PERCOBAAN 10
PENETAPAN KADAR SENYAWA MARKER (PIPERIN)
DALAM SIMPLISIA
Disusun oleh :
Annisa Nurul Husna (10060321041)
Suci Kusuma Dewi (10060321042)
Nasywa Asy Syaffa’ Parwoko (10060321044)
Wega (10060321045)
Dila Andriani (10060321046)
Shift/Kelompok : B/2
Tanggal Praktikum : 10 Mei 2023
Tanggal Laporan : 17 Mei 2023
Nama Asisten : Lutfi Nur Annisa, S.Farm
d. Absorbansi
- Absorbansi sampel = 0,336
- Absorbansi pembanding = 0,475
e. Konsentrasi pembanding
97 10 970
97% = 100 x = = 970 ppm
10 1000
1
f. Faktor pengenceran = 100 = 0,01
Keterangan:
Cs: Konsentrasi larutan sampel
Cp: Konsentrasi larutan pembanding
As: Absorbandi larutan sampel
Ap: Absorbansi larutan pembanding
As
- Cs = Ap x Cp x Faktor pengenceran
0,336
Cs = 0,475 x 970 x 0,01
Cs = 0,707 x 970 x 0,01
Cs = 6,86 ppm
h. % Kadar
Cs
% Kadar = 40000 ppm x 100%
6,86 ppm
% Kadar = 40000 ppm x 100%
% Kadar = 0,01715%
V. Pembahasan
Tanaman lada hitam secara luas tumbuh di tempat dengan iklim yang tropis
dengan kelembapan yang cukup. Bagian tanaman lada hitam yang sering
dimanfaatkan adalah buah yang telah dikeringkan. Buah lada hitam dikenal sebagai
“King of Spices” karena memiliki rasa yang pedas dan beraroma khas yang sangat
kuat dari semua rempah-rempah di dunia (Shamina, 2001). Piperin bertanggung
jawab terhadap tingkat rasa pedas di dalam buah lada hitam, bersama dengan
kavisin. Piperin memiliki warna kuning yang berbentuk jarum, yang sukar larut
dalam air dan mudah larut dalam etanol, eter, dan kloroform. Kelarutan piperin
dalam metanol dikenal sebagai “pepper-like taste” (Patil, 2011). Senyawa fitokimia
lain dalam buah lada hitam yang juga memiliki peran penting selain piperin, yaitu
piperamida, piperamin, piperisida, sarmentosin, sarmentin (Ahmad et al, 2012).
Dalam dunia pengobatan, buah lada hitam biasa digunakan untuk mengatasi
gangguan pencernaan seperti racun pada usus besar yang menyebabkan diare. Buah
lada hitam juga biasa digunakan untuk mengatasi gangguan pernafasan termasuk
flu, demam, dan asma (Ahmad et al, 2012).
Setelah didapatkan hasil ektraksi dari simplisia buah lada hitam dilakukan
analisis senyawa marker dengan menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis
(KLT). Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan suatu analisis sederhana yang
dapat digunakan untuk melakukan penegasan terhadap senyawa kimia yang
terkandung pada tumbuhan disamping skrining fitokimia. Nilai Rf dan warna noda
yang diperoleh pada KLT dapat memberikan identitas senyawa yang terkandung
(Forestryana dan Arnida, 2020).
Prinsip KLT adalah adsorbsi dan partisi dimana adsorbsi adalah penyerapan
pada pemukaan, sedangkan partisi adalah penyebaran atau kemampuan suatu zat
yang ada dalam larutan untuk berpisah kedalam pelarut yang digunakan.
Kromatografi lapis tipis menggunakan plat tipis yang dilapisi dengan adsorben
seperti silika gel, aluminium oksida (alumina) maupun selulosa. Adsorben tersebut
berperan sebagai fasa diam Fasa gerak yang digunakan dalam KLT sering disebut
dengan eluen. Pemilihan eluen didasarkan pada polaritas senyawa dan biasanya
merupakan campuran beberapa cairan yang berbeda polaritas, sehingga didapatkan
perbandingan tertentu. Eluen KLT dipilih dengan cara trial and error. Kepolaran
eluen sangat berpengaruh terhadap Rf (faktor retensi) yang diperoleh. Nilai Rf
sangat karakterisitik untuk senyawa tertentu pada eluen tertentu. Hal tersebut dapat
digunakan untuk mengidentifikasi adanya perbedaan senyawa dalam sampel.
Senyawa yang mempunyai Rf lebih besar berarti mempunyai kepolaran yang
rendah, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan fasa diam bersifat polar.
Senyawa yang lebih polar akan tertahan kuat pada fasa diam, sehingga
menghasilkan nilai Rf yang rendah, jika Rf terlalu tinggi, yang harus dilakukan
adalah mengurangi kepolaran eluen, dan sebaliknya (Gandjar, 2007). Fase yang
digunakan pada KLT yaitu:
1. Fase Diam
Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran kecil
dengan diameter partikel antara 10-30 μm. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel
fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja
kromatografi lapis tipis dalam hal efisiensi dan resolusinya. Penjerap yang paling
sering digunakan adalah silika dan serbuk selulosa, sementara mekanisme sorpsi
yang utama pada kromatografi lapis tipis adalah adsorpsi dan partisi.
2. Fase Gerak
Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan
mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling
sederhana ialah campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua
pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi
secara optimal. Berikut adalah beberapa petunjuk dalam memilih dan
mengoptimasi fase gerak:
a. Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT
merupakan teknik yang sensitif.
b. Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf
terletak antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan
c. Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel,
polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang berarti
juga menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar
seperti dietil eter ke dalam pelarut non polar seperti metil benzene akan
meningkatkan harga Rf secara signifikan.
d. Solut-solut ionik dan solut-solut polar lebih baik digunakan campuran
pelarut sebagai fase geraknya, seperti campuran air dan metanol dengan
perbandingan tertentu. Penambahan sedikit asam etanoat atau amonia
masing-masing akan meningkatkan solut-solut yang bersifat basa dan asam.
Selain itu KLT memiliki kekurangan yaitu resolusi pemisahan senyawa yang
rendah dalam penelitian selanjutnya dapat digunakan teknik kromatografi lain yang
memiliki resolusi lebih baik seperti HPLC atau GC sehingga banyak komponen
metabolit yang dapat dideteksi (Yuliana et al, 2017).
Analisis senyawa marker piperin dengan KLT yaitu dengan cara disiapkan
terlebih dahulu larutan pengembang berupa metanol dan etil asetat dengan
perbandingan 7:3 dalam 5 ml kemudian dijenuhkan di dalam chamber. Proses
penjenuhan dilakukan agar suasana didalam chamber menjadi homogen dan untuk
mengetahui suasana didalam chamber sudah homogen atau belum dapat diketahui
dengan melihat penyerapan cairan yang telah membasahi kertas saring. Jika kertas
saring telah dibasahi semua, maka dapat diketahui bahwa suasana didalam chamber
telah homogen. Hal ini juga menunjukan bahwa kekosongan ruang struktur metanol
yang diisi dengan etil asetat sudah penuh, apabila metanol sudah sampai pada
kondisi jenuh maka metanol yang tidak dapat mengikat kloroform akan terserap ke
kertas.
Dalam KLT terdapat fase gerak yang berupa cairan metanol dan etil asetat,
sedangkan fase diamnya adalah silika gel GF254 yang mengandung pengikat atau
gipsum dan senyawa yang mampu berflouresen pada panjang gelombang 254 nm
karena memiliki kemampuan untuk mengabsorbsi suatu cahaya untuk kemudian
memancarkan cahaya lagi, namun cahaya yang dipancarkan kembali itu memiliki
warna yang berbeda dengan warna cahaya awalnya. Semakin dekat kepolaran
antara sampel dengan eluen, maka sampel akan semakin terbawa oleh fase gerak
tersebut (Hendayana, 2010).
Kemudian disiapkan plat KLT yang sudah diberi tanda batas atas dan bawah
sekitar 1 cm dengan pensil. Batas bawah berfungsi untuk membatasi daerah sampel
yang akan ditotolkan, sedangkan batas atas berfungsi untuk membatasi proses gerak
eluen pada fase diam, digunakannya pensil karena jika menggunakan balpoint,
tintanya akan ikut bergerak dengan eluen sehingga proses KLT tidak optimal. Lalu
dilakukan aktivasi plat KLT dengan dipanaskan plat KLT pada oven dengan suhu
110℃ selama 10 menit, karena silika gel pada plat KLT bersifat polar, sehingga
dapat menyerap air atau udara dari atmosfer, maka dari itu dilakukan pemanasan
bertujuan untuk menghilangkan air diserap plat KLT, karena air tersebut dapat
mengaktifkan permukaan silika gel dan menutupi sisi aktif silika gel.
Setelah itu dilakukan penotolan larutan sampel dan larutan uji yang memiliki
jarak agar tidak bercampur dan mempengaruhi proses KLT sehingga proses elusi
tidak optimal. Selanjutnya dimasukkan ke dalam chamber yang sudah berisi eluen
yang telah dijenuhkan dan dibiarkan sampai terelusi mencapai batas atas plat KLT,
apabila melebihi batas atas maka akan mempengaruhi nilai Rf, lalu diangkat dan
dibiarkan kering. Plat KLT yang sudah dikeringkan, diamati secara visual dibawah
sinar UV 254 nm dan 365 nm, ditandai spot dan jarak diukur. Setelah teramati maka
dihitung nilai Rf untuk mengidentifikasi senyawa. Bila nilai Rf memiliki nilai yang
sama anatar senyawa satu dengan yang lainnya maka senyawa tersebut dapat
dikatakan memiliki karakteristik yang sama atau mirip begitupun sebaliknya.
BPOM RI. (2011). Acuan Sediaan Herbal, Vol. 6, Edisi I. Jakarta: Direktorat Obat
Asli Indonesia.
Gandjar, I.G. dan Rohman, A. (2012). Analisis Obat Secara Spektroskopi dan
Kromatografi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kushwaha, S.K.S, Kushwaha, N.; Maurya, N.; Rai, A.K. (2010). Role of Markers
in the Standardization of Herbal Drugs: A Review. Arch. Appl. Sci. Res. 2(1),
225-229.
Skoog, D.A., Holler, F.J., and Crouch, S.R., (2007). Principles of Instrumental
Analysis Sixth Edition. Canada: Thomson Corporation.
Songlin et al. (2008). Chemical markers for the Quality Control of Herbal
Medicines. Chinese Medicine Laboratory: China Rasheed.
Warono Dwi dan Syamsudin. (2013). Unjuk Kerja Spektrofotometer Untuk Analisa
Zat Aktif Ketoprofen. Jurnal Konversi 2.
Yuliana., Asriani., dan Suriani. (2017). Isolasi Senyawa Bioaktif Antibakteri Pada
Ekstrak Etanol Teripang Pasir (Holothuria scabra) di Kepulauan Selayar.
Jurnal Al-Kimia, 5(1).
Daftar Pembagian Pengerjaan Laporan