KELOMPOK 4
A. Latar Belakang
Parasit merupakan hewan renik yang hidup baik di luar maupun di dalam tubuh
makhluk hidup yang mana untuk kelangsungan hidupnya mendapatkan perlindungan dan
memperoleh makanan dari induk semangnya (Puspitasari, 2013). Berdasarkan letak
organnya, parasit dibedakan menjadi dua yaitu parasit yang hidup pada permukaan luar
tubuh inang, atau di dalam liang-liang kulit yang mempunyai hubungan dengan dunia luar
yang disebut ektoparasit, sedangkan endoparasit yaitu parasit yang hidup pada organ
ataupun jaringan yang berada di dalam tubuh inangnya (Rusman, 2021).
Menurut konsep ekologi, parasitisme menggambarkan adanya hubungan suatu
makhluk hidup dengan sekitarnya. Fenomena parasitisme merujuk pada hubungan antar
makhluk hidup, hanya organisme parasit yang mendapatkan keuntungan sedangkan
organisme inang (hospes) dirugikan. Kerugian tersebut dapat berupa alergi, penyakit, luka,
pendarahan, kerusakan, kelumpuhan, sakit, hingga kematian (Adrianto, 2020). Hal lain yang
membahayakan dari parasit yaitu peranannya sebagai vektor (penular) berbagai macam
penyakit berbahaya (Wahyuni et al., 2017). Parasit selain menyebabkan kematian, juga
dapat menyebabkan kerugian non-lethal, seperti pertumbuhan yang lambat, penurunan
efisiensi pencernaan, mempengaruhi tingkah laku, dan sensitifitas terhadap stressor dari
biota itu sendiri (Muchlisin et al., 2020).
Protozoa merupakan salah satu kelompok patogen yang memiliki ukuran tubuh
berkisar 10 – 500 mikron. Protozoa tidak membutuhkan inang perantara sehingga
perkembangbiakannya sangat cepat (Widodo, 2019). Penyakit yang ditimbulkan oleh
serangan protozoa dikenal dengan istilah penyakit bintik putih (white spot disease). Gejala
serangan protozoa ialah hewan tersebut terlihat relatif sering menggosok-gosokkan
tubuhnya ke benda keras. Pemicu utama terhadap serangan penyakit protozoa adalah
kekurangan makanan, oksigen terlarut, dan fluktuasi suhu yang sangat drastis (Afrianto et
al., 2015).
Studi mengenai penyebaran penyakit pada suatu populasi sangat membutuhkan
pemahaman mengenai interaksi atau hubungan-hubungan yang terjadi antara inang, agen,
dan lingkungan sekitarnya. Tingkat hubungan ini akan menentukan tingkat kerapatan ruang
dan waktu kejadian infeksi penyakit. Peraturan perundangan yang perlu diperhatikan dalam
upaya pencegahan wabah dan penularan penyakit ikan di antaranya adalah Undang-
Undang Dasar No. 16 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 3 yang menyatakan bahwa hama dan
penyakit ikan adalah organisme yang merusak, mengganggu kehidupan, atau
menyebabkan kematian pada ikan (Nurcahyo, 2018).
Penelitian tentang jenis – jenis protozoa sebagai agen penyakit sudah banyak
dilakukan, tetapi masih kurang pembahasan mengenai kejadian serangan pada biota laut.
Mengingat kesehatan hewan dan ikan merupakan masalah serius yang harus diperhatikan
oleh semua pihak, terutama pemerintah, pelaku industri, masyarakat luas, dan akademisi,
maka dilakukan penyusunan dalam bentuk makalah yang nantinya dapat mengungkapkan
kejadian infeksi serangan protozoa terhadap pada biota laut, sehingga dapat menambah
informasi yang berguna dalam pengendalian penyakit pada biota laut, terutama yang
disebabkan oleh protozoa patogen. Makalah ini mencakup pembahasan mengenai protozoa
patogen, morfologi dan anatomi protozoa, penyakit akibat infeksi protozoa pada biota laut,
dan mekanisme serangan dari protozoa tersebut.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
A. Protozoa Patogen
Protozoa merupakan makhluk hidup yang paling sederhana dengan susunan tubuh
terdiri atas sel tunggal. Hampir semua jenis protozoa mempunyai ukuran mikroskopis dan
meskipun hanya terdiri atas satu sel dengan satu atau lebih inti, tetapi memiliki susunan,
fisiologis, dan tingkah laku yang sangat kompleks. Protozoa ditemukan pertama kali oleh
ahli biologi asal Belanda bernama Anthony van Leeuwenhoek (1632 – 1723). Saat ini,
kurang lebih 64.000 jenis protozoa telah diberi nama. Sebagian besar hidup bebas, tetapi
kurang lebih ada 7.000 spesies yang merupakan parasit dari berbagai macam hewan
(Nurcahyo, 2018).
Protozoa tergolong ke dalam kelompok lain protista eukariotik. Perbedaan antara
algae dan protozoa terkadang kurang jelas. Protozoa termasuk kelompok protista yang mirip
hewan. Protozoa dibedakan dari prokariot karena ukurannya yang lebih besar, dan selnya
eukariotik. Protozoa dibedakan dari algae karena tidak berklorofil, dibedakan dari jamur
karena dapat bergerak aktif dan tidak berdinding sel, serta dibedakan dari jamur lendir
karena tidak dapat membentuk badan buah. Beberapa organisme mempunyai sifat antara
algae dan protozoa, sebagai contoh algae hijau Euglenophyta, selnya berflagela dan
merupakan sel tunggal yang berklorofil, tetapi dapat mengalami kehilangan klorofil dan
kemampuan untuk berfotosintesis (Sari, 2020).
Habitat protozoa adalah air laut, payau, air tawar, dan daratan yang lembab dan
pasir kering. Sebagian besar protozoa hidup bebas dan menjadi makanan organisme yang
lebih besar. Beberapa protozoa hidup sebagai parasit, di antaranya parasit pada ikan yaitu
Trichodina, Ichthyoptirius, dan Heneguya (Situmorang, 2020). Sporozoa termasuk dalam
kelompok protozoa yang dicirikan oleh kemampuannya menghasilkan spora. Bentuk normal
parasit ini adalah amoeboid dan untuk berkembang biak parasit ini akan menghasilkan
ratusan sampai ribuan spora yang masing-masing berisi sebuah sporozoit. Seluruh
sporozoa adalah parasit. Protozoa ciliaata dicirikan pada tubuhnya memiliki cilia (Rokhmani
& Budianto, 2017). Berdasarkan alat geraknya, protozoa dibedakan atas lima golongan,
yaitu Sarcomastighopora, Sarcodina, Apicomplexa, Ciliophora, dan Myxozoa (Noble &
Noble, 1989).
Sarcomastighopora mencakup kelompok Mastighopora yang menggunakan flagella
sebagai alat geraknya dan meliputi semua protozoa yang memiliki satu atau lebih flagel
pada seluruh stadia dalam siklus hidupnya. Sebagian besar Mastighopora hidup bebas,
ditemukan pada berbagai habitat tetapi banyak bersimbiosis (komensalisme, mutualisme,
dan parasitisme) dengan vertebrata dan avertebrata. Mastighopora dibagi dalam tiga kelas,
yaitu Phytomastighopora, Zoomastighopora dan Opalinata. Phytomastighopora yang
bersifat parasit pada ikan adalah Amyloodinium pillularis. Parasit ikan yang berasal dari
Zoomastighopora adalah Ichtyobodo necatrix yang menginfeksi kulit, insang, usus, dan
darah ikan air tawar dan air laut (Grabda 1991).
Gambar 1. Beberapa Ektoparasit yang Menginfeksi Ikan Laut (Sumber: Hardi, 2015)
Gambar 2. Beberapa Endoparasit yang Menginfeksi Ikan Laut (Sumber: Hardi, 2015)
Seluruh bagian protozoa dilindungi oleh selaput membran yang terdiri atas lipid be-
layer dan fluida mozaic. Beberapa protozoa memiliki lebih dari satu membran pada pellicle-
nya. Protozoa filum Ciliophora memiliki struktur membran tambahan yang berbentuk seperti
alveoli atau kantong yang membentuk lekukan dan tonjolan pada permukaan sel. Protozoa
memiliki glikoprotein yang tebal, yang berfungsi sebagai sistem pertahanan (imun).
Membran protein ini juga berfungsi untuk memudahkan protozoa masuk ke dalam parasit
lain atau dalam intraseluler inang (Nurcahyo, 2018).
Protozoa memiliki nukleus, retikulum endoplasma, dan mitokondria yang biasa berisi
krista yang membentuk tubuler lebih banyak daripada membentuk lamelar, lisosom, dan
badan golgi (distyosome) yang memiliki struktur yang sangat rumit pada beberapa flagellata.
Protozoa memiliki alat gerak berbeda-beda berdasarkan genusnya. Alat gerak tersebut
adalah flagella, silia, pseudopodia, dan selaput undulasi (Nurcahyo, 2018).
Flagella (undulipodia) adalah organel yang menyerupai cambuk, tersusun oleh
aksonema sentral dan selubung luar. Aksonema berasal dari granula basal atau blefaroplas
di dalam sitoplasma dan berisi sembilan pasang mikrotubulus tepi dan dua mikrotubulus
sentral. Flagella terdapat pada bagian belakang protozoa atau di sepanjang tubuhnya.
Flagella yang melekat pada beberapa bagian tubuh akan membentuk membran undulan.
Flagel terdapat pada filum Flagellata, beberapa amuba, dan sel gamet jantan beberapa
Apicomplexa (Nurcahyo, 2018).
Silia merupakan flagella kecil, umumnya silia tersusun berjajar pada permukaan
protozoa. Satu atau lebih jajaran silia longitudinal dapat bergabung membentuk selaput
undulasi atau seberkas silia dapat bergabung membentuk bentukan yang menyerupai
cuping segitiga, yang disebut membranela (Nurcahyo, 2018).
Pseudopodia merupakan alat gerak sementara yang hanya terbentuk jika
dibutuhkan. Lobopodia merupakan pseudopodia yang relatif lebar dengan lapisan luar yang
tebal dan banyak cairan di dalamnya. Filopodia berbentuk langsing, kaki semu tersusun
atas hialin. Mikrosopodia, rizopodia, atau retikulopodia merupakan kaki semu yang
berfilamen dengan lapisan dalam ang padat dan lapisan luar yang lebih encer, merupakan
tempat terjadinya sirkulasi granuler (Nurcahyo, 2018).
Pada umumnya patogen golongan protozoa yang menginfeksi ikan air tawar
termasuk ke dalam golongan protozoa yang endemis menginfeksi ikan air laut, di antaranya
ialah sebagai berikut (Hardi, 2015):
1. Brooklynella hostilis
Protozoa yang satu ini dikenal juga dengan nama Chilodonella sp di air tawar yang
termasuk dalam filum Ciliophora, kelas Kinetophragmenophorea, famili Chilodonellidae dan
genus Brooklynella. Makronukleus berbentuk oval berukuran 18 x 12 µm, terdiri dari 13-22
mikronukleus dan beberapa vakuola kontraktil kecil. Inang yang sering diserang adalah ikan
laut, terutama yang termasuk dalam Amphyprion, Dacyllus, dan Caetodon. Protozoa ini
menyerang kulit dan beberapa di insang. Kasus penyerangan banyak ditemukan di berbagai
lokasi di perairan/laut. Berdasarkan tanda klinis dan patologi, patogen ini memakan sel
darah dan jaringan debris sehingga menyebabkan kerusakan pada jaringan kulit, yang
disebabkan kondisi air yang menurun atau buruk. Tanda-tanda klinis yang ditunjukkan oleh
ikan yang terserang antara lain kulit tampak kusam, terkadang karena produksi lendir yang
berlebih, tampak seperti ada lapisan yang menutupi permukaan kulit, mata ikan tampak
sayu, haemorrhage dan petechiae pada insang, inflamation. Sementara tingkah laku ikan
yang terserang seringkali menunjukkan gejala kesulitan bernafas, ikan berenang pelan,
berada di bawah permukaan air atau dekat sumber air, dan gasping.
Brooklynella sp. memiliki siklus dua bagian hidup yang meliputi tahap berenang
bebas dan menempel pada inang. Pada tahap berenang bebas Brooklynella sp. akan
mencari inang, setelah itu menempel pada inang dan mendapatkan makanan pada inang.
Pada tubuh inang inilah Brooklynella sp. berkembang biak dengan pembelahan biner yang
diikuti dengan konjugasi. Hal inilah yang menyebabkan perkembangbiakan Brooklynella sp.
sangat cepat. Sehingga kematian inang akibat Brooklynella sp. dapat terjadi dalam hitungan
hari saja.
Gambar 7. Tricodina sp. (a) Tampak Ventral, (b) Tampak Atas (Sumber: Hardi, 2015)
Gambar 13. Myxobolus sp. : a) Spora dengan pewarnaan Lugol’s iodine perbesaran 100x
(Mikroskop Olympus CX31), b) Morfologi Spora Myxobolus sp. (A= Lebar Spora;
B=Panjang spora; C= Lebar polar kapsul; D= Panjang polar kapsul) (Tamrin, 2020)
Spesies protozoa yang berbeda dapat menimbulkan gejala yang berbeda. Faktor
yang berpengaruh dalam hal ini ialah habitatnya, yaitu organ atau jaringan mana protozoa
tersebut hidup. Contohnya, protozoa yang berada di dalam usus tentu menimbulkan gejala
usus, seperti diare dan kekurangan gizi karena bahan makanan juga dikonsumsi oleh
parasit; protozoa pada darah menimbulkan kekurangan sel darah dan menghambat jalur
peredaran darah; protozoa urogenital menimbulkan gangguan pada organ reproduksi dan
organ ekskresi urin; dan protozoa yang bisa berpindah-pindah atau terbawa sirkulasi darah
dapat merusak organ atau menimbulkan gejala pada organ dihinggapinya (Santoso, 2008).
Penyebaran parasit dari satu inang ke inang yang lain dalam satu populasi,
dilakukan dengan cara yang beraneka ragam tergantung pada spesies dari parasit itu
sendiri. Cara invansi parasit pada inang, dapat dilakukan dengan 4 (empat) cara, yaitu
melalui kontak secara langsung, saluran pencernaan, phoresis (membutuhkan
perantara/hewan pembantu) atau dengan cara menembus permukaan kulit (Hardi, 2015):
a. Kontak Langsung
Invansi parasit terjadi melalui kontak secara langsung antara terjadi pada ikan sehat
dengan ikan yang telah terinvansi parasit terlebih dahulu. Padat penebaran yang tinggi pada
budidaya ikan menjadi salah satu penyebab penyebaran parasit melalui cara ini. Cara ini
umumnya digunakan untuk penyebaran larva parasit dan terkadang juga parasit dewasa
(digunakan oleh parasit yang memiliki siklus hidup yang sederhana), contohnya adalah
parasit ciliata, Trematoda monogenea, copepoda, isopoda, dan branchiurans.
Contoh lainnya ialah pada Trichodina sp. Transmisi Trichodina terjadi melalui kontak
langsung dari host yg terinfeksi kepada host yang tidak terinfeksi. Jenis ini biasanya
menyerang bagian insang, kemudian lanjut ke kulit hingga sirip ikan. Tanda klinis dan
patologi yang ditunjukkan oleh ikan yang terserang umumnya terdapat pigmen berwarna
merah pada kulit dan terjadi pendarahan. Sementara gejala tingkah laku ikan yang
terserang umumnya sulit bernafas karena operkulum tertutup, berenang tidak normal dan
menggosokkan tubuh ke dinding akuarium (Hardi, 2015). Ikan yang terinfeksi Trichodina sp.
mengalami iritasi pada kulit, terdapat bintik putih di bagian kepala dan punggung, dan nafsu
makan hilang. Meningkatnya produksi lendir mengakibatkan tubuh ikan nampak bercahaya.
Gejala klinis ikan biasanya tampak bercahaya disebabkan produksi lendir yang berlebihan
dan tampak lemah, adanya luka pada kulit dan sirip sedikit hancur. Parasit dalam jumlah
banyak pada inang, akan mengganggu pernapasan. Perlekatan cakram menyebabkan
kerusakan langsung pada epitel insang dan menghasilkan luka pada insang. Kematian
tinggi umumnya terjadi pada ikan kecil (Ariyanto et al., 2019). Lom (1995) menambahkan
bahwa serangan parasit Trichodina sp dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan
kerusakan struktur insang yang pada akhirnya menyebabkan kematian dengan tingkat
kepadatan yang tinggi mengakibatkan proses persinggungan ikan lebih banyak dan
memungkinkan persebaran Trichodina sp.
Contoh lainnya Oodinium sp. Jenis ini sering menyerang ikan air laut dengan kondisi
yang menurun atau buruk, kemudian menyebar ke kulit, sirip juga ginjal. Tanda klinis dan
patologi yang dapat ditemukan pada ikan yang terserang antara lain bintik merah,
hyperemia, haemorrhage, anorexia, depression, dyspoea (berenang dekat permukaan air
dengan kesulitan bernafas). Ikan yang terserang menunjukkan gejala tingkah laku seperti
megap-megap, ikan berenang pelan, berada di bawah permukaan air atau di dekat sumber
air, dan gasping (Hardi, 2015).
b. Melalui Sistem Pencernaan
Invansi parasit dengan cara melalui saluran pencernaan ini pada umumnya
dilakukan setelah fase invasif dari parasit (telur, larva, spora) yang masuk ke dalam inang
bersama makanan. Biasanya dilakukan oleh parasit yang memiliki siklus hidup yang
kompleks, contohnya adalah jenis protozoa seperti Coccidiomorpha dan Cnidesporidia,
Digenea trematoda, cestoda, nematoda dan acantocephala.
c. Phoresis (Membutuhkan Perantara/Hewan Pembantu)
Transportasi parasit ini dilakukan dari satu inang ke inang lain melalui hewan lain.
Cara ini pada umumnya digunakan untuk jenis parasit darah.
d. Menembus permukaan kulit
Gambar 14. Infiltrasi protozoa (panah merah) terlihat di antara lapisan otot yang lebih
dalam. Kerusakan jaringan otot terlihat nekrosa otot (panah hijau), pewarnaan HE.
(Sumber: Putri, 2013).
Cara lain yang bisa dilakukan dengan menyerang jaringan kulit hingga berkembang
menjadi fase berikutnya. Contohnya ialah sebagai berikut:
1. Genus Cryptocaryoniasis = Protozoa ini dapat menyebabkan kerusakan pada kulit
atau insang (Rokhmani & Budianto, 2017).
2. Genus Brooklynella = Protozoa ini menyerang kulit dan beberapa di insang. Kasus
penyerangan banyak ditemukan di berbagai lokasi di perairan/laut. Berdasarkan tanda
klinis dan patologi, patogen ini memakan sel darah dan jaringan debris sehingga
menyebabkan kerusakan pada jaringan kulit, yang disebabkan kondisi air yang
menurun atau buruk. Tanda-tanda klinis yang ditunjukkan oleh ikan yang terserang
antara lain kulit tampak kusam, terkadang karena produksi lendir yang berlebih,
tampak seperti ada lapisan yang menutupi permukaan kulit, mata ikan tampak sayu,
haemorrhage dan petechiae pada insang, inflamation. Sementara tingkah laku ikan
yang terserang seringkali menunjukkan gejala kesulitan bernafas, ikan berenang
pelan, berada di bawah permukaan air atau dekat sumber air, dan gasping (Hardi,
2015).
3. Genus Cryptocaryon = Bagian yang diserang umumnya adalah insang yang kemudian
menyebar ke bagian kulit, sirip dan ginjal. Tanda klinis dan patologi dari ikan yang
diserang antara lain haemorrhage pada kulit, produksi lendir lebih banyak. Sering
menyebabkan ulcer yang disertai dengan serangan Pseudomonas spp. Sementara
tingkah laku ikan yang terserang menunjukkan gejala megap-megap, gasping,
menggosokkan tubuh ke dinding atau dasar akuarium (Hardi, 2015).
4. Genus Uronema = Ikan yang terserang menunjukkan tanda klinis dan patologi berupa
bintik putih pada bagian tubuh yang terinfeksi dan menjadi luka, ulcer dipenuhi oleh
cilia, serta peningkatan produksi lendir. Sedangkan gejala tingkah laku ikan yang
terserang umumnya megap-megap, berenang di dekat permukaan air dengan
kesulitan bernafas, menggosokkan tubuh di dinding dan dasar akuarium (Hardi,
2015).
5. Genus Kudoa = Seperti diketahui, semua spesies Kudoa menginfeksi ikan air laut dan
estuarin. Dari hasil laporan Lom et al. (1983), multivalvulid myxosporean (Kudoa)
ditemukan pada ikan Osmerus mordax di danau air tawar Canada. Inang Kudoa
hampir sama dengan inang class Myxospora (Shulman, 1966), misalnya K. thyrsites
ditemukan pada lebih dari 20 ekor ikan, sedangkan McDonald dan Margolis (1995)
menemukan K. thyrsites di 11 spesies ikan. Dengan menggunakan SSU rDNA, Hervio
et al. (1997) melaporkan bahwa K. thyrsites ditemukan pada ikan Pacific hake, Atlantic
salmon dan Aulorhynchus flavidus. Shaw et al. (1997) menemukan K thyrsites pada
ikan Tube-snout; yaitu kultivan laut komersial di kolam salmon Colombia pada ikan
Thysites atun yang berasal dari Afrika Selatan (99 %). Lom dan Dykova (1992)
menggambarkan perkembangan Trophozoite myxosporean di inang, mereka
mengalami fase poliferatif di jaringan atau organ berbeda dari fase akhir (fase
extrasporogonik) yang lepas dari fase sporogonik. Fase proliferatif terlihat hampir
sama dengan kelompok myxosporean tapi belum bisa dikatakan Kudoa. Moran et al.
(1999) menggambarkan bahwa K. thyrsites menghasilkan tahap extrasporogonik
yang masuk dalam aliran darah dan tahap itu berpindah ke inang lain dengan jalan
menginfeksi darah pada bagian intraperitonial. Dalam percobaan K. thyrsites
menginfeksi 2–23 ekor atlantic salmon. Satu parasit hidup di bagian daging inang,
plasmodium tidak mengalami pembelahan tapi berkembang menjadi ukuran yang
sangat besar, diikuti dengan perkembangan myxospores. Dengan spesies histozoic,
nutrisi mencapai sukses dalam arti pinocytotik aktif berpindah dari satu inang ke inang
lain. Proses sporogonesis K. Lunata (cf. Lom & Dykova, 1988) dan K. paniformis (cf.
Stehr, 1986) terjadi dengan perpindahan electron microscopy. Lom & Dykova (1988)
menyatakan bahwa polysporic plasmodia tanpa menghasilkan pansporoblas pada K.
lunata, K. paniformis, K. thyrsites. Spesies Kudoa berasal dari trophozoit kecil yang
menghasilkan 8 myxospore yang tidak terdapat bentuk pansporoblash.
D. Mekanisme Serangan
Hubungan antara parasit dan inang sesungguhnya tidaklah menjadi tujuan parasit
untuk merusak alat tubuh inang, apalagi sampai menyebabkan kematian inang. Parasit
membutuhkan jaminan makanan dan tempat hidup untuk kelangsungan jenisnya. Terutama
untuk jenis endoparasit jika inangnya sakit atau sampai mati, maka dia tidak mendapatkan
jaminan makan. Ada korelasi atau hubungan positif antara luasnya sebaran inang dan jenis
parasit dengan kerugian yang ditimbulkan oleh parasit. Makin luas jenis parasit dan inang,
maka makin tinggi kerugian yang ditimbulkan oleh parasit tersebut. Kerusakan yang
ditimbulkan dengan adanya parasit pada inang itu bertingkat tergantung pada jenis parasit,
umur parasit jenis dan umur inang, perawatan inang, penyebaran geografis dari parasit.
Pada saat kondisi normal, sistem dalam tubuh inang terjadi secara normal, keberadaan
parasit menyebabkan dampak yang beragam pada tubuh inang, dampak yang ditimbukan
oleh parasit pada inang antara antara lain (Hardi, 2015):
1. Kerusakan Secara Mekanik
Di samping merugikan inang karena mengambil sebagian makanan atau menghisap
darah, atau menghisap cairan tubuh, makan atau merusak jaringan tubuh inang, maka
parasit yang bertubuh besar atau parasit yang berkumpul sebagai gumpalan benda asing
dalam tubuh inang dapat menyebabkan timbulnya gangguan mekanik. Parasit yang memiliki
organ penyerang (hooks, clamps, suckers) bisa menyebabkan kerusakan pada jaringan
inang, seperti kerusakan pada insang dan kerusakan pada usus. Contohnya parasit jenis
Trichodina sp. menjadikan tubuh ikan hanya sebagai tempat pelekatan (substrat) dan
mengambil partikel organik dari bakteri yang menempel pada kulit ikan, tetapi karena
pelekatan yang kuat oleh kait pada cakram, menyebabkan sering kali timbul luka. Pelekatan
pada insang juga mengakibatkan luka dan sering ditemukan sel darah merah dalam vakuola
makanan Trichodina sp. (Ariyanto et al., 2019).
2. Kekurangan Makanan (Nutrien)
Parasit biasanya memakan makanan yang ada dalam tubuh inang (parasit dalam
usus) atau mengambil sebagian nutrisi pada inang. Dampak pada inang mnyebabkan
anemia. Parasit lain mengambil vitamin A, B komplek, C dari inangnya. Parasit terkadang
memakan darah atau jaringan pada inang, yang dapat menyebabkan hemoglobin ikan
menurun. Jumlah total eritrosit juga akan menurun. Selain itu, adanya kronik hypochromatic
dan hemolitik dan juga basofil dan polychromatic eritrosit meningkat, granulosit (heterofil
dan basofil) yang umumnya ditemukan menyertai pendarahan dan radang insang (Hardi,
2015).
3. Toxic dan Lytic Effects
Hasil dari metabolisme parasit dan sekresi dari kelenjar parasit dapat bersifat toxik
bagi inang. Hal ini dapat menyebabkan iritasi pada kulit dan menyebabkan radang.
Misalnya, parasit Kudoa (Myxobolidae), menghasilkan enzym proteolitik yang dapat
menyebabkan otot daging menjadi lembek. Bentuk pseudocyst dengan tipe kista pada
daging menimbulkan reaksi nekrotik dan dinding pseudocyst memacu perbaikan
inflammation. Anderson (1985) menyatakan bahwa pertahanan inang adalah dengan
membentuk sel amplop. Pada saat daging inang penuh plasmodium, baru terjadi
pembengkakan. Respon ini dicirikan dengan phagocytic infiltrasi, granuloma dan bentuk
kapsul. Respon inang terhadap encapsule parasit adalah dengan membentuk fibroblast.
Daging yang terinfeksi akan menjadi gelap hal ini disebabkan oleh berkurangnya melanin
(Hardi, 2015).
III. PEMBAHASAN
Berdasarkan Aguilar et al. (2005) menemukan tujuh protozoa pada ikan sidat
(Anguilla spp.), yaitu Trypanosoma granulosum, Eimeria anguillae, Myxidium giardi,
Myxobolus portucalensis, Hofferellus gilsoni, Ichthyophthirius multifiliis, dan Trichodina
jadranica di Sungai Ulla dan Tea Spanyol. Menurut Kristmundsson & Helgason (2007)
terdapat empat spesies protozoa pada ikan sidat (Anguilla spp.) yang ditemukan di air tawar
dan laut Islandia. Eimeria anguillae (Sporozoa: Cocccidia) terdeteksi satu protozoa di usus
sidat air tawar dan satu protozoa dari sidat laut. Trichodina jadranica (Ciliophora:
Trichodinidae) sering ditemukan pada insang sidat asal air tawar dan laut seperti Trichodina
fultoni (Ciliophora: Trichodinidae) pada kulit dan insang ikan sidat asal air tawar dan laut.
Chilodonella hexasticha (Ciliophora: Chilodonellidae), pada insang dan kulit, hanya
ditemukan pada sidat asal air tawar dan empat spesies myxozoa, Myxidium giardi
(Bivalvulida: Myxidiidae), Myxobolus kotlani (Bivalvulida: Myxo-bolidae), dan dua
Zschokkella spp. (Bivalvulida: Myxidiidae). Tumbol et al. (2011) menemukan protozoa
parasit, yaitu Trichodina sp., Myxobolus sp., dan Vorticella sp. pada ikan sidat (Anguilla
marmorata) yang dibudidayakan di Sulawesi Utara.
Berdasarkan penelitian Jabal et al. (2015), protozoa parasitik yang ditemukan pada
ikan sidat, yaitu Myxidium sp. (Myxozoa: Myxidiidae), Myxobolus sp. (Myxozoa:
Myxobolidae), Henneguya sp. (Myxozoa: Myxobolidae), dan Ceratomyxa sp. (Myxozoa:
Ceratomyxidae) (Gambar 15). Selain itu, ditemukan juga Chilodonella sp. (Ciliophora:
Chilodonellidae), Balantidium sp. (Sarcomastigophora: Balantiidae), dan Glugea sp.
(Microspora: Gluguidea).
Gambar 15. (a) Myxidium sp., (b) Ceratomyxa sp., (c) Myxobolus sp., dan (d) Henneguya
sp..(Jabal et al., 2015)
Prevalensi Myxobolus sp. pada penelitian Jabal et al. (2015) sebesar 46, dan
Aguilar et al. (2005) prevalensi Myxobolus berkisar 26,5−34,5. El-ashram (2007)
melaporkan bahwa prevalensi parasit pada ikan sidat yang berasal dari alam sebesar 7,5.
Parasit ini menyebabkan adanya bintil berwarna putih (1−3 mm) yang terletak di jaringan
subkutaneus sirip sidat. Pecahnya kista mengakibatkan pendarahan dan ulkus.
Melanomakrofag banyak ditemukan di sekitar area yang terinfeksi (El-ashram 2007).
Melanomakrofag adalah sel yang berbentuk bulat padat yang memiliki jumlah pigmen
bervariasi. Biasanya terdapat pada ikan yang sehat, akan tetapi jumlahnya meningkat pada
kasus stres berat. Oleh sebab itu, melanomakrofag sebagai indikator stres pada ikan (Noga
2010).
Tabel 1. Jumlah protozoa parasitik pada organ tubuh ikan sidat berdasarkan tingkat
kesukaan
B. Contoh Studi Kasus Protozoa Amyloodinium ocellatum Pada Ikan Kerapu Sunu
(Plectropomus leopardus)
A. ocellatum dapat menyerang ikan terutama insang dan kulit. Parasit ini berbentuk
bulat dengan diameter 120 mikron, dan alat menempel pada kista berupa rambut/tali.
Parasit dewasa biasanya jatuh ke bawah dan berubah menjadi kista yang mengandung 256
dinospora. Setelah 3 hari kista melepaskan dinospora kemudian menyebar mencari inang
baru. Hasil pengamatan yang dilakukan Mujumin & Suratmi (2018) pada insang benih
kerapu sunu menemukan parasit yang menempel di sela insang dari yang berukuran kecil
sampai besar dengan diameter antara 40 mikron sampai 80 mikron.
Gambar 16. Potongan insang kerapu sunu di bawah mikroskop. A). Amiloodinium
ocellatum memenuhi lembar insang (pembesaran 40x), B). Amiloodinium ocellatum di
sela-sela lamella sekunder insang kerapu sunu. Parasit ini berbentuk bulat dengan
diameter 40-80 mikron (pembesaran 100x) (Mujumin & Suratmi, 2018)
Gambar 17. Potongan histologi insang kerapu sunu di bawah mikroskop. A).
Amiloodinium ocellatum terlihat menyebar di seluruh insang (pembesaran 10x), B).
Amiloodinium ocellatum di sela-sela lamella sekunder insang kerapu sunu terlihat butiran
dinospora (pembesaran 40x) (Mujumin & Suratmi, 2018)
Pengamatan pada benih ikan kerapu sunu dilakukan mulai hari pertama terjadi
tanda-tanda ikan mulai sakit, seperti benih tidak mau makan, tergeletak di dasar jaring,
berkumpul di tempat aerasi, setelah 3 hari dari tanda tersebut mulai ada yang mati sehingga
perlu dilakukan penanganan selanjutnya. Penanganan yang dilakukan yaitu dengan
mengambil sampel yang sudah mati maupun yang belum kemudian dilakukan analisa. Hasil
analisa laboratorium menunjukkan bahwa benih ikan kerapu sunu terserang parasit
Amyloodinium ocellatum, ini tergolong parasit yang berbahaya bisa menimbulkan kematian
secara massal (Mujumin & Suratmi, 2018).
C. Contoh Studi Kasus Protozoa Brooklynella hostilis Pada Ikan Kerapu Sunu
(Plectropomus leopardus)
Gambar 18. Brooklynella hostilis. yang menyerang ikan kerapu sunu (P.leopardus) A.
Gambar parasit sebagai pembanding (Sauyai et al., 2014), B. Parasit yang ditemukan
(Gusriyanti et al., 2016)
Gambar 19. Parasit Cryptocaryon irritans stadia trophont yang menginfeksi benih kerapu
hibrid cantik, pada lendir tubuh (a) dan insang (b) (Haryanto et al., 2018)
E. Contoh Studi Kasus Protozoa Pada Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altevalis)
a. Trichodina sp.
Parasit yang termasuk dalam family Trichonidae ini berbentuk bundar seperti topi,
dimana dengan bantuan mikroskop Trichodina sp terlihat berbentuk lingkaran transparan
dengan jumlah silia (cilia) yang menempel di sekeliling lingkaran. Pada tubuh bagian bawah
terdapat lingkaran pelekat untuk melekatkan dirinya ke tubuh ikan (Umasugi & Burhanuddin,
2015).
Gambar 20. Parasit Trichodina sp, yang Menginfeksi Ikan Kerapu Tikus (C. altevalis)
(Umasugi & Burhanuddin, 2015)
Trichodina sp ditemukan menginfeksi hampir seluruh organ tubuh bagian luar ikan
yang diamati selama penelitian. Pada permukaan tubuh yang diamati terlihat adanya bintik-
bintik putih yang tidak teratur dalam jumlah yang banyak, serta produksi lendir terlihat
sangat banyak sehingga kulit kelihatan mengkilap. Gejala tempat yang ditimbulkan parasit
ini adalah ikan berenang lemah ke permukaan, menyendiri (tidak bergerombolan), warna
tubuh ikan tidak cerah (kusam) dan sering menggosok-gosokkan tubuhnya pada permukaan
yang kasar. Parasit ini menempel pada kulit, sirip, dan insang ikan serta mengakibatkan
iritasi di bagian kulit tersebut. Trichodina sp ini dapat menyerang ikan air tawar maupun ikan
laut (Umasugi & Burhanuddin, 2015).
b. Cryptocaryon sp.
Cryptocaryon sp. merupakan ektoparasit pada ikan, biasanya juga disebut white
spot karena parasit tersebut menyebabkan bintik-bintik putih pada bagian yang terserang.
Penyakit Cryptocaryon sp ini disebabkan oleh protozoa Cryptocaryon sp, yang mana bagian
tubuh yang sering diserang adalah permukaan tubuh, ekor, insang, dan juga mata. Gejala
ikan yang terserang adalah mata membengkak, insang dan mata ditumbuhi semacam kista
sebesar jarum pentul berwarna putih, terjadi pendarahan dan pembusukkan pada bagian
sirip dan produksi lendir tubuh meningkat serta nafsu makan hilang. Parasit ini berbentuk
seperti piring yang berbulu getar (cilia), untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 21,
Cryptocaryon sp. yang belum dewasa dinamakan tingkat trophon. Berbentuk seperti buah
per, sedangkan yang dewasa (mature trophon) berbentuk bulat dengan diameter kira-kira
0,3 mm. Organisme ini dapat membentuk kista yang merupakan tingkat akhir pada ikan
yang terinfeksi. Dalam daur hidupnya tingkat ini biasanya disebut tomant (Umasugi &
Burhanuddin, 2015).
Gambar 21. Jenis Parasit Cryptocaryon sp. (Umasugi & Burhanuddin, 2015)
Cryptocaryon sp. ditemukan menginfeksi inang bagian sisik dan insang yang
ditemukan selama penelitian. Pada permukaan tubuh ikan yang terinfeksi, Cryptocaryon sp
terlihat adanya bintik-bintik putih seperti titik, mata membengkak, sisik-sisik lepas serta
terjadi pembusukkan pada bagian sirip, akibat dari infeksi sekunder yang dalamnya ikan
tampak berenang lemah timbul di permukaan air dan tidak bergerombolan. Cryptocaryon
sp. juga ditemukan menginfeksi hampir seluruh organ tubuh bagian luar yang diamati
selama penelitian. Pada permukaan tubuh yang diamati terlihat adanya bintik-bintik putih
yang tidak teratur, dalam jumlah yang banyak, serta produksi lendir terlihat sangat banyak
sehingga kulit kelihatan mengkilap (Umasugi & Burhanuddin, 2015).
IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan jenis protozoa patogen yang
menginfeksi biota laut ialah Brooklynella sp., Oodinium sp., Cryptocaryon sp.,Trichodina sp.,
Uronema sp., Vorcitella sp., Myxobulus sp., & Kudoa sp. Setiap spesies dari protozoa dapat
menimbulkan gejala yang berbeda karena dipengaruhi oleh habitat dari protozoa tersebut.
Terkait mekanisme serangannya, protozoa dapat menyerang dengan cara merusak organ
inang secara mekanik, mengambil nutrien inang, dan dengan mengeluarkan zat racun.
B. Saran
Literatur mengenai jenis protozoa yang menyerang biota laut perlu diperbanyak
mengingat penelitian dalam bidang kelautan masih minim dan kebanyakan referensi
penelitian yang sudah ada hanya fokus ke biota perairan air tawar saja.
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E., Liviawaty, E., Jamaris, Z., & Hendi. 2015. Penyakit Ikan. Penebar Swadaya
Grup. Jakarta.
Anderson, DP., AK Siwicki. 1995. Basic hematology and serology for fish health programs.
Paper presented in second symposium on diseases in Asian Aquaculture “Aquatic
Animal Health and the Environment”. Phuket, Thailand. 25 – 29 thOctober 1993.
17 hal.
Anshary, H. 2008. Modul Pembelajaran Berbasis Student Center Learning (SCL) Mata
Kuliah Parasitologi Ikan. Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Hassanudin Makasar. hlm. 25-50.
Ariyanto, E., Anwar, S. & Sofyan. 2019. Indeks Prevalensi dan Intensitas Ektoparasit Pada
Ikan Botia (Chromobotia macracanthus) di Sumatera Selatan. Jurnal Ilmu-ilmu
Perikanan dan Budidaya Perairan. 14 (1): 54 – 61.
Balai Karantina Ikan Tingkat I Kendari. 2007. Prosedur Kerja Laboratorium Bakteri.
Laboratorium Uji Stasiun Karantina Ikan Kelas I Wolter Monginsidi. Ken- dari.
Sulawesi Tenggara.
Bondad, Reantaso, M.G., Ogawa, K., Fukudome, M., & Wakabayashi, H. 1995.
Reproduction and Growth of Neobenedenia girellae (Monogenea: Capsalidae), a
Skin Parasite of Cultured Marine Fishes of Japan. Fish Pathology. 30 (3): 227-231.
El-ashram AMM. 2007. Studies on parasitic Disease Among Wild and Cultured Eel Fish
(Anguilla anguilla). Suez Canal Veterinary Medical Journal. 12(2): 171−198.
Haryanto, S., Suratmi, S., & Ansari, M. 2016. Inventarisasi Kasus Infeksi Parasit pada Usaha
Budidaya Laut di Kecamatan Gerokgak, Bali. Buletin Teknik Litkayasa Akuakultur.
14 (2): 119-123.
Haryanto, S., Suratmi, S., & Ansari, M. 2018. Identifikasi Parasit Cryptocaryon irritans Pada
Benih Kerapu Hibrid Cantik Yang Dibudidayakan Secara Intensif. Buletin Teknik
Litkayasa Akuakultur. 16 (2): 137 – 139.
Jabal, A. R., Cahyaningsih, U., & Tluria, R. 2015. Protozoa Parasitik pada Ikan Sidat
(Anguilla spp.) Asal Danau Lindu, Sulawesi Tengah. Jurnal Ilmu Pertanian
Indonesia. 20 (2): 103 – 107.
Lom, J. 1995. Trichodinidae and ther Ciliates.P : 22- 262 In P.T.K.Woo (Ed), Deseases and
Disorder. Vol 1.Protozoan and Metazoan infection. University Press. Cambridge.
Lom, J., & Nigrelli, R.F. 1970. Brooklynella hostilis n. g., n. sp., a Pathogenic Cyrtophorine
Ciliate in Marine Fishes. Journal of Protozoology. 17. 224–232.
Muchlisin, Z. A., Agustina., Amin, B., Syakti, A. D., & Adrianto, L. 2020. Ikan Natif dan
Endemik Indonesia: Biologi Konservasi dan Pemanfaatan. Bandar Publishing.
Aceh.
Noble, E. R. G. A. & Noble, G. A. 1989. Parasitology L The Biology of Animal Parasites. Lea
& Febiger. Philadelphia. London.
Noga, E. J. 2010. Fish Disease: Diagnosis and Treatment. Wiley Blackwell. Iowa (US).
Noga, E. J. 2010. Fish Disease: Diagnosis and Tretment, 2 Edition. Wiley-Blackwell, Iowa.
USA. 519 p.
Nurcahyo, W. 2018. Parasit Pada Ikan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Puspitasari, A. F. 2013. Identifikasi dan Pravelensi Cacing Ektoparasit Pada Ikan Kembung
(Rastrelliger sp.) di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan. Skripsi.
Universitas Airlangga. Surabaya.
Putri, F. D. P. 2013. Studi Kasus Patologi Infeksi Protozoa Tetrahymena spp pada Ikan Hias
Guppy (Poecilia reticulata). Skripsi. IPB University. Bogor.
Riwidiharsono. E, B. Alfarisi, & Rokhmani. 2019. Morfologi dan intensitas Trichodina spp.
Pada Benih Ikan Nilem (Osteochilus hasselti) Milik Balai Benih Ikan Kutasari
Purbalingga, Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversiti
Indonesia. 5 (2).
Sauyai K, Longdong SNJ, & Kolopita MEF. 2014. Identifikasi Parasit pada Ikan Kerapu
Sunu, Plectropomus leopa-rdus. Budidaya Perairan, 2(3):76–83
Situmorang, Y.P. 2020. Identifikasi dan Prevalensi Ektoparasit pada Ikan Hadiah Nila
(Orechromis sp) di Keramba di Perairan Danau Toba. Skripsi. Universitas
Dharmawangsa. Medan.
Slamet, B., Tridjoko, Prijono, A., Setiadharma, T., Giri, N.A., & Suwirya, K. 2008.
Inventarisasi dan Pengendalian Penyakit Parasit pada Induk Ikan Laut di Bak
Pemeliharaan. Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci). 10 (2): 276-281.
Syafar, L. A., Mahasri, G., & Rantam, F. A. 2017. Blood Description, Parasite Infestation
And Survival Rate Of Carp (Cyprinus carpio) Which Is Exposed By Spore Protein
Myxobolus Koi On Rearing Pond As Immunostimulan Material. Jurnal Biosains
Pascasarjana. 19 (2): 158 – 179.
Tumbol AR, Longdong NS, Kanoli AT. 2011. Identifikasi, Tingkat Insidensi, Indeks Dominasi,
dan Tingkat Kesukaan Parasit pada Sidat (Anguilla marmorata). Biota. 16(1):
114−127.
Umasugi, S., & Burhanuddin, A. 2015. Analisis Prevalensi Dan Intensitas Ektoparasit Ikan
Kerapu Tikus (Cromileptes altevalis) Di Keramba Jaring Apung Perairan Teluk
Kayeli Kabupaten Buru. Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-
Ternate). 8 (1).
Wahyuni, D., Makomulamin., & Sari, N. P. 2021. Buku Ajar Entomologi dan Pengendalian
Vektor. Deepublish Publisher. Yogyakarta.
Zafran, Roza, D., Koesharyani, I., Johnny, F., & Yuasa, K. 1998. Manual for Fish Diseases
Diagnosis: Marine fish and crustacean diseases in Indonesia. Gondol Research
Station for Coastal Fisheries and Japan International Cooperation Agency. 44 pp.