Anda di halaman 1dari 4

Nama Mahasiswa : Riska Wulandari

NIM : 12216071

Kelas :1A

Jurusan : Akuntansi Syariah

Fakultas : Ekonomi dan Bisnis Islam

Kampus : IAIN PONTIANAK

Dosen Pengampu : Ainun Najib, M.Ag.

TEMA KULIAH IX : ETIKA KHATMIL QUR’AN

Khataman bagi pembaca Al Qur’an sendirian, disunatkan dilakukan di dalam salat.


Bagi yang mengkhatamkannya di luar salat, misalnya sekumpulan orang mengkhatamkan Al
Qur’an secara bersama-sama disunatkan dilakukan pada permulaan malam hari atau
permulaan siang hari. Disunatkan puasa di hari pengkhataman, kecuali jika bertepatan dengan
hari yang dilarang oleh syariat melakukan puasa.

Sebuah riwayat yang sahih bersumber dari Thalhah ibnu Musharraf, Al Musayyab
ibnu Rafi’, dan Hubaib ibnu Abu Tsabit, semuanya adalah para tabi’in dari Kufah,
menyatakan bahwa mereka berpuasa di diang hari khataman Al Qur’an nya. Disunatkan pula
menghadiri majelis khataman bagi orang yang dapat membacanya dan bagi orang yang tidak
pandai membacanya.

Mengkhatamkan Al-Qur’an merupakan sebuah prestasi yang sangat mulia dan hanya
mampu dilakukan oleh mereka yang memiliki kesungguhan dalam berinteraksi dengan Al-
Qur’an. Pada masa terdahulu, banyak dijumpai orang-orang saleh yang istiqamah
mengkhatamkan Al-Qur’an setiap bulan bahkan setiap minggu. Seperti Sahabat Utsman bin
Affan, Abdullah bin Mas’ud, Said bin Jubair, Imam Syafi’i, Imam Hamzah, dll.
Mengkhatamkan Al-Qur’an, artinya mampu menuntaskan bacaan Al-Qur’an dari setiap
deretan huruf demi huruf, kalimat demi kalimat, ayat demi ayat hingga tuntas dari awal surat
al-Fatihah hingga surah an – Nas. Ketika seseorang ingin mengkhatamkan Al-Qur’an, maka
sebaiknya ia memperhatikan beberapa etika dan tata cara yang baik, di antaranya adalah:

Pertama, pemilihan waktu. Adapun waktu yang baik untuk mengkhatamkan Al-
Qur’an adalah ketika shalat. Bila seseorang hendak mengkhatamkan Al-Qur’an di pagi hari
maka sebaiknya dilakukan ketika shalat sunnah fajar, dan bila hendak mengkhatamkan Al-
Qur’an pada malam hari maka sebaiknya dilakukan ketika shalat sunnah bakdiyah Maghrib.
Namun, sebagian ulama menegaskan bahwa mengkhatamkan Al-Qur’an ketika shalat sunnah
fajar adalah lebih baik.

Sementara itu, apabila ingin mengkhatamkan Al-Qur’an di luar waktu shalat atau
apabila khataman dilaksanakan secara berjamaah, maka sebaiknya dilakukan pada awal hari
atau di awal malam. Imam Sa’ad bin Abi Waqqash mengatakan bahwa apabila seseorang
mengkhatamkan Al-Qur’an tepat pada awal malam, maka para Malaikat mendoakannya
sampai pagi, pun demikian bila seorang mengkhatamkan Al-Qur’an tepat pada awal hari,
maka para Malaikat mendoakannya sampai sore. Menurut Imam Ghazali, yang dimaksud
dengan awal hari adalah waktu dilaksanakannya dua rakaat shalat sunnah fajar, dan yang
dimaksud dengan awal malam adalah ketika pelaksanaan shalat sunnah bakdiyah Mahgrib.

Imam al-Ghazali (w. 505 H) dalam kitab Ihya’ Ulumiddin juz 1, halaman 187
mengatakan bahwa dianjurkan untuk mengkhatamkan Al-Qur’an pada hari atau malam hari
Jumat, jika dilakukan pada siang hari maka sebaiknya dilakukan pada saat shalat sunnah fajar
dan jika dilakukan pada malam hari, maka sebaiknya dilakukan pada saat sunnah bakdiyah
Mahgrib atau diantara adzan dan iqamah. Karena mengkhatamkan pada hari atau malam
Jumat memiliki keutamaan yang besar. Lebih lanjut Imam Ghazali dalam karyanya di atas
(1/276) mengatakan bahwa yang paling utama adalah khataman Al-Qur’an itu dilakukan
bergilir; di suatu waktu dilakukan pada siang hari dan suatu waktu dilakukan di malam hari.
Jika khataman Al-Qur’an itu dilakukan pada siang hari, maka sebaiknya dilakukan saat shalat
sunnah fajar atau setelahnya pada hari senin. Namun jika khataman itu dilakukan pada malam
hari, maka sebaiknya dilakukan pada saat shalat sunnah bakdiyah maghrib malam Jumat.

Kedua, berpuasa saat hari khataman kecuali jika berbenturan dengan hari yang
dilarang berpuasa, maka tidak dianjurkan berpuasa. Tradisi puasa ini merupakan “lelampah”
para ulama tabi’in, seperti Thalhah bin Mushrif, Habib bin Abi Tsabit dan al-Musayyib bin
Rafi’. Mereka semua berpuasa di hari khataman Al-Qur’an.
Ketiga, disunnahkan menghadiri majelis khataman Al-Qur’an. Hal ini merupakan
tradisi yang dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in. Diceritakan bahwa ketika sahabat Anas
akan mengkhatamkan Al-Qur’an, beliau mengajak keluarganya untuk berdoa bersama, sebab
doa yang dipanjatkan setelah khataman Al-Qur’an termasuk doa yang mustajab. Demikian
pula Ibnu Abbas, beliau mempunyai antusias yang besar untuk menghadiri majelis khataman
Al-Qur’an. Diceritakan bahwa Ibnu Abbas (w. 68 H) mengutus seorang laki-laki untuk
menjadi “mata-mata” yang bertugas mengintai kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan
khataman Al-Qur’an, apabila terdapat seseorang yang akan mengkhatamkan Al-Qur’an,
maka laki-laki tersebut mengabarkan kepada Ibnu Abbas sehingga beliau ikut serta
menghadiri khataman tersebut.

Keempat, sangat dianjurkan berdoa kepada Allah dengan tulus dan penuh
kekhusyukan setelah mengkhatamkan Al-Qur’an. Imam Humaid al-A’raj berkata: “Barang
siapa yang membaca (mengkhatamkan) Al-Qur’an kemudian dia berdoa, maka empat puluh
ribu Malaikat ikut mengamini doanya”. Dalam hal ini dianjurkan berdoa untuk perkara-
perkara yang penting dan menyelipkan doa untuk kebaikan kaum muslimim, kebaikan kepala
Negara dan pemerintahan.

Seperti yang dicontohkan Ibnu al-Mubarak (w. 181 H) saat mengkhatamkan Al-
Qur’an, dalam doanya, beliau banyak memohon kepada Allah untuk kebaikan kaum
Muslimin.

Kelima, dianjurkan langsung melanjutkan/mengulang kembali membaca dari awal


surat Al-Qur’an setelah khatam. Artinya apabila seseorang telah mengkhatamkan Al-Qur’an,
maka pada waktu itu juga dianjurkan untuk langsung membaca surat al-Fatihah dan sebagian
dari surat al-Baqarah.

Nabi bersabda: “Sebaik-baik perbuatan adalah memulai membaca Al-Qur’an dan


mengkhatamkan. Artinya, seorang yang telah selesai mengkhatamkan Al-Qur’an, dia
membaca kembali dari awal. Melanjutkan/mengulang kembali membaca Al-Qur’an dari awal
setelah khatam merupakan tradisi yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad. Hal ini
diperkuat oleh pernyataan yang disampaikan oleh Imam Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H).

Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam karyanya, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an,


mengatakan bahwa Ubay bin Ka’ab menjelaskan bahwa Nabi Muhammad, ketika sampai
pada surat terakhir (an Nas) beliau langsung melanjutkan membaca surat al-Fatihah dan lima
ayat surat al-Baqarah kemudian setelah itu berdoa.

Anda mungkin juga menyukai