Anda di halaman 1dari 202

PENGORGANISASIAN PENGEMBANGAN

MASYARAKAT

Digunakan di Lingkungan FKM Universitas Sriwijaya


Sebagai Buku Ajar Mata Kuliah Komunikasi Kesehatan

Oleh
Fenny Etrawati, S.KM, M.KM

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017
HALAMAN PENGESAHAN
DEKAN FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

Unsur Utama : Tri Dharma Perguruan Tinggi


Bidang Kegiatan : Pendidikan dan Pengajaran
Butir Kegiatan : Membuat/ menulis materi ajar berupa diktat/ modul
Judul : Pengorganisasian Pengembangan Masyarakat

Indralaya, 20 November 2017


Mengetahui Dosen Bersangkutan
Wakil Dekan I

Asmaripa Ainy, S.Si., M.Kes. Fenny Etrawati, S.KM, M.KM


NIP. 197909152006042005 NIP. 198905242014042001

Menyetujui
Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sriwijata

Iwan Stia Budi, S.KM, M.KM


NIP. 197712062003121003
PRAKATA

Puji dan syukur atas berkat rahmat dan karunia Allah SWT sehingga saya
akhirnya dapat menyelesaikan modul pembelajaran ini. Modul ini disusun dalam
rangka memenuhi kebutuhan akan buku pegangan pembelajaran yang berfungsi
sebagai kontrol pengkajian aspek-aspek pembelajaran sesuai dengan kompetensi
yang dibutuhkan oleh lulusan Sarjana Kesehatan Masyarakat.
Sampai dengan periode 2016, di lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sriwijaya telah dibuat beberapa modul termasuk modul mata kuliah
Komunikasi Kesehatan. Mengingat konten dari modul tersebut yang memiliki
beberapa kelemahan maka penulis berkeinginan untuk membuat sebuah modul
baru “Dasar-dasar Promosi Kesehatan” yang sifatnya content upgrading dari edisi
sebelumnya. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa
terutama dikaitkan dengan isu-isu mutakhir dunia kesehatan.
Modul ini terdiri atas 12 bab materi pembelajaran. Sub materi tersebut
antara lain menjabarkan tentang: prinsip-prinsip komunikasi, bentuk-bentuk
komunikasi, dasar-dasar komunikasi kesehatan, hambatan dan gangguan
komunikasi, model-model komunikasi interpersonal, model-model komunikasi
massa, komunikasi efektif, komunikasi persuasive, teori-teori terkait komunikasi
kesehatan, ruang lingkup komunikasi kesehatan, wawancara, Focus Group
Discussion (FGD). Selain menyediakan sub materi yang terkait dengan
komunikasi kesehatan, modul ini juga menyediakan tools untuk evaluasi
pembelajaran bagi mahasiswa. Oleh karena itu diharapkan dapat meningkatkan
keterampilan calon lulusan untuk melaksanakan komunikasi kesehatan pada
masyarakat.
Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua
orang tua saya (Bapak Zulkarnain dan Ibu Hurairuh) serta kedua adik tercinta
(Meita Anggraini dan Yudekta Elyani) yang telah memberikan dukungan moril
dan spiritual sehingga kemajuan penulisan makalah ini dapat terlihat sampai
akhirnya dapat diselesaikan dengan baik.
Ucapan terima kasih dan hormat yang tulus terhadap semua pihak yang
memberikan dukungan dalam penyempurnaan modul ini. Apresiasi yang tinggi
saya ucapkan kepada Bapak Dekan yang telah menelaah modul ini. Selain itu,
saya juga mengucapkan terima kasih kepada para kolega dosen Fakultas
Kesehatan Masyarakat yang telah menyediakan waktunya untuk membaca dan
mengedit dari segi bahasa dan konten modul ini.
Penulis menyadari bahwa modul ini masih jauh dari sempurna, maka
dengan rendah hati penulis menerima saran dan kritik yang membangun. Semoga
karya ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan Allah SWT
selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita sekalian, Amin.

Indralaya, Desember 2017


Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ii
PRAKATA ........................................................................................................iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................v
DAFTAR TABEL ...........................................................................................vi
DAFTAR GRAFIK ......................................................................................vii
BAB I. PENDAHULUAN ..............................................................................1
A. Pendahuluan ................................................1
B. Lingkup dan Sistematika ...............................................................2
C. Kaitan Modul dengan Materi Kuliah (RPS) ..................................2
BAB II. PENGANTAR KOMUNIKASI ......................................................3
A. Pendahuluan .................................................................................3
B. Penyajian Materi ..........................................................................4
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 8.1 Manfaat Komunikasi Massa (Alexis S. Tan)................................111
Tabel 11.1 Tingkatan dari diffusion of innovations dalam organisasi............146
Tabel 13.1 Tujuan wawancara........................................................................180
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Teori Maslow ..........................................................................11
Gambar 3.1 Proses sistematik komunikasi .................................................22
Gambar 4.1 Proses komunikasi intrapersonal ..............................................43
Gambar 11.1 Komponen dan Hubungan HBM.............................................148
Gambar 11.2 Theory of reasoned action dan TPB ......................................152
Gambar 14.1 Ruang dan tempat duduk FGD .............................................196
BAB I
KESEJAHTERAAN SOSIAL

A. PENDAHULUAN
Kesejahteraan sosial merupakan suatu keadaan terpenuhinya kebutuhan hidup
yang layak bagi masyarakat, sehingga mampu mengembangkan diri dan dapat
melaksanakan fungsi sosialnya yang dapat dilakukan pemerintah, pemerintah
daerah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial yang meliputi rehabilitasi
sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial (UU No 11
Tahun 2009 pasal 1 dan 2). Pembangunan kesejahteraan sosial ini menjadi bagian
tak terpisahkan dari pembangunan nasional dimana pembangunan kesejahteraan
sosial berperan aktif dalam meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia. Hal ini
karena pada prinsipnya konstruksi pembangunan kesejahteraan sosial terdiri atas
serangkaian aktivitas yang direncanakan untuk memajukan kondisi kehidupan
manusia melalui koordinasi dan keterpaduan antara pemerintah, pemerintah
daerah dan masyarakat dalam upaya penyelenggaraan kesejahteraan sosial dalam
mengatasi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) menjadi kerangka
kegiatan yang utuh, menyeluruh, berkelanjutan dan bersinergi, sehingga
kesejahteraan sosial masyarakat lambat laun dapat meningkat.
Pembangunan sosial adalah sebuah proses perubahan sosial yang
terencana dan desain untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh penduduk dalam
kaitannya dengan proses yang dinamis dalam pembangunan ekonomi.
Pembangunan sosial adalah peningkatan kualitas norma dan nilai dalam pranata
sosial yang menghasilkan pola interaksi atau, lebih dalam lagi, pola relasi sosial
(terutama menyangkut hubungan kekuasaan), baik antar individu maupun
kelompok. Jadi, pembangunan sosial adalah perbaikan manusia dalam dimensi
sosialnya. Dalam perspektif pembangunan sosial, partisipasi masyarakat bukan
sekedar alat atau cara, tetapi tujuan karena, dalam keikutsertaan yang aktif dan
kreatif dalam pembangunan, hakikat manusia sebagai makhluk yang memiliki
aspirasi, harga diri dan kebebasan diwujudkan dan sekaligus ditingkatkan
mutunya.
Dalam kenyataanya masyarakat bukan hanya sebagai sasaran objek dalam
prses pembuatan proram pembangunan, namun sekaligus berperan sebagai subjek
Artinya pembanguna dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat.
Tantanganya dibutuhkan SDM yang berkualitas dan mampu berperan dan ikut
serta dalam prses pembangunan. Sumber daya manusia yang berkualitas dan
mampu bersaing dalam dunia kerja hanya dapat tercipta jika telah melewati
tempaan pendidikan.

1. Lingkup dan Sistematika

Suatu keadaan
Terpenuhi kebutuhan
Aman sentosa
Adil dan makmur
Terhindar dari segala bahaya
Sehat walafiat
Kesejahteraan
Sosial

Suatu Kegiatan
Usaha Kesejahteraan sosial
Pelayanan Kesejahteraan sosial
Program kesejahteraan sosial
Jaminan kesejahteraan sosial

Gambar 1.1 Makna Kesejahteraan


Pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan sosial

Gambar 1.2 Dimensi Kesejahteraan Sosial


Pembangunan sosial didefinisikan sebagai ‘proses perubahan sosial yang
terencana didesain untuk mengangkat kesejahteraan penduduk menyeluruh
dengan menggabungkannya dengan proses pembangunan ekonomi yang dinamis.

Dimensi Utama dalam Pembangunan


1. Dimensi Ekonomi
Kapasitas dan kesempatan berpartisipasi dan mendapatkan manfaat
proses pembangunan
2. Dimensi Politik
Kapasitas dan kesempatan berpartisipasi dan mendapatkan manfaat
proses pembangunan
3. Dimensi Sosial
Pembangunan sosial yang komperhensif

Berorientasikan kepada komuntas (Community oriented) bermakna bahwa


pembangunan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (social need) dan
meningkatkan kesejahteraan (social welfare)
Kesejahteraan sosial merupakan usaha yang terorganisir dan dalam tujuan
utamanya yaitu meningkatkan taraf hidup di masyarakat berdasarkan konteks
sosialnya. Pembangunan adalah suatu usaha atau proses perubahan, demi
tercapainya tingkat kesejahteraan atau mutu-hidup suatu masyarakat (dan
individu-individu di dalamnya) yang berkehendak dan melaksanakan
pembangunan itu Dalam pelaksanaannya melibatkan berbagai pelaku-pelaku
pembagunan berserta teknologinya. Pemberdayaan masyarakat berkaitan erat
dengan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan masyarakat merupakan
prasyarat utama dan juga sebagai jalan masuk yang membawa masyarakat menuju
pembangunan berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan ekologi yang terus
mengalami perubahan.
Kesejahteraan sosial merupakan tujuan akhir dari pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat dapat distimulasi oleh kerja sosial (kelompok-
kelompok yang peduli masyarakat).

B. PENYAJIAN MATERI
1. KESEJAHTERAAN UNTUK SEMUA

Kesejahteraan Untuk Semua


Di penghujung abad ke 20 yang lalu, PBB telah memutuskan agenda besar
pembangunan di seluruh dunia yang kemudian dikenal sebagai Milenium
Development Goals (MDG'S) 1990- 2015 yang terdiri dari 8 butir yaitu (OECD,
2001) :
1. Eradicate Extreme Poverty And Hunger (Pemberantasan kemiskinan dan
kelaparan ekstrim).
2. Achieve Universal Primary Education (Tercapainya pendidikan dasar
secara universal)
3. Promote Gender Equality and Empower Women (Dikedepankannya
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan).
4. Reduce Child Mortality (Pengurangan kematian anak BALITA).
5. Improve Maternal Health (Perbaikan kesehatan ibu).
6. Combat Hiv/Aids, Malaria And other Disease (Peperangan terhadap
HIV/AIDS, malaria, dan penyakit-penyakit lainnya).
7. Ensure Environmental Sustainability (Kepastian keberlanjutan
lingkungan).
8. Develop a Global Partnership For Development (Pengembangan
kemitraan global untuk pembangunan).

Jika dicermati, kedelapan agenda pembangunan PBB tersebut, ternyata


semuanya sudah tercakup dalam rumusan pembukaan UUD 1945 alinea ke-empat
yang dirumuskan oleh para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berbunyi:
‘….melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”

Hal ini menunjukkan bahwa tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana


yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa sekaligus cita-cita universal, yaitu
terwujudnya bagi semua negara, baik secara individual, nasional, maupun global.
Kesejahteraan yang dimaksud di sini, bukanlah sekedar dalam arti
ekonomi (pendapatan) bagi tercukupinya sandang, pangan, dan papan, tetapi
mencakup kebutuhan ekonomi, sosial, fisik maupun mental dan spiritual, yang
secara sederhana dirumuskan oleh ibu-ibu Kelompok Dasawisma di Desa
Kayangan, Kabupaten Lombok Barat sebagai 4-enak, yaitu ( UPKM-YAKKUM,
1997)
1. Enak makan, dalam arti tersedianya cukup pangan
2. Enak tidur, dalam arti tidak memiliki beban psikologis
3. Enak jalan-jalan, dalam arti sehat fisik, dan
4. Enak berpartisipasi, dalam arti memperoleh pengakuan sosial di tengah-
tengah kehidupan masyarakatnya.
2. PEMBANGUNAN UNTUK PERBAIKAN KESEJAHTERAAN
Pembangunan Untuk Perbaikan Kesejahteraan
Upaya-upaya untuk tercapainya perbaikan kesejahteraan hidup bagi setiap
individu maupun masyarakat luas, dalam pengertian sehari-hari seringkali disebut
sebagai upaya "pembangunan”.
Pendek kata, pembangunan merupakan segala upaya yang terus menerus
ditujukan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat dan bangsa yang belum baik,
atau untuk memperbaiki kehidupan yang sudah baik menjadi lebih baik lagi.
Istilah ‘pembangunan’ yang biasa digunakan dalam bahasa Indonesia,
dewasa ini telah semakin berkembang sebagai terjemahan dari beragam istilah
asing, sehingga terkadang mengandung kerancuan pengertian. Pembangunan,
dalam kehidupan sehari-hari, dapat digunakan sebagai terjemahan atau padanan
istilah: development, growth, and change, modernization, atau bahkan juga
progress (Raharjo, 1980).
Mengenai definisi tentang istilah pembangunan itu sendiri, Riyadi (1981)
mengungkapkan adanya beragam rumusan yang dikemukakan oleh banyak pihak,
namun kesemuanya mengarah kepada ke suatu kesepakatan bahwa:
“Pembangunan adalah suatu usaha atau proses perubahan, demi
tercapainya tingkat kesejahteraan atau mutu-hidup suatu masyarakat (dan
individu-individu di dalamnya) yang berkehendak dan melaksanakan
pembangunan itu.”
Yang dimaksud dengan kesejahteraan di sini, bukanlah sekadar
terpenuhinya "kebutuhan pokok" yang terdiri dari pangan, sandang,
mengemukakan sedikitnya tiga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu:
1. Tercapainya swasembada, dalam arti kemampuan masyarakat yang
bersangkutan untuk memenuhi dan mencukupi kebutuhan- kebutuhan
dasar yang mencakup: pangan, sandang, perumahan pemukiman,
kesehatan, pendidikan-dasar, keamanan, rekreasi, dll.
2. Peningkatan harga diri, dalam arti berkembangnya rasa percaya diri untuk
hidup mandiri yang tidak tergantung kepada atau ditentukan oleh pihak
lain, terlepas dari penindasan fisik maupun ideologi, dan tidak
dimanfaatkan oleh pihak lain untuk kepentingan mereka.
3. Suasana kebebasan, dalam arti adanya kesempatan dan kemampuan untuk
mengembangkan dan memilih alternatif yang dapat dilakukan untuk
mewujudkan mutu-hidup atau kesejahteraan yang terus-menerus bagi
masyarakat yang sedang membangun itu, tanpa adanya rasa takut dan
tekanan dari pihak lain.
Oleh sebab itu, di dalam istilah pembangunan, terkandung begitu banyak pokok
pikiran, yang antara lain adalah sebagai berikut :
1. Pembangunan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan yang tidak
pernah kenal berhenti, untuk terus menerus mewujudkan perubahan-
perubahan dalam kehidupan masyarakat dalam rangka mencapai perbaikan
mutu-hidup, dalam situasi lingkungan kehidupan yang juga terus menerus
mengalami perubahan-perubahan. Meskipun demikian, di dalam praktik
perencanaan pembangunan senantiasa memiliki batas waktu yang tegas,
tetapi batasan-batasan itu pada hakikatnya hanyalah merupakan tahapan-
tahapan yang harus dilakukan untuk menghadapi kondisi yang terjadi pada
selang waktu yang sama, untuk kemudian terus dilanjutkan dengan
tahapan-tahapan berikutnya yang juga dimaksudkan untuk terus
memperbaiki mutu-hidup masyarakat (dan individu-individu di dalamnya)
dalam suasana perubahan lingkungan yang akan terjadi pada selang waktu
tertentu. Di Indonesia, selama pemerintahan Presiden Soeharto (1966-
1990) tahapan-tahapan tersebut dibagi dalam jangka panjang (25 tahun)
yang masing-masing terbagi dalam lima kali jangka menengah (5 tahun).
2. Proses pembangunan yang terjadi, bukanlah sesuatu yang sifatnya alami
atau "given", melainkan suatu proses yang dilaksanakan dengan sadar dan
terencana. Artinya, pembangunan tersebut dilaksanakan melalui suatu
proses perencanaan terlebih dahulu, untuk menganalisis masalah-masalah
atau kebutuhan yang (akan) harus dipenuhi, ditetapkan atau yang hendak
dicapai, alternatif pencapaian tujuan dan pengambilan keputusan tentang
cara- cara mencapai tujuan yang terpilih, dengan senantiasa
mempertimbangkan: kekuatan, kelemahan, peluang, dan risiko harus
dihadapi.
3. Proses perubahan yang akan dilaksanakan dan ingin dicapai dalam setiap
pembangunan, adalah perubahan yang menyeluruh yang mencakup
beragam aspek dan tatanan kehidupan masyarakat yang bersangkutan.
Pembangunan pada hakikatnya adalah suatu "eco development”
yang tidak hanya berupa perubahan ekonomi. Pembangunan juga
mencakup "dehumanisasi" kultural dan perubahan mentalitas masyarakat
dalam suatu struktur sosial politik tertentu. Dengan demikian,
pembangunan bukanlah semata-mata bersifat ekonomi yang berupa
kenaikan pendapatan, pertumbuhan dan pemerataan serta hal-hal lain yang
dapat diukur dengan indikator-indikator ekonomi, melainkan mencakup
banyak aspek non-materiil seperti: penentuan nasib sendiri, swadaya,
kemerdekaan, dan pengayoman politik, partisipasi, identitas kultural,
kepribadian nasional, dsb. Berkaitan dengan itu, esensi setiap kegiatan
pembangunan adalah terjadinya perubahan sikap untuk memproyeksikan
diri ke dalam situasi lain dan karena itu secara sadar dan terencana
menyiapkan diri untuk melakukan perubahan-perubahan untuk
memperbaiki mutu-hidupnya guna mengantisipasi keadaan dan perubahan-
perubahan yang akan terjadi di masa mendatang.
Pembangunan, dimaksudkan untuk menghasilkan individu-
individu yang senantiasa memiliki kepekaan tentang: keadaan yang akan
terjadi, masalah-masalah yang sedang dan akan terjadi, alternatif-alternatif
yang mungkin dilaksanakan untuk mengatasi atau memecahkan masalah
dengan kemampuan sendiri (swakarsa, swadaya, swadana) mengambil
keputusan untuk memilih alternatif-alternatif terbaik yang dapat demi
perbaikan mutu hidup masyarakat dan keluarganya.
4. Pembangunan adalah sesuatu yang: dari, oleh, dan untuk masyarakat.
Pembangunan bukanlah kegiatan yang direncanakan, dilaksanakan dan
dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan segolongan atau sekelompok
warga masyarakat,
3. PENERAPAN TEKNOLOGI DALAM PEMBANGUNAN
Penerapan Teknologi Dalam Pembangunan
Yang dimaksudkan dengan teknologi di sini, bukanlah hanya berupa
peralatan atau benda-benda fisik yang diperlukan dalam kegiatan pembangunan,
tetapi yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan, tetapi
mencakup ide-ide, metode, teknik, maupun segala upaya atau kegiatan yang perlu
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dan atau perbaikan kehidupan masyarakat.
(Dhakidae, 1979).
Teknologi adalah penerapan ilmu pengetahuan dan merupakan himpunan
rasionalitas insani untuk memanfaatkan lingkungan dan mengendalikan gejala-
gejala di dalam proses produktif (Baiquini, 1979) yang ekonomis maupun non-
ekonomis.
Termasuk dalam pengertian teknologi di sini adalah: kebijakan dan
peraturan-peraturan yang dikeluarkan baik oleh pemerintah-pusat sampai dengan
petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan yang dikeluarkan instansi yang
terendah, yang harus dan atau perlu disampaikan kepada masyarakat (baik untuk
umum atau hanya untuk kalangan yang sesuai dengan isi dan sasaran kebijakan/
peraturan tersebut).
Di muka telah dikemukakan bahwa setiap pembangunan senantiasa
memanfaatkan "teknologi terpilih" demi tercapainya tujuan- tujuan pembangunan
terus-menerus memperbaiki mutu hidup masyarakat dan individu-individu yang
menjadi anggotanya.
Di dalam praktik kehidupan sehari-hari, inovasi atau teknologi terpilih
hampir seluruhnya datang dari "pemerintah atau penggerak”, baik sebagai
pencetus pengembang, dan penyebarluasannya. Sedang pengguna atau yang
memanfaatkan "teknologi terpilih" adalah masyarakat luas yang pada umumnya
seringkali belum siap dalam arti: sikap, pengetahuan, dan keterampilan untuk
menerapkannya.
Dengan memahami hubungan keterkaitan pihak-pihak dalam proses
pemanfaatan teknologi maka, kebelumsiapan masyarakat pengguna teknologi
dapat terjadi karena:
1. Teknologi yang ditawarkan belum sesuai dengan kebutuhan, dan masih
jauh dari kemampuan (pengetahuan, keterampilan, dana, dan peralatan)
yang dimiliki masyarakat.
2. Penyuluh masih belum bias memenuhi kualifikasi yang diharapkan, dan
atau belum melaksanakan kegiatan penyuluhan nya secara intensif untuk
mengisi kesenjangan antara teknologi yang ditawarkan dengan
kemampuan masyarakat penggunanya.
3. Ketidakmampuan tokoh- tokoh masyarakat sebagai pelopor dan penggerak
masyarakatnya untuk secepatnya mengadopsi teknologi yang sudah
terpilih tersebut.
Berkaitan dengan itu, Prabowo (1978) menekankan pentingnya keeratan
hubungan dan kecepatan arus informasi dari setiap subsistem dalam pemanfaatan
teknologi, sehingga setiap hambatan atau kendala yang dihadapi oleh masing-
masing sebaiknya dalam waktu relative cepat.

4. KONSEP – KONSEP PEMBANGUNAN


Konsep-Konsep Pembangunan
Kartasasmita (1997) menegaskan bahwa, pembangunan pada dasarnya
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dalam arti yang luas.
Terkait dengan kajian tentang pembangunan, Muhi et al (1993) mengemukakan
beberapa pendekatan teoritis, yaitu:
1. Teori Evolusi, yang mengacu kepada evolusi peradaban yang dikemukakan
oleh Charles Darwin yang menyebutkan bahwa setiap komunitas akan
mengalami perubahan dari kehidupan yang sangat sederhana ke arah yang
semakin kompleks, sebagai akibat dari perubahan-perubahan: sosial,
ekonomi, kependudukan, geografi, rasial, teknologi, maupun ideologi.
2. Teori Perubahan Sosial
Emile Durkheim (1964), pembangunan terjadi sebagai akibat adanya
perubahan struktur sosial dalam bentuk “pembagian pekerjaan”. Sedang
Redfield (1947) menyatakan bahwa pembangunan terjadi karena
terjadinya perubahan masyarakat tradisional ke arah masyarakat perkotaan
3. Teori Struktural Fungsional
Parsons (1951) mengemukakan bahwa pembangunan terjadi karena
adanya perubahan status dari suatu interaksi sosial yang terjadi dalam:
a. Adaptasi terhadap kebutuhan situasional
b. Pencapaian tujuan-tujuan
c. Integrasi atau pengaturan tata-hubungan, dan
d. Pola pemeliharaan atau pengurangan ketegangan dari pola budaya
tertentu.

5. PELAKU-PELAKU PEMBANGUNAN
Pelaku-Pelaku Pembangunan
Rahim (Schramm dan Lemer, 1976) mengungkapkan bahwa dalam setiap
proses pembangunan, pada dasarnya terdapat dua kelompok atau “sub-sistem”
pelaku-pelaku pembangunan yang terdiri atas :
1. Sekelompok kecil warga masyarakat yang merumuskan perencanaan dan
berkewajiban untuk mengorganisasi dan menggerakkan warga masyarakat
yang lain untuk berpartisipasi dalam pembangunan
Pengertian merumuskan perencanan pembangunan itu, tidak berarti bahwa
ide-ide yang berkaitan dengan rumusan kegiatan dan cara mencapai tujuan
hanya dilakukan sendiri oleh kelompok ini, akan tetapi mereka sekedar
merumuskan semua ide-ide atau aspirasi yang dikehendaki oleh seluruh
warga masyarakat melalui suatu mekanisme yang telah disepakati.
Sedang perencanaan pembangunan di arus yang paling bawah, disalurkan
melalui pertemuan kelompok atau permusyawaratan pada lembaga yang
terbawah, secara formal maupun informal.
2. Masyarakat luas yang berpartisipasi dalam proses pembangunan, baik
dalam bentuk: pemberian input (ide, biaya, tenaga, dll), pelaksanaan
kegiatan, pemantauan, dan pengawasan, serta pemanfaatan hasil-hasil
pembangunan. Dalam kenyataan, pelaksana utama kegiatan pembangunan
justru terdiri dari kelompok ini; sedang kelompok "elit masyarakat" hanya
berfungsi sebagai penerjemah "kebijakan dan perencanaan Pembangunan"
sekaligus mengorganisir dan menggerakkan partisipasi masyarakat.
Yang dimaksudkan dengan sub-sistem "pemerintah dan penggerak"
adalah: semua aparat pemerintahan, penyuluh (change agent), pekerja-
sosial, tokoh-tokoh masyarakat (formal dan informal), aktivitas
LSM/LPSM yang terlibat dan berkewajiban untuk:
a. Bersama-sama warga masyarakat merumuskan mengambil
keputusan dan memberikan legitimasi tentang kebijakan dan
perencanaan pembangunan
b. Menginformasikan dan atau menerjemahkan kebijakan dan
perencanaan pembangunan kepada seluruh warga masyarakat
c. Mengorganisir dan menggerakkan partisipasi masyarakat
d. Bersama-sama masyarakat melakukan pemantauan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan pembangunan
e. Mengupayakan pemerataan hasil-hasil pembangunan kepada seluruh
warga masyarakat, khususnya yang terlibat langsung sebagai
pelaksanaan dan atau dijadikan sasaran utama pembangunan secara
adil.
Sedang yang dimaksudkan dengan sub-sistem masyarakat atau pengikut, adalah:
sebagian besar warga masyarakat yang tidak termasuk dalam sub-sistem
"pemerintah/penggerak” di atas, yang berkewajiban untuk:
a. Menyampaikan ide-ide atau gagasan tentang kegiatan pembangunan
yang perlu dilaksanakan, dan cara mencapai tujuan pembangunan
yang diharapkan, baik secara langsung maupun melalui
perwakilannya yang sah dalam suatu forum yang diselenggarakan
untuk keperluan tersebut.
b. Secara positif menerima dan aktif berpartisipasi dalam
pembangunan, sejak pengambilan keputusan tentang kebijakan dan
perencanaan pembangunan, pelaksanaan kegiatan, pemantauan dan
pengawasan, dan upaya pemerataan hasil- hasil pembangunan secara
adil sesuai dengan fungsi dan pengorbanan yang telah diberikan.
c. Memberikan masukan atau umpan balik tentang kegiatan
pembangunan yang telah dilaksanakan.
d. Menerima dan memanfaatkan hasil-hasil pembangunan.
Sehubungan dengan itu demi keberhasilan pembangunan kedua kelompok,
pelaku-pelaku pembangunan perlu menjalin hubungan psikologis yang akrab,
sehingga terjalin komunikasi atau berinteraksi secara efektif. Di samping itu, antar
pelaku-pelaku pembangunan di dalam setiap kelompoknya masing-masing juga
perlu melakukan hal yang sama.

C. RANGKUMAN
Konsep kesejahteraan sosial di Indonesia dapat dilihat pada UU Nomor 11
Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, yang merupakan operasionalisasi
amanat Pancasila dan UUD 1945. Kesejahteraan sosial dapat didefinisikan
sebagai suatu keadaan. Berdasarkan definisi ini kesejahteraan sosial merupakan
tujuan untuk mencapai suatu keadaan yang dianggap sejahtera baik itu secara
ekonomi, psikologis, maupun sosial. Hubungan yang erat antara pembangunan
sosial dan kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan menjadikan keduanya tidak
akan terlepas dari pembangunan ekonomi. Kesejahteraan sosial merupakan tujuan
akhir dari pemberdayaan masyarakat. Kolaborasi antara pembangunan sosial
(dalam hal ini sebagai pembangunan kesejahteraan sosial) dengan pembangunan
ekonomi akan memperlihatkan sebuah negara apakah termasuk negara sejahtera
atau negara tidak sejahtera.

D. TUGAS/LATIHAN/EKSPERIMEN
1. Jelaskan esensi dari hakikat pembangunan yang bersifat “eco development”
dan “dehumanisasi”
2. Jelaskan Peran masyarakat luas sebagai pelaku pembangunan.
3. Berikan pendapat anda mengenai konsep pembangunan berdasarkan Teori
Struktural Fungsional
4. Jelaksan maksud dari setiap pembangunan senantiasa memanfaatkan
"teknologi terpilih"
5. Deskripsikan Hubungan antara pembangunan sosial dan kesejahteraan
sosial!
E. BACAAN YANG DI ANJURKAN
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Kurikulum Dan Modul
Pelatihan Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat Di Bidang Kesehatan.
Jakarta.
2. Mardikanto, Totok. 2010. Konsep-Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Cetakan 1. Surakarta: Fakultas Pertanian UNS dengan UNS Press
3. Arsyad, Lincolin, dkk. 2011. Strategi Pembangunan Perdesaan Berbasis
Lokal Cetakan 1. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan STIM YKPN
Yogyakarta.

F. RUJUKAN
___. 2015. Pusat Kajian Kesejahteraan Sosial. Online. Diakses pada 05
November 2016 dari http://socialwelfare.fisip.ui.ac.id.

Arsyad, Lincolin, dkk. 2011. Strategi Pembangunan Perdesaan Berbasis Lokal


Cetakan 1. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan STIM YKPN
Yogyakarta.

Mardikanto, Totok. 2010. Konsep-Konsep Pemberdayaan Masyarakat Cetakan 1.


Surakarta: Fakultas Pertanian UNS dengan UNS Press

Muhi, dkk. 1993. Dynamics of Development. The Philippine Perspective. Diliman


Quezon City: National Book Store

Parsons, T. 1951. The Social System. New York: The Free Press

Republik Indonesia. 2009. Undang-undang NO. 11 Tahun 2009 tentang


Kesejahteraan Sosial.
BAB II
HAKIKAT MANUSIA

A. PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk yang memiliki kemampuan menciptakan
kebaikan, kebenaran, keadilan, dan bertanggung jawab. Sebagai makhluk
berbudaya, manusia mendayagunakan akal budinya untuk menciptakan
kebahagiaan, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat demi kesempurnaan
hidupnya dengan menciptakan kebudayaan. Di samping itu, manusia mampu
menciptakan, mengkreasi, memperbaharui, memperbaiki, mengembang Dengan
akal budi, manusia tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga
mempertahankan serta meningkatkan derajatnya sebagai makhluk yang tinggi
dibandingkan makhluk lain. Kebudayaan pada dasarnya adalah hasil akal budi
manusia dalam interaksinya, baik dengan alam maupun manusia lainnya. Manusia
merupakan makhluk berbudaya dan pencipta kebudayaan. dan meningkatkan
sesuatu yang ada untuk kepentingan hidup manusia.
Berdasarkan hal tersebut pada dasarnya hakikat manusia itu sendiri adalah
makhluk yang terus belajar dan menciptakan kebudayaan , namun perlu diketahui
bahwasanya hakikat manusia dapat dipandang dari berbagai jenis analisa teori
yang ada.

B. PENYAJIAN MATERI
1. ALIRAN PSIKOANALISA
Psikoanalisa ditemukan di Wina, Austria, oleh Sigmund Freud. Psikoanalisis
merupakan salah satu aliran di dalam disiplin ilmu psikologi yang memiliki
beberapa definisi dan sebutan, Adakalanya psikoanalisis didefinisikan sebagai
metode penelitian, sebagai teknik penyembuhan dan juga sebagai pengetahuan
psikologi.
Psikoanalisa menurut definisi modern yaitu (1) Psikoanalisis adalah
pengetahuan psikologi yang menekankan pada dinamika, faktor-faktor psikis yang
menentukan perilaku manusia, serta pentingnya pengalaman masa kanak-kanak
dalam membentuk kepribadian masa dewasa, (2) Psikoanalisa adalah teknik yang
khusus menyelidiki aktivitas ketidaksadaran (bawah sadar), (3) Psikoanalisa
adalah metode interpretasi dan penyembuhan gangguan mental.
Psikoanalisa dalam pengertian lain (Hjelle & Ziegler, 1992):
1. Teori mengenai kepribadian & psikopatologi
2. Metode terapi untuk gangguan kepribadian teknik untuk menyelidiki
pikiran & perasaan individu yang tidak disadari
Psikoanalisa memiliki sebutan-sebutan lain yaitu (1) Psikologi dalam, karena
menurut Freud penyebab neurosis adalah gangguan jiwa yang tidak dapat
disadari, pengaruhnya lebih besar dari apa yang terdapat dalam kesadaran dan
untuk menyelidikinya, diperlukan upaya lebih dalam, (2) Psikodinamika, karena
Psikoanalisis memandang individu sebagai sistem dinamik yang tunduk pada
hukum-hukum dinamika, dapat berubah dan dapat saling bertukar energi.

Konsep Manusia Dalam Psikoanalisa


Menurut Sigmund Freud, perilaku manusia itu ditentukan oleh kekuatan
irrasional yang tidak disadari dari dorongan biologis dan dorongan naluri
psikoseksual tertentu pada masa enam tahun pertama dalam kehidupannya.
Pandangan ini menunjukkan bahwa aliran teori Freud tentang sifat manusia pada
dasarnya adalah deterministik. Namun demikian menurut Gerald Corey yang
mengutip perkataan Kovel, bahwa dengan tertumpu pada dialektika antara sadar
dan tidak sadar, determinisme yang telah dinyatakan pada aliran Freud luluh.
Lebih jauh Kovel menyatakan bahwa jalan pikiran itu adalah ditentukan, tetapi
tidak linier. Ajaran psikoanalisis menyatakan bahwa perilaku seseorang itu lebih
rumit dari pada apa yang dibayangkan pada orang tersebut.
Di sini, Freud memberikan indikasi bahwa tantangan terbesar yang dihadapi
manusia adalah bagaimana mengendalikan dorongan agresif itu. Bagi Sigmund
Freud, rasa resah dan cemas seseorang itu ada hubungannya dengan kenyataan
bahwa mereka tahu umat manusia itu akan punah. Dan struktur kepribadian
Dalam teori psikoanalitik, struktur kepribadian manusia itu terdiri dari id,
ego dan superego.
1. Id adalah komponen kepribadian yang berisi impuls agresif dan libinal,
dimana sistem kerjanya dengan prinsip kesenangan “pleasure principle”.
2. Ego adalah bagian kepribadian yang bertugas sebagai pelaksana, dimana
sistem kerjanya pada dunia luar untuk menilai realita dan berhubungan
dengan dunia dalam untuk mengatur dorongan-dorongan id agar tidak
melanggar nilai-nilai superego.
3. Superego adalah bagian moral dari kepribadian manusia, karena ia
merupakan filter dari sensor baik- buruk, salah- benar, boleh- tidak sesuatu
yang dilakukan oleh dorongan ego.

2. ALIRAN BEHAVIORISTIK
Pengertian aliran Behavioristik
Terapi perilaku (behavior therapy) dan pengubahan perilaku [behavior
modification] atau pendekatan behavioristik dalam psikoterapi, adalah salah satu
dari beberapa “revolusi” dalam dunia pengetahuan psikologi, khususnya
psikoterapi. Pendekatan behavioristik yang dewasa ini banyak dipergunakan
dalam rangka melakukan kegiatan psikoterapi dalam arti luas atau konseling
dalam arti sempitnya, bersumber pada aliran behaviorisme. Aliran ini pada
mulanya tumbuh subur di Amerika dengan tokohnya yang terkenal ekstrim, yakni
John Broadus Watson, suatu aliran yang menitik beratkan peranan lingkungan,
peranan dunia luar sebagai factor penting di mana seseorang dipengaruhi,
seseorang belajar. Pada abad ke-17, dunia pengetahuan Filsafat ditandai oleh dua
kubu besar yakni kubu “empiricism” (physical science) dan kubu “naturalism”
[biological science]. Pada akhir abad yang lalu, mempengaruhi lahirnya aliran
behaviorisme dengan pendekatan-pendekatannya yang kemudian menjadi terkenal
dengan terapi perilaku [behavior therapy] dan perubahan perilaku (behavior
modification).

Konsep Manusia Dalam Behavioristik


Para ahli psikologi behavioristik memandang manusia tidak pada dasarnya
baik atau jahat. Para ahli yang melakukan pendekatan behavioristik,memandang
manusia sebagai pemberi respons (responder), sebagai hasil dari proses
kondisioning yang telah terjadi.
Dustin & George(1977),yang dikutip oleh George & Cristiani(1981),
mengemukakan pandangan behavioristik terhadap konsep manusia, yakni:
1. Manusia di pandang sebagai individu yang pada hakikatnya bukan
individu yang baik atau yang jahat, tetapi sebagai individu yang selalu
berada dalam keadaan sedang mengalami, yang memiliki kemampuan
untuk menjadi sesuatu pada semua jenis perilaku.
2. Manusia mampu mengkonseptualisasikan dan mengontrol perilakunya
sendiri.
3. Manusia mampu memperoleh perilaku yang baru.
4. Manusia bisa mempengaruhi perilaku orang lain sama halnya dengan
perilakunya yang bisa dipengaruhi orang lain.
Ivey,et al(1987) mengemukakan bahwa pernah para pendukung pendekatan
behavioristik merumuskan manusia sebagai manusia yang mekanistik dan
deterministik, dimana manusia dianggap bisa dibentuk sepenuhnya oleh
lingkungan dan sedikit memiliki kesempatan untuk memilih. Namun pendekatan
behavioristik yang baru menitikberatkan meningkatnya kebebasan dan pilihan
melalui pemahaman terhadap dasar-dasar perilaku seseorang.
Corey(1991),mengemukakan bahwa pada terapi perilaku-perilaku adalah
hasil dari belajar. Kita semua adalah hasil dari lingkungan sekaligus adalah
pencipta lingkungan. tidak ada dasar yang berlaku umum bisa menjelaskan semua
perilaku karena setiap perilaku ada kaitannya dengan sumber yang ada di
lingkungan yang menyebabkan terjadinya sesuatu perilaku tersebut.
Albert Bandura(1974,1977,1986) yang terkenal sebagai tokoh teori sosial-
belajar, menolak suatu konsep bahwa manusia adalah pribadi yang mekanistik
dengan model perilakunya yang deterministik. Pengubahan(modifikasi)perilaku
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan seseorang agar jumlah respon akan
lebih banyak.

3. ALIRAN HUMANISTIK
Pengertian Aliran Humanistik
Aliran ini muncul sebagai kritik terhadap pandangan tentang manusia yang
mekanistik ala behaviorisme dan pesimistik ala psikoanalisa. Oleh karenanya
sering disebut sebagai the third force (the first force is behaviorism, the second
force is psychoanalysis). Aliran humanistik merupakan salah satu aliran dalam
psikologi yang muncul pada tahun 1950-an, dengan akar pemikiran dari kalangan
eksistensialisme yang berkembang pada abad pertengahan. Pada akhir tahun
1950-an, para ahli psikologi, seperti: Abraham Maslow, Carl Rogers dan Clark
Moustakas mendirikan sebuah asosiasi profesional yang berupaya mengkaji
secara khusus tentang berbagai keunikan manusia, seperti tentang: self (diri),
aktualisasi diri, kesehatan, harapan, cinta, kreativitas, hakikat, individualitas dan
sejenisnya.

Konsep Manusia Dalam Humanistik


Aliran humanistik berasumsi bahwa pada dasarnya manusia memiliki potensi-
potensi yang baik, minimal lebih banyak dari pada buruknya. Aliran ini
memfokuskan telaah kualitas-kualitas insani. Yakni kemampuan khusus manusia
yang ada pada manusia, seperti kemampuan abstraksi, aktualisasi diri, makna
hidup, pengembangan diri, dan rasa estetika. Kualitas ini khas dan tidak dimiliki
oleh makhluk lain. Aliran ini juga memandang manusia sebagai makhluk yang
otoritas atas kehidupannya sendiri. Asumsi ini menunjukkan bahwa manusia
makhluk yang sadar dan mandiri, pelaku yang aktif yang dapat menentukan
hampir segalanya.
Hasil pemikiran dari aliran humanistik banyak dimanfaatkan untuk
kepentingan konseling dan terapi, salah satunya yang sangat populer adalah dari
Carl Rogers dengan client-centered therapy, yang memfokuskan pada kapasitas
klien untuk dapat mengarahkan diri dan memahami perkembangan dirinya, serta
menekankan pentingnya sikap tulus, saling menghargai dan tanpa prasangka
dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Rogers
meyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang
dihadapinya dan tugas konselor hanya membimbing klien menemukan jawaban
yang benar.
Menurut Rogers, teknik-teknik asesmen dan pendapat para konselor bukanlah
hal yang penting dalam melakukan treatment atau pemberian bantuan kepada
klien. Selain memberikan sumbangannya terhadap konseling dan terapi, psikologi
humanistik juga memberikan sumbangannya bagi pendidikan alternatif yang
dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik (humanistic education).
Pendidikan humanistik berusaha mengembangkan individu secara keseluruhan
melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan
keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan humanistik
ini.
Adapun prinsip utama dalam aliran ini adalah :
1. Memahami manusia sebagai suatu totalitas. Oleh karenanya sangat tidak
setuju dengan usaha untuk mereduksi manusia, baik ke dalam formula S-R
yang sempit dan kaku (behaviorisme) ataupun ke dalam proses fisiologis
yang mekanistis. Manusia harus berkembang lebih jauh daripada sekedar
memenuhi kebutuhan fisik, manusia harus mampu mengembangkan hal-
hal non fisik, misalnya nilai ataupun sikap.
2. Metode yang digunakan adalah life history, berusaha memahami manusia
dari sejarah hidupnya sehingga muncul keunikan individual.
3. Mengakui pentingnya personal freedom dan responsibility dalam proses
pengambilan keputusan yang berlangsung sepanjang hidup. Tujuan hidup
manusia adalah berkembang, berusaha memenuhi potensinya dan
mencapai aktualitas diri. Dalam hal ini intensi dan eksistensi menjadi
penting. Intensi yang menentukan eksistensi manusia
4. Melalui mind, manusia mengekspresikan keunikan kemampuannya
sebagai individu, terwujud dalam aspek kognisi, willing, dan judgement.
Kemampuan khas manusia yang sangat dihargai adalah kreativitas.
Melalui kreativitasnya, manusia mengekspresikan diri dan potensinya.

Pandangan humanistik banyak diterapkan dalam bidang psikoterapi dan


konseling. Tujuannya adalah meningkatkan pemahaman diri. Kehadiran psikologi
humanistik muncul sebagai reaksi atas aliran psikoanalisis dan behaviorisme serta
dipandang sebagai “kekuatan ketiga “ dalam aliran psikologi. Psikoanalisis
dianggap sebagai kekuatan pertama dalam psikologi yang awal mulanya datang
dari psikoanalisis ala Freud yang berusaha memahami tentang kedalaman psikis
manusia yang dikombinasikan dengan kesadaran pikiran guna menghasilkan
kepribadian yang sehat. Kelompok psikoanalis berkeyakinan bahwa perilaku
manusia dikendalikan dan diatur oleh kekuatan tak sadar dari dalam diri.
Kekuatan psikologi yang kedua adalah behaviorisme yang dipelopori oleh
Ivan Pavlov dengan hasil pemikirannya tentang refleks yang terkondisikan.
Kalangan Behavioristik meyakini bahwa semua perilaku dikendalikan oleh faktor-
faktor eksternal dari lingkungan.

C. LATIHAN
1. Apa yang dimaksud hakikat manusia dalam pemberdayaan masyarakat
2. Kenapa psikoanalisa disebut juga psikologi dalam?
3. Bagaimana konsep manusia dalam teori behavioristik?
4. Kenapa Pandangan humanistic banyak diterapkan dalam bidang psikoterapi
dan konseling ? jelaskan
5. Apa perbedaan konsep menusia dalam teori psikoanalisa dan Humanistik

D. RUJUKAN
Basuki, Heru A.M. 2010. Psikologi Umum. Jakarta: Universitas Gunadarma.
psikologi
Schultz, Duane. 1977. Growth Psychology: Models of the Healthy Personality.
New York: D. Van Nostrad Company.

BAB III
KEBIJAKAN DAN STRATEGI PROMOSI KESEHATAN
A. PENDAHULUAN
Peningkatan kualitas sumber daya manusia semakin marak dilakukan di
Indonesia terlebih di bidang kesehatan. Hal ini dilakukan karena melihat kondisi
beberapa daerah di Indonesia dengan status kesehatan yang masih rendah.
Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar
rakyat, dimana tercantum dalam pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 yaitu hak untuk
memperoleh pelayanan kesehatan. Untuk memenuhi hal tersebut, memerlukan
pembangunan kesehatan yang lebih dinamis dan produktif dengan melibatkan
semua sector terkait termasuk swasta dan masyarakat. Tujuan pembangunan
kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 adalah meningkatkan kesadaran,
kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesehatan masyarakat yang optimal. Hal ini dicapai melalui terciptanya
masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang hidup dalam lingkungan dan
berperilaku sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan
yang bermutu, serta memiliki derajat kesehatan yang optimal di seluruh wilayah
Indonesia.
Oleh karena itu perlu diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan
pemeliharaan, promosi kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif),
penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang
diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Dalam
rangka memajukan kesehatan masyarakat serta meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat maka diperlukan strategi promosi kesehatan baik kepada pemerintah,
tokoh masyarakat, dan khususnya kepada masyarakat.

Lingkup dan Sistematika


Sasaran pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 adalah sebagai
berikut.
1. Perilaku hidup sehat. Meningkatnya secara bermakna jumlah ibu hamil
yang memeriksakan diri dan melahirkan ditolong oleh tenaga kesehatan,
jumlah bayi yang memperoleh imunisasi lengkap, jumlah bayi yang
memperoleh ASI eksklusif, jumlah anak balita yang ditimbang setiap
bulan, jumlah pasangan usia subur (PUS), peserta keluarga berencana
(KB), jumlah penduduk yang memperoleh air bersih, jumlah penduduk
yang buang air besar di jamban, jumlah pemukiman bebas vektor dan
hewan pengerat, jumlah rumah yang memenuhi syarat kesehatan, jumlah
penduduk yang berolahraga, dan istirahat teratur, jumlah keluarga dengan
komunikasi internal dan eksternal, jumlah keluarga yang menjalankan
ajaran agama dengan baik, jumlah pengendara yang menggunakan
peralatan keselamatan, jumlah penduduk yang merasa aman berada di
kediaman dan tempat umum, jumlah penduduk yang tidak merokok dan
tidak minum minuman keras/obat zat adiktif, jumlah penduduk yang tidak
berhubungan seks di luar nikah, serta jumlah penduduk yang menjadi
peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM).
2. Lingkungan sehat. Peningkatan secara bermakna jumlah wilayah/kawasan
sehat, tempat umum yang sehat, tempat pariwisata yang sehat, tempat
kerja yang sehat, rumah dan bangunan yang sehat, sarana sanitasi, sarana
air minum, sarana pembuangan limbah, lingkungan sosial termasuk
pergaulan yang sehat, dan keamanan lingkungan, serta berbagai standar
dan peraturan perundang-undangan yang mendukung terwujudnya
lingkungan sehat.
3. Upaya kesehatan. Peningkatan secara bermakna jumlah sarana kesehatan
yang bermutu, jangkauan dan cakupan pelayanan kesehatan, penggunaan
obat generik dalam pelayanan kesehatan, penggunaan obat secara rasional,
pemanfaatan pelayanan promotif dan preventif, biaya kesehatan yang
dikelola secara efisien, serta ketersediaan pelayanan kesehatan sesuai
kebutuhan.
4. Manajemen pembangunan kesehatan. Peningkatan secara bermakna sistem
informasi pembangunan kesehatan, kemampuan daerah dalam pelaksanaan
desentralisasi pembangunan kesehatan, kepemimpinan dan manajemen
kesehatan, peraturan perundang-undangan yang mendukung pembangunan
kesehatan, kerjasama lintas program dan sektor.
5. Derajat kesehatan. Peningkatan secara bermakna usia harapan hidup,
menurunnya angka kematian bayi dan ibu, menurunnya angka kesakitan
beberapa penyakit penting, menurunntya angka kecacatan dan
ketergantungan, serta menigkatnya status gizi masyarakat, dan
menurunnya angka fertilitas.
Ruang lingkup utama kegiatan promosi kesehatan (Ottawa Charter) adalah: 1)
kebijakan mendukung kesehatan (bulid healthy public policy), 2) Penguatan
gerakan masyarakat untuk hidup sehat (strengthen community action), 3)
Menciptakan lingkungan dan suasana yang mendukung (create supportive
environment), 4) Mengembangkan kemampuan individu dan masyarakat untuk
hidup (develop personal skills), 5) Menata kembali arah pelayanan kesehatan,
yang selama ini menitik beratkan kuratif menuju upaya promotif preventif tanpa
mengesampingkan upaya kuratif dan rehabilitatif (re-orient health service).

Keterkaitan Materi dengan Materi Lainnya


Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan
dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan
masyarakat setinggi- tingginya dapat terwujud. Promosi Kesehatan adalah suatu
proses membantu individu dan masyarakat meningkatkan kemampuan dan
ketrampilannya guna mengontrol berbagai faktor yang berpengaruh pada
kesehatan, sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatannya (WHO). Untuk
mencapai peningkatan derajat kesehatan diperlukan strategi berupa gerakan
pemberdayaan, advokasi, bina suasana dan kemitraan. TIga tujuan utama dalam
pemberdayaan masyarakat yaitu mengembangkan kemampuan masyarakat,
mengubah perilaku masyarakat, dan mengorganisir diri masyarakat. Kemampuan
masyarakat yang dapat dikembangkan tentunya banyak sekali seperti kemampuan
untuk berusaha, kemampuan untuk mencari informasi, kemampuan untuk
mengelola kegiatan, kemampuan dalam pertanian dan masih banyak lagi sesuai
dengan kebutuhan atau permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.

B. PENYAJIAN MATERI
1. ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI KEMENTERIAN KESEHATAN

Arah Kebijakan dan Strategi Kementerian Kesehatan


Dalam Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP-N) Tahun 2005-2025 menetapkan
bahwa Pembangunan Kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat
kesehatan masyarakat setinggi-tingginya dapat terwujud. Selanjutnya, dalam
Rencana Strategis Kementrian Kesehatan Tahun 2010-2014 yang tertuang dalam
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: HK.03.01/160/1/2010
telah ditetapkan bahwa Visi Kementerian Kesehatan adalah "Masyarakat sehat
Yang Mandiri dan Berkeadilan". Masyarakat sehat yang mandiri adalah suatu
kondisi dimana masyarakat Indonesia menyadari, mau dan mampu mengenali,
mencegah dan mengatasi permasalahan kesehatan yang dihadapi, sehingga dapat
bebas dari gangguan kesehatan, baik yang disebabkan karena penyakit termasuk
gangguan kesehatan akibat bencana, maupun lingkungan dan perilaku yang tidak
mendukung untuk hidup sehat, dengan menggunakan potensi yang dimilikinya.
Untuk mencapai visi tersebut ditetapkan Misi Kementerian Kesehatan
adalah 1) Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan
masyarakat termasuk swasta dan masyarakat madani. 2) Melindungi kesehatan
masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna,
merata, bermutu dan berkeadilan. 3) Menjamin ketersediaan dan pemerataan
sumber daya kesehatan. 4) Menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik.
Dalam mencapai Misi tersebut ada lima strategi yang telah ditetapkan,
salah satunya adalah pemberdayaan masyarakat dan daerah. Peran masyarakat
dalam pembangunan kesehatan semakin penting. Tantangan dan permasalahan
pembangunan kesehatan makin bertambah berat, kompleks dan bahkan terjadi
secara tidak terduga, karena Indonesia merupakan negara yang daerahnya rawan
bencana. Upaya meningkatkan status kesehatan masyarakat tidak akan tercapai
apabila tidak mengikut sertakan peran masyarakat dalam pembangunan kesehatan.
Masyarakat tidak lagi sebagai obyek melainkan sebagai subyek dalam
pembanguan kesehatan, seperti yang telah diamanatkan dalam Undang-undang
Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Masalah kesehatan perlu diatasi oleh
masyarakat sendiri dan pemerintah. Selain itu banyak permasalahan kesehatan
yang wewenang dan tanggung jawabnya berada di luar sektor kesehatan.
Penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat meliputi: a) Penggerakkan
masyarakat; masyarakat mempunyai peluang yang sebesar-besarnya untuk terlibat
aktif dalam proses pembangunan kesehatan, b) Pengorganisasian dalam
pemberdayaan; diupayakan agar peran organisasi masyarakat lokal makin
berfungsi dalam pembangunan kesehatan, c)Advokasi; masyarakat
memperjuangkan kepentingannya di bidang kesehatan, d) Kemitraan; dalam
pemberdayaan masyarakat penting untuk meningkatkan kemitraan dan partisipasi
lintas sektor terkait, swasta, dunia usaha dan pemangku kepentingan, e) Sumber
daya; diperlukan sumber daya yang memadai seperti Sumber Daya Manusia
(SDM), informasi dan dana.
Mengapa pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kesehatan
sangat penting? 1) Ketentuan ini tercantum dalam UU Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan; 2) Dari hasil kajian ternyata 70% sumber daya pembangunan
nasional berasal kontribusi/ partisipasi masyarakat; 3) Pemberdayaan
masyarakat/partisipasi masyarakat; gotong royong, merupakan budaya masyarakat
yang perlu dilestarikan; 4)Perilaku masyarakat merupakan faktor penyebab utama,
terjadinya permasalahan kesehatan, oleh sebab itu masyarakat sendirilah yang
dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan pendampingan/ bimbingan dari
pemerintah; 5) Pemerintah mempunyai keterbatasan sumber daya dalam
mengatasi permasalahan kesehatan yang semakin kompleks di masyarakat,
sedangkan masyarakat mempunyai potensi yang cukup besar untuk dapat
dimobilisasi dalam upaya pencegahan di wilayahnya; 6) Potensi yang dimiliki
masyarakat diantaranya meliputi community leadership, community organization,
community financing, community material, community knowledge, community
technology, community decission making process, dalam upaya peningkatan
kesehatan, potensi tersebut perlu dioptimalkan; 7) Upaya pencegahan lebih efektif
dan efisien dibanding upaya pengobatan, dan masyarakat juga mempunyai
kemampuan untuk melakukan upaya pencegahan apabila dilakukan upaya
pemberdayaan masyarakat terutama untuk berperilaku hidup bersih dan sehat.

Peran Promosi Kesehatan


Pengertian promosi kesehatan sebagai "the process of enabling individuals
and communities to increase control over the determinants of health and thereby
improve their health” (WHO) yang di Indonesia dirumuskan sebagai upaya untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk,
dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong dirinya sendiri, serta
mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat sesuai sosial budaya
setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan"
(Keputusan Menteri Kesehatan RI. Nomor 1193 Tahun 2004).
Dalam Renstra Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014 promosi
kesehatan merupakan program generik dengan nama Pemberdayaan Masyarakat
dan Promosi Kesehatan. Tujuan umum Pemberdayaan Masyarakat dan Promosi
Kesehatan adalah meningkatnya perilaku sehat individu, keluarga, masyarakat dan
berperan aktif dalam setiap gerakan kesehatan masyarakat melalui upaya promosi
kesehatan yang terintegrasi secara lintas program, lintas sektor, swasta dan
masyarakat. Sedangkan tujuan khususnya adalah : 1) Meningkatkan komitmen
pembangunan berwawasan kesehatan dari para pengambil kebijakan dari berbagai
pihak; 2) Meningkatkan kerjasama, antar masyarakat,
kelompok serta antar lembaga dalam rangka pembangunan berwawasan
kesehatan; 3) Meningkatkan peran masyarakat termasuk swasta sebagai subyek
atau penyelenggara upaya pemberdayaan masyarakat dan promosi kesehatan; 4)
Meningkatkan upaya pemberdayaan masyarakat dan promosi kesehatan yang
efektif dengan mempertimbangkan kearifan lokal; 5) Meningkatkan keterpaduan
pelaksanaan upaya pemberdayaan masyarakat dan promosi kesehatan dengan
seluruh program, dan sektor terkait, di pusat, provinsi dan kabupaten/kota dengan
mengacu kepada rencana strategis kementerian kesehatan.
Fokus kegiatan diarahkan kepada 1) Upaya peningkatan perilaku sehat
masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan perilaku individu dan masyarakat
untuk hidup bersih dan sehat; 2) Upaya pemberdayaan masyarakat untuk hidup
sehat melalui pengembangan tatanan sehat dan; 3) Upaya fokus utama kesehatan
dalam pembangunan nasional. Ketiga fokus utama tersebut diindikasikan
dengan : 1) Meningkatnya Rumah Tangga berPHBs (70%) pada tahun 2014; 2)
Meningkatnya Desa dan Kelurahan Siaga Aktif (70%) pada tahun 2014; 3)
Meningkatnya Jumlah Poskesdes beroperasi pada tahun 2014.
Pengertian tersebut mempunyai makna bahwa promosi kesehatan sebagai
suatu proses pemberdayaan masyarakat yang memposisikan masyarakat sebagai
pelaku pembangunan yang mampu/mandiri dalam menyelesaikan masalah dan
meningkatkan kesehatannya.
Ruang lingkup utama kegiatan promosi kesehatan (Ottawa Charter)
adalah: 1) kebijakan mendukung kesehatan (bulid healthy public policy), 2)
Penguatan gerakan masyarakat untuk hidup sehat (strengthen community action),
3) Menciptakan lingkungan dan suasana yang mendukung (create supportive
environment), 4) Mengembangkan kemampuan individu dan masyarakat untuk
hidup (develop personal skills), 5) Menata kembali arah pelayanan kesehatan,
yang selama ini menitik beratkan kuratif menuju upaya promotif preventif tanpa
mengesampingkan upaya kuratif dan rehabilitatif (re-orient health service).
Pelaksanaan promosi kesehatan yang menitik beratkan pada upaya pemberdayaan
dan kemandirian masyarakat dengan maksud untuk memfasilitasi masyarakat
dengan pengetahuan untuk memperoleh kemampuan untuk mencegah dan atau
mengatasi masalah kesehatannya dengan menggali seluruh potensi berdasarkan
yang mereka miliki dilingkungan, saat mereka berinteraksi baik di rumah tangga,
sekolah tempat kerja, tempat- tempat umum, dan sarana kesehatan.
Berdasarkan paparan tersebut diatas menggambarkan bahwa Promosi
kesehatan mempunyai peran yang sangat penting dalam proses pemberdayaan
masyarakat Yaitu melalui proses pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama
masyarakat, sesuai lingkungan sosial budaya setempat, agar masyarakat dapat
menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan. Promosi kesehatan juga berperan
dalam proses peningkatan kualitas tenaga kesehatan agar lebih responsif dan
mampu memberdayakan kliennya, sehingga akan tercapai pelayanan yang
bermutu adil serta merata, Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, upaya
promosi kesehatan harus berawal dari masalah dan potensi spesifik masing-
masing daerah. Promosi kesehatan harus dilakukan secara paripurna
(komprehensif) agar dapat melakukan peran penting yang strategis atau dapat
dikatakan sebagai pilar utama dalam pembangunan kesehatan.

2. KEBIJAKAN PROMOSI KESEHATAN


Kebijakan umum untuk mencapai tujuan pemberdayaan masyarakat dan
promosi kesehatan tersebut diatas adalah: 1) Menempatkan upaya PROMOSI
kesehatan menjadi salah satu prioritas pembangunan kesehatan; 2) Melaksanakan
peningkatan akses informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan
bertanggung jawab; 3) Memantapkan peran serta masyarakat, kelompok-
kelompok potensial, termasuk swasta dan dunia usaha dalam pembangunan
kesehatan; 4) Melaksanakan upaya promosi kesehatan secara holistik dan terpadu;
5) Melaksanakan peningkatan kualitas penyelenggaraan promosi kesehatan.

3. STRATEGI PROMOSI KESEHATAN


Strategi promosi kesehatan yang dilaksanakan harus paripurna, yakni terdiri
dari : (1) Pemberdayaan, yang didukung oleh (2) Bina suasana, dan (3) Advokasi,
serta dilandasi oleh semangat (4) Kemitraan. Pemberdayaan adalah pemberian
informasi dan pendampingan dalam mencegah dan menanggulangi masalah
kesehatan, guna membantu individu, keluarga atau kelompok-kelompok
masyarakat menjalani tahap-tahap tahu, mau, dan mampu mempraktikkan
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Bina suasana adalah pembentukan
suasana lingkungan sosial yang kondusif dan mendorong dipraktikkannya PHBS
serta penciptaan panutan-panutan dalam mengadopsi PHBS dan melestarikannya.
Sedangkan advokasi adalah pendekatan dan motivasi terhadap pihak-pihak
tertentu yang diperhitungkan dapat mendukung keberhasilan pembinaan PHBS
baik dari segi materi maupun non materi.
Pemberdayaan
Dalam upaya promosi kesehatan, pemberdayaan merupakan bagian yang
sangat penting, dan bahkan dapat dikatakan sebagai ujung tombak. Sejak Piagam
Ottawa, yang mengubah istilah pendidikan kesehatan menjadi promosi kesehatan,
pemberdayaan sudah dijadikan salah satu strategi dari promosi kesehatan.
Selanjutnya dalam komitmen global yang dicapai di setiap Konferensi
Internasional Promosi Kesehatan, pemberdayaan tidak pernah dilupakan. Dalam
konferensi internasional yang diselenggarakan di Jakarta misalnya, yang
melahirkan Deklarasi Jakarta, disebutkan bahwa salah satu prioritas bagi promosi
kesehatan di abad ke-21 adalah "Meningkatkan kemampuan masyarakat dan
memberdayakan individu- individu”. Sedangkan konferensi internasional terakhir
yang diselenggarakan di Nairobi, Kenya, pemberdayaan masyarakat dinyatakan
sebagai salah satu tindakan yang segera dilaksanakan.
Pemberdayaan adalah proses pemberian informasi kepada individu,
keluarga atau kelompok (klien) secara terus-menerus dan berkesinambungan
mengikuti perkembangan klien, serta proses membantu klien, agar klien tersebut
berubah dari tidak tahumenjadi tahu atau sadar (aspek pengetahuan atau
knowledge), dari tahu menjadi mau (aspek sikap atau attitude), dan dari mau
menjadi mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek tindakan atau
practice). Oleh sebab itu, sesuai dengan sasaran (kliennya) dapat dibedakan
adanya (a) Pemberdayaan individu, (b) Pemberdayaan keluarga, dan (c)
Pemberdayaan kelompok/masyarakat.
Bina Suasana
Bina Suasana adalah upaya menciptakan lingkungan sosial yang
mendorong individu anggota masyarakat untuk mau melakukan perilaku yang
diperkenalkan. Seseorang akan terdorong untuk mau melakukan sesuatu apabila
lingkungan sosial di mana pun berada (keluarga di rumah, organisasi siswa/
mahasiswa, serikat kerja/ karyawan, orang-orang yang menjadi panutan/idola,
kelompok arisan, majelis agama, dan lain-lain, dan bahkan masyarakat umum)
menyetujui atau mendukung perilaku tersebut. Oleh karena itu, untuk memperkuat
proses pemberdayaan, khususnya dalam upaya meningkatkan para individu dari
fase tahu ke fase mau, perlu dilakukan bina suasana.
Advokasi
Advokasi adalah upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk
mendapatkan komitmen dan dukungan dari pihak-pihak masyarakat
(stakeholders). Advokasi bekerjasama dengan orang dan organisasi lain untuk
membuat suatu perbedaan (CEPDA, 1995). Pihak-pihak yang terkait ini berupa
tokoh-tokoh (opinion leader), atau penentu kebijakan (norma) atau penyandang
dana. Juga berupa kelompok- kelompok dalam masyarakat dan media massa yang
dapat berperan dalam menciptakan susana kondusif, opini publik, dan dorongan
(pressure) bagi terciptanya PHBS masyarakat. Advokasi merupakan upaya untuk
menyukseskan bina suasana, pemberdayaan, dan bahkan proses pembinaan PHBS
secara keseluruhan. Advokasi terdiri atas berbagai macam strategi yang diarahkan
untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pada tingkat organisasi, lokal,
provinsi, nasional, dan internasional.
Menurut depkes RI 2007 terdapat lima langkah kegiatan advokasi antara
lain :
1. Identifikasi dan analisis masalah atau isi yang memerlukan advokasi.
2. Identifikasi dan analisis kelompok sasaran.
3. Siapkan dan kemas bahan informasi.
4. Rencanakan teknik atau acara kegiatan operasional.
5. Laksanakan kegiatan, pantau evaluasi serta lakukan tindak lanjut.

Sebagaimana pemberdayaan dan bina suasana, advokasi lebih efektif bila


dilaksanakan dengan prinsip kemitraan, Yaitu dengan membentuk jejaring
advokasi atau forum kerjasama. Dengan kerjasama, melalui pembagian tugas dan
saling dukung, maka sasaran advokasi akan dapat diarahkan untuk sampai kepada
tujuan yang diharapkan. Sebagai konsekuensinya, metode dan media advokasi
pun harus ditentukan secara cermat, sehingga kerjasama dapat berjalan baik.
Kemitraan
Kemitraan harus digalang baik dalam rangka pemberdayaan maupun bina
suasana dan advokasi guna membangun kerjasama dan mendapatkan dukungan.
Dengan demikian kemitraan perlu digalang antar individu, keluarga, pejabat atau
instansi pemerintah yang terkait dengan urusan kesehatan (lintas sektor), pemuka
atau tokoh masyarakat, media massa, dan lain-lain. Kemitraan yang digalang itu
harus berlandaskan kepada tiga prinsip dasar, yaitu (a) Kesetaraan, (b)
Keterbukaan, dan (c) Saling menguntungkan.
Berdasar strategi dasar tersebut dikembangkan strategi umum
pemberdayaan masyarakat dan promosi kesehatan tahun 2010-2014, sebagai
berikut : 1) Memperkuat kelembagaan dan kesehatan di tingkat pusat, provinsi
dan kabupaten/kota; 2) Mengupayakan terbitnya kebijakan publik berwawasan
kesehatan; 3) Meningkatkan advokasi, sosialisasi dan komitmen politis disemua
tingkatan; 4) Meningkatkan akses informasi dan edukasi tentang kesehatan yang
seimbang dan bertanggung jawab; 5) Meningkatkan kemitraan dengan lintas
sektor terkait, swasta, dunia usaha, dan LSM; 6) Menumbuhkan partisipasi dan
peran individu, keluarga, dan masyarakat dalam upaya kesehatan; 7)
Menyelaraskan upaya promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat pada
setiap upaya pencegahan penyakit, peningkatan KIA dan Gizi, peningkatan akses
ke pelayanan kesehatan; 8) Melakukan riset dan pengembangan upaya
promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat; 9) Melaksanakan pemantauan
dan evaluasi untuk kemajuan upaya promosi kesehatan dan pemberdayaan
masyarakat.

C. RANGKUMAN
Pengertian promosi kesehatan di Indonesia adalah “Upaya untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk,
dan bersama masyarakat, agar menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan
kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai sosial budaya setempat dan
didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan”. Makna dari
pengertian tersebut sarat dengan upaya pemerdayaan dalam bidang kesehatan agar
masyarakat mampu ber perilaku hidup sehat dan tentunya upaya tersebut perlu
dibina lingkungan yang kondusif dalam dukungan pengambil keputusan/ penentu
kebijakan dan pemangku kepentingan (stakeholders). Oleh karena itu dalam
Keputusan Mentei Kesehatan Nomor 1193 tahun 2004 tentang Kebijakan
Nasional Promosi Kesehatan disebutkan bahwa Pemberdayaan Masyarakat, Bina
Suasana, Advokasi yang didukung dengan Kemitraan merupakan Strategi Dasar
Promosi Kesehatan.
Jadi dapat dikatakan bahwa promosi kesehatan merupakan tulang
punggung pembangunan kesehatan khususnya untuk mencapai visi “Masyarakat
Sehat Yang Mandiri dan Berkeadilan”, seperti yang tertuang dalam Rencana
Strategis Kementrian Kesehatan Tahun 2010-2014. Masyarakat sehat yang
mandiri adalah suatu kondisi dimana masyarakat Indonesia menyadari, mau, dan
mampu mengenali, mencegah, dan mengatasi permasalahan kesehatan yang
dihadapi, sehingga dapat bebas dari gangguan kesehatan, baik yang disebabkan
karena penyakit termasuk gangguan kesehatan akibat bencana, maupun
lingkungan dan perilaku yang tidak mendukung untuk hidup sehat, dengan
menggunakan potensi yang dimilikinya.

D. LATIHAN/ TUGAS/ EKSPERIMENT


1. Berikan pendapat anda tentang apa yang dimaksud dengan promosi
kesehatan sebagai suatu proses pemberdayaan masyarakat yang
memposisikan masyarakat sebagai pelaku pembangunan yang
mampu/mandiri dalam menyelesaikan masalah dan meningkatkan
kesehatannya.
2. Salah satu Misi Kementerian Kesehatan adalah Meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat. Jelaskan
bagaimana pengimplemantasian penyelenggaraan pemberdayaan
masyarakat tersebut.
3. Jelaskan tujuan pelaksanaan promosi kesehatan yang menitik beratkan
pada upaya pemberdayaan dan kemandirian masyarakat.
4. Jelaskan peran penting advokasi dalam kebijakan dan strategi promosi
kesehatan.
5. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
HK.03.01/160/1/2010 telah ditetapkan bahwa Visi Kementerian Kesehatan
adalah "Masyarakat sehat Yang Mandiri dan Berkeadilan”. Jelaskan apa
yang dimaksud dengan masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan.

E. BACAAN YANG DIANJURKAN


1. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Kebijakan Dan Strategi Kementrian
Kesehatan Menuju Universal Coverage Dan Pemenuhan Serta
Pemerataan Fasilitas Dan Tenaga Kesehatan. Yogyakarta: Lustrum Ke-13
FK UGM.
2. Kementrian Kesehatan RI. 2011. Kurikulum Dan Modul Pelatihan
Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat Di Bidang Kesehatan. Jakarta
3. Mardikanto, Totok. 2010. Konsep- Konsep Pemberdayaan Masyarakat.
Cetakan 1. Surakarta: Fakultas Pertanian UNS dengan UNS Press
4. Arsyad, Lincolin, dkk. 2011. Strategi Pembangunan Perdesaan Berbasis
Lokal. Yogyakarta: Unit Penerbit Dan Percetakan STIM YKPN
Yogyakarta
5. Sharma, Ritu R. 2004. Pengantar Advokasi Panduan Latihan. Ed. 1.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
F. DAFTAR PUSTAKA
After Cairo. 1995. A Handbook on Advocacy for Women Leaders, Washington,
DC: Center for Population and Development Activities (CEPDA)

Arsyad, Lincolin, dkk. 2011. Strategi Pembangunan Perdesaan Berbasis Lokal.


Yogyakarta: Unit Penerbit Dan Percetakan STIM YKPN Yogyakarta

Departemen Kesehatan RI. 2004. Pusat Promosi Kesehatan. Jakarta: Kebijakan


Nasional Promosi Kesehatan.

Departemen Kesehatan RI.2005. Pusat Promosi Kesehatan. Pedoman


Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Daerah. Jakarta

Departemen Kesehatan RI. 2007. Pusat Promosi Kesehatan. Pedoman


Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Puskesmas. Jakarta

Departemen Kesehatan RI. 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta

Hartono. B. 2011. Materi Peningkatan kompetensi Petugas Pusat Promosi


Kesehatan, strategi Promosi Kesehatan dalam Meningkatkan Kesehatan
Masyarakat. Jakarta

Kementerian Kesehatan RI. 2010. Renstra 2010-2014. Jakarta

Mardikanto, Totok. 2010. Konsep- Konsep Pemberdayaan Masyarakat. Cetakan


1. Surakarta: Fakultas Pertanian UNS dengan UNS Press

Pusat Promosi Kesehatan. 2010. Pemberdayaan Masyarakat dan Promosi


Kesehatan. Jakarta

Sharma, Ritu R. 2004. Pengantar Advokasi Panduan Latihan. Ed. 1. Jakarta:


Yayasan Obor Indonesia

BAB IV
KONSEP DASAR PENGORGANISASIAN PENGEMBANGAN DAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

A. PENDAHULUAN
Kesehatan atau hidup sehat adalah hak setiap orang, oleh sebab itu kesehatan,
baik individu, kelompok maupun masyarakat merupakan asset yang harus di jaga,
dilindungi bahkan harus ditingkatkan. Pengorganisasian dan pengembangan
masyarakat (PPM) atau community organization or community development
(COCD) merupakan perencanaan, pengorganisasian, atau proyek dan atau
pengembangan berbagai aktivitas pembuatan program atau proyek
kemasyarakatan yang tujuan utamanya meningkatkan taraf hidup atau
kesejahteraan sosial masyarakat. Sebagai suatu kegiatan kolektif, PPM
melibatkan beberapa aktor, seperti pekerja sosial, masyarakat setempat, lembaga
donor, serta instansi terkait yang saling bekerja sama mulai dari perancangan,
pelaksanaan, sampai evaluasi terhadap program atau proyek tersebut.
Pengembangan masyarakat secara lugas dapat diartikan sebagai suatu proses yang
membangun manusia atau masyarakat melalui pengembangan kemampuan
masyarakat, perubahan perilaku masyarakat dan pengorganisasian masyarakat.
Dari definisi tersebut terlihat ada 3 tujuan utama dalam pengembangan
masyarakat, yaitu pengembangan kemampuan masyarakat, mengubah perilaku
masyarakat dan mengorganisir masyarakat. Kemampuan masyarakat yang dapat
dikembangkan tentunya banyak sekali seperti kemampuan untuk berusaha,
mencari informasi, bertani dan lain-lain sesuai dengan kebutuhan atau
permasalahan yang sedang dihadapi oleh individu/masyarakat.

B. PENYAJIAN MATERI
1. PENGERTIAN PENGORGANISASIAN MASYARAKAT
Menurut “Ross Murray” Pengorganisasian Masyarakat adalah suatu proses
dimana masyarakat dapat mengidentifikasi kebutuhan - kebutuhan dan
menentukan prioritas dari kebutuhan - kebutuhan tersebut, dan mengembangkan
keyakinan untuk berusaha memenuhi kebutuhan - kebutuhan sesuai dengan skala
prioritas berdasarkan atas sumber - sumber yang ada dalam masyarakat sendiri
maupun yang berasal dari luar dengan usaha secara gotong royong.

Aspek-aspek Pengorganisasian Masyarakat


Tiga aspek penting yang terkandung di dalamnya, yaitu :
1. PROSES
a. Merupakan proses yang terjadi secara sadar, tetapi mungkin juga tidak
disadari
b. Jika proses disadari, berarti masyarakat menyadari akan adanya
kebutuhan
c. Dalam prosesnya ditemukan unsur – unsur kesukarelaan. Kesukarelaan
timbul karena adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan sehingga
mengambil inisiatif atau prakarsa untuk mengatasinya
d. Kesukarelaan juga terjadi karena dorongan untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan kelompok atau masyarakat
e. Kesadaran terhadap kebutuhan dan masalah yang dihadapi biasanya
ditemukan pada segelintir orang saja yang kemudian melakukan upaya
menyadarkan masyarakat untuk mengatasinya
f. Selanjutnya menginstruksikan kepada masyarakat untuk bersama -sama
mengatasinya.
2. MASYARAKAT
Masyarakat biasanya diartikan sebagai :
a. Kelompok besar yang mempunyai batas-batas Geografis : Desa,
Kecamatan, Kabupaten dsb.
b. Suatu kelompok dari mereka yang mempunyai kebutuhan bersama dari
kelompok yang lebih besar
c. Kelompok kecil yang menyadari suatu masalah harus dapat menyadarkan
kelompok yang lebih besar
d. Kelompok yang secara bersama- sama mencoba mengatasi masalah dan
memenuhi kebutuhannya.

3. BERFUNGSINYA MASYARAKAT
Untuk dapat memfungsikan masyarakat, maka harus dilakukan langkah – langkah
sebagai berikut :
a. Menarik orang-orang yang mempunyai inisiatif dan dapat bekerja, untuk
membentuk kepanitiaan yang akan menangani masalah-masalah yang
berhubungan dengan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat
b. Membuat rencana kerja yang dapat diterima dan dilaksanakan oleh
keseluruhan masyarakat
c. Melakukan upaya penyebaran rencana (kampanye), untuk menyukseskan
rencana tersebut

Pendekatan dalam Pengorganisasian Masyarakat


Pada prinsipnya Pengorganisasian Masyarakat mempunyai orientasi kepada
kegiatan tertentu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu
menurut “Ross Murray” dalam Pengorganisasian Masyarakat, terdapat 3
Pendekatan yang digunakan, yaitu :
1. Spesific Content Objective Approach
Adalah : Pendekatan baik perseorangan ( Promokesa ), Lembaga swadaya
atau Badan tertentu yang merasakan adanya masalah kesehatan dan
kebutuhan dari masyarakat akan pelayanan kesehatan, mengajukan suatu
proposal / program kepada instansi yang berwenang untuk mengatasi
masalah dan memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut. Contoh : Program
penanggulangan sampah.
2. General Content Objective Approach
Adalah : Pendekatan yang mengkoordinasikan berbagai upaya dalam
bidang kesehatan dalam suatu wadah tertentu. Misalnya : Program
Posyandu, yang melaksanakan 5 – 7 upaya kesehatan yang dijalankan
sekaligus.
3. Process Objective Approach
Adalah : Pendekatan yang lebih menekankan kepada proses yang
dilaksanakan oleh masyarakat sebagai pengambil prakarsa, mulai dari
mengidentifikasi masalah, analisa, menyusun perencanaan
penanggulangan masalah, pelaksanaan kegiatan, sampai dengan penilaian
dan pengembangan kegiatan ; dimana masyarakat sendiri yang
mengembangkan kemampuannya sesuai dengan kapasitas yang mereka
miliki.

Langkah-langkah Pengorganisasian Kegiatan Masyarakat


1. Persiapan sosial
2. Pelaksanaan
3. Evaluasi
4. Perluasan

2. PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Menurut Sudjana, Pengembangan Masyarakat mengandung arti sebagai
upaya yang terencana dan sistematis yang dilakukan oleh, untuk dan dalam
masyarakat guna meningkatkan kualitas hidup penduduk dalam semua aspek
kehidupannya dalam suatu kesatuan wilayah. Upaya untuk meningkatkan kualitas
hidup dan kehidupan dalam suatu kesatuan wilayah ini mengandung makna
bahwa pengembangan masyarakat dilaksanakan dengan berwawasan lingkungan,
sumber daya manusia, sosial maupun budaya, sehingga terwujudnya
pengembangan masyarakat yang berkelanjutan.
Pelaksanaan pengembangan masyarakat dapat dilakukan melalui
penetapan sebuah program atau proyek pembangunan. Secara garis besar,
perencanaannya dapat dilakukan dengan mengikuti 6 langkah perencanaan, yaitu:
1. Perumusan masalah. Pengembangan masyarakat dilaksanakan
berdasarkan masalah atau kebutuhan masyarakat setempat. Beberapa
masalah yang biasanya ditangani oleh pengembangan masyarakat dalam
kesehatan antara lain perilaku hidup bersih dan sehat, health seeking
behavior, deteksi dini, dan lain-lain. Perumusan masalah dilakukan
dengan menggunakan penelitian (survey, wawancara, observasi), diskusi
kelompok, rapat desa, dan sebagainya.
2. Penetapan program. Setelah masalah dapat diidentifikasi dan disepakati
sebagai prioritas yang perlu segera ditangani, maka dirumuskan lah
program penanganan masalah tersebut.
3. Perumusan tujuan. Agar program dapat dilaksanakan dengan baik dan
keberhasilannya dapat diukur perlu dirumuskan apa tujuan dari program
yang telah ditetapkan. Tujuan yang baik memiliki karakteristik jelas dan
spesifik sehingga tercermin bagaimana cara mencapai tujuan tersebut
sesuai dengan dana, waktu dan tenaga yang tersedia.
Penentuan kelompok sasaran. Kelompok sasaran adalah sejumlah orang
yang akan ditingkatkan kualitas hidupnya melalui program yang telah ditetapkan.
1. Identifikasi sumber dan tenaga pelaksana. Sumber adalah segala sesuatu
yang dapat digunakan untuk menunjang program kegiatan, termasuk di
dalamnya adalah sarana, sumber dana, dan sumber daya manusia.
2. Penentuan strategi dan jadwal kegiatan. Strategi adalah cara atau metode
yang dapat digunakan dalam melaksanakan program kegiatan.
3. Monitoring dan evaluasi. Monitoring dan evaluasi dilakukan untuk
memantau proses dan hasil pelaksanaan program.

3. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Pemberdayaan adalah pemberian informasi dan pendampingan dalam
mencegah dan menanggulangi masalah kesehatan, guna membantu individu,
keluarga atau kelompok-kelompok masyarakat menjalani tahap-tahap tahu mau
dan mampu mempraktikkan PHBS. (panduan promkes)
1. PEMBERDAYAAN
Dalam upaya promosi kesehatan, pemberdayaan masyarakat merupakan
bagian yang sangat penting dan bahkan dapat dikatakan sebagai ujung tombak.
Pemberdayaan adalah proses pemberian informasi kepada individu, keluarga atau
kelompok (klien) secara terus-menerus dan berkesinambungan mengikuti
perkembangan klien, serta proses membantu klien, agar klien tersebut berubah
dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspek knowledge), dari tahu menjadi mau
(aspek attitude) dan dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku yang
diperkenalkan (aspek practice). Oleh sebab itu, sesuai dengan sasaran (klien)nya
dapat dibedakan adanya (a) pemberdayaan individu, (b) pemberdayaan keluarga
dan (c) pemberdayaan kelompok/masyarakat. Dalam mengupayakan agar klien
tahu dan sadar, kuncinya terletak pada keberhasilan membuat klien tersebut
memahami bahwa sesuatu (misalnya Diare) adalah masalah baginya dan bagi
masyarakatnya. Sepanjang klien yang bersangkutan belum mengetahui dan
menyadari bahwa sesuatu itu merupakan masalah, maka klien tersebut tidak akan
bersedia menerima informasi apa pun lebih lanjut. Saat klien telah menyadari
masalah yang dihadapinya, maka kepadanya harus diberikan informasi umum
lebih lanjut tentang masalah yang bersangkutan. Perubahan dari tahu ke mau pada
umumnya dicapai dengan menyajikan fakta-fakta dan mendramatisasi masalah.
Tetapi selain itu juga dengan mengajukan harapan bahwa masalah tersebut bisa
dicegah dan atau diatasi. Di sini dapat dikemukakan fakta yang berkaitan dengan
para tokoh masyarakat sebagai panutan (misalnya tentang seorang tokoh agama
yang dia sendiri dan keluarganya tak pernah terserang Diare karena perilaku yang
dipraktikkannya). Bilamana seorang individu atau sebuah keluarga sudah akan
berpindah dari mau ke mampu melaksanakan, boleh jadi akan terkendala oleh
dimensi ekonomi. Dalam hal ini kepada yang bersangkutan dapat diberikan
bantuan langsung. Tetapi yang seringkali dipraktikkan adalah dengan
mengajaknya ke dalam proses pemberdayaan kelompok/masyarakat melalui
pengorganisasian masyarakat (community organization) atau pembangunan
masyarakat (community development). Untuk itu, sejumlah individu dan keluarga
yang telah mau, dihimpun dalam suatu kelompok untuk bekerja sama
memecahkan kesulitan yang dihadapi. Tidak jarang kelompok ini pun masih juga
memerlukan bantuan dari luar (misalnya dari pemerintah atau dari dermawan). Di
sinilah letak pentingya sinkronisasi promosi kesehatan dengan program kesehatan
yang didukungnya dan program-program sektor lain yang berkaitan. Hal-hal yang
akan diberikan kepada masyarakat oleh program kesehatan dan program lain
sebagai bantuan, hendaknya disampaikan pada fase ini, bukan sebelumnya.
Bantuan itu hendaknya juga sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat.
Pemberdayaan akan lebih berhasil jika dilaksanakan melalui kemitraan serta
menggunakan metode dan teknik yang tepat.
Pada saat ini banyak dijumpai lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM)
yang bergerak di bidang kesehatan atau peduli terhadap kesehatan. LSM ini harus
digalang kerja samanya, baik di antara mereka maupun antara mereka dengan
pemerintah, agar upaya pemberdayaan masyarakat dapat berdayaguna dan
berhasil guna. Setelah itu, sesuai ciri-ciri sasaran, situasi dan kondisi, lalu
ditetapkan, diadakan dan digunakan metode dan media komunikasi yang tepat.

2. TANTANGAN
Tantangan pertama dalam pemberdayaan adalah pada saat awal, yaitu pada
saat meyakinkan seseorang bahwa suatu masalah kesehatan (yang sudah dihadapi
atau yang potensial) adalah masalah bagi yang bersangkutan. Sebelum orang
tersebut yakin bahwa masalah kesehatan itu memang benar-benar masalah bagi
dirinya, maka ia tidak akan peduli dengan upaya apa pun untuk menolongnya.
Tantangan berikutnya datang pada saat proses sudah sampai kepada mengubah
pasien/klien dari mau menjadi mampu. Ada orang-orang yang walaupun sudah
mau tetapi tidak mampu melakukan karena terkendala oleh sumber daya
(umumnya orang-orang miskin). Ada juga orang-orang yang sudah mau tetapi
tidak mampu melaksanakan karena malas. Orang yang terkendala oleh sumber
daya (miskin) tentu harus difasilitasi dengan diberi bantuan sumber daya yang
dibutuhkan. Sedangkan orang yang malas dapat dicoba rangsang dengan “hadiah”
(reward) atau harus “dipaksa” menggunakan peraturan dan sanksi (punishment)
Tipe pemberdayaan Pemberdayaan individu dilaksanakan dalam berbagai
kesempatan, khususnya pada saat individu-individu anggota rumah tangga
berkunjung dan memanfaatkan upaya-upaya kesehatan bersumber masyarakat

4. PARTISIPASI MASYARAKAT
Menurut Made Pidarta dalam Siti Irene Astuti D. (2009: 31-32), partisipasi
adalah pelibatan seseorang atau beberapa orang dalam suatu kegiatan.
Keterlibatan dapat berupa keterlibatan mental dan emosi serta fisik dalam
menggunakan segala kemampuan yang dimilikinya (berinisiatif) dalam segala
kegiatan yang dilaksanakan serta mendukung pencapaian tujuan dan
tanggungjawab atas segala keterlibatan. Partisipasi merupakan keterlibatan mental
dan emosi dari seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorong mereka
untuk menyokong kepada pencapaian tujuan kelompok tersebut dan ikut
bertanggungjawab terhadap kelompoknya. Adapun prinsip-prinsip partisipasi
tersebut, sebagaimana tertuang dalam Panduan Pelaksanaan Pendekatan
Partisipatif yang disusun oleh Department for International Development (DFID)
(dalam Monique Sumampouw, 2004: 106-107) adalah:
1. Cakupan. Semua orang atau wakil-wakil dari semua kelompok yang
terkena dampak dari hasil-hasil suatu keputusan atau proses proyek
pembangunan.
2. Kesetaraan dan kemitraan (Equal Partnership). Pada dasarnya setiap orang
mempunyai keterampilan, kemampuan dan prakarsa serta mempunyai hak
untuk menggunakan prakarsa tersebut dalam setiap proses guna
membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang dan struktur masing-
masing pihak.
3. Transparansi. Semua pihak harus dapat menumbuh kembangkan
komunikasi dan iklim berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga
menimbulkan dialog.
4. Kesetaraan kewenangan (Sharing Power/Equal Powership). Berbagai
pihak yang terlibat harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan
dan kekuasaan untuk menghindari terjadinya dominasi.
5. Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility). Berbagai pihak
mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses karena adanya
kesetaraan kewenangan (Sharing power) dan keterlibatannya dalam proses
pengambilan keputusan dan langkah-langkah selanjutnya.
6. Pemberdayaan (Empowerment). Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas
dari segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga
melalui keterlibatan aktif dalam setiap proses kegiatan. terjadi suatu proses
saling belajar dan saling memberdayakan satu sama lain.
7. Kerjasama. Diperlukan adanya kerja sama berbagai pihak yang terlibat
untuk saling berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang
ada, khususnya yang berkaitan dengan kemampuan sumber daya manusia.
Sekretariat Bina Desa (1999: 32-33) mengidentifikasikan partisipasi
masyarakat menjadi 7 (tujuh) tipe berdasarkan karakteristiknya, yaitu partisipasi
pasif/manipulatif, partisipasi dengan cara memberikan informasi, partisipasi
melalui konsultasi, partisipasi untuk insentif materil, partisipasi fungsional,
partisipasi interaktif, dan self mobilization. Seperti dijelaskan dibawah ini;
1. Partisipasi pasif/manipulatif, masyarakat berpartisipasi dengan cara
diberitahu apa yang sedang atau telah terjadi; pengumuman sepihak oleh
manajemen atau pelaksana proyek tanpa memperhatikan tanggapan
masyarakat; informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan
profesional di luar kelompok sasaran.
2. Partisipasi dengan cara memberikan informasi, masyarakat berpartisipasi
dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian seperti dalam
kuesioner atau sejenisnya; masyarakat tidak punya kesempatan untuk
terlibat dan mempengaruhi proses penyelesaian; akurasi hasil penelitian
tidak dibahas bersama masyarakat.
3. Partisipasi melalui konsultasi, masyarakat berpartisipasi dengan cara
berkonsultasi; orang luar mendengarkan dan membangun pandangan-
pandangannya sendiri untuk kemudian mendefinisikan permasalahan dan
pemecahannya, dengan memodifikasi tanggapan-tanggapan
1. masyarakat; tidak ada peluang bagi pembuat keputusan bersama; para
profesional tidak berkewajiban mengajukan pandangan-pandangan
masyarakat (sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti.
4. Partisipasi untuk insentif materiil, masyarakat berpartisipasi dengan cara
menyediakan sumber daya seperti tenaga kerja, demi mendapatkan
makanan, upah, ganti rugi, dan sebagainya; masyarakat tidak dilibatkan
dalam eksperimen atau proses pembelajarannya; masyarakat tidak
mempunyai andil untuk melanjutkan kegiatan- kegiatan yang dilakukan
pada saat insentif yang disediakan/diterima habis.
5. Partisipasi fungsional, masyarakat berpartisipasi dengan membentuk
kelompok untuk mencapai tujuan yang berhubungan dengan proyek;
pembentukan kelompok (biasanya) setelah ada keputusan-keputusan utama
yang disepakati; pada awalnya, kelompok masyarakat ini
2. bergantung pada pihak luar (fasilitator, dll) tetapi pada saatnya mampu
mandiri.
6. Partisipasi interaktif, masyarakat berpartisipasi dalam analisis bersama
yang mengarah pada perencanaan kegiatan dan pembentukan lembaga
sosial baru atau penguatan kelembagaan yang telah ada; partisipasi ini
cenderung melibatkan metode inter-disiplin yang mencari keragaman
perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematik; kelompok-
kelompok masyarakat mempunyai peran kontrol atas keputusan-keputusan
mereka, sehingga mereka mempunyai andil dalam seluruh
penyelenggaraan kegiatan.
7. Self mobilization, masyarakat berpartisipasi dengan mengambil inisiatif
secara bebas (tidak dipengaruhi/ditekan pihak luar) untuk mengubah
sistem-sistem atau nilai-nilai yang mereka miliki; masyarakat
mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain untuk
mendapatkan bantuan-bantuan teknis dan sumberdaya yang dibutuhkan;
masyarakat memegang kendali atas pemanfaatan sumberdaya yang ada.

5. UKBM
UKBM (Upaya Kesehatan Bersumberdaya Manusia) adalah salah satu wujud
nyata peran serta masyarakat dalam pembangunan kesehatan. Kondisi ini ternyata
mampu memacu munculnya berbagai bentuk UKBM lainnya seperti Polindes,
POD (pos obat desa), Pos UKK (pos upaya kesehatan).

Tujuan Terbentuknya UKBM


1. Meningkatnya jumlah dan mutu UKBM
2. Meningkatnya kemampuan pemimpin/Toma dalam merintis dan
mengembangkan UKBM
3. Meningkatnya kemampuan masyarakat dan organisasi masyarakat dalam
penyelenggaraan UKBM
4. Meningkatnya kemampuan masyarakat dan organisasi masyarakat dalam
menggali, menghimpun dan mengelola pendanaan masyarakat untuk
menumbuh kembangkan UKBM
Sasaran
1. Individu/Toma berpengaruh
2. Keluarga dan perpuluhan keluarga
3. Kelompok masyarakat : generasi muda, kelompok wanita, angkatan kerja,
dll
4. Organisasi masyarakat: organisasi profesi, LSM, dll
5. Masyarakat umum: desa, kota, dan pemukiman khusus
6. kerja), TOGA (taman obat keluarga), dana sehat, dll.

Upaya Pemberdayaan Bersumber Daya masyarakat ( UKBM )


1. Pos Pelayanan Terpadu ( Posyandu )
Posyandu merupakan jenis UKM yang paling memasyarakatkan dewasa
ini. Posyandu yang meliputi lima program prioritas yaitu: KB, KIA,
Imunisasi dan penanggulangan Diare. Terbukti mempunyai daya ungkit
besar terhadap penurunan angka kematian bayi . sebagai salah satu tempat
pelayanan kesehatan masyarakat yang langsung bersentuhan dengan
masyarakat level bawah , sebaiknya posyandu digiatkan kembali seperti
pada masa orde baru karena terbukti ampuh mendeteksi permasalahan gizi
dan kesehatan di berbagai daerah. Permasalahan gizi buruk anak balita,
kekurangan gizi, busung lapar dan masalah kesehatan lainnya menyangkut
kesehatan ibu dan anak akan mudah dihindari jika posyandu kembali
diprogramkan secara menyeluruh .
Kegiatan posyandu lebih di kenal dengan sistem lima meja yang, meliputi:
a. Meja 1: Pendaftaran
b. Meja 2: Penimbangan
c. Meja 3: Pengisian Kartu Menuju Sehat
d. Meja 4: Penyuluhan Kesehatan pemberian oralit, Vitamin A ,dan
tablet besi
e. Meja 5: Pelayanan kesehatan yang meliputi imunisasi, pemeriksaan
kesehatan dan pengobatan, serta pelayanan keluarga berencana.

2. Pondok Bersalin Desa (Polindes)


Pondok bersalin desa merupakan wujud peran serta masyarakat dalam
pemeliharaan kesehatan ibu dan anak . UKBM ini dimaksudkan untuk
menutupi empat kesenjangan dalam KIA ,yaitu kesenjangan geografis
,kesenjangan informasi, kesenjangan ekonomi dan kesenjangan sosial
budaya.
Keberadaan bidan di tiap desa diharapkan mampu mengatasi kesenjangan
geografis, sementara kontak setiap saat dengan dengan penduduk setempat
diharapkan mampu mengurangi kesenjangan informasi. Polindes
dioperasionalkan melalui kerja sama antara bidan dengan dukun bayi ,
sehingga tidak menimbulkan kesenjangan sosial budaya,sememtara tarif
pemeriksaan ibu ,anak dan melahirkan yang ditentukaN dalam
musyawarah LKMD diharapkan mampu mengurangi kesenjangan
ekonomi.
3. Pos Obat Desa ( POD )
Pos obat desa merupakan wujud peran serta masyarakat dalam hal
pengobatan sederhana. Kegiatan ini dapat dipandang sebagai perluasan
kuratif sederhana, melengkapi kegiatan preventif dan promotif yang telah
di laksanakan di posyandu. Dalam implementasinya POD dikembangkan
melalui beberapa pola di sesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat .
Beberapa pengembangan POD itu antara lain :
a. POD murni, tidak terkait dengan UKBM lainnya.
b. POD yang di integrasikan dengan Dana Sehat;
c. POD yang merupakan bentuk peningkatan posyandu:
d. POD yang dikaitkan dengan pokdes/ polindes ;
e. Pos Obat Pondok Pesantren ( POP ) yang dikembangkan di
beberapa pondok pesantren.
POD jumlahnya belum memadai sehingga bila ingin digunakan di unit-
unit desa, maka seluruh ,diluar kota yang jauh dari sarana kesehatan
sebaiknya mengembangkan Pos Obat Desa masing-masing.

4. Dana Sehat
Dana telah dikembangkan pada 32 provinsi meliputi 209 kabupaten/kota.
Dalam implementasinya juga berkembang beberapa pola dana sehat,
antara lain sebagai berikut.
a. Dana sehat pola Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), dilaksanakan
pada 34 kabupaten dan telah mencakup 12.366 sekolahan.
b. Dana sehat pola pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa
(PKMD) dilaksanakan pada 96 kabupaten.
c. Dana sehat pola pondok Pesantren, dilaksanakan pasa 39
kabupaten/kota.
d. Dana sehat pola koperasi Unit Desa (KUD), dilaksanakan pada
lebih dari 23 kabupaten, terutama pada KUD yang sudah tergolong
mandiri.
e. Dana sehat yang dikembangkan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), dilaksanakan pada 11 kabupaten/ kota.
f. Dana sehat organisasi/kelompok lainnya (seperti tukang becak,
sopir angkutan kota dan lain-lain), telah dilaksanakan pada 10
kabupaten/kota.
Seharusnya dana sehat merupakan bentuk jaminan pemeliharaan kesehatan
bagi anggota masyarakat yang belum dijangkau oleh asuransi kesehatan
seperti askes, jamsostek, dan asuransi kesehatan swasta lainnya. Dana
sehat berpotensi sebagai wahana memandirikan masyarakat yang pada
gilirannya mampu melestarikan kegiatan UKMB setempat. Oleh karena
itu, dana sehat harus dikembangkan keseluruh wilayah. Kelompok
sehingga semua penduduk terliput oleh dana sehat atau bentuk JPKM
lainnya.
5. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Di tanah air kita ini terdapat 2.950 lembaga swadaya masyarakat (LSM),
namun sampai sekarang yang tercatat mempunyai kegiatan di bidang
kesehatan hanya 105 organisasi LSM. Ditinjau dari segi kesehatan, LSM
ini dapat digolongkan menjadi LSM yang belum mempunyai kegiatannya
bidang kesehatan atau LSM yang aktivitasnya seluruhnya kesehatan dan
LSM khusus antara lain, organisasi profesi kesehatan, organisasi swadaya
internasional.

Peran Serta Masyarakat Tentang Upaya (UKBM)


1. Wujud Peran Serta Masyarakat
Dari pengamatan pada masyarakat selama ini ada beberapa wujud peran serta
masyarakat dalam pembangunan kesehatan pada khususnya dan pembangunan
nasional pada umumnya. Bentuk-bentuk tersebut adalah sebagai berikut :
a. Sumber Daya Manusia
Setiap insan dapat berpartisipasi aktif dalam pembanguanan masyarakat.
Wujud insan yang menunjukkan peran serta masyarakat di bidang
kesehatan antara lain sebagai berikut.
(a) Pemimpin masyarakat yang berwawasan kesehatan
(b) Tokoh masyarakat yang berwawasan kesehatan, baik tokoh agama,
politisi, cendikiawan, artis/seniman, budayawan, pelawak dan lain-
lain.
(c) Kader Kesehatan, yang sekarang banyak sekali ragamnya misalnya:
kader Posyandu, kader lansia, kader kesehatan lingkungan, kader
kesehatan gigi, kader KB, dokter kecil, saka bakti husada, santri
husada, taruna husada, dan lain-lain.
b. Institusi/lembaga/organisasi masyarakat
Bentuk lain peran serta masyarakat adalah semua jenis institusi, lembaga
atau kelompok kegiatan masyarakat yang mempunyai aktifitas di bidang
kesehatan. Beberapa contohnya adalah sebagai berikut.
(a) Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM). Yaitu segala
bentuk kegiatan kesehatan yang bersifat dari, oleh dan untuk
masyarakat, seperti :
1) Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)
2) Pos Obat Desa (POD)
3) Pos Upaya Kesehatan Kerja (Pos UKK)
4) Pos kesehatan di Pondok Pasantren (Pokestren)
5) Pemberantasan Penyakit Menular dengan Pendekatan PKMD
(P2M-PKMD)
6) Penyehatan Lingkungan Pemungkiman dengan Pendekatan PKMD
(PLp-PKMD) sering disebut dengan desa percontohan kesehatan
lingkungan (DPKL).
7) Suka Bakti Husada (SBH)
8) Taman Obat Keluarga (TOGA)
9) Bina Keluarga Balita (BKB)
10) Pondok Bersalin Desa (Polindes)
11) Pos Pembinaan Terpadu lanjut usia (Posbindu Lansia/Posyandu
Usila)
12) Pemantau dan Stimulasi Perkembangan Balita (PSPB)
13) Keluarga Mandiri
14) Upaya Kesehatan Masjid
(b) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mempunyai kegiatan di
bidang kesehatan. Banyak sekali LSM yang berkiprah dibidang
kesehatan, aktifitas mereka beragam sesuai dengan peminatannya.
(c) Organisasi Swasta yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan
seperti rumah sakit, rumah bersalin, balai kesehatan Ibu dan anak,
balai pengobatan, dokter praktik, klinik 24 jam, dan sebagainya.
c. Dana
Wujud lain partisipasi masyarakat adalah dalam bentuk pembiayaan
kesehatan seperti dana sehat, asuransi kesehatan, jaminan pemeliharaan
kesehatan masyarakat, dan berbagai bentuk asuransi di bidang kesehatan.
Secara umum jenis-jenis partisipasi pemberdayaan kesehatan masyarakat
adalah sebagai berikut;
(a) Berbagai bentuk dana sehat seperti dana sehat pola PKMD
(Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa), dana sehat pola UKS<
(Upaya Kesehatan Sekolah), dana sehat pondok pesantren, dana sehat
pola KUD (Koperasi Unit Desa), dana sehat yang dikembangkan oleh
LSM, dan dana sehat organisasi/kelompok lainnya (Sopir angkot,
tukang becak dan lain-lain);
(b) Asuransi kesehatan oleh PT Asuransi Kesehatan Indonesia, dengan
sasaran para pegawai negeri sipil, pensiunan, dan sebagian karyawan
swasta atau pegawai pabrik;
(c) Jaminan sosial tenaga kerja (termasuk pemeliharaan kesehatan)
khususnya bagi para pekerja Perusahaan swasta;
(d) Asuransi kesehatan swasta atau badan penyelenggara jaminan
pemeliharaan kesehatan Masyarakat (Bapel JPKM0), seperti asuransi
kesehatan yang dikelola PT tugu mandiri, PT Bintang Jasa, dan lain-
lain.

C. LATIHAN
1. Apa saja hal yang perlu direncanakan untuk tercapainya pengembangan
masyarakat?
2. Dalam proses pemberdayaan masyarakat kenapa kita perlu mempelajari
pengorganisasian masyarakat?
3. Jelaskan yang dimaksud pemberdayaan sebagai ujung tombak dari promosi
kesehatan!
4. Membuat rencana kerja yang dapat diterima dan dilaksanakan oleh
keseluruhan masyarakat, kenapa hal ini sangat penting dalam proses
pengorganisasian dan pengembangan masyarakat?
5. Buatlah suatu program UKBM yang menurut anda akan sangat berguna bagi
masyarakat pada masa ini!

D. RUJUKAN
Azwar, Arul. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan. Edisi Ke-3. Bina rupa
Aksara :Jakarta
Abu Suhu, dkk., 2005. Islam Dakwah dan Kesejahteraan Sosial. Yogyakarta:
Fakultas Dakwah UIN Sunan kalijaga
Mapanga, Kudakwashe G dan Mapanga, Margo B. 2004. A Community Health
Nursing Perspective of Home Health Care Management and Practice. Home
Health Care Management & Practice. vol.16 no.4. halaman 271-279.

BAB V
LINGKUP, TAHAPAN DAN PROSES KEGIATAN MASYARAKAT
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

A. PENDAHULUAN
Dalam praktek pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh banyak pihak,
seringkali terbatas pada pemberdayaan ekonomi dalam rangka pengentasan
kemiskinan (poverty alleviation) atau penanggulangan kemiskinan (poverty
reduction). Karena itu, kegiatan pemberdayaan masyarakat selalu dilakukan dalam
bentuk pengembangan kegiatan produktif untuk peningkatan pendapatan (income
generating).
Untuk mewujudkan perbaikan kesejahteraan tersebut banyak upaya yang
dapat dilakukan. Tetapi untuk mewujudkan ide menjadi diperlukan adanya baik
dari jajaran birokrasi maupun tokoh-tokoh masyarakat (Beals and Bohlen, 1955).
Sayangnya, dalam kehidupan masyarakat sering dijumpai ketidak konsistenan dan
ketidakpastian kebijakan yang lain (inconsistenco and uncertainty policy), baik
karena perubahan-perubahan tekanan ekonomi maupun perubahan kondisi sosial-
politik. Oleh sebab itu, pemberdayaan masyarakat tidak cukup hanya terbatas
pada peningkatan pendapatan (income generating). Tetapi juga diperlukan
advokasi hukum/kebijakan, bahkan pendidikan politik yang cukup untuk
penguatan daya-tawar politis, kaitannya dengan pemberian legitimasi inovasi dan
atau ide-ide perubahan yang akan ditawarkan melalui kegiatan pemberdayaan
masyarakat (Gambar 11) sebagaimana dikemukakan oleh Mardikanto dan
Purwaka (2006). Artinya. tugas kegiatan pemberdayaan masyarakat tidak cukup
hanya berbicara tentang inovasi teknis, perbaikan manajemen dan efisiensi usaha,
tetapi harus juga mampu dan berani menyuarakan hak-hak politik pemangku
kepentingan yang lain, yang tahun terakhir kebijakan dan kepentingan pemerintah
yang sedang berkuasa.
1. Lingkup dan Sistematika
Pemberdayaan masyarakat melibatkan berbagai pihak terutama masyarakat
itu sendiri. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pemberdayaan masyarakat yaitu
Bina Manusia, Bina Usaha, Bina Lingkungan.dan Bina Kelembagaan. Setelah
melakukan upaya pemberdayaan masyarakat maka dilakukanlah tahapan kegiatan
pemberdayaan masyarakat berupa penyadaran, menunjukan adanya masalah,
membantu pemecahan masalah, menunjukan pentingnya perubahan, melakukan
pengujian dan demonstrasi, memproduksi dan publikasi informasi, serta
melaksanakan pemberdayaan/penguatan kapasitas.
2. Keterkaitan dengan materi lain
Pemberdayaan merupakan upaya yang dilakukan oleh masyarakat dengan tau
tanpa dukungan pihak luar, unutk memperbaiki kehidupannya yang berbasis
kepada daya mereka sendiri, melalui upaya optimasi daya serta peningkatan
posisi-tawar yang dimiliki. Dengan kata lain, pemberdayaan harus menempatkan
kekuasaan masyarakat sebagai modal utama serta menhindari rekayasa pihak luar
yang seringkali mematikan kemandirian masyarakat setempat. Oleh sebab itu
perlu untuk mengetahui lingkup, tahapan dan proses dalam pemberdayaan
masyarakat.

B. PENYAJIAN MATERI
1. LINGKUP KEGIATAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Dalam pengertian yang diberikan terhadap pemberdayaan, jelas dinyatakan
bahwa adalah proses dan optimasi daya (yang dimiliki dan atau dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat), baik daya dalam pengertian “Kemampuan dan
keberanian” maupun daya dalam arti "kekuasaan atau posisi tawar". Dalam
praktek pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh banyak pihak, seringkali
terbatas pada pemberdayaan ekonomi dalam rangka pengentasan kemiskinan
(poverty alleviation) atau penanggulangan kemiskinan (poverty reduction).
Karena itu, kegiatan pemberdayaan masyarakat selalu dilakukan dalam bentuk
pengembangan kegiatan produktif untuk peningkatan pendapatan (income
generating).
Sumadyo (2001) merumuskan tiga upaya pokok dalam setiap pemberdayaan
masyarakat, yang disebutnya sebagai Tri Bina, yaitu: Bina Manusia, Bina Usaha,
dan Bina Lingkungan. Terhadap rumusan ini, Mardikanto (2003) menambahkan
pentingnya Bina Kelembagaan, karena ketiga Bina yang dikemukakan (Bina
Manusia, Bina Usaha, dan Bina Lingkungan) itu hanya akan terwujud seperti
yang diharapkan, manakala didukung oleh efektivitas beragam kelembagaan yang
diperlukan.

1.1 Bina Manusia


Bina manusia, merupakan upaya yang pertama dan utama yang harus
diperhatikan dalam setiap upaya pemberdayaan masyarakat. Hal ini, dilandasi
oleh pemahaman bahwa tujuan pembangunan adalah untuk perbaikan mutu hidup
atau kesejahteraan manusia. Di samping itu, dalam ilmu manajemen, manusia
menempati era yang paling unik. Sebab, selain sebagai salah sumber daya
sekaligus sebagai pelaku atau manajemen itu sendiri. Termasuk dalam upaya Bina
Manusia adalah semua kegiatan yang termasuk dalam upaya
penguatan/pengembangan kapasitas sebagaimana tersebut dalam bab sebelumnya,
yaitu:
1. Pengembangan kapasitas individu, yang meliputi kapasitas, kepribadian,
kapasitas di dunia kerja dan pengembangan keprofesionalan.
2. Pengembangan Kapasitas Entitas/Kelembagaan, yang meliputi:
a. Kejelasan visi, misi, dan budaya organisasi;
b. Kejelasan struktur organisasi, kompetensi, dan strategi;
c. Proses organisasi atau pengelolaan organisasi;
d. Pengembangan jumlah dan mutu sumberdaya;
e. Interaksi antar individu di dalam organisasi;
f. Interaksi dengan entitas organisasi dengan pemangku kepentingan
(stakeholder) yang lain.
3. Pengembangan Kapasitas sistem (Jejaring), yang meliputi:
a. Pengembangan interaksi antar entitas (organisasi) dalam sistem yang
sama, dan
b. Pengembangan interaksi dengan entitas/organisasi di luar sistem.

1.2 Bina Usaha


Bina usaha menjadi suatu upaya penting dalam setiap pemberdayaan, sebab
Bina Manusia yang tanpa memberikan manfaat bagi perbaikan kesejahteraan
(ekonomi ekonomi) tidak akan laku, dan bahkan menambah kekecewaan.
Sebaliknya, hanya Bina Manusia yang mampu (dalam waktu dekat/cepat)
memberikan dampak kesejahteraan (ekonomi dan atau ekonomi) yang akan laku
atau memperoleh dukungan dalam bentuk partisipasi masyarakat.
Tentang hal ini, Bina Usaha mencakup:
1. Pemilihan komoditas dan jenis usaha
2. Studi Kelayakan dan Perencanaan Bisnis
3. Pembentukan Badan usaha
4. Perencanaan investasi dan Penetapan sumber-sumber pembiayaan
5. Pengelolaan SDM dan pengembangan karir
6. Manajemen Produksi dan Operasi
7. Manajemen Logistik dan Finansial
8. Penelitian dan pengembangan
9. Pengembangan dan pengelolaan Sistem Informasi Bisnis
10. Pengembangan jejaring dan kemitraan
11. Pengembangan Sarana dan Prasarana Pendukung

1.3 Bina Lingkungan


Sejak dikembangkan mazab pembangunan berkelanjutan (sustainable
development), isu lingkungan menjadi sangat penting. Hal ini terlihat pada
kewajiban dilakukannya AMDAL (analisis manfaat dan dampak lingkungan)
dalam setiap kegiatan investasi, ISO 1400 tentang keamanan lingkungan,
sertifikat ekolabel, dll. Hal ini dinilai penting, karena pelestarian lingkungan
(fisik) akan sangat menentukan keberlanjutan kegiatan investasi maupun operasi
(utamanya yang terkait dengan tersedianya bahan-baku). Selama ini, pengertian
lingkungan, seringkali dimaknai sekadar lingkungan fisik, utamanya yang
menyangkut sumber alam dan lingkungan hidup. Dalam praktek perlu disadari
bahwa lingkungan sosial juga sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan bisnis
dan kehidupan.
Kesadaran seperti itulah yang mendorong diterbitkannya Undang-undang No. 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-undang No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan yang di dalamnya mencantumkan tanggungjawab sosial dan
lingkungan oleh penanam modal/perseroan.

Di lingkungan internasional, sejak 2007 telah ditetapkan ISO 26000


tentang tanggungjawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility).
Termasuk dalam tanggungjawab sosial adalah segala kewajiban yang harus
dilakukan yang terkait dengan upaya perbaikan kesejahteraan sosial masyarakat
yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan (areal kerja), maupun yang
mengalami dampak negatif yang diakibatkan oleh kegiatan yang dilakukan oleh
penanaman modal/perseroan. Sedang yang termasuk tanggungjawab lingkungan
adalah kewajiban dipenuhinya segala kewajiban yang ditetapkan dalam
persyaratan investasi dan operasi yang terkait dengan perlindungan pelestarian,
pemulihan (rehabilitasi/reklamasi) sumberdaya alam dan lingkungan hidup.

1.4 Bina Kelembagaan


Di depan telah dikemukakan, bahwa tersedianya dan efektivitas kelembagaan
akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan Bina Manusia, Bina Usaha, dan
Bina Lingkungan. Pengertian tentang kelembagaan, seringkali dimaknai dalam
arti sempit sebagai beragam bentuk lembaga (kelompok, organisasi). Tetapi,
kelembagaan sebenarnya memiliki arti yang lebih luas.
Hayami dan Kikuchi (1981) mengartikan kelembagaan sebagai suatu
perangkat umum yang ditaati oleh anggota suatu komunitas (masyarakat). Dalam
kehidupan sehari-hari, kelembagaan yang merupakan terjemahan dari kata
“institution” adalah satu konsep yang tergolong membingungkan dan dapat
dikatakan belum memperoleh pengertian yang mantap dalam ilmu sosiologi.
Kata kelembagaan, sering dikaitkan dengan dua pengertian, yaitu “social
instuituion” atau pranata-sosial dan “social organization” atau organisasi sosial.
Apapun itu, pada prinsipnya, suatu bentuk relasi-sosial dapat disebut sebagai
sebuah kelembagaan apabila memiliki empat komponen, yaitu adanya:
1. Komponen person, di mana orang-orang yang terlibat di dalam satu
kelembagaan dapat diidentifikasi dengan jelas.
2. Komponen kepentingan, di mana orang-orang tersebut pasti sedang diikat
oleh satu kepentingan atau tujuan, sehingga di antara mereka terpaksa
harus saling berinteraksi.
3. Komponen aturan, di mana setiap kelembagaan mengembangkan
seperangkat kesepakatan yang dipegang secara bersama, sehingga
seseorang dapat menduga apa perilaku orang lain dalam lembaga
tersebut.
4. Komponen struktur, di mana setiap orang memiliki posisi dan peran, yang
harus dijalankannya secara benar. Orang tidak merubah-rubah posisinya
dengan kemauannya sendiri.
Lebih lanjut, dari beragam pengertian yang diberikan, kelembagaan memiliki ciri-
ciri:
1. Kelembagaan berkenaan dengan sesuatu yang permanen. Ia menjadi
permanen karena dipandang rasional dan disadari kebutuhannya dalam
kehidupan.
2. Kelembagaan, berkaitan dengan hal-hal yang abstrak yang menentukan
perilaku. Sesuatu yang abstrak tersebut merupakan suatu kompleks dari
beberapa hal yang sesungguhnya terdiri dari beberapa bentuk yang tidak
sepadan (selevel).
3. Berkaitan dengan perilaku, atau seperangkat mores (tata kelakuan), atau
cara bertindak yang mantap yang berjalan di masyarakat (establish way
of behaving). Perilaku yang terpola merupakan kunci keteraturan hidup.
4. Kelembagaan juga menekankan kepada pola perilaku yang disetujui dan
memilih sanksi.
5. Kelembagaan merupakan cara-cara yang standar untuk memecahkan
masalah. Tekanannya adalah pada kemampuannya untuk memecahkan
masalah.
Terkait dengan Bina Kelembagaan, dalam kegiatan agribisnis, misalnya,
diperlukan beragam kelembagaan. Mosher (1969) menyatakan bahwa untuk
membangun struktur perdesaan yang progresif dibutuhkan kelembagaan-
kelembagaan: (1) Sarana produksi dan peralatan pertanian, (2) kredit produksi, (3)
pemasaran produksi, (4) percobaan/pengujian lokal, (5) penyuluhan, dan (6)
transportasi. Keenam jenis kelembagaan tersebut, harus tersedia di setiap lokalitas
usahatani dan memiliki keterkaitannya dengan lembaga sejenis di tingkat nasional
sebagaimana tergambar dalam dibawah ini.

pasar
regional/nasional

pusat/balai pusat/balai
Pasar
penelitian/penguji penyuluhan
sarana/produk
an
Penelitian/peng
penyuluhan
ujian

pembiayaan Pengolahan
lokal
Pembiayaan Industri
regional/nasional Transportasi pengolahan besar
lokal

Transportasi antar-
lokasi

Gambar 5.1 Hubungan Antar Kelembagaan


Lokal dan Regional/Nasional

Mengacu kepada konsep Mosher (1969) tersebut, Hadisapoetro (1981)


mengenalkan konsep “kegiatan penunjang pertanian” (agri support activities)
yang kemudian dikenal sebagai Catur Sarana Unit Desa yang harus tersedia di
setiap kecamatan atau wilayah Unit Desa (WILUD) dengan luasan sekitar 600-
1.000 ha (sawah), yang terdiri dari:
1. Kios sarana produksi, yang melaksanakan fungsi pengujian sarana dan
peralatan per
2. tanian;
3. Penyuruh Pertanian Lapangan (PPL) yang melaksanakan fungsi
pengujian dan penyuluhan;
4. Bank Unit Desa, yang melaksanakan fungsi perkreditan; dan
5. Koperasi Unit Desa (KUD) yang melaksanakan fungsi pengolahan dan
pemasaran hasil.
Lebih Lanjut, Syahyuti (2007) menawarkan pentingnya 8 (delapan)
kelembagaan dalam pengembangan agribisnis yang meliputi:
1. Kelembagaan penyediaan input usahatani,
2. Kelembagaan penyediaan permodalan,
3. Kelembagaan pemenuhan tenaga kerja,
4. Kelembagaan penyediaan lahan dan air irigasi,
5. Kelembagaan usahatani,
6. Kelembagaan pengolahan hasil pertanian,
7. Kelembagaan pemasaran hasil pertanian, dan
8. Kelembagaan penyediaan informasi (teknologi, pasar, dll)

Seperti telah dikemukakan, dalam praktek, kegiatan pemberdayaan seringkali


terfokus pada upaya perbaikan pendapatan (income generating). Pemahaman
seperti itu tidaklah salah, tetapi belum cukup. Sebab hakekat dari pemberdayaan
masyarakat adalah meningkatkan kemampuan, mendorong kemauan dan
keberanian, serta memberikan kesempatan bagi upaya-upaya masyarakat
(setempat) untuk dengan atau tanpa dukungan pihak luar mengembangkan
kemandiriannya demi terwujudnya perbaikan kesejahteraan (ekonomi, sosial, fisik
dan mental) secara berkelanjutan.
Mandiri di sini bukan berarti menolak bantuan "pihak-luar" tetapi
kemampuan dan keberanian untuk mengambil keputusan yang terbaik
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan:
1. Keadaan sumberdaya yang dimiliki dan atau dapat dimanfaatkan
2. Penguasaan dan kemampuan pengetahuan teknis untuk memanfaatkan
ilmu pengetahuan dan teknologi
3. Sikap kewirausahaan dan ketrampilan manajerial yang dikuasai budaya
4. Kesesuaian sosial-budaya dan kearifan tradisional yang diwariskan serta
dilestarikan secara turun-temurun
Untuk mewujudkan perbaikan kesejahteraan tersebut banyak upaya yang
dapat dilakukan. Tetapi untuk mewujudkan ide menjadi diperlukan adanya baik
dari jajaran birokrasi maupun tokoh-tokoh masyarakat (Beals and Bohlen, 1955).
Sayangnya, dalam kehidupan masyarakat sering dijumpai ketidak konsistenan dan
ketidakpastian kebijakan yang lain (inconsistenco and uncertainty policy), baik
karena perubahan-perubahan tekanan ekonomi maupun perubahan kondisi sosial-
politik. Oleh sebab itu, pemberdayaan masyarakat tidak cukup hanya terbatas
pada peningkatan pendapatan (income generating). Tetapi juga diperlukan
advokasi hukum/kebijakan, bahkan pendidikan politik yang cukup untuk
penguatan daya-tawar politis, kaitannya dengan pemberian legitimasi inovasi dan
atau ide-ide perubahan yang akan ditawarkan melalui kegiatan pemberdayaan
masyarakat (Gambar 11) sebagaimana dikemukakan oleh Mardikanto dan
Purwaka (2006). Artinya. tugas kegiatan pemberdayaan masyarakat tidak cukup
hanya berbicara tentang inovasi teknis, perbaikan manajemen dan efisiensi usaha,
tetapi harus juga mampu dan berani menyuarakan hak-hak politik pemangku
kepentingan yang lain, yang tahun terakhir kebijakan dan kepentingan pemerintah
yang sedang berkuasa.
LEGITIMASI
BIROKRASI
IDE AKSI
MASYARAKAT
INCONSISTENCY / UNCERTAINITY
PEMBERDAYAAN POLICY

DAYA-SAING
VOICE & CHOICE
POLITIK

PELEMBAGAAN/

PENGORGANISASIAN

PENYADARAN

INCOME GENERATING
ADVOKASI

Gambar 5.2 Proses Pemberdayaan Masyarakat


Hal ini penting, karena selama ini masyarakat kelas bawah yang lain lebih
sering dijadikan kendaraan politik. Dengan kata lain, tanpa adanya upaya
penyadaran dan penguatan daya saing politik, upaya pemberdayaan akan sia-sia
karena tidak memperoleh legitimasi jajaran birokrasi ataupun elit/tokoh
masyarakat.
Terkait dengan tugas pemberdayaan masyarakat tersebut, harus diakui
bahwa masyarakat lapisan bawah pada umumnya, sepanjang perjalanan sejarah
selalu menjadi "sub-ordinat" dari aparat birokrasi yang didukung dan atau
memperoleh tekanan dari para politikus dan pelaku bisnis.
PEMERINTAH
NASIONAL

PEMERINTAH PELAKU
POLITISI
PROPINSI BISNIS
PEMERINTAH
KABUPATEN
KOTA
MASYARAKAT KELAS BAWAH

Gambar 5.3
Oleh sebab itu, ide-ide atau program dan kegiatan penyuluhan
pemberdayaan masyarakat yang akan ditawarkan untuk memperbaiki
kesejahteraan masyarakat harus mampu mengakomodasikan kepentingan politikus
(pilkada, pemilu, dan visi-misi dan pelaku bisnis.
Hal ini disebabkan karena antara politikus dan pelaku bisnis sebenarnya
ada kepentingan yang saling membutuhkan, yaitu: politikus membutuhkan "biaya
perjuangan", sementara bisnis memerlukan dukungan politik. Dengan kata lain,
ide-ide, program dan kegiatan penyuluhan yang ditawarkan bukanlah sesuatu
yang bebas nilai, melainkan harus mampu meyakinkan politikus maupun pelaku
bisnis tentang manfaat ekonomi dan politis yang kuat.

KEPENTINGAN

POLITIK
PILKADA/ VISI/MISI

PEMILU

PROGRAM
DUKUNGAN
STABILITAS
Ekonomi,Politik,
KESEJAHTERAAN
DUKUNGAN Sosial, Budaya,
RAKYAT
Pertahanan,
POLITIK KEBIJAKAN
Keamanan

KEPENTINGAN

BISNIS

Gambar 5.4. Karakteristik Program Pemberdayaan

2. TAHAPAN KEGIATAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


Wilson (Sumaryadi, 2004) mengemukakan bahwa kegiatan pemberdayaan
pada setiap individu dalam suatu organisasi merupakan suatu siklus kegiatan yang
terdiri dari Gambar 5.4 diatas.
Pertama, menumbuhkan keinginan pada diri seseorang untuk berubah dan
memperbaiki, yang merupakan titik-awal perlunya pemberdayaan. Tanpa adanya
keinginan untuk berubah dan memperbaiki, maka semua upaya pemberdayaan
masyarakat dilakukan tidak akan memperoleh simpati, partisipasi masyarakat;
Kedua, menumbuhkan kemauan dan keberanian untuk melepaskan diri dari
kenikmatan dan atau yang dirasakan, untuk kemudian mengambil keputusan
mengikuti pemberdayaan demi terwujudnya perubahan dan perbaikan yang
diharapkan;

Keinginan

untuk berubah

Tumbuhnya kompetensi Kemauan dan


untuk berubah keberanian utnuk
berubah
Peningkatan efektivitas dan Kemauan untuk
efisiensi pemberdayaan berpartisipasi

Tumbuhnya motivasi Peningkatan


baru untuk berubah
partisipasi

Gambar 5.5. Siklus Pemberdayaan Masyarakat

Ketiga, mengembangkan kemauan untuk mengikuti atau mengambil bagian


dalam kegiatan pemberdayaan yang memberikan manfaat atau perbaikan keadaan.
Keempat, peningkatan peran atau partisipasi dalam kegiatan pemberdayaan yang
telah dirasakan manfaat perbaikannya;
Kelima, peningkatan peran dan kesetiaan pada kegiatan pemberdayaan, yang
ditunjukkan berkembangnya motivasi motivasi untuk melakukan perubahan;
Keenam, peningkatan efektivitas dan efisiensi kegiatan pemberdayaan;
Ketujuh, peningkatan kompetensi untuk melakukan perubahan melalui kegiatan
pemberdayaan baru.

Di lain pihak, Lippit (1961) dalam tulisannya tentang perubahan yang


terencana, (Planned Change) merinci tahapan kegiatan pemberdayaan masyarakat
ke dalam 7 (tujuh) kegiatan pokok sebagaimana dikemukakan Kevin (....), yaitu:
1. Penyadaran, yaitu kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk menyadarkan
masyarakat tentang "keberadaannya", baik keberadaannya sebagai
individu dan anggota masyarakat, maupun kondisi lingkungannya yang
menyangkut lingkungan fisik/teknis, sosial budaya, ekonomi, dan politik.
Proses penyadaran seperti itulah yang dimaksudkan oleh Freire (1976)
sebagai tugas utama dari setiap kegiatan pendidikan.
2. Menunjukkan adanya masalah, yaitu kondisi yang tidak diinginkan yang
kaitannya dengan: keadaan sumberdaya (alam, manusia, sarana-
prasarana, kelembagaan, budaya, dan aksesbilitas), lingkungan fisik
teknis, sosial-budaya dan politis. Termasuk dalam upaya menunjukkan
masalah tersebut, adalah faktor-faktor penyebab terjadinya masalah,
terutama yang menyangkut kelemahan internal dan ancaman
eksternalnya.
3. Membantu pemecahan masalah, sejak analisis akar masalah, analisis
alternatif pemecahan masalah, serta pilihan alternatif pemecahan terbaik
yang dapat dilakukan sesuai dengan kondisi internal (kekuatan,
kelemahan) maupun kondisi eksternal (peluang dan ancaman) yang
dihadapi.
4. Menunjukkan pentingnya perubahan, yang sedang dan akan terjadi di
lingkungannya, baik lingkungan organisasi dan masyarakat (lokal,
nasional, regional dan global). Karena kondisi lingkungan (internal dan
eksternal) terus mengalami perubahan yang semakin cepat, maka
masyarakat juga harus disiapkan untuk mengantisipasi perubahan-
perubahan tersebut melalui kegiatan "perubahan yang terencana"
5. Melakukan pengujian dan demonstrasi, sebagai bagian dan implementasi
perubahan terencana yang berhasil dirumuskan. Kegiatan uji coba dan
demonstrasi ini sangat diperlukan, karena tidak semua inovasi selalu
cocok (secara: teknis, ekonomis, sosial-budaya, dan politik/kebijakan)
dengan kondisi masyarakatnya. Di samping itu, uji coba juga diperlukan
untuk memperoleh gambaran tentang beragam alternatif yang paling
"bermanfaat" dengan resiko atau korbanan yang terkecil.
6. Memproduksi dan publikasi informasi, baik yang berasal dari "luar"
(penelitian, kebijakan, produsen/pelaku bisnis, dll) maupun yang berasal
dari dalam (pengalaman, indege-nuous technology,maupun kearifan
tradisional dan nilai-nilai adat yang lain) Sesuai dengan perkembangan
teknologi, produk dan publikasi yang digunakan perlu disesuaikan
dengan karakteristik (calon) penerima manfaat penyuluhannya
7. Melaksanakan pemberdayaan/penguatan kapasitas, yaitu pemberian
kesempatan kepada kelompok lapisan bawah (grassroot) untuk bersuara
dan menentukan sendiri pilihan-pilihannya (voice and choice) kaitannya
dengan: aksesibilitas dalam pemenuhan kebutuhan serta partisipasi dalam
keseluruhan proses pembangunan, bertanggung-gugat (akuntabilitas
publik), dan penguatan kapasitas lokal.
Tentang hal ini, Tim Delivery (2004) menawarkan tahapan-tahapan kegiatan
pemberdayaan masyarakat yang dimulai dari proses seleksi lokasi sampai dengan
pemandirian masyarakat. Secara rinci masing-masing tahap tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Tahap 1. Seleksi lokasi
2. Tahap 2. Sosialisasi pemberdayaan masyarakat
3. Tahap 3. Proses pemberdayaan masyarakat:
a. Kajian keadaan pedesaan partisipatif
b. Pengembangan kelompok
c. Penyusunan rencana dan pelaksanaan kegiatan
d. Monitoring dan evaluasi partisipatif
4. Tahap 4. Pemandirian Masyarakat

2.1 Seleksi Lokasi/Wilayah


Seleksi wilayah dilakukan sesuai dengan kriteria yang disepakati oleh
lembaga, pihak-pihak terkait dan masyarakat. Penetapan kriteria penting agar
pemilihan lokasi dilakukan sebaik mungkin, sehingga tujuan pemberdayaan
masyarakat akan tercapai seperti yang diharapkan.

2.3 Sosialisasi Pemberdayaan Masyarakat


Sosialisasi, merupakan upaya mengkomunikasikan kegiatan untuk
menciptakan dialog dengan masyarakat. Melalui sosialisasi akan membantu untuk
meningkatkan pemahaman masyarakat dan pihak terkait tentang program dan atau
kegiatan pemberdayaan masyarakat yang telah direncanakan.
Proses sosialisasi menjadi menentukan atau ketertarikan masyarakat untuk
berpartisipasi (berperan dan terlibat) dalam program pemberdayaan masyarakat
yang dikomunikasikan.
3. PROSES PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Hakekat pemberdayaan masyarakat adalah untuk meningkatkan kemampuan
dan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya. Dalam proses
tersebut masyarakat bersama-sama melakukan hal-hal berikut:
1. Mengidentifikasi dan mengkaji potensi wilayah, serta peluang-
peluangnya. Kegiatan ini dimaksudkan agar masyarakat mampu dan
percaya diri dalam mengidentifikasi serta menganalisa keadaannya, baik
potensi maupun permasalahannya. Pada tahap ini diharapkan dapat
diperoleh gambaran mengenai aspek sosial, ekonomi dan kelembagaan.
Proses ini meliputi:
a. persiapan masyarakat dan pemerintah setempat untuk melakukan
pertemuan awal dan teknis
b. persiapan penyelenggaraan pertemuan,
c. pelaksanaan kajian dan penilaian keadaan, dan
d. pembahasan hasil dan penyusunan rencana tindak lanjut
2. Menyusun rencana kegiatan kelompok, berdasarkan hasil kajian,
meliputi:
a. Memprioritaskan dan menganalisa masalah-masalah
b. Identifikasi alternatif pemecahan masalah yang terbaik
c. Identifikasi sumber daya yang tersedia untuk pemecahan masalah
d. Pengembangan rencana kegiatan serta pengorganisasian
pelaksanaannya
3. Menerapkan rencana kegiatan kelompok
Rencana yang telah disusun bersama dengan dukungan fasilitas dari
pendamping selanjutnya diimplementasikan dalam kegiatan yang konkrit
dengan tetap memperhatikan realisasi dan rencana awal. Termasuk dalam
kegiatan ini adalah, pemantauan pelaksanaan dan kemajuan kegiatan
menjadi perhatian semua pihak, selain itu juga dilakukan perbaikan jika
diperlukan.
4. Memantau proses dan hasil kegiatan secara terus menerus secara
partisipatif (participatory monitoring and ecaluation/PME). PME ini
dilakukan secara mendalam pada semua tahapan pemberdayaan
masyarakat agar prosesnya berjalan dengan tujuannya. PME adalah suatu
proses penilaian, pengkajian dan pemantauan kegiatan, baik prosesnya
(pelaksanaan) maupun hasil dan dampaknya agar dapat disusun proses
perbaikan kalau diperlukan.

4. PEMANDIRIAN MASYARAKAT
Berpegang pada prinsip pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk
memandirikan masyarakat dan meningkatkan taraf hidupnya, maka arah
pemandirian masyarakat adalah berupa pendampingan untuk menyiapkan
masyarakat agar benar-benar mampu mengelola sendiri kegiatannya.
Proses pemberdayaan masyarakat terkait erat dengan faktor internal dan
eksternal. Dalam hubungan ini, meskipun faktor internal sangat penting sebagai
salah satu wujud self organizing dari masyarakat, namun kita juga perlu
memberikan perhatian pada faktor eksternalnya. Proses pemberdayaan masyarakat
mestinya juga didampingi oleh suatu tim fasilitator yang bersifat multidisplin. Tim
pendamping ini merupakan salah satu external factor dalam pemberdayaan
masyarakat. Peran tim pada awal proses sangat aktif tetapi akan berkurang secara
bertahap selama proses berjalan sampai masyarakat sudah mampu lanjutkan
kegiatannya secara mandiri.
Dalam operasionalnya inisiatif tim pemberdayaan masyarakat akan pelan-
pelan dikurangi dan akhirnya berhenti. Peran fasilitator akan dipenuhi oleh
pengurus kelompok atau pihak lain yang dianggap mampu oleh masyarakat.
Kapan waktu fasilitator tergantung kesepakatan bersama yang telah ditetapkan
sejak awal program dengan warga masyarakat. Berdasarkan beberapa pengalaman
dilaporkan bahwa Tim Fasilitator dapat dilakukan minimal 3 tahun setelah proses
dimulai dengan tahap sosialisasi. Walaupun tim sudah mundur, anggotanya tetap
berperan, yaitu sebagai penasehat atau konsultan bila diperlukan oleh masyarakat.
Secara skematis, mekanisme pembagian peran menurut periode antara tim PM dan
kelompok masyarakat dalam dalam proses pemberdayaan masyarakat. Selaras
dengan tahapan-tahapan kegiatan pemberdayaan yang telah dikemukakan
tersebut, tahapan kegiatan pemberdayaan dapat dibagi menjadi beberapa tahapan,
yaitu:
1. Penetapan dan pengenalan wilayah kerja
Sebelum melakukan kegiatan, penetapan wilayah kerja perlu
memperoleh kesepakatan antara Tim Fasilitator, Aparat pemerintah
setempat, (perwakilan) masyarakat setempat, dan pemangku kepentingan
yang lain (pelaku bisnis, tokoh masyarakat, aktivis LSM, akademisi, dll).
Hal ini, tidak saja untuk menghindari gesekan atau konflik kepentingan
antar semua pemangku kepentingan, tetapi juga untuk membangun
sinergi dan memperoleh dukungan berupa partisipasi dari seluruh
pemangku kepentingan, demi keberhasilan program dan kegiatan
pemberdayaan masyarakat yang akan dilakukan.
2. Sosialisasi Kegiatan, yaitu upaya mengkomunikasikan rencana kegiatan
pemberdayaan masyarakat yang akan dilakukan di wilayah tersebut.
Termasuk dalam sosialisasi kegiatan, perlu juga dikemukakan tentang
pihak-pihak terkait yang akan diminta partisipasi/keterlibatannya, peran
yang diharapkan, pendekatan, strategi serta langkah-langkah yang akan
dilakukan
3. Penyadaran masyarakat, yang seperti uraian di atas, merupakan
kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk menyadarkan masyarakat
tentang “keberadaannya”, baik sebagai individu dan anggota masyarakat,
maupun kondisi lingkungannya yang masyarakat, menyangkut
lingkungan fisik/teknis, sosial-budaya, ekonomi dan politik. Termasuk
dalam penyadaran, adalah
a. Bersama-sama masyarakat melakukan analisis keadaan yang
menyangkut potensi dan masalah, serta analisis faktor-faktor
penyebab terjadinya masalah yang menyangkut kelemahan internal
dan ancaman eksternalnya.
b. Melakukan analisis akar-masalah, analisis alternatif pemecahan
masalah, serta pilihan alternatif pemecahan terbaik yang dapat
dilakukan.
c. Menunjukkan pentingnya perubahan untuk memperbaiki
keadaannya, termasuk merumuskan prioritas perubahan, tahapan
perubahan, cara melakukan dan mencapai perubahan, sumberdaya
yang diperlukan, maupun peran bantuan (modal, teknologi,
manajemen, kelembagaan, dll.) yang masyarakat, termasuk
pemilihan pemimpin.
4. Pengorganisasian masyarakat, termasuk pemilihan pemimpin dan
kelompok-kelompok tugas (task group) yang akan dibentuk.
Pengorganisasian masyarakat ini penting karena untuk guna memecahkan
masalah dan atau memperbaiki keadaan sering kali tidak dapat dilakukan
secara individual (perorangan), tetapi memerlukan pengorganisasian
masyarakat. Temasuk dalam pengorganisasian adalah: pembagian peran,
dan pengembangan jejaring kemitraan.
5. Pelaksanaan kegiatan yang terdiri dari:
a. Berbagai pelatihan untuk menambah dan atau memperbaiki
pengetahuan teknis, keterampilan manajerial serta perubahan
sikap/wawasan
b. Pengembangan kegiatan, utamanya yang berkaitan dengan
peningkatan pendapatan (income generating) serta perlindungan,
pelestarian dan perbaikan/rehabilitasi sumberdaya alam, maupun
pengembangan efektivitas kelembagaan.
Kegiatan peningkatan pendapatan merupakan upaya terpenting untuk
membiayai kegiatan-kegiatan yang diperlukan maupun untuk meningkatkan
posisi-tawar dan membangun kemandirian. Peningkatan pendapatan, juga
memiliki arti penting agar masyarakat semakin yakin bahwa peran-bantuan yang
diberikan benar-benar mampu memperbaiki kehidupan mereka, minimal secara
ekonomi.
1. Advokasi Kebijakan, karena semua upaya pemberdayaan masyarakat
(peningkatan pendapatan, penguatan posisi-tawar, dll) memerlukan
dukungan kebijakan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat.
Kegiatan advokasi ini diperlukan guna memperoleh dukungan politik dan
legitimasi dari elit masyarakat (aparat pemerintah, pelaku bisnis, tokoh
masyarakat, pegiat LSM, akademisi, dll)
2. Politisasi, dalam arti terus menerus memelihara dan meningkatkan posisi-
tawar melalui kegiatan politik praktis. Hal ini diperlukan untuk
memperoleh dan melestarikan legitimasi dan keberlanjutan kebijakan
yang ingin dicapai melalui pemberdayaan masyarakat. Politisasi ini,
perlu dilakukan melalui beragam cara, seperti:
a. Menanam "virus" atau kader-kader perubahan yang memiliki
komitmen untuk mendukung pemberdayaan masyarakat, ke dalam
jajaran birokrasi, politisi, pelaku bisnis, dll.
b. Melakukan "pressure" melalui media-masa, forum ilmiah, dan
pengembangan "kelompok penekan" (pressure group).
c. Melakukan kegiatan aksi nyata melalui kelompok-kecil,
menunjukkan manfaat pemberdayaan masyarakat yang ditawarkan.

C. RANGKUMAN
Berpegang pada prinsip pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk
memandirikan masyarakat dan meningkatkan taraf hidupnya, maka arah
pemandirian masyarakat adalah berupa pendampingan untuk menyiapkan
masyarakat agar benar-benar mampu mengelola sendiri kegiatannya.
Sumadyo (2001) merumuskan tiga upaya pokok dalam setiap pemberdayaan
masyarakat, yang disebutnya sebagai Tri Bina, yaitu: Bina Manusia, Bina Usaha,
dan Bina Lingkungan. Terhadap rumusan ini, Mardikanto (2003) menambahkan
pentingnya Bina Kelembagaan, karena ketiga Bina yang dikemukakan (Bina
Manusia, Bina Usaha, dan Bina Lingkungan) itu hanya akan terwujud seperti
yang diharapkan, manakala didukung oleh efektivitas beragam kelembagaan yang
diperlukan.
Tahapan kegiatan pemberdayaan masyarakat ke dalam 7 (tujuh) kegiatan
pokok yaitu penyadaran, menunjukan adanya masalah, membantu pemecahan
masalah, menunjukan pentingnya perubahan, melakukan pengujian dan
demonstrasi, memproduksi dan publikasi informasi, serta melaksanakan
pemberdayaan/penguatan kapasitas.
Selaras dengan tahapan-tahapan kegiatan pemberdayaan yang telah dikemukakan
tersebut, tahapan kegiatan pemberdayaan dapat dibagi menjadi beberapa tahapan,
yaitu:
1. Penetapan dan pengenalan wilayah kerja
2. Sosialisasi Kegiatan,
3. Penyadaran masyarakat
4. Pengorganisasian masyarakat,
5. Pelaksanaan kegiatan
6. Advokasi Kebijakan
7. Politisasi

D. LATIHAN/TUGAS/EKSPERIMEN
1. Dalam melakukan bina kelembagaan ada 4 komponen dalam prinsipnya
salah satunya yaitu komponen kepentingan. Jelaskan maksud dari
komponen kepentingan tersebut.
2. Sebutkan apa saja upaya yang dilakukan dalam pelaksanaan bina
manusia?
3. Mengapa program dan kegiatan penyuluhan harus mampu
mengakomodasikan kepentingan politikus?
4. Menimbulkan keinginan untuk berubah merupakan tahap awal dalam
kegiatan pemberdayaan masyarakat, mengapa demikian? Jelaskan
alasannya!
5. Jelaskan Siklus pemberdayaan Masyarakat!

E. RUJUKAN
Beal, G.M. and J.B. Bohlen. 1955. How Farm Accept New Ideas. Iowa: Iowa
States College and Federal Office

Freire, P. 1973. Extention or Cummunicating in Education For Critical


Consciousness. New York: Seaberg Press

Hayami, Y dan M. Kikuchi. 1981. Asian Village Economy at The Crossroad. An


Economic Approach to Institutional Change. Tokyo: University of Tokyo
Press

Lippit, R.J Watson, and B. Westley. 1961. The Dynamic of Planned Change. New
York: Harcourt, Brace and World, Inc.

Mardikanto, T dan T.A.H. Purwaka. 2006. Pengembangan Badan Otorita UMKM


Untuk Menanggulangi Kaum
Mardikanto, Totok. 2010. Konsep-Konsep Pemberdayaan Masyarakat. Surakarta :
UNS Press.

Mosher, A.T. 1969. Getting Agriculture Moving. New York: A Praeger, Inc.
Publisher
Sumaryadi, I, N. 2004. Perencanaan Pembangunan Daerah Otonom dan
Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Citra Utama

BAB VI
PENDEKATAN DIREKTIF DAN NON DIREKTIF

A. PENDAHULUAN
Pelaksanaan upaya pembangunan dalam garis besarnya dapat dilaksanakan
dengan menggunakan pendekatan yang bersifat direktif atau pendekatan yang
bersifat non direktif. Pada pendekatan yang bersifat direktif, diambil asumsi
bahwa petugas tahu apa yang dibutuhkan dan apa yang baik untuk masyarakat.
Dalam pendekatan ini maka peranan petugas bersifat lebih dominan karena
prakarsa kegiatan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk keperluan
pembangunan datang dari petugas. Interaksi yang muncul lebih bersifat instruktif
dan masyarakat dilihat sebagai obyek.
Pada pendekatan yang bersifat non-direktif, maka diambil asumsi bahwa
masyarakat tahu apa sebenarnya yang mereka butuhkan dan apa yang baik untuk
mereka. Peranan pokok ada pada masyarakat, sedangkan petugas lebih bersifat
menggali dan mengembangkan potensi masyarakat. Prakarsa kegiatan dan sumber
daya yang dibutuhkan berasal dari masyarakat. Sifat interaksi adalah partisipatif
dan masyarakat dilihat sebagai subyek.
Mengingat keragaman dalam potensi masyarakat, diperlukan penyesuaian
antara pendekatan yang dipilih dikaitkan dengan potensi dari masyarakat dimana
kegiatan pembangunan itu dilaksanakan. Dalam pilihan pendekatan tersebut harus
tetap diingat bahwa upaya pembangunan haruslah merupakan upaya untuk
mewujudkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat. Hal ini dapat dianalogikan
dengan suatu konsep yang disebut konsep piring terbang.
Sesuai dengan hukum mekanika, maka suatu piringan yang berputar akan
bergerak naik jika mengalami peningkatan dalam kecepatan berputarnya dan akan
bergerak turun jika mengalami penurunan dalam kecepatan berputarnya. Potensi
masyarakat dapat digambarkan sebagai energi yang ada dalam sebuah piringan
yang berputar. Kecepatan berputar ini berbeda-beda antara satu kelompok
masyarakat dibandingkan dengan kelompok lainnya. Perbedaan inilah yang
menyebabkan adanya perbedaan ketinggian dari masing-masing piring tersebut.
Pada kelompok masyarakat yang sudah berkembang maka energi yang ada sudah
dikembangkan secara optimal sehingga tingkat perkembangannya lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain yang belum berkembang.
Dikaitkan dengan hukum mekanika dalam piring terbang tersebut, maka
posisi piring terbang akan dapat ditingkatkan dengan menambah kecepatan
berputarnya. Penambahan kecepatan ini bisa berasal dari luar maupun dari dalam.
Yang penting diperhatikan adalah penambahan perputaran harus dilakukan pada
saat yang tepat dan dengan arah yang sesuai, jika kita menginginkan terjadinya
peningkatan kedudukan piring terbang tersebut agar naik lebih tinggi dari posisi
semula. Penambahan perputaran yang terjadi secara tiba-tiba dapat menimbulkan
kegoncangan dan penambahan percepatan yang tidak sesuai dengan arah semula
justru akan menimbulkan keruntuhan.
1. Lingkup dan Sistematika
Dalam penerapan di lapangan, pilihan antara pendekatan direktif dan
non-direktif perlu disesuaikan dengan tingkat perkembangan msayarakatnya.
Masyarakatnya yang sudah mampu mendayagunakan potensi yang dimiliki
perlu didekati dengan pendekatan yang non-direktif sedangkan masyarakat
yang dalam tingkat perkembangan yang lebih awal bisa mulai didekati
dengan pendekatan direktif. Secara skematis hal ini bisa digambarkan sbb :

DIREKTIF

NON DIREKTIF

Gambar 6.1 Pendekatan dalam Pemberdayaan Masyarakat

Dalam pilihan pendekatan tersebut, arah pengembangan adalah untuk


secara bertahap menuju pendekatan yang lebih partisipatif atau bersifat
non-direktif meskipun mungkin diawali dengan pendekatan yang direktif atau
instruktif.

2. Keterkaitan materi dengan materi lain


Mengingat keragaman dalam potensi masyarakat, diperlukan
penyesuaian antara pendekatan yang dipilih dikaitkan dengan potensi dari
masyarakat dimana kegiatan pembangunan itu dilaksanakan. Dalam pilihan
pendekatan tersebut harus tetap diingat bahwa upaya pembangunan haruslah
merupakan upaya untuk mewujudkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat.
Dengan mengetahui pendekatan-pendekatan ini kita dapat memilih
pendekatan mana yang paling sesuai dalam melakukan pemberdayaan
masyarakat. Pendekatan direktif dan pendekatan non direktif ini memudahkan
para fasilitator dalam memberikan suatu informasi kepada masyarakat
sehingga masyarakat tersebut menjadi berdaya baik secara fisik dan metal.

B. PENYAJIAN MATERI
1. Pengertian
Dalam suatu kegiatan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, seorang
petugas biasanya datang ke kelompok masyarakat tertentu, membuat identifikasi
masalah dan sampai kepada suatu kesimpulan bahwa masyarakat memerlukan
program tertentu untuk meningkatkan taraf hidupnya. Program yang ditujukan
untuk memperbaiki keadaan masyarakat ini sebetulnya didasarkan pada asumsi
bahwa petugas mempunyai kemampuan untuk menetapkan "konsep baik-buruk"
dari masyarakat sasaran. Meskipun hal ini kelihatannya sederhana, masalah
sebenarnya justru tidak sederhana. Setiap orang bisa mempunyai pendapat
sendiri-sendiri tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan pendapat-pendapat
ini bisa berbeda satu sama lain. Banyak faktor yang menentukan pandangan
seseorang tentang baik-buruknya sesuatu, seperti misalnya faktor pengalaman,
pendidikan, harapan, motovasi dan sebagainya. Dengan demikian bisa terjadi
bahwa apa yang dianggap buruk oleh petugas belum tentu ditafsirkan sama oleh
masyarakat dan demikian juga apa yang dianggap baik oleh masyarakat belum
tentu mendapat penafsiran yang sama dari petugas.
Pada suatu pendekatan yang direktif, petugaslah yang menetapkan apa yang
baik atau buruk bagi masyarakat, cara-cara apa yang perlu dilakukan untuk
memperbaikinya dan selanjutnya menyediakan sarana yang diperlukan untuk
perbaikan tersebut. Dengan pendekatan seperti ini memang prakarsa dan
pengambilan keputusan berada ditangan petugas. Dalam prakteknya petugas
memang mungkin menanyakan apa yang menjadikebutuhan masyarakat atau cara
apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi suatu masalah, tetapi jawaban yang
muncul dari masyarakat selalu diukur dari segi baik dan buruk menurut petugas.
Dengan pendekatan ini memang banyak hasil yang telah diperoleh, tetapi terutama
untuk hal- hal yang bersifat tujuan jangka pendek, atau yang bersifat pencapaian
secara fisik. Pendekatan seperti ini menjadi kurang efektif untuk mencapai hal-hal
yang sifatnya jangka panjang atau untuk memperoleh perubahan-perubahan
mendasar yang berkaitan dengan perilaku. Penggunaan pendekatan direktif
sebetulnya juga mengakibatkan hilangnya kesempatan untuk memperoleh
pengalaman belajar dan menimbulkan kecenderungan untuk tergantung kepada
petugas. Pada pendekatan non-direktif, petugas tidak menempatkan diri sebagai
orang yang menetapkan apa yang baik dan apa yang buruk bagi masyarakat,untuk
membuat analisa dan mengambil keputusan untuk masyarakat atau menetapkan
cara-cara yang bisa dilakukan oleh masyarakat. Dengan menggunakan
pendekatan ini petugas berusaha untuk merangsang tumbuhnya suatu proses
penetapan sendiri (self determination) dan kemandirian (self- help). Tujuannya
adalah agar masyarakat memperoleh pengalaman belajar untuk pengembangan
diri dengan melalui pemikiran dan tindakan oleh masyarakat sendiri.

2. Kondisi Untuk Tumbuhnya "Self-directed Action"


Dari berbagai pengalaman pelaksanaan kegiatan masyarakat, sebagian
masyarakat memang berhasil berkembang dengan pendekatan non- direktif tetapi
ada juga mengalami kegagalan. Untuk tumbuhnya suatu self- directed action
sebagai hasil dari pendekatan dibutuhkan beberapa kondisi, yaitu :
1. Adanya sejumlah orang yang tidak puas terhadap keadaan mereka dan
sepakat tentang apa sebenarnya yang menjadi kebutuhan khusus mereka.
2. Orang-orang ini menyadari bahwa kebutuhan tersebut, hanya akan
terpenuhi jika mereka sendiri berusaha untuk memenuhi kebutuhan
tersebut.
3. Mereka memiliki, atau dapat dihubungkan dengan sumber-sumber yang
memadai untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Yang dimaksud dengan
sumber-sumber disini meliputi : pengetahuan, ketrampilan atau sarana
dan kemauan yang kuat untuk melaksanakan keputusan yang telah
ditetapkan bersama-sama.

3. Peran Petugas
Untuk terciptanya kondisi-kondisi seperti tersebut diatas, maka petugas dapat
mengambil peran untuk :
1. Menumbuhkan keinginan untuk bertindak dengan merangsang
munculnya diskusi tentang apa yang menjadi masalah dalam masyarakat.
2. Memberikan informasi, jika dibutuhkan tentang pengalaman kelompok
lain dalam mengorganisasi diri untuk menghadapi hal yang serupa.
3. Membantu diperolehnya kemampuan masyarakat untuk membuat analisa
situasi secara sistimatik tentang hakekat dan penyebab dari masalah yang
dihadapi masyarakat.
4. Menghubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang dapat
dimanfaatkan untuk membantu mengatasi masalah yang sedang dihadapi
mereka, sebagai tambahan dari sumber-sumber yang memang sudah
dimiliki masyarakat.
Dalam menjalankan pendekatan non-direktif, petugas dapat dihadapkan
kepada munculnya konflik-konflik diantara sesama anggota masyarakat.
Konflik yang tidak dapat dikendalikan dan diatasi dapat mengakibatkan
perpecahan, oleh karena itu petugas harus mampu mengenal adanya konflik
ini dan mengambil tindakan- tindakan untuk mengatasinya.

4. Keuntungan Pendekatan Non-direktif


1. Memungkinkan diperolehnya hasil yang lebih baik dalam keterbatasan
sumber yang ada. Pada dasarnya memang selalu ada keterbatasan dana,
tenaga maupun teknologi yang dimiliki oleh pemerintah atau lembaga
swasta. Dibukanya kesempatan keadaan masyarakat untuk
mengorganisasi kegiatan dengan menggunakan sumber-sumber yang ada
akan memberikan kesempatan kepada pemerintah/lembaga untuk
membantu lebih banyak kegiatan di tempat-tempat lainnya. Selain itu
kesempatan untuk mengorganisasi diri juga memungkinkan digalinya
potensi setempat yang semula tidak terlihat.
2. Membantu perkembangan masyarakat. Dengan diperolehnya
pengalaman belajar maka kemampuan masyarakat akan berkembang
diikuti dengan tumbuhnya rasa percaya diri akan kemampuan mereka
untuk mengatasi masalah.
3. Menumbuhkan rasa kebersamaan (we- feeling). Pengalaman bekerjasama
diantara sesama anggota masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah
bersama akan meningkatkan pengenalan diri diantara mereka sehingga
dapat dirasakan tumbuhnya rasa kebersamaan.

5. Keterbatasan Pendekatan Non-direktif


1. Petugas tidak dapat sepenuhnya menetapkan isi dan proses kegiatan serta
tidak dapat menjamin bahwa hasil akhir akan sesuai dengan
keinginannya.
2. Masyarakat yang sudah terbiasa dengan pendekatan direktif cenderung
tidak menyukai pendekatan yang non-direktifkarena dengan pendekatan
ini masyarakat "dipaksa" untuk terlibat secara aktif dan ikut bertanggung
jawab sepenuhnya atas keputusan yang ditetapkan.

C. RANGKUMAN
Pelaksanaan upaya pembangunan dalam garis besarnya dapat dilaksanakan
dengan menggunakan pendekatan yang bersifat direktif atau pendekatan yang
bersifat non direktif. Pada pendekatan yang bersifat direktif, diambil asumsi
bahwa petugas tahu apa yang dibutuhkan dan apa yang baik untuk masyarakat.
Dalam pendekatan ini maka peranan petugas bersifat lebih dominan karena
prakarsa kegiatan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk keperluan
pembangunan datang dari petugas. Interaksi yang muncul lebih bersifat instruktif
dan masyarakat dilihat sebagai obyek. Pada pendekatan yang bersifat non-direktif,
maka diambil asumsi bahwa masyarakat tahu apa sebenarnya yang mereka
butuhkan dan apa yang baik untuk mereka. Peranan pokok ada pada masyarakat,
sedangkan petugas lebih bersifat menggali dan mengembangkan potensi
masyarakat. Prakarsa kegiatan dan sumber daya yang dibutuhkan berasal dari
masyarakat. Sifat interaksi adalah partisipatif dan masyarakat dilihat sebagai
subyek.
Mengingat keragaman dalam potensi masyarakat, diperlukan penyesuaian
antara pendekatan yang dipilih dikaitkan dengan potensi dari masyarakat dimana
kegiatan pembangunan itu dilaksanakan. Dalam pilihan pendekatan tersebut harus
tetap diingat bahwa upaya pembangunan haruslah merupakan upaya untuk
mewujudkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat

D. LATIHAN/TUGAS/EKSPERIMEN
1. Pendekatan direktif dilakukan pada karakteristik masyarakat yang
bagaimana?
2. Manakah pendekatan yang paling efektif dalam menghadapi masyarakat
yang sangat mengetahui apa yang mereka butuhkan?
3. Apa keuntungan dan kelemahan dalam melakukan pendekatan direktif?
4. Bagaimana peran petugas dalam melakukan pendekatan non direktif?
5. Apakah ada pendekatan yang lebih efektif diantara kedua pendekatan
tersebut? Sebutkan alasannya!

E. RUJUKAN
Batten, T.R.(1978) Non- directive approach in group and community work.
Oxford: Oxford University Press.

Mardikanto, Totok. 2010. Konsep-Konsep Pemberdayaan Masyarakat. Surakarta:


UNS Press.

BAB VII
MODEL - MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
A. PENDAHULUAN
Tanggung jawab utama dalam program pembangunan adalah masyarakat
berdaya atau memiliki daya, kekuatan atau kemampuan. Kekuatan yang dimaksud
dapat dilihat dari aspek fisik dan material, ekonomi, kelembagaan, kerjasama,
kekuatan intelektual dan komitmen bersama dalam menerapkan prinsip-prinsip
pemberdayaan. Kemampuan berdaya mempunyai arti yang sama dengan
kemandirian masyarakat. Terkait dengan program pembangunan, bahwa tujuan
yang ingin dicapai adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi
mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan
mengendalikan apa yang mereka lakukan.
Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh
masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan serta
melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah-
masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya kemampuan yang dimiliki.
Daya kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif,
psikomotorik dan afektif serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik/material.
Kemandirian masyarakat dapat dicapai tentu memerlukan sebuah proses belajar.
Masyarakat yang mengikuti proses belajar yang baik, secara bertahap akan
memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan yang bermanfaat dalam proses
pengambilan keputusan secara mandiri. Berkaitan dengan hal ini, Sumodiningrat
(2000) menjelaskan bahwa keberdayaan masyarakat yang ditandai adanya
kemandiriannya dapat dicapai melalui proses pemberdayaan masyarakat.
Keberdayaan masyarakat dapat diwujudkan melalui partisipasi aktif
masyarakat yang difasilitasi dengan adanya pelaku pemberdayaan. Sasaran utama
pemberdayaan masyarakat adalah mereka yang lemah dan tidak memiliki daya,
kekuatan atau kemampuan mengakses sumberdaya produktif atau masyarakat
terpinggirkan dalam pembangunan. Tujuan akhir dari proses pemberdayaan
masyarakat adalah untuk memandirikan warga masyarakat agar dapat
meningkatkan taraf hidup keluarga dan mengoptimalkan sumberdaya yang
dimilikinya.
Secara sosial banyak masyarakat yang sampai saat ini tetap teridentifikasi
sebagai masyarakat marginal (terpinggirkan) dan tidak memiliki daya, kekuatan,
dan kemampuan yang dapat diandalkan serta tidak memiliki modal yang memadai
untuk bersaing dengan masyarakat kapitalis atau masyarakat pengusaha yang
secara sosial dan politik memiliki daya, kekuatan dan kemampuan yang memadai.
Secara ekonomis ketidakberdayaan masyarakat secara sosial, ekonomi
menjadi salah satu ganjalan bagi masyarakat untuk berdiri sama tinggi dan duduk
sama rendah dengan sesama saudaranya yang telah berhasil. Kondisi inilah yang
perlu dipahami dan dijadikan salah satu pertimbangan dalam pengambilan
kebijakan dan perencanaan penyusunan program, agar setiap kebijakan dan
program yang diambil tetap memperhatikan kondisi sosial budaya dan ekonomi
masyarakatnya.
Paradigma perencanaan pengelolaan dan pemberdayaan masyarakat yang
sentralistik yaitu program dirancang dari atas tanpa melibatkan masyarakat harus
diubah kearah peningkatan partisipasi masyarakat lokal secara optimal.
Pemberdayaan dapat diartikan sebagai suatu pelimpahan atau pemberian kekuatan
(power) yang akan menghasilkan hierarki kekuatan dan ketiadaan kekuatan,
seperti yang dikemukakan Simon (1993) bahwa pemberdayaan suatu aktivitas
refleksi, suatu proses yang mampu diinisiasikan dan dipertahankan hanya oleh
agen atau subjek yang mencari kekuatan atau penentuan diri sendiri (self-
determination). Sulistiyani (2004) menjelaskan lebih rinci bahwa secara
etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar "daya" yang berarti kekuatan
atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan
dimaknai sebagai proses untuk memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan, dan
atau proses pemberian daya, kekuatan atau kemampuan dari pihak yang memiliki
daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya.
Berdasarkan beberapa pengertian pemberdayaan yang dikemukakan tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya pemberdayaan adalah suatu
proses dan upaya untuk memperoleh atau memberikan daya, kekuatan atau
kemampuan kepada individu dan masyarakat lemah agar dapat mengidentifikasi,
menganalisis, menetapkan kebutuhan dan potensi serta masalah yang dihadapi dan
sekaligus memilih alternatif pemecahnya dengan mengoptimalkan sumberdaya
dan potensi yang dimiliki secara mandiri. Pranarka & Vidhyandika (1996)
menjelaskan bahwa ”proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan.
Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau
mengalihkan sebagian kekuatan. Kedua, kekuasaan atau kemampuan kepada
masyarakat agar individu lebih berdaya.

Lingkup dan Sistematika


Model pemberdayaan masyarakat sangat perlu untuk dilakukan karena
mampu melihat permasalahan yang terjadi di wilayah tertentu, dengan melibatkan
peran serta masyarakat dalam mengatasi permasalahan wilayah sekitar.
Rancangan model pemberdayaan masyarakat dalam upaya pengentasan
kemiskinan disesuaikan dengan peta permasalahan yaitu:
1. Potensi wilayah,
2. Program atau bantuan dari pihak luar dalam memajukan ekonomi
kerakyatan,
3. Persepsi masyarakat tentang bantuan atau program yang sudah ada, dan
4. Keberhasilan program atau bantuan dalam mengurangi kemiskinan.

Keterkaitan dengan materi lain


Upaya pemberdayaan masyarakat telah mendapat perhatian besar dari
berbagai pihak yang meliputi aspek perberdayaan ekonomi, sosial, dan politik.
Pemberdayaan masyarakat dalam hal ini adalah dengan memberikan akses kepada
masyarakat, lembaga, dan organisasi masyarakat dengan
memperoleh/memanfaatkan hak masyarakat bagi peningkatan kualitas
kehidupannya, karena penyebab ketidak berdayaan masyarakat disebabkan oleh
keterbatasan akses, kurangnya pengetahuan dan keterampilan, serta adanya
kondisi kemiskinan yang dialami sebagian masyarakat.
Melihat kegagalan pembangunan masyarakat pada masa lalu, dikarenakan
pelaksanaan program pembangunan yang tidak berdasar pada partisipasi
masyarakat. Karenanya, pemerintah saat ini lebih mengupayakan pada
pelaksanaan program pembangunan yang memberikan porsi terbesar pada upaya
pemberdayaan masyarakat, agar dapat meningkatkan kondisi sosial, ekonomi, dan
lingkungannya secara mandiri berkesinambungan. Pola ini mengharuskan untuk
menggunakan pendekatan bottom up di mana pada tataran pelaksanaan di
lapangan, dilakukan atas inisiatif dan aspirasi dari masyarakat. Paradigma inilah
yang mengisyaratkan perlunya memampukan. Oleh karena itu, pemberdayaan
masyarakat sangat penting untuk dilakukan dan dalam pelaksanaannya perlu peran
serta dari berbagai pihak demi tercapainya tujuan yang diinginkan.

B. PENYAJIAN MATERI
1. Model A (Locally Development) dalam pemberdayaan masyarakat
Model ini dapat diartikan pendekatan lokal terpusat (kelompok sasaran).
Tujuan pendekatan ini supaya proses akselerasi kemandirian sikap dan menumbuh
kembangkan sifat entrepreneurship dari anggota sasaran. Setiap kelompok terdiri
dari 5-10 unit usaha/perorangan. Kelompok sasaran ini yang sesungguhnya
sebagai pelaku dalam mencapai target dan tujuan yang akan dicapai. Karena
mereka yang akan merencanakan, mengorganisasikan, mengevaluasi, dan
monitoring dengan didampingi oleh seorang pendamping lapangan yang bertugas
mengarahkan, mendampingi, dan ikut dalam proses perencanaan, mengorganisasi,
dan evaluasi. Salah satu tugas utama seorang pendamping lapangan yaitu
membina moral kelompok sasaran, sehingga kelompok sasaran akan mendapat
manfaat dunia dan akherat. Kemanfaatan dan kesejahteraan hidup ini tentu
menjadi tujuan utama dari program terhadap komunitas bisnis dalam masyarakat.
Model pengembangan lokal menekankan bahwa perubahan dalam masyarakat
dapat dilakukan bila melibatkan partisipasi aktif yang luas disemua spektrum
masyarakat tingkat lokal, baik dalam tahap penentuan tujuan maupun pelaksanaan
tindakan perubahan. Pembangunan masyarakat adalah proses yang dirancang
untuk menciptakan kondisi-kondisi sosial – ekonomi yang lebih maju dan sehat
bagi seluruh masyarakat melalui partisipasi aktif mereka, serta berdasarkan
kepercayaan yang penuh terhadap prakasa mereka sendiri.

1. Kepemimpinan lokal
Dengan system kemasyarakatan lokal yang relatif masih bersifat organis
dengan pola interaksi harmonis, maka dalam perencanaan dan implementasi
program pengembangan masyarakat perlu dipertimbangkan, bahwa
pemimpin-pemimpin masyarakat masih menempati posisi kunci baik dalam
pembuatan keputusan maupun sebagai representasi masyarakat lokal itu
sendiri.
2. Jaringan Hubungan antar Kelompok (Intergroup relations)
Masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang besar, yang di dalamnya
berisikan unit-unit sosial yang lebih kecil yang disebut kelompok. Dalam
praktik pengembangan masyarakat, sesungguhnya yang dihadapi dan
dikembangkan adalah kelompok-kelompok warga masyarakat sehingga
menjadi sebuah jaringan kerja yang sinergis. Demikianlah mengapa
pengorganisasian dan pengembangan masyarakat (community organization
and community development), sering pula disebut sebagai ‘intergroup
relations’.

2. Model B (Social Planning) dalam pemberdayaan masyarakat


Model ini menekankan proses pemecahan masalah secara teknis terhadap
masalah sosial yang substantif, seperti kenakalan remaja, perumahan
(pemukiman), kesehatan mental dan masalah sosial lainnya. Selain itu juga, model
ini menganggap betapa pentingnya menggunakan cara perencanaan yang matang
dan perubahan yag terkendali yakni untuk mencapai tujuan akhir secara rasional.
Perencanaan dilakukan dengan sadar dan rasional, dalam pelaksanaannya juga
dilakukan pengawasan-pengawasan yang ketat untuk melihat perubahan-
perubahan yang terjadi.
Nicholas White seorang Direktur NGO Belgia, Chrisis group International
pernah mengatakan "If we fail to plan, we plan to fail". Perencanaan pada
sejatinya merupakan usaha secara sadar, terorganisir dan terus menerus dilakukan
guna memilih alternatif yang mencapai tujuan tertentu. Kaitannya dengan
perencanaan masyarakat untuk tujuan pemberdayaan maka lebih spesifik
perencanaan ini disebut sebagai perencanaan sosial (Social Planning).
Pada tingkatan kesejahteraan sosial perencanaan ini memiliki pengertian
sebagai serangkaian kegiatan yang terorganisir yang ditujukan untuk
memungkinkan individu, kelompok serta masyarakat dapat memperbaiki keadaan
mereka sendiri, menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada serta dapat
berpartisipasi dalam tugas-tugas pembangunan.
Asumsi dan tujuan sebuah perencanaan sosial tergantung pada model
perencanaan yang dipilih. Ada empat model dalam perencanaan:
1. Rasional Komprehensif
Prinsip utama model ini menunjukkan bahwa perencanaan merupakan suatu
proses yang teratur dan logis sejak diagnosis masalah sampai pada
pelaksanaan kegiatan (penerapan program).
2. Inkremental
Model ini terlahir sebagai penambah Model Rasional Komprehensif. Model
ini mengedepankan perubahan-perubahan kecil sebagai penambah pada
aspek-aspek program yang sudah ada, bukanlah mengadakan perubahan-
perubahan yang bersifat radikal.
3. Mixedscanning (Pengamatan terpadu/ Penyelidikan Campuran)
Model ini merupakan model jalan tengah dari kedua model sebelumnya.
Model perencanaan ini dikembangkan oleh Amitas Etzioni melalui karyanya
Mixedscanning: A Thord Approach to Decision Mixedscanning. Benang
merah model ini adalah tambahan-tambahan dari model Rasional
Komprehensif yang lebih pada fundamental dengan menjajaki alternatif-
alternatif utama yang dihubungkan dengan tujuan-tujuan dan Model
Inkremental yang disusun diatas keputusan-keputusan fundamental. Dari
keduanya dengan model ini didapatkan hal-hal yang ditail dan spesifik
sebagai keseluruhan pandangan.
4. Transaksi
Secara gamblang model ini lebih mudah dipahami karena model ini hanya
menekankan suatu model perencanaan yang mengedepankan interaksi dan
komunikasi antara planner dengan penerima perencanaan (pelayanan).
Pada proses perencanaan ini ada hal-hal yang harus dilewati dan dimengerti
secara sistematis, yaitu identifikasi masalah. Identifikasi masalah sangat erat
kaitannya dengan asesmen kebutuhan (Need Assesment). Asesmen kebutuhan
dapat diartikan sebagai penentuan besarnya atau luasnya suatu kondisi dalam
suatu populasi yang ingin diperbaiki atau penentuan kekurangan dalam kondisi
yang ingin direalisasikan.

3. Model C (Social Action) dalam pemberdayaan masyarakat


Model ini menekankan tentang betapa pentingnya penanganan kelompok
penduduk yang tidak beruntung secara terorganisasi, terarah, dan sistematis. Juga,
meningkatkan kebutuhan yang memadai bagi masyarakat yang lebih luas dalam
rangka meningkatkan sumber atau perlakuan yang lebih sesuai dengan keadilan
sosial dan demokrasi. Model ini bertujuan mengadakan perubahan yang mendasar
didalam lembaga utama atau kebiasaan masyarakat. Model aksi sosial ini
menekankan pada pemerataan kekuasaan dan sumber-sumbernya, atau dalam hal
pembuatan keputusan masyarakat dan mengubah dasar kebijakan organisasi-
organisasi formal.
Aksi sosial merupakan upaya untuk menggerakkan warga masyarakat untuk
mendapatkan atau menciptakan sumber-sumber dalam memenuhi kebutuhan.
Pekerja sosial berupaya membimbing agar warga masyarakat menyadari akan
kekurangan, memahami potensi-potensi atau sumber-sumber yang dimilikinya
dan berupaya mengatasi masalah secara bersama.
Aksi sosial adalah suatu kegiatan yang terkoordinasikan untuk mencapai
tujuan perubahan kelembagaan dalam rangka memenuhi kebutuhan, memecahkan
masalah, mengoreksi ketidakadilan atau meningkatkan kualitas hidup manusia.
Terjadi atas inisiatif dari tenaga profesional di bidang kesejahteraan sosial,
ekonomi, politik, agama, militer, orang-orang yang secara langsung terkena
masalah (Drs. Hudri : Ensiklopedia Mini Pekerjaan Sosial) Aksi sosial adalah
usaha-usaha untuk mengadakan perubahan atau pencegahan terhadap praktik
dalam situasi sosial yang telah ada didalam masyarakat melalui pendidikan,
propaganda, persuasi atau pertukaran melalui tujuan yang dianggap baik oleh
perencana aksi sosial.
Tujuan dan sasaran aksi sosial adalah perubahan fundamental dalam
kelembagaan dan struktur masyarakat melaui proses pendistribusian kekuasaan,
sumber dan pengambilan keputusan. Pendekatan aksi sosial didasari suatu
pandangan bahwa masyarakat adalah sistem klien yang sering kali menjadi
“korban” ketidakadilan struktur Aksi sosial berorientasi pada tujuan proses dan
tujuan hasil. Masyarakat diorganisir melalui penyadaran, pemberdayaan dan
tindakan aktual untuk mengubah struktur kekuasaan agar lebih memenuhi prinsip
demokrasi, kemerataan dan keadilan.
Aksi sosial diterapkan antara lain dalam :
1. Gerakan pengumpulan dana kesejahteraan sosial
2. Lobi untuk menggolkan peraturan perundang- undangan yang berlaku di
bidang kesejahteraan sosial
3. Gerakan nasional orang tua asuh
4. Kesetiakawanan sosial nasional
5. Bakti sosial, Gerakan jumat bersih dsb

C. RANGKUMAN
Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh
masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan serta
melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah-
masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya kemampuan yang dimiliki.
Keberdayaan masyarakat dapat diwujudkan melalui partisipasi aktif masyarakat
yang difasilitasi dengan adanya pelaku pemberdayaan. Tujuan akhir dari proses
pemberdayaan masyarakat adalah untuk memandirikan warga masyarakat agar
dapat meningkatkan taraf hidup keluarga dan mengoptimalkan sumberdaya yang
dimilikinya. Untuk mencapai tujuan itu maka dilakukanlah upaya pemberdayaan
masyarakat menggunakan tiga model pemberdayaan yaitu Model A (Locally
Development) dalam pemberdayaan masyarakat, Model B (Social Planning)
dalam pemberdayaan masyarakat, Model C (Social Action) dalam pemberdayaan
masyarakat.
1. Model A : Berorientasi pada proses, terlihat dari banyaknya penggunaan
metode dinamika kelompok. Pencapaian konsensus dan menghindari konfllik.
Petugas berperan sebagai enabler, yang memberi kesempatan kepada
masyarakat untuk mengalami proses belajar, melalui kegiatan pemecahan
masalah.
2. Model B : Berorientasi pada penugasan. Pemecahan masalah secara rasional
dan logis, untuk itu perlu mengumpulkan data dan analisa data sebelum
membuat perencanaan yang baik. Petugas berperan sebagai seorang ahli
(expert) dengan kemampuan teknis untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapi masyarakat.
3. Model C : Kadang-kadang berorientasi pada proses, kadang-kadang
berorientasi pada penugasan. Memanfaatkan konflik, konfrontasi dan aksi
langsung. Petugas berperan sebagai aktifis yang mampu memanfaatkan media
massa dan dukungan politis.

D. LATIHAN/TUGAS/EKSPERIMEN
1. Manakah model pemberdayaan yang cocok dilakukan dalam pemecahan
masalah secara teknis terhadap masalah sosial yang substantif ?
2. Sebutkan tujuan akhir dari proses pemberdayaan masyarakat dan alas an
pentingnya melakukan pemberdayaan masyarakat?
3. Jelaskan perbedaan dari masing-masing model pemberdayaan
masyarakat!
4. Dalam model B (Social Planning) Asumsi dan tujuan sebuah
perencanaan sosial tergantung pada model perencanaan yang dipilih.
Jelaskan empat model dalam perencanaan!
5. Sebutkan dan jelaskan bentuk penerapan model C (Social Action)!

E. RUJUKAN
Departemen sosial RI 1997. Panduan Penumbuhkembabangan Organisasi
Sosial Tingkat Desa/ Kelurahan dalam Usaha Kesejahteraan Sosial.
Jakarta: Pengarang

Ed. Earl Rubington and Martin S. Weinberg. 1995. The Study of Social Problem;
Seven Persfectives. New York: Oxford University Press.

Edi Suharto, Ph.D. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat.


Bandung: Refika Aditama.
Freire, P. 1973. Extention or Cummunicating in Education For Critical
Consciousness. New York: Seaberg Press

Hayami, Y dan M. Kikuchi. 1981. Asian Village Economy at The Crossroad. An


Economic Approach to Institutional Change. Tokyo: University of Tokyo
Press

Ife,jim. 2002. Community Development: Community Based alternative in an


Age of globalization. Australia: Parson education.

Lippit, R.J Watson, and B. Westley. 1961. The Dynamic of Planned Change. New
York: Harcourt, Brace and World, Inc.

Mardikanto, Totok. 2010. Konsep-Konsep Pemberdayaan Masyarakat. Surakarta :


UNS Press.

Suhartini, Rr. Dkk. 2005. Model-Model Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta :


Pustaka Pesantren.

Sumaryadi, I, N. 2004. Perencanaan Pembangunan Daerah Otonom dan


Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Citra Utama.

Uphoff,Norman.1986.Lokal institutional Development: an analytical sourcebook


with cases. Kumarin press.
BAB VIII
SITUASI BELAJAR DALAM MASYARAKAT

A. PENDAHULUAN
Belajar adalah proses perubahan perilaku secara aktif, proses mereaksi
terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu, proses yang diarahkan pada
suatu tujuan, proses berbuat melalui berbagai pengalaman, proses melihat,
mengamati, dan memahami sesuatu yang dipelajari. suatu proses perubahan
tingkah laku didalam diri manusia. Bila setelah selesai suatu usaha belajar tetapi
tidak terjadi perubahan pada diri individu yang belajar, maka tidak dapat
dikatakan bahwa pada diri individu tersebut telah terjadi proses belajar. Menurut
Slameto, (2010:2) berpendapat bahwa “konsep belajar ialah suatu proses usaha
yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang
baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi
dengan lingkungannya”.
Pada dasarnya untuk memperbaiki pemahaman masyarakat akan suatu hal
memerlukan konsep atau cara pembelajaran yang tepat baik dari segi konsep ,
situasi belajar dan penyampaian pemahaman agar dapat diterima oleh masyarakat
luas. Oleh karena itu diperlukan pemahaman konsep belajar di masyarakat yang
sesuai dengan karakteristik masyarakat agar dapat diterima dengan jelas oleh
masyarakat.

Lingkup dan sistematika


Belajar merupakan kegiatan sehari-hari yang dilakukan baik di lingkungan
formal, nonformal, maupun di masyarakat. Lingkungan formal yaitu sekolah, dan
institusi pendidikan, nonformal antara lain kursus-kursus dan pelatihan, serta
lingkungan masyarakat yang merupakan tempat interaksi sosial. Kegiatan Belajar
yang dialami oleh anak didik dan ada hubungannya dengan usaha pembelajaran
yang dilakukan oleh pendidik/guru. Pada sisi lain, kegiatan belajar juga berupa
perkembangan mental yang didorong oleh tindak pendidikan atau guru. Dengan
kata lain, belajar ada kaitannya dengan usaha atau rekayasa guru. Dari segi siswa,
belajar yang dialaminya sesuai dengan pertumbuhan jasmani dan perkembangan
mental, akan menghasilkan hasil belajar. Kemudian hal itu akan menghasilkan
program belajar sendiri sebagai perwujudan siswa menuju kemandirian. Dari segi
guru, kegiatan belajar siswa merupakan akibat dari tindakan mendidik yang
memberikan materi ajar sesuai dengan kriteria persiapan guru. Proses belajar
siswa tersebut menghasilkan perilaku baik yang dikehendaki oleh aturan
persekolahan sehingga menghasilkan anak didik yang berjiwa besar dalam dunia
pendidikan sekaligus menjadi orang yang benar-benar berbudi baik di mata
masyarakat.

Sistematika
1. Informasi verbal (Verbal information) Merupakan pengetahuan yang dimiliki
seseorang dan dapat diungkapkan dalam bentuk bahasa, lisan, dan tertulis.
Pengetahuan tersebut diperoleh dari sumber yang juga menggunakan bahasa,
lisan maupun tertulis. Informasi verbal meliputi ”cap verbal” dan
”data/fakta”. Cap verbal yaitu kata yang dimiliki seseorang untuk menunjuk
pada objek-objek yang dihadapi, misalnya ’kursi’. Data/fakta adalah
kenyataan yang diketahui, misalnya ’Ibukota negara Indonesia adalah
Jakarta’.
2. Kemahiran intelektual (Intellectual skill) Yang dimaksud adalah kemampuan
untuk berhubungan dengan lingkungan hidup dan dirinya sendiri dalam
bentuk suatu representasi, khususnya konsep dan berbagai lambang/simbol
(huruf, angka, kata, dan gambar).
3. Pengaturan kegiatan kognitif (Cognitive strategy)Merupakan suatu cara
seseorang untuk menangani aktivitas belajar dan berpikirnya sendiri, sehingga
ia menggunakan cara yang sama apabila menemukan kesulitan yang sama.
4. Keterampilan motorik (Motor skill)Adalah kemampuan seseorang dalam
melakukan suatu rangkaian gerak-gerik jasmani dalam urutan tertentu,
dengan mengadakan koordinasi antara gerak-gerik berbagai anggota badan
secara terpadu.
5. Sikap (Attitude)Merupakan kemampuan seseorang yang sangat berperan
sekali dalam mengambil tindakan, apakah baik atau buruk bagi dirinya
sendiri.
Keterkaitan materi dengan materi lain
Pemberdayaan masyarakat merupakan strategi pembangunan. Dalam
perspektif pembangunan ini, disadari betapa penting kapasitas manusia dalam
upaya meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal atas sumber daya materi
dan nonmaterial. sebagai suatu strategi pembangunan, pemberdayaan dapat
diartikan sebagai kegiatan membantu klien untuk memperoleh daya guna
mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan, terkait
dengan diri mereka termasuk mengurangi hambatan pribadi dan sosial dalam
melakukan tindakan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk
menggunakan daya yang dimiliki dengan mentransfer daya dari lingkungannya
(payne, 1997: 266 dalam buku “modern social work theory”). Dengan demikian
SDM merupakan suatu nilai penting dalam pengorganisasian dan pemberdayaan
masyarakat sehingga diperlukan cara memahami proses pembelajaran masyarakat
agar dapat membentuk SDM yang baik dan dapat terorganisir dengan baik.

B. PENYAJIAN MATERI
1. Pengertian Konsep Belajar
Konsep belajar menurut teori belajar konstruktivisme yaitu pengetahuan baru
di konstruksi sendiri oleh peserta didik secara aktif berdasarkan pengetahuan yang
telah diperoleh sebelumnya .
Pendekatan konstruktivisme dalam proses pembelajaran didasari oleh kenyataan
bahwa tiap individu memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi kembali
pengalaman atau pengetahuan yang telah dimilikinya. Oleh sebab itu dapat
dikatakan bahwa pembelajaran konstruktivisme merupakan satu teknik
pembelajaran yang melibatkan peserta didik untuk membina sendiri secara aktif
pengetahuan dengan menggunakan pengetahuan yang telah ada dalam diri mereka
masing-masing. Guru hanya sebagai fasilitator atau pencipta kondisi belajar yang
memungkinkan peserta didik secara aktif mencari sendiri informasi,
mengasimilasi dan mengadaptasi sendiri informasi, dan mengkonstruksinya
menjadi pengetahuan yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki
masing-masing. Berikut tabel peranan peserta didik dan guru dalam pembelajaran
konstruktivisme.
Diharapkan melalui pembelajaran konstruktivisme, peserta didik dapat
tumbuh kembang menjadi individu yang penuh kepercayaan diri yang memiliki
sifat-sifat antara lain:
1. Bersikap terbuka dalam menerima semua pengalaman dan
mengembangkannya menjadi persepsi atau pengetahuan yang baru dan
selalu diperbaharui;
2. Percaya diri sehingga dapat berperilaku secara tepat dalam menghadapi
segala sesuatu;
3. Berperasaan bebas tanpa merasa terpaksa dalam melakukan segala sesuatu
tanpa mengharapkan atau tergantung pada bantuan orang lain;
4. Kreatif dalam mencari pemecahan masalah atau dalam melakukan tugas
yang dihadapinya.
Pengertian konsep belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku
didalam diri manusia. Bila setelah selesai suatu usaha belajar tetapi tidak terjadi
perubahan pada diri individu yang belajar, maka tidak dapat dikatakan bahwa
pada diri individu tersebut telah terjadi proses belajar. Menurut Slameto, (2010:2)
berpendapat bahwa “konsep belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan
seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya.“

2. CIRI-CIRI KEGIATAN BELAJAR


Ciri-ciri Pembelajaran Menurut Eggen & Kauchak (1998) Menjelaskan
bahwa ada enam ciri pembelajaran yang efektif, yaitu:
1. Siswa menjadi pengkaji yang aktif terhadap lingkungannya melalui
mengobservasi, membandingkan, menemukan kesamaan-kesamaan dan
perbedaan-perbedaan serta membentuk konsep dan generalisasi
berdasarkan kesamaan-kesamaan yang di temukan,
2. Guru menyediakan materi sebagai fokus berpikir dan berinteraksi dalam
pelajaran,
3. Aktivitas-aktivitas siswa sepenuhnya di dasarkan pada pengkajian,
4. Guru secara aktif terlibat dalam pemberian arahan dan tuntunan kepada
siswa dalam menganalisis informasi,
5. Orientasi pembelajaran penguasaan isi pel ajaran dan pengembangan
keterampilan berpikir, serta
6. Guru menggunakan teknik mengajar yang bervariasi sesuai dengan tujuan
dan gaya mengajar guru.

Adapun ciri-ciri pembelajaran yang menganut unsur-unsur dinamis dalam


proses belajar siswa sebagai berikut :
1. Motivasi belajar
Motivasi dapat dikatakan sebagai serangkaian usaha untuk menyediakan
kondisi-kondisi tertentu, sehingga seseorang itu mau dan ingin melakukan
sesuatu, dan bila ia tidak suka, maka ia akan berusaha mengelakkan
perasaan tidak suka itu. Jadi , motivasi dapat dirangsang dari luar, tetapi
motivasi itu tumbuh di dalam diri seseorang. dalam kegiatan belajar, maka
motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam di
ri seseorang/siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjalin
kelangsungan dan memberikan arah pada kegiatan belajar sehingga tujuan
yang dihendaki dapat di capai oleh siswa (Sardiman, A.M. 1992)
2. Bahan belajar
Yakni segala informasi yang berupa fakta, prinsip dan konsep yang di
perlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Selain bahan yang berupa
informasi, maka perlu diusahakan isi pengajaran dapat merangsang daya
cipta agar menumbuhkan dorongan pada diri siswa untuk memecahkannya
sehingga kelas menjadi hidup.
3. Alat Bantu belajar
Semua alat yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran, dengan maksud
untuk menyampaikan pesan (informasi)) dari sumber (guru maupun
sumber lain) kepada penerima (siswa). Informasi yang disampaikan
melalui media harus dapat di terima oleh siswa, dengan menggunakan
salah satu ataupun gabungan beberapa alat indera mereka. Sehingga,
apabila pengajaran disampaikan dengan bantuan gambar-gambar, foto,
grafik, dan sebagai nya, dan siswa diberi kesempatan untuk melihat,
memegang, meraba, atau mengerjakan sendiri maka memudahkan untuk
mengerti pengajaran tersebut.
4. Suasana belajar
Suasana yang dapat menimbulkan aktivitas atau gairah pada siswa adalah
apabila terjadi :
Adanya komunikasi dua arah (antara guru-siswa maupun sebaliknya) yang
intim dan hangat, sehingga hubungan guru-siswa yang secara hakiki setara
dan dapat berbuat bersama. Adanya kegairahan dan kegembiraan belajar.
Hal ini dapat terjadi apabila isi pelajaran yang di sediakan berkesesuaian
dengan karakteristik siswa. Kegairahan dan kegembiraan belajar juga
dapat ditimbulkan dari media, selain isi pelajaran yang disesuaikan dengan
karakteristik siswa, juga didukung oleh factor intern siswa yang belajar
yaitu sehat jasmani, ada minat, perhatian, motivasi, dan lain sebagainya.

3. TEORI-TEORI BELAJAR
Ada banyak teori belajar yang berasal dari berbagai aliran psikologi. Tiap
aliran psikologi tersebut memiliki tafsiran sendiri-sendiri tentang belajar, menurut
pandangannya masing-masing. Pandangan-pandangan itu umumnya berbeda satu
sama lain dengan alasan-alasan tersendiri. Menurut Bigge dan Hunt (1980 : 226)
dikutip dari Sukmadinata (1987) ada tiga keluarga atau rumpun besar teori belajar
menurut pandangan psikologi, yaitu teori disiplin mental, behaviorisme, dan teori
Cognitive Gestalt Field.
3.1 Teori disiplin mental
Menurut rumpun teori disiplin mental dari kelahirannya atau secara herediter,
anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Belajar merupakan upaya untuk
mengembankan potensi-potensi tersebut. Ada beberapa teori yang termasuk
rumpun disiplin mental, yaitu: disiplin mental theistik, disiplin mental
humanistik, naturalisme dan apersepsi.
a. Teori disiplin mental theistik
Teori mental theistik berasal dari psikologi daya (phsycology faculty).
Menurut teori ini individu atau anak mempunyai sejumlah daya mental
seperti daya untuk mengamati, menanggap, mengingat, berpikir,
memecahkan masalah, dan sebagainya. Belajar merupakan proses melatih
daya-daya tersebut. Kalau daya-daya tersebut terlatih maka dengan mudah
dapat digunakan untuk menghadapi atau memecahkan berbagai masalah.
b. Teori disiplin mental humanistik
Teori disiplin mental humanistik berasal dari psikologi humanisme klasik
dari Plato dan Aristoteles. Menurut rumpun psikologi teori disiplin mental
ini individu mengembangkan diri dari kekuatan, kemampuan, dan potensi-
potensi tertentu, dan potensi-potensi individu. Potensi-potensi itu perlu
dikembangkan. Perbedaan dengan teori disiplin mental theitik, teori
tersebut menekankan bagian-bagian, latihan bagian, atau aspek tertentu.
Teori disiplin mental humanistik lebih menekankan keseluruhan, keutuhan.
Pendidikannya menekankan pendidikan umum (general education). Kalau
seseorang menguasai hal-hal yang bersifat umum akan mudah ditransfer
atau diaplikasikan kepada hal-hal lain yang bersifat khusus.
c. Teori naturalisme atau natural unfoldment atau self actualization
Teori ini berpangkal dari Psikologi Naturalisme Romantik dengan tokoh
utamanya Jean Jacques Rousseau. Sama dengan kedua teori sebelumnya
potensi atau kemampuan. Kelebihan teori ini adalah mereka berasumsi
bahwa individu bukan saja mempunyai potensi dan kemampuan untuk
berbuat atau melakukan berbagai tugas, tetapi juga memiliki kemampuan
dan kemampuan untuk belajar dan berkembang sendiri. Agar anak dapat
berkembang dan mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya
pendidik atau guru perlu menciptakan situasi yang permisif yang jelas.
Melalui situasi demikian, ia dapat belajar sendiri dan mencapai
perkembangan secara optimal.
d. Teori apersepsi
Teori apersepsi disebut juga Herbatisme, bersumber pasa Psikologi
Strukturalisme dengan tokoh utama Herbart. Menurut aliran ini belajar
adalah membentuk massa apersepsi. Anak mempunyai kemampuan untuk
mempelajari sesuatu. Hasil dari suatu perbuatan belajar disimpan dan
membentuk suatu massa apersepsi,dan massa apersepsi ini digunakan
untuk mempelajari atau menguasai pengetahuan selanjutnya. Demikian
seterusnya semakin tinggi perkembangan anak, semakin tinggi pula massa
apersepsinya.

3.2 Behaviorisme
Rumpun teori ini disebut behaviorme karena sangat menekankan perilaku
atau tingkah laku yang dapat diamati dan diukur. Teori-teori dalam dalam
rumpun ini bersifat molekular, karena memandang kehidupan individu terdiri
dari unsur-unsur tersebut seperti halnya molekul-molekul. Ada beberapa ciri
dari rumpun teori ini yaitu: (1) mengutamakan unsur-unsur atau bagian-
bagian kecil; (2) bersifat mekanistis; (3) menekankan pada peranan
lingkungan; (4) mementingkan pembentukan reaksi atau respon; dan (5)
menekankan pentingnya latihan (Sukmadinata, 2003:168).
a. Teori S-R Bond (Stimulus Respond)
Teori ini bersumber dari psikologi koneksionime atau teori asosiasi dan
merupakan teori pertama dari dari rumpun Behaviorisme. Menurut konsep
mereka, kehidupan ini tunduk kepada hukum stimulus-respons atau aksi
reaksi. Setangkai bunga dapat merupakan suatu stimulus dan direspon oleh
mata dengan cara meliriknya. Kesan indah yang diterima individu dapat
merupakan stimulus yang mengakibatkan terrespon memetik bunga
tersebut. Demikian halnya dengan belajar, terdiri atas rentetan hubungan
stimulus respons. Belajar adalah upaya untuk membentuk hubungan
stimulus respons sebanyak-banyaknya.
b. Tokoh yang sangat terkenal mengembangkan teori ini adalah Thorndike
(1874-1949), dengan eksperimennya belajar pada binatang yang juga
berlaku bagi manusia yang disebut Thorndike dengan ”trial and error”.
Thorndike menghasilkan teori belajar ”connectionism” karena belajar
merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan
respons. Thorndike mengemukakan tiga prinsip atau hukum dalam belajar
yaitu: (1) Law of readiness, belajar akan berhasil apabila individu
memiliki kesiapan untuk melakukan perbuatan tersebut; (2) Law of
exercise yaitu belajar akan berhasil apabila banyak latihan dan ulangan;
dan (3) Law of effect yaitu belajar akan bersemangat apabila mengetahui
dan mendapatkan hasil yang baik.
c. Teori Conditioning
Teori kedua dari behaviorisme adalah conditioning atau stimulus response
with conditioning. Teori ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari
teori koneksionisme. Tokoh utama teori ini adalah Watson dan Plavlov,
mereka percaya bahwa belajar pada hewan memiliki prinsip yang sama
dengan manusia. Belajar atau pembentukan perilaku perlu dibantu kondisi
tertentu.
d. Plavov melakukan percobaan dengan seekor anjing. Dalam percobaannya,
Plavlov ingin membentuk tingkah laku tertentu pada anjing. Dalam
keadaan lapar, sebelum diberikan makanan dibunyikan lonceng,
diperlihatkan makanan, dan air liur anjing keluar. Keadaan ini terus
menerus diulang: bunyikan lonceng, perlihatkan makanan, air liur anjing
keluar. Setelah beberapa kali dilakukan ternyata pada akhirnya setiap
lonceng berbunyi air liur anjing keluar, walau tampa diberikan makanan.
Dalam keadaan ini anjing belajar bahwa kalau lonceg berbunyi pasti ada
makanan sehingga menyebabkan air liurnya keluar.
e. Dari eksperimen itu dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk membentuk
tingkah laku tertentu harus dilakukan harus dilakukan secara berulang-
ulang dengan melakukan pengkondisian tertentu. Pengkondisian itu
dengan melakukan pancingan dengan sesuatu yang dapat menumbuhkan
tingkah laku itu.
f. Teori penguatan (reinforcement)
Teori penguatan atau reinforcement merupakan pengembangan lebih lanjut
dari teori koneksionisme. Kalau pada pengkondisian (conditioning) yang
diberi kondisi adalah perangsangannya (stimulus), maka pada teori
penguatan yang dikondisikan atau diperkuat adalah responnya.
g. Seorang anak yang belajar dengan giat dan dia dapat menjawab semua
pertanyaan dalam ulangan atau ujian, maka guru memberikan penghargaan
pada anak ini dengan nilai yang tinggi, pujian atau hadiah. Berkat
pemberian penghargaan ini, maka anak tersebut akan belajar lebih rajin
dan lebih bersemangat lagi.
3.3 Teori Cognitive Gestalt-Field
Teori belajar Gestalt (Gestal Theory) lahir di Jerman pada tahun 1912
dipelopori dan dikembangkan oleh Max Wertheimer (1880-1943) yang
meneliti tentang pengamatan dan problem solving, dari pengamatannya ia
menyesalkan penggunaan metode menghafal di sekolah, dan menghendaki
agar murid belajar dengan pengertian bukan hafalan akademis.
a. Teori Pemahaman (insight)
Suatu konsep yang penting dalam psikologi Gestalt adalah tentang insight
yaitu pengamatan dan pemahaman mendadak tentang hubungan-hubungan
antar bagian-bagian dalam suatu situasi permasalahan. Dalam pelaksanaan
pembelajaran teori Gestalt, guru tidak memberikan potongan-potongan
atau bagian-bagian bahan ajar, tetapi selalu dalam satu kesatuan yang
khusus. Guru memberikan satu kesatuan situasi atau bahan yang
mengandung persoalan-persoalan, dimana anak harus berusaha
menemukan hubungan antar bagian, memperoleh insight agar ia dapat
memahami keseluruhan situasi atau bahan ajar tersebut. Menurut teori
Gestalt ini pengamatan manusia pada awalnya bersifat global terhadap
objek-objek yang dilihat, karena itu belajar harus dimulai dari
keseluruhan, baru kemudian berproses kepada bagian-bagian. Pengamatan
artinya proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang
masuk melalui indera seperti mata dan telinga.
b. Teori belajar Goal Insight
Teori belajar Goal Insight menurut para ahli ialah individu selalu
berinteraksi dengan lingkungan. Perbuatan individu selalu bertujuan,
diarahkan kepada perbuatan hubungan dengan lingkungan. Belajar adalah
usaha untuk mengembangkan pemahaman tingkat tinggi. Pemahaman
yang bermutu tingkat tinggi adalah pemahaman yang telah teruji, yang
berisi kecakapan menggunakan suatu objek, fakta, proses, ataupun ide
dalam berbagai situasi. Pemahaman tingkat tinggi memungkinkan
seseorang bertindak inteligen, berwawasan luas, mampu memecahkan
berbagai masalah.
c. Teori belajar Cognitive Field
Kurt Lewin ( 1892-1947) yang mengembangkan teori ini, dengan menaruh
perhatian kepada kepribadian dan psikologi sosial. Lewin berpendapat
bahwa tingkah laku merupakan hasil interaksi antar kekuatan-kekuatan,
baik yang dari diri individu seperti tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan,
maupun dari luar diri individu seperti tantangan dan permasalahan. Medan
kekuatan psikologis dimana individu bereaksi disebut life space yang
mencakup perwujudan lingkungan dimana individu bereaksi, misalnya
orang-orang yang mereka temui, objek materiil yang ia hadapi dan fungsi-
fungsi kejiwaan yang mereka miliki

4. MENUMBUHKAN SELF DIRECTION ACTION


Kondisi Untuk Tumbuhnya Self Direction Action
Dari berbagai pengalaman kegiatan masyarakat, sebagian masyarakat memang
berhasil berkembang dengan pendekatan non direktif tetapi ada juga yang
mengalami kegiatan. Untuk tumbuhnya suatu self direction action sebagai hasil
dari pendekatan dibutuhkan beberapa kondisi, yaitu :
a. Adanya sejumlah orang yang tidak puas terhadap keadaan mereka dan
sepakat tentang apa sebenarnya yang menjadi kebutuhan khusus mereka.
b. Orang-orang ini menyadari bahwa kebutuhan tersebut, hanya akan
terpenuhi jika mereka sendiri berusaha untuk memenuhi kebutuhan
tersebut.
c. Mereka memiliki, atau dapat dihubungkan dengan sumber-sumber yang
memadai untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Peran Petugas Untuk Mendorong Terjadinya Self Direction Action


Untuk terciptanya kondisi-kondisi seperti tersebut, maka petugas dapat
mengambil peran untuk :
a. Menumbuhkan keinginan untuk bertindak dengan merangsang diskusi
tentang apa yang menjadi masalah dalam masyarakat.
b. Memberikan informasi, jika dibutuhkan tentang pengalaman kelompok
lain dalam mengorganisasi diri untuk menghadapi hal yang serupa.
c. Membantu diperolehnya kemampuan masyarakat untuk membuat analisa
situasi secara sistematis tentang hakikat dan penyebab dari masalah yang
dihadapi masyarakat.
d. Menghubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang dapat
dimanfaatkan untuk membantu mengatasi masalah yang sedang dihadapi
mereka, sebagai tambahan dari sumber-sumber yang memang sudah
dimiliki masyarakat.

Situasi belajar
Kondisi belajar adalah suatu keadaan yang mana terjadi aktifitas pengetahuan dan
pengalaman melalui berbagai proses pengolahan mental. Sedangkan menurut
Gagne dalam bukunya “Condition of learning” (1977) menyatakan “The
occurence of learningis inferred from a difference in human being’s performance
before and after being placed in a learning situation”. Maksudnya bahwa kondisi
belajar adalah suatu situasi belajar (learning situation) yang dapat menghasilkan
perubahan perilaku (performance) pada seseorang setelah ia ditempatkan pada
situasi tersebut.
Gagne membagi kondisi belajar atas dua, yaitu:
a. Kondisi internal (internal condition) adalah kemampuan yang telah ada
pada diri individu sebelum ia mempelajari sesuatu yang baru yang
dihasilkan oleh seperangkat proses transformasi.
b. Kondisi Eksternal (eksternal condition) adalah situasi perangsang di luar
diri si belajar. Kondisi belajar yang diperlukan untuk belajar berbeda-beda
untuk setiap kasus. Begitu pula dengan jenis kemampuan belajar yang
berbeda akan membutuhkan kemampuan belajar sebelumnya yang berbeda
dan kondisi eksternal yang berbeda pula. Gagne menyatakan bahwa
dibutuhkan belajar yang efektif untuk berbagai jenis atau kategori
kemampuan belajar.
c. Kondisi belajar dibagi atas lima kategori belajar sebagai berikut:
(a) Keterampilan intelektual (Intellectual Skill): untuk jenis belajar ini,
kondisi belajar yang dibutuhkan adalah pengambilan kembali
keterampilan bawaan (yang sebelumnya), pembimbing dengan kata-
kata atau alat lainnya, pendemonstrasian penerapan oleh siswa dengan
diberikan balikan, pemberian review.
(b) Informasi verbal (Verbal Information): untuk jenis belajar ini, kondisi
belajar yang dibutuhkan adalah pengambilan kembali konteks dari
informasi yang bermakna, kinerja (performance) dari pengetahuan
baru yang konstruktsi, balikan .
(c) Strategi kognitif (Cognitive Strategy/problem solving): untuk jenis
belajar ini, kondisi belajar yang dibutuhkan adalah pengambilan
kembali aturan-aturan dan konsep-konsep yang relevan, penyajian
situasi masalah baru yang berhasil, pendemonstrasian solusi oleh
siswa.
(d) Sikap (Attitude): untuk jenis belajar ini, kondisi belajar yang
dibutuhkan adalah pengambilan kembali informasi dan keterampilan
intelektual yang relevan dengan tindakan pribadi yang diharapkan.
Pembentukan atau pengingatan kembali model manusia yang
dihormati, penguatan tindakan pribadi dengan pengalaman langsung
yang berhasil maupun yang dialami oleh orang lain dengan
mengamati orang yang dihormati.
(e) Keterampilan motorik (Motor Skill): untuk jenis belajar ini, kondisi
belajar yang dibutuhkan adalah pengambilan kembali rangkaian unsur
motorik, pembentukan atau pengingatan kembali kebiasaan-kebiasaan
yang dilaksanakan, pelatiahn keterampilan-keterampilan keseluruahn,
balikan yang tepat. Setelah memahami penjelasan mengenai kondisi
belajar, tentunya dapat di pahami bahwa kondisi belajar merupakan
suatu keadaan yang mempengaruhi proses dan hasil belajar siswa,
sebab kondisi belajar yang baik akan mempengaruhi proses dan hasil
belajar yang baik, begitu pula sebaliknya.

5. FASILITASI DAN PENDAMPINGAN


Fasilitasi seringkali digunakan secara bersamaan dengan pendampingan yang
merujuk pada bentuk dukungan tenaga dan metodologi dalam berbagai program
pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Fasilitasi menjadi inti dari kegiatan
pendampingan yang dilakukan oleh tenaga khusus untuk membantu masyarkat
dalam berbagai sektor pembangunan. Kegiatan pendampingan dilakukan dalam
upaya mendorong partisipasi dan kemandirian masyarakat. Kegiatan
pendampingan menjadi salah satu bagian dalam proses pemberdayaan masyarakat.
Dalam pendampingan dibutuhkan tenaga yang memiliki kemampuan untuk
mentransfer pengetahuan. Sikap dan perilaku tertentu kepada masyarakat.
Disamping itu, perlu dukungan dan sarana pengembangan diri dalam bentuk
latihan bagi para pendamping

Prinsip-Prinsip Fasilitasi
a. Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat dalam pemberdayaan dipahami sebagai upaya
membangun ikatan atau hubungan yang menekankan pada tiga aspek ;
Pertama, partisipasi diarahkan pada fungsi. Kemandirian, termasuk
sumber-sumber, tenaga serta manajemen lokal. Kedua, penekanan pada
penyatuan masyarakat sebagai suatu kesatuan; terlihat dari adanya
pembentukan organisasi lokal termasuk di dalamnya lembaga adat yang
bertanggungjawab atas masalah sosial kemasyarakatan. Ketiga, keyakinan
umum mengenai situasi dan arah perubahan sosial serta masalah-masalah
yang ditimbulkannya. Aspek khusus dalam perubahan sosial yang menjadi
pemikiran pokok berbagai program pembangunan masyarakat, yaitu
adanya ketimpangan baik di dalam maupun di antara komunitas tersebut.
b. Melalui strategi “pengembangan masyarakat” diharapkan pemberdayaan
masyarakat adat dapat berlangsung secara dinamis sesuai dengan kondisi
sosio budaya, politik dan ekonomi masyarakat yang bersangkutan serta
hubungan dengan komunitas lainnya. Pendampingan sosial tidak saja
berkaitan dengan terpenuhinya kebutuhan dasar. Pengembangan sumber
daya manusia, atau penguatan kelembagaan tetapi juga berkaitan dengan
pengembangan kapasitas masyarakat untuk melepaskan diri dari belenggu
perbedaan rasial, ketidakseimbangan kelas dan gender, serta
menghapuskan penindasan mayoritas.
c. Berbasis Nilai dan Moral
Pendampingan tidak hanya dipandang sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan dasar hidup yang bersifat material seperti penyediaan lapangan
kerja, pemenuhan pangan, pendapatan, infrastruktur dan fasilitas sosial
lainnya. Pendamping harus dipandang sebagai upaya meningkatkan
kapasitas intelektual, keterampilan dan “sikap” atau nilai yang dijunjung
tinggi. Pendampingan dilakukan melalui pendekatan “manusiawi” dan
beradab untuk mencapai tujuan pembangunan. Artinya, dapat saja
sekelompok orang telah terbangun dalam arti berada pada standar hidup
layak, tetapi dengan cara-cara yang “tak pantas” dilihat dari perspektif
peningkatan kapasitas masyarakat. Jadi jelas bahwa pemberdayaan
merupakan cara-cara yang beradab dalam membangun masyarakat.
d. Penguatan Jejaring Sosial
Dalam konteks pendampingan sosial, aspirasi dan partisipasi masyarakat
dapat diperkuat melalui interaksi dan komunikasi saling menguntungkan
dalam bentuk jejaring (networking). Peningkatan kapasitas suatu
kelompok sulit berhasil jika tidak melibatkan komunitas lain yang
memiliki kepentingan dan hubungan yang sama. Pengembangan jejaring
perlu dilandasi pada pemahaman terhadap sistem relasi antar pelaku
berbasis komunitas dan lokalitas dengan asumsi bahwa pelaku memiliki
pemahaman yang sama tentang pengembangan jejaring. Dengan kata lain,
perlu dibangun pemahaman bersama antarpelaku seperti LSM, Perguruaan
Tinggi, Ormas, Bank, Lembaga Sosial, Pemerintah dan Lembaga
Internasional untuk membangun jejaring sosial.
e. Proses jejaring membutuhkan implementasi prinsip-prinsip kesetaraan,
bersifat informal, partisipatif, komitmen yang kuat, sinergisitas dan upaya
membangun kekuatan untuk membantu masyarakat memecahkan
permasalahan dan menemukan solusi dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan.
f. Kegiatan usaha produktif berbasis komunitas dan lokalitas diharapkan
dapat melibatkan pelaku atau lembaga lain, seperti organisasi pemerintah.
Keberhasilan jejaring sebagai media untuk perumusan kebijakan menjadi
sangat penting tetapi ini semua tergantung kepada komitmen semua pelaku
dalam jejaring tersebut.
g. Peranan pemerintah lokal lebih bersifat sebagai fasilitator bukan hanya
sebagai donatur. Pemerintah lokal perlu mengalokasikan dana untuk
masyarakat lapisan bawah atau pengusaha kecil di kawasan ini. Dalam hal
ini penguatan kelembagaan merupakan hal penting dalam pemberdayaan
masyarakat.
i. Pemerintah sebagai Fasilitator
Peran dan fungsi pemerintah dalam konsep pendampingan sosial berubah
tidak sekedar sebagai institusi pelayanan masyarakat tetapi dalam
masyarakat yang demokratis memiliki peran pokok sebagai fasilitator.
Pemerintah tidak hanya bertugas memberikan pelayanan umum saja tetapi
lebih ditekankan pada upaya mendorong kemampuan masyarakat untuk
memutuskan dan bertindak didasarkan pada pertimbangan lingkungan,
kebutuhan dan tantangan ke depan. Fasilitator tidak sekedar dituntut untuk
menguasai teknik tertentu untuk memfasilitasi tetapi juga harus mampu
membangun kemampuan pelaku lainnya mengenai program secara
keseluruhan.

C. LATIHAN
1. Jelaskan hubungan situasi belajar dengan keberhasilan proses belajar yang
ada di masyarakat
2. Apa fungsi petugas dalam menumbuhkan self direction action dalam
masyarakat?
3. Kenapa memahami situasi belajar dalam masyarakat dianggap penting dalam
pengembangan dan pengorganisasian masyarakat?
4. Apa output yang diharapkan dari proses pembelajaran kontruktivisme?
5. Lewin berpendapat bahwa tingkah laku merupakan hasil interaksi antar
kekuatan-kekuatan, baik yang dari diri individu seperti tujuan, kebutuhan,
tekanan kejiwaan, maupun dari luar diri individu seperti tantangan dan
permasalahan”. Jelaskan keterkaitan teori tersebut dengan proses belajar
dalam masyarakat !
D. RUJUKAN
Arsyad, Lincolin, dkk. 2011. Strategi Pembangunan Perdesaan Berbasis Lokal.
Cetakan 1. Unit Penerbit Dan Percetakan Stim Ykpn: Yogyakarta

Cruickshank, Donald R. 2014. Perilaku Mengajar. Jakarta: Salemba Humanika

Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran : Berorientasi Standar Proses


Pendidikan. Jakarta : kencana Perdana Media Group.

Pusat Promosi Kesehatan. 2010. Pemberdayaan Masyarakat dan Promosi


Kesehatan. Jakarta

BAB IX
PERAN DAN FUNGSI PENYULUH/ FASILITATOR
A. PENDAHULUAN
Istilah "fasilitator" adalah pekerja atau pelaksana pemberdayaan
masyarakat. Sedang Lippit (1958) dan Rogers (1983) menyebutnya sebagai "agen
perubahan (change agent), yaitu seseorang yang atas nama pemerintah atau
lembaga pemberdayaan masyarakat berkewajiban untuk mempengaruhi proses
pengambilan keputusan yang dilakukan oleh (calon) penerima manfaat dalam
mengadopsi inovasi. Karena itu, fasilitator haruslah profesional, dalam arti
memiliki kualifikasi tertentu baik menyangkut kepribadian, pengetahuan, sikap,
dan keterampilan memfasilitasi pemberdayaan masyarakat.
Fasilitator adalah orang yang memberikan bantuan dalam memperlancar
proses komunikasi sekelompok orang, sehingga mereka dapat memahami atau
memecahkan masalah bersama- sama. Fasilitator/ penyuluh bukanlah orang yang
bertugas hanya memberikan latihan, tetapi bimbingan dan juga nasihat. Fasilitator
harus menjadi pengarah yang baik untuk berbagai permasalahan. Tidak dapat
dipungkiri, peranan fasilitator sangat mendukung keberhasilan suatu Program-
program Pemberdayaan Masyarakat. Masyarakat dan pemerintah memerlukan
fasilitator untuk mendampingi program pemberdayaan masyarakat guna
mengentaskan kemiskinan dan menumbuhkan kemandirian serta daya masyarakat
yang kuat. Oleh karena itu penting untuk mengetahui bahwa fasilitator
mempunyai peran dan fungsi dalam proses pemberdayaan masyarakat.

Lingkup dan Sistematika


Dalam program dan kegiatan pemberdayaan, masyarakat difasilitasi atau
dipandu oleh fasilitator. Fasilitasi dalam hal ini mengandung pengertian
membantu dan menguatkan masyarakat agar mampu mengembangkan diri untuk
memenuhi kebutuhannya sesuai potensi yang dimilikinya. Secara umum pelaku
proses fasilitasi disebut fasilitator atau biasanya dalam proses pemberdayaan
masyarakat, biasa dipahami sebagai pendamping masyarakat. Fasilitator
Pemberdayaan Masyarakat adalah tenaga profesional yang bertugas memfasilitasi
proses kemandirian dan kedaulatan masyarakat dalam pembangunan dengan
melibatkan stakeholder melalui kegiatan penyadaran, pembelajaran, dan
penguatan kelembagaan masyarakat. Kedaulatan masyarakat berarti bahwa
pengelolaan program pembangunan dilakukan oleh, dari, dan untuk masyarakat
melalui proses demokrasi. Peran Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat adalah
membantu proses yang memungkinkan masyarakat mencapai tujuan mereka

Keterkaitan Materi Dengan Materi Lain


Pemberdayaan Masyarakat dapat diartikan sebagai suatu proses yang
dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah atau suatu lembaga
pemberdayaan masyarakat agar masyarakat selalu tahu, mau, dan mampu
mengadopsi inovasi demi tercapainya peningkatan produktivitas dan pendapatan
usaha tani guna memperbaiki mutu hidup atau kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan. Karena itu kegiatan pemberdayaan masyarakat akan membutuhkan
tenaga- tenaga fasilitator yang handal agar dapat melaksanakan kegiatan
pemberdayaan masyarakat yang direncanakan.

B. PENYAJIAN MATERI
1. Peran penyuluh/fasilitator

Secara konvensional, peran penyuluh hanya dibatasi pada kewajibannya


untuk menyampaikan inovasi dan atau mempengaruhi penerima manfaat
pemberdayaan melalui metode dan teknik- teknik tertentu sampai mereka
(penerima manfaat) itu dengan kesadaran dan kemampuannya sendiri mengadopsi
inovasi yang disampaikan. Tetapi, dalam perkembangannya, peran penyuluh/
fasilitator hanya terbatas pada fungsi menyampaikan inovasi dan mempengaruhi
proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh penerima manfaatnya, tetapi
ia harus mampu menjadi jembatan penghubung antara pemerintah atau lembaga
pemberdayaan masyarakat yang diwakili dengan masyarakatnya, baik dalam hal
menyampaikan inovasi atau kebijakan- kebijakan yang harus diterima dan
dilaksanakan oleh masyarakat, maupun untuk menyampaikan umpan balik atau
tanggapan masyarakat kepada pemerintah/ lembaga pemberdayaan yang
bersangkutan. Sebab, hanya dengan menempatkan diri pada kedudukan atau
posisi seperti itulah ia akan mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Dalam
arti, mampu membantu masyarakat memperbaiki mutu hidup dan
kesejahteraannya,
Di lain pihak ia akan memperoleh kepercayaan sebagai “agen pembaharuan”
yang dapat diterima dan dipercaya oleh masyarakat penerima manfaatnya.
Sehubungan dengan peran yang menjadi kewajiban dan tanggung-jawab setiap
penyuluh/ fasilitator seperti itu, Levin (1943) mengenalkan adanya 3 (tiga) macam
peran penyuluh yang terdiri atas
kegiatan-kegiatan :
1. Pencairan Diri Dengan Masyarakat Sasaran,
2. Menggerakkan Masyarakat Untuk Melakukan Perubahan
3. Pemantaban Hubungan Dengan Masyarakat Sasaran
Ketiga macam peran tersebut, oleh Lippit (1958) dikembangkan menjadi beberapa
peran lain yang lebih rinci, yaitu :
1. Pengembangan kebutuhan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam
tahapan ini, setiap penyuluh/fasilitator harus mampu memainkan perannya
pada kegiatan-kegiatan :
a. Diagnosa masalah atau kebutuhan-kebutuhan yang benar- benar
diperlukan (real need) masyarakat penerima manfaatnya.
b. Analisis tentang motivasi dan kemampuan masyarakat sasaran untuk
melakukan perubahan, sehingga upaya perubahan yang direncanakan
mudah diterima dan dapat dilaksanakan sesuai dengan sumber daya
(dana, pengetahuan keterampilan, dan kelembagaan) yang telah
dimiliki masyarakat penerima manfaatnya.
c. Pemilihan obyek perubahan yang tepat, dengan kegiatan awal yang
benar- benar diyakini pasti berhasil dan memiliki arti yang sangat
strategis bagi berlangsungnya perubahan- perubahan lanjutan di
masa- masa berikutnya.
d. Analisis sumber daya yang tersedia dan atau dapat digunakan oleh
penyuluh/ fasilitator yang bersama- sama penerima manfaatnya
untuk perubahan seperti yang direncanakan.
e. Pemilihan peran bantuan yang paling tepat yang akan dilakukan oleh
penyuluh/ fasilitator, baik berupa bantuan keahlian, dorongan/
dukungan untuk melakukan perubahan, pembentukan perubahan,
pembentukan kelembagaan, atau memperkuat kerjasama masyarakat
atau menciptakan suasana tertentu bagi terciptanya perubahan.
2. Menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan. Dalam tahapan
ini, kegiatan yang harus dilakukan oleh penyuluh fasilitator adalah:
a. Menjalin hubungan yang akrab dengan masyarakat penerima
manfaatnya
b. Menunjukkan kepada masyarakat penerima manfaatnya tentang
pentingnya perubahan-perubahan yang harus dilakukan, dengan
menunjukkan masalah-masalah dan kebutuhan-kebutuhan yang
belum dirasakan oleh masyarakat penerima manfaatnya,
c. Bersama-sama masyarakat, menentukan prioritas kegiatan,
memobilisasi sumberdaya (mengumpulkan dana, menyelenggarakan
pelatihan, membentuk dan mengembangkan kelembagaan), dan
memimpin (mengambil inisiatif, mengarahkan, dan membimbing)
perubahan yang direncanakan.
3. Memantabkan hubungan dengan masyarakat penerima manfaatnya,
melalui upaya- upaya :
a. Terus menerus menjalin kerja sama dan hubungan baik dengan
masyarakat penerima manfaatnya, terutama tokoh- tokohnya (baik
formal maupun tokoh informal),
b. Bersama-sama tokoh- tokoh masyarakat memantabkan upaya- upaya
perubahan dan merancang tahapan-tahapan perubahan yang perlu
dilaksanakan untuk jangka panjang, dan
c. Terus- menerus memberikan sumbangan terhadap perubahan yang
profesional melalui kegiatan penelitian dan rumusan konsep
perubahan yang akan ditawarkan.
Berkaitan dengan peran penerima manfaatnya, Mosher (1968) mengungkapkan
bahwa setiap penerima manfaatnya harus mampu melaksanakan peran ganda
sebagai :
1. Guru, yang berperan untuk mengubah perilaku (sikap, pengetahuan, dan
keterampilan) masyarakat penerima manfaatnya.
2. Penganalisis, yang selalu melakukan pengamatan terhadap kedaan
(sumberdaya alam, perilaku masyarakat, kemampuan dana dan
kelembagaan yang ada) dan masalah- masalah serta kebutuhan- kebutuhan
masyarakat penerima manfaatnya, dan melakukan analisis tentang
alternatif pemecahan masalah/ pemenuhan kebutuhan- kebutuhan tersebut.
3. Penasehat, untuk memilih alternatif perubahan yang paling tepat, yang
secara teknis dapa dilaksanakan, secara ekonomi menguntungkan, dan
dapat diterima oleh nilai- nilai budaya setempat.
4. Organisator, yang harus mampu menjalin hubungan baik dengan segenap
lapisan masyarakat (terutama tokoh- tokohnya), mampu menumbuhkan
kesadaran dan menggerakkan partisipasi masyarakat, mampu berinisiatif
bagi terciptanya perubahan- perubahan serta dapat memobilisasi
sumberdaya, mengarahkan dan membina kegiatan- kegiatan maupun
mengembangkan kelembagaan yang efektif untuk melaksanakan
perubahan yang direncanakan.

Lebih lanjut, Mardikanto (2003) menyampaikan beragam peran penyuluh/


fasilitator pemberdayaan masyarakat yang disebutnya sebagai edfikasi, yaitu
akronim dari :
1. Peran edukasi, yaitu berperan sebagai pendidik dalam arti untuk
mengembangkan proses belajar bersama penerima manfaatnya, dan terus
menanamkan pentingnya belajar sepanjang hayat kepada masyarakat
penerima manfaatnya.
2. Peran diseminasi inovasi, yaitu peran penyebarluasan informasi/ inovasi
dari “luar” kepada masyarakat penerima manfaatnya, atau sebaliknya; dan
dari sesama warga masyarakat kepada warga masyarakat yang lain (di
dalam maupun antar sistem sosial yang lain).
3. Peran fasilitasi, yaitu memberikan kemudahan dan atau menunjukkan
sumber- sumber yang diperlukan oleh penerima manfaat dan pemangku
kepentingan pembangunan lain. Dalam pengertian fasilitasi, termasuk di
dalamnya adalah peran mediasi atau sebagai perantara antara pemangku
kepentingan pembangunan.
4. Peran konsultasi, yaitu sebagai penasehat atau pemberi alternatif
pemecahan masalah yang dihadapi oleh masyarakat penerima manfaatnya
dan pemangku kepentingan yang lain.
5. Peran advokasi, yaitu memberikan peran bantuan kaitannya dengan
rumusan/ pengambilan keputusan kebijakan yang berpihak kepada
kepentingan masyarakat penerima manfaatnya (utamanya bagi kelompok
kelas bawah)
6. Peran supervisi, yaitu peran sebagai penyelia (supervisor) pelaksanaan
kegiatan advokasi dan pemberdayaan masyarakat yang ditawarkan dan
atau dilaksanakan oleh masyarakat penerima manfaatnya
7. Peran pemantauan (monitoring) dan evaluasi, yaitu peran untuk
melakukan pengamatan, pengukuran, dan penilaian atas proses dan hasil-
hasil pemberdayaan masyarakat, baik selama kegiatan masih sedang
dilaksanakan (on-going), maupun pada saat sebelum formatif) dan setelah
kegiatan dilakukan (ex-post/ sumatif)

2. FUNGSI FASILITATOR
Agar dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik, seorang
fasilitator perlu menyadari dan memahami empat fungsi kunci fasilitator di
masyarakat, yaitu:
1. Fungsi Penyadaran
Fungsi Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat terbagi menjadi dua fungsi
utama:
a. Mengembangkan komunikasi dialogis
 Membangun relasi sosial
 Membangun jejaring kemitraan
 Membangun solidaritas sosial
b. Memberikan motivasi
 Mengembangkan kesadaran masyarakat untuk menuju kondisi
hidup yang lebih baik
 Merancang perubahan kehidupan masyarakat

2. Fungsi Pembelajaran
a. Mengembangkan proses pembelajaran
b. Mengembangkan profesionalisme fasilitator
3. Fungsi Pelembagaan/Pengorganisasian
a. Pengorganisasian masyarakat
 Mengembangkan kapasitas kelembagaan masyarakat dan
pemerintahan
 Memperkuat posisi tawar, agar suara masyarakat lebih didengar
oleh pemerintah daerah
b. Melakukan mediasi
 Meningkatkan akses antarpemangku kepentingan
 Mengelola konflik di tengah masyarakat
c. Menciptakan sistem sosial yang dinamis
 Membangun visi dan kepemimpinan masyarakat
 Mengembangkan kontrol sosial
 Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya manusia
4. Fungsi Pengembangan Kemandirian/Otonomi/Kedaulatan Memfasilitasi
pembaruan di masyarakat :
 Mengembangkan inovasi untuk pemberdayaan masyarakat
 Memfasilitasi penerapan inovasi pemberdayaan masyarakat di
bidang/sektor kegiatan
Secara garis besar, fungsi utama fasilitator pemberdayaan masyarakat
meliputi fungsi fasilitasi, fungsi mediasi, dan fungsi advokasi.
1. Fungsi Fasilitasi;
Berupa sekumpulan kegiatan yang pada intinya membuat sesuatu berjalan
dengan baik dan dilakukan dan dilakukan dengan kesadaran penuh. Fasilitasi
diterjemahkan making thing easy atau membuat sesuatu hal menjadi mudah. Pada
kehidupan sehari-hari di tempat-tempat kerja fasilitator senantiasa menjadikan
sesuatu hal semakin mudah dengan cara menggunakan serangkaian teknik dan
metode untuk mendorong orang memberikan yang terbaik pada waktu mereka
bekerja dan berinteraksi untuk mencapai hasil.
Secara umum, fasilitaor diminta membantu orang untuk mengambil
keputusan dan mencapai hasil pada suatu pertemuan, sesi pengembangan tim,
pemecahan masalah secara berkelompok, dan kegiatan pelatihan.
Fasilitasi dapat dijelaskan dengan banyak cara . Beberapa definisi yang sering
dipakai adalah sebagai berikut:
1. Fasilitasi adalah memungkinkan atau menjadikan lebih mudah.
2. Fasilitasi adalah mendorong masyarakat membantu dirinya dengan cara
hadir bersama mereka , mendengarkan mereka, dan menanggapi
kebutuhan mereka.
3. Fasilitasi adalah mendukung individu, kelompok atau organisasi melalui
proses-proses partisipasi.
Fasilitasi adalah proses sadar dan sepenuh hati membantu suatu kelompok
multi pihak supaya sukses mencapai tujuan kelompok dan kelompok benar-benar
berfungsi sebagai kelompok dengan cara taat pada prinsip-prinsip partisipasi dan
dinamika kelompok.

2. Fungsi Mediasi;
Fasilitator pada intinya menjembatani beberapa pihak untuk dapat bekerja
secara sinergi.
a. Mediasi potensi
Seorang fasilitator diharapkan dapat membantu masyarakat memediasi
sehingga masyarakat bisa mengakses potensi–potensi dan sumber daya
yang dapat mendukung pengembangan dirinya, misalnya: sektor
swasta, perguruan tinggi, LSM, peluang pasar.
b. Mediasi berbagai kepentingan
Seorang fasilitator diharapkan juga dapat berperan sebagai orang yang
dapat menengahi apabila diantara kelompok atau individu di
masyarakat terjadi perbedaaan kepentingan. Perlu diingat fungsi ini
bukan berarti fasilitator yang memutuskan tetapi hanya perlu
mengingatkan masyarakat tentang konsistensi terhadap berbagai
kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Arti lain adalah
menyesuaikan berbagai kepentingan untuk mencapai tujuan bersama.
Jika diperlukan seorang fasilitator bisa membantu masyarakat dengan
memberikan berbagai alternatif kesepakatan dalam menyesuaikan
berbagai kepentingan demi tercapainya tujuan bersama. Untuk itu
seorang fasilitator harus netral dan tidak memihak kepada salah satu
kelompok saja.
3. Fungsi Advokasi;
Yaitu memberikan advokasi atau mewakili kelompok masyarakat yang
membutuhkan bantuan ataupun pelayanan dan mendorong para pembuat
keputusan/Kepala Desa/Lurah untuk mau mendengar, mempertimbangkan dan
peka terhadap kebutuhan masyarakat. Pada intinya mengajak orang yang
diadvokasi untuk berpikir seperti dia yang mengadvokasi.

Selain 3 fungsi utama yang telah disebutkan diatas, fasilitator pemberdayaan


masyarakat juga memiliki fungsi lain yakni :
1. Sebagai Narasumber
Artinya seorang fasilitator harus mampu menyediakan dan siap dengan
informasi-informasi termasuk pendukungnya yang berkaitan dengan
program, dalam hal ini PNPM Mandiri Perdesaan. Seorang fasilitator harus
mampu menjawab pertanyaan, memberikan ulasan, gambaran analisis
maupun memberikan saran atau nasehat yang kongkrit dan realistis agar
mudah diterapkan.
2. Sebagai Guru
Fungsi sebagai guru seringkali dibutuhkan untuk membantu masyarakat
dalam mempelajari dan memahami keterampilan atau pengetahuan baru
dalam upaya pemberdayaan masyarakat dan pelaksanaan program. Sebagai
fasilitator harus mampu menyampaikan materi yang dibutuhkan sesuai
dengan kondisi dan bahasa yang mudah dicerna oleh masyarakat serta
mudah diterapkan tahap demi tahap.
3. Sebagai Perangsang atau Penantang (Challenger)
Sering ditemui bahwa masyarakat jarang mengetahui dan mengenal potensi
dan kapasitasnya sendiri. Untuk itu seorang fasilitator harus mampu
merangsang dan mendorong masyarakat untuk menemukan dan mengenali
potensi dan kapasitasnya sendiri. Dengan fungsinya tersebut fasilitator
mampu mendorong masyarakat sehingga dapat melaksanakan berbagai
kegiatan pembangunan secara mandiri. Tetapi di satu sisi, seorang
fasilitator harus dapat berfungsi sebagai animator yakni ketika masyarakat
sudah secara penuh /mandiri dapat memutuskan segala sesuatu tanpa
bayang-bayang intervensi fasilitatornya.

C. RANGKUMAN
Fasilitator adalah orang yang memberikan bantuan dalam memperlancar
proses komunikasi sekelompok orang, sehingga mereka dapat memahami atau
memecahkan masalah bersama-sama. Program pendampingan dan pemberdayaan
masyarakat dapat dilakukan dengan pendidikan/penyuluhan terencana
berdasarkan SKKNI Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat. Fasilitator
Pemberdayaan Masyarakat (FPM) bagian penghubung pemerintah dan
stakeholder akan semakin memperkuat peran kelembagaan untuk bertanggung
jawab mengatasi persoalan ketidakberdayaan masyarakat. Peranan dan fungsi
fasilitator sangat mendukung keberhasilan suatu Program-program Pemberdayaan
Masyarakat.

D. TUGAS/ LATIHAN/ EKSPERIMEN


1. Jelaskan peran fasilitator yang mampu mendiagnosa masalah yang real need
pada masyarakat penerima manfaat.
2. Deskripsikan hubungan advokasi dengan fungsi fasilitator.
3. Jelaskan tahap yang dilakukan fasilitator dalam menggerakkan masyarakat
untuk melakukan perubahan.
4. Bagaimana upaya yang dilakukan fasilitator agar selalu dapat menjalin
hubungan yang baik dengan masyarakat penerima manfaat.
5. Jelaskan fungsi mediasi pada fasilitator pemberdayaan masyarakat.

E. RUJUKAN
Aditama, Tjandra Yoga. 2014. Kurikulum dan Modul Pelatihan Fasilitator
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) di Indonesia. Jakarta :
Kementerian Kesehatan RI.
Karwur, F. Ferry. 2010. Modul Pelatihan Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat.
Online.http://psflibrary.org/catalog/repository/Buku%20PFPM
%20%28110910%29.pdf. Diakses Desember 2016

Lippit, R.J. Watson, and B. Westley. 1958. The Dynamics of Planned Change.
New York: Harcourt, Brace and World, Inc

Mardikanto, Totok. 2010. Konsep-Konsep Pemberdayaan Masyarakat. Cetakan 1.


Surakarta: Fakultas Pertanian UNS Dengan UNS Press.

Mosher, A.T. 1968. Menciptakan Struktur Pedesaan Progresif. Jakarta: CV.


Yasaguna

Rogers, E.M. 1983. Diffusion of Inovation. New York: Free Press

BAB X
PRIMARY HEALTH CARE
DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA
A. PENYAJIAN MATERI
1. LATAR BELAKANG PRIMARY HEALTH CARE
Berakhirnya Perang Dunia ke II diikuti dengan tumbuhnya suatu semangat
untuk membangun dan memperbaiki kembali keadaan yang telah dihancurkan oleh
situasi peperangan. PBB memproklamasikan periode ini sebagai suatu "dekade
pembangunan" dan membantu pengerahan berbagai sumber dana dan sumber daya
untuk menilainya. Upaya ini telah memberikan perbaikan secara sosial ekonomi di
berbagai negara, tetapi juga mengandung beberapa kelemahan (Hadad, 1980).
Pada periode tahun 1970an, semakin dirasakan adanya kesenjangan antara
negara-negara maju dan negara sedang berkembang, karena negara maju telah
mengalami kemajuan sosial ekonomi yang jauh lebih pesat dibandingkan dengan
keadaan di negara-negara sedang berkembang. Keadaan di negara sedang
berkembang sendiri juga memperlihatkan adanya ketimpangan yang besar dalam
tingkat kesejahteraan dari berbagai kelompok sosial ekonomi yang ada. Bagian
terbesar dari penduduk di negara sedang berkembang ternyata belum ikut merasakan
manfaat pembangunan. Hasil pembangunan yang semula diharapkan akan menetes
kebawah ("trickle- down effect") ternyata hanya dinikmati oleh sekelompok lapisan
atas masyarakat. Indikator kemajuan pembangunan yang ditekankan kepada hal-hal
yang bersifat fisik dan ekonomi ternyata tidak sesuai dengan kenyataan yang
dirasakan oleh bagian terbesar masyarakat. Kenyataan ini akhirnya menumbuhkan
kesadaran baru untuk mencari pilihan strategi pembangunan yang lebih
memungkinkan peningkatan kwalitas hidup masyarakat secara keseluruhan (Hadad,
1980).
Sebagaimana dengan keadaan pembangunan pada umumnya, hasil
pembangunan di sektor kesehatan juga menunjukkan masih banyaknya hal-hal yang
memprihatinkan. Dari catatan WHO pada tahun 1972, terlihat bahwa rata-rata
pendapatan perkapita di negara-negara Asia dan Afrika berkisar antara US $ 20-25
dibandingkan dengan US $4.980 di USA dan US $ 3.400 di Perancis. Perbedaan
yang menyolok ini mempengaruhi tingkat kesehatan masyarakat, dimana tingkat
kematian balita di negara-negara sedang berkembang mencapai 30-50 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan negara-negara maju. Hal ini masih ditambah lagi
dengan angka kelahiran yang tinggi, alokasi anggaran pembangunan kesehatan
yang rendah dibandingkan dengan sektor lainnya, pelayanan kesehatan yang
terkotak-kotak dan spesialistis, penggunaan teknologi yang semakin tinggi dan
mahal, orientasi yang lebih banyak pada pada kuratif daripada pencegahan dan
kecenderungan untuk lebih mengutamakan kepentingan kesehatan sebagian kecil
masyarakat yang mampu daripada kepentingan masyarakat banyak. Dilihat dari segi
cakupan, upaya kesehatan yang ada ternyata hanya dimanfaatkan oleh sebagian kecil
masyarakat dan terutama yang tinggal di perkotaan. Dan meskipun terdapat keter-
batasan dalam sumber dana maupun sumber daya, tetapi yang terjadi adalah suatu
pembatasan yang ketat bahwa upaya pengobatan/kesehatan merupakan hak
"eksklusif" dari profesi kesehatan, sehingga yang terjadi adalah ketergantungan yang
semakin besar terhadap tenaga kesehatan profesional yang jumlahnya terbatas
(Djukanovic & Mach, 1975).
Melihat kenyataan ini, pada tahun 1973 WHO mengadakan studi
perbandingan di berbagai negara untuk mempelajari cara-cara penyelenggaraan
kegiatan pembangunan kesehatan yang lebih efektif dan mampu mencapai bagian
terbesar masyarakat, khususnya yang berada di daerah pedesaan (Newell, 1975).
Hasil studi ini kemudian disusul dengan rekomendasi yang selanjutnya menjadi
dasar bagi konsep "Kesehatan Untuk Semua pada tahun 2000 melalui Primary
Health Care", yang dicanangkan pada tahun 1978 di Alma Ata. Sejak saat ini
berbagai negara secara resmi menggunakan konsep PHC untuk kebijaksanaan
pembangunan di negaranya, termasuk Indonesia.

2. PERKEMBANGAN PHC DI INDONESIA


Di Indonesia sendiri, masalah ketimpangan dalam upaya kesehatan juga
dirasakan. Upaya kuratif lebih diutamakan daripada upaya pencegahan, sarana
pelayanan kesehatan diwujudkan dalam bentuk pembangunan rumah sakit yang
umumnya berada di perkotaan dan kecenderungan penggunaan teknologi kesehatan
yang canggih dan mahal dengan penanganan penderita yang terkotak-kotak oleh
spesialisasi. Meskipun bagian terbesar dari masyarakat tinggal di daerah pedesaan,
tetapi sarana dan petugas kesehatan bertumpuk di daerah perkotaan. Di lain pihak
sarana yang ada masih kurang dimanfaatkan secara optimal akibat adanya
kesenjangan antara "provider" dan "consumer". Hal ini mengakibatkan cakupan
pelayanan yang terbatas sehingga tidak banyak berpengaruh untuk meningkatkan
derajat kesehatan secara keseluruhan (Wardoyo, 1975).
Situasi ini merangsang tumbuhnya prakarsa dari berbagai pihak untuk
mencari suatu strategi pelayanan kesehatan masyarakat yang sesuai dengan kondisi
setempat. Pada tahun 1967 di Kampung Kerten, Solo dikembangkan suatu model
pelayanan kesehatan dengan cara asuransi sederhana yang disebut sebagai Dana
Sehat Pada tahun 1972 di Kelompok hal yang serupa juga muncul dan diperoleh
suatu pengalaman bahwa karena masyarakat memberi prioritas yang rendah untuk
kesehatan, diperlukan suatu pendekatan tidak langsung dengan mencoba ikut
membantu menangani masalah yang sifatnya health-related atau bahkan yang
non- health (Wardoyo, 1975; Johnston, 1983).
Melihat munculnya berbagai pendekatan yang tampaknya cukup efektif ini,
maka pada tahun 1975 Departemen Kesehatan membentuk sebuah tim kerja untuk
mengembangkan suatu pendekatan yang dapat meningkatkan cakupan dan derajat
kesehatan masyarakat secara efektif. Pada Rapat Kerja Kesehatan Nasional tahun
1976, konsep Pembinaan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) diperkenalkan
secara resmi kepada para Kepala Kanwil/Dinas Kesehatan seluruh Indonesia dan
stafnya. Pada tahun 1977 sebuah tim khusus kemudian melakukan sebuah quick
survey yang meliputi 30 desa di 6 propinsi dalam periode waktu sekitar 3 bulan,
untuk mempelajari berbagai pola tersebut. Ciri yang menonjol dalam berbagai
pendekatan yang ditemukan di lapangan tersebut adalah keterlibatan masyarakat
dalam penyelenggaraan upaya kesehatan melalui penggunaan kader kesehatan, dan
upaya penggalian dana setempat yang dikenal sebagai Dana Sehat. Kegi-
atan-kegiatan inilah yang kemudian disebut sebagai Pembinaan Kesehatan
Masyarakat Desa yang disingkat PKMD (Depkes, 1980).
Pada Rakerkesnas tahun 1977 PKMD secara resmi diterima sebagai salah
satu kebijaksanaan nasional dan sejak tahun ini istilah Pembinaan diganti dengan
Pembangunan dengan alasan bahwa kegiatan PKMD merupakan bagian integral dari
pembangunan desa (Soebekti, 1978). Pada tahun 1978, delegasi Indonesia yang
dipimpin oleh Menteri Kesehatan dalam Persidangan WHO/Unicef di Alma Ata
membawakan kebijaksanaan PKMD ini sebagai suatu kebijaksanaan nasional
pembangunan kesehatan di Indonesia (Ministry of Health of Indonesia, 1978).
Dalam perkembangan selanjutnya, sejak tahun 1984 mulai dikembangkan
suatu upaya untuk lebih meningkatkan keterpaduan kegiatan kesehatan dan keluarga
berencana, khususnya dalam kaitannya untuk menurunkan angka kematian bayi dan
anak serta pelembagaan norma keluarga kecil, bahagia dan sejahtera. Di tingkat
operasional, upaya ini dilaksanakan melalui Pos Pelayanan Terpadu atau Posyandu.
Dalam kegiatannya maka Posyandu terutama diarahkan pada lima program pokok,
yaitu imunisasi, pemberantasan diare dengan pemberian oralit, kesehatan ibu dan
anak, perbaikan gizi dan keluarga berencana. Meskipun demikian, tetap terbuka
kemungkinan untuk menambah dengan kegiatan kesehatan lain, sesuai dengan
situasi dan kondisi setempat. Dikaitkan dengan PKMD maka Posyandu adalah
merupakan salah satu bentuk kegiatan PKMD, dimana lingkup kegiatannya lebih
diarahkan kepada ke lima program prioritas tersebut.

3. PENGERTIAN PHC :

Menurut batasan pengertian yang dirumuskan dalam Deklarasi Alma Ata,


maka PHC diartikan sebagai: Upaya kesehatan primer yang didasarkan kepada
metoda dan teknologi yang praktis, ilmiah dan dapat diterima secara sosial, yang
terjangkau oleh semua individu dan keluarga dalam masyarakat melalui
partisipasinya yang penuh, serta dalam batas kemampuan penyelenggaraan yang
dapat disediakan oleh masyarakat dan pemerintah di setiap tahap
pembangunannya, dalam suatu semangat kemandirian (WHO & Unicef, 1978).
Oleh Departemen Kesehatan, PHC dijabarkan secara operasional dalam
bentuk PKMD , dengan batasan pengertian: rangkaian kegiatan masyarakat yang
dilakukan berdasarkan gotong royong dan swadaya dalam rangka menolong
mereka sendiri, untuk mengenal dan memecahkan masalah/kebutuhan yang
dirasakan oleh masyarakat, baik dalam bidang kesehatan maupun dalam bidang
yang berkaitan dengan kesehatan, agar mampu memelihara dan meningkatkan
kehidupannya yang sehat dan sejahtera (Departemen Kesehatan, 1984).
Dari batasan pengertian PHC oleh WHO & Unicef, terlihat bahwa PHC
merupakan upaya kesehatan yang didasarkan kepada teknologi tepat guna, dapat
diterima secara sosial (socially acceptable), terjangkau oleh masyarakat (accessible)
dan tidak mahal (affordable). Upaya kesehatan ini melibatkan masyarakat secara
aktif (partisipasi) dan didasarkan pada kemandirian. Dari pengertian PKMD menurut
Departemen Kesehatan terlihat bahwa PKMD merupakan kegiatan masyarakat
untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraannya, melalui
kegiatan-kegiatan mandiri yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan
kesehatan. WHO dan UNICEF menambahkan juga bahwa kegiatan PHC dapat
meliputi salah satu atau beberapa dari kegiatan-kegiatan berikut:
1. Pendidikan kesehatan.
2. Perbaikan gizi dan makanan.
3. Penyediaan air dan perbaikan sanitasi.
4. Pemeliharaan kesehatan ibu dan anak.
5. Imunisasi.
6. Pencegahan dan pengawasan penyakit-penyakit endemik.
7. Pengobatan.
8. Penyediaan obat-obatan pokok.

Dari pengertian PHC dan elemen-elemennya tersebut diatas, tampak bahwa


"cakupan" masalah dalam PHC tampak lebih "spesifik" dan "dibatasi" dalam
masalah kesehatan. Dari pengertian PKMD oleh Departemen Kesehatan, cakupan
"masalah" yang digarap lebih bersifat broad spectrum yaitu meliputi masalah
kesehatan dan yang berkaitan dengan kesehatan. Hal ini dapat dimengerti karena
beberapa kegiatan yang merupakan rintisan PKMD, seperti misalnya di
Banjarnegara, dimulai dari upaya pemecahan masalah non-kesehatan (misalnya
perbaikan irigasi, tungku sekam padi)(Wardoyo, 1975; Johnston, 1984). Oleh karena
itu pulalah dalam kegiatan PKMD sangat ditekankan pentingnya kerjasama lintas
sektoral, untuk pemecahan masalah yang sifatnya "non-kesehatan".
Dengan diresmikannya PKMD sebagai suatu kebijaksanaan nasional, maka
suatu prakarsa yang bersifat lokal sekarang diadopsi secara nasional. Di satu pihak
ini memberikan keuntungan karena upaya lokal yang sporadis sekarang digerakkan
dalam skala nasional, disertai dengan adanya dukungan sumber yang lebih be p73
sar. Dengan cara ini diharapkan dampak dari PKMD untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat akan lebih terasa secara nasional. Di pihak lain, upaya yang
semula lokal dan ditangani secara individual, sekarang berubah menjadi suatu target
yang harus dicapai dengan pembatasan waktu. Akibat sampingan yang segera terasa
adalah kegiatan-kegiatan yang sifatnya persiapan sosial tidak dilakukan dengan
memadai, sehingga di beberapa tempat kegiatan PKMD dilaksanakan secara
"karbitan". Hal ini berakibat beberapa kegiatan PKMD tidak terlaksana dengan baik
(Sasongko, 1984).

4. PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PHC

Salah satu prinsip penting dalam PHC adalah partisipasi masyarakat. Hal ini
merupakan suatu hal yang sangat mendasar sifatnya, karena salah satu
konsekuensinya adalah tindakan pengobatan/kesehatan yang semula merupakan hak
"eksklusif" profesi kesehatan sekarang di-ahli teknologi-kan kepada orang "awam",
dalam hal ini kepada seorang kader kesehatan. Akibatnya timbul tantangan yang
cukup keras, terutama yang berasal dari "oknum" profesi kesehatan (Mahler, 1981).
Tetapi karena jumlah petugas profesional memang terbatas dibandingkan dengan
besarnya permasalahan kesehatan, maka akhirnya kehadiran kader kesehatan sebagai
partner dalam upaya pelayanan kesehatan primer "bisa" diterima.
Adanya "keengganan" untuk mendudukkan kader kesehatan sebagai partner
dalam upaya pelayanan kesehatan primer tampaknya merupakan salah satu gejala
dari ketidaksamaan penafsiran tentang arti partisipasi masyarakat. Meskipun
perkataan "partisipasi" menjadi salah satu "jargon" politik yang populer, tetapi istilah
ini tampaknya ditafsirkan secara bervariasi (Sasongko, 1984).
Penafsiran yang berbeda-beda mengenai arti partisipasi ini berkisar dari
penafsiran partisipasi hanya sebagai keikutsertaan dalam suatu pelaksanaan kegiatan
yang telah diputuskan (oleh pihak lain) sebelumnya sampai dengan penafsiran yang
lebih utuh dimana partisipasi digambarkan sebagai suatu keterlibatan dalam suatu
proses pengambilan keputusan dengan berbagai konsekuensinya. Soetrisno Kh
(1985) menggambarkan berbagai derajat partisipasi masyarakat, mulai dari sekedar
menikmati hasil (kegiatan pembangunan) sampai dengan keterlibatan dalam
perencanaan. Hal ini erat kaitannya dengan kualitas partisipasi, mulai dari kualitas
yang paling rendah, yaitu partisipasi karena mendapat perintah, sampai dengan
kualitas yang paling tinggi, yaitu partisipasi yang disertai dengan kreasi atau daya
cipta. Jadi apakah sebetulnya yang dimaksud dengan partisipasi? Dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia, memang tidak dapat ditemukan perkataan partisipasi,
karena istilah ini memang merupakan suatu istilah yang "kontemporer" sebagai
pengindonesiaan dari istilah asing participation (Sasongko, 1984). Dalam waktu
belakangan ini istilah ini digantikan dengan istilah yang lebih "pribumi", yaitu peran
serta. Kamus Webster (1971) mengartikan participation sebagai kegiatan untuk
mengambil bagian atau ikut menanggung bersama orang lain. French dkk (1960)
mengartikan partisipasi sebagai suatu proses dimana dua atau lebih pihak-pihak yang
terlibat, saling pengaruh mempengaruhi satu sama lain dalam membuat keputusan
yang mempunyai akibat di masa depan bagi semua pihak. Dengan dasar pengertian
ini, Mulyono Gandadiputra (1978) menyimpulkan bahwa partisipasi mengandung
tiga elemen, yaitu : pengambilan keputusan atau pemecahan masalah, interaksi dan
kesederajatan kekuasaan.
Pengambilan keputusan atau pemecahan masalah berkaitan dengan suatu
proses untuk mengatasi adanya kesenjangan antara keadaan yang ada dan keadaan
yang diinginkan. Untuk berlangsungnya proses ini, maka semua pihak yang
(seharusnya) terlibat dalam pengambilan keputusan harus menyadari akan adanya
masalah, termotivasi untuk mengatasinya dan memiliki kemampuan serta sumber
untuk mengatasi masalah. Dalam partisipasi terkandung pengertian adanya
beberapa pihak yang terlibat melalui suatu proses interaksi. Interaksi yang
berlangsung harus didasari atas azas kesamaan atau kesederajatan kekuasaan dan
bukan didasari atas hubungan "atasan- bawahan". Ini tidak berarti bahwa tidak ada
perbedaan antara pihak-pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan, karena
masing-masing pihak bisa mempunyai status formal atau keahlian yang berbeda.
Tetapi yang penting adalah adanya interaksi yang dilandasi atas kesederajatan
kekuasaan dimana keahlian dan sumber-sumber yang dimiliki masing-masing fihak
lalu dipadukan untuk pemecahan masalah.
Dalam konteks PHC, maka partisipasi masyarakat merupakan hal yang
penting, karena upaya kesehatan primer merupakan suatu kegiatan kontak pertama
dari suatu proses pemecahan masalah kesehatan. Melalui partisipasi masyarakat
maka kesenjangan yang ada antara provider dan consumer dicoba untuk
dijembatani, melalui partisipasi masyarakat potensi setempat dicoba untuk
didayagunakan dan melalui partisipasi ini proses belajar akan berlangsung lebih
efektif (Haggard, 1944), sehingga mempercepat peningkatan kemampuan
masyarakat untuk menolong dirinya sendiri dalam hal kesehatan, seperti yang
menjadi tujuan dari pembangunan kesehatan (Dep. Kesehatan, 1982).

5. PERANAN DAN KEDUDUKAN KADER KESEHATAN DALAM PHC

Salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam PHC adalah menjadi kader
kesehatan. Seorang kader kesehatan merupakan warga masyarakat yang terpilih dan
diberi bekal keterampilan kesehatan melalui pelatihan oleh sarana pelayanan
kesehatan/Puskesmas setempat. Kader kesehatan inilah yang selanjutnya akan
menjadi motor penggerak atau pengelola dari upaya kesehatan primer. Melalui
kegiatannya sebagai kader ia diharapkan mampu menggerakkan masyarakat untuk
melakukan kegiatan yang bersifat swadaya dalam rangka peningkatan status
kesehatan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi kegiatan yang sifatnya
promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif.
Meskipun pengobatan tradisional atau self-treatment merupakan hal yang
sudah dikenal oleh masyarakat banyak, tetapi upaya kesehatan primer yang dikelola
oleh kader merupakan hal yang masih baru bagi masyarakat. Pada pengobatan
tradisional, misalnya oleh dukun bayi atau dukun patah tulang, maka pelaku aktif
kegiatan pengobatan tradisional merupakan figur yang sudah dikenal oleh
masyarakat karena disini biasanya terjadi proses "alih generasi" melalui faktor
keturunan. Hal ini memberikan suatu kredibilitas tersendiri bagi dukun ybs,
khususnya kredibilitas dalam segi kemampuan (competent credibility) maupun
kredibilitas dalam segi kepercayaan (safety credibility) (Rogers, 1973).
Pengelolaan kegiatan upaya kesehatan primer di lain pihak dilaksanakan oleh
kader Kesehatan yang sebelumnya seringkali tidak dikenal mempunyai keterampilan
kesehatan/pengobatan. Meskipun figur kader itu sendiri bukan orang yang asing bagi
masyarakat sekitarnya, tetapi peranannya sebagai seorang yang mempunyai
keterampilan di bidang kesehatan/pengobatan adalah merupakan hal baru bagi
masyarakat lingkungannya. Oleh karena itulah seorang kader seringkali memulai
kegiatannya tanpa bekal dari segi competent credibility. Dalam hal kader tersebut
sebelumnya memang sudah merupakan seorang tokoh masyarakat yang disegani,
maka disini kader tersebut setidaknya sudah memiliki safety credibility.
Faktor kredibilitas ini merupakan hal yang penting dimiliki oleh seorang
kader kesehatan, karena tanpa kredibilitas maka ia tidak akan dapat mengembangkan
peranannya untuk mengelola suatu upaya kesehatan primer. Disinilah peranan
petugas kesehatan atau lembaga pelayanan kesehatan profesional setempat menjadi
penting untuk membantu kader kesehatan memperoleh kredibilitas di mata
masyarakat lingkungannya (Sasongko, 1986b).
Competent credibility bisa diperoleh melalui pelatihan keterampilan di
bidang teknik-teknik kesehatan sederhana, sehingga seorang kader kesehatan
mampu memberikan nasihat-nasihat teknis kepada masyarakat yang
memerlukannya. Melalui keterampilan ini secara bertahap ia akan mengembangkan
citra-dirinya sebagai seorang yang dapat dipercaya (safety credibility). Bekal
kredibilitas ini akan membantunya untuk secara efektif menjalankan peran sebagai
pengelola upaya kesehatan primer. Petugas kesehatan setempat bisa membantu kader
untuk memperoleh kredibilitas ini jika antara petugas dan kader bisa dikembangkan
suatu interaksi yang bersifat partnership, jika pembimbingan (supervisi) dilaksana-
kan secara edukatif. Memperlakukan kader kesehatan hanya sekedar sebagai
perpanjangan tangan (extension) dari petugas atau bahkan sebagai "pembantu"
petugas akan menyebabkan kader kehilangan kredibilitasnya di mata masyarakat.
Bagi kader sendiri perlakuan seperti itu terhadap dirinya jelas bukan merupakan
sesuatu yang rewarding. Dampaknya akan terlihat dalam bentuk tidak berjalannya
upaya kesehatan primer yang dikelola kader atau dalam bentuk tingginya drop-out
kader.
Dalam pengembangan kader kesehatan terdapat unsur kesukarelaan
(volunteerism) yang merupakan hal penting, karena fungsi sebagai kader memang
merupakan suatu tugas sosial. Tetapi ini tidak berarti seorang kader tidak
memerlukan penghargaan (reward), baik yang sifatnya non-material ataupun yang
bersifat material. Tidak adanya mekanisme pemberian penghargaan untuk kader
dapat mempengaruhi kelestarian kegiatan kader. Oleh karena itu perlu
dikembangkan suatu mekanisme, dimana secara built-in fungsi sebagai kader
merupakan sesuatu yang menimbulkan kepuasan (rewarding). Kepuasan ini timbul
jika kader merasakan bahwa kredibilitasnya menjadi meningkat dengan aktivitasnya
sebagai kader.

B. RANGKUMAN
Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan masyarakat
untuk hidup sehat. Upaya kesehatan primer yang dilaksanakan dengan
mengikutsertakan masyarakat secara aktif merupakan medium untuk proses belajar
sosial sehingga sangat penting artinya untuk pencapaian tujuan pembangunan
kesehatan. Kegiatan PHC dapat berupa:
1. Pendidikan kesehatan.
2. Perbaikan gizi dan makanan.
3. Penyediaan air dan perbaikan sanitasi.
4. Pemeliharaan kesehatan ibu dan anak.
5. Imunisasi.
6. Pencegahan dan pengawasan penyakit-penyakit endemik.
7. Pengobatan.
8. Penyediaan obat-obatan pokok.
Partisipasi masyarakat merupakan hal yang penting dalam pelaksanaan PHC,
karena upaya kesehatan primer merupakan suatu kegiatan kontak pertama dari suatu
proses pemecahan masalah kesehatan. Melalui partisipasi masyarakat maka
kesenjangan yang ada antara provider dan consumer dicoba untuk dijembatani,
melalui partisipasi masyarakat potensi setempat dicoba untuk didayagunakan dan
melalui partisipasi ini proses belajar akan berlangsung lebih efektif. Selain itu
pemberdayaan kader kesehatan juga harus digiatkan. Baik melalui peningkatan
keterampilan, kemampuan juga tersedianya reward bagi mereka.

C. BACAAN YANG DIANJURKAN


Sasongko, Adi. 2000. Materi perkuliahan Pengorganisasian dan Pengembangan
Masyarakat. Depok: FKM UI

BAB XI
FASILITAS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
A. PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan karunia Tuhan yang sangat berharga dan merupakan
salah satu hak dasar manusia, kesehatan merupakan salah satu dari tiga faktor
utama selain faktor pendidikan dan pertumbuhan ekonomi yang menentukan
Indek Pembangunan Manusia (IPM). Peningkatan derajat kesehatan masyarakat
akan memberikan sumbangan nyata dalam pembangunan bangsa ini, untuk itu
dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya,
pembangunan kesehatan harus diarahkan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi semua orang dengan strategi
memberdayakan masyarakat melalui pengembangan berbagai Upaya Kesehatan
Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang didorong menuju Desa Siaga.
Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus merupakan aset untuk
keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk itu pembangunan kesehatan diarahkan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya sehingga dapat
terwujudnya Indonesia Sehat, yaitu masyarakat hidup dalam lingkungan yang
sehat dan berperilaku hidup bersih dan sehat serta mempunyai akses pelayanan
kesehatan masyarakat yang baik dan terjangkau dengan mengembangkan kesiap-
siagaan masyarakat bidang kesehatan ditingkat desa yang dikenal dengan Desa
Siaga.
Desa Siaga merupakan gambaran masyarakat yang sadar/tahu, mau dan
mampu untuk mencegah dan mengatasi berbagai ancaman/bahaya terhadap
kesehatan masyarakat. Keberhasilan Desa Siaga sebagai wujud upaya kesehatan
berbasis masyarakat sangat bergantung kepada ketepatan penerapan langkah-
langkah dalam pendekatan pendidikan dan pengorganisasian masyarakat dengan
cara melibatkan masyarakat sebagai subjek pembangunan dan bukan sebagai
objek pembangunan, diharapkan nantinya peran serta aktif masyarakat dalam
pembangunan kesehatan akan berjalan dengan baik dan kelestariannya akan
terjaga secara berkesinambungan.
Indikator keberhasilan desa siaga adalah meningkatnya kemandirian dan
pemberdayaan masyarakat untuk menolong dirinya dalam bidang kesehatan,
terlindunginya Ibu Hamil, Bayi dan Balita dari resiko kematian dengan
memberikan pelayanan kesehatan yang prima, adanya kesiapsiagaan masyarakat
menghadapi kegawatdaruratan, bencana dan kejadian luar biasa penyakit dan
masalah-masalah kesehatan lainnya, menurunnya angka kesakitan dan kematian
akibat penyakit menular, gizi buruk, kecelakaan, narkoba serta masyarakat hidup
dalam lingkungan yang sehat dengan menjalankan Prilaku Hidup Bersih dan
Sehat.
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) menjadi salah satu indikator bagi
keberhasilan pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif, hal ini didasarkan
pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1529/Menkes/SK/X/2010 tanggal 20 Oktober 2010 mengenai Pedoman Umum
Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif. Masyarakat di Desa atau
Kelurahan Siaga Aktif wajib melaksanakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS).

Lingkup dan Sistematika


Pengembangan Desa/ Kelurahan Siaga memerlukan dukungan dari berbagai
pihak. Kerja sama Kementerian Kesehatan bersama Kementerian Dalam Negeri
dalam bentuk Program Desa Siaga sebenarnya telah dimulai dan dikembangkan
sejak tahun 2006 melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
564/MENKEs/SK/VIII/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Desa
Siaga yang selanjutnya dikembangkan sesuai dengan yang tertuang dalam
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1529/MENKES/SK/X/2010 tentang Pedoman Umum Pengembangan Desa dan
Kelurahan Siaga Aktif. Hal tersebut selanjutnya ditindaklanjuti dengan Surat
Edaran Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 140/1508/SJ tentang
Pedoman Pelaksanaan Pembentukan Kelompok Kerja Operasional dan Forum
Desa dan Kelurahan Siaga Aktif dan direalisasikan dalam Keputusan Menteri
Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 140.05/292 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Kelompok Kerja Operasional dan Sekretariat Desa dan Kelurahan
Siaga Aktif Tingkat Pusat yang di dalamnya terdapat Susunan Keanggotaan serta
Peran dan Tugas pada Bidang – Bidang sesuai susunan keanggotaan kelompok
kerja operasional dalam Desa Siaga Aktif.
Keterkaitan dengan materi lain
Peningkatan derajat kesehatan masyarakat akan memberikan sumbangan
nyata dalam pembangunan bangsa, untuk itu dalam rangka mencapai derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, pembangunan kesehatan harus
diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup besih
dan sehat bagi semua orang dengan strategi memberdayakan masyarakat melalui
pengembangan berbagai Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM)
yang didorong menuju Desa Siaga. Dengan membuka jalur komunikasi,
informasi, dan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku
sehingga masyarakat sadar, mau, dan mampu mempraktikkan perilaku hidup
bersih dan sehat melalui pendekatan pimpinan (advocacy), bina suasana (social
support), dan pemberdayaan masyarakat (empowerment). Hal ini dapat terwujud
apabila ada keinginan dan kemampuan dari para pengambil keputusan dan peran
aktif semua stake holder.

B. PENYAJIAN MATERI
1. Fasilitasi Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif
1.1 Pengertian Desa Siaga
Desa Siaga adalah desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumber daya
dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah
kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan kesehatan, secara mandiri. Desa yang
dimaksud di sini dapat berarti Kelurahan atau negeri atau istilah-istilah lain bagi
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah, yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan
asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa Siaga merupakan
gambaran masyarakat yang sadar, mau dan mampu untuk mencegah dan
mengatasi berbagai ancaman terhadap kesehatan masyarakat seperti kurang gizi,
penyakit menular dan penyakit yang berpotensi menimbulkan KLB, kejadian
bencana, kecelakaan, dan lain-lain, dengan memanfaatkan potensi setempat,
secara gotong-royong.
1.2 Tujuan Desa Siaga
a. Mendekatkan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat desa.
b. Menyiapsiagakan masyarakat untuk menghadapi masalah-masalah yang
berhubungan dengan kesehatan masyarakat.
c. Memandirikan masyarakat dalam mengembangkan perilaku hidup bersih
dan sehat.
1.3 Sasaran dan Kriteria Pengembangan Desa Siaga
a. Sasaran
Untuk mempermudah strategi intervensi, sasaran pengembangan Desa
Siaga dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
a. Semua individu dan keluarga di desa, yang diharapkan mampu
melaksanakan hidup sehat, serta perduli dan tanggap terhadap
permasalahan kesehatan di wilayah desanya.
b. Pihak-pihak yang mempunyai pengaruh terhadap perilaku
individu dan keluarga atau dapat menciptakan iklim yang
kondusif bagi perubahan perilaku tersebut, seperti tokoh
masyarakat, termasuk tokoh agama, tokoh perempuan dan
pemuda; kader; serta petugas kesehatan.
c. Pihak-pihak yang diharapkan memberikan dukungan kebijakan,
peraturan perundang-undangan, dana, tenaga, sarana, dan lain-
lain, seperti Kepala Desa, Camat, para pejabat terkait, swasta,
para donatur, dan pemangku kepentingan lainnya.
b. Kriteria
Sebuah desa telah menjadi Desa Siaga apabila desa tersebut memiliki
sekurang-kurangnya sebuah Pos Kesehatan Desa (Poskesdes).
a.4 Landasan Hukum Pelaksanaan Desa Siaga yaitu sebagai berikut :
1. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 564/
Menkes/SK/VII/2006 tanggal 2 Agustus 2006 tentang pengembangan
Desa Siaga.

2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


b. Undang-Undang Republik Indonesia No.36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 Tentang Kelurahan.
e. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2007 Tentang
Kader Pemberdayaan Masyarakat.
1.5 Program-program yang Terdapat Dalam Desa Siaga
Inti dari kegiatan Desa Siaga adalah memberdayakan masyarakat agar mau
dan mampu untuk hidup sehat. Oleh karena itu dalam pengembangannya
diperlukan langkah-langkah pendekatan edukatif. Yaitu upaya mendampingi
(memfasilitasi) masyarakat untuk menjalani proses pembelajaran yang berupa
proses pemecahan masalah-masalah kesehatan yang dihadapinya.
Untuk menuju Desa Siaga perlu dikaji berbagai kegiatan bersumberdaya
masyarakat yang ada dewasa ini seperti Posyandu, Polindes, Pos Obat Desa, Dana
Sehat, Siap-Antar-Jaga, dan lain-lain sebagai embrio atau titik awal
pengembangan menuju Desa Siaga. Dengan demikian, mengubah desa menjadi
Desa Siaga akan lebih cepat bila di desa tersebut telah ada berbagai Upaya
Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM).
1.6 Pelaksanaan Desa Siaga
1. Persiapan
Dalam tahap persiapan, hal-hal yang perlu dilakukan adalah:
a. Pusat:
 Penyusunan pedoman.
 Pembuatan modul-modul pelatihan.
 Penyelenggaraan Pelatihan bagi Pelatih atau Training of
Trainers (TOT).
b. Provinsi:
 Penyelenggaraan TOT (tenaga kabupaten / Kota).
c. Kabupaten / Kota:
 Penyelenggaraan pelatihan tenaga kesehatan.
 Penyelenggaraan pelatihan kader.
2. Pelaksanaan
Dalam tahap pelaksanaan, hal-hal yang perlu dilakukan adalah:
a. Pusat: Penyediaan dana dan dukungan sumber daya lain.
b. Provinsi: Penyediaan dana dan dukungan sumber daya lain.
c. Kabupaten / Kota: Penyediaan dana dan dukungan sumber daya
lain. Dan penyiapan Puskesmas dan Rumah Sakit dalam rangka
penanggulangan bencana dan kegawatdaruratan kesehatan.
d. Kecamatan: Pengembangan dan Pembinaan Desa Siaga.
3. Pemantauan dan Evaluasi
Dalam tahap pemantauan dan evaluasi, hal-hal yang perlu dilakukan
adalah:
a. Pusat:
 Memantau kemajuan dan mengevaluasi keberhasilan
pengembangan Desa Siaga.
b. Provinsi:
 Memantau kemajuan pengembangan Desa Siaga.
 Melaporkan hasil pemantauan ke pusat.
c. Kabupaten / Kota:
 Memantau kemajuan pengembangan Desa Siaga.
 Melaporkan hasil pemantauan ke Provinsi.
d. Kecamatan:
 Melakukan Pemantauan Wilayah Setempat (PWS).
 Melaporkan pengembangan ke Kabupaten /Kota.

Pendekatan Pengembangan Desa Siaga


Pengembangan Desa Siaga dilaksanakan dengan membantu / memfasilitasi
masyarakat untuk menjalani proses pembelajaran melalui siklus atau spiral
pemecahan masalah yang terorganisasi (pengorganisasian masyarakat), yaitu
dengan menempuh tahap-tahap :
1. Mengidentifikasi masalah, penyebab masalah, dan sumber daya yang
dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah.
2. Mendiagnosis masalah dan merumuskan alternatif-alternatif pemecahan
masalah.
3. Menetapkan alternative pemecahan masalah yang layak, merencanakan
dan melaksanakannya.
4. Memantau, mengevaluasi dan membina kelestarian upaya-upaya yang
telah dilakukan.
Meskipun di lapangan banyak variasi pelaksanaanya, namun secara garis
besar langkah-langkah pokok yang perlu ditempuh adalah sebagai berikut:
1. Pengembangan Tim Petugas
Langkah ini merupakan awal kegiatan, sebelum kegiatan-kegiatan lainnya
dilaksanakan. Tujuan langkah ini adalah mempersiapkan para petugas
kesehatan yang berada di wilayah Puskesmas, baik petugas teknis maupun
petugas administrasi. Persiapan pada petugas ini bisa berbentuk sosialisasi,
pertemuan atau pelatihan yang bersifat konsolidasi, yang disesuaikan dengan
kondisi setempat.
Keluaran (output) dan langkah ini adalah para petugas yang memahami
tugas dan fungsinya, serta siap bekerjasama dalam satu tim untuk melakukan
pendekatan kepada pemangku kepentingan masyarakat.
2. Pengembangan Tim di Masyarakat
Tujuan langkah ini adalah untuk mempersiapkan para petugas, tokoh
masyarakat, serta masyarakat, agar mereka tahu dan mau bekerjasama dalam
satu tim untuk mengembangkan Desa Siaga.
Dalam langkah ini termasuk kegiatan advokasi kepada para penentu
kebijakan, agar mereka mau memberikan dukungan, baik berupa kebijakan
atau anjuran, serta restu, maupun dana atau sumber dana yang lain, sehingga
pembangunan Desa Siaga dapat berjalan dengan lancar. Sedangkan
pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat bertujuan agar mereka
memahami dan mendukung, khususnya dalam membentuk opini publik guna
menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan Desa Siaga. Jadi
dukungan yang diharapkan dapat berupa dukungan moral, dukungan finansial
atau dukungan material, sesuai kesepakatan dan persetujuan masyarakat
dalam rangka pengembangan Desa Siaga.
Jika di daerah tersebut telah terbentuk wadah-wadah kegiatan masyarakat
di bidang kesehatan seperti Konsil Kesehatan Kecamatan atau Badan
Penyantun Puskesmas, Lembaga Pemberdayaan Desa, PKK, serta organisasi
kemasyarakatan lainnya, hendaknya lembaga-lembaga ini diikut sertakan
dalam setiap pertemuan dan kesepakatan.
3. Survei Mawas Diri
Survey Mawas Diri (SMD) atau Telaah Mawas Diri (TMD) atau
Community Self Survey (CSS) bertujuan agar pemuka-pemuka masyarakat
mampu melakukan telaah mawas diri untuk desanya. Survey ini harus
dilakukan oleh pemuka-pemuka masyarakat setempat dengan bimbingan
tenaga kesehatan.
Dengan demikian, mereka menjadi sadar akan permasalahan yang
dihadapi di desanya, serta bangkit niat dan tekad untuk mencari solusinya,
termasuk membangun Poskesdes sebagai upaya mendekatkan pelayanan
kesehatan dasar kepada masyarakat desa. Untuk itu, sebelumnya perlu
dilakukan pemilihan dan pembekalan keterampilan bagi mereka.
Keluaran atau output dan SDM ini berupa identifikasi masalah-masalah
kesehatan serta daftar potensi di desa yang dapat didayagunakan dalam
mengatasi masalah-masalah kesehatan tersebut, termasuk dalam rangka
membangun Poskesdes.
4. Musyawarah Masyarakat Desa (MMD)
Tujuan penyelenggaraaan musyawarah masyarakat desa (MMD) ini
adalah mencari alternative penyelesaian masalah kesehatan dan upaya
membangun Poskesdes, dikaitkan dengan potensi yang dimiliki desa. Di
samping itu, juga untuk menyusun rencana jangka panjang pengembangan
Desa Siaga.
Inisiatif penyelenggaraan musyawarah sebaiknya berasal dari tokoh
masyarakat yang telah sepakat mendukung pengembangan Desa Siaga.
Peserta musyawarah adalah tokoh-tokoh masyarakat, termasuk tokoh-tokoh
perempuan dan generasi muda setempat. Bahkan sedapat mungkin dilibatkan
pula kalangan dunia usaha yang mau mendukung pengembangan Desa Siaga
dan kelestariannya (untuk itu diperlukan advokasi).
Data serta temuan lain yang diperoleh pada saat SMD disajikan,
utamanya adalah daftar masalah kesehatan, data potensial, serta harapan
masyarakat. Hasil pendataan tersebut dimusyawarahkan untuk penentuan
prioritas, dukungan dan kontribusi apa yang dapat disumbangkan oleh
masing-masing individu / institusi yang diwakilinya, serta langkah-langkah
solusi untuk pembangunan Poskesdes dan pengembangan masing-masing
Desa Siaga.

2. PELAKSANAAN KEGIATAN
Secara operasional pembentukan Desa Siaga dilakukan dengan kegiatan
sebagai berikut:
1. Pemilihan Pengurus dan Kader Desa Siaga
Pemilihan pengurus dan kader Desa Siaga dilakukan melalui pertemuan
khusus para pemimpin formal desa dan tokoh masyarakat serta beberapa
wakil masyarakat. Pemilihan dilakukan secara musyawarah dan mufakat,
sesuai dengan tata cara dan kriteria yang berlaku, dengan difasilitasi oleh
Puskesmas.
2. Orientasi / Pelatihan Kader Desa Siaga
Sebelum melaksanakan tugasnya, kepada pengelola dan kader desa yang telah
ditetapkan perlu diberikan orientasi atau pelatihan. Orientasi / pelatihan
dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota sesuai dengan pedoman
orientasi / pelatihan yang berlaku. Materi orientasi / pelatihan yang berlaku.
Materi orientasi / pelatihan mencakup kegiatan yang akan dilaksanakan di
desa dalam rangka pengembangan Desa Siaga (sebagaimana telah
dirumuskan dalam Rencana Operasional). Yaitu meliputi pengelolaan Desa
Siaga secara umum, pembangunan dan pengelolaan Poskesdes,
pengembangan dan pengelolaan UBKM lain, serta hal-hal penting terkait
seperti kehamilan dan persalinan sehat, Siap-Antar-Jaga, Keluarga Sadar
Gizi, Posyandu, kesehatan lingkungan, pencegahan penyakit menular,
penyediaan air bersih dan penyehatan lingkungan pemukiman (PAB-PLP),
kegawatdaruratan sehari-hari, kesiap-siagaan bencana, kejadian luar biasa,
warung obat desa (WOD), diversifikasi pertanian tanaman pangan dan
pemanfaatan pekarangan melalui Taman Obat Keluarga (TOGA), kegiatan
surveilans, PHS, dan lain-lain.
3. Pengembangan Poskesdes dan UKBM lain
Dalam hal ini, pembangunan Poskesdes bisa dikembangkan dari Polindes
yang sudah ada. Apabila tidak ada Polindes, maka perlu dibahas dan
dicantumkan dalam rencana kerja tentang alternative lain pembangunan
Poskesdes. Dengan demikian diketahui bagaimana Poskesdes tersebut akan
diadakan , membangun baru dengan fasilitas dari pemerintah, membangun
baru dengan bantuan dari donator, membangun baru dengan swadaya
masyarakat, atau memodifikasi bangunan lain yang ada. Bilamana Poskesdes
sudah berhasil diselenggarakan, kegiatan dilanjutkan dengan membentuk
UKBM-UKBM yang diperlukan dan belum ada di desa yang bersangkutan,
atau merevitalisasi yang sudah ada tetapi kurang / tidak aktif.
4. Penyelenggaraan Kegiatan Desa Siaga
Dengan telah adanya Poskesdes, maka desa yang bersangkutan telah dapat
ditetapkan sebagai Desa Siaga. Setelah Desa Siaga resmi dibentuk,
dilanjutkan dengan pelaksanaan kegiatan Poskesdes secara rutin, yaitu
pengembangan sistem surveilans berbasis masyarakat, pengembangan
kesiapsiagaan dan penanggulangan kegawat-daruratan dan bencana,
pemberantasan penyakit menular dan penyakit yang berpotensi menimbulkan
KLB., penggalangan dana, pemberdayaan masyarakat menuju KADARZI dan
PHBS, penyehatan lingkungan, serta pelayanan kesehatan dasar (bila
diperlukan). Selain itu, diselenggarakan pula pelayanan UKBM-UKBM lain
seperti Posyandu dan lain-lain dengan berpedoman kepada panduan yang
berlaku. Secara berkala kegiatan Desa Siaga dibimbing dan dipantau oleh
Puskesmas, yang hasilnya dipakai sebagai masukan untuk perencanaan dan
pengembangan Desa Siaga selanjutnya secara lintas sektoral.

3. PEMBINAAN DAN PENINGKATAN


Mengingat permasalahan kesehatan sangat dipengaruhi oleh kinerja sektor
lain, serta adanya keterbatasan sumber daya, maka untuk memajukan Desa Siaga
perlu adanya pengembangan jejaring kerjasama dengan berbagai pihak.
Perwujudan dan pengembangan jejaring Desa Siaga dapat dilakukan melalui
Temu Jejaring UKBM secara internal di dalam desa sendiri dan atau Temu
Jejaring antar Desa Siaga (minimal sekali dalam setahun). Upaya ini selain untuk
memantapkan kerjasama, juga diharapkan dapat menyediakan wahana tukar-
menukar pengalaman dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi bersama.
Yang juga tidak kalah pentingnya adalah pembinaan jejaring lintas sektor,
khususnya dengan program-program pembangunan yang bersasaran Desa.
Salah satu kunci keberhasilan dan kelestarian Desa Siaga adalah keaktifan
para kader. Oleh karena itu, dalam rangka pembinaan perlu dikembangkan upaya-
upaya untuk memenuhi kebutuhan para kader agar tidak drop out. Kader-kader
yang memiliki motivasi memuaskan kebutuhan sosial psikologinya harus diberi
kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan kreatifitasnya. Sedangkan
kader-kader yang masih dibebani dengan pemenuhan kebutuhan dasarnya, harus
dibantu untuk memperoleh pendapatan tambahan, misalnya dengan pemberian
gaji / intensif atau difasilitasi agar dapat berwirausaha.
Untuk dapat melihat perkembangan Desa Siaga, perlu dilakukan pemantauan
dan evaluasi. Berkaitan dengan itu, kegiatan-kegiatan di Desa Siaga perlu dicatat
oleh kader, misalnya dalam Buku Register UKBM (contohnya: kegiatan Posyandu
dicatat dalam buku Register Ibu dan Anak Tingkat Desa atau RIAD dalam Sistem
Informasi Posyandu).

4. PERAN JAJARAN KESEHATAN DAN PEMANGKU KEPENTINGAN


TERKAIT
1. Peran Puskesmas
Dalam rangka pengembangan Desa Siaga, Puskesmas merupakan ujung
tombak dan bertugas ganda yaitu sebagai penyelenggara PONED dan
penggerak masyarakat desa. Namun demikian, dalam menggerakkan
masyarakat desa, Puskesmas akan dibantu oleh Tenaga Fasilitator dari Dinas
Kesehatan Kabupaten / Kota yang telah dilatih Provinsi.
Adapun peran Puskesmas adalah sebagai berikut:
a. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar, termasuk Pelayanan
Obstetrik dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED).
b. Mengembangkan komitmen dan kerjasama tim tingkat kecamatan dan
desa dalam rangka pengembangan Desa Siaga.
c. Memfasilitasi pengembangan Desa Siaga dan Poskesdes.
d. Melakukan monitoring
e. Evaluasi dan pembinaan Desa Siaga.
2. Peran Rumah Sakit
Rumah Sakit memegang peranan penting sebagai sarana rujukan dan
pembina teknis pelayanan medik. Oleh karena itu, dalam hal ini peran Rumah
Sakit adalah:
a. Menyelenggarakan pelayanan rujukan, termasuk Pelayanan Obstetrik dan
Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK).
b. Melaksanakan bimbingan teknis medis, khususnya dalam rangka
pengembangan kesiapsiagaan dan penanggulangan kedaruratan dan
bencana di Desa Siaga.
c. Menyelenggarakan promosi kesehatan di Rumah Sakit dalam rangka
pengembangan kesiapsiagaan dan penanggulangan kedaruratan dan
bencana.
3. Peran Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
Sebagai penyelia dan pembina Puskesmas dan Rumah Sakit, peran Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota meliputi:
a. Mengembangkan komitmen dan kerjasama tim di tingkat Kabupaten /
Kota dalam rangka pengembangan Desa Siaga.
b. Merevitalisasi Puskesmas dan jaringannya sehingga mampu
menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar dengan baik, termasuk
PONED, dan pemberdayaan masyarakat.
c. Merevitalisasi Rumah Sakit sehingga mampu menyelenggarakan
pelayanan rujukan dengan baik, termasuk PONEK, dan promosi kesehatan
di Rumah Sakit.
d. Merekrut / menyediakan calon-calon fasilitator untuk dilatih menjadi
Fasilitator Pengembangan Desa Siaga.
e. Menyelenggarakan pelatihan bagi petugas kesehatan dan kader.
f. Melakukan advokasi ke berbagai pihak (pemangku kepentingan) tingkat
Kabupaten / Kota dalam rangka pengembangan Desa Siaga.
g. Bersama Puskesmas melakukan pemantauan, evaluasi dan bimbingan
teknis terhadap Desa Siaga.
h. Menyediakan anggaran dan sumber daya lain bagi kelestarian Desa Siaga.
4. Peran Dinas Kesehatan Provinsi
Sebagai penyelia dan pembina Rumah Sakit dan Dinas Kesehatan
Kabupaten / Kota, Dinas Kesehatan Provinsi berperan:
a. Mengembangkan komitmen dan kerjasama tim di tingkat provinsi dalam
rangka pengembangan Desa Siaga.
b. Membantu Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota mengembangkan
kemampuan melalui pelatihan-pelatihan teknis, dan cara-cara lain.
c. Membantu Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota mengembangkan
kemampuan Puskesmas dan Rumah Sakit di bidang konseling, kunjungan
rumah, dan pengorganisasian masyarakat serta promosi kesehatan, dalam
rangka pengembangan Desa Siaga.
d. Menyelenggarakan pelatihan Fasilitator Pengembangan Desa Siaga
dengan metode kalakarya (interrupted training).
e. Melakukan advokasi ke berbagai pihak (pemangku kepentingan) tingkat
provinsi dalam rangka pengembangan Desa Siaga.
f. Bersama Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota melakukan pemantauan,
evaluasi dan bimbingan teknis terhadap Desa Siaga.
g. Menyediakan anggaran dan sumber daya lain bagi kelestarian Desa Siaga.
5. Peran Departemen Kesehatan
Sebagai aparatur tingkat Pusat, Departemen Kesehatan berperan dalam:
a. Menyusun konsep dan pedoman pengembangan Desa Siaga, serta
mensosialisasikan dan mengadvokasikannya.
b. Memfasilitasi revitalisasi Dinas Kesehatan, Puskesmas, Rumah Sakit, serta
Posyandu dan UKBM-UKBM lain.
c. Memfasilitasi pembangunan Poskesdes dan pengembangan Desa Siaga.
d. Memfasilitasi pengembangan sistem surveilans, sistem informasi /
pelaporan, serta sistem kesiapsiagaan dan penanggulangan kedaruratan dan
bencana berbasis masyarakat.
e. Memfasilitasi ketersediaan tenaga kesehatan untuk tingkat desa.
f. Menyelenggarakan pelatihan bagi pelatih (TOT).
g. Menyediakan dana dan dukungan sumber daya lain.
h. Menyelenggarakan pemantauan dan evaluasi.
6. Peran Pemangku Kepentingan Terkait
Pemangku kepentingan lain, yaitu para pejabat Pemerintah Daerah,
pejabat lintas sektor, unsur-sunsur organisasi / ikatan profesi, pemuka
masyarakat, tokoh-tokoh agama, PKK, LSM, dunia usaha, swasta dan lain-
lain, diharapkan berperan aktif juga di semua tingkat administrasi.
a. Pejabat-pejabat Pemerintah Daerah
(a) Memberikan dukungan kebijakan, sarana dan dana untuk
penyelenggaraan Desa Siaga.
(b) Mengkoordinasikan penggerakan masyarakat untuk memanfaatkan
pelayanan Poskesdes / Puskesmas / Pustu dan berbagai UBKM yang
ada (Posyandu, Polindes, dan lain-lain).
(c) Melakukan pembinaan untuk terselenggaranya kegiatan Desa Siaga
secara teratur dan lestari.
b. Tim Penggerak PKK
(a) Berperan aktif dalam pengembangan dan penyelenggaraan UBKM di
Desa Siaga (Posyandu dan lain-lain).
(b) Menggerakkan masyarakat untuk mengelola, menyelenggarakan dan
memanfaatkan UBKM yang ada.
(c) Menyelenggarakan penyuluhan kesehatan dalam rangka menciptakan
kadarzi dan PHBS.
c. Tokoh Masyarakat
(a) Menggali sumber daya untuk kelangsungan penyelenggaraan Desa
Siaga.
(b) Menaungi dan membina kegiatan Desa Siaga.
(c) Menggerakkan masyarakat untuk berperan aktif dalam kegiatan Desa
Siaga.
d. Organisasi Kemasyarakatan / LSM / Dunia Usaha/Swasta
(a) Berperan aktif dalam penyelenggaraan Desa Siaga.
(b) Memberikan dukungan sarana dan dana untuk pengembangan dan
penyelenggaraan Desa Siaga.

5. INDIKATOR KEBERHASILAN DESA SIAGA


Keberhasilan upaya Pengembangan Desa Siaga dapat dilihat dari empat
kelompok indikatornya, yaitu: indikator masukan, indikator proses, indikator
keluaran, dan indikator dampak.
a. Indikator Masukan
Indikator masukan adalah indikator untuk mengukur seberapa besar
masukan telah diberikan dalam rangka pengembangan Desa Siaga.
Indikator masukan terdiri atas hal-hal berikut:
(a) Ada/ tidaknya Forum Masyarakat Desa.
(b) Ada/tidaknya Poskesdes dan sarana bangunan serta perlengkapannya.
(c) Ada/tidaknya UBKM yang dibutuhkan masyarakat.
(d) Ada/tidaknya tenaga kesehatan (minimal bidan).
b. Indikator Proses
Indikator proses adalah indikator untuk mengukur seberapa aktif upaya
yang dilaksanakan di suatu Desa dalam rangka pengembangan Desa Siaga.
Indikator proses terdiri atas hal-hal berikut:
(a) Frekuensi pertemuan Forum Masyarakat Desa.
(b) Berfungsi / tidaknya Poskesdes.
(c) Berfungsi / tidaknya UBKM yang ada.
(d) Berfungsi / tidaknya Sistem Kegawatdaruratan dan Penanggulangan
Kegawatdaruratan dan Bencana.
(e) Berfungsi / tidaknya Sistem Surveilans berbasis masyarakat.
(f) Ada / tidaknya kegiatan kunjungan rumah untuk kadarzi dan PHBS.
c. Indikator Keluaran
Indikator keluaran adalah indikator untuk mengukur seberapa besar
hasil kegiatan yang dicapai di suatu Desa dalam rangka pengembangan
Desa Siaga. Indikator keluaran terdiri atas hal-hal berikut:
(a) Cakupan pelayanan kesehatan dasar Poskesdes.
(b) Cakupan pelayanan UBKM-UBKM lain.
(c) Jumlah kasus kegawatdaruratan dan KLB yang dilaporkan.
(d) Cakupan rumah tangga yang mendapat kunjungan rumah untuk
kadarzi dan PHBS.
d. Indikator Dampak.
Indikator dampak adalah indikator untuk mengukur seberapa besar
dampak dan hasil kegiatan di Desa dalam rangka pengembangan Desa
Siaga. Indikator dampak terdiri atas hal-hal berikut:
(a) Jumlah penduduk yang menderita sakit.
(b) Jumlah penduduk yang menderita gangguan jiwa.
(c) Jumlah ibu yang melahirkan dan meninggal dunia.
(d) Jumlah bayi dan balita yang meninggal dunia.
(e) Jumlah balita dengan gizi buruk.
Kesuksesan program ini juga ditentukan oleh persiapan yang matang,
penyelenggaraan yang terorganisasi dan dilakukan Evaluasi secara berkala.
Ke depan semoga program Desa dan Kelurahan Siaga Aktif yang mulia ini
dapat didukung oleh semua komponen. Dengan kesamaan pemahaman
diharapkan akan terjadi sinkronisasi dan kerja sama yang baik dalam
rangka mengupayakan tercapainya desa dan kelurahan yang sehat, peduli,
tanggap, dan mampu mengenali, mencegah serta mengatasi permasalahan
kesehatan yang dihadapi secara mandiri, sehingga derajat kesehatannya
meningkat.

6. Fasilitasi Pembinaan PHBS di Masyarakat


a. Pengertian PHBS
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah bentuk perwujudan
paradigma sehat dalam budaya perorangan, keluarga, dan masyarakat yang
berorientasi sehat, bertujuan untuk meningkatkan, memelihara, dan melindungi
kesehatannya baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Selain itu juga program
perilaku hidup bersih dan sehat bertujuan memberikan pengalaman belajar atau
menciptakan suatu kondisi bagi perorangan, kelompok, keluarga, dengan
membuka jalur komunikasi, informasi, dan edukasi untuk meningkatkan
pengetahuan, sikap, dan perilaku sehingga masyarakat sadar, mau, dan mampu
mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat melalui pendekatan pimpinan
(advocacy), bina suasana (social support), dan pemberdayaan masyarakat
(empowerment). Dengan demikian masyarakat dapat mengenali dan mengatasi
masalahnya sendiri terutama pada tatanannya masing-masing (Depkes RI, 2002).
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat adalah sekumpulan perilaku yang
dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran yang menjadikan
individu/kelompok dapat menolong dirinya sendiri dalam bidang kesehatan dan
berperan aktif dalam mewujudkan derajat kesehatan masyarakat (Dinkes Jabar,
2010).
b. Tujuan PHBS
Menurut Depkes RI (1997), Tujuan dari PHBS adalah untuk meningkatkan
pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat untuk hidup
bersih dan sehat, serta meningkatkan peran serta aktif masyarakat termasuk dunia
usaha dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.
c. Strategi PHBS
Strategi adalah cara atau pendekatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan
PHBS. Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan telah menetapkan tiga strategi
dasar promosi kesehatan dan PHBS yaitu:
1. Gerakan Pemberdayaan (Empowerment)
Pemberdayaan adalah proses pemberian informasi secara terus-menerus
dan berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran, serta proses
membantu sasaran agar sasaran tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu
atau sadar (aspek knowledge), dari tahu menjadi mau (aspek attitude), dan
dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek
practice).
Sasaran utama dari pemberdayaan adalah individu dan keluarga serta
kelompok masyarakat. Bilamana sasaran sudah pindah dari mau ke mampu
melaksanakan boleh jadi akan terkendala oleh dimensi ekonomi. Dalam hal
ini kepada yang bersangkutan dapat diberikan bantuan langsung, tetapi yang
sering kali dipraktikkan adalah dengan mengajaknya ke dalam proses
pengorganisasian masyarakat (community organization) atau pembangunan
masyarakat (community development). Untuk itu sejumlah individu yang
telah mau dihimpun dalam suatu kelompok untuk bekerjasama memecahkan
kesulitan yang dihadapi. Tidak jarang kelompok ini pun masih juga
memerlukan bantuan dari luar (misalnya dari pemerintah atau dari
dermawan). Disinilah letak pentingnya sinkronisasi promosi kesehatan dan
PHBS dengan program kesehatan yang didukungnya.
2. Bina Suasana (Social Support)
Bina suasana adalah upaya menciptakan lingkungan sosial yang
mendorong individu anggota masyarakat untuk mau melakukan perilaku yang
diperkenalkan. Seseorang akan terdorong untuk mau melakukan sesuatu
apabila lingkungan sosial dimanapun ia berada (keluarga di rumah, orang-
orang yang menjadi panutan/idolanya, kelompok arisan, majelis agama, dan
bahkan masyarakat umum) menyetujui atau mendukung perilaku tersebut.
Oleh karena itu, untuk mendukung proses pemberdayaan masyarakat
khususnya dalam upaya meningkatkan para individu dari fase tahu ke fase
mau, perlu dilakukan Bina Suasana. Terdapat tiga pendekatan dalam Bina
Suasana yaitu: pendekatan individu, pendekatan kelompok, dan pendekatan
masyarakat umum.
3. Pendekatan Pimpinan (Advocacy)
Advokasi adalah upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk
mendapatkan komitmen dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait
(stakeholders). Pihak-pihak yang terkait ini bisa brupa tokoh masyarakat
formal yang umumnya berperan sebagai penentu kebijakan pemerintahan dan
penyandang dana pemerintah. Juga dapat berupa tokoh-tokoh masyarakat
informal seperti tokoh agama, tokoh pengusaha, dan yang lain yang
umumnya dapat berperan sebagai penentu “kebijakan” (tidak tertulis)
dibidangnya dan atau sebagai penyandang dana non pemerintah. Perlu
disadari bahwa komitmen dan dukungan yang diupayakan melalui advokasi
jarang diperoleh dalam waktu yang singkat. Pada diri sasaran advokasi
umumnya berlangsung tahapan-tahapan yaitu: a) mengetahui atau menyadari
adanya masalah, b) tertarik untuk ikut mengatasi masalah, c) peduli terhadap
pemecahan masalah dengan mempertimbangkan berbagai alternatif
pemecahan masalah, d) sepakat untuk memecahkan masalah dengan memilih
salah satu alternatif pemecahan masalah, dan e) memutuskan tindak lanjut
kesepakatan.
d. Tatanan PHBS
Ada Lima tatanan PHBS yakni: tatanan rumah tangga, tatanan pendidikan,
tempat umum, tempat kerja, dan institusi kesehatan.
1. Sepuluh Indikator PHBS di Tatanan Rumah Tangga:
(a) Persalinan ditolong oleh Tenaga Kesehatan.
(b) Memberi bayi ASI eksklusif.
(c) Menimbang bayi dan balita.
(d) Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun.
(e) Menggunakan air bersih.
(f) Menggunakan jamban sehat.
(g) Memberantas jentik di rumah.
(h) Makan sayur dan buah setiap hari.
(i) Melakukan aktivitas fisik setiap hari.
(j) Tidak merokok di dalam rumah.
2. Indikator PHBS di Tatanan Pendidikan :
(a) Mencuci tangan dengan air bersih mengalir dan sabun.
(b) Mengkonsumsi jajanan di warung /kantin sekolah.
(c) Menggunakan jamban yang bersih dan sehat.
(d) Olahraga yang teratur dan terukur.
(e) Memberantas jentik nyamuk.
(f) Tidak merokok.
(g) Menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan setiap bulan.
(h) Membuang sampah pada tempatnya.
3. Indikator PHBS di Tatanan Tempat Kerja :
(a) Kawasan tanpa asap rokok.
(b) Bebas jentik nyamuk.
(c) Jamban sehat.
(d) Kesehatan dan keselamatan kerja.
(e) Olahraga teratur.

4. Indikator PHBS di Tatanan Tempat Umum :


(a) Menggunakan jamban sehat.
(b) Memberantas jentik nyamuk.
(c) Menggunakan air bersih.
5. Indikator PHBS di Tatanan Fasilitas Kesehatan :
(a) Menggunakan air bersih.
(b) Menggunakan jamban yang bersih dan sehat.
(c) Membuang sampah pada tempatnya.
(d) Tidak merokok.
(e) Tidak meludah sembarangan.
(f) Memberantas jentik nyamuk.
C. RANGKUMAN
Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus merupakan aset untuk
keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk itu pembangunan kesehatan diarahkan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya dengan
mengembangkan kesiap- siagaan masyarakat bidang kesehatan ditingkat desa
yang dikenal dengan Desa Siaga. Desa Siaga merupakan gambaran masyarakat
yang sadar/tahu, mau dan mampu untuk mencegah dan mengatasi berbagai
ancaman/bahaya terhadap kesehatan masyarakat.
Indikator keberhasilan desa siaga adalah meningkatnya kemandirian dan
pemberdayaan masyarakat untuk menolong dirinya dalam bidang kesehatan.
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) menjadi salah satu indikator bagi
keberhasilan pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif, hal ini didasarkan
pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1529/Menkes/SK/X/2010 tanggal 20 Oktober 2010 mengenai Pedoman Umum
Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif. Masyarakat di Desa atau
Kelurahan Siaga Aktif wajib melaksanakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS).

D. LATIHAN/TUGAS/EKSPERIMEN
1. Jelaskan secara singkat tahap-tahap Pengembangan Desa Siaga!
2. Sebutkan Peran stake holder. terkait pelaksanaan desa siaga!
3. Jelaskan Strategi PHBS dan berikan contoh konkritnya!
4. Bagaimana cara menentukan keberhasilan upaya Pengembangan Desa
Siaga?
5. Bagaimanakah peran Lembaga Swadaya Masyarakat dalam
penyelenggaraan desa siaga?

E. RUJUKAN
Beal, G.M. and J.B. Bohlen. 1955. How Farm Accept New Ideas. Iowa: Iowa
States College and Federal Office
Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan di
Puskesmas. Jakarta : Pusat Promosi Kesehatan

Kementrian Kesehatan RI. 2010. Pedoman Umum desa dan Kelurahan Siaga
Aktif. Jakarta : Pusat Komunikasi Kesehatan.

Lippit, R.J Watson, and B. Westley. 1961. The Dynamic of Planned Change..

Mardikanto, Totok. 2010. Konsep-Konsep Pemberdayaan Masyarakat. Surakarta :


UNS Press.

Mosher, A.T. 1968. Menciptakan Struktur Pedesaan Progresif. Jakarta: CV.


Yasaguna

Sumaryadi, I, N. 2004. Perencanaan Pembangunan Daerah Otonom dan


Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Citra Utama

Uphoff,Norman.1986.Lokal institutional Development: an analytical sourcebook


with cases. Kumarin press.

BAB XII
KOMUNIKASI, ADVOKASI, DAN KEMITRAAN DALAM
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

A. PENDAHULUAN
Pemberdayaan diadaptasi dari istilah empowerment berkembang di Eropa
mulai abad pertengahan, terus berkembang hingga diakhir 70-an, 80-an, dan awal
90-an. Konsep pemberdayaan tersebut kemudian mempengaruhi teori-teori yang
berkembang belakangan ini. Dalam upaya promosi kesehatan, pemberdayaan
masyarakat merupakan bagian yang sangat penting dan bahkan dapat dikatakan
sebagai ujung tombak. Pemberdayaan adalah proses pemberian informasi kepada
individu, keluarga atau kelompok (klien) secara terus-menerus dan
berkesinambungan mengikuti perkembangan klien, serta proses membantu klien,
agar klien tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspek
knowledge), dari tahu menjadi mau (aspek attitude) dan dari mau menjadi
mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek practice). Oleh sebab
itu, sesuai dengan sasaran (klien)nya dapat dibedakan adanya (a) Pemberdayaan
individu, (b) Pemberdayaan keluarga dan (c) Pemberdayaan
kelompok/masyarakat. Dalam mengupayakan agar klien tahu dan sadar, kuncinya
terletak pada keberhasilan membuat klien tersebut memahami bahwa sesuatu
(misalnya Diare) adalah masalah baginya dan bagi masyarakatnya. Sepanjang
klien yang bersangkutan belum mengetahui dan menyadari bahwa sesuatu itu
merupakan masalah, maka klien tersebut tidak akan bersedia menerima informasi
apa pun lebih lanjut. Saat klien telah menyadari masalah yang dihadapinya, maka
kepadanya harus diberikan informasi umum lebih lanjut tentang masalah yang
bersangkutan. Perubahan dari tahu ke mau pada umumnya dicapai dengan
menyajikan fakta-fakta dan mendramatisasi masalah. Tetapi selain itu juga dengan
mengajukan harapan bahwa masalah tersebut bisa dicegah dan atau diatasi. Di sini
dapat dikemukakan fakta yang berkaitan dengan para tokoh masyarakat sebagai
panutan (misalnya tentang seorang tokoh agama yang dia sendiri dan keluarganya
tak pernah terserang Diare karena perilaku yang dipraktikkannya). Bilamana
seorang individu atau sebuah keluarga sudah akan berpindah dari mau ke mampu
melaksanakan, boleh jadi akan terkendala oleh dimensi ekonomi. Dalam hal ini
kepada yang bersangkutan dapat diberikan bantuan langsung. Tetapi yang
seringkali dipraktikkan adalah dengan mengajaknya ke dalam proses
pemberdayaan kelompok/masyarakat melalui pengorganisasian masyarakat atau
pembangunan masyarakat. Untuk itu, sejumlah individu dan keluarga yang telah
mau, dihimpun dalam suatu kelompok untuk bekerjasama memecahkan kesulitan
yang dihadapi. Tidak jarang kelompok ini pun masih juga memerlukan bantuan
dari luar (misalnya dari pemerintah atau pihak swasta). Di sinilah letak pentingya
sinkronisasi promosi kesehatan dengan program kesehatan yang didukungnya dan
program-program sektor lain yang berkaitan. Hal-hal yang akan diberikan kepada
masyarakat oleh program kesehatan dan program lain sebagai bantuan, hendaknya
disampaikan pada fase ini, bukan sebelumnya. Bantuan itu hendaknya juga sesuai
dengan apa yang dibutuhkan masyarakat. Pemberdayaan akan lebih berhasil jika
dilaksanakan melalui kemitraan serta menggunakan metode dan teknik yang tepat.
Pada saat ini banyak dijumpai lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang
bergerak di bidang kesehatan atau peduli terhadap kesehatan. LSM ini harus
digalang kerjasamanya, baik di antaramereka maupun antara mereka dengan
pemerintah, agar upaya pemberdayaan masyarakat dapat berdayaguna dan
berhasilguna. Setelah itu, sesuai ciri-ciri sasaran, situasi dan kondisi, lalu
ditetapkan, diadakan dan digunakan metode dan media komunikasi yang tepat.

Lingkup dan Sistematika


Ruang lingkup atau bidang garapan promosi kesehatan baik sebagai ilmu
(teori) maupun sebagai seni (aplikasi) mencakup berbagai bidang atau cabang
keilmuan lain. Ilmu-ilmu yang dicakup promosi kesehatan dapat dikelompokkan
menjadi 2 bidang yaitu:
1. Ilmu perilaku, yakni ilmu-ilmu yang menjadi dasar dalam membentuk
perilaku manusia terutama psikologi, antropologi dan sosiologi.
2. Ilmu-ilmu yang diperlukan untuk intervensi perilaku (pembentukkan dan
perubahan perilaku ), antara lain pendidikan komunikasi, manajemen,
kepemimpinan dan sebagainya.

Keterkaitan Materi dengan Materi Lain


Pemberdayaan merupakan suatu upaya yang harus diikuti dengan tetap
memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh setiap masyarakat. dalam rangka
itu pula diperlukan langkah-langkah yang lebih positif selain dari menciptakan
iklim dan suasana. perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut
penyediaan berbagai masukan (input) serta membuka akses kepada berbagai
peluang (upportunities) yang nantinya dapat membuat masyarakat menjadi
semakin berdaya.
Penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat meliputi: a) Penggerakkan
masyarakat; masyarakat mempunyai peluang yang sebesar-besarnya untuk terlibat
aktif dalam proses pembangunan kesehatan, b) Pengorganisasian dalam
pemberdayaan; diupayakan agar peran organisasi masyarakat lokal makin
berfungsi dalam pembangunan kesehatan, c)Advokasi; masyarakat
memperjuangkan kepentingannya di bidang kesehatan, d) Kemitraan; dalam
pemberdayaan masyarakat penting untuk meningkatkan kemitraan dan partisipasi
lintas sektor terkait, swasta, dunia usaha dan pemangku kepentingan, e) Sumber
daya; diperlukan sumber daya yang memadai seperti Sumber Daya Manusia
(SDM), informasi dan dana.

B. PENYAJIAN MATERI
1. KOMUNIKASI
Pengertian Komunikasi
Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari
kata latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama.
Sama di sini maksudnya adalah sama makna. Komunikasi adalah proses
pernyataan antarmanusia, dan yang dinyatakannya itu adalah pikiran atau
perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai
penyalurnya. Dalam arti kata bahwa komunikasi itu minimal harus mengandung
kesamaan makna antara dua pihak yang terlibat. Dikatakan minimal karena
kegiatan komunikasi tidak hanya informatif, yakni agar orang lain mengerti dan
tahu, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain bersedia menerima suatu paham
atau keyakinan, melakukan suatu perbuatan atau kegiatan (Effendi, 1995).
Komunikasi pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses
komunikasi yang bertujuan menumbuhkan motivasi dan memberikan kesempatan
pada masyarakat dengan jalan membuka saluran - saluran komunikasi sehingga
masyarakat dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik melalui pemanfaatan
dan peningkatan kemampuan yang mereka miliki dan sekaligus menempatkan
mereka sebagai stakeholder aktif. Dalam proses komunikasi tersebut perlu
dilakukan pendekatan pemberdayaan masyarakat agar proses dan tujuan
komunikasi yang direncanakan dapat tercapai, seperti pengembangan akses
teknologi dan pengembangan solidaritas antar masyarakat atau stakeholder
didalamnya. Fungsi komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat yaitu sebagai
media transfer informasi dari masyarakat kepada masyarakat, dari masyarakat
kepada agen luar, dan dari agen luar kepada masyarakat dalam upaya memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk dapat mengontrol diri dan lingkungannya.
Komunikasi tatap muka berperan dalam mengubah tingkah laku, dan komunikasi
bermedia untuk komunikasi informatif.

2. ADVOKASI
2.1 Pengertian Advokasi
Advokasi atau advocacy adalah kegiatan memberikan bantuan kepada
masyarakat dengan membuat keputusan (Decision makers) dan penentu kebijakan
(Policy makers) dalam bidang kesehatan maupun sektor lain diluar kesehatan
yang mempunyai pengaruh terhadap masyarakat. Dengan demikian, para
pembuat keputusan akan mengadakan atau mengeluarkan kebijakan-kebijakan
dalam bentuk peraturan, undang-undang, instruksi yang diharapkan
menguntungkan bagi kesehatan masyarakat umum. Srategi ini akan berhasil jika
sasarannya tepat dan sasaran advokasi ini adalah para pejabat eksekutif dan
legislatif, para pejabat pemerintah, swasta, pengusaha, partai politik dan
organisasi atau LSM dari tingkat pusat sampai daerah. Bentuk dari advokasi
berupa lobbying melalui pendekatan atau pembicaraan-pembicaraan formal atau
informal terhadap para pembuat keputusan, penyajian isu-isu atau masalah-
masalah kesehatan yang mempengarui kesehatan masyarakat setempat, dan
seminar-seminar kesehatan. (Wahid Iqbal Mubarak, Nurul Chayantin2009).
Advokasi adalah upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk
mendapatkan komitmen dan dukungan dari pihak-pihak masyarakat
(stakeholders). Advokasi bekerjasama dengan orang dan organisasi lain untuk
membuat suatu perbedaan (CEPDA, 1995). Pihak-pihak yang terkait ini berupa
tokoh-tokoh (opinion leader), atau penentu kebijakan (norma) atau penyandang
dana. Juga berupa kelompok- kelompok dalam masyarakat dan media massa yang
dapat berperan dalam menciptakan suasana kondusif, opini publik, dan dorongan
(pressure) bagi terciptanya PHBS masyarakat. Advokasi merupakan upaya untuk
menyukseskan bina suasana, pemberdayaan, dan bahkan proses pembinaan PHBS
secara keseluruhan. Advokasi terdiri atas berbagai macam strategi yang diarahkan
untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pada tingkat organisasi, lokal,
provinsi, nasional, dan internasional.
2.2 Langkah Kegiatan Advokasi
Menurut depkes RI 2007 terdapat lima langkah kegiatan advokasi antara lain :
1. Identifikasi dan analisis masalah atau isi yang memerlukan advokasi.
Masalah atau isu advokasi perlu dirumuskan berbasis data atau fakta. Data
sangat penting agar keputusan yang dibuat berdasarkan informasi yang tepat
dan benar. Data berbasis fakta sangat membantu menetapkan masalah,
mengidentifikasi solusi dan menentukan tujuan yang realistis . contoh :
paradigm sehat, Indonesia sehat 2010, anggaran kesehatan.
2. Identifikasi dan analisis kelompok sasaran.
Sasaran kegiatan advokasi ditujukan kepada para pembuat keputusan
(decision maker) atau penentu kebijakan (policy maker), baik di bidang
kesehatan maupun diluar sector kesehatan yang berpengaruh terhadap public.
Tujuannya agar pembuat keputusan mengeluarkan kebijakan-kebijakan,
antara lain dalam bentuk peraturan, undang-undang, instruksi, dan yang
menguntungkan kesehatan. Dalam mengidentifikasi sasaran, perlu ditetapkan
siapa saja yang menjadi sasaran, mengapa perlu advokasi, apa
kecenderunganya, dan apa harapan kita kepadanya.
3. Siapkan dan kemas bahan informasi.
Tokoh politik mungkin termotivasi dan akan mengambil keputusan jika
mereka mengetahui secara rinci besarnya masalah kesehatan tertentu. Oleh
sebab itu, penting diketahui pesan atau informasi apa yang diperlukan agar
sasaran yang dituju dapat membuat keputusan yang mewakili kepentingan
advocator . kata kunci untuk bahan informasi ini adalah informasi yang
akurat, tepat dan menarik. Beberapa pertimbangan dalam menetapkan bahan
informasi ini meliputi:
· Bahan informasi minimal memuat rumusan masalah yang dibahas, latar
belakang masalahnya, alternative mengatasinya, usulan peran atau tindakan
yang di harapkan, dan tindak lanjut penyelesaiannya. Bahan informasi juga
minimal memuat tentang 5W 1H (what, why, who, where, when, dan how)
tentang permasalahan yang di angkat.
a. Dikemas menarik, ringkas, jelas dan mengesankan.
b. Bahan informasi tersebut akan lebih baik lagi jika disertakan data
pendukung, ilustrasi contoh, gambar dan bagan.
c. Waktu dan tempat penyampaian bahan informasi , apakah sebelum, saat,
atau setelah pertemuan.
4. Rencanakan teknik atau acara kegiatan operasional.
Beberapa teknik dan kegiatan operasional advokasi dapat meliputi,
konsultasi, lobi, pendekatan, atau pembicaraan formal atau informal terhadap
para pembuat keputusan , negosiasi atau resolusi konflik, pertemuan khusus,
debat public, petisi, pembuatan opini, dan seminar-seminar kesehatan
5. Laksanakan kegiatan, pantau evaluasi serta lakukan tindak lanjut.

3. KEMITRAAN
3.1 Pengertian Kemitraan
Kemitraan adalah suatu kerjasama formal antara individu-individu, kelompok
kelompok atau organisasi-organisasi untuk mencapai suatu tugas atau tujuan
tertentu. Dalam kerjasama tersebut ada kesepakatan tentang komitmen dan
harapan masing-masing, tentang peninjauan kembali terhadap kesepakatan
kesepakatan yang telah dibuat dan saling berbagi baik dalam resiko maupun
keuntungan yang diperoleh. Dari definisi ini terdapat tiga kata kunci dalam
kemitraan, yaitu:
1. Kerjasama antar kelompok, organisasi dan Individu
2. Bersama-sama mencapai tujuan tertentu (yang disepakati bersama)
3. Saling menanggung risiko dan keuntungan.

3.2 Prinsip Dasar Kemitraan


Dalam membangun Kemitraan ada tiga prinsip kunci yang perlu dipahami
oleh masing-masing anggota kemitraan yaitu :
1. Equity atau Persamaan.
Individu, organisasi atau Individu yang telah bersedia menjalin kemitraan
harus merasa “duduk sama rendah berdiri sama tinggi”. Oleh sebab itu
didalam forum kemitraan asas demokrasi harus diutamakan, tidak boleh
satu anggota memaksakan kehendak kepada yang lain karena merasa lebih
tinggi dan tidak ada dominasi terhadap yang lain.
2. Transparancy atau Keterbukaan.
Keterbukaan maksudnya adalah apa yang menjadi kekuatan atau kelebihan
atau apa yang menjadi kekurangan atau kelemahan masing-masing
anggota harus diketahui oleh anggota lainnya. Demikian pula berbagai
sumber daya yang dimiliki oleh anggota yang Satu harus diketahui oleh
anggota yang lain. Bukan untuk menyombongkan yang satu terhadap yang
lainnya, tetapi lebih untuk saling memahami satu dengan yang lain
sehingga tidak ada rasa saling mencurigai. Dengan saling keterbukaan ini
akan menimbulkan rasa saling melengkapi dan saling membantu diantara
anggota.
3. Mutual Benefit atau Saling Menguntungkan.
Menguntungkan disini bukan selalu diartikan dengan materi ataupun uang
tetapi lebih kepada non materi. Saling menguntungkan disini lebih dilihat
dari kebersamaan atau sinergitas dalam mencapai tujuan bersama.

3.3 Peran Mitra (Pemerintah dan Swasta)


Kemitraan pada hakikatnya merupakan wujud yang ideal dalam peran serta
masyarakat dalam pembangunan. Kemitraan didasari atas hubungan antar pelaku
yang ideal dalam peran serta masyarakat dalam pembangunan. Kemitraan didasari
atas hubungan antar pelaku yang bertumpu pada ikatan usaha yang saling
menunjang dan saling menguntungkan, serta saling menghidupi berdasarkan asas
kesetaraan dan kebersamaan. Setiap pelaku usaha memiliki potensi, kemampuan
dan keistimewaan sendiri, walaupun berbeda ukuran, jenis, sifat, dan tempat
usahanya.
Setiap pelaku usaha juga memiliki kelebihan dan kekurangannya. Dengan
kelebihan dan kekurangan itu timbul kebutuhan kerjasama dan kemitraan. Dengan
demikian, kelebihan-kelebihan akan dilipat gandakan dengan memaksimalkan
manfaat yang mungkin diperoleh. Sedangkan kekurangan-kekurangan dapat
diusahakan untuk dikurangi, atau bahkan dihilangkan sama sekali, dengan
kerjasama yang saling menutupinya.
Kemitraan dalam pembangunan pada dasarnya mengandung hakikat
keadilan dalam perolehan keuntungan dan manfaat, pembebanan biaya dan
penanggungan risiko yang timbul dalam kegiatan usaha tersebut. Dengan
demikian, kemitraan yang dikembangkan adalah kemitraan yang setara antara
para pelaku sesuai dengan kemampuan kontribusinya.
Kemitraan yang setara memerlukan pula pemahaman yang kuat terhadap
hak dan tanggung jawab serta peranan dari masing-masing pelaku. Dalam hal ini,
pihak-pihak yang terlibat tentu harus memiliki tanggung jawab karena kemitraan
bukanlah bertepuk sebelah tangan. Meskipun semua pihak memiliki tanggung
jawab, pemerintah tetap harus mengambil prakarsa paling tidak untuk
menciptakan iklim yang merangsang bagi usaha kemitraan, antara lain dengan:
1. Mengembangkan kebijaksanaan dan strategi pembangunan yang jelas,
yang tercermin baik pada tujuan, arahan maupun indikator-indikator
kebijaksanaan (policy indicators).
2. Menetapkan prioritas pembangunan yang realistis dan diikuti oleh semua
pihak, baik pemerintah maupun dunia usaha dan masyarakat. Untuk itu
perlu kesepakatan di antara berbagai pelaku pembangunan ini, dan karena
itu perlu ada dialog-dialog.
3. Memantapkan mekanisme komunikasi yang lancar dan transparan.
Transparansi erat kaitannya dengan tingkat partisipasi dan oleh karena itu,
sejak pada tahap awal mekanisme kemitraan yang transparan harus
dikembangkan dan dimantapkan.
4. Mengembangkan pilihan-pilihan atas pola-pola kemitraan yang dapat
mengacu kepentingan-kepentingan yang ada di berbagai lapisan dan
golongan masyarakat, sehingga masyarakat dapat berperan serta seluas-
luasnya dalam kemitraan pembangunan.
5. Menyiapkan rencana pengembangan kemitraan yang mencakup rencana
investasi pemerintah, swasta dan masyarakat sebagai bagian dari
pembangunan nasional.
6. Menyiapkan kerangka peraturan dan arahan serta pedoman yang dapat
menjadi acuan terutama bagi swasta dan masyarakat dan juga menjamin
kepastian usaha
C. RANGKUMAN
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan, memampukan
masyarakat sehingga mampu untuk hidup mandiri. Penyelenggaraan
pemberdayaan masyarakat meliputi: a) Penggerakkan masyarakat; masyarakat
mempunyai peluang yang sebesar-besarnya untuk terlibat aktif dalam proses
pembangunan kesehatan, b) Pengorganisasian dalam pemberdayaan; diupayakan
agar peran organisasi masyarakat lokal makin berfungsi dalam pembangunan
kesehatan, c)Advokasi; masyarakat memperjuangkan kepentingannya di bidang
kesehatan, d) Kemitraan; dalam pemberdayaan masyarakat penting untuk
meningkatkan kemitraan dan partisipasi lintas sektor terkait, swasta, dunia usaha
dan pemangku kepentingan, e) Sumber daya; diperlukan sumber daya yang
memadai seperti Sumber Daya Manusia (SDM), informasi dan dana.
Dalam upaya pemberdayaan masyarakat membutuhkan teknik komunikasi
yang tepat, selain itu pihak pemberdaya tidak bertindak secara independen,
banyak stakeholder yang perlu dilibatkan demi terwujudnya tujuan pemberdayaan
secara optimal. Peran stakeholder dalam kegiatan pemberdayaan tidaklah sama,
setiap stakeholder yang terlibat menduduki peran dan fungsi berbeda. Seperti
pihak swasta yang menopang program pemberdayaan melalui pemberian bantuan
finansial atau pelaksana sebuah program kegiatan yang bertujuan memberdayakan
suatu kelompok masyarakat.

D. TUGAS/ LATIHAN/EKSPERIMEN
1. Jelaskan peran penting advokasi dalam pemberdayaan masyarakat.
2. Jelaskan fungsi komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat.
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan equity dalam prinsip dasar kemitraan.
4. Bagaimana peran pemerintah dan pihak swasta dalam pemberdayaan?
5. Jelaskan keterkaitan antara pemberdayaan dan advokasi yang didukung
dengan kemitraan yang merupakan strategi dalam promosi kesehatan.

E. DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. 2007. Pusat Promosi Kesehatan, Pedoman
Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Puskesmas. Jakarta
Effendy, Onong Uchyana. 1995. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Penerbit PT
Remaja: Bandung.

Iqbal Mubarak,Wahid. 2012. Ilmu Kesehatan Masyarakat:Konsep dan Aplikasi


Dalam Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika

Kemetrian Kesehatan RI. Promosi Kesehatan di Daerah Bermasalah Kesehatan.


Online. www.depkes.go.id. Desember 2016

Muhammad, A. 2004. Komunikasi Organisasi. Bumi Aksara: Jakarta.


Sharma, Ritu R. 2004. Pengantar Advokasi Panduan Latihan. Ed. 1. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia

BAB XIII
DIFUSI INOVASI SEBAGAI HASIL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

A. PENDAHULUAN
Munculnya Teori Difusi Inovasi dimulai pada awal abad ke-20, tepatnya
tahun 1903, ketika seorang sosiolog Perancis, Gabriel Tarde, memperkenalkan
Kurva Difusi berbentuk S (S-shaped Diffusion Curve). Kurva ini pada dasarnya
menggambarkan bagaimana suatu inovasi diadopsi seseorang atau sekelompok
orang dilihat dari dimensi waktu. Pada kurva ini ada dua sumbu dimana sumbu
yang satu menggambarkan tingkat adopsi dan sumbu yang lainnya
menggambarkan dimensi waktu.
Pemikiran Tarde menjadi penting karena secara sederhana bisa
menggambarkan kecenderungan yang terkait dengan proses difusi inovasi. Rogers
(1983) mengatakan, Tarde’s S-shaped diffusion curve is of current importance
because “most innovations have an S-shaped rate of adoption”. Dan sejak saat itu
tingkat adopsi atau tingkat difusi menjadi fokus kajian penting dalam penelitian-
penelitian sosiologi.
Pada tahun 1940, dua orang sosiolog, Bryce Ryan dan Neal Gross,
mempublikasikan hasil penelitian difusi tentang jagung hibrida pada para petani di
Iowa, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini memperbarui sekaligus menegaskan
tentang difusi inovasi model kurva S. Salah satu kesimpulan penelitian Ryan dan
Gross menyatakan bahwa “The rate of adoption of the agricultural innovation
followed an S-shaped normal curve when plotted on a cumulative basis over
time.”
Perkembangan berikutnya dari teori Difusi Inovasi terjadi pada tahun 1960, di
mana studi atau penelitian difusi mulai dikaitkan dengan berbagai topik yang
lebih kontemporer, seperti dengan bidang pemasaran, budaya, dan sebagainya. Di
sinilah muncul tokoh-tokoh teori Difusi Inovasi seperti Everett M. Rogers dengan
karya besarnya Diffusion of Innovation (1961); F. Floyd Shoemaker yang
bersama Rogers menulis Communication of Innovation: A Cross Cultural
Approach (1971) sampai Lawrence A. Brown yang menulis Innovation Diffusion:
A New Perspective (1981).
Lingkup dan Sistematika
Pada awalnya, bahkan dalam beberapa perkembangan berikutnya, teori
Difusi Inovasi senantiasa dikaitkan dengan proses pembangunan masyarakat.
Inovasi merupakan awal untuk terjadinya perubahan sosial, dan perubahan sosial
pada dasarnya merupakan inti dari pembangunan masyarakat. Rogers dan
Shoemaker (1971) menjelaskan bahwa proses difusi merupakan bagian dari
proses perubahan sosial. Perubahan sosial adalah proses dimana perubahan terjadi
dalam struktur dan fungsi sistem sosial. Perubahan sosial terjadi dalam 3 (tiga)
tahapan, yaitu: (1) Penemuan (invention), (2) difusi (diffusion), dan (3)
konsekuensi (consequences). Penemuan adalah proses dimana ide/gagasan baru
diciptakan atau dikembangkan. Difusi adalah proses dimana ide/gagasan baru
dikomunikasikan kepada anggota sistem sosial, sedangkan konsekuensi adalah
suatu perubahan dalam sistem sosial sebagai hasil dari adopsi atau penolakan
inovasi.

Keterkaitan dengan materi lain


Sejak tahun 1960-an, teori difusi inovasi berkembang lebih jauh di mana
fokus kajian tidak hanya dikaitkan dengan proses perubahan sosial dalam
pengertian sempit. Topik studi atau penelitian difusi inovasi mulai dikaitkan
dengan berbagai fenomena kontemporer yang berkembang di masyarakat.
Berbagai perpektif pun menjadi dasar dalam pengkajian proses difusi
inovasi,seperti perspektif ekonomi, perspektif ’market and infrastructure’ (Brown,
1981). Salah satu definisi difusi inovasi dalam taraf perkembangan ini antara lain
dikemukakan Parker (1974), yang mendefinisikan difusi sebagai suatu proses
yang berperan memberi nilai tambah pada fungsi produksi atau proses ekonomi.
Dia juga menyebutkan bahwa difusi merupakan suatu tahapan dalam proses
perubahan teknik (technical change). Menurutnya difusi merupakan suatu tahapan
dimana keuntungan dari suatu inovasi berlaku umum. Dari inovator, inovasi
diteruskan melalui pengguna lain hingga akhirnya menjadi hal yang biasa dan
diterima sebagai bagian dari kegiatan produktif.
Berkaitan dengan proses difusi inovasi tersebut National Center for the
Dissemination of Disability Research (NCDDR), 1996, menyebutkan ada 4
(empat) dimensi pemanfaatan pengetahuan (knowledge utilization), yaitu:
1. Dimensi Sumber (SOURCE) diseminasi, yaitu insitusi, organisasi, atau
individu yang bertanggunggung jawab dalam menciptakan pengetahuan dan
produk baru.
2. Dimensi Isi (CONTENT) yang didiseminasikan, yaitu pengetahuan dan
produk baru dimaksud yang juga termasuk bahan dan informasi pendukung
lainnya.
3. Dimensi Media (MEDIUM) Diseminasi, yaitu cara-cara bagaimana
pengetahuan atau produk tersebut dikemas dan disalurkan.
4. Dimensi Pengguna (USER), yaitu pengguna dari pengetahuan dan produk
dimaksud
B. PENYAJIAN MATERI
1. PENGERTIAN DIFUSI INOVASI
Difusi Inovasi terdiri dari dua padanan kata yaitu difusi dan inovasi. Rogers
(1983) mendefinisikan difusi sebagai proses dimana suatu inovasi
dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu di antara
para anggota suatu sistem sosial (the process by which an innovation is
communicated through certain channels overtime among the members of a social
system). Disamping itu, difusi juga dapat dianggap sebagai suatu jenis perubahan
sosial yaitu suatu proses perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi sistem
sosial.
Inovasi adalah suatu gagasan, praktik, atau benda yang dianggap/dirasa baru
oleh individu atau kelompok masyarakat. Ungkapan dianggap/dirasa baru
terhadap suatu ide, praktik atau benda oleh sebagian orang, belum tentu juga pada
sebagian yang lain. Kesemuanya tergantung apa yang dirasakan oleh individu atau
kelompok terhadap ide, praktik atau benda tersebut.
Dari kedua padanan kata di atas, maka difusi inovasi adalah suatu proses
penyebar serapan ide-ide atau hal-hal yang baru dalam upaya untuk merubah
suatu masyarakat yang terjadi secara terus menerus dari suatu tempat ke tempat
yang lain, dari suatu kurun waktu ke kurun waktu yang berikut, dari suatu bidang
tertentu ke bidang yang lainnya kepada sekelompok anggota dari sistem sosial.
Tujuan utama dari difusi inovasi adalah diadopsinya suatu inovasi (ilmu
pengetahuan, teknologi, bidang pengembangan masyarakat) oleh anggota sistem
sosial tertentu. Sistem sosial dapat berupa individu, kelompok informal, organisasi
sampai kepada masyarakat.

2. KARAKTER INOVASI
Karakteristik inovasi adalah sifat dari difusi inovasi, dimana karakteristik
inovasi merupakan salah satu yang menentukan kecepatan suatu proses inovasi.
Rogers (1983) mengemukakan ada 5 karakteristik inovasi, yaitu : relative
advantage (keuntungan relatif), compatibility atau kompatibilitas (keserasian),
complexity atau kompleksitas (kerumitan), triability atau triabilitas (dapat diuji
coba) dan observability (dapat diobservasi).
Relative Advantage (keuntungan relatif) adalah tingkat kelebihan suatu
inovasi, apakah lebih baik dari inovasi yang ada sebelumnya atau dari hal-hal
yang biasa dilakukan. Biasanya diukur dari segi ekonomi, prestasi sosial,
kenyamanan dan kepuasan. Semakin besar keuntungan relatif yang dirasakan oleh
adopter, maka semakin cepat inovasi tersebut diadopsi.
Compatibility atau kompatibilitas (keserasian) adalah tingkat keserasian dari
suatu inovasi, apakah dianggap konsisten atau sesuai dengan nilai-nilai,
pengalaman dan kebutuhan yang ada. Jika inovasi berlawanan atau tidak sesuai
dengan nilai-nilai dan norma yang dianut oleh adopter maka inovasi baru tersebut
tidak dapat diadopsi dengan mudah oleh adopter.
Complexity atau kompleksitas (kerumitan) adalah tingkat kerumitan dari
suatu inovasi untuk diadopsi, seberapa sulit memahami dan menggunakan inovasi.
Semakin mudah suatu inovasi dimengerti dan dipahami oleh adopter, maka
semakin cepat inovasi diadopsi.
Triability atau triabilitas (dapat diuji coba) merupakan tingkat apakah suatu
inovasi dapat dicoba terlebih dahulu atau harus terikat untuk menggunakannya.
Suatu inovasi dapat diuji cobakan pada keadaan sesungguhnya, inovasi pada
umumnya lebih cepat diadopsi. Untuk lebih mempercepat proses adopsi, maka
suatu inovasi harus mampu menunjukkan keunggulannya.
Observability (dapat diobservasi) adalah tingkat bagaimana hasil penggunaan
suatu inovasi dapat dilihat oleh orang lain. Semakin mudah seseorang melihat
hasil suatu inovasi, semakin besar kemungkinan inovasi diadopsi oleh orang atau
sekelompok orang.

3. CIRI-CIRI ADOPTER
Adopter (penerima inovasi) merupakan bagian dari sistem sosial. Pembagian
anggota sistem sosial dalam keadaan kelompok-kelompok adopter didasarkan
pada tingkat keinovatifannya, yaitu lebih awal atau lebih akhirnya individu untuk
mengadopsi sebuah inovasi. Rogers dan Shoemaker (1987: 88) mengkategorikan
adopter berdasarkan keinovatifannya, yaitu:
a. Innovators. Inovator identik dengan jiwa pemberani dan petualang, dan
senang mencoba gagasan-gagasan baru yang menantang. Untuk menjadi
seorang inovator, ia harus mempunyai sumber keuangan, kemampuan daya
pikir yang tinggi dan cerdas untuk dapat memahami dan menerapkan teknik,
serta menjadi panutan bagi anggota sistem sosial lainnya dalam menentukan
keputusan dan mencoba hal-hal baru.
b. Early Adopters. Pengguna awal adalah seorang pelopor yang biasanya akan
melakukan penelitian terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk menerima
dan menggunakan suatu inovasi. Mayoritas pelopor ini terdiri dari para
pemuka pendapat, biasanya diajak melakukan penyebaran inovasi karena
dirasa mempunyai pengaruh kekuatan yang besar.
c. Early Majority. Pengikut dini lebih dahulu melakukan pemikiran dan
pertimbangan berulang kali. Mereka akan menerima inovasi sesaat setelah
ada anggota sistem lainnya yang menerima inovasi. Pengikut dini jarang
sekali mempunyai posisi sebagai pemimpin, tetapi mereka adalah orang yang
banyak berinteraksi dengan anggota sistem lainnya.
d. Late Majority. Penganut lambat ini tidak mau mengadopsi ide-ide baru atau
inovasi sebelum sebagian besar anggota sistem telah menerima dan
melakukannya. Mereka biasanya bersikap skeptis dan hati-hati sehingga
membutuhkan dorongan atau tekanan dari anggota sistem lainnya yang telah
terlebih dahulu mengadopsi inovasi untuk menerima juga ide baru atau
inovasi sesuai dengan tingkat kepentingan pengadopsian ide baru tersebut.
e. Laggards. Orang yang kolot adalah anggota sistem yang terakhir mengadopsi
ide baru karena mereka adalah anggota sistem yang paling sempit pandangan
dan wawasan serta pengetahuannya diantara anggota sistem lainnya.
Keputusan yang dibuat biasanya dikaitkan dengan apa yang sudah dilakukan
oleh generasi yang sebelumnya. Hal ini terjadi karena laggards adalah orang-
orang yang mempunyai nilai-nilai tradisional yang masih dipegang kuat.
(Rogers dan Shoemaker, 1987: 86-92).

4. TAHAPAN PROSES ADOPSI


Tahap Adoption (Adopsi), yaitu tahap seseorang memastikan atau
mengkonfirmasikan putusan yang diambilnya sehingga ia mulai mengadopsi
perilaku baru tersebut.
Dari pengalaman di lapangan ternyata proses adopsi tidak berhenti segera
setelah suatu inovasi diterima atau ditolak. Kondisi ini akan berubah lagi sebagai
akibat dari pengaruh lingkungan penerima adopsi. Oleh sebab itu, Rogers (1983)
merevisi kembali teorinya tentang keputusan tentang inovasi yaitu: Knowledge
(pengetahuan), Persuasion (persuasi), Decision (keputusan), Implementation
(pelaksanaan), dan Confirmation (konfirmasi).
1. Tahap pengetahuan.
Dalam tahap ini, seseorang belum memiliki informasi mengenai inovasi baru.
Untuk itu informasi mengenai inovasi tersebut harus disampaikan melalui
berbagai saluran komunikasi yang ada, bisa melalui media elektronik, media
cetak, maupun komunikasi interpersonal diantara masyarakat. Tahapan ini
juga dipengaruhi oleh beberapa karakteristik dalam pengambilan keputusan,
yaitu: (1) Karakteristik sosial-ekonomi, (2) Nilai-nilai pribadi dan (3) Pola
komunikasi.
2. Tahap persuasi.
Pada tahap ini individu tertarik pada inovasi dan aktif mencari
informasi/detail mengenai inovasi. Tahap kedua ini terjadi lebih banyak
dalam tingkat pemikiran calon pengguna. Inovasi yang dimaksud berkaitan
dengan karakteristik inovasi itu sendiri, seperti: (1) Kelebihan inovasi, (2)
Tingkat keserasian, (3) Kompleksitas, ( 4) Dapat dicoba dan (5) Dapat dilihat.
3. Tahap pengambilan keputusan.
Pada tahap ini individu mengambil konsep inovasi dan menimbang
keuntungan/kerugian dari menggunakan inovasi dan memutuskan apakah
akan mengadopsi atau menolak inovasi.
4. Tahap implementasi.
Pada tahap ini mempekerjakan individu untuk inovasi yang berbeda-beda
tergantung pada situasi. Selama tahap ini individu menentukan kegunaan dari
inovasi dan dapat mencari informasi lebih lanjut tentang hal itu.
5. Tahap konfirmasi.
Setelah sebuah keputusan dibuat, seseorang kemudian akan mencari
pembenaran atas keputusan mereka. Tidak menutup kemungkinan seseorang
kemudian mengubah keputusan yang tadinya menolak jadi menerima inovasi
setelah melakukan evaluasi.

5. IMPLEMENTASI DIFUSI INOVASI


Ada dua sistem difusi menurut roger, yaitu :
1. Sistem Difusi Sentralisasi
Ialah penentuan tentang berbagai hal dilakukan oleh sekelompok kecil orang
atau tertentu pimpinan agen pembaharu.
2. Sistem Difusi Desentralisasi
Ialah penentuan yang dilakukan oleh klien(warga masyarakat) yang bekerja
sama dengan beberapa orang yang telah menerima inovasi. Dalam
pelaksanaan system ini, secara ekstrim tidak perlu ada agen pembaharu,
melainkan warga masyarakat itu sendiri yang bertanggung jawab terjadinya
difusi inovasi.
Di era sekarang ini komunikasi sangat dibutuhkan untuk memperlancar arus
informasi, terutama informasi mengenai kesehatan dalam melaksanakan
pemberdayaan masyarakat. Sehingga tercapailah tujuan yang diinginkan, yaitu
terwujudnya masyarakat yang berdaya, sehat dan produktif.
Proses adopsi inovasi oleh masyarakat yang terjadi dalam Program Sanitasi
Total Berbasis Masyarakat (STBM), Program Bina Keluarga Balita (BKB) dsb
melalui lima tahapan, yakni masyarakat mendapat pengetahuan (knowledge),
masyarakat dibujuk/dipersuasi (persuassion), masyarakat mengkonfirmasi
keputusannya untuk mengadopsi inovasi (confirmation), pengambilan keputusan
(decision), dan terakhir implementasi keputusan (implementation).
Pigg(2002) menyatakan bahwa pemberdayaan diartikan sebagai upaya
memberikan atau menyediakan kekuasaan untuk orang lain. Dalam hal ini berarti
dibutuhkan kemauan dari pihak yang tadinya “lebih berkuasa” untuk memberikan
kekuasaannya kepada pihak lain. Tanpa proses transfer kekuasaan niscaya
pemberdayaan tidak akan terwujud. Pemberdayaan juga tidak akan terjadi tanpa
adanya tindakan nyata yang menghasilkan luaran dari proses pemberdayaan itu
sendiri yakni adanya perubahan dari kondisi tidak berdaya menjadi lebih berdaya.

C. RANGKUMAN
Munculnya Teori Difusi Inovasi dimulai pada awal abad ke-20, tepatnya
tahun 1903, ketika seorang sosiolog Perancis, Gabriel Tarde, memperkenalkan
Kurva Difusi berbentuk S (S-shaped Diffusion Curve). Kurva ini pada dasarnya
menggambarkan bagaimana suatu inovasi diadopsi seseorang atau sekelompok
orang dilihat dari dimensi waktu.
Inovasi merupakan awal untuk terjadinya perubahan sosial, dan perubahan
sosial pada dasarnya merupakan inti dari pembangunan masyarakat. Rogers dan
Shoemaker (1971) menjelaskan bahwa proses difusi merupakan bagian dari
proses perubahan sosial. Perubahan sosial adalah proses dimana perubahan terjadi
dalam struktur dan fungsi sistem sosial. Perubahan sosial terjadi dalam 3 (tiga)
tahapan, yaitu: (1) Penemuan (invention), (2) difusi (diffusion), dan (3)
konsekuensi (consequences).
Rogers (1983) mengemukakan ada 5 karakteristik inovasi, yaitu : relative
advantage (keuntungan relatif), compatibility atau kompatibilitas (keserasian),
complexity atau kompleksitas (kerumitan), triability atau triabilitas (dapat diuji
coba) dan observability (dapat diobservasi).
Adoption (Adopsi), yaitu tahap seseorang memastikan atau
mengkonfirmasikan putusan yang diambilnya sehingga ia mulai mengadopsi
perilaku baru tersebut. Dari pengalaman di lapangan ternyata proses adopsi tidak
berhenti segera setelah suatu inovasi diterima atau ditolak. Kondisi ini akan
berubah lagi sebagai akibat dari pengaruh lingkungan penerima adopsi. Oleh
sebab itu, Rogers (1983) merevisi kembali teorinya tentang keputusan tentang
inovasi yaitu: Knowledge (pengetahuan), Persuasion (persuasi), Decision
(keputusan), Implementation (pelaksanaan), dan Confirmation (konfirmasi).

D. LATIHAN/TUGAS/EKSPERIMEN
1. Jelaskan perbedaan difusi inovasi dan adopter!
2. Jelaskan tahap-tahap proses adopsi dalam pemberdayaan masyarakat!
3. Bagi masyarakat yang sulit menerima perubahan sehingga keputusan yang
dibuat biasanya dikaitkan dengan apa yang sudah dilakukan oleh generasi
yang sebelumnya. Kelompok ini termasuk dalam kategori?
4. Pada tahap apa seorang individu mengambil konsep inovasi dan menimbang
keuntungan/kerugian dari menggunakan inovasi dan memutuskan apakah
akan mengadopsi atau menolak inovasi?
5. Sebutkan dan jelaskan karakteristik inovasi menurut Rogers (1983)!

E. RUJUKAN
Cain, M and Mittman, R. 2002. Diffusion Of Innovation in Health Care. Oakland :
California Health Care Foundation.

Edi Suharto, Ph.D. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat.


Bandung: Refika Aditama.

Effendy, Onong Uchjana. 1994. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung:
Remaja Rosda Karya.

Ewless, Linda dan Ina Simnett. 1994. Promosi Kesehatan, Petunjuk Praktis.
Yogyakarta: Gadjah Mada university Press.

Greenhalgh, T, et. Al. 2004. Diffusion Of Innovation in Service Organizations :


Systematic Review and Recommendation. Milbank Quarterly, Vol 82.

Hanafi, Abdillah. 1987. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Surabaya: Penerbit


Usaha Nasional
Judith A. Graeff, dkk. 1996. Komunikasi Untuk Kesehatan dan Perubahan
Perilaku. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Mardikanto, Totok. 2010. Konsep-Konsep Pemberdayaan Masyarakat. Surakarta :


UNS Press.

Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKis.

Rogers, E.M. dan Shoemaker, F.F. 1971. Communication of Innovations, London:


The Free Press.

_________. 1983. Diffusions of innovations. London : The free pass.

_________. 1995. Diffusions of Innovations, Forth Edition. New York: Tree Press

Wejnert, Barbara. 2002. Integrating Models of Diffusion of Innvations: A


Conceptual Framework. Annual Review of Sociology, Vol. 28.
BAB XIV
PERENCANAAN DAN EVALUASI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

A. PENDAHULUAN
Pertumbuhan masyarakat di Indonesia yang hingga tahun 2013 ini telah lebih
dari 200 juta jiwa dengan komposisi terbanyak masih menghuni pulau jawa.
Adapun pertumbuhan penduduk ini mempunyai masalah tersendiri dengan
semakin bertambahnya masyarakat usia remaja; dimana mereka ini termasuk
kelompok yang seharusnya masih bersekolah namun dengan alasan ekonomi
sehingga tidak dapat melanjutkan kependidikan yang lebih tinggi lagi.
Pertumbuhan yang besar ini dapat berdampak terjadinya pengangguran
terbuka dengan segala persoalan. Masyarakat berpenghasilan rendah tadi tidak
seharusnya menjadi objek namun dapat diubah kearah yang lebih berguna dengan
pola pemberdayaan (empowering) atau belajar kecakapan hidup (Life skills
Education). Dominasi masyarakat Indonesia yang berjenis kelamin perempuan
merupakan hal yang semestinya menjadi perhatian penuh berbagai pihak. Para
kaum perempuan atau masyarakat usia kerja yang masih menganggur dapat
diberikan suatu pelatihan agar bisa memberi penghasilan untuk kehidupannya
khususnya banyaknya anak putus sekolah yang ada di jalanan sangat
membutuhkan pendampingan dan pelatihan keterampilan agar mereka bisa
menghasilkan sesuatu karya dan menambah penghasilan mereka.
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan,
memampukan masyarakat sehingga mampu untuk hidup mandiri. Agar kegiatan
pemberdayaan berjalan optimal diperlukan perencanaan serta evaluasi dalam
kegiatan pemberdayaan masyarakat.

Lingkup dan Sistematika


Dalam rangka menjalankan sebuah program pemberdayaan masyarakat
dibutuhkan perencanaan yang sistematis, perencanaan yang baik akan terlihat dari
singkronisasi antara input, output, outcome dan impact yang ingin dihasilkan oleh
program dimana setiap komponen mempunyai hubungan yang logis antara satu
dengan yang lain. Istilah perencanaan dapat dimaknai sebagai serangkaian
tindakan pengumpulan data, analisa dan perumusan tujuan, apa yang akan
dihasilkan, apa yang harus dilakukan, dan bagaimana melakukannya agar tujuan
bisa dicapai sesuai kebutuhan lembaga atau organisasi.
Untuk meningkatkan mutu sehingga sesuai dengan hasil yang sudah
direncanakan dalam program maka dibutuhkan alat ukur untuk menilai kesesuaian
antara rencana program dan implementasi program yang dijalankan. Monitoring
dan evaluasi adalah cara untuk melihat apakah program mampu mencapai hasil
sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Monitoring adalah kegiatan pemantauan
implementasi program secara berkala untuk mengetahui dan mengendalikan
apakah kegiatan telah berjalan sesuai dengan rencana kegiatan. Sementara
evaluasi adalah kegiatan untuk melihat sejauh mana program mampu mencapai
sasaran dan menghasilkan dampak yang diharapkan. Ada banyak pendekatan
dalam perencanaan, monitoring dan evaluasi (PME) sesuai dengan kebutuhan dan
karakteristik program. Salah satu pendekatan dalam PME adalah adopsi prinsip
partisipatif dimana masyarakat terlibat langsung dalam kegiatan monitoring dan
evaluasi. Monev partisipatif berguna untuk menimbulkan rasa kepemilikan akan
proses serta membangun konsensus bersama akan hasil dan agenda tindak lanjut.

Keterkaitan Materi dengan Materi Lain


Program berbasis masyarakat diharapkan dapat menurunkan tingkat
kerentanan masyarakat dilaksanakan dengan memberdayakan kapasitas
masyarakat. Tumbuhnya ketidakpastian situasi lingkungan, fisik, sosial, ekonomi
dan politik menyebabkan warga dan masyarakat lainnya menjadi sangat rentan
terhadap bahaya dan dampak bencana.
Hal ini memerlukan banyak upaya bagaimana masyarakat dapat
diberdayakan kapasitasnya melalui pengorganisasian/mobilisasi masyarakat dalam
kesiapsiagaan bencana, penyadaran sosial dan ekonomi, penyadaran lingkungan,
pendidikan/pelatihan dan sejenisnya. Pemberdayaan masyarakat dalam
pengambilan keputusan, perencanaan, pembuatan kebijakan dan program berbasis
masyarakat, diperlukan agar masyarakat memiliki akses untuk mengontrol inputs,
proses, outputs dan keberlangsungan program berbasis masyarakat.

B. PENYAJIAN MATERI
1. PERENCANAAN PEMBERDYAAN MASYARAKAT
Perencanaan adalah suatu proses pengambilan keputusan yang berdasarkan
fakta, mengenai kegiatan- kegiatan yang harus dilaksanakan demi tercapainya
tujuan yang diharapkan atau dikehendaki. Adanya perencanaan suatu program/
kegiatan pemberdayaan masyarakat akan memberikan “kerangka kerja” yang
dapat dijadikan acuan oleh para fasilitator dan semua pemangku kepentingan/
stakeholders (termasuk warga masyarakat) untuk mengambil keputusan tentang
kegiatan- kegiatan yang seharusnya dilaksanakan demi tercapainya tujuan
pembangunan yang diinginkan. Perencanaan program pemberdayaan masyarakat
sangat penting untuk dilakukan demi keberhasilahn program tersebut.
Tahapan–tahapan perencanaan program pemberdayaan masyarakat
dikemukakan oleh Mardikanto (2009), dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pengumpulan data keadaan, merupakan kegiatan pengumpulan data dasar
yang diperlukan untuk menentukan masalah, tujuan, dan cara mencapai
tujuan atau kegiatan yang direncanakan. Data yang dikumpulkan
mencakup keadaan sumber daya (sumber daya alam dan manusia),
kelembagaan (sosial dan ekonomi), sarana dan prasarana yang diperlukan
untuk pelaksanaan kegiatan; teknologi yang digunakan; peraturan atau
kebijakan pembangunan yang sudah ditetapkan.
2. Analisis data keadaan.
3. Identifikasi masalah, identifikasi masalah dapat dilakukan dengan
menganalisis kesenjangan :
a. Antara data potensial dengan data aktual
b. Antara keadaan yang ingin dicapai dengan yang sudah dicapai
c. Antara teknologi yang seharusnya diterapkan dengan yang sudah
diterapkan
d. Antara peraturan yang harus dilaksanakan dengan praktek/ kenyataan
dalam penerapan peraturan tersebut
4. Pemilihan masalah yang akan dipecahkan.
5. Perumusan tujuan- tujuan, dalam perumusan tujuan atau penerima manfaat
perlu diperhatikan agar penerima manfaat yang hendak dicapai haruslah
“realistis”, baik ditinjau dari segi kemampuan sumber daya maupun dapat
dirumuskan secara bertahap dengan target yang realistis.
6. Perumusan alternatif pemecahan masalah.
7. Perumusan cara mencapai tujuan.
8. Pengesahan program pemberdayaan masyarakat.
9. Perumusan rencana evaluasi untuk melaporkan aksi pemberdayaan
masyarakat.
10. Rekonsiderasi, merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
mempertimbangkan kembali rumusan perencanaan program yang ada.

2. Kearifan Lokal (Local Genius)


Pengertian Kearifan lokal adalah suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada
dalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah. Jadi merujuk pada
lokalitas dan komunitas tertentu. Menurut Putu Oka Ngakan dalam Andi M.
Akhmar dan Syarifudin (2007) kearifan lokal merupakan tata nilai atau perilaku
hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup
secara arif.
Maka dari itu kearifan lokal tidaklah sama pada tempat dan waktu yang
berbeda dan suku yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam
dan kebutuhan hidupnya berbeda-beda, sehingga pengalamannya dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik
yang berhubungan dengan lingkungan maupun sosial. Sebagai salah satu bentuk
perilaku manusia, kearifan lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah
sejalan dengan waktu, tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada
di masyarakat.
Sementara itu Keraf (2002) menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua
bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan
atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas
ekologis. Semua bentuk kearifan lokal ini dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan
diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia
terhadap sesama manusia, alam maupun gaib.
Selanjutnya Francis Wahono (2005) menjelaskan bahwa kearifan lokal adalah
kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam semesta dalam menjaga
keseimbangan ekologis yang sudah berabad-abad teruji oleh berbagai bencana dan
kendala serta keteledoran manusia. Kearifan local tidak hanya berhenti pada etika,
tetapi sampai pada norma dan tindakan dan tingkah laku, sehingga kearifan lokal
dapat menjadi seperti religi yang memedomani manusia dalam bersikap dan
bertindak, baik dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun menentukan
peradaban manusia yang lebih jauh.
Adanya gaya hidup yang konsumtif dapat mengikis norma-norma kearifan
lokal di masyarakat. Untuk menghindari hal tersebut maka norma-norma yang
sudah berlaku di suatu masyarakat yang sifatnya turun menurun dan berhubungan
erat dengan kelestarian lingkungannya perlu dilestarikan yaitu kearifan lokal.
Pengertian pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan mengacu pada UU
RI No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup yang berbunyi
Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan,
pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian
lingkungan hidup.

3. Evaluasi Pemberdayaan Masyarakat


Evaluasi adalah kegiatan pengamatan dan analisis terhadap suatu keadaan,
peristiwa, atau kegiatan yang sedang berlangsung. Kegiatan evaluasi merupakan
kegiatan yang terencana dan sistematis. Tujuan evaluasi dalam aksi pemberdayaan
masyarakat adalah untuk mengetahui seberapa jauh kegiatan- kegiatan yang
dilaksanakan telah sesuai atau menyimpang dengan pedoman yang telah
ditetapkan.
Kegunaan evaluasi pemberdayaan masyarakat :
1. Kegunaan Operasional
a. Dengan evaluasi kita dapat mengetahui cara yang tepat untuk
mencapai tujuan yang dikehendaki dan sekaligus dapat
mengidentifikasi faktor- faktor kritis yang sangat menentukan
keberhasilan suatu pemberdayaan.
b. Melalui evaluasi, dapat kita lakukan perubahan, modifikasi atau
supervise terhadap kegiatan (pemberdayaan) yang dilakukan.
c. Dapat dikembangkan tujuan serta analisis informasi bagi pelaporan
kegiatan.
2. Kegunaan analitis bagi pengembang program
a. Untuk mengembangkan dan mempertajam tujuan program dan
perumusannya.
b. Untuk menguji asumsi- asumsi yang digunakan, dan untuk lebih
menegaskannya lagi secara eksplisit.
c. Untuk membantu dalam mengkaji ulang proses kegiatan demi
tercapainya tujuan akhir yang dikehendaki.
3. Kegunaan kebijakan
a. Berlandaskan hasil evaluasi, dapat dirumuskan kembali strategi
pembangunan, pendekatan yang digunakan, serta asumsi yang akan
diuji.
b. Untuk menggali dan meningkatkan pengetahuan tentang hubungan
antar kegiatan pembangunan, yang sangat bermanfaat bagi
peningkatan efektivitas dan efisiensi di masa mendatang.

C. RANGKUMAN
Pemberdayaan merupakan suatu upaya yang harus diikuti dengan tetap
memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh setiap masyarakat. Adanya
perencanaan program dapat menjadi acuan dalam menjalankan suatu kegiatan
(pemberdayaan). Dalam merencanakan program tujuan program perlu
dirumuskan secara spesifik dan jelas. Hal ini dikarenakan perencanaan program
merupakan pedoman bagi pelaksana suatu program, memberikan arah dan bila
ditemui hambatan, dapat dengan cepat dilakukan revisi. Perencana program harus
mampu mengenali adanya prospek, tantangan, dan kebutuhan masyarakat.
Setiap program kegiatan yang direncanakan seharusnya diakhiri dengan
evaluasi dan dimulai dengan hasil evaluasi kegiatan sebelumnya. Evaluasi yang
dilakukan dimaksudkan untuk melihat kembali apakah suatu program atau
kegiatan telah dapat dilaksanakan sesuai dengan perencanaan dan tujuan yang
diharapkan. Dari kegiatan evaluasi tersebut akan diketahui hal-hal yang telah
dicapai, apakah suatu program dapat memenuhi kriteria yang telah ditentukan.
Berdasarkan hasil evaluasi itu kemudian diambil keputusan, apakah suatu
program akan diteruskan, atau direvisi, atau bahkan diganti sama sekali. Hal ini
didasarkan pada pengertian evaluasi, yaitu suatu proses pengumpulan informasi
melalui pengumpulan data dengan menggunakan instrumen tertentu untuk
mengambil suatu keputusan. Jadi, pada dasarnya evaluasi adalah suatu kegiatan
yang menguji atau menilai pelaksanaan suatu program.

D. TUGAS/ LATIHAN/ EKSPERIMEN


1. Jelaskan tahapan dalam perencanaan program pemberdayaan masyarakat
2. Jelaskan kegunaan evaluasi yakni kegunaan operasional
3. Jelaskan kegunaan evaluasi bagi pengembang program
4. Apa yang anda ketahui tentang kearifan lokal
5. Jelaskan seberapa penting perencanaan dalam kegiatan pemberdayaan
masyarakat

E. DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jendral PHKA. 2008. Pedoman Monitoring dan Evaluasi
Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Konservasi.
elisa.ugm.ac.id/user/archive/download. Diakses Desember 2016

Mardikanto, Totok. 2010. Konsep- Konsep Pemberdayaan Masyarakat. Cetakan


1. Surakarta Fakultas Pertanian UNS Dengan UNS Press

Naritoom, Chatcharee. Local Wisdom/Indigenous Knowledge System. Nakhon


Pathom, Thailand: Kasetsart University.

Pusat Promosi Kesehatan, Pemberdayaan Masyarakat dan Promosi Kesehatan,


Jakarta, 2010

Undang – Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1997. Tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup. http://www.bkprn.org/. Diakses Desember 2016
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN
TINGGI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER


(RPS)

Fakultas :Kesehatan Masyarakat


Program Studi :Ilmu Kesehatan Masyarakat
Mata Kuliah/Kode : Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat
Jumlah SKS : 2 sks
Semester : IV (empat)
Dosen Pengampu : Dr.Alam Fajar, S.Sos, M.Kes
Fenny Etrawati, S.KM, M.KM

I. Deskripsi Mata Kuliah:


Mengorganisasikan masyarakat sangat diperlukan dalam ilmu kesehatan masayarakat, oleh karena itu setiap mahasiswa FKM harus mempunyai pemahaman
tentang pengorganisasian dan pengorganisasian masyarakat (PPM). Dalam mata kuliah ini membahas tentang pengertian dan kedudukan PPM dalam
intervensi kesehatan masyarakat, hakikat manusia, pendekatan direktif/nondirektif, model PPM dan pengalaman belajar beserta teknik menumbuhkan
keswadayaan dan partisipasi masyarakat dalam program kesehatan

II. Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (Learning Outcomes of A Course) :


1. Sikap dan Tata Nilai:
1) Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mampu menunjukkan sikap religius;
2) Berperan sebagai warga negara yang bangga dan cinta tanah air, memiliki nasionalisme serta tanggungjawab pd negara & bangsa;
3) Mampu berkontribusi dalam peningkatan mutu kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila;
4) Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dalam menjalankan tugas berdasarkan moral dan etika;
5) Mampu bekerja sama dan memiliki kepekaan sosial serta kepedulian terhadap masyarakat dan lingkungan;
6) Menghargai keanekaragaman budaya, pandangan, agama, dan kepercayaan, serta pendapat atau temuan orisinal orang lain
7) Taat hukum dan disiplin dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara
8) Mampu menginternalisasi nilai, norma dan etika akademik
9) Mampu menginternalisasi semangat kemandirian dan kejuangan

2. Pengetahuan:
1) Memahami dan mempunyai pengetahuan mengenai dasar-dasar Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat.
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN
TINGGI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

2) Memahami dan mempunyai pengetahuan mengenai Hakikat Manusia


3) Memahami dan mempunyai pengetahuan mengenai Kebijakan dan Strategi Promosi Kesehatan
4) Memahami dan mempunyai pengetahuan mengenai Konsep Dasar Pengorganisasian, Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat
5) Memahami dan mempunyai pengetahuan mengenai Lingkup, Tahapan dan Proses Pemberdayaan Masyarakat
6) Pendekatan dalam Pemberdayaan Masyarakat
7) Memahami dan mempunyai pengetahuan mengenai Model –Model pemberdayaan Masyarakat (Pengorganisasian dan pengembangan)
8) Memahami Situasi Belajar dalam Masyarakat
9) Memahami dan mempunyai pengetahuan mengenai peran dan fungsi fasilitator pemberdayaan masyarakat
10) Memahami dan mempunyai pengetahuan mengenai peran dan fungsi fasilitator pemberdayaan masyarakat
11) Memahami dan mempunyai pengetahuan mengenai Konsep Primary Health Care dan Penerapannya di Indonesia
12) Memahami dan mempunyai pengetahuan mengenai penerapan fasilitasi pemberdayaan masyarakat
13) Memahami dan mempunyai pengetahuan mengenai peran komunikasi, advokasi, kemitraan dalam pemberdayaan masyarakat
14) Memahami dan mempunyai pengetahuan mengenai Difusi Inovasi sebagai hasil dari pemberdayaan masyarakat
15) Memahami dan mempunyai pengetahuan mengenai perencanaan dan evaluasi pemberdayaan masyarakat

3. Keterampilan Kerja (Kemampuan Kerja dan Kewenangan dan Tanggung Jawab):


mampu melakukan penerapan ilmu pengetahuan dan atau teknologi, melalui penalaran ilmiah, dengan menggunakan pemikiran logis, kritis
dan inovatif;
mampu melakukan pengkajian pengetahuan dan atau teknologi di bidangnya berdasarkan kaidah keilmuan yang disusun dalam bentuk
skripsi/laporan tugas akhir, atau menghasilkan karya desain/seni beserta deskripsinya berdasarkan metoda atau kaidah rancangan
baku;
mampu mempublikasikan hasil tugas akhir atau karya desain/ seni yang dapat diakses oleh masyarakat akademik;
mampu mengkomunikasikan informasi dan ide melalui berbagai media kepada masyarakat sesuai dengan bidang keahliannya.
Mampu bertanggungjawab atas pekerjaan di bidang keahliannya secara mandiri dan dapat diberi tanggung jawab atas pencapaian hasil kerja
institusi atau organisasi dengan mengutamakan keselamatan dan keamanan kerja.
Mampu mengambil keputusan yang tepat berdasarkan analisis dalam melakukan supervisi dan evaluasi terhadap pekerjaan yang menjadi
tanggung jawabnya
Mampu mengelola pembelajaran diri sendiri.
Mampu mengembangkan dan memelihara jaringan kerja dengan pembimbing, kolega, sejawat di dalam maupun di luar institusi
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN
TINGGI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

Capaian Kemampuan akhir Bahan Kajian /


Perte Metode Kriteria
Pembelajaran capaian pembelajaran Materi Pembelajaran
muan Pembelajaran Pengalaman Belajar Penilaian
Pertemuan
(Indikator) Waktu
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1 Menjelaskan dan Setelah mengikuti a. Kesejahteraan untuk Ceramah, a. Membuka Essay test 2 X 50’
memahami materi perkuliahan mahasiswa semua Diskusi, perkuliahan
pendahuluan diharapkan dapat : b.Pembangunan untuk dengan ucapan
Pengorganisasian a. Menjelaskan perbaikan salam
dan Pengembangan konsep kesejahteraan kesejahteraan b. Menjelaskan
Masyarakat (social walfare) untuk c. Penerapan teknologi ruang lingkup
semua dalam pembangunan materi pada
b. Menjelaskan d.Konsep-konsep pertemuan
konsep pembangunan pembangunan c. Menjelaskan
untuk perbaikan e. Pelaku-pelaku materi
kesejahteraan pembangunan d. Mengajukan
c. Menjelaskan pertanyaan
penerapan teknologi kepada
dalam pembangunan mahasiwa
d. Menjelaskan tentang
konsep-konsep pemahaman
pembangunan materi yang
e. Mengidentifikasi dibahas
pelaku-pelaku e. Menyimpulkan
pembangunan materi
f. Memberikan
kesempatan
kepada mahasiwa
untuk bertanya
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN
TINGGI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

tentang materi
yang dibahas
g. Menutup
perkuliahan
dengan ucapan
salam
Capaian Kemampuan akhir Bahan Kajian /
Perte Metode Kriteria
Pembelajaran capaian pembelajaran Materi Pembelajaran
muan Pembelajaran Pengalaman Belajar Penilaian
Pertemuan
(Indikator) Waktu
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
2 Memahami Konsep Setelah mengikuti Hakikat Manusia Ceramah dan a. Membuka Essay test 2 X 50’
Hakikat Manusia perkuliahan mahasiswa a. Pandangan Diskusi perkuliahan
diharapkan dapat : dengan ucapan
a. Membedakan berbagai Psikoanalitik salam
pandangan tentang b. Pandangan b. Menjelaskan
Hakikat Manusia Humanistik ruang lingkup
c. Pandangan materi pada
Behavioristik pertemuan
c. Menjelaskan
materi
d. Mengajukan
pertanyaan
kepada
mahasiwa
tentang
pemahaman
materi yang
dibahas
e. Menyimpulkan
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN
TINGGI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

materi
f. Memberikan
kesempatan
kepada mahasiwa
untuk bertanya
tentang materi
yang dibahas
g. Menutup
perkuliahan
dengan ucapan
salam

Capaian Kemampuan akhir Bahan Kajian /


Perte Metode Kriteria
Pembelajaran capaian pembelajaran Materi Pembelajaran
muan Pembelajaran Pengalaman Belajar Penilaian
Pertemuan
(Indikator) Waktu
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
3 Memahami Setelah mengikuti a. Arah Kebijakan dan Ceramah dan a. Membuka Essay test 2 X 50’
Kebijakan dan perkuliahan mahasiswa Strategi Kementerian Diskusi perkuliahan
Strategi Promosi diharapkan dapat: Kesehatan dengan ucapan
Kesehatan a. Mengetahui Arah Dan 1) Pengertian salam
Kebijakan Dan Serta Promosi b. Menjelaskan
Strategi Kementerian Kesehatan ruang lingkup
Kesehatan 2) Arah dan materi pada
b.Menjelaskan Kebijakan dan pertemuan
Kebijakan Promosi Strategi c. Menjelaskan
Kesehatan Kementerian materi
c. Memilih Strategi Kesehatan d. Mengajukan
Promosi Kesehatan 3) Peran Promosi pertanyaan
Kesehatan kepada
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN
TINGGI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

b. Kebijakan Promosi mahasiwa


Kesehatan tentang
c. Strategi Promosi pemahaman
Kesehatan materi yang
dibahas
e. Menyimpulkan
materi
f. Memberikan
kesempatan
kepada mahasiwa
untuk bertanya
tentang materi
yang dibahas
g. Menutup
perkuliahan
dengan ucapan
salam

Capaian Kemampuan akhir Bahan Kajian /


Perte Metode Kriteria
Pembelajaran capaian pembelajaran Materi Pembelajaran
muan Pembelajaran Pengalaman Belajar Penilaian
Pertemuan
(Indikator) Waktu
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
4 Memahami Setelah mengikuti a. Pengertian Ceramah dan a. Membuka Essay test 2 X 50’
mengenai dasar- perkuliahan mahasiswa Pengorganisasian Diskusi perkuliahan
dasar diharapkan dapat : dan Pengembangan dengan ucapan
Pengorganisasian a. Menyebutkan Masyarakat salam
dan Pengembangan Pengertian b. Tujuan & manfaat b. Menjelaskan
Masyarakat. Pengorganisasian dan Pengorganisasian ruang lingkup
Pengembangan dan Pengembangan materi pada
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN
TINGGI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

Masyarakat Masyarakat pertemuan


b. Menyebutkan tujuan & c. Karakteristik c. Menjelaskan
manfaat Pengorganisasian materi
Pengorganisasian dan dan Pengembangan d. Mengajukan
Pengembangan
Masyarakat pertanyaan
Masyarakat
c. Membedakan
d. Masa depan kepada
karakteristik Pengorganisasian mahasiwa
Pengorganisasian dan dan Pengembangan tentang
Pengembangan Masyarakat pemahaman
Masyarakat e. Pengorganisasian materi yang
d. Memprediksi masa dan Pengembangan dibahas
depan Masyarakat dalam e. Menyimpulkan
Pengorganisasian dan pemasaran social materi
Pengembangan f. Pengorganisasian f. Memberikan
Masyarakat dan Pengembangan kesempatan
e. Menguraikan pengaruh
Masyarakat dalam kepada mahasiwa
Pengorganisasian dan
Pengembangan konteks kesehatan untuk bertanya
Masyarakat dalam masyarakat tentang materi
pemasaran social yang dibahas
f. Menimplementasikan g. Menutup
Pengorganisasian dan perkuliahan
Pengembangan dengan ucapan
Masyarakat dalam salam
konteks kesehatan
masyarakat

Capaian Kemampuan akhir Bahan Kajian /


Perte Metode Kriteria
Pembelajaran capaian pembelajaran Materi Pembelajaran
muan Pembelajaran Pengalaman Belajar Penilaian
Pertemuan
(Indikator) Waktu
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN
TINGGI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)


5 Memahami Setelah mengikuti a. Lingkup Ceramah dan a. Membuka Essay test 2 X 50’
mengenai Lingkup, perkuliahan mahasiswa Pemberdayaan Diskusi perkuliahan
Tahapan dan Proses diharapkan dapat: Masyarakat dengan ucapan
Pemberdayaan a. Mengidentifikasi 1) Bina Manusia salam
Masyarakat Lingkup 2) Bina Bina Usaha b. Menjelaskan
Pemberdayaan 3) Bina Lingkungan ruang lingkup
Masyarakat 4) Bina materi pada
Kelembagaan pertemuan
b. Menguraikan b.Tahapan c. Menjelaskan
Tahapan Pemberdayaan materi
Pemberdayaan Masyarakat d. Mengajukan
Masyarakat c. Proses Pemberdayaan pertanyaan
c. Menjelaskan Proses Masyarakat kepada
Pemberdayaan 1) Pemberdayaan mahasiwa
Masyarakat sebagai proses tentang
perubahan pemahaman
2) Pemberdayaan materi yang
sebagai proses
dibahas
pemberdayaan
3) Pemberdayaan
e. Menyimpulkan
sebagai proses materi
penguatan f. Memberikan
4) Pemberdayaan kesempatan
sebagai proses kepada mahasiwa
perubahan sosial untuk bertanya
5) Pemberdayaan tentang materi
sebagai proses yang dibahas
pembangunan g. Menutup
masyarakat perkuliahan
6) Pemberdayaan dengan ucapan
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN
TINGGI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

sebagai proses salam


partisipasi
masyarakat
Capaian Kemampuan akhir Bahan Kajian /
Perte Metode Kriteria
Pembelajaran capaian pembelajaran Materi Pembelajaran
muan Pembelajaran Pengalaman Belajar Penilaian
Pertemuan
(Indikator) Waktu
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
6 Mahasiswa Mampu Setelah mengikuti a. Pendekatan Directif Ceramah, a. Membuka Essay test 2 X 50’
Mengimplementasi perkuliahan mahasiswa b.Pendekatan non- Diskusi, perkuliahan
kan Pendekatan diharapkan dapat: Direktif dengan ucapan
Dalam a. Menentukan Saat salam
Pemberdayaan Menggunakan b. Menjelaskan
Masyarakat Pendekatan Directif ruang lingkup
b. Menentukan Saat materi pada
Pendekatan non- pertemuan
Direktif c. Menjelaskan
materi
d. Mengajukan
pertanyaan
kepada
mahasiwa
tentang
pemahaman
materi yang
dibahas
e. Menyimpulkan
materi
f. Memberikan
kesempatan
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN
TINGGI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

kepada mahasiwa
untuk bertanya
tentang materi
yang dibahas
g. Menutup
perkuliahan
dengan ucapan
salam

Capaian Kemampuan akhir Bahan Kajian /


Perte Metode Kriteria
Pembelajaran capaian pembelajaran Materi Pembelajaran
muan Pembelajaran Pengalaman Belajar Penilaian
Pertemuan
(Indikator) Waktu
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
7 Mahasiswa mampu Setelah mengikuti a. Model A (Locally Ceramah, a. Membuka Essay test 2 X 50’
mengidentifikasi perkuliahan mahasiswa Development) dalam Diskusi, perkuliahan
Model–Model diharapkan dapat : pemberdayaan dengan ucapan
pemberdayaan a. Mengidentifikasi masyarakat salam
Masyarakat Model A (Locally b.Model B (Social b. Menjelaskan
(Pengorganisasian Development) dalam Planning) dalam ruang lingkup
dan pengembangan) pemberdayaan pemberdayaan materi pada
masyarakat masyarakat pertemuan
b. Mengidentifikasi c. Model C (Social c. Menjelaskan
Model B (Social Action) dalam materi
Planning) dalam pemberdayaan d. Mengajukan
pemberdayaan masyarakat pertanyaan
masyarakat kepada
c. Mengidentifikasi mahasiwa
Model C (Social tentang
pemahaman
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN
TINGGI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

Action) dalam materi yang


pemberdayaan dibahas
masyarakat e. Menyimpulkan
materi
f. Memberikan
kesempatan
kepada mahasiwa
untuk bertanya
tentang materi
yang dibahas
g. Menutup
perkuliahan
dengan ucapan
salam

Capaian Kemampuan akhir Bahan Kajian /


Perte Metode Kriteria
Pembelajaran capaian pembelajaran Materi Pembelajaran
muan Pembelajaran Pengalaman Belajar Penilaian
Pertemuan
(Indikator) Waktu
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
8 UJIAN TENGAH SEMESTER
9 Memahami Situasi Setelah mengikuti a. Konsep Belajar Ceramah, a. Membuka Essay test 2 X 50’
Belajar dalam perkuliahan mahasiswa b.Ciri-Ciri Kegiatan Diskusi, perkuliahan
Masyarakat diharapkan dapat: Belajar dengan ucapan
a. Menjelaskan c. Teori dalam proses salam
Konsep Belajar belajar b. Menjelaskan
b. Menguraikan Ciri- d.Menumbuhkan self ruang lingkup
Ciri Kegiatan directed Action materi pada
Belajar e. Situasi Belajar pertemuan
c. Menjelaskan Teori f. Fasilitasi dan c. Menjelaskan
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN
TINGGI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

dalam proses belajar Pendampingan materi


d. Mengidentifikasi d. Mengajukan
Cara Menumbuhkan pertanyaan
self directed Action kepada
e. Mengidentifikasi mahasiwa
Situasi Belajar tentang
f. Menjelaskan pemahaman
Konsep Fasilitasi materi yang
dan Pendampingan dibahas
e. Menyimpulkan
materi
f. Memberikan
kesempatan
kepada mahasiwa
untuk bertanya
tentang materi
yang dibahas
g. Menutup
perkuliahan
dengan ucapan
salam
Capaian Kemampuan akhir Bahan Kajian /
Perte Metode Kriteria
Pembelajaran capaian pembelajaran Materi Pembelajaran
muan Pembelajaran Pengalaman Belajar Penilaian
Pertemuan
(Indikator) Waktu
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
10 Menjelaskan peran Setelah mengikuti a. Peran Fasilitator Ceramah, a. Membuka Essay test 2 X 50’
dan fungsi perkuliahan mahasiswa Pemberdayaan Diskusi, perkuliahan
fasilitator diharapkan dapat: Masyarakat dengan ucapan
pemberdayaan a. Menjelaskan b.Fungsi Fasilitator salam
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN
TINGGI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

masyarakat Peran Fasilitator Pemberdayaan b. Menjelaskan


Pemberdayaan Masyarakat ruang lingkup
Masyarakat materi pada
b. Menjelaskan pertemuan
Fungsi Fasilitator c. Menjelaskan
Pemberdayaan materi
Masyarakat d. Mengajukan
pertanyaan
kepada
mahasiwa
tentang
pemahaman
materi yang
dibahas
e. Menyimpulkan
materi
f. Memberikan
kesempatan
kepada mahasiwa
untuk bertanya
tentang materi
yang dibahas
g. Menutup
perkuliahan
dengan ucapan
salam

Capaian Kemampuan akhir Bahan Kajian /


Perte Metode Kriteria
Pembelajaran capaian pembelajaran Materi Pembelajaran
muan Pembelajaran Pengalaman Belajar Penilaian
Pertemuan
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN
TINGGI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

Waktu
(Indikator)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
11 Memahami Konsep Setelah mengikuti a. Latar Belakang Ceramah, a. Membuka Essay test 2 X 50’
Primary Health perkuliahan mahasiswa Primary Health Care Diskusi perkuliahan
Care dan diharapkan dapat: b.Perkembangan dengan ucapan
Penerapannya di a. Mengingat Latar Primary Health Care salam
Indonesia Belakang Primary di Indonesia b. Menjelaskan
Health Care c. Pengertian Primary ruang lingkup
b. Mengidentifikasi Health Care materi pada
Perkembangan d.Peran serta pertemuan
Primary Health masyarakat dalam c. Menjelaskan
Care di Indonesia Primary Health Care materi
c. Mengingat e. Peranan dan d. Mengajukan
Pengertian Primary Kedudukan kader pertanyaan
Health Care dalam Primary kepada
d. Menguraikan Peran Health Care mahasiwa
serta masyarakat tentang
dalam Primary pemahaman
Health Care materi yang
e. Menguraikan dibahas
Peranan dan e. Menyimpulkan
Kedudukan kader materi
dalam Primary f. Memberikan
Health Care kesempatan
kepada mahasiwa
untuk bertanya
tentang materi
yang dibahas
g. Menutup
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN
TINGGI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

perkuliahan
dengan ucapan
salam

Capaian Kemampuan akhir Bahan Kajian /


Perte Metode Kriteria
Pembelajaran capaian pembelajaran Materi Pembelajaran
muan Pembelajaran Pengalaman Belajar Penilaian
Pertemuan
(Indikator) Waktu
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
12 Menguraikan Setelah mengikuti a. Fasilitasi Ceramah, a. Membuka Essay test 2 X 50’
konsep fasilitas perkuliahan mahasiswa pengembangan Desa Diskusi, perkuliahan
pemberdayaan diharapkan dapat: dan Kelurahan Siaga dengan ucapan
masyarakat a. Menguraikan Aktif salam
konsep fasilitasi b.Fasilitasi pembinaan b. Menjelaskan
pengembangan Desa PHBS di masyarakat ruang lingkup
dan Kelurahan Siaga materi pada
Aktif pertemuan
b. Menguraikan c. Menjelaskan
konsep fasilitasi materi
pembinaan PHBS di d. Mengajukan
masyarakat pertanyaan
kepada
mahasiwa
tentang
pemahaman
materi yang
dibahas
e. Menyimpulkan
materi
f. Memberikan
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN
TINGGI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

kesempatan
kepada mahasiwa
untuk bertanya
tentang materi
yang dibahas
g. Menutup
perkuliahan
dengan ucapan
salam

Capaian Kemampuan akhir Bahan Kajian /


Perte Metode Kriteria
Pembelajaran capaian pembelajaran Materi Pembelajaran
muan Pembelajaran Pengalaman Belajar Penilaian
Pertemuan
(Indikator) Waktu
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
13 Menjelaskan peran Setelah mengikuti a. Komunikasi Ceramah, a. Membuka Essay test 2 X 50’
komunikasi, perkuliahan mahasiswa 1) Pengertian Diskusi, tugas perkuliahan
advokasi, kemitraan diharapkan dapat: Komunikasi dengan ucapan
dalam a. Menjelaskan peran 2) Bentuk-Bentuk salam
pemberdayaan komunikasi Komunikasi b. Menjelaskan
masyarakat b. Menjelaskan peran 3) Membangun ruang lingkup
sdvokasi komunikasi materi pada
c. Menjelaskan peran Efektif pertemuan
kemitraan b.Advokasi c. Menjelaskan
materi
Pengertian advokasi d. Mengajukan
Langkah-langkah pertanyaan
advokasi kepada
Cara melakukan mahasiwa
advokasi tentang
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN
TINGGI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

c. Kemitraan pemahaman
1) Pengertian materi yang
Kemitraan dibahas
2) Peran mitra e. Menyimpulkan
(Pemerintah dan materi
Swasta (NGO)) f. Memberikan
3) Perencanaan kesempatan
Kemitraan kepada mahasiwa
4) Pelaksanaan untuk bertanya
Kemitraan, tentang materi
pemantauan dan yang dibahas
penilaian hasil g. Menutup
perkuliahan
dengan ucapan
salam

Capaian Kemampuan akhir Bahan Kajian /


Perte Metode Kriteria
Pembelajaran capaian pembelajaran Materi Pembelajaran
muan Pembelajaran Pengalaman Belajar Penilaian
Pertemuan
(Indikator) Waktu
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
14 Memahami Setelah mengikuti a. Pengertian Difusi Ceramah, a. Membuka Essay test 2 X 50’
mengenai konsep perkuliahan mahasiswa Inovasi Diskusi, tugas perkuliahan
Difusi Inovasi diharapkan dapat: b. Karakter Inovasi dengan ucapan
sebagai hasil dari a. Menyebutkan c. Ciri-Ciri Adopter salam
pemberdayaan Pengertian Difusi d. Tahapan proses b. Menjelaskan
masyarakat Inovasi adopsi ruang lingkup
b. Menjelaskan e. Implementasi difusi materi pada
Karakter Inovasi inovasi pertemuan
c. Membedakan Ciri- c. Menjelaskan
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN
TINGGI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

Ciri Adopter materi


d. Menguraikan d. Mengajukan
Tahapan proses pertanyaan
adopsi kepada
e. Memahami mahasiwa
Implementasi difusi tentang
inovasi pemahaman
materi yang
dibahas
e. Menyimpulkan
materi
f. Memberikan
kesempatan
kepada mahasiwa
untuk bertanya
tentang materi
yang dibahas
g. Menutup
perkuliahan
dengan ucapan
salam

Capaian Kemampuan akhir Bahan Kajian /


Perte Metode Kriteria
Pembelajaran capaian pembelajaran Materi Pembelajaran
muan Pembelajaran Pengalaman Belajar Penilaian
Pertemuan
(Indikator) Waktu
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
15 Merumuskan Setelah mengikuti a. Perencanaan Ceramah, h. Membuka Essay test 2 X 50’
konsep perencanaan perkuliahan mahasiswa pemberdayaan Diskusi, tugas perkuliahan
dan evaluasi diharapkan dapat : masyarakat dengan ucapan
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN
TINGGI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

pemberdayaan a. Merumuskan b.Kearifan local (local salam


masyarakat perencanaan genius) i. Menjelaskan
pemberdayaan c. Evaluasi ruang lingkup
masyarakat pemberdayaan materi pada
b. Mengidentifikasi masyarakat pertemuan
Kearifan local j. Menjelaskan
(local genius) materi
c. Merancang evaluasi k. Mengajukan
pemberdayaan pertanyaan
masyarakat kepada
mahasiwa
tentang
pemahaman
materi yang
dibahas
l. Menyimpulkan
materi
m. Memberikan
kesempatan
kepada mahasiwa
untuk bertanya
tentang materi
yang dibahas
n. Menutup
perkuliahan
dengan ucapan
salam
16 UJIAN AKHIR SEMESTER ( UAS )
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN
TINGGI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

Daftar Referensi
1. Dardiri, Achmad. Urgensi Memahami Hakekat Manusia. Yogyakarta, FIPUNY.
2. Dreier, Peter dan Accidental College. 1996. Community Empowerment Strategies: The Limits and Potential of Community Organizing in
Urban Neighborhoods Cityscape: A Journal of Policy Development and Research, Volume 2, Number 2 , May 1996.
3. Kemenkes RI dan FKM UI. 2009. Promosi Kesehatan “Komitmen Global Dari Ottawa-Jakarta-Nairobi Menuju Rakyat Sehat. Jakarta, Pusat
Promosi Kesehatan Kemenkes RI dan Departemen Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku FKM UI.
4. Kemenkes RI dan Kemendagri RI. 2013. Kurikulum dan Modul Pelatihan Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Kesehatan. Jakarta,
Kemenkes RI.
5. Laverack, Glenn dan Nina Wallerstein. 2001. Measuring community empowerment: a freshlook at organizational domains, Health Promotion
International, Vol. 16, No. 2.
6. Mardikanto, Totok. 2010. Konsep-Konsep pemberdayaan Masyarakat. Surakarta, UNS Press.
7. National Empowerment Network. 2008. What is Community Empowerment?. National UK, Empowerment Network.
8. Painter, Joe , et.al. 2011. Connecting Localism and Community Empowerment. Britain, Conected Community.Perkins, DD, Barbara BB Dan
Ralph BT. 1996. The Ecology Of Empowerment: Predicting Participation in Community Organization. Journal of Social Issue, Vo;. 52, No. 1,
pg: 85-110.
9. Robinson, Les. 2009. A Summary of Diffusion of Innovations. AS, Amazon.
10. Sadan, Elisheva. 2004. Empowerment dan Community Planning: Theory and Practice of People Focused Social Solution. Tel Aviv, Hakibbutz
Hameuchad Publisher (In Hebrew).
11. Sasongko, Adi. 2001. Pengorganisasian dan Pemngembangan Masyarakat. Depok, FKM UI.
12. WHO. 2009. International Conference on Health Promotion Promoting Health and Development: Closing the Implementation Gap,Nairobi,
Kenya, 26-30 October 2009.

Mengetahui Indralaya, 30 Januari 2017


Ketua Jurusan/Ketua Prodi, Dosen Ybs,

Elvi Sunarsih, S.KM, M.Kes Fenny Etrawati, SKM.M.KM


NIP. 197806282009122004 NIP. 198905242014042001
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN
TINGGI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

Anda mungkin juga menyukai