Anda di halaman 1dari 33

PUTUSAN

MAHKAMAH AGUNG
337/B/PK/PJK/2017

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH AGUNG

Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai


berikut dalam perkara:

DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tempat kedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto No.40-42,
Jakarta 12190, dalam hal ini memberikan kuasa kepada:

1. Catur Rini Widosari, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak;

2. Budi Christiadi, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan
Banding;

3. Farchan Ilyas, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan
Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;

4. Kusumo Pratiwiningrum, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi,


Direktorat Keberatan dan Banding;

Berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-1409/PJ./2014, tanggal 28 Mei 2014;



untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;

MELAWAN

PT WAHANA OTTOMITRA MULTIARTHA TBK , tempat kedudukan di Mega Glodok


Kemayoran Offi ce Tower B LT. 2, Jl. Angkasa, Kav. B-6, Jakarta 10610, diwakili oleh Djaja
Suryanto Sutandar sebagai Presiden Direktur dan Zacharia Susanta Diredja sebagai Direktur;

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017
untuk selanjutnya disebut sebagai Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon
Banding;

Mahkamah Agung tersebut;

Membaca surat-surat yang bersangkutan;

Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan
Kembali dahulu sebagai Termohon Banding, telah mengajukan permohonan peninjauan
kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-50580/PP/M.IIIB/16/2014 Tanggal
20 Februari 2014 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan
Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, dengan posita perkara
sebagai berikut:

RINGKASAN POSITA BANDING

Bahwa Pemohon Banding mengajukan banding atas Keputusan Terbanding Nomor: KEP-
1629/WPJ.19/2012 dengan penjelasan sebagai berikut:

DASAR HUKUM
Bahwa berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jo. Pasal 35 dan Pasal 36
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Pemohon Banding
mengajukan banding atas Keputusan Terbanding Nomor: KEP-1629/WPJ.19/2012 tanggal 27
Desember 2012 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak
Pertambahan Nilai Masa Pajak November 2008 Nomor: 00011/207/08/091/12 tertanggal 20
Januari 2012;

LATAR BELAKANG
Bahwa Terbanding menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Nomor:
00011/207/08/091/12 tertanggal 20 Januari 2012 dengan jumlah pajak yang masih harus
dibayar sebesar Rp1.805.095.505,00;

Bahwa atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut, Pemohon Banding telah
mengajukan keberatan dengan surat Pemohon Banding Nomor: 477/DIR-WOM/2012
tertanggal 04 April 2012 yang diterima oleh Terbanding pada tanggal 05 April 2012;

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017

Bahwa atas keberatan Pemohon Banding tersebut di atas, Terbanding telah mengeluarkan
keputusan Nomor: KEP-1629/WPJ.19/2012 tertanggal 27 Desember 2012. Akan tetapi
suratnya baru diterima oleh Pemohon Banding tanggal 31 Desember 2012, yaitu tentang
Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dengan isi keputusan menolak permohonan keberatan Pemohon Banding;

MATERI POKOK BANDING
Bahwa materi pokok pengajuan banding Pemohon Banding adalah sebagai berikut:

Bahwa perhitungan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar menurut Keputusan
Terbanding Nomor: KEP-1629/WPJ.19/2012 tanggal 27 Desember 2012 dan menurut Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak November 2008 Nomor:
00011/207/08/091/12 tertanggal 2 Januari 2012 serta dibandingkan dengan perhitungan
Pemohon Banding adalah sebagai berikut:

Bahwa berdasarkan KEP-1629/WPJ.19/2012 di atas, jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang


masih harus dibayar sebesar Rp1.805.095.505,00 seperti yang tertuang didalam Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Nomor: 00011/207/08/091/12 sebagai berikut:

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017
Bahwa angka koreksi tersebut berasal dari rincian sebagai berikut:

Bahwa berdasarkan angka koreksi tersebut di atas perkenankan Pemohon Banding


mengajukan permohonan banding sebagai berikut:

1) Discount Asuransi

a. Alasan Terbanding

Bahwa kegiatan penyaluran penutupan asuransi yang dilakukan oleh Pemohon


Banding dengan imbalan berupa spread/diskon asuransi yang dilakukan
Pemohon Banding, dilakukan di dalam ruang lingkup kegiatan perusahaan, yaitu
sebagai perusahaan pembiayaan yang bergerak dalam bidang sewa guna usaha,
pembiayaan konsumen, dan anjak piutang. Dengan demikian memenuhi
ketentuan sebagai penyerahan jasa terutang Pajak Pertambahan Nilai
sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 4 huruf c UU PPN;

b. Tanggapan Pemohon Banding

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017
Bahwa Pemohon Banding adalah sebagai pihak tertanggung yang namanya
tercantum dalam polis asuransi yang menggunakan jasa asuransi untuk
melindungi kendaraan bermotor yang dibiayainya dan oleh karena penutupan
fasilitas asuransi kerugian berfungsi sebagai jaminan pengembalian pembiayaan
untuk melindungi asset (piutang pembiayaan) Pemohon Banding;

Bahwa sesuai dengan perjanjian antara pemohon banding dengan Perusahaan


Asuransi yaitu PT Asuransi Jaya Proteksi (AJP) dan PT Asuransi Sinar Mas (ASM),
bahwa pihak yang tertanggung dalam penutupan asuransi tersebut adalah
Pemohon Banding dan objek pertanggungan adalah kendaraan roda dua yang
dibiayai oleh tertanggung;

Bahwa pemberian discount/potongan harga atas premi yang dibayarkan oleh


Pemohon Banding kepada perusahaan asuransi bukan merupakan imbalan balas
jasa atas penutupan asuransi yang Pemohon Banding lakukan melainkan karena
jumlah penutupan asuransi tersebut sangat besar, hal ini sangatlah wajar di dunia
bisnis, apabila terjadi transaksi bisnis dengan jumlah yang besar maka akan
diberikan potongan harga yang besar juga;

Bahwa atas penutupan asuransi tersebut Pemohon Banding juga tidak


memberikan pelayanan atau kemudahan kepada perusahaan asuransi, justru
dalam hal ini Pemohon Banding sangat berkepentingan terhadap penutupan
asuransi, Pemohon Banding harus mengasuransikan kendaraan yang pemohon
banding biayai tersebut hingga berakhirnya masa pembiayaan, sehingga apabila
terjadi resiko kehilangan kendaraan maka pemohon banding tidak terlalu
dirugikan, karena resiko tersebut telah di-cover oleh perusahaan asuransi;

Bahwa selain hal tersebut, pihak bank sebagai pihak yang mendanai pinjaman
tersebut mewajibkan atas motor yang dibiayai oleh Pemohon Banding untuk
diasuransikan;

Bahwa menurut Pemohon Banding atas discount asuransi tersebut bukanlah


merupakan penyerahan jasa kena pajak seperti yang diatur dalam Pasal 4 huruf c
UU PPN (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000), oleh karenanya atas discount
asuransi tersebut tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai;

2) Pemberian barang promosi

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017

a. Alasan Terbanding

Bahwa pemberian hadiah berupa: tas, jaket, T-shirt, jas hujan, dan barang
promosi lainnya yang diberikan kepada nasabah yang mengadakan kontrak
pembiayaan dengan Pemohon Banding maupun yang diberikan dalam kegiatan
sponsorship dalam rangka promosi penjualan yang dilakukan oleh Pemohon
Banding merupakan penyerahan barang kena pajak sebagaimana dimaksud
Pasal 1A ayat (1) huruf d Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan dilakukan
dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya;

b. Tanggapan Pemohon Banding

Bahwa pemberian cuma-cuma yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sesuai


dengan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Nomor 18 Tahun 2000 Pasal 1A
ayat (1) huruf d dan penjelasannya adalah pemberian tanpa pembayaran yang
merupakan hasil barang produksi sendiri dalam hal ini adalah perusahaan yang
bergerak di bidang produsen contoh: produsen sepatu, memberikan sepatu
tanpa bayaran kepada relasi atau pembeli untuk keperluan promosi, atau
pemberian tanpa pembayaran yang bukan produksi sendiri dalam hal ini adalah
perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan contoh: perusahaan yang
bergerak dibidang perdagangan sepatu (menjual sepatu dan produsen),
memberikan sepatu tersebut tanpa bayaran kepada relasi atau pembeli untuk
keperluan promosi;

Bahwa Pemohon Banding adalah perusahaan bergerak di bidang pembiayaan,


bukan produsen ataupun bergerak dibidang perdagangan, sehingga atas
pemberian barang promosi ke konsumen bukan dikategorikan sebagai
pemberian cuma-cuma seperti yang diatur dalam Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai Nomor 18 Tahun 2000 Pasal 1A ayat (1) huruf d dan
penjelasannya;

Bahwa menurut Pemohon Banding pemberian barang promosi tersebut bukan


merupakan Objek Pajak Pertambahan Nilai;

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017
KESIMPULAN
Bahwa sesuai dengan penjelasan dan alasan yang Pemohon Banding uraikan di atas, maka
penghitungan Pajak Pertambahan Nilai untuk Masa Pajak November 2008 atas nama
Pemohon Banding menurut Pemohon Banding adalah sebagai berikut:

Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dengan ini Pemohon Banding memohon
kepada Majelis untuk mengabulkan permohonan banding yang Pemohon Banding ajukan
dan membatalkan Surat Ketetapan Pajak yang telah diterbitkan oleh Terbanding. Untuk itu
bersama surat ini Pemohon Banding lampirkan Keputusan Terbanding Nomor: KEP-
1629/WPJ.19/2012 tertanggal 27 Desember 2012 dan salinan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Nomor: 00011/207/08/091/12 tertanggal 20 Januari 2012;

Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-50580/PP/M.IIIB/16/2014,
Tanggal 20 Februari 2014 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai
berikut:

Menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding terhadap
Keputusan Terbanding Nomor: KEP-1629/WPJ.19/2012 tanggal 27 Desember 2012, tentang
Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
Masa Pajak November 2008 Nomor: 00011/207/08/091/12 tanggal 20 Januari 2012, atas
nama: PT Wahana Ottomitra Multiartha Tbk, NPWP: 01.311.910.2-091.000, beralamat di:
Mega Glodok Kemayoran Office Tower B LT. 2, Jl. Angkasa, Kav. B-6, Jakarta 10610, sehingga
perhitungan Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak November 2008 menjadi sebagai berikut:

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017
KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI

Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu
Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-50580/PP/M.IIIB/16/2014, Tanggal 20 Februari 2014 ,
diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada Tanggal 14 Maret 2014, kemudian
terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya berdasarkan
Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-1409/PJ./2014, tanggal 28 Mei 2014 , diajukan permohonan
peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada Tanggal 9 Juni
2014, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak
tersebut pada Tanggal 9 Juni 2014;

Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan
kepada pihak lawan dengan saksama pada Tanggal 11 Maret 2016, kemudian terhadapnya
oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak
tersebut pada Tanggal 24 Maret 2016;

Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasanya telah
diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan
dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan
kembali tersebut secara formal dapat diterima;

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI

Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan Peninjauan


Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:

I. Tentang Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017
Bahwa putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.50580/PP/M.IIIB/16/2014 tanggal 20
Februari 2014 telah dibuat dengan tidak memperhatikan ketentuan yuridis formal atau
mengabaikan fakta yang menjadi dasar pertimbangan dalam koreksi yang dilakukan
Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding), sehingga menghasilkan putusan
yang tidak adil dan tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku di
Indonesia. Oleh karenanya Putusan Pengadilan Pajak Nomor:
PUT.50580/PP/M.IIIB/16/2014 tanggal 20 Pebruari 2014 diajukan Peninjauan Kembali
berdasarkan ketentuan Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak:

“Permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan berdasarkan alasan sebagai berikut:

e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;”

II. Tentang Formal Jangka Waktu Pengajuan Memori Peninjauan Kembali

1. Bahwa Salinan Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.50580/PP/M.IIIB/16/2014


tanggal 20 Februari 2014, atas nama PT. Wahana Ottomitra Multiartha, Tbk.
(Termohon Peninjauan Kembali/semula Pemohon Banding), telah diberitahukan
secara patut dan dikirimkan oleh Pengadilan Pajak kepada Pemohon Peninjauan
Kembali (semula Terbanding) tanggal 10 Maret 2014 dengan cara disampaikan
secara langsung kepada Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding)
pada tanggal 18 Maret 2014 sesuai Tanda Terima Surat TPST Direktorat Jenderal
Pajak Nomor Dokumen 201403180506.

2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 91 huruf e dan Pasal 92 ayat (3) juncto
Pasal 1 angka 11 UU Pengadilan Pajak, maka pengajuan Memori Peninjauan
Kembali atas Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.50580/PP/M.IIIB/16/2014
tanggal 20 Februari 2014 ini ini masih dalam tenggang waktu yang diijinkan oleh
UU Pengadilan Pajak atau setidak-tidaknya antara tenggang waktu
pengiriman/pemberitahuan Putusan Pengadilan Pajak tersebut dengan
Permohonan Peninjauan Kembali ini belum lewat waktu sebagaimana telah
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu,
sudah sepatutnyalah Memori Peninjauan Kembali ini diterima oleh Mahkamah
Agung Republik Indonesia.

III. Tentang Pokok Sengketa Pengajuan Peninjauan Kembali

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017
Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam permohonan Peninjauan Kembali ini
adalah sebagai berikut:

1. Koreksi Dasar Pengenaan Pajak Pajak Pertambahan Nilai atas diskon asuransi
sebesar Rp12.119.477.972,00 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim
Pengadilan Pajak.

2. Koreksi atas Dasar Pengenaan Pajak Pajak Pertambahan Nilai atas Pemberian
Hadiah/Barang Promosi sebesar Rp77.113.276,00 yang tidak dipertahankan oleh
Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

IV. Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali

1. Bahwa ketentuan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum


pengajukan Peninjauan Kembali dalam perkara banding ini, adalah sebagai
berikut:

A. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak


(selanjutnya disebut dengan UU Pengadilan Pajak), yang antara lain
menyebutkan:

Pasal 69 ayat (1):
Alat bukti dapat berupa:

a. surat atau tulisan;

b. keterangan ahli;

c. keterangan para saksi;

d. pengakuan para pihak; dan/atau

e. pengetahuan Hakim

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017
Pasal 76:
Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta
penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling
sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1).

Memori penjelasan Pasal 76:
Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil,
sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-undang perpajakan. Oleh
karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus dibuktikan,
beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan sahnya bukti
dari fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak terbatas pada fakta dan
hal-hal yang diajukan oleh para pihak.

Pasal 78:
Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian,
dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan hakim.

Memori penjelasan Pasal 78:
Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pasal 84 ayat (1):
“Putusan Pengadilan Pajak harus memuat:

f. pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang
terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;”

B. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai


Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18
tahun 2000 (selanjutnya disebut dengan UU PPN), yang antara lain
mengatur sebagai berikut:

Pasal 1 angka 1:
“Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah
darat, perairan, dan ruang udara di atasnya serta tempat-tempat tertentu di
Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang di dalamnya berlaku
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan”.
Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id
https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017

Pasal 1 angka 2:
Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat
berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak
berwujud.

Pasal 1 angka 3:
Barang Kena Pajak adalah barang sebagaimana dimaksud dalam angka 2
yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 1 angka 5:
“Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau
perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau
kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan
untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan
bahan dan atas petunjuk dari pemesan”.

Pasal 1 angka 6:
“Jasa Kena Pajak adalah jasa sebagaimana dimaksud dalam angka 5 yang
dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang ini”.

Pasal 1 angka 7:
Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena
Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 6;

Pasal 1A ayat (1) huruf d:
Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah
pemakaian sendiri atau pemberian Cuma-Cuma atas Barang Kena Pajak.

Penjelasan Pasal 1A ayat (1) huruf d:
Pemakaian sendiri diartikan pemakaian untuk kepentingan pengusaha
sendiri, pengurus, atau karyawannya, baik barang produksi sendiri maupun
bukan produksi sendiri. Sedangkan pemberian Cuma-cuma diartikan
sebagai pemberian yang diberikan tanpa pembayaran baik barang produksi
sendiri maupun bukan produksi sendiri, antara lain pemberian contoh
barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.

Pasal 3A ayat (1):
Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017
Pasal 4 huruf a, huruf c, atau huruf f, wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dan wajib memungut,
menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah yang terutang.

Pasal 4 huruf a:
“Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak di
dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.

Memori Penjelasan Pasal 4 huruf a:
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak
meliputi baik Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun Pengusaha
yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak tetapi belum
dikukuhkan. Penyerahan barang yang dikenakan pajak harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:

a. barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak,

b. barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena


Pajak tidak berwujud,

c. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean, dan

d. penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau


pekerjaannya.

Pasal 4 huruf c:
“Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di
dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha”.

Memori penjelasan Pasal 4 huruf c:
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak meliputi
baik Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun Pengusaha yang
seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi belum
dikukuhkan. Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:

a. jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak,

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017
b. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean, dan

c. penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya;

Pasal 4A ayat (1):


“Jenis barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 dan jenis jasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 yang tidak dikenakan pajak
berdasarkan Undang-undang ini ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”.

Pasal 4A ayat (2):
Penetapan jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas kelompok-kelompok
barang sebagai berikut:

a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil


langsung dari sumbernya;

b. barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat


banyak;

c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah


makan, warung, dan sejenisnya;

d. uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.

Pasal 4A ayat (3):


Penetapan jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas kelompok-kelompok
jasa sebagai berikut:

a. jasa di bidang pelayanan kesehatan medik;

b. jasa di bidang pelayanan sosial;

c. jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko;

d. jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan


hak opsi;

e. jasa di bidang keagamaan;

f. jasa di bidang pendidikan;

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017
g. jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak
tontonan;

h. jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan;

i. jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air;

j. jasa di bidang tenaga kerja;

k. jasa di bidang perhotelan;

l. jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan


pemerintahan secara umum;

C. Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan
Jasa Yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, yang antara lain
mengatur sebagai berikut:

Pasal 1:
Kelompok barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah:

a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran, yang diambil


langsung dari sumbernya;

b. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat


banyak;

c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah


makan, warung, dan sejenisnya; dan

d. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.

Pasal 5:
Kelompok jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah:

a. jasa di bidang pelayanan kesehatan medik;

b. jasa di bidang pelayanan sosial;

c. jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko;

d. jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan


hak opsi;

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017
e. jasa di bidang keagamaan;

f. jasa di bidang pendidikan;

g. jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak


tontonan;

h. jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan;

i. jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air;

j. jasa di bidang tenaga kerja;

k. jasa di bidang perhotelan;

l. jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan


pemerintahan secara umum;

Pasal 8 huruf b:
Jenis jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak
opsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d meliputi jasa asuransi,
tidak termasuk broker asuransi;

D. Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan


Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1993 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2000, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2002, yang antara lain mengatur sebagai berikut:

Pasal 13 ayat (4):
“Terutangnya Pajak atas penyerahan Jasa Kena Pajak, terjadi pada saat
mulai terjadinya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik
sebagian atau seluruhnya”.

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017
E. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-87/PJ/2002 tentang
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah atas Pemakaian Sendiri dan atau Pemberian Cuma-Cuma Barang
Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, antara lain mengatur: Pasal 1 angka 3:
Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:
Pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak adalah pemberian yang
diberikan tanpa imbalan pembayaran baik barang produksi sendiri maupun
bukan produksi sendiri, termasuk pemberian contoh barang untuk promosi
kepada relasi atau pembeli.

2. Tentang Koreksi Dasar Pengenaan Pajak Pajak Pertambahan Nilai atas diskon
asuransi sebesar Rp12.119.477.972,00 yang tidak dipertahankan oleh Majelis
Hakim Pengadilan Pajak.

A. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sangat


keberatan dengan pertimbangan hukum, pendapat maupun kesimpulan
Majelis Hakim Pengadilan Pajak sebagaimana tertuang pada putusan a quo ,
yang antara lain berbunyi sebagai berikut:

Halaman 27 alinea ke-11 dan ke-12:
“bahwa substansi sengketa a quo adalah sengketa yuridis tentang
pengertian jasa dalam kaitannya dengan proses bisnis Pemohon Banding;
bahwa penghasilan atas diskon yang diberikan oleh pihak asuransi kepada
Pemohon Banding adalah tidak dalam ruang Iingkup kegiatan usahanya.

Halaman 28 alinea ke-1 dan ke-5:
bahwa penutupan asuransi dilakukan oleh Pemohon Banding, dan untuk
kepentingan Pemohon Banding, dalam rangka melindungi gagal bayar oleh
konsumen. Dengan demikian Majelis berpendapat bahwa penghasilan atas
diskon a quo bukan dalam rangka kegiatan jasa yang harus dikenakan
Pajak Pertambahan Nilai;

bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas selanjutnya Majelis
berkesimpulan bahwa Terbanding tidak cukup bukti untuk melakukan
koreksi terhadap Pemohon Banding, sehingga koreksi Terbanding atas
Dasar Pengenaan Pajak Pajak Pertambahan Nilai berupa diskon asuransi
sebesar Rp12.119.477.972,00 tidak dapat dipertahankan;

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017
B. Bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah koreksi DPP PPN sebesar
Rp12.119.477.972,00 yakni pendapatan lain-lain berupa “Diskon Asuransi”
yang diberikan perusahaan asuransi sehubungan dengan penutupan
asuransi yang dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula
Pemohon Banding) (telah dilaporkan sebagai peredaran usaha di SPT PPh
Badan tahun 2008), namun belum dilaporkan dalam SPT Masa PPN.

C. Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) telah


melakukan kegiatan jasa dan berdasarkan Pasal 1 angka 5, 6, 7 serta Pasal
4 huruf c UU PPN atas Jasa dimaksud merupakan Objek dan terutang PPN.

D. Bahwa faktanya Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)


telah mengadakan kontrak kerja sama dengan PT. Asuransi Jaya Proteksi
dan PT. Asuransi Sinar Mas untuk menjual asuransi kerugian khusus
kendaraan bermotor.

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017
E. Bahwa isi Perjanjian Kerjasama Penutupan Asuransi Kendaraan Bermotor
antara Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dengan
PT. Asuransi Jaya Proteksi tanggal 1 Juni 2005 antara lain menyatakan:

PIHAK PERTAMA
PT Wahana Ottomitra Multiartha Tbk, dalam hal ini diwakili oleh Bellynawaty
dan Irwan Suryadi, masing-masing bertindak selaku dan dalam jabatannya
sebagai Direktur dan Direktur dari dan karenanya bertindak untuk dan atas
nama PT Wahana Ottomitra Multiartha Tbk;

PIHAK KEDUA
PT Asuransi Jaya Proteksi dalam hal ini diwakili oleh Sujaya Dinata Pangestu
dan Sandi Wijaya, masing-masing bertindak selaku dan dalam jabatannya
sebagai Presiden Direktur dan Direktur dari dan karenanya bertindak untuk
dan atas nama PT Asuransi Jaya Proteksi;

Para pihak terlebih dahulu menerangkan sebagai berikut, antara lain:

PIHAK KEDUA adalah perseroan terbatas yang bergerak di bidang jasa


asuransi kerugian yang berminat menggunakan jasa PIHAK PERTAMA untuk
menjual produk asuransi kerugian kepada Nasabah PIHAK PERTAMA;

Pasal I Maksud dan Tujuan

I.1. Maksud dan Tujuan kerjasama ini adalah memberikan kemudahan


bagi calon konsumen PIHAK PERTAMA memperoleh jaminan
Asuransi Kendaraan Bermotor dari PIHAK KEDUA melalui kantor-
kantor cabang PIHAK PERTAMA;

Pasal II Batasan Pertanggungan

II.1. Tertanggung adalah konsumen dari PIHAK PERTAMA yang


kepemilikan kendaraan bermotornya dibiayai oleh PIHAK PERTAMA.

F. Bahwa dari isi perjanjian tersebut di atas dapat diketahui dengan pasti
bahwa:

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017
a. pengertian jasa dalam kaitannya dengan proses bisnis Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) adalah bahwa
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)
memberikan jasa menjual produk asuransi kerugian kepada Nasabah
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding).

b. pihak yang mengasuransikan (Tertanggung) adalah konsumen dari


Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding).

G. Bahwa sebagai perusahaan pembiayaan, Termohon Peninjauan Kembali


(semula Pemohon Banding) tidak akan melakukan pembelian suatu barang
melainkan karena permintaan pihak ketiga (kedudukan Termohon
Peninjauan Kembali /semula Pemohon Banding) sebagai perantara).

H. Bahwa pada prakteknya, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon


Banding) melakukan pemungutan terlebih dahulu premi asuransi dari
nasabah/customer. Selanjutnya, Termohon Peninjauan Kembali (semula
Pemohon Banding) menunggu tagihan premi dari perusahaan asuransi,
dimana pada tagihan tersebut dicantumkan besarnya diskon yang diterima
oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), sehingga
jumlah yang harus dibayar oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula
Pemohon Banding) lebih kecil dibandingkan dengan dipungut dari
nasabah. Atas diskon tersebut tidak dikembalikan kepada nasabah, tetapi
diakui sebagai penghasilan Termohon Peninjauan Kembali (semula
Pemohon Banding).

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017
I. Bahwa dengan demikian “diskon asuransi” yang diberikan oleh Perusahaan
asuransi sewajarnya diberikan kepada Tertanggung/nasabah akan tetapi
pada kenyataannya yang menerima diskon asuransi tersebut adalah
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding). Sehingga atas
kasus sengketa ini dapat dikatakan bahwa atas “diskon asuransi” tersebut,
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) memberikan
jasa kepada perusahaan asuransi untuk menunjuk nasabahnya agar
melakukan penutupan asuransi kepada perusahaan asuransi rekanan yang
ditunjuk oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding),
dan sebagai imbalan atas penyerahan jasa tersebut, Termohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding) mendapatkan “diskon asuransi” dari
perusahaan asuransi rekanan sehingga atas penyerahan jasa tersebut
sudah seharusnya dikenakan PPN sesuai dengan ketentuan Pasal 4 huruf c
dan Pasal 4A ayat (3) Undang-Undang PPN yang telah jelas mengatur
pengenaan PPN atas penyerahan jasa kena pajak di dalam Daerah Pabean
dan jenis-jenis jasa yang tidak dikenakan PPN, dimana jasa perantara
asuransi tidak termasuk jasa yang tidak dikenakan PPN.

J. Bahwa dalam memori penjelasan Pasal 4 dan Pasal 1 angka 14 UU PPN


1984 yang secara eksplisit menggunakan kalimat “dalam kegiatan usaha
atau pekerjaan” tidak menguraikan lebih jauh tentang pengertian kriteria ini,
maka dilakukan penafsiran historis dengan cara menelusuri asal kriteria ini.

K. Bahwa dalam Pasal 1 huruf k UU PPN 1984 baik sebelum perubahan 1


Januari 2001 maupun sebelum perubahan 1 Januari 1995, menggunakan
kriteria “dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan”.

Pasal 4 setelah perubahan 1 Januari 1995 sampai dengan 31 Desember


2000 tidak menggunakan kriteria ini dalam batang tubuhnya melainkan
disebut dalam memori penjelasan yang menegaskan tentang syarat yang
harus dipenuhi agar suatu penyerahan barang atau jasa dapat dikenakan
pajak (PPN) antara lain kegiatan itu dilakukan dalam “lingkungan
perusahaan atau pekerjaan” pengusaha yang bersangkutan. Tetapi tidak
diuraikan lebih lanjut pengertian kriteria ini.

L. Bahwa apabila penelusuran dilanjutkan pada Pasal 4 sebelum perubahan 1


Januari 1995, kriteria “dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan”
tersurat dalam batang tubuhnya, yang kemudian pengertiannya
dicantumkan dalam memori penjelasannya.

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017
M. Bahwa karena kriteria “dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan” oleh
UU Nomor 18 Tahun 2000 diubah menjadi “dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan” tanpa memberikan argumentasi yang lugas, maka makna yang
tercantum dalam memori penjelasan Pasal 4 UU PPN 1984 sebelum
perubahan 1 Januari 1995 dapat digunakan.

N. Bahwa dalam memori penjelasan ini ditegaskan bahwa yang dimaksud


dengan penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau
pekerjaannya sebagai Pengusaha Kena Pajak adalah dalam rangka
kegiatannya sehari-hari sebagai Pengusaha Kena Pajak.

O. Bahwa dari penafsiran secara historis tersebut dapat dipahami bahwa


kriteria “dalam kegiatan usaha atau pekerjaan” mengandung pengertian
“kegiatan sehari-hari Pengusaha Kena Pajak. (Untung Sukardji, 2009, Pajak
Pertambahan Nilai, Cetakan kesembilan, penerbit Rajawali Pers, Jakarta, hal
125-126).

P. Bahwa jasa yang menjadi pokok sengketa adalah kegiatan yang diberikan
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) kepada pihak
perusahaan asuransi dalam rangka mendapatkan klien asuransi dengan
gambaran sebagai berikut:

(i) bahwa produk asuransi (proteksi) kerugian kendaraan bermotor yang


dijual dipaketkan ke dalam produk pembiayaan.

(ii) Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)


mensyaratkan bagi setiap calon pembeli sepeda motor yang
menggunakan jasa pembiayaan Termohon Peninjauan Kembali
(semula Pemohon Banding), diharuskan memenuhi syarat-syarat
antara lain membayar premi asuransi sepeda motor selama masa
pembiayaan.

Bahwa besarnya premi asuransi yang dibayarkan oleh


nasabah/customer ditentukan oleh Termohon Peninjauan Kembali
(semula Pemohon Banding) tanpa menunggu tagihan dari
perusahaan asuransi;

(iii) Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)


selanjutnya mengajukan SPPA (Surat Permintaan Penutupan
Asuransi) kepada Perusahaan Asuransi Rekanan sesuai Perjanjian
Kerjasama Penutupan Asuransi Kendaraan Bermotor;

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017
(iv) Perusahaan Asuransi Rekanan, dalam jangka waktu selambat-
lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya SPPA, akan
menerbitkan/menyerahkan nota tagihan/nota debit kepada
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) yang
berisi jumlah premi yang seharusnya dibayar dan jumlah diskon yang
diterima Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding);

(v) Bahwa atas Selisih premi yang diterima dari nasabah/customer


dengan premi yang dibayarkan Termohon Peninjauan Kembali
(semula Pemohon Banding) kepada Perusahaan Asuransi Rekanan,
diakui sebagai penghasilan Termohon Peninjauan Kembali (semula
Pemohon Banding) dan tidak dikembalikan kepada
nasabah/customer;

Q. Bahwa kegiatan penyaluran penutupan asuransi yang dilakukan Termohon


Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dengan imbalan berupa
spread/potongan asuransi yang dilakukan Termohon Peninjauan Kembali
(semula Pemohon Banding), dilakukan di dalam ruang lingkup kegiatan
perusahaan, yaitu sebagai perusahaan pembiayaan konsumen. Dengan
demikian, memenuhi ketentuan sebagai penyerahan jasa yang terutang
Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 4
huruf c UU PPN;

R. Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, putusan Majelis yang tidak


mempertahankan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula
Terbanding) atas Dasar Pengenaan Pajak Pajak Pertambahan Nilai berupa
diskon asuransi sebesar Rp12.119.477.972,00 bertentangan dengan fakta
yang terungkap dalam persidangan, serta peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku, sehingga putusan Majelis tersebut melanggar
ketentuan dalam Pasal 76 dan Pasal 78 UU Pengadilan Pajak.

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017
S. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi) tersebut di
atas secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan nyata-nyata
bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara a quo tidak
berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, sehingga pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim pada
pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak nyata-nyata telah salah
dan keliru serta tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku (contra legem), khususnya dalam bidang
perpajakan. Oleh karena itu, Putusan Pengadilan Pajak Nomor:
PUT.50580/PP/M.IIIB/16/2014 tanggal 20 Februari 2014 tersebut harus
dibatalkan.

3. Tentang Koreksi atas Dasar Pengenaan Pajak Pajak Pertambahan Nilai atas
Pemberian Hadiah/Barang Promosi sebesar Rp77.113.276,00 yang tidak
dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017
A. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sangat
keberatan dengan pertimbangan hukum, pendapat maupun kesimpulan
Majelis Hakim Pengadilan Pajak sebagaimana tertuang pada halaman 30
dan 31 putusan a quo , yang antara lain berbunyi sebagai berikut:

Bahwa hadiah atau pemberian Cuma-cuma yang diberikan oleh Pemohon


Banding kepada konsumen adalah bukan merupakan hasil produk sendiri
yang harus dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, seperti yang diatur dalam
Pasal 1A ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2000 dan penjelasannya;

Bahwa barang yang diberikan oleh Pemohon Banding adalah merupakan


barang pada saat dibeli oleh Pemohon Banding telah dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai, dimana Pemohon Banding bertindak sebagai konsumen
akhir;

Bahwa sesuai dengan sifatnya, Pajak Pertambahan Nilai juga merupakan


pajak tidak langsung, artinya bebannya dapat dilimpahkan kepada pihak
lain, dalam hal ini Pemohon Banding selaku konsumen akhir yang
menanggung beban pada saat pembelian barang hadiah a quo , sementara
yang menikmatinya adalah konsumen Pemohon Banding yang menerima
hadiah a quo ;

bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas selanjutnya Majelis


berkesimpulan bahwa Terbanding tidak cukup bukti untuk melakukan
koreksi terhadap Pemohon Banding, sehingga koreksi Terbanding atas
Dasar Pengenaan Pajak Pajak Pertambahan Nilai berupa pemberian
hadiah/barang promosi sebesar Rp77.113.276,00 tidak dapat
dipertahankan;

B. Bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah koreksi atas Dasar Pengenaan
Pajak Pajak Pertambahan Nilai atas Pemberian Hadiah/Barang Promosi
sebesar Rp77.113.276,00 atas penyerahan barang kena pajak berupa
pemberian hadiah berupa: tas, jaket, T-shirt, jas hujan, dan barang promosi
lainnya.

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017
C. Bahwa pemberian hadiah berupa: tas, jaket, T-shirt, jas hujan, dan barang
promosi lainnya kepada nasabah yang mengadakan kontrak pembiayaan
dengan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)
maupun kegiatan sponsorship dalam rangka promosi penjualan kegiatan
usaha pembiayaan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding) merupakan penyerahan barang kena pajak sebagaimana
dimaksud Pasal 1A ayat (1) huruf d UU PPN.

D. Bahwa menurut Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon


Banding), pemberian Cuma-Cuma yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
adalah merupakan hasil produksi sendiri (pabrikan) atau barang tersebut
merupakan contoh barang promosi yang akan dijual kepada relasi atau
pembeli dalam hal ini adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang
perdagangan, hal ini ditegaskan dalam UU PPN Nomor 18 Tahun 2000 Pasal
1A ayat (1) huruf d. Pemberian hadiah tersebut tidak ada hubungannya
dengan kegiatan usaha Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding), sehingga dengan sendirinya pemberian hadiah tersebut bukan
merupakan Objek Pajak Pertambahan Nilai.

E. Bahwa amar pertimbangan Majelis yang menyatakan:


“bahwa hadiah atau pemberian cuma-cuma yang diberikan oleh Pemohon
Banding kepada konsumen adalah bukan merupakan hasil produk sendiri
yang harus dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, seperti yang diatur dalam
Pasal 1A ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2000 dan penjelasannya;

(vide PUT.50580/PP/M.IIIB/16/2014 tanggal 20 Februari 2014 halaman 30


alinea ke-7).

Bahwa atas amar pertimbangan Majelis tersebut, Pemohon Peninjauan


Kembali (semula Terbanding) berpendapat sebagai berikut:

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017
(i) Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2000 (selanjutnya disebut UU PPN),
menyebutkan sebagai berikut:

Pasal 1A ayat (1) huruf d:
Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak
adalah pemakaian sendiri atau pemberian Cuma-Cuma atas
Barang Kena Pajak.

Penjelasan Pasal 1A ayat (1) huruf d:
Pemakaian sendiri diartikan pemakaian untuk kepentingan
pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawannya, baik barang
produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri. Sedangkan
pemberian Cuma-cma diartikan sebagai pemberian yang diberikan
tanpa pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan
produksi sendiri, antara lain pemberian contoh barang untuk
promosi kepada relasi atau pembeli.

(ii) Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, pertimbangan Majelis


jelas sangat bertentangan dengan Penjelasan Pasal 1A ayat (1)
huruf d UU PPN yang menyatakan “….. Sedangkan pemberian
Cuma-Cuma diartikan sebagai pemberian yang diberikan tanpa
pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi
sendiri, antara lain pemberian contoh barang untuk promosi
kepada relasi atau pembeli”.

(iii) Bahwa berdasarkan data dan dokumen yang ada, pemberian


hadiah dilakukan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding) kepada nasabah yang mengadakan kontrak pembiayaan
dengan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding) maupun dalam kegiatan sponsorship dalam rangka
promosi penjualan kegiatan usaha pembiayaan Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), sehingga jelas
sekali bahwa kegiatan tersebut berhubungan langsung dengan
kegiatan usaha Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding).

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017

F. Bahwa amar pertimbangan Majelis menyatakan:

“bahwa barang yang diberikan oleh Pemohon Banding adalah merupakan


barang pada saat dibeli oleh Pemohon Banding telah dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai, dimana Pemohon Banding bertindak sebagai konsumen
akhir;

Bahwa sesuai dengan sifatnya, Pajak Pertambahan Nilai juga merupakan


pajak tidak langsung, artinya bebannya dapat dilimpahkan kepada pihak
lain, dalam hal ini Pemohon Banding selaku konsumen akhir yang
menanggung beban pada saat pembelian barang hadiah a quo , sementara
yang menikmatinya adalah konsumen Pemohon Banding yang menerima
hadiah a quo ”.

(vide PUT.50580/PP/M.IIIB/16/2014 tanggal 20 Februari 2014 halaman 31


alinea ke-8 dan ke-9).

Bahwa atas amar pertimbangan Majelis tersebut, Pemohon Peninjauan


Kembali (semula Terbanding) berpendapat sebagai berikut:

(i) Bahwa dalam proses pengambilan keputusan di pengadilan pajak,


terdapat beberapa ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2002 tentang Pengadilan Pajak yang perlu diperhatikan oleh
Majelis Hakim.

Pasal 69 ayat (1):
Alat bukti dapat berupa:

a. surat atau tulisan;

b. keterangan ahli;

c. keterangan para saksi;

d. pengakuan para pihak, dan/atau

e. pengetahuan Hakim.

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017
Pasal 76:
“Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban
pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya
pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1).”

Pasal 78:
“Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian
pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan
Hakim.”

Pasal 84 ayat (1):
“Putusan Pengadilan Pajak harus memuat:

f. pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan


hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu
diperiksa;”

(ii) Bahwa beberapa ketentuan tersebut di atas mengamanatkan


kepada Majelis Hakim Pengadilan Pajak untuk menentukan beban
pembuktian, melakukan penilaian pembuktian dan penerapan
peraturan perundang-undangan perpajakan terhadap sengketa
yang terjadi dalam persidangan sebelum mengambil putusan.

(iii) Bahwa dalam amar pertimbangannya Majelis Hakim hanya


menyatakan: “bahwa barang yang diberikan oleh Pemohon
Banding adalah merupakan barang pada saat dibeli oleh Pemohon
Banding telah dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, dimana
Pemohon Banding bertindak sebagai konsumen akhir”, namun
tidak diuraikan apa yang menjadi dasar penilaian pembuktian oleh
Majelis Hakim.

(iv) Bahwa faktanya pula, tidak ada satupun amar pertimbangan Majelis
Hakim yang menguji dan membahas mengenai apakah barang
yang diberikan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula
Pemohon Banding) adalah merupakan barang pada saat dibeli
oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)
telah dikenakan Pajak Pertambahan Nilai;

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017
(vi) Dengan demikian, Pemohon Peninjauan Kembali (semula
Terbanding) berpendapat bahwa Majelis Hakim tidak menilai bukti-
bukti secara menyeluruh dan Majelis Hakim tidak menilai
kebenaran bukti-bukti secara objektif sehingga putusan yang
diambil menjadi kurang tepat. Dengan demikian, ketentuan Pasal
76, 78, dan Pasal 84 ayat 1 huruf f UU Pengadilan Pajak tidak
sepenuhnya dilaksanakan Majelis Hakim.

G. Berdasarkan uraian di atas, putusan Majelis yang tidak mempertahankan


koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) atas Dasar
Pengenaan Pajak Pajak Pertambahan Nilai berupa Pemberian
Hadiah/Barang Promosi sebesar Rp77.113.276,00 bertentangan dengan
fakta yang terungkap dalam persidangan, serta peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku.

H. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi) tersebut di


atas secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan nyata-nyata
bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara a quo tidak
berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, sehingga pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim pada
pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak nyata-nyata telah salah
dan keliru serta tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku (contra legem), khususnya dalam bidang
perpajakan. Oleh karena itu, Putusan Pengadilan Pajak Nomor:
PUT.50580/PP/M.IIIB/16/2014 tanggal 20 Februari 2014 tersebut harus
dibatalkan.

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017
V. Bahwa dengan demikian, putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor
PUT.50580/PP/M.IIIB/16/2014 tanggal 20 Februari 2014 yang menyatakan:

Menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding


terhadap Keputusan Terbanding Nomor: KEP-1629/WPJ.19/2012 tanggal 27 Desember
2012, tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak November 2008 Nomor: 00011/207/08/091/12
tanggal 20 Januari 2012, atas nama: PT Wahana Ottomitra Multiartha Tbk, NPWP:
01.311.910.2-091.000, beralamat di: Mega Glodok Kemayoran Office Tower B LT. 2, Jl.
Angkasa, Kav. B-6, Jakarta 10610, sehingga perhitungan Pajak Pertambahan Nilai Masa
Pajak November 2008 menjadi sebagaimana tersebut di atas, adalah tidak benar dan
nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku.

PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung


berpendapat:

Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan,
karena putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan seluruhnya Permohonan Banding
Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor: KEP-1629/WPJ.19/2012 tanggal
27 Desember 2012 mengenai keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak November 2008 Nomor:
00011/207/08/091/12 tanggal 20 Januari 2012 atas nama Pemohon Banding, NPWP:
01.311.910.2-091.000, sehingga pajak yang masih harus dibayar menjadi nihil adalah sudah
tepat dan benar dengan pertimbangan:

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017
a. Bahwa alasan-alasan permohonan Peninjauan Kembali dalam perkara a quo yaitu
Koreksi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN berupa Diskon Asuransi sebesar
Rp12.119.477.972,00 dan Koreksi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN berupa
Pemberian Hadiah/Barang Promosi sebesar Rp77.113.276,00 yang tidak dapat
dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak dapat dibenarkan, karena
setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan dalam Memori Peninjauan
Kembali oleh Pemohon Peninjauan Kembali dihubungkan dengan Kontra Memori
Peninjauan Kembali tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-
bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis
Pengadilan Pajak, karena dalam perkara a quo pemberian secara cuma-cuma yang
dibeli dari Pemohon Banding sekarang Termohon Peninjauan Kembali bukan
merupakan produk sendiri namun merupakan pembelian yang sudah dibayar Pajak
Pertambahan Nilainya yang juga bertindak sebagai konsumen akhir dan oleh karenanya
koreksi Terbanding (sekarang Pemohon Peninjauan Kembali) mengenai perkara a quo
tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 1A ayat (1) huruf d
UU PPN.

b. Bahwa dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana
diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka


permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali:
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak;

Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka Pemohon
Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya dihukum untuk
membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali;

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan
perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor
14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan yang terkait.

MENGADILI

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR
JENDERAL PAJAK tersebut;

Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan
Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Senin,
tanggal 17 April 2017, oleh Dr. H. Yulius, S.H., M.H., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua
Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S. dan Dr. Irfan
Fachruddin, S.H., CN., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota
Majelis tersebut dan dibantu oleh Dewi Eliza Kusumaningrum, S.H., M.H., Panitera Pengganti
dengan tidak dihadiri oleh para pihak.

Anggota Majelis: Ketua Majelis:


ttd. ttd.
Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S. Dr. H. Yulius, S.H., M.H.
ttd.
Dr. Irfan Fachruddin, S.H., CN.

Panitera Pengganti:
ttd.
Dewi Eliza Kusumaningrum, S.H., M.H.

Dokumen ini dipublikasikan ulang oleh www.perpajakan.id


https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/337bpkpjk2017

Anda mungkin juga menyukai