Anda di halaman 1dari 23

Analisis Efisiensi Pareto Pada Kebijakan Satu Harga

Studi Kasus Kelangkaan Minyak Goreng pada Januari 2022

Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekonomi Publik

Penulis

Gading Kevin Jerico Simarmata H1401201043

Muhammad Arief Fadhilah H1401201052

Rori Fizaty Ivo H1401201056

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
IPB UNIVERSITY
2022
KATA
PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kemudahan dalam
melengkapi Makalah Ekonomi Industri ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya, kami
tidak akan menyelesaikan makalah ini dengan baik. Kami mengucapkan syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa atas limpah nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran,
sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah dengan judul “Analisis Efisiensi Pareto
Pada Kebijakan Satu Harga Studi Kasus Kelangkaan Minyak Goreng pada Januari 2022”.
Dalam penyusunan makalah ini, kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya
kepada Bapak Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si, selaku dosen mata kuliah Ekonomi Publik. Kami
tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat
kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta saran dari
pembaca untuk makalah ini agar makalah ini dapat menjadi makalah yang lebih baik. Apabila
terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami memohon maaf sebesar-besarnya.

Bogor, 16 Oktober 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
DAFTAR GAMBAR 4
DAFTAR GRAFIK 5
BAB I
PENDAHULUAN 6
1. 1 Latar belakang 6
1. 2 Rumusan masalah 7
1. 3 Tujuan penelitian 7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 8
2.1 Barang Privat 8
2.3 Peran Pemerintah pada Mekanisme Pasar 10
2.4 Efisiensi Pareto 11

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN 13
3. 1 Gambaran Umum Permasalahan Minyak Goreng 13
3.2 Mekanisme Pasar Permintaan dan Penawaran Minyak Goreng 16
3.3 Efisiensi Pareto dalam Kebijakan Harga Minyak Goreng 18

BAB IV
PENUTUP 21
4. 1 Kesimpulan 21
4. 2 Saran 21

DAFTAR PUSTAKA 23
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kurva Permintaan dan Penawaran Pasar Kompetitif 9


Gambar 3.1 Mekanisme Pasar Sebelum Kebijakan Satu Harga 16
Gambar 3.2 Mekanisme Pasar Sesudah Kebijakan Satu Harga 17
Gambar 3.3 Mekanisme harga 18
Gambar 2.1 Kurva Permintaan Pasar dan Perusahaan Kompetitif 19
DAFTAR GRAFIK

Gambar 3.1 Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia 13


Gambar 3.2 Tren Harga Bulanan Minyak Goreng di Seluruh Indonesia 14
Gambar 3.3 Harga Minyak Goreng Harian pada Januari 2022 15
BAB I
PENDAHULUAN

1. 1 Latar belakang

Tahun 2022 diharapkan menjadi tahun pemulihan ekonomi pasca Krisis Pandemi COVID-19.
Namun, awal tahun tersebut dipenuhi oleh tekanan eksternal yang dipengaruhi oleh kenaikan
harga berbagai komoditas. CPO (Crude Palm Oil) dan produk hilirnya, minyak goreng menjadi
salah satu yang mengalami kenaikan harga tersebut. Bahkan harga CPO mencapai titik
tertingginya sepanjang sejarah pada tahun 2022 ini. Kenaikan harga CPO disebabkan oleh
berbagai penyebab. Menurut Abdullah dkk. (2022), dalam policy brief INDEF ( Institute For
Development of Economics and Finance), penyebab kenaikan harga CPO dikarenakan empat hal.
Pertama, penurunan produksi CPO oleh produsen besar dunia seperti Malaysia dan Indonesia.
Kedua, kenaikan permintaan baik pasar domestik maupun ekspor. Ketiga, peningkatan harga
energi fosil yang merupakan substitusi dari energi biofuel menyebabkan transisi yang cukup
signifikan . Keempat, CPO menjadi salah satu komoditas super cycle setelah Krisis Pandemi
Covid-19 mereda. Berdasarkan keempat penyebab tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa
faktor eksternal dan pandemi menjadi penyebab kenaikan harga CPO internasional.

Terhitung sejak awal Oktober 2021 lalu, harga minyak goreng di Indonesia naik secara
signifikan. Berdasarkan data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis dalam Katadata.id,
harga minyak goreng pada Oktober 2021 mencapai Rp. 15.550,- per kilogram. Harga terus
melambung tinggi hingga mencapai angka Rp. 18.550,- per kilogram pada awal Januari 2022.
Harga minyak goreng kemasan bermerek juga ikut mencetak harga lebih tinggi lagi yaitu sebesar
Rp. 21.150,- per kilogram. Tingginya permintaan dan turunnya penawaran minyak goreng yang
merupakan hasil dari pengolahan CPO mengakibatkan kelangkaan dan kenaikan harga minyak
goreng di Indonesia. Sementara itu, minyak goreng merupakan salah satu komoditas yang paling
dibutuhkan oleh masyarakat setiap harinya untuk mencukupi kebutuhan pangan. Oleh sebab itu,
kelangkaan minyak goreng sangat meresahkan masyarakat Indonesia terutama masyarakat
ekonomi menengah kebawah.

Dalam permasalahan kelangkaan minyak goreng pemerintah dalam otoritanya memiliki


hubungan mutlak dalam intervensi harga yang terus meningkat di pasaran, dalam
pelaksanaannya pemerintah mencoba beberapa intervensi yang dilakukan guna meredam shock
yang terjadi di pasar, diawali dengan kebijakan sederhana dengan satu harga yakni pada posisi
Rp 14.000 untuk komoditas minyak goreng sederhana, selanjutnya terjadi perubahan melalui
revisi Permendag No.3 Tahun 2022 yang mana menambah kebijakan ini menambah objek harga
menjadi harga kemasan sederhana dan kemasan premium kebijakan ini pun berlaku per 19
Januari 2022, namun setelah 6 bulan berjalan kebijakan tersebut dicabut pada tanggal 31 Januari
2022, kemudian berbagai kebijakan silih berganti hingga pada pertengahan Maret dan Juli pada
tahun 2022.

Permasalahan harga yang tidak bisa di akses oleh konsumen menjadi salah satu indikasi adanya
kegagalan pasar, hal ini menjadi penguat bahwa pemerintah perlu untuk melakukan intervensi
sebagai penggenapan dari otoritas tertinggi dalam satu negara, Jika dilihat secara spesifik
kegagalan pasar identik dengan ketidak capaian pasar dalam efisiensi alokasi pada masyarakat,
atau dapat dikatakan bahwa mekanisme pasar tidak berhasil mencapai tujuan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Menurut Barton (2000) salah satu peran pemerintah dalam
mengatasi permasalahan ini adalah pada poin regulator dan juga pada poin kesejahteraan sosial
dan secara jangka panjang mengelola makro ekonomi sebuah negara, yang mana pada poin
regulator pemerintah menciptakan undang undang dan tata tertib seperti pada penetapan
permendag dalam regulasi harga minyak, dilanjutkan pada peran kesejahteraan pemerintah perlu
mendorong pemerataan sosial, yang mana dalam kasus ini harga yang tinggi akan menciptakan
poin dari pilar ketahanan pangan tidak tercapai dan akan adanya masyarakat yang tidak bisa
mencapai titik harga tersebut dan menunjukkan poin kesejahteraan tidak tercapai, poin
selanjutnya yakni persoalan makro ekonomi sebuah negara hal ini mutlak bagi pemerintah untuk
melakukan desain terbaik dalam kondisi pertumbuhan ekonomi yang stabil.

1. 2 Rumusan masalah

Adapun rumusan masalah dari penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran umum kasus kenaikan harga minyak goreng.
2. Bagaimana kebijakan dan mekanisme pasar harga minyak goreng.
3. Apakah efisiensi pareto tercapai dalam kebijakan stabilisasi harga minyak goreng.

1. 3 Tujuan penelitian

Adapun pelaksanaan penelitian ini bertujuan sebagai berikut :


1. Mengetahui permasalahan minyak goreng di pasar Indonesia
2. Mengetahui proses mekanisme pasar yang terjadi di Indonesia
3. Mengetahui kebijakan yang dilakukan pemerintah pada kasus minyak goreng
4. Mengetahui ketercapaian efisiensi pareto dalam kebijakan yang diambil pemerintah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Barang Privat

Barang privat (private goods) merupakan barang yang jika digunakan oleh satu individu atau
perusahaan maka barang tersebut akan tidak tersedia untuk orang lain. Barang konsumen dan
barang modal adalah contoh umum dari barang privat. Untuk mendapatkan barang privat,
konsumen harus membayarnya. Persediaan dari barang privat juga berkurang ketika dikonsumsi
oleh pengguna lain.

Private goods juga disebut sebagai barang ekonomi, hal ini terjadi karena untuk
memproduksinya, produsen perlu mengeluarkan biaya untuk memperoleh sumberdaya sebagai
input. Karena memiliki biaya, produsen akan membebankan harga kepada konsumen ketika
mereka membelinya. Dengan kata lain, untuk mendapatkan barang privat maka konsumen harus
bersedia membayarnya.

Private goods memiliki dua karakteristik utama yang membedakan dengan barang publik, yaitu:
1. Excludability. Tidak semua orang dapat menggunakannya, untuk menggunakan barang
privat konsumen harus menyerahkan sejumlah uang. Jika harga tidak dapat diterima oleh
konsumen maka barang tersebut tidak akan bisa dikonsumsi, karena barang privat tidak
dapat dikonsumsi oleh orang lain setelah dibeli. Contohnya, pakaian di toko hanya dapat
dinikmati oleh mereka yang membayarnya, sementara mereka yang tidak membayar
tidak dapat menikmati barang tersebut.
2. Rivalitas (Rivalry), Penggunaan barang oleh individu akan mengurangi ketersediaan
untuk orang lain. Sebagai contoh, jika kita membeli satu dari 100 roti yang dipajang,
maka hanya 99 roti yang tersedia dan dapat dijual ke orang lain.

Barang privat biasanya memang diadakan untuk mencari profit atau laba. Karena
karakteristiknya tadi, barang privat dapat menjaga efisiensi pasar dalam pengadaannya. Efisiensi
inilah yang menarik sektor swasta dan menimbulkan pemahaman bahwa barang privat adalah
barang yang hanya diproduksi oleh sektor swasta. Namun, pemerintah sebenarnya dapat berlaku
sebagai sektor swasta dan menjadi bagian dari pasar dalam penyediaan barang privat untuk
tujuan-tujuan tertentu.

2.2 Mekanisme Pasar

Pasar Dalam definisi ilmu ekonomi adalah pertemuan antara permintaan dan juga penawaran, hal
ini menjadikan pasar adalah bentuk kesatuan yang interaktif, sehingga menjadikan mekanisme
pasar memiliki definisi proses penentuan harga pada tingkat tertentu berdasarkan kekuatan
permintaan dan juga penawaran (Rahardja,1999), mekanisme pasar bukan hanya didefinisikan
sebagai bagaimana cara pembeli dan penjual bertemu dan berpisah namun lebih lanjut
didefinisikan sebagai tatanan dan bagian dari para pelaku konsumen dan juga produsen hingga
bertemu dalam konsep equilibrium price yakni keseimbangan antara demand dan supply.

Secara harfiah pasar memiliki tiga fungsi, yakni distribusi, pembentukan harga, dan promosi.
Dari fisik pasar tersebut pasar dapat dikelompokkan kedalam pasar konkret dan pasar abstrak,
yang mana pasar konkret adalah proses mekanisme pasar yang dilakukan langsung, sedangkan
pasar abstrak proses jual beli dilakukan dengan adanya perantara seperti internet, telepon, dan
media perantara lainnya.

Sama seperti ideologi ekonomi lainnya, mekanisme pasar erat kaitannya dengan efisiensi
ekonomi, dalam pasar kompetitif efisiensi dapat dilihat pada perpotongan antara kurva supply
dan kurva demand seperti pada gambar 2.1. Kurva demand mencerminkan banyaknya output
yang diminta dari pihak konsumsi, sedangkan pada sisi lain kurva supply mencerminkan berapa
besar opportunity cost dalam memproduksi output yang akan ditawarkan. Dalam analisis lebih
lanjut dapat terlihat bahwa ketika kurva permintaan nilainya lebih besar daripada kurva
penawaran (excess demand) maka produsen harus meningkatkan jumlah penawaran, sebaliknya
jika penawaran berada di atas permintaan (excess supply) maka produksi melebihi nilai yang
diterima sehingga tidak boleh menambah produksi/output.

Gambar 2.1 Kurva Permintaan dan Penawaran Pasar Kompetitif


Pada gambar 2.1 dapat terlihat bahwa efisiensi terjadi ketika produksi dan permintaan berapa
pada tahap yang optimal yakni pada P* dan Q*, ketika output yang diproduksi (Q actual) lebih
kecil dari nilai Q* maka kurva permintaan berada di bawah kurva penawaran, hal ini
mengindikasikan bahwa penambahan output akan lebih menguntungkan konsumen daripada
biaya peluang untuk memproduksi output atau surplus konsumen akan lebih besar daripada
surplus produsen, dan sebaliknya. Selanjutnya dapat dikatakan juga bahwa perpotongan antara
kurva demand dan supply menggambarkan tingkat kesejahteraan yang dikejar individu, yang
mana alokasi efisien sumber daya terjadi.

2.3 Peran Pemerintah pada Mekanisme Pasar

Pada zaman sekarang, pemerintah mengambil peran yang cukup dominan dalam aktivitas
perekonomian. Pemerintah melakukan intervensi di dalam pasar apabila terjadi kegagalan pasar
(market failure). Kegagalan pasar sering diartikan sebagai kegagalan dalam menciptakan
efisiensi alokasi sumber daya bagi masyarakat sehingga menimbulkan kerugian. Kegagalan pasar
juga diartikan sebagai kondisi ketika mekanisme pasar tidak mampu untuk memenuhi
penyediaan infrastruktur dasar, kebutuhan dasar, serta pengiriman layanan yang berguna bagi
masyarakat. Kegagalan pasar merupakan permasalahan yang timbul akibat tidak adanya pasar
persaingan sempurna dalam dunia nyata sehingga menyebabkan terjadinya inefisiensi. Oleh
karena itu, pareto efisiensi tidak akan terwujud jika hanya mengandalkan mekanisme pasar
dalam pengalokasian sumber daya ekonomi. Hal tersebut sejalan dengan teori yang disampaikan
oleh Weimer dan Vinibg (1992), dimana mekanisme pasar dengan invisible hand (tanpa
intervensi pihak lain) tidak akan sanggup untuk menjalankan fungsinya secara efektif dan
efisien. Disinilah pemerintah mengambil peran dengan melakukan intervensi di dalam pasar.

Menurut Stiglitz (1997), terdapat tiga tipe pasar inefisien yang mendatangkan kegagalan pasar.
Pertama, bauran produk yang tidak efisien (product mix inefficiency) yang merupakan kondisi
pasar dimana produksi satu barang sangat banyak dilakukan sedangkan produksi barang lainnya
hanya sedikit. Kedua yaitu, exchange inefficiency yang merupakan kondisi ketika barang yang
ada di pasar tidak memuaskan keinginan individu. Terakhir adalah produksi yang tidak efisien
(production inefficiency), hal ini terjadi ketika produksi yang dilakukan menjauhi batas
kemungkinan produksi. Artinya produksi yang dilakukan tidak optimal.

Kegagalan pasar atau ketidakoptimalan pasar dalam mencapai efisiensi pareto menyebabkan
pemerintah harus turun tangan (intervensi) dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kegagalan pasar menjadi syarat perlu atau
necessary condition bagi pemerintah dalam melakukan intervensi. Menurut Weimer dan Vinibg
(1992), peran pemerintah di dalam pasar yaitu, memperbaiki kegagalan pasar agar tercapai
efisiensi produksi, serta melakukan realokasi sumber daya ekonomi untuk mendapatkan
nilai-nilai distribusional dan nilai lainnya. Selain itu, pemerintah memiliki peran yang besar
dalam upaya mengatur aktivitas ekonomi suatu negara. Menurut Barton (2000) terdapat tiga
peran utama pemerintah yang harus dipenuhi yaitu peran alokasi, peran distribusi, dan peran
stabilisasi. Peran alokasi yaitu pemerintah mengupayakan agar terwujudnya alokasi sumber daya
yang efisien. Hal ini terwujud dalam struktur pasar dimana semua alokasi sumber daya yang ada
dapat memaksimalkan laba bersih. Efisiensi dalam alokasi dan penyediaan barang dapat
ditentukan dengan membandingkan manfaat marginal yang didapat dari menambah sebuah
output dengan biaya marginal yang harus dikeluarkan untuk memproduksinya, utilitas marginal
mewakili harga yang bersedia dibayar konsumen, P = MC. Selain itu, fungsi alokasi juga
berperan dalam pengaturan anggaran untuk kepentingan publik. Selanjutnya yaitu peran
distribusi yang bergantung pada pemilikan faktor produksi, supply dan demand terhadap faktor
produksi, serta kemampuan dalam memperoleh pendapatan. Dalam mengatasi masalah distribusi
pendapatan pemerintah dapat menerapkan kebijakan pajak progresif, subsidi, serta kebijakan
pengeluaran pemerintah lainnya. Terakhir yaitu, peran stabilisasi dimana pemerintah berusaha
untuk menjaga tingkat inflasi agar tidak mengganggu stabilisasi ekonomi. Dalam mewujudkan
hal tersebut pemerintah dapat melakukan kebijakan bauran fiskal-moneter.

2.4 Efisiensi Pareto

Kelangkaan sumber daya menjadi pokok permasalah dalam perekonomian. Sumber daya yang
terbatas menyebabkan setiap pelaku ekonomi harus bisa memanfaatkan sumber daya tersebut
secara efisien. Efisiensi dalam menggunakan sumber daya ekonomi akan mempengaruhi tingkat
kesejahteraan masyarakat. Tingkat kesejahteraan masyarakat yang maksimum dapat tercapai
ketika menggunakan alokasi sumber daya ekonomi yang paling efisien. Dalam pengalokasian
sumber daya terdapat suatu konsep yang dikenal dengan pareto efisiensi atau pareto optimum.
Menurut Yudha (2017) konsep ini menjelaskan bahwa suatu alokasi sumber daya akan mencapai
tingkat yang efisien apabila sudah tidak memungkinkan untuk mengubah alokasi sumber daya
yang ada dengan tujuan meningkatkan kemakmuran atau kesejahteraan pelaku ekonomi (better
off) tanpa membuat pelaku ekonomi lainnya menikmati kemakmuran atau kesejahteraan yang
lebih buruk (worse off). Peningkatan kesejahteraan sosial dengan menggunakan prasyarat kriteria
pareto sangatlah konservatif. Kriteria yang dimaksud adalah apabila realokasi sumber daya yang
dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan paling sedikit satu orang tidak mempengaruhi
kerugian ekonomi atau kesejahteraan sosial orang lainnya.

Adapun dua kondisi yang harus dipenuhi untuk mencapai tingkat efisiensi pareto yaitu, efisiensi
dalam konsumsi dan efisiensi dalam produksi. Pertama, efisiensi dalam konsumsi, yaitu ketika
kurva indiferen seseorang bersinggungan dengan budget line atau garis anggarannya. Pada
kondisi ini, seseorang akan menerima tingkat kepuasan yang paling optimal dengan hanya
mengeluarkan sedikit biaya. Kedua, efisiensi dalam produksi dapat tercapai ketika biaya input
yang digunakan dalam proses produksi sedikit tetapi dapat menghasilkan output secara
maksimum.
Dalam mekanisme pasar, efisiensi pareto hanya dapat terealisasi apabila terjadi efisien pada
proses produksi, efisien pada pertukaran, dan efisien dalam barang campuran “product mix”.
Ketiga syarat efisiensi pareto tersebut hanya dapat terwujud oleh pasar apabila tipe pasarnya
adalah pasar persaingan sempurna. Namun, asumsi dalam pasar persaingan sempurna sangat
kaku dan ketat. Asumsi tersebut antara lain yaitu, harus memiliki informasi yang sempurna dan
tidak memerlukan biaya dan waktu untuk memperolehnya, pelaku yang ada di dalam sangat
banyak, produk yang diperdagangkan di dalam pasar identik, harga pasar diketahui dengan pasti,
serta tidak ada hambatan untuk masuk dan keluar pasar. Apabila pasar dapat memenuhi
asumsi-asumsi tersebut maka alokasi sumber daya alam yang dilakukan melalui mekanisme
pasar dapat mewujudkan efisiensi pareto. Sehingga, tidak diperlukannya intervensi pemerintah di
pasar dalam alokasi sumber daya. Tetapi apabila terdapat asumsi yang tidak dapat terpenuhi
maka alokasi sumber daya dengan mekanisme pasar tidak akan mewujudkan efisiensi pareto,
dalam mengatasi permasalahan ini maka diperlukan campur tangan pemerintah di dalam pasar.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3. 1 Gambaran Umum Permasalahan Minyak Goreng

Industri perkebunan dan pengolahan kelapa sawit merupakan salah satu industri kunci bagi
perekonomian di Indonesia: ekspor minyak kelapa sawit adalah penghasil devisa yang penting
dan industri ini memberikan kesempatan kerja bagi jutaan orang Indonesia. Dalam hal pertanian,
minyak kelapa sawit merupakan industri terpenting di Indonesia yang menyumbang hingga 1.5 -
3.5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dan berkontribusi 13.5 persen terhadap ekspor
komoditas non migas Indonesia (GIMNI, 2021)

Sebagai komoditi, minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan turunannya merupakan salah satu
penghasil devisa terbesar pada sektor industri pengolahan. Pada tahun 2021 nilai ekspor minyak
kelapa sawit Indonesia mencapai nilai tertingginya sepanjang sejarah yaitu sebesar US$ 28
Miliar atau tumbuh sebesar 54.61 persen dari tahun 2020. Bahkan pada tahun 2020 ketika
pandemi melanda Indonesia, nilai ekspor produk kelapa sawit (CPO dan produk turunannya)
menunjukan peningkatan di titik US$ 18.4 Miliar, atau tumbuh sebesar 18.4 persen dari tahun
2019 (BPS, dalam KataData, 2022). Hal ini memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi
devisa negara saat komoditas lainnya mengalami penurunan yang cukup besar.

Sumber: BPS dalam KataData (2022), diolah


Grafik 3.1 Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia
Minyak goreng adalah salah satu jenis produk hilir dari Crude Palm Oil (CPO). Kenaikan harga
CPO sebagai bahan baku tentu akan berdampak pada minyak goreng. Berikut merupakan data
harga bulanan minyak goreng seluruh provinsi di Indonesia dari Maret 2019 hingga Maret 2022

Sumber: PIHPS (2022), diolah


Grafik 3.2 Tren Harga Bulanan Minyak Goreng seluruh Provinsi di Indonesia

Berdasarkan grafik diatas, harga minyak goreng cenderung stabil pada tahun 2019 dan 2020.
Tren kenaikan dimulai pada tahun 2021 sampai dengan awal tahun 2022 yang menjadi puncak
kenaikan harga minyak goreng yang beredar di masyarakat. Pada umumnya margin terbesar dari
harga produsen terjadi pada segmen pasar modern. Akan tetapi, terjadi anomali pada awal tahun
2022, dimana isu minyak goreng ini terjadi. Pada awal tahun 2022 tersebut, pasar modern
memiliki harga yang lebih rendah dari pada pasar tradisional. Hal ini diduga akibat dari
kompleksitas jalur distribusi kebijakan subsidi di segmen pasar tradisional

Untuk mengendalikan harga minyak goreng yang terus meningkat, pemerintah mencoba untuk
menetapkan kebijakan satu harga Rp. 14.000 per liter untuk minyak goreng kemasan sederhana.
Kemudian direvisi dengan Permendag Nomor 3 Tahun 2022 dengan menambah objek kebijakan
satu harga yaitu kemasan premium. Peraturan ini berlaku per 19 Januari 2022. Kebijakan ini
dipasalkan akan berlaku selama enam bulan dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan. Sementara
itu, kebutuhan biaya untuk menutup selisih harga, PPN dan biaya surveyor sebesar Rp. 7.6
Triliun akan diberikan dukungan pendanaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa
Sawit (BPDPKS). Selisih harga yang dimaksud adalah selisih harga produksi dan distribusi
dengan harga eceran atau retail. Upaya menutup selisih harga ini tidak hanya berlaku pada
minyak goreng kemasan 1 liter, tetapi juga dalam kemasan 2 liter, 5 liter, dan 25 liter.
Sumber: PIHPS (2022), diolah
Grafik 3.3 Harga minyak goreng harian pada Januari 2022

Berdasarkan grafik diatas, dapat disimpulkan kebijakan Permendag No. 3 Tahun 2022 belum
efektif akibat kelangkaan minyak goreng sehingga harga masih diatas kebijakan satu harga.
Sehingga pemerintah memutuskan untuk mencabut kebijakan tersebut sehingga kebijakan satu
harga hanya efektif sampai 31 Januari 2022 dan digantikan dengan kebijakan baru yaitu
Permendag No. 6 Tahun 2022, dengan memberlakukan harga HET dan juga menerapkan DMO
(Domestic Market Obligation).
3.2 Mekanisme Pasar Permintaan dan Penawaran Minyak Goreng

Penjelasan supply demand minyak goreng sebelum satu harga


Mikroekonomi menjelaskan bahwa mekanisme pasar dapat terlihat dari kurva permintaan dan
juga kurva penawaran, dimana kurva permintaan menjelaskan jumlah barang yang diminta
konsumen pada tingkat harga tertentu, sedang kurva penawaran menunjukkan besaran produksi
yang dapat dihasilkan oleh produsen, dan titik potong antara kurva permintaan dan juga kurva
penawaran menunjukkan harga keseimbangan. Pada kasus ini dapat terlihat bahwa pada bulan
januari berapa di angka Rp20.000 pada pasar modern dan tradisional hingga mencapai titik
tertinggi pada angka Rp 20.400 pada pasar modern dan pasar tradisional, harga ini adalah harga
keseimbangan dikarenakan belum adanya kebijakan satu harga atau intervensi dari pemerintah,
untuk lebih lanjut dapat terlihat pada gambar 3.1.

Gambar 3.1 Mekanisme Pasar Sebelum Kebijakan Satu harga

Namun fenomena kenaikan harga ini dinilai pemerintah sebagai pemangku kebijakan terlalu
tinggi sehingga perlu diberlakukan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan
dibawah harga keseimbangan yang mana disini pemerintah melalui kebijakan satu harga dengan
harga yang ditetapkan yakni Rp 14.000 yakni dibawah harga keseimbangan atau harga sebelum
kebijakan diberlakukan, secara lebih rinci mekanisme pasar harga minyak goreng dapat terlihat
pada gambar 3.2
Gambar 3.2 Mekanisme Pasar Sesudah Kebijakan Satu harga

Dari gambar diatas dapat terlihat bahwa ketika harga naik maka jumlah penawaran akan semakin
tinggi dan jumlah permintaan akan semakin menurun, sebaliknya ketika harga naik maka
penawaran akan semakin rendah dan permintaan akan semakin tinggi. Ketika pemerintah
menetapkan kebijakan satu harga atau yang pada kasus ini sama dengan Harga Eceran Tertinggi

Sehingga dapat terlihat bahwasannya ketika kebijakan satu arah belum ditetapkan oleh
pemerintah yakni pada harga keseimbangan yakni pada harga Rp 20.000 dan berada pada
kuantitas keseimbangan yakni pada Q1, ketika kebijakan satu harga ditetapkan maka akan
menyebabkan penawaran bergerak ke kiri hingga ketitik Q2s yang berarti produsen akan
mengurangi jumlah produksi sesuai dengan tingkat harga yang diminta pemerintah sehingga
supply di pasaran akan berkurang, sehingga akan menimbulkan kelangkaan terhadap minyak
goreng dan juga harga yang tidak sebanding dengan permintaan masyarakat.

Namun pemerintah mengambil langkah dengan tetap berproduksi pada kondisi keseimbangan
awal yakni pada Q0, sehingga pemerintah menutup dengan subsidi sebesar selisih harga, PPN,
dan biaya produksi lainnya dengan harga eceran/retail, yang mana seharusnya kebijakan ini tidak
akan merugikan produsen dan kuantitas yang diproduksi tidak berpengaruh signifikan.

Namun data empiris menunjukkan adanya kebijakan satu harga tidak menunjukkan indikasi
harga menurun pada data PIHPS di gambar 3.4 data harga sampai pada 31 Desember menyentuh
di harga Rp 19.600, menunjukkan bahwa mekanisme pasar gagal menetapkan harga maksimum
penjualan di angka Rp 14.000 yang mana adanya kegagalan pasar ini menunjukkan daya beli
masyarakat yang menurun akibat harga yang susah untuk diterima konsumen di pasar, hal ini
besar kemungkinan bahwa kebijakan subsidi penutupan selisih harga kurang efektif sehingga
kuantitas penawaran produksi minyak goreng masih dibawah kuantitas permintaan minyak
goreng atau tidak menutupi kelangkaan, sehingga pada gambar 3.3 dapat terlihat bahwa
kelangkaan akan sebesar Qd sampai Q*.

Gambar 3.3 Mekanisme Pasar

Lebih jelas lagi dapat terlihat bahwa pada Gambar 3.3 penetapan kebijakan satu harga akan
menyebabkan kuantitas penawaran bergerak dari Q* menuju Qs dan jumlah permintaan akan
bergerak dari Q* menuju Qd, dimana akan terdapat kelangkaan sebesar Qd - Qs, dan kebijakan
menutup selisih harga agar kuantitas tetap berada pada Q*, namun karena kebijakan subsidi
kurang efektif dalam menutup kelangkaan maka kelangkaan berada pada Qd - Q*.

3.3 Efisiensi Pareto dalam Kebijakan Harga Minyak Goreng

Dalam mengalokasi sumber daya yang terbatas secara efisien dikenal suatu konsep yaitu,
efisiensi pareto. Efisiensi Pareto menjelaskan bahwa sudah tidak dimungkinkan lagi untuk
mengubah alokasi sumber daya yang ada dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan pelaku
ekonomi tanpa membuat pelaku ekonomi lainnya mendapat kesejahteraan lebih buruk. Artinya,
efisiensi pareto akan terjadi apabila semua pelaku ekonomi sudah mendapatkan kesejahteraan
yang optimal. Dengan kata lain, kondisi ketika alokasi sumber daya yang dilakukan dapat
memaksimumkan surplus total yang diterima setiap pelaku ekonomi.

Efisiensi pareto hanya dapat dicapai ketika berada pada pasar persaingan sempurna. Dalam pasar
persaingan sempurna, kesejahteraan masyarakat akan mencapai titik maksimum ketika terjadi
efisiensi alokatif. Efisiensi alokatif sendiri merupakan kondisi ketika nilai barang atau jasa yang
diberikan konsumen sama dengan utilitas marginal yang didapat dari barang tersebut. Kondisi
tersebut hanya dapat terjadi ketika tingkat kesejahteraan diukur dengan membandingkan biaya
marginal atau biaya yang diperlukan untuk menambah produksi satu output dengan harga-harga
yang ingin dibayar oleh konsumen, atau ketika P = MC.
Pasar minyak goreng merupakan pasar persaingan sempurna. Pada kasus penetapan kebijakan
satu harga yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi tingginya harga minyak goreng di pasar
akan menyebabkan tidak tercapainya efisiensi alokatif. Hal ini dapat dijelaskan pada grafik
berikut,

Gambar 3.4 Kurva Permintaan Pasar dan Perusahaan

Berdasarkan gambar di atas, tingkat keseimbangan sebelum adanya intervensi pemerintah berada
pada tingkat harga keseimbangan equilibrium P1 Rp 20.000 dan kuantitas keseimbangan Q1.
Apabila ditarik ke permintaan perusahaan maka tingkat keseimbangan berada pada titik P = MR
= MC. Tetapi, harga keseimbangan P1 Rp 20.000 masih terbilang tinggi dan susah dijangkau
oleh masyarakat sehingga pemerintah memutuskan melakukan intervensi ke dalam pasar.

Pemerintah melakukan intervensi dengan menerapkan kebijakan harga maksimum melalui


kebijakan satu harga. Pemerintah menetapkan harga sebesar P2 Rp 14.000 yang berada di bawah
harga keseimbangan. Penurunan harga ini menyebabkan adanya excess demand, dimana
kuantitas yang diminta lebih besar daripada kuantitas yang tersedia, Qd > Qs. Hal ini
mengindikasikan adanya kelangkaan minyak goreng di pasar. Oleh karena itu, pemerintah
mengambil tindakan untuk mempertahankan tingkat produksi perusahaan di titik keseimbangan
sebesar Q1 dengan menerapkan harga di P2 Rp 14.000.

Tindakan pemerintah itu menyebabkan timbulnya selisih harga penjualan, PPN dan biaya
surveyor, serta biaya produksi dan biaya distribusi lainnya. Dalam menutup selisih tersebut,
pemerintah memberikan subsidi kepada pengusaha melalui selisih harga pembelian minyak
goreng dari distributor dan produsen (harga eceran atau retail). Dengan demikian seharusnya
produsen tidak mendapatkan kerugian dari penetapan harga maksimum dalam bentuk kebijakan
satu harga apabila tetap berproduksi pada jumlah yang sama dengan harga jual yang lebih
rendah. Artinya, penetapan kebijakan satu harga seharusnya tidak terlalu berpengaruh terhadap
kuantitas minyak goreng di pasar. Namun, subsidi yang diberikan ternyata tidak efektif karena
tetap menghasilkan kelangkaan minyak goreng sebesar Q1 sampai Q2d.

Apabila kurva permintaan pasar setelah intervensi pemerintah melalui kebijakan harga
maksimum dan subsidi ditarik ke kurva permintaan perusahaan maka keseimbangan awal
dimana perusahaan akan berproduksi pada titik P = MR = MC akan berubah menjadi
berproduksi di titik P2 Rp 14.000 tetapi dengan Q yang memaksimalkan keuntungan yaitu, pada
keseimbangan awal Q1 dimana MR = MC. Pada kondisi tersebut menyebabkan harga lebih kecil
daripada biaya marginal perusahaan (P < MC) sehingga tidak tercapai efisiensi alokatif (P= MC)
dan kebijakan dinilai inefisien. Artinya tingkat kesejahteraan masyarakat tidak mencapai titik
maksimum yang mengindikasikan tidak terwujudnya efisiensi pareto. Hal ini sesuai dengan
Aam, Nisful, dan Sudana (2019), bahwa terminologi efisiensi pareto disamakan dengan efisiensi
alokatif dalam mengembangkan konsep efisiensi pertukaran.
BAB IV
PENUTUP

4. 1 Kesimpulan

Harga minyak goreng cenderung stabil pada tahun 2019 dan 2020. Tren kenaikan baru dimulai
pada tahun 2021 sampai dengan awal tahun 2022 yang menjadi puncak kenaikan harga minyak
goreng yang beredar di masyarakat. Untuk mengendalikan harga minyak goreng yang terus
meningkat hingga ke titik Rp. 20.000 , pemerintah melalui Permendag No. 3 Tahun 2022
mencoba untuk menetapkan kebijakan satu harga sebesar Rp. 14.000 per liter. Namun, kebijakan
ini belum efektif akibat kelangkaan minyak goreng sehingga harga masih jauh diatas kebijakan
satu harga. Hal ini mendorong pemerintah untuk mencabut kebijakan tersebut sehingga
kebijakan satu harga hanya efektif sampai 31 Januari 2022.

Dalam mekanisme pasar sesudah kebijakan satu harga, dapat terlihat bahwa ketika harga naik
maka jumlah penawaran akan semakin tinggi dan jumlah permintaan akan semakin turun,
sebaliknya ketika harga naik maka penawaran akan semakin rendah dan permintaan akan
semakin tinggi. Ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan satu harga maka akan menyebabkan
kurva penawaran bergeser ke kiri yang menyebabkan produsen akan mengurangi jumlah
produksi sesuai dengan tingkat harga yang ditetapkan oleh pemerintah yang menyebabkan
supply minyak goreng akan berkurang di pasaran, sehingga akan menimbulkan kelangkaan
terhadap minyak goreng dan juga harga yang tidak sebanding dengan permintaan masyarakat.

Dalam pandangan efisiensi alokatif, kebijakan satu harga yang menetapkan harga di bawah
keseimbangan tetapi tetap mempertahankan tingkat keseimbangan akan menyebabkan tidak
tercapainya efisiensi alokatif. Hal tersebut terjadi karena apabila kurva permintaan pasar ditarik
ke kurva permintaan perusahaan maka akan berada pada kondisi dimana harga lebih rendah
daripada biaya marginal.Tidak tercapainya efisiensi alokatif menandakan bahwa tingkat
kesejahteraan tidak mencapai titik maksimum yang mengindikasikan tidak terwujudnya efisiensi
pareto.

4. 2 Saran

Dalam penelitian ini kebijakan yang dilakukan pemerintah hanya dianalisis melalui pendekatan
mikroekonomi dan pengembangan ekonomi publik, sehingga kedepannya perlu pengembangan
dalam lingkup makro ekonomi untuk melihat capaian yang lebih luas lagi dalam penelitian ini.
Adapun beberapa saran lainnya yakni,
1. Pemerintah sebagai regulator perlu mengevaluasi ulang pemberian subsidi untuk
menutup selisih harga pada kebijakan satu arah.
2. Pemerintah perlu memperhatikan kesiapan perusahaan dalam Industri minyak goreng
dalam menyikapi kebijakan satu arah agar tidak terjadi shock di pasar barang.
3. Pemerintah juga perlu mengkaji sisi makro ekonomi lainnya termasuk ekspor minyak
goreng, dan juga perdagangan internasional komoditas minyak goreng serta turunanya.
4. Pemerintah melalui KPPU perlu memperhatikan pengawasan dan juga regulasi terkait
pemasaran produk minyak goreng di pasaran, agar tidak terjadi pasar gelap.
DAFTAR PUSTAKA

[BPS] BPS. 2022. Volume dan Nilai Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia (2012-2021).
[diakses pada 23 Oktober 2022] melalui
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/11/22/volume-ekspor-minyak-sawit-turun-325-p
ada-september-2021

Edi L. 2021. Kegagalan Pasar (Market Failure) : Information Asymmetric, Externalities,


Public Goods dan Inefficient Allocation. Jurnal Indra Tech 2(2).

Kadariah, S., Febriyanni, R., dan Harahap, I. 2022. Analisis Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Kegagalan Pasar (Market Failure). Jurnal Ilmiah Universitas Batang Hari
Jambi, 22(2).

Nasrudin, A. 2019. Barang Privat (Private goods). [diakses pada 22 Oktober 2022] melalui
https://cerdasco.com/barang-privat/

[PIHPS] Pusat Informasi Harga Pangan Strategis. 2022. Informasi Harga Pangan Antar
Daerah [ diakses pada 22 Oktober 2022] melalui https://hargapangan.id/

Prathama Rahardja ; Manurung, Mandala.Teori Ekonomi Mikro : Suatu Pengantar /


Prathama Rahardja, Mandala Manurung .2010

Prasetya, F. 2013. Modul Ekonomi Publik Versi II. Economics Development and Public
Finance. Universitas Brawijaya.

Triyono, A. 2022. Pengaruh Penetapan Kebijakan Satu Harga untuk Minyak Goreng
Menurut Mikroekonomi. [diakses pada 23 Oktober 2022] melalui
https://m.kumparan.com/agus-triyono-1642776625822862264/pengaruh-penetapan-kebijakan-sat
u-harga-untuk-minyak-goreng-menurut-mikroekonomi-1xOWVw407aK

Anda mungkin juga menyukai