Anda di halaman 1dari 43

KEBUDAYAAN

A. Konsep Kebudayaan
Kebudayaan, cultuur dalam Bahasa Belanda, dan culture dalam Bahasa Inggris, berasal
dari Bahasa Latin colore yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan
mengembangkan. Dari pengertian budaya dalam segi demikian berkembanglah arti culture
sebagal "segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam". Pengertian
budaya dan kebudayaan dapat dibedakan dengan mengartikan budaya sebagai daya dari budi.
yang berupa cipta, rasa dan karsa, sedangkan kebudayaan diartikan sebagai hasil dari cipta,
karsa, dan rasa tersebut.
Menurut buku Asas-asas Sosiologi, definisi mengenal cipta, karsa, dan rasa adalah
sebagai berikut: Cipta adalah kerinduan manusia untuk mengetahui rahasia segala hal yang ada
dalam pengalamannya, yang meliputi pengalaman lahir dan batin. Hasil cipta berupa berbagai
ilmu pengetahuan. Karsa adalah kerinduan manusia untuk menginsyafi tentang hal sangkan
paran. Dari mana manusia sebelum lahir (sangkan), dan ke mana manusia sesudah mati (paran).
Hasilnya berupa normakeagamaan/kepercayaan. Rasa adalah kerinduan manusia akan keindahan
sehingga menimbulkan dorongan untuk menikmati keindahan. Hasil dari perkembangan rasa
terjelma dalam bentuk berbagai norma keindahan yang kemudian menghasilkan berbagai macam
kesenian.
Kebudayaan yang berasal dari kata budh (Sansekerta) berarti hasil pemikiran atau akal
manusia. Ada pula yang menyebutkan kebudayaan berasal dari kata budi dan daya. Budi adalah
akal yang merupakan unsur rohani dalam kebudayaan dan daya berarti perbuatan atau ikhtiar
sebagai unsur jasmani Jadi kebuday berarti hasil dari akal dan ikhtiar manusia Kebudayaan
dalam Bahasa Inggris berasal dari kata culere yang berarti mengeka tanah. Dengan mengerjakan
tanah maka manusia mula d sebagai penghasil makanan (food producing) dan meninggikan
kehidupan yang hanya memungut hasil alam saja (food gathering Bajak merupakan salah satu
alat bukti bahwa manusia telah berbudaya.
Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia (sebagai makhluk sosial) yang
digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya, serta
menjadi landasan bagi tingkah lakunya. Kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu
masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan
pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan mela proses belajar dan dengan
menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak
(termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia.Dengan demikian kebudayaan
merupakan serangkaian aturas aturan, petunjuk petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strateg
yang terdiri atas serangkaian model kognitif yang dimiliki manusia dan digunakan secara selektif
dalam menghadapi lingkungan sebagaimana terwujud dalam tingkah laku dan tindakan-
tindakannya.
Kebudayaan dapat didefinisikan juga sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia
sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan
dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya Sebagai pengetahuan,
kebudayaan adalah suatu satuan ide yang ada dalam kepala manusia dan bukan suatu gejala
(yang terdiri atas kelakuan dan hasil kelakuan manusia). Sebagai satuan ide, kebudayaan terdiri
atas serangkaian nilai-nilai, norma-norma yang berisikan Larangan-larangan untuk melakukan
suatu tindakan dalam menghadapi satu lingkungan sosial, kebudayaan, dan alam, serta beria
serangkaian konsep-konsep dan model-model pengetahun mengenai berbagai tindakan dan
tingkah laku yang seharusnya diwujudkan oleh pendukungnya dalam menghadapi lingkungan
sosial, kebudayaan dan alam. Jadi nilai-nilai tersebut dalam penggunaannya adalah selektif
sesuai dengan lingkungan yang dihadapi pendukungnya.

Kebudayaan dapat dilihat sebagai:

1. Pengetahuan yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat yang memiliki kebudayaan


tersebut;
2. Kebudayaan adalah milik masyarakat manusia, bukan daerah atau tempat yang
mempunyai kebudayaan tetapi manusialah yang mempunyai kebudayaan:
3. Sebagai pengetahuan yang diyakini kebenarannya, kebudayaan adalah pedoman
menyeluruh yang mendalam dan mendasar bagi kehidupan masyarakat yang
bersangkutan:
4. Sebagai pedoman bagi kehidupan, kebudayaan dibedakan dari kelakuan dan hasil
kelakuan; karena kelakuan itu terwujud dengan mengacu atau berpedoman pada
kebudayaan yang dimiliki oleh pelakunya.
Sebagai pengetahuan, kebudayaan berisikan konsep-konsep, metode-metode, resep-resep,
dan petunjuk-petunjuk untuk memilah (mengkategorisasi) konsep-konsep dan merangkai hasil
pilahan untuk dapat digunakan sebagai pedoman dalam menginterpretasi dan memahami
lingkungan yang dihadapi dan dalam mewujudkan tindakan-tindakan guna menghadapi dan
memanfaatkan lingkungan dan sumber dayanya dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan untuk
kelangsungan hidup. Dengan demikian pengertian kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan
adalah sebagai pedoman dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Kebudayaan adalah komplikasi atau jalinan yang mengatur pengetahuan, kepercayaan,


kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan
lain yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan. meliputi semua hasil
cipta, karsa, rasa, dan karya manusia.Pengertian kebudayaan (culture) dalam arti luas merupakan.
kreativitas manusia (cipta, rasa dan karsa) dalam rangka mempertahankan kelangsungan
hidupnya Manusia akan selalu melakukan kreativitas (dalam arti luas) untuk memenuhi
kebutuhannya (biologis sosiolois, psikologis) yang diseimbangkan dengan ancaman, gangguan,
hambatan, dan tantangan (AGHT) dari lingkungan alam dan sosial. Pernyataannya dapat dalam
bentuk bahasa (lisan, tulisan, isyarat), benda (tools and equipment), sikap dan kebiasaan
(adat/habit and attitude), dan lain sebagainya Komponen-komponen kebudayaan di antaranya
politik, ekonomi, sosial, teknologi, transportasi, komunikasi, dan religi.

Komponen- komponen ini merupakan bagian dari sistem kebudayaan yang tak
terpisahkan, dan bingkainya (boundary cultural system) adalah supranatural. Bagaimana manusia
mengkreasi semua ini (how to create) adalah berbeda antara kelompok yang satu dengan yang
lain. Sebagai contoh, masyarakat nelayan Pantai Utara Jawa berbeda dengan Pantai Selatan Jawa
dalam menciptakan perahu. Perahu masyarakat Pantai Utara dibangun dengan papan yang
disambung-sambung dan tanpa cadik (penyeimbang), sementara masyarakat nelayan Pantai
Selatan Jawa membuat perahu dari kayu gelondongan dengan memakai cadik.

Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan yang sama, yaitu untuk alat (tools) berlayar guna
menangkap ikan (baik masyarakat Pantai Utara maupun Selatan) untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya (needs), tetapi karena tantangan alam yang berbeda maka penciptaan teknologinya pun
berbeda. Demikian pula dalam aspek kehidupan yang lain.

Berikut ini definisi-definisi kebudayaan yang dikemukakan beberapa ahli


a. Edward B. Taylor

Kebudayaan adalah kompleks yang mengatur pengetahuan, kepercayaan, kesenian,


moral, hukum, adat istiadat dan lain-lain kemampuan serta kebiasaan yang didapatkan oleh
manusia sebagai anggota masyarakat. Atau kebudayaan dapat dipandang sebagai semua cara
hidup (way of life) yang dipelajari dan diharapkan, yang sama-sama diikuti oleh setiap anggota
dari suatu kelompok masyarakat tertentu.

a. M. Jacobs dan B.J. Stern

Kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi bentuk teknologi sosial, ideologi,


religi, dan kesenian serta benda, yang kesemuanya merupakan warisan sosial

b. Koentjaraningrat

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan pelajar.

c. Dr. K. Kupper

Kebudayaan merupakan sistem gagasan yang menjadi pedoman dan pengarah bagi
manusia dalam bersikap dan. berperilaku, baik secara individu maupun kelompok.

d. William H. Haviland

Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh
setiap anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh anggotanya akan melahirkan
perilaku yang dipandang layak dan dapat juga dikatakan bahwa kebudayaan adalah
semua perilaku dan semua produk yang dihasilkan oleh seseorang sebagai anggota suatu
masyarakat ditemukan melalui interaksi simbolis.

e. Bounded, et.al

Kebudayaan adalah sesuatu yang terbentuk oleh pengembangan dan transmisi dari
kepercayaan manusia melalui simbol-simbol tertentu, misalnya simbol bahasa sebagai
rangkaian simbol yang digunakan untuk mengalihkan keyakinan budaya di antara para
anggota suatu masyarakat. Pesan-pesan tentang kebudayaan yang diharapkan dapat
ditemukan dalam media, pemerintahan, intitusi agama, sistem pendidikan dan yang
semacamnya.

f. Mitchell (Dictionary of Soriblogy)

Kebudayaan adalah sebagian perulangan keseluruhan tindakan atau aktivitas manusia


dan produk yang dihasilkan manusia yang telah memasyarakat secara sosial dan bukan
sekedar dialihkan secara genetikal.

g. Robert H. Lowie

Kebudayaan adalah segala sesuatu yang diperoleh individu dari masyarakat,


mencakup kepercayaan, adat istiadat norma-norma artistik, kebiasaan makan, keahlian
yang diperoleh bukan dari kreativitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa
lampau yang didapat melalui pendidikan formal atau informal.

h. R. Soekmono, Arkeolog
Kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa benda ataupun buah
pikiran dalam penghidupan.
i. Malinowski

Kebudayaan didasarkan atas berbagai sistem kebutuhan manusia, yang pada


tingkatnya menghasilkan corak budaya yang khas. Misalnya, guna memenuhi kebutuhan
manusia akan keselamatan, maka timbul kebudayaan yang berupa perlindungan, yaitu
seperangkat budaya dalam bentuk tertentu seperti lembaga kemasyarakatan.

j. A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn

Kebudayaan adalah manifestasi atau penjelmaan kerja jiwa manusia dalam arti
seluas-luasnya.

k. Sultan Takdir Alisyahbana

Kebudayaan adalah manifestasi dari cara berpikir sehingga pola kebudayaan itu
sangat luas sebab semua laku dan perbuatan manusia tercakup di dalamnya dan dapat
diungkapkan pada basis dan cara berpikir, termasuk di dalamnya perasaan karena
perasaan juga merupakan maksud dari pikiran.
l. C.A. van Puersen

Kebudayaan diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan kehidupan


setiap kelompok orang. Untuk dapat hidup manusia harus mengubah segala sesuatu yang
disediakan oleh alam, misalnya mengubah beras menjadi nasi. Terwujudnya kebudayaan
dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yaitu hal-hal yang menggerakkan manusia untuk
menghasilkan kebudayaan. Jadi kebudayaan merupakan produk kekuatan jiwa manusia
sebagai makhluk Tuhan yang tertinggi. Meskipun tubuhnya lemah, tetapi manusia
mempunyai akal sehingga mampu menciptakan alat (sebagai homo faber) dan akhirnya
mampu menjadi penguasa dunia. Manusia dikatakan sebagai insan budaya.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah sistem
pengetahuan yang meliputi sistem ide gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia sehingga
dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan disempurnakan dalam
bahasa lisan dan akhirnya menjadi yang bahasa tulisan. Karena semuanya merupakan simbol
maka manusiapun disebut animal symbolic. Bahasa-bahasa maju memiliki kosa-kata yang
semakin banyak jumlahnya sehingga lebih komunikatif.

Kesenian Merupakan produk manusia sebagai homo esteticus. Setelah kebutuhan fisik
terpenuhi maka manusia kemudian berupaya memenuhi kebutuhan psikisnya, yang didapat
dengan menciptakan kesenian. Ini merupakan kebutuhan manusia terakhir secara budaya setelah
enam unsur budaya yang lain terpenuhi.

B. Wujud Kebudayaan

Secara umum wujud kebudayaan dibedakan menjadi dua, yaitu kebudayaan bendaniah
(material) dengan ciri-ciri dapat dilihat, diraba dan dirasa sehingga lebih konkret dan mudah
dipahami, dan kebudayaan rohaniah (spiritual) dengan ciri hanya dapat dirasa sehingga bersifat
abstrak dan lebih sulit dipahami.

Koentjaraningrat membagi kebudayaan atas tiga wujud, yaitu:

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,


norma-norma, dan peraturan-peraturan.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari
manusia dalam masyarakat. J. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya
manusia.

Wujud pertama adalah wujud yang ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tak dapat
dilihat, tak dapat diraba. Lokasinya ada dalam alam pikiran warga masyarakat di mana
kebudayaan tersebut hidup. Kebudayaan ideal ini dapat disebut adat tata kelakuan, atau adat
istiadat dalam bentuk jamaknya. Wujud kedua dari kebudayaan yang sering disebut sistem sosial,
mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-
aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu dengan yang lain menurut
pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Wujud ketiga dari kebudayaan disebut
kebudayaan fisik, yang berupa seluruh total dari hasil fisik dan aktivitas, perbuatan dan karya
semua manusia dalam masyarakat.

Kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
untuk memenuhi kehidupan dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan
masyarakat. Konsepsi tersebut dapat dirinci sebagai berikut:

a. Bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan manusia, sehingga
meliputi:
1). Kebudayaan material (bersifat jasmaniah), yang meliputi benda-benda ciptaan
manusia.
2). Kebudayaan non-material (bersifat rohaniah), yaitu semua hal yang tidak dapat
dilihat dan diraba, misalnya religi (walau tidak semua religi ciptaan manusia).
b. Bahwa kebudayaan itu tidak diwariskan secara generatif (biologis), melainkan hanya
mungkin diperoleh dengan cara belajar
b. Bahwa kebudayaan diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Tanpa
masyarakat akan sukarlah bagi manusia untuk membentuk kebudayaan. Sebaliknya tanpa
kebudayaan tidak mungkin manusia baik secara individual maupun masyarakat dapat
mempertahankan kehidupannya.

Dua kekayaan manusia yang paling utama ialah akal dan budi atau yang lazim disebut
pikiran dan perasaan. Di satu sisi akal dan budi atau pikiran dan perasaan telah memungkinkan
munculnya tuntutan-tuntutan hidup manusia yang lebih daripada tuntutan hidup makhluk lain.
Sedangkan pada sisi yang lain, akal dan budi memungkinkan munculnya karya-karya manusia
yang sampai kapanpun tidak pernah akan dapat dihasilkan oleh makhluk lain. Cipta, karsa dan
rasa pada manusia sebagai buah akal budinya terus bergerak, berusaha menciptakan benda-benda
baru untuk memenuhi hajat hidupnya; baik yang bersifat rohani maupun jasmani.

Pendapat lain menyebutkan bahwa paling tidak terdapat tiga wujud kebudayaan, yaitu:

1. Sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan
sebagainya yang berfungsi mengatur mengendalikan dan memberi arah pada
kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat yang disebut adat tata kelakuan
2. Sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam
masyarakat, yang disebut sistem sosial, yang urdin dari rangkaian aktivitas manusia
dalam masyarakat yang selalu mengikuti pola pola tertentu berdasarkan adat tata
kalakuan, misalnya gotong royong dan kerja sama
3. Sebagai benda-benda hasil karya manusia yang disebut kebudayaan fisik,
misalnya pabrik baja, candi Borobudur, pesawat udara, komputer, dan lain-lain..

Masing-masing wujud kebudayaan memiliki nilai-nilai insani etika dan estetika. Disebut
nilai etika karena menyangkut kelakuan dan perbuatan manusia yang sesuai dengan dan yang
menghargai martabat manusia. Manakala kelakuan dan perbuatan tidak sesuai dengan atau
merendahkan martabat manusia maka akan timbul masalah kemanusiaan. Contohnya
pemerkosaan, kawin paksa, penyiksaan pembantu rumah tangga, dan lain-lain.

Disebut nilai estetika karena menyangkut hasil karya manusia yang berguna dan
menyenangkan serta menyejahterakan. Contohnya adalah nuklir untuk pembangkit tenaga listrik
dan bahan kimia untuk membasmi penyakit. Manakala hasil karya manusia tersebut tidak
berguna bahkan membunuh atau menghancurkan manusia maka akan timbul masalah budaya.
Contoh, nuklir untuk membuat bom guna menghancurkan manusia atau bahan kimia untuk
membuat senjata pembasmi manusia secara massal. Nilai-nilai insani etika meliputi wujud
pertama dan kedua (kompleks ide dan kompleks aktivitas) dan nilai estetika terdapat pada wujud
ketiga.
C. Sifat Kebudayaan

Keragaman budaya di Indonesia membawa akibat pada beragamnya sifat kebudayaan.


Secara umum terdapat tujuh sifat kebudayaan, yaitu beranekaragam, didapat dan diteruskan
secara sosial dengan pelajaran, dijabarkan dalam komponen-komponen, memiliki struktur,
memiliki nilai, bersifat statis dan dinamis dan dapat dibagi dalam bidang-bidang atau aspek-
aspek. Masing- masing diuraikan sebagai berikut:

1. Kebudayaan beranekaragam Beberapa faktor yang menyebabkan keanekaragaman


kebudayaan antara lain karena tubuh manusia tidak memiliki struktur anatomi khusus
yang mampu membawanya beradaptasi dengan lingkungan. Karena inilah maka
manusia menciptakan kebudayaan yang disesuaikan dengan kebutuhan hidupnya.
Keanekaragaman tersebut juga disebabkan karena perbedaan kadar atau bobot kontak
budaya antarbangsa. Pakaian, rumah, dan makanan bangsa Indonesia yang hidup di
daerah tropis sangat berbeda dengan pakaian, rumah, dan makanan bangsa Eskimo yang
hidup di daerah kutub.
2. Kebudayaan dapat diteruskan secara sosial dengan pelajaran Kebudayaan dapat
diteruskan secara horisontal dan vertikal. Penerusan secara horizontal terhadap satu
generasi dilakukan secara lisan, dan penerusan vertikal antargenerasi dilakukan melalui
tulisan. Dengan daya ingat yang tinggi, manusia mampu menyimpan pengalaman
pribadi maupun yang diperoleh dari orang lain.
3. Kebudayaan dijabarkan dalam komponen-komponen biologi, psikologi, dan
sosiologi Pribadi manusia dibentuk oleh tiga komponen, yaitu biologi psikologi, dan
sosiologi. Secara biologis manusia memiliki sifat yang diturunkan secara hereditas oleh
orangtuanya dan diperoleh sewaktu dalam kandungan sebagai kodrat pertama (primary
nature). Sementara itu manusia juga memiliki sifat-sifat psikologi yang diperoleh dari
orangtuanya sebagai dasar atau pembawaan. Setelah seorang bayi dilahirkan dan
berkembang menjadi anak dalam alam kedua (secondary primary), pribadinya dibentuk
oleh lingkungan, khususnya pendidikan. Manusia sebagai unsur masyarakat dalam
lingkungan ikut serta dalam pembentukan kebudayaan.
4. Kebudayaan memiliki struktur Unsur cultural universal dapat dibagi-bagi dalam
bagian yang lebih kecil, yaitu traits complex, lalu dibagi lagi dalam traits dan dibagi lagi
dalam item. Bertani, misalnya, memerlukan cangkul dan bajak. Cangkul dan bajak
dibagi lagi menjadi kayu dan besi, dan seterusnya. Kebudayaan nasional dibagi menjadi
kebudayaan suku bangsa yang kemudian dibagi lagi berdasarkan agama, adat-istiadat,
dan sebagainya.
5. Kebudayaan memiliki nilai Cultural valuesebuah kebudayaan bersifat relatif,
bergantung kepada siapa yang memberikan nilai dan apa alat ukur yang dipergunakan.
Bangsa Barat cenderung memakai ukuran materi sebagai alat penilaian kebudayaan
sementara bangsa timur lebih memakai ukuran rohani.
6. Kebudayaan memiliki sifat statis dan dinamis Kebudayaan tidak mungkin bersifat
statis sama sekali. Kebudayaan dikatakan statis manakala dalam jangka panjang hanya
sedikit saja yang mengalami perubahan. Sebaliknya dikatakan kebudayaan yang dinamis
manakala dalam waktu singkat banyak terjadi perubahan.
7. Kebudayaan dapat dibagi dalam bermacam-macam bidang atau aspek Ada
kebudayaan yang bersifat rohani dan kebendaan (spiritual and material culture), ada
kebudayaan darat dan maritim (terra and aqua culture), dan kebudayaan menurut daerah
yang dapat dibagi menurut suku bangsa atau subsuku bangsa (areal culture).

Sekali lagi, pembagian tersebut sangat tergantung pada siapa yang melakukan, untuk apa
dilakukan, dan alat ukur apa yang dipakai untuk melakukan penilaian.

D. Sistem Nilai Budaya

Menilai berarti memberi pertimbangan untuk menentukan apakah sesuatu itu bermanfaat
atau tidak, baik atau buruk, benar ataukah salah. Hasil penilaian ini disebut sebagai nilai (value).
Senantiasa lebih menghendaki nilai kemanfaatan daripada kerugian, nilai kebaikan dari pada
keburukan, nilai kebenaran daripada kesalahan. Alasannya adalah karena nilai-nilai kerugian,
keburukan dan kesalahan adalah sumber kehancuran, kemiskinan dan kebodohan dalam
masyarakat. Manakala ada manusia yang memilih nilai-nilai ini maka dianggap telah melakukan
penyimpangan, salah arah dan salah jalan, yang oleh karenanya perlu disadarkan dan
diselamatkan agar "kembali ke jalan yang benar dan bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun
bagi masyarakat.

Konsepsi-konsepsi tentang nilai yang hidup dalam pikiran sebagian besar warga
masyarakat membentuk sistem nilai budaya yang berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi
kelakuan manusia dalam tingkatan yang paling abstrak. Sistem nilai budaya ini meresap kuat
dalam jiwa warga masyarakat sehingga sukar diganti dengan nilai budaya lain dalam waktu yang
singkat.

Sistem nilai budaya berorientasi pada lima masalah pokok dalam kehidupan manusia,
yaitu:

1. Hakikat dari Hidup Manusia (HM)

Ada kebudayaan yang memandang hakikat hidup manusia adalah buruk dan
menyedihkan, dan oleh karenanya harus dihindari dengan berusaha agar hidup menjadi
baik dan menggembirakan. Sebaliknya ada kebudayaan yang memandang bahwa hakikat
hidup itu sebagai sesuatu yang baik dan menggembirakan, dan oleh karenanya maka
hidup itu harus diisi.

2. Hakikat dari Karya Manusia (KM)

Ada kebudayaan yang memandang bahwa hakikat karya manusia adalah untuk
memungkinkan manusia bisa hidup dan oleh karenanya maka karya dipandang sebagai
sumber nafkah hidup. Sebaliknya ada kebudayaan yang memandang bahwa hakikat karya
manusia adalah untuk memberikan manusia kedudukan dan kehormatan dalam
masyarakat dan oleh karenanya maka karya manusia menjadi sumber kedudukan,
kehormatan dan harga diri dalam masyarakat. Ada juga kebudayaan yang memandang
bahwa hakikat karya manusia adalah sebagai gerak hidup untuk menghasilkan karya yang
lebih banyak lagi dan oleh karenanya maka karya manusia menjadi pendorong agar
manusia selalu kreatif meningkatkan kemampuan menambah karyanya.

3. Hakikat dari Kedudukan Manusia dalam Ruang dan Waktu (MW)

Ada kebudayaan yang memandang bahwa hakikat waktu hidup manusia lebih
mementingkan kehidupan manusia di masa lampau. Ada yang berorientasi mementingkan
kehidupan di masa sekarang dan ada pula yang berorientasi sejauh mungkin pada
kehidupan manusia di masa yang akan datang. Untuk kategori yang terakhir ini maka
perencanaan hidup menjadi sesuatu yang amat penting.

4. Hakikat dari Hubungan Manusia dengan Alam (MA)


Ada kebudayaan yang memandang bahwa hakikat alam adalah begitu dahsyat
sehingga manusia hanya menyerah kepada alam. Ada pula yang memandang hakikat
alam itu dapat dilawan dan oleh karenanya maka manusia harus mampu menaklukkan
alam dan mengambil manfaatnya. Ada juga kebudayaan yang memandang hakikat alam
adalah baik dan indah dan oleh karenanya maka manusia harus mampu hidup harmonis
dengan alam dan memelihara hubungan baik antara manusia dengan alam lingkungannya.

5. Hakikat dari Hubungan Manusia dengan Sesamanya (MM)

Ada kebudayaan yang memandang hakikat hubungan antar sesama manusia lebih
mementingkan hubungan horizontal dan oleh karenanya maka ada rasa ketergantungan
yang erat antara satu dengan yang lain. Ada pula kebudayaan yang memandang hakikat
hubungan sesama manusia lebih mementingkan hubungan vertikal, yaitu hubungan
dengan senior, tokoh masyarakat, pimpinan atau atasan dan oleh karenanya maka ada rasa
ketergantungan kepada tokoh masyarakat atau atasan yang berpangkat. Ada pula
kebudayaan yang memandang bahwa hakikat hubungan sesama manusia adalah mandiri
atau sendiri dan oleh karenanya maka yang bersangkutan memerlukan sesedikit mungkin
bantuan orang lain.

a. Unyil

Masa lalu dan masa sekarangnya boleh jadi tidak memiliki arti, sehingga ia lebih
menggantungkan hidupnya pada masa depan. Ini tercermin pada sikapnya yang suka
mengatur teman-temannya. Menurut Galenus, Unyil termasuk tipe sanguinikus.

b. Pak Raden

Termasuk orang yang sentimentil menurut tipologi Heymans karena lebih senang
mengenang masa lalu. Akan tetapi termasuk tipe flegmatikus menurut Galenus karena
lebih mengagumi masa sekarang, merasa tidak memiliki masa lalu yang jaya dan boleh
jadi masa depannyapun tidak pasti atau bahkan semakin suram.

E. Peradaban dan Kebudayaan

Sebagai makhluk budaya, semua manusia adalah sama karena dibekali oleh Tuhan Sang
Pencipta dengan akal, nurani dan kehen- dak dalam dirinya. Hal yang membedakan adalah
perwujudan budaya karena lingkungan yang berbeda menurut keadaan, waktu dan tempat.
Perwujudan budaya dapat dilakukan dengan menekankan pada ratio (akal) saja, atau dapat pula
menekankan pada semua unsur (akal, nurani dan kehendak) sebagai satu kesatuan yang utuh.

Perwujudan budaya, menurut Sutan Takdir Alisjahbana, yang hanya menekankan akal
saja akan melahirkan peradaban yang berbeda. Akal selalu dikaitkan dengan civilization, bukan
culture. Oleh karenanya ada pernyataan peradaban tinggi dan rendah karena diukur dengan
tingkatan berpikir manusia. Manusia yang mampu berpikir tinggi dikatakan berperadaban tinggi,
dan sebaliknya. Perwujudan budaya yang menekankan pada ketiga unsur sebagai satu kesatuan
yang utuh akan menimbulkan kebudayaan yang berbeda, sehingga muncul istilah kebudayaan
tinggi dan rendah karena diukur dengan kemanfaatannya bagi manusia.

Hubungan antara peradaban dan kebudayaan dijelaskan sebage berikut: Peradaban


manusia yang rendah belum tentu dikuti dengan kebudayaan yang rendah. Dibangunnya Candi
Borobudur menunjukkan tingkat kebudayaan saat itu yang sudah ting karena Candi Borobudur
dibangun tanpa bantuan alat-alat atau teknologi tinggi, meskipun tingkat peradaban (cara
berpikirnya) masih rendah.

Koentjaraningrat membedakan kebudayaan dan peradaban sebagai berikut: Peradaban


hanya menekankan pada unsur tertentu, bisa unsur akal atau nurani saja. Versi barat, peradaban
lebih mengutamakan unsur akal, sementara menurut versi timur peradaban lebih mengutamakan
unsur nurani atau perasaan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di barat lebih unggul
dibandingkan timur, akan tetapi timur lebih mengutamakan hat nurani daripada akal. Baik
menurut akal di barat, belum tentu bail dan sesuai menurut nurani di timur.

Terjadinya disharmoni antara barat dan timur disebabic pikiran barat tentang timur yang
penuh dengan bayangan negat stereotip dan prasangka. Dalam pikiran timur, barat diang sebagai
materialis, kapitalis, rasionalis, dinamis, saintis, positivis dan sekularis, sementara pikiran barat
tentang timur adalah kemiskinan, kebodohan, fatalis, dan kontemplatif. Pandangan indah yang
menimbulkan sikap berlawanan yang akhirnya mewujudkan konflik, disharmoni, persaingan dan
bahkan perang.
F. Kebudayaan Daerah

Budaya majemuk (pluralistic) yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dimungkinkan karena
berbagai faktor penyebab antara lain karena wilayahnya, karena penduduknya atau karena
kepentingannya. Wilayah Indonesia terdiri atas lebih dari 17.504 pulau dan hampir semua pulau
berpenghuni. Yang tinggal di satu pulaupun masih mungkin sekali dipisahkan oleh adanya sungai
danau, gunung, dan pegunungan. Ini berarti masing-masing kelompok manusia (masyarakat)
memiliki cara hidup dan budaya yang tidak sama antara satu dengan lainnya.

Di samping menghuni banyak pulau, penduduk Indonesia pun terdiri atas bermacam-
macam keturunan, ras ataupun suku bangsa. Jumlah penduduk yang 237,6 juta jiwa terdiri dari
10.068 suku bangsa dengan 615 bahasa daerah. Sungguh luar biasa! Di bagian timur, penduduk
asli Indonesia termasuk ras Negroid sub-ras Papua Melanesoid dengan ciri kulit hitam, rambut
keriting, dan badan kekar. Di Indonesia bagian barat, penduduk aslinya termasuk ras Mongoloid
sub-ras Melayu dengan ciri kulit sawo matang, rambut lurus, dan badan sedang. Belum lagi
penduduk hasil perkawinan campuran yang pada umumnya induknya berasal dari penduduk asli
dan bapaknya dari penduduk asing.

Kepentingan manusia merupakan faktor lain yang menimbulkan kebutuhan kebudayaan


majemuk, terutama terkait dengan mata pencaharian. Ada masyarakat petani, masyarakat
nelayan, masyarakat pegawai, dan lain-lain. Makin tinggi kedudukan, makin tinggi pula
syaratnya. Peralatan dan peraturan yang dipergunakan oleh masing-masing kelompok pun
berbeda. Bajak petani akan jauh beda dengan perahu nelayan, dan beda pula dengan mesin tulis
atau komputer pegawai. Petani dan nelayan tidak terikat dengan waktu, akan tetapi hal itu mutlak
bagi pegawai. Petani dan nelayan relatif tidak membutuhkan pendidikan formal, akan tetapi
menjadi perhatian utama bagi pegawat.

Wilayah, penduduk dan kepentingan tersebut kemudian menimbulkan apa yang disebut
dengan daerah budaya (cultural area atau kultuurprovinz) yang memiliki suatu budaya yang khas
yang membedakannya dengan daerah lain, dan tidak sama pula dengan daerah pemerintahan
(public adminisration atau political administration). Contoh di Sumatera Utara ada budaya Melay
Tapanuli dan Nias. Suku Tapanuli pun masih terbagi lagi menja subsuku Karo, Simalungun,
Toba, Dairi, Angkola, dan Mandailing
Daerah budaya ini di samping memiliki suku yang berbela juga memiliki bahasa, lagu,
pakaian, seni, dan model bangunan yang berbeda. Sebagaimana telah disebutkan terdahulu,
Indonesia memiliki 10.068 suku bangsa dengan 615 bahasa daerah. Terkait dengan rumah dan
bangunan tradisional yang menjadi ciri khas daerah, terdapat uraian contoh sebagai berikut.
Rumah tradisional Jawa memiliki tiga ciri khas, yaitu:

1. Didirikan langsung di atas tanah dengan pertimbangan (dahulu) tidak ada banjir
dan gangguan binatang buas.

2. Dibuat dalam ukuran kecil karena hanya untuk keluarga batih yang terdiri dari
ayah, ibu dan anak-anak.

3. Pada umumnya tidak mengenal hiasan pada dinding rumah Ini merupakan
pengaruh agama Islam yang melarang pemakaian hiasan terutama yang bergambar atau
berwujud binatang dan manusia.

Di tanah Jawa dikenal rumah Joglo yang menunjukkan posisi sosial kaum
bangsawan, rumah limasan untuk kaum priyayi, rumah srotong atau doro gepak untuk
'wong cilik. Di luar Jawa, bangunan tradisional memiliki beberapa ciri berikut:

1. Berbentuk panggung dan sangat kuat karena mem- perhitungkan adanya


bahaya (banjir atau gangguan binatang buas). Dulu rumah juga merupakan bagian dari
'benteng pertahanan' dari gangguan suku lain.

2. Dibuat dalam ukuran besar karena berfungsi sebagai rumah keluarga, tidak
hanya keluarga batih saja tetapi keluarga besar, termasuk di dalamnya menantu, orangtua
dan para saudara. Ada Rumah Gadang di Sumatera Barat dan ada. Rumah Panjang (bisa
sampai 200 m) di Kalimantan.

3. Hiasan rumah sangat meriah dengan warna-warni yang mencolok seperti


merah, putih dan hitam. Contohnya di Toraja (Sulawesi Selatan), Kalimantan, Tapanuli
(Sumatera Utara), dan Sumatera Barat.

Di samping bentuk bangunan, daerah budaya juga melahirkan bentuk pakaian yang
berbeda. Pakaian daerah (terutama untuk kaum perempuan) dari Jawa berbeda sangat mencolok
dengan pakaian dari luar Jawa. Beberapa ciri pakaian daerah (untuk perempuan) di Jawa antara
lain:

a. Potongan agak ketat sehingga bentuk tubuh asli terlihat.


b. Menggunakan kain batik, dipakai sangat ketat sehingga gerak langkah pemakai
pun menjadi sangat pelan.
c. Pilihan warna yang lembut.
d. Hiasan yang dipergunakan berukuran kecil dan sederhana.

Pakaian daerah laki-laki Jawa berciri:

1) Blangkon kain batik sebagai penutup kepala dipakai ketat melekat.


2) Baju dari kain tebal, ketat menutup leher.
3) Bagian bawah berupa kain batik yang jenis kain dan coraknya menunjukkan
status sosial pemakainya.
4) Dilengkapi dengan keris yang diselipkan di bagian belakang badan.

Sementara ciri pakaian daerah kaum perempuan dari luar Jawa antara lain:

1) Potongan lebih longgar. lebih gesit.


2) Menggunakan kain sarung tenun sehingga gerak pemakainya
3) Pilihan warna mencolok, misalnya merah, kuning, biru, dan hijau.
4) Hiasan warna keemasan yang dipakai sangat banyak dan mencolok.

Pakaian daerah laki-laki dari luar Jawa bercirikan:

1) Tutup kepala yang terbuat dari destar atau kain tenun, biasa disebut peci.
2) Baju dan celana dari kain tipis dengan potongan longgar, pada umumnya dengan
model Cina.
3) Dilengkapi senjata (daerah) yang diselipkan di bagian depan badan.
4) Sarung hanya sebagai pelengkap yang dililitkan di pinggang atau disandang di
bahu.

Dewasa ini, sebagai akibat dari akulturasi budaya, campuran dari satu atau lebih budaya
karena efek persinggungan wilayah atau migrasi penduduk, perbedaan bangunan rumah atau
pakaian daerah sudah tidak lagi mencolok. Diterimanya Wawasan Nusantara sebagai bagian dari
pemikiran Indonesia sebagai suatu kesatuan. membuat segala sesuatu yang bersifat kedaerahan
berangsur- angsur mengarah kepada pemilikan oleh bangsa Indonesia. Tidak ada lagi kata
budaya Jawa, budaya Sumatera, tetapi yang ada adalah budaya Indonesia.

G. Kebudayaan Nasional Indonesia

Sutan Takdir Alisyahbana menyebutnya sebagai Kebudayaan Indonesia Raya, yang harus
diciptakan sebagai sesuatu yang dengan mengambil banyak unsur dari kebudayaan barat, antara
lain teknologi, orientasi ekonomi, ketrampilan berorganisasi, dan ilmu pengetahuan. Pendapat ini
ditentang oleh Sanusi Pane yang menyebutkan bahwa kebudayaan nasional Indonesia sebagai
kebudayaan timur harus mementingkan kerohanian, perasaan dan gotong royong, dan manusia
Indonesia tidak boleh melupakan sejarahnya.

Pendapat ini diperkuat oleh Poerbatjaraka yang berharap agar bangsa Indonesia lebih
banyak mempelajari sejarah dan kebudayaannya untuk membangun kebudayaan baru. Pendapat
ini mirip dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara yang menyebutkan bahwa kebudayaan
Indonesia harus berakar pada kebudayaan suku-suku bangsa Indonesia dan menjadi puncak dari
kebudayaan- kebudayaan daerah.

Kebudayaan nasional Indonesia memiliki dua fungsi, yaitu:

1. Sebagai suatu sistem gagasan dan perlambang yang memberi identitas kepada
warga negara Indonesia
2. Sebagai suatu sistem gagasan dan perlambang yang dapat dipakai oleh semua
warga negara Indonesia yang bhinneka untuk saling berkomunikasi memperkuat
solidaritas. Untuk dapat mencapai kedua fungsi tersebut, masing-masing harus
memenuhi tiga syarat berikut:
a. Fungsi pertama:
1) Harus merupakan hasil karya warga negara Indonesia.
2) Tema pemikiran atau wujudnya mengandung ciri-ciri khas bangsa Indonesia.
3) Oleh sebanyak mungkin warga Indonesia harus dinilai sangat tinggi sehingga
dapat dijadikan sebagai kebang- gaan.
b. Fungsi kedua:
1) Harus merupakan hasil karya warga negara Indonesia.
2) Tema pemikiran atau wujudnya mengandung ciri-ciri khas bangsa Indonesia.

Harus merupakan hasil karya dan tingkah laku warga negara Indonesia sehingga dapat
dipahami oleh seba- gian besar warga Indonesia yang berasal dari kebu- dayaan suku-suku
bangsa, umat beragama dan ciri-ciri keturunan ras yang beraneka warna. Dengan cara-cara
kebudayaan nasional Indonesia diharapkan menjadi gagasan kolektif (representation collective)
sehingga unsur-unsurnya dapat berfungsi sebagai wahana komunikasi dan sebagai alat untuk
menumbuhkan saling pengertian di antara beraneka ragam manusia Indonesia yang pada giliran
selanjutnya diharapkan dapat mempertinggi rasa solidaritas bangsa.

Karena Pancasila adalah dasar negara, falsafah negara, ideologi negara bangsa Indonesia
dan merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia, maka kebudayaan nasional Indonesia
haruslah memiliki asas-asas yang bersumber pada Pancasila, yang dibedakan menjadi dua
bagian, yaitu:

a) Bagian pertama, terkandung asas-asas pokok sebagaimana disebutkan langsung


dalam Pancasila, yaitu asas ketuhanan, asas kemanusiaan yang adil dan beradab, asas
kesatuan bangsa, asas kerakyatan dan asas keadilan sosial.
b) Bagian kedua, terkandung asas-asas penguat, yaitu asas kebhinnekaan, asas
kreativitas, asas ketahanan, dan kelangsungan hidup bangsa serta asas kekeluargaan.

Terpenuhinya dua bagian tersebut akan membawa kebudayaan nasional Indonesia


tidak menyimpang dari dasar yang telah ditetapkan, untuk masa sekarang dapat
memberikan identitas, dan untuk masa yang akan datang dapat memelihara kelangsungan
budaya nasional. Lima langkah atau strategi yang dapat dilakukan untuk menciptakan
kebudayaan nasional Indonesia sebagai kegiatan dan proses demi kejayaan bangsa dan
negara, yaitu:

1. Akulturasi Artinya percampuran dua atau lebih kebudayaan yang dalam


percampuran tersebut masing-masing unsurnya tetap nampak. Pada masa sekarang,
sangat mustahil sebuah negara dapat berkembang apabila tidak mendapatkan pengaruh
dari kebudayaan asing. Kebudayaan asing yang, yang sesuai dengan kepribadian bangsa
Indonesia (bukan yang dapat menghilangkan kepribadian Indonesia), sangat diperlukan
untuk mengembangkan kebudayaan Indonesia.
2. Progresivitas Artinya, kebudayaan itu harus bergerak maju (cultural change)
mengarah ke masa depan. Budaya teknologi dan pemikiran ekonomi yang telah
diperoleh dari bangsa asing harus diterapkan dan dikembangkan demi kejayaan budaya
Indonesia di masa depan. Misalnya, wayang (budaya Jawa yang menggunakan Bahasa
Jawa) sebaiknya diceriterakan dalam Bahasa Indonesia agar juga dapat dipahami oleh
suku-suku bangsa yang lain. Cerita daerah akan lebih menarik manakala disajikan dalam
bentuk film dengan menggunakan teknologi elektronik.
3. Sistem Pendidikan Sistem pendidikan di Indonesia harus mampu menanamkan
kebudayaan sosial dengan memberikan nilai-nilai pelajaran sejarah kebudayaan yang
bersifat humaniora (manusiawi).
4. Kebijaksanaan Bahasa Nasional Melalui Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi
di Indonesia, telah dilakukan komunikasi yang baik dan efektif dalam rangka
menunjang persatuan dan kesatuan. Melalui bahasa Indonesia, setiap manusia Indonesia
dapat memahami berita yang disiarkan melalui media cetak dan elektronik sehingga
wawasan bertambah dan berkembang. Inilah hasil yang paling menonjol sebagai wujud
kebudayaan nasional.
5. Sosialisasi Nilai-nilai Pancasila Dilakukan melalui kurikulum Pendidikan Moral
Pancasila dan Pancasila di semua tingkatan satuan Pendidikan maupun perguruan tinggi.

Satu hal yang tidak kalah pentingnya dalam rangka mewujudkan kebudayaan nasional
Indonesia adalah menyertakan rakyat dalam semua langkah yang dilakukan. Ini sangat mudah
dipahami mengingat bahwa:

a) Rakyat merupakan sumber kekuatan.


b) Rakyat merupakan pendukung kebudayaan.
c) Sumber budaya atau ilham bagi pencipta kebudayaan diperoleh dari rakyat.
d) Untuk rakyat jua lah semua upaya ini dilakukan.
e) Kebudayaan dapat lebih lestari dalam kehidupan masyarakat
HUBUNGAN SOSIAL ANTAR KELOMPOK ETNIK'

Isu tentang hubungan antar kelompok etnik masih menjadi isu penting terutama pada
masa reformasi ini. Etnisitas dan hubungan antar kelompok etnik dipandang memiliki hubungan
yang erat dengan masalah-masalah pembangunan masyarakat Indonesia. Keberagaman budaya
yang dimiliki masyarakat Indonesia pada dasarnya adalah sebuah potensi untuk membentuk
identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Kecenderungan ini memang tidak saja terjadi dalam
konteks masyarakat Indonesia, namun telah menjadi kecenderungan pada masyarakat dunia,
seperti diungkapkan. Huntington (1997: 28):
Di dunia baru ini, konflik yang paling menyebar, penting, dan berbahaya tidak akan
terjadi antara kelas sosial, kaya dan miskin, atau kelompok lain yang didefinisikan secara
ekonomi, tetapi antara orang-orang yang termasuk dalam entitas budaya yang berbeda. Perang
suku dan konflik etnis akan terjadi dalam peradaban. Akan tetapi, kekerasan antara negara dan
kelompok dari peradaban yang berbeda membawa potensi eskalasi karena negara dan kelompok
lain dari peradaban ini bersatu untuk mendukung negara kerabat mereka.
Hal ini seiring dengan iklim demokrasi yang semakin meluas, yang meningkatkan pula
kesadaran kelompok, khususnya kelompok etnik. Kebangkitan identitas etnik dan kesadaran
kelompok etnik ini diikuti dengan tuntutan-tuntutan terhadap keadilan dan kesederajatan dalam
kehidupan bermasyarakat, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Selain itu,
kebangkitan identitas dan kesadaran kelompok etnik juga dapat mengarah pada munculnya
etnosentrisme dan chauvinisme kelompok. Pertentangan-pertentangan lalu muncul, terutama dari
kelompok minoritas, terhadap kebijakan-kebijakan publik yang cenderung mendorong
terjadinya asimilasi terhadap kelompok etnik dominan.
Dalam kondisi masyarakat multi-etnik, isu diskriminasi terhadap kelompok etnik tertentu,
terutama yang minoritas, juga menjadi masalah yang penting untuk dipecahkan dalam
pertumbuhan masyarakat Indonesia ke depan, Masalah-masalah ini dapat mempengaruhi
hubungan antar kelompok etnik, yang bisa mengarah pada konflik laten maupun konflik terbuka
yang menggunakan kekerasan sampai pada gerakan pemisahan diri. Tentu saja hal ini pada
akhirnya akan mengancam integrasi sosial maupun nasional, seperti diungkapkan Donelly (2001:
32) dalam buku tahunan SIPRI 2001:
Namun, perlu diingat tidak semua hubungan antar kelompok etnik mengarah pada
konflik. Keberagaman kelompok etnik dan perbedaan budaya yang ada dalam suatu masyarakat
juga dapat menghasilkan hubungan kerja sama, bahkan pembauran antara kelompok etnik dalam
interaksi sehari-hari secara alamiah. Perjuangan melawan kolonialisme yang terjadi di bumi
nusantara merupakan salah satu bukti berbagai kelompok etnik dapat bersatu dengan tujuan yang
sama. Dalam konteks sehari-hari, kita juga dapat merasakan perbedaan budaya dan
keberagaman kelompok etnik tidak serta merta menjadi halangan dalam berinteraksi. Hal
itu justru merupakan potensi masyarakat yang secara positif dapat dikembangkan sebagai unsur-
unsur pembentuk identitas masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pertanyaan penting yang akan
dijawab dalam tulisan ini adalah faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pola hubungan
kelompok etnik dalam masyarakat Indonesia dan bagaimana hal itu menggambarkan integrasi
sosial dan nasional Indonesia.

A. Mendefinisikan etnisitas

Tidak seperti penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari, dalam kajian ilmiah, etnisitas
merupakan konsep yang kompleks. Etnisitas juga dapat diartikan sebagai bangsa. Berdasarkan
akar kata, etnisitas berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu ethnos yang berarti bangsa dan
ethnikos yang berarti "lainnya". Dalam pengertian ini maka etnisitas menitikberatkan pada
adanya perbedaan antara apa yang dipandang sebagai bangsa dengan kelompok-kelompok
lainnya yang dipandang sebagai bukan bangsa.

Dalam konteks masyarakat Yunani kuno, mereka membedakan antara ethnos, yaitu orang
yang bukan kelompok masyarakat Grika Yunani, dengan bangsa Yunani itu sendiri, yang mereka
sebut sebagai Genos Hellenon (Tilaar 2007:4). Dari definisi tersebut, etnisitas juga
menggambarkan bagaimana interaksi antara kelompok etnik dengan bangsa sehingga etnisitas
pada dasarnya memiliki dua wajah yang mengacu pada emansipasi dan dominasi (Pieterse 1996:
25). Artinya, pertama, etnisitas memiliki daya dorong bagi kelompok-kelompok etnik untuk
melakukan protes dan gugatan terhadap ketidakadilan, eksklusi yang dilakukan oleh bangsa.
Kedua, etnisitas juga dapat mengacu pada politik kultural dari kelompok etnik yang dominan.
Uraian tersebut memang lebih mengungkapkan makna etnisitas dalam konteks atau perspektif
politik.
Lake and Rothchild (Agustino 200: 255) mengungkapkan bahwa etnisitas sering diartikan
sebagai identitas bersama atas dasar bahasa, ciri-ciri fisik, persamaan sejarah, tali temali
persaudaraan, daerah atau budaya. Pada dasarnya, kelompok etnik mengacu pada kelompok
dengan kesamaan keturunan, sejarah dan identitas budaya, seperti kesamaan tradisi, nilai, bahasa,
pola perilaku secara nyata atau dibayangkan. Dari penjelasan tersebut, etnisitas lebih merupakan
konsep budaya, yang mendasarkan diri pada tanda-tanda seperti bahasa, agama, pakaian, artifak,
dan lain-lain.

Sedangkan Eriksen (1993: 1-15) mengungkapkan, etnisitas adalah suatu aspek dalam
hubungan sosial di antara kelompok yang dalam berinteraksi suatu kelompok menganggap
dirinya berbeda budaya dibandingkan anggota kelompok lain. Ketika perbedaan budaya selalu
menghasilkan perbedaan dalam interaksi diantara anggota kelompok-kelompok tersebut, maka
hubungan sosial tersebut mengandung unsur etnis. Perbedaan budaya tidak serta merta
menciptakan suatu kesadaran kelompok etnik; hubungan sosial yang terjadi dengan mereka yang
berbedalah yang menghasilkan kategori "kita" dan "mereka". Sehingga identitas kelompok etnik
harus didefinisikan dalam konteks relasinya dengan kelompok etnis lain.

Keanggotaan etnik tidaklah cukup untuk menimbulkan kesadaran kelompok etnik


walaupun afiliasi terhadap etnis tertentu secara otomatis diperkirakan akan menimbulkan
eksklusi atau penyingkiran terhadap keanggotaan etnik lainnya. Harus ada individu atau
kelompok yang dapat mengartikulasikan keseluruhan kepentingan etnik agar merubahnya
menjadi kelompok etnik yang memiliki tindakan sosial nyata. Salah satu pra-syarat agar hal
tersebut muncul adalah adanya kejelasan bersama tentang perilaku anggota, yang biasanya,
walau tidak selalu, dijembatani oleh kesamaan bahasa, agama dan tradisi.

Pada titik ini, etnisitas dapat berkembang menjadi negara, ketika suatu kelompok
terbentuk atas dasar keanggotaan etnis dan tetap bertahan dalam kurun waktu yang lama dan
mereka percaya pada kesamaan asal-usul. Francis(1947) mengungkapkan "... ethnicity as
nationality without consciounes Brown (1994: 1) menekankan bahwa etnisitas adalah suatu
ideologi yang dimiliki oleh individu untuk memecahkan masalah ketidakamanan yang muncul
dari penempatan dirinya dalam struktur kekuasaan.

Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa etnisitas berkaitan dengan
identitas seseorang dan proses identifikasi. Etnisitas merupakan gabungan dari identifikasi diri
sendiri dan identifikasi oleh orang lain. Oleh karena itu, dalam interaksi yang terjadi dalam
masyarakat, identitas etnik memiliki beberapa dimensi, yaitu identitas yang ditentukan sendiri
oleh orang yang bersangkutan; identitas yang dipersepsikan oleh orang lain dan identitas yang
ditentukan oleh negara. Dasar dari identifikasi diri sendiri adalah kepercayaan terhadap
kesamaan keturunan, tradisi budaya termasuk bahasa dan agama, sejarah, juga memori tentang
migrasi, kolonialisasi.

Sedangkan identifikasi oleh orang lain terutama berdasarkan pada ciri-ciri fisik, budaya
dan perilaku yang sangat jelas terlihat berbeda atau dipersepsikan berbeda oleh seseorang yang
melakukan identifikasi terhadap orang lain. Negara, untuk kepentingan politik tertentu, juga
memiliki kekuasaan untuk menentukan kelompok etnis dominan atau beberapa kelompok etnik
yang dianggap sebagai komponen utama pembentuk negara.

Sebagai contoh, Sensus 2000 yang dilakukan BPS menggambarkan identitas etnis yang
ditentukan sendiri oleh orang yang bersangkutan, misalnya saja seorang anak hasil pernikahan
campur antara Suku Batak dengan Suku Minahasa, maka ia dapat menentukan sendiri apakah ia
lebih merasa sebagai "orang Batak" atau "orang Minahasa" atau bahkan apabila ia telah lama
tinggal di Jakarta, ia dapat saja lebih merasa sebagai "orang Betawi".

Sensus 2000 juga memperlihatkan bahwa identitas etnis dapat pula ditentukan oleh orang
lain, misalnya penggunaan garis keturunan bapak sebagai panduan untuk menentukan kelompok
etnis seseorang, jika seseorang mempunyai ayah suku Batak, maka otomatis sang anak akan
dikategorikan dibagai "orang Batak" walaupun ibunya bersuku Sunda. Contoh lainnya, orang
lain pun dapat menentukan kita ke dalam kelompok etnis tertentu. Misalnya karena penampilan
fisik yang putih dan mata sipit, maka orang lain tanpa bertanya dapat mempersepsikan kita
sebagai bagian dari kelompok etnis Cina.

Sedangkan contoh kongkrit identitas etnik yang ditentukan oleh negara terjadi di
Singapura ketika pemerintah telah menentukan keberagaman etnik penduduknya dengan 4
kategori, yaitu CMIO (Chinese, Malay, India, and Others). Pengkategorian ini secara otomatis
telah membatasi keberagaman kelompok etnis dan menentukan ke dalam kelompok mana kita
dimasukan. Perlu diingat bahwa hasil identifikasi ini dapat selaras dan tidak selaras dengan
realitas.
Hal penting yang sering dilupakan adalah kemunculan identitas etnis tertentu tidak
pernah berdiri sendiri. Ia akan muncul bila terdapat kelompok atau identitas lain sebagai
pembanding. Misalnya, orang Jawa tidak akan menjadi orang Jawa jika tidak ada orang Sunda,
Batak, dan kelompok etnis lain, demikian juga sebaliknya.

Hal ini penting untuk memahami apa yang disebut sebagai hubungan antar etnik.
Interaksi sosial baru dapat dikatakan memiliki relasi antar etnik jika dalam interaksi tersebut
terdapat kontak antar unsur-unsur budaya masing-masing kelompok etnis. Tidak semua interaksi
sosial yang terjadi diantara anggota kelompok etnik mengandung hubungan antar etnik.
Demikian pula untuk memahami konflik antar etnis. Ia terjadi jika terdapat tujuan yang berbeda
di antara kelompok etnis yang berinteraksi. dimensi dalam memandang etnisitas menunjukkan
bahwa kelompok etnik bukanlah pengkategorian sosial yang pasti dan kaku, tetapi cenderung
sangat subjektif, elastis, adaptif dan bahkan dapat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah.

Etnisitas bersifat cair, multidimensional dan hal inilah yang membedakannya dengan
konsep ras atau jenis kelamin. Secara sosiologis, konsep etnisitas pada dasarnya merupakan
bagian dari kategori sosial yang digunakan oleh masyarakat untuk menunjukkan identitas
seseorang atau kelompok dalam struktur masyarakat secara horisontal, walaupun dalam
prakteknya etnisitas kadang tumpang tindih dengan struktur masyarakat secara vertikal, seperti
yang dialami masyarakat Indonesia pada masa kolonial, ketika etnisitas juga berhubungan
dengan pelapisan masyarakat secara vertikal.

Makna dari konsep etnisitas itu sendiri dapat dilihat dari beberapa pandangan, seperti
diungkapkan Agustino (2001: 255- 256) dan sebagian besar kajian-kajian tentang etnisitas.
Secara garis besar, hal itu meliputi pandangan primordialis, instrumentalis, dan konstruktivis.
Berikut adalah uraian tentang ketiga pandangan tersebut.Pandangan primodialis.

Pandangan ini cenderung menganggap etnisitas adalah sesuatu yang inheren dalam diri
manusia, atau dengan kata lain ras (ciri-ciri biologis manusia) dan etnisitas memiliki arti yang
saling tumpang tindih. Bagi kaum primodialis, perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika
atau seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, merupakan sumber bagi lahirnya benturan-
benturan kepentingan etnis. Menurut pandangan ini, tatkala banyak suku, agama, atau lainnya,
maka akan timbul pertikaian hingga kekerasan diantara mereka yang berbeda. Dan itu
merupakan hal yang wajar saja.
1. Pandangan instrumentalis
Etnisitas dianggap sebagai alat yang digunakan oleh individu atau kelompok untuk
mengejar suatu tujuan yang lebih besar, biasanya dalam bentuk materiil. Konsepsi etnisitas, bagi
kaum instrumentalis, tidak terlalu relevan kecuali digunakan atau diperalat olch elite politik yang
ingin mencapai tujuan tertentu. Pada saat seorang pemimpin, elite politik, meneriakan slogan
kesukuan maka para anggota sukunya langsung merapatkan barisan dan bergerak ke arah yang
diinginkan oleh pemimpin tersebut. Selama setiap orang mau mengalah terhadap preference yang
mereka kehendaki, selama itu pula kekerasan antar etnis dapat dihindari, bahkan tidak terjadi.
Namun kenyataan menunjukkan setiap individu memiliki pilihan dan prioritas masing-
masing. Oleh karena itu, benturan atau konflik antar individu dan atau kelompok mungkin terjadi
karena kelangkaan materi di dunia. Namun, sebagai catatan, belum tentu kepentingan individu
sama dengan kepentingan etniknya; konflik juga tidak berarti kekerasan; dan perbedaan etnis
tidak serta merta menyebabkan konflik terbuka apalagi kekerasan. Artinya, ada variabel-variabel
lain yang bekerja, seperti apakah suatu kelompok etnik dominan atau tidak, apakah etnisitas juga
menunjukkan kelas sosial mereka.
2. Pandangan konstruktivis
Etnisitas tidak bersifat kaku (sebagaimana dibayangkan kaum primodialis) atau
sedemikian mudahnya diperalat oleh kaum elite politik (sebagaimana diduga kaum
instrumentalis). Etnisitas dapat diolah hingga membentuk suatu jaringan (relasi) pergaulan sosial
dan berbagai lapisan pengalaman. Artinya, etnisitas merupakan sumber kekayaan hakiki yang
dimiliki oleh dunia ini untuk saling mengenal dan memperkaya budaya satu dengan lainnya.
Bagi pandangan ini, persamaan adalah anugerah dan perbedaan adalah barokah. Perbedaan
kelompok yang menimbulkan konflik.
Dengan melihat berbagai pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa keanggotaan
seseorang dalam kelompok etnisitas tertentu tidaklah serta merta menjadi sama dengan
kekeluargaan, karena etnisitas lebih mengarah pada identitas yang dipersepsikan, bukan sebagai
suatu kelompok yang memiliki aksi sosial yang kongkrit (Weber 1996: 35). Atau dengan kata
lain, keanggotaan seseorang dalam kelompok etnik tertentu tidak serta merta membentuk suatu
kelompok etnik yang bersangkutan; demikian pula sebaliknya, kelompok kepentingan yang
mengatas-namakan etnik tertentu tidak berarti bahwa semua orang yang secara budaya bagian
dari etnik tersebut menjadi anggota kelompok.
Contohnya, ketika terjadi konflik antara Suku Dayak dan Madura di Kalimantan, tidak
dapat secara sederhana diartikan bahwa seluruh anggota masyarakat Indonesia yang bersuku
Madura, baik yang di Kalimantan maupun yang di Madura, berkonflik dengan seluruh warga
masyarakat Dayak di seluruh Indonesia. Keangotaan seseorang dalam etnik tertentu hanya
memfasilitasi pembentukan kelompok secara politik. Dan sebaliknya, komunitas politik dalam
suatu masyarakat cenderung memberikan inspirasi bagi kepercayaan tentang kesamaan suku.

B. Kompisisi Etnis
Sampai saat ini, masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang multi-etnik.
Bahkan negara ini memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda namun tetap satu
jua). Hal ini memiliki makna bahwa sejak negara ini berdiri, wilayah Indonesia dihuni oleh
berbagai kelompok etnik; juga agama dan ras, yang hidup bersama dalam satu wilayah
"Indonesia" (negara di antara dua samudra dan dua benua). Konsepsi negara Indonesia sendiri
merupakan hasil 2 Konsep geopolitik Indonesia menurut Sukarno adalah, "Indonesia terdiri dari
seluruh pulau-pulau di Indonesia.
Indonesia adalah gugusan kepulauan yang berada pada garis khatulistiwa, yaitu
Sumatera, Jawa atau Sunda, Kalimantan, dan Sulawesi Satu per satu bukanlah negara Indonesia
adalah gugusan pulau pada garis khatulistiwa, dikelilingi oleh laut sebagai batas dan dipagari
oleh dua benua, Asia dan Australia, hidup dalam satu negara dan berasal dari satu keturunan".
Namun konsep geopolitik ini tidak dapat sepenuhnya diterapkan karena hal ini berarti termasuk
Filipina dan tidak termasuk propinsi Irian Jaya. Wilayah jajahan Belanda adalah acuan utama
terbentuknya negara Indonesia.
perjuangan gerakan nasionalis untuk melawan kekuasaan kolonial Belanda yang telah
menduduki wilayah "Indonesia" sejak abad ke- 17 dan berakhir pada abad ke-20 dengan
dicetuskannya proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 dan secara hukum diakui pada 27
Desember 1949. Oleh karena itu, dapat dibayangkan sebelum adanya gerakan nasionalis untuk
melawan kolonialisme, tidak dikenal istilah Indonesia. Yang berkuasa adalah kerajaan-kerajaan
kecil atau kelompok-kelompok etnik dengan budaya masing-masing. Jadi dapat dikatakan bahwa
Indonesia merupakan hasil perjuangan beberapa kelompok etnik di wilayah koloni Belanda yang
bersatu untuk melawan penjajahan. Hal ini pula yang dapat menjelaskan mengapa Singapura,
Malaysia, Filipina menjadi negara tersendiri walaupun secara geografis berdekatan dengan
Indonesia dan secara budaya terdapat kesamaan.
Pada masa kolonial, Indonesia digambarkan sebagai masyarakat plural. Adalah Furnivall
(1944: 446), seorang administrator dan penulis politik Inggris yang pada akhir kolonialisme
Barat di Asia Tenggara (1930-1940-an), yang memperkenalkan konsep masyarakat plural. Apa
yang dimaksud dengan masyarakat plural?' la adalah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih
elemen atau tatanan sosial yang hidup berdampingan, namun tanpa membaur, dalam satu unit
politik.
Menurut Furnivall masyarakat plural ditandai dengan segregasi sosial yang diikuti sistem
pembagian kerja di antara kelompok-kelompok etnik/religius dimana setiap kelompok memiliki
peran ekonomi yang berbeda. Dalam masyarakat plural tidak ada kehendak sosial umum, tidak
memiliki perasaan mengenai diri sendiri sebagai sebuah bangsa atau sebuah budaya. Kelompok-
kelompok etnik dan agama yang membentuk masyarakat begitu berlainan satu sama lain
sehingga mereka tidak memiliki banyak kesamaan selain pertukaran pasar mereka (Hefner 2007:
16-18). Artinya, pada masa itu Furnivall menggambarkan dalam masyarakat Indonesia terjadi
tumpang tindih antara stratifikasi ekonomi dengan perbedaan budaya kelompok etnik.
Masyarakat Indonesia telah dipilah-pilah berdasarkan wilayah pemerintahan provinsi,
kabupaten, kelurahan 1 dusan, pembagian ini tidak mencerminkan keragaman budaya atau
kelompok etnik. Salah satu cara untuk melihat komposisi kelompok etnik di Indonesia adalah
dengan melihat peta demografi penduduk. Sayangnya, informasi mengenai komposisi kelompok
etnik di Indonesia hanya dapat dilihat pada data sensus penduduk tahun 1930 dan 2000
(Suryadinata 2003: 13). Sensus 1930 adalah sensus yang dilakukan Pemerintah Belanda.
Sedangkan tahun 2000 adalah pertama kalinya Badan Pusat Statistik Indonesia memasukan
pertanyaan tentang etnisitas.
Kalau kita melihat komposisi kelompok etnik, maka terlihat masyarakat Indonesia terdiri
dari beragam kelompok etnis. Jumlahnya dapat mencapai lebih dari 300 kelompok atau sub-
kelompok etnik, dengan jumlah anggota yang cenderung kecil. BPS juga mengeluarkan 8
kelompok etnik terbesar di Indonesia, yaitu Jawa, Sunda, Madura, Minangkabau, Betawi, Bugis,
Banten dan Banjar. Delapan kelompok etnik besar ini juga tersebar di berbagai provinsi. Jawa
adalah suku yang hampir ada di seluruh provinsi Kebijakan transmigrasi sejak masa
pemerintahan kolonial Belanda hingga pemerintahan Indonesia merupakan salah satu faktor
penyebab terjadinya penyebaran penduduk Jawa ke beberapa lokasi lain, selain adanya faktor
kepadatan penduduk di Pulau Jawa dan semakin terbatasanya lahan pertanian.

C. Pola Hubungan antar Etnik


Dengan melihat komposisi kelompok etnik dan penyebarannnya tersebut, bukanlah hal
mudah untuk menjawab bagaimana pola hubungan antar etnik di Indonesia. Namun setidaknya
terdapat tiga dimensi analisis untuk melihat hubungan antar etnik tersebut, yaitu aspek historis,
struktural dan interaksi kelompok. Kemudian dalam setiap aspek itu terdapat beberapa alat yang
dapat digunakan untuk mengurai kompleksitas hubungan tersebut.
1. Masa kolonial
Hubungan antar etnik dalam konteks masyarakat Indonesia saat ini tidak dapat
dipisahkan begitu saja dengan yang telah terjadi pada masa kolonial Belanda. Hubungan antar
etnik pada dasarnya telah terjadi jauh sebelum masa kolonial dalam bentuk hubungan
perdagangan dan pertukaran budaya, namun masal kolonial merupakan satu titik penting sebab
kelompok etnik di wilayah jajahan berinteraksi dengan pemerintah kolonial. Sejak tahun 1920-
an, gerakan nasionalis dari berbagai latar-belakang etnik berjuang melawan kolonialisme.
Beberapa kelompok seperti Syarekat Islam, Indische Partij (Hock 1977: 8)' dan Budi Utomo
merupakan organisasi masyarakat yang membantu menyebarkan semangat melawan penjajahan
Belanda di seluruh wilayah dan menumbuhkan semangat nasionalisme Indonesia.
Beberapa peran penting kolonialisme Belanda bagi Netherlands India' yang dalam
perjalanan sejarah menjadi negara-bangsa Indonesia, adalah (Liddle 1997: 285):Menciptakan
negara dengan sistem yang sangat birokratis. Dalam sistem ini politikus pribumi diberikan peran
dan kesempatan yang sangat kecil untuk berpartisipasi dalam proses politik, seperti pemilihan
umum dan legislatif. Oleh karena itu, sebelum masa kemerdekaan, hanya sedikit politikus
nasionalis yang belajar tentang negosiasi dan bagaimana menghadapi isu-isu hubungan antar
etnik.
Aparatur birokrasi Belanda sendiri ternyata lemah, baik dalam hal jenis-jenis kebijakan
dan program yang dirancang dan dilaksanakan maupun dalam jumlah orang Indonesia yang
dilatih untuk menduduki posisi-posisi tinggi setelah kemerdekaan. Bagi pemerintah Indonesia
yang baru setelah kemerdekaan, yang menginginkan perubahan sosial, birokrasi negara bentukan
Belanda lebih merupakan hambatan daripada membantu pemerintah yang baru.
Pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu tidak menyediakan model yang tepat untuk
hubungan birokrasi pusat dan daerah untuk sebuah negara-bangsa kepulauan yang sangat
beragam secara etnik. Sebelum 1942, pemerintahan kolonial sangat tersentralisasi. Kemudian
untuk memperburuk keadaan, selama masa perjuangan revolusi gerakan nasionalis, pemerintah
kolonial Belanda mencoba memperkuat kembali pengaruhnya dengan menerapkan sistem negara
federal dengan daerah-daerah otonomi. Walaupun beberapa tipe federalisme adalah sistem
pemerintahan yang cocok bagi Indonesia, namun ide negara federasi dengan negara-negara
boneka bentukan Belanda merupakan ide yang bertentangan dengan apa yang diperjuangkan
gerakan nasionalis."
Pada masa Netherlands India, istilah "masyarakat plural", yang mengacu kepada konsep
plural society-nya Furnivall, digunakan untuk menggambarkan hubungan antar etnik dalam
pemerintahan kolonial. Dalam sistem kasta yang dibagi berdasarkan ras, Gubernur Belanda dan
pelaku-pelaku bisnis besar Eropa menduduki lapisan teratas; lapisan menengah adalah kelompok
Timur Asing yang terdiri dari pedagang Cina, Arab, India dan pengusaha-pengusaha menengah;
dan pada lapisan paling bawah adalah masyarakat Indonesia kebanyakan yang sebagian besar
adalah petani dan buruh.

B. Pelapisahan masyarakat pada masa penjajahan Belanda


Sejarah hubungan antar etnik di Indonesia pada masa kolonial memperlihatkan adanya
tumpang tindih antara kategori sosial secara horisontal dengan stratifikasi sosial masyarakat.
Akibatnya banyak ketidakadilan dirasakan terutama oleh mereka yang berada pada lapisan
bawah, yaitu kelompok pribumi. Sebagai penguasa saat itu, pemerintah kolonial Belanda
melakukan pembagian kelompok etnik secara vertikal atau berlapis, yaitu lapisan teratas adalah
kelompok orang-orang Belanda dan bangsa Barat lainnya; kemudian lapisan menengah adalah
kelompok Timur Asing (Cina, India, Arab); dan lapisan terbawah adalah kelompok pribumi.
Kelompok masyarakat pribumi cenderung digambarkan sebagai masyarakat Jawa, karena pusat
pemerintahan Belanda berada di Pulau Jawa. Dan kelompok non-pribumi identik dengan Cina.
Pembagian ini cenderung menimbulkan diskriminasi terhadap orang pribumi, sehingga
dinamika hubungan antara kelompok etnis asing, terutama Cina dengan kelompok pribumi,
menjadi tidak harmonis ketika kemudian pada masa pasca-kolonial mereka harus hidup
berdampingan dalam satu wilayah negara Indonesia. Selain stratifikasi etnik buatan
pemerintahan kolonial Belanda tersebut, salah satu faktor signifikan yang mempengaruhi
hubungan antar kelompok etnik di Indonesia adalah kebijakan transmigrasi yang dicanangkan
pemerintah, baik kolonial Belanda sejak 1905 dengan nama kolonisatie maupun Orde Lama dan
Orde Baru. Sampai tahun 1993, program transmigrasi telah memindahkan kurang lebih 6,4 juta
jiwa (Levang 2003: 19) penduduk pulau Jawa ke pulau-pulau lain di Indonesia. Ini tidak
termasuk transmigrasi yang terjadi secara spontan.
Pada masa kolonial, tujuan utama transmigrasi adalah untuk memindahkan sebagian
penduduk Pulau Jawa yang memiliki kepadatan penduduk sangat tinggi ke wilayah-wilayah lain,
terutama Lampung dan Kalimantan. Tujuan lainnya adalah untuk membangun wilayah-wilayah
lain di luar Pulau Jawa melalui pengenalan teknologi pertanian. Tujuan utama ini juga berlaku
ketika pemerintahan Indonesia menjalankan program transmigrai; dengan tambahan tujuan
politik, yaitu mendorong asimilasi agar terjadi kontak antar kelompok etnik di Indonesia,
terutama dengan kelompok etnis Jawa sesuai dengan kerangka politik Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pada masa Orde Baru, transmigrasi digunakan pula sebagai instrumen untuk mencapai
target swasembada pangan melalui perluasan lahan garapan. Namun perlu dicatat, sejak masa
kolonial Belanda, proyek kolonisatie' sudah dianggap proyek "gagal", karena banyak sekali
kelemahan, seperti mahal dan pengetahuan agronomi yang masih rendah di kalangan trasmigran
serta aneka permasalahan yang muncul, seperti konflik dengan penduduk lokal dan kemiskinan
di daerah tujuan transmigrasi. Namun ternyata proyek ini diteruskan pada masa pemerintahan
Indonesia dengan sedikit perubahan dan dengan target-target yang lebih ambisius.
Beberapa faktor yang mempengaruhi hubungan antar etnik di Indonesia adalah, pertama,
jumlah penduduk Jawa yang berusaha dipindahkan tidak memperhitungkan komposisi penduduk
asli, sehingga selalu ada kemungkinan penduduk asli menjadi minoritas di tanahnya sendiri.
Seperti dalam kasus Lampung, jumlah penduduk Jawa yang dipindahkan ke wilayah itu melebihi
jumlah penduduk asli Lampung. Atau rencana pemindahan 230.000 kepala keluarga pada tahun
1984-1989 ke Kalimantan Tengah. Itu beraru dapat mencapai kurang lebih 1 juta jiwa, padahal
penduduk provinsi tersebut hanya 954.000 jiwa (Levang 2003: 14). Kedua, kontak budaya antar
kelompok etnik cenderung tidak terjadi secara alamiah, kelompok transmigran merasa memiliki
hak atas tanah garapannya seperti yang dijanjikan pemerintah pusat. Ketiga, persaingan antara
transmigran dengan penduduk asli mungkin saja terjadi, misalnya dalam teknologi pertanian.
Masyarakat Indonesia pun mengenal pembagian kelompok etnik berdasarkan pribumi
dan non-pribumi. Walaupun terdapat beberapa asal penduduk migran di Indonesia seperti dari
India, Arab, Belanda, dan lain-lain, namun sampai pada masa Orde Baru, kategori non-pribumi
lebih banyak dipersepsikan oleh pemerintah dan masyarakat secara umum dengan merujuk pada
orang Cina atau keturunan Cina yang menjadi pendudukan di Indonesia dan yang telah menjadi
warga negara Indonesia.
Menurut Sensus 2000, jumlah etnik Cina dan keturunan Cina kurang lebih 1.738.936
(0,86%) dari seluruh penduduk Indonesia. Identitas Indonesia lebih menekankan pada unsur
"keaslian", artinya mereka yang berasal dan keturunan suku-suku asli di wilayah nusantara.
Sedangkan warga Cina asli maupun keturunan Cina (hasil pernikahan campur Cina dengan suku
di Indonesia) yang telah menjadi penduduk Indonesia tetap dikategorikan non-pribumi.
Pembedaan ini tidak terlepas dari aspek historis ketika pada masa kolonial, pemerintah Belanda
membedakan "orang Cina" dengan "orang pribumi" dalam struktur masyarakat jajahan dan
menempatkan pedagang-pedagang Cina dalam posisi yang lebih tinggi dari masyarakat pribumi.
Di lain pihak, jumlah imigran Cina pun meningkat pada abad ke-19 hingga awal abad ke-
20 karena pemerintah kolonial membuka kesempatan ekonomi bagi mereka. Liddle
mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia juga mengenal keberagaman etnik berdasarkan
akar bahasa, yaitu kelompok etnik berbahasa Indonesia di Indonesia Bagian Barat yang
merupakan kelompok terbesar dari keseluruhan warga negara Indonesia (dengan akar bahasa
Austronesian) dengan kelompok yang berbahasa Melanisia dan Papua di Indonesia Bagian
Timur. Melanisia sebenarnya masih merupakan sub-kelompok bahasa Austronesia, sedangkan
Papua mempunyai akar bahasa yang berbeda dan tidak mempunyai hubungan dengan kelompok
bahasa Austronesia.
Kelompok Melanesia cenderung memiliki warna kulit gelap, rambut keriting dan kaku,
sedangkan Papua memiliki warna kulit yang agak lebih terang dibandingkan dengan Melanesia
tetapi memiliki ciri-ciri rambut yang kurang lebih sama, yaitu keriting dan kaku. Karakteriskik
fisik kedua kelompok ini berbeda dengan kelompok masyarakat yang mendiami Indonesia
Bagian Barat yang cenderung memiliki warna kulit terang dan rambut cenderung lurus (Liddle
1997: 278).
1. Pasca-kolonial: Orde Lama dan Orde Baru
Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, dampak dari pelapisan yang dibuat pemerintah
kolonial masih membekas, bahkan hingga kini. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kebijakan
pemerintah yang menempatkan kelompok etnis Cina bukan sebagai bagian dari negara
Indonesia. Kenyataan menarik adalah pada saat gerakan nasionalis memperoleh kemerdekaan
dan menguasai pemerintahan Indonesia, kedudukan penguasa Belanda dan pengusaha-pengusaha
Eropa digantikan oleh orang-orang Indonesia, setidaknya dalam bidang pemerintahan dan
politik. Tetapi tidak terjadi suatu perubahan berarti pada status kelompok Cina, baik sebagai
kelompok yang terpisah dari masyarakat pribumi maupun sebagai kelompok yang mengontrol
ekonomi modern dalam masyarakat Indonesia.
Pasca-kolonial, khususnya pada masa Orde Lama dan Orde Baru, hubungan antar etnik di
Indonesia lebih dipusatkan pada usaha-usaha penyatuan seluruh komponen bangsa, dalam hal ini
kelompok-kelompok etnik, ke dalam suatu identitas bersama yaitu bangsa Indonesia. Pada titik
ini, pemerintah berusaha untuk menekan munculnya identitas kultural melalui, pertama,
pengurangan perlahan-lahan peran hukum adat dan penguasa adat. Kedua, menciptakan istilah
SARA (Suku, Agama dan Ras) sebagai isu yang tabu untuk dikemukakan dalam ruang publik
dan interaksi sehari-hari masyarakat. Ketiga, depolitisasi etnisitas dengan menghapuskan
kelompok-kelompok kepentingan atas partai-partai politik yang mengandung unsur etnisitas dan
agama.
Sementara itu, pemerintah juga mulai gencar memunculkan identitas supra-etnik, yaitu
identitas sebagai bangsa Indonesia melalui propaganda-propaganda nasionalisme yang tercermin
dalam kurikulum pendidikan sejak sekolah dasar, seperti P4, PSPB (Pendidikan Sejarah
Perjuangan Bangsa), mata kuliah kewiraan, upacara bendera, dan sebagainya. Pengkulusan
pahlawan-pahlawan nasional, pendirian museum-museum perjuangan bangsa, Taman Mini
Indonesia Indah, dan sebagainya, adalah suatu situs yang berusaha menggambarkan kesatuan
Indonesia.
Dalam benak penguasa pasca-kolonial pada saat itu, hubungan antar etnik secara
konseptual "tidak ada dan tidak boleh ada. Isu hubungan antar etnik yang diakui keberadaannya
adalah hubungan antara pribumi dan non-pribumi, yang identik dengan kelompok Cina yang
tinggal di Indonesia. Dalam tahun-tahun pertumbuhan nasionalisme Indonesia, banyak kaum
nasionalis Indonesia yang tetap menggunakan dikotomi pribumi dan non- pribumi. Dan
kelompok etnis Cina/Tionghoa, walaupun telah menjadi penduduk Indonesia, tetap dipandang
sebagai bangsa tersendiri. Hal ini tercermin dalam rumusan UUD 1945 yang dirancang oleh
Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia tentang kewarganegaraan Indonesia: "Yang menjadi
warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain
yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara" (Coppel 1994: 23).
Karena itu, pada masa pemberlakuan Undang-Undang Kewarganegaraan pertama tahun
1946, penduduk asli Indonesia yang terdiri dari beragam suku secara otomatis menjadi warga
negara Indonesia, sedangkan kelompok penduduk lainnya harus memenuhi persyaratan tertentu.
Kata asli tidak saja bermakna pribumi, tempat kelahiran, asal, tetapi juga mengandung
pengertian sejati, murni. Dengan mekanisme yang sedikit berbeda dibandingkan dengan
kelompok-kelompok etnis asli Indonesia, kelompok etnis Cina/Tionghoa mendapat perlakukan
yang lebih keras untuk melakukan asimilasi dengan identitas bangsa Indonesia dibandingkan
dengan kelompok etnik lainnya.
Beberapa kebijakan menunjukkan hal tersebut, seperti pelarangan penggunaan nama,
bahasa dan agama yang mengandung budaya Cina; pelarangan sekolah, koran dan wacana yang
mengandung unsur budaya Cina; pelarangan untuk tinggal di pedesaan (Peraturan Pemerintah
No. 10 tahun 1959) dan terlibat dalam arena politik. Hal ini membuat kelompok etnis Cina di
Indonesia menjadi kelompok masyarakat yang kosmopolit dan hanya bergerak dalam sektor
ekonomi. Yang menarik, walaupun di Indonesia juga terdapat kelompok etnis "non-pribumi",
seperti Arab dan India, namun pemerintah kurang menyoroti mereka.
Hal lain yang cukup penting untuk diperhatikan adalah mengapa sejak sensus yang
dilakukan pemerintah Belanda pada tahun 1930, data tentang etnisitas baru muncul kembali pada
Sensus 2000? Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kenyataan ini pada dasarnya
menggambarkan makna keberagaman etnik bagi masyarakat Indonesia. Sejak berdirinya negara
Indonesia, masa pemerintahan Sukarno hingga Suharto, perbedaan suku, agama dan ras
merupakan hal yang "tabu" untuk diungkapkan. Hal ini tercermin dalam data demografi dan
ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tentu kita masih ingat istilah "SARA" (Suku, Agama dan Ras) sebagai hal yang sensitif
dan mendapat hukuman yang berat dari pemerintah jika mempersoalkan hal tersebut. Sebagian
besar masyarakat Indonesia merasa tabu untuk melihat perbedaan-perbedaan budaya antar
kelompok etnik yang secara nyata ada. Isu-isu etnisitas dilarang untuk tumbuh dan berkembang.
Dilarang pula untuk mengaitkan masalah-masalah sosial dengan etnisitas, karena dipandang
dapat memecah-belah bangsa Indonesia. Sebagai konsekuensinya, terjadilah marjinalisasi etnik
yang sekaligus mencerminkan imajinasi kelompok dominan (pemerintah yang berkuasa dengan
mayoritas bersuku Jawa) yang membayangkan dirinya sebagai unsur yang universal atau esensial
dan dengan begitu berada lebih luas daripada etnisitas (Shohat 1991: 215, sebagaimana dikutip
Pieterse 1996).
Baik pada masa pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru, isu keberagaman etnik
cenderung dipandang sebagai suatu ancaman terhadap integrasi bangsa. Karena itu, upaya
pemerintah untuk menumbuhkan identitas seseorang sebagai masyarakat Indonesia lebih
dominan dibandingkan dengan identitas kesukuan dan keagamaan. Ini adalah konsekuensi logis
dari pembentukan negara-bangsa Indonesia. Nasionalisme, dalam bentuk negara- bangsa
Indonesia tersebut, dibangun berdasarkan nilai-nilai dan budaya kelompok etnik dominan.
Dan dengan sistem pemerintahan yang otoriter, asimilasi terhadap kelompok etnis dominan,
dalam hal ini Jawa, cenderung dipaksakan. Integrasi masyarakat lebih bersifat koersif.
Mengapa identitas Indonesia penting untuk terus ditumbuhkan dengan cara yang
cenderung represif? Jawabannya adalah Indonesia terbentuk karena adanya "musuh bersama",
yaitu pemerintah kolonial Belanda. Pembentukan Indonesia juga merupakan suatu imajinasi
sekelompok kaum cendekiawan, seperti Sarekat Islam, Boedi Utomo, gerakan nasionalis
Sukarno dan kelompok cendekiawan lainnya, termasuk beberapa cendekiawan Cina, yang telah
mendapatkan pengetahuan modern, sehingga imajinasi keberadaan Indonesia harus terus
diciptakan dan disosialisasikan kepada seluruh masyarakat. Karena itu, ketika "musuh bersama"
berhasil disingkirkan, diperlukan alat pemersatu lain. Istilah "SARA" adalah salah satu cara
pemerintah untuk membendung munculnya konflik-konflik akibat perbedaan budaya. Dengan
istilah "SARA", masyarakat Indonesia justru cenderung melihat
Perbedaan sebagai hal negatif. Tindakan militer yang tegas juga diberlakukan pada
kegiatan kelompok-kelompok yang mengusung identitas etnik sebab dipandang pemerintah
dapat mengancam keutuhan negara Indonesia. Upaya integrasi sosial koersif lainnya adalah
kebijakan- kebijakan asimilatif pemerintah yang sekaligus memperlihatkan adanya diskriminasi
terhadap kelompok etnik tertentu. Pada masa pasca-kolonial, terutama pada zaman Orde Baru,
kelompok etnik Cina/TiongHoa di Indonesia adalah kelompok yang paling merasakan kebijakan
asimilatif daripada kelompok etnik lain. Dikotomi pribumi dan non-pribumi (yang lebih
menunjuk pada kelompok etnik Cina) sangat mewarnai hubungan antar kelompok dalam
masyarakat Indonesia.
Namun terlepas dari adanya praktek-praktek diskriminasi, salah satu dampak dari
integrasi represif yang dilakukan pemerintah adalah penggunaan Bahasa Indonesia sebagai
bahasa pemersatu berbagai kelompok etnik. Hal ini menggambarkan keberhasilan dalam
membentuk budaya Indonesia. Walaupun begitu, dalam kehidupan sehari-hari, identitas etnik
tidak dapat dihilangkan begitu saja, bahkan di banyak tempat, terutama daerah pedesaan, masih
menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Identitas etnisitas tidak serta merta hilang akibat
penanaman nilai maupun praktek modernisasi yang terjadi di Indoensia. Dari uraian tersebut
dapat disimpulkan bahwa secara historis, hubungan antar etnik diwarnai dengan praktek
asimilasi kedalam identitas bangsa Indonesia. Dalam sistem yang otoriter, pemerintah memiliki
peran besar untuk mendorong proses asimilasi ke dalam kelompok dominan.
Bila dikaji secara kritis, identitas bangsa Indonesia yang dimaksud oleh para penguasa
pasca-kolonial cenderung mengarah pada satu kelompok dominan, yaitu kelompok etnis Jawa.
Hal ini tercermin dengan lebih jelas pada masa pemerintahan Orde Baru. Pada titik ini, ada
semacam kerancuan antara asimilasi ke dalam identitas bangsa Indonesia sebagai identitas supra-
etnik dengan asimilasi ke dalam kelompok dominan Jawa. Dalam prakteknya, terutama pada
masa Orde Baru, praktek asimilasi ke dalam kelompok Jawa lebih kental dirasakan. Oleh karena
itu, secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa hubungan antar etnik di Indonesia secara historis
cenderung tergolong dalam tipologi ethno- nationali. Di sini, pemerintah berusaha untuk
menghapuskan identitas etnis dan kedaerahan serta mendorong terjadinya asimilai terhadap
kelompok dominan, yaitu Jawa.

1. Masa reforman

Hubungan antar etnis di Indonesia tak lepas dari sejarah dan bagaimana negara mengatur
hubungan tersebut. Pemerintah cukup memegang peranan dalam mengatur hubungan itu.
Karenanya, perubahan peta politik dan kebijakan publik penting untuk dijadikan dasar dalam
menganalisa pola hubungan antar etnis di Indonesia. Pandangan struktural fungsional
beranggapan bahwa modernisasi dan pembangunan akan melemahkan indentitas etnis. Namun
pada kenyataannya, modernisasi tidak menyurutkan identitas etnis; solidaritas etnis tetap muncul,
bahkan menjadi heman seperjalanan modernisasi.
Modernisasi bahkan menjadi Jahan subur untuk menumbuhkan kesadaran etnis atau
ikatan- ikatan primordial. Ini juga menjadi kelemahan pandangan fungsionalis yang cenderung
memandang etnisitas hanya sebagai ikatan primodial yang akan luruh seiring dengan
menguatnya modernisasi. Pada titik ini nampak bahwa etnisitas mempunyai untuk mereproduksi,
melakukan regenerasi, dan mengembangkan dirinya menjadi suatu kekuatan politik tertentu.
Kemampuan.

Kelompok etnis Aceh, Ambon, Papua dan Cina cenderung memiliki tingkat pendidikan
yang tinggi dibandingkan kelompok-kelompok etnis lainnya. Sedangkan kelompok etnis
Madura, Sasak, Sumba, Dayak, Bali, Bugis dan Makasar, cenderung memiliki tingkat pendidikan
yang masih tergolong rendah. Data tersebut mencerminkan adanya ketidakmerataan proses
pembangunan yang selama ini dilakukan di Indonesia. Bahayanya adalah jika terjadi
kesenjangan berdasarkan kategori etnik, maka kemungkinan besar akan menyebabkan
munculnya kesadaran kelompok etnik untuk menuntut keadilan. Kebijakan publik yang kurang
memperhitungkan keragaman kelompok etnik sehingga menimbulkan kesenjangan dapat
mengarah pada terjadinya diskriminasi institusi.

Polarisasi juga terjadi dalam sektor pekerjaan. Pada sub- sektor jasa, misalnya, kelompok
etnis Aceh memiliki persentase tertinggi. Sedangkan dalam sub-sektor perdagangan yang cukup
banyak terjun dalam bidang ini adalah kelompok etnis Cina, Arab, Betawi, Minang dan Aceh.
Yang menarik untuk dibahas adalah mengapa sebagian besar kelompok etnis Cina (53,69%) dan
Arab (49,9%) memperoleh penghasilan dari sektor perdagangan.

Hal ini tak dapat dilepaskan dari dua hal. Pertama, kita perlu ingat sejarah bahwa kedua
kelompok etnis ini adalah kelompok etnis pendatang yang termasuk pada lapisan menengah
dalam stratifikasi etnik buatan kolonial Belanda. Dulu, mereka adalah penunjang perekonomian
kolonial, baik sebagai pedagang yang membawa barang-barang dari negeri asal lalu menetap di
Indonesia maupun sebagai pekerja yang merantau dari negeri asalnya. Kedua, sebagai pendatang
yang memiliki lahan terbatas, semangat mereka untuk mengeksploitasi hasil-hasil bumi atau
produk-produk lain lebih tinggi dibandingkan kelompok masyarakat setempat. Ketiga, bjakan
pemerintah Indonesia pasca kemerdekaan yang melarang Cina untuk tinggal di wilayah pedesaan
(PP 10 tahun 1959) juga semakin mendorong kelompok etnis pendatang ini untuk warga
mendiami wilayah kota dan masuk dalam sektor perdagangan Karena itu, sampai saat ini kita
jarang melihat kelompok etnis ini, misalnya, bergerak dalam bidang produksi pertanian
traditional Barth (1988: 21) menjelaskan bahwa faktor ekologi juga memiliki peranan dalam
membentuk pola hubungan antar etnik:

a. Mereka menempati daerah dengan lingkungan alam tertentu sehingga persaingan dalam
memperebutkan sumber daya hanya minimal. Saling ketergantungan antar kelompok etnik yang
berinteraksi sangat minimal walupun mereka hidup bersama dalam suatu daerah. Hubungan yang
tercipta biasanya berbentuk hubungan dagang
a. Mereka dapat pula menguasai daerah yang terpisah, dengan persaingan dalam
mendapatkan sumber daya. Artikulasi yang timbul terjadi di perbatasan berupa
kegiatan politik atau mungkin sektor lain.
b. Mereka dapat pula saling menyediakan barang atau jasa dan tinggal di daerah yang
berbeda dan saling menunjang. Bila mereka tidak berartikulasi erat di bidang politik
maka akan terbentuk simbiosis klasik atau jenis artikulasi lain.
c. Dua kelompok atau lebih saling bersaing dalam suatu daerah. Dalam perjalanan
waktu salah satu kelompok dapat tergeser oleh kelompok lain atau salah satu
kelompok akan hidup bersama dengan kelompok lain sehingga terjadi peningkatan
ketergantungan.
Dalam konteks pertumbuhan integrasi nasional masyarakat Indonesia pada masa depan,
polarisasi dalam sektor pendidikan, ekonomi, politik, dan sebagainya, perlu menjadi perhatian.
Hal ini karena polarisasi yang terjadi secara sistematis dan terstruktur dapat memunculkan
kesadaran kelompok etnik untuk menuntut keadilan, apalagi bila terjadi kesenjangan
pembangunan pada etnis tertentu. Pada titik ini nampak bahwa etnisitas bukanlah landasan
negara-bangsa melainkan produk darinya. Ketika stratifikasi sosial masyarakat tumpang tindih
dengan identitas-identitas kultural atau kategori sosial yang horisontal maka tinggi pula potensi
munculnya konflik-konflik sosial yang mengusung identitas etnik, mulai dari konflik komunal
antar kelompok etnis maupun gerakan separatis atau pemisahan diri (konflik kelompok etnis
dengan negara).
D. Kebangkitan identitas Etnik

Hubungan antar kelompok di Indonesia saat ini diwarnai dengan semakin maraknya
konflik sosial yang mengusung identitas etnik dan agama. Konflik sosial bermunculan sejak
krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998. Perubahan konstelasi politik dan iklim
kebebasan yang diusung gerakan reformasi menjadi lahan yang subur untuk memunculkan
kepentingan-kepentingan kelompok etnik.

konflik pada masyarakat Indonesia maka terdapat beberapa jenis konflik internal
berdasarkan pihak yang terlibat, seperti:

1. Konflik komunal: antar kelompok etnis. Konflik komunal: antar penduduk asli dan
pendatang.
2. Gerakan separatis: kelompok etnis dengan negara atau kelompok etnis dominan.
Faktor penting yang harus diperhatikan untuk melihat bagaimana hubungan antar
kelompok etnik dapat berubah menjadi hubungan konfliktual adalah jika di antara kelompok
etnis yang saling berinteraksi, bahkan hidup berdampingan dalam satu kesatuan unit politik
negara, tidak memiliki tujuan yang selaras. Dahrendorf (1957: 206-207) memandang konflik
memiliki dua makna. Pertama, konflik merupakan akibat dari proses integrasi dalam masyarakat
yang tidak tuntas. Dalam konteks ini konflik erupakan sebuah gejala yang dapat merusak
kesatuan masyarakat.

Dalam intensitas yang tinggi, konflik semacam ini dapat membuat sebuah negara
kesatuan (integrasi nasional) hancur. Makna kedua, konflik dapat dipahami sebagai proses
alamiah dalam rangka sebuah proyek rekonstruksi sosial. Dalam hal ini konflik dapat dilihat
sebagai sesuatu yang fungsional; sebagai strategi untuk menghilangkan unsur-unsur disintegrasi
dalam masyarakat yang tidak terintegrasi dengan sempurna.

Beberapa faktor utama yang memungkinkan konflik etnis muncul ke permukaan atau
menjadi konflik terbuka adalah, pertama, perubahan konstelasi politik pada masa reformasi dan
iklim kebebasan yang dijunjung tinggi menjadi ladang subur untuk mengungkapkan keresahan-
keresahan beberapa kelompok etnik yang selama ini menjadi bagian dari bangsa Indonesia.
Kedua, tidak meratanya pembangunan di berbagai wilayah di Indonesia ternyata, disadari atau
tidak, terpolarisasi berdasarkan kelompok etnik. Perebutan sumber daya yang seharusnya
berdasarkan kompetisi yang sehat dengan kriteria yang universal malah menjadi ladang
perbenturan nilai-nilai budaya.

Pada titik ini, seperti pada masa kolonial, stratifikasi ekonomi tumpang tindih dengan
identitas etnik. Tidak terjadi integrasi fungsional di antara beragam kelompok etnik. Ketiga, tidak
dapat dipungkiri bahwa dalam masyarakat Indonesia, identitas etnis, dalam hal ini kesukuan
termasuk di dalamnya nilai-nilai budaya dan adat istiadat, masih menjadi faktor penting dalam
kehidupan masyarakat, terutama di pedesaan. Sebagai contoh, cobalah perhatikan kasus konflik
antara kelompok etnik Dayak dan Madura di Kalimantan (lihat artikel Contoh Kame: Konflik
Dayak dan Madura di Kalimantan).

Byman (2002) mengungkapkan setidaknya terdapat empat teori tentang penyebab konflik
antar etnis dengan melihat beberapa kasus konflik etnis yang pernah terjadi di berbagai tempat
dan pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam masyarakat.

1. Dilema keamanan kelompok etnik

Yang dimaksud dengan dilema keamanan kelompok adalah segala usaha untuk
meningkatkan keamanan yang dilakukan suatu kelompok sehingga menimbulkan reaksi balik
dari kelompok lain dan pada akhirnya membuat kelompok tersebut merasa kurang aman. Teori
ini mensyaratkan adanya otoritas yang dapat menjamin, Contoh Kasus: Konflik Dayak dan
Madura di Kalimantan.

Pertikaian antara etnis Dayak dan Madura meletus tanggal 15 Desember 2000 di
pertambangan emas Kiringpane, 100 km dari kota Sampit, Kalimantan Tengah. Seorang warga
Dayak tewas. Selain itu terjadi perusakan dan pembakaran rumah. Dua hari kemudian, 17
Desember 2000 kerusuhan etnis ini sudah sampai di Sampit mengakibatkan delapan orang tewas,
puluhan rumah rusak dan dibakar. Erais pendatang dan etnis lokal semakin tegang dan sepanjang
Januari dan Februari 2001 berbagai pertikaian dan saling ancam dari dua etnis terus berlanjut.
Sampit makin panas. Beredar selebaran-selebaran bumi hangus. Ratusan hingga ribuan orang
tewas, sebagian besar warga Madura.

Puluhan ribu orang Madura menghindar dari Kalimantan Tengah. Mengapa perseteruan
antara orang Dayak melawan orang Madura tidak kunjung padam? Apakah kedua etnis itu
merupakan korban kebijakan Orde Baru? Dalam konteks ini masyarakat adat Dayak merasa tidak
ditempatkan sebagai komunitas masyarakat yang memiliki hak sepenuhnya atas tanah dan
lingkungan di mana mereka hidup... (Dayak dan Madura, Korban Pembangunan, Asasi News
Letter Edisi Maret-April 2001.

Beberapa hal pemicu terjadinya konflik, menurut kalangan masyarakat Dayak disebabkan
antara lain karena perusakan alam. Bagi masyarakat Dayak, hutan adalah ayah dan sungai adalah
ibu. Karena kedekatannya dengan alam. Mereka memiliki cara-cara tersendiri untuk memelihara
alam. Terjadinya perusakan alam, terutama hutan dan sungai, berarti terjadi perusakan terhadap
masyarakat adat Dayak. Lalu, terjadinya benturan nilai budaya. Bagi masyarakat adat Dayak ada
hal-hal yang ditabukan, sedangkan nilai-nilai tersebut belum tentu tabu bagi masyarakat adat
yang lainnya. Misalnya, darah bagi masyarakat Dayak sangat berharga. Jika darah telah tumpah
maka harus dinetralkan dengan suatu upacara adat. Ketika adat tidak dipatuhi maka akan kembali
tumpah darah itu.

Dengan kata lain tidak boleh ada perselisihan yang berakibat pada terjadinya pertikaian.
Tidak ditegakkannya hukum oleh aparat. Para pelaku kejahatan tidak ditindak dengan tegas.
Seringnya terjadi penyelewengan hukum menyebabkan masyarakat tidak lagi percaya pada
hukum yang berlaku dan memilih menyelesaikan sendiri setiap persoalan, termasuk melakukan
pembalasan terhadap tindak kekerasan dan memunculkan kekerasan yang baru. Terjadinya
isolasi daerah. Hubungan antara kota dengan daerah pedalaman terhambat. Karena tidak
dibukanya akses masyarakat pedalaman ke wilayah kota, dalam bentuk sarana transportasi
maupun komunikasi.

keamanan masing-masing kelompok. Berkaitan dengan peran otoritas, perang (wujud konflik
yang paling nyata) dapat terjadi jika, pertama, tidak ada otoritas yang dapat menjamin keamanan
suatu kelompok, misalnya suatu kelompok memiliki rasa tidak p percaya pada kelomok etnis
lain. Rasa tidak percaya ini dapat bersumber dari stereotipe etnis, prasangka terhadap kelompok
etnis lain, pengalaman masa lalu, dan pengalaman kerjasama dengan apa yang dianggap musuh.
Rasa tidak percaya ini dapat berkembang menjadi mobilisasi kekuatan untuk mempertahankan
diri jika tidak ada pemerintah yang dapat mencegahnya.

Hal ini akan menimbulkan reaksi dari kelompok etnis lain sehingga melakukan hal yang
sama. Pada titik ini kedua kelompok etnis menjadi merasa kurang aman. Pada dasarnya
mobilisasi kekuatan menegaskan kecurigaan-kecurigaan antar kelompok yang juga menunjukkan
maksud agresif. Kedua, kondisi pemerintahan yang lemah. Ketiga, pemerintah pusat menjadi
bagian dari konflik. Kempat, situasi perubahan yang mendadak.

2. Perlindungan status

Konflik etnis muncul sebagai konsekuensi atau hasil dari ketakutan kelompok terhadap
dominasi kelompok lain, baik secara material maupun budaya. Kelompok berperang
mempertahankan status sehingga muncul ketakutan bahwa nilai-nilai dan cara hidup serta
institusi kelompok etnis tertentu bisa menjadi sub-ordinat kelompok etnis lain.

3. Ambisi hegemoni

Suatu kelompok yang berkuasa tidak cukup puas dengan bertahannya nilai-nilai budaya dan
institusi mereka saja, tetapi ingin menjadi kelompok dominan. Kelompok yang ingin berkuasa ini
seringkali menuntut perlakukan tertentu dari pemerintah, seperti digunakannya bahasa kelompok
mereka sebagai bahasa resmi, agama mereka menjadi agama resmi, dan lain-lain; dan penjajahan
terhadap kelompok lawan dengan menekannya sehingga bersedia menerima posisi yang lebih
rendah dalam hal ekonomi, sosial dan politik.

4. Aspirasi kaum elit

Adanya ambisi dari clit kelompok etnik tertentu untuk mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaan dengan menggunakan isu-isu ketakutan, kebencian dan ambisi
kelompok etnik.

Keempat penyebab konflik etnis tersebut seringkali saling menguatkan satu sama lain dan
semuanya biasanya muncul dalam konflik yang paling berdarah dan lama. Jika kita melihat
kasus-kasus konflik sosial yang mengusung isu etnisitas pada masa reformasi, keempat faktor itu
dapat menjadi penyebab terjadinya konflik sosial dalam masyarakat Indonesia. Dan pemerintah
atau kelompok yang berkuasa memiliki peran penting untuk mengatur apakah konflik sosial itu
akan muncul ke permukaan atau dapat ditekan.

Dalam konteks masyarakat Indonesia, konflik sosial sebenarnya telah terjadi sejak negara
ini memproklamirkan kemerdekaanya. seperti yang terlihat pada Tabel 13. Gerakan-gerakan
penolakan dan pemisahan diri telah muncul sejak tahun 1947, misalnya seperti yang dilakukan
Darul Islam. Politik asimilisasi dan penggunaan cara-cara integrasi koersif selama masa Orde
Lama dan Orde Baru dapat menekan isu konflik sosial sehingga tidak muncul ke permukaan.
Kondisi konflik ini dapat bersifat laten (tersembunyi) maupun manifes (secara nyata terungkap).
Konflik sosial sampai saat ini masih dipandang sebagai suatu patologi sosial yang terjadi dalam
proses integrasi sosial yang berjalan dengan sempurna.

Sebenarnya interaksi yang terjadi di antara kelompok etnis yang berbeda tidak selalu
mengarah pada konflik. Kerjasama juga dapat terjadi walaupun masing masing kelompok etnis
memiliki karakteristik budaya yang berbeda. Konflik dan integrasi merupakan dua dimensi
dalam interaksi sosial. Kesepakatan berbagai kerajaan dan kelompok etnik di wilayah nusantara
untuk mendirikan Indonesia sebagai aksi melawan kolonialisme merupakan suatu contoh
kongkrit kalau perbedaan budaya bukan halangan untuk bekerjasama.

Dalam interaksi sehari-hari, sebagian besar warga negara Indonesia juga dapat hidup
berdampingan dan bertoleransi dengan kelompok etnis yang berbeda. Bahkan keberagaman
budaya menjadi aset bangsa ini, baik untuk memperkaya budaya Indonesia maupun bibit industri
pariwisata. Pembauran dan kawin campur juga semakin mewarnai hubungan antar kelompok
etnik di Indonesia. Selama terdapat tujuan yang sama dan selaras maka hubungan kerjasama
dapat diwujudkan.

Hubungan antar kelompok etnis dalam masyarakat Indonesia tidak dapat dipisahkan dari
proses integrasi yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Ketiga jenis integrasi tersebut dapat
memiliki implikasi yang berbeda dalam pola hubungan antar etnik yang terjadi di Indonesia.
Sejarah menunjukan, dalam perjalanan dan pertumbuhan masyarakat Indonesia, integrasi koersif
cenderung diterapkan untuk menekan benturan akibat perbedaan-perbedaan budaya yang muncul
ke permukaan. Kadar integrasi fungsional dan normatif ternyata masih sangat rendah. Hal ini
dipengaruhi pula alch peraturan dan kebijakan-kebijakan publik yang diterapkan oleh pemerintah
(kelompok yang berkuasa) untuk mengatur masyarakatnya.

Perubahan konstelasi politik juga dapat mempengaruhi pola bubungan antar kelompok etnik
yang muncul. Proses integrasi koersif yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Lama dan Orde
Baru berhasil menekan keresahan-keresahan kelompok etnik. Namun pada masa reformasi ketika
iklim kebebasan terbuka, keresahan-keresahan itu mulai muncul ke permukaan. Hal ini dapat
terjadi karena proses pembangunan yang tidak merata dan kebijakan-kebijakan publik yang tidak
mempertimbangkan keragaman budaya. Di lain pihak, hal ini justru menunjukan proses integrasi
normatif dalam bentuk pengutan identitas Indonesia ternyata belum terinternalisasi secara penuh
dalam masyarakat. Nilai-nilai budaya kelompok etnik masih merupakan nilai yang signifikan
bagi kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Anda mungkin juga menyukai