Anda di halaman 1dari 4

ANALISIS UJARAN KEBENCIAN STUDI PUTUSAN NO.370/PID.SUS/2018/PN.

JKT-SEL

Putusan No.370/Pid.Sus/2018/PN. Jkt-Sel, merupakan kasus yang berawal dari Tulisan Dhani
Ahmad Prasetyo alias Ahmad Dhani yang diperkarakan merupakan tulisan yang ia unggah di
akun sosial media (twitter) pada tanggal 6 Maret 2017 yang bertuliskan, "Siapa saja yang
mendukung Penista Agama adalah Bajingan yang perlu di ludahi muka nya, ". unggahan
lainnya pada tanggal 7 Februari 2017 yang bertulisakan, "Yg menistakan Agama si Ahok ...
Yang diadili KH Ma'ruf Amin ..." dan 7 Maret 2017 yang bertuliskan, "Sila pertama
Ketuhanan YME, Penista Agama jadi Gubernur ... Kalian waras”. Melihat kedua tulisan
tersebut, Dhani ahmad di tuntut oleh kejaksaan dalam kasus ujaran kebencian yaitu, menyatakan
Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana ujaran kebencian sebagaimana diatur dalam Pasal
45A ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) UU RI No.19 Tahun 2016 tentang perubahan UU No.11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 ayat (1) ke-I KUHP, yang
bertuliskan: "Siapa saja dengan sengaja dan tanpa hak, menyuruh lakukan, menyebarkan
informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau
kelompok masyarakat. Dhani Ahmad juga melakukan pembelaan melalui Penasihat Hukum
Terdakwa di mana pembelaan tersebut adalah bahwa tidak ada tindak pidana ujaran kebencian
dan permusuhan kepada individu dan/atau kelompok masyarakat berdasarkan SARA yang
dilakukan Terdakwa. Terdakwa tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana 41 Putusan
No.370/Pid.Sus/2018/PN. Jkt-Sel, h., 2-3. 29 berdasarkan dengan dakwaan Penuntut Umum
dalam Pasal 45A ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) UU RI No.19 Tahun 2016 tentang perubahan UU
No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 ayat (1) ke-I KUHP.
Penasihat Hukum menyatakan bahwa tulisan, "Siapa saja yg mendukung Penista
Agama adalah Bajingan yg perlu di ludahi mukanya" adalah penyataan pendapat di muka
umum yang dilindungi oleh UUD 45, bukan sebagai ujaran kebencian. Kalimat tersebut tidaklah
melanggar UU ITE pasal 28 yang melibatkan SARA (suku, agama, ras dan antar golongan).
Ujaran Kebencian Ahmad Dhani dalam Putusan Pengadilan Negeri Amar putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor 370/Pid.Sus/2018/PN. Jkt-Sel pada tanggal 24 Januari 2019
mengadili Terdakwa dengan menyatakan bahwa Terdakwa yang bernama Dhani Ahmad
Prasetyo alias Ahmad Dhani terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah telah melakukan
tindak pidana ujaran kebencian. Terdakwa melanggar pasal 45A ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) UU
RI No.19 Tahun 2016 tentang perubahan UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, "Dengan sengaja dan tanpa hak, menyuruh lakukan, menyebarkan
informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau
kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)".
Dalam memutus suatu perkara, hakim merujuk pada pertimbangan yuridis, yaitu
berdasarkan pada undang-undang yang berlaku. Pada tanggal 12 Februari 2019 Penasihat Hukum
Terdakwa mengajukan banding terhadap putusan Pengadilan Tingkat Pertama. Isi dari memori
banding tersebut adalah bahwa Pengadilan Tingkat Pertama telah salah dan keliru menerapkan
pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP، karena dalam dakwaan Terdakwa didakwa bersama-sama dengan
saksi Suryopratomo Bimo A T alias Bimo, akan tetapi sampai putusan perkara dibacakan saksi
belum pernah dijadikan tersangka maupun terdakwa. Pemohon Banding merasa keberatan atas
pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Pertama yang menjadikan Suryopratomo Bimo A T hanya
sebagai saksi murni yang dilepaskan pertanggungjawaban sebagaimana dalam ketentuan pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP, di mana subyek hukum yang menyebarkan informasi melalui media sosial
(akun twitter) adalah Saksi Suryopratomo Bimo A T alias Bimo dan subyek hukum yang
menyuruh melakukan penyebaran informasi adalah Terdakwa.
Dalam putusan Nomor 370/Pid.Sus/2018/PN. Jkt-Sel, hakim merujuk pada Pasal 45A
ayat (2) UU RI No.19 tahun 2016 tentang Perubahan UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik yang bertuliskan, "Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan
antargolongan (SARA) sebagaima dimaksud dalam pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah)". Pasal 28 ayat (2) menyatakan, "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan
antargolongan (SARA)". Kemudian Pasal 55 ayat (1) ke-I KUHP, "Dipidana sebagai pembuat
delik mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan
perbuatan". Adapun Pasal tersebut mengandung unsur-unsur, yaitu:
a) Setiap orang Setiap orang yang dimaksud adalah siapa saja, tidak melihat status, gender,
maupun usia.
b) Dengan sengaja dan tanpa hak Dengan sengaja yaitu melakukan perbuatan yang memang
sudah direncanakan dan memiliki maksud tertentu.
c) Menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama,
ras dan antargolongan (SARA).
d) Sebagai orang yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan
perbuatan (bersama-sama melakukan perbuatan).
Majelis Hakim Tingkat Pertama mempertimbangan pada ketentuan pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP mengenai Terdakwa, bahwasannya perbuatan Terdakwa termasuk perbuatan "menyuruh
melakukan" dan orang yang disuruh adalah saksi Suryopratomo Bimo A T alias Bimo. Selain itu
juga Saksi diketahui sebagai orang yang berkerja sebagai admin Terdakwa, terlepas ada paksaan
atau tidak Saksi menyebarkan informasi tersebut karena menjaga agar dirinya masih tetap
berkerja, namun pada kenyataannya Saksi hanyalah menjalankan perintah dan tidak dapat
dikategorikan sebagaimana ketentuan dalam pasal 54 ayat (1) ke-1 KUHP karena tidak perlu
adanya pertanggung jawaban atas diri saksi Suryopratomo Bimo A T alias Bimo. Saksi hanyalah
admin yang di mana sudah tugasnya untuk mengunggah setiap apa yang disuruh oleh Terdakwa,
oleh karena itu Saksi terbebas dari jeratan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sedangkan Terdakwa
dapat terjerat pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP karena telah menyuruh melakukan, oleh karena itu
tulisan yang diunggah menjadi tanggung jawab Terdakwa.
Majelis Hakim Tingkat Banding tidak sependapat dengan Majelis Hakim Tingkat
Pertama mengenai waktu lamanya sanksi pidana penjara yang diberikan kepada Terdakwa.
Dalam putusan No.58/Pid.Sus/2019/PT.DKI Majelis Hakim Tingkat Banding menimbang bahwa
perkara ini bukanlah suatu perkara pembalasan, melainkan Hakim dalam memberikan sanksi
pidana kepada Terdakwa menggunakan 2 Asas yaitu :
1. Asas keadilan yang digunakan hakim dapat dilihat dari berapa lama hakim menentukan
sanksi penjara yang diberikan kepada Terdakwa. Teori keadilan yang digunakan hakim
adalah teori keadilan vindikatif yang digagas oleh Aristoteles, teori ini menyebutkan
bahwa kejahatan harus setimpal dengan hukumanya.
2. Asas kepastian hukum yang digunakan hakim berdasarkan teori legalitas di mana
peraturan yang menjadi landasan dalam menentukan hukum. Kepastian hukum
menginginkan hukum harus dilaksankan dan ditegakkan secara tegas. Dalam perkara ini
udang-undang sudah mengatur berapa lama sanksi pidana penjara pelaku tindak ujaran
kebencian, berdasarkan pasal 45A ayat (2) menyebutkan paling lama pidana penjara
adalah enam tahun, dan hakim memberikan sanksi pidana satu tahun penjara.
Majelis Hakim Tingkat Pertama dalam putusan No. 370/Pid.Sus/2018/PN.Jkt-Sel
menimbang bahwa tulisan Terdakwa yang bertuliskan, "Siapa saja yg dukung Penista Agama
adalah Bajingan yg perlu diludahi mukanya" merupakan kalimat yang menunjukan ungkapan
menghina. Kalimat tersebut diunggah Terdakwa di salah satu akun media sosial yang di mana
setelah unggahan tersebut kemudian menghasilkan komentar pro maupun kontra, maka Majelis
Hakim menyimpulkan bahwa unggahan tersebut dapat memicu perpecahan yang berdampak
pada kelompok yang saling berbeda posisinya. Terlebih lagi Terdakwa pada saat itu berprofesi
sebagai seniman yang juga menjadi public figure yang dikenal banyak oleh masyarakat.
Pertimbangan sosiologis adalah pertimbangan mengenai kondisi masyarakat saat itu. Perkara ini
terjadi pada saat tahun politik, di mana orang yang dihina oleh Terdakwa adalah Ahok, yang
pada saat itu sedang mencalonkan diri sebagai Gurbenur DKI Jakarta. Pada tahun politik seperti
itu, banyak sekali masyarakat yang berkampanye untuk mensukseskan pilihan mereka, dan juga
adapula yang menjelek-jelekan pilihan lawan, semua itu bertujuan untuk mendapatkan perhatian
masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai