Abstract
Democratic culture in the lives of villagers in Bali has some of the procedural
principles of a modern democracy. Some parameters are the rotation of power,
open leadership recruitment systems, order management turnover, recognition
of appropriate manners, tolerance of differences of opinion, and accountability
of power holders. Application of democratic culture clearly affects how desa
pakraman elaborates the concept of democracy as a power base and
independence. In addition, it also determines the shape and nature of relations
between the desa pakraman with desa dinas, this condition could be the basis of
procedural democracy as one of the values of local wisdom in the development of
cultural tourism in Bali.
Pendahuluan
Peristiwa Bom Legian, Kuta Bali 12 Oktober 2002 yang disusul
dengan Bom Kuta dan Jimbaran 1 Oktober 2005 lalu telah
menimbulkan guncangan besar pada dimensi kehidupan
politik, keamanan, ekonomi, sosial budaya, dan juga pariwisata
masyarakat Bali. Tragedi beruntun itu mengakibatkan tidak saja
keterpurukan dalam sektor pariwisata, tetapi juga kemerosotan
ekonomi masyarakat Bali karena tidak seperti daerah lain,
* Dr. Wayan Gede Suacana adalah dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol
Universitas Warmadewa, Bali, dan Pengelola Jurnal Ilmu Politik Sarathi-AIPI Bali.
Ia menyelesaikan studi Sarjana Pemerintahan UGM (1990), Magister Administrasi
Negara UGM (1997) dan Doktor Kajian Budaya Unud (2008). Berminat pada bidang
kajian tata pemerintahan, manajemen pelayanan publik dan demokrasi. Pernah meraih
hibah penelitian dari Dikti, seperti kajian wanita, fundamental dan strategis nasional.
Salah satu hasil penelitiannya, “Transformasi Otonomi dalam Tata Pemerintahan Desa
Mengwi Kabupaten Badung” dimuat dalam Jurnal Ilmu Politik-AIPI Pusat Jakarta
Edisi 21, 2010. Email: suacana@gmail.com.
1
Tim Perumus Otonomi Khusus (Otsus) Bali yang dibentuk DPD PDIP Bali beranggot-
akan 21 orang dari berbagai kalangan partai politik dan akademisi di Bali.
2
Walau belum sepenuhnya diterima oleh semua kalangan, istilah desa adat mulai di-
gantikan dengan desa pakraman sejak diundangkannya Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Kemunculan istilah ini tampaknya in-
gin memperbaiki citra, mengembalikan peran dan fungsi desa yang hilang. Penjelasan
mengenai hal ini, dapat dilihat dalam Parimartha, ‘Memahami Desa Adat, Desa Dinas
dan Desa Pakraman: Suatu Tinjauan Historis Kritis’, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra Universitas Udayana,
Denpasar: 6 Desember 2003.
3
Desa pakraman dijadikan objek bahasan karena beberapa alasan. Pertama, desa pakra-
man memiliki keunikan sekaligus kondisi paradoks: telanjur mendapat ekspektasi
tinggi, telah dikenal luas tapi masih dihadapkan pada sejumlah kendala internal dan
eksternal. Kedua, sebagai ‘benteng’ terakhir dan pendukung utama budaya Bali yang
bernafaskan Hindu, desa pakraman layak dikaji secara lebih serius untuk revitalisasi
institusi informal desa, komunitas adat, budaya dan agama Hindu. Ketiga, hasil ka-
jian tentang desa pakraman diperlukan untuk bisa memposisikan desa pakraman secara
proporsional seiring penerapan otonomi di tingkat desa yang menimbulkan masalah
semakin kompleks dalam sistem pemerintahan desa di Bali.
4
Apanage sesungguhnya bermakna tanah lungguh yang diberikan oleh raja sebagai
“gaji” atau imbalan jasa kepada para birokrat kerajaan yang didasarkan pada hubun-
gan dyadik, patron-client. Pembagiannya, bekel 20 %, petani 40 % dan patuh sendiri
(apanage houder) 40 %. Dalam sistem apanege ini hubungan raja-patuh, dan patuh-
bekel, menunjukkan ketergantungan yang menciptakan sikap birokratis yang feodalis-
tik, dengan ciri-ciri menyolok seperti otoritarianisme, hirarki ketat, aliran perintah dari
atas, aliran jasa dan komoditi dari bawah, dan seterusnya. Lihat Sartono Kartodirdjo,
“Struktur Kekuasaan, Sistem Fiskal dan Perkembangan Pedesaan”, Makalah disampai-
kan pada Seminar Desa dalam Perspektif Sejarah, Pusat Antar Universitas Studi Sosial
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 10-11 Februari 1988.
5
Di Bali sendiri tidak dijumpai bukti-bukti adanya serangan dari kerajaan Majapahit.
Sumber-sumber berita itu didapatkan dari sumber kesusasteraan Jawa, seperti kitab
Negarakertagama karangan Mpu Prapanca. Lihat Pandit Shastri, 1963:90-91, Sejarah
Bali Dwipa, Denpasar.
yakni Desa Bali Aga, Desa Bali Apanage dan Desa Bali Anyar
yang sebelumnya telah dikembangkan oleh Swellengerebel
(1960), Danandjaja (1980), MPLA Bali (1991) dan Reuter (2005)
tersebut dapat dibuatkan enam tipologi desa yang didasarkan
pada topografis dan tingkat diferensiasi sosial dan pluralitas
masyarakatnya, yaitu: desa pegunungan (homogen dan
heterogen), desa dataran (homogen dan heterogen), dan desa
pesisir (homogen dan heterogen)6. Keenam tipologi desa itu
berada didalam lima lingkaran kebudayaan Bali, masing-masing
Bali Utara (Buleleng), Bali Timur (Klungkung, Karangasem),
Bali Selatan (Badung, Denpasar), Bali Barat (Jembrana, Tabanan)
dan Bali Tengah (Gianyar, Bangli). Menurut Geriya (2000:34-35)
pembagian lingkaran kebudayaan itu didasarkan pada struktur
dasar, adaptasi ekologi, gelombang pengaruh luar dan komunikasi
global, serta kesinambungan tradisi dalam modernisasi.
Dalam tulisan ini bahasan hanya difkuskan pada dua tipe desa
saja, yaitu: desa dataran homogen dan desa dataran heterogen,
yang masing-masing diwakili oleh Desa Pakraman Tenganan
Pegringsingan Karangasem dan Desa Pakraman Mengwi Badung
untuk mencermati bagaimana pelaksanaan budaya demokrasi
dalam kehidupan masyarakat pada kedua desa tersebut.
Desa dataran homogen adalah desa yang berada antara 100-800 m di atas permukaan
6
laut, bersifat tunggal dan menuju kepada satu titik pertemuan (konvergen) karena sifat
dan karakteristik masyarakatnya lebih banyak kemiripan satu sama lain. Sedangkan
desa dataran heterogen bersifat lebih majemuk, serta memancarkan perbedaan
(divergen) karena memiliki banyak bentuk ketidakmiripan dan variabilitas dalam
kehidupan masyarakatnya.
7
Aristokrasi adalah tipe pemerintahan oleh sedikit orang bijak menurut Plato yang
dilawankan dengan oligarki. Tipe lainnya monarki (tirani) dan demokrasi. Lihat Denny:
1989:38. Aristokrasi juga merupakan salah satu dari lima tipe rezim menurut Socrates
yang dianggap merupakan rezim terbaik karena yang memerintah, seorang raja yang
bijaksana (filosof). Keadilan akan terwujud dalam tipe rezim aristokrasi sebab setiap
kelas dalam masyarakat melaksanakan fungsi secara maksimal dan bekerjasama
dengan harmonis di bawah pemerintahan sang raja yang filosof. Rezim ini menurutnya
dijiwai oleh akal budi. Empat tipe lainnya: timokrasi, oligarki, demokrasi dan tirani.
Lihat Surbakti, 1992. Memahami Ilmu Politik, PT Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta, hlm. 24-25.
100 JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011
Budaya Demokrasi dalam Kehidupan Masyarakat Desa di Bali
JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011 101
Wayan Gede Suacana
MANGKU (A)
PASEK (B)
1
2 C 3
D
4 5
E
LUANAN
F
G
6 7
H
8 9
10 11
BAHAN DULUAN
(KELIHAN DESA)
12 13
14 15 BAHAN
RORAS
16 17
BAHAN
TEBENAN
18 19
20 21
22 23
TAMBALAPU T
DULUAN A
24 25 M
B
26 27 A
L
A
28 29
TAMBALAPU P
TEBENAN U
30 R
O
R
A
S PENGE-
LUDUAN
102 JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011
Budaya Demokrasi dalam Kehidupan Masyarakat Desa di Bali
Keterangan:
A = Luanan Dimana:
B = Pasek 6 s/d 11 = Bahan duluan = Kelihan Desa
C,D,E,F,G,H = Kelihan Gumi 12 s/d 17 = Bahan tebanan
1,2,3,4,5 = Luanan 18 s/d 29 = Tambalapu Roras
6 s/d 17 = Bahan Roras Dimana:
18 s/d 23 = Tambalapu duluan
24 s/d 29 = Tambalapu Tebenan
JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011 103
Wayan Gede Suacana
BENDESA ADAT
PETAJUH
PETENGEN PENYARIKA
N
KELIHAN
KRAMA DESA
KELIHAN KELIHAN KELIHAN KELIHAN
BANJAR BANJAR BANJAR BANJAR BANJAR
Rotasi kekuasaan di desa dataran homogen terlihat dari
perpindahan atau meningkatnya jabatan seseorang anggota krama
desa yang sekaligus berarti bergesernya kedudukan anggota
tersebut. Misalnya, dari pangluduhan meningkat menduduki
jabatan tambalapu dan seterusnya sampai kedudukan yang paling
atas. Sedangkan dalam masyarakat di desa dataran heterogen
dilakukan dengan pemilihan dalam sebuah pasangkepan/ paruman
desa yang biasanya dilakukan secara reguler dalam kurun waktu
5 tahun (Palet 2, Pawos 11 Awig-awig Desa Adat Mengwi) kecuali
ada hal-hal lain, yang menyebabkan rotasi kekuasaan lewat
pemilihan bisa dilakukan lebih cepat dari itu.
Ada dua cara terjadinya rotasi kekuasaan pemerintahan di
desa dataran homogen, yaitu: Pertama, rotasi kekuasaan yang
terjadi bila terdapat salah seorang dari anggota krama desa
melepaskan keanggotaannya, karena tidak lagi mampu memenuhi
ketentuan-ketentuan adat yang berlaku. Kekosongan jabatan
dalam pemerintahan desa pakraman yang ditinggalkannya
kemudian diisi oleh anggota krama desa yang berada persis di
bawahnya dan beralih ke atas satu tingkat. Kondisi ini kemudian
diikuti oleh bergesernya semua anggota krama desa yang berada
di bawah anggota yang naik tingkat tadi. Kedua, rotasi kekuasaan
dalam pemerintahan desa pakraman yang rutin dilaksanakan
setiap bulan sekali, yakni pada pesangkepan pati panten untuk
104 JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011
Budaya Demokrasi dalam Kehidupan Masyarakat Desa di Bali
JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011 105
Wayan Gede Suacana
106 JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011
Budaya Demokrasi dalam Kehidupan Masyarakat Desa di Bali
yang mereka lakukan. Beberapa hak krama desa itu antara lain:
hak mendapatkan perumahan di Banjar Kauh atau Banjar Tengah;
berhak mendapat pembagian hasil dari tanah-tanah milik desa
sesuai jabatan; berhak menduduki jabatan sebagai prajuru di desa
pakraman Tenganan Pegringsingan.
Bagi kelompok warga yang bertempat tinggal di Banjar Pande
(orang-orang bukan Tenganan Pegringsingan) memiliki hak-hak:
mendapatkan perumahan di banjar Pande; mendapat pekerjaan
di desa dengan sistem upahan; bagi yang menjabat sebagai Pasek,
Dukuh dan Pande berhak mendapat pembagian penghasilan
desa yang disebut bukti; bagi yang berasal dari orang Tenganan
Pegringsingan (anyud-anyudan) dalam upacara kematian masih
meyamai asalnya.
Masyarakat desa dataran heterogen berhak menduduki
jabatan sebagai prajuru desa; menempati karang ayahan desa yang
banyaknya 669 karang. Karang ayahan desa tersebut tidak bisa
digadaikan atau dijual sebelum mendapat persetujuan prajuru
desa. Jadi, di desa ini tidak dikenal adanya tanah hak milik pribadi.
JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011 107
Wayan Gede Suacana
108 JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011
Budaya Demokrasi dalam Kehidupan Masyarakat Desa di Bali
JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011 109
Wayan Gede Suacana
dalam hal ini mirip dengan fungsi media massa sekarang yakni
sebagai penyalur informasi antara pemerintah dengan masyarakat.
Kekuasaan tertinggi di desa dataran heterogen terdapat
pada rapat anggota atau sangkepan (paruman), sedangkan
bendesa adat hanya berfungsi sebagai pemegang mandat dari
krama desa, didalam melaksanakan berbagai tugas dan fungsi
desa pakraman atau mengorganisasikan berbagai kegiatan yang
berhubungan dengan eksistensi desa pakraman. Dalam awig-awig
desa ditentukan bahwa pada setiap paruman prajuru desa/ bendesa
adat diwajibkan menyampaikan laporan tentang perkembangan
keuangan dan kekayaan desa pakraman, pembangunan desa,
serta rencana kegiatan desa mendatang (Palet 4, Pawos 19 Awig-
awig Desa Adat Mengwi). Ada sanksi yang dikenakan bagi
prajuru desa yang melanggar awig-awig, sehingga mereka yang
memegang kekuasaan akan selalu bertanggung jawab serta tetap
mendapatkan pengawasan dari krama desa.
110 JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011
Budaya Demokrasi dalam Kehidupan Masyarakat Desa di Bali
JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011 111
Wayan Gede Suacana
112 JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011
Budaya Demokrasi dalam Kehidupan Masyarakat Desa di Bali
JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011 113
Wayan Gede Suacana
114 JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011
Budaya Demokrasi dalam Kehidupan Masyarakat Desa di Bali
setiap saat yang terpancar dari kesadaran akan realitas di dalam diri.
Keadaan ini merupakan manifestasi dari Sat, keberadaan murni
dari jiwa, karena kedamaian sendiri melampaui pemahaman.
Visi sakral berkombinasi dengan kebebasan jiwa menghasilkan
kedamaian yang dalam kenyataannya merupakan “madhura-
ananda” atau kebahagiaan bagi seluruh rakyat. 4) Memupuk cinta
kasih murni tanpa ego. Bisa mengatasi kepicikan di dalam diri
dan mengidentifikasikan diri dengan golongan lain dalam satu
kesatuan. Pemimpin yang memiliki cinta kasih bagi yang lain,
dengan berpegang pada kebenaran, dan membaktikan dirinya
untuk kebaikan orang lain, dialah pelayan rakyat yang sebenar-
benarnya, dan 5) Pantang menggunakan cara-cara kekerasan.
Penyelesaian masalah dengan kekerasan justru akan mengundang
kekerasan baru. Kekerasan bukannya menyadarkan pihak
yang dianggap berbeda pandangan, tetapi justru menyuburkan
kebencian dan rasa dendam. Sebaliknya, dengan paham
pantang kekerasan, pemimpin dapat mengembangkan cinta
kasih dan kemampuannya sehingga dapat mengaktualisasikan
diri sebagai makhluk sosial yang menghargai heterogenitas,
inklusivisme, pertukaran mutual, toleransi dan kebersamaan
dengan mengedepankan penerimaan tanpa diskriminasi, serta
menghindari persaingan yang memicu konfik politik. Hymne
terakhir kitab Rg Veda telah mengisyaratkan pentingnya rasa
kebersamaan itu. Sam gacchadhvam, sam vadadhvam, sam vo manamsi
janatam. Berkumpullah, berdiskusilah bersama, buatlah pikiran
kita bersatu padu.
Ketujuh, dari perspektif kajian budaya keragaman praktek
budaya demokrasi tersebut semestinya diarahkan pada upaya
menciptakan kesetaraan dan keselarasan antar sesama krama
desa maupun krama tamiu. Hal ini merupakan prasyarat penting
bagi pencegahan kemungkinan timbulnya konflik horizontal
di Bali pasca tragedi bom, maupun dalam membina kehidupan
masyarakat multikultural yang tidak selamanya kondusif
bagi tumbuhnya toleransi dan demokrasi. Apalagi dalam
JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011 115
Wayan Gede Suacana
116 JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011
Budaya Demokrasi dalam Kehidupan Masyarakat Desa di Bali
Simpulan
Budaya demokrasi seperti yang diterapkan dalam kehidupan
masyarakat desa di Bali pada prinsipnya tidak jauh berbeda
dengan prinsip-prinsip demokrasi modern, khususnya
demokrasi empirik/prosedural. Parameter dari budaya demokrasi
tersebut meliputi: adanya rotasi kekuasaan, keterbukaan sistem
pengrekrutan pimpinan tradisional, keteraturan pergantian
kedudukan pimpinan, penghargaan atas hak-hak warga, toleransi
dalam perbedaan pendapat, dan akuntabilitas pemegang
kekuasaan. Semuanya tampak dan telah lama diterapkan dalam
kehidupan masyarakat di Bali, khususnya pada masyarakat
desa homogen dataran (Desa Pakraman Tenganan Pegringsingan
Karangasem), dan masyarakat desa heterogen dataran (Desa
Pakraman Mengwi Badung).
Penerapan budaya demokrasi tersebut jelas akan
mempengaruhi bagaimana krama desa pakraman menjabarkan
konsep demokrasi sebagai basis kekuatan dan kemandiriannya
dalam transisi demokrasi yang sedang berlangsung saat ini.
JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011 117
Wayan Gede Suacana
118 JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011
Budaya Demokrasi dalam Kehidupan Masyarakat Desa di Bali
Saran-saran
Dengan memperhatikan bagaimana implementasi budaya
demokrasi dalam kehidupan masyarakat desa pakraman dataran
homogen dan heterogen di Bali tersebut, maka disarankan
beberapa hal berikut:
Pertama, perlu ditingkatkan intensitas penyebaran atau
penerangan awig-awig yang ada kepada masyarakat desa pakraman,
sehingga mereka dapat memahami secara benar bagian per
bagian dari awig-awig yang masih berlaku. Dengan begitu akan
dapat menumbuhkan perasaan memiliki (sense of belonging) bagi
setiap krama desa sehingga mereka dapat berperan aktif dalam
setiap pengambilan keputusan maupun kegiatan yang dilakukan.
Kedua, untuk lebih meningkatkan budaya demokrasi
dalam kehidupan desa pakraman, sangat diperlukan adanya
peningkatan kesadaran dan kualitas sumber daya manusia (krama
desa pakraman). Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah
JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011 119
Wayan Gede Suacana
120 JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011
Budaya Demokrasi dalam Kehidupan Masyarakat Desa di Bali
Daftar Pustaka
Abu, Rivai (ed). 1981. Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Bali.
Jakarta: Depdikbud, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Bali
Alfian. 1991. “Keterbukaan dalam Budaya Politik di Indonesia”,
dalam Alfian dan Nazaruddin Sjamsuddin (penyunting).
Profil Budaya Politik Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama
Grafiti.
Aris Munandar, Agus. 2005. Istana Dewa Pulau Dewata: Makna Puri
Bali Abad ke-14-19. Jakarta: Komunitas Bambu.
Ball, J. van, (ed). 1969. Further Studies in Life, Thought and Ritual.
Netherlands: W. van Hoeve Publishers Ltd-The Hague.
Danandjaja, James. 1980. Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Fay, Brian M. 2002. Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer. Yogyakarta:
Penerbit Jendela.
Gaffar, Afan. 2004. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
________. 1991.“Demokrasi Empiris dalam Era Orde Baru”, dalam
Alfian dan Nazaruddin Sjamsuddin (penyunting). Profil
Budaya Politik Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
Geriya, I Wayan. 2000. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad
XXI. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.
_______”Potensi Konflik dan mediasi Konflik Dampak Tragedi
Bom Kuta, Bali” dalam Laporan Penelitian Baseline Impact
Assesment-Sub National of the Bali Bombing, Denpasar:
Kerjasama FE Unud dengan World Bank, UNDP, USAID,
18 Januari 2003
Hatta, Mohammad. 1964. Alam Pikiran Yunani Jilid II. Jakarta:
Tintamas.
Kautilya (Canakya), Made Astana dan C.S. Anomdiputro (penerj.).
2003. Arthasastra. Surabaya: Penerbit Paramitha.
Korn, V.E.. 1960. The Republic of Tenganan Pegringsingan dalam
W.F. Wertheim (ed). Bali: Studies in Life, Thought and Ritual.
The Hague and Bandung: W. van Hoeve Ltd.
JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011 121
Wayan Gede Suacana
122 JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011
Budaya Demokrasi dalam Kehidupan Masyarakat Desa di Bali
JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011 123
I Nyoman Darma Putra
Abstract
This article examines short stories and novels by Balinese writers that depict
meetings, friendships and love affairs between Balinese and Western characters.
The works discussed were written either in the national or the Balinese language
and were published between the 1960s and 2000s, coinciding with the development
of mass tourism in Bali. One distinctive feature of the works is that narrators avoid
mixed marriages between Balinese and Westerners despite the love between them.
This recurrent theme goes against reality in which mixed marriage is common and
accepted in the Balinese community. During the period in which these works were
published, the discourse on Balinese cultural identity has been very important and
highly debated in the mass media against the backdrop of the tourism industry
and its potential negative impacts. This article argues that Balinese writers use
literary works to articulate their opinion about the importance of Balinese people
maintaining their Balineseness or cultural identity. Their works are meaningful
when viewed as an expression of Balinese identity politics in facing what is
considered to be the growing threat of tourism.
Key words: Bali, Balinese writers, Balinese cultural identity, politics of representation
Pendahuluan
Ada dua alasan pokok yang terkait yang menjadi dasar
pembahasan topik ini. Pertama, kenyataan bahwa sejak pariwisata
Bali berkembang ke arah mass tourism mulai akhir 1960-an,
sastrawan Bali mulai banyak menulis cerita yang mengisahkan
persahabatan atau percintaan antara orang Bali dengan orang
* Tulisan ini merupakan revisi kecil dari teks pidato pengukuhan guru besar penulis di
Universitas Udayana, 26 Maret 2011. Terima kasih untuk Adrian Vickers, Gde Aryantha
Soethama, dan Jean Couteau atas komentar terhadap draft awal tulisan ini.
** I Nyoman Darma Putra adalah guru besar bidang ilmu sastra Indonesia, Universitas
Udayana. Minat penelitiannya adalah sastra Indonesia, sastra Bali modern, media massa
dan kebudayaan. Bukunya yang baru terbit adalah A Literary Mirror; Balinese Reflections
on Modernity and Identity in the Twentieth Century (Leiden: KITLV Press, 2011). Email:
idarmaputra@yahoo.com
124 JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011
Politik Identitas dalam Teks Sastrawan Bali
Barat. Salah satu ciri mencolok dari cerita pendek atau novel
mereka adalah hampir semua teks tidak melanjutkan percintaan
Bali-Bulè ke jenjang pernikahan. Dengan kata lain, pengarang Bali
cenderung menolak atau mencegah terjadinya kawin-campur.
Walaupun hubungan antara laki-laki Bali dengan wanita
Barat dilukiskan sudah sedemikian intim bahkan sampai ke
hubungan seksual, tetapi ada-ada saja cara yang ditempuh
oleh pengarang untuk memutuskan percintaan dan mencegah
pernikahan Bali-Bulè. Pemutusan hubungan cinta itu terkadang
dilakukan secara ekstrem, misalnya dengan mematikan tokoh
Barat lewat insiden kriminalitas, kecelakaan pesawat terbang,
atau ledakan bom.
Alasan kedua, adalah kenyataan bahwa masalah identitas
merupakan salah satu wacana publik yang penting di Bali sejak
zaman kolonial sampai sekarang. Identitas Bali biasanya dibentuk
berdasarkan agama, adat, dan budaya (Picard 1999; Schulte
Nordholt 2000; Putra 2011). Ketika pariwisata Bali berkembang
pesat mulai awal tahun 1970-an, Bali memilih ‘pariwisata
budaya’ sebagai strategi untuk mempertahankan jati diri Bali.
Dalam derasnya pengaruh Barat entah lewat pariwisata atau
media massa, orang Bali diharapkan jangan sampai ‘kehilangan
kebaliannya’, artinya tetap teguh memegang agama, adat, dan
budaya Bali. Lewat wacana populer muncul lagu ‘Kembalikan
Baliku Padaku’, yang merefleksikan kekhawatiran bahwa Bali
telah kehilangan kebalian. Pasca-bom Bali 2002, gagasan untuk
mempertahankan kebalian mendapat momentum baru ditandai
dengan munculnya gerakan ‘ajeg Bali’, untuk merespon wacana
kehilangan Bali atau Bali yang terancam hancur.
Pertanyaan utama dalam artikel ini adalah bagaimanakah
sastrawan Bali merespon wacana identitas Bali dalam dinamika
pariwisata. Jawaban atas pertanyaan ini dicari dengan menganalisis
cerita-cerita yang ditulis sastrawan Bali sejak akhir 1960-an sampai
2000-an (lihat tabel), baik yang berbahasa Indonesia maupun Bali.
Tidak setiap karya yang menjadi objek analisis akan dikaji secara
JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011 125
I Nyoman Darma Putra
126 JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011
Politik Identitas dalam Teks Sastrawan Bali
JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011 127
I Nyoman Darma Putra
128 JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011
Politik Identitas dalam Teks Sastrawan Bali
JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011 129
I Nyoman Darma Putra
130 JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011
Politik Identitas dalam Teks Sastrawan Bali
Kau membuat saya mengerti tentang realitas hidup ini. Kau telah
berhasil mengobati penyakit saya. Saya adalah salah satu korban
dari kemelut kehidupan modern di Amerika. Lesbianisme bagaikan
wabah di sana. Banyak gadis-gadis menyenanginya, termasuk aku.
Dan malam itu, kau telah membuat kejutan yang tiba-tiba padaku,
sehingga aku menyadari, itulah yang benar, itulah yang wajar.
(hlm.51).
JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011 131
I Nyoman Darma Putra
Sementara itu, Joice yang tinggal di lantai atas Hotel Bali Beach
menengok ke bawah, ke tempat Sumerta duduk, dan berkata
dalam hati: “Alangkah bodohnya ia, bila menantiku tadi, karena janji
yang dulu.”
Terlepas dari keintiman dan hubungan seksual pra-nikah,
hubungan ini adalah contoh holiday romance, atau cinta lokasi,
cinta palsu, cinta seumur visa. Lewat cerita ini, pengarang
menunjukkan budaya Barat yang rusak lewat fenomena pelukisan
yang naif tentang lesbianisme. Ending cerita diwarnai perasaan
yang sinis ketika Joice dan keluarganya menoleh ke bawah dari
Hotel Bali Beach yang mewah yang melambangkan gap besar
dalam status dan materi antara Timur dan Barat yang tidak bisa
dijembatani.
Awal tahun 1970-an, Sanur dan Kuta menjadi pusat
perkembangan pariwisata Bali, saat itu Nusa Dua belum berdiri,
dan Ubud belum berkembang seperti sekarang. Sanur dan
Kuta saat itu dikenal sebagai tempat ‘perburuan’ turis untuk
kenikmatan seksual (Sabdono and Danujaya 1989:163-7). Dalam
periode ini, ‘seks bebas’ senantiasa dikaitkan dengan orang Barat,
dan wanita Barat kerap dianggap sebagai lebih gampang dipikat
dibandingkan wanita lokal. Kesan ini diperkuat dalam film
Bali Connection yang dibuat tahun 1978, 1 yang menggambarkan
sebuah kawasan bebas seks yang dipadati oleh gigolo Kuta yang
mengincar wanita-wanita Barat. Kisah lelaki Bali dari desa yang
datang ke Kuta untuk mendapatkan pekerjaan namun kemudian
menjadi gigolo juga dikisahkan dalam Aksara tanpa Kata, sinetron
yang ditayangkan TVRI Pusat awal 1990-an. Citra Kuta sebagai
tempat berburu turis asing tetap kuat sampai sekarang,2 dan
1
“‘Bali Connection’ mulai Digarap di Bali” (Bali Post, 18 March 1978:3)
2
Untuk liputan mendalam tentang fenomena gigolo di Kuta, lihat majalah Tiara (41, 8
Desember 1991:52-60). Dalam edisi ini, majalah ini memuat lima seri artikel tentang
gigolo antara lain “Kuta, Wisman & Gigolo Bali”, “Pengakuan Gigolo Bali”, dan “Bibit-
bibit Gigolo Bali”. Untuk pendapat yang menolak citra negatif gigolo di Bali, lihat
Agung Gede Dhyana Putra ‘Gigolo di Bali Hanya Faset Remontik’ (Nusa Tenggara, 2
Maret 1996: 6). dalam artikel ini, Putra berpendapat bahwa uang atau bayaran hanya
132 JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011
Politik Identitas dalam Teks Sastrawan Bali
satu elemen dalam hubungan antara laki-laki lokal dengan turis asing, mengingat
banyak di antara mereka melanjutkan keintiman ke jenjang pernikahan. Tetapi, dalam
situasi sosial tahun 1990-an, yang berbeda dengan situasi yang terjadi tahun 1970-an
ketika pernikahan yang terjadi jauh lebih sedikit.
JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011 133
I Nyoman Darma Putra
134 JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011
Politik Identitas dalam Teks Sastrawan Bali
Rasanya aku duduk di atas sebuah bola api yang berpijar namun
aku sama sekali tidak merasa kepanasan. Yang lebih ajaib lagi
bola api itu dapat kukendalikan sesuka hatiku. Bisa kuatur maju
mundur, naik turun, terbang, meluncur, menukik, pokoknya
bergantung sepenuhnya kepada kemauanku. (p.133)
JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011 135
I Nyoman Darma Putra
tarik wisata di Bali akhir 1970-an, ketika novel ini ditulis, dan
memberikan komentar yang negatif tentang fenomena hippies
yang mesti dijauhi. Sebelum hotel pertama, Nusa Dua Beach,
beroperasi di Nusa Dua tahun 1983, kawasan Nusa Dua sudah
mulai banyak dikunjungi wisatawan karena pantainya yang
berpasir putih dan sunyi.
Untuk mengembangkan novel dengan alur cerita yang
kuat, Pusaka dan Cathie digambarkan menonton Tarian Barong,
pertunjukan wisata yang melukiskan perang abadi antara black
magic dan white magic. Pertunjukan ini menjadi arena bagi Pusaka
dan Cathie untuk membahas ilmu hitam dan putih. Malam hari,
sementara Cathie praktik menjadi léak dengan gurunya, Pusaka
mengintipnya dari semak untuk memenuhi rasa ingin tahunya,
sesuatu yang berisiko karena bisa saja dia diserang oleh guru
léak. Namun, untuk memproteksi dirinya, Pusaka sudah terlebih
dahulu meminta nasehat dari kakeknya yang ahli dalam black
magic dan white magic, tetapi berkomitmen mempraktekkan
ilmu putih. Kakeknya memberikan Pusaka sebilah keris, untuk
menjaga diri.
Dua kekuatan berlawanan, ilmu hitam dan ilmu putih,
membayang-bayangi hubungan romantik antara Cathie dan
Pusaka. Dalam situasi yang tidak biasanya ini, Pusaka yang
menekuni ilmu putih, memaksa bertanya pada diri sendiri
apakah dia perlu melanjutkan percintaannya dengan Cathie yang
sementara ini menekuni ilmu hitam. Ketika cuti resminya habis,
Pusaka kembali ke Surabaya, dan meninggalkan Cathie di Bali.
Seperti halnya dalam cerita lain yang dibahas di atas, dalam novel
ini pun hubungan romantik antara lelaki Bali dan wanita Barat
bersifat temporer, holiday romance. Dalam cerita lain, biasanya
wanita Barat yang dilukiskan meninggalkan lelaki Bali karena
visanya sudah habis, dalam novel ini hal sebaliknya yang terjadi.
Pada akhir cerita, Cathie meninggal sebagai seorang léak.
Cathie dan guru léak-nya dibunuh secara tidak sengaja oleh
Pusaka yang hendak menolongnya. Malam itu, saat Pusaka
136 JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011
Politik Identitas dalam Teks Sastrawan Bali
JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011 137
I Nyoman Darma Putra
138 JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011
Politik Identitas dalam Teks Sastrawan Bali
JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011 139
I Nyoman Darma Putra
140 JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011
Politik Identitas dalam Teks Sastrawan Bali
JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011 141
I Nyoman Darma Putra
142 JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011
Politik Identitas dalam Teks Sastrawan Bali
JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011 143
I Nyoman Darma Putra
Terjemahan:
144 JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011
Politik Identitas dalam Teks Sastrawan Bali
Club dan John meninggal di sana. Waktu itu Nyoman Sari tidak
ikut karena dia harus mengikuti upacara piodalan di sebuah pura.
Kedatangan keluarga John yang rencananya meminang Sari,
akhirnya berubah menjadi penjemputan jenazah John.
Novel ini ditutup dengan adegan Nyoman Sari dan orang
tua John menggelar ritual kecil di puing-puing ledakan Sari Club.
Di antara puing itu, Sari sembahyang, memanggil-manggil John
yang dicintainya, sebuah adegan yang sangat mengharukan,
seperti dilukiskan berikut.
Ia terus ngeling sigsigan japin suba geluta tekèn mèmèn John anè masi
ngeling madalem bakal mantunè anè kapegatan.
Terjemahan:
JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011 145
I Nyoman Darma Putra
Politik Identitas
Politik identitas adalah strategi untuk melihat diri di hadapan
orang lain (the Other). Orang lain di sini bisa berarti individu, etnik,
ras, atau bangsa dengan segala perbedaan yang menyertainya
seperti umur, jenis kelamin, sejarah, agama, atau budaya.
Proses konstruksi identitas umumnya meliputi penonjolan akan
persamaan dan perbedaan-perbedaan esensial atau substansial
dengan ‘the Other’. Namun, perlu diingat bahwa identitas tidak
pernah fixed, statis, atau final tetapi selalu berubah dan dinamik,
atau ‘in constanst mutation’ (During 2005:150). Menurut Stuart
Hall (1997:51) konstruksi identitas tidak pernah komplit dan
proses itu terjadi ‘di dalam, bukan di luar, representasi’. Karya
sastra merupakan salah satu bentuk representasi oleh karena itu
merupakan arena yang menarik untuk menyelidiki bagaimana
pengarang sebagai kelompok intelektual memberikan tawaran
tentang identitas ideal masyarakatnya.
Berdasarkan konsep politik identitas tersebut dan pembacaan
teksteks sastrawan Bali secara sosiologis jelas terungkap bahwa
pengarang Bali memilih interaksi percintaan Bali-Bulè dalam
karyanya bukanlah untuk membawa tokoh-tokoh ceritanya
ke jenjang pernikahan tetapi lebih sebagai wahana untuk
mengkonstruksi identitas Bali. Orang lain atau ‘the Other’ di
sini yang dijadikan proyeksi bagi orang Bali untuk merumuskan
identitasnya adalah orang Barat yang hadir lewat dunia
pariwisata. Identitas mereka pada umumnya sebagai wisatawan,
walau dalam beberapa cerita terungkap identitas jamak (multiple
identities) seperti sebagai mahasiswa, peneliti, anggota sindikat
narkotika, penyelundup senjata, pembobol bank, dan sebagainya.
Teks-teks sastrawan Bali yang dianalisis di sini ditulis pada
146 JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011
Politik Identitas dalam Teks Sastrawan Bali
JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011 147
I Nyoman Darma Putra
148 JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011
Politik Identitas dalam Teks Sastrawan Bali
Daftar Pustaka
JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011 149
I Nyoman Darma Putra
Hawaii Press.
Geriya, I Wayan. 2002. Internation Marriage; Tourism, Inter Marriage
and Cultural Adaptation in the Family Life of Balinese-Japanese
Couple in Bali. Denpasar: Centre for Japanese Studies
University of Udayana.
Hall, Stuart. 1997. ‘Cultural identity and diaspora’, in: Kathryn
Woodward (ed.), Identity and Difference, pp.51-59. London:
Sage Publication.
Hitchcock, Michael and I Nyoman Darma Putra. 2007. Tourism,
development and terrorism in Bali. Aldershot: Ashgate.
Jennaway, Megan. 1998. ‘Passage Frustrated: Alice’s Looking-glass
and the Gendered Access to Global Domains of Knowledge
in Rural North Bali’, paper delivered at the “Asia in Global
Context”, UNSW, Australia.
MacRae, Graeme. 1992. ‘Tourism and Balinese culture’. M.Phil.
thesis, The University of Auckland.
Mada, Putra. 1978. Liak Ngakak. Jakarta: Selecta Group.
Maier, Henk. 1993.‘From heteroglossia to polyglossia; the creation
of Malay and Dutch in The Indies’, Indonesia (56) October, pp.
37-56.
Manda, Nyoman. 2003. Laraning Carita ring Kuta,kumpulan cerita
tragedi bom di Kuta. Gianyar: Pondok Tebuwetu.
______. 2007. Depang Tiang Bajang Kayang-kayang. Gianyar: Pondok
Tebuwetu.
McKean, Philip Frick. 1971.‘Pengaruh-pengaruh asing terhadap
kebudayaan Bali: hubungan ‘hippies’ dan ‘pemuda
international’ dengan masyarakat Bali masa kini’, in: I Gusti
Ngurah Bagus (ed.), Bali dalam sentuhan pariwisata, pp.21-27.
Denpasar: Fakultas Sastra Unud.
Montrose, Louis A. 1997. ‘Professing the Renaissance: The Poetics
and Politics of Culture’, in K.M. Newton (ed.) Twentieth-Century
Literary Theory, pp. 240-47. London: Macmillan Press Ltd.
Parsua, I Gusti Ngurah. 1987. Anak-anak (Himpunan Cerita
Pendek). Jakarta: Balai Pustaka.
______. 1995. ‘Don’t Forget John!’, tak terbit.
Picard, Michel. 1990. ‘Kebalian orang Bali; tourism and the uses of
“Balinese culture” in New Order Indonesia’, Rima (24):1-38.
150 JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011
Politik Identitas dalam Teks Sastrawan Bali
JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011 151