Anda di halaman 1dari 19

PEMBINAAN WILAYAH PESISIR INDONESIA DALAM

RANGKA PENEGAKAN KEDAULATAN NASIONAL


Enggita Anggraeni Okta1, Melly Yunandita Emaniar2, Rada Diva Viranita3

Universitas Jember, Fakultas Hukum, Program Studi Ilmu Hukum

Email : Drada.diva@gmial.com

Abstrak

Wilayah pesisir dan pulau-pulau terdepan memiliki nilai strategis bagi Indonesia sebagai
sebuah negara maritim. Hal ini tidak terlepas dari kekayaan sumber daya alam yang dimiliki
oleh kedua entitas maritim tersebut. Namun demikian, nilai strategis tersebut belum
dimanfaatkan secara optimal karena wilayah pesisir dan pulau-pulau terdepan belum
diberdayakan, baik dalam konteks sosial-perekonomian maupun pertahanan-keamanan.
Padahal, secara umum wilayah pesisir dan pulau-pulau terdepan yang diberdayakan secara
optimal akan memiliki signifikansi penting dalam menopang kedaulatan nasional. Indonesia
juga memiliki wilayah pesisir dan pulau-pulau terdepan yang berbatasan langsung dengan
negara lain. Keberadaan wilayah pesisir dan pulau-pulau terdepan tersebut harus dapat
berdaya guna bagi tercapainya kepentingan nasional, khususnya pertahanan negara, dalam
rangka memperkokoh kedaulatan nasional. Efektivitas pengamanan wilayah pesisir Indonesia
dengan luas laut Indonesia yang meliputi 70 persen dari luas wilayah negara, serta memiliki
17.504 pulau dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, selain merefleksikan betapa luas
wilayah laut Indonesia, juga merefleksikan betapa beratnya tanggung jawab pengamanan
wilayah pesisir dan pulau-pulau terdepan wilayah Indonesia. Pengamanan wilayah dapat
dilakukan dengan melibatkan masyarakat di wilayah pesisir dan dan pulau-pulau terdepan
dalam sistem pertahanan negara melalui skema komponen cadangan, sedangkan pengelolaan
wilayah dilakukan dengan lebih mengoptimalkan peran dan kontribusi dari tiga pemangku
kepentingan utama, yakni pemerintah, masyarakat, serta kelompok kepentingan lainnya.

Kata Kunci : maritim, keamanan, kelautan, penegakan

Abstract

The coastal areas and outermost islands have strategic value for Indonesia as a maritime
country. This is inseparable from the wealth of natural resources owned by the two maritime
entities. However, this strategic value has not been utilized optimally because the coastal
areas and outermost islands have not been empowered, both in the socio-economic and
defense-security contexts. In fact, in general, optimally empowered coastal areas and front
islands will have important significance in supporting national sovereignty. Indonesia also
has coastal areas and outermost islands which are directly adjacent to other countries. The
existence of coastal areas and front islands must be efficient for the achievement of national
interests, especially national defense, in order to strengthen national sovereignty. The
effectiveness of safeguarding Indonesia's coastal areas with Indonesia's sea area covering 70
percent of the country's total area, and having 17,504 islands with the second longest
coastline in the world, apart from reflecting how wide Indonesia's sea area is, also reflects
how heavy the responsibility for protecting coastal areas and islands is. frontier island of
Indonesia. Regional security can be carried out by involving communities in coastal areas
and front islands in the national defense system through a reserve component scheme, while
regional management is carried out by optimizing the roles and contributions of the three
main stakeholders, namely the government, communities and other interest groups. .

Keywords: maritime, security, marine, enforcement

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di
dunia, sehingga Indonesia dijuluki dengan negara maritime. Secara geografis
Indonesia mempunyai letak yang strategis strategis antara persilangan dua
samudera dengan dua benua, sehingga wilayah laut Indonesia menjadi alur laut
yang sangat penting bagi jalur perdagangan dunia dan lalu lintas pelayaran nasional
maupun internasional. Ini berarti Indonesia berfungsi sebagai the global supply chain
system dengan posisi geografis tersebut.1 Posisi ini juga menempatkan Indonesia
pada kedudukan dan peranan yang penting dalam hubungan dengan dunia
internasional sebagai center of gravity bagi Kawasan Asia Pasifik.
Wilayah Indonesia sebagian besar terdiri dari lautan berdasarkan Deklarasi
Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957. Deklarasi tersebut yang akhirnya
mengantarkan Indonesia menjadi sebuah negara kepulauan yang juga telah diakui
dunia internasional melalui the United Nation Convention on the Law of the Sea 1982
atau UNCLOS 1982.2
Indonesia juga memiliki wilayah pesisir dan pulau-pulau terdepan yang
berbatasan langsung dengan negara lain. Keberadaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau terdepan tersebut harus dapat berdaya guna bagi tercapainya kepentingan
nasional, khususnya pertahanan negara, dalam rangka memperkokoh kedaulatan
nasional. Efektivitas pengamanan wilayah pesisir Indonesia dengan luas laut
Indonesia yang meliputi 70 persen dari luas wilayah negara, serta memiliki 17.504
pulau dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, selain merefleksikan betapa
luas wilayah laut Indonesia, juga merefleksikan betapa beratnya tanggung jawab
pengamanan wilayah pesisir dan pulau-pulau terdepan wilayah Indonesia.
Posisi Indonesia yang terkoneksi dengan arus-arus laut dunia yang disebut
Great Ocean Conveyor Belt dan berada di antara Samudera Hindia dan Samudera
Pasifik, telah menjadikan lautnya sebagai pusat kepentingan global dalam hal
perairan internasional, iklim global, dan keanekaragaman hayati yang identik
dengan kekayaan sumber daya yang terkandung di dalamnya. Dihadapkan pada

1
Rokhim Dahuri, 2019, Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, Bogor: Media Indonesia

2
Ariyani, Christina, “Mendorong Lahirnya RUU Kemanan Laut dalam Penguatan Sistem Keamanan Laut’,
2021, Jurnal Pembagunan Hukum Indonesia
panjangnya garis pantai yang merefleksikan luasnya wilayah pesisir dan banyaknya
pulau menuntut efektivitas pengelolaannya. Sebagaimana dijelaskan di dalam
Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
Terluar bahwa dalam rangka menjaga keutuhan wilayah negara, serta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan, perlu dilakukan
pengelolaan pulau-pulau terdepan dengan memperhatikan keterpaduan
pembangunan di bidang sosial, ekonomi, budaya, hukum, sumber daya manusia,
serta pertahanan dan keamanan.
Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, definisi wilayah
pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut, sedangkan pulau-
pulau kecil adalah pulau dengan luas wilayah kurang atau sama dengan 2000 km 2
beserta kesatuan ekosistemnya.3 Definisi yang diberikan oleh pemerintah tersebut
harus dilihat secara lebih mendalam pemaknaannya. Wilayah pesisir yang
merupakan irisan antara wilayah daratan dan perairan merupakan daerah yang
sangat dimungkinkan menjadi tempat hidup, lokasi bermukim, dan daerah mata
pencaharian penduduk. Ada aspek yang lebih dari sekedar geografi pada definisi
tersebut. Definisi wilayah pesisir juga terhubung dengan aspek lainnya, seperti
demografi, sosial budaya, dan ekonomi yang melekat pada definisi wilayah pesisir
tersebut. Demikian halnya juga dengan pulau-pulau kecil, terlebih lagi dilekatkan
frasa “terdepan” pada entitas maritim tersebut. Makna yang tersirat dari definisi
tersebut adalah sekecil apapun sebuah wilayah dan kesatuan ekosistem yang
melekat, tetap merupakan bagian yang inheren dari NKRI yang harus dijaga
kedaulatannya. Aspek terkait bukan hanya persoalan geografi saja, tapi sudah
menyangkut aspek pertahanan dan keamanan negara, yang mana kedaulatan dan
keutuhan wilayah merupakan harga mati yang harus dijaga oleh pemerintah
Indonesia. Pada tataran yuridis, pencantuman definisi kedua entitas maritim
tersebut dalam sebuah regulasi yang mengikat dimaksudkan sebagai bentuk
pengakuan dan perlindungan yang dilakukan oleh pemerintah agar setiap jengkal
wilayah kesatuan memiliki kedudukan hukum yang jelas. Pada tataran
internasional, kerangka yuridis nasional tersebut dimaksudkan sebagai dasar
hukum resmi yang selaras dengan regulasi internasional agar setiap negara di dunia
menghormati kedaulatan nasional dengan tidak melakukan pelanggaran kedaulatan
terhadap wilayah yang diatur dalam regulasi tersebut.
Dalam konvensi PBB tentang Hukum Laut pada tanggal 10 Desember 1982
(UNCLOS) dan telah berlaku secara efektif sejak tanggal 16 Nopember 1994
sehingga dalampelaksanaanya masih menyisakan berbagai permasalahan diantara

3
Agustin Rina Herawati, dkk., "Pemberdayaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Sebagai Garda Terdepan
Wilayah NKRI.", 2019, Journal of Public Policy and Applied Administration.
negara-negara, salah satu masalah yangsering timbul antar negara adalah masalah
pentuan batas wilayah Maritim baik antara dua negara yang pantainnya saling
berhadapan maupun yang aling berdampingan,pada batas wilayah maritim antar
negara dapat berupa batas – batas kedaulatan di laut teritorial dan batas-batas hak
berdaulat serta yuridiksi di Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) dan di landas
kontinen,dengan demikian permasalahan secara khususnya adalah masalah-
masalah tapal batas antara Indonesia dengan dengan negaran- negara tetangga dan
bagaimanakah landasan hukum yang digunakan untukmenyelesaikan masalah
tersebut adapun sebagai negara yang geografis terdiri dari beribu-ribu
pulau,indonesia memenuhi kriteria untuk menerapkan ketentuan mengenai negara
kepulauan berdasarkan UNCLOS 1982. Salah satu keuntungan secara khusus akan
diperoleh oleh negara yang merupakan Ensim Hukum Negara Kepulauan adalah
akan mendapatkan tambahan Wilayah kedaulatan yaitu di perairan kepulauan
(archipelagie Waters), yang merupkan wilayah perairan yang terletak disebelah
dalam dari garis pangkal luas kepulauan. Di dalam Pasal 47 (1) UNCLOS
menyebutkan bahwa suatu negara Kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus
yang menghubungkan titik- titik terluar pulau – pulau dan karang – karang terluar
dalam kepulauan itu ,dengan ketentuan bahwa di dalam garis pakal demikian
termasuk dalam pulau – pulau utama dan suatu daerah dimana perbandingan
antara daerah perairan dan daerah daratan. Dalam undang – undang No 6 Tahun
1996 menegaskan bahwa “Negara Republik Indonesia adalah negara kepulauan ,
segala perairan disekitar,diantara,dan yang meghubugkan pulau –pulau atau bagian
pulau- pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak
memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian integral dariwilayah
daratan Negara Republik Indonesia”.
Deklarasi Juanda Desember 1957 memunculkan intuisi di Nusantara. Dalam
konteks ini, pernyataan ini dapat dilihat sebagai awal dari implementasi
Skjærgårdsinnsikten. Oleh karena itu, implementasi dicapai dengan perjuangan
dalam diplomasi maritim, pembangunan maritim dan pengembangan kebijakan
maritim nasional. Implementasi Wawasan Nusantara membawa perubahan visi dari
asal-usul Wawasan Nusantara menuju perspektif pembangunan wilayah, visi
maritim kontinental dan kebijakan maritim nasional.4

B. Rumusan Masalah

4
Ernawati, IMPLEMENTASI DEKLARASI DJUANDA DALAM PERBATASAN PERAIRAN
LAUTANINDONESIA, Agustus 2015, (PROSIDING SEMINAR NASIONAL MULTI DISIPLIN
ILMU & CALL FOR PAPERS UNISBANK (SENDI_U): Kajian Multi Disiplin Ilmu untuk
Mewujudkan Poros Maritim dalam Pembangunan Ekonomi Berbasis Kesejahteraan Rakyat), ISBN:
978-979-3649-81-8
1. Bagaimana peran pemerintah dalam pembinaan wilayah pesisir?
2. Bagaimana implementasi UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
Dan Pulau-Pulau Kecil?

C. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, yaitu penelitian yang
dilakukan dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas hukum serta
peraturan perundang-undangan yang sesuai dan berkaitan dengan objek penelitian.

PEMBAHASAN
A. Peran Pemerintah dalam Pembinaan Wilayah Pesisir
Kebijakan adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang
pelaku atau oleh kelompok politik dalam usaha memilih tujuan- tujuan dan cara-
cara untuk mencapai tujuan- tujuan itu (Budiharjo, 1992). Sehubungan dengan
artikel ini, penulis menggunakan defisini kebijakan yang dikemukakan David
Easton. Menurut Easton, kebijakan sebagai keputusan yang diambil oleh pemerintah
atau pemimpin kelompok/ organisasi yang berkaitan dengan kekuasaan untuk
mengalokasikan nilai-nilai bagi masyarakat atau anggota kelompoknya secara
keseluruhan (Zainal, 2004). Sedangkan menurut Lasswell dan Kaplan kebijakan
adalah alat untuk mengapai tujuan dimana kebijakan adalah program yang
diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai dan praktek. Henz Eulau dan
Kenneth Previt merumuskan kebijakan sebagai keputusan yang tetap, ditandai oleh
kelakuan yang berkesinambungan dan berulang-ulang pada mereka yang membuat
kebijakan dan yang yang melaksanakan kebijakan yang telah dibuat (Nogi &
Tangkilisan, 2003).5 Secara umum pengelolaan wilayah pesisir diatur dalam UU No.
1/2014 jo UU No. 27/2007, yang merupakan salah satu instrumen hukum dalam
rangka optimalisasi pengelolaan sumber daya wilayah pesisir. Dalam Pasal 9 ayat
(5) undang- undang tersebut dinyatakan bahwa Rencana Kawasan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan
antara ekosistem darat dan laut yang berkesinambungan. Di wilayah pesisir ini
terdapat sumber daya pesisir berupa sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang
sangat kaya. Kekayaan sumberdaya pesisir tersebut menimbulkan daya tarik bagi
berbagai pihak untuk mengeksploitasinya dan berbagai instansi berkepentingan
untuk meregulasi pemanfaatannya.Wilayah pesisir terdapat berbagai ekosistem

5
Shafira M., Anwar M., Model Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Lampung Berbasis Masyarakat, Vol.
11, No. 2, 2021, Jurnal Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
alami yang mempunyai fungsi masing-masing yang berlainan, yaitu misalnya hutan
bakau, padang lamun, estuaria, delta, dan terumbu karang Sesuai dengan hakikat
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum, pengembangan sistem
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil sebagai bagian dari
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus diberi
dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum
bagi upaya pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 6
Pengelolaan wilayah pesisir mengenal dua bentuk izin, yakni izin lokasi dan
izin pengelolaan. Izin lokasi merupakan dasar untuk memperoleh izin pengelolaan.
Izin lokasi diberikan dengan mempertimbangkan kelestarian ekosistem pesisir dan
pulau-pulau kecil, masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional, dan hak
lintas damai kapal asing. Selanjutnya izin pengelolaan wajib dimiliki oleh setiap
orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya pesisir dan perairan pulau-pulau
kecil. Pasal 20 ayat (1) UU No. 1/2014 menentukan bahwa pemerintah dan
pemerintah daerah wajib memfasilitasi pemberian izin lokasi dan izin pengelolaan
kepada masyarakat lokal dan masyarakat tradisional. Pemberian fasilitas dalam
perizinan lokasi dan perizinan pengelolaan wilayah pesisir menjadi suatu keharusan
sebagai salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat pesisir khususnya nelayan dan
petani ikan (Bengen, 2001). Selanjutnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah yang menentukan bahwa pengelolaan wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil merupakan kewenangan pemerintah provinsi. Ketentuan ini
dipertegas oleh Pasal 2 Permen KP No. 23/PERMEN- KP/2016 yang pada intinya
menyatakan bahwa kewenangan pengelolaan wilayah pesisir khususnya perizinan
adalah kewenangan pemerintah provinsi (Aspan, Ariani, Anshory, & Ahsan, 2019). 7
Batasan pengertian wilayah pesisir dapat dijelaskan dengan menggunakan 3
pendekatan yaitu pendekatan ekologis, pendekatan perencanaan dan pendekatan
administratif. Sedangkan secara praktis, batasan pengertian wilayah pesisir juga
dapat dijelaskan berdasarkan praktek penentuan wilayah pesisir oleh berbagai
negara, yang satu dengan lainnya dapat saling berbeda mengenai batasan ruang
lingkupnya, yang tergantung dari kepentingan dan kondisi geografis pesisir masing-
masing negara serta pendekatan yang digunakan.
Pendekatan secara ekologis pada hakekatnya akan lebih memperlihatkan
pengertian kawasan pesisir karena kawasan merupakan istilah ekologis, sebagai
wilayah dengan fungsi utama yaitu fungsi lindung atau budi daya. Dalam hal ini
kawaasn pesisir sebagai bagian dari wilayah pesisir merupakan zona hunian yang

6
Fikri Jamal, Peran Pemerintah dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir, Vol. 2, No.1, 2019, Jurnal Ilmu
Hukum

7
Shafira M., Anwar M., Model Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Lampung Berbasis Masyarakat, Vol.
11, No. 2, 2021, Jurnal Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
luasnya dibatasi oleh batas-batas adanya pengaruh darat ke arah laut. 8 Demikian
pula kawasan pesisir merupakan wilayah pesisir tertentu yang ditunjuk dan atau
ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan kreteria tertentu, seperti karakteristik fisik,
biologi, sosial, dan ekonomi, untuk dipertahankan keberadaannya. 9
Demikian pula untuk maksud perancanaan secara praktis, wilayah pesisir
merupakan suatu wilayah dengan didukung oleh suatu karakteristik yang khusus,
yang batas-batasnya seringkali ditentukan oleh masalah-masalah tertentu yang akan
ditangani.10 Hal itu disebabkan batas-batas wilayah pesisir sering kali ditentukan
secara berubah-ubah yang berbeda luasnya di antara negara- negara dan sering kali
didasarkan pada batas-batas jurisdiksi atau terbatas untuk alasan demi kelancaran
dari segi administratif.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah dalam Pasal 18 Ayat (4) disebutkan bahwa kewenangan untuk
mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling
jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai kea rah laut lepas dan/atau
kearah perairan kepulauan untuk propinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah
kewenangan propinsi untuk kabupaten/kota.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor:
KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir
Terpadu, Wilayah Pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem
darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai
untuk propinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu (kewenangan propinsi) untuk
kabupaten/kota dan ke arah darat batas administrasi kabupaten/kota. Menjamin
keberlanjutan dari sumber daya yang terdapat diwilayah pesisir, pengelolaannya
harus dilakukan secara terencana dan terpadu serta memberikan manfaat yang
besar kepada semua pihak terutama masyarakat pesisir. 11 Saat ini terdapat Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil dan kebijakan
kebijkan daerah yang diatur dalam peraturan daerah.

8
Etty R. Agoes, 1998, Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Alam Laut Secara Berkelanjutan, Suatu Tinjauan
Yuridis, di dalam Beberapa Pemikiran hukum Memasuki Abad XXI, Bandung: Angkasa

9
Pasal 1 butir 8 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.

10
Kelly Rigg dalam L Tri Setyawanta, 2005, Konsep Dasar Dan Masalah Pengaturan Pengelolaan Pesisir
Terpadu Dalam Lingkup Nasional, Semarang: PSHL FH UNDIP, hlm 49

11
Iqbal , M., IMPLEMENTASI EFEKTIFITAS ASAS OPORTUNITAS DI INDONESIA DENGAN
LANDASAN KEPENTINGAN UMUM, Vol.9 No.1, 2018, Jurnal Surya Kencana Satu: Dinamika
Masalah Hukum dan Keadilan
Lembaga pengelola kawasan konservasi. Secara hukum sudah diatur
peralihan kawasan konservasi dari kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
ke KKP namun dalam prakteknya di lapangan masih dikelola oleh PHKA (KLHK).
Pengalihan kelembagaan yang berlarut-larut akan menimbulkan tidak efektif dan
tidak efisien berjalannya organisasi.
Kewenangan penangkapan berdasarkan KUHAP dan Undang- Undang
Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil diberikan hanya
kepada penyidik Polri. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil tidak secara eksplisit memberikan kewenangan penangkapan
terhadap PPNS KKP apabila PPNS tersebut menemukan pelanggaran hukum di
wilayah pesisir. Kewenangan penangkapan baru diberikan pada level peraturan
menteri, seharusnya kewenangan penangkapan merupakan substansi Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Adanya pengakuan pemerintah terhadap masyarakat adat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Apakah untuk dapat disebut sebagai masyarakat
hukum adat perlu mendapatkan pengakuan, hal ini terkait dengan hak-hak
masyarakat adat di wilayah tersebut, bagaimanakah bentuk pengaturan pengakuan
tersebut. Perlu pengaturan masyarakat hukum adat yang tidak mendelegitemasi
masyarakat hukum adat. Jika tidak, masyarakat hukum adat dapat semakin tergerus
eksistensinya apabila tidak diberikan pengaturan yang seharusnya.12
Adapun pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir berbasis kearifan lokal
yakni masyarakat harus diposisikan sebagai pengelola sumberdaya utama dalam
pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir. Pada tahap pelaksanaan diperlukan
kerjasama berbagai pihak dalam hal ini pemerintah daerah, perguruan tinggi,
Lembaga Swadaya Masyarakat, dan masyarakat pesisir Lampung. Model ini
menghendaki kebijakan yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat pesisir.
Pemberdayaan masyarakat pesisir dapat berupa pengembangan aksesibilitas
masyarakat terhadap sumber daya alam dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat pesisir khususnya di Lampung. Selanjutnya pelaksanaan pengelolaan
wilayah pesisir Lampung dilakukan dengan peningkatan aksesibilitas masyarakat
pesisir dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan masyarakat pesisir sangat
diperlukan agar menghasilkan keputusan yang sesuai dengan aspirasi, potensi, dan
kepentingan masyarakat pesisir. Adapun sasaran pemberdayaan masyarakat
khususnya masyarakat pesisir yaitu terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat
pesisir, tersedianya sarana dan prasarana yang baik, meningkatkan peran

12
Fikri Jamal, Peran Pemerintah dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir, Vol.2, No.1, 2019, Jurnal Ilmu
Hukum
kelembagaan masyarakat, terciptanya kegiatan-kegiatan ekonomi produktif, dan
terciptanya kegiatan ekonomi yang berbasis pada wilayah pesisir (Nikijuluw, 2001).
Kemudian yang tidak kalah penting dalam proses pelaksanaan pengelolaan
wilayah pesisir yaitu pemberdayaan kearifan lokal. Selain memiliki sumber daya
pesisir yang kaya, provinsi Lampung juga mempunyai nilai kearifan lokal yang unik
disebut Piil Pesenggiri. Kearifan lokal tersebut mengandung nilai kebaikan dan
pedoman berperilaku dalam bermasyarakat (Ruslan, 2018). Kearifan lokal
merupakan bagian dari Masyarakat untuk bertahan hidup sesuai dengan kondisi
lingkungan, kebutuhan dan kepercayaan (Sufia, Sumarmi, & Amirudin, 2016).
Berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir, kearifan lokal masyarakat Lampung
dapat digunakan untuk menjaga kelestarian wilayah pesisir sesuai nilai- nilai luhur
masyarakatnya. Salah satu kearifan lokal Lampung dalam pengelolaan wilayah
pesisir ialah sistem rumpon sebagai hak ulayat laut. Akan tetapi eksistensi kearifan
lokal rumpon laut ini terancam keberadannya karena tidak didukung tindakan
aktual pemerintah (Redi et al., 2017). Padahal kearifan lokal telah ditempatkan dalam
peraturan perundang-udangan terkait pengelolaan wilayah pesisir seperti UU No.
27/2007 jo UU No. 1/2014, Permen KP No. 40/PERMEN-KP/2014, Permen KP No.
23/PERMEN-KP/2016, dan Perda Prov. Lampung No. 1/2018. Kearifan lokal perlu
diberdayakan untuk menjamin pengelolaan wilayah pesisir tanpa merusak
lingkungan dan sumber penghidupan masyarakat pesisir. Manfaat positif dari
model kebijakan berbasis masyarakat yang diusulkan dalam penelitian ini antara
lain, memberikan ruang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk terlibat dalam
pengelolaan wilayah pesisir Lampung. keterlibatan masyarakat tersebut meliputi
pengusulan RZWP-3-K pada proses perencanaan, pelaksanaan pengelolaan wilayah
pesisir berbasis kearifan lokal, pengawasan berbasis masyarakat, serta keterlibatan
masyarakat pada proses evaluasi.
Sesuai dengan indikator pengembangan sumber daya manusia, bahwa
Pengembangan sumber daya manusia dalam arti luas adalah seluruh proses
pembinaan untuk meningkatkan kualitas serta taraf hidup manusia dari suatu
negara, sedangkan dalam arti sempit pengembangan sumber daya manusia adalah
peningkatan pendidikan dan pelatihan atau usaha menambah pengetahuan dan
keterampilan sebagai proses yang tanpa akhir, terutama pengembangan diri sendiri.
Upaya-upaya pengembangan Sumber Daya Manusia ada 3 (tiga) yaitu :
a. Pendidikan, secara sederhana pendidikan bisa diartikan sebagai usaha untuk
mengarahkan peserta didik dari yang tidak tahu. Sehingga dengan memiliki
pengetahuan maka seseorang akan menjadi lebih terarah dalam menentukan
maupun mengambil kesimpulan.
b. Peningkatan Pengetahuan dan Wawasan Lingkungan, Pengetahuan dan
wawasan lingkungan penting di terapkan pada masyarakat agar dapat
meningkatkan pengembangan sumber daya manusia untuk memberikan
konsep dan pandangan yang sama dan benar kepada masyarakat tentang
linkungan dan perannya terhadap kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
Cara yang tepat untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan lingkungan
pada masyarakat perlu dilakukan penyuluhan dan pelatihan di lingkungan
masyarakat agar masyarakat dapat mengetahui perannya terhadap
lingkungan. Peningkatan pengetahuan dan wawasan juga perlu melibatkan
aparatur desa dan kecamatan.
c. Pengembangan Keterampilan Masyarakat, Peningkatan keterampilan
masyarakat untuk dapat meningkatkan sumber daya manusia dari
pengelolaan lingkungan harus ada campur tangan dari pemerintah untuk
mendorong peran serta dari seluruh masyarakat secara aktif. Keterampilan
tersebut terutama berkaitan dengan cara-cara pemanfaatan sumber daya
perikanan yang ada di masyarakat pesisir bagaimana masyarakat
memanfaatkan potensi sumber daya perikanan dengan keterampilan yang
dimiliki oleh masyarakat.13

B. Implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas


Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
Dan Pulau-Pulau Kecil
Dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil sering muncul
konflik antara berbagai pihak yang berkepentingan serta adanya disharmoni
beberapa peraturan perundang-undangan yang dibuat. Peraturan Perundang-
Undangan tersebut memberi mandat kepada 14 sektor pembangunan dalam
mengatur pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil baik secara
langsung maupun tidak langsung. Keempat belas sektor tersebut meliputi
pertanahan, pertambangan, perindustrian, perhubungan, perikanan, pariwisata,
pertanian, kehutanan, konservasi, tata ruang, pekerjaan umum, pertahanan,
keuangan, dan pemerintahan daerah.14 Maka dari itu, pemerintah telah
mengesahkan Undang – Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir Dan Pulau – Pulau Kecil dan diubah menjadi Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 untuk membuat adanya pengakuan dan penghormatan
kesatuan-kesatuan masyarakat adat, masyarakat tradisional yang bermukim di
wilayah pesisir. Sehingga dengan adanya Undang-Undang tersebut dapat
memberikan kepastian hukum bagi masyarakat wilayah pesisir.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-
Pulau Kecil menyatakan beberapa proses dalam melakukan pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil yaitu meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan,

13
Jessica Prisca Humune, “Pengembangan Sumber Daya Manusia Pada Masyarakat Pesisir Pantai Di
Kabupaten Kepulauan Sangihe”, Vol. 46 No. 3, 2017, Jurnal Administrasi Publik

14
Nainggolan dan Setyawanta,“Hak Pengelolaan Perairan Pesisir Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil”, Vol.10 No.1, 2014, Jurnal Law Reform
pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan
sumber daya pesisir dan pulaupulau kecil serta proses alamiah secara
berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.15
1. Tahap Perencanaan
Berdasarkan penjelasan umum UndangUndang Nomor 27 Tahun 2007
Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil dinyatakan
bahwa perencanaan dilaksanakan melalui pendekatan pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu atau yang dikenal dengan istilah
Integrated Coastal Zone Management, yang menginteraksikan berbagai
perencanaan yang disusun oleh berbagai sektor terkait dan sesuai dengan
tugas dan kewenangan pemerintah pusat dan daerah sehingga terjadi
keharmonisan dan penguatan dalam pemanfaatan.16
Para ahli di bidang pengelolaan wilayah pantai berpendapat
pengelolaan wilayah pantai secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management)
merupakan kunci bagi pemecahan problem dan konflik di wilayah pantai yang
sangat pelik dan kompleks. Keterpaduan dalam manajemen publik dapat
didefenisikan sebagai penentuan tujuan secara simultan, melakukan secara
bersama-sama pengumpulan informasi, perencanaan dan analisis secara
kolektif, penggunaan secara bersama-sama perangkat/instrument
pengelolaan. 17

Tahap perencanaan Undang-Undang kawasan pesisir dan pulau-pulau


terluar membagi perencanaan pengelolaan menjadi rencana strategis wilayah
pesisir dan pulaupulau kecil (RSWP3K), rencana zonasi wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil (RZWP3K), rencana pengelolaan wilayah pesisir dan
pulaupulau kecil (RPWP3K), dan rencana aksi pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil (RAPWP3K). Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil (RSWP3K) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana
pembangunan jangka panjang setiap pemerintah daerah yang wajib
mempertimbangkan kepentingan pemerintah dan pemerintah daerah. Jangka
waktu RSWP3K pemerintah daerah selama 20 tahun dan dapat ditinjau
kembali sekurang-kurangnya lima tahun sekali.18 Pengaturan mengenai
RZWP3K sangat penting guna melindungi sumber daya dan lingkungan
dengan berdasar pada daya dukung lingkungan dan kearifan lokal dan

15
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau
Kecil, Pasal 5

16
Chikmawati , Nurul Fajra, Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Di Indonesia (Dalam
Perspektif Perlindungan Hukum Bagi Hak-Hak Ekonomi Masyarakat Tradisional), Vol. 4, No. 2, 2013,
Jurnal Hukum: Fakultas Hukum Universitas Yarsi

17
Trinanda, Tommy Cahya, 2017, Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia Dalam Rangka Pembangunan
Berbasis Pelestarian Lingkungan, Jakarta Pusat: Matra Pembaruan, Hal. 80
mengembangkan kawasan potensial menjadi pusat kegiatan produksi,
distribusi dan jasa.19
Tahap awal dari proses perencanaan yaitu dengan cara mengidentifikasi
dan mendefinisikan isu dan permasalahan yang ada, yang menyangkut
kerusakan sumber daya alam, konflik penggunaan, pencemaran, dimana perlu
dilihat penyebab dan sumber permasalahan tersebut. Selanjutnya juga perlu
diperhatikan sumber daya alam dan kawasan yang ada yang menyangkut
potensi, daya dukung, status, tingkat pemanfaatan, kondisi sosial ekonomi dan
budaya setempat,20 sehingga ketika akan dilakukan pengelolaan terhadap
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut tidak menimbulkan konflik
ataupun permasalahan lain yang dapat merugikan masyarakat maupun
wilayah tersebut dan memperhatikan kemampuan wilayah untuk generasi
mendatang. Untuk itu dalam proses penyusunan rencana strategis perlu
diperhatikan asas-asas rencana strategis dalam pengelolaan sumber daya
secara optimal dan berkelanjutan yang dapat di terapkan yaitu:
a. Pemanfaatan sumber daya dapat pulih (renewable resources) harus
memperhatikan potensi lestarinya (maximum sustainable yield, MSY).
Terjadinya pemanfaatan secara berlebihan akan mengancam
kelangsungan pemanfaatan sumber daya alam dapat pulih tersebut.
Upaya yang harus ditempuh untuk menjaga keberlangsungan sumber
daya alam tersebut adalah bahwa setiap kegiatan eksploitasi sumber
daya alam dapat pulih tidak boleh melebihi potensi lestarinya.
Pelaksanaan kuota yang diperbolehkan harus diinformasikan terutama
tentang besarnya potensi lestari untuk setiap jenis stok sumber daya
alam;
b. Pemanfaatan sumber daya tidak pulih (non-renewable resources) harus
dilakukan secara cermat dan bijaksana. Disebabkan karena sumber daya
tidak dapat diperbarui, maka pengelolaannya harus seoptimal mungkin.
Upaya mencari sumber-sumber energi alternative perlu dilakukan,
seperti arus, gelombang, perbedaan salinitas, perbedaan suhu lapisan
air, pasang surut. Selain itu, perlu diupayakan sumber-sumber energi
alternarif lainnya.
c. Pendayagunaan potensi sumber daya alam sesuai daya dukung
lingkungannya. Kegiatan pemanfaatan sumber daya dapat pulih dan
tidak dapat pulih, tidak boleh mematikan kegiatan pemanfaatan sumber

18
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau
Kecil, Pasal 8

19
Yerrico Kasworo, “Urgensi Penyusunan Pengaturan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau
Kecil”, Vol. 6 No. 1, 2017, Jurnal Rechtsvinding

20
Mahi, Ali Kabul, 2018, Pengembangan Wilayah, Jakarta: Prenadamedia Group, Hal. 253-2548
daya pulih. Dengan kata lain, bahwa pengelolaan lingkungan dalam
kaitannya dengan eksploitasi sumber daya tidak pulih (seperti
pertambangan, kilang minyak) tidak boleh merusak sumber daya pulih
atau bahkan mematikan kegiatan sumber daya pulih.21
Rencana strategis pengelolaan sumber daya di kawasan pesisir dan
pulau-pulau kecil perlu juga rencana strategis pembangunan untuk
menunjang perkembangan wilayah tersebut melalui sarana prasarana
untuk memadai kebutuhan masyarakat yang berada di kawasan
tersebut. Oleh karena itu dalam setiap perencanaan perlu dilakukan
pendekatan pengelolaan pesisir secara terpadu, dengan teknik bahwa
pengelolaan pesisir terpadu menjadikan fasilitator optimalisasi
keuntungan ekonomi sosial, pemanfaatan sumberdaya alam, serta jasa-
jasa lingkungan di wilayah pesisir. Keterpaduan perencanaan dan
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu ini mencakup 4 (aspek),
yaitu: (1) keterpaduan wilayah/ekologis, (2) keterpaduan sektor, (3)
keterpaduan disiplin ilmu dan (4) keterpaduan stakeholder. 22
2. Tahap Pemanfaatan
Pemanfaatan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil diprioritaskan lebih
kepada kepentingan antara lain konservasi, untuk pendidikan dan pelatihan
seperti pemeliharaan lingkungan yang baik, penelitian dan pengembangan,
budidaya laut, untuk pariwisata demi pengembangan kawasan pesisir dan
pulau-pulau terluar dengan cara melakukan pengelolaan pembangunan di
wilayah yang terlihat strategis, untuk usaha perikanan dan kelautan serta
industri perikanan secara lestari, pertanian organik, peternakan dan juga untuk
kepentingan pertahanan keamanan negara. Untuk tujuan konservasi,
pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan, pemanfaatan
pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya wajib memenuhi persyaratan
pengelolaan lingkungan, memperhatikan kemampuan dan kelestarian sistem
tata air setempat, dan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan. 23
Dalam memanfaatkan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil masyarakat
memiliki hak serta kewajiban dalam mengelola wilayah tersebut. Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 27
Tahun 2007 pada pasal 60 ayat 1 menyebutkan hak masyarakat tersebut yaitu:
a. Memperoleh akses terhadap bagian perairan pesisir yan sudah diberi
izin lokasi dan izin pengelolaan;

21
Ibid, Hlm. 241

22
Waluyo Adi, Permodelan Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Secara Terpadu, vol. 7, no.
2, Oktober 2014, Jurnal Kelautan : Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura,

23
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, Pasal 23
b. Mengusulkan wilayah penangkapan ikan secara tradisional kedalam
RZWP3K;
c. Mengusulkan wilayah masyarakat hukum adat ke dalam RZWP3K;
d. Melakukan kegiatan pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau
kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku yang tidak bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
e. Memperoleh manfaat atas pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir dan
pulaupulau kecil;
f. Memperoleh informasi berkenan dengan pengelolaan wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil;
g. Mengajukan laporan dan pengadun kepada pihak yang berwenang atas
kerugian yang menimpah dirinya yang berkaitan dengan pelaksanaan
pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil;
h. Menyatakan keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah di
umumkan dalam jangka waktu tertentu;
i. Melaporkan kepada penegak hukum akibat dugaan pencemaran, dan
atau perusakan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil yang merugikan
kehidupannya;
j. Mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang merugikam kehidupannya;
k. Memperoleh ganti rugi;
l. Mendapat pendampingan dan bantuan hukum terhadap permasalahan
yang dihadapi dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
sesuai dengan ketentun peraturan perundangundangan.
m. Sedangkan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masyarakat dalam
memanfaatkan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil diatur dalam pasal
60 ayat 2 yaitu:
1. Memberikan informasi berkenaan dengan pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil;
2. Menjaga, melindungi dan memelihara kelestarian wilayah pesisir
dan pulaupulau kecil;
3. Menyampaikan laporan terjadinya bahaya, pencemaran, dan/atau
kerusakan lingkungan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
4. Memantau pelaksanaan rencana pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil; dan
5. Melaksanakan program pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil yang disepakati di tingkat desa.
3. Tahap pengawasan dan pengendalian
Tahap pengawasan dan pengendalian dilakukan untuk menjamin
terselenggaranya pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara
terpadu dan berkelanjutan. Pengawasan dan/atau pengendalian dilakukan
oleh pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang menangani bidang pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai dengan sifat pekerjaan yang
dimilikinya. Dalam melakukan pengawasan dan/atau pengendalian pejabat
pegawai negeri sipil berwenang mengadakan patrol/perondaan di wilayah
pesisir dan pulaupulau kecil atau wilayah hukumnya serta menerima laporan
yang menyangkut perusakan ekosistem pesisir, kawasan konservasi, kawasan
pemanfaatan umum dan kawasan strategis nasional tertentu. 24

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kebijakan pengelolaan pembangunan di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil dan dengan upaya
pemerintah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 untuk
membuat adanya pengakuan dan penghormatan kesatuan-kesatuan masyarakat
adat, masyarakat tradisional yang bermukim di wilayah pesisir, dalam hal ini
memberikan kepastian hukum bagi masyarakat wilayah pesisir. Kemudian yang
tidak kalah penting dalam proses pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir yaitu
pemberdayaan kearifan lokal.
Implementasi pengelolaan pembangunan di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil dapat dilakukan dengan beberapa proses seperti yang tercantum dalam
pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan
PulauPulau Kecil, yaitu meliputi proses kegiatan perencanaan, pemanfaatan,
pengawasan dan pengendalian, dalam mengelola dan memanfaatkan sumber
daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan. Kegiatan perencanaan
meliputi rencana strategis wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RSWP3K),
rencana zonani wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K), rencana
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RPWP3K), dan rencana aksi
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RAPWP3K). kegitan
pemanfaatan sendiri lebih kepada konservasi, untuk pendidikan dan pelatihan,
budidaya laut dan untuk pariwisata. Sedangkan kegiatan pengawasan dan
pengendalian dilakukan pemantauan, pengamanan lapangan dan atau evaluasi
terhadap perencanaan dan pelaksanaannya. Selain proses yang disebutkan dalam
undang-undang tersebut, pengelolaan pembangunan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil secara terpadu, pengelolaan berbasis lingkungan dan pengelolaan

24
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, Pasal 36
berbasis masyarakat menjadi strategi yang sangat penting untuk dilakukan dalam
pengelolaan pembangunan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
B. Saran
Kebijakan pemerintah yang dilakukan saat ini dapat dikatakan berjalan
dengan baik dengan adanya perubahan undang-undang yang mengatur wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil. Akan tetapi pemerintah harus lebih
memperhatikan penyediaan produk hukum yang lebih mumpuni demi
terjaminnya hak dari masyarakat. Penyediaan produk hukum itu dapat berupa
peraturan daerah dengan menggagas sebuah model yang berbasis masyarakat.
Pemerintah juga dalam menjalankan kebijakan belum pernah memberikan
otonomi yang nyata dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir di wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil sehingga membuat wilayah ini susah berkembang dan
menjadi terkebelakang dalam hal perekonomian, karena kegiatan ekonomi yang
berlangsung dilakukan berdasarkan pendekatan sektor yang hanya
menguntungkan instansi sektoral dan usaha tertentu. Oleh sebab itu pemerintah
harus lebih meingkatkan kebijakannya dalam mengelola dan membangun
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk perkembangan yang lebih baik dan
untuk pelayanan bagi masyarakat wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Dalam pengelolaan dan pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
telah mengalami kemajuan namun pemerintah harus mengikut sertakan
masyarakat pesisir dalam menyusun dan/atau menjalankan strategi dalam
mengelola dan membangun kawasan perbatasan karena pada hakikatnya
masyarakat pesisir yang lebih mengetahui wilayah mereka. Selain itu pemerintah
juga harus lebih meningkatkan pelayanan bagi masyarakat seperti penyuluhan
dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam mengelola dan
membangun wilayah mereka dengan lebih baik lagi dan untuk membantu
masyarakat dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah juga harus
lebih memperhatikan aspek pelestarian ekosistem agar wilayah pesisir dan
pulaupulau kecil lebih terjaga, dengan kata lain pemerintah harus merombak
strategi yang ada menjadi lebih baru dengan memperhatikan perkembangan
wilayah dan tidak hanya berpatokan pada daftar strategi yang sudah ada yang
bisa saja tidak sejalan atau tidak sesuai lagi dengan wilayah tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Etty R. Agoes, 1998, Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Alam Laut Secara Berkelanjutan,
Suatu Tinjauan Yuridis, di dalam Beberapa Pemikiran hukum Memasuki Abad XXI,
Bandung: Angkasa
Kelly Rigg dalam L Tri Setyawanta, 2005, Konsep Dasar Dan Masalah Pengaturan
Pengelolaan Pesisir Terpadu Dalam Lingkup Nasional, Semarang: PSHL FH UNDIP
hlm 49
Mahi, Ali Kabul, 2018, Pengembangan Wilayah, Jakarta: Prenadamedia Group, Hal.
253-254
Rokhim Dahuri, 2019, Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, Bogor: Media
Indonesia
Trinanda, Tommy Cahya, 2017, Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia Dalam Rangka
Pembangunan Berbasis Pelestarian Lingkungan, Jakarta Pusat: Matra Pembaruan,
Hal. 80

B. Jurnal
Agustin Rina Herawati, dkk., "Pemberdayaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Sebagai
Garda Terdepan Wilayah NKRI.", 2019, Journal of Public Policy and Applied
Administration.
Ariyani, Christina, “Mendorong Lahirnya RUU Kemanan Laut dalam Penguatan
Sistem Keamanan Laut’’, 2021, Jurnal Pembagunan Hukum Indonesia
Chikmawati , Nurul Fajra, Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Di
Indonesia (Dalam Perspektif Perlindungan Hukum Bagi Hak-Hak Ekonomi Masyarakat
Tradisional), Vol. 4, No. 2, 2013, Jurnal Hukum: Fakultas Hukum Universitas Yarsi
Ernawati, IMPLEMENTASI DEKLARASI DJUANDA DALAM PERBATASAN
PERAIRAN LAUTANINDONESIA, Agustus 2015, (PROSIDING SEMINAR
NASIONAL MULTI DISIPLIN ILMU & CALL FOR PAPERS UNISBANK
(SENDI_U): Kajian Multi Disiplin Ilmu untuk Mewujudkan Poros Maritim dalam
Pembangunan Ekonomi Berbasis Kesejahteraan Rakyat), ISBN: 978-979-3649-81-8
Fikri Jamal, Peran Pemerintah dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir, Vol. 2, No.1, 2019,
Jurnal Ilmu Hukum
Iqbal , M., IMPLEMENTASI EFEKTIFITAS ASAS OPORTUNITAS DI
INDONESIA DENGAN LANDASAN KEPENTINGAN UMUM, Vol. 9, No. 1, 2018,
Jurnal Surya Kencana Satu: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan
Jessica Prisca Humune, “Pengembangan Sumber Daya Manusia Pada Masyarakat
Pesisir Pantai Di Kabupaten Kepulauan Sangihe”, Vol. 46 No. 3, 2017, Jurnal
Administrasi Publik
Nainggolan dan Setyawanta, “Hak Pengelolaan Perairan Pesisir Dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil”, Vol.10 No.1,
2014, Jurnal Law Reform
Shafira M., Anwar M., Model Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Lampung
Berbasis Masyarakat, Vol. 11, No. 2, 2021, Jurnal Kebijakan Sosial Ekonomi
Kelautan dan Perikanan
Waluyo Adi, Permodelan Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Secara
Terpadu, vol. 7, no. 2, Oktober 2014, Jurnal Kelautan : Fakultas Pertanian
Universitas Trunojoyo Madura
Yerrico Kasworo, “Urgensi Penyusunan Pengaturan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir
Dan Pulau-Pulau Kecil”, Vol. 6 No. 1, 2017, Jurnal Rechtsvinding

C. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau
Kecil
Pasal 1 butir 8 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Anda mungkin juga menyukai