Anda di halaman 1dari 20

UJIAN KOMPREHENSIF BIDANG KESYARIAHAN

Nama : Rizki Fadillah Fakultas/Jurusan : Syariah/Hukum Tata Negara


NIM : 180102030013 Dosen Penguji : Dr. Anwar Hafidzi, Lc, MH

SOAL
1. Jelaskan pengertian Al-Quran, Ulumul Quran serta sejarah dan perkembangnya?
2. Apa yang dimaksud dengan Nuzulul Quran dan bagaimana proses turunnya serta
jelaskan juga yang dimaksud dengan Asbabun nuzul ?
3. Apa yang anda ketahui tentang Munasabat Al-Quran ?
4. Jelaskan pengertian dari Al-Makky Dan Al-Madany serta ciri-cirinya ?
5. Apa yang anda ketahui tentang Al-Muhkam wa al-Mutasyabih, Fawatihus Suwar dan
Qiraat Al-Quran ?
6. Berikan pengertian dari I’jaz Al-Qur’an serta unsur-unsurnya ?
7. Jelaskan Unsur-Unsur Hadits ?
8. Berikan penjelasan Hadis dilihat dari segi penyandaran ?
9. Jelaskan bagaimana Hadits dilihat dari segi Kuantitas Rawi ?
10. Berikan pengertian dan uraian dari Hadits Shahih, Hasan dan Dhaif ?
11. Jelaskan Periodesasi Sejarah Hadis ?
12. Apa yang anda ketahui mengenai Ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah ?
13. Apa yang dimaksud dengan Ushul Fiqh dan apa yang membedakan Ushul Fiqh
dengan Fikih, serta jelaskan ruang lingkupnya ?
14. Jelaskan sumber-sumber Hukum Islam ?
15. Bagaimana Al-Quran dan Hadits menurut Ushul Fiqh ?
16. Apa yang dimaksud dengan Ulil Amri menurut ushul Fiqh ?
17. Jelaskan metode ijtihad dengan menggunakan Ijma, Qiyas, Istihsan dan maqashid al-
syari`ah
18. Jelaskan Pengertian dari Taklifi dan Wad’i serta Azimah dan Ruqsyah?
19. Apa yang dimaksud dengan Urf’serta berikan ?
20. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Qawaid Fiqhiyyah serta dasar-dasar
pengambilannya ?

1) A. Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam pertama dan utama menurut keyakinan umat
Islam dan diakui kebenarannya oleh penelitian ilmiah. Al-Qur’an adalah kitab suci yang di
dalamnya terdapat firman-firman (wahyu) Allah, yang disampaikan oleh malaikat Jibril
kepada Nabi Muhammad sebagai rasul Allah secara berangsur-angsur yang bertujuan
menjadi petunjuk bagi umat Islam dalam hidup dan kehidupannya guna mendapatkan
kesejahteraan di dunia dan di akhirat. Secara etimologi al-Qur’an berasal dari kata qara-a,
yaqra-u, qira’atan atau qur-anan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-
dhammo) huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian ke bagian lain secara teratur. Dikatakan
alQur’an karena ia berisikan intisari semua kitabullah dan intisari dari ilmu pengetahuan.

B. Pengertian Ulumul Qur’an


Ulumul Qur’an merupakan ungkapan kata yang berasal dari bahasa Arab, terdiri dari dua kata
yakni ulum dan Al-Qur’an. Kata Ulum adalah bentuk jamak dari kata `ilm yang berarti ilmu-
ilmu. Sedang Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
sebagai pedoman hidup manusia, bagi yang membacanya merupakan suatu ibadah dan
mendapatkan pahala. Dalam kajian Islam ungkapan Ulumul Qur’an ini telah menjadi nama

1|Page
bagi suatu disiplin ilmu, dan secara bahasa artinya ilmu-ilmu Al-Qur’an. Di Indonesia ilmu
ini kadang-kadang disebut “Ulum Al-Qur’an” dan kadangkadang pula disebut “Ilmu-ilmu Al-
Qur’an”. Hal ini dapat dilihat umpamanya dalam pada karya Fahd Abdurrahman ar-Rumi
Dirasat fi Ulum Al-Qur’an yang telah diterjemahkan oleh Amirul Hasan dan Muhammad
Halabi dengan diberi judul Ulum al-Qur’an, Studi Kompleksitas Al-Qur’an, sedang karya
Manna’ alQaththan Mabahits Fi Ulum Al-Qur’an yang telah diterjemahkan oleh Mudzakkir
AS diberi judul Studi ilmu-ilmu Al-Qur’an
Manna al-Qaththan memberikan definisi Ulumul Qur’an: “llmu yang mencakup
pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an, dari segi pengetahuan
tentang sebab-sebab turunnya, pengumpulan Al-Qur’an dan urutan-urutannya, pengetahuan
tentang ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah, nasikh mansukh, muhkam, dan mutasyabih dan
hal-hal lain yang ada hubungannya dengan Al-Quran.

C. Sejarah dan Perkembangan Ulumul Qur’an


Sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, ulum al-Qur’an tidak lahir sekaligus,
melainkan melalui proses pertumbuhan dan perkembangan. Istilah ulum al-Qur’an itu sendiri
tidak dikenal pada masa awal pertumbuhan Isam. Istilah ini baru muncul pada abad ke 3, tapi
sebagaian ulama berpandangan bahwa istilah ini lahir sebagai ilmu yang berdiri sendiri pada
abad ke 5. Karena ulumul Qur’an dalam arti, sejumlah ilmu yang membahas tentang Al-
Qur’an, baru muncul dalam karya Ali bin Ibrahim al-Hufiy (w.340), yang berjudul al-Burhan
fiy Ulum al-Quran (Al Zarqaniy :35).
Untuk mendapatkan gambaran tentang perkembangan ulum al-Qur’an, berikut ini akan
diuraikan secara ringkas sejarah perkembangannya. Pada masa Rasulullah saw, hingga masa
kekhalifahan Abu Bakar (12 H–13 H) dan Umar (12 H-23H) ilmu Al-Qur’an masih
diriwayatkan secara lisan.† Ketika zaman kekhalifaan Usman (23H-35H) dimana orang Arab
mulai bergaul dengan orang-orang non Arab, pada saat itu Usman memerintahkan supaya
kaum muslimin berpegangan pada mushaf induk, dan membakar mushaf lainnya yang
mengirimkan mushaf kepada beberapa daerah sebagai pegangan. Dengan demikian, usaha
yang dilakukan oleh Usman dalam mereproduksikan naskah Al-Qur’an berarti beliau telah
meletakkan dasar ilm rasm al-Qur’an (Subhiy Salih: 1977).
Selanjutnya, pada masa kekhalifaan Ali bin Abi Thalib, (35H-40H) beliau telah
memerintahkan Abu al-Aswad al-Duwali (w.69 H) untuk meletakkan kaedahkaedah bahasa
Arab. Usaha yang dilakukan oleh Ali tersebut, dipandang sebagai peletakan dasar ilmu I’rab
al-Qur’an. Pada abad kedua hijriah, upaya pembukaan ulum al-Qur’an mulai dilakukan,
namun pada masa ini perhatian ulama lebih banyak terfokus pada tafsir Pada masa
selanjutnya, abad ke 3 H, muncullah Muhammad ibn Jarir alTabariy (w.310 H) yang
menyusun kitab tafsir yang bermutu karena banyak memuat hadis-hadis sahih, ditulis dengan
rumusan yang baik. Di samping itu, juga memuat I’rab dan kajian pendapat.
Pada abad ke 4 H, lahir beberapa kitab ulu>m al-Qur’an, seperti: Aja’ib ulu>m al-Qur’an
karya Abu Bakar Muhammad ibn al-Qasim al-Anbary (w.328 H), dalam kitab ini dibahas
tentang kelebihan dan kemuliaan Al-Qur’an, turunnya AlQur’andalam tujuh huruf, penulisan
mushaf, jumlah surah, ayat dan kata dalam AlQur’an. Selanjutnya, pada pada abad ke 5
muncullah Ali bin Ibrahim ibn Sa’id al Hufiy (w.430 H) yang menghimpun bagianbagian dari
ulum al Qur’an dalam karyanya al-Burhan fiy Ulum al-Qur’an. Selanjutnya, pada abad ke-6,
Ibn al-Jauziy (w.597 H) menyusun kitab Funun al-Afinan fiy Ulum al-Qur’an, dan kitab al-
Mujtaba fiy Ulum Tata’allaq bi alQur’an. Selanjutnya, sejak penghujung abad ke-13 H
hingga saat ini, perhatian ulama terhadap ulu>m al-Qur’an bangkit kembali. Pada masa ini
pembahasan dan pengkajian Al-Qur’antidak hanya terbatas pada cabang-cabang ‘ulu>m al-
Qur’an yang ada sebelumnya, melainkan telah berkembang, misalnya penterjemah AlQur’an
kedalam bahasa asing. Juga telah disusun berbagai kitab ‘ulu>m al-Qur’an,

2|Page
2). Pengertian Nuzulul Qur’an
Nuzulul Qur’an terdiri dari kata nuzul dan Alqur’an yang berbentuk idafah. Penggunaan kata
nuzul dalam istilah nuzulul Qur’an (turunnya Al-Quran) tidaklah dapat kita pahami
maknanya secara harfiah, yaitu menurunkan sesuatu dari tempat yang tinggi ke tempat yang
rendah, sebab Al-Quran tidaklah berbentuk fisik atau materi. Tetapi pengertian nuzulul
Qur’an yang dimaksud adalah pengertian majazi, yaitu penyampaian informasi (wahyu)
kepada Nabi Muhammad SAW. dari alam gaib ke alam nyata melalui perantara malakikat
Jibril AS

Proses turunnya
Al-Quran Perbedaan kitab Al-Quran dipandang dari aspek proses penurunannya sangat jauh
berbeda dengan kitab-kitab wahyu lainnya. Sehingga karena alasan perbedaan tersebut, sikap
meragukan sumber munculnya teks wajar ketika dipertanyakan oleh orang-orang kafir.
Menurut Manna’ al-Qaththan, terdapat dua mazhab pokok di kalangan para ulama di seputar
pemahaman tentang proses turunnya Al-Quran, yaitu: 1.) Pendapat Ibnu Abbas dan sejumlah
ulama, bahwa yang dimaksud dengan turunnya Al-Quran ialah turunnya Al-Quran secara
sekaligus ke Baitul ’Izzah di langit dunia untuk menunjukkan kepada para malaikatnya
bahwa betapa besar masalah ini, selanjutnya Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW. secara bertahap selama dua puluh tiga tahun sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang
mengiringinya sejak beliau diutus sampai wafatnya. Pendapat ini didasarkan pada riwayat-
riwayat dari Ibnu Abbas. Antara lain: “Al-Quran diturunkan sekaligus ke langit dunia pada
lailah al-qadr. Kemudian setelah itu, ia diturunkan selama dua puluh tahun” “Al-Quran itu
dipisahkan dari al-zikr, lalu diletakkan di Baitul ’Izzah di langit dunia. Maka Jibril mulai
menurunkannya kepada Nabi SAW.” “Al-Quran diturunkan pada lailah al-qadr pada bulan
Ramadhan ke langit dunia sekaligus, lalu ia diturunkan secara berangsur-angsur.”
2.) Pendapat yang disandarkan pada al-Sya’bi10 bahwa permulaan turunnya Al-Quran
dimulai pada lailah al-qadr di bulan Ramadhan, malam yang diberkahi. Sesudah itu turun
secara bertahap sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya selama kurang lebih dua puluh
tiga tahun. Dengan demikian, Al-Quran hanya memiliki satu macam cara turun, yaitu turun
secara bertahap kepada Rasulullah SAW., sebab yang demikian inilah yang dinyatakan oleh
Al-Quran. Terjemahnya: “Dan Al Quran itu Telah kami turunkan dengan berangsur-angsur
agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya
bagian demi bagian.” (QS. Al-Isra’: 106)
Di samping dua pendapat mayoritas di atas, terdapat lagi pandangan-pandangan yang lain,
yaitu:
3.) Pendapat yang menyebutkan bahwa Al-Quran diturunkan ke langit dunia pada dua puluh
malam kemuliaan (lailah al-qadr), yang setiap malam kemuliaan tersebut ada yang ditentukan
oleh Allah untuk diturunkan setiap tahunnya, dan jumlah untuk satu tahun penuh itu
kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada Rasulullah SAW.
4.) Ada juga sebagian ulama yang berpandangan bahwa Al-Quran turun pertamatama secara
berangsur-angsur ke Lauh al-mahfuz, kemudian diturunkan secara sekaligus ke Bait
al-‘Izzah. Dan setelah itu, turun sedikit demi sedikit.

Asbabun nuzul
adalah idhafah yang terdiri dari kata asbab jamak dari kata sabab (sebab, alasan atau ‘illat)
dan nuzul bermakna al-su’ud (turun). Sehingga asbabun nuzul secara literal bermakna sebab
turunnya satu atau beberapa ayat AlQuran. Muhammad Abdul Halim al- Zarqani, asbabun
nuzul adalah suatu kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat, atau suatu
peristiwa yang dapat dijadikan petunjuk hukum berkenaan dengan turunnya suatu ayat.

3|Page
Manna’ al-Qaththan, asbabun nuzul adalah suatu yang karenanya Al-Quran diturunkan,
sebagai penjelas terhadap apa yang terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan
Dari defenisi di atas, maka dapat dipahami bahwa keadaan yang menjadi sebab turunnya
suatu ayat adakalanya berbentuk sebagai berikut:
1.) Sikap permusuhan.
2.) Terjadinya kekeliruan akibat perbuatan suatu dosa.
3.) Pertanyaan tentang suatu peristiwa yang terjadi pada masa lampau, yang sedang terjadi
dan yang akan datang.
pendapat al-Zarqani yang mengelompokkkan asbabun nuzul ke dalam dua bagian, yaitu:
1.) Ayat yang diturunkan tanpa ada peristiwa yang terjadi, ibtida’i. Ketika diturunkan oleh
Allah, ia semata-mata merupakan bentuk petunjuk bagi manusia. Misalnya QS. Al-‘Alaq: 1-
5, al-Fatihah dll.
2.) Ayat yang diturunkan berkaitan dengan sebab khusus atau peristiwa tertentu, nuzul bi
sabab. Misalnya; QS. Al-Nisa’ (wanita), al-Anfal (perang), al-Thalaq (talak) dll.

3). Munasabah Al-Quran


Yang dimaksud dengan munasabah ialah sebuah konsep di dalam Ulum al-Qur'an yang
membahas tentang pemahaman makna ayat secara komprehensif dengan menghubungkan
antara ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, antara pembuka ayat dan penutup ayatnya, dan
antara ayat dengan nama surah yang menjadi tema sentralnya.
Konsep munasabah amat penting bagi para mufassir, karena orang yang yang tidak
memahami munasabah sebuah ayat lalu fokus hanya memahami ayat itu berpeluang terjadi
salah penerapan (miscontext). Sebagai contoh dalam ayat: ...bunuhlah orang-orang musyrikin
itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan
intailah di tempat pengintaian. (Q.S. at-Taubah/9:5).

Potongan ayat tersebut sering diperkenalkan oleh kelompok radikal, khususnya kaum teroris,
sebagaimana yang sering ditemukan di dalam buku-buku doktrin mereka. Sepintas ayat ini
kelihatan sangat menyeramkan. Apalagi kata al-musyrikun diartikan dengan non-muslim.
Itu artinya ada izin membunuh non muslim di mana pun dan kapan pun. Tidak perlu ada rasa
bersalah dan berdosa, karena ayat ini menjadi dasar bolehnya membunuh dengan cara apapun
mereka yang non-Islam, apalagi yang nyata-nyata memerangi Islam. Padahal, ayat tersebut
hanyalah potongan tengah ayat. Ayat seutuhnya ialah: Apabila sudah habis bulan-bulan
Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka,
dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka
bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada
mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S.
at-Taubah/9:5)

4). Al-Makky Dan Al-Madany


Makkiyah adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi muhamamd shallAllahu ‘alaihi wa
sallam sebelum berhijrah ke Madinah sedangkan Madaniyah adalah wahyu yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW setelah berhijrah ke Madinah. Ada bebrapa definisi tentang
al-Makky da al-Madany yang diberikan oleh para ulama’ yang mana masing-masing berbeda
satu sama lain. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan kriteria yang ditetapkan untuk
menetapkan Maky atau Madany pada sebuah surat atau ayat.
Pada umumnya, para ulama’ membagi surat-surat al-Qur’an menjadi dua kelompok, yaitu
Makkiyah dan Madiniyyah. Mereka berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah masing-
masing kelompoknya. Sebagian ulama’ mengatakan bahwa jumlah surat Makiyyah ada 94

4|Page
surat, sedangkan Madaniyyah ada 20 surat. Sebagian ulama’ lain mengatakan bahwa jumlah
surat Makiyyah ada 84 surat, sedangkan yang Madaniyyah ada 30 surat.
  Ciri-ciri melalui titik tekan tematis
1. Makiyyah.
a. Banyak mengandung kata-kata sumpah ( qasam ).
b. Ayat dan suratnya pendek-pendek dan bernada agak keras, misalkan dalam juz 30 ( juz
‘amma ) kecuali Q.S. al-Bayyinah, dan an-Nashr, dan kelompok surat panjang al-sab’u al-
Thiwal hanya dua surat saja yang termasuk Makiyyah yaitu Q.S. al-An’am dan al-A’raf. 
c. Menjelaskan ajakan monotheisme, ibadah kepada Allah semata, risalah kenabian, hari
kebangkitan dan pembalasan, hari kiamat, surga, neraka, dan mendebat kelompok musrikin
dengan argumentasi-argumentasi rasional dan naqli.
d.  Menetapkan fondasi-fondasi umum pembentukan hukum syara’ dan keutamaan akhlaq
yang harus di miliki masyarakat.
2.  Madaniyyah.
a.Mengungkap langkah-langkah orang-orang munafik, selain Q.S. al-Ankabut.
b. Menjelaskan permasalahan ibadah, muamalah, hudud, bangunan rumah tangga, warisan,
serta persoalan-persoalan hukum syara’, keutamaan jihad, hubungan social, hubungan
internasional.
c. Surat dan sebagian ayat-ayatnya panjang-panjang serta menjelaskan hukum dengan terang
dan menggunakan ushlub yang terang pula, seperti kelompok  “al-Sab’u al-Thiwal “ ( tujuh
surat terpanjang ) yaitu : Q.S. al- Baqoroh, an- Nissa’, ali Imron, al- Maidah, al-A’raf, al-
An’am, dalam penentuan satu surat lagi terjadi perbedaan pendapat dari kalangan ulama’,
yaitu : Q.S. al-Anfal, at-Taubah, al-Kahfi, al-Mukminun.

5). Al-Muhkam wa al-Mutasyabih


Muhkam berasal dari kata ihkam yang secara bahasa berarti kekukuhan, kesempurnaan,
keseksamaan dan pencegahan. Mutasyabih berasal dari kata tasyabuh secara etimologis
berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaran antara dua hal.
Ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui dengan gamblang, baik melalui
takwil maupun tidak. Sedangkan ayat mutasyabih adalah ayat yang maksudnya hanya dapat
diketahui oleh Allah, seperti datangnya hari kiamat, dajjal dan huruf-huruf muquththo’ah.
(kelompok Ahlus Sunnah). Ayat muhkam adalah ayat yang segera dapat diketahui tanpa
ditakwil. Sedangkan ayat mutasyabih adalah ayat maksudnya dapat diketahui dengan
penakwilan. Ibn Hatim mengatakan bahwa, ‘Ikrimah, Qatadah dan yang lainnya mengatakan
bahwa ayat muhkam adalah ayat yang harus diimani dan diamalkan. Sedangkan ayat
mutasyabih adalah ayat yang harus diimani tetapi tidak harus diamalkan.

Pendapat para ulama’ mengatakan bahwa penyebab adanya tasyabuh karena beberapa hal Yaitu,
1). kesamaran pada lafaz ayat,
2). Kesamaran pada makna ayat, dan
3). Kesamaran pada lafaz sekaligus makna ayat itu sendiri.
Pertama, lafadh atau ayat yang sama sekali tidak dapat diketahui hakekatnya.
Kedua, ayat-ayat yang setiap orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian dan
pengkajian. Seperti ayat-ayat mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas,
panjang, urutan, dan seumpamanya.
Ketiga, ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tertentu dan
bukan semua ulama. Maksudnya yang demikian adalah makna-makna yang tinggi yang
memenuhi hati orang-orang yang jernih jiwanya dan mujtahid.

Fawatihus Suwar

5|Page
Menurut bahasa fawatih adalah jamak dari kata fatihah, yang berarti pembukaan atau
permulaan atau awalan. Sedangkan kata as-suwar adalah jamak dari kata as-surah yaitu
sekumpulan ayat-ayat Al-qur’an yang mempunyai awalan dan akhiran.
Fawatihus Suwar adalah beberapa pembukaan dari surah-surah Al-qur’an atau beberapa
macam awalan dari surah-surah Al-qur’an. Sebab, seluruh surah al-qur’an yang berjumlah
114 buah surah itu dibuka dengan sepuluh macam pembukaan, tidak ada satu surahpun yang
keluar dari sepuluh macam pembukaan itu. Dan tiap-tiap macam pembukaan itu mempunyai
rahasia/hikmah sendiri-sendiri, hingga perlu sekali untuk dipelajari.
Istilah fawatihus suwar ini sering dijumbuhkan orang dengan al-huruful muqaththa’ah (huruf
terputus-putus yang terdapat di permulaan surah-surah al-qur’an) seperti Dr. Shubhi Ash-
Shahih dalam kitabnya Mabahits fi’Ulumil Qur’an. Karena itu, perlu ditegaskan bahwa
fawatihus suwar itu berbeda dengan huruful muqaththa’ah yang hanya mempunyai salah satu
macam dari fawatihus suwar yang ada sepuluh macam yang hanya menjadi pembahasan dari
29 surah dari 114 surah-surah Al-qur’an.

Qira’at al-Quran
Secara etimologi qira’at merupakan kata jadian (masdar) dari kata kerja qara’a (membaca).
Sedangkan secara terminologi ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama
antara lain: 1. Ibnu al-Jazari: Qira’at adalah ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan
katakata Al-Qur’an dan perbedaanperbedaannya dengan cara menisbahkan kepada
penukilnya.

Bangsa Arab merupakan komunitas dari berbagai suku di mana setiap suku mempunyai
dialek yang berbeda, namun demikian mereka menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa
bersama dalam berkomunikasi. Kenyataan tersebut membawa suatu konsekuensi lahirnya
berbagai macam qira’at dalam melafazkan Al-Qur’an, namun Rasulullah saw. senantiasa
membenarkan qira’at mereka, karena AlQur’an itu diturunkan dalam tujuh huruf, artinya
sebagai kemudahan bagi umat Islam dalam melafazkan atau membaca AlQur’an.
Sebagaimana diketahui bahwa AlQur’an itu diturunkan tujuh huruf, sehingga harus diketahui
bahwa ini qira’at yang shahih dan ini qira’at yang syadz

6). Pengertian I’jaz Al-Qur’an


Kata I’jaz diambil dari kata kerja a’jaza-I’jaz yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak
mampu. Lebih jauh al-Qaththan mendefinisikan I’Jaz dengan: “Memperlihatkan kebenaran
Nabi Saw. atas pengakuan kerasulannya, dengan cara membuktikan kelemahan orang Arab
dan generasi sesudahnya untuk menandingi kemukjizatan Al-Qur’an.
Pelakunya (yang melemahkan) dinamakan mu’jiz. Bila kemampuannya melemahkan pihak
lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan. Ia dinamakan mukjizat.
Tambahan ta’marbhuthah pada akhir kata itu mengandung makna mubalighah (superlatif).
Mukjizat didefinisikan oleh pakar agama Islam, antara lain sebagai suatu hal atau peristiwa
luar biasa yang terjadi melalui seorang yang mengaku Nabi, sebagai bukti kenabiannya
sabagai tantangan bagi orang yang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa,
tetapi tidak melayani tantangan itu. Dengan redaksi yang berbeda, mukjizat didefinisikan
pula sebagai suatu yang luar biasa yang diperlihatkan Allah Swt. melalui para Nabi dan
RasulNya, sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulannya. Atau Manna’
al-Qaththan mendefinisikannya demikian: “Suatu kejadian yang luar dari kebiasaan, disertai
dengan unsur tantangan, dan tidak akan dapat ditandingi.
Unsur-unsur mukjizat,
sebagaimana dijelaskan oleh Qutah & Shihab, adalah:

6|Page
1. Hal atau peristiwa yang luar biasa Peristiwa-peristiwa alam, yang tidak terlihat sehari-
hari, walaupun menakjubkan, tidak dinamakan mukjizat. Hal ini karena peristiwa
tersebut merupakan sesuatu yang biasa. Yang dimaksud dengan “luar biasa” adalah
sesuatu yang berbeda di luar jangkauan sebab akibat yang hukum-hukumnya diketahui
secara umum.
2. Terjadi atau dipaparkan oleh seseorang yang mengaku Nabi Hal-hal di luar kebiasaan
tidak mustahil terjadi pada diri siapa pun. Apabila keluarbiasaan tersebut bukan dari
seorang yang mengaku Nabi, hal itu tidak dinamakan mukjizat.
3. Mengandung tantangan terhadap mereka yang meragukan kenabian Tentu saja tantangan
ini harus bersamaan dengan pengakuannya sebagai Nabi, bukan sebelum atau
sesudahnya. Di saat ini, tantangan tersebut harus pula merupakan sesuatu yang sejalan
dengan ucapan sang Nabi Kalau misalnya ia berkata, “Batu ini dapat berbicara”, tetapi
ketika batu itu berbicara, dikatakannya bahwa “Sang penentang berbohong”, maka
keluarbiasaan ini bukanlah mukjizat, tetapi ihanah dan istidraj.
4. Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani Bila yang ditantang berhasil
melakukan hal serupa, ini berarti bahwa
5. pengakuan sang penantang tidak terbukti. Perlu digarisbawahi bahwa kandungan
tantangan harus benar-benar dipahami oleh yang ditantang. Untuk membuktikan
kegagalan mereka, aspek kemukjizatan tiap-tiap Nabi sesuai dengan bidang keahlian
umatnya

7). Unsur-unsur hadits


a.      Rawi
Rawi bentuk jama dari kata ruwat yang berarti orang yang meriwayatkan. Selain
meriwayatkan Hadis seorang rawi berpungsi sebagai penerima, penyampai dan pemelihara
Hadis. Sedangkan menurut istilah adalah orang yang menerima Hadis dan menyampaikannya
dengan salah satu bahasa penyampaian (shaghat al-ada). Menyampaikan Hadis dari seorang
guru kepada orang lain, atau menuliskan dan mendiwankannya pada suatu kitab. Seorang
rawi tidak cukup hanya menerima dan menyampaikan Hadis, rawi harus dapat memelihara
Hadis.
Pada Hadis yang diriwayatkan di atas, maka para rawi yang meriwayatkan Hadis
tersebut adalah: Abu Hurairah, AL-Araj, Abu al-Zinad, Syu’aib, Abu al-Yaman, dan Bukhari.
Bukhari selain rawi terakhir, juga disebut sebagai mukharij atau mudawwin, yaitu orang yang
telah mencatat Hadis tersebut pada kitab Hadisnya yang bernama al-Jâmi al-Shahih.
b.      Sanad
Sanad menurut bahasa berarti penopang, sesuatu yang dibuat sandaran, atau biasa
juga berarti lereng bukit. Sedangkan menurut istilah sanad adalah sandaran perawi mulai dari
mudawin sampai kepada rawi yang meriwayatkan Hadis. Menurut Nuruddin ‘Itr sanad adalah
rangkaian mata rantai para rawi yang meriwayatkan Hadis dari yang satu kapada yang lain
sampai kepada sumbernya.
Sebagai jalur penyampai/ periwayat Hadis, sanad terdiri atas seluruh periwayat mulai
dari orang yang mencatat Hadis tersebut dalam bukunya (kitab Hadis) hingga mencapai
Rasulullah SAW. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jadi dalam teks
Hadis riwayat Bukhari di atas yang disebut dengan sanad adalah deretan kata-kata :
ُ ‫ض ? َي هَّللا ُ َع ْن ?هُ َأنَّ َر‬
ِ ‫س ?و َل هَّللا‬ ِ ‫ج عَنْ َأبِي ه َُر ْي َرةَ َر‬
ِ ‫ب قَا َل َح َّدثَنَا َأبُو ال ِّزنَا ِد عَنْ اَأْل ْع َر‬ ُ ‫َح َّدثَنَا َأبُو ا ْليَ َما ِن قَا َل َأ ْخبَ َرنَا‬
ٌ ‫ش َع ْي‬
‫سلَّ َم قَا َل‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ
Dengan demikian, tersebut adalah:
(1)    Bukhari (2) Abu al-Yaman (3) Syu’aib (4) Abu al-Zinad (5) Al-’Araj (6) Abu Hurairah .

7|Page
c.       Matan
Matan secara bahasa berarti punggung atau tanah tinggi yang keras. Sedangkan
menurut istilah matan adalah isi yang terkandung dalam hadis. Berita yang berupa perkataan,
perbuatan, taqrir atau hal ihwal Nabi SAW yang terletak setelah sanad berakhir. Dari contoh
Hadis sebelumnya maka matan Hadis bersangkutan adalah:
َّ ‫سي بِيَ ِد ِه اَل يُْؤ ِمنُ َأ َح ُد ُك ْم َحتَّى َأ ُكونَ َأ َح‬
‫ب ِإلَ ْي ِه ِمنْ َوالِ ِد ِه َو َولَ ِد‬ ِ ‫فَ َوالَّ ِذي نَ ْف‬
"Maka demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, tidaklah beriman seorang dari kalian hingga aku
lebih dicintainya daripada orang tuanya dan anaknya”
Ulama ahli Hadis telah melakukan pengkajian terhadap Hadis dari berbagia aspek
untuk mengetahui matan yang dapat dinisbatkan kepada pembicara/ sumbernya dan matan
mana yang tidak. Hal tersebut berhubungan dengan dapat atau tidaknya Hadis tersebut
diteriman dan diamalkan.
Terkait dengan matan, maka yang perlu dicermati dalam memehami Hadis ialah:
1)      Asal sanad sumber redaksi, apakah dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW Atau
bukan.
2)      Matan Hadis itu sendiri dalam hubungannya dengan Hadis lain yang lebih kuat sanadnya
(apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al-
Qur’an (apakah ada yang bertolak belakang).

8). Hadis dilihat dari segi penyandaran

a. hadis Qudsi
Qudsi menurut bahasa dinisbatkan pada “Qudus” yang artinya suci.Yaitu sebuah penisbatan
yang menunjukkan adanya pengagungan dan pemuliaan, atau penyandaran kepada Dzat
Allah Yang Maha Suci. Sedangkan Hadits Qudsi menurut istilah adalah apa yang
disandarkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dari perkataan-perkataan beliau kepada
Allah ta’ala.
Ada dua bentuk periwayatan hadits qudsi :
Pertama, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Seperti yang diriwayatkannya
dari Allah ‘azza wa jalla”.
Contohnya : Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari Abu Dzar radliyallaahu
‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam seperti yang diriwayatkan dari Allah,
bahwasannya Allah berfirman : ”Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan
perbuatan dhalim pada diri-Ku dan Aku haramkan pula untuk kalian. Maka janganlah kamu
saling menganiaya di antara kalian”.
Kedua, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Allah berfirman….”.
Contohnya : Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwa
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Allah ta’ala berfirman : Aku selalu
dalam persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku bersama-Nya bila dia mengingat-Ku.
Maka jika dia mengingat-Ku niscaya Aku mengingatnya”.

Perbedaan Antara Hadits Qudsi dengan Hadits Nabawi


Hadits Nabawi disandarkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan diceritakan
oleh beliau, sedangkan hadits qudsi disandarkan kepada Allah kemudian Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam menceritakan dan meriwayatkannya dari Allah. Oleh karena itu
diikat dengan sebutan Hadits Qudsi. Ada yang berpendapat bahwa dinamakan Hadits Qudsi
karena penisbatannya kepada Allah Yang Maha Suci. Sementara Hadits Nabawi disebut
demikian karena dinisbatkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.

b. Hadits Marfu’

8|Page
Al-Marfu’ menurut bahasa merupakan isim maf’ul dari kata rafa’a (mengangkat), dan ia
sendiri berarti “yang diangkat”. Dinamakan marfu’ karena disandarkannya ia kepada yang
memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Hadits Marfu’
menurut istilah adalah “sabda, atau perbuatan, atau taqrir (penetapan), atau sifat yang
disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik yang bersifat jelas ataupun
secara hukum (disebut marfu’ = marfu’ hukman), baik yang menyandarkannya itu shahabat
atau bukan, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi’ (terputus).
Dari definisi di atas, jelaslah bahwa hadits marfu’ ada 8 macam, yaitu : berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, dan sifat. Masing-masing dari yang empat macam ini mempunyai bagian
lagi, yaitu : marfu’ secara tashrih (tegas dan jelas), dan marfu’ secara hukum. Marfu’ secara
hukum maksudnya adalah isinya tidak terang dan tegas menunjukkan marfu’, namun
dihukumkan marfu’ karena bersandar pada beberapa indikasi.

c. Hadits Mauquf
Al-Mauquf berasal dari kata waqf yang berarti berhenti. Seakan-akan perawi menghentikan
sebuah hadits pada shahabat.
Hadits Mauquf menurut istilah adalah “perkataan, atau perbuatan, atau taqrir yang
disandarkan kepada seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik
yangbersambung sanadnya kepada Nabi ataupun tidak bersambung.
Contohnya:
1. Mauquf Qauli (perkataan) : seperti perkataan seorang perawi : Telah berkata Ali bin Abi
Thalib radliyallaahu ‘anhu,”Berbicaralah kepada manusia dengan apa yang mereka ketahui,
apakah kalian ingin mereka mendustakan Allah dan Rasul-Nya ?”.
2. Mauquf Fi’li (perbuatan) : seperti perkataan Imam Bukhari,”Ibnu ‘Abbas menjadi imam
sedangkan dia (hanya) bertayamum”.
3. Mauquf Taqriry : seperti perkataan seorang tabi’in : “Aku telah melakukan demikian di
depan seorang shahabat dan dia tidak mengingkari atasku”.
Hadits Mauquf sanadnya ada yang shahih, hasan, atau dla’if. Hukum asal pada hadits mauquf
adalah tidak boleh dipakai berhujjah dalam agama.

d. Hadits Maqthu’
Al-Maqthu’ artinya yang diputuskan atau yang terputus. Hadits Maqthu’ menurut istilah
adalah : “perkataan dan perbuatan yang disandarkan kepada tabi’I atau orang yang di
bawahnya, baik bersambung sanadnya atau tidak bersambung. Perbedaan antara Hadits
Maqthu’ dan Munqathi’ adalah bahwasannya Al-Maqthu’ adalah bagian dari sifat matan,
sedangkan Al-Munqathi’ bagian dari sifat sanad. Hadits yang Maqthu’ itu merupakan
perkataan tabi’I atau orang yang di bawahnya, dan bisa jadi sanadnya bersambung sampai
kepadanya. Sedangkan Munqathi’ sanadnya tidak bersambung dan tidak ada kaitannya
dengan matan.
Sebagian ulama hadits – seperti Imam Asy-Syafi’I dan Ath-Thabarani – menamakan Al-
Maqthu’ dengan Al-Munqathi’ yang tidak bersambung sanadnya. Ini adalah istilah yang tidak
populer. Hal tersebut terjadi sebelum adanya penetapan istilah-istilah dalam ilmu hadits,
kemudian menjadi istilah Al-Maqthu’ sebagai pembeda untuk istilah Al-Munqathi’.
Contohnya, Al-Maqthu’ Al-Qauli (yang berupa perkataan) : seperti perkataan Hasan Al-
Bashri tentang shalat di belakang ahli bid’ah,”Shalatlah dan dia lah yang menanggung
bid’ahnya”.

9). Hadits dari segi Kuantitas Rawi


1. Hadits Mutawatir

9|Page
Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi yakni yang datang berikutnya atau beriring-
iringan yang antara satu dengan yang lain tidak ada jaraknya. Sedangkan pengertian
Hadits mutawatir menurut istilah, terdapat beberapa definisi, antara lain sebagai berikut:
“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka
bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta”.
menurut ulama mutaakhirin, ahli ushul, suatu Hadits dapat ditetapkan sebagai Hadits
Mutawatir, bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Diriwayatkan oleh Sejumlah Besar Perawi
Hadits mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa kepada
keyakinan bahwa mereka itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta.
b. Adanya keseimbangan antar perawi pada Thabaqat pertama dengan Thabaqat
berikutnya
Jumlah perawi Hadits mutawatir, antara Thabaqat (lapisan/tingkatan) dengan thabaqat
lainnya harus seimbang. Dengan demikian, bila suatu Hadits diriwayatkan oleh 20 orang
sahabat, kemudian diterima oleh 10 tabi’in, dan selanjutnya hanya diterima oleh 5
tabi’in, tidak dapat digolongkan sebagai Hadits mutawatir, sebab jumlah perawinya tidak
seimbang antara thabaqat pertama dengan thabaqat-thabaqat seterusnya.
c. Berdasarkan Tanggapan Pancaindra
Berita yang disampaikan oleh perawinya tersebut harus berdasarkan tanggapan
pancaindra. Artinya bahwa berita mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran
atau penglihatannya sendiri.
2. Hadits Ahad
Secara bahasa kata “ahad” merupakan bentuk plural dari kata “ahad” yang bermakna
satu. Hadits ahad, secara bahasa adalah Hadits yang diriwayatkan oleh satu orang. Adapun
pengertian Hadits ahad secara istilah adalah Hadits yang tidak memenuhi syarat syarat Hadits
mutawatir. Menurut Al Qathan Hadits ahad adalah Hadits yang tidak memenuhi syarat
mutawatir. Dengan demikian berarti bahwa Hadits ahad adalah Hadits yang sanadnya shahih
dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi) tetapi kandungannya memberikan
pengertian zhanni dan tidak sampai kepada qath’i atau yakin
Macam-macam Hadits Ahad
a. Hadits Masyhur
secara istilah, Hadits masyhur adalah Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang
atau lebih dari setiap generasi, akan tetapi tidak mencapai jumlah mutawatir. Jika
diteliti lebih lanjut, sebenarnya Hadits masyhur ini tidak semuanya berkualitas
shahih, karena jumlah perawi yang demikian belum tentu menjamin
keshahihannya kecuali disertai sifat sifat yang menjadikan sanad ataupun
matannya shahih. Dengan demikian, Hadits masyhur sendiri dapat dikelompokan
kepada yang berkualitas shahih, hasan dan dhaif.
b.   Hadits Aziz
Secara bahasa, kata aziz merupakan sifat musyabbahah dari kata “azza
ya’izzu”,yang berarti sedikit atau jarang dan kata azza ya’azzu yang berarti kuat
dan sangat. Sedangkan menurut istilah Hadits aziz adalah Hadits yang
diriwayatkan oleh tidak kurang dari dua perawi pada seluruh tingkatan/generasi.
c.  Hadits Gharib
Secara bahasa kata “gharib” merupakan sifat musyabbahah yang bermakna
menyendiri. Sedangkan secara istilah, Hadits gharib adalah Hadits yang
diriwayatkan seorang perawi di manapun hal itu terjadi. Artinya bahwa tiap
Hadits gharib ini tidak disyaratkan harus satu perawi pada setiap tingkatan atau
generasi, akan tetapi cukup satu tingkatan sanad dengan satu orang perawi. 

10 | P a g e
10). Hadits Shahih, Hasan dan Dhaif
A. Hadits Shahih
Shahih menurut bahasa artinya sah, benar, sempurna, tiada celanya. Secara istilah,
beberapa ahli memberikan definisi antara lain, Menurut Ibn al-Shalah, hadits shahih adalah
hadits yang sanadnya bersambung (muttashil) melalui periwayatan orang yang adil
dan dhabith dari orang yang adil dan dhabith, sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan
tidak ber’illat.
Kriteria Hadits Shahih
a. Sanad-nya Bersambung
Yang dimaksud dengan sanad-nya bersambung adalah bahwa tiap-tiap perawi dalam
sanad hadits menerima riwayat hadits dari periwayat terdekat sebelumnya, keadaan
itu bersambung demikian sampai akhir sanad dari hadits itu. Dengan demikian jelas
bahwa hadits mursal, munqati, mu’dhal, dan mu’allaq, tidak tergolong hadits shahih. 
b.  Perawi yang Adil
Menurut bahasa, kata adil berarti lurus, tidak berat sebelah, tidak zalim, tidak
menyimpang, tulus dan jujur, dan baik tingkah lakunya. 
c.  Perawinya dhabith
Menurut bahasa dhabith artinya yang kokoh, yang kuat, yang sempurna hafalannya.
Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, perawi yang dhabith adalah yang kuat
hafalannya.terhadap apa yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan
hafalan tersebut kapan dan di mana saja diperlukan.
d.  Tidak syadz (janggal)
Yang dimaksud dengan syaz ialah suatu hadits yang bertentangan dengan hadits yang
diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih kuat atau lebih tsiqah. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan hadits yang tidak syaz adalah hadits
yang matannya tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat atau
lebih tsiqah.
e.  Tidak ber’illat (ghair mua’allal)
Kata ‘illat menurut bahasa berarti cacat, penyakit, keburukan, dan kesalahan dalam
membaca. Maka yang disebut hadits berillat adalah hadits yang ada cacat atau
penyakitnya. Menurut istilah, ilat berarti suatu sebab tersembunyi atau samar-samar,
yang karenanya dapat kesahihan hadits tersebut.

Hadits Shahih dibagi menjadi dua, yaitu:


a.  Hadits shahih lidzatih
Yaitu hadits shahih dengan sendirinya. Artinya, hadits tersebut dengan sendirinya telah
memiliki 5 kriteria syarat hadits.
b.  Hadits shahih lighirih
Yaitu hadits yang keshahihannya dibantu oleh adanya keterangan lain. Pada mulanya
kategori hadits inimemiliki kelemahan pada aspek ke-dhabit-an perawinya sehingga
nilainya hanya sampai pada tingkatan hasan lidzatih. Tetapi, hadits tersebut dikuatkan
oleh keterangan lain, baik berupa syahid maupun muttabi’ (matan atau sanad lain)
yang menguatkan kandungan matan-nya sehingga hadits tersebut naik derajatnya
setingkat lebih tinggi menjadi shahih lighairih.

B. Hadist Hasan
Menurut Ibn Hajar, hadits hasan adalah :“ Khabar Ahad adalah yang diriwayatkan oleh
perawi yang adil lagi sempurna ke-dhabith-annya, sanad-nya bersambung, tidak ada syaz
dan ‘illat, itulah yang disebut shahih li dzati-hi. Bila kedhabitannya kurang, maka itulah
yang disebut hasan li dzatihi”.

11 | P a g e
Dengan definisi ini dapat diketahui bahwa hadits hasan, menurut Ibn Hajar, adalah hadits
yang telah memenuhi lima persyaratan hadits shahih sebagaimana disebutkan terdahulu,
hanya saja bedanya, pada hadits shahih daya ingatan perawinya sempurna, sedangkan
pada hadits hasan daya ingatan perawinya kurang sempurna. 

Macam-macam Hadits Hasan


Ada dua jenis hadits hasan, yaitu hasan li dzati-hi dan hasan li ghairi-hi. Dikatakan li
dzati-hi sebab kualitas hasannya muncul karena memenuhi syarat tertentu, bahkan karena
faktor lain di luarnya. Adapun Hadits hasan li ghairi-hi adalah hadits yang didalamnya
terdapat perawi mashur yang belum tegas kualitasnya, tetapi  bukan perawi pelupa atau sering
melakukan kesalahan dalam riwayat-riwayatnya, bukan pula muttaham bi al-kadzib dalam
Hadits, juga bukan karena sifat lain yang menyebabkannya tergolong fasik, dengan syarat
mendapatkan pengukuhan dari perawi lain yang mu’tabar, tidak berstatus mutabi’ ataupun
syahid.

C. Hadits Dha’if
Hadits dha’if menempati urutan ketiga dalam pembagian hadits. Hadits dha’if adalah
hadits yang tidak memenuhi klasifikasi hadits shahih maupun Hadits hasan. Hadits dha’if
adalah bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa, dha’if berarti lemah, lawan dari al qawi
yaitu kuat. Kelemahan Hadits dha’if ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi kriteria
hadits yang kuat yang diterima sebagai hujjah. Sedangkan menurut istilah adalah dha’if yaitu
hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak
terpenuhi.

11). Periodesasi Sejarah Hadis


Sebagaimana segala sesuatu yang sudah eksis sejak lama, Hadis sebagai objek maupun
sebagai ilmu memiliki sejarah yang dapat dikatakan cukup panjang. Terlepas dari perbedaan
pendapat dalam diskursus-diskurus mengenai asal mula Hadis, satu fakta yang dapat disetujui
oleh semua pihak ialah bahwa hadis senantiasa tumbuh dan berkembang seiring berjalannya
waktu. Perkembangan hadis, khususnya dalam aspek keilmuan, merupakan salah satu hal
penting yang perlu diketahui sebagai pijakan untuk mendalami hadis sebagai sebuah
eksistensi yang utuh. Terdapat beberapa jenis periodisasi dari perkembangan hadis dalam
sejarah yang disampaikan oleh ulama-ulama yang berbeda. Periodisasi yang paling populer
merupakan pembagian sejarah perkembangan hadis ke dalam 7 tahapan, dari tahapan awal
berupa penyampaian daari Nabi saw. hingga pada proses syarah, takhrij, pembahasan, dan
penghimpunan.
Periode pertama ialah Asru al-Wahyu wa al-Takwin atau masa diturunkannya wahyu dan
penyampaian hadis oleh Rasulullah saw. Penyampaian hadis oleh Rasulullah, sebagaimana
telah kita ketahui, dilakukan tidak hanya secara lisan namun juga melalui perbuatan-
perbuatan beliau. Pada masa ini sahabat menerima hadis dengan cara menghafalkan, dan
menulis saat memiliki kesempatan untuk melakukannya. Penulisan hadis pada masa awal
perkembangan hadis sangat terbatas mengingat bahwa terdapat pelarangan mengenai
penulisan Hadis, sebelum kemudian diperbolehkan oleh Rasulullah saw.
Setelah Rasulullah saw. wafat dan bersamaaan dengan dimulainya kepemimpian Khulafaur
Rasyidin perkembangan Hadis memasuki periode kedua. Periode ini dinamakan
dengan Tastabut wa al-Iqlal min al-Riwayah, yaitu pematerian dan pembatasan/penyedikitan
riwayat. Bersamaan dengan meluasnya penyebaran Islam, maka turut menyebar pula hadis-
hadis Rasulullah saw. Kemudian untuk mencegah dan mengurangi hal-hal yang tidak
diinginkan, maka periwayatan hadis-pun tidak dapt dilakukan secara sembarangan.

12 | P a g e
Penyebaran yang luas bisa menjadi faktor adanya perbedaan periwayatan atau bahkan
kedustaan yang mengatasnamakan nabi dengan kedok hadis.
Periode selanjutnya-pun dimulai bersamaan juga dengan berakhirnya masa Khulafaur
Rasyidin. Pada periode ini hadis sudah menyebar ke berbagai wilayah bahkan hingga ke
Afrika, maka dari itu ia dinamakan dengan Intisyaru Al-Riwayah. Masa ini memiliki rentang
waktu dari berakhirnya kekuasaan Khulafaur Rasyidin hingga berdirinya Daulah Umayyah,
atau semenjak masa Sahabat Kecil hingga masa Tabi’in.
Setelah masa penyebaran, dimulailah periode yang sangat penting yaitu Asru al-Kitabah wa
al-Tadwin atau penulisan dan pengkodifikasian/pembukuan. Pada masa ini marak terjadi
pembukuan hadis sebagaimana kitab-kitab hadis yang kita temui pada hari ini. Salah satu
karya tertua yang dapat kita temui hingga hari ini ialah Al-Muwattha’ karya Imam Malik bin
Anas. Masa kodifikasi hadis merupakan titik balik dari perkembangan hadis baik dari segi
periwayatan dan penyebaran hadis dan juga kajian-kajian mengenai hadis itu sendiri.
Pasca kodifikasi, kemudian dimulailah masa penyaringan, pemeliharaan, dan penyempurnaan
atau Asru al-Tajrid wa al-Tashih wa al-Tanqih. Periode ini berlangsung selama abad ke-3
Hijriah. Pada periode ini hadis-hadis yang sudah dikodifikasi kemudian di-filter mengenai
mana yang merupakan hadis dari nabi dan mana yang bukan, melalui masa inilah kita dapat
mengenal kitab-kitab hadis yang mu’tabarah.
Periode selanjutnya ialah masa al-Tahdzib wa al-Tartib wa al-Istidrak atau masa
pembersihan, penyusunan, dan penambahan. Sejak awal abad ke-4 Hijriah, fokus dari studi
hadis, atau karya-karya hadis dialihkan kepada penertiban kitab-kitab serta hadis-hadis itu
sendiri. Maka dari itu dapat ditemui karya-karya dalam bidang hadis bercorak tematis
ataupun yang bersifat komentar atas kitab hadis yang sudah disusun sebelumnya.
Periode terakhir, yaitu periode ke-7 ialah periode syarah, penghimpunan, dan peng-takhrij-an
atau Asru al-Syarh wa al-Jam’u wa al-Takhrij. Pada masa ini dapat dikatakan hadis dan ilmu
hadis sudah dalam posisi yang matang dan periode ini masih berjalan hingga masa kini.

12). Ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah


Ilmu Hadits terbagi kepada dua, yaitu Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah.
1.Ilmu Hadits Riwayah Para ulama hadits memberikan pengertian yang beragam terhadap
hadits riwayah, tetapi mereka mempunyai maksud yang sama. Dari beberapa redaksi yang
berbeda dapat ditarik pemahaman bahwa ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang membahas
tentang periwayatan secara teliti dan hati-hati terhadap apa saja yang di sandarkan kepada
nabi, baik perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun sifatnya. Dengan kata lain, ilmu ini
merupakan ilmu mengenai periwayatan hadits. Ilmu ini diperkenalkan dan dibukukan
pertama kali oleh Muhammad Ibnu Syihab al-Zuhri (w.124 h) pada masa kekalifahan ‘Umar
ibnu ‘Abdul Aziz.
2.Ilmu Hadits Dirayah Dari beberapa redaksi ulama dalam mendefenisikan, dapat ditarik
pemahaman bahwa yang dimaksudkan dengan ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang
membahas tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanat dan matan hadits serta
menentukan keshahihannya.[3] Objek pembasannya adalah sanat dan matan dari segi apakah
dapat diterima atau harus di tolak, dengan mengukur dan menimbang dengan kaedah-kaedah
yang telah ditentukan. Oleh karenanya, secara lebih rinci, ilmu juga membahas tentang cara-
cara yang dipakai dalam menerima dan memberikan hadits, sifat-sifat perawi,
ketersambungan sanat, dan keteputusannya, kesesuaian matan dan kejanggalannya, dan lain-
lain sampai hal-hal yang terkait dengan periwayatan secara makna. Ilmu ini diperkenalkan
dan dibukukan pertama kali oleh Al-Qadhi Abu Muhammad Ibnu ‘Abdurrahman al-Khalad
al-Rahurmuzi (w. 360 h).
Pembahasan ilmu ini adalah tentang kaidah-kaidah yang dipakai untuk mengukur
keshahihannya sebuah hadits. Kaidah-kaidah tersebut sangat sangatlah banyak dengan

13 | P a g e
melihat kepada berbagai aspek yang menyangkut dengan sanat dan matan. Oleh karenanya,
dalam berbagai literatur ilmu hadits, hampir sembilan puluh persenpembicaraannya
dipusatkan pada ilmu ini, dan hanya menyisakan sepuluh persen saja untuk ilmu hadits
riwayah. Dengan demikian, tidaklah mengherankan apabila membaca berbagai karya ilmu
hadits, maka yang didapatkan hampir seluruhnya adalah kaidah-kaidah tersebut.

13). Pengertian Ushul Fiqh


Untuk mengetahui makna dari kata Ushul Fiqh, Anda dapat menelaah dari dua aspek.
Pertama, Ushul Fiqh sebagai kata majemuk (murakkab), dan kedua Ushul Fiqh sebagai istilah
ilmiah. Dari aspek pertama, Ushul Fiqh berasal dari dua kata, yaitu kata ushul yang
merupakan bentuk jamak dari kata ashal dan kata iqh. Kata Ashal, secara etimologi diartikan
sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun non-materi”. Sementara menurut
istilah atau secara terminologi, kata ashal mempunyai beberapa arti, yaitu:
1. Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama Ushul Fiqh bahwa ashal dari
wajibnya shalat lima waktu adalah Allah SWT. dan Sunnah Rasul.
2. Qai’dah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu
3. Rajih, yaitu yang terkuat
4. Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada
dalil yang mengubahnya.
5. Far’u, (cabang)

Objek Kajian Ushul


Fiqh Dari Ushul Fiqh di atas, Anda dapat memperoleh penjelasan bahwa yang menjadi objek
kajian Ushul Fiqh secara garis besar ada tiga, yaitu:
a. Sumber hukum dengan semua seluk beluknya;
b. Metode pendayagunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari sumbernya;
c. Persyaratan orang yang berwenang melakukan istinbath dengan semua permasalahannya.

Perbedaan Ushul Fiqh dengan Fikih


Secara istilah fikih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat praktis
yang diperoleh melalui proses istinbat (menggali dan menelaah) dari dalil-dalil syar’i.
Ungkapan yang sangat populer dalam pembahasan fikih, nahnu nahkumu biddhawahir (kita
memutuskan dan menghukumi secara luar saja, apa yang tampak). Sehingga, fokus sorotan
fikih atau objek kajiannya adalah perbuatan orang mukallaf. Oleh karena itu, yang dihukumi
oleh fikih harus berbentuk perbuatan, bukan persoalan keyakinan yang menjadi garapan
tauhid, atau soal rasa (dzauq) yang digarap oleh ilmu tasawuf.
Sedangkan ushul fikih secara sederhana adalah cara atau metode yang dijadikan perantara
untuk memproduksi sebuah hukum. Pengetahun tentang metode dan tata cara memproduksi
hukum-hukum syar’i melalui dalilnya itu yang disebut dengan ushul fikih. Misalnya,
membasuh muka dalam wudlu’ merupakan kewajiban dan salah satu unsur yang harus ada
(rukun). Bagaimana metode dan cara menghasilkan hukum wajib membasuh muka dalam
wudlu’ itulah garapan ushul fikih. Proses apa yang harus ditempuh oleh seorang mujtahid
melalui sumber-sumber hukum atau dalil-dalil syar’i sehingga menghasilkan hukum wajib.

Ruang lingkup Ushul Fiqih


Ruang lingkup Ushul Fiqih adalah sumber hukum syara’, dalil hukum yang bersifat ijmali
(global) dalam hukum syara’ tersebut, metode-metode istinbat dan ijtihad. Berbeda dengan
Fiqih, yang ruang lingkupnya adalah hukum-hukum yang bersifat aplikatif dan furu’i
(cabang). Ushul Fiqih membahas prinsip yurisprudensi Islam, dan tidak membahas i’tiqad
atau aqidah (keyakinan) dalam Islam. Secara lebih rinci, Ruang lingkup yang menjadi objek

14 | P a g e
pembahasan Ushul Fiqih adalah: Sumber Hukum (Quran, Sunah, Ijma’ dan Qiyas), Hukum
Syara’ dan pembagiannya (Taklifi dan Wadh’i) termasuk didalamnya membahas Mahkum
Alaih (orang mukalaf atau orang yang layak dibebani hukum taklifi) dan Mahkum Fih
(perbuatan orang mukalaf dalam hukum syara’).

14). Sumber hukum Islam

1.Al-Quran
Al Quran adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Tulisannya
berbahasa Arab dengan perantaraan Malaikat Jibril.
Al Quran sebagai kalam Allah SWT dapat dibuktikan dengan ketidaksanggupan atau
kelemahan yang dimiliki oleh manusia untuk membuatnya sebagai tandingan, walaupun
manusia itu adalah orang pintar.
Dalam surat Al Isra ayat 88, Allah berfirman:
Katakanlah, "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa
(dengan) Al-Qur'an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya,
sekalipun mereka saling membantu satu sama lain."

2.Hadits
Seluruh umat Islam telah sepakat dan berpendapat serta mengakui bahwa sabda, perbuatan
dan persetujuam Rasulullah Muhammad SAW tersebut adalah sumber hukum Islam yang
kedua sesudah Al Quran. Banyak ayat-ayat di dalam Al Quran yang memerintahkan untuk
mentaati Rasulullah SAW seperti firman Allah SWT dalam Q.S Ali Imran ayat 32:
Katakanlah (Muhammad), "Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling, ketahuilah
bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir."
Al Hadits sebagai sumber hukum yang kedua berfungsi sebagai penguat, sebagai pemberi
keterangan, sebagai pentakhshis keumuman, dan membuat hukum baru yang ketentuannya
tidak ada di dalam Al Quran. Hukum-hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah Muhammad
SAW ada kalanya atas petunjuk (ilham) dari Allah SWT, dan adakalanya berasal dari ijtihad.
3.Ijma
Imam Syafi'i memandang ijma sebagai sumber hukum setelah Al Quran dan sunah Rasul.
Dalam moraref atau portal akademik Kementerian Agama bertajuk Pandangan Imam Syafi'i
tentang Ijma sebagai Sumber Penetapan Hukum Islam dan Relevansinya dengan
perkembangan Hukum Islam Dewasa Ini karya Sitty Fauzia Tunai, Ijma' adalah salah satu
metode dalam menetapkan hukum atas segala permasalahan yang tidak didapatkan di dalam
Al-Quran dan Sunnah. Sumber hukum Islam ini melihat berbagai masalah yang timbul di era
globalisasi dan teknologi modern.
Jumhur ulama ushul fiqh yang lain seperti Abu Zahra dan Wahab Khallaf, merumuskan ijma
dengan kesepakatan atau konsensus para mujtahid dari umat Muhammad pada suatu masa
setelah wafatnya Rasulullah SAW terhadap suatu hukum syara' mengenai suatu kasus atau
peristiwa.
4.Qiyas
Sumber hukum Islam selanjutnya yakni qiyas (analogi). Qiyas adalah bentuk sistematis dan
yang telah berkembang fari ra'yu yang memainkan peran yang amat penting. Sebelumnya
dalam kerangka teori hukum Islam Al- Syafi'i, qiyas menduduki tempat terakhir karena ia
memandang qiyas lebih lemah dari pada ijma.

15) Al-Quran dan hadits dalam Ushul Fiqh


Al-Qur'an menurut bahasa berarti “bacaan” dan menurut istilah Ushul Fiqh Al-Qur'an berarti
“kalam (perkataan) Allah yang diturunkan-Nya dengan perantara Malaikat Jibril kepada Nabi

15 | P a g e
Muhammad SAW dengan bahasa Arab serta dianggapberibadah membacanya”.Secara umum,
al-Qur’an sebagai objek kajian Ushul Fiqih, dimaksudkan sebagai sumber hukum Islam atau
sumber fiqih dan bukan kitab yang mengkompilasi hukum fiqih. Dan oleh sebab itu setiap
pembahasan al-Qur’an dalam ilmu Ushul Fiqih dimaksudkan untuk membuahkan hukum
fiqih. Dalam konteks ini asy-Syathibi berkata: 
“Setiap masalah yang terdapat dalam ilmu Ushul Fiqih, namun tidak membuahkan fiqih, atau
tidak menjadi penyangga keberadan fiqih, maka meletakkannya sebagai objek Ushul Fiqih
terhitung tidak berguna.”
Sedangkan Hadits menuurt Ushul Fiqh ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik
yang berupa perkataan, perbatan, maupun ketetapannya”. Sedangkan ahli Ushul,
definisi hadis ialah “semua perkataan, perbuatan, taqrir Nabi Muhammad SAW. yang
berkaitan dengan hukum syara' dan ketetapannya”

16). Ulil Amri


Ulil Amri adalah seseorang atau sekelompok orang yang mengurus kepentingan-kepentingan
umat. Ketaatan kepada Ulil Amri (Pemimpin) merupakan suatu kewajiban umat, selama tidak
bertentangan dengan nash yang zahir. Adapun masalah ibadah, maka semua persoalan
haruslah didasarkan kepada ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya. Allah SWT
memerintahkan agar orang yang beriman taat kepada-Nya, Rasul-Nya dan pemimpin di
antara kalian (Ulil Amri). Perintah ini ada dalam surah an-Nisa ayat 59.
"Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya tidak bisa ajarkan dengan ulil amri ketaatan kepada
Allah dan Rasul bersifat mutlak lain hanya kepada ulil amri," tulis Hafidz Muftisany.
Mengutip pendapat Imam Mawardi ada empat tafsir tentang ulil amri.: Pertama, ulil amri
adalah pemimpin sebuah teritori atau urusan. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan
Ibnu Hurairah. Kedua, ulil amri adalah para ulama. Pendapat ini dikeluarkan oleh Atha dan
Jabir bin Abdullah. Ketiga, ulil amri dinisbahkan khusus kepada sahabat-sahabat Rasulullah
SAW. Ulil amri adalah dua khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar Ibnu Khattab.
Ketua ikatan di Indonesia (Ikadi)Prof KH Ahmad Satori Ismail mengatakan, Presiden RI bisa
disebut sebagai ulil amri. Bahkan, seorang kepala desa juga bisa disebut ulil amri.
Ulil amri berasal dari kata Ula (pemilik) dan Amr (urusan). Jadi, orang-orang yang memiliki
wewenang dalam sebuah urusan pemerintahan bisa disebut ulil amri. Secara nama pemimpin
dari level kepada desa hingga presiden bisa disebut ulil.

17). a.Ijma
yang dimaksud dengan Ijmak adalah: a) Kesepakatan seluruh mujtahid Islam b) Kesepakatan
itu terjadi pada suatu masa sesudah wafatnya Rasulullah saw. c) Kesepakatan itu atas suatu
hukum syara’ tentang suatu kasus (peristiwa). Mujtahid adalah orang yang berkompeten
untuk merumuskan hukum, sedangkan hukum syara’ adalah hukum yang berkaitan dengan
perbuatan mukallaf (orang yang dibebani hukum). Contoh Ijmak tentang adanya hak waris
seorang kakek, ketika seseorang meninggal dengan meninggalkan anak dan ayah yang masih
hidup.
Menurut Wahbah alZuhaili, dalam kitabnya Al-Wajiz Fi Ushul Al-Fiqh, bahwa rukun Ijmak
ada enam perkara, yaitu:
1. Yang melakukan Ijmak itu sejumlah mujtahid, Ijmak tidak cukup dikeluarkan oleh
seorang mujtahid.
2. Adanya kesepakatan semua para mujtahid atas hukum syara’.
3. Hendaknya kesepakatan itu harus dipenuhi oleh seluruh mujtahid dari berbagai Negara
Islam pada saat terjadinya peristiwa.
4. Kesepatan itu dimulai dengan masing-masing ulama menyampaikan pendapat secara
terang terkait denga peristiwa hukum itu

16 | P a g e
5. Kesepakatan itu terjadi dari kalangan ahli ijtihad yang memiliki sifat adil, terhidarnya
bid’ah.
6. Orang-orang yang melakukan kesepakatan (Ijmak) itu harus bersandarkan pada hukum
syara’ dalam Ijmak mereka baik dari nash ataupun qiyas
b. Qiyas
Seorang ulama yang terkenal dalam bidang ilmu fiqh dari Syiria, mendefiniskan qiyas
sebagai berikut: Menyamakan suatu perkara yang tidak dinashkan (tidak tercantum di dalam
Alquran dan Sunnah) atas ketentuan hukumnya yang syar’i dengan suatu perkara yang
dinashkan (tercantum dalam Alquran dan Sunnah) atas ketentuan hukumnya, karena adanya
persamaan keduanya dalam ilat hukum (alasan hukum).
Rukun Qiyas :
1. Asl
Asl adalah segala sesuatu yang ketentuan hukumnya terdapat nashnya. Ini dinamakan dengan
al-maqis alaih, mahmul alaih, dan musabah bih. Dengan kata lain, asal merupakan masalah
yang disebutkan dan telah ditetapkan hukumnya, baik dalam Alqur`an atau Sunnah
Rasulullah. Asal adalah dasar, titik tolak dimana suatu masalah yang ditetapkan hukumnya
baik di dalam alQur’an maupun as-Sunnah itu dapat disamakan (musyabbah bih). Misalnya
khamar yang disebutkan eksistensinya dan ditegaskan keharamannya dalam ayat QS. Al-
Maidah : 90).
2. Hukum Ashal
Hukm al-‘ashl yaitu hukum syara` yang terdapat pada ashal yang hendak
ditetapkannya pada far`u (cabang) dengan jalan qiyas. Misalnya: hukum haram
khamar yang ditegaskan dalam AlQur`an
3. Cabang/Far`u
Al-far’u secara bahasa bermakna cabang. Secara istilah, Far’u (cabang) adalah segala
sesuatu yang tidak ada nashnya tentang hukumnya. Dan dimaksudkan, disamakannya
dengan asal dalam hukumnya. Dan ini dinamakan dengan al-maqis, mahmul alaih,
dan musabah. Dengan ungkapan lain, alfar’u (cabang) merupakan sesuatu yang tidak
ada ketegasan hukumnya dalam Al-Qur`an, Sunnah, atau Ijmak.
4. illat
Illat adalah alasan dan sebab yang menjadikan sebuah hukum itu ada atau tidak
adanya. Dengan demikian Illat adalah suatu sebab yang menjadikan adanya hukum
sesuatu. Dengan persamaan sebab inilah baru dapat diqiaskan masalah kedua (furu’)
kepada masalah pertama (asal) karena adanya suatu sebab yang dapat di
kompromikan antara asal dan furu’.
c. Istihsan
Istihsan secara bahasa dari kata hasan yang artinya baik. Menurut istilah, para ulama
usul fiqih telah mendefinisikan pengertian istihsan dalam beragam perspektif: Yang
dimaksudkan dengan Istihsan adalah memindahkan hukum masalah dari kerangka
perspektifnya karena adanya suatu dalil khusus dari kitab (Alquran) dan Sunnah.
Berdasarkan definisi yang diutarakan oleh para ahli di atas dapat difahami, bahwa
istihsan:
a) Pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jali kepada qiyas khafi,
b) Pindahnya seorang mujtahid dari hukum kulli kepada hukum pengecualian karena
adanya dalil yang dianggap cacat oleh akal, yang memperkuat baginya untuk
melakukan kepindahan tersebut
c) Memindahkan hukum masalah karena adanya suatu dalil khusus dari kitab
(Alquran) dan sunnah
Istihsan dipandang dari segi sandaran dalilnya. Dilihat dari sandaran dalil, Abdul
karim bin Ali bin Muhammad al-Namlah dalam kitabnya al-Muhadzdzab fi Ilm Ushul

17 | P a g e
al-Fiqh alMuqaran, membedakan Istihsan dalam lima kategori, yaitu: istihsan yang
disandarkan pada nash, Ijmak, adat, perkara darurat, dan qiyas khafiy.

d. maqashid al-syari`ah
Istilah maqashid al-syari`ah dipopulerkan oleh Abu Ishak AsySyatibi yang tertuang
dalam karyanya Muwaffaqat. Secara etimologi maqashid al-syari`ah terdiri dari dua
kata yakni maqashid dan alsyari`ah. Maqashid bentuk jamak dari maqshid yang
berarti tujuan atau kesengajaan. Sedangkan syariah menurut terminology adalah jalan
yang ditetapkan Tuhan yang membuat manusia harus mengarahkan kehidupannya
untuk mewujudkan kehendak Tuhan agar hidupnya bahagia di dunia dan akhirat.
maqasyid al-Syariah tercermin dalam reaslisasinya pemeliharaan lima aspek pokok
dalam kehidupan umat manusia tersebut, yaitu:
1) Agama (hifzh al-din);
2) Jiwa (hifzh an-nafs);
3) Akal, (hifzh al-`aql);
4) Keturunan (hifzh an-nasb) dan ;
5) Harta. (hifzh al-mal).
Jadi, Allah Swt menetapkan hukum untuk manusia dengan tujuan untuk memperoleh
kemaslahatan manusia itu sendiri baik di dunia maupun di akhirat. Dengan kata lain,
bahwa tujuan pokok pembinaan hukum itu adalah apa yang menjadi kebutuhan
mendasar manusia.
Aplikasi maqasyid al-Syariah misalnya pada khamr. Khamr dari segi bahasa artinya
penutup akal, sedangkan menurut istilah, khamr adalah segala jenis minuman atau
lainnya yang dapat memabukan, menghilangkan kesadaran dalam firman Allah (Q.S
Al Maidah: 90) Adapun bahaya minuman keras. dampak yang diakibatkan dari
mengkonsumsi minumain keras bila dihubungkan dengan a) agama, b) jiwa, c)
kerturunan, d) akal, e) harta.

18). Taklifi dan Wadh’i


Hukum Syariat terbagi dua macam, yaitu Hukum Taklifi dan Wadh’i. Hukum Taklifi
memiliki bentuk Wajib, Sunah, Mubah, Makruh dan Haram, yang berkaitan secara
langsung terkait perbuatan orang yang sudah mukalaf, seperti wajib shalat dan
beberapa kewajiban lain, haram zina, minum khamar, dan berbagai keharaman lain.
Sedangkan Hukum Wadh’i tidak langsung mengatur perbuatan mukalaf, tetapi
berbentuk ketentuan yang ditetapkan Allah terkait Hukum Taklif, seperti kondisi
junub menyebabkan wajib mandi junub, adanya orang yang memiliki harta dan
mencapai Nisab menyebabkan orang tersebut wajib berzakat, tergelincirnya matahari
menjadi sebab masuknya waktu dzuhur, dan lainnya. Hukum Wadh’i memiliki bentuk
berupa sebab, syarat dan mani (penghalang) bagi ketentuan hukum-hukum Fiqih
aplikatif dalam Islam.
Hukum Taklifi
Hukum Taklifi memuat tuntutan dan pilihan, yaitu tuntutan Allah yang berkaitan
dengan perintah untuk berbuat sesuatu atau tuntutan untuk meninggalkan sesuatu
perbuatan. Didalamnya memuat ketentuan-ketentuan yang berhubungan langsung
dengan perbuatan mukalaf, baik berbentuk perintah yang tegas (Wajib), anjuran untuk
melakukan (Sunah), larangan (Haram), anjuran untuk tidak melakukan (Makruh), atau
dalam bentuk memberi kebebasan untuk berbuat atau tidak berbuat (Mubah). Didalam
agama Islam, bentuk Hukum Taklifi yang berupa tuntutan tidak memberatkan
pelakunya, dan selalu berada dalam batas kemampuan seorang mukalaf.
Hukum Wadhi’

18 | P a g e
Hukum Wadhi ada tiga macam, yaitu berupa sebab, syarat dan mani (penghalang)
adanya hukum syariat. Dan tiga hal lain terkait hukum perbuatan mukalaf apakah sah,
fasid, atau batal. Artinya apabila sesuatu Hukum Taklifi yang dikerjakan itu ada
sebabnya, telah memenuhi syarat-syaratnya, dan tidak ada mani’ (penghalang), maka
perbuatan itu dinyatakan sudah memenuhi ketentuan hukum (sah). Hukum Wadhi
juga menjelaskan adanya ‘azimah atau rukhshah (keringanan).

Azimah
Azimah adalah hukum yang ditetapkan pertama kali atau hukum yang ditetapkan
secara umum berlaku terhadap setiap mukallaf tanpa dijelaskan situasi dan kondisi
yang dihadapi oleh mukallaf tersebut. Sehingga jika di pahamisecara hukum azimah
shalat dalam kondisi bagaimanapun harus dilakukan dalam keadaan berdiri, bangkai
dan daging babi dalam kondisi apapun tetap haram untuk dimakan. Secara sederhana
azimah dipahami sebagai hukum umum dan hukum asal yang bersifat mutlak, baik
hukum itu bersifat perintah untuk mengerjakan sesuatu atau larangan melakukan suatu
perbuatan.

Rukhshah
Secara bahasa rukhshah berarti keringanan dan kemudahan. secara istilah Rukhshah
adalah ketetapan hukum yang menyalahi atau berbeda dari hukum yang ditetapkan
secara kulli atau dalam istilah ushul disebut dengan azimah. Rukhshah lebih
bermakna adanya pengecualian dari hukum-hukum yang ditetapkan secara global dan
berlaku umum.
Bila dilihat dari sisi hukumnya ulama Syafiyah membagi Rukhshah kepada beberapa
Bagian. Menurut ulama syafiiyah hukum Rukhshah terbagi kepada:
1.)Rukhshah wajib. Contohnya memakan bangkai dalam keadaan darurat atau
meminum khamar bagi orang yang tenggorokannya tersekat sehingga tidak bisa
bernafas.
2.) Rukhshah mandub. Contohnya salat qasar bagi musafir yang telah melakukan
perjalanan selama tiga hari. Adapun qasar dalam kondisi ini adalah sunnat atau lebih
afdhal melakukannya.
3.)Rukhshah Mubah. Contohnya seperti akad salam, akad ijarah, akad masaqah. Akad
ini dikategorikan rukhshah yang mubah karena memandang hukum asalnya yang
tidak diperbolehkan karena dianggap membeli barang yang tidak diperbolehkan
karena dianggap membeli barang yang ma’dum, dan mengambil manfaat yang
ma’dum
4.)Rukhshah khilaf al-awla (lebih utama ditinggalkan). Contohnya berbuka bagi
musafir yang tidak mengalami kesulitan untuk melaksanakan puasa, menyapu sepatu,
melafazkan kafir dalam kondisi terpaksa

19). ‘Urf
al-Urf (secara bahasa berasal dari kata ‘arafa – ma’rifah – irfan – ma’ruf yang berarti
mengenal, pengetahuan, dikenal, ketenangan. Kata lain yang sering dipersamakan dan
dipertukarkan penggunaanya dengan kata al-urf adalah adat. (Secara bahasa, adat
berasal dari kata kerja lampau (fi’il madhi), yaitu ‘adaya’udu-‘audan-‘adat,(yang
memiliki makna kembali, mengulang, dan berulang. Sehingga adat memiliki makna
sesuatu yang diulang-ulang dan menjadi terbiasa dan dibiasakan oleh masyarak
Menurut Abdul Karim Bin Ali Bin Muhammad Al-Namlah, bahwa al-urf (adat) dapat
menjadi hujah syar’iyyah ketika terpenuhi beberapa syarat. Yaitu:
a) Hendaknya urf’ itu bersifat umum

19 | P a g e
b) Hendaknya urf itu diterima oleh mayoritas
c) Hendaknya urf itu ada ketika diimplementasikan
d) Hendaknya urf itu terpelihara, yaitu perbuatan itu myakinkan manusia pandangan
tuntutan dalam .
e) Hendahkanya urf itu tidak bertentangan dengan suatu dalil kuat yang
f) Hendahnya urf itu tidak bertentangan dengan urf lain dalam) (tempat (negara satu

20). Qawaid Fiqhiyyah


Qawaid  Fiqhiyyah  adalah  kata  majemuk  yang terbentuk dari dua kata, yakni kata
qawaid dan fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki pengertian tersendiri. Secara
etimologi, kata qaidah (‫)ةدعاق‬, jamaknya qawaid (‫)دعاوق‬. berarti; asas, landasan, dasar
atau fondasi sesuatu, baik yang bersifat kongkret, materi, atau inderawi seperti fondasi
bangunan rumah, maupun yang bersifat abstrak, non materi dan non indrawi seperti
ushuluddin (dasar agama). Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kaidah yaitu
rumusan asas yang menjadi hukum; aturan yang sudah pasti, patokan; dalil. Qaidah
dengan  arti  dasar  atau  fondasi  sesuatu yang bersifat materi.
Dasar-Dasar Pengambilan Qawaid Fiqhiyyah
Yang dimaksud dengan dasar pengembalian qawaid fiqhiyyah ialah dasar-dasar
perumusan qaidah fiqhiyyah, meliputi dasar formil dan materiilnya.     Dasar formil
maksudnya apakah yang dijadikan dasar ulama dalam merumuskan qaidah fiqhiyyah
itu, jelasnya nash-nash manakah yang menjadi pegangan ulama sebagai sumber
motivasi penyusunan qawaid fiqhiyyah. Adapun dasar materiil maksudnya dari mana
materi qaidah fiqhiyyah itu dirumuskan.
1. Dasar formil
Hukum-hukum furu’  yang ada dalam untaian satu qaidah yang memuat satu masalah
tertentu, ditetapkan atas  dasar  nash,  baik  dari  al-Quran maupun  Sunnah.
2. Dasar materiil.
Dasar materiil atau bahan-bahan yang dijadikan rumusan qaidah.

20 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai