Anda di halaman 1dari 13

SULTAN SULAIMAN BADRUL

ALAMSYAH I (1722-1760)
Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I (sebelum dilantik menjadi Sultan
Kesultanan Riau Johor Pahang bernama Raja Sulaiman) adalah anak dari Tun
Abdul Jalil. Tun Abdul Jalil adalah Bendahara Kesultanan Johor Riau semenjak
masa pemerintahan Sultan Ibrahim Syah (1677-1685). Pengganti Sultan
Ibrahim Syah (1677-1685) yaitu Sultan Mahmud Syah II meninggal dalam usia
muda, 24 tahun. Wafatnya Sultan Mahmud Syah II menyebabkan timbulnya
kemelut di dalam kesultanan Melayu Johor Riau karena Sultan Mahmud Syah II
tidak meninggalkan ahli waris sebagai penggantinya. Beliau tidak memiliki
keturunan. Dengan demikian yang menjadi sultan adalah Bendahara Tun Abdul
Jalil yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV. Naiknya Bendahara
sebagai Sultan menyebabkan konflik intern dalam Kesultanan Johor Riau, yang
menyebabkan munculnya Raja Kecil yang mengaku sebagai ahli waris Sultan
Mahmud Syah II ingin merebut kembali tahta Sultan. Raja Kecil berhasil
mengalahkan Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV dan dilantik menjadi Sultan
Kesultanan Johor Riau dengan gelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah.

Pada tahun 1722, Raja Sulaiman (anak bendahara Tun Abdul Jalil) “bersekutu”
dengan bangsawan Bugis (Opu-Opu Bugis Lima Bersaudara) untuk merebut
kembali kekuasaan Johor Riau atas Raja Kecil. Pada akhirnya, kemenangan ada
pada pihak Tengku Sulaiman. Tengku Sulaiman kemudian dilantik menjadi
Sultan pada tanggal 4 Oktober 1722 dengan gelar Sultan Sulaiman Badrul Alam
Syah, yang berkedudukan sebagai Yang Dipertuan Besar I. Pusat pemerintahan
kesultanan pada saat pelantikan berkedudukan di Riau tepatnya di Sungai
Carang (sekarang termasuk dalam wilayah Kota Tanjungpinang).
Pelantikannya menjadi catatan sejarah penting dalam perjalanan Kerajaan Riau
Johor Pahang Lingga, karena diiringi dengan sebuah “sumpah setia” antara
pihak Bugis (Opu-Opu Bugis Lima Bersaudara) dengan Sultan Sulaiman Badrul
Alamsyah. Berdasakan “sumpah setia” tersebut, Sultan berkedudukan sebagai
Yang Dipertuan Besar. Sedangkan pihak Bugis (Opu-Opu Bugis Lima
Bersaudara) diberikan kedudukan sebagai Yang Dipertuan Muda. Sehingga
sejak itu, muncul sebuah konsep pemerintahan yang modern karena segala
segala kebijakan pelaksanaan pemerintahan tetap berada di tangan Sultan,
namun roda pemerintahan dilaksanakan oleh Yang Dipertuan Muda. Berturut-
turut pemegang jabatan Yang Dipertuan Muda pada masa pemerintahan Sultan
Sulaiman adalah Daeng Marewa (1722-1729), Daeng Celak (1729-1749),
Daeng Kamboja (1749-1777).
Dengan sistem pemerintahan seperti itu, banyak pembesar Melayu merasakan
dominan Bugis di dalam pemerintahan tersebut sehingga sering timbul konflik
internal di kalangan pemerintahan pada waktu itu. Pembesar Melayu mendesak
agar Sultan mengurangi dominan Bugis. Maka dalam masa pemerintahannya
seringkali terjadi konflik internal antara Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah
dengan pihak Bugis. Konflik internal itu berakhir setelah diadakan perdamaian
antara Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah dengan Daeng Kamboja pada tanggal
1 Desember 1759 dimana kedudukan pihak Bugis diakui kembali sebagai Yang
Dipertuan Muda. Bugis juga mengakui bahwa segala kebijakan pelaksanaan
pemerintahan tetap berada di tangan Sultan. Dalam perkembangannya
pembauran antara Sultan (Melayu) dengan pihak Bugis (Opu-Opu Bugis Lima
Bersaudara) tidak hanya dalam kekuasaan pemerintahan saja tetapi juga
terwujud melalui pernikahan antaretnik Melayu dan Bugis bahkan juga dengan
etnik lainnya.
Tidak lama setelah perdamaian antara Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah
dengan Daeng Kamboja pada tanggal 1 Desember 1759 itu Sultan Sulaiman
Badrul Alam Syah wafat. Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah wafat pada tahun
1760, setelah memegang peranan sebagai Sultan Yang Dipertuan Besar I
selama 38 tahun, disebut dengan Marhum Batangan. Beliau dimakamkan di
Kampung Bulang Km. 6 Kelurahan Kampung Bulang Kecamatan Tanjungpinang
Timur, tepatnya di pinggir Sungai Carang Batu 6. Kompleks yang panjangnya
dan lebarnya sama (13,20 meter) ini, selain terdapat makam Sultan Sulaiman
itu sendiri, juga 15 makam lainnya. Dari ke-15 itu, 5 diantaranya berukuran
besar, sedangkan selebihnya berukuran kecil.
Kekuasaan Sultan Ahmad tidak berlangsung lama karena tahun 1761 ia dibunuh
oleh orang Bugis yang tidak mendukung pengangkatan Sultan Ahmad sebagai
penguasa Kesultanan Riau (Pemda Tk. I Propinsi Riau, 1976: 231). Kemudian,
sebagai pengganti berikutnya diangkatlah Tengku Mahmud cucu Sultan
Sulaiman yang masih anak-anak bergelar Sultan Mahmud Riayat Syah tahun
1761 berkedudukan di Riau.

Riwayat Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I

Dalam Tuhfat al Nafis, disebutkan bahwa Sultan Sulaiman Badrul alam Syah I
adalah anak dari bendahara ibn Datuk Bendahara Tun Pikrama Tun Habib
Bendahara Seri Maharaja yang bergelar Sultan Abd al-Jalil Syah. Sebelum
menjadi Sultan Johor Pahang Riau, beliau bernama Raja Sulaiman. Berikut
adalah petikannya.

Syahadan maka mangkatlah pula Sultan Mahmud itu terbunuh di Kota Tinggi
pada Hijrat seribu seratus sebelas tahun, pada tahun Wau, sanat 1111. Maka
menggantikan kerajaannya bendahara ibn Datuk Bendahara Tun Pikrama Tun
Habib Bendahara Seri Maharaja. Adalah ia naik kerajaan pada Hijrat yang
tersebut itu, pada delapan hari bulan Rabiulawal hari Khamis, waktu zuhur.
Syahadan pada ketika itu maka bergelar ia Sultan Abd al-Jalil Syah. Kata sahib
al-hikayat masa inilah Raja Sulaiman putera Sultan Abd al-Jalil itu zahir
ke/dalam/dunia, yakni diperanakkan bondanya. Sebermula adalah mangkatnya
Sultan Mahmud Syah itu yaitu sebab dibunuh ((oleh)) seorang hulubalangnya
yang bernama Megat Seri Rama, sebab Sultan Mahmud itu membunuh isterinya
(Megat Seri Rama itu), karena makan sehulas nangka pada ketika raja (lagi
tengah) beradu. Adalah terbunuhnya di Kota Tinggi di Makam Tawhid namanya
di dalam negeri Johor//.
(Virginia Matheson Hooker, 1991 : 140)

Raja Sulaiman memiliki beberapa saudara kandung yang juga menjadi


pembesar kerajaan. Diantaranya menjadi bendahara, temenggung, raja muda
dan menjadi indera bongsu. Berikut adalah petikannya.

Sebermula adalah Sultan Abd al-Jalil itu beberapa ada puteranya yang gahara,
dan yang bukan gahara, iaitu puteranya dengan gundikinya yang bernama
Encik Nusamah anak orang Acheh. Adapun anak (nya) yang gaharanya
beberapa orang (akan anak ia) di dalam lagi (jadi) bendahara, bersalahan Raja
Sulaiman sungguhpun ia anak gundik, akan tetapi (nya) ia putera di dalam
sudah menjadi raja. Sebab itulah anaknya yang tuanya dijadikannya
bendahara, dan (seorang) dijadikannya temenggung, dan saudaranya dijadikan
raja muda, (dan) seorang lagi anaknya kata setengah kaul, dijadikannya indera
bongsu. Adapun Raja Sulaiman pada niat-niar hatinya ia hendak (di) jadikan
(nya) gantinya.
(Virginia Matheson Hooker, 1991 : 140)

Secara keseluruhan, Raja Sulaiman memiliki saudara kandung yang berjumlah


16 orang. Beberapa saudara perempuan yang tertulis dalam Tuhfat Al Nafis
adalah Tengku Tengah, Tengku Kamariah dan Tengku Mandak. Berikut
kutipannya.

Syahadan kata rawi adalah Raja Sulaiman itu enam belas beradik, akan tetapi
yang dapat disebutkan (nama) di dalam salasilah ini, maka inilah bilangannya.
Pertama Raja Sulaiman, kedua Tengku Tengah, ketiga Tengku
Kamariah/timang-timangannya Tengku Puan/, keempat Tengku Mandak.
Adapun Raja Sulaiman ia (lah yang) menjadi raja diangkat oleh Bugis iaitu opu
yang lima beradik, iaitu lagi (akan) datang kisahnya di dalam siaran ini.
(Virginia Matheson Hooker, 1991 : 141)

Tengku Tengah kemudian bersuamikan Opu Dahing Parani. Tengku Kamariah


bersuamikan Raja Kecik Siak. Sedangkan Tengku Mandak bersuamikan Opu
Dahing Cellak. Dengan demikian dua anak perempuan Sultan Abd al-Jalil
melakukan perkawinan silang dengan suku Bugis dan satu lagi yaitu Tengku
Kamariah nantinya akan melahirkan raja-raja Siak. Berikut Kutipannya.
Dan adapun Tengku Tengah adalah ia jadi isteri Opu Dahing Parani beranakkan
Raja Maimunah, bersuamikan //ia akan// temenggung Johor beranakkan Dahing
Cellak dan Dahing Kecik, dan Engku Muda. Adapun Dahing Cellak mati (ia)
sebab terbakar ubat bedil di dalam keci yang diamuknya itu. Adapun Dahing
Kecil ialah beranakkan Temenggung Abd al-Rahman, dan temenggung Abd al-
Rahman beranakkan Dahing Ronggik, dan Dahing Abdullah, keduanya
mengadakan (beberapa) anak. Adapun Dahing Ronggik jadi temenggung ((di))
Singapura, ada anaknya bernama Tun Abu Bakar, akan sekarang sudahlah ia
menjadi temenggung Johor bergelar Temenggung Seri Maharaja Raja Johor
pada tatkala (masa) membuat salasilah ini. Adapun Tengku Kamariah
bersuamikan Raja Kecik Siak, beranakkan Raja Mahmud timang-timangannya
Raja Buang. Adapun Tengku Mandak bersuamikan Opu Dahing Cellak [maka
beranak ia dua orang perempuan (yang) seorang namanya Tengku Putih dan
(yang) seorang namanya Tengku Hitam]. Inilah setengah daripada anak-anak
Sultan Abd al-Jalil yang perempuan (-perempuan) yang menjadi bercampur-
campur nasab dengan raja-raja Bugis, dan dengan raja-raja Siak, lagi akan
datang kisahnya¹ pada siarah (nya), akan tetapi dengan jalan (yang) smpan
perkataannya.
(Virginia Matheson Hooker, 1991 : 141)

Dalam perkembangannya, anak cucu Raja Sulaiman menjadi pewaris penguasa


Riau Lingga. Berikut kutipannya.

Syahadan adapun daripada pihak anaknya yang laki-laki yang berkekalan anak
cucunya menjadi raja di dalam Riau dan Lingga dengan segala takluk
daerahnya. Maka inilah aku nyatakan salasilahnya setengah daripada (yang)
aku ketahui (daripada) mereka itu (adanya). Al-Sultan Sulaiman Bard al-Alam,
yaitu anak Sultan Abd al-Jalil yang dapat di dalam ia sudah menjadi raja Johor,
dan seorang anaknya bernama Raja Abd al-Rahman, anak daripada Encik
Nusamah (ibunda), yaitu dua laki-laki empat belas perempuan. Syahadan
Sultan Sulaiman inilah beranakkan Raja di Baruh yang bernama Raja Abd al-
Jalil, inilah anaknya yang gaharanya dengan Encik Puan Perak. Adapun anak-
anaknya yang lain, iaitu Raja Usman, an Raja Ismail, dan Raja Ahmad, dan
ayahandanya Tengku Panglima Besar. Dan (yang) perempuannya Raja Bulang,
dan beberapa lagi anaknya laki-laki dan perempuan.
(Virginia Matheson Hooker, 1991 : 141-142)

Beberapa nama anak cucu Raja Sulaiman yang kemudian menjadi penguasa di
Riau Lingga diantaranya adalah Sultan Mahmud Syah III, Sultan Muhammad
dan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II.

Sebermula adalah Sultan Abd al-Jalil itu beristerikan Tengku Putih, putera Opu
Dahing Cellak. Maka beranakkan Sultan Mahmud (al-Marhum) yang mangkat di
Lingga, dan Sultan Mahmud ini berputra dua orang laki-laki yang seorang
bernama Tengku Lung, dirajakan oleh orang Inggris di Singapura bergelar
Sultan Husain Syah, dan yang seorang lagi bernama Tengku Abd al-Rahman
timang-timangannya Tengku Jumaat//, iaitulah yang bergelar Sultan Abd al-
Rahman (al)-Marhum Bukit Cengkeh di negeri Lingga. Dan Sultan Abd al-
Rahman inilah berputerakan Sultan Muhammad// di negeri Lingga//, tatkala ia
(sudah) mangkat digelar orang Marhum Keratun di dalam Lingga. Dan Sultan
Muhammad inilah berputerakan Sultan Mahmud yang diturunkan kerajaannya
oleh Holanda, adalah mangkatnya itu di negeri Pahang. Syahadan adalah pada
tatkala ia diturunkan daripada kerajaannya itu, iaitu menggantilah akan ayah
saudaranya iaitu bergelar Sultan Sulaiman Badr al-Alam Syah, /adapun Sultan
Sulaiman Badrul Alam Syah itu apabila ia sudah mangkat digantikan oleh Raja
Abdul Rahman putera Yang Dipertuan Riau Raja Muhammad Yusuf dan bergelar
Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah dan ialah membuat muzik. Adalah Sultan
Sulaiman Badrul Alam Syah itu yang ia/putera Marhum Sultan Abd al-Rahman
Syah yang disebutkan orang Marhum Bukit Cengkeh. Syahadan putra Marhum
Bukit Cengkeh itu ada laki-laki ada perempuan. [Adapun laki-laki itu, iaitu]
((Sultan)) Muhammad yang dipanggil orang Marhum Keratun, inilah puteranya
yang gahara, dan kedua Sultan Sulaiman Badr al-Alam Syah yang tersebut itu,
ketiga Raja Daud. Adapun yang perempuan iaitu pertama Tengku Tengah
namanya, jadi isteri Raja Abdullah putra Marhum Muda Raja Jaafar bangsa
Bugis, kedua Tengku Kecik namanya, jadi isteri Bendahara Pahang yang
bernama Tun Mutahir, ketiga Tengku Andak namanya, jadi isteri Temenggung
Ibrahim yang diam di Singapura Teluk Belanga, keempat Tengku Hitam, tiada
bersuami mati di dalam daranya.
(Virginia Matheson Hooker, 1991 : 143-144)

Salah satu keturunan Raja Sulaiman yaitu Tengku Ambung pada akhirnya
bersuamikan dengan Yang Dipertuan Muda Kesepuluh Raja Muhammad Yusuf.
Berikut Kutipannya.

Adapun putera Sultan Abd al-Rahman yang bernama Sultan Muhammad/ yang
telah disebut/itu/ tadi iaitu/ maka adalah (ia beberapa menaruh) anak laki-laki
dan perempuan. Adapun yang laki-lakinya iaitu Sultan Mahmud yang telah
tersebut tadi, iaitu berdua saudara satu ibu yang perempuannya bernama
Tengku Dalam adalah bondanya Raja Terengganu yang bernama Tengku Tih.
Adapun anak (nya) yang lain daripada itu, iaitu /laki-lakinya/ [Tengku Sa’id
namanya dan Tengku Ibrahim, dan Tengku Ambung dan Tengku Andut].
Adapun yang perempuannya Tengku Hamidah namanya, dan Tengku Safiah,
dan Tengku Mariam, dan Tengku Salma//namanya//.

Syahadan adapun Tengku Dalam bersuamikan Raja Terengganu dan Tengku


Hamidah bersuamikan anak Bendahara Pahang, dan Tengku Mariam
bersuamikan anak Raja Abdullah (yang bernama Raja Yahya), anak/Engku/Raja
Ahmad Haji saudara Marhum Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar, putera Marhum
yang mangkat di Teluk Ketapang bangsa Bugis. Dan Tengku Salma /itu/
bersuamikan Raja Mansur, anak Yang Dipertuan Raja Abdullah, putera Marhum
Raja Jaafar yang disebut itu. Dan Tengku Safiah bersuamikan Raja Siam.

Syahadan Sultan Mahmud putera Sultan Muhammad Marhum Keratun itu,


berputra seorang perempuan namanya Tengku Ambung, bersuamikan putera
Marhum Raja Ali, putera Marhum (Raja) Jaafar yang telah disebut itu, yang
bernama Raja Muhammad Yusuf, yang menjadi Yang Dipertuan Muda yang
kesepuluh daripada Raja Bugis. Adalah ia mengada (kan) /beberapa/ anak laki-
laki dan perempuan pada masa membuat salasilah ini.
(Virginia Matheson Hooker, 1991 : 143-144)

Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I : Penyelesaian konflik Suku Melayu


– Bugis

Manuskrip Tuhfat al Nafis banyak menggambarkan situasi hubungan antara


suku Bugis dengan suku Melayu. Namun teks ini lebih menonjolkan kelebihan
kekuatan di pihak Bugis dan seringkali menggambarkan suku Melayu sebagai
pihak yang mencetuskan kekacauan dan pergeseran. Suku Melayu dengan suku
Bugis sebenarnya telah membuat beberapa kali perjanjian di antara mereka.
Perjanjian itu biasanya dilaksanakan ataupun diperbaharuhi apabila seorang
Yang Dipertuan Muda baru dilantik. Di dalam manuskrip Aturan Satiya Bugis
dengan Melayu disebutkan perjanjian-perjanjian yang berlaku tersebut.
Perjanjian yang pertama, misalnya berlaku selepas pelantikan Yang Dipertuan
Muda yang pertama pada tahun 1722. Perjanjian ini diantaranya menyebutkan
bahwa kedua belah pihak mengaku bersaudara dan setuju untuk bergabung di
dalam satu kerajaan. Perjanjian ini dikenal dengan “Persetiaan Marhum di
Sungai aru”.
Perjanjian yang kedua terjadi pada tahun 1728 yaitu selepas pelantikan
pelantikan Daeng Cellak sebagai Yang dipertuan Muda Kedia Kerajaan Johor
Riau. Disebutkan dalam Aturan Satiya Bugis dengan Melayu bahwa pelaksanaan
perjanjian itu juga dihadiri oleh Sultan Sulaiman, Yang Dipetuan Muda,
bendahara, Raja Indera Bongsu dan semua pembesar dari suku Melau maupun
Bugis. Pokok Utama dalam perjanjian itu adalah :
…..tun kepada Bugis melainkan tuanlah kepada Melayu dan jikaulau tuan
kepada Melayu melainkan tuanlah kepada Bugis itu dan jikaulau musuh kepada
Bugis melainkan musuhlah kepada Melayu dan jikalau musuh kepada Melayu
melainkan musuhlah kepada Bugis itu.

Perjanjian-perjanjian lain yang ikut disebutkan dalam manuskrip itu antara lain
yang terjadi pada tahun 1945 yaitu saat pelantikan Dahing Kamboja sebagai
Yang Dipertuan Muda ketiga Kerajaan Johor Riau. Perjanjian itu diperbaharui
lagi pada tahun 1748. Perjanjian selanjutnya dilakukan pada tahun yang sama
beberapa bulan kemudian. Perjanjian itu lebih menekankan tentang tanggung
jawab bendahara dan peranannya dalam mewakili suara suku Melayu. Isi
perjanjian saat itu sesuai dengan situasi pelaksanaannya karena bermeterai dan
dilakukan saat pelantikan bendahara baru yaitu Tun Hassan anak dari
Bendahara Tun Abas yang bergelar Bendahara Seri Maharaja. Sejarah
menunjukkan banyak perjanjian yang dilaksanakan diantara suku Bugis dan
suku Melayu. Namun tidak berarti hubungan antara suku Melayu dan Bugis
semakin erat, justru sebaliknya.
Perselisihan di antara suku Melayu dan suku Bugis ini sangat jelas terjadi pada
masa pemerintahan Dahing Kamboja. Tokoh dari pihak suku Melayu yang paling
menonjol dan banyak melakukan pertentangan terhadap suku Bugis adalah Tun
Dalam. Tun Dalam adalah Yang Dipertuan Terengganu yang merupakan
menantu Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah. Manuskrip Tuhfat al Nafis banyak
menggambarkan peranan Tun Dalam (disebut Raja Kecik di dalam teks) dalam
mencetuskan kekeruhan hubungan antara dua ini dan beliau juga mendapat
sokongan dari bendahara, temenggung dan juga pembesar-pembesar Melayu
lainnya.
Tun Dalam ini sebenarnya adalah putera dari Sultan Trengganu, Sultan Zainal
Abidin dan ibunya Che Puan Besar Trengganu, Nang Rugayah. Beliau juga
dikenal sebagai Ku Tana Mansur yang telah menonjolkan ciri-ciri
kepahlawanannya sejak kecil. Pada usia 11 tahun, saat ayahnya meninggal
dunia, beliau dilantik sebagai Sultan Trengganu yang bergelar Yang Dipertuan
Kecik.
Tahun 1739, untuk pertama kali beliau ke Riau dan menikah dengan Raja
Bulang, puteri Sultan Sulaiman tetapi kemudian kembali ke Trengganu dua
tahun kemudian. Tahun 1746, beliau kembali ke Riau dan menetap di riau
selama 14 tahun.Dlam tempo 14 tahun inilah beliau banyak ebrusaha supaya
penguasaan suku Bugis ke atas politik Johor dapat dikurangi. Tun Dalam juga
dikatakan banyak menerima aduan dari masyarakat suku Melayu yang rata-rata
tidak suka pemerintahan dikuasai oleh suku Bugis.
Salah satu contoh perselisihan pendapat antara suku Melayu dan suku Bugis
adalah ketika tercetusnya perang saudara di antara dua bersaudara Siak
(putera Raja Kecil yang berlainan ibu) yaitu Raja Mahmud (Raja Buang) dan
Raja Alam. Di dalam perselisihan itu, Raja Mahmud meminta bantuan dari
Sultan sulaiman yang juga merupakan bapa saudaranya untuk merampas tahta
Siak yang disandang oleh Raja Alam. Tun Dalam memang setuju untuk
memberi bantuan tetapi tidak di pihak suku Bugis. Oleh karena itu, Tun Dalam
berusaha mendapatkan bantuan Belanda dan dan pada tahun 1784, sultan
Sulaiman, Tun Dalam, pembesar-pembesar Melayu bersama-sama bantuan
Belanda telah berlayar ke Siak dan mereka berhasil. Sebagai hadiahnya,
Belanda dibolehkan menjalankan aktivitas perdagangan mereka di Pulau
Gontong. Sebenarnya, Tun Dalam melihat terlibatnya suku Melayu di dalam
peperangan ini sebagai satu peluang untuk menjauhkan diri mereka dari
penguasaan Bugis dengan membawa masuk dan melibatkan pihak Belanda ke
dalam percaturan politik setempat.
Selain itu, manuskrip Tuhfat al Nafis misalnya, menggambarkan perselisihan di
antara suku Melayu dengan suku Bugis ini bermula dengan saling fitnah
sehingga muncul salah paham. Teks itu menggambarkan Tun Dalam dan
pengikut-pengikutnya menyebarkan fitnah setiap minggu bahwa suku Bugis
mengancam keselamatan suku Melayu dengan mengamuk dan membakar
rumah mereka. Namun apabila siasat itu dilakukan, terdapat persoalan yaitu
tidak benar sebaliknya hanyalah usaha untuk melahirkan perasaan anti Bugis di
kalangan suku Melayu.
Ada pendapat yang mengatakan, bahwa kabar angin yang timbul itu sengaja
diedarkan oleh Tun Dalam supaya pembesar-pembesar dan suku Bugis
merasakan tidak selamat dan mereka tinggal di Riau yang senantiasa terancam
dan tidak tentram. Usaha itu membuahkan hasil karena Yang Dipertuan Muda
Kamboja terpaksa memohon untuk keluar dari Riau karena ketidaamanan kota.
Yang Dipertuan Muda Dahing Kamboja kemudian menetap di Linggi sementara
pembantunya Raja Haji ditinggalkan di Riau sebagai wakil masyarakat Bugis di
sana.
Tindakan lain yang dilakukan oleh Tun Dalam adalah ketika melaksanakan titah
sultan Sulaiman supaya menjemput Yang Dipertuan Muda Dahing Kamboja di
Linggi untuk kembali ke Riau. Beliau yang ditugaskan bersama-sama dengan
Raja Haji telah menemui Gubenur Belanda di Melaka, mengatasnamakan dirinya
sebagai utusan Sultan Sulaiman. Utusan itu dikatakan memohon bantuan
Belanda untuk menyerang Raja Haji yang sedang singgah di pinggir Melaka dan
Yang Dipertuan Muda Dahing Kamboja di Linggi sekaligus menghalau Bugis dari
Riau. Semasa peperangan meletus antara suku Bugis dengan Belanda itu, Tun
Dalam telah membuat rancangan untuk memisahkan terus suku Melayu dan
Bugis di Riau. Beliau pulang ke Riau dan menunjuk keluarganya bersama suku-
suku Melayu yang lain termasuk Sultan Sulaiman dan keluarga untuk berpindah
ke Trengganu. Namun begitu, usaha beliau tidak berhasil karena berita
peperangan antara Linggi dengan Belanda yang tercetus hasil rancangannya
telah tersebar ke Riau. Lebih lagi kemudian didapati Bugis dan Belanda telah
menandatangani perjanjian perdamaian pada Januari 1758 di Fort Filipina di
Kula Linggi.
Semenjak kejadian itu, Tun Dalam kembali ke Trengganu dan tidak lagi campur
tangan dalam politik Kerajaan Johor Riau. Dapat dikatakan kegagalannya dalam
usaha menyingkirkan suku Bugis dari Kerajaan Johor dan mendapatkan
sokongan sultan telah mematahkan semangat beliau untuk meneruskan
perjuangan. Selepas peranan beliau ini, memang tidak nampak penonjolan
tokoh lain yang boleh menggugat penguasaan Bugis di dalam Kerajaan Johor
Riau sebagaimana usaha beliau.
Namun begitu, pertikaian terus terjadi dan suku Bugis terus memperlihatkan
penguasaan mereka di dalam politik Kerajaan. Misalnya, setelah kemangkatan
Sultan Sulaiman yang kemudian digantikan dengan puteranya Raja di Baruh
yang juga tidak sempat menaiki tahta karena mangkat di Selangor, Yang
Dipertuan Muda Dahing Kamboja bersama-sama suku Bugis telah melantik Raja
Ahmad, putera Raja di Baruh yang masih kecil sebagai sultan. Pelantikan ini
bermakna Yang Dipertuan Muda meminggirkan peranan bendahara dan suku-
suku Melayu yang lain yang ingin melantik saudara-saudara Raja di Baruh yaitu
Tengku Abdul Kadir, Tengku Buang ataupun Tengku Osman. Pertikaian yang
samajuga terjadi saat Sultan Ahmad wafat dan suku-suku Bugis berkeras hati
untuk melantik Raja Mahmud, adik Sultan Ahmad yang terlalu kecil sedangkan
pembesar-pembesar Melayu masih dengan keinginan yang sama sebelumnya
yaitu melantik saudara-saudara Raja di Baruh.
Ada pihak yang menduga wafatnya Raja di Baruh sebelum sempat memimpin
kerajaan adalah karena diracun oleh Dahing Kamboja. Demikian juga dengan
Sultan Ahmad dipercayai ikut diracun untuk memberi jalan kepada adidanya
Raja Mahmud yang masih kecil mengingat beliau sedang menginjak remaja dan
bersedia bila mengambil alih pemerintahan yang sedang dijalankan oleh Yang
Dipertuan Muda Dahing Kamboja.
Menjalankan pemerintahan saat usia masih kecil memberikan kelebihan kepada
Yang Dipertuan Muda Johor Riau karena beliau menjadi pemangku dan bisa
menguasai kekuasaan kerajaan. Hikayat Riau menyebutkan sejak dilantik
menjadi Sultan Kerajaan Johor Riau, Sultan Mahmud hanya tinggal di dalam
istana saja. Oleh karena itu, bermula dari pelantikan Sultan Mahmud hingga
kematian Dahing Kamboja tahun 1777, Dahing Kamboja dianggap sebagai
pemangku sultan yang menjadi pemerintah de facto ke atas Kerajaan Johor
Riau.
Sementara itu, Hikayat Siak mengisahkan perselisihan Melayu dengan Bugis
seperti tersebut di atas, dimulai saat Bugis bersaudara menagih janji untuk
menjadi Raja Muda. Dikisahkan sebagai berikut.

Dan tiada berapa lamanya di ‘Johor, maka Dahing Parani pun datang menuntut
janji, hendak jadi Raja Muda, “Kerana aku tiada mungkirkan janji, kerana adik
yang meninggal akan aku.” Dan segala hulibalang baginda tidak mahu member.
Orang yang tiada merasa pahit maungnya, hendak dapat senang. Dan baginda
pun mengikut mufakat dengan segala orang besar-besar. Maka baginda pun
tiadalah menrima kehendak Dahing Parani itu. Maka Dahing Parani pun marah.
Dan didengar oleh Raja Sulaiman, Dahing Parani datang. Maka dipanggilnya
oleh Raja Sulaiman, Dahing Parani datang. Maka dipanggilnya oleh Raja
Sulaiman, makan. Dan Tengku Tengah berpikir di dalam hatinya, “Baiklah aku
menyerahkan diri. Biar aku menjadi budaknya oleh orang Bugis, asal lepas
Maluku ini.”

Hatta, serta Dahing Parani, maka Tengku Tengah pun bicara dengan
saudaranya, Raja Sulaiman. “Baiklah abang bicara dengan Raja Bugis,/ jikalau
ia mahu menolong kita. Barang apa kehendak, kita turutlah.” Maka Dahing
Parani pun bertemulah dengan Raja Sulaimann. Maka ia pun berbicara dengan
Dahing Pareani. Setelah itu, sudah putus bicaranya, maka bidai istana Raja
Sulaiman digulung oranglah. Maka Raja Tengahpun berdiri di muka pintu,
mengelepak subangnya. Lalu ia berkata dengan Dahing Parani, “Hai Raja Bugis,
jikalau engkau berani, hendaklah tolong lepaskan malu aku. Dan jikalau sudah
lepas Maluku ini, sukalah aku menjadi hamba engkau, aku sekalian turu.” Maka
Dahing Parani pun bercakaplah, ialah melepaskan malunya. “Adikku, itu jangan
susah hati.” Maka Raja Sulaiman pun berjanji, “Jikalau dapat seperti maksud
kita, adikku menjadi Raja Besar, aku menjadi Raja Muda.” Setelah sudah, maka
Dahing Parani pun nikah dengan Raja Tengah.

Dan Dahing Parani bicara hendak membuat Yang Dipertuan. Dan Raja Tengah
pun hendak mencuri Tengku Kamariah. Dan kepada satu malam, lepas waktu
sembahyang masgrip, Raja Tengah pun masuk ke dalam kota. Dan waktu Duli
Yang Dipertuan lagi tengah sembahyang isyak. Dan istri tiada boleh jauh, duduk
dekat baginda juga. Dan Raja Tengah pun masuk dari penangga. Raja Tengah
sampai di pintu tengah. Maka kelihatan Tengku Kamariah duduk dekat baginda,
lagi sembahyang. Maka lalu dilambai oleh Raja Tengah. Maka Tengku
Kamariahpun datang mendapatkan saudaranya, lalu dibawa oleh Raja Tengah
turun. Lalu keluar kota, pulang ke istananya. Maka baginda pun sudah
sembahyang. Maka dipandang baginda istri baginda tiada itu. Maka baginda pun
bertanya, kemana perginya, dicari, tiada di dalam istana itu. Maka baginda
turun, bertanya kepada penunggu pintu. Maka sembah penunggu pintu,
mengatakan, “Paduka kanda Raja Tengah yang membawa paduka adinda itu,
tuanku.”

Setelah baginda mendengar perkataan itu, maka baginda pun terlalu murkanya,
lalu menyuruh memukul semboyan. Maka gemparlah segala orang.
Berkumpullah segala hulubalang, menghadap baginda. Maka baginda pun
menyuruh melanggar Datuk Bendahara, “Kerana dia member malu kita.” Dan
segala hulubalang pun pergilah melanggar Bendahara. Dan kepada malam itu
juga, alah Bendahara, lalu Bendahara lari. Dan istri baginda pun dapat. Dan
Bendahara pun lari ke Pahang. Dan Dahing Parani ke Langat, mendapatkan
segala orang Bugis, kerana hendak melanggar Johor.

Dan baginda menyuruh titah kepada Laksamana dan Seri Bija Wangsa,
menyuruh mengikut pun pergi (nya) mengikut ke Pahang. Dan Laksamana/pun
menghadap Datuk Bendahara, menyampaikan titah baginda, “PAduka anakanda
menyuruh menyilakan Datuk kembali ke Johor.” Maka Datuk Bendahara pun
bersabda, “Adalah beta ini, sudah banyak salah kepada Duli Baginda, kerana
tiada patut sekali-kali beta mencuri istri Duli Yang Dipertuan. Dan sekali-kali
beta tiada tiada tahu dengan perbuatan isteri Duli Yang Dipertuan. Dan sekali-
kali beta tiada tahu dengan perbuatan yang demikian itu; oleh sebab anak-anak
yang sudah (ia) membuat, maka beta dapat malu. Dan itulah sebabnya beta
tiada cakap lagi memandang muka baginda. Dan baiklah Laksamana bunuh
sekali beta.” Dan Laksamana pun fikir dalam hatinya, “Jika Bendahara ini lepas,
besar kelak bicaranya. Jika demikian, baiklah aku segerakan, karena dosanya
derhaka. Jika dengan (tiada) bicara Bendahara, tiada akan sampai duli marhum
mangkat.” Maka kata Seri Bija Wangsa, “Benarlah bicara tuan hamba itu.
Hutang nyawa, bayar nyawa juga.”
Setelah putuslah mufakat pegawai itu, maka Bendahara pun dikerjakan
oranglah. Maka Bendahara pun sangat melawan. Delapan orang yang mati,
dibunuh Bendahara. Dan Raja Tengah pun melawan, tiada dipedulikan(nya)
orang, kerana ia perempuan. Dan Bendahara pun ditanamkan oranglah di Kuala
Pahang, sampai sekarang (disebut) Marhum Mangkat (Di) Kuala Pahang.

Dan Laksamana dan Seri Bija Wangsa pun kembali ke Johor, membawa Raja
Tengah. Dan Raja Sulaiman/ lari ke hulu Pahang, mendapatkan saudaranya,
Bendahara Pekok, dan Laksamana sampailah ke Johor.

Maka baginda pun mendengar Bendahara mati itu, maka baginda pun menyesal
menyuruh mengikut, sebab melihat istrinya menangis itu, sangat percintaan
akan paduka ayahanda baginda. Maka baginda pun fikir, “Baiklah aku pindah
dari Negeri Johor itu, kerana negeri celaka, hendaka membunuh rajanya juga.”
Dan lalu baginda mengimpunkan segala rakyat lahut dan darat, disuruh
menebas serta membuat rumah, dan membuat kota istana, cukup dengan
balainya. Dan serta sudah mustaid, maka baginda pun pindahlah ke Riau.
(Yussoff Hashim, Muhammad, 1992: 127-130)

Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I : Peranannya Dalam Bidang Ekonomi

Pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I ini, Riau menjadi
pusat perdagangan yang sangat ramai. Perekonomian Kerajaan digambarkan
sangat makmur. Disebutkan dalam Tuhfat Al Nafis gambir menjadi komoditi
andalan Kesultanan Johor Pahang Riau. Berikut kutipannya
Syahadan kata sahib al-hikayat adalah pada masa inilah negeri Riau itu ramai,
serta dengan makmurnya dan segala dagang dari(pada negeri) jauh-jauh (pun
datanglah), dan (berapa kapal-kapal dari) Benggal membawa apiun, dan lain
dagangan, dan perahu-perahu dagang pun di Kuala Riau, daripada kapal-kapal
dan keci-keci, dan selub, dan senat, dan wangkang, dan tob Siam. Dan apalagi
di dalam Sungai Riau segala perahu-perahu rantau seperti bercocok ikanlah,
bersambung berpendapat. Syahadan (kata sahib al-hikayat) pada masa inilah
Yang Dipertuan Muda (Opu Dahing Cellak) menyuruh Punggawa Tarum, dan
Penghulu J-n-d-w-a-n, mengambil benih gambir sebelah tanah Pulau Perca di
bawa ke Riau memulai bertanam gambir. Maka bertanam gambirlah segala
Bugis-bugis (itu) dan Melayu(-Melayu). (Maka) membuat(lah orang Melayu dan
Bugis) beberapa ratus /lading dan berapa ratus /lading gambir. Adalah kuli/-kuli
yang/masak itu segala Cina(-Cina) yang datang dari (negeri) China. Maka
apabila jadilah gambir itu, /maka se/mangkin ramailah Riau. Maka datanglah
segala perahu-perahu dagang dari timur seperti Jawa dan Bugis. (Maka)
berpalu(lah) dagangan (tanah Jawa) dengan gambir, (mangkin sukalah segala
dagang-dagang masuk Riau itu, karena segala dagangannya berlawan sama
dagangan pulang perginya untung banyak. (Syahadan) maka (Baginda) Sultan
Sulaiman, serta Yang Dipertuan Muda, (serta Raja Indera Bongsu, serta orang
besar-besar sekalian), banyaklah beroleh hasil (daripada cukai-cukai dan labuh
batu. ((Maka)) tatkala demikian itu halnya, maka banyaklah orang-orang negeri
yang kaya-kaya dan kelengkapan pun banyaklah yang sedia. Maka hal itulah
dibahasakan oleh orang /Riau baik bahasa orang/tuha-tuha, zaman dahulu Riau
baik.

Kemudian /dari/pada/itu pada/ masa Yang Dipertuan Muda Dahing Kamboja


rosak pula sebentar. Kemudian baik pula samula, hingga sampai kepada Yang
Dipertuan Muda Raja Haji, mangkin ramailah. Adalah masa Raja Haji menjadi
Yang Dipertuan Muda bertambah pula ramainya kira-kira tujuh tahun masuk
kedulapannya. Syahadan apabila sudah mangkatlah Yang Dipertuan Muda Raja
Haji Riau pun rosaklah demikianlah halnya, lagi akan datang kisahnya di dalam
siarah ini) adanya.
(Virginia Matheson Hooker, 1991 : 212 – 221)

Berdasarkan petikan dalam Tuhfat Al Nafis di atas, Daeng Celak mendatangkan


bibit gambir dari wilayah Sumatra (Sumatera Utara) untuk di tanam di wilayah
Kesultanan Riau. Beliau juga mendatangkan pekerja-pekerja perkebunan
gambir dari Cina. Oleh beliau pekerja-pekerja gambir ini di tempatkan di daerah
Senggarang. Karenanya, di Senggarang terdapat kelenteng tua peninggalan
pekerja gambir tersebut.
Pusat gambir pada masa lalu diperkirakan ada di Jalan Gambir (Kota
Tanjungpinang Kepulauan Riau sekarang). Di Jalan Gambir diperkirakan pernah
berdiri areal gudang, yang digunakan untuk menyimpan komoditas gambir
sebelum diekspor ke Singapura. Sedangkan gambir banyak ditanam di sekitar
areal Ulu Riau, Batu Delapan, juga di kawasan Lagoi, (Sekarang Bintan Utara,
Kabupaten Kepri), membawa gambir tersebut ke Tanjungpinang. Di
Tanjungpinang inilah terjadi transaksi antara petani gambir dengan pedagang.
Gambir, sebuah komoditas ekspor yang sempat mendunia pada masa
Kesultanan Riau Johor Pahang Lingga, namun sayangnya budidaya tanaman ini
sudah tak lagi dikembangkan lagi pada masa kini. Areal perkebunan gambir
yang tersisa dari Kesultanan Riau Johor Pahang Lingga terdapat di Tanjungbatu,
Kabupaten Karimun. Padahal, dari lembar demi lembar daun gambir itu dulu,
selain menciptakan lapangan kerja, juga sekaligus penggerak sektor ekonomi
riil bagi masyarakat pedalaman

Penutup

Sejak pelantikan Raja Sulaiman menjadi Sultan dengan bergelar Sultan


Sulaiman Badrul Alamsyah pada tanggal 4 Oktober 1722, pusat pemerintahan
kesultanan Johor Riau berkedudukan di Riau tepatnya di Sungai Carang
(sekarang termasuk dalam wilayah Kota Tanjungpinang). Sultan Sulaiman
Badrul Alamsyah menjadi Sultan Riau Johor Pahang Lingga yang pertama.
Pelantikan Raja Sulaiman menjadi Sultan dengan bergelar Sultan Sulaiman
Badrul Alamsyah menjadi catatan sejarah penting karena sejak itu muncul
konsep pemerintahan yang tidak mutlak di tangan Sultan. Artinya, segala
kebijakan pelaksanaan pemerintahan tetap berada di tangan Sultan sedangkan
roda pemerintahan dilaksanakan oleh Yang Dipertuan Muda.
Pola kepemimpinan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I, patut diteladani
terutama saat pemecahan masalah konflik antara suku Melayu dan Bugis.
Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa melihat riwayatnya dan peran
sejarah Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I yang sangat besar, maka Sultan
Sulaiman Badrul Alam Syah I sangat patut untuk dijadikan teladan bagi
masyarakat setempat. Bahkan, pada masa kini sangat memungkinkan untuk
menghidupkan kembali perkebunan gambir seperti pada masa pemerintahan
Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I, untuk meningkatkan perekonomian
masyarakat Melayu khususnya Kepulauan Riau.

Anda mungkin juga menyukai