab terjadinya ventrikular takikardi biasanya karena adanya

gangguan otomatisasi (pembentukan impuls) ataupaun akibat adanya gangguan konduksi.


Frekuensi nadi yang cepat akan menyebabkan fase pengisian ventrikel kiri akan memendek,

akibatnya pengisian darah ke ventrikel juga berkurang sehingga curah jantung akan

menurun. VT dengan keadaan hemodinamik stabil, pemilihan terapi dengan medika

mentosa lebih diutamakan. Pada kasus VT dengan gangguan hemodinamik sampai terjadi

henti jantung (VT tanpa nadi), pemberian terapi defibrilasi dengan menggunakan DC shock

dan CPR adalah pilihan utama. (Nugroho, 2011)

Beberapa terapi nonfarmakologi lebih lanjut yang dapat diberikan pada VT adalah

Implantable Cardioverter-Defibrillators, Surgical Ablation, Catheter-Based Ablation.(

Crawford, 2002)

Pulseless Electrical Activity (PEA) merupakan keadaan dimana aktifitas listrik jantung

tidak menghasilkan kontraktilitas atau menghasilkan kontraktilitas tetapi tidak adekuat

sehingga tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak teraba. Pada kasus ini CPR

adalah tindakan yang harus segera dilakukan.

Asistole ditandai dengan tidak terdapatnya aktifitas listrik pada jantung, dan pada

monitor irama yang terbentuk adalah seperti garis lurus. Pada kondisi ini tindakan yang

harus segera diambil adalah CPR. (Nugroho, 2011)

Jika sirkulasi spontan tidak kembali setelah syok defibrilasi kedua, intervensi

farmakologis harus diberikan untuk membantu upaya resusitasi. Saat ini, hanya dua obat

yang direkomendasikan untuk digunakan pada kasus henti jantung: epinefrin dan

vasopresin. Adanya bukti bahwa pemberian glukosa selama iskemia serebral global dapat
memperburuk hasil neurologis pada pasien yang selamat, cairan RL atau NS sebaiknya

digunakan daripada menggunakan larutan yang mengandung glukosa. (Miller, 2009)

Keuntungan pemberian epinefrin selama henti jantung, tanpa memperhatikan irama

jantung, telah dipaparkan. Obat ini meningkatkan aliran darah serebral dan miokardial dalam

henti jantung eksperimental. Mekanisme peningkatan aliran darah menuju serebral dan

miokard ini tampaknya disebabkan oleh pencegahan kolaps arterial dan vasokonstriksi yang

intens pada anyaman vaskular lainnya, sehingga mencegah aliran darah ke jaringan non

kritis. Rekomendasi dosis epinefrin adalah 1.0 mg (10 mL dari campuran 1:10.000). Dosis ini

dapat diulang setiap 3 hingga 5 menit selama henti jantung terjadi untuk memastikan

keuntungan aliran darah tetap terjaga. (Miller, 2009)

Vasopresin ditambahkan dalam algoritma VF dan VT tanpa nadi berdasarkan data

eksperimental dan data klinis yang menunjukkan bahwa obat ini memiliki efek

menguntungkan dalam perfusi organ vital selama henti jantung. Vasopresin bekerja dengan

menstimulasi langsung reseptor V1 otot polos, dan stimulasi ini menyebabkan pemanjangan

konstriksi otot polos bahkan dalam keadaan asidosis berat, yang dapat menjaga tekanan

perfusi koroner dan berkontribusi dalam meningkatkan keberhasilan resusitasi. Pada sebuah

studi, pemberian vasopresin pada henti jantung refrakter menyebabkan peningkatan

tekanan darah dan pada beberapa kasus, mengembalikan sirkulasi spontan. Pada pedoman

2005, penggunaan vasopresin disarankan sebagai alternatif terhadap satu dosis epinefrin

selama VF refrakter. Karena waktu paruh yang lama (10 hingga 20 menit) dibandingkan

dengan epinefrin (3 hingga 5 menit), vasopresin diberikan sekali dengan dosis 40 unit

secara intravena atau intraoseus. (Miller, 2009)

Jika VF tetap ada setelah defibrilasi dan injeksi epinefrin atau vasopresin atau

keduanya, pengobatan dengan efek antifibrilatorik harus dipilih. Amiodaron dan lidokain

merupakan pilihan yang direkomendasikan. Lidokain dalam evaluasi berdasarkan bukti tidak

menunjukkan keuntungan jangka pendek maupun jangka panjang pada pasien dengan VF

atau VT tanpa nadi. Amiodaron merupakan pilihan agen antiaritmia pada keadaan VF
persisten. Dosis awal amiodaron adalah 300mg via intravena atau intraoseus dan dapat

diikuti dengan dosis tunggal 150mg. (Miller, 2009)


DAFTAR PUSTAKA

ACLS. 2014. ACLS Rhythms for the ACLS Algorithms. http://acls-algorithms.com/download-


library/pulseless-arrest-algorithm-diagram. Diunduh 23 Januari 2015.

Crawford, M. 2002. Current Diagnosis & Treatment in Cardiology 2nd Edition. LANGE

Kapuangan, Christopher. 2006. Farmakologi Obat Anti Aritmia. Jakarta: Dept. Anestesiologi
dan Terapi Intensif FKUI.

Klabunde, Richard E. 2009. Cardiovascular Pharmacologic Concept. Artikel.


http://www.cvpharmacology.com/antiarrhy/antiarrhythmic.htm . Diakses 22 Januari
2015.

Miller, Ronald D. 2009. Miller’s Anesthesia seventh edition. Elsevier.

Nugroho, Santoso Tri. 2011. Studi Deskriptif Faktor-Faktor Kesiapan Perawat Ruang Rawat
Inap Dalam Menangani Cardiac Arrest Di RS Roemani Semarang. Semarang:
Universitas Muhammadiyah Semarang.

Anda mungkin juga menyukai