Anda di halaman 1dari 33

Tugas Kelompok

Parasit dan Penyakit Biota Laut

JENIS – JENIS PROTOZOA SEBAGAI AGEN PENYAKIT PADA BIOTA LAUT

KELOMPOK 4

1. NUR AIMMATUNNISA H MUSTAMIN (L011201054)


2. TARISA AIDA SADEDE (L011201055)
3. BELLA PUSPITA SARI (L011201052)
4. PUTRI YULIANTI (L011201048)
5. IRENE HYGEA PAUNDANAN (L011211043)

DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Parasit merupakan hewan renik yang hidup baik di luar maupun di dalam tubuh
makhluk hidup yang mana untuk kelangsungan hidupnya mendapatkan perlindungan dan
memperoleh makanan dari induk semangnya (Puspitasari, 2013). Berdasarkan letak
organnya, parasit dibedakan menjadi dua yaitu parasit yang hidup pada permukaan luar
tubuh inang, atau di dalam liang-liang kulit yang mempunyai hubungan dengan dunia luar
yang disebut ektoparasit, sedangkan endoparasit yaitu parasit yang hidup pada organ
ataupun jaringan yang berada di dalam tubuh inangnya (Rusman, 2021).
Menurut konsep ekologi, parasitisme menggambarkan adanya hubungan suatu
makhluk hidup dengan sekitarnya. Fenomena parasitisme merujuk pada hubungan antar
makhluk hidup, hanya organisme parasit yang mendapatkan keuntungan sedangkan
organisme inang (hospes) dirugikan. Kerugian tersebut dapat berupa alergi, penyakit, luka,
pendarahan, kerusakan, kelumpuhan, sakit, hingga kematian (Adrianto, 2020). Hal lain yang
membahayakan dari parasit yaitu peranannya sebagai vektor (penular) berbagai macam
penyakit berbahaya (Wahyuni et al., 2017). Parasit selain menyebabkan kematian, juga
dapat menyebabkan kerugian non-lethal, seperti pertumbuhan yang lambat, penurunan
efisiensi pencernaan, mempengaruhi tingkah laku, dan sensitifitas terhadap stressor dari
biota itu sendiri (Muchlisin et al., 2020).
Protozoa merupakan salah satu kelompok patogen yang memiliki ukuran tubuh
berkisar 10 – 500 mikron. Protozoa tidak membutuhkan inang perantara sehingga
perkembangbiakannya sangat cepat (Widodo, 2019). Penyakit yang ditimbulkan oleh
serangan protozoa dikenal dengan istilah penyakit bintik putih (white spot disease). Gejala
serangan protozoa ialah hewan tersebut terlihat relatif sering menggosok-gosokkan
tubuhnya ke benda keras. Pemicu utama terhadap serangan penyakit protozoa adalah
kekurangan makanan, oksigen terlarut, dan fluktuasi suhu yang sangat drastis (Afrianto et
al., 2015).
Studi mengenai penyebaran penyakit pada suatu populasi sangat membutuhkan
pemahaman mengenai interaksi atau hubungan-hubungan yang terjadi antara inang, agen,
dan lingkungan sekitarnya. Tingkat hubungan ini akan menentukan tingkat kerapatan ruang
dan waktu kejadian infeksi penyakit. Peraturan perundangan yang perlu diperhatikan dalam
upaya pencegahan wabah dan penularan penyakit ikan di antaranya adalah Undang-
Undang Dasar No. 16 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 3 yang menyatakan bahwa hama dan
penyakit ikan adalah organisme yang merusak, mengganggu kehidupan, atau
menyebabkan kematian pada ikan (Nurcahyo, 2018).
Penelitian tentang jenis – jenis protozoa sebagai agen penyakit sudah banyak
dilakukan, tetapi masih kurang pembahasan mengenai kejadian serangan pada biota laut.
Mengingat kesehatan hewan dan ikan merupakan masalah serius yang harus diperhatikan
oleh semua pihak, terutama pemerintah, pelaku industri, masyarakat luas, dan akademisi,
maka dilakukan penyusunan dalam bentuk makalah yang nantinya dapat mengungkapkan
kejadian infeksi serangan protozoa terhadap pada biota laut, sehingga dapat menambah
informasi yang berguna dalam pengendalian penyakit pada biota laut, terutama yang
disebabkan oleh protozoa patogen. Makalah ini mencakup pembahasan mengenai protozoa
patogen, morfologi dan anatomi protozoa, penyakit akibat infeksi protozoa pada biota laut,
dan mekanisme serangan dari protozoa tersebut.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari makalah ini ialah sebagai berikut:


a. Apa yang dimaksud dengan protozoa patogen?
b. Bagaimana morfologi dan anatomi protozoa?
c. Bagaimana penyakit akibat infeksi protozoa pada biota laut?
d. Bagaimana mekanisme serangan dari protozoa terhadap biota laut?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini ialah sebagai berikut:


a. Untuk mengetahui definisi dan jenis-jenis dari protozoa patogen
b. Untuk mengetahui morfologi dan anatomi protozoa
c. Untuk mengetahui jenis penyakit akibat infeksi protozoa pada biota laut
d. Untuk mengetahui mekanisme serangan dari protozoa terhadap biota laut
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Protozoa Patogen

Protozoa merupakan makhluk hidup yang paling sederhana dengan susunan tubuh
terdiri atas sel tunggal. Hampir semua jenis protozoa mempunyai ukuran mikroskopis dan
meskipun hanya terdiri atas satu sel dengan satu atau lebih inti, tetapi memiliki susunan,
fisiologis, dan tingkah laku yang sangat kompleks. Protozoa ditemukan pertama kali oleh
ahli biologi asal Belanda bernama Anthony van Leeuwenhoek (1632 – 1723). Saat ini,
kurang lebih 64.000 jenis protozoa telah diberi nama. Sebagian besar hidup bebas, tetapi
kurang lebih ada 7.000 spesies yang merupakan parasit dari berbagai macam hewan
(Nurcahyo, 2018).
Protozoa tergolong ke dalam kelompok lain protista eukariotik. Perbedaan antara
algae dan protozoa terkadang kurang jelas. Protozoa termasuk kelompok protista yang mirip
hewan. Protozoa dibedakan dari prokariot karena ukurannya yang lebih besar, dan selnya
eukariotik. Protozoa dibedakan dari algae karena tidak berklorofil, dibedakan dari jamur
karena dapat bergerak aktif dan tidak berdinding sel, serta dibedakan dari jamur lendir
karena tidak dapat membentuk badan buah. Beberapa organisme mempunyai sifat antara
algae dan protozoa, sebagai contoh algae hijau Euglenophyta, selnya berflagela dan
merupakan sel tunggal yang berklorofil, tetapi dapat mengalami kehilangan klorofil dan
kemampuan untuk berfotosintesis (Sari, 2020).
Habitat protozoa adalah air laut, payau, air tawar, dan daratan yang lembab dan
pasir kering. Sebagian besar protozoa hidup bebas dan menjadi makanan organisme yang
lebih besar. Beberapa protozoa hidup sebagai parasit, di antaranya parasit pada ikan yaitu
Trichodina, Ichthyoptirius, dan Heneguya (Situmorang, 2020). Sporozoa termasuk dalam
kelompok protozoa yang dicirikan oleh kemampuannya menghasilkan spora. Bentuk normal
parasit ini adalah amoeboid dan untuk berkembang biak parasit ini akan menghasilkan
ratusan sampai ribuan spora yang masing-masing berisi sebuah sporozoit. Seluruh
sporozoa adalah parasit. Protozoa ciliaata dicirikan pada tubuhnya memiliki cilia (Rokhmani
& Budianto, 2017). Berdasarkan alat geraknya, protozoa dibedakan atas lima golongan,
yaitu Sarcomastighopora, Sarcodina, Apicomplexa, Ciliophora, dan Myxozoa (Noble &
Noble, 1989).
Sarcomastighopora mencakup kelompok Mastighopora yang menggunakan flagella
sebagai alat geraknya dan meliputi semua protozoa yang memiliki satu atau lebih flagel
pada seluruh stadia dalam siklus hidupnya. Sebagian besar Mastighopora hidup bebas,
ditemukan pada berbagai habitat tetapi banyak bersimbiosis (komensalisme, mutualisme,
dan parasitisme) dengan vertebrata dan avertebrata. Mastighopora dibagi dalam tiga kelas,
yaitu Phytomastighopora, Zoomastighopora dan Opalinata. Phytomastighopora yang
bersifat parasit pada ikan adalah Amyloodinium pillularis. Parasit ikan yang berasal dari
Zoomastighopora adalah Ichtyobodo necatrix yang menginfeksi kulit, insang, usus, dan
darah ikan air tawar dan air laut (Grabda 1991).

Gambar 1. Beberapa Ektoparasit yang Menginfeksi Ikan Laut (Sumber: Hardi, 2015)

Gambar 2. Beberapa Endoparasit yang Menginfeksi Ikan Laut (Sumber: Hardi, 2015)

Virulensi (patogenisitas) menunjukkan tingkat keganasan patogen dan


kemampuannya dalam menimbulkan penyakit yang sifatnya relatif terhadap dosis dan
waktu. Umumnya parasit dibedakan menjadi dua berdasarkan organ targetnya yaitu
ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah golongan parasit yang hidup di luar atau di
permukaan tubuh inang, sedangkan endoparasit adalah golongan parasit yang selama
hidupnya atau sebagian dari siklus hidupnya ada di dalam tubuh inang. Selain itu, dikenal
juga istilah vektor yaitu golongan hewan atau tumbuhan yang menjadi pembawa agen
parasit (Hardi, 2015).
Gambar 3. Reproduksi Protozoa (Sumber: Sari, 2020)
Sifat hidup parasit dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu obligat (parasit
yang di lingkungan hanya bisa hidup bila berada pada inang) dan fakultatif (parasit yang
mampu bertahan hidup di lingkungan air jika tidak ada inang di sekitarnya) (Rokhmani &
Budianto, 2017). Beberapa patogen bersifat obligat yang mempunyai virulensi tinggi seperti
parasit protozoa penyebab penyakit bintik putih Ichtyopthirius multifilis (Hardi, 2015).
Beberapa protozoa bereproduksi secara seksual, beberapa secara aseksual, sementara
beberapa menggunakan kombinasi (misalnya Coccidia). Cara reproduksi aseksual dapat
dilakukan dengan cara pembelahan biner, inti sel dan tubuh protozoa membagi diri menjadi
dua. Cara ini terdapat pada flagellata, amuba, dan ciliata. Pada pembelahan ini, terdapat
tipe endodiogeni, pembelahan multipel atau skizogoni, inti sel membelah secara berulang-
ulang, sitoplasma bergabung mengelilingi inti, kemudian sitoplasma membelah. Sel yang
sedang membelah disebut sebagai skizon, meron, agamon, atau segmenter; sel-sel zigot
atau zoite, skizozoite, atau merozoite; dan tunas, sel anak yang secara individu
memisahkan diri dari induk, kemudian tumbuh menjadi protozoa dewasa (Apsari et al.,
2017). Secara seksual ialah dengan cara penyatuan gamet yang berbeda jenis sehingga
bisa menghasilkan zigot atau secara konjugasi (penyatuan inti vegetatif sel) (Agustina,
2022).
Protozoa umumnya bersifat aerobik nonfotosintetik. Protozoa aerobik mempunyai
mitokondria yang mengandung enzim untuk metabolisme aerobik, dan untuk menghasilkan
ATP melalui proses transfer elektron dan atom hidrogen ke oksigen. Protozoa umumnya
mendapatkan makanan dengan memangsa organisme lain (bakteri) atau partikel organik,
baik secara fagositosis maupun pinositosis. Protozoa yang hidup di lingkungan air, maka
oksigen dan air maupun molekul-molekul kecil dapat berdifusi melalui membran sel.
Senyawa makromolekul yang tidak dapat berdifusi melalui membran, dapat masuk sel
secara pinositosis. Tetesan cairan masuk melalui saluran pada membran sel, saat saluran
penuh kemudian masuk ke dalam membrane yang berikatan denga vakuola. Vakuola kecil
terbentuk, kemudian dibawa ke bagian dalam sel, selanjutnya molekul dalam vakuola
dipindahkan ke sitoplasma. Partikel makanan yang lebih besar dimakan secara fagositosis
oleh sel yang bersifat amoeboid dan anggota lain dari kelompok Sarcodina. Partikel
dikelilingi oleh bagian membran sel yang fleksibel untuk ditangkap kemudian dimasukkan
ke dalam sel oleh vakuola besar (vakuola makanan). Ukuran vakuola mengecil kemudian
mengalami pengasaman. Lisosom memberikan enzim ke dalam vakuola makanan tersebut
untuk mencernakan makanan, kemudian vakuola membesar kembali (Sari, 2020).
Protozoa membutuhkan makanan untuk dapat hidup. Dengan struktur tubuh yang
terdiri atas organel-organel, proses metabolisme akan terjadi mekanisme mengambil
makanan yang beragam dengan jenis makanan yang berbeda pula. Mekanisme makan
pada protozoa yaitu autotrofik, makanan terdiri atas bahan anorganik yang diubah menjadi
protein, karbohidrat, dan lemak; holofitik, organisme menyintesis karbohidrat di dalam
klorofil yang terdapat dalam krematofora; holozoik, menelan makanan melalui sitosoma
(mulut sementara atau mulut permanen protozoa); dan saprozoik, melalui osmosis atau
difusi menembus dinding sel. Ekskresi dan osmoregulasi (keseimbangan air) dilangsungkan
secara difusi melalui dinding tubuh atau melalui vakuola kontraktil sederhana. Pinositosis
(proses pengambilan vakuola kecil yang berisi cairan melalui saluran sementara pada
dinding tubuh) juga berperan dalam proses ini. Protozoa air tawar umumnya memiliki
vakuola kontraktil, sedangkan pada protozoa air laut dan protozoa patogen tidak memiliki
vakuola kontraktil (Nurcahyo, 2018).

B. Morfologi dan Anatomi Protozoa

Seluruh bagian protozoa dilindungi oleh selaput membran yang terdiri atas lipid be-
layer dan fluida mozaic. Beberapa protozoa memiliki lebih dari satu membran pada pellicle-
nya. Protozoa filum Ciliophora memiliki struktur membran tambahan yang berbentuk seperti
alveoli atau kantong yang membentuk lekukan dan tonjolan pada permukaan sel. Protozoa
memiliki glikoprotein yang tebal, yang berfungsi sebagai sistem pertahanan (imun).
Membran protein ini juga berfungsi untuk memudahkan protozoa masuk ke dalam parasit
lain atau dalam intraseluler inang (Nurcahyo, 2018).
Protozoa memiliki nukleus, retikulum endoplasma, dan mitokondria yang biasa berisi
krista yang membentuk tubuler lebih banyak daripada membentuk lamelar, lisosom, dan
badan golgi (distyosome) yang memiliki struktur yang sangat rumit pada beberapa flagellata.
Protozoa memiliki alat gerak berbeda-beda berdasarkan genusnya. Alat gerak tersebut
adalah flagella, silia, pseudopodia, dan selaput undulasi (Nurcahyo, 2018).
Flagella (undulipodia) adalah organel yang menyerupai cambuk, tersusun oleh
aksonema sentral dan selubung luar. Aksonema berasal dari granula basal atau blefaroplas
di dalam sitoplasma dan berisi sembilan pasang mikrotubulus tepi dan dua mikrotubulus
sentral. Flagella terdapat pada bagian belakang protozoa atau di sepanjang tubuhnya.
Flagella yang melekat pada beberapa bagian tubuh akan membentuk membran undulan.
Flagel terdapat pada filum Flagellata, beberapa amuba, dan sel gamet jantan beberapa
Apicomplexa (Nurcahyo, 2018).
Silia merupakan flagella kecil, umumnya silia tersusun berjajar pada permukaan
protozoa. Satu atau lebih jajaran silia longitudinal dapat bergabung membentuk selaput
undulasi atau seberkas silia dapat bergabung membentuk bentukan yang menyerupai
cuping segitiga, yang disebut membranela (Nurcahyo, 2018).
Pseudopodia merupakan alat gerak sementara yang hanya terbentuk jika
dibutuhkan. Lobopodia merupakan pseudopodia yang relatif lebar dengan lapisan luar yang
tebal dan banyak cairan di dalamnya. Filopodia berbentuk langsing, kaki semu tersusun
atas hialin. Mikrosopodia, rizopodia, atau retikulopodia merupakan kaki semu yang
berfilamen dengan lapisan dalam ang padat dan lapisan luar yang lebih encer, merupakan
tempat terjadinya sirkulasi granuler (Nurcahyo, 2018).
Pada umumnya patogen golongan protozoa yang menginfeksi ikan air tawar
termasuk ke dalam golongan protozoa yang endemis menginfeksi ikan air laut, di antaranya
ialah sebagai berikut (Hardi, 2015):
1. Brooklynella hostilis
Protozoa yang satu ini dikenal juga dengan nama Chilodonella sp di air tawar yang
termasuk dalam filum Ciliophora, kelas Kinetophragmenophorea, famili Chilodonellidae dan
genus Brooklynella. Makronukleus berbentuk oval berukuran 18 x 12 µm, terdiri dari 13-22
mikronukleus dan beberapa vakuola kontraktil kecil. Inang yang sering diserang adalah ikan
laut, terutama yang termasuk dalam Amphyprion, Dacyllus, dan Caetodon. Protozoa ini
menyerang kulit dan beberapa di insang. Kasus penyerangan banyak ditemukan di berbagai
lokasi di perairan/laut. Berdasarkan tanda klinis dan patologi, patogen ini memakan sel
darah dan jaringan debris sehingga menyebabkan kerusakan pada jaringan kulit, yang
disebabkan kondisi air yang menurun atau buruk. Tanda-tanda klinis yang ditunjukkan oleh
ikan yang terserang antara lain kulit tampak kusam, terkadang karena produksi lendir yang
berlebih, tampak seperti ada lapisan yang menutupi permukaan kulit, mata ikan tampak
sayu, haemorrhage dan petechiae pada insang, inflamation. Sementara tingkah laku ikan
yang terserang seringkali menunjukkan gejala kesulitan bernafas, ikan berenang pelan,
berada di bawah permukaan air atau dekat sumber air, dan gasping.
Brooklynella sp. memiliki siklus dua bagian hidup yang meliputi tahap berenang
bebas dan menempel pada inang. Pada tahap berenang bebas Brooklynella sp. akan
mencari inang, setelah itu menempel pada inang dan mendapatkan makanan pada inang.
Pada tubuh inang inilah Brooklynella sp. berkembang biak dengan pembelahan biner yang
diikuti dengan konjugasi. Hal inilah yang menyebabkan perkembangbiakan Brooklynella sp.
sangat cepat. Sehingga kematian inang akibat Brooklynella sp. dapat terjadi dalam hitungan
hari saja.

Gambar 4. Brooklynella hostilis (Sumber: Hardi, 2015)


2. Oodinium ocellatum
Jenis ini juga dikenal dengan nama Amyllodinium sp pada ikan air tawar yang
termasuk ke dalam filum Sarcomastigophora, Subphylum Mastigophora (flagellates), Class
Phytomastigophorea (phytoflagellates), Ordo Dinoflagellida, dan Genus Oodinium. Jenis ini
berbentuk bulat kuning berukuran 50-60 µm. bergerak menggunakan akar rizoit (cilia)
dengan siklus hidup dimulai dari Trophont, kemudian menjadi encysted tomont, lalu palmela
hingga menjadi free swimming invective dinospores. Tomont mulai membelah pada suhu
23-27°C. terhambat suhu 16-30oC, salinitas 50 ppt.
Jenis ini sering menyerang ikan air laut dengan kondisi yang menurun atau buruk,
terutama pada jenis ikan Amphyprion percula, Dacyllus melanurus, dan Monodactyllus
argentus. Awalnya, jenis ini menyerang insang kemudian menyebar ke kulit, sirip juga ginjal.
Tanda klinis dan patologi yang dapat ditemukan pada ikan yang terserang antara lain bintik
merah, hyperemia, haemorrhage, anorexia, depression, dyspoea (berenang dekat
permukaan air dengan kesulitan bernafas). Ikan yang terserang menunjukkan gejala tingkah
laku seperti megap-megap, ikan berenang pelan, berada di bawah permukaan air atau di
dekat sumber air, dan gasping.
Gambar 5. Oodinium ocellatum (Sumber: Hardi, 2015)
3. Cryptocaryon irritaans
Jenis dari Genus Cryptocaryon ini termasuk dalam Phylum Ciliophora, Class
Oligohymenophora, Subclass Hymenostomata, Ordo Hymenostomatida, Subordo
Ophryoglenina, dan Family Ichthyophthiriidae. Protozoa ini menyerang ikan air laut yang
ditemukan pertama kali di Jepang pada tahun 1938. Bagian yang diserang umumnya adalah
insang yang kemudian menyebar ke bagian kulit, sirip dan ginjal.

Gambar 6. Cryptocaryon irritaans (Sumber: Hardi, 2015)


Bentuk Theront yang menginfeksi berbentuk pipih ukuran 25-60 µm panjangnya
memiliki 2 inti yaitu makro dan mikronukleus. Makronukleus trophont memilki 4 lobe yang
masing-masing berukuran 10 µm panjang dan 8 µm lebar yang terdiri dari 1 atau 2 nukleoli.
Siklus hidup dimulai dari Trophont memakan ikan, lalu tomont meninggalkan inang dan
menghasilkan gelatin sebagai kista pelindung, tomont menempel di substrat dan
berkembang menjadi tomont dewasa, hingga tomit berkembang dan berubah menjadi
theront yang pecah dan menginfeksi inang dan tomont berkembang secara budding. Faktor
pendukung perkembangan adalah trophont mampu bertahan pada ikan selama 3-7 hari dan
pertumbuhannya optimal pada suhu 23-30°C. Pecahnya kista terjadi dalam waktu 24 jam
pada suhu 25°C. Tanda klinis dan patologi dari ikan yang diserang antara lain haemorrhage
pada kulit, produksi lendir lebih banyak. Sering menyebabkan ulcer yang disertai dengan
serangan Pseudomonas spp. Sementara tingkah laku ikan yang terserang menunjukkan
gejala megap-megap, gasping, menggosokkan tubuh ke dinding atau dasar akuarium.
4. Trichodina heterodentata
Jenis ini tergolong dalam Phylum Ciliophora, Ordo Peritrichida, Subordo Mobilina,
Family Trichodinidae dan Genus Trichodina. Pada umumnya, jenis ini ditemukan di perairan
laut Philipina. Berbentuk adhesive disc berukuran 38-60 µm, denticulate ring 23-51 dan
denticles 22-30. Ciri umum dari jenis ini adalah memiliki dentikel dan mampu bergerak
memutar mempunyai cilia (bulu getar) yang tertangkai pada kedua sisi selnya (Gambar 8),
serta memiliki makro dan mikronukleus. Menurut Riwidiharsono et al. (2019), ciri-ciri parasit
Tricodina sp. memiliki badan pipih, terkadang berbentuk piring, lonceng, peristoma bersilia,
memiliki adoral ciliary spiral yang melingkar 3600, adhesive disc dan berbentuk blade.
Protozoa ini dapat tahan lebih dari 2 hari tanpa inang dan dapat berpindah dari 1
inang ke inang lainnya dengan menggunakan cilia. Bahan organik yang tinggi dalam
perairan dan rendahnya aliran air, suhu, pH, O dan amoniak menjadi faktor pendukung
perkembangan patogen ini.

Gambar 7. Tricodina sp. (a) Tampak Ventral, (b) Tampak Atas (Sumber: Hardi, 2015)

Penyakitnya secara kolektif disebut trichodiniasis. Distribusi geografis penyakit ini


adalah air tawar dan air laut di seluruh dunia. Dengan demikian hampr semua ikan rentan
terhadap infeksi Trichodina. Trichodinids merupakan patogen oportunis dengan rentang
inang yang luas. Jenis ini biasanya menyerang bagian insang, kemudian lanjut ke kulit
hingga sirip ikan. Tanda klinis dan patologi yang ditunjukkan oleh ikan yang terserang
umumnya terdapat pigmen berwarna merah pada kulit dan terjadi pendarahan. Sementara
gejala tingkah laku ikan yang terserang umumnya sulit bernafas karena operkulum tertutup,
berenang tidak normal dan menggosokkan tubuh ke dinding akuarium.
Gambar 8. Bentuk lingkaran transparan dengan sejumlah silia yang menempel di
sekeliling lingkaran (Nurcahyo, 2018)
Ujung posteriornya berupa piringan datar yang dilengkapi dengan lingkaran-
lingkaran dari elemen skelet seperti gigi kurikuler. Organel lokomotor terdiri atas membran
posterior yang terdapat cirri dan velum yang bergelombang.

Gambar 9. Tampilan Trichodina sp. menggunakan mikroskop elektron (Nurcahyo, 2018)


Siklus hidup langsung dan reproduksi secara aseksuil dengan pembelahan biner.
Infeksi Trichodiniasis berat menunjukkan kualitas lingkungan perairan yang kurang baik,
kepadatan tinggi, dan kurangnya sanitasi lingkungan. Infeksi Trichodina sering bersamaan
dengan infeksi protozoa dan patogen lain. Parasit ini mampu bertahan hidup sampai 2 hari
tanpa ikan, beberapa bahkan bisa hidup pada kaki katak dan krustase planktonis. Kondisi
ini dapat menjadi sumber infeksi bagi ikan. Trichodinids berkembangbiak dengan pesat
pada wilayah yang airnya tidak mengalir. Efek yang merugikan dari parasit ini terjadi karena
perpindahannya. Dentikel yang terbuat dari kitin akan mengikis epitel ketika dia bergerak
yang menyebabkan iritasi kulit. Selanjutnya, epitel mengalami hyperplasia, degenerasi
(terkikis dan lepas), dan nekrosis diikuti oleh proliferasi sel lendir. Gangguan proses
pernafasan karena adanya parasit pada insang dan kulit merupakan akibat yang paling
serius dari trichodiniasis dan dapat mematikan pada larva.

Gambar 10. Morfologi Trichodina sp. (Nurcahyo, 2018)

Keterangan: 3. adoral groove and oral cilia zone 4. cytostome 5. cytopharynx 6.


macronucleus 7. micronucleus 8. contractile vacuole 9. denticulating ring 10. striate 11.
posterior girdle of cilia 12. upper marginal cilia 13. lower marginal cilia 14. marginal membran
5. Uronema marinum
Jenis dari Genus Uronema yang dikenal dengan nama lain Tetrahymena pyriformis
di air tawar ini termasuk ke dalam Phylum Ciliophora dan Ordo Scuticociliatida. Jenis ini
berukuran 30-50 µm dan memulai siklus hidupnya dari memakan sel darah dan cellular
debris kadang ditemukan di ginjal dan perut ikan. Faktor pendukung perkembangan
protozoa ini adalah transportasi selama 24-48 jam dalam air yang pH rendah, ammonia
tinggi, dan bahan organik DO rendah.
Ikan yang terserang menunjukkan tanda klinis dan patologi berupa bintik putih pada
bagian tubuh yang terinfeksi dan menjadi luka, ulcer dipenuhi oleh cilia, serta peningkatan
produksi lendir. Sedangkan gejala tingkah laku ikan yang terserang umumnya megap-
megap, berenang di dekat permukaan air dengan kesulitan bernafas, menggosokkan tubuh
di dinding dan dasar akuarium.
Gambar 11. Uronema marinum (Sumber: Hardi, 2015)
6. Kudoa sp.
Parasit Kudoa termasuk dalam genus Kudoa (Myxozoa : Myxosporea) yang
menginfeksi daging ikan. Parasit ini menimbulkan kerugian yang cukup besar karena kista
yang menyebabkan luka pada daging. Contohnya adalah Kudoa amamlensis pada Seriola
quingueradiata dan K. thyrsites pada ikan salmon Atlantik (Salmo solar), ini menyebabkan
kerusakan yang berat yang disebabkan oleh enzym proteolytik yang dihasilkan. Enzim ini
dihasilkan parasit untuk tumbuh dan berkembang pada jaringan daging ikan.
7. Vorcitella sp.
Jenis ini bersifat soliter dan melekat pada substrat menggunakan slender, berbentuk
silindris, memiliki tangkai (stalk) yang berkontraktil. Bentuk sel berupa lonceng terbalik.
Parasit protozoa ini tergolong ke dalam filum Ciliophora, kelas Oligohymenophorea,
subkelas Peritrichia, ordo Sessilida, famili Vorticellidae, dan genus Vorticella. Peristome,
yaitu area di sekitar mulut, terkadang membesar dan discoidal dengan segala gerakan silia
yang berputar searah jarum jam. Pada sel terdapat makronukleus berbentuk pita dan
mikronukleus, serta satu atau dua vakuola kontraktil. Warna selnya ada yang kekuningan,
kehijauan, dan ada pula yang tidak berwarna. Vorticella sp. hidup di habitat air tawar dan
air laut, organisme dewasa menempelkan dirinya pada objek di bawah permukaan air
seperti tumbuhan dan hewan akustik.
Gambar 12. Vorticella nebulifera (Sumber: Hardi, 2015)
Vorticella sp. juga merupakan jenis parasit ektokomersal yang hidup pada inang
dengan memperoleh makanan pada inang tersebut tanpa ada kompensasi apa pun. Fase
pertumbuhan Vorticella sp. ini dimulai dengan schizogania, yakni secara membelah dan
terjadi setelah menginfeksi inang. Selanjutnya sporogoni, yakni pembentukan spora di luar
inang dan merupakan stadium efektif.
8. Myxobolus sp.
Myxobolus sp. merupakan salah satu protozoa yang termasuk ke dalam famili
myxobolidae. Parasit ini memiliki spora berbentuk elipsoidal, ovoid atau membulat yang
terlihat di dalam valvula. Myxobolus sp. pertama kali ditemukan pada tahun 1986 di Timur
Laut Pasifik. Myxobolusis merupakan penyakit parasit pada ikan yang disebabkan oleh
Myxobolus sp. Parasit yang menyerang insang ini diklasifikasikan ke dalam kelompok
khusus dari myxosporea. Beberapa spesies parasit dapat menginfeksi satu ikan,
membentuk tiga koloni yang berbeda di jaringan insang. Myxobolus sp. merupakan salah
satu genus dari Myxosporea yang bersifat parasit dan menyerang kulit dan insang ikan air
tawar maupun ikan air laut. Beberapa spesies myxosporea telah dilaporkan, tetapi sejauh
ini hanya beberapa yang menimbulkan infeksi serius (Tamrin, 2020). Gejala infeksi yang
biasa terlihat seperti adanya cyste di antara jaringan insang dan integument yang terdiri dari
perkembangan stadia parasit, termasuk karakteristik dari spora (Syafar et al., 2017).
Klasifikasi dari Myxobolus sp. menurut Tamrin (2020) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Protozoa
Kelas : Myxosporea
Ordo : Bivalvulida
Famili : Myxobolidae
Genus : Myxobolus
Spesies : Myxobolus cerebralis

Gambar 13. Myxobolus sp. : a) Spora dengan pewarnaan Lugol’s iodine perbesaran 100x
(Mikroskop Olympus CX31), b) Morfologi Spora Myxobolus sp. (A= Lebar Spora;
B=Panjang spora; C= Lebar polar kapsul; D= Panjang polar kapsul) (Tamrin, 2020)

C. Penyakit Akibat Infeksi Protozoa Pada Biota Laut

Spesies protozoa yang berbeda dapat menimbulkan gejala yang berbeda. Faktor
yang berpengaruh dalam hal ini ialah habitatnya, yaitu organ atau jaringan mana protozoa
tersebut hidup. Contohnya, protozoa yang berada di dalam usus tentu menimbulkan gejala
usus, seperti diare dan kekurangan gizi karena bahan makanan juga dikonsumsi oleh
parasit; protozoa pada darah menimbulkan kekurangan sel darah dan menghambat jalur
peredaran darah; protozoa urogenital menimbulkan gangguan pada organ reproduksi dan
organ ekskresi urin; dan protozoa yang bisa berpindah-pindah atau terbawa sirkulasi darah
dapat merusak organ atau menimbulkan gejala pada organ dihinggapinya (Santoso, 2008).
Penyebaran parasit dari satu inang ke inang yang lain dalam satu populasi,
dilakukan dengan cara yang beraneka ragam tergantung pada spesies dari parasit itu
sendiri. Cara invansi parasit pada inang, dapat dilakukan dengan 4 (empat) cara, yaitu
melalui kontak secara langsung, saluran pencernaan, phoresis (membutuhkan
perantara/hewan pembantu) atau dengan cara menembus permukaan kulit (Hardi, 2015):
a. Kontak Langsung
Invansi parasit terjadi melalui kontak secara langsung antara terjadi pada ikan sehat
dengan ikan yang telah terinvansi parasit terlebih dahulu. Padat penebaran yang tinggi pada
budidaya ikan menjadi salah satu penyebab penyebaran parasit melalui cara ini. Cara ini
umumnya digunakan untuk penyebaran larva parasit dan terkadang juga parasit dewasa
(digunakan oleh parasit yang memiliki siklus hidup yang sederhana), contohnya adalah
parasit ciliata, Trematoda monogenea, copepoda, isopoda, dan branchiurans.
Contoh lainnya ialah pada Trichodina sp. Transmisi Trichodina terjadi melalui kontak
langsung dari host yg terinfeksi kepada host yang tidak terinfeksi. Jenis ini biasanya
menyerang bagian insang, kemudian lanjut ke kulit hingga sirip ikan. Tanda klinis dan
patologi yang ditunjukkan oleh ikan yang terserang umumnya terdapat pigmen berwarna
merah pada kulit dan terjadi pendarahan. Sementara gejala tingkah laku ikan yang
terserang umumnya sulit bernafas karena operkulum tertutup, berenang tidak normal dan
menggosokkan tubuh ke dinding akuarium (Hardi, 2015). Ikan yang terinfeksi Trichodina sp.
mengalami iritasi pada kulit, terdapat bintik putih di bagian kepala dan punggung, dan nafsu
makan hilang. Meningkatnya produksi lendir mengakibatkan tubuh ikan nampak bercahaya.
Gejala klinis ikan biasanya tampak bercahaya disebabkan produksi lendir yang berlebihan
dan tampak lemah, adanya luka pada kulit dan sirip sedikit hancur. Parasit dalam jumlah
banyak pada inang, akan mengganggu pernapasan. Perlekatan cakram menyebabkan
kerusakan langsung pada epitel insang dan menghasilkan luka pada insang. Kematian
tinggi umumnya terjadi pada ikan kecil (Ariyanto et al., 2019). Lom (1995) menambahkan
bahwa serangan parasit Trichodina sp dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan
kerusakan struktur insang yang pada akhirnya menyebabkan kematian dengan tingkat
kepadatan yang tinggi mengakibatkan proses persinggungan ikan lebih banyak dan
memungkinkan persebaran Trichodina sp.
Contoh lainnya Oodinium sp. Jenis ini sering menyerang ikan air laut dengan kondisi
yang menurun atau buruk, kemudian menyebar ke kulit, sirip juga ginjal. Tanda klinis dan
patologi yang dapat ditemukan pada ikan yang terserang antara lain bintik merah,
hyperemia, haemorrhage, anorexia, depression, dyspoea (berenang dekat permukaan air
dengan kesulitan bernafas). Ikan yang terserang menunjukkan gejala tingkah laku seperti
megap-megap, ikan berenang pelan, berada di bawah permukaan air atau di dekat sumber
air, dan gasping (Hardi, 2015).
b. Melalui Sistem Pencernaan
Invansi parasit dengan cara melalui saluran pencernaan ini pada umumnya
dilakukan setelah fase invasif dari parasit (telur, larva, spora) yang masuk ke dalam inang
bersama makanan. Biasanya dilakukan oleh parasit yang memiliki siklus hidup yang
kompleks, contohnya adalah jenis protozoa seperti Coccidiomorpha dan Cnidesporidia,
Digenea trematoda, cestoda, nematoda dan acantocephala.
c. Phoresis (Membutuhkan Perantara/Hewan Pembantu)
Transportasi parasit ini dilakukan dari satu inang ke inang lain melalui hewan lain.
Cara ini pada umumnya digunakan untuk jenis parasit darah.
d. Menembus permukaan kulit

Gambar 14. Infiltrasi protozoa (panah merah) terlihat di antara lapisan otot yang lebih
dalam. Kerusakan jaringan otot terlihat nekrosa otot (panah hijau), pewarnaan HE.
(Sumber: Putri, 2013).

Cara lain yang bisa dilakukan dengan menyerang jaringan kulit hingga berkembang
menjadi fase berikutnya. Contohnya ialah sebagai berikut:
1. Genus Cryptocaryoniasis = Protozoa ini dapat menyebabkan kerusakan pada kulit
atau insang (Rokhmani & Budianto, 2017).
2. Genus Brooklynella = Protozoa ini menyerang kulit dan beberapa di insang. Kasus
penyerangan banyak ditemukan di berbagai lokasi di perairan/laut. Berdasarkan tanda
klinis dan patologi, patogen ini memakan sel darah dan jaringan debris sehingga
menyebabkan kerusakan pada jaringan kulit, yang disebabkan kondisi air yang
menurun atau buruk. Tanda-tanda klinis yang ditunjukkan oleh ikan yang terserang
antara lain kulit tampak kusam, terkadang karena produksi lendir yang berlebih,
tampak seperti ada lapisan yang menutupi permukaan kulit, mata ikan tampak sayu,
haemorrhage dan petechiae pada insang, inflamation. Sementara tingkah laku ikan
yang terserang seringkali menunjukkan gejala kesulitan bernafas, ikan berenang
pelan, berada di bawah permukaan air atau dekat sumber air, dan gasping (Hardi,
2015).
3. Genus Cryptocaryon = Bagian yang diserang umumnya adalah insang yang kemudian
menyebar ke bagian kulit, sirip dan ginjal. Tanda klinis dan patologi dari ikan yang
diserang antara lain haemorrhage pada kulit, produksi lendir lebih banyak. Sering
menyebabkan ulcer yang disertai dengan serangan Pseudomonas spp. Sementara
tingkah laku ikan yang terserang menunjukkan gejala megap-megap, gasping,
menggosokkan tubuh ke dinding atau dasar akuarium (Hardi, 2015).
4. Genus Uronema = Ikan yang terserang menunjukkan tanda klinis dan patologi berupa
bintik putih pada bagian tubuh yang terinfeksi dan menjadi luka, ulcer dipenuhi oleh
cilia, serta peningkatan produksi lendir. Sedangkan gejala tingkah laku ikan yang
terserang umumnya megap-megap, berenang di dekat permukaan air dengan
kesulitan bernafas, menggosokkan tubuh di dinding dan dasar akuarium (Hardi,
2015).
5. Genus Kudoa = Seperti diketahui, semua spesies Kudoa menginfeksi ikan air laut dan
estuarin. Dari hasil laporan Lom et al. (1983), multivalvulid myxosporean (Kudoa)
ditemukan pada ikan Osmerus mordax di danau air tawar Canada. Inang Kudoa
hampir sama dengan inang class Myxospora (Shulman, 1966), misalnya K. thyrsites
ditemukan pada lebih dari 20 ekor ikan, sedangkan McDonald dan Margolis (1995)
menemukan K. thyrsites di 11 spesies ikan. Dengan menggunakan SSU rDNA, Hervio
et al. (1997) melaporkan bahwa K. thyrsites ditemukan pada ikan Pacific hake, Atlantic
salmon dan Aulorhynchus flavidus. Shaw et al. (1997) menemukan K thyrsites pada
ikan Tube-snout; yaitu kultivan laut komersial di kolam salmon Colombia pada ikan
Thysites atun yang berasal dari Afrika Selatan (99 %). Lom dan Dykova (1992)
menggambarkan perkembangan Trophozoite myxosporean di inang, mereka
mengalami fase poliferatif di jaringan atau organ berbeda dari fase akhir (fase
extrasporogonik) yang lepas dari fase sporogonik. Fase proliferatif terlihat hampir
sama dengan kelompok myxosporean tapi belum bisa dikatakan Kudoa. Moran et al.
(1999) menggambarkan bahwa K. thyrsites menghasilkan tahap extrasporogonik
yang masuk dalam aliran darah dan tahap itu berpindah ke inang lain dengan jalan
menginfeksi darah pada bagian intraperitonial. Dalam percobaan K. thyrsites
menginfeksi 2–23 ekor atlantic salmon. Satu parasit hidup di bagian daging inang,
plasmodium tidak mengalami pembelahan tapi berkembang menjadi ukuran yang
sangat besar, diikuti dengan perkembangan myxospores. Dengan spesies histozoic,
nutrisi mencapai sukses dalam arti pinocytotik aktif berpindah dari satu inang ke inang
lain. Proses sporogonesis K. Lunata (cf. Lom & Dykova, 1988) dan K. paniformis (cf.
Stehr, 1986) terjadi dengan perpindahan electron microscopy. Lom & Dykova (1988)
menyatakan bahwa polysporic plasmodia tanpa menghasilkan pansporoblas pada K.
lunata, K. paniformis, K. thyrsites. Spesies Kudoa berasal dari trophozoit kecil yang
menghasilkan 8 myxospore yang tidak terdapat bentuk pansporoblash.
D. Mekanisme Serangan

Hubungan antara parasit dan inang sesungguhnya tidaklah menjadi tujuan parasit
untuk merusak alat tubuh inang, apalagi sampai menyebabkan kematian inang. Parasit
membutuhkan jaminan makanan dan tempat hidup untuk kelangsungan jenisnya. Terutama
untuk jenis endoparasit jika inangnya sakit atau sampai mati, maka dia tidak mendapatkan
jaminan makan. Ada korelasi atau hubungan positif antara luasnya sebaran inang dan jenis
parasit dengan kerugian yang ditimbulkan oleh parasit. Makin luas jenis parasit dan inang,
maka makin tinggi kerugian yang ditimbulkan oleh parasit tersebut. Kerusakan yang
ditimbulkan dengan adanya parasit pada inang itu bertingkat tergantung pada jenis parasit,
umur parasit jenis dan umur inang, perawatan inang, penyebaran geografis dari parasit.
Pada saat kondisi normal, sistem dalam tubuh inang terjadi secara normal, keberadaan
parasit menyebabkan dampak yang beragam pada tubuh inang, dampak yang ditimbukan
oleh parasit pada inang antara antara lain (Hardi, 2015):
1. Kerusakan Secara Mekanik
Di samping merugikan inang karena mengambil sebagian makanan atau menghisap
darah, atau menghisap cairan tubuh, makan atau merusak jaringan tubuh inang, maka
parasit yang bertubuh besar atau parasit yang berkumpul sebagai gumpalan benda asing
dalam tubuh inang dapat menyebabkan timbulnya gangguan mekanik. Parasit yang memiliki
organ penyerang (hooks, clamps, suckers) bisa menyebabkan kerusakan pada jaringan
inang, seperti kerusakan pada insang dan kerusakan pada usus. Contohnya parasit jenis
Trichodina sp. menjadikan tubuh ikan hanya sebagai tempat pelekatan (substrat) dan
mengambil partikel organik dari bakteri yang menempel pada kulit ikan, tetapi karena
pelekatan yang kuat oleh kait pada cakram, menyebabkan sering kali timbul luka. Pelekatan
pada insang juga mengakibatkan luka dan sering ditemukan sel darah merah dalam vakuola
makanan Trichodina sp. (Ariyanto et al., 2019).
2. Kekurangan Makanan (Nutrien)
Parasit biasanya memakan makanan yang ada dalam tubuh inang (parasit dalam
usus) atau mengambil sebagian nutrisi pada inang. Dampak pada inang mnyebabkan
anemia. Parasit lain mengambil vitamin A, B komplek, C dari inangnya. Parasit terkadang
memakan darah atau jaringan pada inang, yang dapat menyebabkan hemoglobin ikan
menurun. Jumlah total eritrosit juga akan menurun. Selain itu, adanya kronik hypochromatic
dan hemolitik dan juga basofil dan polychromatic eritrosit meningkat, granulosit (heterofil
dan basofil) yang umumnya ditemukan menyertai pendarahan dan radang insang (Hardi,
2015).
3. Toxic dan Lytic Effects
Hasil dari metabolisme parasit dan sekresi dari kelenjar parasit dapat bersifat toxik
bagi inang. Hal ini dapat menyebabkan iritasi pada kulit dan menyebabkan radang.
Misalnya, parasit Kudoa (Myxobolidae), menghasilkan enzym proteolitik yang dapat
menyebabkan otot daging menjadi lembek. Bentuk pseudocyst dengan tipe kista pada
daging menimbulkan reaksi nekrotik dan dinding pseudocyst memacu perbaikan
inflammation. Anderson (1985) menyatakan bahwa pertahanan inang adalah dengan
membentuk sel amplop. Pada saat daging inang penuh plasmodium, baru terjadi
pembengkakan. Respon ini dicirikan dengan phagocytic infiltrasi, granuloma dan bentuk
kapsul. Respon inang terhadap encapsule parasit adalah dengan membentuk fibroblast.
Daging yang terinfeksi akan menjadi gelap hal ini disebabkan oleh berkurangnya melanin
(Hardi, 2015).
III. PEMBAHASAN

A. Contoh Studi Kasus Protozoa Pada Ikan Sidat (Anguilla spp.)

Berdasarkan Aguilar et al. (2005) menemukan tujuh protozoa pada ikan sidat
(Anguilla spp.), yaitu Trypanosoma granulosum, Eimeria anguillae, Myxidium giardi,
Myxobolus portucalensis, Hofferellus gilsoni, Ichthyophthirius multifiliis, dan Trichodina
jadranica di Sungai Ulla dan Tea Spanyol. Menurut Kristmundsson & Helgason (2007)
terdapat empat spesies protozoa pada ikan sidat (Anguilla spp.) yang ditemukan di air tawar
dan laut Islandia. Eimeria anguillae (Sporozoa: Cocccidia) terdeteksi satu protozoa di usus
sidat air tawar dan satu protozoa dari sidat laut. Trichodina jadranica (Ciliophora:
Trichodinidae) sering ditemukan pada insang sidat asal air tawar dan laut seperti Trichodina
fultoni (Ciliophora: Trichodinidae) pada kulit dan insang ikan sidat asal air tawar dan laut.
Chilodonella hexasticha (Ciliophora: Chilodonellidae), pada insang dan kulit, hanya
ditemukan pada sidat asal air tawar dan empat spesies myxozoa, Myxidium giardi
(Bivalvulida: Myxidiidae), Myxobolus kotlani (Bivalvulida: Myxo-bolidae), dan dua
Zschokkella spp. (Bivalvulida: Myxidiidae). Tumbol et al. (2011) menemukan protozoa
parasit, yaitu Trichodina sp., Myxobolus sp., dan Vorticella sp. pada ikan sidat (Anguilla
marmorata) yang dibudidayakan di Sulawesi Utara.
Berdasarkan penelitian Jabal et al. (2015), protozoa parasitik yang ditemukan pada
ikan sidat, yaitu Myxidium sp. (Myxozoa: Myxidiidae), Myxobolus sp. (Myxozoa:
Myxobolidae), Henneguya sp. (Myxozoa: Myxobolidae), dan Ceratomyxa sp. (Myxozoa:
Ceratomyxidae) (Gambar 15). Selain itu, ditemukan juga Chilodonella sp. (Ciliophora:
Chilodonellidae), Balantidium sp. (Sarcomastigophora: Balantiidae), dan Glugea sp.
(Microspora: Gluguidea).

Gambar 15. (a) Myxidium sp., (b) Ceratomyxa sp., (c) Myxobolus sp., dan (d) Henneguya
sp..(Jabal et al., 2015)
Prevalensi Myxobolus sp. pada penelitian Jabal et al. (2015) sebesar 46, dan
Aguilar et al. (2005) prevalensi Myxobolus berkisar 26,5−34,5. El-ashram (2007)
melaporkan bahwa prevalensi parasit pada ikan sidat yang berasal dari alam sebesar 7,5.
Parasit ini menyebabkan adanya bintil berwarna putih (1−3 mm) yang terletak di jaringan
subkutaneus sirip sidat. Pecahnya kista mengakibatkan pendarahan dan ulkus.
Melanomakrofag banyak ditemukan di sekitar area yang terinfeksi (El-ashram 2007).
Melanomakrofag adalah sel yang berbentuk bulat padat yang memiliki jumlah pigmen
bervariasi. Biasanya terdapat pada ikan yang sehat, akan tetapi jumlahnya meningkat pada
kasus stres berat. Oleh sebab itu, melanomakrofag sebagai indikator stres pada ikan (Noga
2010).
Tabel 1. Jumlah protozoa parasitik pada organ tubuh ikan sidat berdasarkan tingkat
kesukaan

B. Contoh Studi Kasus Protozoa Amyloodinium ocellatum Pada Ikan Kerapu Sunu
(Plectropomus leopardus)

A. ocellatum dapat menyerang ikan terutama insang dan kulit. Parasit ini berbentuk
bulat dengan diameter 120 mikron, dan alat menempel pada kista berupa rambut/tali.
Parasit dewasa biasanya jatuh ke bawah dan berubah menjadi kista yang mengandung 256
dinospora. Setelah 3 hari kista melepaskan dinospora kemudian menyebar mencari inang
baru. Hasil pengamatan yang dilakukan Mujumin & Suratmi (2018) pada insang benih
kerapu sunu menemukan parasit yang menempel di sela insang dari yang berukuran kecil
sampai besar dengan diameter antara 40 mikron sampai 80 mikron.
Gambar 16. Potongan insang kerapu sunu di bawah mikroskop. A). Amiloodinium
ocellatum memenuhi lembar insang (pembesaran 40x), B). Amiloodinium ocellatum di
sela-sela lamella sekunder insang kerapu sunu. Parasit ini berbentuk bulat dengan
diameter 40-80 mikron (pembesaran 100x) (Mujumin & Suratmi, 2018)

Gambar 17. Potongan histologi insang kerapu sunu di bawah mikroskop. A).
Amiloodinium ocellatum terlihat menyebar di seluruh insang (pembesaran 10x), B).
Amiloodinium ocellatum di sela-sela lamella sekunder insang kerapu sunu terlihat butiran
dinospora (pembesaran 40x) (Mujumin & Suratmi, 2018)

Pengamatan pada benih ikan kerapu sunu dilakukan mulai hari pertama terjadi
tanda-tanda ikan mulai sakit, seperti benih tidak mau makan, tergeletak di dasar jaring,
berkumpul di tempat aerasi, setelah 3 hari dari tanda tersebut mulai ada yang mati sehingga
perlu dilakukan penanganan selanjutnya. Penanganan yang dilakukan yaitu dengan
mengambil sampel yang sudah mati maupun yang belum kemudian dilakukan analisa. Hasil
analisa laboratorium menunjukkan bahwa benih ikan kerapu sunu terserang parasit
Amyloodinium ocellatum, ini tergolong parasit yang berbahaya bisa menimbulkan kematian
secara massal (Mujumin & Suratmi, 2018).

C. Contoh Studi Kasus Protozoa Brooklynella hostilis Pada Ikan Kerapu Sunu
(Plectropomus leopardus)

B. hostilis. merupakan suatu protozoa berbetuk seperti kacang mirip dengan


Chilodonella sp. Parasit ini banyak ditemukan pada bagian insang dan lendir, sedangkan
luka yang ditimbulkan lebih sering terjadi pendarahan pada kulit bagian dalam. Pendarahan
ini kemungkinan disebabkan oleh kesengajaan ikan menggesek-gesekkan badannya ke
jaring atau wadah budidaya lainnya yang diakibatkan gatal akibat serangan parasit pada
bagian kulit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lom & Nigrelli (1970), yang menyatakan
bahwa B. hostilis. sering menyerang pada bagian kulit dan insang pada ikan.

Gambar 18. Brooklynella hostilis. yang menyerang ikan kerapu sunu (P.leopardus) A.
Gambar parasit sebagai pembanding (Sauyai et al., 2014), B. Parasit yang ditemukan
(Gusriyanti et al., 2016)

Berdasarkan hasil penelitian Gusriyanti et al. (2016), parasit B. hostilis. ditemukan


pada bagian lendir ikan kerapu sunu dengan (I = 3,5 ind/ekor). Hal tersebut menunjukkan
bahwa intensitas serangan parasit tersebut masih tergolong rendah. Menurut pernyataan
Balai Karantina Ikan Tingkat I Kendari (2007), nilai intensitas tersebut menggambarkan
tingkat serangan parasit yang masih tergolong rendah. B. hostilis. sering menempel pada
bagian kulit dan menyerang lapisan insang dan lendir. Akibatnya kulit mengalami bintik putih
pada bagian kulit, lendir dan insang. Menurut Noga (2010), B. hostilis. telah ditemukan
menyerang pada bagain kulit dan lendir. Selain itu juga menyebabkan kulit yang parah lesi
pada ikan laut.
D. Contoh Studi Kasus Protozoa Cryptocaryon irritans Pada Ikan Kerapu Hibrid
Cantik (Plectropomus leopardus)

Cryptocaryon irritans merupakan parasit patogen dari golongan protozoa Ciliata


yang menyebabkan penyakit white spot (bintik putih) pada permukaan tubuh ikan yang
terinfeksi. Parasit ini dapat mengakibatkan kematian massal pada ikan budidaya laut. Sel-
sel parasit dalam inang (trophont) yang berbentuk bulat berukuran 0,3-0,5 mm dengan bulu
getar di permukaannya bergerak aktif di bawah kulit dan epitel insang, menghancurkan sel-
sel inang. Sel-sel dewasa (tomont) meninggalkan inang dan berenang di air selama
beberapa jam, kemudian membentuk kista. Setelah 6-9 hari, lebih dari 200 sel anak
(theront) dengan ukuran 35 µm meninggalkan kista dan berenang di air untuk mencari inang
baru. Apabila tidak menemukan inang dalam waktu 24 jam, ia akan mati (Zafran et al.,
1998). Tanda-tanda ikan yang terinfeksi antara lain ikan berubah warna menjadi pucat,
terlihat gelisah, berkumpul di dekat aerasi, dan bila sudah parah diam di dasar bak. Bila ikan
ditangkap terlihat banyak lendir dan banyak bercak putih pada kulit, sirip, dan insang. Infeksi
C. irritans biasanya diikuti infeksi sekunder berupa bakteri sehingga bila sudah menyerang
insang sering berakibat terjadinya kematian massal (Slamet et al., 2008). Efek secara umum
akibat infeksi C. irritans pada ikan yaitu gangguan osmoregulasi, kehilangan nafsu makan,
dan sel epitel insang dan kulit ikan yang terinfeksi menjadi hyperplastik dan mengalami
kerusakan serius (Anshary, 2008).

Gambar 19. Parasit Cryptocaryon irritans stadia trophont yang menginfeksi benih kerapu
hibrid cantik, pada lendir tubuh (a) dan insang (b) (Haryanto et al., 2018)

Menurut Bondad et al. (1995), C. irritans banyak ditemukan di daerah tropis. Di


BBRBLPP, Gondol-Bali parasit ini terdeteksi pertama kali pada ikan kerapu bebek
(Cromileptes altivelis), kerapu batu (Epinephelus bontoides) dan ikan napoleon (Cheilinus
undulatus) (Zafran et al., 1998), selanjutnya Slamet et al. (2008) melaporkan bahwa infeksi
C. irritans juga terjadi pada induk ikan kakap putih (Lates calcarifer); kerapu pasir
(Epinephelus corallicola); dan ikan cobia (Rachycentron canadum). Sedangkan Haryanto et
al. (2016) melaporkan bahwa di wilayah Gerokgak-Bali pada tahun 2014 terjadi kasus
infeksi C. irritans pada ikan bawal (Pampus argenteus) dan tahun 2015 pada ikan kerapu
kertang (Epinephelus lanceolatus) dan ikan klon hitam (Amphiprion percula).

E. Contoh Studi Kasus Protozoa Pada Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altevalis)

Berdasarkan penelitian Umasugi & Burhanuddin (2015), hasil identifikasi yang


dilakukan dibawah mikroskop dengan berpedoman pada referensi yang ada maka diperoleh
jenis-jenis ektoparasit yaitu Trichodina sp. dan Cryptocaryon sp.

a. Trichodina sp.

Parasit yang termasuk dalam family Trichonidae ini berbentuk bundar seperti topi,
dimana dengan bantuan mikroskop Trichodina sp terlihat berbentuk lingkaran transparan
dengan jumlah silia (cilia) yang menempel di sekeliling lingkaran. Pada tubuh bagian bawah
terdapat lingkaran pelekat untuk melekatkan dirinya ke tubuh ikan (Umasugi & Burhanuddin,
2015).

Gambar 20. Parasit Trichodina sp, yang Menginfeksi Ikan Kerapu Tikus (C. altevalis)
(Umasugi & Burhanuddin, 2015)

Trichodina sp ditemukan menginfeksi hampir seluruh organ tubuh bagian luar ikan
yang diamati selama penelitian. Pada permukaan tubuh yang diamati terlihat adanya bintik-
bintik putih yang tidak teratur dalam jumlah yang banyak, serta produksi lendir terlihat
sangat banyak sehingga kulit kelihatan mengkilap. Gejala tempat yang ditimbulkan parasit
ini adalah ikan berenang lemah ke permukaan, menyendiri (tidak bergerombolan), warna
tubuh ikan tidak cerah (kusam) dan sering menggosok-gosokkan tubuhnya pada permukaan
yang kasar. Parasit ini menempel pada kulit, sirip, dan insang ikan serta mengakibatkan
iritasi di bagian kulit tersebut. Trichodina sp ini dapat menyerang ikan air tawar maupun ikan
laut (Umasugi & Burhanuddin, 2015).
b. Cryptocaryon sp.

Cryptocaryon sp. merupakan ektoparasit pada ikan, biasanya juga disebut white
spot karena parasit tersebut menyebabkan bintik-bintik putih pada bagian yang terserang.
Penyakit Cryptocaryon sp ini disebabkan oleh protozoa Cryptocaryon sp, yang mana bagian
tubuh yang sering diserang adalah permukaan tubuh, ekor, insang, dan juga mata. Gejala
ikan yang terserang adalah mata membengkak, insang dan mata ditumbuhi semacam kista
sebesar jarum pentul berwarna putih, terjadi pendarahan dan pembusukkan pada bagian
sirip dan produksi lendir tubuh meningkat serta nafsu makan hilang. Parasit ini berbentuk
seperti piring yang berbulu getar (cilia), untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 21,
Cryptocaryon sp. yang belum dewasa dinamakan tingkat trophon. Berbentuk seperti buah
per, sedangkan yang dewasa (mature trophon) berbentuk bulat dengan diameter kira-kira
0,3 mm. Organisme ini dapat membentuk kista yang merupakan tingkat akhir pada ikan
yang terinfeksi. Dalam daur hidupnya tingkat ini biasanya disebut tomant (Umasugi &
Burhanuddin, 2015).

Gambar 21. Jenis Parasit Cryptocaryon sp. (Umasugi & Burhanuddin, 2015)

Cryptocaryon sp. ditemukan menginfeksi inang bagian sisik dan insang yang
ditemukan selama penelitian. Pada permukaan tubuh ikan yang terinfeksi, Cryptocaryon sp
terlihat adanya bintik-bintik putih seperti titik, mata membengkak, sisik-sisik lepas serta
terjadi pembusukkan pada bagian sirip, akibat dari infeksi sekunder yang dalamnya ikan
tampak berenang lemah timbul di permukaan air dan tidak bergerombolan. Cryptocaryon
sp. juga ditemukan menginfeksi hampir seluruh organ tubuh bagian luar yang diamati
selama penelitian. Pada permukaan tubuh yang diamati terlihat adanya bintik-bintik putih
yang tidak teratur, dalam jumlah yang banyak, serta produksi lendir terlihat sangat banyak
sehingga kulit kelihatan mengkilap (Umasugi & Burhanuddin, 2015).
IV. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan jenis protozoa patogen yang
menginfeksi biota laut ialah Brooklynella sp., Oodinium sp., Cryptocaryon sp.,Trichodina sp.,
Uronema sp., Vorcitella sp., Myxobulus sp., & Kudoa sp. Setiap spesies dari protozoa dapat
menimbulkan gejala yang berbeda karena dipengaruhi oleh habitat dari protozoa tersebut.
Terkait mekanisme serangannya, protozoa dapat menyerang dengan cara merusak organ
inang secara mekanik, mengambil nutrien inang, dan dengan mengeluarkan zat racun.

B. Saran

Literatur mengenai jenis protozoa yang menyerang biota laut perlu diperbanyak
mengingat penelitian dalam bidang kelautan masih minim dan kebanyakan referensi
penelitian yang sudah ada hanya fokus ke biota perairan air tawar saja.
DAFTAR PUSTAKA

Adrianto, H. 2020. Buku Ajar Parasitologi. Rapha Publishing. Yogyakarta.

Afrianto, E., Liviawaty, E., Jamaris, Z., & Hendi. 2015. Penyakit Ikan. Penebar Swadaya
Grup. Jakarta.

Aguilar A, Alvarez F, Le ro J , Sanmartın L. 2005. Parasite populations of the European eel


(Anguilla anguilla L.) in the river Ulla and Tea (Galicia, Northwest Spain).
Aquaculture. 249(1−4): 85−94.

Agustina, D. 2022. Dasar Biomedik 3. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas


Sumatera Utara. Medan.

Anderson, DP., AK Siwicki. 1995. Basic hematology and serology for fish health programs.
Paper presented in second symposium on diseases in Asian Aquaculture “Aquatic
Animal Health and the Environment”. Phuket, Thailand. 25 – 29 thOctober 1993.
17 hal.

Anshary, H. 2008. Modul Pembelajaran Berbasis Student Center Learning (SCL) Mata
Kuliah Parasitologi Ikan. Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Hassanudin Makasar. hlm. 25-50.

Ariyanto, E., Anwar, S. & Sofyan. 2019. Indeks Prevalensi dan Intensitas Ektoparasit Pada
Ikan Botia (Chromobotia macracanthus) di Sumatera Selatan. Jurnal Ilmu-ilmu
Perikanan dan Budidaya Perairan. 14 (1): 54 – 61.

Balai Karantina Ikan Tingkat I Kendari. 2007. Prosedur Kerja Laboratorium Bakteri.
Laboratorium Uji Stasiun Karantina Ikan Kelas I Wolter Monginsidi. Ken- dari.
Sulawesi Tenggara.

Bondad, Reantaso, M.G., Ogawa, K., Fukudome, M., & Wakabayashi, H. 1995.
Reproduction and Growth of Neobenedenia girellae (Monogenea: Capsalidae), a
Skin Parasite of Cultured Marine Fishes of Japan. Fish Pathology. 30 (3): 227-231.

El-ashram AMM. 2007. Studies on parasitic Disease Among Wild and Cultured Eel Fish
(Anguilla anguilla). Suez Canal Veterinary Medical Journal. 12(2): 171−198.

Grabda, J. 1991. Marine Fish Parasitology: An Outline. Weinheim. New York.


Gusriyanti., Nur, I., & Sarita, A. H. 2016. Inventarisasi Parasit pada Ikan Kerapu Sunu
(Plectropomus leopardus) yang Dipelihara pada Karamba Jaring Apung. Media
Akuatika. 11 (1): 15-26.

Hardi, E. H. 2015. Parasit Biota Akuatik. Mulawarman University Press. Samarinda.

Haryanto, S., Suratmi, S., & Ansari, M. 2016. Inventarisasi Kasus Infeksi Parasit pada Usaha
Budidaya Laut di Kecamatan Gerokgak, Bali. Buletin Teknik Litkayasa Akuakultur.
14 (2): 119-123.

Haryanto, S., Suratmi, S., & Ansari, M. 2018. Identifikasi Parasit Cryptocaryon irritans Pada
Benih Kerapu Hibrid Cantik Yang Dibudidayakan Secara Intensif. Buletin Teknik
Litkayasa Akuakultur. 16 (2): 137 – 139.

Jabal, A. R., Cahyaningsih, U., & Tluria, R. 2015. Protozoa Parasitik pada Ikan Sidat
(Anguilla spp.) Asal Danau Lindu, Sulawesi Tengah. Jurnal Ilmu Pertanian
Indonesia. 20 (2): 103 – 107.

Kristmundsson A, Helgason S. 2007. Parasite communities of eels Anguilla anguilla in


freshwater and marine habitats in Iceland in comparison with other parasite
communities of eels in Europe. Folia Parasitologica. 54(2): 141−153.

Lom, J. 1995. Trichodinidae and ther Ciliates.P : 22- 262 In P.T.K.Woo (Ed), Deseases and
Disorder. Vol 1.Protozoan and Metazoan infection. University Press. Cambridge.

Lom, J., & Nigrelli, R.F. 1970. Brooklynella hostilis n. g., n. sp., a Pathogenic Cyrtophorine
Ciliate in Marine Fishes. Journal of Protozoology. 17. 224–232.

Muchlisin, Z. A., Agustina., Amin, B., Syakti, A. D., & Adrianto, L. 2020. Ikan Natif dan
Endemik Indonesia: Biologi Konservasi dan Pemanfaatan. Bandar Publishing.
Aceh.

Mujimin., & Suratmi, S. 2018. Pengamatan Dan Penanganan Parasit Amyloodinium


ocellatum Pada Pendederan Benih Ikan Kerapu Sunu di Bak Terkontrol. Buletin
Teknik Litkayasa Akuakultur. 16 (1): 61 – 64.

Noble, E. R. G. A. & Noble, G. A. 1989. Parasitology L The Biology of Animal Parasites. Lea
& Febiger. Philadelphia. London.

Noga, E. J. 2010. Fish Disease: Diagnosis and Treatment. Wiley Blackwell. Iowa (US).
Noga, E. J. 2010. Fish Disease: Diagnosis and Tretment, 2 Edition. Wiley-Blackwell, Iowa.
USA. 519 p.

Nurcahyo, W. 2018. Parasit Pada Ikan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Puspitasari, A. F. 2013. Identifikasi dan Pravelensi Cacing Ektoparasit Pada Ikan Kembung
(Rastrelliger sp.) di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan. Skripsi.
Universitas Airlangga. Surabaya.

Putri, F. D. P. 2013. Studi Kasus Patologi Infeksi Protozoa Tetrahymena spp pada Ikan Hias
Guppy (Poecilia reticulata). Skripsi. IPB University. Bogor.

Riwidiharsono. E, B. Alfarisi, & Rokhmani. 2019. Morfologi dan intensitas Trichodina spp.
Pada Benih Ikan Nilem (Osteochilus hasselti) Milik Balai Benih Ikan Kutasari
Purbalingga, Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversiti
Indonesia. 5 (2).

Rokhmani., & Budianto, B. H. 2017. Parasitologi Akuatik. FGP Press. Tegal.

Rusman, N. R. A. 2021. Identifikasi Ektoparasit dan Endoparasit Pada Tikus di TPA


Tamangapa Kecamatan Manggala Kota Makassar. Skripsi. Universitas
Hasanuddin. Makassar.

Santoso, S. H. B. 2008. Infeksi Protozoa dan Permasalahan Peran Profesi Parasitologi


Kedokteran dalam Pendidikan dan Pelayanan. Airlangga University Press.
Surabaya.

Sari, M. Y. 2020. Protozoa. Universitas Andalas. Padang.

Sauyai K, Longdong SNJ, & Kolopita MEF. 2014. Identifikasi Parasit pada Ikan Kerapu
Sunu, Plectropomus leopa-rdus. Budidaya Perairan, 2(3):76–83

Situmorang, Y.P. 2020. Identifikasi dan Prevalensi Ektoparasit pada Ikan Hadiah Nila
(Orechromis sp) di Keramba di Perairan Danau Toba. Skripsi. Universitas
Dharmawangsa. Medan.

Slamet, B., Tridjoko, Prijono, A., Setiadharma, T., Giri, N.A., & Suwirya, K. 2008.
Inventarisasi dan Pengendalian Penyakit Parasit pada Induk Ikan Laut di Bak
Pemeliharaan. Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci). 10 (2): 276-281.
Syafar, L. A., Mahasri, G., & Rantam, F. A. 2017. Blood Description, Parasite Infestation
And Survival Rate Of Carp (Cyprinus carpio) Which Is Exposed By Spore Protein
Myxobolus Koi On Rearing Pond As Immunostimulan Material. Jurnal Biosains
Pascasarjana. 19 (2): 158 – 179.

Tumbol AR, Longdong NS, Kanoli AT. 2011. Identifikasi, Tingkat Insidensi, Indeks Dominasi,
dan Tingkat Kesukaan Parasit pada Sidat (Anguilla marmorata). Biota. 16(1):
114−127.

Umasugi, S., & Burhanuddin, A. 2015. Analisis Prevalensi Dan Intensitas Ektoparasit Ikan
Kerapu Tikus (Cromileptes altevalis) Di Keramba Jaring Apung Perairan Teluk
Kayeli Kabupaten Buru. Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-
Ternate). 8 (1).

Wahyuni, D., Makomulamin., & Sari, N. P. 2021. Buku Ajar Entomologi dan Pengendalian
Vektor. Deepublish Publisher. Yogyakarta.

Widodo, H. 2019. Makhluk – Makhluk Uniseluler (Digital Version). ALPRIN. Semarang.

Zafran, Roza, D., Koesharyani, I., Johnny, F., & Yuasa, K. 1998. Manual for Fish Diseases
Diagnosis: Marine fish and crustacean diseases in Indonesia. Gondol Research
Station for Coastal Fisheries and Japan International Cooperation Agency. 44 pp.

Anda mungkin juga menyukai