MASYARAKAT
Oleh
Fenny Etrawati, S.KM, M.KM
Menyetujui
Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sriwijata
Puji dan syukur atas berkat rahmat dan karunia Allah SWT sehingga saya
akhirnya dapat menyelesaikan modul pembelajaran ini. Modul ini disusun dalam
rangka memenuhi kebutuhan akan buku pegangan pembelajaran yang berfungsi
sebagai kontrol pengkajian aspek-aspek pembelajaran sesuai dengan kompetensi
yang dibutuhkan oleh lulusan Sarjana Kesehatan Masyarakat.
Sampai dengan periode 2016, di lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sriwijaya telah dibuat beberapa modul termasuk modul mata kuliah
Komunikasi Kesehatan. Mengingat konten dari modul tersebut yang memiliki
beberapa kelemahan maka penulis berkeinginan untuk membuat sebuah modul
baru “Dasar-dasar Promosi Kesehatan” yang sifatnya content upgrading dari edisi
sebelumnya. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa
terutama dikaitkan dengan isu-isu mutakhir dunia kesehatan.
Modul ini terdiri atas 12 bab materi pembelajaran. Sub materi tersebut
antara lain menjabarkan tentang: prinsip-prinsip komunikasi, bentuk-bentuk
komunikasi, dasar-dasar komunikasi kesehatan, hambatan dan gangguan
komunikasi, model-model komunikasi interpersonal, model-model komunikasi
massa, komunikasi efektif, komunikasi persuasive, teori-teori terkait komunikasi
kesehatan, ruang lingkup komunikasi kesehatan, wawancara, Focus Group
Discussion (FGD). Selain menyediakan sub materi yang terkait dengan
komunikasi kesehatan, modul ini juga menyediakan tools untuk evaluasi
pembelajaran bagi mahasiswa. Oleh karena itu diharapkan dapat meningkatkan
keterampilan calon lulusan untuk melaksanakan komunikasi kesehatan pada
masyarakat.
Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua
orang tua saya (Bapak Zulkarnain dan Ibu Hurairuh) serta kedua adik tercinta
(Meita Anggraini dan Yudekta Elyani) yang telah memberikan dukungan moril
dan spiritual sehingga kemajuan penulisan makalah ini dapat terlihat sampai
akhirnya dapat diselesaikan dengan baik.
Ucapan terima kasih dan hormat yang tulus terhadap semua pihak yang
memberikan dukungan dalam penyempurnaan modul ini. Apresiasi yang tinggi
saya ucapkan kepada Bapak Dekan yang telah menelaah modul ini. Selain itu,
saya juga mengucapkan terima kasih kepada para kolega dosen Fakultas
Kesehatan Masyarakat yang telah menyediakan waktunya untuk membaca dan
mengedit dari segi bahasa dan konten modul ini.
Penulis menyadari bahwa modul ini masih jauh dari sempurna, maka
dengan rendah hati penulis menerima saran dan kritik yang membangun. Semoga
karya ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan Allah SWT
selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita sekalian, Amin.
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ii
PRAKATA ........................................................................................................iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................v
DAFTAR TABEL ...........................................................................................vi
DAFTAR GRAFIK ......................................................................................vii
BAB I. PENDAHULUAN ..............................................................................1
A. Pendahuluan ................................................1
B. Lingkup dan Sistematika ...............................................................2
C. Kaitan Modul dengan Materi Kuliah (RPS) ..................................2
BAB II. PENGANTAR KOMUNIKASI ......................................................3
A. Pendahuluan .................................................................................3
B. Penyajian Materi ..........................................................................4
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 8.1 Manfaat Komunikasi Massa (Alexis S. Tan)................................111
Tabel 11.1 Tingkatan dari diffusion of innovations dalam organisasi............146
Tabel 13.1 Tujuan wawancara........................................................................180
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Teori Maslow ..........................................................................11
Gambar 3.1 Proses sistematik komunikasi .................................................22
Gambar 4.1 Proses komunikasi intrapersonal ..............................................43
Gambar 11.1 Komponen dan Hubungan HBM.............................................148
Gambar 11.2 Theory of reasoned action dan TPB ......................................152
Gambar 14.1 Ruang dan tempat duduk FGD .............................................196
BAB I
KESEJAHTERAAN SOSIAL
A. PENDAHULUAN
Kesejahteraan sosial merupakan suatu keadaan terpenuhinya kebutuhan hidup
yang layak bagi masyarakat, sehingga mampu mengembangkan diri dan dapat
melaksanakan fungsi sosialnya yang dapat dilakukan pemerintah, pemerintah
daerah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial yang meliputi rehabilitasi
sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial (UU No 11
Tahun 2009 pasal 1 dan 2). Pembangunan kesejahteraan sosial ini menjadi bagian
tak terpisahkan dari pembangunan nasional dimana pembangunan kesejahteraan
sosial berperan aktif dalam meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia. Hal ini
karena pada prinsipnya konstruksi pembangunan kesejahteraan sosial terdiri atas
serangkaian aktivitas yang direncanakan untuk memajukan kondisi kehidupan
manusia melalui koordinasi dan keterpaduan antara pemerintah, pemerintah
daerah dan masyarakat dalam upaya penyelenggaraan kesejahteraan sosial dalam
mengatasi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) menjadi kerangka
kegiatan yang utuh, menyeluruh, berkelanjutan dan bersinergi, sehingga
kesejahteraan sosial masyarakat lambat laun dapat meningkat.
Pembangunan sosial adalah sebuah proses perubahan sosial yang
terencana dan desain untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh penduduk dalam
kaitannya dengan proses yang dinamis dalam pembangunan ekonomi.
Pembangunan sosial adalah peningkatan kualitas norma dan nilai dalam pranata
sosial yang menghasilkan pola interaksi atau, lebih dalam lagi, pola relasi sosial
(terutama menyangkut hubungan kekuasaan), baik antar individu maupun
kelompok. Jadi, pembangunan sosial adalah perbaikan manusia dalam dimensi
sosialnya. Dalam perspektif pembangunan sosial, partisipasi masyarakat bukan
sekedar alat atau cara, tetapi tujuan karena, dalam keikutsertaan yang aktif dan
kreatif dalam pembangunan, hakikat manusia sebagai makhluk yang memiliki
aspirasi, harga diri dan kebebasan diwujudkan dan sekaligus ditingkatkan
mutunya.
Dalam kenyataanya masyarakat bukan hanya sebagai sasaran objek dalam
prses pembuatan proram pembangunan, namun sekaligus berperan sebagai subjek
Artinya pembanguna dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat.
Tantanganya dibutuhkan SDM yang berkualitas dan mampu berperan dan ikut
serta dalam prses pembangunan. Sumber daya manusia yang berkualitas dan
mampu bersaing dalam dunia kerja hanya dapat tercipta jika telah melewati
tempaan pendidikan.
Suatu keadaan
Terpenuhi kebutuhan
Aman sentosa
Adil dan makmur
Terhindar dari segala bahaya
Sehat walafiat
Kesejahteraan
Sosial
Suatu Kegiatan
Usaha Kesejahteraan sosial
Pelayanan Kesejahteraan sosial
Program kesejahteraan sosial
Jaminan kesejahteraan sosial
B. PENYAJIAN MATERI
1. KESEJAHTERAAN UNTUK SEMUA
5. PELAKU-PELAKU PEMBANGUNAN
Pelaku-Pelaku Pembangunan
Rahim (Schramm dan Lemer, 1976) mengungkapkan bahwa dalam setiap
proses pembangunan, pada dasarnya terdapat dua kelompok atau “sub-sistem”
pelaku-pelaku pembangunan yang terdiri atas :
1. Sekelompok kecil warga masyarakat yang merumuskan perencanaan dan
berkewajiban untuk mengorganisasi dan menggerakkan warga masyarakat
yang lain untuk berpartisipasi dalam pembangunan
Pengertian merumuskan perencanan pembangunan itu, tidak berarti bahwa
ide-ide yang berkaitan dengan rumusan kegiatan dan cara mencapai tujuan
hanya dilakukan sendiri oleh kelompok ini, akan tetapi mereka sekedar
merumuskan semua ide-ide atau aspirasi yang dikehendaki oleh seluruh
warga masyarakat melalui suatu mekanisme yang telah disepakati.
Sedang perencanaan pembangunan di arus yang paling bawah, disalurkan
melalui pertemuan kelompok atau permusyawaratan pada lembaga yang
terbawah, secara formal maupun informal.
2. Masyarakat luas yang berpartisipasi dalam proses pembangunan, baik
dalam bentuk: pemberian input (ide, biaya, tenaga, dll), pelaksanaan
kegiatan, pemantauan, dan pengawasan, serta pemanfaatan hasil-hasil
pembangunan. Dalam kenyataan, pelaksana utama kegiatan pembangunan
justru terdiri dari kelompok ini; sedang kelompok "elit masyarakat" hanya
berfungsi sebagai penerjemah "kebijakan dan perencanaan Pembangunan"
sekaligus mengorganisir dan menggerakkan partisipasi masyarakat.
Yang dimaksudkan dengan sub-sistem "pemerintah dan penggerak"
adalah: semua aparat pemerintahan, penyuluh (change agent), pekerja-
sosial, tokoh-tokoh masyarakat (formal dan informal), aktivitas
LSM/LPSM yang terlibat dan berkewajiban untuk:
a. Bersama-sama warga masyarakat merumuskan mengambil
keputusan dan memberikan legitimasi tentang kebijakan dan
perencanaan pembangunan
b. Menginformasikan dan atau menerjemahkan kebijakan dan
perencanaan pembangunan kepada seluruh warga masyarakat
c. Mengorganisir dan menggerakkan partisipasi masyarakat
d. Bersama-sama masyarakat melakukan pemantauan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan pembangunan
e. Mengupayakan pemerataan hasil-hasil pembangunan kepada seluruh
warga masyarakat, khususnya yang terlibat langsung sebagai
pelaksanaan dan atau dijadikan sasaran utama pembangunan secara
adil.
Sedang yang dimaksudkan dengan sub-sistem masyarakat atau pengikut, adalah:
sebagian besar warga masyarakat yang tidak termasuk dalam sub-sistem
"pemerintah/penggerak” di atas, yang berkewajiban untuk:
a. Menyampaikan ide-ide atau gagasan tentang kegiatan pembangunan
yang perlu dilaksanakan, dan cara mencapai tujuan pembangunan
yang diharapkan, baik secara langsung maupun melalui
perwakilannya yang sah dalam suatu forum yang diselenggarakan
untuk keperluan tersebut.
b. Secara positif menerima dan aktif berpartisipasi dalam
pembangunan, sejak pengambilan keputusan tentang kebijakan dan
perencanaan pembangunan, pelaksanaan kegiatan, pemantauan dan
pengawasan, dan upaya pemerataan hasil- hasil pembangunan secara
adil sesuai dengan fungsi dan pengorbanan yang telah diberikan.
c. Memberikan masukan atau umpan balik tentang kegiatan
pembangunan yang telah dilaksanakan.
d. Menerima dan memanfaatkan hasil-hasil pembangunan.
Sehubungan dengan itu demi keberhasilan pembangunan kedua kelompok,
pelaku-pelaku pembangunan perlu menjalin hubungan psikologis yang akrab,
sehingga terjalin komunikasi atau berinteraksi secara efektif. Di samping itu, antar
pelaku-pelaku pembangunan di dalam setiap kelompoknya masing-masing juga
perlu melakukan hal yang sama.
C. RANGKUMAN
Konsep kesejahteraan sosial di Indonesia dapat dilihat pada UU Nomor 11
Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, yang merupakan operasionalisasi
amanat Pancasila dan UUD 1945. Kesejahteraan sosial dapat didefinisikan
sebagai suatu keadaan. Berdasarkan definisi ini kesejahteraan sosial merupakan
tujuan untuk mencapai suatu keadaan yang dianggap sejahtera baik itu secara
ekonomi, psikologis, maupun sosial. Hubungan yang erat antara pembangunan
sosial dan kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan menjadikan keduanya tidak
akan terlepas dari pembangunan ekonomi. Kesejahteraan sosial merupakan tujuan
akhir dari pemberdayaan masyarakat. Kolaborasi antara pembangunan sosial
(dalam hal ini sebagai pembangunan kesejahteraan sosial) dengan pembangunan
ekonomi akan memperlihatkan sebuah negara apakah termasuk negara sejahtera
atau negara tidak sejahtera.
D. TUGAS/LATIHAN/EKSPERIMEN
1. Jelaskan esensi dari hakikat pembangunan yang bersifat “eco development”
dan “dehumanisasi”
2. Jelaskan Peran masyarakat luas sebagai pelaku pembangunan.
3. Berikan pendapat anda mengenai konsep pembangunan berdasarkan Teori
Struktural Fungsional
4. Jelaksan maksud dari setiap pembangunan senantiasa memanfaatkan
"teknologi terpilih"
5. Deskripsikan Hubungan antara pembangunan sosial dan kesejahteraan
sosial!
E. BACAAN YANG DI ANJURKAN
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Kurikulum Dan Modul
Pelatihan Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat Di Bidang Kesehatan.
Jakarta.
2. Mardikanto, Totok. 2010. Konsep-Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Cetakan 1. Surakarta: Fakultas Pertanian UNS dengan UNS Press
3. Arsyad, Lincolin, dkk. 2011. Strategi Pembangunan Perdesaan Berbasis
Lokal Cetakan 1. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan STIM YKPN
Yogyakarta.
F. RUJUKAN
___. 2015. Pusat Kajian Kesejahteraan Sosial. Online. Diakses pada 05
November 2016 dari http://socialwelfare.fisip.ui.ac.id.
Parsons, T. 1951. The Social System. New York: The Free Press
A. PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk yang memiliki kemampuan menciptakan
kebaikan, kebenaran, keadilan, dan bertanggung jawab. Sebagai makhluk
berbudaya, manusia mendayagunakan akal budinya untuk menciptakan
kebahagiaan, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat demi kesempurnaan
hidupnya dengan menciptakan kebudayaan. Di samping itu, manusia mampu
menciptakan, mengkreasi, memperbaharui, memperbaiki, mengembang Dengan
akal budi, manusia tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga
mempertahankan serta meningkatkan derajatnya sebagai makhluk yang tinggi
dibandingkan makhluk lain. Kebudayaan pada dasarnya adalah hasil akal budi
manusia dalam interaksinya, baik dengan alam maupun manusia lainnya. Manusia
merupakan makhluk berbudaya dan pencipta kebudayaan. dan meningkatkan
sesuatu yang ada untuk kepentingan hidup manusia.
Berdasarkan hal tersebut pada dasarnya hakikat manusia itu sendiri adalah
makhluk yang terus belajar dan menciptakan kebudayaan , namun perlu diketahui
bahwasanya hakikat manusia dapat dipandang dari berbagai jenis analisa teori
yang ada.
B. PENYAJIAN MATERI
1. ALIRAN PSIKOANALISA
Psikoanalisa ditemukan di Wina, Austria, oleh Sigmund Freud. Psikoanalisis
merupakan salah satu aliran di dalam disiplin ilmu psikologi yang memiliki
beberapa definisi dan sebutan, Adakalanya psikoanalisis didefinisikan sebagai
metode penelitian, sebagai teknik penyembuhan dan juga sebagai pengetahuan
psikologi.
Psikoanalisa menurut definisi modern yaitu (1) Psikoanalisis adalah
pengetahuan psikologi yang menekankan pada dinamika, faktor-faktor psikis yang
menentukan perilaku manusia, serta pentingnya pengalaman masa kanak-kanak
dalam membentuk kepribadian masa dewasa, (2) Psikoanalisa adalah teknik yang
khusus menyelidiki aktivitas ketidaksadaran (bawah sadar), (3) Psikoanalisa
adalah metode interpretasi dan penyembuhan gangguan mental.
Psikoanalisa dalam pengertian lain (Hjelle & Ziegler, 1992):
1. Teori mengenai kepribadian & psikopatologi
2. Metode terapi untuk gangguan kepribadian teknik untuk menyelidiki
pikiran & perasaan individu yang tidak disadari
Psikoanalisa memiliki sebutan-sebutan lain yaitu (1) Psikologi dalam, karena
menurut Freud penyebab neurosis adalah gangguan jiwa yang tidak dapat
disadari, pengaruhnya lebih besar dari apa yang terdapat dalam kesadaran dan
untuk menyelidikinya, diperlukan upaya lebih dalam, (2) Psikodinamika, karena
Psikoanalisis memandang individu sebagai sistem dinamik yang tunduk pada
hukum-hukum dinamika, dapat berubah dan dapat saling bertukar energi.
2. ALIRAN BEHAVIORISTIK
Pengertian aliran Behavioristik
Terapi perilaku (behavior therapy) dan pengubahan perilaku [behavior
modification] atau pendekatan behavioristik dalam psikoterapi, adalah salah satu
dari beberapa “revolusi” dalam dunia pengetahuan psikologi, khususnya
psikoterapi. Pendekatan behavioristik yang dewasa ini banyak dipergunakan
dalam rangka melakukan kegiatan psikoterapi dalam arti luas atau konseling
dalam arti sempitnya, bersumber pada aliran behaviorisme. Aliran ini pada
mulanya tumbuh subur di Amerika dengan tokohnya yang terkenal ekstrim, yakni
John Broadus Watson, suatu aliran yang menitik beratkan peranan lingkungan,
peranan dunia luar sebagai factor penting di mana seseorang dipengaruhi,
seseorang belajar. Pada abad ke-17, dunia pengetahuan Filsafat ditandai oleh dua
kubu besar yakni kubu “empiricism” (physical science) dan kubu “naturalism”
[biological science]. Pada akhir abad yang lalu, mempengaruhi lahirnya aliran
behaviorisme dengan pendekatan-pendekatannya yang kemudian menjadi terkenal
dengan terapi perilaku [behavior therapy] dan perubahan perilaku (behavior
modification).
3. ALIRAN HUMANISTIK
Pengertian Aliran Humanistik
Aliran ini muncul sebagai kritik terhadap pandangan tentang manusia yang
mekanistik ala behaviorisme dan pesimistik ala psikoanalisa. Oleh karenanya
sering disebut sebagai the third force (the first force is behaviorism, the second
force is psychoanalysis). Aliran humanistik merupakan salah satu aliran dalam
psikologi yang muncul pada tahun 1950-an, dengan akar pemikiran dari kalangan
eksistensialisme yang berkembang pada abad pertengahan. Pada akhir tahun
1950-an, para ahli psikologi, seperti: Abraham Maslow, Carl Rogers dan Clark
Moustakas mendirikan sebuah asosiasi profesional yang berupaya mengkaji
secara khusus tentang berbagai keunikan manusia, seperti tentang: self (diri),
aktualisasi diri, kesehatan, harapan, cinta, kreativitas, hakikat, individualitas dan
sejenisnya.
C. LATIHAN
1. Apa yang dimaksud hakikat manusia dalam pemberdayaan masyarakat
2. Kenapa psikoanalisa disebut juga psikologi dalam?
3. Bagaimana konsep manusia dalam teori behavioristik?
4. Kenapa Pandangan humanistic banyak diterapkan dalam bidang psikoterapi
dan konseling ? jelaskan
5. Apa perbedaan konsep menusia dalam teori psikoanalisa dan Humanistik
D. RUJUKAN
Basuki, Heru A.M. 2010. Psikologi Umum. Jakarta: Universitas Gunadarma.
psikologi
Schultz, Duane. 1977. Growth Psychology: Models of the Healthy Personality.
New York: D. Van Nostrad Company.
BAB III
KEBIJAKAN DAN STRATEGI PROMOSI KESEHATAN
A. PENDAHULUAN
Peningkatan kualitas sumber daya manusia semakin marak dilakukan di
Indonesia terlebih di bidang kesehatan. Hal ini dilakukan karena melihat kondisi
beberapa daerah di Indonesia dengan status kesehatan yang masih rendah.
Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar
rakyat, dimana tercantum dalam pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 yaitu hak untuk
memperoleh pelayanan kesehatan. Untuk memenuhi hal tersebut, memerlukan
pembangunan kesehatan yang lebih dinamis dan produktif dengan melibatkan
semua sector terkait termasuk swasta dan masyarakat. Tujuan pembangunan
kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 adalah meningkatkan kesadaran,
kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesehatan masyarakat yang optimal. Hal ini dicapai melalui terciptanya
masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang hidup dalam lingkungan dan
berperilaku sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan
yang bermutu, serta memiliki derajat kesehatan yang optimal di seluruh wilayah
Indonesia.
Oleh karena itu perlu diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan
pemeliharaan, promosi kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif),
penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang
diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Dalam
rangka memajukan kesehatan masyarakat serta meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat maka diperlukan strategi promosi kesehatan baik kepada pemerintah,
tokoh masyarakat, dan khususnya kepada masyarakat.
B. PENYAJIAN MATERI
1. ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI KEMENTERIAN KESEHATAN
C. RANGKUMAN
Pengertian promosi kesehatan di Indonesia adalah “Upaya untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk,
dan bersama masyarakat, agar menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan
kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai sosial budaya setempat dan
didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan”. Makna dari
pengertian tersebut sarat dengan upaya pemerdayaan dalam bidang kesehatan agar
masyarakat mampu ber perilaku hidup sehat dan tentunya upaya tersebut perlu
dibina lingkungan yang kondusif dalam dukungan pengambil keputusan/ penentu
kebijakan dan pemangku kepentingan (stakeholders). Oleh karena itu dalam
Keputusan Mentei Kesehatan Nomor 1193 tahun 2004 tentang Kebijakan
Nasional Promosi Kesehatan disebutkan bahwa Pemberdayaan Masyarakat, Bina
Suasana, Advokasi yang didukung dengan Kemitraan merupakan Strategi Dasar
Promosi Kesehatan.
Jadi dapat dikatakan bahwa promosi kesehatan merupakan tulang
punggung pembangunan kesehatan khususnya untuk mencapai visi “Masyarakat
Sehat Yang Mandiri dan Berkeadilan”, seperti yang tertuang dalam Rencana
Strategis Kementrian Kesehatan Tahun 2010-2014. Masyarakat sehat yang
mandiri adalah suatu kondisi dimana masyarakat Indonesia menyadari, mau, dan
mampu mengenali, mencegah, dan mengatasi permasalahan kesehatan yang
dihadapi, sehingga dapat bebas dari gangguan kesehatan, baik yang disebabkan
karena penyakit termasuk gangguan kesehatan akibat bencana, maupun
lingkungan dan perilaku yang tidak mendukung untuk hidup sehat, dengan
menggunakan potensi yang dimilikinya.
BAB IV
KONSEP DASAR PENGORGANISASIAN PENGEMBANGAN DAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
A. PENDAHULUAN
Kesehatan atau hidup sehat adalah hak setiap orang, oleh sebab itu kesehatan,
baik individu, kelompok maupun masyarakat merupakan asset yang harus di jaga,
dilindungi bahkan harus ditingkatkan. Pengorganisasian dan pengembangan
masyarakat (PPM) atau community organization or community development
(COCD) merupakan perencanaan, pengorganisasian, atau proyek dan atau
pengembangan berbagai aktivitas pembuatan program atau proyek
kemasyarakatan yang tujuan utamanya meningkatkan taraf hidup atau
kesejahteraan sosial masyarakat. Sebagai suatu kegiatan kolektif, PPM
melibatkan beberapa aktor, seperti pekerja sosial, masyarakat setempat, lembaga
donor, serta instansi terkait yang saling bekerja sama mulai dari perancangan,
pelaksanaan, sampai evaluasi terhadap program atau proyek tersebut.
Pengembangan masyarakat secara lugas dapat diartikan sebagai suatu proses yang
membangun manusia atau masyarakat melalui pengembangan kemampuan
masyarakat, perubahan perilaku masyarakat dan pengorganisasian masyarakat.
Dari definisi tersebut terlihat ada 3 tujuan utama dalam pengembangan
masyarakat, yaitu pengembangan kemampuan masyarakat, mengubah perilaku
masyarakat dan mengorganisir masyarakat. Kemampuan masyarakat yang dapat
dikembangkan tentunya banyak sekali seperti kemampuan untuk berusaha,
mencari informasi, bertani dan lain-lain sesuai dengan kebutuhan atau
permasalahan yang sedang dihadapi oleh individu/masyarakat.
B. PENYAJIAN MATERI
1. PENGERTIAN PENGORGANISASIAN MASYARAKAT
Menurut “Ross Murray” Pengorganisasian Masyarakat adalah suatu proses
dimana masyarakat dapat mengidentifikasi kebutuhan - kebutuhan dan
menentukan prioritas dari kebutuhan - kebutuhan tersebut, dan mengembangkan
keyakinan untuk berusaha memenuhi kebutuhan - kebutuhan sesuai dengan skala
prioritas berdasarkan atas sumber - sumber yang ada dalam masyarakat sendiri
maupun yang berasal dari luar dengan usaha secara gotong royong.
3. BERFUNGSINYA MASYARAKAT
Untuk dapat memfungsikan masyarakat, maka harus dilakukan langkah – langkah
sebagai berikut :
a. Menarik orang-orang yang mempunyai inisiatif dan dapat bekerja, untuk
membentuk kepanitiaan yang akan menangani masalah-masalah yang
berhubungan dengan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat
b. Membuat rencana kerja yang dapat diterima dan dilaksanakan oleh
keseluruhan masyarakat
c. Melakukan upaya penyebaran rencana (kampanye), untuk menyukseskan
rencana tersebut
2. PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Menurut Sudjana, Pengembangan Masyarakat mengandung arti sebagai
upaya yang terencana dan sistematis yang dilakukan oleh, untuk dan dalam
masyarakat guna meningkatkan kualitas hidup penduduk dalam semua aspek
kehidupannya dalam suatu kesatuan wilayah. Upaya untuk meningkatkan kualitas
hidup dan kehidupan dalam suatu kesatuan wilayah ini mengandung makna
bahwa pengembangan masyarakat dilaksanakan dengan berwawasan lingkungan,
sumber daya manusia, sosial maupun budaya, sehingga terwujudnya
pengembangan masyarakat yang berkelanjutan.
Pelaksanaan pengembangan masyarakat dapat dilakukan melalui
penetapan sebuah program atau proyek pembangunan. Secara garis besar,
perencanaannya dapat dilakukan dengan mengikuti 6 langkah perencanaan, yaitu:
1. Perumusan masalah. Pengembangan masyarakat dilaksanakan
berdasarkan masalah atau kebutuhan masyarakat setempat. Beberapa
masalah yang biasanya ditangani oleh pengembangan masyarakat dalam
kesehatan antara lain perilaku hidup bersih dan sehat, health seeking
behavior, deteksi dini, dan lain-lain. Perumusan masalah dilakukan
dengan menggunakan penelitian (survey, wawancara, observasi), diskusi
kelompok, rapat desa, dan sebagainya.
2. Penetapan program. Setelah masalah dapat diidentifikasi dan disepakati
sebagai prioritas yang perlu segera ditangani, maka dirumuskan lah
program penanganan masalah tersebut.
3. Perumusan tujuan. Agar program dapat dilaksanakan dengan baik dan
keberhasilannya dapat diukur perlu dirumuskan apa tujuan dari program
yang telah ditetapkan. Tujuan yang baik memiliki karakteristik jelas dan
spesifik sehingga tercermin bagaimana cara mencapai tujuan tersebut
sesuai dengan dana, waktu dan tenaga yang tersedia.
Penentuan kelompok sasaran. Kelompok sasaran adalah sejumlah orang
yang akan ditingkatkan kualitas hidupnya melalui program yang telah ditetapkan.
1. Identifikasi sumber dan tenaga pelaksana. Sumber adalah segala sesuatu
yang dapat digunakan untuk menunjang program kegiatan, termasuk di
dalamnya adalah sarana, sumber dana, dan sumber daya manusia.
2. Penentuan strategi dan jadwal kegiatan. Strategi adalah cara atau metode
yang dapat digunakan dalam melaksanakan program kegiatan.
3. Monitoring dan evaluasi. Monitoring dan evaluasi dilakukan untuk
memantau proses dan hasil pelaksanaan program.
3. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Pemberdayaan adalah pemberian informasi dan pendampingan dalam
mencegah dan menanggulangi masalah kesehatan, guna membantu individu,
keluarga atau kelompok-kelompok masyarakat menjalani tahap-tahap tahu mau
dan mampu mempraktikkan PHBS. (panduan promkes)
1. PEMBERDAYAAN
Dalam upaya promosi kesehatan, pemberdayaan masyarakat merupakan
bagian yang sangat penting dan bahkan dapat dikatakan sebagai ujung tombak.
Pemberdayaan adalah proses pemberian informasi kepada individu, keluarga atau
kelompok (klien) secara terus-menerus dan berkesinambungan mengikuti
perkembangan klien, serta proses membantu klien, agar klien tersebut berubah
dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspek knowledge), dari tahu menjadi mau
(aspek attitude) dan dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku yang
diperkenalkan (aspek practice). Oleh sebab itu, sesuai dengan sasaran (klien)nya
dapat dibedakan adanya (a) pemberdayaan individu, (b) pemberdayaan keluarga
dan (c) pemberdayaan kelompok/masyarakat. Dalam mengupayakan agar klien
tahu dan sadar, kuncinya terletak pada keberhasilan membuat klien tersebut
memahami bahwa sesuatu (misalnya Diare) adalah masalah baginya dan bagi
masyarakatnya. Sepanjang klien yang bersangkutan belum mengetahui dan
menyadari bahwa sesuatu itu merupakan masalah, maka klien tersebut tidak akan
bersedia menerima informasi apa pun lebih lanjut. Saat klien telah menyadari
masalah yang dihadapinya, maka kepadanya harus diberikan informasi umum
lebih lanjut tentang masalah yang bersangkutan. Perubahan dari tahu ke mau pada
umumnya dicapai dengan menyajikan fakta-fakta dan mendramatisasi masalah.
Tetapi selain itu juga dengan mengajukan harapan bahwa masalah tersebut bisa
dicegah dan atau diatasi. Di sini dapat dikemukakan fakta yang berkaitan dengan
para tokoh masyarakat sebagai panutan (misalnya tentang seorang tokoh agama
yang dia sendiri dan keluarganya tak pernah terserang Diare karena perilaku yang
dipraktikkannya). Bilamana seorang individu atau sebuah keluarga sudah akan
berpindah dari mau ke mampu melaksanakan, boleh jadi akan terkendala oleh
dimensi ekonomi. Dalam hal ini kepada yang bersangkutan dapat diberikan
bantuan langsung. Tetapi yang seringkali dipraktikkan adalah dengan
mengajaknya ke dalam proses pemberdayaan kelompok/masyarakat melalui
pengorganisasian masyarakat (community organization) atau pembangunan
masyarakat (community development). Untuk itu, sejumlah individu dan keluarga
yang telah mau, dihimpun dalam suatu kelompok untuk bekerja sama
memecahkan kesulitan yang dihadapi. Tidak jarang kelompok ini pun masih juga
memerlukan bantuan dari luar (misalnya dari pemerintah atau dari dermawan). Di
sinilah letak pentingya sinkronisasi promosi kesehatan dengan program kesehatan
yang didukungnya dan program-program sektor lain yang berkaitan. Hal-hal yang
akan diberikan kepada masyarakat oleh program kesehatan dan program lain
sebagai bantuan, hendaknya disampaikan pada fase ini, bukan sebelumnya.
Bantuan itu hendaknya juga sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat.
Pemberdayaan akan lebih berhasil jika dilaksanakan melalui kemitraan serta
menggunakan metode dan teknik yang tepat.
Pada saat ini banyak dijumpai lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM)
yang bergerak di bidang kesehatan atau peduli terhadap kesehatan. LSM ini harus
digalang kerja samanya, baik di antara mereka maupun antara mereka dengan
pemerintah, agar upaya pemberdayaan masyarakat dapat berdayaguna dan
berhasil guna. Setelah itu, sesuai ciri-ciri sasaran, situasi dan kondisi, lalu
ditetapkan, diadakan dan digunakan metode dan media komunikasi yang tepat.
2. TANTANGAN
Tantangan pertama dalam pemberdayaan adalah pada saat awal, yaitu pada
saat meyakinkan seseorang bahwa suatu masalah kesehatan (yang sudah dihadapi
atau yang potensial) adalah masalah bagi yang bersangkutan. Sebelum orang
tersebut yakin bahwa masalah kesehatan itu memang benar-benar masalah bagi
dirinya, maka ia tidak akan peduli dengan upaya apa pun untuk menolongnya.
Tantangan berikutnya datang pada saat proses sudah sampai kepada mengubah
pasien/klien dari mau menjadi mampu. Ada orang-orang yang walaupun sudah
mau tetapi tidak mampu melakukan karena terkendala oleh sumber daya
(umumnya orang-orang miskin). Ada juga orang-orang yang sudah mau tetapi
tidak mampu melaksanakan karena malas. Orang yang terkendala oleh sumber
daya (miskin) tentu harus difasilitasi dengan diberi bantuan sumber daya yang
dibutuhkan. Sedangkan orang yang malas dapat dicoba rangsang dengan “hadiah”
(reward) atau harus “dipaksa” menggunakan peraturan dan sanksi (punishment)
Tipe pemberdayaan Pemberdayaan individu dilaksanakan dalam berbagai
kesempatan, khususnya pada saat individu-individu anggota rumah tangga
berkunjung dan memanfaatkan upaya-upaya kesehatan bersumber masyarakat
4. PARTISIPASI MASYARAKAT
Menurut Made Pidarta dalam Siti Irene Astuti D. (2009: 31-32), partisipasi
adalah pelibatan seseorang atau beberapa orang dalam suatu kegiatan.
Keterlibatan dapat berupa keterlibatan mental dan emosi serta fisik dalam
menggunakan segala kemampuan yang dimilikinya (berinisiatif) dalam segala
kegiatan yang dilaksanakan serta mendukung pencapaian tujuan dan
tanggungjawab atas segala keterlibatan. Partisipasi merupakan keterlibatan mental
dan emosi dari seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorong mereka
untuk menyokong kepada pencapaian tujuan kelompok tersebut dan ikut
bertanggungjawab terhadap kelompoknya. Adapun prinsip-prinsip partisipasi
tersebut, sebagaimana tertuang dalam Panduan Pelaksanaan Pendekatan
Partisipatif yang disusun oleh Department for International Development (DFID)
(dalam Monique Sumampouw, 2004: 106-107) adalah:
1. Cakupan. Semua orang atau wakil-wakil dari semua kelompok yang
terkena dampak dari hasil-hasil suatu keputusan atau proses proyek
pembangunan.
2. Kesetaraan dan kemitraan (Equal Partnership). Pada dasarnya setiap orang
mempunyai keterampilan, kemampuan dan prakarsa serta mempunyai hak
untuk menggunakan prakarsa tersebut dalam setiap proses guna
membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang dan struktur masing-
masing pihak.
3. Transparansi. Semua pihak harus dapat menumbuh kembangkan
komunikasi dan iklim berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga
menimbulkan dialog.
4. Kesetaraan kewenangan (Sharing Power/Equal Powership). Berbagai
pihak yang terlibat harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan
dan kekuasaan untuk menghindari terjadinya dominasi.
5. Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility). Berbagai pihak
mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses karena adanya
kesetaraan kewenangan (Sharing power) dan keterlibatannya dalam proses
pengambilan keputusan dan langkah-langkah selanjutnya.
6. Pemberdayaan (Empowerment). Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas
dari segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga
melalui keterlibatan aktif dalam setiap proses kegiatan. terjadi suatu proses
saling belajar dan saling memberdayakan satu sama lain.
7. Kerjasama. Diperlukan adanya kerja sama berbagai pihak yang terlibat
untuk saling berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang
ada, khususnya yang berkaitan dengan kemampuan sumber daya manusia.
Sekretariat Bina Desa (1999: 32-33) mengidentifikasikan partisipasi
masyarakat menjadi 7 (tujuh) tipe berdasarkan karakteristiknya, yaitu partisipasi
pasif/manipulatif, partisipasi dengan cara memberikan informasi, partisipasi
melalui konsultasi, partisipasi untuk insentif materil, partisipasi fungsional,
partisipasi interaktif, dan self mobilization. Seperti dijelaskan dibawah ini;
1. Partisipasi pasif/manipulatif, masyarakat berpartisipasi dengan cara
diberitahu apa yang sedang atau telah terjadi; pengumuman sepihak oleh
manajemen atau pelaksana proyek tanpa memperhatikan tanggapan
masyarakat; informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan
profesional di luar kelompok sasaran.
2. Partisipasi dengan cara memberikan informasi, masyarakat berpartisipasi
dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian seperti dalam
kuesioner atau sejenisnya; masyarakat tidak punya kesempatan untuk
terlibat dan mempengaruhi proses penyelesaian; akurasi hasil penelitian
tidak dibahas bersama masyarakat.
3. Partisipasi melalui konsultasi, masyarakat berpartisipasi dengan cara
berkonsultasi; orang luar mendengarkan dan membangun pandangan-
pandangannya sendiri untuk kemudian mendefinisikan permasalahan dan
pemecahannya, dengan memodifikasi tanggapan-tanggapan
1. masyarakat; tidak ada peluang bagi pembuat keputusan bersama; para
profesional tidak berkewajiban mengajukan pandangan-pandangan
masyarakat (sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti.
4. Partisipasi untuk insentif materiil, masyarakat berpartisipasi dengan cara
menyediakan sumber daya seperti tenaga kerja, demi mendapatkan
makanan, upah, ganti rugi, dan sebagainya; masyarakat tidak dilibatkan
dalam eksperimen atau proses pembelajarannya; masyarakat tidak
mempunyai andil untuk melanjutkan kegiatan- kegiatan yang dilakukan
pada saat insentif yang disediakan/diterima habis.
5. Partisipasi fungsional, masyarakat berpartisipasi dengan membentuk
kelompok untuk mencapai tujuan yang berhubungan dengan proyek;
pembentukan kelompok (biasanya) setelah ada keputusan-keputusan utama
yang disepakati; pada awalnya, kelompok masyarakat ini
2. bergantung pada pihak luar (fasilitator, dll) tetapi pada saatnya mampu
mandiri.
6. Partisipasi interaktif, masyarakat berpartisipasi dalam analisis bersama
yang mengarah pada perencanaan kegiatan dan pembentukan lembaga
sosial baru atau penguatan kelembagaan yang telah ada; partisipasi ini
cenderung melibatkan metode inter-disiplin yang mencari keragaman
perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematik; kelompok-
kelompok masyarakat mempunyai peran kontrol atas keputusan-keputusan
mereka, sehingga mereka mempunyai andil dalam seluruh
penyelenggaraan kegiatan.
7. Self mobilization, masyarakat berpartisipasi dengan mengambil inisiatif
secara bebas (tidak dipengaruhi/ditekan pihak luar) untuk mengubah
sistem-sistem atau nilai-nilai yang mereka miliki; masyarakat
mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain untuk
mendapatkan bantuan-bantuan teknis dan sumberdaya yang dibutuhkan;
masyarakat memegang kendali atas pemanfaatan sumberdaya yang ada.
5. UKBM
UKBM (Upaya Kesehatan Bersumberdaya Manusia) adalah salah satu wujud
nyata peran serta masyarakat dalam pembangunan kesehatan. Kondisi ini ternyata
mampu memacu munculnya berbagai bentuk UKBM lainnya seperti Polindes,
POD (pos obat desa), Pos UKK (pos upaya kesehatan).
4. Dana Sehat
Dana telah dikembangkan pada 32 provinsi meliputi 209 kabupaten/kota.
Dalam implementasinya juga berkembang beberapa pola dana sehat,
antara lain sebagai berikut.
a. Dana sehat pola Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), dilaksanakan
pada 34 kabupaten dan telah mencakup 12.366 sekolahan.
b. Dana sehat pola pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa
(PKMD) dilaksanakan pada 96 kabupaten.
c. Dana sehat pola pondok Pesantren, dilaksanakan pasa 39
kabupaten/kota.
d. Dana sehat pola koperasi Unit Desa (KUD), dilaksanakan pada
lebih dari 23 kabupaten, terutama pada KUD yang sudah tergolong
mandiri.
e. Dana sehat yang dikembangkan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), dilaksanakan pada 11 kabupaten/ kota.
f. Dana sehat organisasi/kelompok lainnya (seperti tukang becak,
sopir angkutan kota dan lain-lain), telah dilaksanakan pada 10
kabupaten/kota.
Seharusnya dana sehat merupakan bentuk jaminan pemeliharaan kesehatan
bagi anggota masyarakat yang belum dijangkau oleh asuransi kesehatan
seperti askes, jamsostek, dan asuransi kesehatan swasta lainnya. Dana
sehat berpotensi sebagai wahana memandirikan masyarakat yang pada
gilirannya mampu melestarikan kegiatan UKMB setempat. Oleh karena
itu, dana sehat harus dikembangkan keseluruh wilayah. Kelompok
sehingga semua penduduk terliput oleh dana sehat atau bentuk JPKM
lainnya.
5. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Di tanah air kita ini terdapat 2.950 lembaga swadaya masyarakat (LSM),
namun sampai sekarang yang tercatat mempunyai kegiatan di bidang
kesehatan hanya 105 organisasi LSM. Ditinjau dari segi kesehatan, LSM
ini dapat digolongkan menjadi LSM yang belum mempunyai kegiatannya
bidang kesehatan atau LSM yang aktivitasnya seluruhnya kesehatan dan
LSM khusus antara lain, organisasi profesi kesehatan, organisasi swadaya
internasional.
C. LATIHAN
1. Apa saja hal yang perlu direncanakan untuk tercapainya pengembangan
masyarakat?
2. Dalam proses pemberdayaan masyarakat kenapa kita perlu mempelajari
pengorganisasian masyarakat?
3. Jelaskan yang dimaksud pemberdayaan sebagai ujung tombak dari promosi
kesehatan!
4. Membuat rencana kerja yang dapat diterima dan dilaksanakan oleh
keseluruhan masyarakat, kenapa hal ini sangat penting dalam proses
pengorganisasian dan pengembangan masyarakat?
5. Buatlah suatu program UKBM yang menurut anda akan sangat berguna bagi
masyarakat pada masa ini!
D. RUJUKAN
Azwar, Arul. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan. Edisi Ke-3. Bina rupa
Aksara :Jakarta
Abu Suhu, dkk., 2005. Islam Dakwah dan Kesejahteraan Sosial. Yogyakarta:
Fakultas Dakwah UIN Sunan kalijaga
Mapanga, Kudakwashe G dan Mapanga, Margo B. 2004. A Community Health
Nursing Perspective of Home Health Care Management and Practice. Home
Health Care Management & Practice. vol.16 no.4. halaman 271-279.
BAB V
LINGKUP, TAHAPAN DAN PROSES KEGIATAN MASYARAKAT
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
A. PENDAHULUAN
Dalam praktek pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh banyak pihak,
seringkali terbatas pada pemberdayaan ekonomi dalam rangka pengentasan
kemiskinan (poverty alleviation) atau penanggulangan kemiskinan (poverty
reduction). Karena itu, kegiatan pemberdayaan masyarakat selalu dilakukan dalam
bentuk pengembangan kegiatan produktif untuk peningkatan pendapatan (income
generating).
Untuk mewujudkan perbaikan kesejahteraan tersebut banyak upaya yang
dapat dilakukan. Tetapi untuk mewujudkan ide menjadi diperlukan adanya baik
dari jajaran birokrasi maupun tokoh-tokoh masyarakat (Beals and Bohlen, 1955).
Sayangnya, dalam kehidupan masyarakat sering dijumpai ketidak konsistenan dan
ketidakpastian kebijakan yang lain (inconsistenco and uncertainty policy), baik
karena perubahan-perubahan tekanan ekonomi maupun perubahan kondisi sosial-
politik. Oleh sebab itu, pemberdayaan masyarakat tidak cukup hanya terbatas
pada peningkatan pendapatan (income generating). Tetapi juga diperlukan
advokasi hukum/kebijakan, bahkan pendidikan politik yang cukup untuk
penguatan daya-tawar politis, kaitannya dengan pemberian legitimasi inovasi dan
atau ide-ide perubahan yang akan ditawarkan melalui kegiatan pemberdayaan
masyarakat (Gambar 11) sebagaimana dikemukakan oleh Mardikanto dan
Purwaka (2006). Artinya. tugas kegiatan pemberdayaan masyarakat tidak cukup
hanya berbicara tentang inovasi teknis, perbaikan manajemen dan efisiensi usaha,
tetapi harus juga mampu dan berani menyuarakan hak-hak politik pemangku
kepentingan yang lain, yang tahun terakhir kebijakan dan kepentingan pemerintah
yang sedang berkuasa.
1. Lingkup dan Sistematika
Pemberdayaan masyarakat melibatkan berbagai pihak terutama masyarakat
itu sendiri. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pemberdayaan masyarakat yaitu
Bina Manusia, Bina Usaha, Bina Lingkungan.dan Bina Kelembagaan. Setelah
melakukan upaya pemberdayaan masyarakat maka dilakukanlah tahapan kegiatan
pemberdayaan masyarakat berupa penyadaran, menunjukan adanya masalah,
membantu pemecahan masalah, menunjukan pentingnya perubahan, melakukan
pengujian dan demonstrasi, memproduksi dan publikasi informasi, serta
melaksanakan pemberdayaan/penguatan kapasitas.
2. Keterkaitan dengan materi lain
Pemberdayaan merupakan upaya yang dilakukan oleh masyarakat dengan tau
tanpa dukungan pihak luar, unutk memperbaiki kehidupannya yang berbasis
kepada daya mereka sendiri, melalui upaya optimasi daya serta peningkatan
posisi-tawar yang dimiliki. Dengan kata lain, pemberdayaan harus menempatkan
kekuasaan masyarakat sebagai modal utama serta menhindari rekayasa pihak luar
yang seringkali mematikan kemandirian masyarakat setempat. Oleh sebab itu
perlu untuk mengetahui lingkup, tahapan dan proses dalam pemberdayaan
masyarakat.
B. PENYAJIAN MATERI
1. LINGKUP KEGIATAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Dalam pengertian yang diberikan terhadap pemberdayaan, jelas dinyatakan
bahwa adalah proses dan optimasi daya (yang dimiliki dan atau dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat), baik daya dalam pengertian “Kemampuan dan
keberanian” maupun daya dalam arti "kekuasaan atau posisi tawar". Dalam
praktek pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh banyak pihak, seringkali
terbatas pada pemberdayaan ekonomi dalam rangka pengentasan kemiskinan
(poverty alleviation) atau penanggulangan kemiskinan (poverty reduction).
Karena itu, kegiatan pemberdayaan masyarakat selalu dilakukan dalam bentuk
pengembangan kegiatan produktif untuk peningkatan pendapatan (income
generating).
Sumadyo (2001) merumuskan tiga upaya pokok dalam setiap pemberdayaan
masyarakat, yang disebutnya sebagai Tri Bina, yaitu: Bina Manusia, Bina Usaha,
dan Bina Lingkungan. Terhadap rumusan ini, Mardikanto (2003) menambahkan
pentingnya Bina Kelembagaan, karena ketiga Bina yang dikemukakan (Bina
Manusia, Bina Usaha, dan Bina Lingkungan) itu hanya akan terwujud seperti
yang diharapkan, manakala didukung oleh efektivitas beragam kelembagaan yang
diperlukan.
pasar
regional/nasional
pusat/balai pusat/balai
Pasar
penelitian/penguji penyuluhan
sarana/produk
an
Penelitian/peng
penyuluhan
ujian
pembiayaan Pengolahan
lokal
Pembiayaan Industri
regional/nasional Transportasi pengolahan besar
lokal
Transportasi antar-
lokasi
DAYA-SAING
VOICE & CHOICE
POLITIK
PELEMBAGAAN/
PENGORGANISASIAN
PENYADARAN
INCOME GENERATING
ADVOKASI
PEMERINTAH PELAKU
POLITISI
PROPINSI BISNIS
PEMERINTAH
KABUPATEN
KOTA
MASYARAKAT KELAS BAWAH
Gambar 5.3
Oleh sebab itu, ide-ide atau program dan kegiatan penyuluhan
pemberdayaan masyarakat yang akan ditawarkan untuk memperbaiki
kesejahteraan masyarakat harus mampu mengakomodasikan kepentingan politikus
(pilkada, pemilu, dan visi-misi dan pelaku bisnis.
Hal ini disebabkan karena antara politikus dan pelaku bisnis sebenarnya
ada kepentingan yang saling membutuhkan, yaitu: politikus membutuhkan "biaya
perjuangan", sementara bisnis memerlukan dukungan politik. Dengan kata lain,
ide-ide, program dan kegiatan penyuluhan yang ditawarkan bukanlah sesuatu
yang bebas nilai, melainkan harus mampu meyakinkan politikus maupun pelaku
bisnis tentang manfaat ekonomi dan politis yang kuat.
KEPENTINGAN
POLITIK
PILKADA/ VISI/MISI
PEMILU
PROGRAM
DUKUNGAN
STABILITAS
Ekonomi,Politik,
KESEJAHTERAAN
DUKUNGAN Sosial, Budaya,
RAKYAT
Pertahanan,
POLITIK KEBIJAKAN
Keamanan
KEPENTINGAN
BISNIS
Keinginan
untuk berubah
4. PEMANDIRIAN MASYARAKAT
Berpegang pada prinsip pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk
memandirikan masyarakat dan meningkatkan taraf hidupnya, maka arah
pemandirian masyarakat adalah berupa pendampingan untuk menyiapkan
masyarakat agar benar-benar mampu mengelola sendiri kegiatannya.
Proses pemberdayaan masyarakat terkait erat dengan faktor internal dan
eksternal. Dalam hubungan ini, meskipun faktor internal sangat penting sebagai
salah satu wujud self organizing dari masyarakat, namun kita juga perlu
memberikan perhatian pada faktor eksternalnya. Proses pemberdayaan masyarakat
mestinya juga didampingi oleh suatu tim fasilitator yang bersifat multidisplin. Tim
pendamping ini merupakan salah satu external factor dalam pemberdayaan
masyarakat. Peran tim pada awal proses sangat aktif tetapi akan berkurang secara
bertahap selama proses berjalan sampai masyarakat sudah mampu lanjutkan
kegiatannya secara mandiri.
Dalam operasionalnya inisiatif tim pemberdayaan masyarakat akan pelan-
pelan dikurangi dan akhirnya berhenti. Peran fasilitator akan dipenuhi oleh
pengurus kelompok atau pihak lain yang dianggap mampu oleh masyarakat.
Kapan waktu fasilitator tergantung kesepakatan bersama yang telah ditetapkan
sejak awal program dengan warga masyarakat. Berdasarkan beberapa pengalaman
dilaporkan bahwa Tim Fasilitator dapat dilakukan minimal 3 tahun setelah proses
dimulai dengan tahap sosialisasi. Walaupun tim sudah mundur, anggotanya tetap
berperan, yaitu sebagai penasehat atau konsultan bila diperlukan oleh masyarakat.
Secara skematis, mekanisme pembagian peran menurut periode antara tim PM dan
kelompok masyarakat dalam dalam proses pemberdayaan masyarakat. Selaras
dengan tahapan-tahapan kegiatan pemberdayaan yang telah dikemukakan
tersebut, tahapan kegiatan pemberdayaan dapat dibagi menjadi beberapa tahapan,
yaitu:
1. Penetapan dan pengenalan wilayah kerja
Sebelum melakukan kegiatan, penetapan wilayah kerja perlu
memperoleh kesepakatan antara Tim Fasilitator, Aparat pemerintah
setempat, (perwakilan) masyarakat setempat, dan pemangku kepentingan
yang lain (pelaku bisnis, tokoh masyarakat, aktivis LSM, akademisi, dll).
Hal ini, tidak saja untuk menghindari gesekan atau konflik kepentingan
antar semua pemangku kepentingan, tetapi juga untuk membangun
sinergi dan memperoleh dukungan berupa partisipasi dari seluruh
pemangku kepentingan, demi keberhasilan program dan kegiatan
pemberdayaan masyarakat yang akan dilakukan.
2. Sosialisasi Kegiatan, yaitu upaya mengkomunikasikan rencana kegiatan
pemberdayaan masyarakat yang akan dilakukan di wilayah tersebut.
Termasuk dalam sosialisasi kegiatan, perlu juga dikemukakan tentang
pihak-pihak terkait yang akan diminta partisipasi/keterlibatannya, peran
yang diharapkan, pendekatan, strategi serta langkah-langkah yang akan
dilakukan
3. Penyadaran masyarakat, yang seperti uraian di atas, merupakan
kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk menyadarkan masyarakat
tentang “keberadaannya”, baik sebagai individu dan anggota masyarakat,
maupun kondisi lingkungannya yang masyarakat, menyangkut
lingkungan fisik/teknis, sosial-budaya, ekonomi dan politik. Termasuk
dalam penyadaran, adalah
a. Bersama-sama masyarakat melakukan analisis keadaan yang
menyangkut potensi dan masalah, serta analisis faktor-faktor
penyebab terjadinya masalah yang menyangkut kelemahan internal
dan ancaman eksternalnya.
b. Melakukan analisis akar-masalah, analisis alternatif pemecahan
masalah, serta pilihan alternatif pemecahan terbaik yang dapat
dilakukan.
c. Menunjukkan pentingnya perubahan untuk memperbaiki
keadaannya, termasuk merumuskan prioritas perubahan, tahapan
perubahan, cara melakukan dan mencapai perubahan, sumberdaya
yang diperlukan, maupun peran bantuan (modal, teknologi,
manajemen, kelembagaan, dll.) yang masyarakat, termasuk
pemilihan pemimpin.
4. Pengorganisasian masyarakat, termasuk pemilihan pemimpin dan
kelompok-kelompok tugas (task group) yang akan dibentuk.
Pengorganisasian masyarakat ini penting karena untuk guna memecahkan
masalah dan atau memperbaiki keadaan sering kali tidak dapat dilakukan
secara individual (perorangan), tetapi memerlukan pengorganisasian
masyarakat. Temasuk dalam pengorganisasian adalah: pembagian peran,
dan pengembangan jejaring kemitraan.
5. Pelaksanaan kegiatan yang terdiri dari:
a. Berbagai pelatihan untuk menambah dan atau memperbaiki
pengetahuan teknis, keterampilan manajerial serta perubahan
sikap/wawasan
b. Pengembangan kegiatan, utamanya yang berkaitan dengan
peningkatan pendapatan (income generating) serta perlindungan,
pelestarian dan perbaikan/rehabilitasi sumberdaya alam, maupun
pengembangan efektivitas kelembagaan.
Kegiatan peningkatan pendapatan merupakan upaya terpenting untuk
membiayai kegiatan-kegiatan yang diperlukan maupun untuk meningkatkan
posisi-tawar dan membangun kemandirian. Peningkatan pendapatan, juga
memiliki arti penting agar masyarakat semakin yakin bahwa peran-bantuan yang
diberikan benar-benar mampu memperbaiki kehidupan mereka, minimal secara
ekonomi.
1. Advokasi Kebijakan, karena semua upaya pemberdayaan masyarakat
(peningkatan pendapatan, penguatan posisi-tawar, dll) memerlukan
dukungan kebijakan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat.
Kegiatan advokasi ini diperlukan guna memperoleh dukungan politik dan
legitimasi dari elit masyarakat (aparat pemerintah, pelaku bisnis, tokoh
masyarakat, pegiat LSM, akademisi, dll)
2. Politisasi, dalam arti terus menerus memelihara dan meningkatkan posisi-
tawar melalui kegiatan politik praktis. Hal ini diperlukan untuk
memperoleh dan melestarikan legitimasi dan keberlanjutan kebijakan
yang ingin dicapai melalui pemberdayaan masyarakat. Politisasi ini,
perlu dilakukan melalui beragam cara, seperti:
a. Menanam "virus" atau kader-kader perubahan yang memiliki
komitmen untuk mendukung pemberdayaan masyarakat, ke dalam
jajaran birokrasi, politisi, pelaku bisnis, dll.
b. Melakukan "pressure" melalui media-masa, forum ilmiah, dan
pengembangan "kelompok penekan" (pressure group).
c. Melakukan kegiatan aksi nyata melalui kelompok-kecil,
menunjukkan manfaat pemberdayaan masyarakat yang ditawarkan.
C. RANGKUMAN
Berpegang pada prinsip pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk
memandirikan masyarakat dan meningkatkan taraf hidupnya, maka arah
pemandirian masyarakat adalah berupa pendampingan untuk menyiapkan
masyarakat agar benar-benar mampu mengelola sendiri kegiatannya.
Sumadyo (2001) merumuskan tiga upaya pokok dalam setiap pemberdayaan
masyarakat, yang disebutnya sebagai Tri Bina, yaitu: Bina Manusia, Bina Usaha,
dan Bina Lingkungan. Terhadap rumusan ini, Mardikanto (2003) menambahkan
pentingnya Bina Kelembagaan, karena ketiga Bina yang dikemukakan (Bina
Manusia, Bina Usaha, dan Bina Lingkungan) itu hanya akan terwujud seperti
yang diharapkan, manakala didukung oleh efektivitas beragam kelembagaan yang
diperlukan.
Tahapan kegiatan pemberdayaan masyarakat ke dalam 7 (tujuh) kegiatan
pokok yaitu penyadaran, menunjukan adanya masalah, membantu pemecahan
masalah, menunjukan pentingnya perubahan, melakukan pengujian dan
demonstrasi, memproduksi dan publikasi informasi, serta melaksanakan
pemberdayaan/penguatan kapasitas.
Selaras dengan tahapan-tahapan kegiatan pemberdayaan yang telah dikemukakan
tersebut, tahapan kegiatan pemberdayaan dapat dibagi menjadi beberapa tahapan,
yaitu:
1. Penetapan dan pengenalan wilayah kerja
2. Sosialisasi Kegiatan,
3. Penyadaran masyarakat
4. Pengorganisasian masyarakat,
5. Pelaksanaan kegiatan
6. Advokasi Kebijakan
7. Politisasi
D. LATIHAN/TUGAS/EKSPERIMEN
1. Dalam melakukan bina kelembagaan ada 4 komponen dalam prinsipnya
salah satunya yaitu komponen kepentingan. Jelaskan maksud dari
komponen kepentingan tersebut.
2. Sebutkan apa saja upaya yang dilakukan dalam pelaksanaan bina
manusia?
3. Mengapa program dan kegiatan penyuluhan harus mampu
mengakomodasikan kepentingan politikus?
4. Menimbulkan keinginan untuk berubah merupakan tahap awal dalam
kegiatan pemberdayaan masyarakat, mengapa demikian? Jelaskan
alasannya!
5. Jelaskan Siklus pemberdayaan Masyarakat!
E. RUJUKAN
Beal, G.M. and J.B. Bohlen. 1955. How Farm Accept New Ideas. Iowa: Iowa
States College and Federal Office
Lippit, R.J Watson, and B. Westley. 1961. The Dynamic of Planned Change. New
York: Harcourt, Brace and World, Inc.
Mosher, A.T. 1969. Getting Agriculture Moving. New York: A Praeger, Inc.
Publisher
Sumaryadi, I, N. 2004. Perencanaan Pembangunan Daerah Otonom dan
Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Citra Utama
BAB VI
PENDEKATAN DIREKTIF DAN NON DIREKTIF
A. PENDAHULUAN
Pelaksanaan upaya pembangunan dalam garis besarnya dapat dilaksanakan
dengan menggunakan pendekatan yang bersifat direktif atau pendekatan yang
bersifat non direktif. Pada pendekatan yang bersifat direktif, diambil asumsi
bahwa petugas tahu apa yang dibutuhkan dan apa yang baik untuk masyarakat.
Dalam pendekatan ini maka peranan petugas bersifat lebih dominan karena
prakarsa kegiatan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk keperluan
pembangunan datang dari petugas. Interaksi yang muncul lebih bersifat instruktif
dan masyarakat dilihat sebagai obyek.
Pada pendekatan yang bersifat non-direktif, maka diambil asumsi bahwa
masyarakat tahu apa sebenarnya yang mereka butuhkan dan apa yang baik untuk
mereka. Peranan pokok ada pada masyarakat, sedangkan petugas lebih bersifat
menggali dan mengembangkan potensi masyarakat. Prakarsa kegiatan dan sumber
daya yang dibutuhkan berasal dari masyarakat. Sifat interaksi adalah partisipatif
dan masyarakat dilihat sebagai subyek.
Mengingat keragaman dalam potensi masyarakat, diperlukan penyesuaian
antara pendekatan yang dipilih dikaitkan dengan potensi dari masyarakat dimana
kegiatan pembangunan itu dilaksanakan. Dalam pilihan pendekatan tersebut harus
tetap diingat bahwa upaya pembangunan haruslah merupakan upaya untuk
mewujudkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat. Hal ini dapat dianalogikan
dengan suatu konsep yang disebut konsep piring terbang.
Sesuai dengan hukum mekanika, maka suatu piringan yang berputar akan
bergerak naik jika mengalami peningkatan dalam kecepatan berputarnya dan akan
bergerak turun jika mengalami penurunan dalam kecepatan berputarnya. Potensi
masyarakat dapat digambarkan sebagai energi yang ada dalam sebuah piringan
yang berputar. Kecepatan berputar ini berbeda-beda antara satu kelompok
masyarakat dibandingkan dengan kelompok lainnya. Perbedaan inilah yang
menyebabkan adanya perbedaan ketinggian dari masing-masing piring tersebut.
Pada kelompok masyarakat yang sudah berkembang maka energi yang ada sudah
dikembangkan secara optimal sehingga tingkat perkembangannya lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain yang belum berkembang.
Dikaitkan dengan hukum mekanika dalam piring terbang tersebut, maka
posisi piring terbang akan dapat ditingkatkan dengan menambah kecepatan
berputarnya. Penambahan kecepatan ini bisa berasal dari luar maupun dari dalam.
Yang penting diperhatikan adalah penambahan perputaran harus dilakukan pada
saat yang tepat dan dengan arah yang sesuai, jika kita menginginkan terjadinya
peningkatan kedudukan piring terbang tersebut agar naik lebih tinggi dari posisi
semula. Penambahan perputaran yang terjadi secara tiba-tiba dapat menimbulkan
kegoncangan dan penambahan percepatan yang tidak sesuai dengan arah semula
justru akan menimbulkan keruntuhan.
1. Lingkup dan Sistematika
Dalam penerapan di lapangan, pilihan antara pendekatan direktif dan
non-direktif perlu disesuaikan dengan tingkat perkembangan msayarakatnya.
Masyarakatnya yang sudah mampu mendayagunakan potensi yang dimiliki
perlu didekati dengan pendekatan yang non-direktif sedangkan masyarakat
yang dalam tingkat perkembangan yang lebih awal bisa mulai didekati
dengan pendekatan direktif. Secara skematis hal ini bisa digambarkan sbb :
DIREKTIF
NON DIREKTIF
B. PENYAJIAN MATERI
1. Pengertian
Dalam suatu kegiatan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, seorang
petugas biasanya datang ke kelompok masyarakat tertentu, membuat identifikasi
masalah dan sampai kepada suatu kesimpulan bahwa masyarakat memerlukan
program tertentu untuk meningkatkan taraf hidupnya. Program yang ditujukan
untuk memperbaiki keadaan masyarakat ini sebetulnya didasarkan pada asumsi
bahwa petugas mempunyai kemampuan untuk menetapkan "konsep baik-buruk"
dari masyarakat sasaran. Meskipun hal ini kelihatannya sederhana, masalah
sebenarnya justru tidak sederhana. Setiap orang bisa mempunyai pendapat
sendiri-sendiri tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan pendapat-pendapat
ini bisa berbeda satu sama lain. Banyak faktor yang menentukan pandangan
seseorang tentang baik-buruknya sesuatu, seperti misalnya faktor pengalaman,
pendidikan, harapan, motovasi dan sebagainya. Dengan demikian bisa terjadi
bahwa apa yang dianggap buruk oleh petugas belum tentu ditafsirkan sama oleh
masyarakat dan demikian juga apa yang dianggap baik oleh masyarakat belum
tentu mendapat penafsiran yang sama dari petugas.
Pada suatu pendekatan yang direktif, petugaslah yang menetapkan apa yang
baik atau buruk bagi masyarakat, cara-cara apa yang perlu dilakukan untuk
memperbaikinya dan selanjutnya menyediakan sarana yang diperlukan untuk
perbaikan tersebut. Dengan pendekatan seperti ini memang prakarsa dan
pengambilan keputusan berada ditangan petugas. Dalam prakteknya petugas
memang mungkin menanyakan apa yang menjadikebutuhan masyarakat atau cara
apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi suatu masalah, tetapi jawaban yang
muncul dari masyarakat selalu diukur dari segi baik dan buruk menurut petugas.
Dengan pendekatan ini memang banyak hasil yang telah diperoleh, tetapi terutama
untuk hal- hal yang bersifat tujuan jangka pendek, atau yang bersifat pencapaian
secara fisik. Pendekatan seperti ini menjadi kurang efektif untuk mencapai hal-hal
yang sifatnya jangka panjang atau untuk memperoleh perubahan-perubahan
mendasar yang berkaitan dengan perilaku. Penggunaan pendekatan direktif
sebetulnya juga mengakibatkan hilangnya kesempatan untuk memperoleh
pengalaman belajar dan menimbulkan kecenderungan untuk tergantung kepada
petugas. Pada pendekatan non-direktif, petugas tidak menempatkan diri sebagai
orang yang menetapkan apa yang baik dan apa yang buruk bagi masyarakat,untuk
membuat analisa dan mengambil keputusan untuk masyarakat atau menetapkan
cara-cara yang bisa dilakukan oleh masyarakat. Dengan menggunakan
pendekatan ini petugas berusaha untuk merangsang tumbuhnya suatu proses
penetapan sendiri (self determination) dan kemandirian (self- help). Tujuannya
adalah agar masyarakat memperoleh pengalaman belajar untuk pengembangan
diri dengan melalui pemikiran dan tindakan oleh masyarakat sendiri.
3. Peran Petugas
Untuk terciptanya kondisi-kondisi seperti tersebut diatas, maka petugas dapat
mengambil peran untuk :
1. Menumbuhkan keinginan untuk bertindak dengan merangsang
munculnya diskusi tentang apa yang menjadi masalah dalam masyarakat.
2. Memberikan informasi, jika dibutuhkan tentang pengalaman kelompok
lain dalam mengorganisasi diri untuk menghadapi hal yang serupa.
3. Membantu diperolehnya kemampuan masyarakat untuk membuat analisa
situasi secara sistimatik tentang hakekat dan penyebab dari masalah yang
dihadapi masyarakat.
4. Menghubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang dapat
dimanfaatkan untuk membantu mengatasi masalah yang sedang dihadapi
mereka, sebagai tambahan dari sumber-sumber yang memang sudah
dimiliki masyarakat.
Dalam menjalankan pendekatan non-direktif, petugas dapat dihadapkan
kepada munculnya konflik-konflik diantara sesama anggota masyarakat.
Konflik yang tidak dapat dikendalikan dan diatasi dapat mengakibatkan
perpecahan, oleh karena itu petugas harus mampu mengenal adanya konflik
ini dan mengambil tindakan- tindakan untuk mengatasinya.
C. RANGKUMAN
Pelaksanaan upaya pembangunan dalam garis besarnya dapat dilaksanakan
dengan menggunakan pendekatan yang bersifat direktif atau pendekatan yang
bersifat non direktif. Pada pendekatan yang bersifat direktif, diambil asumsi
bahwa petugas tahu apa yang dibutuhkan dan apa yang baik untuk masyarakat.
Dalam pendekatan ini maka peranan petugas bersifat lebih dominan karena
prakarsa kegiatan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk keperluan
pembangunan datang dari petugas. Interaksi yang muncul lebih bersifat instruktif
dan masyarakat dilihat sebagai obyek. Pada pendekatan yang bersifat non-direktif,
maka diambil asumsi bahwa masyarakat tahu apa sebenarnya yang mereka
butuhkan dan apa yang baik untuk mereka. Peranan pokok ada pada masyarakat,
sedangkan petugas lebih bersifat menggali dan mengembangkan potensi
masyarakat. Prakarsa kegiatan dan sumber daya yang dibutuhkan berasal dari
masyarakat. Sifat interaksi adalah partisipatif dan masyarakat dilihat sebagai
subyek.
Mengingat keragaman dalam potensi masyarakat, diperlukan penyesuaian
antara pendekatan yang dipilih dikaitkan dengan potensi dari masyarakat dimana
kegiatan pembangunan itu dilaksanakan. Dalam pilihan pendekatan tersebut harus
tetap diingat bahwa upaya pembangunan haruslah merupakan upaya untuk
mewujudkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat
D. LATIHAN/TUGAS/EKSPERIMEN
1. Pendekatan direktif dilakukan pada karakteristik masyarakat yang
bagaimana?
2. Manakah pendekatan yang paling efektif dalam menghadapi masyarakat
yang sangat mengetahui apa yang mereka butuhkan?
3. Apa keuntungan dan kelemahan dalam melakukan pendekatan direktif?
4. Bagaimana peran petugas dalam melakukan pendekatan non direktif?
5. Apakah ada pendekatan yang lebih efektif diantara kedua pendekatan
tersebut? Sebutkan alasannya!
E. RUJUKAN
Batten, T.R.(1978) Non- directive approach in group and community work.
Oxford: Oxford University Press.
BAB VII
MODEL - MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
A. PENDAHULUAN
Tanggung jawab utama dalam program pembangunan adalah masyarakat
berdaya atau memiliki daya, kekuatan atau kemampuan. Kekuatan yang dimaksud
dapat dilihat dari aspek fisik dan material, ekonomi, kelembagaan, kerjasama,
kekuatan intelektual dan komitmen bersama dalam menerapkan prinsip-prinsip
pemberdayaan. Kemampuan berdaya mempunyai arti yang sama dengan
kemandirian masyarakat. Terkait dengan program pembangunan, bahwa tujuan
yang ingin dicapai adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi
mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan
mengendalikan apa yang mereka lakukan.
Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh
masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan serta
melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah-
masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya kemampuan yang dimiliki.
Daya kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif,
psikomotorik dan afektif serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik/material.
Kemandirian masyarakat dapat dicapai tentu memerlukan sebuah proses belajar.
Masyarakat yang mengikuti proses belajar yang baik, secara bertahap akan
memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan yang bermanfaat dalam proses
pengambilan keputusan secara mandiri. Berkaitan dengan hal ini, Sumodiningrat
(2000) menjelaskan bahwa keberdayaan masyarakat yang ditandai adanya
kemandiriannya dapat dicapai melalui proses pemberdayaan masyarakat.
Keberdayaan masyarakat dapat diwujudkan melalui partisipasi aktif
masyarakat yang difasilitasi dengan adanya pelaku pemberdayaan. Sasaran utama
pemberdayaan masyarakat adalah mereka yang lemah dan tidak memiliki daya,
kekuatan atau kemampuan mengakses sumberdaya produktif atau masyarakat
terpinggirkan dalam pembangunan. Tujuan akhir dari proses pemberdayaan
masyarakat adalah untuk memandirikan warga masyarakat agar dapat
meningkatkan taraf hidup keluarga dan mengoptimalkan sumberdaya yang
dimilikinya.
Secara sosial banyak masyarakat yang sampai saat ini tetap teridentifikasi
sebagai masyarakat marginal (terpinggirkan) dan tidak memiliki daya, kekuatan,
dan kemampuan yang dapat diandalkan serta tidak memiliki modal yang memadai
untuk bersaing dengan masyarakat kapitalis atau masyarakat pengusaha yang
secara sosial dan politik memiliki daya, kekuatan dan kemampuan yang memadai.
Secara ekonomis ketidakberdayaan masyarakat secara sosial, ekonomi
menjadi salah satu ganjalan bagi masyarakat untuk berdiri sama tinggi dan duduk
sama rendah dengan sesama saudaranya yang telah berhasil. Kondisi inilah yang
perlu dipahami dan dijadikan salah satu pertimbangan dalam pengambilan
kebijakan dan perencanaan penyusunan program, agar setiap kebijakan dan
program yang diambil tetap memperhatikan kondisi sosial budaya dan ekonomi
masyarakatnya.
Paradigma perencanaan pengelolaan dan pemberdayaan masyarakat yang
sentralistik yaitu program dirancang dari atas tanpa melibatkan masyarakat harus
diubah kearah peningkatan partisipasi masyarakat lokal secara optimal.
Pemberdayaan dapat diartikan sebagai suatu pelimpahan atau pemberian kekuatan
(power) yang akan menghasilkan hierarki kekuatan dan ketiadaan kekuatan,
seperti yang dikemukakan Simon (1993) bahwa pemberdayaan suatu aktivitas
refleksi, suatu proses yang mampu diinisiasikan dan dipertahankan hanya oleh
agen atau subjek yang mencari kekuatan atau penentuan diri sendiri (self-
determination). Sulistiyani (2004) menjelaskan lebih rinci bahwa secara
etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar "daya" yang berarti kekuatan
atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan
dimaknai sebagai proses untuk memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan, dan
atau proses pemberian daya, kekuatan atau kemampuan dari pihak yang memiliki
daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya.
Berdasarkan beberapa pengertian pemberdayaan yang dikemukakan tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya pemberdayaan adalah suatu
proses dan upaya untuk memperoleh atau memberikan daya, kekuatan atau
kemampuan kepada individu dan masyarakat lemah agar dapat mengidentifikasi,
menganalisis, menetapkan kebutuhan dan potensi serta masalah yang dihadapi dan
sekaligus memilih alternatif pemecahnya dengan mengoptimalkan sumberdaya
dan potensi yang dimiliki secara mandiri. Pranarka & Vidhyandika (1996)
menjelaskan bahwa ”proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan.
Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau
mengalihkan sebagian kekuatan. Kedua, kekuasaan atau kemampuan kepada
masyarakat agar individu lebih berdaya.
B. PENYAJIAN MATERI
1. Model A (Locally Development) dalam pemberdayaan masyarakat
Model ini dapat diartikan pendekatan lokal terpusat (kelompok sasaran).
Tujuan pendekatan ini supaya proses akselerasi kemandirian sikap dan menumbuh
kembangkan sifat entrepreneurship dari anggota sasaran. Setiap kelompok terdiri
dari 5-10 unit usaha/perorangan. Kelompok sasaran ini yang sesungguhnya
sebagai pelaku dalam mencapai target dan tujuan yang akan dicapai. Karena
mereka yang akan merencanakan, mengorganisasikan, mengevaluasi, dan
monitoring dengan didampingi oleh seorang pendamping lapangan yang bertugas
mengarahkan, mendampingi, dan ikut dalam proses perencanaan, mengorganisasi,
dan evaluasi. Salah satu tugas utama seorang pendamping lapangan yaitu
membina moral kelompok sasaran, sehingga kelompok sasaran akan mendapat
manfaat dunia dan akherat. Kemanfaatan dan kesejahteraan hidup ini tentu
menjadi tujuan utama dari program terhadap komunitas bisnis dalam masyarakat.
Model pengembangan lokal menekankan bahwa perubahan dalam masyarakat
dapat dilakukan bila melibatkan partisipasi aktif yang luas disemua spektrum
masyarakat tingkat lokal, baik dalam tahap penentuan tujuan maupun pelaksanaan
tindakan perubahan. Pembangunan masyarakat adalah proses yang dirancang
untuk menciptakan kondisi-kondisi sosial – ekonomi yang lebih maju dan sehat
bagi seluruh masyarakat melalui partisipasi aktif mereka, serta berdasarkan
kepercayaan yang penuh terhadap prakasa mereka sendiri.
1. Kepemimpinan lokal
Dengan system kemasyarakatan lokal yang relatif masih bersifat organis
dengan pola interaksi harmonis, maka dalam perencanaan dan implementasi
program pengembangan masyarakat perlu dipertimbangkan, bahwa
pemimpin-pemimpin masyarakat masih menempati posisi kunci baik dalam
pembuatan keputusan maupun sebagai representasi masyarakat lokal itu
sendiri.
2. Jaringan Hubungan antar Kelompok (Intergroup relations)
Masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang besar, yang di dalamnya
berisikan unit-unit sosial yang lebih kecil yang disebut kelompok. Dalam
praktik pengembangan masyarakat, sesungguhnya yang dihadapi dan
dikembangkan adalah kelompok-kelompok warga masyarakat sehingga
menjadi sebuah jaringan kerja yang sinergis. Demikianlah mengapa
pengorganisasian dan pengembangan masyarakat (community organization
and community development), sering pula disebut sebagai ‘intergroup
relations’.
C. RANGKUMAN
Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh
masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan serta
melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah-
masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya kemampuan yang dimiliki.
Keberdayaan masyarakat dapat diwujudkan melalui partisipasi aktif masyarakat
yang difasilitasi dengan adanya pelaku pemberdayaan. Tujuan akhir dari proses
pemberdayaan masyarakat adalah untuk memandirikan warga masyarakat agar
dapat meningkatkan taraf hidup keluarga dan mengoptimalkan sumberdaya yang
dimilikinya. Untuk mencapai tujuan itu maka dilakukanlah upaya pemberdayaan
masyarakat menggunakan tiga model pemberdayaan yaitu Model A (Locally
Development) dalam pemberdayaan masyarakat, Model B (Social Planning)
dalam pemberdayaan masyarakat, Model C (Social Action) dalam pemberdayaan
masyarakat.
1. Model A : Berorientasi pada proses, terlihat dari banyaknya penggunaan
metode dinamika kelompok. Pencapaian konsensus dan menghindari konfllik.
Petugas berperan sebagai enabler, yang memberi kesempatan kepada
masyarakat untuk mengalami proses belajar, melalui kegiatan pemecahan
masalah.
2. Model B : Berorientasi pada penugasan. Pemecahan masalah secara rasional
dan logis, untuk itu perlu mengumpulkan data dan analisa data sebelum
membuat perencanaan yang baik. Petugas berperan sebagai seorang ahli
(expert) dengan kemampuan teknis untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapi masyarakat.
3. Model C : Kadang-kadang berorientasi pada proses, kadang-kadang
berorientasi pada penugasan. Memanfaatkan konflik, konfrontasi dan aksi
langsung. Petugas berperan sebagai aktifis yang mampu memanfaatkan media
massa dan dukungan politis.
D. LATIHAN/TUGAS/EKSPERIMEN
1. Manakah model pemberdayaan yang cocok dilakukan dalam pemecahan
masalah secara teknis terhadap masalah sosial yang substantif ?
2. Sebutkan tujuan akhir dari proses pemberdayaan masyarakat dan alas an
pentingnya melakukan pemberdayaan masyarakat?
3. Jelaskan perbedaan dari masing-masing model pemberdayaan
masyarakat!
4. Dalam model B (Social Planning) Asumsi dan tujuan sebuah
perencanaan sosial tergantung pada model perencanaan yang dipilih.
Jelaskan empat model dalam perencanaan!
5. Sebutkan dan jelaskan bentuk penerapan model C (Social Action)!
E. RUJUKAN
Departemen sosial RI 1997. Panduan Penumbuhkembabangan Organisasi
Sosial Tingkat Desa/ Kelurahan dalam Usaha Kesejahteraan Sosial.
Jakarta: Pengarang
Ed. Earl Rubington and Martin S. Weinberg. 1995. The Study of Social Problem;
Seven Persfectives. New York: Oxford University Press.
Lippit, R.J Watson, and B. Westley. 1961. The Dynamic of Planned Change. New
York: Harcourt, Brace and World, Inc.
A. PENDAHULUAN
Belajar adalah proses perubahan perilaku secara aktif, proses mereaksi
terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu, proses yang diarahkan pada
suatu tujuan, proses berbuat melalui berbagai pengalaman, proses melihat,
mengamati, dan memahami sesuatu yang dipelajari. suatu proses perubahan
tingkah laku didalam diri manusia. Bila setelah selesai suatu usaha belajar tetapi
tidak terjadi perubahan pada diri individu yang belajar, maka tidak dapat
dikatakan bahwa pada diri individu tersebut telah terjadi proses belajar. Menurut
Slameto, (2010:2) berpendapat bahwa “konsep belajar ialah suatu proses usaha
yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang
baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi
dengan lingkungannya”.
Pada dasarnya untuk memperbaiki pemahaman masyarakat akan suatu hal
memerlukan konsep atau cara pembelajaran yang tepat baik dari segi konsep ,
situasi belajar dan penyampaian pemahaman agar dapat diterima oleh masyarakat
luas. Oleh karena itu diperlukan pemahaman konsep belajar di masyarakat yang
sesuai dengan karakteristik masyarakat agar dapat diterima dengan jelas oleh
masyarakat.
Sistematika
1. Informasi verbal (Verbal information) Merupakan pengetahuan yang dimiliki
seseorang dan dapat diungkapkan dalam bentuk bahasa, lisan, dan tertulis.
Pengetahuan tersebut diperoleh dari sumber yang juga menggunakan bahasa,
lisan maupun tertulis. Informasi verbal meliputi ”cap verbal” dan
”data/fakta”. Cap verbal yaitu kata yang dimiliki seseorang untuk menunjuk
pada objek-objek yang dihadapi, misalnya ’kursi’. Data/fakta adalah
kenyataan yang diketahui, misalnya ’Ibukota negara Indonesia adalah
Jakarta’.
2. Kemahiran intelektual (Intellectual skill) Yang dimaksud adalah kemampuan
untuk berhubungan dengan lingkungan hidup dan dirinya sendiri dalam
bentuk suatu representasi, khususnya konsep dan berbagai lambang/simbol
(huruf, angka, kata, dan gambar).
3. Pengaturan kegiatan kognitif (Cognitive strategy)Merupakan suatu cara
seseorang untuk menangani aktivitas belajar dan berpikirnya sendiri, sehingga
ia menggunakan cara yang sama apabila menemukan kesulitan yang sama.
4. Keterampilan motorik (Motor skill)Adalah kemampuan seseorang dalam
melakukan suatu rangkaian gerak-gerik jasmani dalam urutan tertentu,
dengan mengadakan koordinasi antara gerak-gerik berbagai anggota badan
secara terpadu.
5. Sikap (Attitude)Merupakan kemampuan seseorang yang sangat berperan
sekali dalam mengambil tindakan, apakah baik atau buruk bagi dirinya
sendiri.
Keterkaitan materi dengan materi lain
Pemberdayaan masyarakat merupakan strategi pembangunan. Dalam
perspektif pembangunan ini, disadari betapa penting kapasitas manusia dalam
upaya meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal atas sumber daya materi
dan nonmaterial. sebagai suatu strategi pembangunan, pemberdayaan dapat
diartikan sebagai kegiatan membantu klien untuk memperoleh daya guna
mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan, terkait
dengan diri mereka termasuk mengurangi hambatan pribadi dan sosial dalam
melakukan tindakan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk
menggunakan daya yang dimiliki dengan mentransfer daya dari lingkungannya
(payne, 1997: 266 dalam buku “modern social work theory”). Dengan demikian
SDM merupakan suatu nilai penting dalam pengorganisasian dan pemberdayaan
masyarakat sehingga diperlukan cara memahami proses pembelajaran masyarakat
agar dapat membentuk SDM yang baik dan dapat terorganisir dengan baik.
B. PENYAJIAN MATERI
1. Pengertian Konsep Belajar
Konsep belajar menurut teori belajar konstruktivisme yaitu pengetahuan baru
di konstruksi sendiri oleh peserta didik secara aktif berdasarkan pengetahuan yang
telah diperoleh sebelumnya .
Pendekatan konstruktivisme dalam proses pembelajaran didasari oleh kenyataan
bahwa tiap individu memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi kembali
pengalaman atau pengetahuan yang telah dimilikinya. Oleh sebab itu dapat
dikatakan bahwa pembelajaran konstruktivisme merupakan satu teknik
pembelajaran yang melibatkan peserta didik untuk membina sendiri secara aktif
pengetahuan dengan menggunakan pengetahuan yang telah ada dalam diri mereka
masing-masing. Guru hanya sebagai fasilitator atau pencipta kondisi belajar yang
memungkinkan peserta didik secara aktif mencari sendiri informasi,
mengasimilasi dan mengadaptasi sendiri informasi, dan mengkonstruksinya
menjadi pengetahuan yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki
masing-masing. Berikut tabel peranan peserta didik dan guru dalam pembelajaran
konstruktivisme.
Diharapkan melalui pembelajaran konstruktivisme, peserta didik dapat
tumbuh kembang menjadi individu yang penuh kepercayaan diri yang memiliki
sifat-sifat antara lain:
1. Bersikap terbuka dalam menerima semua pengalaman dan
mengembangkannya menjadi persepsi atau pengetahuan yang baru dan
selalu diperbaharui;
2. Percaya diri sehingga dapat berperilaku secara tepat dalam menghadapi
segala sesuatu;
3. Berperasaan bebas tanpa merasa terpaksa dalam melakukan segala sesuatu
tanpa mengharapkan atau tergantung pada bantuan orang lain;
4. Kreatif dalam mencari pemecahan masalah atau dalam melakukan tugas
yang dihadapinya.
Pengertian konsep belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku
didalam diri manusia. Bila setelah selesai suatu usaha belajar tetapi tidak terjadi
perubahan pada diri individu yang belajar, maka tidak dapat dikatakan bahwa
pada diri individu tersebut telah terjadi proses belajar. Menurut Slameto, (2010:2)
berpendapat bahwa “konsep belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan
seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya.“
3. TEORI-TEORI BELAJAR
Ada banyak teori belajar yang berasal dari berbagai aliran psikologi. Tiap
aliran psikologi tersebut memiliki tafsiran sendiri-sendiri tentang belajar, menurut
pandangannya masing-masing. Pandangan-pandangan itu umumnya berbeda satu
sama lain dengan alasan-alasan tersendiri. Menurut Bigge dan Hunt (1980 : 226)
dikutip dari Sukmadinata (1987) ada tiga keluarga atau rumpun besar teori belajar
menurut pandangan psikologi, yaitu teori disiplin mental, behaviorisme, dan teori
Cognitive Gestalt Field.
3.1 Teori disiplin mental
Menurut rumpun teori disiplin mental dari kelahirannya atau secara herediter,
anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Belajar merupakan upaya untuk
mengembankan potensi-potensi tersebut. Ada beberapa teori yang termasuk
rumpun disiplin mental, yaitu: disiplin mental theistik, disiplin mental
humanistik, naturalisme dan apersepsi.
a. Teori disiplin mental theistik
Teori mental theistik berasal dari psikologi daya (phsycology faculty).
Menurut teori ini individu atau anak mempunyai sejumlah daya mental
seperti daya untuk mengamati, menanggap, mengingat, berpikir,
memecahkan masalah, dan sebagainya. Belajar merupakan proses melatih
daya-daya tersebut. Kalau daya-daya tersebut terlatih maka dengan mudah
dapat digunakan untuk menghadapi atau memecahkan berbagai masalah.
b. Teori disiplin mental humanistik
Teori disiplin mental humanistik berasal dari psikologi humanisme klasik
dari Plato dan Aristoteles. Menurut rumpun psikologi teori disiplin mental
ini individu mengembangkan diri dari kekuatan, kemampuan, dan potensi-
potensi tertentu, dan potensi-potensi individu. Potensi-potensi itu perlu
dikembangkan. Perbedaan dengan teori disiplin mental theitik, teori
tersebut menekankan bagian-bagian, latihan bagian, atau aspek tertentu.
Teori disiplin mental humanistik lebih menekankan keseluruhan, keutuhan.
Pendidikannya menekankan pendidikan umum (general education). Kalau
seseorang menguasai hal-hal yang bersifat umum akan mudah ditransfer
atau diaplikasikan kepada hal-hal lain yang bersifat khusus.
c. Teori naturalisme atau natural unfoldment atau self actualization
Teori ini berpangkal dari Psikologi Naturalisme Romantik dengan tokoh
utamanya Jean Jacques Rousseau. Sama dengan kedua teori sebelumnya
potensi atau kemampuan. Kelebihan teori ini adalah mereka berasumsi
bahwa individu bukan saja mempunyai potensi dan kemampuan untuk
berbuat atau melakukan berbagai tugas, tetapi juga memiliki kemampuan
dan kemampuan untuk belajar dan berkembang sendiri. Agar anak dapat
berkembang dan mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya
pendidik atau guru perlu menciptakan situasi yang permisif yang jelas.
Melalui situasi demikian, ia dapat belajar sendiri dan mencapai
perkembangan secara optimal.
d. Teori apersepsi
Teori apersepsi disebut juga Herbatisme, bersumber pasa Psikologi
Strukturalisme dengan tokoh utama Herbart. Menurut aliran ini belajar
adalah membentuk massa apersepsi. Anak mempunyai kemampuan untuk
mempelajari sesuatu. Hasil dari suatu perbuatan belajar disimpan dan
membentuk suatu massa apersepsi,dan massa apersepsi ini digunakan
untuk mempelajari atau menguasai pengetahuan selanjutnya. Demikian
seterusnya semakin tinggi perkembangan anak, semakin tinggi pula massa
apersepsinya.
3.2 Behaviorisme
Rumpun teori ini disebut behaviorme karena sangat menekankan perilaku
atau tingkah laku yang dapat diamati dan diukur. Teori-teori dalam dalam
rumpun ini bersifat molekular, karena memandang kehidupan individu terdiri
dari unsur-unsur tersebut seperti halnya molekul-molekul. Ada beberapa ciri
dari rumpun teori ini yaitu: (1) mengutamakan unsur-unsur atau bagian-
bagian kecil; (2) bersifat mekanistis; (3) menekankan pada peranan
lingkungan; (4) mementingkan pembentukan reaksi atau respon; dan (5)
menekankan pentingnya latihan (Sukmadinata, 2003:168).
a. Teori S-R Bond (Stimulus Respond)
Teori ini bersumber dari psikologi koneksionime atau teori asosiasi dan
merupakan teori pertama dari dari rumpun Behaviorisme. Menurut konsep
mereka, kehidupan ini tunduk kepada hukum stimulus-respons atau aksi
reaksi. Setangkai bunga dapat merupakan suatu stimulus dan direspon oleh
mata dengan cara meliriknya. Kesan indah yang diterima individu dapat
merupakan stimulus yang mengakibatkan terrespon memetik bunga
tersebut. Demikian halnya dengan belajar, terdiri atas rentetan hubungan
stimulus respons. Belajar adalah upaya untuk membentuk hubungan
stimulus respons sebanyak-banyaknya.
b. Tokoh yang sangat terkenal mengembangkan teori ini adalah Thorndike
(1874-1949), dengan eksperimennya belajar pada binatang yang juga
berlaku bagi manusia yang disebut Thorndike dengan ”trial and error”.
Thorndike menghasilkan teori belajar ”connectionism” karena belajar
merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan
respons. Thorndike mengemukakan tiga prinsip atau hukum dalam belajar
yaitu: (1) Law of readiness, belajar akan berhasil apabila individu
memiliki kesiapan untuk melakukan perbuatan tersebut; (2) Law of
exercise yaitu belajar akan berhasil apabila banyak latihan dan ulangan;
dan (3) Law of effect yaitu belajar akan bersemangat apabila mengetahui
dan mendapatkan hasil yang baik.
c. Teori Conditioning
Teori kedua dari behaviorisme adalah conditioning atau stimulus response
with conditioning. Teori ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari
teori koneksionisme. Tokoh utama teori ini adalah Watson dan Plavlov,
mereka percaya bahwa belajar pada hewan memiliki prinsip yang sama
dengan manusia. Belajar atau pembentukan perilaku perlu dibantu kondisi
tertentu.
d. Plavov melakukan percobaan dengan seekor anjing. Dalam percobaannya,
Plavlov ingin membentuk tingkah laku tertentu pada anjing. Dalam
keadaan lapar, sebelum diberikan makanan dibunyikan lonceng,
diperlihatkan makanan, dan air liur anjing keluar. Keadaan ini terus
menerus diulang: bunyikan lonceng, perlihatkan makanan, air liur anjing
keluar. Setelah beberapa kali dilakukan ternyata pada akhirnya setiap
lonceng berbunyi air liur anjing keluar, walau tampa diberikan makanan.
Dalam keadaan ini anjing belajar bahwa kalau lonceg berbunyi pasti ada
makanan sehingga menyebabkan air liurnya keluar.
e. Dari eksperimen itu dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk membentuk
tingkah laku tertentu harus dilakukan harus dilakukan secara berulang-
ulang dengan melakukan pengkondisian tertentu. Pengkondisian itu
dengan melakukan pancingan dengan sesuatu yang dapat menumbuhkan
tingkah laku itu.
f. Teori penguatan (reinforcement)
Teori penguatan atau reinforcement merupakan pengembangan lebih lanjut
dari teori koneksionisme. Kalau pada pengkondisian (conditioning) yang
diberi kondisi adalah perangsangannya (stimulus), maka pada teori
penguatan yang dikondisikan atau diperkuat adalah responnya.
g. Seorang anak yang belajar dengan giat dan dia dapat menjawab semua
pertanyaan dalam ulangan atau ujian, maka guru memberikan penghargaan
pada anak ini dengan nilai yang tinggi, pujian atau hadiah. Berkat
pemberian penghargaan ini, maka anak tersebut akan belajar lebih rajin
dan lebih bersemangat lagi.
3.3 Teori Cognitive Gestalt-Field
Teori belajar Gestalt (Gestal Theory) lahir di Jerman pada tahun 1912
dipelopori dan dikembangkan oleh Max Wertheimer (1880-1943) yang
meneliti tentang pengamatan dan problem solving, dari pengamatannya ia
menyesalkan penggunaan metode menghafal di sekolah, dan menghendaki
agar murid belajar dengan pengertian bukan hafalan akademis.
a. Teori Pemahaman (insight)
Suatu konsep yang penting dalam psikologi Gestalt adalah tentang insight
yaitu pengamatan dan pemahaman mendadak tentang hubungan-hubungan
antar bagian-bagian dalam suatu situasi permasalahan. Dalam pelaksanaan
pembelajaran teori Gestalt, guru tidak memberikan potongan-potongan
atau bagian-bagian bahan ajar, tetapi selalu dalam satu kesatuan yang
khusus. Guru memberikan satu kesatuan situasi atau bahan yang
mengandung persoalan-persoalan, dimana anak harus berusaha
menemukan hubungan antar bagian, memperoleh insight agar ia dapat
memahami keseluruhan situasi atau bahan ajar tersebut. Menurut teori
Gestalt ini pengamatan manusia pada awalnya bersifat global terhadap
objek-objek yang dilihat, karena itu belajar harus dimulai dari
keseluruhan, baru kemudian berproses kepada bagian-bagian. Pengamatan
artinya proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang
masuk melalui indera seperti mata dan telinga.
b. Teori belajar Goal Insight
Teori belajar Goal Insight menurut para ahli ialah individu selalu
berinteraksi dengan lingkungan. Perbuatan individu selalu bertujuan,
diarahkan kepada perbuatan hubungan dengan lingkungan. Belajar adalah
usaha untuk mengembangkan pemahaman tingkat tinggi. Pemahaman
yang bermutu tingkat tinggi adalah pemahaman yang telah teruji, yang
berisi kecakapan menggunakan suatu objek, fakta, proses, ataupun ide
dalam berbagai situasi. Pemahaman tingkat tinggi memungkinkan
seseorang bertindak inteligen, berwawasan luas, mampu memecahkan
berbagai masalah.
c. Teori belajar Cognitive Field
Kurt Lewin ( 1892-1947) yang mengembangkan teori ini, dengan menaruh
perhatian kepada kepribadian dan psikologi sosial. Lewin berpendapat
bahwa tingkah laku merupakan hasil interaksi antar kekuatan-kekuatan,
baik yang dari diri individu seperti tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan,
maupun dari luar diri individu seperti tantangan dan permasalahan. Medan
kekuatan psikologis dimana individu bereaksi disebut life space yang
mencakup perwujudan lingkungan dimana individu bereaksi, misalnya
orang-orang yang mereka temui, objek materiil yang ia hadapi dan fungsi-
fungsi kejiwaan yang mereka miliki
Situasi belajar
Kondisi belajar adalah suatu keadaan yang mana terjadi aktifitas pengetahuan dan
pengalaman melalui berbagai proses pengolahan mental. Sedangkan menurut
Gagne dalam bukunya “Condition of learning” (1977) menyatakan “The
occurence of learningis inferred from a difference in human being’s performance
before and after being placed in a learning situation”. Maksudnya bahwa kondisi
belajar adalah suatu situasi belajar (learning situation) yang dapat menghasilkan
perubahan perilaku (performance) pada seseorang setelah ia ditempatkan pada
situasi tersebut.
Gagne membagi kondisi belajar atas dua, yaitu:
a. Kondisi internal (internal condition) adalah kemampuan yang telah ada
pada diri individu sebelum ia mempelajari sesuatu yang baru yang
dihasilkan oleh seperangkat proses transformasi.
b. Kondisi Eksternal (eksternal condition) adalah situasi perangsang di luar
diri si belajar. Kondisi belajar yang diperlukan untuk belajar berbeda-beda
untuk setiap kasus. Begitu pula dengan jenis kemampuan belajar yang
berbeda akan membutuhkan kemampuan belajar sebelumnya yang berbeda
dan kondisi eksternal yang berbeda pula. Gagne menyatakan bahwa
dibutuhkan belajar yang efektif untuk berbagai jenis atau kategori
kemampuan belajar.
c. Kondisi belajar dibagi atas lima kategori belajar sebagai berikut:
(a) Keterampilan intelektual (Intellectual Skill): untuk jenis belajar ini,
kondisi belajar yang dibutuhkan adalah pengambilan kembali
keterampilan bawaan (yang sebelumnya), pembimbing dengan kata-
kata atau alat lainnya, pendemonstrasian penerapan oleh siswa dengan
diberikan balikan, pemberian review.
(b) Informasi verbal (Verbal Information): untuk jenis belajar ini, kondisi
belajar yang dibutuhkan adalah pengambilan kembali konteks dari
informasi yang bermakna, kinerja (performance) dari pengetahuan
baru yang konstruktsi, balikan .
(c) Strategi kognitif (Cognitive Strategy/problem solving): untuk jenis
belajar ini, kondisi belajar yang dibutuhkan adalah pengambilan
kembali aturan-aturan dan konsep-konsep yang relevan, penyajian
situasi masalah baru yang berhasil, pendemonstrasian solusi oleh
siswa.
(d) Sikap (Attitude): untuk jenis belajar ini, kondisi belajar yang
dibutuhkan adalah pengambilan kembali informasi dan keterampilan
intelektual yang relevan dengan tindakan pribadi yang diharapkan.
Pembentukan atau pengingatan kembali model manusia yang
dihormati, penguatan tindakan pribadi dengan pengalaman langsung
yang berhasil maupun yang dialami oleh orang lain dengan
mengamati orang yang dihormati.
(e) Keterampilan motorik (Motor Skill): untuk jenis belajar ini, kondisi
belajar yang dibutuhkan adalah pengambilan kembali rangkaian unsur
motorik, pembentukan atau pengingatan kembali kebiasaan-kebiasaan
yang dilaksanakan, pelatiahn keterampilan-keterampilan keseluruahn,
balikan yang tepat. Setelah memahami penjelasan mengenai kondisi
belajar, tentunya dapat di pahami bahwa kondisi belajar merupakan
suatu keadaan yang mempengaruhi proses dan hasil belajar siswa,
sebab kondisi belajar yang baik akan mempengaruhi proses dan hasil
belajar yang baik, begitu pula sebaliknya.
Prinsip-Prinsip Fasilitasi
a. Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat dalam pemberdayaan dipahami sebagai upaya
membangun ikatan atau hubungan yang menekankan pada tiga aspek ;
Pertama, partisipasi diarahkan pada fungsi. Kemandirian, termasuk
sumber-sumber, tenaga serta manajemen lokal. Kedua, penekanan pada
penyatuan masyarakat sebagai suatu kesatuan; terlihat dari adanya
pembentukan organisasi lokal termasuk di dalamnya lembaga adat yang
bertanggungjawab atas masalah sosial kemasyarakatan. Ketiga, keyakinan
umum mengenai situasi dan arah perubahan sosial serta masalah-masalah
yang ditimbulkannya. Aspek khusus dalam perubahan sosial yang menjadi
pemikiran pokok berbagai program pembangunan masyarakat, yaitu
adanya ketimpangan baik di dalam maupun di antara komunitas tersebut.
b. Melalui strategi “pengembangan masyarakat” diharapkan pemberdayaan
masyarakat adat dapat berlangsung secara dinamis sesuai dengan kondisi
sosio budaya, politik dan ekonomi masyarakat yang bersangkutan serta
hubungan dengan komunitas lainnya. Pendampingan sosial tidak saja
berkaitan dengan terpenuhinya kebutuhan dasar. Pengembangan sumber
daya manusia, atau penguatan kelembagaan tetapi juga berkaitan dengan
pengembangan kapasitas masyarakat untuk melepaskan diri dari belenggu
perbedaan rasial, ketidakseimbangan kelas dan gender, serta
menghapuskan penindasan mayoritas.
c. Berbasis Nilai dan Moral
Pendampingan tidak hanya dipandang sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan dasar hidup yang bersifat material seperti penyediaan lapangan
kerja, pemenuhan pangan, pendapatan, infrastruktur dan fasilitas sosial
lainnya. Pendamping harus dipandang sebagai upaya meningkatkan
kapasitas intelektual, keterampilan dan “sikap” atau nilai yang dijunjung
tinggi. Pendampingan dilakukan melalui pendekatan “manusiawi” dan
beradab untuk mencapai tujuan pembangunan. Artinya, dapat saja
sekelompok orang telah terbangun dalam arti berada pada standar hidup
layak, tetapi dengan cara-cara yang “tak pantas” dilihat dari perspektif
peningkatan kapasitas masyarakat. Jadi jelas bahwa pemberdayaan
merupakan cara-cara yang beradab dalam membangun masyarakat.
d. Penguatan Jejaring Sosial
Dalam konteks pendampingan sosial, aspirasi dan partisipasi masyarakat
dapat diperkuat melalui interaksi dan komunikasi saling menguntungkan
dalam bentuk jejaring (networking). Peningkatan kapasitas suatu
kelompok sulit berhasil jika tidak melibatkan komunitas lain yang
memiliki kepentingan dan hubungan yang sama. Pengembangan jejaring
perlu dilandasi pada pemahaman terhadap sistem relasi antar pelaku
berbasis komunitas dan lokalitas dengan asumsi bahwa pelaku memiliki
pemahaman yang sama tentang pengembangan jejaring. Dengan kata lain,
perlu dibangun pemahaman bersama antarpelaku seperti LSM, Perguruaan
Tinggi, Ormas, Bank, Lembaga Sosial, Pemerintah dan Lembaga
Internasional untuk membangun jejaring sosial.
e. Proses jejaring membutuhkan implementasi prinsip-prinsip kesetaraan,
bersifat informal, partisipatif, komitmen yang kuat, sinergisitas dan upaya
membangun kekuatan untuk membantu masyarakat memecahkan
permasalahan dan menemukan solusi dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan.
f. Kegiatan usaha produktif berbasis komunitas dan lokalitas diharapkan
dapat melibatkan pelaku atau lembaga lain, seperti organisasi pemerintah.
Keberhasilan jejaring sebagai media untuk perumusan kebijakan menjadi
sangat penting tetapi ini semua tergantung kepada komitmen semua pelaku
dalam jejaring tersebut.
g. Peranan pemerintah lokal lebih bersifat sebagai fasilitator bukan hanya
sebagai donatur. Pemerintah lokal perlu mengalokasikan dana untuk
masyarakat lapisan bawah atau pengusaha kecil di kawasan ini. Dalam hal
ini penguatan kelembagaan merupakan hal penting dalam pemberdayaan
masyarakat.
i. Pemerintah sebagai Fasilitator
Peran dan fungsi pemerintah dalam konsep pendampingan sosial berubah
tidak sekedar sebagai institusi pelayanan masyarakat tetapi dalam
masyarakat yang demokratis memiliki peran pokok sebagai fasilitator.
Pemerintah tidak hanya bertugas memberikan pelayanan umum saja tetapi
lebih ditekankan pada upaya mendorong kemampuan masyarakat untuk
memutuskan dan bertindak didasarkan pada pertimbangan lingkungan,
kebutuhan dan tantangan ke depan. Fasilitator tidak sekedar dituntut untuk
menguasai teknik tertentu untuk memfasilitasi tetapi juga harus mampu
membangun kemampuan pelaku lainnya mengenai program secara
keseluruhan.
C. LATIHAN
1. Jelaskan hubungan situasi belajar dengan keberhasilan proses belajar yang
ada di masyarakat
2. Apa fungsi petugas dalam menumbuhkan self direction action dalam
masyarakat?
3. Kenapa memahami situasi belajar dalam masyarakat dianggap penting dalam
pengembangan dan pengorganisasian masyarakat?
4. Apa output yang diharapkan dari proses pembelajaran kontruktivisme?
5. Lewin berpendapat bahwa tingkah laku merupakan hasil interaksi antar
kekuatan-kekuatan, baik yang dari diri individu seperti tujuan, kebutuhan,
tekanan kejiwaan, maupun dari luar diri individu seperti tantangan dan
permasalahan”. Jelaskan keterkaitan teori tersebut dengan proses belajar
dalam masyarakat !
D. RUJUKAN
Arsyad, Lincolin, dkk. 2011. Strategi Pembangunan Perdesaan Berbasis Lokal.
Cetakan 1. Unit Penerbit Dan Percetakan Stim Ykpn: Yogyakarta
BAB IX
PERAN DAN FUNGSI PENYULUH/ FASILITATOR
A. PENDAHULUAN
Istilah "fasilitator" adalah pekerja atau pelaksana pemberdayaan
masyarakat. Sedang Lippit (1958) dan Rogers (1983) menyebutnya sebagai "agen
perubahan (change agent), yaitu seseorang yang atas nama pemerintah atau
lembaga pemberdayaan masyarakat berkewajiban untuk mempengaruhi proses
pengambilan keputusan yang dilakukan oleh (calon) penerima manfaat dalam
mengadopsi inovasi. Karena itu, fasilitator haruslah profesional, dalam arti
memiliki kualifikasi tertentu baik menyangkut kepribadian, pengetahuan, sikap,
dan keterampilan memfasilitasi pemberdayaan masyarakat.
Fasilitator adalah orang yang memberikan bantuan dalam memperlancar
proses komunikasi sekelompok orang, sehingga mereka dapat memahami atau
memecahkan masalah bersama- sama. Fasilitator/ penyuluh bukanlah orang yang
bertugas hanya memberikan latihan, tetapi bimbingan dan juga nasihat. Fasilitator
harus menjadi pengarah yang baik untuk berbagai permasalahan. Tidak dapat
dipungkiri, peranan fasilitator sangat mendukung keberhasilan suatu Program-
program Pemberdayaan Masyarakat. Masyarakat dan pemerintah memerlukan
fasilitator untuk mendampingi program pemberdayaan masyarakat guna
mengentaskan kemiskinan dan menumbuhkan kemandirian serta daya masyarakat
yang kuat. Oleh karena itu penting untuk mengetahui bahwa fasilitator
mempunyai peran dan fungsi dalam proses pemberdayaan masyarakat.
B. PENYAJIAN MATERI
1. Peran penyuluh/fasilitator
2. FUNGSI FASILITATOR
Agar dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik, seorang
fasilitator perlu menyadari dan memahami empat fungsi kunci fasilitator di
masyarakat, yaitu:
1. Fungsi Penyadaran
Fungsi Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat terbagi menjadi dua fungsi
utama:
a. Mengembangkan komunikasi dialogis
Membangun relasi sosial
Membangun jejaring kemitraan
Membangun solidaritas sosial
b. Memberikan motivasi
Mengembangkan kesadaran masyarakat untuk menuju kondisi
hidup yang lebih baik
Merancang perubahan kehidupan masyarakat
2. Fungsi Pembelajaran
a. Mengembangkan proses pembelajaran
b. Mengembangkan profesionalisme fasilitator
3. Fungsi Pelembagaan/Pengorganisasian
a. Pengorganisasian masyarakat
Mengembangkan kapasitas kelembagaan masyarakat dan
pemerintahan
Memperkuat posisi tawar, agar suara masyarakat lebih didengar
oleh pemerintah daerah
b. Melakukan mediasi
Meningkatkan akses antarpemangku kepentingan
Mengelola konflik di tengah masyarakat
c. Menciptakan sistem sosial yang dinamis
Membangun visi dan kepemimpinan masyarakat
Mengembangkan kontrol sosial
Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya manusia
4. Fungsi Pengembangan Kemandirian/Otonomi/Kedaulatan Memfasilitasi
pembaruan di masyarakat :
Mengembangkan inovasi untuk pemberdayaan masyarakat
Memfasilitasi penerapan inovasi pemberdayaan masyarakat di
bidang/sektor kegiatan
Secara garis besar, fungsi utama fasilitator pemberdayaan masyarakat
meliputi fungsi fasilitasi, fungsi mediasi, dan fungsi advokasi.
1. Fungsi Fasilitasi;
Berupa sekumpulan kegiatan yang pada intinya membuat sesuatu berjalan
dengan baik dan dilakukan dan dilakukan dengan kesadaran penuh. Fasilitasi
diterjemahkan making thing easy atau membuat sesuatu hal menjadi mudah. Pada
kehidupan sehari-hari di tempat-tempat kerja fasilitator senantiasa menjadikan
sesuatu hal semakin mudah dengan cara menggunakan serangkaian teknik dan
metode untuk mendorong orang memberikan yang terbaik pada waktu mereka
bekerja dan berinteraksi untuk mencapai hasil.
Secara umum, fasilitaor diminta membantu orang untuk mengambil
keputusan dan mencapai hasil pada suatu pertemuan, sesi pengembangan tim,
pemecahan masalah secara berkelompok, dan kegiatan pelatihan.
Fasilitasi dapat dijelaskan dengan banyak cara . Beberapa definisi yang sering
dipakai adalah sebagai berikut:
1. Fasilitasi adalah memungkinkan atau menjadikan lebih mudah.
2. Fasilitasi adalah mendorong masyarakat membantu dirinya dengan cara
hadir bersama mereka , mendengarkan mereka, dan menanggapi
kebutuhan mereka.
3. Fasilitasi adalah mendukung individu, kelompok atau organisasi melalui
proses-proses partisipasi.
Fasilitasi adalah proses sadar dan sepenuh hati membantu suatu kelompok
multi pihak supaya sukses mencapai tujuan kelompok dan kelompok benar-benar
berfungsi sebagai kelompok dengan cara taat pada prinsip-prinsip partisipasi dan
dinamika kelompok.
2. Fungsi Mediasi;
Fasilitator pada intinya menjembatani beberapa pihak untuk dapat bekerja
secara sinergi.
a. Mediasi potensi
Seorang fasilitator diharapkan dapat membantu masyarakat memediasi
sehingga masyarakat bisa mengakses potensi–potensi dan sumber daya
yang dapat mendukung pengembangan dirinya, misalnya: sektor
swasta, perguruan tinggi, LSM, peluang pasar.
b. Mediasi berbagai kepentingan
Seorang fasilitator diharapkan juga dapat berperan sebagai orang yang
dapat menengahi apabila diantara kelompok atau individu di
masyarakat terjadi perbedaaan kepentingan. Perlu diingat fungsi ini
bukan berarti fasilitator yang memutuskan tetapi hanya perlu
mengingatkan masyarakat tentang konsistensi terhadap berbagai
kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Arti lain adalah
menyesuaikan berbagai kepentingan untuk mencapai tujuan bersama.
Jika diperlukan seorang fasilitator bisa membantu masyarakat dengan
memberikan berbagai alternatif kesepakatan dalam menyesuaikan
berbagai kepentingan demi tercapainya tujuan bersama. Untuk itu
seorang fasilitator harus netral dan tidak memihak kepada salah satu
kelompok saja.
3. Fungsi Advokasi;
Yaitu memberikan advokasi atau mewakili kelompok masyarakat yang
membutuhkan bantuan ataupun pelayanan dan mendorong para pembuat
keputusan/Kepala Desa/Lurah untuk mau mendengar, mempertimbangkan dan
peka terhadap kebutuhan masyarakat. Pada intinya mengajak orang yang
diadvokasi untuk berpikir seperti dia yang mengadvokasi.
C. RANGKUMAN
Fasilitator adalah orang yang memberikan bantuan dalam memperlancar
proses komunikasi sekelompok orang, sehingga mereka dapat memahami atau
memecahkan masalah bersama-sama. Program pendampingan dan pemberdayaan
masyarakat dapat dilakukan dengan pendidikan/penyuluhan terencana
berdasarkan SKKNI Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat. Fasilitator
Pemberdayaan Masyarakat (FPM) bagian penghubung pemerintah dan
stakeholder akan semakin memperkuat peran kelembagaan untuk bertanggung
jawab mengatasi persoalan ketidakberdayaan masyarakat. Peranan dan fungsi
fasilitator sangat mendukung keberhasilan suatu Program-program Pemberdayaan
Masyarakat.
E. RUJUKAN
Aditama, Tjandra Yoga. 2014. Kurikulum dan Modul Pelatihan Fasilitator
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) di Indonesia. Jakarta :
Kementerian Kesehatan RI.
Karwur, F. Ferry. 2010. Modul Pelatihan Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat.
Online.http://psflibrary.org/catalog/repository/Buku%20PFPM
%20%28110910%29.pdf. Diakses Desember 2016
Lippit, R.J. Watson, and B. Westley. 1958. The Dynamics of Planned Change.
New York: Harcourt, Brace and World, Inc
BAB X
PRIMARY HEALTH CARE
DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA
A. PENYAJIAN MATERI
1. LATAR BELAKANG PRIMARY HEALTH CARE
Berakhirnya Perang Dunia ke II diikuti dengan tumbuhnya suatu semangat
untuk membangun dan memperbaiki kembali keadaan yang telah dihancurkan oleh
situasi peperangan. PBB memproklamasikan periode ini sebagai suatu "dekade
pembangunan" dan membantu pengerahan berbagai sumber dana dan sumber daya
untuk menilainya. Upaya ini telah memberikan perbaikan secara sosial ekonomi di
berbagai negara, tetapi juga mengandung beberapa kelemahan (Hadad, 1980).
Pada periode tahun 1970an, semakin dirasakan adanya kesenjangan antara
negara-negara maju dan negara sedang berkembang, karena negara maju telah
mengalami kemajuan sosial ekonomi yang jauh lebih pesat dibandingkan dengan
keadaan di negara-negara sedang berkembang. Keadaan di negara sedang
berkembang sendiri juga memperlihatkan adanya ketimpangan yang besar dalam
tingkat kesejahteraan dari berbagai kelompok sosial ekonomi yang ada. Bagian
terbesar dari penduduk di negara sedang berkembang ternyata belum ikut merasakan
manfaat pembangunan. Hasil pembangunan yang semula diharapkan akan menetes
kebawah ("trickle- down effect") ternyata hanya dinikmati oleh sekelompok lapisan
atas masyarakat. Indikator kemajuan pembangunan yang ditekankan kepada hal-hal
yang bersifat fisik dan ekonomi ternyata tidak sesuai dengan kenyataan yang
dirasakan oleh bagian terbesar masyarakat. Kenyataan ini akhirnya menumbuhkan
kesadaran baru untuk mencari pilihan strategi pembangunan yang lebih
memungkinkan peningkatan kwalitas hidup masyarakat secara keseluruhan (Hadad,
1980).
Sebagaimana dengan keadaan pembangunan pada umumnya, hasil
pembangunan di sektor kesehatan juga menunjukkan masih banyaknya hal-hal yang
memprihatinkan. Dari catatan WHO pada tahun 1972, terlihat bahwa rata-rata
pendapatan perkapita di negara-negara Asia dan Afrika berkisar antara US $ 20-25
dibandingkan dengan US $4.980 di USA dan US $ 3.400 di Perancis. Perbedaan
yang menyolok ini mempengaruhi tingkat kesehatan masyarakat, dimana tingkat
kematian balita di negara-negara sedang berkembang mencapai 30-50 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan negara-negara maju. Hal ini masih ditambah lagi
dengan angka kelahiran yang tinggi, alokasi anggaran pembangunan kesehatan
yang rendah dibandingkan dengan sektor lainnya, pelayanan kesehatan yang
terkotak-kotak dan spesialistis, penggunaan teknologi yang semakin tinggi dan
mahal, orientasi yang lebih banyak pada pada kuratif daripada pencegahan dan
kecenderungan untuk lebih mengutamakan kepentingan kesehatan sebagian kecil
masyarakat yang mampu daripada kepentingan masyarakat banyak. Dilihat dari segi
cakupan, upaya kesehatan yang ada ternyata hanya dimanfaatkan oleh sebagian kecil
masyarakat dan terutama yang tinggal di perkotaan. Dan meskipun terdapat keter-
batasan dalam sumber dana maupun sumber daya, tetapi yang terjadi adalah suatu
pembatasan yang ketat bahwa upaya pengobatan/kesehatan merupakan hak
"eksklusif" dari profesi kesehatan, sehingga yang terjadi adalah ketergantungan yang
semakin besar terhadap tenaga kesehatan profesional yang jumlahnya terbatas
(Djukanovic & Mach, 1975).
Melihat kenyataan ini, pada tahun 1973 WHO mengadakan studi
perbandingan di berbagai negara untuk mempelajari cara-cara penyelenggaraan
kegiatan pembangunan kesehatan yang lebih efektif dan mampu mencapai bagian
terbesar masyarakat, khususnya yang berada di daerah pedesaan (Newell, 1975).
Hasil studi ini kemudian disusul dengan rekomendasi yang selanjutnya menjadi
dasar bagi konsep "Kesehatan Untuk Semua pada tahun 2000 melalui Primary
Health Care", yang dicanangkan pada tahun 1978 di Alma Ata. Sejak saat ini
berbagai negara secara resmi menggunakan konsep PHC untuk kebijaksanaan
pembangunan di negaranya, termasuk Indonesia.
3. PENGERTIAN PHC :
Salah satu prinsip penting dalam PHC adalah partisipasi masyarakat. Hal ini
merupakan suatu hal yang sangat mendasar sifatnya, karena salah satu
konsekuensinya adalah tindakan pengobatan/kesehatan yang semula merupakan hak
"eksklusif" profesi kesehatan sekarang di-ahli teknologi-kan kepada orang "awam",
dalam hal ini kepada seorang kader kesehatan. Akibatnya timbul tantangan yang
cukup keras, terutama yang berasal dari "oknum" profesi kesehatan (Mahler, 1981).
Tetapi karena jumlah petugas profesional memang terbatas dibandingkan dengan
besarnya permasalahan kesehatan, maka akhirnya kehadiran kader kesehatan sebagai
partner dalam upaya pelayanan kesehatan primer "bisa" diterima.
Adanya "keengganan" untuk mendudukkan kader kesehatan sebagai partner
dalam upaya pelayanan kesehatan primer tampaknya merupakan salah satu gejala
dari ketidaksamaan penafsiran tentang arti partisipasi masyarakat. Meskipun
perkataan "partisipasi" menjadi salah satu "jargon" politik yang populer, tetapi istilah
ini tampaknya ditafsirkan secara bervariasi (Sasongko, 1984).
Penafsiran yang berbeda-beda mengenai arti partisipasi ini berkisar dari
penafsiran partisipasi hanya sebagai keikutsertaan dalam suatu pelaksanaan kegiatan
yang telah diputuskan (oleh pihak lain) sebelumnya sampai dengan penafsiran yang
lebih utuh dimana partisipasi digambarkan sebagai suatu keterlibatan dalam suatu
proses pengambilan keputusan dengan berbagai konsekuensinya. Soetrisno Kh
(1985) menggambarkan berbagai derajat partisipasi masyarakat, mulai dari sekedar
menikmati hasil (kegiatan pembangunan) sampai dengan keterlibatan dalam
perencanaan. Hal ini erat kaitannya dengan kualitas partisipasi, mulai dari kualitas
yang paling rendah, yaitu partisipasi karena mendapat perintah, sampai dengan
kualitas yang paling tinggi, yaitu partisipasi yang disertai dengan kreasi atau daya
cipta. Jadi apakah sebetulnya yang dimaksud dengan partisipasi? Dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia, memang tidak dapat ditemukan perkataan partisipasi,
karena istilah ini memang merupakan suatu istilah yang "kontemporer" sebagai
pengindonesiaan dari istilah asing participation (Sasongko, 1984). Dalam waktu
belakangan ini istilah ini digantikan dengan istilah yang lebih "pribumi", yaitu peran
serta. Kamus Webster (1971) mengartikan participation sebagai kegiatan untuk
mengambil bagian atau ikut menanggung bersama orang lain. French dkk (1960)
mengartikan partisipasi sebagai suatu proses dimana dua atau lebih pihak-pihak yang
terlibat, saling pengaruh mempengaruhi satu sama lain dalam membuat keputusan
yang mempunyai akibat di masa depan bagi semua pihak. Dengan dasar pengertian
ini, Mulyono Gandadiputra (1978) menyimpulkan bahwa partisipasi mengandung
tiga elemen, yaitu : pengambilan keputusan atau pemecahan masalah, interaksi dan
kesederajatan kekuasaan.
Pengambilan keputusan atau pemecahan masalah berkaitan dengan suatu
proses untuk mengatasi adanya kesenjangan antara keadaan yang ada dan keadaan
yang diinginkan. Untuk berlangsungnya proses ini, maka semua pihak yang
(seharusnya) terlibat dalam pengambilan keputusan harus menyadari akan adanya
masalah, termotivasi untuk mengatasinya dan memiliki kemampuan serta sumber
untuk mengatasi masalah. Dalam partisipasi terkandung pengertian adanya
beberapa pihak yang terlibat melalui suatu proses interaksi. Interaksi yang
berlangsung harus didasari atas azas kesamaan atau kesederajatan kekuasaan dan
bukan didasari atas hubungan "atasan- bawahan". Ini tidak berarti bahwa tidak ada
perbedaan antara pihak-pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan, karena
masing-masing pihak bisa mempunyai status formal atau keahlian yang berbeda.
Tetapi yang penting adalah adanya interaksi yang dilandasi atas kesederajatan
kekuasaan dimana keahlian dan sumber-sumber yang dimiliki masing-masing fihak
lalu dipadukan untuk pemecahan masalah.
Dalam konteks PHC, maka partisipasi masyarakat merupakan hal yang
penting, karena upaya kesehatan primer merupakan suatu kegiatan kontak pertama
dari suatu proses pemecahan masalah kesehatan. Melalui partisipasi masyarakat
maka kesenjangan yang ada antara provider dan consumer dicoba untuk
dijembatani, melalui partisipasi masyarakat potensi setempat dicoba untuk
didayagunakan dan melalui partisipasi ini proses belajar akan berlangsung lebih
efektif (Haggard, 1944), sehingga mempercepat peningkatan kemampuan
masyarakat untuk menolong dirinya sendiri dalam hal kesehatan, seperti yang
menjadi tujuan dari pembangunan kesehatan (Dep. Kesehatan, 1982).
Salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam PHC adalah menjadi kader
kesehatan. Seorang kader kesehatan merupakan warga masyarakat yang terpilih dan
diberi bekal keterampilan kesehatan melalui pelatihan oleh sarana pelayanan
kesehatan/Puskesmas setempat. Kader kesehatan inilah yang selanjutnya akan
menjadi motor penggerak atau pengelola dari upaya kesehatan primer. Melalui
kegiatannya sebagai kader ia diharapkan mampu menggerakkan masyarakat untuk
melakukan kegiatan yang bersifat swadaya dalam rangka peningkatan status
kesehatan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi kegiatan yang sifatnya
promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif.
Meskipun pengobatan tradisional atau self-treatment merupakan hal yang
sudah dikenal oleh masyarakat banyak, tetapi upaya kesehatan primer yang dikelola
oleh kader merupakan hal yang masih baru bagi masyarakat. Pada pengobatan
tradisional, misalnya oleh dukun bayi atau dukun patah tulang, maka pelaku aktif
kegiatan pengobatan tradisional merupakan figur yang sudah dikenal oleh
masyarakat karena disini biasanya terjadi proses "alih generasi" melalui faktor
keturunan. Hal ini memberikan suatu kredibilitas tersendiri bagi dukun ybs,
khususnya kredibilitas dalam segi kemampuan (competent credibility) maupun
kredibilitas dalam segi kepercayaan (safety credibility) (Rogers, 1973).
Pengelolaan kegiatan upaya kesehatan primer di lain pihak dilaksanakan oleh
kader Kesehatan yang sebelumnya seringkali tidak dikenal mempunyai keterampilan
kesehatan/pengobatan. Meskipun figur kader itu sendiri bukan orang yang asing bagi
masyarakat sekitarnya, tetapi peranannya sebagai seorang yang mempunyai
keterampilan di bidang kesehatan/pengobatan adalah merupakan hal baru bagi
masyarakat lingkungannya. Oleh karena itulah seorang kader seringkali memulai
kegiatannya tanpa bekal dari segi competent credibility. Dalam hal kader tersebut
sebelumnya memang sudah merupakan seorang tokoh masyarakat yang disegani,
maka disini kader tersebut setidaknya sudah memiliki safety credibility.
Faktor kredibilitas ini merupakan hal yang penting dimiliki oleh seorang
kader kesehatan, karena tanpa kredibilitas maka ia tidak akan dapat mengembangkan
peranannya untuk mengelola suatu upaya kesehatan primer. Disinilah peranan
petugas kesehatan atau lembaga pelayanan kesehatan profesional setempat menjadi
penting untuk membantu kader kesehatan memperoleh kredibilitas di mata
masyarakat lingkungannya (Sasongko, 1986b).
Competent credibility bisa diperoleh melalui pelatihan keterampilan di
bidang teknik-teknik kesehatan sederhana, sehingga seorang kader kesehatan
mampu memberikan nasihat-nasihat teknis kepada masyarakat yang
memerlukannya. Melalui keterampilan ini secara bertahap ia akan mengembangkan
citra-dirinya sebagai seorang yang dapat dipercaya (safety credibility). Bekal
kredibilitas ini akan membantunya untuk secara efektif menjalankan peran sebagai
pengelola upaya kesehatan primer. Petugas kesehatan setempat bisa membantu kader
untuk memperoleh kredibilitas ini jika antara petugas dan kader bisa dikembangkan
suatu interaksi yang bersifat partnership, jika pembimbingan (supervisi) dilaksana-
kan secara edukatif. Memperlakukan kader kesehatan hanya sekedar sebagai
perpanjangan tangan (extension) dari petugas atau bahkan sebagai "pembantu"
petugas akan menyebabkan kader kehilangan kredibilitasnya di mata masyarakat.
Bagi kader sendiri perlakuan seperti itu terhadap dirinya jelas bukan merupakan
sesuatu yang rewarding. Dampaknya akan terlihat dalam bentuk tidak berjalannya
upaya kesehatan primer yang dikelola kader atau dalam bentuk tingginya drop-out
kader.
Dalam pengembangan kader kesehatan terdapat unsur kesukarelaan
(volunteerism) yang merupakan hal penting, karena fungsi sebagai kader memang
merupakan suatu tugas sosial. Tetapi ini tidak berarti seorang kader tidak
memerlukan penghargaan (reward), baik yang sifatnya non-material ataupun yang
bersifat material. Tidak adanya mekanisme pemberian penghargaan untuk kader
dapat mempengaruhi kelestarian kegiatan kader. Oleh karena itu perlu
dikembangkan suatu mekanisme, dimana secara built-in fungsi sebagai kader
merupakan sesuatu yang menimbulkan kepuasan (rewarding). Kepuasan ini timbul
jika kader merasakan bahwa kredibilitasnya menjadi meningkat dengan aktivitasnya
sebagai kader.
B. RANGKUMAN
Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan masyarakat
untuk hidup sehat. Upaya kesehatan primer yang dilaksanakan dengan
mengikutsertakan masyarakat secara aktif merupakan medium untuk proses belajar
sosial sehingga sangat penting artinya untuk pencapaian tujuan pembangunan
kesehatan. Kegiatan PHC dapat berupa:
1. Pendidikan kesehatan.
2. Perbaikan gizi dan makanan.
3. Penyediaan air dan perbaikan sanitasi.
4. Pemeliharaan kesehatan ibu dan anak.
5. Imunisasi.
6. Pencegahan dan pengawasan penyakit-penyakit endemik.
7. Pengobatan.
8. Penyediaan obat-obatan pokok.
Partisipasi masyarakat merupakan hal yang penting dalam pelaksanaan PHC,
karena upaya kesehatan primer merupakan suatu kegiatan kontak pertama dari suatu
proses pemecahan masalah kesehatan. Melalui partisipasi masyarakat maka
kesenjangan yang ada antara provider dan consumer dicoba untuk dijembatani,
melalui partisipasi masyarakat potensi setempat dicoba untuk didayagunakan dan
melalui partisipasi ini proses belajar akan berlangsung lebih efektif. Selain itu
pemberdayaan kader kesehatan juga harus digiatkan. Baik melalui peningkatan
keterampilan, kemampuan juga tersedianya reward bagi mereka.
BAB XI
FASILITAS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
A. PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan karunia Tuhan yang sangat berharga dan merupakan
salah satu hak dasar manusia, kesehatan merupakan salah satu dari tiga faktor
utama selain faktor pendidikan dan pertumbuhan ekonomi yang menentukan
Indek Pembangunan Manusia (IPM). Peningkatan derajat kesehatan masyarakat
akan memberikan sumbangan nyata dalam pembangunan bangsa ini, untuk itu
dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya,
pembangunan kesehatan harus diarahkan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi semua orang dengan strategi
memberdayakan masyarakat melalui pengembangan berbagai Upaya Kesehatan
Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang didorong menuju Desa Siaga.
Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus merupakan aset untuk
keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk itu pembangunan kesehatan diarahkan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya sehingga dapat
terwujudnya Indonesia Sehat, yaitu masyarakat hidup dalam lingkungan yang
sehat dan berperilaku hidup bersih dan sehat serta mempunyai akses pelayanan
kesehatan masyarakat yang baik dan terjangkau dengan mengembangkan kesiap-
siagaan masyarakat bidang kesehatan ditingkat desa yang dikenal dengan Desa
Siaga.
Desa Siaga merupakan gambaran masyarakat yang sadar/tahu, mau dan
mampu untuk mencegah dan mengatasi berbagai ancaman/bahaya terhadap
kesehatan masyarakat. Keberhasilan Desa Siaga sebagai wujud upaya kesehatan
berbasis masyarakat sangat bergantung kepada ketepatan penerapan langkah-
langkah dalam pendekatan pendidikan dan pengorganisasian masyarakat dengan
cara melibatkan masyarakat sebagai subjek pembangunan dan bukan sebagai
objek pembangunan, diharapkan nantinya peran serta aktif masyarakat dalam
pembangunan kesehatan akan berjalan dengan baik dan kelestariannya akan
terjaga secara berkesinambungan.
Indikator keberhasilan desa siaga adalah meningkatnya kemandirian dan
pemberdayaan masyarakat untuk menolong dirinya dalam bidang kesehatan,
terlindunginya Ibu Hamil, Bayi dan Balita dari resiko kematian dengan
memberikan pelayanan kesehatan yang prima, adanya kesiapsiagaan masyarakat
menghadapi kegawatdaruratan, bencana dan kejadian luar biasa penyakit dan
masalah-masalah kesehatan lainnya, menurunnya angka kesakitan dan kematian
akibat penyakit menular, gizi buruk, kecelakaan, narkoba serta masyarakat hidup
dalam lingkungan yang sehat dengan menjalankan Prilaku Hidup Bersih dan
Sehat.
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) menjadi salah satu indikator bagi
keberhasilan pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif, hal ini didasarkan
pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1529/Menkes/SK/X/2010 tanggal 20 Oktober 2010 mengenai Pedoman Umum
Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif. Masyarakat di Desa atau
Kelurahan Siaga Aktif wajib melaksanakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS).
B. PENYAJIAN MATERI
1. Fasilitasi Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif
1.1 Pengertian Desa Siaga
Desa Siaga adalah desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumber daya
dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah
kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan kesehatan, secara mandiri. Desa yang
dimaksud di sini dapat berarti Kelurahan atau negeri atau istilah-istilah lain bagi
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah, yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan
asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa Siaga merupakan
gambaran masyarakat yang sadar, mau dan mampu untuk mencegah dan
mengatasi berbagai ancaman terhadap kesehatan masyarakat seperti kurang gizi,
penyakit menular dan penyakit yang berpotensi menimbulkan KLB, kejadian
bencana, kecelakaan, dan lain-lain, dengan memanfaatkan potensi setempat,
secara gotong-royong.
1.2 Tujuan Desa Siaga
a. Mendekatkan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat desa.
b. Menyiapsiagakan masyarakat untuk menghadapi masalah-masalah yang
berhubungan dengan kesehatan masyarakat.
c. Memandirikan masyarakat dalam mengembangkan perilaku hidup bersih
dan sehat.
1.3 Sasaran dan Kriteria Pengembangan Desa Siaga
a. Sasaran
Untuk mempermudah strategi intervensi, sasaran pengembangan Desa
Siaga dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
a. Semua individu dan keluarga di desa, yang diharapkan mampu
melaksanakan hidup sehat, serta perduli dan tanggap terhadap
permasalahan kesehatan di wilayah desanya.
b. Pihak-pihak yang mempunyai pengaruh terhadap perilaku
individu dan keluarga atau dapat menciptakan iklim yang
kondusif bagi perubahan perilaku tersebut, seperti tokoh
masyarakat, termasuk tokoh agama, tokoh perempuan dan
pemuda; kader; serta petugas kesehatan.
c. Pihak-pihak yang diharapkan memberikan dukungan kebijakan,
peraturan perundang-undangan, dana, tenaga, sarana, dan lain-
lain, seperti Kepala Desa, Camat, para pejabat terkait, swasta,
para donatur, dan pemangku kepentingan lainnya.
b. Kriteria
Sebuah desa telah menjadi Desa Siaga apabila desa tersebut memiliki
sekurang-kurangnya sebuah Pos Kesehatan Desa (Poskesdes).
a.4 Landasan Hukum Pelaksanaan Desa Siaga yaitu sebagai berikut :
1. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 564/
Menkes/SK/VII/2006 tanggal 2 Agustus 2006 tentang pengembangan
Desa Siaga.
2. PELAKSANAAN KEGIATAN
Secara operasional pembentukan Desa Siaga dilakukan dengan kegiatan
sebagai berikut:
1. Pemilihan Pengurus dan Kader Desa Siaga
Pemilihan pengurus dan kader Desa Siaga dilakukan melalui pertemuan
khusus para pemimpin formal desa dan tokoh masyarakat serta beberapa
wakil masyarakat. Pemilihan dilakukan secara musyawarah dan mufakat,
sesuai dengan tata cara dan kriteria yang berlaku, dengan difasilitasi oleh
Puskesmas.
2. Orientasi / Pelatihan Kader Desa Siaga
Sebelum melaksanakan tugasnya, kepada pengelola dan kader desa yang telah
ditetapkan perlu diberikan orientasi atau pelatihan. Orientasi / pelatihan
dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota sesuai dengan pedoman
orientasi / pelatihan yang berlaku. Materi orientasi / pelatihan yang berlaku.
Materi orientasi / pelatihan mencakup kegiatan yang akan dilaksanakan di
desa dalam rangka pengembangan Desa Siaga (sebagaimana telah
dirumuskan dalam Rencana Operasional). Yaitu meliputi pengelolaan Desa
Siaga secara umum, pembangunan dan pengelolaan Poskesdes,
pengembangan dan pengelolaan UBKM lain, serta hal-hal penting terkait
seperti kehamilan dan persalinan sehat, Siap-Antar-Jaga, Keluarga Sadar
Gizi, Posyandu, kesehatan lingkungan, pencegahan penyakit menular,
penyediaan air bersih dan penyehatan lingkungan pemukiman (PAB-PLP),
kegawatdaruratan sehari-hari, kesiap-siagaan bencana, kejadian luar biasa,
warung obat desa (WOD), diversifikasi pertanian tanaman pangan dan
pemanfaatan pekarangan melalui Taman Obat Keluarga (TOGA), kegiatan
surveilans, PHS, dan lain-lain.
3. Pengembangan Poskesdes dan UKBM lain
Dalam hal ini, pembangunan Poskesdes bisa dikembangkan dari Polindes
yang sudah ada. Apabila tidak ada Polindes, maka perlu dibahas dan
dicantumkan dalam rencana kerja tentang alternative lain pembangunan
Poskesdes. Dengan demikian diketahui bagaimana Poskesdes tersebut akan
diadakan , membangun baru dengan fasilitas dari pemerintah, membangun
baru dengan bantuan dari donator, membangun baru dengan swadaya
masyarakat, atau memodifikasi bangunan lain yang ada. Bilamana Poskesdes
sudah berhasil diselenggarakan, kegiatan dilanjutkan dengan membentuk
UKBM-UKBM yang diperlukan dan belum ada di desa yang bersangkutan,
atau merevitalisasi yang sudah ada tetapi kurang / tidak aktif.
4. Penyelenggaraan Kegiatan Desa Siaga
Dengan telah adanya Poskesdes, maka desa yang bersangkutan telah dapat
ditetapkan sebagai Desa Siaga. Setelah Desa Siaga resmi dibentuk,
dilanjutkan dengan pelaksanaan kegiatan Poskesdes secara rutin, yaitu
pengembangan sistem surveilans berbasis masyarakat, pengembangan
kesiapsiagaan dan penanggulangan kegawat-daruratan dan bencana,
pemberantasan penyakit menular dan penyakit yang berpotensi menimbulkan
KLB., penggalangan dana, pemberdayaan masyarakat menuju KADARZI dan
PHBS, penyehatan lingkungan, serta pelayanan kesehatan dasar (bila
diperlukan). Selain itu, diselenggarakan pula pelayanan UKBM-UKBM lain
seperti Posyandu dan lain-lain dengan berpedoman kepada panduan yang
berlaku. Secara berkala kegiatan Desa Siaga dibimbing dan dipantau oleh
Puskesmas, yang hasilnya dipakai sebagai masukan untuk perencanaan dan
pengembangan Desa Siaga selanjutnya secara lintas sektoral.
D. LATIHAN/TUGAS/EKSPERIMEN
1. Jelaskan secara singkat tahap-tahap Pengembangan Desa Siaga!
2. Sebutkan Peran stake holder. terkait pelaksanaan desa siaga!
3. Jelaskan Strategi PHBS dan berikan contoh konkritnya!
4. Bagaimana cara menentukan keberhasilan upaya Pengembangan Desa
Siaga?
5. Bagaimanakah peran Lembaga Swadaya Masyarakat dalam
penyelenggaraan desa siaga?
E. RUJUKAN
Beal, G.M. and J.B. Bohlen. 1955. How Farm Accept New Ideas. Iowa: Iowa
States College and Federal Office
Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan di
Puskesmas. Jakarta : Pusat Promosi Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI. 2010. Pedoman Umum desa dan Kelurahan Siaga
Aktif. Jakarta : Pusat Komunikasi Kesehatan.
Lippit, R.J Watson, and B. Westley. 1961. The Dynamic of Planned Change..
BAB XII
KOMUNIKASI, ADVOKASI, DAN KEMITRAAN DALAM
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
A. PENDAHULUAN
Pemberdayaan diadaptasi dari istilah empowerment berkembang di Eropa
mulai abad pertengahan, terus berkembang hingga diakhir 70-an, 80-an, dan awal
90-an. Konsep pemberdayaan tersebut kemudian mempengaruhi teori-teori yang
berkembang belakangan ini. Dalam upaya promosi kesehatan, pemberdayaan
masyarakat merupakan bagian yang sangat penting dan bahkan dapat dikatakan
sebagai ujung tombak. Pemberdayaan adalah proses pemberian informasi kepada
individu, keluarga atau kelompok (klien) secara terus-menerus dan
berkesinambungan mengikuti perkembangan klien, serta proses membantu klien,
agar klien tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspek
knowledge), dari tahu menjadi mau (aspek attitude) dan dari mau menjadi
mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek practice). Oleh sebab
itu, sesuai dengan sasaran (klien)nya dapat dibedakan adanya (a) Pemberdayaan
individu, (b) Pemberdayaan keluarga dan (c) Pemberdayaan
kelompok/masyarakat. Dalam mengupayakan agar klien tahu dan sadar, kuncinya
terletak pada keberhasilan membuat klien tersebut memahami bahwa sesuatu
(misalnya Diare) adalah masalah baginya dan bagi masyarakatnya. Sepanjang
klien yang bersangkutan belum mengetahui dan menyadari bahwa sesuatu itu
merupakan masalah, maka klien tersebut tidak akan bersedia menerima informasi
apa pun lebih lanjut. Saat klien telah menyadari masalah yang dihadapinya, maka
kepadanya harus diberikan informasi umum lebih lanjut tentang masalah yang
bersangkutan. Perubahan dari tahu ke mau pada umumnya dicapai dengan
menyajikan fakta-fakta dan mendramatisasi masalah. Tetapi selain itu juga dengan
mengajukan harapan bahwa masalah tersebut bisa dicegah dan atau diatasi. Di sini
dapat dikemukakan fakta yang berkaitan dengan para tokoh masyarakat sebagai
panutan (misalnya tentang seorang tokoh agama yang dia sendiri dan keluarganya
tak pernah terserang Diare karena perilaku yang dipraktikkannya). Bilamana
seorang individu atau sebuah keluarga sudah akan berpindah dari mau ke mampu
melaksanakan, boleh jadi akan terkendala oleh dimensi ekonomi. Dalam hal ini
kepada yang bersangkutan dapat diberikan bantuan langsung. Tetapi yang
seringkali dipraktikkan adalah dengan mengajaknya ke dalam proses
pemberdayaan kelompok/masyarakat melalui pengorganisasian masyarakat atau
pembangunan masyarakat. Untuk itu, sejumlah individu dan keluarga yang telah
mau, dihimpun dalam suatu kelompok untuk bekerjasama memecahkan kesulitan
yang dihadapi. Tidak jarang kelompok ini pun masih juga memerlukan bantuan
dari luar (misalnya dari pemerintah atau pihak swasta). Di sinilah letak pentingya
sinkronisasi promosi kesehatan dengan program kesehatan yang didukungnya dan
program-program sektor lain yang berkaitan. Hal-hal yang akan diberikan kepada
masyarakat oleh program kesehatan dan program lain sebagai bantuan, hendaknya
disampaikan pada fase ini, bukan sebelumnya. Bantuan itu hendaknya juga sesuai
dengan apa yang dibutuhkan masyarakat. Pemberdayaan akan lebih berhasil jika
dilaksanakan melalui kemitraan serta menggunakan metode dan teknik yang tepat.
Pada saat ini banyak dijumpai lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang
bergerak di bidang kesehatan atau peduli terhadap kesehatan. LSM ini harus
digalang kerjasamanya, baik di antaramereka maupun antara mereka dengan
pemerintah, agar upaya pemberdayaan masyarakat dapat berdayaguna dan
berhasilguna. Setelah itu, sesuai ciri-ciri sasaran, situasi dan kondisi, lalu
ditetapkan, diadakan dan digunakan metode dan media komunikasi yang tepat.
B. PENYAJIAN MATERI
1. KOMUNIKASI
Pengertian Komunikasi
Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari
kata latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama.
Sama di sini maksudnya adalah sama makna. Komunikasi adalah proses
pernyataan antarmanusia, dan yang dinyatakannya itu adalah pikiran atau
perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai
penyalurnya. Dalam arti kata bahwa komunikasi itu minimal harus mengandung
kesamaan makna antara dua pihak yang terlibat. Dikatakan minimal karena
kegiatan komunikasi tidak hanya informatif, yakni agar orang lain mengerti dan
tahu, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain bersedia menerima suatu paham
atau keyakinan, melakukan suatu perbuatan atau kegiatan (Effendi, 1995).
Komunikasi pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses
komunikasi yang bertujuan menumbuhkan motivasi dan memberikan kesempatan
pada masyarakat dengan jalan membuka saluran - saluran komunikasi sehingga
masyarakat dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik melalui pemanfaatan
dan peningkatan kemampuan yang mereka miliki dan sekaligus menempatkan
mereka sebagai stakeholder aktif. Dalam proses komunikasi tersebut perlu
dilakukan pendekatan pemberdayaan masyarakat agar proses dan tujuan
komunikasi yang direncanakan dapat tercapai, seperti pengembangan akses
teknologi dan pengembangan solidaritas antar masyarakat atau stakeholder
didalamnya. Fungsi komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat yaitu sebagai
media transfer informasi dari masyarakat kepada masyarakat, dari masyarakat
kepada agen luar, dan dari agen luar kepada masyarakat dalam upaya memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk dapat mengontrol diri dan lingkungannya.
Komunikasi tatap muka berperan dalam mengubah tingkah laku, dan komunikasi
bermedia untuk komunikasi informatif.
2. ADVOKASI
2.1 Pengertian Advokasi
Advokasi atau advocacy adalah kegiatan memberikan bantuan kepada
masyarakat dengan membuat keputusan (Decision makers) dan penentu kebijakan
(Policy makers) dalam bidang kesehatan maupun sektor lain diluar kesehatan
yang mempunyai pengaruh terhadap masyarakat. Dengan demikian, para
pembuat keputusan akan mengadakan atau mengeluarkan kebijakan-kebijakan
dalam bentuk peraturan, undang-undang, instruksi yang diharapkan
menguntungkan bagi kesehatan masyarakat umum. Srategi ini akan berhasil jika
sasarannya tepat dan sasaran advokasi ini adalah para pejabat eksekutif dan
legislatif, para pejabat pemerintah, swasta, pengusaha, partai politik dan
organisasi atau LSM dari tingkat pusat sampai daerah. Bentuk dari advokasi
berupa lobbying melalui pendekatan atau pembicaraan-pembicaraan formal atau
informal terhadap para pembuat keputusan, penyajian isu-isu atau masalah-
masalah kesehatan yang mempengarui kesehatan masyarakat setempat, dan
seminar-seminar kesehatan. (Wahid Iqbal Mubarak, Nurul Chayantin2009).
Advokasi adalah upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk
mendapatkan komitmen dan dukungan dari pihak-pihak masyarakat
(stakeholders). Advokasi bekerjasama dengan orang dan organisasi lain untuk
membuat suatu perbedaan (CEPDA, 1995). Pihak-pihak yang terkait ini berupa
tokoh-tokoh (opinion leader), atau penentu kebijakan (norma) atau penyandang
dana. Juga berupa kelompok- kelompok dalam masyarakat dan media massa yang
dapat berperan dalam menciptakan suasana kondusif, opini publik, dan dorongan
(pressure) bagi terciptanya PHBS masyarakat. Advokasi merupakan upaya untuk
menyukseskan bina suasana, pemberdayaan, dan bahkan proses pembinaan PHBS
secara keseluruhan. Advokasi terdiri atas berbagai macam strategi yang diarahkan
untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pada tingkat organisasi, lokal,
provinsi, nasional, dan internasional.
2.2 Langkah Kegiatan Advokasi
Menurut depkes RI 2007 terdapat lima langkah kegiatan advokasi antara lain :
1. Identifikasi dan analisis masalah atau isi yang memerlukan advokasi.
Masalah atau isu advokasi perlu dirumuskan berbasis data atau fakta. Data
sangat penting agar keputusan yang dibuat berdasarkan informasi yang tepat
dan benar. Data berbasis fakta sangat membantu menetapkan masalah,
mengidentifikasi solusi dan menentukan tujuan yang realistis . contoh :
paradigm sehat, Indonesia sehat 2010, anggaran kesehatan.
2. Identifikasi dan analisis kelompok sasaran.
Sasaran kegiatan advokasi ditujukan kepada para pembuat keputusan
(decision maker) atau penentu kebijakan (policy maker), baik di bidang
kesehatan maupun diluar sector kesehatan yang berpengaruh terhadap public.
Tujuannya agar pembuat keputusan mengeluarkan kebijakan-kebijakan,
antara lain dalam bentuk peraturan, undang-undang, instruksi, dan yang
menguntungkan kesehatan. Dalam mengidentifikasi sasaran, perlu ditetapkan
siapa saja yang menjadi sasaran, mengapa perlu advokasi, apa
kecenderunganya, dan apa harapan kita kepadanya.
3. Siapkan dan kemas bahan informasi.
Tokoh politik mungkin termotivasi dan akan mengambil keputusan jika
mereka mengetahui secara rinci besarnya masalah kesehatan tertentu. Oleh
sebab itu, penting diketahui pesan atau informasi apa yang diperlukan agar
sasaran yang dituju dapat membuat keputusan yang mewakili kepentingan
advocator . kata kunci untuk bahan informasi ini adalah informasi yang
akurat, tepat dan menarik. Beberapa pertimbangan dalam menetapkan bahan
informasi ini meliputi:
· Bahan informasi minimal memuat rumusan masalah yang dibahas, latar
belakang masalahnya, alternative mengatasinya, usulan peran atau tindakan
yang di harapkan, dan tindak lanjut penyelesaiannya. Bahan informasi juga
minimal memuat tentang 5W 1H (what, why, who, where, when, dan how)
tentang permasalahan yang di angkat.
a. Dikemas menarik, ringkas, jelas dan mengesankan.
b. Bahan informasi tersebut akan lebih baik lagi jika disertakan data
pendukung, ilustrasi contoh, gambar dan bagan.
c. Waktu dan tempat penyampaian bahan informasi , apakah sebelum, saat,
atau setelah pertemuan.
4. Rencanakan teknik atau acara kegiatan operasional.
Beberapa teknik dan kegiatan operasional advokasi dapat meliputi,
konsultasi, lobi, pendekatan, atau pembicaraan formal atau informal terhadap
para pembuat keputusan , negosiasi atau resolusi konflik, pertemuan khusus,
debat public, petisi, pembuatan opini, dan seminar-seminar kesehatan
5. Laksanakan kegiatan, pantau evaluasi serta lakukan tindak lanjut.
3. KEMITRAAN
3.1 Pengertian Kemitraan
Kemitraan adalah suatu kerjasama formal antara individu-individu, kelompok
kelompok atau organisasi-organisasi untuk mencapai suatu tugas atau tujuan
tertentu. Dalam kerjasama tersebut ada kesepakatan tentang komitmen dan
harapan masing-masing, tentang peninjauan kembali terhadap kesepakatan
kesepakatan yang telah dibuat dan saling berbagi baik dalam resiko maupun
keuntungan yang diperoleh. Dari definisi ini terdapat tiga kata kunci dalam
kemitraan, yaitu:
1. Kerjasama antar kelompok, organisasi dan Individu
2. Bersama-sama mencapai tujuan tertentu (yang disepakati bersama)
3. Saling menanggung risiko dan keuntungan.
D. TUGAS/ LATIHAN/EKSPERIMEN
1. Jelaskan peran penting advokasi dalam pemberdayaan masyarakat.
2. Jelaskan fungsi komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat.
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan equity dalam prinsip dasar kemitraan.
4. Bagaimana peran pemerintah dan pihak swasta dalam pemberdayaan?
5. Jelaskan keterkaitan antara pemberdayaan dan advokasi yang didukung
dengan kemitraan yang merupakan strategi dalam promosi kesehatan.
E. DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. 2007. Pusat Promosi Kesehatan, Pedoman
Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Puskesmas. Jakarta
Effendy, Onong Uchyana. 1995. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Penerbit PT
Remaja: Bandung.
BAB XIII
DIFUSI INOVASI SEBAGAI HASIL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
A. PENDAHULUAN
Munculnya Teori Difusi Inovasi dimulai pada awal abad ke-20, tepatnya
tahun 1903, ketika seorang sosiolog Perancis, Gabriel Tarde, memperkenalkan
Kurva Difusi berbentuk S (S-shaped Diffusion Curve). Kurva ini pada dasarnya
menggambarkan bagaimana suatu inovasi diadopsi seseorang atau sekelompok
orang dilihat dari dimensi waktu. Pada kurva ini ada dua sumbu dimana sumbu
yang satu menggambarkan tingkat adopsi dan sumbu yang lainnya
menggambarkan dimensi waktu.
Pemikiran Tarde menjadi penting karena secara sederhana bisa
menggambarkan kecenderungan yang terkait dengan proses difusi inovasi. Rogers
(1983) mengatakan, Tarde’s S-shaped diffusion curve is of current importance
because “most innovations have an S-shaped rate of adoption”. Dan sejak saat itu
tingkat adopsi atau tingkat difusi menjadi fokus kajian penting dalam penelitian-
penelitian sosiologi.
Pada tahun 1940, dua orang sosiolog, Bryce Ryan dan Neal Gross,
mempublikasikan hasil penelitian difusi tentang jagung hibrida pada para petani di
Iowa, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini memperbarui sekaligus menegaskan
tentang difusi inovasi model kurva S. Salah satu kesimpulan penelitian Ryan dan
Gross menyatakan bahwa “The rate of adoption of the agricultural innovation
followed an S-shaped normal curve when plotted on a cumulative basis over
time.”
Perkembangan berikutnya dari teori Difusi Inovasi terjadi pada tahun 1960, di
mana studi atau penelitian difusi mulai dikaitkan dengan berbagai topik yang
lebih kontemporer, seperti dengan bidang pemasaran, budaya, dan sebagainya. Di
sinilah muncul tokoh-tokoh teori Difusi Inovasi seperti Everett M. Rogers dengan
karya besarnya Diffusion of Innovation (1961); F. Floyd Shoemaker yang
bersama Rogers menulis Communication of Innovation: A Cross Cultural
Approach (1971) sampai Lawrence A. Brown yang menulis Innovation Diffusion:
A New Perspective (1981).
Lingkup dan Sistematika
Pada awalnya, bahkan dalam beberapa perkembangan berikutnya, teori
Difusi Inovasi senantiasa dikaitkan dengan proses pembangunan masyarakat.
Inovasi merupakan awal untuk terjadinya perubahan sosial, dan perubahan sosial
pada dasarnya merupakan inti dari pembangunan masyarakat. Rogers dan
Shoemaker (1971) menjelaskan bahwa proses difusi merupakan bagian dari
proses perubahan sosial. Perubahan sosial adalah proses dimana perubahan terjadi
dalam struktur dan fungsi sistem sosial. Perubahan sosial terjadi dalam 3 (tiga)
tahapan, yaitu: (1) Penemuan (invention), (2) difusi (diffusion), dan (3)
konsekuensi (consequences). Penemuan adalah proses dimana ide/gagasan baru
diciptakan atau dikembangkan. Difusi adalah proses dimana ide/gagasan baru
dikomunikasikan kepada anggota sistem sosial, sedangkan konsekuensi adalah
suatu perubahan dalam sistem sosial sebagai hasil dari adopsi atau penolakan
inovasi.
2. KARAKTER INOVASI
Karakteristik inovasi adalah sifat dari difusi inovasi, dimana karakteristik
inovasi merupakan salah satu yang menentukan kecepatan suatu proses inovasi.
Rogers (1983) mengemukakan ada 5 karakteristik inovasi, yaitu : relative
advantage (keuntungan relatif), compatibility atau kompatibilitas (keserasian),
complexity atau kompleksitas (kerumitan), triability atau triabilitas (dapat diuji
coba) dan observability (dapat diobservasi).
Relative Advantage (keuntungan relatif) adalah tingkat kelebihan suatu
inovasi, apakah lebih baik dari inovasi yang ada sebelumnya atau dari hal-hal
yang biasa dilakukan. Biasanya diukur dari segi ekonomi, prestasi sosial,
kenyamanan dan kepuasan. Semakin besar keuntungan relatif yang dirasakan oleh
adopter, maka semakin cepat inovasi tersebut diadopsi.
Compatibility atau kompatibilitas (keserasian) adalah tingkat keserasian dari
suatu inovasi, apakah dianggap konsisten atau sesuai dengan nilai-nilai,
pengalaman dan kebutuhan yang ada. Jika inovasi berlawanan atau tidak sesuai
dengan nilai-nilai dan norma yang dianut oleh adopter maka inovasi baru tersebut
tidak dapat diadopsi dengan mudah oleh adopter.
Complexity atau kompleksitas (kerumitan) adalah tingkat kerumitan dari
suatu inovasi untuk diadopsi, seberapa sulit memahami dan menggunakan inovasi.
Semakin mudah suatu inovasi dimengerti dan dipahami oleh adopter, maka
semakin cepat inovasi diadopsi.
Triability atau triabilitas (dapat diuji coba) merupakan tingkat apakah suatu
inovasi dapat dicoba terlebih dahulu atau harus terikat untuk menggunakannya.
Suatu inovasi dapat diuji cobakan pada keadaan sesungguhnya, inovasi pada
umumnya lebih cepat diadopsi. Untuk lebih mempercepat proses adopsi, maka
suatu inovasi harus mampu menunjukkan keunggulannya.
Observability (dapat diobservasi) adalah tingkat bagaimana hasil penggunaan
suatu inovasi dapat dilihat oleh orang lain. Semakin mudah seseorang melihat
hasil suatu inovasi, semakin besar kemungkinan inovasi diadopsi oleh orang atau
sekelompok orang.
3. CIRI-CIRI ADOPTER
Adopter (penerima inovasi) merupakan bagian dari sistem sosial. Pembagian
anggota sistem sosial dalam keadaan kelompok-kelompok adopter didasarkan
pada tingkat keinovatifannya, yaitu lebih awal atau lebih akhirnya individu untuk
mengadopsi sebuah inovasi. Rogers dan Shoemaker (1987: 88) mengkategorikan
adopter berdasarkan keinovatifannya, yaitu:
a. Innovators. Inovator identik dengan jiwa pemberani dan petualang, dan
senang mencoba gagasan-gagasan baru yang menantang. Untuk menjadi
seorang inovator, ia harus mempunyai sumber keuangan, kemampuan daya
pikir yang tinggi dan cerdas untuk dapat memahami dan menerapkan teknik,
serta menjadi panutan bagi anggota sistem sosial lainnya dalam menentukan
keputusan dan mencoba hal-hal baru.
b. Early Adopters. Pengguna awal adalah seorang pelopor yang biasanya akan
melakukan penelitian terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk menerima
dan menggunakan suatu inovasi. Mayoritas pelopor ini terdiri dari para
pemuka pendapat, biasanya diajak melakukan penyebaran inovasi karena
dirasa mempunyai pengaruh kekuatan yang besar.
c. Early Majority. Pengikut dini lebih dahulu melakukan pemikiran dan
pertimbangan berulang kali. Mereka akan menerima inovasi sesaat setelah
ada anggota sistem lainnya yang menerima inovasi. Pengikut dini jarang
sekali mempunyai posisi sebagai pemimpin, tetapi mereka adalah orang yang
banyak berinteraksi dengan anggota sistem lainnya.
d. Late Majority. Penganut lambat ini tidak mau mengadopsi ide-ide baru atau
inovasi sebelum sebagian besar anggota sistem telah menerima dan
melakukannya. Mereka biasanya bersikap skeptis dan hati-hati sehingga
membutuhkan dorongan atau tekanan dari anggota sistem lainnya yang telah
terlebih dahulu mengadopsi inovasi untuk menerima juga ide baru atau
inovasi sesuai dengan tingkat kepentingan pengadopsian ide baru tersebut.
e. Laggards. Orang yang kolot adalah anggota sistem yang terakhir mengadopsi
ide baru karena mereka adalah anggota sistem yang paling sempit pandangan
dan wawasan serta pengetahuannya diantara anggota sistem lainnya.
Keputusan yang dibuat biasanya dikaitkan dengan apa yang sudah dilakukan
oleh generasi yang sebelumnya. Hal ini terjadi karena laggards adalah orang-
orang yang mempunyai nilai-nilai tradisional yang masih dipegang kuat.
(Rogers dan Shoemaker, 1987: 86-92).
C. RANGKUMAN
Munculnya Teori Difusi Inovasi dimulai pada awal abad ke-20, tepatnya
tahun 1903, ketika seorang sosiolog Perancis, Gabriel Tarde, memperkenalkan
Kurva Difusi berbentuk S (S-shaped Diffusion Curve). Kurva ini pada dasarnya
menggambarkan bagaimana suatu inovasi diadopsi seseorang atau sekelompok
orang dilihat dari dimensi waktu.
Inovasi merupakan awal untuk terjadinya perubahan sosial, dan perubahan
sosial pada dasarnya merupakan inti dari pembangunan masyarakat. Rogers dan
Shoemaker (1971) menjelaskan bahwa proses difusi merupakan bagian dari
proses perubahan sosial. Perubahan sosial adalah proses dimana perubahan terjadi
dalam struktur dan fungsi sistem sosial. Perubahan sosial terjadi dalam 3 (tiga)
tahapan, yaitu: (1) Penemuan (invention), (2) difusi (diffusion), dan (3)
konsekuensi (consequences).
Rogers (1983) mengemukakan ada 5 karakteristik inovasi, yaitu : relative
advantage (keuntungan relatif), compatibility atau kompatibilitas (keserasian),
complexity atau kompleksitas (kerumitan), triability atau triabilitas (dapat diuji
coba) dan observability (dapat diobservasi).
Adoption (Adopsi), yaitu tahap seseorang memastikan atau
mengkonfirmasikan putusan yang diambilnya sehingga ia mulai mengadopsi
perilaku baru tersebut. Dari pengalaman di lapangan ternyata proses adopsi tidak
berhenti segera setelah suatu inovasi diterima atau ditolak. Kondisi ini akan
berubah lagi sebagai akibat dari pengaruh lingkungan penerima adopsi. Oleh
sebab itu, Rogers (1983) merevisi kembali teorinya tentang keputusan tentang
inovasi yaitu: Knowledge (pengetahuan), Persuasion (persuasi), Decision
(keputusan), Implementation (pelaksanaan), dan Confirmation (konfirmasi).
D. LATIHAN/TUGAS/EKSPERIMEN
1. Jelaskan perbedaan difusi inovasi dan adopter!
2. Jelaskan tahap-tahap proses adopsi dalam pemberdayaan masyarakat!
3. Bagi masyarakat yang sulit menerima perubahan sehingga keputusan yang
dibuat biasanya dikaitkan dengan apa yang sudah dilakukan oleh generasi
yang sebelumnya. Kelompok ini termasuk dalam kategori?
4. Pada tahap apa seorang individu mengambil konsep inovasi dan menimbang
keuntungan/kerugian dari menggunakan inovasi dan memutuskan apakah
akan mengadopsi atau menolak inovasi?
5. Sebutkan dan jelaskan karakteristik inovasi menurut Rogers (1983)!
E. RUJUKAN
Cain, M and Mittman, R. 2002. Diffusion Of Innovation in Health Care. Oakland :
California Health Care Foundation.
Effendy, Onong Uchjana. 1994. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung:
Remaja Rosda Karya.
Ewless, Linda dan Ina Simnett. 1994. Promosi Kesehatan, Petunjuk Praktis.
Yogyakarta: Gadjah Mada university Press.
_________. 1995. Diffusions of Innovations, Forth Edition. New York: Tree Press
A. PENDAHULUAN
Pertumbuhan masyarakat di Indonesia yang hingga tahun 2013 ini telah lebih
dari 200 juta jiwa dengan komposisi terbanyak masih menghuni pulau jawa.
Adapun pertumbuhan penduduk ini mempunyai masalah tersendiri dengan
semakin bertambahnya masyarakat usia remaja; dimana mereka ini termasuk
kelompok yang seharusnya masih bersekolah namun dengan alasan ekonomi
sehingga tidak dapat melanjutkan kependidikan yang lebih tinggi lagi.
Pertumbuhan yang besar ini dapat berdampak terjadinya pengangguran
terbuka dengan segala persoalan. Masyarakat berpenghasilan rendah tadi tidak
seharusnya menjadi objek namun dapat diubah kearah yang lebih berguna dengan
pola pemberdayaan (empowering) atau belajar kecakapan hidup (Life skills
Education). Dominasi masyarakat Indonesia yang berjenis kelamin perempuan
merupakan hal yang semestinya menjadi perhatian penuh berbagai pihak. Para
kaum perempuan atau masyarakat usia kerja yang masih menganggur dapat
diberikan suatu pelatihan agar bisa memberi penghasilan untuk kehidupannya
khususnya banyaknya anak putus sekolah yang ada di jalanan sangat
membutuhkan pendampingan dan pelatihan keterampilan agar mereka bisa
menghasilkan sesuatu karya dan menambah penghasilan mereka.
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan,
memampukan masyarakat sehingga mampu untuk hidup mandiri. Agar kegiatan
pemberdayaan berjalan optimal diperlukan perencanaan serta evaluasi dalam
kegiatan pemberdayaan masyarakat.
B. PENYAJIAN MATERI
1. PERENCANAAN PEMBERDYAAN MASYARAKAT
Perencanaan adalah suatu proses pengambilan keputusan yang berdasarkan
fakta, mengenai kegiatan- kegiatan yang harus dilaksanakan demi tercapainya
tujuan yang diharapkan atau dikehendaki. Adanya perencanaan suatu program/
kegiatan pemberdayaan masyarakat akan memberikan “kerangka kerja” yang
dapat dijadikan acuan oleh para fasilitator dan semua pemangku kepentingan/
stakeholders (termasuk warga masyarakat) untuk mengambil keputusan tentang
kegiatan- kegiatan yang seharusnya dilaksanakan demi tercapainya tujuan
pembangunan yang diinginkan. Perencanaan program pemberdayaan masyarakat
sangat penting untuk dilakukan demi keberhasilahn program tersebut.
Tahapan–tahapan perencanaan program pemberdayaan masyarakat
dikemukakan oleh Mardikanto (2009), dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pengumpulan data keadaan, merupakan kegiatan pengumpulan data dasar
yang diperlukan untuk menentukan masalah, tujuan, dan cara mencapai
tujuan atau kegiatan yang direncanakan. Data yang dikumpulkan
mencakup keadaan sumber daya (sumber daya alam dan manusia),
kelembagaan (sosial dan ekonomi), sarana dan prasarana yang diperlukan
untuk pelaksanaan kegiatan; teknologi yang digunakan; peraturan atau
kebijakan pembangunan yang sudah ditetapkan.
2. Analisis data keadaan.
3. Identifikasi masalah, identifikasi masalah dapat dilakukan dengan
menganalisis kesenjangan :
a. Antara data potensial dengan data aktual
b. Antara keadaan yang ingin dicapai dengan yang sudah dicapai
c. Antara teknologi yang seharusnya diterapkan dengan yang sudah
diterapkan
d. Antara peraturan yang harus dilaksanakan dengan praktek/ kenyataan
dalam penerapan peraturan tersebut
4. Pemilihan masalah yang akan dipecahkan.
5. Perumusan tujuan- tujuan, dalam perumusan tujuan atau penerima manfaat
perlu diperhatikan agar penerima manfaat yang hendak dicapai haruslah
“realistis”, baik ditinjau dari segi kemampuan sumber daya maupun dapat
dirumuskan secara bertahap dengan target yang realistis.
6. Perumusan alternatif pemecahan masalah.
7. Perumusan cara mencapai tujuan.
8. Pengesahan program pemberdayaan masyarakat.
9. Perumusan rencana evaluasi untuk melaporkan aksi pemberdayaan
masyarakat.
10. Rekonsiderasi, merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
mempertimbangkan kembali rumusan perencanaan program yang ada.
C. RANGKUMAN
Pemberdayaan merupakan suatu upaya yang harus diikuti dengan tetap
memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh setiap masyarakat. Adanya
perencanaan program dapat menjadi acuan dalam menjalankan suatu kegiatan
(pemberdayaan). Dalam merencanakan program tujuan program perlu
dirumuskan secara spesifik dan jelas. Hal ini dikarenakan perencanaan program
merupakan pedoman bagi pelaksana suatu program, memberikan arah dan bila
ditemui hambatan, dapat dengan cepat dilakukan revisi. Perencana program harus
mampu mengenali adanya prospek, tantangan, dan kebutuhan masyarakat.
Setiap program kegiatan yang direncanakan seharusnya diakhiri dengan
evaluasi dan dimulai dengan hasil evaluasi kegiatan sebelumnya. Evaluasi yang
dilakukan dimaksudkan untuk melihat kembali apakah suatu program atau
kegiatan telah dapat dilaksanakan sesuai dengan perencanaan dan tujuan yang
diharapkan. Dari kegiatan evaluasi tersebut akan diketahui hal-hal yang telah
dicapai, apakah suatu program dapat memenuhi kriteria yang telah ditentukan.
Berdasarkan hasil evaluasi itu kemudian diambil keputusan, apakah suatu
program akan diteruskan, atau direvisi, atau bahkan diganti sama sekali. Hal ini
didasarkan pada pengertian evaluasi, yaitu suatu proses pengumpulan informasi
melalui pengumpulan data dengan menggunakan instrumen tertentu untuk
mengambil suatu keputusan. Jadi, pada dasarnya evaluasi adalah suatu kegiatan
yang menguji atau menilai pelaksanaan suatu program.
E. DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jendral PHKA. 2008. Pedoman Monitoring dan Evaluasi
Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Konservasi.
elisa.ugm.ac.id/user/archive/download. Diakses Desember 2016
2. Pengetahuan:
1) Memahami dan mempunyai pengetahuan mengenai dasar-dasar Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat.
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN
TINGGI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
tentang materi
yang dibahas
g. Menutup
perkuliahan
dengan ucapan
salam
Capaian Kemampuan akhir Bahan Kajian /
Perte Metode Kriteria
Pembelajaran capaian pembelajaran Materi Pembelajaran
muan Pembelajaran Pengalaman Belajar Penilaian
Pertemuan
(Indikator) Waktu
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
2 Memahami Konsep Setelah mengikuti Hakikat Manusia Ceramah dan a. Membuka Essay test 2 X 50’
Hakikat Manusia perkuliahan mahasiswa a. Pandangan Diskusi perkuliahan
diharapkan dapat : dengan ucapan
a. Membedakan berbagai Psikoanalitik salam
pandangan tentang b. Pandangan b. Menjelaskan
Hakikat Manusia Humanistik ruang lingkup
c. Pandangan materi pada
Behavioristik pertemuan
c. Menjelaskan
materi
d. Mengajukan
pertanyaan
kepada
mahasiwa
tentang
pemahaman
materi yang
dibahas
e. Menyimpulkan
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN
TINGGI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
materi
f. Memberikan
kesempatan
kepada mahasiwa
untuk bertanya
tentang materi
yang dibahas
g. Menutup
perkuliahan
dengan ucapan
salam
kepada mahasiwa
untuk bertanya
tentang materi
yang dibahas
g. Menutup
perkuliahan
dengan ucapan
salam
Waktu
(Indikator)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
11 Memahami Konsep Setelah mengikuti a. Latar Belakang Ceramah, a. Membuka Essay test 2 X 50’
Primary Health perkuliahan mahasiswa Primary Health Care Diskusi perkuliahan
Care dan diharapkan dapat: b.Perkembangan dengan ucapan
Penerapannya di a. Mengingat Latar Primary Health Care salam
Indonesia Belakang Primary di Indonesia b. Menjelaskan
Health Care c. Pengertian Primary ruang lingkup
b. Mengidentifikasi Health Care materi pada
Perkembangan d.Peran serta pertemuan
Primary Health masyarakat dalam c. Menjelaskan
Care di Indonesia Primary Health Care materi
c. Mengingat e. Peranan dan d. Mengajukan
Pengertian Primary Kedudukan kader pertanyaan
Health Care dalam Primary kepada
d. Menguraikan Peran Health Care mahasiwa
serta masyarakat tentang
dalam Primary pemahaman
Health Care materi yang
e. Menguraikan dibahas
Peranan dan e. Menyimpulkan
Kedudukan kader materi
dalam Primary f. Memberikan
Health Care kesempatan
kepada mahasiwa
untuk bertanya
tentang materi
yang dibahas
g. Menutup
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN
TINGGI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
perkuliahan
dengan ucapan
salam
kesempatan
kepada mahasiwa
untuk bertanya
tentang materi
yang dibahas
g. Menutup
perkuliahan
dengan ucapan
salam
c. Kemitraan pemahaman
1) Pengertian materi yang
Kemitraan dibahas
2) Peran mitra e. Menyimpulkan
(Pemerintah dan materi
Swasta (NGO)) f. Memberikan
3) Perencanaan kesempatan
Kemitraan kepada mahasiwa
4) Pelaksanaan untuk bertanya
Kemitraan, tentang materi
pemantauan dan yang dibahas
penilaian hasil g. Menutup
perkuliahan
dengan ucapan
salam
Daftar Referensi
1. Dardiri, Achmad. Urgensi Memahami Hakekat Manusia. Yogyakarta, FIPUNY.
2. Dreier, Peter dan Accidental College. 1996. Community Empowerment Strategies: The Limits and Potential of Community Organizing in
Urban Neighborhoods Cityscape: A Journal of Policy Development and Research, Volume 2, Number 2 , May 1996.
3. Kemenkes RI dan FKM UI. 2009. Promosi Kesehatan “Komitmen Global Dari Ottawa-Jakarta-Nairobi Menuju Rakyat Sehat. Jakarta, Pusat
Promosi Kesehatan Kemenkes RI dan Departemen Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku FKM UI.
4. Kemenkes RI dan Kemendagri RI. 2013. Kurikulum dan Modul Pelatihan Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Kesehatan. Jakarta,
Kemenkes RI.
5. Laverack, Glenn dan Nina Wallerstein. 2001. Measuring community empowerment: a freshlook at organizational domains, Health Promotion
International, Vol. 16, No. 2.
6. Mardikanto, Totok. 2010. Konsep-Konsep pemberdayaan Masyarakat. Surakarta, UNS Press.
7. National Empowerment Network. 2008. What is Community Empowerment?. National UK, Empowerment Network.
8. Painter, Joe , et.al. 2011. Connecting Localism and Community Empowerment. Britain, Conected Community.Perkins, DD, Barbara BB Dan
Ralph BT. 1996. The Ecology Of Empowerment: Predicting Participation in Community Organization. Journal of Social Issue, Vo;. 52, No. 1,
pg: 85-110.
9. Robinson, Les. 2009. A Summary of Diffusion of Innovations. AS, Amazon.
10. Sadan, Elisheva. 2004. Empowerment dan Community Planning: Theory and Practice of People Focused Social Solution. Tel Aviv, Hakibbutz
Hameuchad Publisher (In Hebrew).
11. Sasongko, Adi. 2001. Pengorganisasian dan Pemngembangan Masyarakat. Depok, FKM UI.
12. WHO. 2009. International Conference on Health Promotion Promoting Health and Development: Closing the Implementation Gap,Nairobi,
Kenya, 26-30 October 2009.