Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH UNDANG-UNDANG DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

PETERNAKAN

PELANGGARAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2014


TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN MENGENAI
PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI INDONESIA

Oleh :

Ali Nurjaman 200110160250


Satya Aji Pang estu 200110160

Kelas C

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

SUMEDANG

2018
I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Sektor peternakan sangat memiliki nilai penting bagi pembangunan

sumberdaya dan keberlangsungan kehidupan manusia di dunia dan khususnya di

Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari fungsi produk peternakan itu sendiri dalam

hal ini daging (sapi). Namun kenyatan yang terjadi di Indonesia saat ini

menunjukan bahwa konsumsi daging masih rendah. Untuk mencukupi kebutuhan

akan daging terutama daging sapi, maka dibutuhkan sapi-sapi potong yang

memiliki kualitas yang baik. Namun populasi sapi potong di Indonesia akhir-akhir

ini mulai menurun. Hal ini mengakibatkan terjadinya kekurangan untuk

mencukupi kebutuhan akan protein hewani yang berasal dari daging sapi. Masalah

serius yang menghambat populasi ternak sapi di Indonesia saat ini yaitu

rendahnya tingkat kebuntingan dan kelahiran serta tingginya angka pemotongan

ternak betina yang masih produktif.

1.2    Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk menelaah kasus

pelanggaran Undang-undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan

Kesehatan Hewan mengenai pemotongan sapi betina produktif yang terjadi di

Indonesia.
1.3    Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan malakah ini adalah untuk dapat mengetahui

bagaimana cara penanganan dan sanksi yang diberikan bagi kasus pelanggaran

pemotongan sapi betina produktif.


II
PEMBAHASAN

2.1  Kasus Pelanggaran Pemotongan Sapi Betina Produktif


Sapi termasuk ternak ruminansia besar. Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun

2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 tentang

Peternakan dan Kesehatan Hewan pasal 18 ayat (4) meyebutkan bahwa “Setiap

Orang dilarang menyembelih Ternak ruminansia kecil betina

produktifatauTernakruminansia besar betina produktif.”

Dijelaskan lebih lanjut bahwa jika larangan pemotongan ternak betina produktif

tetap dilanggar maka ada sangsi hukumnya dan ini berlaku pula untuk

pemotongan ternak ruminansia kecil. Ketentuan Pidana pada Undang-Undang No.

41 Tahun 2014 pasal 86 sebagai berikut :

Setiaporang yang menyembelih:

a.

Ternak ruminansia kecil betina produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal18

ayat(4)dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling

lama 6 (enam)bulan dan denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)

dan paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah); atau


b.

Ternak ruminansia besar betina produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18

ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling

lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta

rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”

Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) peraturan diatas dikecualikan

dalam hal pemotongan sapi betina produktif itu digunakan untuk :

a. penelitian;

b. pemuliaan;

c. pengendalian dan penanggulangan Penyakit Hewan;

d. ketentuan agama;

e. ketentuan adat istiadat; dan/atau

f. pengakhiran penderitaan Hewan

Materi yang tertuang dalam UU Peternakan dan Kesehatan Hewan itu

untuk mencegah semakin berkurangnya ternak ruminansia di dalam negeri.

Ternak ruminansia yang dimaksud dalam UU itu adalah sapi, domba, dan
kambing. Populasi sapi potong di Indonesia terus menurun karena laju

pertumbuhan populasi lebih lambat dari kebutuhan. Jumlah kelahiran anak sapi

per tahun rata-rata sebesar 1,7 juta ekor, sedangkan kebutuhan sapi potong setiap

tahun 2,1 juta ekor. Saat ini populasi sapi potong 10,5 juta-11 juta ekor. Akibat

yang akan ditimbulkan dari pemotongan ternak betina produktif tersebut akan

menurunkan jumlah populasi dari ternak lokal karena berkurangnya sedikit demi

sedikit angka kelahiran anak sapi sehingga menyebabkan persediaan ternak

potong semakin sedikit dan akan berdampak sangat besar bagi berlangsungnya

kehidupan manusia nantinya.

Upaya pengendalian pemotongan sapi betina produktif bisa dilakukan

dengan cara mengawasi dan menjaring sapi-sapi betina produktif dari

perdagangan pasar hewan yang akan dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH)

dan selanjutnya sapi-sapi betina produktif tersebut disebarkan kepada masyarakat

dalam hal ini kelompok ternak guna meningkatkan populasi atau meningkatkan

angka kelahiran. Hal itu juga harus tidak lepas dari campur tangan pemerintah.

Selain itu upaya yang bisa dilakukan guna menekan tingginya angka pemotongan

sapi betina produktif adalah dengan cara melakukan penyuluhan/sosialisasi

mengenai pentingnya ternak (sapi) betina produktif yang nantinya akan

memberikan manfaat yang baik bagi peternak itu sendiri. Upaya pengendalian

tersebut juga tidak lepas dari undang-undang nomor 18 tahun 2009 tentang

peternakan dan kesehatan hewan yang bertujuan untuk mencegah terjadinya

pelanggaran pemotongan sapi betina produktif.

2.2  Sanksi Bagi Pelanggaran Pemotongan Sapi Betina Produktif


Adapun sanksi yang dapat diberikan bagi kasus pelanggaran pemotongan

sapi betina produktif yaitu sebagaimana dimaksud pada undang-undang nomor 18

tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan dapat berupa :

1. Sanksi Admistratif

Pasal 85 :

Ayat ( 1 ), “ Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 13 ayat (4), Pasal 15 ayat (3),

Pasal 18 ayat (2), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 23, Pasal

24 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 29 ayat (3), Pasal 42 ayat (5), Pasal 45 ayat

(1), Pasal 47 ayat (2) atau ayat (3), Pasal 50 ayat (3), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52

ayat (1), Pasal 54 ayat (3), Pasal 58 ayat (5), Pasal 59 ayat (2), Pasal 61 ayat (1)

atau ayat (2), Pasal 62 ayat (2) atau ayat (3), Pasal 69 ayat (2), dan Pasal 72 ayat

(1) dikenai sanksi administrative “

Ayat ( 2 ), “ Sanksi admistratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

berupa : “

a.       peringatan secara tertulis

b.      penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran

c.       pencabutan izin

d.      pengenaan denda.
Ayat ( 4 ), “ Besarnya denda sebagaimana dikenakan kepada setiap orang

yang : “

a.       menyembelih ternak ruminansia kecil betina produktif paling sedikit sebesar

Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp5.000.000,00

(lima juta rupiah)

b.      menyembelih ternak ruminansia besar betina produktif paling sedikit

Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp25.000.000,00

(dua puluh lima juta rupiah) dan besarnya denda ditambah 1/3 (sepertiga) dari

denda tersebut jika pelanggaran dilakukan oleh pejabat yang berwenang atau

korporasi.

Ayat ( 5 ), “ Besarnya denda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditambah 1/3

(sepertiga) dari denda tersebut jika pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dilakukan oleh pejabat yang berwenang atau korporasi “

2. Ketentuan Pidana

Pasal 86 :

Setiap orang yang menyembelih:

a. ternak ruminansia kecil betina produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18

ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling

lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta

rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah); dan


b. ternak ruminansia besar betina produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18

ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling

lama 9 (sembilan) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta

rupiah) dan paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

Pasal 92

(1)   Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi atau pejabat yang

berwenang,pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda dengan pemberatan

ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86

sampai dengan Pasal 91.

(2)   Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi atau

pejabat yang berwenang dapat dikenai pidana tambahan berupa pencabutan izin

usaha, status badan hukum, atau status kepegawaian dari pejabat yang berwenang.

Pasal 93

(1)   Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal

90, dan Pasal 91 merupakan pelanggaran.

Kententuan pidana dalam UU Peternakan dan Kesehatan Hewan tersebut

dalam pelaksanaannya membutuhkan sosialisasi terhadap semua pemangku

kepentingan ternak ruminansia (sapi). Dan para stakeholder diharapkan akan


memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pentingnya ternak betina

produktif.
III
KESIMPULAN

Kesimpulan
Pemotongan sapi betina produktif sangat bertentangan dengan undang-

undang nomor 41 tahun 2014 tentang peternakan dan kesehatan hewan karena

akan menurunkan angka kelahiran dan tingkat populasi dari ternak potong itu

sendiri sehingga akan semakin menurunkan tingkat konsumsi protein hewani

terutama daging di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Pransiska, Lucky. 2009. Memotong Sapi Betina Produktif Dipidana. Kompas,


Jakarta
(Online).http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/02/21/05023570/
Memotong.Sapi.Betina.Produktif.Dipidana, diakses tanggal 8 Desember
2018
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20111118150143AAXQt46 ,
diakses tanggal 7 Desember 2018
 http://novies-10.blogspot.com/2009/10/contoh-kasus-etika-bisnis.html,
diakses tanggal 7 Desember 2018
    www.bpkp.go.id

Anda mungkin juga menyukai