A. Konsep Kebudayaan
Kebudayaan, cultuur dalam Bahasa Belanda, dan culture dalam Bahasa Inggris, berasal
dari Bahasa Latin colore yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan
mengembangkan. Dari pengertian budaya dalam segi demikian berkembanglah arti culture
sebagal "segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam". Pengertian
budaya dan kebudayaan dapat dibedakan dengan mengartikan budaya sebagai daya dari budi.
yang berupa cipta, rasa dan karsa, sedangkan kebudayaan diartikan sebagai hasil dari cipta,
karsa, dan rasa tersebut.
Menurut buku Asas-asas Sosiologi, definisi mengenal cipta, karsa, dan rasa adalah
sebagai berikut: Cipta adalah kerinduan manusia untuk mengetahui rahasia segala hal yang ada
dalam pengalamannya, yang meliputi pengalaman lahir dan batin. Hasil cipta berupa berbagai
ilmu pengetahuan. Karsa adalah kerinduan manusia untuk menginsyafi tentang hal sangkan
paran. Dari mana manusia sebelum lahir (sangkan), dan ke mana manusia sesudah mati (paran).
Hasilnya berupa normakeagamaan/kepercayaan. Rasa adalah kerinduan manusia akan keindahan
sehingga menimbulkan dorongan untuk menikmati keindahan. Hasil dari perkembangan rasa
terjelma dalam bentuk berbagai norma keindahan yang kemudian menghasilkan berbagai macam
kesenian.
Kebudayaan yang berasal dari kata budh (Sansekerta) berarti hasil pemikiran atau akal
manusia. Ada pula yang menyebutkan kebudayaan berasal dari kata budi dan daya. Budi adalah
akal yang merupakan unsur rohani dalam kebudayaan dan daya berarti perbuatan atau ikhtiar
sebagai unsur jasmani Jadi kebuday berarti hasil dari akal dan ikhtiar manusia Kebudayaan
dalam Bahasa Inggris berasal dari kata culere yang berarti mengeka tanah. Dengan mengerjakan
tanah maka manusia mula d sebagai penghasil makanan (food producing) dan meninggikan
kehidupan yang hanya memungut hasil alam saja (food gathering Bajak merupakan salah satu
alat bukti bahwa manusia telah berbudaya.
Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia (sebagai makhluk sosial) yang
digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya, serta
menjadi landasan bagi tingkah lakunya. Kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu
masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan
pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan mela proses belajar dan dengan
menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak
(termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia.Dengan demikian kebudayaan
merupakan serangkaian aturas aturan, petunjuk petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strateg
yang terdiri atas serangkaian model kognitif yang dimiliki manusia dan digunakan secara selektif
dalam menghadapi lingkungan sebagaimana terwujud dalam tingkah laku dan tindakan-
tindakannya.
Kebudayaan dapat didefinisikan juga sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia
sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan
dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya Sebagai pengetahuan,
kebudayaan adalah suatu satuan ide yang ada dalam kepala manusia dan bukan suatu gejala
(yang terdiri atas kelakuan dan hasil kelakuan manusia). Sebagai satuan ide, kebudayaan terdiri
atas serangkaian nilai-nilai, norma-norma yang berisikan Larangan-larangan untuk melakukan
suatu tindakan dalam menghadapi satu lingkungan sosial, kebudayaan, dan alam, serta beria
serangkaian konsep-konsep dan model-model pengetahun mengenai berbagai tindakan dan
tingkah laku yang seharusnya diwujudkan oleh pendukungnya dalam menghadapi lingkungan
sosial, kebudayaan dan alam. Jadi nilai-nilai tersebut dalam penggunaannya adalah selektif
sesuai dengan lingkungan yang dihadapi pendukungnya.
Komponen- komponen ini merupakan bagian dari sistem kebudayaan yang tak
terpisahkan, dan bingkainya (boundary cultural system) adalah supranatural. Bagaimana manusia
mengkreasi semua ini (how to create) adalah berbeda antara kelompok yang satu dengan yang
lain. Sebagai contoh, masyarakat nelayan Pantai Utara Jawa berbeda dengan Pantai Selatan Jawa
dalam menciptakan perahu. Perahu masyarakat Pantai Utara dibangun dengan papan yang
disambung-sambung dan tanpa cadik (penyeimbang), sementara masyarakat nelayan Pantai
Selatan Jawa membuat perahu dari kayu gelondongan dengan memakai cadik.
Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan yang sama, yaitu untuk alat (tools) berlayar guna
menangkap ikan (baik masyarakat Pantai Utara maupun Selatan) untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya (needs), tetapi karena tantangan alam yang berbeda maka penciptaan teknologinya pun
berbeda. Demikian pula dalam aspek kehidupan yang lain.
b. Koentjaraningrat
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan pelajar.
c. Dr. K. Kupper
Kebudayaan merupakan sistem gagasan yang menjadi pedoman dan pengarah bagi
manusia dalam bersikap dan. berperilaku, baik secara individu maupun kelompok.
d. William H. Haviland
Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh
setiap anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh anggotanya akan melahirkan
perilaku yang dipandang layak dan dapat juga dikatakan bahwa kebudayaan adalah
semua perilaku dan semua produk yang dihasilkan oleh seseorang sebagai anggota suatu
masyarakat ditemukan melalui interaksi simbolis.
e. Bounded, et.al
Kebudayaan adalah sesuatu yang terbentuk oleh pengembangan dan transmisi dari
kepercayaan manusia melalui simbol-simbol tertentu, misalnya simbol bahasa sebagai
rangkaian simbol yang digunakan untuk mengalihkan keyakinan budaya di antara para
anggota suatu masyarakat. Pesan-pesan tentang kebudayaan yang diharapkan dapat
ditemukan dalam media, pemerintahan, intitusi agama, sistem pendidikan dan yang
semacamnya.
g. Robert H. Lowie
h. R. Soekmono, Arkeolog
Kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa benda ataupun buah
pikiran dalam penghidupan.
i. Malinowski
Kebudayaan adalah manifestasi atau penjelmaan kerja jiwa manusia dalam arti
seluas-luasnya.
Kebudayaan adalah manifestasi dari cara berpikir sehingga pola kebudayaan itu
sangat luas sebab semua laku dan perbuatan manusia tercakup di dalamnya dan dapat
diungkapkan pada basis dan cara berpikir, termasuk di dalamnya perasaan karena
perasaan juga merupakan maksud dari pikiran.
l. C.A. van Puersen
Dari berbagai definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah sistem
pengetahuan yang meliputi sistem ide gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia sehingga
dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan disempurnakan dalam
bahasa lisan dan akhirnya menjadi yang bahasa tulisan. Karena semuanya merupakan simbol
maka manusiapun disebut animal symbolic. Bahasa-bahasa maju memiliki kosa-kata yang
semakin banyak jumlahnya sehingga lebih komunikatif.
Kesenian Merupakan produk manusia sebagai homo esteticus. Setelah kebutuhan fisik
terpenuhi maka manusia kemudian berupaya memenuhi kebutuhan psikisnya, yang didapat
dengan menciptakan kesenian. Ini merupakan kebutuhan manusia terakhir secara budaya setelah
enam unsur budaya yang lain terpenuhi.
B. Wujud Kebudayaan
Secara umum wujud kebudayaan dibedakan menjadi dua, yaitu kebudayaan bendaniah
(material) dengan ciri-ciri dapat dilihat, diraba dan dirasa sehingga lebih konkret dan mudah
dipahami, dan kebudayaan rohaniah (spiritual) dengan ciri hanya dapat dirasa sehingga bersifat
abstrak dan lebih sulit dipahami.
Wujud pertama adalah wujud yang ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tak dapat
dilihat, tak dapat diraba. Lokasinya ada dalam alam pikiran warga masyarakat di mana
kebudayaan tersebut hidup. Kebudayaan ideal ini dapat disebut adat tata kelakuan, atau adat
istiadat dalam bentuk jamaknya. Wujud kedua dari kebudayaan yang sering disebut sistem sosial,
mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-
aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu dengan yang lain menurut
pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Wujud ketiga dari kebudayaan disebut
kebudayaan fisik, yang berupa seluruh total dari hasil fisik dan aktivitas, perbuatan dan karya
semua manusia dalam masyarakat.
Kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
untuk memenuhi kehidupan dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan
masyarakat. Konsepsi tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
a. Bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan manusia, sehingga
meliputi:
1). Kebudayaan material (bersifat jasmaniah), yang meliputi benda-benda ciptaan
manusia.
2). Kebudayaan non-material (bersifat rohaniah), yaitu semua hal yang tidak dapat
dilihat dan diraba, misalnya religi (walau tidak semua religi ciptaan manusia).
b. Bahwa kebudayaan itu tidak diwariskan secara generatif (biologis), melainkan hanya
mungkin diperoleh dengan cara belajar
b. Bahwa kebudayaan diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Tanpa
masyarakat akan sukarlah bagi manusia untuk membentuk kebudayaan. Sebaliknya tanpa
kebudayaan tidak mungkin manusia baik secara individual maupun masyarakat dapat
mempertahankan kehidupannya.
Dua kekayaan manusia yang paling utama ialah akal dan budi atau yang lazim disebut
pikiran dan perasaan. Di satu sisi akal dan budi atau pikiran dan perasaan telah memungkinkan
munculnya tuntutan-tuntutan hidup manusia yang lebih daripada tuntutan hidup makhluk lain.
Sedangkan pada sisi yang lain, akal dan budi memungkinkan munculnya karya-karya manusia
yang sampai kapanpun tidak pernah akan dapat dihasilkan oleh makhluk lain. Cipta, karsa dan
rasa pada manusia sebagai buah akal budinya terus bergerak, berusaha menciptakan benda-benda
baru untuk memenuhi hajat hidupnya; baik yang bersifat rohani maupun jasmani.
Pendapat lain menyebutkan bahwa paling tidak terdapat tiga wujud kebudayaan, yaitu:
1. Sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan
sebagainya yang berfungsi mengatur mengendalikan dan memberi arah pada
kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat yang disebut adat tata kelakuan
2. Sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam
masyarakat, yang disebut sistem sosial, yang urdin dari rangkaian aktivitas manusia
dalam masyarakat yang selalu mengikuti pola pola tertentu berdasarkan adat tata
kalakuan, misalnya gotong royong dan kerja sama
3. Sebagai benda-benda hasil karya manusia yang disebut kebudayaan fisik,
misalnya pabrik baja, candi Borobudur, pesawat udara, komputer, dan lain-lain..
Masing-masing wujud kebudayaan memiliki nilai-nilai insani etika dan estetika. Disebut
nilai etika karena menyangkut kelakuan dan perbuatan manusia yang sesuai dengan dan yang
menghargai martabat manusia. Manakala kelakuan dan perbuatan tidak sesuai dengan atau
merendahkan martabat manusia maka akan timbul masalah kemanusiaan. Contohnya
pemerkosaan, kawin paksa, penyiksaan pembantu rumah tangga, dan lain-lain.
Disebut nilai estetika karena menyangkut hasil karya manusia yang berguna dan
menyenangkan serta menyejahterakan. Contohnya adalah nuklir untuk pembangkit tenaga listrik
dan bahan kimia untuk membasmi penyakit. Manakala hasil karya manusia tersebut tidak
berguna bahkan membunuh atau menghancurkan manusia maka akan timbul masalah budaya.
Contoh, nuklir untuk membuat bom guna menghancurkan manusia atau bahan kimia untuk
membuat senjata pembasmi manusia secara massal. Nilai-nilai insani etika meliputi wujud
pertama dan kedua (kompleks ide dan kompleks aktivitas) dan nilai estetika terdapat pada wujud
ketiga.
C. Sifat Kebudayaan
Sekali lagi, pembagian tersebut sangat tergantung pada siapa yang melakukan, untuk apa
dilakukan, dan alat ukur apa yang dipakai untuk melakukan penilaian.
Menilai berarti memberi pertimbangan untuk menentukan apakah sesuatu itu bermanfaat
atau tidak, baik atau buruk, benar ataukah salah. Hasil penilaian ini disebut sebagai nilai (value).
Senantiasa lebih menghendaki nilai kemanfaatan daripada kerugian, nilai kebaikan dari pada
keburukan, nilai kebenaran daripada kesalahan. Alasannya adalah karena nilai-nilai kerugian,
keburukan dan kesalahan adalah sumber kehancuran, kemiskinan dan kebodohan dalam
masyarakat. Manakala ada manusia yang memilih nilai-nilai ini maka dianggap telah melakukan
penyimpangan, salah arah dan salah jalan, yang oleh karenanya perlu disadarkan dan
diselamatkan agar "kembali ke jalan yang benar dan bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun
bagi masyarakat.
Konsepsi-konsepsi tentang nilai yang hidup dalam pikiran sebagian besar warga
masyarakat membentuk sistem nilai budaya yang berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi
kelakuan manusia dalam tingkatan yang paling abstrak. Sistem nilai budaya ini meresap kuat
dalam jiwa warga masyarakat sehingga sukar diganti dengan nilai budaya lain dalam waktu yang
singkat.
Sistem nilai budaya berorientasi pada lima masalah pokok dalam kehidupan manusia,
yaitu:
Ada kebudayaan yang memandang hakikat hidup manusia adalah buruk dan
menyedihkan, dan oleh karenanya harus dihindari dengan berusaha agar hidup menjadi
baik dan menggembirakan. Sebaliknya ada kebudayaan yang memandang bahwa hakikat
hidup itu sebagai sesuatu yang baik dan menggembirakan, dan oleh karenanya maka
hidup itu harus diisi.
Ada kebudayaan yang memandang bahwa hakikat karya manusia adalah untuk
memungkinkan manusia bisa hidup dan oleh karenanya maka karya dipandang sebagai
sumber nafkah hidup. Sebaliknya ada kebudayaan yang memandang bahwa hakikat karya
manusia adalah untuk memberikan manusia kedudukan dan kehormatan dalam
masyarakat dan oleh karenanya maka karya manusia menjadi sumber kedudukan,
kehormatan dan harga diri dalam masyarakat. Ada juga kebudayaan yang memandang
bahwa hakikat karya manusia adalah sebagai gerak hidup untuk menghasilkan karya yang
lebih banyak lagi dan oleh karenanya maka karya manusia menjadi pendorong agar
manusia selalu kreatif meningkatkan kemampuan menambah karyanya.
Ada kebudayaan yang memandang bahwa hakikat waktu hidup manusia lebih
mementingkan kehidupan manusia di masa lampau. Ada yang berorientasi mementingkan
kehidupan di masa sekarang dan ada pula yang berorientasi sejauh mungkin pada
kehidupan manusia di masa yang akan datang. Untuk kategori yang terakhir ini maka
perencanaan hidup menjadi sesuatu yang amat penting.
Ada kebudayaan yang memandang hakikat hubungan antar sesama manusia lebih
mementingkan hubungan horizontal dan oleh karenanya maka ada rasa ketergantungan
yang erat antara satu dengan yang lain. Ada pula kebudayaan yang memandang hakikat
hubungan sesama manusia lebih mementingkan hubungan vertikal, yaitu hubungan
dengan senior, tokoh masyarakat, pimpinan atau atasan dan oleh karenanya maka ada rasa
ketergantungan kepada tokoh masyarakat atau atasan yang berpangkat. Ada pula
kebudayaan yang memandang bahwa hakikat hubungan sesama manusia adalah mandiri
atau sendiri dan oleh karenanya maka yang bersangkutan memerlukan sesedikit mungkin
bantuan orang lain.
a. Unyil
Masa lalu dan masa sekarangnya boleh jadi tidak memiliki arti, sehingga ia lebih
menggantungkan hidupnya pada masa depan. Ini tercermin pada sikapnya yang suka
mengatur teman-temannya. Menurut Galenus, Unyil termasuk tipe sanguinikus.
b. Pak Raden
Termasuk orang yang sentimentil menurut tipologi Heymans karena lebih senang
mengenang masa lalu. Akan tetapi termasuk tipe flegmatikus menurut Galenus karena
lebih mengagumi masa sekarang, merasa tidak memiliki masa lalu yang jaya dan boleh
jadi masa depannyapun tidak pasti atau bahkan semakin suram.
Sebagai makhluk budaya, semua manusia adalah sama karena dibekali oleh Tuhan Sang
Pencipta dengan akal, nurani dan kehen- dak dalam dirinya. Hal yang membedakan adalah
perwujudan budaya karena lingkungan yang berbeda menurut keadaan, waktu dan tempat.
Perwujudan budaya dapat dilakukan dengan menekankan pada ratio (akal) saja, atau dapat pula
menekankan pada semua unsur (akal, nurani dan kehendak) sebagai satu kesatuan yang utuh.
Perwujudan budaya, menurut Sutan Takdir Alisjahbana, yang hanya menekankan akal
saja akan melahirkan peradaban yang berbeda. Akal selalu dikaitkan dengan civilization, bukan
culture. Oleh karenanya ada pernyataan peradaban tinggi dan rendah karena diukur dengan
tingkatan berpikir manusia. Manusia yang mampu berpikir tinggi dikatakan berperadaban tinggi,
dan sebaliknya. Perwujudan budaya yang menekankan pada ketiga unsur sebagai satu kesatuan
yang utuh akan menimbulkan kebudayaan yang berbeda, sehingga muncul istilah kebudayaan
tinggi dan rendah karena diukur dengan kemanfaatannya bagi manusia.
Terjadinya disharmoni antara barat dan timur disebabic pikiran barat tentang timur yang
penuh dengan bayangan negat stereotip dan prasangka. Dalam pikiran timur, barat diang sebagai
materialis, kapitalis, rasionalis, dinamis, saintis, positivis dan sekularis, sementara pikiran barat
tentang timur adalah kemiskinan, kebodohan, fatalis, dan kontemplatif. Pandangan indah yang
menimbulkan sikap berlawanan yang akhirnya mewujudkan konflik, disharmoni, persaingan dan
bahkan perang.
F. Kebudayaan Daerah
Budaya majemuk (pluralistic) yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dimungkinkan karena
berbagai faktor penyebab antara lain karena wilayahnya, karena penduduknya atau karena
kepentingannya. Wilayah Indonesia terdiri atas lebih dari 17.504 pulau dan hampir semua pulau
berpenghuni. Yang tinggal di satu pulaupun masih mungkin sekali dipisahkan oleh adanya sungai
danau, gunung, dan pegunungan. Ini berarti masing-masing kelompok manusia (masyarakat)
memiliki cara hidup dan budaya yang tidak sama antara satu dengan lainnya.
Di samping menghuni banyak pulau, penduduk Indonesia pun terdiri atas bermacam-
macam keturunan, ras ataupun suku bangsa. Jumlah penduduk yang 237,6 juta jiwa terdiri dari
10.068 suku bangsa dengan 615 bahasa daerah. Sungguh luar biasa! Di bagian timur, penduduk
asli Indonesia termasuk ras Negroid sub-ras Papua Melanesoid dengan ciri kulit hitam, rambut
keriting, dan badan kekar. Di Indonesia bagian barat, penduduk aslinya termasuk ras Mongoloid
sub-ras Melayu dengan ciri kulit sawo matang, rambut lurus, dan badan sedang. Belum lagi
penduduk hasil perkawinan campuran yang pada umumnya induknya berasal dari penduduk asli
dan bapaknya dari penduduk asing.
Wilayah, penduduk dan kepentingan tersebut kemudian menimbulkan apa yang disebut
dengan daerah budaya (cultural area atau kultuurprovinz) yang memiliki suatu budaya yang khas
yang membedakannya dengan daerah lain, dan tidak sama pula dengan daerah pemerintahan
(public adminisration atau political administration). Contoh di Sumatera Utara ada budaya Melay
Tapanuli dan Nias. Suku Tapanuli pun masih terbagi lagi menja subsuku Karo, Simalungun,
Toba, Dairi, Angkola, dan Mandailing
Daerah budaya ini di samping memiliki suku yang berbela juga memiliki bahasa, lagu,
pakaian, seni, dan model bangunan yang berbeda. Sebagaimana telah disebutkan terdahulu,
Indonesia memiliki 10.068 suku bangsa dengan 615 bahasa daerah. Terkait dengan rumah dan
bangunan tradisional yang menjadi ciri khas daerah, terdapat uraian contoh sebagai berikut.
Rumah tradisional Jawa memiliki tiga ciri khas, yaitu:
1. Didirikan langsung di atas tanah dengan pertimbangan (dahulu) tidak ada banjir
dan gangguan binatang buas.
2. Dibuat dalam ukuran kecil karena hanya untuk keluarga batih yang terdiri dari
ayah, ibu dan anak-anak.
3. Pada umumnya tidak mengenal hiasan pada dinding rumah Ini merupakan
pengaruh agama Islam yang melarang pemakaian hiasan terutama yang bergambar atau
berwujud binatang dan manusia.
Di tanah Jawa dikenal rumah Joglo yang menunjukkan posisi sosial kaum
bangsawan, rumah limasan untuk kaum priyayi, rumah srotong atau doro gepak untuk
'wong cilik. Di luar Jawa, bangunan tradisional memiliki beberapa ciri berikut:
2. Dibuat dalam ukuran besar karena berfungsi sebagai rumah keluarga, tidak
hanya keluarga batih saja tetapi keluarga besar, termasuk di dalamnya menantu, orangtua
dan para saudara. Ada Rumah Gadang di Sumatera Barat dan ada. Rumah Panjang (bisa
sampai 200 m) di Kalimantan.
Di samping bentuk bangunan, daerah budaya juga melahirkan bentuk pakaian yang
berbeda. Pakaian daerah (terutama untuk kaum perempuan) dari Jawa berbeda sangat mencolok
dengan pakaian dari luar Jawa. Beberapa ciri pakaian daerah (untuk perempuan) di Jawa antara
lain:
Sementara ciri pakaian daerah kaum perempuan dari luar Jawa antara lain:
1) Tutup kepala yang terbuat dari destar atau kain tenun, biasa disebut peci.
2) Baju dan celana dari kain tipis dengan potongan longgar, pada umumnya dengan
model Cina.
3) Dilengkapi senjata (daerah) yang diselipkan di bagian depan badan.
4) Sarung hanya sebagai pelengkap yang dililitkan di pinggang atau disandang di
bahu.
Dewasa ini, sebagai akibat dari akulturasi budaya, campuran dari satu atau lebih budaya
karena efek persinggungan wilayah atau migrasi penduduk, perbedaan bangunan rumah atau
pakaian daerah sudah tidak lagi mencolok. Diterimanya Wawasan Nusantara sebagai bagian dari
pemikiran Indonesia sebagai suatu kesatuan. membuat segala sesuatu yang bersifat kedaerahan
berangsur- angsur mengarah kepada pemilikan oleh bangsa Indonesia. Tidak ada lagi kata
budaya Jawa, budaya Sumatera, tetapi yang ada adalah budaya Indonesia.
Sutan Takdir Alisyahbana menyebutnya sebagai Kebudayaan Indonesia Raya, yang harus
diciptakan sebagai sesuatu yang dengan mengambil banyak unsur dari kebudayaan barat, antara
lain teknologi, orientasi ekonomi, ketrampilan berorganisasi, dan ilmu pengetahuan. Pendapat ini
ditentang oleh Sanusi Pane yang menyebutkan bahwa kebudayaan nasional Indonesia sebagai
kebudayaan timur harus mementingkan kerohanian, perasaan dan gotong royong, dan manusia
Indonesia tidak boleh melupakan sejarahnya.
Pendapat ini diperkuat oleh Poerbatjaraka yang berharap agar bangsa Indonesia lebih
banyak mempelajari sejarah dan kebudayaannya untuk membangun kebudayaan baru. Pendapat
ini mirip dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara yang menyebutkan bahwa kebudayaan
Indonesia harus berakar pada kebudayaan suku-suku bangsa Indonesia dan menjadi puncak dari
kebudayaan- kebudayaan daerah.
1. Sebagai suatu sistem gagasan dan perlambang yang memberi identitas kepada
warga negara Indonesia
2. Sebagai suatu sistem gagasan dan perlambang yang dapat dipakai oleh semua
warga negara Indonesia yang bhinneka untuk saling berkomunikasi memperkuat
solidaritas. Untuk dapat mencapai kedua fungsi tersebut, masing-masing harus
memenuhi tiga syarat berikut:
a. Fungsi pertama:
1) Harus merupakan hasil karya warga negara Indonesia.
2) Tema pemikiran atau wujudnya mengandung ciri-ciri khas bangsa Indonesia.
3) Oleh sebanyak mungkin warga Indonesia harus dinilai sangat tinggi sehingga
dapat dijadikan sebagai kebang- gaan.
b. Fungsi kedua:
1) Harus merupakan hasil karya warga negara Indonesia.
2) Tema pemikiran atau wujudnya mengandung ciri-ciri khas bangsa Indonesia.
Harus merupakan hasil karya dan tingkah laku warga negara Indonesia sehingga dapat
dipahami oleh seba- gian besar warga Indonesia yang berasal dari kebu- dayaan suku-suku
bangsa, umat beragama dan ciri-ciri keturunan ras yang beraneka warna. Dengan cara-cara
kebudayaan nasional Indonesia diharapkan menjadi gagasan kolektif (representation collective)
sehingga unsur-unsurnya dapat berfungsi sebagai wahana komunikasi dan sebagai alat untuk
menumbuhkan saling pengertian di antara beraneka ragam manusia Indonesia yang pada giliran
selanjutnya diharapkan dapat mempertinggi rasa solidaritas bangsa.
Karena Pancasila adalah dasar negara, falsafah negara, ideologi negara bangsa Indonesia
dan merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia, maka kebudayaan nasional Indonesia
haruslah memiliki asas-asas yang bersumber pada Pancasila, yang dibedakan menjadi dua
bagian, yaitu:
Satu hal yang tidak kalah pentingnya dalam rangka mewujudkan kebudayaan nasional
Indonesia adalah menyertakan rakyat dalam semua langkah yang dilakukan. Ini sangat mudah
dipahami mengingat bahwa:
Isu tentang hubungan antar kelompok etnik masih menjadi isu penting terutama pada
masa reformasi ini. Etnisitas dan hubungan antar kelompok etnik dipandang memiliki hubungan
yang erat dengan masalah-masalah pembangunan masyarakat Indonesia. Keberagaman budaya
yang dimiliki masyarakat Indonesia pada dasarnya adalah sebuah potensi untuk membentuk
identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Kecenderungan ini memang tidak saja terjadi dalam
konteks masyarakat Indonesia, namun telah menjadi kecenderungan pada masyarakat dunia,
seperti diungkapkan. Huntington (1997: 28):
Di dunia baru ini, konflik yang paling menyebar, penting, dan berbahaya tidak akan
terjadi antara kelas sosial, kaya dan miskin, atau kelompok lain yang didefinisikan secara
ekonomi, tetapi antara orang-orang yang termasuk dalam entitas budaya yang berbeda. Perang
suku dan konflik etnis akan terjadi dalam peradaban. Akan tetapi, kekerasan antara negara dan
kelompok dari peradaban yang berbeda membawa potensi eskalasi karena negara dan kelompok
lain dari peradaban ini bersatu untuk mendukung negara kerabat mereka.
Hal ini seiring dengan iklim demokrasi yang semakin meluas, yang meningkatkan pula
kesadaran kelompok, khususnya kelompok etnik. Kebangkitan identitas etnik dan kesadaran
kelompok etnik ini diikuti dengan tuntutan-tuntutan terhadap keadilan dan kesederajatan dalam
kehidupan bermasyarakat, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Selain itu,
kebangkitan identitas dan kesadaran kelompok etnik juga dapat mengarah pada munculnya
etnosentrisme dan chauvinisme kelompok. Pertentangan-pertentangan lalu muncul, terutama dari
kelompok minoritas, terhadap kebijakan-kebijakan publik yang cenderung mendorong
terjadinya asimilasi terhadap kelompok etnik dominan.
Dalam kondisi masyarakat multi-etnik, isu diskriminasi terhadap kelompok etnik tertentu,
terutama yang minoritas, juga menjadi masalah yang penting untuk dipecahkan dalam
pertumbuhan masyarakat Indonesia ke depan, Masalah-masalah ini dapat mempengaruhi
hubungan antar kelompok etnik, yang bisa mengarah pada konflik laten maupun konflik terbuka
yang menggunakan kekerasan sampai pada gerakan pemisahan diri. Tentu saja hal ini pada
akhirnya akan mengancam integrasi sosial maupun nasional, seperti diungkapkan Donelly (2001:
32) dalam buku tahunan SIPRI 2001:
Namun, perlu diingat tidak semua hubungan antar kelompok etnik mengarah pada
konflik. Keberagaman kelompok etnik dan perbedaan budaya yang ada dalam suatu masyarakat
juga dapat menghasilkan hubungan kerja sama, bahkan pembauran antara kelompok etnik dalam
interaksi sehari-hari secara alamiah. Perjuangan melawan kolonialisme yang terjadi di bumi
nusantara merupakan salah satu bukti berbagai kelompok etnik dapat bersatu dengan tujuan yang
sama. Dalam konteks sehari-hari, kita juga dapat merasakan perbedaan budaya dan
keberagaman kelompok etnik tidak serta merta menjadi halangan dalam berinteraksi. Hal
itu justru merupakan potensi masyarakat yang secara positif dapat dikembangkan sebagai unsur-
unsur pembentuk identitas masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pertanyaan penting yang akan
dijawab dalam tulisan ini adalah faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pola hubungan
kelompok etnik dalam masyarakat Indonesia dan bagaimana hal itu menggambarkan integrasi
sosial dan nasional Indonesia.
A. Mendefinisikan etnisitas
Tidak seperti penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari, dalam kajian ilmiah, etnisitas
merupakan konsep yang kompleks. Etnisitas juga dapat diartikan sebagai bangsa. Berdasarkan
akar kata, etnisitas berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu ethnos yang berarti bangsa dan
ethnikos yang berarti "lainnya". Dalam pengertian ini maka etnisitas menitikberatkan pada
adanya perbedaan antara apa yang dipandang sebagai bangsa dengan kelompok-kelompok
lainnya yang dipandang sebagai bukan bangsa.
Dalam konteks masyarakat Yunani kuno, mereka membedakan antara ethnos, yaitu orang
yang bukan kelompok masyarakat Grika Yunani, dengan bangsa Yunani itu sendiri, yang mereka
sebut sebagai Genos Hellenon (Tilaar 2007:4). Dari definisi tersebut, etnisitas juga
menggambarkan bagaimana interaksi antara kelompok etnik dengan bangsa sehingga etnisitas
pada dasarnya memiliki dua wajah yang mengacu pada emansipasi dan dominasi (Pieterse 1996:
25). Artinya, pertama, etnisitas memiliki daya dorong bagi kelompok-kelompok etnik untuk
melakukan protes dan gugatan terhadap ketidakadilan, eksklusi yang dilakukan oleh bangsa.
Kedua, etnisitas juga dapat mengacu pada politik kultural dari kelompok etnik yang dominan.
Uraian tersebut memang lebih mengungkapkan makna etnisitas dalam konteks atau perspektif
politik.
Lake and Rothchild (Agustino 200: 255) mengungkapkan bahwa etnisitas sering diartikan
sebagai identitas bersama atas dasar bahasa, ciri-ciri fisik, persamaan sejarah, tali temali
persaudaraan, daerah atau budaya. Pada dasarnya, kelompok etnik mengacu pada kelompok
dengan kesamaan keturunan, sejarah dan identitas budaya, seperti kesamaan tradisi, nilai, bahasa,
pola perilaku secara nyata atau dibayangkan. Dari penjelasan tersebut, etnisitas lebih merupakan
konsep budaya, yang mendasarkan diri pada tanda-tanda seperti bahasa, agama, pakaian, artifak,
dan lain-lain.
Sedangkan Eriksen (1993: 1-15) mengungkapkan, etnisitas adalah suatu aspek dalam
hubungan sosial di antara kelompok yang dalam berinteraksi suatu kelompok menganggap
dirinya berbeda budaya dibandingkan anggota kelompok lain. Ketika perbedaan budaya selalu
menghasilkan perbedaan dalam interaksi diantara anggota kelompok-kelompok tersebut, maka
hubungan sosial tersebut mengandung unsur etnis. Perbedaan budaya tidak serta merta
menciptakan suatu kesadaran kelompok etnik; hubungan sosial yang terjadi dengan mereka yang
berbedalah yang menghasilkan kategori "kita" dan "mereka". Sehingga identitas kelompok etnik
harus didefinisikan dalam konteks relasinya dengan kelompok etnis lain.
Pada titik ini, etnisitas dapat berkembang menjadi negara, ketika suatu kelompok
terbentuk atas dasar keanggotaan etnis dan tetap bertahan dalam kurun waktu yang lama dan
mereka percaya pada kesamaan asal-usul. Francis(1947) mengungkapkan "... ethnicity as
nationality without consciounes Brown (1994: 1) menekankan bahwa etnisitas adalah suatu
ideologi yang dimiliki oleh individu untuk memecahkan masalah ketidakamanan yang muncul
dari penempatan dirinya dalam struktur kekuasaan.
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa etnisitas berkaitan dengan
identitas seseorang dan proses identifikasi. Etnisitas merupakan gabungan dari identifikasi diri
sendiri dan identifikasi oleh orang lain. Oleh karena itu, dalam interaksi yang terjadi dalam
masyarakat, identitas etnik memiliki beberapa dimensi, yaitu identitas yang ditentukan sendiri
oleh orang yang bersangkutan; identitas yang dipersepsikan oleh orang lain dan identitas yang
ditentukan oleh negara. Dasar dari identifikasi diri sendiri adalah kepercayaan terhadap
kesamaan keturunan, tradisi budaya termasuk bahasa dan agama, sejarah, juga memori tentang
migrasi, kolonialisasi.
Sedangkan identifikasi oleh orang lain terutama berdasarkan pada ciri-ciri fisik, budaya
dan perilaku yang sangat jelas terlihat berbeda atau dipersepsikan berbeda oleh seseorang yang
melakukan identifikasi terhadap orang lain. Negara, untuk kepentingan politik tertentu, juga
memiliki kekuasaan untuk menentukan kelompok etnis dominan atau beberapa kelompok etnik
yang dianggap sebagai komponen utama pembentuk negara.
Sebagai contoh, Sensus 2000 yang dilakukan BPS menggambarkan identitas etnis yang
ditentukan sendiri oleh orang yang bersangkutan, misalnya saja seorang anak hasil pernikahan
campur antara Suku Batak dengan Suku Minahasa, maka ia dapat menentukan sendiri apakah ia
lebih merasa sebagai "orang Batak" atau "orang Minahasa" atau bahkan apabila ia telah lama
tinggal di Jakarta, ia dapat saja lebih merasa sebagai "orang Betawi".
Sensus 2000 juga memperlihatkan bahwa identitas etnis dapat pula ditentukan oleh orang
lain, misalnya penggunaan garis keturunan bapak sebagai panduan untuk menentukan kelompok
etnis seseorang, jika seseorang mempunyai ayah suku Batak, maka otomatis sang anak akan
dikategorikan dibagai "orang Batak" walaupun ibunya bersuku Sunda. Contoh lainnya, orang
lain pun dapat menentukan kita ke dalam kelompok etnis tertentu. Misalnya karena penampilan
fisik yang putih dan mata sipit, maka orang lain tanpa bertanya dapat mempersepsikan kita
sebagai bagian dari kelompok etnis Cina.
Sedangkan contoh kongkrit identitas etnik yang ditentukan oleh negara terjadi di
Singapura ketika pemerintah telah menentukan keberagaman etnik penduduknya dengan 4
kategori, yaitu CMIO (Chinese, Malay, India, and Others). Pengkategorian ini secara otomatis
telah membatasi keberagaman kelompok etnis dan menentukan ke dalam kelompok mana kita
dimasukan. Perlu diingat bahwa hasil identifikasi ini dapat selaras dan tidak selaras dengan
realitas.
Hal penting yang sering dilupakan adalah kemunculan identitas etnis tertentu tidak
pernah berdiri sendiri. Ia akan muncul bila terdapat kelompok atau identitas lain sebagai
pembanding. Misalnya, orang Jawa tidak akan menjadi orang Jawa jika tidak ada orang Sunda,
Batak, dan kelompok etnis lain, demikian juga sebaliknya.
Hal ini penting untuk memahami apa yang disebut sebagai hubungan antar etnik.
Interaksi sosial baru dapat dikatakan memiliki relasi antar etnik jika dalam interaksi tersebut
terdapat kontak antar unsur-unsur budaya masing-masing kelompok etnis. Tidak semua interaksi
sosial yang terjadi diantara anggota kelompok etnik mengandung hubungan antar etnik.
Demikian pula untuk memahami konflik antar etnis. Ia terjadi jika terdapat tujuan yang berbeda
di antara kelompok etnis yang berinteraksi. dimensi dalam memandang etnisitas menunjukkan
bahwa kelompok etnik bukanlah pengkategorian sosial yang pasti dan kaku, tetapi cenderung
sangat subjektif, elastis, adaptif dan bahkan dapat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah.
Etnisitas bersifat cair, multidimensional dan hal inilah yang membedakannya dengan
konsep ras atau jenis kelamin. Secara sosiologis, konsep etnisitas pada dasarnya merupakan
bagian dari kategori sosial yang digunakan oleh masyarakat untuk menunjukkan identitas
seseorang atau kelompok dalam struktur masyarakat secara horisontal, walaupun dalam
prakteknya etnisitas kadang tumpang tindih dengan struktur masyarakat secara vertikal, seperti
yang dialami masyarakat Indonesia pada masa kolonial, ketika etnisitas juga berhubungan
dengan pelapisan masyarakat secara vertikal.
Makna dari konsep etnisitas itu sendiri dapat dilihat dari beberapa pandangan, seperti
diungkapkan Agustino (2001: 255- 256) dan sebagian besar kajian-kajian tentang etnisitas.
Secara garis besar, hal itu meliputi pandangan primordialis, instrumentalis, dan konstruktivis.
Berikut adalah uraian tentang ketiga pandangan tersebut.Pandangan primodialis.
Pandangan ini cenderung menganggap etnisitas adalah sesuatu yang inheren dalam diri
manusia, atau dengan kata lain ras (ciri-ciri biologis manusia) dan etnisitas memiliki arti yang
saling tumpang tindih. Bagi kaum primodialis, perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika
atau seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, merupakan sumber bagi lahirnya benturan-
benturan kepentingan etnis. Menurut pandangan ini, tatkala banyak suku, agama, atau lainnya,
maka akan timbul pertikaian hingga kekerasan diantara mereka yang berbeda. Dan itu
merupakan hal yang wajar saja.
1. Pandangan instrumentalis
Etnisitas dianggap sebagai alat yang digunakan oleh individu atau kelompok untuk
mengejar suatu tujuan yang lebih besar, biasanya dalam bentuk materiil. Konsepsi etnisitas, bagi
kaum instrumentalis, tidak terlalu relevan kecuali digunakan atau diperalat olch elite politik yang
ingin mencapai tujuan tertentu. Pada saat seorang pemimpin, elite politik, meneriakan slogan
kesukuan maka para anggota sukunya langsung merapatkan barisan dan bergerak ke arah yang
diinginkan oleh pemimpin tersebut. Selama setiap orang mau mengalah terhadap preference yang
mereka kehendaki, selama itu pula kekerasan antar etnis dapat dihindari, bahkan tidak terjadi.
Namun kenyataan menunjukkan setiap individu memiliki pilihan dan prioritas masing-
masing. Oleh karena itu, benturan atau konflik antar individu dan atau kelompok mungkin terjadi
karena kelangkaan materi di dunia. Namun, sebagai catatan, belum tentu kepentingan individu
sama dengan kepentingan etniknya; konflik juga tidak berarti kekerasan; dan perbedaan etnis
tidak serta merta menyebabkan konflik terbuka apalagi kekerasan. Artinya, ada variabel-variabel
lain yang bekerja, seperti apakah suatu kelompok etnik dominan atau tidak, apakah etnisitas juga
menunjukkan kelas sosial mereka.
2. Pandangan konstruktivis
Etnisitas tidak bersifat kaku (sebagaimana dibayangkan kaum primodialis) atau
sedemikian mudahnya diperalat oleh kaum elite politik (sebagaimana diduga kaum
instrumentalis). Etnisitas dapat diolah hingga membentuk suatu jaringan (relasi) pergaulan sosial
dan berbagai lapisan pengalaman. Artinya, etnisitas merupakan sumber kekayaan hakiki yang
dimiliki oleh dunia ini untuk saling mengenal dan memperkaya budaya satu dengan lainnya.
Bagi pandangan ini, persamaan adalah anugerah dan perbedaan adalah barokah. Perbedaan
kelompok yang menimbulkan konflik.
Dengan melihat berbagai pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa keanggotaan
seseorang dalam kelompok etnisitas tertentu tidaklah serta merta menjadi sama dengan
kekeluargaan, karena etnisitas lebih mengarah pada identitas yang dipersepsikan, bukan sebagai
suatu kelompok yang memiliki aksi sosial yang kongkrit (Weber 1996: 35). Atau dengan kata
lain, keanggotaan seseorang dalam kelompok etnik tertentu tidak serta merta membentuk suatu
kelompok etnik yang bersangkutan; demikian pula sebaliknya, kelompok kepentingan yang
mengatas-namakan etnik tertentu tidak berarti bahwa semua orang yang secara budaya bagian
dari etnik tersebut menjadi anggota kelompok.
Contohnya, ketika terjadi konflik antara Suku Dayak dan Madura di Kalimantan, tidak
dapat secara sederhana diartikan bahwa seluruh anggota masyarakat Indonesia yang bersuku
Madura, baik yang di Kalimantan maupun yang di Madura, berkonflik dengan seluruh warga
masyarakat Dayak di seluruh Indonesia. Keangotaan seseorang dalam etnik tertentu hanya
memfasilitasi pembentukan kelompok secara politik. Dan sebaliknya, komunitas politik dalam
suatu masyarakat cenderung memberikan inspirasi bagi kepercayaan tentang kesamaan suku.
B. Kompisisi Etnis
Sampai saat ini, masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang multi-etnik.
Bahkan negara ini memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda namun tetap satu
jua). Hal ini memiliki makna bahwa sejak negara ini berdiri, wilayah Indonesia dihuni oleh
berbagai kelompok etnik; juga agama dan ras, yang hidup bersama dalam satu wilayah
"Indonesia" (negara di antara dua samudra dan dua benua). Konsepsi negara Indonesia sendiri
merupakan hasil 2 Konsep geopolitik Indonesia menurut Sukarno adalah, "Indonesia terdiri dari
seluruh pulau-pulau di Indonesia.
Indonesia adalah gugusan kepulauan yang berada pada garis khatulistiwa, yaitu
Sumatera, Jawa atau Sunda, Kalimantan, dan Sulawesi Satu per satu bukanlah negara Indonesia
adalah gugusan pulau pada garis khatulistiwa, dikelilingi oleh laut sebagai batas dan dipagari
oleh dua benua, Asia dan Australia, hidup dalam satu negara dan berasal dari satu keturunan".
Namun konsep geopolitik ini tidak dapat sepenuhnya diterapkan karena hal ini berarti termasuk
Filipina dan tidak termasuk propinsi Irian Jaya. Wilayah jajahan Belanda adalah acuan utama
terbentuknya negara Indonesia.
perjuangan gerakan nasionalis untuk melawan kekuasaan kolonial Belanda yang telah
menduduki wilayah "Indonesia" sejak abad ke- 17 dan berakhir pada abad ke-20 dengan
dicetuskannya proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 dan secara hukum diakui pada 27
Desember 1949. Oleh karena itu, dapat dibayangkan sebelum adanya gerakan nasionalis untuk
melawan kolonialisme, tidak dikenal istilah Indonesia. Yang berkuasa adalah kerajaan-kerajaan
kecil atau kelompok-kelompok etnik dengan budaya masing-masing. Jadi dapat dikatakan bahwa
Indonesia merupakan hasil perjuangan beberapa kelompok etnik di wilayah koloni Belanda yang
bersatu untuk melawan penjajahan. Hal ini pula yang dapat menjelaskan mengapa Singapura,
Malaysia, Filipina menjadi negara tersendiri walaupun secara geografis berdekatan dengan
Indonesia dan secara budaya terdapat kesamaan.
Pada masa kolonial, Indonesia digambarkan sebagai masyarakat plural. Adalah Furnivall
(1944: 446), seorang administrator dan penulis politik Inggris yang pada akhir kolonialisme
Barat di Asia Tenggara (1930-1940-an), yang memperkenalkan konsep masyarakat plural. Apa
yang dimaksud dengan masyarakat plural?' la adalah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih
elemen atau tatanan sosial yang hidup berdampingan, namun tanpa membaur, dalam satu unit
politik.
Menurut Furnivall masyarakat plural ditandai dengan segregasi sosial yang diikuti sistem
pembagian kerja di antara kelompok-kelompok etnik/religius dimana setiap kelompok memiliki
peran ekonomi yang berbeda. Dalam masyarakat plural tidak ada kehendak sosial umum, tidak
memiliki perasaan mengenai diri sendiri sebagai sebuah bangsa atau sebuah budaya. Kelompok-
kelompok etnik dan agama yang membentuk masyarakat begitu berlainan satu sama lain
sehingga mereka tidak memiliki banyak kesamaan selain pertukaran pasar mereka (Hefner 2007:
16-18). Artinya, pada masa itu Furnivall menggambarkan dalam masyarakat Indonesia terjadi
tumpang tindih antara stratifikasi ekonomi dengan perbedaan budaya kelompok etnik.
Masyarakat Indonesia telah dipilah-pilah berdasarkan wilayah pemerintahan provinsi,
kabupaten, kelurahan 1 dusan, pembagian ini tidak mencerminkan keragaman budaya atau
kelompok etnik. Salah satu cara untuk melihat komposisi kelompok etnik di Indonesia adalah
dengan melihat peta demografi penduduk. Sayangnya, informasi mengenai komposisi kelompok
etnik di Indonesia hanya dapat dilihat pada data sensus penduduk tahun 1930 dan 2000
(Suryadinata 2003: 13). Sensus 1930 adalah sensus yang dilakukan Pemerintah Belanda.
Sedangkan tahun 2000 adalah pertama kalinya Badan Pusat Statistik Indonesia memasukan
pertanyaan tentang etnisitas.
Kalau kita melihat komposisi kelompok etnik, maka terlihat masyarakat Indonesia terdiri
dari beragam kelompok etnis. Jumlahnya dapat mencapai lebih dari 300 kelompok atau sub-
kelompok etnik, dengan jumlah anggota yang cenderung kecil. BPS juga mengeluarkan 8
kelompok etnik terbesar di Indonesia, yaitu Jawa, Sunda, Madura, Minangkabau, Betawi, Bugis,
Banten dan Banjar. Delapan kelompok etnik besar ini juga tersebar di berbagai provinsi. Jawa
adalah suku yang hampir ada di seluruh provinsi Kebijakan transmigrasi sejak masa
pemerintahan kolonial Belanda hingga pemerintahan Indonesia merupakan salah satu faktor
penyebab terjadinya penyebaran penduduk Jawa ke beberapa lokasi lain, selain adanya faktor
kepadatan penduduk di Pulau Jawa dan semakin terbatasanya lahan pertanian.
1. Masa reforman
Hubungan antar etnis di Indonesia tak lepas dari sejarah dan bagaimana negara mengatur
hubungan tersebut. Pemerintah cukup memegang peranan dalam mengatur hubungan itu.
Karenanya, perubahan peta politik dan kebijakan publik penting untuk dijadikan dasar dalam
menganalisa pola hubungan antar etnis di Indonesia. Pandangan struktural fungsional
beranggapan bahwa modernisasi dan pembangunan akan melemahkan indentitas etnis. Namun
pada kenyataannya, modernisasi tidak menyurutkan identitas etnis; solidaritas etnis tetap muncul,
bahkan menjadi heman seperjalanan modernisasi.
Modernisasi bahkan menjadi Jahan subur untuk menumbuhkan kesadaran etnis atau
ikatan- ikatan primordial. Ini juga menjadi kelemahan pandangan fungsionalis yang cenderung
memandang etnisitas hanya sebagai ikatan primodial yang akan luruh seiring dengan
menguatnya modernisasi. Pada titik ini nampak bahwa etnisitas mempunyai untuk mereproduksi,
melakukan regenerasi, dan mengembangkan dirinya menjadi suatu kekuatan politik tertentu.
Kemampuan.
Kelompok etnis Aceh, Ambon, Papua dan Cina cenderung memiliki tingkat pendidikan
yang tinggi dibandingkan kelompok-kelompok etnis lainnya. Sedangkan kelompok etnis
Madura, Sasak, Sumba, Dayak, Bali, Bugis dan Makasar, cenderung memiliki tingkat pendidikan
yang masih tergolong rendah. Data tersebut mencerminkan adanya ketidakmerataan proses
pembangunan yang selama ini dilakukan di Indonesia. Bahayanya adalah jika terjadi
kesenjangan berdasarkan kategori etnik, maka kemungkinan besar akan menyebabkan
munculnya kesadaran kelompok etnik untuk menuntut keadilan. Kebijakan publik yang kurang
memperhitungkan keragaman kelompok etnik sehingga menimbulkan kesenjangan dapat
mengarah pada terjadinya diskriminasi institusi.
Polarisasi juga terjadi dalam sektor pekerjaan. Pada sub- sektor jasa, misalnya, kelompok
etnis Aceh memiliki persentase tertinggi. Sedangkan dalam sub-sektor perdagangan yang cukup
banyak terjun dalam bidang ini adalah kelompok etnis Cina, Arab, Betawi, Minang dan Aceh.
Yang menarik untuk dibahas adalah mengapa sebagian besar kelompok etnis Cina (53,69%) dan
Arab (49,9%) memperoleh penghasilan dari sektor perdagangan.
Hal ini tak dapat dilepaskan dari dua hal. Pertama, kita perlu ingat sejarah bahwa kedua
kelompok etnis ini adalah kelompok etnis pendatang yang termasuk pada lapisan menengah
dalam stratifikasi etnik buatan kolonial Belanda. Dulu, mereka adalah penunjang perekonomian
kolonial, baik sebagai pedagang yang membawa barang-barang dari negeri asal lalu menetap di
Indonesia maupun sebagai pekerja yang merantau dari negeri asalnya. Kedua, sebagai pendatang
yang memiliki lahan terbatas, semangat mereka untuk mengeksploitasi hasil-hasil bumi atau
produk-produk lain lebih tinggi dibandingkan kelompok masyarakat setempat. Ketiga, bjakan
pemerintah Indonesia pasca kemerdekaan yang melarang Cina untuk tinggal di wilayah pedesaan
(PP 10 tahun 1959) juga semakin mendorong kelompok etnis pendatang ini untuk warga
mendiami wilayah kota dan masuk dalam sektor perdagangan Karena itu, sampai saat ini kita
jarang melihat kelompok etnis ini, misalnya, bergerak dalam bidang produksi pertanian
traditional Barth (1988: 21) menjelaskan bahwa faktor ekologi juga memiliki peranan dalam
membentuk pola hubungan antar etnik:
a. Mereka menempati daerah dengan lingkungan alam tertentu sehingga persaingan dalam
memperebutkan sumber daya hanya minimal. Saling ketergantungan antar kelompok etnik yang
berinteraksi sangat minimal walupun mereka hidup bersama dalam suatu daerah. Hubungan yang
tercipta biasanya berbentuk hubungan dagang
a. Mereka dapat pula menguasai daerah yang terpisah, dengan persaingan dalam
mendapatkan sumber daya. Artikulasi yang timbul terjadi di perbatasan berupa
kegiatan politik atau mungkin sektor lain.
b. Mereka dapat pula saling menyediakan barang atau jasa dan tinggal di daerah yang
berbeda dan saling menunjang. Bila mereka tidak berartikulasi erat di bidang politik
maka akan terbentuk simbiosis klasik atau jenis artikulasi lain.
c. Dua kelompok atau lebih saling bersaing dalam suatu daerah. Dalam perjalanan
waktu salah satu kelompok dapat tergeser oleh kelompok lain atau salah satu
kelompok akan hidup bersama dengan kelompok lain sehingga terjadi peningkatan
ketergantungan.
Dalam konteks pertumbuhan integrasi nasional masyarakat Indonesia pada masa depan,
polarisasi dalam sektor pendidikan, ekonomi, politik, dan sebagainya, perlu menjadi perhatian.
Hal ini karena polarisasi yang terjadi secara sistematis dan terstruktur dapat memunculkan
kesadaran kelompok etnik untuk menuntut keadilan, apalagi bila terjadi kesenjangan
pembangunan pada etnis tertentu. Pada titik ini nampak bahwa etnisitas bukanlah landasan
negara-bangsa melainkan produk darinya. Ketika stratifikasi sosial masyarakat tumpang tindih
dengan identitas-identitas kultural atau kategori sosial yang horisontal maka tinggi pula potensi
munculnya konflik-konflik sosial yang mengusung identitas etnik, mulai dari konflik komunal
antar kelompok etnis maupun gerakan separatis atau pemisahan diri (konflik kelompok etnis
dengan negara).
D. Kebangkitan identitas Etnik
Hubungan antar kelompok di Indonesia saat ini diwarnai dengan semakin maraknya
konflik sosial yang mengusung identitas etnik dan agama. Konflik sosial bermunculan sejak
krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998. Perubahan konstelasi politik dan iklim
kebebasan yang diusung gerakan reformasi menjadi lahan yang subur untuk memunculkan
kepentingan-kepentingan kelompok etnik.
konflik pada masyarakat Indonesia maka terdapat beberapa jenis konflik internal
berdasarkan pihak yang terlibat, seperti:
1. Konflik komunal: antar kelompok etnis. Konflik komunal: antar penduduk asli dan
pendatang.
2. Gerakan separatis: kelompok etnis dengan negara atau kelompok etnis dominan.
Faktor penting yang harus diperhatikan untuk melihat bagaimana hubungan antar
kelompok etnik dapat berubah menjadi hubungan konfliktual adalah jika di antara kelompok
etnis yang saling berinteraksi, bahkan hidup berdampingan dalam satu kesatuan unit politik
negara, tidak memiliki tujuan yang selaras. Dahrendorf (1957: 206-207) memandang konflik
memiliki dua makna. Pertama, konflik merupakan akibat dari proses integrasi dalam masyarakat
yang tidak tuntas. Dalam konteks ini konflik erupakan sebuah gejala yang dapat merusak
kesatuan masyarakat.
Dalam intensitas yang tinggi, konflik semacam ini dapat membuat sebuah negara
kesatuan (integrasi nasional) hancur. Makna kedua, konflik dapat dipahami sebagai proses
alamiah dalam rangka sebuah proyek rekonstruksi sosial. Dalam hal ini konflik dapat dilihat
sebagai sesuatu yang fungsional; sebagai strategi untuk menghilangkan unsur-unsur disintegrasi
dalam masyarakat yang tidak terintegrasi dengan sempurna.
Beberapa faktor utama yang memungkinkan konflik etnis muncul ke permukaan atau
menjadi konflik terbuka adalah, pertama, perubahan konstelasi politik pada masa reformasi dan
iklim kebebasan yang dijunjung tinggi menjadi ladang subur untuk mengungkapkan keresahan-
keresahan beberapa kelompok etnik yang selama ini menjadi bagian dari bangsa Indonesia.
Kedua, tidak meratanya pembangunan di berbagai wilayah di Indonesia ternyata, disadari atau
tidak, terpolarisasi berdasarkan kelompok etnik. Perebutan sumber daya yang seharusnya
berdasarkan kompetisi yang sehat dengan kriteria yang universal malah menjadi ladang
perbenturan nilai-nilai budaya.
Pada titik ini, seperti pada masa kolonial, stratifikasi ekonomi tumpang tindih dengan
identitas etnik. Tidak terjadi integrasi fungsional di antara beragam kelompok etnik. Ketiga, tidak
dapat dipungkiri bahwa dalam masyarakat Indonesia, identitas etnis, dalam hal ini kesukuan
termasuk di dalamnya nilai-nilai budaya dan adat istiadat, masih menjadi faktor penting dalam
kehidupan masyarakat, terutama di pedesaan. Sebagai contoh, cobalah perhatikan kasus konflik
antara kelompok etnik Dayak dan Madura di Kalimantan (lihat artikel Contoh Kame: Konflik
Dayak dan Madura di Kalimantan).
Byman (2002) mengungkapkan setidaknya terdapat empat teori tentang penyebab konflik
antar etnis dengan melihat beberapa kasus konflik etnis yang pernah terjadi di berbagai tempat
dan pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam masyarakat.
Yang dimaksud dengan dilema keamanan kelompok adalah segala usaha untuk
meningkatkan keamanan yang dilakukan suatu kelompok sehingga menimbulkan reaksi balik
dari kelompok lain dan pada akhirnya membuat kelompok tersebut merasa kurang aman. Teori
ini mensyaratkan adanya otoritas yang dapat menjamin, Contoh Kasus: Konflik Dayak dan
Madura di Kalimantan.
Pertikaian antara etnis Dayak dan Madura meletus tanggal 15 Desember 2000 di
pertambangan emas Kiringpane, 100 km dari kota Sampit, Kalimantan Tengah. Seorang warga
Dayak tewas. Selain itu terjadi perusakan dan pembakaran rumah. Dua hari kemudian, 17
Desember 2000 kerusuhan etnis ini sudah sampai di Sampit mengakibatkan delapan orang tewas,
puluhan rumah rusak dan dibakar. Erais pendatang dan etnis lokal semakin tegang dan sepanjang
Januari dan Februari 2001 berbagai pertikaian dan saling ancam dari dua etnis terus berlanjut.
Sampit makin panas. Beredar selebaran-selebaran bumi hangus. Ratusan hingga ribuan orang
tewas, sebagian besar warga Madura.
Puluhan ribu orang Madura menghindar dari Kalimantan Tengah. Mengapa perseteruan
antara orang Dayak melawan orang Madura tidak kunjung padam? Apakah kedua etnis itu
merupakan korban kebijakan Orde Baru? Dalam konteks ini masyarakat adat Dayak merasa tidak
ditempatkan sebagai komunitas masyarakat yang memiliki hak sepenuhnya atas tanah dan
lingkungan di mana mereka hidup... (Dayak dan Madura, Korban Pembangunan, Asasi News
Letter Edisi Maret-April 2001.
Beberapa hal pemicu terjadinya konflik, menurut kalangan masyarakat Dayak disebabkan
antara lain karena perusakan alam. Bagi masyarakat Dayak, hutan adalah ayah dan sungai adalah
ibu. Karena kedekatannya dengan alam. Mereka memiliki cara-cara tersendiri untuk memelihara
alam. Terjadinya perusakan alam, terutama hutan dan sungai, berarti terjadi perusakan terhadap
masyarakat adat Dayak. Lalu, terjadinya benturan nilai budaya. Bagi masyarakat adat Dayak ada
hal-hal yang ditabukan, sedangkan nilai-nilai tersebut belum tentu tabu bagi masyarakat adat
yang lainnya. Misalnya, darah bagi masyarakat Dayak sangat berharga. Jika darah telah tumpah
maka harus dinetralkan dengan suatu upacara adat. Ketika adat tidak dipatuhi maka akan kembali
tumpah darah itu.
Dengan kata lain tidak boleh ada perselisihan yang berakibat pada terjadinya pertikaian.
Tidak ditegakkannya hukum oleh aparat. Para pelaku kejahatan tidak ditindak dengan tegas.
Seringnya terjadi penyelewengan hukum menyebabkan masyarakat tidak lagi percaya pada
hukum yang berlaku dan memilih menyelesaikan sendiri setiap persoalan, termasuk melakukan
pembalasan terhadap tindak kekerasan dan memunculkan kekerasan yang baru. Terjadinya
isolasi daerah. Hubungan antara kota dengan daerah pedalaman terhambat. Karena tidak
dibukanya akses masyarakat pedalaman ke wilayah kota, dalam bentuk sarana transportasi
maupun komunikasi.
keamanan masing-masing kelompok. Berkaitan dengan peran otoritas, perang (wujud konflik
yang paling nyata) dapat terjadi jika, pertama, tidak ada otoritas yang dapat menjamin keamanan
suatu kelompok, misalnya suatu kelompok memiliki rasa tidak p percaya pada kelomok etnis
lain. Rasa tidak percaya ini dapat bersumber dari stereotipe etnis, prasangka terhadap kelompok
etnis lain, pengalaman masa lalu, dan pengalaman kerjasama dengan apa yang dianggap musuh.
Rasa tidak percaya ini dapat berkembang menjadi mobilisasi kekuatan untuk mempertahankan
diri jika tidak ada pemerintah yang dapat mencegahnya.
Hal ini akan menimbulkan reaksi dari kelompok etnis lain sehingga melakukan hal yang
sama. Pada titik ini kedua kelompok etnis menjadi merasa kurang aman. Pada dasarnya
mobilisasi kekuatan menegaskan kecurigaan-kecurigaan antar kelompok yang juga menunjukkan
maksud agresif. Kedua, kondisi pemerintahan yang lemah. Ketiga, pemerintah pusat menjadi
bagian dari konflik. Kempat, situasi perubahan yang mendadak.
2. Perlindungan status
Konflik etnis muncul sebagai konsekuensi atau hasil dari ketakutan kelompok terhadap
dominasi kelompok lain, baik secara material maupun budaya. Kelompok berperang
mempertahankan status sehingga muncul ketakutan bahwa nilai-nilai dan cara hidup serta
institusi kelompok etnis tertentu bisa menjadi sub-ordinat kelompok etnis lain.
3. Ambisi hegemoni
Suatu kelompok yang berkuasa tidak cukup puas dengan bertahannya nilai-nilai budaya dan
institusi mereka saja, tetapi ingin menjadi kelompok dominan. Kelompok yang ingin berkuasa ini
seringkali menuntut perlakukan tertentu dari pemerintah, seperti digunakannya bahasa kelompok
mereka sebagai bahasa resmi, agama mereka menjadi agama resmi, dan lain-lain; dan penjajahan
terhadap kelompok lawan dengan menekannya sehingga bersedia menerima posisi yang lebih
rendah dalam hal ekonomi, sosial dan politik.
Adanya ambisi dari clit kelompok etnik tertentu untuk mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaan dengan menggunakan isu-isu ketakutan, kebencian dan ambisi
kelompok etnik.
Keempat penyebab konflik etnis tersebut seringkali saling menguatkan satu sama lain dan
semuanya biasanya muncul dalam konflik yang paling berdarah dan lama. Jika kita melihat
kasus-kasus konflik sosial yang mengusung isu etnisitas pada masa reformasi, keempat faktor itu
dapat menjadi penyebab terjadinya konflik sosial dalam masyarakat Indonesia. Dan pemerintah
atau kelompok yang berkuasa memiliki peran penting untuk mengatur apakah konflik sosial itu
akan muncul ke permukaan atau dapat ditekan.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, konflik sosial sebenarnya telah terjadi sejak negara
ini memproklamirkan kemerdekaanya. seperti yang terlihat pada Tabel 13. Gerakan-gerakan
penolakan dan pemisahan diri telah muncul sejak tahun 1947, misalnya seperti yang dilakukan
Darul Islam. Politik asimilisasi dan penggunaan cara-cara integrasi koersif selama masa Orde
Lama dan Orde Baru dapat menekan isu konflik sosial sehingga tidak muncul ke permukaan.
Kondisi konflik ini dapat bersifat laten (tersembunyi) maupun manifes (secara nyata terungkap).
Konflik sosial sampai saat ini masih dipandang sebagai suatu patologi sosial yang terjadi dalam
proses integrasi sosial yang berjalan dengan sempurna.
Sebenarnya interaksi yang terjadi di antara kelompok etnis yang berbeda tidak selalu
mengarah pada konflik. Kerjasama juga dapat terjadi walaupun masing masing kelompok etnis
memiliki karakteristik budaya yang berbeda. Konflik dan integrasi merupakan dua dimensi
dalam interaksi sosial. Kesepakatan berbagai kerajaan dan kelompok etnik di wilayah nusantara
untuk mendirikan Indonesia sebagai aksi melawan kolonialisme merupakan suatu contoh
kongkrit kalau perbedaan budaya bukan halangan untuk bekerjasama.
Dalam interaksi sehari-hari, sebagian besar warga negara Indonesia juga dapat hidup
berdampingan dan bertoleransi dengan kelompok etnis yang berbeda. Bahkan keberagaman
budaya menjadi aset bangsa ini, baik untuk memperkaya budaya Indonesia maupun bibit industri
pariwisata. Pembauran dan kawin campur juga semakin mewarnai hubungan antar kelompok
etnik di Indonesia. Selama terdapat tujuan yang sama dan selaras maka hubungan kerjasama
dapat diwujudkan.
Hubungan antar kelompok etnis dalam masyarakat Indonesia tidak dapat dipisahkan dari
proses integrasi yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Ketiga jenis integrasi tersebut dapat
memiliki implikasi yang berbeda dalam pola hubungan antar etnik yang terjadi di Indonesia.
Sejarah menunjukan, dalam perjalanan dan pertumbuhan masyarakat Indonesia, integrasi koersif
cenderung diterapkan untuk menekan benturan akibat perbedaan-perbedaan budaya yang muncul
ke permukaan. Kadar integrasi fungsional dan normatif ternyata masih sangat rendah. Hal ini
dipengaruhi pula alch peraturan dan kebijakan-kebijakan publik yang diterapkan oleh pemerintah
(kelompok yang berkuasa) untuk mengatur masyarakatnya.
Perubahan konstelasi politik juga dapat mempengaruhi pola bubungan antar kelompok etnik
yang muncul. Proses integrasi koersif yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Lama dan Orde
Baru berhasil menekan keresahan-keresahan kelompok etnik. Namun pada masa reformasi ketika
iklim kebebasan terbuka, keresahan-keresahan itu mulai muncul ke permukaan. Hal ini dapat
terjadi karena proses pembangunan yang tidak merata dan kebijakan-kebijakan publik yang tidak
mempertimbangkan keragaman budaya. Di lain pihak, hal ini justru menunjukan proses integrasi
normatif dalam bentuk pengutan identitas Indonesia ternyata belum terinternalisasi secara penuh
dalam masyarakat. Nilai-nilai budaya kelompok etnik masih merupakan nilai yang signifikan
bagi kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya.