Anda di halaman 1dari 89

INTERVENSI DALAM PEKERJAAN

SOSIAL
(Direct And Indirect Intevention)

Abdul Najib, M.Si

ii
DAFTAR ISI v
iii

Kata Pengantar ...................................................................................


Daftar Isi ..............................................................................................

Bab 1 INTERVENSI SOSIAL DALAM KEGIATAN PEKERJAAN


SOSIAL
Sebagai Sumber Pelaksanaan Pemecahan Masalah Klien ..

A. Definisi Intervensi Sosial ........................................................


B. Peran Intervensi Sosial dalam Pekerjaan Sosial .....................
C. Unsur-unsur Penting bagi Pekerja Sosial dalam Melaksanakan
Intervensi Sosial .....................................................................
1) Pengetahuan Pekerjaan Sosial (body of knowledge)......
2) Keterampilan Pekerjaan Sosial (body of skill) .................
3) Nilai-nilai Pekerjaan Sosial (body of value) .................... 35
Bab 2 RUANG LINGKUP INTERVENSI SOSIAL
35
Berada dalam Level Mikro, Meso, dan Level Makro ...........
37
46
Intervensi di Level Mikro ........................................................
Pendekatan Konseling ........................................................... 49
50
Pendekatan Mentalitas ...................................................
57
Intervensi di Level Meso ........................................................ 64
Pendekatan Terapi Kelompok ........................................
Pendekatan Pengorganisasian Masyarakat .................... 68
Intervensi di Level Makro ......................................................
Pengembangan Masyarakat Lokal (Locality Develop- 73
ment) .............................................................................. 78
Perencanaan dan Kebijakan Sosial (Social Planning/
Policy) .............................................................................
Aksi Sosial (Social Action) ...............................................

iii
Bab. 3 PERAN ASESMEN DALAM INTERVENSI SOSIAL
Sebagai Peletak Dasar Kegiatan Intervensi ......................... 85

Deskripsi tentang Asesmen .................................................... 86


Eksistensi Asesmen dalam Intervensi Sosial........................... 90
Memahami Klien dalam Kegiatan Asesmen ............................ 92
Instrumen Asesmen dalam Pelaksanaan Pekerjaan Sosial ........... 96
Wawancara ..................................................................... 96
Angket ............................................................................ 98
Observasi ..................................................................... 100
Sosiometri ..................................................................... 101
Metode Pelaksanaan Asesmen ............................................ 103
Fase Persiapan dalam Asesmen ................................... 105
Kiat-kiat Melakukan Asesmen dengan Benar ................. 105
Sistematika Pelaksanaan Asesmen. ..................................... 109

Bab 4 INTERVENSI BERBASIS KEBIJAKAN SOSIAL


Pentingnya Pekerja Sosial Memahami Kebijakan Sosial ...... 113

Deskripsi tentang Intervensi Berbasis Kebijakan Sosial ......... 114


Tujuan Pembuatan Kebijakan Sosial .......................................... 119
Peran Kebijakan Sosial dalam Mengatasi Masalah Sosial ...... 122
Peran Rehabilitasi Sosial dalam Pengentasan Masalah
Sosial............................................................................ 123
Peran Jaminan Sosial dalam Pengentasan Masalah
Sosial............................................................................ 132
Peran Perlindungan Sosial dalam Pengentasan Masalah
Sosial............................................................................ 135
Peran Pemberdayaan Sosial dalam Pengentasan
Masalah Sosial .................................................................... 140

Daftar Pustaka .................................................................................. 146


Tentang Penulis ................................................................................ 152

iv
PRAKATA

Puji syukur kami panjatkan kehadirat-Nya atas rampungnya dengan baik


buku ini yang diberi judul Intervensi dalam Pekerjaan Sosial. Buku ini di-
tulis dengan dorongan semangat untuk turut berperan serta dalam mem-
beri sumbangsih pemikiran terhadap perkembangan Ilmu Kesejahteraan
Sosial di Indonesia.
Harapan terbesar kami tidak lain adalah agar buku ini bermanfaat bagi
semua pihak, utamanya para mahasiswa jurusan Ilmu Kesejahteraan So-
sial, para akademisi yang tertarik mengkaji masalah kebijakan sosial, para
praktisi di lapangan pekerjaan sosial, maupun bagi masyarakat umum
lainnya yang saat ini banyak tertarik membahas persoalan kebijakan so-
sial dan perundang-undangan sosial.
Pesan yang paling inti dari buku ini bahwa permasalahan kesejahte-
raan sosial di masyarakat adalah persoalan semua pihak tanpa kecuali,
olehnya itu semua pihak pantas menganalisa gejala permasalahan sosial
di sekitarnya. Sebagaimana kata bijak yang mengatakan bahwa sema- kin
maju suatu Negara maka semakin rendah permasalahan sosial yang
berkembang di masyarakatnya. Mengapa bisa demikian, hal ini karena
semakin respeknya Negara dan masyarakat mengamati dan menangani
masalah sosial yang berkembang di masyarakat. Sebaliknya, apabila se-
makin mundur suatu Negara maka semakin tinggi permasalahan sosial
yang ada. Hal itu terjadi karena kemungkinan Negara mengenyamping-
kan permasalah sosial di masyarakatnya dan lebih fokus ke soal lain, bila
hal ini benar-benar terjadi maka masalah sosial tersebut menutup pintu
kemajuan yang diharapkan.
Buku ini rampung atas bantuan dari berbagai pihak, untuk itu kami
haturkan terima kasih yang tak terkira untuk bapak Rektor Universitas
UIN Mataram, Bpk Dekan UIN Mataram, teman-teman Dosen di FDIK
UIN Mataram, dan semua pihak yang kami lupa tuliskan namanya namun
terlibat dalam penulisan buku ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang ada dalam
buku ini, baik substansi maupun sistematika penulisan. Untuk itu se-
cara terbuka kami menerima saran, kritikan, dan masukan yang sifatnya
menyempurnakan buku ini.

5
W a s s a l a m,
Mataramr, 14 Agustus 2022

Abdul Najib, M. Si

6
BAB I
INTERVENSI SOSIAL DALAM PEKERJAAN
SOSIAL

P
ada Bab ini, Penulis akan membahas keberadaan intervensi sosial
dalam kegiatan Pekerjaan Sosial, di mana keduanya merupakan
satu kesatuan konsep yang saling melengkapi dan tidak dapat
dipisahkan keberadaan-nya dalam praktik dan pengembangan Ilmu
Pekerjaan Sosial. Di sisi lain, untuk mewujudkan keberhasilan dalam
layanan sosial dalam penanganan kasus dengan klayen, Keluarga
Penerima Manfaat, atau residen, maka peran pekerja sosial pada dasarnya
mengarahkan kegiatannya dilakukan pada seting (individu, kelompok dan
komunitas atau masyarakat) sebagaimana tugas pokok intervensi sosial
dalam lapangan pekerjaan sosial, sehingga intervensi sosial ini
merupakan konsep praktis dalam menentukan keberhasilan dalam
penanganan kasus-kasus yang dihadapi oleh pekerja sosial. Untuk lebih
spesifiknya akan dijabarkan pada beberapa sub bagian di bawah ini.

A. Definisi Intervensi Sosial


Secara bahasa atau etimologi, Intervensi berasal dari kata atau
bahasa Inggris yakni Intervention, kata ini artinya campur tangan atau
pelibatan seseorang atau lembaga/negara dalam masalah seseorang,
kelompok dan masyarakat baik secara langsung maupun tidak
langsung dengan menggunakan pendekatan dan strategi tertentu.
Sedangkan kata intervensi dari aspek sosial yaitu keterlibatan atau
perpaduan antara dua belah pihak dalam proses penanganan masalah
sosial yang dihadapinya, di mana dilakukan secara terencana dan
prosedural. Berkaitan hal ini Intervensi dapat juga dipahami sebagai
tindakan spesifik oleh seorang pekerja sosial dalam rangka mendorong
ataupun merancang perubahan sosial agar tercipta keberfungsian
sosial pada kliennya dalam meningkatkan taraf hidup yang
berkelanjutan. Intervensi sejalan dengan konsep pembedahan dalam
pemecahan masalah sosial yang didasari oleh prinsip-prinsip yang
sistemik dan terukur.

7
Intervensi1 sosial dalam pengertian campur tangan dapat
diartikan sebagai bentuk ajakan bagi para pekerja sosial bahwa setiap
saat ia harus berani bertindak untuk masuk ke dalam masalah sosial
individu ataupun masyarakat yang berada di sekelilingnya. Hal ini
sebagaimana pendapat Argyris (1970) dalam Hariyanto (2012) bahwa,
Intervensi sosial merupakan kegiatan pekerja sosial yang mencoba
masuk ke dalam permasalahan individu, kelompok ataupun suatu
objek lain dengan tujuan utamanya membantu keluar dari masalah
tersebut. Di mana tujuan utama bantuan yang diberikan adalah
memperbaiki fungsi dan peran sosial klien. Dengan asumsi bahwa bila
fungsi sosial menjadi baik maka akan berimplikasi pada stabilitas
kondisi lainnya. Sehingga intervensi sosial itu sendiri bisa dikatakan
sebagai pemicu terhadap pencapaian fungsi-fungsikesejahteraan lahir
dan batin yang selama ini mungkin mengalami ham- batan atau
berbenturan dengan masalah lainnya.
Sedangkan secara terminologi, Slamet dan Markam (2003)
mendefinisikan intervensi sosial sebagai suatu metode sosial yang
ditujukan untuk mengubah perilaku, pikiran, dan perasaan seseorang
secara terstruktur dan terencana. Sedangkan Rukminto Adi (2008)
mendefinisikan intervensi sosial sebagaimana halnya intervensi
komunitas, adalah upaya-upaya sosial dalam memberdayakan dan
mengembangkan masyarakat melalui integritas komunitasnya.2
Selanjutnya Suharto (2009) mendefinisikan intervensi pekerjaan sosial
adalah optimalisasi kinerja dari kebijakan dan perancanaan so- sial
dalam mengubah masyarakat seceara menyeluruh. Ketiga definisi ini
dapat dikatakan bahwa masing-masing menghadirkan tiga dimensi
yang ada, yakni dimensi mikro, Meso, dan dimensi makro. Ketiga
dimensi ini saling terkait dalam memajukan kehidupan sosial,
dimisalkan perilaku seseorang (mikro) mempengaruhi komunitasnya
(Meso) dalam rangka memajukan hidup bermasyarakat yang sesuai
dengan nilai-nilai pembangunan yang disepakati (dalam hal ini nilai

1
Dasar kata Intervensi awalnya banyak digunakan pada istilah militer yang
menunjukkan sistem ketahanan negar dari pengaruh Eksternal. Namun dalam
perkembangannya Intervensi sudah mulai digunakan dalam lingkup kajian studi
umum. Namun belakangan ini sudah mulai digunakan dalam lintas disiplin ilmu
pengetahuan yang berbesa.
2
Isbandi Rukminto Adi, Intervensi Komunitas (Jakarta: Rajawali, 2008),
hlm.
8
umum yang bersifat makro). 3
Ketiga dimensi juga mengarahkan pengertian intervensi sosial
ke arah pemahaman tentang cara atau strategi dalam memberikan
bantuan kepada kelompok sasaran (individu, kelompok, komunitas).
Dalam pem-berian bantuan, Intervensi sosial ditekankan pada metode
yang digunakan baik dalam bidang pekerjaan sosial dan maupun
bidang kesejahteraan sosial. Dengan demikian, intervensi sosial
merupakan upaya perubahan terencana terhadap penyelesaian
masalah objek sasaran. Dikatakan se- bagai “perubahan terencana”
agar upaya bantuan yang diberikan mampu dievaluasi dan diukur
tentang keberhasilan dalam menghadirkan keberfungsian sosial pada
objek sasaran perubahan.
Definisi intervensi ini akan kehilangan makna bilamana kita
tidak mendefinisikan pekerjaan sosial, sebagai objek intervensi.
Definisi yang umum tentang pekerjaan sosial dijelaskan oleh Charles
Zastrow4 (1999:12)yang mengatakan bahwa pekerjaan sosial sebagai
profesi yang lebih di- andalkan dari profesi lain dalam menangani dan
melakukan perbaikan terhadap berkembangnya masalah sosial di
masyarakat. Selanjutnya Zastrow mengatakan bahwa social work is
the profesional activity of helpingindividuals, groups, or communities
to enhance or restore their capacity for social functioning and to create
societal conditions favorable to their goals. Pekerjaan sosial adalah
aktivitas profesional untuk membantu individu, kelompok atau
komunitas guna meningkatkan atau memperbaiki kapasitasnya untuk
keberfungsi sosial dan menciptakan kondisi masyarakat guna
mencapai tujuan-tujuannya. Definisi yang ditawarkan Zastrow
tersebut merupakan definisi yang Intervensi menjadi titik utama
dalam upaya pemecahan masalah sosial.
Pandangan ini sejalan dengan deGuzman (2001) dalam Budi
(2010), di mana ia melihat masa depan profesi pekerjaan sosial yang
menjanjikan. Menurutnya bahwa social work is the profesion which is
primary concerned with organized social service activity aimed to
facilitate and strengthen basic relationship in the mutual adjusment

3
Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat
(Bandung:Refika aditama, 2009), hlm.
4
Charles Zastrow, Intordoctin to Social Work, (Pasific Grove:Cole
Publishing Company), hlm.45
9
between individual, and theirsocial environment for the good of the
individual and society, by the use of social work method. Pekerjaan
sosial adalah profesi yang bidang utamanya berkecimpung dalam
kegiatan pelayanan sosial yang terorganisir dan bertujuan untuk
memfasilitasi dan memperkuat relasi dalam penyesuaian diri secara
timbal balik dan saling menguntungkan antar individu dengan
lingkungan sosialnya melalui penggunaan metode-metode peker- jaan
sosial. Nampaknya definisi ini lebih mengutamakan teknik-teknik
pelayanan sosial dalam dunia pekerjaan sosial.
Intervensi, memiliki makna dan cakupan tafsir yang lebih luas.
Pemaknaannya didasari pada sebuah upaya dalam pemecahan
masalah dengan menggunakan berbagai pendekatan tertentu dalam
menemukan solusi yang sesuai dengan konteks dan teks tertentu.
Dengan demikian, intervensi pekerjaan sosial adalah sebuah proses
pencarian alternatif tertentu dengan menggunakan pendekatan dan
media tertentu.
Dari berbagai definisi tentang intervensi sosial dan pekerjaan
sosial di atas tidak akan lengkap tanpa diuraikan sejarah
perkembangan intervensi dalam kegiatan pekerjaan sosial. Secara
singkat, sejarah intervensi di negara barat menurut catatan Trevor
(2009) dimulai di tahun 1949, saat itu pekerja sosial kewalahan
menangani banyak klien yang ternyata lebih menonjol masalah
kejiwaan (seperti depresi dan tekanan kejiwaan lainnya) ketimbang
masalah sosialnya, sehingga sebagian klien tersebut dirujuk itu ke
psikater dan dokter untuk disembuhkan. Menurutnya, istilah dan
penggunaan kata intervensi sebenarnya baru muncul dalam literatur
pekerjaan sosial di Amerika pada akhir tahun 1950-an dan awal tahun
1960-an, ketika itu, istilah intervensi saling berhimpitan dengan
istilah ‘treatment’ (perlakuan) dalam kajian psikologi sosial. Istilah
inter-vensi kemudian lebih berkembang ketika pekerja sosial bersama
psikiater dan dokter menangani masalah sosial klien yang akar
masalahnya dari persoalan psikologi (umumnya trauma dari peristiwa
perang dunia ke- 2). Dikarenakan kebanyakan pengetahuan pekerja
sosial disituasi itu hanya berbasiskan sosial kemasyarakatan
(sosiologi) hal ini menyebabkan para pekerja sosial mendalami
intervensi pada psikolog dan dokter untuk mengkaji unsur-unsur
penting yang dalam psikologi (terutama pelajaran konseling,
psikososial, terapi dan sugesti) agar memperkaya kegiatan praktik
10
pekerja sosial dalam bidang pekerjaan sosial lainnya terkhusus hal
yang berkaitan dengan unsur kejiwaan. Proses belajar ini terus ber-
langsung hingga kini, sehingga proses pendekatan mikro dalam
intervensi pekerjaan sosial pun berkembang positif dalam berbagai
versi hingga kini. 5
Di Indonesia, sejarah Intervensi pekerjaan sosial dapat kita
amati dalam dua fase perkembangan, yakni pertama fase
dikembangkannya metode Intervensi sosial di era Orde Baru di tahun
1970-an ketika Pemerintah pertama kalinya memasukkan rancangan
Pembangunan Kesejahteraan Sosial dalam konsep Repelita (Rencana
Pembangunan Lima Tahun) di tahap kedua Pembangunan Nasional.
Kedua, di era reformasi tahun 2009, dikembangkannya intervensi
pekerjaan sosial ketika konsti- tusi menginginkan perubahan
fundamental dalam sistem pengelolaan pelayanan sosial atau sistem
usaha kesejahteraan sosial secara umum, di mana sistem yang ada
cenderung tidak mampu lagi menyesuaikan dengan prinsip dasar
reformasi.
Penjelasan perkembangan Intervensi pekerjaan sosial di era
Orde Baru yakni, ketika di tahun 1972 Pemerintahan hendak
mencanangkan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat dalam
Repelita tahap ke-2 (tahun 1974-1979). Kala itu, menurut catatan
Sumantri (1979) bahwa, atas saran berbagai negara donor dalam
Pembangunan Nasional kita, mengingin- kan bahwa sebaiknya
Pemerintah memasukkan rancangan Pembangunan Kesejahteraan
Sosial dalam Repelita 2 kelak, di mana program-program yang
disarankan harus ada, yakni pengentasan kemiskinan, jaminan sosial,
pendirian pusat-pusat pelayanan sosial dan menggiatkan pe- ran
pekerja sosial dalam kesejahteraan sosial. Hal ini mengingat di era itu
tingginya jumlah penduduk miskin, pengangguran merajalela dan
rendahnya pendapatan per kapita penduduk.
Wujud dari pembangunan kesejahteraan sosial tersebut
selanjutnya dituangkan dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1974
tentang Ketentu- an Pokok Kesejahteraan Sosial, di mana UU ini
berisikan 12 Pasal dan salah satu poin inti dari UU tersebut adalah
mengoptimalkan peran Usa- ha Kesejahteraan Sosial (UKS) dalam

5
Albert R. Roberts dan Gilbert J. Greene, Buku Pintar Pekerja Sosial
(Social Workers’ Desk Reference (Jakarta: Gunung Mulia, 2009), hlm. 529-542.
11
tujuan Pembangunan Nasional. Disisi lain menurut Sumarnonugroho
(1984) bahwa kehadiran UKS dalam UU tersebut adalah simbol dari
hadirnya Intervensi sosial dalam pro- ses pembangunan
kesejahteraan sosial, di mana makna campur tangan terjabarkan
melalui nilai-nilai khusus dalam UKS, seperti: pemerintah
menyantuni keluarga miskin berupa bantuan dana dan barang,
pelayananjasa sosial berupa keterampilan bagi penderita cacat tubuh
(penyandang disabilitas), serta perluasan akses pekerjaan bagi para
penganggur. Makna campur tangan lainnya juga terjabarkan pada
pasal 2 di dalam UU No. 6 Tahun 1974 yang berbunyi bahwa Usaha
Kesejahteraan Sosial ialah semua upaya, program, dan kegiatan yang
ditujukan untuk mewujudkan, membi- na, memelihara, memulihkan
dan mengembangkan kesejahteraan sosial. Pemahaman Intervensi
sosial oleh pemerintah juga hadir dalam pasal 4, di mana Pemerintah
mengarahkan Usaha Kesejahteraan Sosial ke arah empat kondisi
seperti di bawah ini.
a. Bantuan sosial kepada Warga negara baik secara perseorangan
maupun dalam kelompok yang mengalami kehilangan peranan
sosial atau menjadi korban akibat terjadinya bencana-bencana,
baik sosial maupun alamiah, atau peristiwa-peristiwa lain;
b. Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial melalui penyelenggaraan
suatu sistem jaminan sosial;
c. Bimbingan, pembinaan dan rehabilitasi sosial, termasuk di da-
lamnya penyaluran ke dalam masyarakat, kepada Warganegara
baik perorangan maupun dalam kelompok yang terganggu ke-
mampuannya untuk mempertahankan hidup, yang terlantar atau
yang tersesat;
d. Pengembangan dan penyuluhan sosial untuk meningkatkan
peradaban, peri kemanusiaan dan kegotong-royongan.
Dari keberadaan UU No. 6 Tahun 1974 ini dapat dimaknai
bahwa se- jarah Intervensi pekerjaan sosial di Indonesia dimulai oleh
Pemerintah atau melalui pendekatan perundang-undangan sosial yang
dikeluarkan oleh Pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan
sosial. Menurut Sumarnonugroho (1984) bahwa bentuk-bentuk
intervensi sosial di balik keberadaan Usaha Kesejahteraan Sosial
merupakan bentuk pertolongan sosial yang bersifat Residual, atau
bentuk pertolongan dilakukan oleh pekerja sosial yang sifatnyatnya
12
parsial dan seperlunya saja, serta bantuan residual baru dapat
dijalankan karena sistem yang ada dalam masyarakat secara relatif
tidak mampu lagi mengatasi persoalan yang dihadapi. Menurut Harris
(2005) bahwa, dipakainya bantuan model residual kare- na mengikuti
model pembangunan saat itu yaitu model pertumbuhan atau
pendekatan pembangunan model trickle down effect (efek tetesan ke
bawah), di mana berharap bantuan secara parsial pada satu
permasalahan sosial itu berharap akan berefek kepada penuntasan
banyak masalah sosial.
Selanjutnya penjelasan tentang sejarah Intervensi pekerjaan
sosial ketika memasuki era Reformasi, yakni ketika intervensi sosial
digulir- kan dalam nilai-nilai reformasi (seperti nilai akan penegakan
hak azasi manusia, disentralisasi, anti diskriminasi dan eksploitasi,
serta gerakan pemberdayaan berbasis inisiatif masyarakat lokal)
mendorong Pemerintah yang ada melakukan penataan ulang terhadap
intensitas intervensi dalam pelayanan sosial dan Perundang-undangan
sosial. Penataan ulang dilakukan karena pola lama dianggap tidak
sesuai lagi dengan semangat reformasi dan arah globalisasi, hal itu
seperti: kebijakan yang sentralistik, stigmanisasi, primordialisme,
eksklusivisme dan sebagainya. Sedangkanpenataan Intervensi sosial
yang diharapkan adalah perwujudan pem-bangunan sosial yang
terencana dan terorganisir, berusaha semaksimal mungkin menekan
jumlah dan reaksi (efek) terhadap permasalahan so- sial yang ada,
seperti: kemiskinan, kebodohan, keterlantaran, kecacatan, ketunaan
sosial dan penyimpangan perilaku, ketertinggalan, keterpencilan,
perdagangan perempuan dan anak (human trafficking), serta korban
bencana alam ataupun kemanusiaan dan akibat tindakan kekerasan
dari berbagai faktor (utamnya kasus kekerasan dalam rumah tangga).
Untuk merealisasikan kepentingan tersebut, pemerintah
mengeluar- kan Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial, di mana Undang-Undang ini memprioritaskan
Pembangunan sosial sebagai pilihan utama dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial di Indonesia, selanjutnya menempatkan
intervensi sosial sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan
Pembangunan Sosial tersebut. Menurut Harris (2005) bahwa dalam
UU tersebut intervensi sosial hadir melalui empat kegiatan kese-
jahteraan sosial sebagaimana tercantum dalam pasal 1, yakni pada
kegia-tan: a. rehabilitasi sosial; b. jaminan sosial; c. pemberdayaan sosial;
13
dan d. perlindungan sosial. Pengertian Rehabilitasi Sosial yakni
proses refung- sionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan
seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam
kehidupan masyarakat. Sedangkan Perlindungan Sosial diartikan
sebagai upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko
dari guncangan dan kerentanan sosial. Lalu Pemberdayaan Sosial
adalah semua upaya yang diarahkan un- tuk menjadikan warga negara
yang mengalami masalah sosial mempunyai daya, sehingga mampu
memenuhi kebutuhan dasarnya. Terakhir JaminanSosial adalah skema
yang melembaga untuk menjamin seluruh rakyat agardapat memenuhi
kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
Keempat kegiatan kesejahteraan sosial ini di arahkan untuk
menan- gani 7 pokok permasalahan sosial yang muncul berbarengan
dengan kondisi reformasi saat itu, ketujuh aspek tersebut yakni: a.
kemiskinan; b. ketelantaran; c. kecacatan; d. keterpencilan; e.
ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku; f. korban bencana;
dan/atau g. korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.
Penanganan terhadap Tujuh permasalahan sosial ini dilakukan secara
bersama-sama antara Pemer- intah, masyarakat dan swasta
(stakeholder), di mana Pemerintah hadir melalui Kebijakan dan
perencanaan sosial, pendanaan, serta penyediaan saranaprasarananya.
Sedangkan masyarakat ataupun swasta hadir melalui peran-peran
sosial dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial tersebut, seperti:
kegiatan perseorangan atau keluarga, organisasi keagamaan, or-
ganisasi sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat,
organisasi profesi, badan usaha dan lembaga kesejahteraan sosial
lainnya.
Sejatinya Indonesia mengejewantahkan dasar dari gerakan
intervensi sosial tidak terlepas dari perumusan perundang-undangan
sosial, yang mengikat dan menggarisbawahi pendekatan dan paradigma
dalam inteervensi pekerjaan sosial. Jadi intervensi sosial merupakan
model pengelolaannya dengan menggunakan metode dan cara-cara
tertentu dalam rangka mengidentifikasi upaya peningkatan
kesejahteraan sosial dalam Pembangunan Sosial yang berpusat pada
manusia.
Di era Reformasi ini gerakan intervensi sosial tidak dapat
dipisahkandengan semangat Pembangunan Sosial. Menurut Midgley

14
(1995:25) bahwa Pembangunan Sosial tidak dapat dipisahkan dengan
pembangunan lainnya, utamanya pembangunan kesejahteraan sosial,
di mana pemba- ngunan sosial merupakan proses perubahan sosial
yang terencana dan de-sain untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh
penduduk dalam kaitan- nya dengan proses yang dinamis dalam
pembangunan ekonomi. Midgley(1995) melihat bahwa pertumbuhan
ekonomi yang tidak diikuti dengan berkurangnya jurang antara si kaya
dan si miskin maka proses pemba- ngunan tersebut telah terdistorsi.
Sehingga perlu dilakukan pendekatan pembangunan lain yang bisa
mengurangi kesenjangan atau jurang dari sikaya dan si miskin, oleh
karenanya gagasan pembangunan sosial seharus- nya disetarakan
dengan pembangunan ekonomi. 6 Lebih lanjut menurut Midgley
(1995) bahwa segala aspek yang berkaitan dengan kegiatan
pembangunan, dapat dikatakan dia juga merupakan kegiatan
intervensi sosial, sebab dengan intervensi sosial maka pembangunan
itu dapat bergerak. Untuk itu, Midgley (1995:103-138) mendesain tiga
aspeksosial sebagai upaya mengaitkan intervensi sosial dengan proses
Pemba- ngunan Sosial, tiga aspek itu adalah:
1) Pembangunan sosial melalui Individu (social development by
individuals), di mana individu-individu dalam masyarakat secara
swadaya membentuk usaha pelayanan masyarakat guna mem-
berdayakan masyarakat. Pendekatan ini lebih mengarah kepada
pendekatan individualistis atau pendekatan kewirausahaan (in-
dividualist or enterprise approach). Hal ini dapat kita contohkan
pada kegiatan pekerja sosial di dunia medis atau yang bekerja di
rumah sakit. Menurut Sapari (2015), Pekerja sosial model seperti
ini sudah mulai dilakukan di Indonesia, terutama untuk rumah
sakit yang berlevel-A. Menurutnya, peran yang dapat dilakukan
oleh pekerja sosial medis dalam setting rumah sakit adalah
melakukan konseling individu dan keluarga, melakukan lawatan
dari ruangaan isolasi medis ke ruangan istirahat, melakukan
home visit, mengevaluasi sosial (asessmen) setiap pasien, beker-
jasama dengan dinas sosial, bekerja sama dengan panti reha-
bilitasi sosial, melakukan bimbingan sosial, membantu tim re-
habilitasi dan pelaksanaan terapi, melakukan persiapan pulang

6
James Midgley, Pembangunan Sosial. Terj. UGM (Yogyakarta:
UGMPress, 2018), hlm.
15
terhadap klien, melakukan kegiatan after care. Melihat banyak-
nya peran yang diberikan oleh pekerja sosial menandakan bah-
wa pelayanan kesehatan sangat membutuhkan intervensi sosial
pekerja sosial pada pekerjaan medis dan non-medis, sehingga
sumbangsi intervensi pekerja sosial secara relatif berkorelasi
dengan kesembuhan pasien.
2) Pembangunan sosial melalui komunitas (social development by
community), di mana kelompok masyarakat secara bersama-sa-
ma berupaya mengembangkan komunitas lokalnya. Pendekatan
ini lebih dikenal dengan nama pendekatan komunitarian atau
communitarian approach. Dikutip dari Sapari (2015) menyebut-
kan bahwa konsep ini dapat dicontohkan pada kegiatan Dompet
Dhuafa yang dilakukan oleh organisasi sosial di tanah air. Or-
ganisasi ini memanfaatkan tingginya charity di indonesia untuk
diolah dan disalurkan melalui berbagai program unggulan yang
berjangka panjang, seperti membangun sekolah, bantuan tun-
jangan bea siswa, dan fasilitas kesehatan kepada anggota
masyarakat yang kurang beruntung.
3) Pembangunan sosial melalui pemerintah (social development
by governments), di mana pembangunan sosial dilakukan oleh
lembaga-lembaga di dalam organisasi pemerintah. Pendekatan
ini sering disebut sebagai pendekatan negara (state approach).
Dalam hal ini Tomy Sapari (2015) mencontohkan kehadiran
BPJS dalam memberikan pelayanan jaminan kesehatan dengan
biaya murah (hingga gratis) bagi golongan tertentu telah berha-
sil mengurangi beban sosial ekonomi golongan menengah ke
bawah. Menurutnya, BPJS adalah salah satu dari model pemba-
ngunan sosial di level pemerintah di mana BPJS ini digunakan
untuk memberikan jaminan kesehatan kepada seluruh pekerja
yang terdaftar di dalamnya untuk mendapatkan asuransi kese-
hatan. Kesehatan yang baik akan meningkatkan produktivitas
kerja dan aktivitas sehari-hari serta membantu bagaimana se-
buah pembangunan itu bisa terwujud dengan baik melalui ma-
nusia-manusia yang sehat jasmani dan rohani.
Ketiga aspek ini dapat dikatakan bahwa seluruh proses
Pembangunan Sosial secara relatif merupakan tindakan intervensi
sosial, karena kegiatan Pembangunan itu sendiri merupakan kegiatan

16
campur tangan (intervensi) negara terhadap rakyatnya untuk
mengikuti ide ataupun pola tertentu yang diinginkan oleh negara.
Menurut Midgley (1995) keterkait an keduanya dapat diamati pada
strategi pembangunan yang ditawarkan, mencakup misalnya
pembangunan seperti apa yang akan dilakukan, siapa yang terlibat
dalam pembangunan tersebut, serta bagaimana rencana jangka
menengah dan panjang yang dapat menunjang pembangunan sosial
tersebut.
B. Peran Intervensi Sosial dalam Pekerjaan Sosial
Dalam praktik pekerjaan sosial intervensi merupaka langkah
atau fase ke dua dalam penanganan masalah sosial (asesmen,
intervensi, referal). Sebagai salah satu bagian terpenting dari kegiatan
praktik Pekerjaan Sosial, peran intervensi sosial terhadap kegiatan
pekerjaan dapat berkontribusi langsung terhadap kegiatan pekerjaan
sosial. Kontribusi terbesarnya adalah meletakkan pola strategis dalam
penanganan masalah sosial, pola atau pendekatan ini menjadi dasar
sistem bertindak bagi para pekerja sosial dalam melaksanakan proses
pertolongan dengan tepat. Berkaitan hal ini, menurut Harris (2005)
bahwa peranan intervensi sosial dapat mencakup seluruh kegiatan
pekerjaan sosial, baik secara langsung (direct intevention) maupun
tidak langsung (indirect intervention) terhadap upaya peningkatan
taraf hidup individu kelompok dan masyarakat secara komprhensif.
Dengan demikian, intervensi sosial menjadi titik kunci pada upaya
pemecahan, penanggulangan dan oengembangan masalah
kesejahteraan sosial yang dialami oleh tiap-tiap individu.
Peran penting intervensi sosial ini dapat diamati melalui fungsi-
fung-si yang ada di dalamnya, di mana mengarahkan intervensi sosial
sebagai motor penggerak perubahan dan menjadi penghubung yang
strategis dalam mempertemukan antara individu (atau masyarakat)
dan sumber pemberi bantuan (sistem sumber). Menyangkut fungsi-
fungsi intervensi sosial, Pincus dan Minahan7 menjelaskan setidaknya
ada enam fungsi intervensi sosial yang berkorelasi langsung terhadap
peningkatan mutu pekerja sosial dalam menanggulangi dan
menangani permasalahan sosial di tengah masyarakat, keenamfungsi

7
Pincus, Allen dan Anne Minahan. 1973. Social Work Practice: Model And Method
(Madison: F.E. Peacock Publishers, Inc. 1973), hlm. 43
17
tersebut yakni.
1) Help people enhance and more effectively utilize their own prob-
lem-solving and coping capacities. pada fungsi help people
enhance and more effectively utilize their own problem-solving
and coping capacities, dapat di- maknai bahwa fungsi utama
intervensi sosial adalah membantu manusia keluar dari berbagai
permasalahan sosial dengan kemampuan klien sendi- ri. Fungsi
ini disebut proses Enabler, fungsi di mana intervensi sosial yang
dilakukan oleh pekerja sosial adalah membantu klien untuk
memenuhi kebutuhanya, mengidentifikasi masalah sendiri,
mengeksplorasi solusi- solusi yang strategis, memilih dan
menerapkan strategi, dan mengem- bangkan kapasitasnya
sehingga masalahnya dapat teratasi secara efektif. Ada anggapan
khusus di benak para pekerja sosial bahwa seseorang yang
sedang mengalami masalah sosial sering tidak memiliki
kesadaran bah- wa dirinya memiliki potensi atau kemampuan
untuk menyelesaikan masalahnya tersebut. Untuk itu, dalam
melalukan proses intervensi, Pekerja sosial hanya berperan
memuluskan proses penyelesaian masalah, sebab pada
prinsipnya, yang menyelesaikan masalah adalah klien sendiri,
in- tervensi pekerja sosial hanya berperan membantunya
menemukan jalan keluar dari masalahnya. Walaupun demikian,
tugas-tugas yang mesti dilengkapi oleh pekerja sosial adalah: a.
mengidentifikasi kekuatan dan potensi yang dimiliki klien guna
mendukung pemecahan masalahnya sendiri dan memperkuat
ketahanan dirinya; b. mengidentifikasi masalah yang dihadapi
klien yang dapat mengancam dan merusak proses penyem-
buhan dirinya; dan c. merumuskan prioritas masalah yang akan
ditangani dan upaya penanganan secara berlanjut.
2) Establish initial linkages between people and resource systems.
Fungsi ini diartikan bahwa intervensi dilakukan dengan
menghubungkan seseorang (klien) dengan sistem-sistem sum- ber. Di
sini intervensi sosial yang dijalankan pekerja sosial adalah sebagai
penghubung (broker) terhadap memberikan informasi tentang adanya
sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan sebagai jalan keluar dari
ma- salahnya dan tidak terjangkau oleh kemampuan klien. Dalam
konteks pemberdayaan sosial misalnya, pekerja sosial menyediakan
akses ke- terampilan khusus dalam bentuk pelatihan skill di dunia
18
kewirausahaan kepada warga miskin agar dapat menyelesaikan
problem kemiskinannya secara progres. Di samping itu, fungsi
establish initial linkages dapat juga menempatkan pekerja sosial
sebagai broker yakni menghubungkan klien dengan jaringan-jaringan
sumber dalam memperolah hak-haknya secara hukum yang berkaitan
dengan perlindungan kerja dan keselamatan da- lam pekerjaannya.
Sebagai perantara, pada penelitian tentang peranan Pekerja sosial da-
lam menangani keberfungsian sosial para mantan PSK di PSKW
Makassar (Iskandar, 2014) disebutkan bahwa intervensi sosial yang
dijalankan oleh pekerja sosial adalah menghubungkan kepentingan
warga binaan dengan berbagai lembaga tersebut, itu bisa terjadi
karena PSKW Mattiro Deceng tidak menyediakan sarana tersebut,
misalnya: pembinaan mental yang harus dari lembaga agama dan
kalangan kampus (psikolog), kebutuhan akan keamanan yang
disediakan oleh pihak kepolisian, dan kebutuhan akan kesehatan yang
mesti disediakan oleh pihak Puskesmas atau Rumah Sakit Wahidin.
Dalam tugas tersebut, pekerja sosial yang mewakili PSKW
Mattiro Deceng, berhubungan langsung dan mengakomodir
kepentingan warga binaan dalam hal kesehatan, pendidikan,
keamanan, sampai ke hal lapangan pekerjaan bila ia telah selesai
dipanti ini.
Adapun hal-hal penting yang dilakukan pekerja sosial sebelum
melakukan intervensi sosial, yakni: a. mempelajari dan memahami
ma- salah klien; b. membantu merumuskan masalah klien; c.
mengidentifika- si sumber-sumber yang dapat digunakan baik
sumber informal, formal dan kemasyarakatan; d. mengumpulkan dan
memberikan informasi yang relevan dengan jalan keluar masalah
yang dihadapi klien kepada sistem sumber; e. menghubungkannya
dengan sistem pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan klien; dan
terakhir f. merujuk kepada lembaga pe- layanan lain yang dapat
membantu pemecahan masalah klien.
3) Facilitate interaction and modifity and build new relationship be-
tween people and societal resource systems. Fungsi ini diartikan
sebagai fungsi fasilitatif atau fungsi di mana pekerja sosial
menyediakan fasilitas interaksi, memodifikasi dan membangun
hubung- an dengan berbagi pihak di dalam sistem-sistem
sumber. Di sini inter- vensi sosial yang dilakukan oleh Pekerja
sosial adalah meningkatkan ki- nerja dari berbagai lembaga
sosial agar pelayanan sosial berjalan dengan maksimal. Langkah
19
ini dilakukan karena berbagai lembaga sosial tersebut
merupakan piranti untuk mencapai tujuan intervensi sosial.
Menurut Huda (2009:16) bahwa peran-peran yang dapat
dikukan oleh para pekerja sosial antara lain sebagai:
pengembangan program, supervisor, koordi- nator ataupun
konsultan. Sebagai pengembang program, pekerja sosial dapat
mendorong atau merancang program sosial untuk memenuhi ke-
butuhan masyarakat. Sebagai supervisor, intervensi pekerja
sosial dapat meningkatkan kinerja pelayanan lembaga sosial
melalui supervisi yang dilakukan terhadap para stafnya di
lembaga tersebut. Sedangkan dalam konteks koordinator, peran
pekerja sosial dapat meningkatkan pelayanan dengan
meningkatkan komunikasi dan koordinasi antar sumber-sumber
pelayanan kemanusiaan. Adapun sebagai konsultan, yakni
memandu lembaga sosial dalam meningkatkan kualitas
pelayanan sosial.
Sedangkan Aprizan dkk (2015) menyebutkan bahwa fungsi
fasilitatif bagi pekerja sosial melakukan intervensi sosial dengan
menyediakan kemudahan bagi klien dalam mengenali,
menyadari, merumuskan dan menentukan alternatif pemecahan
masalahnya selama proses rehabilitasi. Adapun tugas-tugas
pekerja sosial dalam fungsi fasilitatif adalah: a. menggali
berbagai potensi klien dalam hal pengetahuan, pengalaman,
kemampuan dan kekuatannya; b. menggali masalah klien
mengenai kuantitas, kualitas dan dampak masalah yang telah
terjadi; c. melakukan anlisis masalah yang perlu untuk
diselesaikan dan menentukan alternatif pemecahan; serta yang
terakhir, d. yakni menggali harapan klien tentang kebutuhan
nyata.
4) Contribute to the development and modification of society policy.
Dalam fungsi ini pekerja sosial menjalan- kan fungsi kontribusi
terhadap pengembangan dan modifikasi kebijakan masyarakat.
Fungsi ini mengamanahkan bahwa pekerja sosial diharuskan
berkontribusi terhadap keberlangsungan kebijakan sosial, di mana de-
ngan kebijakan sosial maupun perundang-undangan sosial menjadi
lan- dasan bertindak bagi para pekerja sosial dalam memfungsikan
berbagai peran yang dimilikinya. Esensi penting dari kebijakan
sosial, berkaitan erat dengan hukum dan peraturan perundang-
20
undangan yang berlaku, pada poin ini para pekerja sosial menjadikan
kebijakan sosial sebagai lan- dasan ataupun cara berfikir strategis
dalam menyelesaikan berbagai per- masalahan sosial, baik itu yang
berada di tingkat hulu maupun di hilirnya. Dengan demikian,
kebijakan sosial dalam konteks cara berfikir starategis bagi para
pekerja sosial, adalah proses sosial yang menempatkan kebi- jakan
sosial sebagai pusat acuan terhadap penanganan masalah sosial,
tentunya melalui penguasaan, pengaplikasian dan rancangan
kebijakan sosial yang ada. Sedangkan dalam memodifikasi kebijakan
sosial, ini di- maknai bahwa dengan intervensi sosial, para pekerja
sosial tidak hanya menjadikan kebijakan sosial sebagai landasan
pelaksanaan pelayanan so- sial, namun ia juga harus mampu
memodifikasi kebijakan sosial (ataupun kebijakan publik), di sini ia
menjadikan kebijakan sosial sebagai alat atau pintu masuk (maupun
dimasuki) ke dalam kebijakan lainnya dan pada akhirnya secara
kreatif tercipta komunikasi kebijakan di dalamnya.
5) Dispense material resource. Dalam hal ini pekerja sosial berperan
sebagai pihak yang mendistribusi sistem sumber-sumber dan akses
penyediannya. Sistem sumber merupakan konsep dasar yang sering
digunakan dalam praktik pekerjaan sosial seperti halnya kebutuh- an,
masalah atau situasi. Sumber pelayanan kesejahteraan sosial adalah
aset yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan atau menyelesaikan
masalah dalam pelayanan kesejahteraan sosial. Aset ini dapat berupa:
daya, dana, barang, jasa, peluang jalur atau akses informasi yang
dikuasai dan dapat digunakan secara legal untuk keperluan pelayanan
kesejahte- raan sosial (Holil Soelaiman: 1991).
Seorang pekerja sosial pada prinsipnya bekerja dalam memberikan
pelayanan kesejahteraan sosial harus dapat mengidentifikasi,
mengakses dan memobilisasi berbagai sumber dengan pelayanan
kesejahteraan so- sial dalam penanganan usaha kesejahteraan sosial
baik yang dilakukan di lembaga pelayanan kesejahteraan sosial atau
di komunitas. Dalam peker- jaan sosial kita memahami orang dan
situasi-situasi secara fundamental dalam kaitannya dengan pengertian
sumber. Kemampuan berfungsi so- sial dan masalah sosial dipandang
sebagai alat keseimbangan pertukaran sumber-sumber antara orang-
orang dengan lingkungannya. Kepribadian, terutama merupakan
sumber-diri (inner resources) yang sangat kompleks, yang merupakan
alat penyaring dalam proses keseimbangan pertukaran tersebut.
Sehingga kekurangan-kekurangan dalam kepribadian akan
mempengaruhi kemampuan seseorang dalam memfungsikan potensi
21
so- sialnya.
Allan Pincus dan Minahan (1973) dan dalam Rahmat (2012) mem-
bagi ruang lingkup sistem sumber kesejahteraan sosial menjadi tiga
ba- gian penting, yakni: (1) Sistem sumber informal atau alamiah,
seperti: keluarga, kerabat, sahabat atau tetangga; (2) Sistem sumber
formal yaitu sistem sumber yang diperoleh hanya karena menjadi
anggota atau melalui ke anggotaan dari suatu organisasi, misalnya:
Serikat Pekerja, organisasi Korpri PNS, organisasi Pensiunan PNS,
TNI Polri; dan (3) Sistem sum- ber kemasyarakatan yaitu sistem
sumber yang terbuka untuk umum yang memerlukannya seperi:
sekolah, rumah sakit, panti asuhan, panti werdha dan lain-lain.
Sedangkan DuBois & Milley (1999) dan dalam Harris (2005)
membagi ruang lingkup sistem sumber sebagai berikut: (1) Sumber
per- sonal yaitu segala sesuatu yang ada dalam diri manusia seperti:
motivasi, kecerdasan, kemampuan, pengalaman, ketrampilan dan lain
sebagainya;
Sumber Interpersonal yaitu berkaitan dengan interaksi atau hubungan
dengan sesama manusia seperti: keakraban, pertemanan,
persaudaraan, kasih sayang; dan (3) Sumber Kemasyarakatan yaitu
organisasi pelayanan sosial, sumber anggaran, pelayanan jasa,
pembinaan masyarakat, sarana maupun prasarana serta fasilitas
sumber daya dan alat-alat kegiatannya.
6) Serve as agent of social control. atau men-jalankan fungsi pelayanan
sebagai pelaksanaan kontrol sosial. Sebagaima- na fungsi yang
keempat, fungsi kontrol sosial atau pengendalian sosial umumnya
berkaitan dengan implementasi kebijakan dan perundang-
undangan sosial dalam kehidupan bermasyarakat, di mana pekerja
sosialsebagai pilar terdepan dalam menegakkan prinsip reward
(hadiah) dan punisment (hukuman) dari seluruh isi kebijakan
sosial tersebut, mulai dari pembuatan konsep pelayanan sosial,
proses pelaksanaan pelayanan tersebut, hingga evaluasi dan
kontrol pelayanan sosial di masyarakat. Dinamisasi prinsip
reward dan punisment isi kebijakan sosial pada akh- irnya
membuat pola tersendiri dalam masyarakat untuk mengendalikan
dirinya terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pelanggaran
hukum dan norma-norma sosial kemasyarakatan, seperti kasus-
kasus: kriminal, susi- la, adat dan kebiasaan, pelanggaran nilai
keagamaan, dan pelanggaran hukum lainnya.
Fungsi pengendalian ini merupakan salah satu tugas utama pekerja
22
sosial dalam melaksanakan proses intervensi sosial, di mana mengede-
pankan upaya-upaya yang bersifat preventif, kuratif, dan development
dalam menjalankan perbaikan-perbaikan sosial dan perubahan sosial.
Dalam menyikapi fungsi kontrol sosial ini, Departemen Sosial (1998)
mengariskan beberapa aspek penting yang berkaitan dengan peran-peran
atau tugas-tugas pekerjaan sosial dalam menyikapi perkembangan yang
ada, tugas dan peran pekerja sosial antara lain seperti: (1) Fungsi preven-
tif, yakni melaksanakan upaya pencegahan terhadap timbul dan berkem-
bangnya masalah sosial; (2) Fungsi rehabilitatif, yakni melaksanakan
rehabilitasi yang meliputi memperbaiki dan memulihkan peran-peran
sosial yang terganggu; dan (3) Fungsi development, yakni melaksanakan
pengembangan kemampuan individu, kelompok dan masyarakat dalam
meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya dan mendayagunakan poten-
si dan sumber-sumber yang ada di sekitarnya, serta memberikan dukung-
an terhadap profesi dan sektor-sektor lain guna peningkatan kualitas pe-
layanan sosial di masyarakat.
Keseluruhan fungsi-fungsi yang menjadi landasan pekerja sosial da-
lam melakukan intervensi sosial, pada intinya mengusahakan bagaimana
pekerjaan sosial melaksanakan proses intervensi sosial di dalamnya, sebab
intervensi merupakan aspek yang paling urgent dan menentukan apakah
pekerja sosial sudah bisa dikatakan profesional atau belum. Berkaitan hal
itu, dibutuhkan sistem intervensi yang sistematis dan efisien, di mana
syaratnya tidak hanya berpusat pada aktivitas para staf pelayanan saja,
tetapi juga berhubungan dengan kualitas sumber daya manusia (SDM)
dari para pekerja sosial pada saat berhubungan dengan klien, seperti pada:
keluarga, teman, orang terdekat dari pekerja sosial lainnya. Sistem
intervensi ini merupakan suatu kerja yang aktif dan bertanggungjawab
akan keberhasilan pemecahan masalah klien.
Selain hal tersebut, untuk mengetahui lebih jauh tentang keterkaitan
antara peran dan fungsi pekerja sosial dengan intervensi sosial menurut
Pincus dan Minahan (1973) dan dalam Rahmat (2012) dapat diamati ke
dalam tiga aspek kondisi sosial yang menempatkan proses intervensi so-
sial sebagai inspirator pelaksanaan pekerjaan sosial, Ketiga aspek tersebut
penjelasannya seperti di bawah ini.
a. Intervention primarily through person, which involves activities
aimed at increasing man’s capacities to cope with or adjust to his
reality situation (such as by changing his attitudes and teaching

23
him skills). Proses intervensi sosial ini dimaknai sebagai sebuah
intervensi yang utama dilakukan melalui diri individu, di mana
melibatkan berbagai kegiatan yang ditujukan pada peningkatan
kemampuan seseorang untuk menyesuaikan kemampuannya
tersebut dengan situasi realita sekitarnya (seperti melalui perubah-
an sikap dan mengajarkan keterampilan pada orang tersebut). Di
sini Pincus dan Minahan (1973) menyarankan bahwa dalam men-
jalankan intervensi sosial, pekerja sosial harus memahami bahwa
manusia adalah makhluk yang unik, di mana hubungan antara
manusia yang satu dengan manusia yang lainnya saling berbeda.
Perbedaan ini di hasilkan karena perbedaan budaya dan sosialisa-
si yang dialami. Kedua bahwa manusia merupakan makhluk bio,
psiko, sosial. Ia merupakan gabungan dari ketiga unsur tersebut.
Apabila salah satu dari unsur ini rusak, maka akan berpengaruh
pada unsur yang lainnya juga. Hal ketiga yang harus dipahami
adalah, bahwa manusia memiliki multiple status, di sini pekerja
sosial harus memahami bilamana seorang individu pasti mampu
beradaptasi dengan lebih dari satu status atau keperibadian.

24
b. Intervention primarily through his situation which involves activi-
ties aimed at modifying the nature of the reality itself so as to bring it
within the range of man’s functional capacities (such as by minimiz-
ing or preventing the causes of stress, by providing necessary services
and facilities). Pada unsur ini, intervensi sosial dipahami sebagai
bentuk intervensi sosial yang juga mengedepankan pemahaman
akan situasi maupun kondisi lingkungan seseorang (klien), di
mana meliputi kegiatan-kegiatan yang ditujukan pada pemo-
difikasian sifat-sifat dasarnya dan realita itu sendiri, agar peker- ja
sosial mampu masuk ke dalam batas jarak kemampuan klien
tersebut (seperti melalui proses meminimalisasikan atau pence-
gahan terhadap penyebab timbulnya stres, melalui penyediaan
pelayanan sosial yang lengkap dan fasilitas lain yang diperlukan).
c. Intervention through both the person and his situation. Pada poin
ini intervensi dipahami sebagai upaya kongkrit yang dilakukan
melalui individu dan juga melalui situasi dan kondisi komunitas-
nya. Di sini intervensi sosial dikembangkan melalui pendekatan In-
tervensi Komunitas, di mana tujuan utamanya adalah keterlibatan
warga komunitas dalam menentukan kebutuhan yang dirasakan
dan memecahkan masalah mereka. Menurut Adi (2008) bahwa
Intervensi komunitas merupakan bagian dari konsep pengorgani-
sasian dan pengembangan masyarakat, yakni salah satu metode
dalam mencapai pemberdayaan masyarakat. Pengembangan ma-
syarakat bertujuan untuk mengangkat harkat warga masyarakat
untuk agar mampu mengembangkan potensi-potensi yang sebe-
narnya sudah dimiliki oleh setiap masing-masing warga. Dalam
pengembangan masyarakat, umumnya berharap agar masyarakat
memiliki metode tersendiri dalam perolehan hidup sejahtera.
Terkait dengan upaya pemberdayaan pada level komunitas, Roth-
man (1987) menggambarkan bahwa proses pemberdayaan mas-
yarakat melalui intervensi komunitas ini dapat dilakukan melalui
beberapa model pendekatan intervensi, seperti pengembangan
masyarakat local, perencanaan dan kebijakan sosial, dan aksi so-
sial. Dari ketiga model intervensi tersebut, maka proses pember-
dayaan terhadap masyarakat dapat dilakukan melalui pendekatan
yang bersifat Konsensus seperti pemberdayaan masyarakat
lokal;bkepatuhan seperti pendekatan perencanaann dan kebijakan
25
sosial;ataupun melalui pendekatan konflik seperti aksi sosial.
Ketiga aspek ini dapat dimaknai bahwa peranan pekerja sosial da-
lam proses intervensi terbangun ke dalam tiga aspek kegiatan, yakni: (1)
proses intervensi sosial yang ditujukan kepada individu atau persoalan
personaliti seseorang; (2) proses intervensi sosial yang ditujukan untuk
kelompok dan lembaga; dan (3) proses intervensi sosial yang ditujukan
pada komunitas. Ketiga proses intervensi ini dimaknai oleh Isbandi Ruk-
minto Adi (2008) bahwa proses intervensi sosial identik dengan proses
perubahan sosial, di mana tujuan utamanya adalah memperbaiki fungsi
sosial (individu, kelompok, masyarakat) yang merupakan sasaran peruba-
han. Ketika fungsi sosial telah berfungsi dengan baik maka diasumsikan
kondisi sejahtera akan semakin mudah dicapai. Oleh karenanya, melalui
intervensi sosial, hambatan sosial yang dihadapi kelompok sasaran pe-
rubahan akan diatasi. Dengan kata lain, tujuan utama Intervensi sosial
adalah berupaya mempendek jarak antara harapan yang diinginkan oleh
kondisi eksternal (seperti kondisi lingkungan, masyarakat dan komuni-
tas) dengan realita atau kenyataan dari kondisi internal seseorang yang
menjadi objek masalah (klien).
Salah satu aspek penting proses intervensi sosial dalam kegiatan
pekerjaan sosial adalah menciptakan berbagai peran sosial terhadap para
pekerja sosial dalam menangani masalah sosial di masyarakat. Dalam In-
tervensi komunitas misalnya, peran community worker (pekerja komuni-
tas atau pekerja sosial) sangat membantu dalam menyalurkan berbagai
sumber bantuan terhadap klien, komunitas dan masyarakat. Menurut
pendapat Adi (2008:141-148) bahwa sedikitnya ada tujuh peran yang
dijalankan oleh community worker hasil intervensi komunitas, di mana
ketujuh peran yang dijalankan itu adalah sebagai: Pemercepat perubahan
(Enabler), perantara (Broker), pendidik (Educator), tenaga ahli (Expert),
peran perencana sosial (Social Planner), pembela atau advokat (Advocate),
dan berperan sebagai aktivis (Aktivist).
Pertama, sebagai enabler, menurut Adi (2008:141) bahwa seorang
community worker membantu masyarakat dalam tiga aspek sekaligus,
yakni: agar masyarakat mampu mengartikulasikan kebutuhan sosialnya;
agar masyarakat mampu mengidentifikasi masalah sosial yang sedang di-
hadapi; serta agar masyarakat mampu mengembangkan kapasitas dirinya
sehingga dapat menangani masalah tersebut secara efektif. Di samping itu,
terdapat empat fungsi penting yang dilakukan community worker sebagai

26
pemercepat terjadinya perubahan sosial di tengah masyarakat, yaitu:
a. Membantu masyarakat menyadari dan melihat kondisi sosialnya;
b. Membangkitkan dan mengembangkan organisasi masyarakat;
c. Mengembangkan relasi interpersonal yang baik;
d. Memfasitasi perencanaan yang efektif;
Kedua, berperan sebagai seorang broker atau perantara dalam pro-
ses intervensi sosial menurut Adi (2008) bahwa hal tersebut berkaitan erat
dengan upaya menghubungkan individu ataupun kelompok dalam mas-
yarakat yang membutuhkan bantuan ataupun layanan masyarakat (com-
munity services), tetapi tidak tahu di mana dan bagaimana mendapatkan
bantuan tersebut, dengan lembaga yang menyediakan layanan masyarakat.
Peran sebagai perantara, ini merupakan peran mediasi, dalam konteks
pengembangan masyarakat juga diikuti dengan perlunya melibatkan
klien dalam kegiatan penghubungan ini agar mempermudah komunikasi
dan jalan keluar masalahnya. Peran perantara dalam proses pendamping-
an sosial, ada tiga prinsip utama yang mesti diperankan seoarang peran-
tara, yaitu: (a) mampu mengidentifikasi dan melokalisir sumber-sumber
kemasyarakatan yang tepat; (b) mampu menghubungkan kelompok atau
individu dengan sumber secara konsisten; serta (c) mampu mengevaluasi
efektivitas sumber dalam kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan pene-
rima manfaat
Ketiga, dalam menjalankan peran pendidik (educator), seorang
community worker diharapkan mempunyai kemampuan menyampaikan
informasi dengan baik dan jelas, serta pesannya mudah ditangkap yang
menjadi sasaran perubahan. Di samping itu, ia harus mempunyai penge-
tahuan yang cukup memadai mengenai topik yang akan dibicarakan. Da-
lam hal ini, seorang community worker tidak jarang harus menghubungi
rekan dan profesi lai yang menguasai materi tersebut. Aspek lain yang ter-
kait dengan peran ini adalah keharusan seorang community worker untuk
selalu belajar agar up date dengan segala perkembangan masalah sosial.
Berperan sebagai pendidik, pekerja sosial juga memiliki fungsi untuk
memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada klien melalui
bimbingan-bimbingan sebagai upaya pencegahan, penyembuhan,
penguatan dan pengembangan, sehingga klien memiliki kemampuan
untuk meng- hadapi permasalahan dalam mencapai perubahan fungsi
sosial. Tugas-

27
-tugas Pekerja Sosial dalam proses intervensi sosial antara lain berupa: a.
bimbingan fisik; b. bimbingan mental; c. bimbingan sosial; d. bimbingan
keterampilan; e. bimbingan psikososial; f. bimbingan advokasi; dan g.
bimbingan pengembangan masyarakat.
Keempat, dalam menjalankan peran selaku tenaga ahli (expert), seo-
rang community worker dapat memberikan masukan, saran dan dukungan
informasi dalam berbagai situasi. Untuk itu, seorang tenaga ahli diharap-
kan dapat memberikan usulan mengenai bagaimana struktur organisasi
yang bisa dikembangkan dalam suatu organisasi tertentu dalam mena-
ngani masalah lingkungan, memilih kelompok-kelompok mana yang ha-
rus mewakili, atau memberikan masukan mengenai isu apa yang pantas
dikembangkan dalam suatu komunitas ataupun organisasi tertentu.
Menurut Adi (2008) bahwa seorang community worker selaku expert
harus sadar bahwa usulan dan saran yang ia berikan tidaklah mutlak ha-
rus dijalankan oleh klien mereka (masyarakat atau lembaga), tetapi usul-
an dan saran tersebut lebih merupakan gagasan sebagai bahan pertim-
bangan yang bersangkutan dalam proses pengambilan keputusan. Pada
umumnya, klien dan tenaga ahli adalah organisasi pelayanan masyarakat
(human service organizations) baik organisasi pemerintah ataupun or-
ganisasi non-pemerintah. Oleh karena itu, peran ini terkait erat dengan
peran perencana sosial yang pada intinya terkait dengan model intervensi
pendekatan pengembangan layanan masyarakat (community services ap-
proach).
Kelima, dalam menjalankan peran selaku perencana sosial, seorang
community worker harus mengumpulkan banyak data mengenai masalah
sosial yang terdapat dalam komunitas maupun kelompok masyarakat,
ia mengalisis dan menyajikan alternatif tindakan yang rasional dalam
menangani berbagai masalah tersebut. Setelah itu, perencanaan sosial
mengembangkan program pemberdayaan masyarakat, mencoba men-cari
alternatif sumber pendanaan dan mengembangkan konsensus dalam
kelompok yang mempunyai berbagai minat ataupun kepentingan dalam
pengembangan masyarakat tersebut.
Menyangkut peran perencana sosial ini, menurut Zastrow (1986) dan
dalam Adi (2008:145) bahwa peran expert dan social planner saling
tumpah tindih, di mana seorang expert lebih memfokuskan pada pem-
formulasikan usulan dan saran (advice) yang terkait dengan isu dan per-
masalahan yang ada, sedangkan perencanaan sosial lebih memfokuskan
28
pada berbagai tugas yang terkait dengan pengembangan dan pelaksanaan
program. Sebenarnya, persoalan tumpang tindih ini tidak akan terjadi
apabila kita kembalikan pada fungsi dari peran perencana tersebut, yak-
ni berfungsi untuk menetapkan perencanaan penanganan masalah yang
akan diterapkan pada klien, lalu prosesnya memungkinkan melibatkan
klien berdasarkan hasil pengumpulan data, informasi dan fakta-fakta yang
ditujukan untuk pencapaian proses penyembuhannya, di mana tugas-
tugas yang mesti dilakukan antara lain: a. melaksanakan pengum- pulan
data berkaitan dengan latar belakang kehidupan klien dan kelu- arganya;
b. mengolah maupun menganalisa hasil pengumpulan data; c.
melaksanakan kegiatan dalam rangka pencapaian tujuan dalam proses
penyembuhan klien; d. menyampaikan hasil penanganan masalah yang
sudah dilakukan klien kepada keluarga melalui surat, laporan maupun
penyampaian langsung.
Keenam, menjalankan peran selaku Advokat atau berperan sebagai
pelindung hukum. Di sini seorang community worker membantu ma-
syarakat atau kliennya dalam memperoleh hak-haknya untuk mendapat-
kan pelayanan, sumber daya, perlindungan dan pendampingan dalam ka-
sus pelanggaran hukum serta mempengaruhi pembuat kebijakan untuk
mengubah atau membuat kebijakan yang berpihak kepada masyarakat.
Peran ini merupakan peran yang aktif dan terarah (directive) di mana
community worker menjalankan fungsi advokasi atau pembelaan yang
mewakili kelompok masyarakat yang membutuhkan bantuan dan layanan
yang berkaitan dengan advokasi. Di samping itu, dalam menjalankan
fungsi advokasi ini serang community worker tidak jarang herus melaku-
kan persuasi terhadap kelompok elitis (pejabat, petugas hukum dan ahli
hukum lainya) agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Ketujuh, menjalankan peran selaku Aktivis atau community worker
selaku pembela yang mencoba melakukan perubahan institusional yang
lebih mendasar dan sering kali tujuannya adalah mengalihkan sumber
daya ataupun kekuasaan (power) pada kelompok yang kurang
beruntungb(disadvantaged group) atau kelompok masyarakat yang
marjinal dari as-pek sumber dayanya. Menurut Adi (2008) bahwa seorang
aktivis mem- perhatikan isu-isu tertentu, seperti: persoalan
ketidaksesuaian dengan hukum yang berlaku, kasus-kasus kesenjangan
sosial ekonomi, dan kasusperampasan hak.
Menurut Adi (2008) bahwa seorang aktivis biasanya mencoba men-
stimulasi kelompok-kelompok yang kurang beruntung tersebut untuk
29
mengorganisasikan diri dan melakukan tindakan perlawanan struktur
kekuasaan (pihak lawan mereka). Adapun taktik atau cara yang biasa
mereka lakukan adalah melalui konflik, konfrontasi (umumnya dengan
demonstrasi) dan melakukan negoisasi kepentingan.
C. Unsur-unsur Penting bagi Pekerja Sosial dalam Melaksanakan
Intervensi sosial
Bagi pekerja sosial, unsur yang sangat penting dalam
melakukan inter- vensi sosial kepada klien (individu, kelompok dan
komunitas) haruslah kembali ke 3 pilar utama pekerja sosial (social
work) yaitu pilar: body of knowledge, body of skills, dan code of ethics.
Ketiga pilar ini masing- masing berbicara tentang kerangka pengetahuan
(body of knowledge) atauseperangkat pengetahuan tentang bagaimana
mencapai kesejahteraan so-sial melalui praktik pekerjaan sosial. Selain
itu, seorang praktisi pekerja sosial harus menguasai seperangkat
keterampilan praktis (body of skills) dalam melakukan intervensi
kepada klien dengan tidak mengabaikan nilai professional code of ethics
dalam menjamin perlindungan terhadap hak klien dan terpenuhinya
standard of practice. Ketiga pilar ini selalu di- hadirkan secara bersama-
sama dalam intervensi sosial dan praktik profesipekerjaan sosial.
Walaupun Ketiga pilar ini belum maksimal dijalankan dalam
prak- tik dan kegiatan intervensi namun Ketiga pilar tersebut telah
mewarnai perjalanan Ilmu Kesejahteraan Sosial di Indonesia selama
kurang lebih setengah abad serta telah berjuang keras untuk menjadikan
Ilmu Kese- jahteraan Sosial dikenal luas dan menjadi sejajar dengan
ilmu pengeta- huan terapan lainnya. Untuk mengetahui lebih jauh
tentang peran dan fungsi Ketiga pilar ini maka sesuai pandangan
Charles Zastrow (1986) dan dalam Suradi dkk (2005) wujudnya seperti
berikut.
a. Pengetahuan Pekerjaan Sosial (Body of Knowledge)
Wujud pengetahuan pekerjaan sosial yaitu kerangka
pengetahuan yang berasal dan diramu dari berbagai konsep ilmu
perilaku (ilmu psikologi) dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Berbagai
pengetahuan yang diramu terse- but dikonstelasikan secara
elektik ke dalam kegiatan pekerjaan sosial dan dikembangkan
melalui penelitian dan praktik sehingga benar-benar memi- liki
keunikan dan identitas Ilmu Kesejahteraan Sosial. Beberapa pola
pe- ngelompokan pengetahuan ilmiah pekerjaan sosial banyak
30
dikemukakanpara ahli, salah satunya menurut pendapat Charles
Zastrow (1986), di mana standar Kompetensi pekerjaan sosial
yang layak dijelaskan seperti berikut:
1) Pengetahuan pekerjaan sosial yang umum (general social work
knowledge) mencakup:
• Pola pelayanan dan kebijakan sosial (social policy dan services).
• Jenis tingkah laku manusia dan lingkungan sosialnya
(human be- havior and the social environment).
• Bentuk metode praktik pekerjaan sosial (methods of social
work practice)
2) Pengetahuan tentang bidang praktik tertentu (knowledge about
aspecific practice field)
3) Pengetahuan tentang badan-badan sosial tertentu (knowledge
abouta specific agency)
4) Pengetahuan tentang klien (knowledge about each client).
b. Keterampilan Pekerjaan Sosial (Body of Skill)
Pada wujud kerangka keterampilan pekerjaan sosial
merupakan serang- kaian keterampilan teknis yang berdasarkan
kerangka pengetahuan yang dikuasai pekerja sosial yang
diperolehnya melalui pelatihan keterampilan, praktik belajar kerja
magang, dan praktik lapangan (semasa kuliah). Ber-kaitan hal ini,
standar kompetensi pekerjaan sosial yang dikeluarkan oleh
Kementerian Sosial RI Tahun 2012 menyatakan bahwa bentuk
keterampil- an pekerjaan sosial dapat digolongkan kedalam 4
kategori, yakni:
a. Keterampilan Komunikasi, keterampilan yang mencakup
kegiatan: Observasi lapangan; b. Wawancara; c.
Mendengarkan; d. Komunikasi efektif; e. Menjelaskan sikap
dan perasaan; f. menjelaskan pilihan dan lain lain
2) Keterampilan menjalin dan mengendalikan relasi,
keterampilan inimencakup hal-hal : a. Menjalin dan membina
raport; b. Memben- tuk kontrak; c. Memberikan dukungan
dan semangat; d. Berinter- aksi dengan orang lain; e.
Menciptakan dan membina kerjasama; f.Menciptakan konflik
dan mengendalikannya; g. Menciptakan dan mengendalikan
hubungan tawar menawar dan negosiasi;
31
3) Keterampilan intervensi, keterampilan yang mencakup
penguasaan pada: a. Brokering; b. Mediasi; c. Advokasi; d.
Konseling; e. Terapi
4) Keterampilan administrasi dan manajemen pelayanan sosial
yang mencakup sektor-sektor: a. Timing; b. identifikasi dan
analisa ma- salah; c. Perencanaan pelayanan; d. Partialisasi; e.
Individualisasi; f. Membuat dan menyusun catatan kasus; g.
Menyusun laporan ka- sus; h. Monitoring dan evaluasi.
Dari keempat keterampilan tersebut secara mendasar
merupakan ke- mampuan kompetensi pekerjaan sosial yang harus
dimiliki oleh semua pekerja sosial profesional dan praktisi dan
lebih lanjut secara kualitas dikembangkan di dalam bidang-
bidang khusus maupun praktis dalam lapangan pekerjaan sosial.
c. Nilai-nilai Pekerjaan Sosial (Body of Value)
Pola standar kompetensi pekerja sosial yang Ketiga ini
adalah seperang- kat kerangka nilai (body of value) yang berkaitan
dengan aspek nilai-nilai, asas-asas, prinsip-prinsip, standar-
standar prilaku yang sesuai dengan nilai-nilai luhur, falsafah
hidup orang Indonesia dan pandangan hidup yang disesuaikan
dengan nilai keluhuran, falsafah hidup bangsa dannilai-nilai
atau norma-norma sosial budaya dan pola masyarakat di mana
pekerjaan sosial tersebut dilakukan.
Kerangka nilai-nilai ini berfungsi sebagai pedoman,
mengarahkan serta membimbing sikap serta perilaku seorang
pekerja sosial profesi- onal sebagai pekerja sosial dan dalam
hubungannya dengan klien, begitu juga dengan lembaga tempat
bekerjanya, dengan sejawat profesional ser- ta dengan
masyarakat luas. Kerangka nilai diperoleh dan dihayati oleh
seorang pekerja sosial melalui upaya penanaman nilai nilai
tersebut da- lam proses pendidikannnya. Menurut Suryadi dkk
(2005) pemahaman terhadap kerangka nilai membantu pekerja
sosial di dalam merumuskan “apa yang seharusnya” sebagai
suatu dasar untuk merumuskan tujuan dan mengembangkan
program-program kegiatan untuk mencapai berbagai harapan
tersebut.
Di samping itu, kerangka nilai pekerjaan sosial juga
berfungsi sebagai filter di dalam upaya mengadopsi maupun

32
pengembangan aspek- aspek ilmu pengetahuan yang tidak sesuai
atau bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku di dalam
masyarakat di mana praktik pekerjaan sosial dilakukan. Nilai-
nilai yang bersumber dari kerangka pengetahuan ilmiah
pekerjaan sosial yang turut melengkapi kerangka nilai pekerjaan
sosial dapat dikelompokkan ke dalam 3 sistem nilai, di antaranya:
1. Nilai tentang konsepsi manusia, hal ini mencakup:
• Pekerja sosial percaya bahwa setiap orang mempunyai
hak dankesempatan yang sama untuk menentukan
dirinya sendiri.
• Setiap orang mempunyai kemampuan dan dorongan
untuk beru-bah, sehingga dapat lebih meningkatkan
taraf hidupnya
• Setiap orang mempunyai tanggungjawab kepada dirinya
dan juga kepada orang lain di dalam masyarakat.
• Orang memerlukan pengakuan dari orang lain.
• Manusia mempunyai kebutuhan dan setiap orang pada
prin-sipnya unik serta berbeda dengan orang lainnya.
2. Nilai tentang masyarakat yang perlu menyediakan hal-hal yang
dib-utuhkan oleh setiap orang, hal ini mencakup:
• Masyarakat perlu memberikan kesempatan bagi
pertumbuhan danperkembangan bagi setiap orang agar
mereka mampu mereal- isasikan seluruh potensinya
• Masyarakat perlu menyediakan sumber-sumber dan pe-
layanan-pelayanan untuk membantu orang memenuhi
kebutu- hannya dan menghadapi atau memecahkan
permasalahan yang dialami.
• Orang perlu berupaya agar mempunyai kesempatan yang
sama untuk berpartisipasi di dalam masyarakatnya.
3. Nilai yang berkaitan dengan interaksi antar manusia, nilai ini
men- cakup:
• Pekerja sosial percaya bahwa orang yang mengalami
masalah danperlu dibantu oleh orang lain.
• Pekerja sosial percaya bahwa di dalam usaha memecahkan
ma- salah orang/klien perlu respek dan diberi kesempatan
33
untuk me- nentukan nasibnya sendiri.
• Pekerja sosial percaya bahwa orang yang perlu dibantu dan
di- ingatkan interaksinya dengan orang lain untuk
membangun se- suatu masyarakat yang mempunyai
tanggungjawab untuk me- menuhi kebutuhan setiap
anggota/warganya.
Dapat dikatakan bahwa Ketiga pilar ini menjadi dasar
sistem bertindak pekerja sosial dalam melakukan intervensi sosial
kepada kelompok sasaran. Untuk melengkapi Ketiga pilar ini
dalam proses intervensi sosial, secarateknis, terdapat 22 prinsip
dasar yang mesti disandingkan dengan tiga pi- lar tersebut, di
mana menurut Zastrow (1986) dalam Afandi (2009) ber- isikan
22 prinsip dasar yang membahas tentang karakteristik klien, set-
ting praktik atau peranan-peranan yang dilaksanakan oleh
pekerja sosial profesional. Ke-22 prinsip dasar tersebut wujudnya
seperti di bawah ini.
i. Pekerja sosial harus mempraktikkan tugas pekerjaan sosial
Ini prinsip dasar yang mesti diwujudkan dalam intervensi dan da-
lam praktik. Dengan prinsip ini, pekerja sosial memfokuskan kepa-
da keberfungsian sosial dan membantu memperbaiki interaksi an-
tara klien dengan lingkungannya. Penyiapan pendidikan yang ada
mensyaratkan kelengkapan pekerjaan sosial dengan pengetahuan
nilai dan keterampilan untuk bekerja pada kegiatan orang dengan
lingkungannya. Sedangkan prinsip etis yang dibutuhkan adalah
pekerja sosial berfungsi di dalam mensosialisasikan keahlian pro-
fesionalnya, yakni ahli pada pekerjaan sosial.
ii. Pekerja sosial harus terlibat di dalam penggunaan diri secara sadar
Media praktik utama pekerja sosial adalah dirinya sendiri (kapa-
sitasnya untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain
dengan cara memfasilitasi perubahan). Pekerja sosial yang terampil
adalah yang menggunakan cara-cara khas dirinya serta gayanya
yang bertujuan berhubungan dengan orang lain dan membangun
relasi pertolongan yang positif dengan klien.
iii. Prinsip kerahasiaan (Confidentiality)

34
Kerahasiaan adalah merupakan prinsip etik di mana pekerja so- sial
tidak bolehkan menyebarluaskan informasi tentang klien tanpa
sepengetahuan dan izin klien yang bersangkutan (Barker, 1987).
Kerahasiaan ini bahkan merupakan masalah etik semua pertolongan,
ini bukan hanya menyangkut kerahasiaan informasi tentang klien
melainkan juga informasi tentang badan pelayanan (lembaganya)
termasuk situasi-situasi yang berada di dalamya terutama yang
menyangkut kondisi pekerja maupun kesulitan-kesulitan yang ter-
dapat di dalam lembaga di mana pekerja tersebut bekerja.
iv. Menaruh perhatian pada orang lain (Concern for the other)
Prinsip ini diartikan bahwa pekerja sosial sungguh menaruh per-
hatian mengenai segala sesuatu yang terjadi pada sistem klien, dan
mampu mengomunikasikan perasaannya dengan penuh kesadar- an
akan tanggungjawab, perhatian, penghargaan, pengetahuan
mengenai manusia dan harapan atau keinginan keinginannya un-
tuk melanjutkan dan meningkatkan kehidupannya. Dengan kata
ini merupakan pernyataan kesungguhan tanpa syarat dari pihak
pekerja sosial untuk memberikan perhatian kepada kehidupan ser-
ta kebutuhan kebutuhan klien, suatu keinginan untuk mewujudkan
dan melakukan semua yang bisa dilakukan untuk membantu klien.
v. Prinsip Keselarasan (Congruence)
Keselarasan berarti hubungan relasi pekerja sosial menunjukkan
keterbukaan, murni (genuince), konsisten, jujur dan dapat diper-
caya (honest) serta berdasarkan kenyataan. Congruence juga berarti
bahwa tingkah laku serta berbagai aspek yang Pekerja sosial komu-
nikasikan kepada klien hendaknya selalu selaras (congruent) dan
harus dilandasi oleh sistem nilai serta tanggungjawab sebagai se-
orang profesional di bidang ilmu kesejahteraan sosial.
vi. Prinsip Empati
Empati merupakan kemampuan pekerja sosial dalam menyelami
berbagai perasaan dan berbagai pengalaman orang lain (klien),
tanpa pekerja sosial tenggelam dalam proses tersebut. Pekerja sosial
secara aktif melakukan upaya untuk menempatkan dirinya dalam
kerangka pengamatan oarang lain, tanpa ia kehilangan persepsi-
nya, bahkan pekerja sosial dapat menggunakan kemampuan pema-
hamannya untuk membantu klien tanpa pelibatan perasaan.

35
vii. Prinsip Individualisasi (Individualization)
Mengacu pada kebutuhan mengakui bahwa setiap orang adalah in-
dividu yang unik dalam hal kepemilikan haknya masing-masing.
Keberadaan pekerja sosial berkaitan dengan pentingnya meya-
kinkan bahwa klien dan berbagai kelemahannya tidak diperlaku-
kan semena-mena karena keunikannya, melainkan diakui kalau
mereka sebagai bagian individu yang mempunyai masalah, kepen-
tingan dan kebutuhan yang khusus bagi mereka dan lingkungan.
viii. Pengekspresian perasaan secara bertujuan (Purposeful expression of
feeling)
Dimensi perasaan merupakan bagian penting dari pekerjaan sosial.
Jika perasaan klien tidak diperhatikan, maka kemajuan penting di
dalam pertolongan tidak akan terjadi. Memberikan kesempatan
pada klien dalam mengungkapkan perasaannya merupakan bagian
penting dari praktik yang baik. Prinsip pengekspresian perasaan
bertujuan untuk mengakui bahwa klien harus dimungkinkan un-
tuk mengungkap perasaannya secara terbuka dan sebaliknya tidak
berupaya untuk menekan perasaan tersebut sehingga tidak muncul
kepermukaan.
ix. Keterlibatan emosional secara terkendali (Controlled emotional in-
volment)
Keterlibatan emosional secara terkendali memerlukan:
• Pengakuan bahwa perasaan memainkan peranana yang sangat
penting di dalam pekerjaan sosial. Ibaratnya kita tidak meme-
gang keyakinan tentang pentingnya dimensi perasaan ini maka
Pekerja sosial tidak akan memiliki sensitivitas yang memadai
untuk hal ini.
• Kemamapuan untuk terhubung dengan perasaan yang sedang
diekspresikan oleh klien (secara langsung mapun tidak langsung)
dan menghargai apa yang mereka maksudkan penting secara in-
dividual.
• Merespon secara positif terhadap perasaan-perasaan tersebut
melalui pengakuan di dalam cara-cara yang mendukung, meng-
gunakan keterampilan komunikasi guna menghasilkan pengaruh
yang baik.
• Menyadari akan perasaan kita sendiri dan tidak membiarkannya
36
larut secara tak terkendali dan juga tidak mengabaikannya.
x. Prinsip Penerimaan (Acceptance)
Prinsip penerimaan adalah suatu prinsip bertindak di mana pekerja
sosial memandang klien sebagaimana adanya, mengakui kelebihan
dan kelemahannya, kualitas yang menyenangkan dan tidak
menyenangkan, perasaan positif dan negatif, sikap dan peri- laku
yang bersifat membangun maupun yang merusak, sementara
martabat dan harga diri klien tetap terpelihara.
xi. Sikap tidak menghakimi (Non judgemental attitude)
Pekerja sosial tidak berkompetensi untuk menghakimi individu
atau keluarga apakah terbukti atau tidaknya kesalahan mereka.
Tidak penting bagi pekerja sosial untuk menetapkan apakah klien
bersalah atau tidak, serta apakah klien bertanggungjawab atas
masalah yang dihadapi atau tidak. Sikap tidak menghakimi tidak
berarti bahwa klien dapat melakukan kesalahan atau Pekerja so-
sial harus membuktikan setiap apa yang dilakukan klien. Sikap
tidak meghakimi sangat penting sebagai basis relasi kerja antara
klien dan pekerja sosial. Sebab landasan kerja ini adalah tingkat
kepercayaan dan respek klien terhadap pekerja sosial. Terdapat ke-
salahpahaman tentang sikap tidak menghakimi dengan penilaian
profesional. Sikap menghakimi harus dihindari tetapi penilaian
profesional adalah sangat penting.
xii. Determinasi diri klien (Client self-determination)
Prinsip ini mengacu pada ide penting bahwa pekerja sosial harus
memainkan bagian aktif dalam menolong klien dengan dirinya sendiri,
mengambil keputusan bagi diri mereka sendiri dan mengambil
tanggungjawab terhadap tindakan mereka. Umumnya diakui bahwa
klien harus membuat keputusan-keputusan dan mengambil langkah
yang perlu untuk memperbaiki situasi di mana memungkinkan: Pekerja
sosial dapat memainkan peranan penting sebagai berikut:
xiii. Penghargaan positif tanpa syarat (Unconditional Positive regard)
Penghargaan tanpa syarat mengacu pada kebutuhan untuk bekerja
secara positif dan konstruktif dengan semua klien, dan penghar-
gaan itu tidak hanya berlaku terhadap klien yang disukai (berke-
nan) dan kita senangi. Penghargaan positif itu seharusnya tanpa
syarat karena hal itu merupakan hak klien untuk mendapatkannya.

37
Prinsip ini merupakan kombinasi dari nilai penerimaan dan sikap
tidak menghakimi.
xiv. Persamaan (Equality)
Suatu kesalahan umum adalah mengasumsikan bahwa persamaan
sama dengan keseragaman. Pekerjaan sosial mengembangkan 3
bentuk persamaan yang diartikan sebagai penghapusan kerugian.
• Persamaan dalam perlakuan, sebagai suatu pencegahan dari keti-
dakadilan dalam pelayanan, meliputi perlakuan tanpa prasangka.
• Persamaan dalam kesempatan, sebagai tindakan positif untuk
memperbaiki keadaan yang tidak adil dalam persaingan dengan
yang lain dan menginginkan sumber tambahan atau perubahan
dalam kebijaksanaan pemerintah.
• Persamaan dalam keputusan, sebagai cara pemenuhan kebutuh-
an yang sama penting dari dua kondisi kemampuan yang berbe-
da, misalnya orang kaya dan orang miskin dikenakan keputusan
untuk membayar tempat tinggal, tetapi demi keadilan orang mis-
kin dibantu dalam pembayarannya.
xv. Prinsip Keadilan sosial (Social justice)
Prinsip ini menempatkan pekerja sosial sebagai pihak yang mam-
pu menenangkan klien dari kesewenang-wenangan memperoleh
hak dan kewajibannya, serta pihak yang mampu melindungi klien
dari keamanan kekayaan, perampasan dan kerugian sosial lainnya.
Banyak klien yang datang ke pekerja sosial sebagai korban dari
kekerasan atau penindasan majikannya serta tindakan yang tidak
manusiawi dari beberapa kekuatan kelompok atau individu yang
berada di sekitarnya. Pekerja sosial bisa melibatkan pihak-pihak
tertentu (polisi, jaksa, LSM dan lembaga hukum lain) untuk ber-
sama-sama melawan penindas dan berbagai pihak yang melang-
gar hukum tersebut. Prinsip ini pada intinya mengajak pekerja
sosial sebagai advokat dalam melindungi klien dari tindakan kese-
wenang-wenangan dan ketidakadilan.
xvi. Kemitraan (Partnership)
Kemitraan berarti bekerja bersama dengan klien dalam kepentingan
keberfungsian sosialnya. Juga mencakup kolaborasi secara profe-
sional dengan berbagai pihak dengan menggunakan pendekatan
multidisipliner. Hal-hal penting yang berkaitan dengan kemitraan
38
dengan klien adalah:
• Asesmen, yakni kerjasama yang dilakukan pekerja sosial dengan
klien mesti berjalan aktif dan positif, dengan wujud kesepakatan
memperhatikan proses penyelesaian masalah klien, kebutuhan
dalam proses penyelesaian masalah serta rencana penting yang
mesti diambil dalam proses asesmen ini.
• Intervensi, yakni melibatkan berbagai pihak yang relevan untuk
bekerja sama mendesain langkah langkah yang diperlukan guna
mengatasi atau mengurangi masalah klien serta memenuhi kebu-
tuhan dan melakukan tindakan apapun yang dibutuhkan untuk
memenuhi tujuan-tujuan yang disepakati.
• Situasi ditinjau ulang secara bersama-sama pada saat yang tepat,
dan secara ideal melakukan evaluasi secara bersama ketika setiap
bagian pekerjaan telah selesai dikerjakan.
xvii. Prinsip Kewarganegaraan (Citizenship)
Prinsip ini berimplikasi pada warga negara, yakni kepemilikan hak
tertentu yang berkaitan dengan kewarganegaan klien, di mana se-
cara tegas menempatkan klien dengan hak dan inklusi sosialnya.
Kewarganegaraan erat kaitannya dengan gagasan inklusi sosial

39
yang menolak marginalisasi, stigmatisasi, dan eksklusi sosial yang
sering dialami klien disaat mengharapkan keberfungsian sosial.
Pada prinsipnya, menjadi seorang warga negara berarti memiliki
hak-hak sosial dan terlibat di dalam arus utama kehidupan sosial
dari negara. Di sisi lain, penghargaan terhadap nilai ini dalam ke-
nyataannya, pekerjaan sosial memainkan peranan penting untuk
mempromosikan atau memperjuangkan perolehan status ke-
warganegaraan seseorang, keluarga atau kelompok tertentu yang
mengalami penghilangan hak dan terabaikan secara sosial.
xviii. Prinsip Pemberdayaan (Empowerment)
Prinsip pemberdayaan mengacu pada proses pencapaian kontrol
yang lebih besar terhadap kehidupan sendiri (kemandirian) da-
lam lingkungan sosialnya. Penggunaan konsep kemandirian dalam
dunia pekerjaan sosial tampaknya meluas, tidak hanya persoalan
sosial ekonomi saja namun juga menangani persoalan diskriminasi
dan perampasan hak (penindasan) yang dialami oleh klien. Pem-
berdayaan lebih dari sekedar gagasan yang spesifik saja melainkan
juga mengarahkan pada bantuan penyiapan orang dalam melawan
berbagai ketimpangan sosial dari berbagai pihak, dengan demikian
pemberdayaan bukan hanya menyangkut sosial psikologis tetapi
juga merupakan proses ekonomi dan politik.
xix. Prinsip Kebenaran atau Keotentikan (Authenticity)
Keotentikan merupakan suatu konsep keberadaan yang mengacu
pada pengakuan terhadap nilai “kebebasan dalam kemerdekaan”
yaitu pengakuan setiap individu terhadap nilai-nilai kemerdekaan-
nya yang benar-benar sesuai dan ril terhadap nilai kebebasan
memilih hidup, artinya bahwa seseorang bertanggungjawab ter-
hadap tindakannya sendiri.
xx. Prinsip keadilan distributif (Distributive justice)
Prinsip ini berbicara tentang kadilan, artinya keadilan akan tercipta
bila hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan hal-hal yang
tidak sama diperlakukan tidak secara sama. Dalam hal ini pekerja
sosial diharapkan agar membuat dua pertimbangan prioritas uta-
ma yaitu:
• Bagaimana mengalokasikan sumber-sumber pribadinya di an-
40
tara klien yang terdiri dari latar belakang yang berbeda.
• Bagaimana mengalokasikan sumber-sumber sosial kepada seseo-
rang klien dengan berbagai latar belakang masalah.
Pada prinsipnya, apapun keputusan-keputusan yang diambil se-
orang pekerja sosial maka ia dituntut untuk tetap menegakkan
keadilan distributif. Keadilan ini berkenaan dengan pendistribu-
sian barang-barang menurut aturan dan kriteria tertentu. Kriteria
untuk distribusi ini mungkin beragam dari: Menurut hak-hak yang
sudah melekat pada manusia (Hak milik); Menurut ganjaran dan
Menurut kebutuhan
xxi. Prinsip objektivitas (Objectivity)
Objektivitas dimaksudkan sebagai prinsip untuk menguji situasi
tertentu tanpa prasangka terlebih dahulu dan menghubungkan- nya
dengan hal-hal bersifat sepihak. Untuk menjadi objektif dalam
observasi maka pekerja sosial ataupun para praktisi harus meng-
hindari masukan yang sifatnya profokatif dan prasangka pribadi
yang tidak objektif dalam hubungannya dengan kondisi klien.
xxii. Prinsip Keterkaitan dengan sumber (Access to resource)
Prinsip ini menganggap bahwa semua orang membutuhkan akses
terhadap sumber-sumber dan kesempatan untuk mewujudkan se-
gala potensi yang ada pada dirinya dalam menghadapi berbagai
masalah hidupnya. Dalam hal ini pekerja sosial bekerja untuk
meyakinkan bahwa setiap orang membutuhkan sumber-sumber
pelayanan serta berbagai kesempatan di dalam menentukan
pilihanpilihan hidup, serta memberikan perlindungan terhadap
kaum tertindas dan kepada oarang-orang yang merasa dirugikan
dalam persaingan hidup, agar tercipta rasa keadilan dalam melak-
sanakan peranan sosialnya sesuai dengan status yang melekat pada
dirinya.

41
Bab 2 Ruang Lingkup Intervensi Sosial
Berada dalam Level Mikro, Meso, dan Makro

Pada bab ini akan membahas tentang ruang lingkup intervensi sosial yang
dilihat dalam tiga level yang ada, yakni level mikro, meso, dan makro.
Ketiga level ini memiliki pendekatan yang berbeda dan disesuaikan den-
gan tingkat jangkauan permasalahan sosial di dalamnya serta intensitas
Ketiga level saling bersinergi dengan pendekatan teoritis pada kegiatan
pembangunan sosial demikian halnya dalam proses perubahan sosial. Ke-
tiga level ini juga menjadi potret intervensi sosial sebagai kegiatan campur
tangan para pekerja sosial dalam menangani persoalan sosial pada indi-
vidu, kelompok, komunitas (masyarakat) di berbagai situasi dan tempat.
Untuk mengetahui lebih jauh ruang lingkup intervensi tersebut maka di-
jabarkan dalam 3 Sub bab, di mana isinya tentang: Intervensi sosial di level
Mikro; intervensi sosial di level Meso; dan intervensi sosial di level Makro.
Penjelasan Ketiga sub bab ini akan diuraikan secara mendalam dan kom-
prehensif seperti berikut ini.
A. Intervensi Sosial dengan Individual Casework (Mikro)
Intervensi level mikro atau lebih dikenal dengan istiliah
intervensi langsung (direct intervention), umumnya seting praktik
dalam pemecahan masalah sosial adalah kegiatan intervensi sosial
yang dilakukan pada individu dan keluarganya yang sedang
mengalami masalah keberfungsian sosial. Menurut Mappiare (2010)
bahwa masalah sosial yang ditangani oleh para pekerja sosial
42
umumnya berkaitan dengan problem psikososial, seperti: stres dan
depresi, hambatan dalam relasi, problema penyesuaian diri (adaptasi),
kurang percaya diri dan masalah keterasingan (kesepian). Sedangkan
menurut Rukminto Adi (2008) bahwa umumnya berkaitan dengan
masalah kebiasaan (habit) atau mentalitas seseorang yang terlibat
pembangunan maupun dalam menghadapi perubahan sosial yang
berlangsung di sekitarnya. Kedua pendapat ini memiliki per-spektif
yang berbeda dalam menjelaskan pendekatan masalah sosial padalevel
mikro, ketika satu pihak melihatnya dari aspek psikososial seseorang
dan di pihak lain melihatnya dari sudut habitat atau kebiasaan
seseorang.
Pada aspek psikososial, pendekatan masalahnya menurut
Suharto (2005) dan Huda (2009) bahwa metode utama yang biasa
diterapkan oleh pekerja sosial dalam seting ini adalah terapi
perseorangan (Casework) yang di dalamnya melibatkan berbagai
teknik penyembuhan atau tera- pi psikososial seperti kegiatan
konseling yang berpusat pada klien (client centered cunseling) dan
lingkungan keluarganya, terapi perilaku (beha- vior therapy), dan
terapi keluarga (family therapy). Pada level ini pekerja sosial banyak
mengkaji efek konseling terhadap penyembuhan klien, di mana cara
kerjanya secara langsung berhadapan dengan klien atau de- ngan
pendekatan face to face pada persoalan psikologi klien dan keluar-
ganya. Sedangkan pada aspek habit (kebiasaan) atau mentalitas,
menurutAdi (2008) bahwa umumnya metode yang digunakan adalah
pendekatanmentalitas atau persoalan kebiasaan yang dikaitkan dengan
konsep-konsep humanistik, di mana di dalamnya membahas tentang
kualitas mental yang rendah karena kebiasaan hidup serba instan
(kebiasaan hidup yang serba praktis dan cepat), rendahnya etos kerja
yang diikuti persoalan lemahnya etika moral seseorang dalam
menjalani kehidupannya.
Walaupun keduanya berbeda dalam prespektif dan
pendekatan per- masalahannya, namum dalam proses intervensi sosial
keduanya bersama berada dalam konsep tunggal, yakni upaya optimal
dalam keberfungsian sosial individu (individual social functioning).
Dalam hal ini keberadaanindividu dalam keluarga yang menjadi titik
fokus pekerja sosial dalam melakukan kegiatan intervensi, hal itu
dengan asumsi bahwa umumnya masalah yang dihadapi individu
sering bersumber dari persoalan keluar- ga, sebagaimana peran
43
keluarga di Indonesia umumnya lebih dominan keluarga berperan
dalam mengatur hidup anggota keluarganya ketim- bang anggota atau
individu itu mengatur dirinya sendiri. Dengan demiki- an,
keberfungsian sosial individu, sangat bergantung pada kemampuan
individu dan keluarganya menyerap kedua pendekatan tersebut.
Berdasarkan latar belakang yang ada, dalam perkembangan
inter- vensi sosial di level mikro pada akhirnya terbangun dua
prespektif yang ada, yakni berdasarkan pendekatan konseling
(metode klinis dan aspek psikoanalisis) dan pendekatan mentalitas
behavior (mengenai pola peri- laku atau kebiasaan seseorang). Pada
pendekatan konseling, intervensi sosial di level mikro berlangsung
dalam suasana yang sifatnya psikologis atau psikoanalisis, di mana
para pekerja sosial dituntut untuk mengusasi teknik melakukan
konseling dan keberadaannya diibaratkan seorang psi- kolog dalam
menghadapi kliennya yang mengeluh tentang keberfungsiansosialnya
oleh faktor potensi diri, kemampuan emosional, dan berbagai aspek
menyangkut penyesuaian diri seseorang dengan lingkungan so-
sialnya. Sedangkan pada pendekatan mentalitas behaviorisme,
intervensi sosial lebih di arahkan pada upaya-upaya peningkatan
mentalitas yang disesuaikan dengan sistem nilai masyarakatnya dalam
rangka kegiatan pembangunan sosial. Untuk lebih memfokuskan
pembahasan intervensi sosial di level mikro, kedua prespektif ini akan
dipisahkan pembahasan- nya berdasarkan dua pendekatan yang ada,
yakni pendekatan konseling dan pendekatan mentalitas.
1. Pendekatan Konseling
Secara etimologi, ‘konseling’ berasal dari bahasa Latin yang
disebut “Con- silium”, artinya “dengan” atau bersama” antar dua
orang. Dalam bahasa Inggris, konseling berasal dari kata Counseling,
kata ini memiliki makna sebagai hubungan timbal balik antara dua
orang individu, di mana yang seorang disebut konselor dan
seorangnya lagi disebut klien atau konse- li. Menurut Natawijaya
(1987) dalam Sulaiman (2011:45) bahwa pekerja sosial berusaha
membantu klien untuk memahami tentang kekurangan yang ada pada
dirinya dalam hubungannya dengan berbagai masalah yang dihadapi
di masa akan datang. Sedangkan menurut Surya (1988) bahwa
konseling adalah seluruh upaya bantuan yang diberikan konse-lor
kepada konseli supaya dia memperoleh konsep diri dan kepercayaan

44
diri sendiri, untuk dimanfaatkan dalam memperbaiki tingkah
lakunya di masa yang akan datang. Dengan demikian, sebagai
pendekatan teoretis terhadap penanganan masalah mental manusia,
konseling hanya bisa dilakukan dalam bentuk komunikasi tatap muka
atau face to face antara konselor dan seorang klien.
Konseling merupakan teknik pengobatan psikologis dengan
meng- gunakan instrumen Terapi, Assesmen dan Teknik Komunikasi
Terapeutik (komunikasi interpersonal yang berusaha mempengaruhi
alam pikiran klien untuk sembuh). Berbagai teknik ini akan diarahkan
pada dua tu- juan yang ada, yakni tujuan umum dan tujuan khusus.
Tujuan umum adalah terentaskannya masalah yang dialami klien.
Upaya pengentasan masalah klien ini dapat berupa pengurangan
intensitas masalah tersebut, mengurangi itensitas hambatan atau
kerugian yang disebabkan masalah tersebut, dan menghilangkan atau
meniadakan masalah yang dimaksud. Dengan layanan konseling ini
beban klien diringankan, kemampuan klien ditingkatkan dan potensi
dirinya dikembangkan. Sedangkan tujuan khu- susnya adalah klien
memahami seluk-beluk masalah yang dialami serta memperkuat
pemahaman tentang sebab akibat masalah yang diidapinya,
selanjutnya mengembangkan dan memelihara potensi yang ada pada
diri-nya sehingga saling mendukung dalam penyelesaian masalah.
Sebagai salah satu pendekatan di level mikro, keberadaan
konseling dalam pekerjaan sosial menurut Zastrow (2004) bahwa
keberadaannya sangat strategis dalam menolong klien secara
perseorangan, di mana se- orang pekerja sosial haruslah menguasai
teknik konseling dalam meng- hadapi berbagai problema sosial yang
sedang diidap kliennya. Selanjutnya menurut Zastrow (2004) dan
dalam Huda (2009:200-202) mengatakan bahwa, konseling dapat
dilakukan oleh siapa saja (oleh teman, tetangga, tukang cukur,
pegawai bank, psikolog, guru dan profesi lainnya), namuntidak berarti
semua orang dapat melakukan pekerjaan konseling dengan baik dan
sesuai standar yang ada. Sebab dapat sukses melakukan konse- ling
yang baik haruslah memiliki pengalaman dan pendidikan yang
memadai dan mengusasi teknik-teknik eksplorasi masalah sosial klien.
Asumsi ini menurut Huda (2009) menandakan bahwa
keahlian kon-seling tidaklah secara tiba-tiba dan mudah dimiliki oleh
seorang pekerja sosial, sebab keahlian ini bukanlah magic atau mistik
45
yang mudah di- transfer proses keilmuannya, namun membutuhkan
ketekunan dan ke- sabaran melalui pendidikan formal ataupun
pengalaman yang teruji sehingga benar-benar dia mengusai dan
mampu menerapkan ilmu kon- seling ini sesuai dengan
peruntukannya.
Di sisi lain, penerapan konseling yang dilakukan tanpa adanya
pendidikan yang jelas dan pengalaman yang minim hal ini hanya dapat
mengarahkan praktik konseling pada kegiatan malpraktik dan
penyalah- gunaan profesi pekerja sosial. Hal itu karena dengan
pendidkan konse- ling yang baik dan benar akan memberikan
pengetahuan kepada pekerja sosial tentang bagaimana memahami titik
tertentu seorang klien menjadi terobati. Selanjutnya dengan
pengalaman yang mumpuni, akan memberi- kan pelajaran yang
berharga kepada pekerja sosial untuk bersikap profe-sional dan tidak
membuat kesalahan yang fatal dalam menjalankan tugas
keprofesionalannya. Untuk mengetahui lebih jauh tentang bagaimana
melakukan pekerjaan konseling dengan tepat dan benar maka menurut
Zastrow (2004) dan dalam Huda (2009) bahwa sedikitnya ada tiga
aspek penting yang perlu diketahui oleh para pekerja sosial dalam
melakukan konseling, yakni pengetahuan tentang: (1) membangun
hubungan klien: (2) mengeksplorasi masalah kliennya secara
mendalam, dan (3) mengeks-ploirasi solusi alternatif. Ketiga aspek ini
akan dijelaskan secara detail pada uraian berikut ini.
2. Membangun Hubungan
Sebagaimana dijelaskan dalam teorinya bahwa konseling
adalah suatu proses penyembuhan yang didasarkan atas hubungan
orang perorang (konselor-klien) dalam situasi sosial tertentu. Atas
dasar ini, pekerja so- sial wajib memiliki hubungan yang harmonis dan
komunikatif selama melakukan proses konseling. Dalam proses
intervensi sosial, hal ini perludilakukan agar proses konseling dapat
berjalan lancar dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
diharapkan (utamanya ketentuan penyembuh- an). Tanpa adanya
hubungan yang harmonis dan komunikatif antara keduanya maka
proses konseling berjalan tanpa tujuan alias terancam gagal.
Dapat disarankan bahwa pekerja sosial harus dapat
mengupayakan kondisi aman atau menciptakan suasana rasa aman,
nyaman dan kondu- sif sehingga klien dapat leluasa menyampaikan
46
keluhannya pada pekerja sosial, sebaliknya pekerja sosial menjalankan
fungsi asesmen dalam proses pendataan masalah. Secara psikologis
menurut Huda (2009) bahwa, pekerja sosial semestinya bersikap
ramah, sabar dan tidak menunjukkan sikap arogansi kepada klien
tersebut. Secara profesional, sikap peker-ja sosial juga harus dapat
menjaga etika profesi dengan memperhatikan batasan-batasan haknya
ketika menjalankan proses konseling denganklien.
Selain hal ini, menurut Huda (2009) bahwa dalam melakukan
proses konseling antara pekerja sosial dengan kliennya, diharuskan
melakukan kontrak sosial secara serius sebelum kegiatan konseling
dilaksanakan. Kontrak sosial berlangsung dengan tujuan utamanya
adalah saling meng- hargai tentang hak dan kewajiban masing-masing
pihak, terutama kewa-jiban pekerja sosial untuk menjaga kerahasiaan
kliennya. Kontrak sosial juga berfungsi sebagai penegakan prinsip-
prinsip etika pekerja sosial, hal ini agar terbina hubungan yang
harmonis keduanya. Hubungan menja- di harmonis bila keduanya
menegoisasikan kontrak sosial yang dianggap penting, hal itu seperti:
pertama, kontrak waktu, yaitu berapa lama waktu pertemuan yang
diinginkan oleh klien dan konselor tidak berkebaratan; kedua kontrak
tugas, yaitu berbagi tugas antara konselor dan klien; dan yang ketiga,
kontrak kerjasama dalam proses konseling, yaitu terbinanya peran dan
tanggung jawab bersama antara konselor dan kliennya dalam seluruh
rangkaian kegiatan konseling. Selain hal tersebut, dalam prinsip etika
konseling, prinsip akan nilai self determination, menjaga keraha-
siaan, batas-batas profesionalitas dan prinsip saling menghormati,
adalahprinsip-prinsip yang mesti ditegakkan selama proses konseling.
Menurut Huda (2009) bahwa hubungan yang harmonis tidak
selalu diartikan harus akrab, justeru bila terlalu akrab hal ini
cenderung terjadi pelanggaran terhadap kode etik dal konseling.
Pelanggaran yang umum terjadi adalah adanya hubungan di luar
kewajaran selama konseling ber- langsung, hal itu seperti: terjadi
hubungan asmara bila pekerja sosial dan kliennya berstatus lawan
jenis, terjadi penghilangan status profesi peker- ja sosial karena
kliennya sudah tidak menghargai lagi peran konselornya dan terjadi
ketergantungan secara berlebihan karena klien menggantung- kan
harapan hidupnya kepada konselor secara penuh dan tidak rasional.
Dalam membangun hubungan, disarankan mengembangkan
47
komu- nikasi terapeutik, di mana kemampuan atau keterampilan
pekerja sosial dalam berinteraksi untuk membantu klien beradaptasi
terhadap stres, mengatasi gangguan psikologis dan belajar bagaimana
berhubungan atau berinteraksi dengan orang lain. Komunikasi
terapeutik merupakan is- tilah lain dari komunikasi interpersonal,
artinya komunikasi antar dua orang secara tatap muka yang
memungkinkan masing-masing menang- kap reaksi orang lain
(pekerja sosial atau kliennya) secara langsung, baiksecara verbal dan
nonverbal. Komunikasi ini diharapkan membantu klien untuk
memperjelas dan mengurangi beban perasaan maupun pikiran ser-ta
dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila klien
percaya pada hal yang diperlukan. Mengurangi keraguan juga
membantu klien dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan
mempertahankan kekuatan jiwanya.
3. Mengeksplorasi Masalah Klien secara Mendalam
Berdasarkan catatan dari kegiatan membangun hubungan
antara pekerja sosial dan klien, diperoleh keterangan bahwa kegiatan
komunikasi sangat penting dilakukan oleh pekerja sosial bilamana
ingin mengungkap per- masalahan klien. Untuk itu, eksplorasi
masalah secara mendalam akan tercipta bilamana hubungan atau
komunikasi keduanya saling sinambung. Mengeksplorasi masalah
diartikan sebagai cara dalam menggali perasaan, pikiran dan
pengalaman klien selama proses konseling berlangsung. Hal ini
penting dilakukan karena umumnya klien pandai dalam menyimpan
rahasia batin, cenderung menutup diri, serta ada juga klien yang tidak
mampu mengemukakan pendapatnya karena adanya keterbatasan
dalam komunikasi.
Dengan teknik ini dimungkinkan klien untuk bebas berbicara
tanpa dibebani rasa takut, tertekan dan terancam selama proses
konseling. Sep- erti halnya pada proses membangun hubungan, pada
teknik ini menurut Willis (2004) bahwa terdapat tiga tujuan yang akan
dicapai bilamana kita arahkan teknik-teknik konseling pada masalah
klien, yaitu : (1) eksplor- asi perasaan, yaitu teknik untuk dapat
menggali perasaan klien yang ter- simpan; (2) eksplorasi pikiran, yaitu
teknik dalam menggali ide, pikiran, dan pendapat klien terhadap
masalah yang sedang dihadapi; dan (3) eks-plorasi pengalaman, yaitu
keterampilan atau teknik dalam koseling un- tuk menggali

48
pengalaman-pengalaman klien tentang masalahnya. Ketiga tujuan ini
merupakan tugas utama yang dilakukan pekerja sosial dalam proses
konseling, sebab bilamana salah satunya tidak mampu dieksplor oleh
pekerja sosial maka pekerjaan konseling menjadi gagal.
Pada eksplorasi perasaan, tugas utama pekerja sosial adalah
meng- ajak ataupun membujuk klien untuk bisa mengungkapkan
perasaannya melalui komunikasi terapeutik, hal ini baik dalam bentuk
verbal maupun non-verbal (melaui simbol tertentu). Pengungkapan
perasaan klien bi- asanya mewakili masalah yang dihadapinya, atau
berupa simbol-simbol tertentu yang yang mewakili kegundahaan
hatinya (seperti menangis, murung, senyum, tatapan kosong dan lain
sebagainya). Menurut Johson (1981) dan dalam Zulkarnain (2005)
bahwa teknik yang umum dilakukan dalam mengungkap perasaan
klien adalah teknik Parafrasa atau teknik menangkap pesan.
Teknik Parafrasa ditujukan untuk menyatakan kembali esensi
atau inti ungkapan klien, di mana dengan teliti mendengarkan pesan
utama klien, lalu mengungkapkan kalimat yang mudah dan sederhana
(dalam hal ini biasanya ditandai dengan kalimat awal seperti “adakah
atau tam- paknya”) dan mengamati respons klien terhadap pertanyaan
pekerja so- sial. Tujuan Parafrasa adalah: (a) untuk mengatakan
kembali kepada klienbahwa pekerja sosial bersama dia dan berusaha
untuk memahami apa yang dirasakan klien; (b) mengendapkan apa
yang dikemukakan klien dalam bentuk ringkasan pembicaraan; (c)
memberi arah wawancara ten- tang tujuan konseling; dan (d)
pengecekan kembali persepsi pekerja sosial tentang apa yang
dikemukakan klien
Dalam pengungkapan perasaan klien, hal-hal yang umum
dilakukan adalah bahasa simbol atau perilaku non-verbal, di mana
bentuk-bentuk kegiatannya mengisyaratkan perasaan dan persoalan
yang sedang diha- dapi. Menurut Zulkarnain (2005) bahwa terdapat
sedikitnya empat ben- tuk perasaan yang umum dialami klien selama
proses konseling, dian- taranya adalah perasaan: menerima,
tergantung, curiga dan memusuhi. Gambaran dari bentuk-bentuk
perasaan tersebut dapat diamati pada tabel berikut ini.
Tabel pola perilaku verbal dan nonverbal yang mencerminkan
perasaan klien selama proses konseling dengan pekerja sosial.
PERASAAN
49
Menerima Tergantung Curiga Memusuhi
Unsur Fisik
Kepala Mengangguk - - Menggeleng
Mulut Tersenyum Latah Tertutup Mencibir
Kesigapan Sigap Pasif Sigap Tak acuh
Posisi Menghadap Merendah Mematung Menantang
Kontak mata Wajar Berlebihan Kurang Menghindar
Tangan Terbuka Menggapai Resah Mengepal
Jarak Wajar Dekat - Jauh
Sumber: Zulkarnain (2005)
Sedangkan pada eksplorasi pikiran atau pengungkapan
pikiran klien da- lam proses konseling, ini ditujukan agar klien
mengeluarkan sebanyak mungkin buah-buah pikirannya berupa: ide,
solusi dan pendapat yang berguna sebagai bahan tambahan dalam
penyelesaian masalahnya. Dalam proses intervensi sosial,
pengungkapan pikiran sangat perlu dilakukan oleh pekerja sosial
dalam rangka ingin mengatehui tinggi rendahnya ke- mampuan
berpikir klien, kemampuan dalam membuat strategi bertindak dan
kemampuan dalam menemukan solusi permasalahannya. Berbagai
tujuan ini berguna untuk penyembuhan klien melalui dirinya sendiri
(bi- lamana kemampuan berpikirnya baik) serta memudahkan proses
kerja konseling dalam menemukan soslusi penanganan yang cepat.
Dalam praktik pengungkapan pikiran klien, strategi yang
umum di- jalankan oleh pekerja sosial menurut Zulkarnain (2005)
adalah teknik in-terpretasi kondisi, atau teknik untuk mengulas cara
berpikir klien dengan merujuk pada teori-teori perilaku dan kebiasaan,
bukan pada pandangan subyektif pekerja sosial, data-data yang
diperoleh dari hasil interpretasi ini di arahkan dengan memberikan
rujukan pandangan agar klien men- gerti dan berubah melalui
pemahaman dari hasil rujukan baru tersebut. Apabila teknik ini tidak
berhasil maka pekerja sosial menempuh teknik alternatif yang
dipersiapkan, yakni teknik melakukan inisiatif, atau teknik yang
dilakukan pekerja sosial manakala klienya kurang bersemangat un-tuk
berbicara, sering diam, dan kurang partisipatif. Langkah yang mesti
dilakukan pekerja sosial adalah mengucapkan kata-kata yang
mengajak kliennya untuk berinisiatif dalam menuntaskan diskusi,
misalnya: Meng- ambil inisiatif diskusi jika klien kurang
bersemangat; Jika klien lambat berfikir untuk mengambil keputusan
50
atau tindakan; dana Jika klien kehi- langan arah pembicaraan.
Pengungkapan pikiran hanya bisa dilakukan dengan mengajak
ber- bicara ataupun berdiskusi klien. Pekerjaan utama pekerja sosial
adalah berbicara, maka kemampuan komunikasi (communication
skill) bagi se- orang pekerja sosial merupakan kunci sukses karirnya di
pekerjaan sosial. Pekerja sosial harus bisa mengajak klien berbicara
dan terbuka terhadap berbagai persoalan yang dialaminya serta jalan
keluar yang mesti ditem- puh. Klien berbicara di sini maksudnya
dengan nyaman, senang, leluasa, ikhlas tanpa ada rasa khawatir.
Mengajak bicara berarti pekerja sosial se- dang menjalankan strategi
eksplorasi pikiran klien dengan masalah yangsedang dihadapi.
Sedangkan pada teknik eksplorasi yang ketiga, yakni eksplorasi
peng- alaman atau pengungkapan pengalaman-pengalaman klien
dalam men- jalani hidup ini atau bisa saja pengalaman dalam melewati
masalahnya tersebut. Pekerja sosial harus mampu mengungkap
pengalaman klien karena hal itu terkadang berkaitan dengan aspek-
aspek tertentu dalam hidup klien, seperti terhadap: perasaan emosi,
pola pikir, tujuan hidup, pengalaman dalam kegagalan, pengalaman
dalam kesuksesan dan harap-an akan masa depan. Aspek-aspek yang
berkaitan dengan pengalaman ini terkadang tidak akan terungkap
apabila pekerja sosial menanyakan langsung hal tersebut, namun akan
terungkap bilamana pekerja sosial menggunakan strategi directing
(mengarahkan) dengan mengajaknya untuk bercerita soal pengalaman
hidupnya.
Pengungkapan pengalaman merupakan istilah lain dari
pengungkapan diri (self-disclosure) seorang klien akan hitam putih
kehidupan masa lalunya, hal demikian harus dicairkan dalam bentuk
komunikasi yang ju-jur dan transparan. Menurut Cooley (1992) dan
dalam Zulkarnain (2005)menyebutkan sedikitnya lima manfaat dalam
proses pengungkapan diri seorang klien, kelima manfaat tersebut
terurai seperti di bawah ini.
1. Meningkatkan kesadaran diri (self-awareness), di mana dalam
pros- es pemberian informasi kepada pekerja sosial, klien akan
lebih jelas menilai kebutuhan, perasaan, dan hal psikologis
tentang apa yang diharapkan pekerja sosial. Selain itu, pekerja
sosial akan membantu klien dalam memahami diri dan
masalahnya dengan lebih mudah memberikan masukan
51
menyangkut masalah yang dihadapi.
2. Membangun hubungan yang lebih dekat dan mendalam, saling
mem- bantu dan lebih bermakna bagi kedua belah pihak.
Keterbukaan merupakan suatu hubungan timbal balik, semakin
klien terbuka pada pekerja sosial maka akan terbangun
kepercayaan dan hubungan persahabatan.
3. Mengurangi rasa malu dan meningkatkan penerimaan diri (self
acceptance). Dengan prinsip bahwa jika pekerja sosial dapat
mener- ima masalah klien dengan segala keterbukaannya maka
kemungk- inan besar keluarga dan orang lain pun akan
menerimanya.
4. Memecahkan berbagai konflik dan masalah interpersonal. Jika
peker-ja sosial atau orang lain mengetahui kebutuhan, ketakutan
dan rasafrustrasi klien maka pekerja sosial akan bersimpati atau
memberi- kan bantuan sehingga sesuai dengan apa yang klien
harapkan.
5. Memperoleh energi tambahan dan menjadi lebih spontan. Bagi
klien, diingatkan bahwa untuk menyimpan rahasia dibutuhkan
energi yang besar dan dalam kondisi demikian klien akan lebih
cepat mar-ah, tegang, pendiam dan tidak riang. Dengan berbagi
informasi hal- hal tersebut akan hilang atau berkurang dengan
sendirinya.
4. Mengeksplorasi Solusi Alternatif
Setelah melewati membangun hubungan dan eksplorasi
masalah klien, langkah yang terakhir dalam proses konseling adalah
mengekplorasi solusi alternatif bagi masalah klien. Langkah ini di
arahkan pada kegia- tan eksplorasi terhadap berbagai solusi atau jalan
keluar yang mesti dilak- sanakan pada diri klien. Di mana pada
prinsipnya klien yang memiliki keputusan untuk menentukan sendiri
solusi apa yang terbaik (the right self determination) atau menentukan
jalan keluar masalahnya dengan keputusaannya sendir, hal ini
menyangkut beberapa alternatif yang pa- ling sesuai dengan aspirasi
dan keadaannya. Karena itu kalimat yang te- pat pada kegiatan ini
adalah ”konseling dengan klien” (counseling with client) dan bukan
”konseling untuk klien” (counseling for client). Tugas utama pekerja
sosial semata membantu klien memahami dan menjelas- kan apa
konsekuensi dari masing-masing alternatif yang menjadi solusi serta
52
menjadi keharusan juga untuk tidak mengarahkan sebuah atau lebih
saran ataupun pilihan secara sepihak kepada klien, namun betul-betul
keputusan ada pada klien.
Mengeksplorasi solusi alternatif berarti menggali berbagai
kemun- gkinan yang dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah.
Peran pekerja sosial pada tahap ini umumnya mengidentifikasi
beberapa alternatif un- tuk kemudian menggalinya bersama klien agar
menemukan kecocokan, kelebihan dan keterbatasan dari setiap
alternatif tersebut dalam me- mecahkan masalah klien. Dalam hal ini
Zastrow (dalam Suharto, 2007) menyarankan perlunya Exploring
Resolution Strategies atau penggalian berbagai strategi terhadap
pemecahan masalah klien, di mana klien perlu menyatakan pada
dirinya bahwa,”Saya melihat beberapa pilihan tindakan yang dapat
saya coba lakukan dalam memecahkan masalah saya”. Selan-jutnya
pekerja sosial itu harus dapat membantu klien memperjelas beber-apa
strategi pemecahan masalah yang mungkin tepat dilaksanakan oleh
klien. Namun demikian, prinsip yang harus dipegang adalah bahwa
setiapklien itu unik dan begitu pula dengan masalah yang dialaminya.
Suatu strategi yang tepat bagi klien A mungkin tidak cocok untuk
klien B atau klien lainnya. Setiap klien memiliki latar belakang
budaya, pendidikan, pengalaman dan situasi-situasi problematis yang
berbeda. Perbedaan ini tentunya harus dipertimbangkan dalam
memilih strategi yang sesuai dan meyakini bahwa masing-masing latar
belakang memiliki konfigurasiyang indah dan mamiliki sela untuk kita
masuk dengan berbagai solusi atau jawaban terhadap masalah yang
dihadapi oleh klien.
5. Pendekatan Mentalitas
Dalam menjelaskan persoalan Pembangunan, banyak ahli
ilmu-ilmu so- sial yang menggunakan pendekatan mentalitas sebagai
unsur penentu da- lam mengaitkan tingkat kualitas sumber daya
individu dengan target-tar- get yang diinginkan oleh pembangunan.
Salah satu ahli tersebut adalah Isbandi Rukminto Adi (2008), di mana
ia mengatakan bahwa salah satu penghambat Pembangunan di level
mikro atau di level individu, adalah masih lemahnya mentalitas kita
dalam inovasi Pembangunan. Pemicu kelemahan itu umumnya
bersumber dari nilai materialistik dan mentali- tas yang ingin serba
cepat (instan), rendahnya etos kerja serta melemahn- ya moral dan

53
etika masyarakat untuk menghargai hasil karya sendiri.
Perkembangan mentalitas ini pada titik tertentu, ternyata hanya
memunculkan mentalitas Korup dikalangan pejabat pemerintahan,
mentalitas demikian nampaknya telah merusak nilai-nilai moral dan
etika di segala lini kehidupan berbangsa. Pendekatan mentalitas
pembangunan menurut Adi (2008) adalah berbicara tentang
bagaimana intervensi individu dilakukan melalui perubahan
mentalitas dalam proses pembangunan, di mana yang menjadi motor
penggerak perubahan adalah karakter dasar dan nilai-nilai budaya
yang unggul, kedua aspek ini mesti ditularkan ke- pada seluruh
individu agar terlibat aktif di kegiatan Pembangunan.
Mentalitas atau Mentality merupakan produk kejiwaan
manusia yang menjadi kekuatan pendorong dalam beraktivitas.
Menurut Chaplin (1968) dan dalam Kartono (1981), mentalitas adalah
kemampuan atau kekuatan akal budi, pikiran dan ingatan seseorang
dalam menjalani ke- hidupannya. Menurut Koentjaraningrat (1974)
mentalitas adalah segala yang berkaitan dengan akal pikiran dan
ingatan manusia yang bersumber dari sistem nilai budaya, serta
berperan penting dalam menentukan ori- entasi kehidupan di masa
akan datang. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) mentalitas adalah keadaan dan aktivitas jiwa (batin), cara
berpikir, dan berperasaan seseorang. Dari definisi ini dapat disarikan
bahwa mentalitas terbangun atas dua kekuatan besar, yakni kekuatan
internal (seperti akal budi, pikiran, perasaan, ingatan, sikap, dansifat)
dan kekuatan eksternal atau faktor luar manusia, seperti: sistem nilai dan
pola budaya seseorang.
Dalam konsep Pembangunan, keberadaan mentalitas banyak
dipo- sisikan sebagai inspirator dan motivator kepada individu untuk
terlibat aktif serta produktif dalam setiap program Pembangunan. Atas
dasar ini, intervensi sosial dilakukan kepada individu untuk mengisi
pikiran dan menyentuh perasaannya dengan nilai-nilai kemajuan yang
diinginkan oleh Pembangunan. Dalam kaitan ini, menurut Midgley
(1995) bah- wa khusus peningkatan kesejahteraan sosial, mentalitas
Pembangunan dibidang ini desebut Pembangunan sosial, di mana dia
merupakan se- buah proses perubahan sosial yang terencana dan
desain untuk mewu- judkan kesejahteraan sosial seluruh penduduk
dalam kaitannya dengan proses yang dinamis dalam diri individu.
Peningkatan kualitas norma dan nilai dalam pranata sosial yang
54
menghasilkan pola interaksi dan pola rela-si sosial baik antar individu
maupun kelompok bermanfaat dalam proses Pembangunan. Dalam
perspektif Pembangunan sosial, peran partisipasi masyarakat bukan
sekedar alat atau cara, tetapi sudah menjadi tujuan, hal itu karena
kesempatan yang sangat diharapkan adalah bagaimana indi- vidu-
individu berperanserta dalam proses Pembangunan, sebab dengan
keterlibatan individu dalam Pembangunan maka secara lambat laun
akan memahami arah Pembangunan, apabila arah tersebut sudah
menyatu dengan perilakunya maka tujuan Pembangunan sudah
dominan tercapai.
Lebih jauh menurut Midgley (1995) bahwa mentalitas yang
berupa pikiran, sikap dan watak merupakan kekuatan internal
seseorang dalam berperilaku, secara positif, kekuatan ini sangat
berkontribusi besar untuk mensukseskan Pembangunan kesejahteraan
sosial. Di samping itu, Pem-bangunan sosial di level mikro (individual
level) yang menitik-beratkan pada tujuan Pembangunan kesejahteraan
sosial, melalui intervensi sosial (Perubahan sosial yang terencana)
yang dilakukan di tingkat individual, ini berkaitan dengan
penyelesaian masalah-masalah personal yang bi- asanya juga terkait
dengan masalah sosial yang lebih luas, misalnya kon- seling trauma
yang dari korban tindak kekerasan oleh orang tuanya atau berbagai
kasus KDRT dan kasus perdagangan manusia (human traffick- ing)
lainnya.
Berkaitan hal tersebut, kekuatan mentalitas berupa
Pembangunan sosial akan mendorong kehidupan menuju ke kondisi
yang lebih baik, di mana melalui investasi sosial, nampaknya memiliki
dampak langsung berupa penciptaan lapangan kerja, prakarsa
partisipasi dalam pembangu- nan yang lebih luas, pada awalnya
kelihatan sederhana namun dijalankan dengan sungguh-sungguh,
ternyata mampu mendorong partsipasi aktif masyarakat untuk
menghasilkan produk-produk yang terbaik. Investa- si dalam
pembangunan sosial akan meningkatkan produktivitas karena adanya
rasa ikut memiliki serta menumbuhkan nilai kepercayaan melalui
partisipasi yang lebih ikhlas. Karena partisipasi itu dilakukan dengan
ikhlas dan sungguh-sungguh, maka menurut Midgley (1995) lebih
mu- dah memberikan kepuasan berkat terpenuhinya hak-hak dasar
sosial ekonomi dan budaya, hal ini kian meningkatkan mentalitas

55
dalam Pem- bangunan.
Mentalitas berasal dari kata mental, artinya sebuah proses
yang berasosiasi dengan pikiran, akal dan ingatan manusia. Intervensi
sosial memanfaatkan peran mentalitas ataupun mental sebagai
variabel utama dalam mendorong individu untuk peduli dengan
kegiatan Pembangunan sebagai wujud perubahan sosial. Akhir-akhir
ini makna mental sebagai unsur intervensi sosial nampak terkenal luas
setelah Bapak Joko Wido- do (Presiden RI ke-7) memperkenalkan
“Revolusi Mental” sebagai salah satu event di rezim kekuasaannya.
Revolusi mental menurut I Dewa Gede Raka (2014) adalah konsep
program yang bertujuan mengubah mental- itas masyarakat Indonesia
ke arah yang lebih baik secara besar-besaran dan berbudaya.
Selanjutnya menurut Romo Benny Susetyo (Koran Sindo, 10 Mei
2014) bahwa Revolusi Mental merupakan sesuatu yang merujuk pada
adanya revolusi kesadaran, perubahan mendasar yang menyang-kut
kesadaran, cara berpikir dan bertindak dari sebuah bangsa dan ke-
budayaan besar. Revolusi mental mengubah dari sesuatu yang negatif
kepositif, serta perubahan dari ketidakpercayaan diri menjadi bangsa
yang penuh kepercayan diri, m enyadari diri bahwa kita adalah bangsa
besar dan bisa berbuat sesuatu yang besar. Kedua pendapat ini
mengisyaratkan bahwa Revolusi Mental bukan lagi sekedar wacana
politik namun telah diwujudkan di berbagai kegiatan Pembangunan,
seperti di dunia: pen- didikan, kebudayaan, sosial kemasyarakatan dan
politik. Terlepas dari berhasil tidaknya konsep Revolusi Mental
menyatu dengan Pembangun- an, namun yang perlu digaris bawahi
adalah mental ataupun mentalitas berhasil menjadi alat pendorong
dalam melakukan intervensi sosial ke individu.

B. Intervensi Sosial di Level Meso


Intervensi sosial di level Meso berbicara tentang pemulihan
masalah individu melalui wadah sosialnya (seperti wadah kelompok,
organisasi ataupun lembaganya). Hal yang sama seperti dikemukakan
Glen (1993) mengatakan bahwa kegiatan intervensi sosial yang
berlangsung dalam situasi kelompok tertujuh pada aktivitas sosial
kelompok maupun organi- sasi/lembaga yang menjadi naungan
individu-individu dalam berbagi pengalaman. Sedangkan menurut
Adi (2008) mengatakan bahwa inter- vensi sosial di level Meso adalah
berbagai langkah perubahan yang sifat- nya mendasar terhadap
56
keberadaan seseorang dalam sebuah kelompok, di mana metode
intervensi sosial kelompok umumnya diarahkan pada pengembangan
relasi sosial seseorang. Dengan demikian dapat dikatakanbahwa posisi
kelompok digunakan sebagai media dalam menjalankan strategi
perubahan kondisi individu, karena itu kelompok cenderung memiliki
kekuatan tersendiri dalam proses pertukaran kepentingan baik
terhadap anggotanya sendiri maupun terhadap kelompok lain yang
ber- akses sama.
Secara realitas tidak semua penyembuhan klien hanya dapat di in-
tervensi lewat pendekatan perseorangan ataupun komunitas saja, namun
beberapa kasus yang ada, intervensi sosial yang dijalankan oleh pekerja
sosial justeru hanya dapat sembuh bila menggunakan pendekatan kelom-
pok atau pendekatan kolektivitas. Keberadaan kelompok level ini boleh
dikatakan sebagai solusi dari permasalah individu (sebagai anggota) dan
solusi dari permasalahan kelompok itu sendiri. Dalam proses intervensi,
kelompok tidak hanya sebagai wadah penampungan berbagai masalah
yang dihadapi oleh individu atau anggotanya, namun lebih jauh dari hal
tersebut kelompok sebagai media penyembuhan para anggotanya serta
sebagai instrumen dalam menyalurkan berbagai kepentingan para ang-
gotanya.
Sebagaimana intensitas intervensi di level mikro, intensitas di level
Meso juga mengemuka dua prespektif tentang intervensi seseorang dalam
kelompok sosialnya, yakni keberadaan Terapi Kelompok dalam berbagai
setting sosial fungsional seseorang dan keberadaan Bimbingan Kelompok
dalam kegiatan Pembangunan kesejahteraan sosial. Pada Terapi Kelom-
pok, metode yang dilakukan pekerja sosial adalah menjadikan kelom- pok
sebagai media dalam membantu anggota-anggota untuk keluar dari
berbagai masalah keberfungsian sosial, seperti: rasa rendah diri, tempe-
ramental, terisolir, disorientasi sosial, pemalu, mudah buruk sangka, apa-
tis, kesendirian dan berbagai masalah individual lainnya yang berkorela-
si dengan ketidakberfungsian kondisi sosial seseorang. Sedangkan pada
aspek pengorganisasian masyarakat, adalah berbicara tentang bagaima-
na para pekerja sosial melakukan intervensi pada kelompok-kelompok
masyarakat dengan tujuan agar dapat diberdayakan kemampuan sosial
ekonominya melalui kegiatan pendampingan sosial. Untuk mengetahui
lebih jauh terhadap kedua prespektif ini maka secara kongkrit dapat di-
amati di dua sub bab berikut ini.

57
Pendekatan Terapi Kelompok
Dalam penanganan masalah sosial, secara sepintas, terapi kelompok mirip
dengan terapi individual atau kegiatan konseling, namun apabila diamati
secara detail maka ditemukan berbagai perbedaan. Salah satu yang mem-
bedakan keduanya terletak pada pendekatan masalahanya, di mana terapi
kelompok tidak menggunakan pendekatan yang bersifat perseorangan
serta menggunakan kelompok sebagai media penyembuhan seseorang.
Sebaliknya pada kegiatan konseling umumnya menggunakan pendekat-
an individual serta tidak membentuk kelompok dalam penyembuhan
seseorang. Walaupun demikian, keduanya tidak bisa dipisahkan dalam
proses terapi, karena keduanya besama-sama menangani klien dari aspek
perseorangan.
Sebagai salah satu metode intervensi sosial, terapi kelompok beker-
ja ditujukan untuk mengoptimalkan fungsi psikologis seseorang, hal itu
melalui peningkatan kesadaran akan hubungan antara reaksi emosional
dengan perilaku yang defensive (bertahan) dan adaptasi terhadap nilai-
nilai yang berkembang dalam kelompok. Berkaitan hal tersebut, menurut
Suharto (2007) terapi kelompok adalah salah salah satu metode pekerjaan
sosial yang menggunakan kelompok sebagai media dalam proses perto-
longan dan hubungan yang bersifat relasional maupun dalam situasi yang
profesionalnya. Pandangan yang sama menurut Hartford (1972) dalam
Suharto (1997), menyebutkan bahwa terapi kelompok adalah salah satu
metode pekerjaan sosial di mana pengalaman-pengalaman kelompok di-
jadikan bahan advis oleh pekerja sosial serta sebagai medium praktik uta-
ma yang bertujuan untuk mempengaruhi keberfungsian sosial, pertum-
buhan atau perubahan kondisional dari para anggota kelompok. Dengan
demikian, metode terapi kelompok sangat tepat untuk menyembuhkan
klien dari berbagai masalah sosial dan psikologis, hal itu karena orang-
orang yang ada dalam kelompok terlibat secara relasional dan saling
mempengaruhi satu sama lain, selain itu kelompok dapat dijadikan sarana
saling berbagi pengalaman dan berbagai tentang cara mengatasi masalah
tanpa diketahui oleh orang di luar kelompok.
Dalam lapangan pekerjaan sosial di Indonesia, terapi kelompok su-
dah dikenal luas sebagai metode penyembuhan masalah sosial, baik itu
metode peyembuhan masalah sosial yang berlangsung dalam panti mau-
pun di luar panti (di masyarakat). Terapi kelompok yang dilakukan dalam
panti umumnya diterapkan pada warga binaan (klien) yang mengalami
58
ketidakberfungsian sosial dan berada di tempat-tempat rehabilitasi sosial
seperti di panti: Jompo, Pecandu Narkoba, Disabilitas, mantan PSK, dan
berbagai panti sosial lainnya yang dikelolah oleh Pemerintah maupun
swasta. Sedangkan kegiatan terapi kelompok yang berada di luar panti,
nampaknya berbeda dengan yang dalam panti, pada masyarakat perko-
taan umumnya mereka membuat terapi kelompok di luar panti di tem-
pat-tempat tertentu seperti di: berbagai kantor atau perusahaan, kampus,
kelompok olah raga, kelompok profesi, kelompok pensiunan dan berbagai
kelompok lainnya yang menjadikan kelompok sebagai motif penyembu-
han berdasarkan relasi sosial atau psikososial. Adapun keterlibatan me-
reka dalam terapi kelompok umumnya pada kasus-kasus pemberhentian
pada kebiasaan buruk seperti: kecanduan alkohol, perokok berat, kema-
lasan dalam pekerjaan, konflik antar pegawai, kenakalan remaja, perilaku
kekerasan, dan lain sebagainya yang menyangkut kebiasaan buruk seseo-
rang.
Terapi kelompok yang dilakukan oleh berbagai panti rehabilitasi
sosial hasil binaan Pemerintah umumnya dilakukan oleh pekerja sosial
dengan menggunakan metode terapis yang baku serta dikelola secara
terstruktur dan profesional. Pada terapi kelompok Lansia di Panti Jompo
misalnya, hasil penelitian di tahun 2014 pada Panti Sosial Tresna Werdha
Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan menemukan bahwa kegiatan
terapi kelompok yang dilakukan sejak tahun 2001 telah membawah hasil
yang positif terhadap warga panti, di mana dari sejumlah 98 orang warga-
nya (dominan Lansia terlantar) itu dibagi 5 kelompok sosial yang di pola
untuk melakukan berbagai kegiatan terapi kelompok, seperti kegiatan:
senam (olah raga), berkebun atau pertanian lainnya, ibadah, belajar pe-
ngetahuan tertentu dan kelompok keterampilan.
Kehadiran terapi kelompok ini dimungkinkan untuk diterapkan pada
lansia yang umumnya mengalami depresi setelah sekian lama ting- gal
dalam panti serta sebagian besar tidak dikunjungi oleh keluarga, ke-
cenderungan ini memunculkan perasaan tersisihkan dari keluarga dan
tidak dihargai serta perasaan kesendirian. Perasaan negatif ini lambat laun
akan menyebabkan lansia mengalami depresi dan hilang gairah hi- dup.
Atas dasar ini pendekatan terapi kelompok perlu diberikan dalam rangka
meminimalisir terjadinya depresi yang berlarut-larut dan emosi negatif
lainnya. Pendekatan ini menitikberatkan pada keterlibatan indivi- du
dalam meningkatkan emosi, pikiran dan perilaku positif. Pendekatan ini
juga meningkatkan makna hidup dalam rangka untuk meringankan
59
masalah dan meningkatkan kebahagiaan seseorang melalui pola keber-
samaan nilai dalam kelompoknya (Rashid, 2008). Sedangkan menurut
Kaplan (1997) bahwa terapi kelompok memfokuskan pada interaksi an-
tar individu sehingga permasalahan dibahas secara bersama-sama. Terapi
kelompok merupakan bentuk psikoterapi di mana pekerja sosial mem-
berikan intervensi pada sekelompok Lansia dipanti tersebut yang secara
bersama-sama sebagai bagian dari kelompok rehabilitasi. Dalam kasus
Lansia, menurut Kaplan (1997) bahwa terapi kelompok dapat membantu
memecahkan permasalahan emosional dan membangun kekuatan karak-
ter (character strength) dari klien tersebut.
Adapun kegiatan terapi kelompok pada kegiatan intervensi di luar
panti, ini umumnya dilakukan pada kelompok profesional di perkotaan.
Kelompok ini terbentuk dan melakukan terapi kelompok karena adan-
ya kesamaan nilai egaliter pada kalangan tersebut yang melihat bahwa
hubungan interpersonal melalui kelompok sanggup meminimalisir ma-
salah (bahkan menghilangkannya), yakni dengan cara saling berbagi kiat
maupun solusi permasalahan masing-masing, serta mengembangkan
nilai-nilai keterbukaan untuk menerima dan mengelola masalah, di mana
penyampaian secara terbuka dan jujur kepada sesama anggota kelompok-
nya (member) terhadap seluruh kebiasaan buruk yang selama ini telah
merugikan keluarga dan orang lain.
Kegiatan terapi kelompok di luar panti akhir-akhir ini kian diminati
berbagai pihak seiring meluasnya program terapi pada masyarakat indus-
tri. Berkaitan hal tersebut, Charles Harold Zastrow (1999) menyebutkan
bahwa sedikitnya ada enam jenis kelompok yang sering digunakan oleh
pekerja sosial dalam memberi pertolongan kliennya juga sekaligus se-
bagai sarana memperkaya ilmunya, jenis-jenis tersebut diantaranya.
• Kelompok Percakapan Sosial (Social Conversation Group)
Bentukan ini merupakan kelompok yang terbuka dan bersifat infor-
mal dalam proses pembentukannya. Rencana kegiatan cenderung
tidak permanen di mana topic kegiatan silih berganti dan dinamis
menghindari program yang membosankan serta setiap anggota
berhak mengusulkan untuk mengganti program dengan yang lebih
menarik dan mudah dimengerti. Salah tujuan seseorang terlibat da-
lam terapi kelompok ini adalah ia hendak mencari kenalan dan
sahabat baru. Dalam penerapannya, kelompok ini digunakan
sebagaisarana pengujian dalam menentukan seberapa besar ikatan
60
relas- ional yang dapat dikembangkan terhadap orang-orang yang
tidak saling mengenal satu sama lain alias anggota baru.
• Kelompok Pendidikan (Educational Group)
Sasaran utama seseorang terlibat dalam terapi kelompok ini ada- lah
untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang lebih
kompleks, serta pemimpin kelompok biasanya dari kalangan profe-
sional (pekerja sosial) yang menguasai berbagai keterampilan dan
ilmu tertentu dan kelebihannya tersebut menjadi magnet (daya ta-
rik) agar orang lain masuk dan terlibat dalam terapi kelompok ini.
• Kelompok Pemecahan Masalah dan Pembuatan Keputusan (Prob-
lem solving and Decision-Making Group)
Kelompok ini melibatkan klien (penerima layanan) dan para petu-
gas pemberi pelayanan (pekerja sosial) di suatu lembaga kesejahter-
aan sosial. Bagi klien, tujuan bergabungnya ia dengan keompok
ini adalah untuk menemukan pendekatan-pendekatan yang strat-
egis agar dapat digunakan sebagai alat antisipisasi terhadap sum-
ber-sumber permasalahan yang baru berkembang dengan nilai ke-
butuhan baru.
• Kelompok Mandiri (Self-Help Groups)
Kelompok ini menekankan pada pengakuan jujur dan terbuka dari
para anggotanya bahwa mereka memiliki masalah, menceritakan
berbagai pengalaman masa lalunya dan rencana mengatasi berb-
agai masalah sosial tersebut di masa datang, serta anggota kelom-
pok yang mengalami krisis agar didampingi oleh anggota lainnya
untuk melalui masa sulit tersebut secara bersama-sama.
• Kelompok Sosialisasi (Socialization Group)
Tujuan utama dibentuk terapi kelompok ini adalah untuk mengem-
bangkan atau merubah sikap dan pola perilaku dari anggotanya agar
diterima secara sosial oleh masyarakat lainnya. Kelompok terapi ini
fokus pada pengembangan keterampilan bagi anggotan- ya yang
lain, serta meningkatkan rasa kepercayaan diri anggotanya dan
bagaimana langkah-langkah ataupun kiat-kiat tertentu dalam
menempuh hidup sukses di saat kini maupun di masa depan kelak.
• Kelompok Penyembuhan (Therapeutic Group)
Umumnya para anggota kelompok terdiri dari orang-orang yang

61
mengalami masalah personal dan emosional yang berat. Pemimpin
kelompok ini (pekerja sosial) dituntut memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang handal mengenai tingkah laku manusia dan di-
namika kelompok begitupun konseling kelompok. Tujuan utama
orang terlibat dalam kelompok ini adalah untuk mengupayakan para
anggota mampu menggali masalahnya sendiri secara menda- lam
serta kemandirian mengembangkan rencana untuk pemecahan
masalah.
Untuk memudahkan seseorang terlibat dalam terapi kelompok non Panti
maka semestinya memahami proses pentahapanannya, menurut Zastrow
(1999:150-151) dan dalam Suharto (2007) tedapat sedikitnya 5 tahapan
penting yang mesti diketahui pekerja sosial sebelum melakukan terapi
kelompok, kelima tahapan tersebut adalah.
• Tahap Penerimaan atau Intake
Tahap ini ditandai oleh adanya pengakuan mengenai masalah spesi-
fik yang mungkin tepat dipecahkan melalui pendekatan kelompok.
Tahap ini disebut juga sebagai tahap kontrak antara pekerja sosial
(terapis) dengan klien, di mana pada tahap ini dilakukan perumus-
an persetujuan dan komitmen antara keduanya untuk melakukan
kegiatan-kegiatan perubahan sikap dan perilaku dengan basis
kelompok.
• Tahap Asessmen (penilaian) dan Perencanaan Intervensi
Pemimpin kelompok (pekerja sosial) bersama dengan anggota
kelompok (klien) mengidentifikasi permasalahan, tujuan-tujuan
kelompok serta merancang rencana tindakan pemecahan masalah.
Dalam kenyataannya, tahap ini cenderung tidak definitive, karena
pada hakekatnya kelompok senantiasa berjalan secara dinamis se-
hingga memerlukan penyesuaian tujuan-tujuan dan rencana inter-
vensi.
• Tahap Penyeleksian Anggota
Penyeleksian anggota harus dilakukan terhadap orang-orang yang
paling mungkin mendapatkan manfaat dari struktur kelompok dan
keterlibatannya dalam kelompok. Dalam beberapa kasus penyelesai-
an anggota kelompok didasarkan pada pertimbangan bahwa orang
tersebut akan mampu memberikan kontribusi terhadap kelompok
(usia, jenis kelamin, status sosial) perlu dipertimbangkan dalam
62
tahap ini. Minat dan ketertarikan individu terhadap kelompok juga
penting diperhatikan, karena anggota yang memiliki perasaan posi-
tif terhadap kelompok akan terlibat dalam berbagai kegiatan secara
teratur dan konsisten.
• Tahap Pengembangan Kelompok
Norma-norma, harapan-harapan, nilai-nilai dan tujuan-tujuan
kelompok akan muncul pada tahap ini, di mana akan mempe-
ngaruhi serta dipengaruhi oleh berbagai aktivitas serta ikatan relasi

yang berkembang dalam kelompok. Pekerja sosial pada tahap ini


sebagai pihak yang harus memainkan peranan aktif dalam men-
dorong kelompok mencapai berbagai tujuannya.
• Tahap Evaluasi dan Terminasi (pemutusan hubungan pelayanan)
Pada tahap evaluasi, dilakukukan pengidentifikasian atau pen-
gukuran terhadap proses dan hasil kegiatan kelompok secara
menyeluruh. Selanjutnya, setelah melakukan evaluasi dan monitor-
ing (diartikan sebagai pemantauan proses dan keberhasilan kelom-
pok yang dilakukan pada setiap tahap), dilakukanlah terminasi atau
pengakhiran kelompok. Terminasi dilakukan berdasarkan pertim-
bangan dan alasan sebagai berikut: (a) tujuan individu maupun
kelompok telah tercapai, (b) waktu yang ditetapkan telah berakhir,
(c) kelompok gagal mencapai berbagai tujuannya, dan (d) keber-
lanjutan kelompok dianggap dapat membahayakan satu atau lebih
anggota kelompok.
Kelima tahap ini berlangsung secara tersturktur dan saling terkait
satu sama lainnya di luar Panti, di mana menempatkan para pekerja
sosial sebagai perencana kegiatan terapi kelompok maupun sebagai
pengambil kebijakan demi lancarnya proses intervensi dalam bing-
kai terapi kelompok non Panti.

63
Pendekatan Pengorganisasian Masyarakat
Sebagai salah satu bentuk intervensi sosial di level Meso, pengorganisa-
sian masyarakat (community organization) boleh dikatakan menjadi pili-
han utama agenda peningkatan kesejahteraan sosial dalam kegiatan Pem-
bangunan Sosial di berbagai Negara Berkembang, terkhusus di Indonesia.
Menjadi pilihan utama dalam Pembangunan Sosial, ini lebih disebabkan
pengorganisasian masyarakat menempatkan kelompok sebagai agen per-
ubahan (agent of change), di mana kelompok ataupun lembaga ini menja-
di penghubung terhadap penyebaran nilai-nilai kemajuan di masyarakat
dan sebagai media pekerja sosial untuk melakukan intervensi pelayanan
sosial ke berbagai tingkatan masyarakat. Di sisi lain, perubahan sosial
melalui kemajuan teknologi dan komunikasi juga sangat di butuhkan oleh
kelompok-kelompok sosial tersebut, sebab dengan perubahan sosial me-
reka dapat menyerap inovasi dan perluasan akses agar tetap biasa survive
dengan segala tantangan yang ada, jadi dengan perubahan sosial mereka
tidak hanya sekadar menjadi perpanjangan tangan Pemerintah saja.
Sebagai agen perubahan, kelompok sosial adalah representasi mas-
yarakat yang telah diorganisir oleh pekerja sosial untuk mejalankan ide-
ide pembaharuan. Dalam hal ini Suharto (1997:273) mengatakan bahwa
terdapat beberapa alasan mengapa kelompok sosial dalam konteks peng-
organisasian masyarakat dianngap penting keberadaannya, di antaranya
bahwa kelompok dipandang sebagai agen perubahan dalam menyebarkan
nilai-nilai kemajuan. Selanjutnya adalah karena orang-orang yang terkait
dalam sebuah kelompok akan terlibat secara relasional, interaksi dan sa-
ling mempengaruhi satu dengan yang lain. Mereka akan saling berbagi
pengalaman, berbagi tujuan dan berbagi cara untuk mengatasi setiap ma-
salah sosial yang ada di sekitarnya. Selain itu, intervensi sosial terhadap
kelompok masyarakat merupakan metode yang lebih efisien bilamana di-
lihat dari segi waktu, tenaga dan biaya, sebab proses pemecahan masalah
umumnya dilakukan secara bersama-sama baik berupa diskusi maupun
sharing pendapat antar sesama anggota, sehingga seluruh aktivitas kelom-
pok sanggup dipantau oleh semua anggota.
Atas berbagai peran kelompok tersebut, menjadikan pengorganisasi-
an masyarakat berbeda dengan Terapi Kelompok. Apabila dalam terapi
kelompok kegiatan individu lebih dominan perannya ketimbang ke-
beradaan kelompok, maka sebaliknya yang ada dalam pengorganisasian

64
masyarakat, di mana peran kelompok jauh lebih dominan ketimbang ke-
beradaan individu. Lebih dominannya peran kelompok disebabkan oleh
mekanisme kolektivitas dan soliditas yang ada, di mana kedua mekanisme
ini lebih memprioritaskan tujuan kelompok ketimbang tujuan anggota-
nya. Atas dasar ini, asas kebersamaan dan partisipasi dalam berbagai
kepentingan sosial yang mendasari nilai-nilai kolektivitas dan soliditas
tersebut.
Pentingnya nilai kolektivitas dan soliditas (partisipasi) dalam kelom-
pok menjadikan anggotanya terlindungi dari berbagai krisis sosial yang
terjadi di masyarakat. Pada aspek ini menurut Murray G. Ross (1967) dan
dalam Firmansyah (2008) menyebutkan bahwa terdapat dua alasan yang
menyebabkan perlunya pengorganisasian masyarakat dihadirkan di seti-
ap proses intervensi sosial, yakni dengan alasan bahwa:
a. Masyarakat masih dalam posisi lemah, sehingga diperlukan wadah
yang sedemikian rupa agar dapat dijadikan wahana untuk perlind-
ungan dan peningkatan kapasitas “bargaining” atau memiliki nilai
tukar yang menguntungkan.
b. Kenyataan masih adanya ketimpangan dan keterbelakangan di ten-
gah-tengah masyarakat, di mana hanya sebagian kecil kelompok
yang menguasai atau memilki akses dan aset untuk bisa memper-
baiki keadaan, sementara sebagian besar kelompok yang lain tidak
memiliki. Kenyataan ini menjadikan pengorganisasian masyarakat
perlu dihadirkan sebagai alternatif yang paling memungkinkan
terlaksananya berbagai perbaikan keadaan. Tentu saja pengorgan-
isasian tidak selalu bermakna persiapan melakukan “perlawanan”
terhadap tekanan dari pihak-pihak tertentu, tetapi juga dapat di-
maknai sebagai upaya bersama dalam menghadapi masalah-mas-
alah kolektif seperti bagaimana meningkatkan produksi, memper-
baiki sarana dan prasaranan sosial ekonomi, dan hal lain dalam
peningkatan kesejahteraan sosial di masyarakat.

Dengan kedua alasan ini dapat dikatakan bahwa solusi dari berbagai per-
soalan sosial di masyarakat adalah terbentuknya pengorganisasian ma-
syarakat, baik berupa kelompok, organisasi dan lembaga, hal ini diasum-
sikan bahwa pengorganisasian masyarakat dianggap mampu mencairkan

65
berbagai perbedaan dan mampu meredam konflik kepentingan di tingkat
masyarakat. Asumsi ini tentunya dapat diwujudkan sepanjang 2 alasan di
atas diketengahkan pada kelompok sosial.
Berkaitan hal ini, upaya intervensi sosial pada level kelompok ma-
syarakat berujung pada menguatnya partisipasi masyarakat dan meluas-
nya jejaring sosial (networking) dalam sistem relasi yang ada. Intervensi
kelompok berkaitan erat dengan kepentingan masyarakat dalam mencip-
takan kesejahteraan sosial. Berkaitan hal ini, Toseland dan Rivas (1984:8-
9) dalam Firmansyah (2008) menyebutkan sedikitnya 6 aspek mengapa
kehadiran kelompok sosial itu penting dalam kegiatan intervensi sosial,
antara lain karena:
i. Kelompok memberi kesempatan pada anggotanya untuk saling
berbagi pengalaman, berkembang dan mengejar tujuan bersama,
belajar serta mendapatkan dukungan dari dari sesama anggota
kelompok.
ii. Kelompok menawarkan kesempatan untuk menata masalah in-
ternal dan eksternal yang terkait dengan perbedaan dalam prinsip
sesama anggota kelompok (entah perbedaan dalam hal politik, hu-
kum, sosial dan lai-lain), selain itu kelompok juga memberikan ke-
sempatan pada anggotanya untuk mengembangkan diri dan men-
coba berbagai keterampilan yang baru.
iii. Kadangkala kelompok dapat juga membantu mengurangi isolasi
sosial dan kesepian yang terjadi pada anggota kelompok dengan
cara meningkatkan kesempatan pada anggota kelompok tersebut
bertemu dengan anggota masyarakat yang lain yang belum pernah
dihubungi selama ini.
iv. Kelompok dapat menjadi sumber perubahan sosial yang sangat kuat
dan bermakna, di mana akan dapat membantu anggotanya menolak
paham yang sifatnya rasialis dan aspek sosial yang bersifat
diskriminasi. Kelompok dapat menjadi figur atau panutan terhadap
hal-hal yang membela minoritas, serta sumber daya yang dapat di-
gunakan untuk mengatasi kasus-kasus eksploitasi sosial maupun
tekanan politik yang terjadi di masyarakat.
v. Kelompok dapat menjadi sarana untuk mengembangkan kegiatan
ekonomi, sosial, politik dan lainnya.

66
vi. Kelompok dapat membantu masyarakat untuk menghubungkan
identitas personalnya dengan gerakan sosial yang lebih besar.

Keenam kepentingan kelompok ini memberi gambaran bahwa pengor-


ganisasian masyarakat berkorelasi dengan intervensi sosial melalui ke-
hadiran kelompok maupun lembaga. Korelasi ini menyangkut pada as-
pek: tujuan bersama, saranan dan prasarana kelompok, perluasan jejaring
sosial atau akses kelompok, serta menyangkut identitas kelompok.
Dalam Pembangunan kesejahteraan sosial, pengorganisasian mas-
yarakat menurut Adi (2008) bahwa ia sering didudukkan secara sejajar
dengan kegiatan pengembangan masyarakat atau Community Devel-
opment, di mana kedua dimensi disatukan dalam konsep tunggal yang
disebut Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat (PPM) atau
konsep COCD (Community Organisation and Community Development).
Pentingnya konsep ini karena pekerja sosial menempatkan masayarakat
sebagai sistem klien dan sistem lingkungan sosial sekaligus. Sangat di-
harapkan bila pengetahuan, nilai dan keterampilan yang harus dikuasai
oleh pekerja sosial adalah aspek-aspek tentang masyarakat, organisasi
sosial, perkembangan, perilaku manusia, dinamika kelompok, program
sosial dan pemasaran sosial. Akumulasi dari keseluruhan tugas PPM ini
adalah tercipnya pemberdayaan masyarakat melalui kelompok-kelompok
sosial yang merupakan hasil ciptaan dari pengorganisasian masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat berbicara mengenai kegiatan pemba-
ngunan sosial, di mana masyarakat melalui kelompok-kelompok sosialnya
berinisiatif untuk membenahi ataupun memperbaiki situasi dan kondisi
yang tidak sesuai harapan. Hasil perbaikan yang ditunggu-tunggu adalah
terbangunnya kemandirian dan keswadayaan dalam masyarakat tersebut.
Menurut Harris (2006), kemandirian masyarakat adalah berbagai ben- tuk
dan upaya yang menitikberatkan pada kemampuan memformulasi potensi
sumber daya yang ada di daerahnya dan mampu meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan masyarakat demi kemajuan bersama.
Sedangkan keswadayaan merupakan potensi dan kemampuan yang ada
dalam masyarakat, di mana kemampuan itu mampu mendayagunakan
berbagai sumber yang dimiliki demi mewujudkan kemandirian dalam
mengelolan sumber-sumber pembangunan. Secara sederhana, keswa-

67
dayaan masyarakan adalah sebagai upaya yang didasarkan atas keper-
cayaan dan kemampuan sendiri dan berdasarkan pada sumber daya yang
melekat pada masyarakat tersebut.
Dalam kajian masyarakat, menurut Aziz (2005:133) bahwa konsep
“pemberdayaan” (empowerment) merupakan antitesis dari konsep “pem-
bangunan” (development). Di mana konsep pembangunan lebih mencer-
minkan hadirnya model perencanaan dan implementasi kebijakan Pem-
bangunan yang sifatnya top-down atau dari atas ke bawah. Sedangkan
konsep “pemberdayaan” lebih bersifat bottom-up atau dari bawah ke atas
yang berbasis pada kepentingan dalam pemenuhan kebutuhan dasar ma-
syarakat. Adapun tujuan pemberdayaan kelompok sosial adalah mencari
langkah berkelanjutan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat yang
belum berdaya, sehingga memiliki kemampuan otonom dalam menge-
lola seluruh potensi sumber daya yang dimilikinya. Menurut Setiawan
(2011:27) bahwa tujuan pemberdayaan kelompok dapat dilihat dalam tiga
aspek kegiatan, yakni: Pertama, menciptakan suasana kondunsif atauiklim
yang memungkinkan dapat berkembangnya potensi yang dimiliki oleh
kelompok, sebab setiap kelompok sosial memiliki potensi yang dapat
dikembangkan. Untuk itu, pemberdayaan kelompok dilakukan untuk
mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan kemam-
puan potensi sumber daya yang dimilikinya dan mengembangkannya se-
cara produktif.
Kedua, pemberdayaan kelompok memperkuat potensi atau daya yang
dimiliki masyarakat. Hal ini dilakukan dengan memberi masukan berupa
bantuan dana, pembangunan prasarana dan sarana pendukung, baik fisik
maupun sosial, serta mengembangkan kelembagaan pendanaan, pene-
litian dan pemasaran di daerah, serta dengan memberikan kemudahan
akses dan berbagai peluang yang akan membantu kelompok sosial sema-
kin berdaya. Ketiga, melindungi kelompok ataupun masyarakat melalui
pemihakan kepada masyarakat yang lemah untuk mencegah persaingan
yang tidak seimbang antara masyarakat yang berdaya dan kurang berdaya
melalui program yang bersifat pemberian yang dalam pelaksanaannya
harus diarahkan pada pemberdayaan masyarakat, bukan malah mem- buat
kelompok masyarakat bergantung, prinsipnya bahwa setiap apa yang
dinikmati maka harus dihasilkan dari usaha sendiri.
Dalam kegiatan pekerjaan sosial, aktivitas pekerja sosial dalam pem-

68
berdayaan kelompok sosial umumnya melalui program pendampingan.
Kegiatan pendampingan terhadap kelompok yang ada di masyarakat
lazimnya diawali oleh kegiatan kerja para LSM (lembaga swadaya mas-
yarakat) yang menangani berbagai program pemberdayaan sosial da-
lam bingkai Pembangunan sosial kemasyarakatan. Para LSM umumnya
terdiri dari pekerja sosial yang berdomisili dan khusus bekerja di dalam
masyarakatnya, adapun sasaran tugasnya adalah menyukseskan program
pembangunan melalui pemberdayaan (empowerment) masyarakat. Salah
satu tujuan pendampingan kelompok tersebut adalah mempercepat pro-
ses Pembangunan sosial tersebut melalui penguatan kelompok-kelompok
sosial, berupa intervensi pada penguatan sistem manajeman usaha, inter-
vensi pada perluasan akses fasilitas permodalan dari sistem perbankan,
dan penanaman terhadap pentingnya nilai-nilai kewirausahaan dalam
kelompok masyarakat tersebut.
Program pendampingan dapat dipahami sebagai kegiatan pember-
dayaan masyarakat dengan menempatkan pekerja sosial sebagai tenaga
pendamping, baik dia sebagai fasilitator, komunikator, motivator mau-
pun dinamisator Pembangunan. Pada dasarnya, program pendamping-
an merupakan upaya untuk menyertakan masyarakat dan stakeholders
dalam mengembangkan berbagai potensi, sehingga pihak-pihak tersebut
mampu mencapai kualitas kehidupan yang lebih baik. Selain itu diarah-
kan juga untuk dapat memfasilitasi proses pengambilan keputusan yang
terkait dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat, membangun kemam-
puan dalam meningkatkan pendapatan masyarakat, serta melaksanakan
usaha yang berskala bisnis (mikro maupun makro usaha) serta mengem-
bangkan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan partisipatif dalam setiap
upaya-upaya sosial ekonomi.
Pengembangan program pada penguatan kelembagaan dan mana-
jemen kelompok nelayan misalnya, program pendampingan ini diarah-
kan untuk memaksimalkan manfaat dari potensi daerah dan masyarakat
lokal. Program ini bukan merupakan program yang berdiri sendiri, na-
mun justru melalui program inilah diharapkan dapat dipadukan berbagai
program sektoral maupun regional yang diarahkan untuk pembangunan
wilayah dan masyarakat desa. Dengan demikian dampak positif dari prog-
ram ini akan semakin besar dan pada akhirnya persoalan kemiskinan dan
keterbelakangan pada kelompok nelayan secara berangsur-angsur dan pasti

69
dapat ditanggulangi. Sebagai suatu program yang strategis dan koordina-
tif, dalam pelaksanaan program ini harus dipupuk dan dibina semangat
kebersamaan yang tinggi di antara berbagai pihak yang terkait, baik yang
berkedudukan “membantu” maupun yang “dibantu” yaitu penduduk desa
itu sendiri, termasuk generasi muda dan para kelompok-kelompok ne-
layan.
Hasil penelitian pada tahun 2015 tentang keberhasilan pember-
dayaan masyarakat yang dilakukan oleh pekerja sosial selaku Pendam-
ping pada kelompok nelayan tradisional di Galesong Utara Kabupaten
Takalar Provinsi Sulawesi Selatan, memperlihatkan bahwa ide-ide pem-
berdayaan masyarakat memang sanggup membenahi dan meningkat-kan
kondisi sosial ekonomi masyarakatnya, di mana 7 kelompok nelayan
tradisonal tersebut mampu memformulasi potensi sumber daya yang ada
di daerahnya dengan mendayagunakan usaha di luar dunia pernelayanan.
Dengan bimbingan pekerja sosial, para ibu-ibu nelayan dan remajanya
selama kurun waktu 5 tahun telah berhasil melakukan diversifikasi usaha
nelayan, yakni dari usaha pengelolaan ikan tangkap ke usaha non-ikan, di
mana mulai dari kegiatan perdagangan (seperti pembukaan kios-kios
bahan kebutuhan rumah tangga dan usaha kuliner kelas rumah tangga),
usaha perbengkelan (perahu dan motor roda dua), usaha jasa ojek, hing-
ga usaha ke berbagai budi daya ikan hidup yang sedianya di ekspor ke
berbagai negara. Di sisi lain, efek keberhasilan pemberdayaan partisipasi
kelompok nelayan tersebut ternyata berbanding lurus dengan makin an-
tusiasnya pihak perbankan dan lembaga donor lainnya (investor) dalam
memberikan bantuan modal usaha bergulir dan bantuan modal jangka
pendek, demikian halnya pemberian bantuan berupa perluasan usaha
dengan pelibatan investor dalam penyediaan peralatan alat tangkap ikan
dan kesediaan membeli hasil tangkap para nelayan tradisional tersebut.
Keberhasilan kelompok nelayan di atas menunjukkan pentingnya
pengorganisasian masyarakat sesering mungkin merancang lahirnya
kelompok-kelompok strategis yang di arahkan tidak hanya menangani
pemberdayaan ekonomi masyarakat saja namun juga menangani ber-
bagai permasalahan sosial lainnya dari efek ketimpangan sosial ekonomi
di masyarakat. Menurut Budiman (2012) bahwa sedikitnya ada 3 ala-
san mengapa kelompok-kelompok strategis itu mesti di bentuk, di an-
taranya adalah karena: (a) memperjuangkan kepentingan ekonomi, ya-

70
itu langsung berhubungan dengan kepentingan usaha para anggotanya
(misalnya kelompok usaha bersama/KUB, koperasi, lembaga keuangan
mikro); (b) memperjuangkan kepentingan anggota yang senasib atau
setujuan (misalnya himpunan/serikat nelayan, perkumpulan wanita ne-
layan); dan (c) memperjuangkan kelestarian sumberdaya alam (misalnya
kelompok pelestari terumbu karang, kelompok masyarakat pengawas
hutan bakau, kelompok pengawas daerah perlindungan laut, himpunan
pecinta laut bersih). Salah satu wujud alasan tersebut adalah kehadiran
kelompok nelayan tradisional yang ada di Galesong Utara Kabupaten
Takalar Provinsi Sulawesi Selatan.

Intervensi Sosial di Level Makro


Mungkin tidak asing lagi di mata kita bila melihat program-program Pe-
merintah seperti BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), RASKIN
(Beras Miskin), PKH (Program Keluarga Harapan), PNPM (Program Na-
sional Pemberdayaan Masyarakat) dan program BOS (Bantuan Opera-
sional Sekolah). Boleh dikatakan bahwa beberapa program Pemerintah
ini adalah sedikit dari sekian banyak program Pemerintah yang berkepen-
tingan langsung dengan masalah kesejahteraan sosial masyarakat secara
keseluruhan. Berbagai program ini juga sebagai perwujudan dari inter-
vensi sosial di level Makro yang mudah dijumpai di mana-mana, bersifat
massif, menggunakan anggaran yang sangat besar dan penanganannya
melibatkan banyak pihak.
Sebagai program yang dinanti banyak pihak, intervesni sosial di
level Makro dikelola dengan penuh perhitungan dan strategis. Atas per-
timbangan demikian menurut Jack Rothman dan Tropman (1995) bahwa
intervensi makro (komunitas) adalah bentuk intervensi yang berpatok-
an pada kebijakan sosial dan perencanaan sosial dalam memberdayakan
masyarakat luas. Sedangkan menurut DuBois & Miley (2014) bahwa,
intervensi di level makro dalam pekerjaan sosial meliputi kegiatan pada
lingkungan, komunitas dan masyarakat untuk menciptakan perubahan
sosial di dalamnya. Selanjutnya menurut DuBois & Miley bahwa dalam
praktik pekerjaan sosial intervensi makro memerlukan pengetahuan
tentang standar nilai tentang komunitas serta ketrampilan dalam me-
mobilisasi berbagai kebutuhan komunitas sebagai solusi pemecahan ma-

71
salahnya. Sedangkan menurut Zastow & Ashman (2004:12-13), menyebut
intervensi makro adalah mengenai sistem yang besar dari masalah yang
juga besar, oleh karenanya orientasi intervensi makro umumnya berfokus
pada kondisi sosial, politik, dan kondisi ekonomi, di mana peran kebijak-
an berpengaruh besar terhadap berbagai kondisi tersebut, dalam rangka
mengakses sistem sumber yang ada dan hidup yang berkualitas.
Dari berbagai definisi di atas dapat dikatakan bahwa dalam pena-
nganan masalah kesejahteraan sosial, kegiatan intervensi makro umumn-
ya didasari oleh dimensi kebijakan sosial dan perencanaan sosial sebelum
membuat agenda penting berukutnya. Kedua dimensi ini dibutuhkan se-
lain sebagai landasan hukum dalam menggerakkan masyarakat (publik)
dalam berbagai kegiatan kesejahteraan sosial, juga sebagai bentuk tang-
gung jawab administrasi dalam pengelolaan dana maupun kegiatan yang
melibatkan pihak lain dalam Pembangunan Sosial dan Pemberdayaan
Masyarakat.Oleh sebab itu Isbandi Rukminto Adi (2008) menyebut in-
tervensi makro sebagai intervensi komunitas dalam menjelaskan Pemba-
ngunan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat.
Menurut Adi (2008:105-106) bahwa ada berbagai term yang digu-
nakan dalam dunia Ilmu Kesejahteraan Sosial sehingga intervensi makro
terintrodusir menjadi intervensi komunitas, di antaranya adalah makna
dari penempatan kata Community Work dan Community Organization
atau praktik pengorganisasian dan pengembangan masyarakat yang ban-
yak digunakan di Amerika Serikat, Inggris dan Australia, seperti yang
digunakan Thorpe (1985), Mayo (1994), Popple (1995), Tropman (1995)
dan Erlich (1987), di mana mereka menempatkan masyarakat dalam
konteks yang besar, spesifik dan fungsional, baik dalam jumlah maupun
wilayahnya. Sedangkan di Indonesia menurut Adi (2008) bahwa termi-
nologi komunitas umumnya dihadirkan dalam pembahasan pengorgani-
sasian dan pengembangan masyarakat. Dengan demikian, secara konsep-
sional menurut Rukminto Adi, bahwa kata kerja dari intervensi makro
adalah intervensi komunitas, di mana pengertian komunitas juga dapat
mengacu pada penegrtian komunitas dalam arti komunitas lokal, seperti
apa yang dikemukakan oleh Kenneth Wilkinson (1991) dalam Green dan
Haines (2002:4) dan dalam Rukminto Adi (2008:117).
Keberadaan kata komunitas di balik aktivitas intervensi makro tidak
terlepas dari unsur-unsur yang menjadi batasan pengertian komunitas.

72
Menurut Wilkinson (1991), Green dan Haines (2002:4) dan dalam Adi
(2008:118) bahwa, bila kita ingin menganalisis tentang komunitas (dalam
ranah intervensi makro) maka sekurang-kurangnya ada tiga unsur dasar
yang meliputinya, yaitu: (1) Adanya batasan tentang wilayah atau tempat
(territory or place); (2). Merupakan suatu ‘organisasi sosial’ atau institu-
si sosial yang menyediakan kesempatan untuk para warganya agar dapat
melakukan interaksi antarwarga secara reguler; dan (1) Interaksi sosial
yang dilakukan terjadi karena adanya minat ataupun kepentingan yang
sama (common interest).
Menurut Adi (2008) bahwa agar lebih kuat pemahaman kita tentang
intervensi komunitas maka ketiga batasan di atas sebaiknya ditambahkan
dengan temuan Murray Ross (1967) dan dalam Adi (2008:118) tentang
pemahaman fungsional dalam komunitas, di mana penempatan konsep
komunitas itu disatukan oleh bidang pekerjaan mereka dan bukan seka-
dar keberadaan lokalitasnya saja. Menurut Adi (2008) bahwa di Indonesia
dapat kita temui komunitas yang disatukan dalam organisasi profesi, ini
seperti: komunitas pekerja sosial, komunitas dokter, komunitas pengaca-
ra, komunitas perawat, dan komunitas psikolog ataupun komunitas fung-
sional berdasarkan latar belakang kondisi sosialnya, misalnya, komunitas
pedagang asongan, komunitas pengamen, komunitas pengemis, komu-
nitas gelandangan, komunitas jompo, komunitas PSK dan berbagai ben-
tuk komunitas yang ada dalam 26 bentuk PMKS (Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial). Komunitas juga dapat dimaknai sebagai simbol
latar belakangnya. Anak pengemis misalnya, menurut Adi (2008) bahwa
meskipun terlihat seorang diri sedang mengemis namun sebenarnya me-
rupakan bagian dari suatu komunitas pengemis, di mana mereka mempu-
nyai aturan main yang disepakati berdasarkan hasil konsensus dan kon-
flik dalam komunitas mereka.
Terbentuknya pola-pola komunitas di atas ini sangat berkaitan erat
dengan efek dari internalisasi teori pengorganisasian dan pengembangan
masyarakat dalam intervensi makro. Boleh dikatakan bahwa pengorga-
nisasian masyarakat telah mengorganisir sedemikian rupa berbagai per-
masalahan sosial yang berkembang di masyarakat menjadi sebuah komu-
nitas atau variabel, hal ini agar komunitas tersebut mudah dikenali dan
diidentifikasi bentuk dan sifatnya (Murray G. Ross : 1967). Apabila telah
dikenali bentuk dan sifatnya maka akan lebih mudah dilakukan proses

73
asessmen untuk mencari solusi dalam proses penyelesaian masalahnya.
Pada tahap inilah ide-ide pengembangan masyarakat dilibatkan secara
penuh dan konsisten, baik itu melalui konsep pemberdayaan masyarakat
(dengan upaya-upaya pendampingan sosial) maupun konsep partisipasi
masyarakat lainnya yang mengarah pada optimalisasi keberfungsian so-
sial masyarakat.
Setelah menjelaskan peran penting teori pengorganisasian dan
pengembangan masyarakat dalam intervensi makro (intervensi komuni-
tas) tersebut Rothman dkk (1995) membuat tiga model dalam menjawab
persoalan yang muncul pada isu pengorganisasian dan pengembangan
masyarakat, ketiga model intervensi tersebut yakni: (1) Pengembangan
masyarakat lokal (locality development), di mana arah pengembangan leb-
ih mengutamakan pemberdayaan masyarakat yang berbasis kearifan lo-
kal; (2) Perencanaan dan kebijakan sosial (social planning/policy), di mana
proses pembuatannya melibatkan seluruh komponen masyarakat; dan (3)
Gerakan sosial atau aksi sosial (sosial action), model ini lebih ke aksi-aksi
pembelaan masyarakat yang termarjinalkan dan diperlakukan secara ti-
dak adil oleh Pembangunan.
Untuk menguji tiga model intervensi makro (intervensi komunitas)
Rothman (1987 dan 1995) menggunakan dua belas variabel dalam men-
gevaluasi tingkat singkronisasi dari masing-masing model, yakni: model
A membahas tentang Pengembangan masyarakat lokal (locality develop-
ment), model B membahas tentang Perencanaan dan kebijakan sosial (so-
cial planning/policy), dan Model C tentang Gerakan sosial atau aksi sosial
(sosial action), ke dua belas varibel gambarannya sebagai berikut:
• Kategori tujuan tindakan terhadap masyarakat.
• Asumsi mengenai struktur komunitas dan kondisi permasalahan-
nya.
• Strategi dasar dalam melakukan perubahan.
• Karakteristik taktik dan teknik perubahan.
• Perubahan praktisi yang menonjol.
• Media perubahan.
• Orientasi terhadap struktur kekuasaan.

74
• Batasan definisi penerima layanan (Beneficiaries).
• Asumsi mengenai kepentingan dari kelompok-kelompok di dalam
suatu komunitas.
• Konsepsi mengenai penerima layanan (Beneficiaries).
• Konsepsi mengenai peran penerima layanan (Beneficiaries).
• Pemanfaatan pemberdayaan.

Kedua belas variabel ini ditentukan oleh Rothman (1995) berdasarkan


proposisi yang diturunkan dari teori pengorganisasian masyarakat dan
pengembangan masyarakat, di samping itu beberapa variabel diadopsi
dari temuan ahli kesejahteraan sosial yang lainnya dan dari kegiatan prak-
tik pekerjaan sosial. Dalam Adi (2008) menjelaskan bahwa fungsi kedua
belas variabel ini adalah menjadi ukuran dasar dalam mengetahui ketepa-
tan kerja komponen-komponen yang ada dalam tiga model intervensi ko-
munitas. Untuk mengetahui lebih jauh tentang peran dan fungsi 3 model
intervensi komunitas ini maka sub bab berikut akan menjelaskannya.

Pengembangan Masyarakat Lokal (Locality Development)


Model yang pertama ini berbicara tentang bagaimana masyarakat lokal
dapat maju berdasarkan kekuatan atau kemampuannya sendiri melalui
spirit kearifan lokal dan semangat nilai sosial budayanya masyarakat
sendiri. Hal ini sebagaimana pendapat Rothman (1995) bahwa pengem-
bangan masyarakat lokal adalah suatu proses yang ditujukan untuk men-
ciptakan kemajuan sosial dan ekonomi bagi masyarakat melalui par-
tisipasi aktif serta inisiatif dari masyarakat itu sendiri. Dalam dimensi
demikian, menurut Rothman (1995) bahwa anggota masyarakat bukanlah
sebagai klien yang bermasalah melainkan sebagai bagian dari masyarakat
yang memiliki keunikan dan memiliki potensi yang belum sepenuhnya
dikembangkan. Inti dari proses pengembangan masyarakat lokal adalah
pengembangan kepemimpinan lokal, peningkatan strategi kemandirian,
jaringan informasi, komunikasi, jaringan relasi dan bentuk-bentuk keter-
libatan anggota masyarakat dalam proses Pembangunan.
Model pembangunan masyarakat lokal (localitity development)
memberikan penekanan pada membangun kapasitas masyarakat, in-

75
tegrasi sosial dan solidaritas masyarakat dalam rangka pemecahan ma-
salah sosial. Intervensi ini dilakukan melalui memberikan kesempatan
pada masyarakat untuk berpartisipasi luas dalam menentukan tujuan dan
tindakan yang dilakukan. Menurut pendapat Rothman (1995) dan Adi
(2008) bahwa sebagaimana karakter intervensi komunitas yang berjum-
lah 12 varibel maka jumlah karakteristik dari model intervensi pengem-
bangan masyarakat lokal juga terdiri atas 12 karakter, diantaranya sebagai
berikut:
• Tujuan dari pengembangan masyarakat ditekankan terhadap pro-
cess goal, di mana masyarakat diintegrasikan dan dikembangkan
kapasaitasnya dalam upaya memecahkan masalah mereka secara
kooperatif berdasarkan kemauan dan kemampuan menolong diri
sendiri sesuai dengan pinsip-prinsip demokratis.
• Keberadaan masyarakat lokal sering tertutupi oleh mayarakat yang
lebih luas, dan sering terjadi kesenjangan sosial antar relasi priba-
di dalam satu komunitas sehingga memunculkan anomi sosial dan
keterasingan bahkan kelainan jiwa.
• Menurut Adi (2008) bahwa alternatif yang lain mengenai karakter
ini adalah, komunitas seringkali di pandang sebagai ikatan tra-
disional yang dipimpin oleh kelompok kecil pemimpin-pemimpin
konvensional (small group of conventional leaders); dan terdiri dari
populasi yang buta huruf (illiterate population) dan mempunyai ke-
senjangan dalam keterampilan memecahkan serta pemecahan me-
ngenai proses demokrasi.
• Strategi yang digunakan dalam melakukan perubahan dalam ma-
syarakat yaitu dengan melibatkan peran anggota komunitas untuk
memecahkan masalah dan menentukan kebutuhan.
• Menurut Adi (2008) bahwa dalam pengembangan masyarakat lokal,
pola strategi perubahannya dicirikan kolektivitas, dengan ungkapan
“marilah kita bersama-sama membahas masalah ini”. Dari ungkap-
an ini terlihat adanya upaya mengembangkan keterlibatan warga se-
banyak mungkin dalam upaya menentukan kebutuhan yang mereka
rasakan (felt needs) dan memecahkan masalah mereka.
• Taktik yang digunakan untuk melakukan perubahan sosial adalah
taktik konsensus, atau taktik yang dilakukan dengan cara komu-

76
nikasi dan proses diskusi dengan melibatkan berbagai individu,
kelompok maupun faksi-faksi yang ada dalam kelompok.
• Menurut Adi (2008) bahwa taktik dalam pembangunan masyarakat
lebih ditekankan pada pencapaian konsensus atau kesepakatan. Hal
ini biasanya dilakukan melalui komunikasi dan proses diskusi yang
melibatkan berbagai macam individu, kelompok, maupun faksi
(factions). Dalam hal ini Blakely (1990) juga menekankan penting-
nya teknik-teknik deliberative dan kooperatif ini pada penerapan
pengembangan masyarakat lokalkarena hal ini membedakan pe-
ranannya dengan peranan seorang activist (yang lebih berorientasi
pada aksi sosial), di mana mereka dominan lebih menekankan pada
pendekatan konflik.
• Pada pengembangan masyarakat lokal, peranan yang dilakukanoleh
community worker ataupun para praktisi lebih banyak mengacupada
peran enabler (Biddle menyebutnya berperan sebagai encour-ager).
Sebagai enabler seorang community worker membantu ma-
syarakat agar dapat mengartikulasikan kebutuhan mereka; meng-
identifikasikan masalah mereka; dan mengembangkan kapasitas
mereka agar dapat menangani masalah yang mereka hadapi secara
lebih efektif.
• Media (medium) perubahannya adalah melalui penciptaan (kreasi)
dan manipulasi (dalam arti positif) kelompok-kelompok kecil yang
berorientasi pada tugas (small task-oriented groups). Hal ini tentu-
nya membutuhkan kemampuan untuk membimbing kelompok ke
arah penemuan dan pemecahan masalah secara kolaboratif (dengan
cara bekerja sama).
• Pada pengembangan masyarakat lokal struktur kekuasaan sudah
tercakup di dalam konsepsi mengenai komunitas itu sendiri. Setiap
segmen komunitas dianggap sebagai bagian dari sistem klien. Se-
lain itu, anggota-anggota yang berada di struktur kekuasaan ditem-
patkan pada posisi sebagai kolaborator dari ventura yang bersifat
umum. Oleh karena itu, sebagai konsekuensinya, hanya aspek tu-
juan yang dapat memunculkan kesepakatan yang saling mengun-
tungkan (mutual agreement) yang dapat diterima dan relevan, se-
dangkan tujuan yang terlalu mencerminkan minat dan kepentingan

77
segmen tertentu seringkali tidak dapat diterima.
• Klien dari pengembangan mmasyarakat lokal adalah total komuni-
tas yang berada dalam satuan geografis (seperti, rukun warga, desa,
dan kota), di mana mereka dalam kesatuan tersebutlah yang menja-
di klien dari community worker.
• Dalam pengembangan masyarakat lokal, berbagai kepentingan
kelompok dan faksi dalam masyarakat dilihat secara mendasar me-
rupakan permufakatan yang responsif terhadap pengaruh dari per-
suasi yang rasional, komunikasi, dan niat baik bersama. Pengem-
bangan masyarakat ini bersifat humanistik dan mereka berasumsi
bahwa mereka akan mampu menangani masalah yang mereka ha-
dapi dengan melalui upaya berkelompok (hal ini tentunya membu-
tuhkan kejujuran dalam berkomunikasi dan memberikan umpan
balik). Kepentingan dari masing-masing kelompok pada model A,
seolah-olah sudah membaur.
• Dalam pengembangan masyarakat lokal, klien dipandang sebagai
warga yang sederajat yang memiliki kekuatan-kekuatan yang perlu
diperhatikan, tetapi belum semuanya dapat dikembangkan dengan
baik. Praktisi di sini berusaha mengembangkan apa yang belum
dikembangkan secara optimal tersebut dengan memfokuskan pada
kemampuan (capability) klien. Dari pandangan ini terlihat bahwa
setiap warga adalah sumber daya (aset) yang berharga.
• Peran klien dalam pengembangan masyarakat lokal ini dikonsep-
sikan sebagai bentuk partisipasi aktif dalam proses interaksional
para warga satu dengan lainnya, juga dengan para community work-
er di wilayahnya. Penekanan utama diberikan pada kelompok da-
lam masyarakat (komunitas), di mana mereka bersama berusaha
belajar dan mengembangkan diri.

Keduabelas karakter pengembangan masyarakat lokal ini telah banyak di-


jadikan referensi oleh berbagai NGO atau lembaga sosial lainnya dalam
menjalankan program-program pemberdayaan masyarakat, demikian
halnya dijadikan landasan konsepsi oleh kalangan akademisi dalam me-
rumuskan hasil penelitiannya yang menyangkut upaya-upaya pengem-
bangan masyarakat lokal di berbagai tempat.

78
Salah satu di antaranya hasil penelitian Mia Ali (2014) dari STIA
LAN Makassar dengan judul “Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Salah
Satu Usaha Menumbuhkan Peran Aktif Masyarakat Dalam Pembangunan
Di Kabupaten Enrekang”. Peneliti mengamati kegiatan Pendampingan so-
sial yang dilakukan oleh Pemerintah setempat (pekerja sosial masyarakat)
terhadap Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDL) yang dilakukan oleh
warga masyarakat dan para Pendamping di Kecamatan Cendana Kabu-
paten Enrekang. Salah satu rekomendasi penelitian ini adalah penye-
diaan energi Gas atau Biogas yang bersumber dari kotoran hewan sapi
dan kerbau dalam mengatasi kelangkaan bahan bakar minyak bumi.
Menurut peneliti bahwa warga masyarakat benar-benar merasakan hasil
pemberdayaan tersebut, di mana di samping memperoleh pengetahuan
baru tentang pembuatan Biogas dan pemanfaatannya, juga memperoleh
keuntungan ekonomi dalam pengelolaan Biogas serta sanggup menghe-
mat pengeluaran ekonomi rumah tangga.
Secara realitas menurut peneliti bahwa teknologi dan produk Bio-
gas tersebut adalah hal baru bagi masyarakat, petani dan peternak di Ka-
bupaten Enrekang. Pemanfaatan kotoran ternak sebagai sumber energi,
pada kenyataannya tidak mengurangi jumlah pupuk organik yang ada
dalam kotoran ternak tersebut. Hal ini karena pada pembuatan Biogas
kotoran ternak yang sudah diproses dikembalikan ke kondisi semula yang
diambil hanya gas metana (CH4) yang digunakan sebagai bahan bakar.
Kotoran ternak yang sudah diproses pada pembuatan biogas dipindah-
kan ke tempat lebih kering, dan bila sudah kering dapat disimpan dalam
karung untuk penggunaan selanjutnya.
Menurutnya, energi Biogas memberikan solusi terhadap masalah
penyediaan energi di Cendana dengan harga murah dan tidak mencemari
lingkungan. Melihat dari keuntungan pengunaan dari Biogas masyarakat
di Kecamatan Cendana dan bekerjasama dengan berbagai pihak (salah
satu diantaranya pihak dari Universitas Negeri) untuk membangun pu- sat
percontohan penggunaan biogas untuk kebutuhan rumah tangga dan
industri makanan seperti industri pembuatan dangke yang merupakan
makanan khas Kabupaten Enrekang yang terbuat dari susu sapi atau ker-
bau serta makanan ini adalah satu-satunya yang ada di Sulawesi Selatan.
Tetap tersedianya bahan baku gas berupa kotoran ternak tidak
diragukan lagi sumbangsihnya, sebab ternak-ternak tersebut berkaitan

79
erat dengan industri makanan Dangke yang diminati oleh sebagian besar
orang Enrekang. Para industri pembuatan dangke biasanya memiliki seki-
tar lima sampai sepuluh ekor sapi yang menghasilkan susu sebagai bahan
baku utama dangke serta kotoran sapi yang nantinya menjadi biogas yang
di gunakan untuk pengelolah susu menjadi dangke. Konsep ini di nilai
sangat mengutungkan pengusaha industri pangan dangke karena dapat
mengurangi biaya produksi serta tidak membutuhkan lagi biaya untuk
bahan bakar dan sangat ramah lingkungan karena tidak menghasilkan
pencemaran seperti penggunaan minyak.

Perencanaan dan Kebijakan Sosial (Social Planning/Policy)


Perencanaan maupun kebijakan yang datangnya dari masyarakat itu
sendiri sangat diharapkan dalam model ini, hal tersebut berguna untuk
memecahkan masalah secara tepat dan realistis. Menurut Rothman (1995)
bahwa seorang perencana atau tenaga ahli biasanya bekerja sebagai pega-
wai pada suatu bagian dari struktur kekuasaan, seperti di pemerintahan,
suatu yayasan, lembaga dan sebagainya. Karena dia bekerja sebagai pega-
wai pada bagian perencana di Pemerintahan, maka ada kecenderungan
untuk lebih mengutamakan berbagai kepentingan Pemerintah terhadap
keberlangsungan program-programnya di masyarakat. Namun di sisi lain
upaya-upaya yang mengutamakan kemampuan masyarakat, pada umum-
nya kurang mendapat perhatian, hal kurang perhatian inilah yang menja-
di inti bahasan dalam model ini.
Peranan perencanaan dalam model ini meliputi pengumpulan data
dan fakta, menganalisis data dan bertugas sebagai perancang program Pe-
merintah. Partisipasi masyarakat dalam model ini lebih bervariasi sifat-
nya, hal itu mulai yang dari ukuran kecil hingga menengah dan mendekati
cukup, tergantung dari sikap masyarakat terhadap masalah yang ingin
dipecahkan bersama. Fokus utama dari model ini terletak pada upaya
untuk mengidentifikasikan kebutuhan masyarakat serta melakukan pe-
rancangan pemberian pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kebu-
tuhannya.Tema sentral dari model ini menurut Rothman (1995) adalah
“dapatkanlah data, kemudian lakukan tindakan di tahapan berikutnya
secara rasional”.
Dengan demikian, perencanaan sosial dalam model intervensi ko-

80
munitas ini lebih berorientasi pada tugas, di mana keterlibatan masyarakat
dalam proses pembuatan kebijakan lebih diprioritaskan, namun menurut
Rothman (1995) bahwa penentuan tujuan dan pemecahan masalah bu-
kan merupakan prioritas utama, karena pengambilan keputusan dilaku-
kan oleh pekerja sosial yang mewakili lembaganya di pemerintahan atau
swasta (LSM). Pekerja sosial bertugas melakukan penelitian, menganalisa
masalah dan kebutuhan masyarakat, identifikasi masalah, melaksanakan
dan mengevaluassi program pelayanan kemanusiaan. Karakteristik yang
melekat pada model intervensi komunitas model perencanaan dan ke-
bijakan sosial menurut Rothman (1995) dan dalam Adi (2008:122-138)
adalah sebagai berikut:
• Tujuan dari model intervensi komunitas ini lebih ditekankan pada
task goal, yaitu menekankan pada penyelesaian tugas-tugas atau
pemecah masalah yang mengganggu fungsi sistem sosial. Pen-
goorganisasian perencanaan sosial berhubungan dengan masalah-
masalah yang konkret dalam masyarakat (concrete social problems).
dan nama-nama bagian (department) mereka juga mencirikan hal
ini, misalnya: Departemen Kesehatan; Direktorat Penyalahgunaan
Obat dan Narkotika; Otorita Perumahan dan Perencaan Kota; dan
lain sebagainya
• Praktisi perencana sosial melihat komunitas yang memiliki masalah
sosial utama yang dialami oleh anggota komunitas tersebut. Per-
masalahan yang ada dalam komunitas berupa permasalahan sosial
umum seperti kesehatan jiwa, perawatan lansia, remaja penganggur-
an dan lain-lain menyangkut masalah sosial.
• Strategi yang dilakukan perencana sosial dalam melalkukan peru-
bahan yaitu berusaha untuk mengumpulkan fakta-fakta mengenai
masalah yang dihadapi masyarakat sebelum melakukan perubahan
(tindakan rasional yang tepat dilakukan).
• Di samping itu, strategi dasar dari model ini tergambar dalam ung-
kapan “marilah kita kumpulkan fakta dan lakukan langkah-langkah
logis berikutnya”. Dengan kata lain, seorang perencana biasanya ber-
usaha untuk mengumpulkan fakta-fakta mengenai masalah yang
dihadapi sebelum mereka memilih tindakan yang rasional dan tepat
dilakukan (rational and feasible). Partisipasi dalam model B tidak

81
‘sekental’ pada pengembangan masyarakat (model A). Perencana
dalam strategi pengumpulan dan penganalisisan data (fakta) bisa
saja menggunakan tenaga di luar komunitas tersebut, begitu pula
dalam upaya mengembangkan program dan kegiatan yang akan
dilakukan. Meskipun demikian, mereka tetap mendasari tugasnya
berdasarkan fakta dari masyarakat tersebut.
• Teknik yang dilakukan dalam perencanaan sosial adalah teknik un-
tuk mengumpulkan data dan ketrampilan menganalisis. Kemudian
taktik yang digunakan yaitu konsensus atau konflik mungkin saja
diterapkan, tetapi itu semua tergantung dengan hasil analisis peren-
cana tersebut terhadap situasi yang ada.
• Peran praktisi dalam perencanaan sosial adalah sebagai expert.
Peran ini menekankan terhadap penemuan fakta, implementasi, dan
relasi berbagai macam birokrasi, serta tenaga professional dari
berbagai disiplin.
• Ross (1967) melihat bahwa peran sebagai expert (pakar), setidak-ti-
daknya terdiri dari beberapa komponen yakni sebagai berikut: (1)
Kemampuan mendiagnosis komunitas; (2) Keterampilan melaku-
kan penelitian; (3) Mempunyai informasi mengenai komunitas yang
lain; (4) Dapat mengembangkan saran terhadap metode dan
prosedur organisasi; (5) Mengetahui informasi teknis; dan (6) Mem-
punyai kemampuan mengevaluasi.
• Sedangkan media (medium) perubahan yang digunakan untuk
melakukan perubahan adalah memanipulasi organsasi, seperti
pengumpulan data dan analisis data. 6
• Pada Perencanaan Sosial, struktur kekuasaan biasanya muncul se-
bagai sponsor atau “Boss” (employer) dari praktisi (para perencana).
Oleh karena itu, Morris dan Binstock menyatakan bahwa sangatlah
sulit bagi seseorang untuk membedakan antara para perencana de-
ngan organisasi yang mempekerjakannya.
• Selanjutnya, para perencana biasanya merupakan tenaga profesio-
nal yang terlatih dengan baik, di mana dalam memberikan layanan
ia membutuhkan dukungan perangkat keras dan perangkat lunak,
serta bantuan dana dan fasilitas. Biasanya seorang perencana hanya
bisa mendapat dukungan itu dari orang yang memiliki kekuasaan.

82
Oleh karena itu, Martin Rein menyatakan bahwa dalam banyak pe-
rencanaan perlu dilakukan konsensus dengan kelompok elite (se-
bagai employer dan pembuat kebijakan dalam perencanaan organi-
sasi). Konsensus ini biasanya baru dapat tercapai bila ada dukungan
data yang faktual (perencana sangat mementingkan data yang fak-
tual).
• Klien dari perencana sosial bisa merupakan kesatuan geografis
(misalnya desa, kota), tetapi dapat pula merupakan kesatuan fung-
sionalnya (misalnya, kelompok tunagrahita, kelompok penderita
thalasemia, kelompok profesi dokter dan kelompok pecinta buku).
• Pada perencanaan sosial, belum ada asumsi yang sifatnya persua-
sif mengenai tingkat intraktabilitas ataupun konflik kepentingan.
Pendekatan yang mereka lakukan lebih bersifat pragmatis serta
cenderung berorientasi untuk menangani masalah tertentu, sehing-
ga aktor kurang memainkan peran di sini. Oleh karena itu, permu-
fakatan ataupun konflik dapat ditolerir dalam pendekatan ini, sela-
ma tidak menghalangi proses pencapaian tujuan.
• Dalam perencanaan sosial klien lebih dilihat sebagai konsumen dari
suatu layanan (service) dan mereka akan menerima serta me-
manfaatkan program dan layanan sebagai hasil dari proses peren-
canaan. Misalnya perencanaan pada sektor perumahan, kesehatan
jiwa, pendidikan anak-anak, bisnis dan sektor rekreasional. Bahkan,
Morris dan Binstock lebih senang menggunakan istilah konsumen
(consumer) dibandingkan istilah klien dalam kerangka analisis pe-
rencanaan sosial mereka.
• Dalam perencanaan sosial, klien memainkan peran sebagai pener-
ima (resipient) pelayanan. Klien aktif mengkonsumsi (menggu-
nakan) berbagai jasa layanan yang diberikan, tetapi bukan dalam
proses menentukan tujuan dan kebijakan (hal ini yang membeda-
kan dengan model A). Fungsi pembuatan kebijakan dijalankan oleh
si perencana setelah melakukan konsensus elite (seperti dewan di-
rektur maupun sebagai dewan komisaris).
• Mencari tahu dari para pengguna jasa tentang layanan apa yang
mereka butuhkan serta memberi tahu para pengguna jasa tentang
pilihan jasa yang cenderung lebih tepat digunakan untuk kebutuhan

83
sosial maupun ekonominya.

Dari 12 karakteristik perencanaan dan kebijaksanaan sosial ini dapat di-


sarikan bahwa keterpaduan antara perencanaan dan kebijakan sosial ada-
lah keduanya merupakan sebuah langkah untuk memberikan pelayanan
terhadap orang banyak, di mana perencanaan sosial merupakan rumusan
berbagai kebutuhan masyarakat selanjutnya diteruskan pelaksanaannya
oleh kebijakan sosial. Dengan demikian, perencanaan yang ditujukan
pada masyarakat, sebaiknya berisi berbagai ide dan konsep pemikiran
yang berasal dari inisiatif masyarakat itu sendiri. Inisiatif tersebut diterus-
kan ke Pemerintah untuk dibuatkan ketetapan kebijakan dan langkah-
langkah peraturan lainnya agar bersinergi dengan berbagai kebijakan Pe-
merintah yang telah berjalan.
Representasi tentang pentingnya perencanaan dan kebijakan so-sial
di balik ide dan pemikiran strategis yang datang dari masyarakatnya
sendiri, ini dapat kita amati dalam penelitian tentang “Evaluasi Program
Masyarakat Tentang Kesiagaan Bencana Gempa Bumi di Kota Bengku-
lu (Iskandar, 2016)”. Program kesiagaan bencana gempa bumi ini diberi
nama Community Preparedness (Compress) atau program kesiagaan ma-
syarakat menghadapi resiko bencana gempa bumi di wilayahnya. Program
ini pertama kali diperkenalkan masyarakat Bengkulu di tahun 2007. Se-
bagai kota yang paling sering mengalami gempa bumi di Indonesia (kare-
na walayahnya termasuk Palung laut atau wilayah lautnya termasuk pa-
tahan gempa tektonik) masyarakat dan kalangan akademisi menyatukan
ide dan inisiatif untuk bersatu membuat program kesiagaan gempa bumi
yang terencana dan terpadu dalam rangka menghadapi risiko yang akan
dialami warganya dan upaya-upaya penyelamatan pra dan pasca bencana.
Alasan yang paling mendasar diperkenalkannya program Commu-
nity Preparedness (Compress) adalah belum adanya alat teknologi yang
mampu memprediksi kapan akan terjadinya gempa bumi, hal itu meng-
haruskan masyarakat merancang kesiapsiagaan bencana yang berbasiskan
masyarakat atau menstimulus kepedulian masyarakat dalam menghadapi
bencana. Dengan konsep Compress, Masyarakat berikut Departemen So-
sial, LIPI dan berbagai unsur terkait, terlibat secara bersama dalam Sat-
gasos PB (Penanggulangan Gempa) dari setiap datangnya gempa bumi.

84
Perencanaan kerja Satgasos PB ini mengutamakan aspek-aspek
seperti: sosialisasi, kerjasama, networking, dan mengembangkan bentuk-
bentuk pendidikan masyarakat yang membantu penanggulangan ben-
cana di Kota Bengkulu. Setelah ide Compress ini dituangkan dalam Perda
Provinsi Bengkulu (Perda 02 Tahun 2012), Compress tidak berdiri sendi-
ri, tetapi terintegrasi dengan beberapa pusat penelitian, yaitu Pusat Pene-
litian Oseanografi, Pusat Penelitian Geotek LIPI, Pusat Penelitian Kepen-
dudukan, serta Departemen Sosial Kota Bengkulu.
Salah satu rekomendasi dari penelitian ini adalah Pendidikan Mas-
yarakat dalam Kesiapsiagaan Bencana Gempa Bumi di Kota Bengkulu.
Kegiatan pendidikan ini sebagai salah satu terobosan yang dapat dilaku-
kan oleh tim Compress dengan memanfaatkan jalur-jalur yang terdapat
dalam masyarakat baik formal maupun non-formal berupa kegiatan yang
menggugah masyarakat ke arah peningkatan SDM yang mampu melaku-
kan inovasi pengetahuan akan teknologi, bekerja sama dalam rangka
meningkatkan kepedulian dan keterlibatan masyarakat dalam mengha-
dapi bencana khususnya gempa dan tsunami di berbagai wilayah. Kegiat-
an pendidikan juga berkaitan dengan kesiapsiagaan para pelajar dalam
menghadapi bencana atau program Children Science Support (CSS). Inti
programnya adalah memberikan pengertian tentang kesiapsiagaan ber-
basis sekolah dengan metode pembelajaran yang menyenangkan bagi
murid-murid di berbagai jenjang pendidikan. Sedangkan metode yang
diguanakan antara lain dengan bernyanyi, permainan, bermain peran,
trauma healing, tepuk siaga, pemaparan. Sebagian besar metode yang
digunakan adalah interaktif, sehingga anak-anak tersebut tidak merasa
jenuh dengan materi yang disajikan.

Aksi Sosial (Sosial Action)


Dalam intervensi komunitas, aksi sosial umumnya dipahami sebagai se-
buah gerakan sosial yang membela kelompok masyarakat dari ketidak-
dilan, termarjinalkan, dan sikap sewenang-wenang pihak penguasa dalam
kegiatan Pembangunan. Sedangkan tujuan dan sasaran utama aksi sosial
adalah berbagai perubahan yang sifatnya fundamental dalam kelem-
bagaan dan struktur masyarakat, baik melalui pendistribusian kekuasaan,
sistem sumber, dan melalui pengambilan keputusan. Pendekatan ini di-
dasarkan pada pandangan bahwa masyarakat adalah suatu sistem klien

85
yang seringkali menjadi korban ketidakadilan struktur kekuasaan.
Peran strategi dari para pekerja sosial dalam model ini meliputi se-
bagai: pembela, penggerak motivasi, aktivis, pemberi semangat juang atau
partisipan, dan sebagai negosiator kepentingan masyarakat. Sedangkan
strategi atau taktik yang digunakan pekerja sosial meliputi: sikap protes
sebagai bentuk pembelaan, melakukan boikot secara terbuka maupun ter-
tutup terhadap keberlangsungan kebijakan tersebut, gerakan sosial yang
mengarah ke upaya-upaya konfrontatif, dan melakukan negosiasi dengan
berbagai pihak (baik yang pro maupun kontra) sebagai langkah pembe-
laan terhadap masyarakat tersebut. Hal itu umumnya ditunjukkan berupa
gerakan para LSM, Parpol dan Ormas, di mana kemudian menghidupkan
suasana demokratis dan masyarakat didorong untuk mengadakan per-
baikan sistem atau struktur yang tidak berhak padanya..
Menurut Rothman (1995) bahwa tujuan utama dari aksi sosial
ini adalah mengarus-utamakan tema sentral tentang “marilah kita galang
kekuatan untuk mengubah rencana para penindas”. Adapun pihak-pihak
yang dikategorikan sebagai klien dalam model ini, menurut Rothman
(1995) adalah pihak yang diposisikan sebagai “korban” dari penindasan
struktur kekuasaan. Menurutnya, model aksi sosial ini umumnya di-
hindari oleh pekerja sosial (bahkan di Negara maju sekalipun). Dari ber-
bagai kasus yang ada, ternyata banyak pekerja sosial yang terlibat dalam
kegiatan aksi sosial ini mendapat sanksi dari lembaga yang mempeker-
jakannya, ada juga yang diturunkan jabatannya, atau bahkan pemutusan
hubungan kerja. Berbagai resiko tersebut menyebabkan model ini sering-
kali dimodifikasi sedemikian rupa, agar strategi atau taktik yang terlalu
radikal diperlunak sampai batas-batas yang bisa ditoleransi.
Dapat dikatakan bahwa pendekatan aksi sosial ini merupakan gera-
kan pembelaan terhadap masyarakat yang tertindas. Atas dasar demiki-
an, upaya-upaya pendekatan aksi sosial adalah masyarakat diorganisir
melalui gerakan penyadaran, pemberdayaan dan tindakan-tindakan aktu-
al untuk mengubah struktur kekuasaan agar memenuhi prinsip demokra-
si, kemerataan (equality) dan keadilan (equity). Aksi sosial berorientasi
pada proses dan hasil dari seluruh kegiatan intervensi komunitas di ma-
syarakat. Adapun karakteristik yang melekat pada model intervensi aksi
sosial juga terdiri atas 12 karakter, diantaranya sebagai berikut:

86
• Model intervensi aksi sosial mengarah pada dua tujuan yaitu task
goal dan process goal, di mana beberapa tindakannya berupa mem-
beri penekanan ketika terjadi upaya pembentukan aturan atau Un-
dang-Undang baru terkait pembelaan hak asasi.
• Menurut Rothman (1995) bahwa beberapa organisasi aksi sosial
(kelompok pembela hak asasi dan kelompok Greenpeace) memberi
tekanan pada upaya terbentuknya aturan (Perundangan) yang baru
atau mengubah praktik-praktik kebijakan yang menindas rakyat.
Biasanya tujuan ini mengakibatkan adanya modifikasi kebijakan
dari berbagai organisasi formal (lembaga bentukan negara).
• Praktisi aksi sosial melihat kondisi komunitas sebagai hierarki dari
privilege atau kekeuasaan atau struktur yang ada dalam komu-
nitas bertingkat-tingkat sehingga menimbulkan kelompok yang
terabaikan, mendapat tekanan, tidak mendapat keadilan bah- kan
tereksploitasi maupun terdeskriminasi karena tidak memilki
kekuasaan atau privilege. Menurut Rothman (1995) bahwa Target
para praktisi aksi sosial adalah mereka (populasi) yang mendapat
tekanan, diabaikan, tidak mendapatkan keadilan, dieksploitasi oleh
pihak tertentu, dan sebagainya.
• Strategi yang dilakukan dalam perubahan adalah berupaya un-tuk
melakukan kristalisasi isu-isu yang dihadapi masyarakat yang
kemudian membuat masyarakat mengetahui pihak yang menekan-
nya dan mengorganisir diri serta membentuk aksi massa untuk gan-
ti memberikan tekanan terhadap kelompok sasaran mereka.
• Para praktisi aksi sosial lebih menekankan pada taktik konflik (se-
suai dengan peranan mereka sebagai activist/developer) dengan cara
melakukan konfrontasi dan aksi-aksi langsung. Selain itu, dibutuh-
kan pula kemampuan untuk memobilitasi massa sebanyak mungkin
hal itu untuk melakukan gerakan demonstrasi, bahkan kalau perlu
dengan melakukan pemboikotan terhadap hal-hal yang tidak sesuai
tersebut.
• Peran aksi sosial peran yang dilakukan oleh community worker lebih
mengarah pada peran sebagai advokat (pembela) dan aktivis (peng-
gerak) terhadap terciptanya perubahan di masyarakat.
• Sedangkan media perubahannya dengan menciptakan dan mema-

87
nipulasi organisasi serta pergerakan massa untuk mempengaruhi
proses politis. Oleh karena itu, pengorganisasian massa pada aksi
sosial menjadi isu yang penting.
• Struktur kekuasaan oleh para praktisi aksi sosial dianggap sebagai
target eksternal dari suatu tindakan sehingga dapat dikatakan bah-
wa struktur kekuasaan berada di luar sistem klien (konstituensi).
Struktur kekuasaan sering kali dianggap sebagai kekuatan antithesis
yang akan menekan klien (kelompok konstituen).
• Klien dari praktisi aksi sosial biasanya merupakan bagian (subpart)
atau segmen masyarakat yang membutuhkan bantuan. Mereka dapat
dikatakan sebagai kelompok yang membutuhkan layanan, tetapi
tidak terjangkau oleh layanan tersebut ataupun kelompok ini ditolak
untuk mendapatkan layanan tersebut karena kebijakan yang tidak
berpihak padanya. Dalam aksi sosial, para praktisi lebih me- lihat
kelompok tersebut sebagai “teman-teman partisipan” diban-
dingkan sekelompok klien.
• Pada aksi sosial ada asumsi bahwa kepentingan dari masing-masing
bagian (subpart) dalam masyarakat sangat bervariasi dan sulit di-
peroleh kata mufakat (not reconciliable), sehingga sering kali cara-
cara koersif harus dilakukan (seperti melalui pemboikotan, perun-
dang-undangan, dan sebagainya) sebelum proses adaptasi tercipta.
Mereka yang mempunyai kekuasaan dan privilege terhadap kelom-
pok-kelompok yang kurang diuntungkan tersebut sering kali tidak
mau melepaskan kekuasaan (advantage) yang mereka dapat. Hal-
hal yang berkaitan dengan kepentingan pribadilah yang menyebab-
kan mereka merasa tidak diuntungkan bila melepaskan apa yang
sudah diperoleh.
• Klien merupakan bawahan bersama dengan praktisi aksi sosial dan
mereka berusaha mendobrak sistem yang ada.
• Dalam aksi sosial, klien biasanya merupakan bawahan (employee)
bersama dengan praktisi aksi sosial dan mereka berusaha men-
dobrak sistem yang ada. Praktisi di sini juga memainkan peranan
sebagai bawahan dan pelayan masyarakat, bersama dengan teman-
teman partisan mereka menjadi kelompok penekan yang mencoba
memberikan tekanan terhadap kelompok elite.

88
• Meraih kekuasaan merupakan hal objektif bagi mereka yang tertin-
das, hal ini agar ia dapat memilih dan memutuskan cara yang tepat
guna melakukan aksi dalam rangka membangkitkan rasa percaya
diri akan kemampuan untuk berubah melalui para partisisipan yang
sepaham.

Sebagai model yang ketiga dalam intervensi komunitas, aksi sosial ber-
beda dengan 2 model yang ada, di mana aksi sosial lebih mengarah ke
bentuk-bentuk gerakan sosial ataupun gerakan perlawanan sosial untuk
membela kelompok masyarakat tertentu dari kebijakan yang tidak adil
dan tidak sesuai dengan rasa keprihatinan kelompok tersebut. Berkaitan
hal ini, menurut Rothman (1995) bahwa gerakan ini lahir dari dan atas
prakarsa masyarakat dalam usaha menuntut perubahan dalam institu-
si, kebijakan atau struktur pemerintah. Lebih lanjut menurut Rothman
(1995) bahwa posisi klien adalah mereka yang terabaikan oleh pelayanan
sosial ataupun kelompok yang ditolak untuk mendapatkan layanan terse-
but karena kebijakan yang tidak berpihak padanya.
Untuk merepresentasikan kegiatan aksi sosial tersebut di ma-
syarakat, kita dapat temui pada kasus-kasus penyelamatan lingkungan. Di
Kota Makassar misalnya, menurut Tempo (2-2-2016) gerakan aksi sosial
terhadap penolakan Reklamasi Pantai Losari yang dilakukan oleh Pemda
setempat dan dua pihak pengembang yakni PT Ciputra Grupdan PT
Yasmin sejak tahun 2014, makin marak dilakukan oleh pemer- hati
lingkungan dan berbagai Ormas, seperti dari: Wahana Lingkungan Hidup
(Walhi), berbagai LSM lokal dan nasional (termasuk pekerja sosial di
dalamnya), kalangan Akademisi, Perhimpunan Nelayan Makassar, Or-
ganisasi Kepemudaan, kelompok nelayan dan berbagai Ormas lainnya.
Aksi sosial ini dilakukan mulai gerakan demonstrasi di tempat reklamasi
tersebut (dengan melakukan pembakaran ban bekas), di berbagai jalan
protokoler Kota Makassar hingga ke proses Pengadilan.
Sedangkan aksi sosial yang dilakukan oleh kalangan akademisi, di
samping gerakan turun ke jalan dan orasi terbuka di tempat reklamasi,
juga aksi sosial dalam bentuk kajian atau penelitian ilmiah yang objektif
hasilnya. Penelitian yang dilakukan oleh Akhiruddin dan kawan-kawan
dari Pusat Kajian Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin

89
Makassar di tahun 2012, adalah satu diantara banyak penelitian yang di- anggap
representatif dalam menjelaskan kaitan antara kegiatan reklama- si dan pencemaran
lingkungan (utamanya kualitas air pasca reklamasi), serta yang kedua adalah kaitan antara
reklamasi dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar reklamasi.
Dari dua pertanyaan tersebut, Akhiruddin dan kawan-kawan (2012) memberi
kesimpulan bahwa berdasarkan dari hasil penelitian, telah terja-di Perubahan lingkungan,
hal itu terutama baku mutu perairan di Pantai Losari di kategorikan tercemar, di mana
sebelum dan sesudah reklamsai perubahan baku mutu parameter Fiskia, Kimia dan
kandungan Logam berat sudah mengalamai perubahan ke arah kategori negatif. Tidak ber-
dampak terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat. Dampak positif dari reklamasi
Pantai Losari hanya berdampak pada harga tanah yang
meningkat. Kualitas air di Pantai Losari sudah mengalami pencemar-
an, oleh karena itu diharapkan berbagai pihak melakukan upaya untuk menanggulangi
dampak pencemar tersebut dengan mempercepat pem- bangunan Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL) Losari. Sangat diper-lukan kegiatan yang terkait dengan pengembangan
ekonomi masyarakat di sekitar Pantai Losari.

90

Anda mungkin juga menyukai