Anda di halaman 1dari 8

KOSEP LIMIT DALAM AL - QUR’AN

Sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Islam dan Jagat Raya
Dosen Pengampuh : Zulkarnain, S.Si, M.Pd.

DISUSUN OLEH :
Nafisatul Wardiyah
NIM. 12018004

PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA (TM)


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONTIANAK
2023
KOSEP LIMIT DALAM AL - QUR’AN

Dalam matematika ada metode pendekatan untuk menyelesaikan suatu masalah, atau
lebih dikenal dengan Teorema limit. Bukan hanya dalam matematika yang menggunakan
teorema limit tetapi dalam Islam ternyata terdapat teorema limit yang digunakan dalam
mengkaji ayat-ayat yang berisi pesan hukum dalam al-quran. Dalam buku al-Kitâb wa al-
Qur`ân Qirâ`ah Mu’âshirah yang kemudian di terjemahkan oleh Sahiron Syamsudin dan
Burhanudin Zikri; Wael B. Hallaq (University of McGill, Canada) mengungkapkan dalam
pengantarnya yang menggambarkan teori batas sebagai berikut:
“Perintah Tuhan yang diungkapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah mengatur
ketentuan-ketentuan yang merupakan batas terendah dan batas tertinggi bagi seluruh
perbuatan manusia. Batas terendah mewakili ketetapan hukum minimum dalam sebuah kasus
hukum, dan batas tertinggi mewakili batas maksimumnya (Syahrur, 2007).”
Argument lainnya adalah, hukum selalu berbicara tentang batas, yaitu batas minimum
dan batas maksimum. Berdasarkan kajiannya terhadap ayat-ayat hukum, Syahrur
menyimpulkan adanya enam bentuk dalam teori batas yang dapat digambarkan dalam bentuk
matematis dengan perincian sebagai berikut:
1. Halah hadd al-adna (posisi batas minimal).
Daerah hasilnya berbentuk kurva terbuka yang memiliki satu titik batas
minimum, dan terletakan berhimpit dengan garis sejajar sumbu X. Untuk kasus ini bisa
dilihat pada Q.S An-Nisa: 22-23, tentang perempuan perempuan yang haram dinikahi.
Menurut Syahrur perempuan-perempuan yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah
batas minimal perempuan yang haram dinikahi. Karenanya, perempuan yang haram
dinikahi lebih dari sekedar yang disebut ayat tersebut. Dalam kondisi apapun seseorang
dilarang melanggar batasan ini meskipun didasarkan pada ijtihad. Ijtihat hanya
diperbolehkan pada usaha memperluas pihak yang diharamkan.
Misalnya, dalam ayat tersebut tidak menyebut saudara sepupu sebagai perempuan
yang haram dinikahi. Namun bisa saja saudara sepupu termasuk ke dalam perempuan
yang haram dinikahi, seandainya ilmu kedokteran membuktikan bahwa pernikahan
dengan kerabat dekat anak perempuan saudara bapak atau ibu akan memberikan
pengaruh negatif pada keturunan seperti dapat mengakibatkan keturunan yang cacat
mental atau cacat fisik dan juga pada proses pembagian harta, maka ijtihat
diperbolehkan dalam bentuk penetapan peraturan yang melarang pernikahan dengan
keluarga dekat tersebut. Namun sebelum hasil ijtihat ini ditetapkan kepada masyarakat,
mujtahid harus memiliki data dan bukti yang valid. Seperti hasil analisis labolatorium
kedokteran dan hasil survey terhadap sejumlah keluarga yang mendukung ketetapan
tersebut.
batas minimal ini tidak boleh dilampaui agar menjadi lebih minimal lagi. Batas
minimal sudah merupakan batas terendah yang diberikan oleh Allah tentang suatu
perbuatan yang boleh dilakukan.

2. Halah hadd al-a‘la (posisi batas maksimal)


yaitu daerah hasil (range) dari persamaan fungsi Y=F(x) yang berbentuk garis
lengkung menghadap ke bawah (kurva tertutup), yang hanya memiliki satu titik balik
maksimum, berhimpit dengan garis lurus dan sejajar dengan sumbu X.
Batas maksimal terdapat dalam ayat tentang potong tangan-nya pencuri, yaitu QS.
Al-Maidah: 38. katanakal dalam bahasa arab berasal dari bahasa nakala yang berarti
melarang, dan juga muncul arti lain yakni mengikat. Dalam ayat ini Allah menjelaskan
batasan maksimal hukuman bagi seorang pencuri adalah potong tangan. berarti tidak
diperkenankan menjatuhkan hukuman bagi pencuri lebih berat dari potong tangan, tetapi
sangat mungkin menjatuhkan hukuman dengan sangat ringan.
Para pembaharu Islam berkewajiban menetapkan definisi yang pasti terhadap
'subyek' pencuri berdasarkan fakta, dan latar belakang objektif yang melingkupinya.
Dalam hal ini ijtihat membuka peluang bagi para penentu hukum untuk menentukan
berbagai batasan hukum yang sangat luas bagi penentu hukum untuk menemukan
berbagai batasan hukum yang sesuai dalam kelenturan Islam. Para mujtahid
berkewajiban untuk mementukan kriteria pencurian yang harus menerima hukuman
maksimal, yaitu potong tangan, berdasarkan latar belakang objektif pada ruang dan
waktu mereka hidup.
Batas maksimal ini juga terdapat pada ayat tentang hukuman pembunuh. Seperti
dalam QS. Al-Isra': 33, QS. Al-Baqarah: 178, dan QS. An-nisa': 92, dalam ayat ini Allah
menjelaskan bahwa hukuman maksimal bagi pembunuhan yang tidak beralasan adalah
hukuman mati, dan larangan hukuman mati yang dilakukan secara berlebihan, misalnya
dengan melibatkan anggota keluarga pelaku. Dalam hal ini mujtahid berkewajiban
menetapkan kriteria tindakan pembunuhan yang pantas menerima hukuman maksimal,
yaitu hukuman mati. Salah satu tindak pidana yang demikian adalah pembunuhan
terencana. Tetapi ada sejumlah kasus pembunuhan yang tidak perlu dijatuhi hukuman
mati, seperti pembunuhan yang untuk membela diri atau pembunuhan yang tidak
disengaja. Selain itu masih ada kesempatan pemberian maaf dari keluarga korban
pembunuhan. Dalam hal pembunuhan tidak sengaja, Islam membuka pintu ijtihat bagi
kaum muslim untuk merumuskan berbagai konsep dan teori tentang sanksi hukum
tindak pembunuhan.
Dalam batas maksimal, manusia tidak boleh menghukum lebih berat dari apa
yang telah ditentukan. Manusia hanya boleh menghukum lebih rendah dari itu.

3. Halah hadd al’ala wa al-adna ma’an (posisi batas maksimal dan minimal ada
secara bersamaan).
Daerah hasilnya berupa kurva tertutup dan terbuka yang masing-masing
mempunyai titik balik maksimum dan minimum. Kedua titik balik tersebut terletak
berhimpit pada garis lurus yang sejajar dengan sumbu X.
Untuk kasus ini bisa dilihat pada Q.S. an-Nisâ’ [4]: 3, tentang poligami. Menurut
Syahrur orang yang hendak melakukan poligami harus memenuhi dua syarat terlebih
dahulu. Pertama, syarat kuantitas. Syarat ini menyangkut tentang batasan jumlah
perempuan yang boleh dipoligami. Menurut Syahrur batas minimal poligami adalah dua
dan batas maksimalnya adalah empat. Kedua, syarat kualitas. Menurut Syahrur, orang
yang hendak melakukan poligami harus mempunyai kekhawatiran dalam dirinya bahwa
ia tidak bisa berbuat adil kepada anak-anak yatim. Tapi ia harus tetap berusaha berbuat
adil. Selain itu perempuan yang hendak dipoligami harus berstatus janda dan memiliki
anak yatim.
Kesimpulan ini dihasilkan syahrur setelah ia menganalisis surat An-Nisa': 3
dengan menggunakan metode intra-tekstual dan sosiologis. Menurutnya surat an-Nisa':
3 tidak bisa dilepaskan Dari surat an-Nisa' ayat 2 dan 6, yang berbicara mengenai anak-
anak yatim. Selain itu Syahrur menyatakan poligami boleh dilakukan dengan syarat Istri
kedua, ketiga, dan keempat adalah para janda yang memiliki anak yatim. Serta harus ada
rasa hawatir tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak yatim. Bila kedua syarat itu tidak
terpenuhi, maka perintah poligami menjadi gugur. Demikian Syahrur ingin
mengembalikan aspek kemanusiaan dalam kasus poligami, yakni terpeliharanya anak
yatim. Batasan ini hadir untuk menggabungkan batas maksimal dan minimal dalam
sebuah kualitas dan kuantitas.
4. Halah al-mustaqim (posisi lurus).
Daerah hasilnya berupa garis lurus sejajar dengan sumbu X. Posisi ini meletakan
titik balik maksimum berimpit dengan titik balik minimum. Hanya terdapat satu kasus
yang semacam ini dalam Al-Qur’an, yaitu Q.S An-Nur: 2, tentang perzinaan. Menurut
Syahrur, dalam kasus zina tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali harus menerapkan
hukuman cambuk seperti yang disebutkan dalam ayat di atas. cara menerapkan batasan
hukum ini atau kondisi yang memenuhu syarat pemberlakuan batasan hukum ini telah
ditetapkan Allah, yaitu empat saksi. Allah juga menerapkan sanksi hukum bagi pihak
yang melemparkan tuduhan tanpa mampu memnuhi syarat dan bukti-buktinya.
Keterangan dan semua batasan hukum ini tercantum dalam QS. An-Nur: 3-10
(Muhammad Syahrur, 2007).
Hukuman ini sudah merupakan hukuman minimal, jadi tidak kurang dari 100 jilid
dan tidak pula lebih dari itu. namun ketika syahrur ditanya mengapa 100 jilid sudah
merupakan batas maksimal? Syahrur tidak memberi jawaban. Sehingga Bapak muhyar
mengira-ngira mana ada orang yang masih mampu bertahan hidup setelah didera 100
kali

5. Halah al-hadd al-a’la duna al-mamas bi al-hadd al-adna abadan (posisi batas
maksimal tanpa menyentuh garis batas minimal sama sekali).
Daerah hasilnya berupa kurva terbuka yang terbentuk dari titik pangkal yang
hampir berhimpit dengan sumbu X dan titik final yang hampir berimpit dengan sumbu
Y.
Batasan ini diterapkan dalam batasan hubungan fisik antara laki-laki dan
perempuan. Hubungan fisik terjadi antara manusia berbeda jenis, bermula pada
batasannya yang paling rendah, berupa tanpa persentuhan sama sekali antara keduanya
dan berakhir pada batasan paling tinggi berupa tindakan yang menjerumus pada
hubungan kelamin yang disebut sebagai zina. Ketika seseorang masih berada pada tahap
'melakukan tindakan yang menjurus pada zina', tetapi ia belum melakukan hubungan
kelamin, maka ia belum terjerumus pada batasan maksimal hubungan fisik yang
ditetapkan Allah. Tindakan zina merupakan bagian dari batasan hukum Allah yang
seseorang tidak diperbolehkan menyentuh wilayahnya meskipun ia berada dekat pada
wilayah zina tersebut. Secara teoritis, batas hukum zina yang merupakan salah satu
batas hukum Allah ini berada dalam garis lurus yang seseorang akan sampai pada titik
puncaknaya jika ia semakin mendekatinya. Oleh karenanya, sanksi hukuman bagi
pelaku zina disimbulkan dengan garis lurus, yaitu pada posisi batas maksimal sekaligus
batas minimal. Sehingga redaksi ayat berbunyi "wala taqrabu al zina" yang artinya dan
janganlah kamu mendekati zina (Muhammad Syahrur, 2007).
Dalam batasan ini seseorang tidak boleh mendekati batas maksimal, sebab batas
maksimal adalah jangan mendekati itu sendiri. Persoalan ukuran jangan mendekati
memang tidak bisa dipositivasi, ini sangat tergantung pada keputusan mujtahid.

6. Halah hadd al-a’la mujab mughlaq la yajuz tajawuzuhu wa al-hadd al-adna salib
yajuz tajawzuhu (posisi batas maksimal positif dan batas minimal negatif).
Daerah hasil pada posisi ini adalah kurva gelombang dengan titik balik
maksimum yang berada di daerah positif dan titik balik minimum yang berada di daerah
negatif. Keduanya berhimpit dengan garis lurus sejajar dengan sumbu X.
Batasan ini berlaku pada hubungan peralihan kekayaan antar manusia. Dua batas
ini terdiri dari batas maksimal yang tidak boleh dilanggar yaitu riba, dan batas minimal
berupa zakat yang dapat dilampaui. Bentuk melampaui batas minimal itu berupa
berbagai macam sedekah. Mengingat dua batas ini berupa satu garis di daerah positif
dan satu garis didaerah negatif, titik tengah diantara keduanya berada pada posisi netral
atau dilambangkan dengan nol. Batas maksimal positif berupa riba, batas netral berupa
pinjaman tanpa bunga dan batas minimal negatif berupa zakat dan sedekah. Pangalihan
kekayaan manusia memiliki tiga alternatif model distribusi. Riba, zakat, dan sedekah
(Muhammad Syahrur, 2007).
Riba sama sekali tidak boleh dilampaui, sementara zakat boleh boleh dilampaui
kearah negatif dengan pembayaran sedekah. Kedua batas itu terdapat posisi nol, yang
terwujud dalam transaksi al-qardl al-hasan (pinjaman tanpa bunga sama sekali).

Limit adalah subjek dari matematika yang mempelajari tentang apa yang terjadi pada
suatu fungsi ketika inputnya dimasukkan mendekati suatu angka. Ada beberapa konsep dalam
matematika yang dapat dijadikan acuan untuk membuktikan keesaan Allah SWT seperti
konsep limit. Seperti contoh terdapat pertanyaan “dalam sebuah barisan asli yaitu 1, 2, 3, ...,.
barisan tersebut berhingga atu tak hingga?”. Kebanyakan dari orang menjawab tak hingga,
akan tetapi kalau kita mencerna lebih dalam lagi, barisan bilangan asli itu akan berhingga
sampai n. Sampai berapa nilai n nya? Tergantung sampai mana kita mencari tahu, tetapi
manusia tidak akan bisa menjawabnya karena hanya Tuhan yang tahu bahwa barisan bilangan
asli tersebut akan mendekati ke tak hingga (Maarif, 215).
Di dalam Al-Qur’an juga terdapat ayat yang berhubungan dengan limit, contohnya
Surat Al-Qasas ayat 88

َِ ْْ َ‫َْء َُا ِلٌ ِإ هَل َو ْْ َهَُ لََُ ْٱل ُُ ْْ ُُ َو ِإل‬ َٰ ٓ َ ۘ ‫ٱَّللِ إ َٰلَ ًها ءاخَر‬
ْ َ ُّ ُُ ََ ُُ ‫َل ِإلَََ إِ هَل‬ َ َ ِ ‫َو ََل ت َ ْدعُ َم َع ه‬
َ‫ت ُ ْر َْعَُن‬
Artinya: “Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan apapun yang lain,
tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiaptiap sesuatu pasti binasa kecuali
Wajah Allah. BagiNyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.”
Dari ayat tersebut dapat kita peroleh bahwa tidak ada sesuatupun yang kekal di bumi
ini kecuali Allah. Semuanya akan binasa bahkan matematikapun yang dianggap tak hingga
oleh sebagian orang juga tidak akan kekal (Maarif, 2015). Dengan begitu kita sebagai umat
manusia yang memiliki ilmu dan akal yang baik hendaknya kita lebih mempertebal iman dan
ketaqwaan kita terhadap Allah SWT, meskipun kita bisa menyelesaikan sesuatu masalah yang
rumit dengan jalan pikiran kita masingmasing tetapi perlu diingat bahwa manusia itu
pemikirannya terbatas. Pemikiran manusia hanya bisa mencapai sedikit dari bukti keesaan
Allah, dengan begitu Allah memiliki kekuasaan yang tak terbatas.
Disamping itu, matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna yang
merupakan simbol dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Simbol-simbol matematika bersifat
“artifisial” yang artinya simbol akan memiliki makna setelah orang menyepakati suatu makna dari
simbol tersebut. Seperti Simbol “1” ini tidak memiliki arti apa-apa, akan tetapi setelah ada
kesepakatan bahawa simbol bilangan “1” dimaknai sebauah nilai dari jumlah suatu benda maka orang
akan memaknainya sebagai banyaknya adalah 1 yang menandakan keesaan Allah. Allah berfirman
dalam Surat Al-Ikhlas:1-4

Artinya: “Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan
tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”
DAFTAR PUSTAKA

Alfian, M. Ivan. (2016). Pemikiran Muhammad Syahrur. Hermeneutik: Jurnal Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir, Vol. 10(2), 239-256.
Maarif, Samsul. (2015). Integrasi Matematika dan Islam Dalam Pembelajaran Matematika.
Infinity, Vol. 4(2), 223-236.
Putra, Adji Pratama. (2022). Teorema Limit Muhammad Syahrur Dalam Studi Islam. Jurnal
Cendikia Ilmiah, Vol. 1(6), 833-839.
Soimah, Wardatus. (2020). Konsep Matematika ditinjau dari Perspektif Al-Qur’an. Prosiding
Konferensi Intgrasi Intrkoneksi Islam dan Sains, Vol. 2, 131-135.
Syahrur, M. (2007). Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer.
Yogyakarta: Sukses Offset.
Yuhendri, Eka. (2019). Muhammad Syahrur; Theory of Limit. Tajdidukasi: Jurnal Penelitian
& Kajian Pendidikan Islam, Vol. 9(1), 29-34.

Anda mungkin juga menyukai